BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah
bangsa yang besar, bangsa yang memiliki aneka ragam budaya.
Keanekaragaman budaya Indonesia itu tersebar di seluruh tanah air
bagaikan butir-butir permata yang tak ternilai harganya. Karena
kebudayaan daerah merupakan indentitas dari suatu suku bangsa dan
juga sebagai landasan pembangunan budaya nasional, maka selaku
warga yang cinta pada negara, selayaknyalah kita selalu berusaha
untuk melestarikan dan menjaga budaya bangsa kita. Tetapi
akhirakhir ini terlihat aoanya pergeseran nilai budaya akibat
adanya animo masyarakat yang menganggap segala sesuatu yang datang
dari luar lebih baik daripada yang ada dalam negeri. Hal itu
menyebabkan budaya luar itu dapat dengan mudah menggeser kedudukan
budaya daerah. Selain itu orang-orang tua yang ahli mengenai
adatistiadat sudah mulai langka dan buku-buku yang membicarakan
budaya daerah yang ada di seluruh Indonesia belum begitu banyak,
sehingga dikhawatirkan kebudayaan itu akan punah dan tidak dapat
dikenal lagi oleh generasi penerus. Agar kebudayaan itu tetap
dikenal oleh generasi penerus bangsa Indonesia, maka dilakukanlah
berbagai upaya pelestarian dan pemeliharaan budaya daerah, baik
oleh pemerintah maupun oleh orang-orang yang cinta akan budaya.1
Perkawinan menempati posisi yang penting dalam tata pergaulan
masyarakat Aceh. Perkawinan merupakan proses penting dalam
kehidupan seseorang. Bahkan, tak jarang masyarakat menganggap
perkawinan sebagai sesuatu yang sakral dalam hidupnya. Karena
itulah, adat-istiadat Aceh mengatur upacara perkawinan. Upacara
perkawinan adat Aceh bukan proses ritual belaka. Upacara adat
perkawinan Aceh mengandung berbagai makna filosofis.
1
(Intan, Tata Rias dan Perkawinan Adat Aceh, 1989)
1
Secara biologis, perkawinan merupakan upaya melegalkan aktivitas
seksual antara laki-laki dan perempuan sekaligus memperoleh
keturunan. Hampir semua kelompok adat di Aceh jarang membicarakan
motif biologis karena menganggapnya tabu. Meskipun motif tersebut
hidup dalam kesadaran masyarakat. Perkawinan akhirnya menyangkut
dua hal. Di satu pihak, norma adat dan agama melarang pergaulan
bebas antara laki-laki dan perempuan. Di pihak lain, norma adat
Aceh memberikan tekanan kepada orangtua untuk mengawinkan anaknya,
bila anaknya sudah sampai waktunya (kematangan seksual) yang dalam
bahasa Aceh disebut tro umu2Selain kebutuhan biologis perkawinan
juga berfungsi secara sosial. Pasangan yang baru saja menikah akan
hidup bersama dalam satu ikatan, dan ikatan tersebut diakui dan
sepakati oleh anggota-anggota masyarakat. Keluarga baru tersebut
dituntut untuk bekerja sama dengan keluarga saudara mereka, kadang
juga keluarga sanak kerabat mereka dalam mengasuh rumah tangga.
Sehubungan dengan dengan tugas yang di berikan oleh Dosen, tentang
tata cara pelaksanaan Perkawinan Aceh Adat.
2
(sanusi, 2008)
2
BAB II PERMASALAH
A. Bagaimana pelaksanaan perkawinan adat Aceh dari pihak
mempelai laki-laki ?? B. Bagaimana pelaksanaan perkawinan adat aceh
dari pihak mempelai perempuan ??
3
BAB III PEMBAHASAN A. Pihak Mempelai Laki - Laki
1. Peralatan dan Bahan-bahan Ada beberapa peralatan yang harus
disediakan dalam upacara perkawinan adat Aceh yang digunakan pada
waktu melamar, upacara menjelang peresmian perkawinan, dan upacara
peresmian perkawinan. Peralatan ini disediakan oleh kedua belah
pihak, yaitu pengantin laki-laki dan perempuan. Bahan dan peralatan
yang dibutuhkan, yaitu: A. Mas Kawin Mas kawin (jenamee) merupakan
sejumlah uang yang harus diserahkan pihak pengantin laki-laki
(linto baro) kepada pihak pengantin perempuan (dara baro) sesuai
ketentuan agama dan adat-istiadat. B. Uang Hangus Uang hangus yaitu
uang tanda ikat diserahkan oleh pihak laki-laki bersamaan dengan
penyerahan mas kawin. Jumlah uang ditetapkan secara musyawarah pada
saat linto baro melamar. C. Makanan, Pakaian, dan Perhiasan
Beberapa jenis makanan diperlukan pada waktu pelaksanaan upacara
mengantar tanda. Beberapa jenis makanan yang diperlukan dalam
upacara, misalnya ketan kuning, bolu, dodol, dan makanan untuk
jamuan pesta. Selain itu, peralatan yang harus dibutuhkan
seperangkat pakaian lengkap ditambah peralatan mandi, dan berbagai
perhiasan.
