This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Latar Belakang Bila dipelajari sejarah kehidupan manusia, dari nenek moyang yang pertama mendiami dunia ini, tanah telah menempati posisi yang penting dalam kehidupan manusia. Hubungan manusia dengan tanah sangat erat sekali, karena secara ritual dapat dikatakan bahwa manusia tercipta dari tanah dan akhirnya kembali ke tanah. Tak ayal lagi bahwa tanah adalah suatu yang penting sekali dalam kehidupan manusia. Terlebih lagi Bangsa Indonesia yang masyarakatnya bercorak agraris, dimana telah merupakan unsur yang essensial bagi segala aspek kehidupannya. Demikian pula penduduk Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai saat ini sebagian besar tinggal di pedesaan. Pada masyarakat pedesaan yang masih didasari pada sifat kekeluargaan dan gotong royong sangatlah sederhana cara berfikirnya. Pengaturan tentang segi-segi kehidupannya pula halnya. Namun aturan-aturan yang sederhana tersebut sangat erat melihat dalam hidup dan kehidupan mereka. Aturan-aturan tersebut ditaati dengan suatu keyakinan dan penghormatan yang sangat mendalam terhadap para pendahulu. Aturan-aturan tersebut tentunya banyak ragam dan macamnya. Termasuk aturan tentang tanah, yang merupakan tempat berpijak, beraktifitas menyongsong hidup dan kehidupan sampai menganggap tanah sebagai salah satu benda yang mempunyai sifat religius.
Salah satu yang menonjol adalah pengaturan tentang hak ulayat dalam masyarakat hukum adat. Namun demikian, walaupun dikatakan menonjol, istilah hak ulayat itu sendiri tidak sama di berbagai daerah di Indonesia. Ada yang menyebut hak persekutuan, hak pertuanan, tanah batin dan lain sebagainya. Namun dari berbagai istilah yang ada istilah “Besschikking recht”lah yang menghimpun semua istilah yang beragam macam tersebut, yang dapat dijumpai dalam berbagai literatur hukum adat.
tanah kepunyaan bersama pada warganya. Sedangkan penjelmaan hak ulayat secara murni adalah:
a. Persekutuan hukum yang bersangkutan dan para anggotanya berhak dengan bebas mengerjakan tanah hutan belukar, membuka tanah, mendirikan teratak, memungut hasil hutan/belukar, berburu dan mengembala.
b. Orang-orang asing dapat melakukan kerja yang serupa dalam sub (a) dengan ijin dari persekutuan hukum yang bersangkutan, jika tidak ada ijin tersebut, orang-orang asing itu dipandang melakukan tindak pidana.
c. Orang asing senantiasa harus membayar harga (pajak) untuk melakukan kerja-kerja di atas tanah tersebut, sementara para warga sendiri kadang-kadang juga harus membayar sewa bumi.
d. Apabila terjadi sesuatu tindak pidana tertentu dalam wilayah hak ulayat yang tidak dapat diberatkan kepada seseorang pelaku, maka persekutuan hukum sendirilah yang bertanggung jawab.
e. Sesuatu yang tunduk pada hak ulayat tidak dapat secara abadi diserah-lepaskan
f. Meskipun sebidang tanah telah dibuka dan dikerjakan oleh seseorang campur tangan persekutuan hukum terhadap tanah yang bersangkutan tidak lenyap seluruhnya. Campur tangan ini bisa menjadi besar kalau hak individu menipis. Sebaliknya campur tangan ini menipis secara proporsional dengan membesarnya hak individu.
Permasalahan Bertitik tolak dari apa yang telah diuraikan pada latar belakang di atas, maka menimbulkan suatu permasalahan sebagai berikut: “Bagaimana eksistensi atau keberadaan hak masyarakat adat atas tanah di Tanah Karo”.
Perlu dijelaskan bahwa antara istilah rukun dan tertib terdapat perbedaan, bahwa rukun tidak terjadi karena adanya tata paksa, sedangkan tertib terjadi karena adanya tata paksa (Hilman Hadikusuma, 1981: 11). Menurut Ter Haar, sebagaimana dikutip oleh Wignjodipoero, di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata, terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia lahir dan bathin, golongan tersebut mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal dan orang-orang dalam golongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagai hal sewajarnya, hal menurut kodrat alam. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran golongan itu. Golongan ini mempunyai pengurus sendiri, harta benda sendiri, milik duniawian dan milik gaib, golongan-golongan inilah yang disebut “Persekutuan Hukum” Jadi Persekutuan Hukum adalah, merupakan kesatuan-kesatuan yang mempunyai tata susunan yang teratur dan kekal serta memiliki pengurus sendiri dan kekayaan sendiri baik kekayaan materiil maupun kekayaan immateriil. Inti dari perumusan persekutuan hukum menurut Ter Haar adalah bahwa persekutuan hukum adat itu harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Merupakan kesatuan manusia yang teratur
2. Menetapkan di suatu daerah tertentu
3. Mempunyai penguasa
4. Mempunyai kekayaan baik yang berujud maupun yang tidak berujud
Menurut Mahadi Persekutuan Hukum Adat itu adalah, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Mahadi, 1991: 60). 1. Adanya sejumlah orang-orang tertentu yang bertindak semua merasa terikat dan semuanya memperoleh untung rugi. 2. Apabila kita melihat ke dalam, maka akan tampak adanya orang-orang tertentu atau golongan tertentu mempunyai kelebihan, wibawa dan kekuasaan. 3. Adanya harta benda bersama seperti barang-barang tertentu, tanah, air, tanaman, tempat peribadatan, gedung dan lain-lainnya dan semua orang ikut memelihara benda itu, menjaga kebersihan pisiknya, menjaga kesuciannya dan sebagainya. Semua boleh mengenyam nikmat dari harta benda itu, akan tetapi orang yang bukan anggota pada umumnya tidak boleh mengambil manfaat dari padanya kecuali dengan seizin persekutuan. Untuk menggambarkan apakah suatu kesatuan dalam masyarakat merupakan suatu persekutuan hukum atau bukan, maka kriteria dan ciri seperti tersebut di atas harus terpenuhi. Sebagai contoh dapat disebutkan sebagai berikut: Suatu famili di Minangkabau merupakan suatu persekutuan hukum karena:
1. Memiliki tata susunan yang tetap, yaitu terdiri dari beberapa bagian yang disebut rumah atau jurai, selanjutnya jurai ini terdiri atas beberapa nenek dengan anaknya yang laki-laki dan perempuan.
