BAB I PENDAHULUAN Asma bronkial merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh peningkatan daya responsif percabangan trakeobronkial terhadap berbagai jenis stimulus. Penyakit asma mempunyai manifestasi fisiologis berbentuk penyempitan yang meluas pada saluran pernafasan yang dapat sembuh spontan atau dapat sembuh dengan terapi dan secara klinis ditandai oleh serangan mendadak dyspneu, batuk serta mengi. Secara khas, sebagian besar serangan berlangsung singkat selama beberapa menit hingga beberapa jam dan sesudah itu, pasien tampaknya mengalami kesembuhan klinis yang total. 1,2,3 . Penyebab asma sangat kompleks dan bervariasi di antara berbagai kelompok populasi dan bersifat individual. Diduga yang memegang peranan utama ialah reaksi berlebihan dari trakea dan bronkus (hiperaktivitas bronkus). Hiperaktivitas bronkus ini 0
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Asma bronkial merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh
peningkatan daya responsif percabangan trakeobronkial terhadap berbagai jenis
stimulus. Penyakit asma mempunyai manifestasi fisiologis berbentuk
penyempitan yang meluas pada saluran pernafasan yang dapat sembuh spontan
atau dapat sembuh dengan terapi dan secara klinis ditandai oleh serangan
mendadak dyspneu, batuk serta mengi. Secara khas, sebagian besar serangan
berlangsung singkat selama beberapa menit hingga beberapa jam dan sesudah itu,
pasien tampaknya mengalami kesembuhan klinis yang total.1,2,3.
Penyebab asma sangat kompleks dan bervariasi di antara berbagai
kelompok populasi dan bersifat individual. Diduga yang memegang peranan
utama ialah reaksi berlebihan dari trakea dan bronkus (hiperaktivitas bronkus).
Hiperaktivitas bronkus ini belum diketahui dengan jelas penyebabnya.4 Faktor
risiko utama asma adalah riwayat pribadi dan/atau keluarga mengenai penyakit
alergi seperti rinitis, urtikaria, dan exzema.1.
Faktor predisposisi yang dapat menimbulkan serangan akut asma dapat
dikelompokkan menjadi tujuh kelompok utama, yaitu :1
1. alergen
2. rangsangan farmakologik
3. lingkungan dan polusi udara
4. faktor pekerjaan
0
5. infeksi
6. exercise
7. stress emosional
Trias gejala asma terdiri atas dyspneu, batuk, dan mengi. Gejala yang
nampak pada saat serangan asma, akan diteruskan sulit bernapas dan mungkin
dimulai dengan napas yang cepat. Penderita merasa napas menjadi pendek walau
dalam keadaan istirahat. Batuk dan wheezing juga merupakan tanda yang paling
penting selama terjadinya asma, keduanya juga lebih sering terjadi pada malam
hari pada anak yang menderita asma.1,5
Asma bronkial dapat didiagnosis dengan anamnesis adanya riwayat
asma sebelumnya, ataupun adanya riwayat keluarga, riwayat adanya faktor
predisposisi, serta anamnesis gejala-gejala yang sesuai. Dari pemeriksaaan fisik
didapatkan adanya ekspirasi yang memanjang, wheezing ekspirasi, ronki basah
pada kedua bagian paru, hiperinflasi paru, takipnea sampai sianosis. Pemeriksaan
penunjang yang dapat menunjang adalah spirometri, tes kulit, pemeriksaan IgE
dan eosinofil serta pemeriksaan radiologi.6
Penatalaksanaan asma dibedakan atas pengobatan medikamentosa dan
non medikamentosa. Pengobatan medikamentosa berupa :3
Obat Quick Relief (Reliever)
1. Bronkodilator
a) Adrenergika
Yang termasuk golongan adrenergik : Beta 2 adrenergik selektif
seperti salbutamol, metaproterenol, terbutalin, fenoterol, dan lain–lain.
1
b) Derivat xantin
Daya bronkorelaksasinya diperkirakan berdasarkan blokade reseptor
adenosine. Selain itu, teofilin mencegah meningkatnya hiperreaktivitas
dan berdasarkan ini bekerja profilaksis.
Penggunaan secara terus menerus pada terapi pemeliharaan
ternyata efektif mengurangi frekuensi serta hebatnya serangan. Pada
keadaan akut dapat dikombinasi dengan obat asma lain, tetapi
kombinasi dengan β2-mimetika hendaknya digunakan dengan hati-hati
berhubung kedua jenis obat saling memperkuat efek pada jantung.