4
2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penentuan waktu upacara
peresmian perkawinan (resepsi) dilakukan oleh linto baro dan dara
baro melalui perantara. Penentuan waktu berdasarkan pada hari dan
bulan yang dianggap baik oleh masyarakat Aceh dan kemampuan ekonomi
kedua pihak. Biasanya upacara peresmian perkawinan dilaksanakan
setelah masa panen agar tidak membebani pihak-pihak yang
bersangkutan. Pesta perkawinan dilaksanakan di dua tempat, yaitu di
rumah orangtua linto baro dan orangtua dara baro. Namun, upacara
bersanding dua dilaksanakan di rumah mempelai perempuan3. 3.
Tahapan dan Proses Upacara Ada beberapa tahapan dalam upacara
perkawinan Aceh sejak persiapan hingga setelah perkawinan.
Tahapan-tahapan tersebut mempunyai tata cara masing-masing.
beberapa tahap perkawinan adat Aceh adalah: A. Persiapan Menuju
Perkawinan
Jak Keumalen Jak Keumalen artinya mencari calon istri/suami. Jak
Keumalen dilakukan melalui dua cara. Pertama, dilakukan langsung
oleh orangtua laki-laki; atau, kedua, dilakukan oleh utusan khusus.
Maksud Jak Keumalen ialah menjajaki kehidupan keluarga calon
pengantin. Biasanya beberapa orang dari pihak mempelai pria datang
bersilaturahmi sambil memperhatikan calon mempelai perempuan,
suasana rumah, dan perilaku keluarga tersebut.
3
(Intan, Tata Rias dan Perkawinan Adat Aceh, 1989)
5
Setelah kunjungan, keluarga calon mempelai pria bertanya kepada
pihak orangtua perempuan, apakah putrinya sudah mempunyai calon
suami. Bila sambutannya baik dan jawaban ya, tahapan selanjutnya
adalah Jak Ba Ranub. Jak Keumalen dilakukan karena pada silam
hubungan laki-laki dan perempuan adalah tabu. Selain peran orang
tua yang begitu dominan terhadap anak, termasuk urusan jodoh.
Jak Ba Ranub Setelah melewati tahap Jak Keumalen, berikutnya
adalah upacara Jak Ba Ranub atau upacara meminang calon pasangan.
Dalam acara ini, orangtua linto baro mengirim utusan untuk membawa
sirih, kue, dan lain-lain ke keluarga dara baro. Melalui utusan
tersebut, keluarga linto baro mengungkapkan maksud mereka pada dara
baro. Bila ia menerima, keluarga dara baro kemudian melakukan
musyawarah. Bila seluruh keluarga menyetujui, proses selanjutnya
adalah Jak Ba Tanda. Tapi, kalau ternyata keluarga dara baro tidak
setuju, keluarga dara baro akan menjawab dengan alasan dan cara
yang baik.
Jak Ba Tanda Jak Ba Tanda adalah upacara memperkuat tanda jadi.
Pihak calon pengantin laki-laki akan membawa sirih lengkap dengan
makanan kaleng, seperangkat pakaian yang disebut lapek tanda, dan
perhiasan emas. Barang-barang tersebut ditaruh dalam talam atau
dalong yang dihias sedemikian rupa. Di rumah dara baro, talam
tersebut dikosongkan kemudian diisi kue-kue sebagai balasan dari
keluarga dara baro. Pembahasan mas kawin (jeulamei), uang hangus
(peng angoh), rencana hari dan tanggal pernikahan, serta jumlah
undangan dan jumlah rombongan pihak pengantin laki-laki dilakukan
pada upacara ini.
6
B. Pihak Mempelai Perempuan
Persiapan dari pihak mempelai perempuan sendiri tidak banyak
karna pihak mempelai perempuan hanyalah menunggu dan melekukan
negosiasi mengenai berapa banyaknya Mahar Uang Hangus dan hal-hal
yang lain yang perlu Dibicarakan.4
4. Upacara Menjelang Perkawinan Sebelum pesta perkawinan
dilangsungkan, ada beberapa upacara yang
mendahuluinya, di antaranya:
Malam Peugaca Malam peugaca adalah malam menjelang upacara pesta
pernikahan (meukerejia). Pada malam peugaca inilah biasanya upacara
keselamatan (peusijuk) untuk kedua mempelai. Upacara ini biasanya
dilakukan di malam hari selama 3 hingga 7 hari. Busana yang
dikenakan calon pengantin perempuan tidak ditentukan. Upacara
keselamatan pada malam peugaca disebut peusijuk gaca. Upacara ini
dipimpin oleh sesepuh adat (nek maja), dan dimulai oleh ibu calon
pengantin perempuan, kemudian dilanjutkan keluarga terdekat.