2. Memiliki pengurus sendiri, yaitu yang diketuai oleh seorang penghulu andiko. Sedangkan jurai diketuai oleh seorang mamak kepala waris (tungganai)
3. Memiliki harta kekayaan sendiri (harta pusaka) yang diurus oleh penghulu andiko atau mamak kepala waris.
tempat mempertahankan hidup semata, akan tetapi kepada wilayah itu orang-orang terikat, tanah merupakan modal utama, bagi sebagian besar persekutuan hukum tersebut, bahkan tanah merupakan satu-satunya modal. Jadi setiap persekutuan hukum mempunyai tanah adat sendiri yang disebut hak ulayat. Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang persekutuan-persekutuan hukum yang terdapat di Indonesia, maka terlebih dahulu harus dimengerti serta dipahami bentuk serta struktur yang terdapat dalam persekutuan itu. Menurut dasar susunannya, maka struktur persekutuan-persekutuan hukum di Indonesia ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
1. Geneologis
Geneologis yaitu keanggotaan suatu kesatuan didasarkan pada faktor yang berlandaskan kepada pertalian darah, pertalian suatu keturunan, walau dalam kenyataannya tidak menduduki peranan penting dalam timbulnya suatu persekutuan hukum. Dalam persekutuan hukum yang bersifat geneologis, terdapat tiga macam dasar pertalian keturunan, yaitu: a. Pertalian darah menurut garis Bapak (patrilinial), seperti pada suku Batak, Nias dan Sumba. Masyarakat suku Karo sebagai salah satu sub bagian dari suku Batak juga menganut sistem kekerabatan atau pertalian darah menurut garis Bapak (patrilinial) artinya bahwa setiap anak-anak yang lahir baik laki-laki maupun perempuan dengan sendirinya mengikuti klan atau marga dari ayahnya. b. Pertalian darah menurut garis Ibu (matrilinial), seperti di Minangkabau. c. Pertalian darah menurut garis Ibu dan Bapak (parental) seperti pada suku Jawa, Sunda, Aceh, Dayak. Di sini untuk menentukan hak-hak dan kewajiban seseorang, maka famili dari pihak Bapak adalah sama artinya dengan famili dari pihak Ibu.
2. Teritorial
Teritorial yaitu keanggotaan suatu kesatuan terikat pada suatu daerah tertentu, hal ini merupakan faktor yang mempunyai peranan yang terpenting dalam setiap timbulnya persekutuan hukum. Orang dapat untuk sementara waktu meninggalkan tempat tinggalnya tanpa kehilangan keanggotaan dari persekutuan yang bersangkutan. Orang dari luar lingkungan yang ingin masuk menjadi anggota persekutuan harus diterima menurut hukum adat setempat misalnya, dengan diperbolehkan ikut serta dalam rukun desa dan sebagainya. Mereka yang sejak dahulu kala atau sejak nenek moyangnya berdiam dalam daerah persekutuan, pada umumnya memiliki kedudukan penting dalam persekutuan itu. Menurut Ter Haar, seperti yang dikutip oleh Mahadi, ada tiga bentuk persekutuan dengan faktor teritorial, yaitu:
a. Persekutuan Hukum yang berbentuk Desa yaitu, apabila ada orang-orang segolongan orang-orang terikat pada suatu tempat kediaman, yang mempunyai batas-batas ini mungkin terdapat Desa induk atau dusun-dusun, termasuk juga dukuh-dukuh yang terpencil yang merupakan pancaran dari Desa induk dan tidak berdiri sendiri. Para pejabat Pemerintahan Desa boleh dikatakan semuanya
bertempat tinggal di pusat kediaman atau di Desa-desa induk tadi. Contohnya adalah Desa-desa di Bali.
b. Persekutuan Hukum yang berbentuk Daerah. Bentuk persekutuan seperti ini banyak persamaannya dengan persekutuan yang berbentuk Desa akan tetapi dalam persekutuan hukum yang berbentuk daerah ini, di dalam suatu daerah tertentu terletak beberapa desa yang masing-masing mempunyai tata susunan dan pengurus sendiri-sendiri yang sejenis, berdiri sendiri-sendiri, tetapi semuanya merupakan bagian bawahan dari daerah. Daerah-daerah ini memiliki harta benda sendiri-sendiri dan menguasai hutan rimba raya dan tanah-tanah yang mereka diami. Contohnya adalah Kuria di Angola dan Mandailing, yang mempunyai hutan-hutan di dalam daerahnya.
c. Persekutuan yang berbentuk federasi desa-desa. Apabila beberapa persekutuan kampung yang terletak berdekatan mengadakan mufakat untuk memelihara kepentingan bersama, misalnya akan mengadakan pengairan. Untuk memelihara keperluan bersama tersebut diadakan suatu badan pengurus yang bersifat kerja sama antar pengurus-pengurus desa tersebut. Sedangkan wewenang para pengurus kerjasama tersebut tidak lebih tinggi dari pengurus desa masing-masing. Contoh, perserikatan huta-huta yang terdapat dalam suku Batak.