Yang termasuk golongan methylxantine : teofilin, aminophyllin.
c) Golongan antikolinergik : Sulfas Atropin, Ipratropium Bromide
Obat Long Term Control (Controller)
1. Kortikosteroid
Efek kortikosteroid adalah memperkuat bekerjanya obat Beta 2
adrenergik. Kortikosteroid sendiri tidak mempunyai efek bronkodilator.
Kortikosteroid berkhasiat meniadakan efek mediator, seperti
peradangan dan gatal-gatal. Daya antiradang ini berdasarkan blokade
enzim fosfolipase-A2, sehingga pembentukan mediator peradangan
prostaglandin dan leukotrien dari asam arakhidonat tidak terjadi. Lagipula
pelepasan asam ini oleh mast cell juga dirintangi. Singkatnya
kortikosteroid menghambat mekanisme kegiatan alergen yang melalui IgE
2
dapat menyebabkan degranulasi mast cell, juga meningkatkan kepekaan
reseptor β2 hingga efek beta mimetika diperkuat.
2. Natrium kromoglikat
Obat ini berdaya menstabilisasi membran mast cell, sehingga
menghalangi pelepasan mediator vasoaktif, seperti histamin, serotonin,
dan leukotrien, pada waktu terjadinya reaksi alergen antibodi.
Penggunaannya efektif untuk obat pencegah serangan asma dan
bronkitis yang bersifat alergika (hay fever) dan alergi akibat bahan
makanan.
3. Antihistamin, masih kontroversi
Obat sebagai Terapi Penunjang
1. Antibiotik
Pada umumnya pemberian antibiotik tidak perlu, kecuali sebagai
profilaksis infeksi dan ada infeksi sekunder.
2. Ekspektoransia
Maksud pemberian ekspektoransia adalah untuk memudahkan
dikeluarkannya mukus dari saluran napas. Beberapa ekspektoran adalah :
- Gliseril guaikolat (ekspektoran)
- Ammonium Klorida
3. Mukolitik
Obat yang dapat mengencerkan sekret saluran napas dengan jalan
memecah benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari sputum.
Obat ini mengurangi kekentalan dahak, mukolitika dengan merombak
3
proteinnya dan ekspektoransia dengan mengencerkan dahak, sehingga
pengeluarannya dipermudah. Obat ini dapat meringankan perasaaan sesak
napas dan terutama berguna pada serangan asma hebat yang dapat
mematikan bila sumbatan lendir sedemikian kental hingga tidak dapat
dikeluarkan.
Contohnya adalah :
Bromheksin
Ambroxol
Pengobatan non medikamentosa di waktu serangan adalah :
1. Pemberian O2 untuk hipoksemia, baik atas dasar gejala klinik maupun hasil
analisa gas darah.
2. Pemberian cairan / bahan elektrolit.
3. Drainase postural.
Di luar serangan, sebagai tindakan preventif atau sebagai tambahan pada
pengobatan asma bronkial :
1. Pendidikan : penderita diberi pengertian mengenai penyakitnya supaya dapat
menanggulanginya dengan baik. Penderita hendaklah mengetahui berat
penyakitnya, faktor-faktor yang dapat mencetuskan asma serta faktor yang
bisa memperburuk penyakit.