Upacara ini
dilaksanakan pagi hari, dengan harapan agar kehidupan kedua
mempelai kelak terus meningkat dan mudah mendapatkan rezeki. Selain
itu, makna dari upacara peusijuk adalah bentuk permohonan kepada
Allah agar kedua mempelai hidup bahagia di dunia dan akhirat5.
4 5
(Intan, Tata Rias dan Perkawinan Adat Aceh, 1989) (Jurnal,
2010)
7
Memotong atau Meratakan Gigi (Koh Gilo) Saat ini upacara Koh
Gilo sudah jarang dilakukan sebab kesadaran masyarakat akan bahaya
pengikiran gigi semakin meningkat. Pada zaman dahulu, menjelang
pernikahan gigi calon pengantin wanita harus diratakan dengan alat
pengikir gigi. Upacara ini dilaksanakan setidaknya 7 hari sebelum
upacara pesta perkawinan dilaksanakan. Menurut penilaian orang
zaman dulu, pemotongan gigi ini akan membuat kesan lebih cantik
pada calon pengantin perempuan. Selain itu, sebagai tanda bahwa
perempuan itu sudah bersuami.
Memotong Rambut Halus Bagian Dahi (Koh Andam) Koh Andam adalah
upacara memotong bulu-bulu halus di bagian wajah dan kuduk dara
baro agar kelihatan lebih bersih. Upacara ini mengandung makna
menghilangkan hal-hal yang kurang baik pada masa lalu dan
menggantikannya dengan hal-hal yang baik pada masa yang akan
datang. Upacara Koh Andam dilakukan ketika perempuan dara baro
dalam keadaan suci (sedang tidak haid). Bulu dan rambut yang telah
dicukur tadi dimasukkan ke dalam kelapa gading atau kelapa hijau
yang diukir dan masih ada airnya. Kelapa ukiran yang berisi rambut
tadi ditanam di bawah pohon rindang. Ini mengandung harapan agar
mempelai perempuan selalu tegar dan berpikiran tenang ketika
menghadapi masalah.6
Upacara Peumano Peumano Dara Baro artinya memandikan calon
mempelai perempuan. Sebelum masuk pada Upacara peumano, biasanya
juga dilakukan peusijuk.
6
(Munthasir, 2008)
8
Upacara peumano mengandung makna bahwa calon dara baro sudah
dirawat agar badannya bersih dan kulitnya halus. Namun, upacara ini
bukan hanya untuk mempelai perempuan saja. Calon pengantin
laki-laki juga menjalani Upacara peumano. Calon mempelai, baik
perempuan maupun laki-laki, dimandikan oleh orangtua mereka, tetua
adat yang taat, dan beberapa keluarga terdekat. Jumlah mereka harus
ganjil. Selama upacara, calon pengantin dibacakan doadoa agar
menjelang perkawinan mereka dalam keadaan suci lahir dan batin.
Dalam upacara itu, mempelai dipayungi dan diarak menuju pemandian.
Para pengiring membaca shalawat dan kadang-kadang diselingi
lantunan syair. Syair tersebut merupakan sanjungan kepada keluarga
atau nasihat bagi mempelai.
Upacara Peumano Sumber: Cut Intan Elly Arby, 1989. Tata Rias dan
Upacara Perkawinan Aceh. Jakarta: Yayasan Meukuta Alam, Himpunan
Ahli Rias Pengantin Indonesia Melati dan Yayasan Insani., p.
15A.