Dari ketiga jenis atau bentuk persekutuan di atas, yang semuanya berlandaskan pada faktor teritorial, persekutuan desalah yang menjadi pusat pergaulan sehari-hari. Desa yang sebagai badan hukum yang berdiri sendiri secara bulat, atau sebagai badan persekutuan daerah atasan atau yang mengadakan kerjasama dengan badan persekutuan hukum setingkat untuk memelihara keperluan bersama yang tertentu. Van Vollenhoven, membagi struktur persekutuan hukum ini dalam 4 (empat) golongan, yakni: a. Persekutuan hukum yang berupa kesatuan geneologis Contoh: Uma pada suku Dayak, Fukun di pulau Timor serta Fenna di pulau Baru dan Seram. b. Persekutuan hukum yang berupa kesatuan teritorial yang di dalamnya terdapat kesatuan-kesatuan geneologis. Contoh: Nagari di Minangkabau dengan famili-famili. c. Persekutuan hukum yang berupa kesatuan teritorial tanpa kesatuan geneologis di dalamnya, melainkan dengan atau tidak dengan kesatuan/teritorial yang lebih kecil. Contoh: Marga dengan dusun-dusunnya di Sumatera Utara, Kuria dengan huta-hutanya di Tapanuli Selatan, sedangkan yang tidak dengan kesatuan teritorial yang lebih kecil lagi adalah desa di Jawa.
d. Persekutuan hukum yang berupa kesatuan teritorial dengan di dalamnya terdapat persekutuan-persekutuan/badan-badan hukum yang sengaja, didirikan oleh para warganya.
Contoh: Desa dengan sinoman-sinoman di Jawa dan Desa-desa dengan Subak di Bali.
apa yang diuraikan oleh kedua sarjana ini secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Semua Badan Persekutuan Hukum ini dipimpin oleh seorang ketua atau kepala b. Sifat dan susunan pimpinan itu erat hubungannya dengan sifat serta susunan tiap jenis badan Persekutuan Hukum yang bersangkutan. 2. Kepala Persekutuan Hukum Suatu persekutuan hukum dikepalai oleh Kepala Persekutuan Hukum (Kepala Rakyat), yang aktifitasnya dapat dibagi dalam 3 hal, yaitu: 1. Urusan tanah 2. Penyelenggaraan tata tertib sosial dan tata tertib hukum supaya kehidupan dalam masyarakat desa berjalan sebagaimana mestinya, supaya mencegah adanya pelanggaran hukum.
3. Usaha yang tergolong dalam penyelenggaraan hukum untuk mengendalikan (memulihkan tata tertib dan tata tertib hukum serta kesejahteraan menurut ukuran-ukuran yang bersumber pada pandangan yang religio-magis (represif). (Bushar Muhammad, 1988: 29).
Sehubungan dengan hak masyarakat hukum adat atas hak ulayat, maka masyarakat hukum adat sebagaimana umumnya penguasa mempunyai wewenang dan tugas sebagai berikut:
1. Melakukan usaha dan mengatur
a. Penyediaan tanah, artinya masyarakat hukum adat wajib menyediakan tanah bagi para warganya untuk kepentingan hidupnya, pangan, sandang dan papan dengan jalan membuka hutan tanah yang belum didah.
b. Pendayagunaan tanah, yaitu menyuburkan atau meningkatkan kesuburan tanah, misalnya dengan menyelenggarakan irigasi pembukaan dan sebagainya.
c. Pemeliharaan, ialah menjaga agar supaya tanah-tanah tidak menjadi rusak tandus karena kurang terpelihara atau penggunaan yang tidak tepat.
2. Mengatur hubungan hukum antara warga masyarakat dengan tanah misalnya, hal apakah yang dapat dipunyai oleh warga masyarakat hukum adat dan juga orang luar (asing), antara lain: hak milik yayasan, pusaka hak pakai, hak memungut hasil hutan, hak membuka tanah dan lain-lain.
3. Mengatur hubungan hukum antara perorangan dengan tanah atau yang ada hubungannya dengan tanah, misalnya hubungan jual beli lepas, jual gadai, jual sewa, pewarisan, tukar menukar, transaksi bagi hasil.
Hal-hal tersebut di atas selalu dihubungkan dengan hakikat tujuan penguasaan yaitu untuk kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh warga masyarakat, besama-sama atau perorangan. Dengan demikian maka hak ulayat tersebut:
a. Hanya dapat dimiliki oleh masyarakat hukum adat atau persekutuan hukum dan tidak boleh dimiliki perorangan.
b. Hak ulayat tidak dapat dilepaskan selama-lamanya. Apabila hak ulayat itu dilepaskan sementara, maka harus ada imbalan (pembayaran) kepada persekutuan hukum yang memiliki tanah tersebut.
3. Hak Ulayat Di dalam lingkungan hukum adat, tanah memegang peranan yang vital dalam kehidupan masyarakat hukum adat. Tanah bukan hanya merupakan tempat mempertahankan hidup, akan tetapi kepada tanah pulalah setiap orang menjadi terikat. Eratnya hubungan antara tanah dengan masyarakat hukum adat melahirkan hak-hak masyarakat atas tanah yang didasarkan pengolahan yang dilakukan secara terus menerus. Mengingat fakta di atas, maka persekutuan hukum dengan tanah yang didudukinya mempunyai hubungan magis-religius. Hubungan ini menyebabkan persekutuan hukum memperoleh hak untuk menguasai tanah tersebut, memanfaatkan tanah dan memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan serta binatang-binatang yang hidup di atasnya. Tanah-tanah yang dikuasai oleh Masyarakat Hukum Adat yang diperoleh berdasarkan hak-hak adat disebut tanah adat atau tanah ulayat. Hak ulayat ini dalam bentuk dasarnya adalah suatu hak dari persekutuan hukum atas tanah yang didiami sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh persekutuan hukum itu sendiri atau oleh kepala persekutuan atas nama persekutuan. Wilayah kekuasaan persekutuan itu adalah milik persekutuan yang pada dasarnya bersifat tetap, artinya perpindahan hak milik atas wilayah ini adalah tidak diperbolehkan (Wignjodipoero, 1985: 199). Gambaran yang jelas untuk mengetahui hak ulayat dapat dilihat pada ciri-cirinya. Menurut Van Vollenhoven ciri-ciri hak ulayat itu adalah sebagai berikut:
a. Persekutuan hukum itu tiap-tiap anggotanya mempunyai wewenang untuk dengan bebas mengerjakan tanah yang belukar, persekutuan hukumnya dengan membuka tanah untuk mendirikan tempat tinggal baru: anggota-anggota memerlukan tanah untuk ditanami sebagai ladang atau sawah dan sebagainya
b. Bukan anggota persekutuan hukum dalam mengerjakan tanah harus dengan izin persekutuan hukum, kalau dikerjakan tanpa izin maka ia menjalankan suatu pelanggaran (maling hutang).