2. Menghindari alergen, kontrol terhadap lingkungan
3. Relaksasi dan kontrol terhadap emosi dan senam pernapasan (senam untuk
asma)
4. Fisioterapi, mobilisasi dan fasilitasi ekspektorasi, drainase postural
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Secara umum ada dua cara untuk mengatasi asma yaitu dengan terapi non-
farmakologis dan terapi farmakologis seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Terapi non farmakologis dapat dilakukan dengan menghindari faktor-faktor risiko
yang dapat menimbulkan asma serta dengan melakukan olahraga ringan seperti
renang.7
Adapun untuk terapi farmakologis, ada dua jenis obat yang biasa
digunakan yaitu quick-relief dan long-term control. Kedua jenis obat tersebut
memiliki cara kerja yang berbeda. Obat-obat quick-relief, misal bronkodilator,
bekerja dengan merelaksasi otot-otot di saluran nafas sehingga saluran nafas yang
semula menyempit akan melebar kembali dan penderita mampu bernafas dengan
lega. Dengan demikian, obat-obat ini lebih efektif digunakan saat serangan asma
terjadi, salah satu contohnya adalah salbutamol. Adapun obat-obat long-term
relievers digunakan untuk mencegah timbulnya serangan asma dengan mengatasi
peradangan di saluran pernafasan agar tidak semakin memburuk, antara lain
dengan mengurangi edem. Contoh obat yang termasuk long-term relievers ini
adalah kortikosteroid.7
2.1 Agonis Reseptor β2 (β2-Agonis)
Agonis adalah obat yang apabila menduduki reseptor akan menimbulkan
efek farmakologi secara intrinsik. Reseptor β1 terutama terdapat di jantung
5
sedangkan reseptor β2 adalah reseptor yang terdapat di otot polos (bronkus,
pembuluh darah, saluran cerna, saluran kemih-kelamin), otot rangka, dan hati.8
β2-agonis dibagi menjadi long acting β2 agonis (LABA) dan short acting
β2 agonis (SABA) berdasarkan onset kerjanya dalam tubuh. SABA terdiri dari
epinefrin/adrenalin dan β2 agonis selektif. Dalam golongan SABA termasuk
Atomoxetine Meningkatkan risiko efek samping jantung saat salbutamol intravena diberikan dengan atomoxetine
Glikosida jantung Salbutamol mungkin menurunkan kadar digoxin dalam darah
Kortikosteroid Meningkatkan risiko hipokalemia saat dosis tinggi Beta2 simpatomimetik diberikan bersamaan dengan kortikosteroid
Diuretik Meningkatkan risiko hipokalemia saat beta 2 simpatomimetik dosis tinggi diberikan dengan asetazolamid, loop diuretik atau tiazide dan diuretik lainnya
Metildopa Hipotensi akut dilaporkan saat infus salbutamol diberikan dengan metildopa
Pelemas otot Bambuterol meningkatkan efek suxamethonium
Teofilin Risiko hipokalemia meningkat saat beta2 simpatomimetik dosis tinggi diberikan dengan teofilin
16
BAB III
KESIMPULAN
Salbutamol merupakan salah satu bronkodilator golongan β2 agonis yang
paling aman dan paling efektif untuk terapi asma. Salbutamol juga telah tersedia
dalam berbagai bentuk sediaan mulai dari sediaan oral, inhalasi aerosol, inhalasi
cair sampai injeksi. Walaupun salbutamol merupakan obat yang paling aman dan
efektif dalam penanggulangan terapi asma, praktisi kesehatan juga harus
memperhatikan kontraindikasi salbutamol, efek samping salbutamol, serta
interaksinya terhadap obat lain.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. McFadden ER. Penyakit Asma dalam Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Harrison Edisis 13 Vol 3. EGC, Jakarta, 2000 :1113-1117.
2. Salim EG, Musai M, Muin M. Perbandingan Efektivitas klinis Antiinflamasi Alergik antara Protakerol dengan Salbutamol Lepas Lambat pada Penderita Asma Bronkial. Surabaya, subbagian Alergi Imunologi Bag. IPD FK Unair, 1998.
3. Amir M, Alsugaff, H, Aleh T (ed). Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya, Airlangga University Press, 1993 : 1 – 5.
4. Behram. RE, Vaughan, VC. Nelson : Ilmu Kesehatan Anak Bagian I Edisi 15, Jakarta, EGC, 1999 : 775 – 91.
5. Assagaf, Ali. Asthma bronchiale. Diajukan pada Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Dalam III, 2003. PAPDI Wilayah Kalsel-Kalteng.
6. Yasmina, Alfi, dr. Farmakoterapi pada Gangguan/Penyakit Sistem Respirasi dalam Kumpulan Bahan Kuliah Farmakologi II, 2001. FK UNLAM, Banjarbaru.
7. Shanti BD. Penggunaan Salbutamol (Albuterol) dalam Terapi Asma. 2007. http://farmakoterapi-info.htm .
8. Ganiswarna, Sulistia G. Farmakologi dan Terapi edisi 4. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UI Jakarta, 1995.
9. Putrawan, I. B, Ngurah Rai, I. B. Terapi β2-adrenergik kerja panjang pada tatalaksana penyakit paru obstruktif kronik. Jurnal Penyakit Dalam volume 9 nomor 2. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fk Unud / RSUP Sanglah Denpasar, 2008.
10. Anonymous. Salbutamol. Wikipedia 2009. (online). (http://en.wikipedia.org/wiki/salbutamol, diakses 13 September 2009).
13. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat. Salbutamol. 2006. http://index.php.
14. Judarwanto, Widodo. Obat yang sering dipakai penderita alergi : adrenergik. 2009. (online). (ht t p://www.childrenallergyclinic.wordpress.com , diakses 13 September 2009).