c. Anggota-anggota persekutuan hukum dalam mengerjakan tanah ulayat itu mempunyai hak yang sama, tapi bukan anggota selalu diwajibkan membayar suatu retribusi (uang adat, sewa lunas, sewa hutang, bunga pasir dan lain-lain) ataupun menyampaikan suatu persembahan (ulutaon, pemohon).
d. Persekutuan sendiri sedikit banyak masih mempunyai campur tangan dalam hal tanah yang dibuka itu.
e. Persekutuan hukum bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi dalam ulayatnya.
Ter Haar, telah mengemukakan, berlakunya hak ulayat berarah dua, ke dalam menyangkut pengaturan hak dan kewajiban anggota masyarakat hukum adat, keluar merupakan pengaturan hak dan kewajiban orang luar dan hak untuk mempertahankan hak ulayatnya terhadap gangguan dari pihak luar. Substansi ini akan mempengaruhi daya berlakunya hak ulayat dengan hak perorangan atas tanah, karena itu jelas menuntut adanya fungsi pengaturan yang jelas dalam masyarakat hukum adat. Adanya hubungan yang saling berkaitan itu karena masyarakat hukum adat mempunyai tiga dimensi yaitu: masyarakat hukum adat sebagai totalitas, kesatuan publik dan badan hukum sebagai totalitas masyarakat hukum adat merupakan penjumlahan dari warga-warganya termasuk kepala adatnya (kepala persekutuannya). Kesatuan publik karena itu merupakan badan hukum yang mempunyai penguasa yang memiliki kewajiban untuk menertibkan dan mengambil tindakan tertentu terhadap warganya, sedangkan sebagai badan hukum ia diwakili oleh kepala suku/kaumnya. Jadi dapat dikemukakan adanya fungsi pengaturan tersebut di atas, berkenaan dengan berlakunya hak ke luar dan ke dalam. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) yang jiwa serta filosofinya berdasarkan hukum adat dan secara prinsip mengakui keberadaan hak ulayat, namun pengaturan materinya secara lebih lanjut tidak dirinci. Hal tersebut menimbulkan permasalahan-permasalahan akibat adanya perbedaan persepsi hukum baik antara masyarakat, khususnya masyarakat hukum adat dengan instansi pemerintah, lembaga-lembaga masyarakat, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Di masa lalu dimana kebijakan makro pemerintah lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi, sehingga mengakibatkan kepentingan rakyat/khususnya masyarakat hukum adat kurang diperhatikan bahkan tersingkir, dan hal tersebut banyak menimbulkan tuntutan gugatan dan pendudukan tanah yang telah dikuasai atau dimiliki oleh pihak ketiga/orang khususnya tanah di bawah pengelolaan instansi pemerintah, badan hukum swasta maupun badan hukum pemerintah.
Kedua, unsur hukum publik, yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan dan penguasaan tanah ulayat tersebut baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri maupun ekstern dengan orang-orang bukan warga masyarakat tersebut atau pihak orang luar. Yang dapat menjadi objek hak ulayat adalah warga masyarakat hukum adat itu sendiri yang dicirikan dengan adanya persekutuan hukum berdasar atas kesamaan tempat tinggal (territorial), yang dikenal dengan berbagai nama khas seperti Torluk di Ambon, Prabumian di Bali, Pertuanan di Batak Simalungun, Tatabuan di Bolangmangondowe Kawasan Indragiri, Wewekon di Jawa, Penyampeto di Kalimantan, Limpo di Sulawesi dan Hak Ulayat di Minangkabau. Sedangkan di Batak Karo untuk hak ulayat, istilahnya tidak terdapat keseragaman artinya berbeda dari satu desa ke desa yang lain. Akan tetapi untuk lebih memudahkan para pembaca lazimnya hak ulayat di Tanah Karo disebut dengan Tanah Kesain. Van Vollenhoven menyatakan: “Tanah ulayat itu adalah, suatu rangkaian dari suatu wewenang dan kewajiban-kewajiban suatu masyarakat hukum yang berhubungan dengan tanah termasuk dalam lingkungan wilayahnya” Van Vollenhoven, menggunakan istilah “beschikkingrecht” karena secara defacto persekutuan hukum mempunyai hak atas tanah yang didudukinya, hak atas pohon, tebat dan lain-lain, dalam suatu wilayah penguasaan (beschikkingrecht). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), dikatakan bahwa hak ulayat adalah hak yang dimiliki suatu masyarakat hukum adat untuk menguasai tanah beserta isinya di lingkungan wilayahnya. Hak ulayat menurut hukum adat ada di tangan suku/masyarakat hukum/desa. Berlakunya hak ulayat ini menurut sistimatika Ter Haar (1985: 71-72) adalah sebagai berikut:
1. Masyarakat hukum/anggotanya bersama-sama dapat mengambil manfaat atas tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan liar yang hidup di atasnya.
2. Masyarakat hukum/anggota suku, untuk keperluan sendiri berhak berburu, mengumpulkan hasil hutan yang kemudian dimiliki dengan hak milik bahkan berhak memiliki beberapa pohon yang tumbuh liar apabila pohon itu dipelihara olehnya.
3. Mereka mempunyai hak untuk membuka hutan dengan sepengetahuan kepala suku/masyarakat hukum. Pembukaan tanah dengan sepengetahuan kepala suku/masyarakat hukum/desa. Merupakan suatu perbuatan hukum yang mendapat perlindungan dalam masyarakat hukum itu. Hubungan hukum antara orang membuka tanah dengan tanah itu, makin lama makin kuat, apabila tanah tersebut terus menerus dipelihara/digarap dan akhirnya dapat menjadi hak milik si pembuka, sekalipun demikian hak ulayat masyarakat hukum tetap ada walaupun melemah. Apabila tanah yang dibuka itu tidak diurus atau diterlantarkan maka tanah akan kembali menjadi tanah masyarakat hukum. Lain dari itu transaksi-transaksi penting mengenai tanah harus dengan dukungan kepala suku/masyarakat hukum/desa.
4. Oleh masyarakat hukum sendiri dapat ditemukan bagian-bagian wilayah yang dapat digunakan untuk tempat permukiman, makam, pengembalaan umum, dan lain-lain.
5. Anggota suku lain (juga bertetangga) tidak boleh mengambil manfaat daerah hak ulayat, kecuali dengan seizin kepala suku/masyarakat hukum/desa, dan dengan memberi semacam hadiah kecil (uang pemasukan) terlebih dahulu. Izin yang diberikan kepada suku lain sifatnya sementara, misalnya untuk selama musim panen. Dalam prinsip anggota suku lain tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah tersebut.
6. Suku/masyarakat hukum yang mempunyai hak ulayat atas wilayah itu, misalnya apabila ada anggota suku bangsa lain ditemukan meninggal dunia atau dibunuh di wilayah tersebut, maka suku atau masyarakat hukum wilayah bersangkutan bertanggung jawab untuk mencari siapa pembunuhnya atau membayar denda.
Sifat istimewa hak ulayat terletak pada daya berlakunya secara timbal balik hak-hak itu terhadap orang lain. Karena pengelolaan tanah makin memperkuat hubungan perseorangan dengan sebidang tanah dan makin memperdalam hubungan seseorang, makin turutlah hak-hak masyarakat hukum terhadap sebidang tanah. Bila hubungan perorangan atas tanah itu berkurang atau bila hubungan itu diabaikan terus menerus, maka pulihlah hak masyarakat hukum atas tanah itu dan berlaku kembali hak ulayat.
B. Jenis-Jenis Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat Menurut Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim hak atas tanah adat dapat dibedakan atas:
1. Hak ulayat, yaitu hak atas tanah yang dipegang oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat secara bersama-sama. Dengan hak ini masyarakat hukum adat yang bersangkutan menguasai tanah tersebut secara menyeluruh atau bersama.
Adapun hak anggota masyarakat hukum adat atas tanah yang berujud hak ulayat itu pada dasarnya:
a. Hak meramu atau mengumpulkan hasil hutan yang ada di wilayahnya/wewenang masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
b. Hak untuk berburu dalam batas wilayah wewenang hukum masyarakat mereka.
Tetapi dalam konsekkuensinya hak ulayat yang bersifat komunal ini pada hakekatnya terdapat pula hak perorangan untuk menguasai sebagian dari objek penguasaan hak ulayat tersebut secara tertentu agar diketahui oleh para anggota lainnya dalam waktu tertentu pula. Contoh, ada seseorang anggota masyarakat secara pribadi berniat untuk mengambil manfaat dari tanah yang termasuk ke dalam tanah ulayat masyarakat yang bersangkutan untuk kepentingan sendiri, hal tersebut boleh dilakukan, meskipun tanah tersebut dan segala isinya menjadi hak bersama semua anggotanya. Untuk sementara waktu ia berhak mengolah serta menguasai tanah itu dengan mengambil hasilnya, tetapi hal ini bukan berarti bahwa hak ulayat atas tanah yang dikuasai oleh seseorang tadi menjadi terhapus karenanya, melainkan hak ulayat tetap melapisi atau mengatasi hak pribadi atau perseorangan tersebut. Hak ulayat baru pulih kembali bila orang yang bersangkutan telah melepaskan hak penguasaannya atas tanah ulayat tersebut.
Hak milik adat atas tanah adalah, suatu hak atas tanah yang dipegang oleh perseorangan atas sebidang tanah tertentu dalam wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak pakai adat atas tanah adalah, suatu hak atas tanah menurut hukum adat yang telah diberikan kepada seseorang tertentu untuk memakai sebidang tanah bagi kepentingannya, biasanya tanah yang dipakai dalam hukum adat dengan dasar hak pakai, dan biasanya terhadap tanah sawah ladang. Van Dijk (1982: 43) menyebutkan bahwa hak atas tanah adat dapat dibedakan atas:
1. Hak persekutuan atau hak pertuanan. Hak persekutuan/pertuanan atas tanah adat mempunyai akibat keluar dan kedalam. Hak persekutuan yang mempunyai akibat ke dalam antara lain:
a. Memperbolehkan kepada anggota persekutuan untuk menarik keuntungan dari tanah dan segala yang ada di atasnya.
b. Mendirikan tempat kediaman
c. Menggembalakan ternak dan berburu ternak.
Di sini dibatasi hak untuk menarik keuntungan dari tanah adat dan hanya diperbolehkan sekedar dipergunakan untuk keperluan hidup keluarga dan diri sendiri, jadi hak yang melampaui batas terhadap tanah adat tidak diakui sepanjang bertujuan untuk persediaan bagi usaha perdagangan. Hak persekutuan yang berakibat keluar ialah:
a. Larangan terhadap orang luar untuk menarik keuntungan dari tanah ulayat, kecuali setelah mendapat izin dan sesudah membayar uang pengakuan (recognitie).
b. Larangan pembatasan atau berbagai peraturan yang mengikat terhadap orang-orang untuk mendapatkan hak-hak perorangan atas tanah pertanian.
2. Hak perorangan atas tanah adat terdiri dari:
a. Hak milik adat (inland bezitrecht) adalah, hak perorangan atas tanah, di mana yang bersangkutan tenaga dan usahanya telah terus menerus ditanamnya pada tanah tersebut, sehingga kekuatannya semakin nyata dan diakui oleh anggota lainnya, dan kekuasaan kaum/persekutuan semakin menipis, dan kekuasaan perorangan semakin kuat.
Hak milik ini walaupun telah kokoh dan sempurna namun dapat dibatalkan kembali bila: 1. Tidak diusahakan terus menerus, sehingga telah hilang bekas-bekas atau tanda-tanda itu dan tanah itu kembali menjadi belukar. 2. Tidak ada yang berhak atas tanah, karena pemiliknya pergi meninggalkan tanah tersebut. 3. Tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan persekutuan hukum.
b. Hak memungut hasil tanah (genotrecht) ialah, suatu hak pribadi yang mempunyai kekuatan tertentu, yaitu tentang menikmati hasil tanah saja, sedangkan kekuasaan atas tanah yang berada pada persekutuan, hak ini mempunyai kekuatan sementara.
c. Hak menarik hasil ialah, suatu hak yang diperdapat dengan suatu persetujuan para pemimpin persekutuan dengan orang yang mengelola sebidang tanah untuk satu atau dua kali panen.
Hak menarik hasil ini juga berakhir apabila:
1. Tanah itu diolah lebih sempurna, sehingga dapat diperoleh hak milik atas tanah tersebut.
2. Habis waktunya, jika diberikan jangka waktu tertentu.
3. Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh persekutuan.
Dari penjelasan di atas jelaslah bagi kita bahwa jenis-jenis hak atas tanah adat didasarkan kepada hubungan antara anggota persekutuan dengan tanah dan hubungan itu tidak terlepas dari pengawasan persekutuan/masyarakat hukum adatnya.
a. Golongan Bangsawan (Sibanyak, Pengulu, Simantik Kuta/Simada Taneh atau Marga Tanah).
b. Ginemgem dan
c. Rakyat Derip
(Darwin Prinst, 1980: 2). Ad.a. Golongan Bangsawan yang terdiri dari Pengulu atau pendiri kampung (marga tanah) yang pada umumnya cukup kaya dan mempunyai tanah pertanian yang luas. Golongan inilah yang melaksanakan pemerintahan di daerahnya, serta memungut cukai perdagangan atau cukai tanah. Ad.b. Ginemgen ialah keluarga yang turut menempati suatu kampung, tapi bukan sebagai pendiri pertama dari kampung tersebut. Kedatangan golongan ini ke kampung tersebut diterima serta dilindungi oleh marga tanah. Biasanya mereka ini tidak membayar pajak ataupun ikut kerahan (kerja paksa) Ad.c. Rakyat Derip adalah golongan yang paling bawah dari masyarakat adat. Mereka ini datang dari luar namun diperkenankan tinggal di kampung itu, rakyat derip ini tidak mempunyai tanah pertanian sendiri, serta harus membayar pajak dan ikut dalam kerahen (kerja paksa). Begitulah hirarki masyarakat Karo pada zaman dahulu dimana pemerintahan dipegang oleh Sibanyak (raja) dan Penghulu secara turun temurun.
D. Kedudukan Tanah Adat
Sebelum lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria, maka di Indonesia pernah berlaku suatu undang-undang pertanahan yaitu hak-hak atas yang tunduk kepada hukum barat (BW) dan yang tunduk kepada hukum adat. Tanah-tanah yang tunduk kepada hukum adat tersebut menurut ketetapan Domein Verklaring milik Belanda tersebut masih tergolong pula kepada tanah negara yang tidak bebas. Ketentuan mengenai tanah tersebut dicantumkan dalam suatu undang-undang yang disebut dengan Agrarischewet dengan Stb. 1870 No. 55 yang mana sebagai asas pokoknya adalah domein negara. Dalam peraturan pelaksana undang-undang tersebut ditetapkan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan ada hak eigendom di atasnya, maka tanah tersebut merupakan domein negara (milik negara), sementara tanah yang dikuasai oleh rakyat pribumi (tanah adat) tidak pernah mendapat hak eigendom yang sah. Sesuai dengan asas domein negara tersebut, maka keadaan tanah di Indonesia saat itu ada kita kenal apa yang dinamakan dengan tanah domein negara yang bebas atau tanah domein negara yang tidak bebas.
a. Tanah domein negara bebas, yaitu tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh Pemerintah Belanda seperti: pelabuhan, pasar-pasar, tanah-tanah instansi dan lain sebagainya.
b. Tanah domein negara yang tidak bebas yaitu tanah-tanah yang tidak dikuasai langsung oleh Pemerintah Belanda, tetapi dipakai dengan sesuatu hak yang diberikan pemerintah dengan suatu perjanjian atau peraturan tetapi masih dianggap milik Belanda, seperti tanah yang didiami oleh penduduk Bumi Putera yang disebut dengan tanah adat.
Dilihat dari pembagian tanah tersebut di atas, maka jelaslah bahwa kedudukan tanah adat termasuk dalam domein negara yang tidak dalam arti tunduk kepada hukum adat. Jadi dari pernyataan domein tersebut menegaskan bahwa tanah negara ialah semua tanah yang seseorang itu tidak dapat membuktikan bahwa tanah tersebut adalah hak miliknya, sebaliknya tanah adat itu adalah tanah yang tidak tunduk kepada aturan-aturan “eigendom” (hak milik) atau dengan kata lain tanah adat adalah tanah yang tidak dimiliki oleh seseorang dengan hak “eigendom”. Di dalam Pasal 75 RR (lama) dikatakan bahwa para hakim dapat mempergunakan hukum adat sepanjang hukum adat itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar umum yang diakui tentang kepatutan dan keadilan. Dalam hal inipun ditonjolkan tentang berlakunya hukum adat, baru sesudah itu disebut pembatasannya. Pembatasan lain terdapat dalam ayat (6) Pasal 75 RRL yang mengatakan bahwa hukum adat boleh disingkirkan kalau masalah yang dihadapi itu tidak diatur dalam hukum adat. Demikian lemahnya kedudukan hak adat itu di mata hukum Belanda, sehingga hukum adat itu sering dikesampingkan. Dalam hal memutus suatu perkara tentang tanah, pengadilan Belanda sering menyatakan bahwa hukum adat tidak mengatur masalah tersebut oleh karena itu dipakailah hukum Eropa. Dengan demikian dualisme dalam hukum pertanahan yang kita kenal pada zaman Hindia Belanda tersebut tidak sama derajatnya dan yang lebih diakui adalah hak eigendom. Hal tersebut terbukti dari pernyataan politik yang tertuang dalam persyaratan domein tersebut yaitu bahwa segala tanah yang tidak dibuktikan dengan sesuatu hak eigendom adalah domein negara (milik negara). Jadi hal-hal atas tanah adat adalah berada dalam posisi yang sangat lemah sekali dan terlalu diarahkan kepada hak-hak yang mirip dengan hak eigendom BW. Pemerintah Hindia Belanda sama sekali tidak berusaha untuk mengembangkan hak adat itu menjadi suatu sistem hukum tanah adat, dalam arti kata bahwa pihak Belanda tetap menganak tirikan hak-hak tanah adat, sehingga dengan demikian hak-hak tanah adat tidak diakui begitu saja oleh pihak Belanda kecuali dimintakan oleh yang bersangkutan dengan sesuatu hak eigendom.
E. Sistem Pemilihan, Penggunaan Tanah Adat
Sebagaimanha diketahui bahwa marga tanah adalah sebagai pendiri desa yang pertama. Sebagai suatu kelompok masyarakat yang membutuhkan kelangsungan hidup sekaligus menjaga perkembangan serta pertumbuhan dari masyarakat persekutuan hukum tersebut, maka mereka tentu sangat memerlukan:
1. Sumber-sumber alami yang menyediakan atau memberikan bahan-bahan bagi kepentingan hidupnya, dimana tanah merupakan pengandung sumber-sumber tersebut, sehingga tanah sebagai tempat tinggal dan sebagai pengandung sumber-sumber tersebut merupakan wilayah territorial mereka (marga tanah) yang tidak boleh diganggu oleh pihak lain (pihak luar).
Di dalam kebudayaan yang tumbuh dan dikembangkan di dalam masyarakat tersebut terciptalah peraturan-peraturan mengenai hak-hak dan kewajiban dalam usaha memanfaatkan dan mendayagunakan tanah seperti:
a. Hak memungut hasil hutan
b. Diatur pula secara sedemikian rupa mengenai pemberian-pemberian kesempatan kepada anggota masyarakat untuk membuka hutan di lingkungan masyarakatnya
c. Hak menggembalakan ternak di kawasan hutan yang ada di bawah persekutuan hukum.
Norma ini merupakan norma yang sifatnya masih sederhana dan belum tertulis. Sejalan dengan perkembangan kebudayaan dari masyarakat itu, sifat yang sederhana tersebut makin lama makin disempurnakan, namun norma-norma tersebut masih bersifat longgar dimana pada waktu itu motivasinya adalah pemanfaatan tanah atau pendayagunaan tanah guna menjamin kelangsungan dan perkembangan hidup anggota masyarakat yang berada di bawah persekutuan hukum tersebut. Hak suatu persekutuan hukum atas tanah-tanah di sekitar lingkungannya dikenal dengan istilah hak ulayat yang merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan hukum (desa) untuk menjamin ketertiban pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Di tanah Karo tanah ulayat ini pada saat sekarang lazim disebut dengan tanah kesain. Tanah kesaian ini kekuasaan oleh masyarakat adat secara bersama-sama yang biasanya dipergunakan sebagai tempat penggembalaan ternak-ternak. Namun penguasaan akan tanah adat ini (tanah kesain) diawasi oleh marga tanah sebagai pendiri pertama dari desa itu. Hak ulayat tersebut menurut Van Vollenhoven seperti yang dikutip G. Kartasapoetra (1985: 89) mempunyai arti yang cukup luas karena memberikan bermacam-macam hak kepada warga persekutuannya secara terjamin dan terlindungi, yaitu:
a. Hak menggunakan tanah sebagai tempat tinggal (mendirikan rumah)
b. Melakukan bercocok tanam dan mengumpulkan hasil hutan
c. Menggembalakan ternak pada tanah-tanah tertentu.
mendapatkan lahan, maka di Tanah Karo untuk memiliki tanah bagi para pendatang ini, mereka mengawini atau ketemu jodoh dengan salah satu keluarga marga tanah atau turunannya, sehingga dengan posisi sebagai anak beru (menantu) dari marga tanah tersebut, maka akan ada kemungkinan ia dapat memiliki atau menggunakan tanah di desa tersebut. Bukan tidak ada kejadian bahwa, marga tanah di seseuatu desa karena memiliki tanah yang cukup luas, sehingga dalam mengurus tanah perladangan atau persawahan agak malaas. Sebaliknya para pendatang rajin bekerja, sehingga akhirnya tanah yang dikuasai para pendatang ini kadang-kadang lebih luas dari tanah yang dimiliki oleh golongan marga tanah itu sendiri. Bertitik tolak dari keterangan-keterangan di atas maka dapatlah kita ketahui bahwa penggunaan tanah ini diawasi oleh kepala persekutuan hukum, dimana masyarakat hukum atau para warganya boleh memanfaatkan secara bebas tanah-tanah belukar/hutan di dalam batas hak ulayat, masyarakat adat boleh memungut hasil hutan, berburu atau mengembala. Terhadap orang asing yang ingin menggunakan tanah adat harus dengan izin persekutuan hukum dengan membayar bunga tanah. Jika penggunaan hak pakai tersebut di atas tidak dipergunakan lagi oleh masyarakat adat, maka tanah itu kembali kepada desa dan pengulu desalah yang berhak untuk menentukan penggunaannya kembali.
F. Keberadaan Hak Masyarakat Adat / Ulayat Atas Tanah di Tanah Karo (Kabupaten Karo)
sampai saat ini masih diakui keberadaannya artinya masih dikuasai secara berkelompok. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 3 UUPA yang menentukan masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Di samping hak masyarakat adat/ulayat yang terdapat di Desa Sarinembah terdapat juga hak tersebut di atas di Kecamatan Mardinding di Desa Mbal-mbal Petarum yang dikenal dengan nama Mbal-mbal Nodi, Nodi artinya mbelang (bahasa Indonesia “yang sangat luas”) jadi Mbal-bal Nodi kalau diterjemahkan secara bebas adalah padang rumput yang sangat luas. Kawasan ini mulai dijadikan tempat perjalangen (lokasi pemeliharaan tanah) sekitar tahun 1921 (hasil wawancara dengan penduduk Desa Mbal-bal Petarum). Sampai saat ini masih dikuasai secara berkelompok oleh marga tanah dan di sana sini diperbaharui oleh masyarakat hukum adat namun sama sekali tidak menghilangkan sifat hak ulayatnya. Sebab pada dasarnya hak ulayat adalah bagian dari hukum adat itu sendiri. Di dalam Pasal 6 UUPA dijelaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan apabila tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan negara. Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan. Kepentingan umum dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat Indonesia (Pasal 2 ayat 3 UUPA). Berhubung dengan fungsi sosialnya, maka adalah sesuatu hal yang sewajarnya bahwa tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemilik atau pemegang hak yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pada dari setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah (Pasal 15 UUPA) dan dalam melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan kepentingan pihak ekonomis yang lemah. Sehubungan dengan uraian di atas maka pada tahun 1961, diadakanlah suatu musyawarah/mufakat oleh masyarakat Desa Mbal-mbal Petarum dan pengetua-pengetua adat, anak beru, kalimbubu serta senina dengan maksud untuk lebih memajukan perjalangen Mbal-mbal Nodi dan akhirnya dicapailah suatu kesepakatan yang antara lain: “Yang merupakan hak”:
- Setiap orang bebas untuk menggembalakan ternaknya ke Mbal-mbal Nodi.
- Setiap orang bebas untuk berburu ke Mbal-mbal Nodi
- Setiap orang bebas untuk mengambil hasil hutan, misalnya kayu, bambu dan lain-lain. (Dikatakan bebas sepanjang sudah mendapat izin dari pihak pengurus, pengelola Mbal-mbal Nodi).
“Yang merupakan kewajiban” Bagi penduduk desa (kewajiban kedalam): “Apabila seseorang ingin menggembalakan ternaknya, harus terlebih dahulu memberikan setoran wajib kepada pihak pengelola/pengurus sebesar Rp. 50.000 (lima puluh ribu rupiah) tanpa memperhitungkan jumlah ternak yang dimasukkan/digembalakan ke Mbal-mbal Nodi.” Bagi penduduk luar Desa (kewajiban keluar) “Apabila seseorang ingin menggembalakan/memasukkan ternaknya ke Mbal-mbal Nodi tersebut, terlebih dahulu melunasi kewajibannya kepada pihak pengelola/ pengurus sebesar Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) tanpa memperhitungkan jumlah ternak yang dimasukkan/digembalakan ke Mbal-mbal Nodi” Adapun hasil yang diperoleh dari Mbal-mbal Nodi tersebut sama seperti di Desa Sarinembah oleh pengurus pengelolanya disimpan di kas desa dan dipergunakan untuk keperluan:
- Perbaikan jalan desa
- Perbaikan jalan ke Mbal-mbal Nodi
- dan lain-lain.
Sebenarnya keberadaan hak masyarakat adat/hak ulayat di Desa yang lain juga ada. Artinya setiap desa pada dasarnya mempunai hak masyarakat adat (hak persekutuan) yang dapat dikelola secara bersama-sama oleh penduduk desa tersebut. Namun karena keterbatasan waktu, penulis hanya mengambil dua desa sebagai mewakili desa yang ada di Tanah Karo (Kabupaten Karo).
membawa konsekuensi bahwa hak ulayat (hak masyarakat adat) semakin hari semakin berkurang luasnya. Tanah ulayat yang diambil untuk kepentingan tertentu cukup banyak dan cara pengambilannya dinilai banyak kalangan mengabaikan peranan penguasa adat dan ketentuan hukum adat setempat. Sekarang keberadaan dari tanah ulayat dan peranan penguasa adat dalam mengatur tanah ulayat hanya kelihatan sebatas di dalam desa dan pada tanah-tanah di sekitar wilayah desa pada areal yang terbatas.
B. Saran
1. Hendaknya tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan apabila memungkinkan menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah. Sedangkan penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk tanah ulayat oleh perseorangan dan badan hukum dapat dilakukan oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak penguasaan menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku, yang apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftarkan sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria.
2. Hendaknya keberadaan masyarakat adat itu sendiri secara utuh pengaturannya, dan tidak dicampur aduk dengan orang-orang pendatang. Dengan demikian tercapai kepastian hukum
3. Perlu dijaga kewibawaan serta keberadaan pemimpin, sehingga memperkecil sengketa di antara para warga khususnya menyangkut tanah persekutuan.
4. Perlu kiranya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dirubah dan ditambah ketentuan yang mengikutsertakan pengetua adat dalam hal pendaftaran tanah ulayat.
5. Perlu juga kiranya diadakan unifikasi mengenai peristilahan hak masyarakat adat atas tanah di Tanah Karo sehingga tidak menyulitkan bagi orang luar (di luar suku Karo) memahaminya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Pradnya Paramita, Jakarta, 1988. Darwin Prinst, Pendidikan Kepemimpinan Pada Suku Karo, 1980. Hilman Hadikusuma, Hukum Ketatanegaraan Adat, Alumni, Bandung, 1981. Mahadi, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat RR 1854, cetakan kesatu, Alumni, Bandung, 1991. Purnadi Purbacaraka, Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hukum Agraria, Ghalia Indonesia, 1993. Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Sumur Batu, Bandung, 1985. Wignodipuro Berojo, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia, Haji Masagung, Jakarta, 1987. G. Kartasapoetra, Hukum Tanah Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1985.