9
Pada zaman dulu, Upacara Peumano mempunyai makna yang sakral,
sehingga upacara itu dilaksanakan dengan khidmat. Pada saat itu,
upacara ini hanya dilakukan oleh kaum bangsawan, dan hanya diikuti
oleh keluarga terdekat. Tata cara pelaksanaan upacara ini berbeda
antara daerah satu dengan daerah yang lain. Perkembangan tersebut
terlihat misalnya pada penambahan tarian dari daerah Aceh Barat,
yaitu tarian Pho. Di atas telah disinggung mengenai syair yang
dibawakan pada waktu Upacara Peumano. Berikut adalah contoh syair
yang dilantunkan pada waktu upacara itu: Treun tajak manoe Dara
Baro treun Oh lheuh manoe Lakee seu naleu Iya nyang la en Seunalen
manoe Wahe putroe aneuk metuah Gata lon seurah Ta tinggai po ma
Meunyo tajak Bek tuwor kamo Trep-trep beutawo Tajingeuk po ma
Artinya:
10
Turunlah kita mandi Mempelai putri turunlah Kita pergi mandi
Sesudah mandi Minta salinan Kain yang lain Salinan mandi Wahai
putri Ananda yang beruntung Dikau kuserahkan Meninggalkan Bunda
Kalau pergi Jangan lupakan kami Sekali-kali pulanglah Melihat
Bunda
Khatam Quran Upacara ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa
perempuan calon pengantin adalah orang yang shalihah. Upacara
Khatam Quan ini menjadi bukti betapa kuat agama Islam mewarnai
kebudayaan Aceh. Bagi masyarakat Aceh, agama merupakan faktor
penting dalam jodoh dan perkawinan. Upacara ini dipimpin oleh
seorang guru ngaji setempat. Pelaksanaan upacara diawali dengan
pembacaan doa-doa keselamatan. Sebelum membaca ayat terakhir dalam
Quran, pengantin perempuan disuapi ketan dan tumpo yang telah
tersedia. Setelah upacara selesai, calon dara baro menyalami dan
mengucapkan terima kasih serta meminta maaf atas kesalahan yang ia
lakukan. Pada kesempatan itu, ia juga meminta restu kepada guru
ngajinya.
11
Setelah semua proses upacara dengan guru ngaji selesai,
dilanjutkan Upacara Khatan Quran di hadapan orangtua dan keluarga
terdekat. Calon pengantin perempuan didampingi sang guru ngaji.
Setelah acara selesai, keluarga akan menyerahkan telur, bereteh,
beras, padi, dan uang sekadarnya kepada guru ngaji. Ini merupakan
wujud terima kasih dari calon mempelai atas ilmu yang telah
diberikan oleh guru ngaji. C. Pelaksanaan Perkawinan Setelah
berbagai upacara menjelang perkawinan selesai, pasangan pengantin
akan memasuki acara inti perkawinan yang disebut wo linto. Inilah
puncak acara yang dinanti-nantikan. Ini adalah upacara mengantarkan
linto baro ke rumah orangtua dara baro. Pada saat pelaksanaan
upacara ini, dara baro sudah siap dengan pakaian pengantin.Mempelai
perempuan dibimbing oleh dua pendamping di kanan dan kiri yang
disebut peunganjo. Ketiganya berjalan menghadap kedua orangtua
untuk sungkem (semah ureung chik), kemudian peunganjo membimbing
dara baro ke pelaminan untuk menunggu kedatangan linto baro dan
rombongan. Linto baro melakukan hal yang sama dengan dara baro.
Setelah memakai busana pengantin, ia akan melakukan sungkem kepada
kedua orangtuanya untuk meminta doa restu. Setelah melakukan
sungkem linto baro berangkat ke rumah dara baro bersama rombongan
pengantar mempelai pria (peutren linto). Selama perjalanan menuju
rumah dara baro, rombongan melantunkan shalawat. Pihak keluarga
dara baro akan menjemput iring-iringan pengantin pria kira-kira 500
meter dari rumah dara baro. Setelah kedua mempelai dan rombongannya
bertemu, pihak linto baro dan dara baro akan berbalas pantun
(seumapa). Jika pihak linto baro kalah dalam berbalas pantun
tersebut, maka acara tidak dapat dilanjutkan. Tapi, kalau pihak
linto baro menang, maka dilanjutkan dengan upacara tukar-menukar
sirih oleh kedua orangtua dari pihak pengantin laki-laki dan
perempuan.
12
Setelah memasuki pintu gerbang, linto baro diserahkan kepada
orang tua adat dari pihak dara baro. Mempelai laki-laki dipayungi
oleh satu atau dua pemuda dari pihak dara baro dan mereka akan
beriringan menuju rumah dara baro. Sebelum masuk rumah, linto baro
dibimbing pendamping (peunganjo) untuk membasuh kaki. Hal ini
bermakna, untuk memasuki jenjang rumah tangga harus suci lahir dan
batin. Sementara dara baro sudah duduk menanti di pelaminan. Ia
kemudian dibimbing seorang ibu pendamping (peunganjo) untuk
menyambut linto baro dan melakukan sungkem kepada mempelai pria.
Ini merupakan tanda hormat dan pengabdian. Linto baro menerima
sambutan dara baro dengan penuh kasih sayang, lalu menggenggam
tangan dara baro sambil menyelipkan amplop yang berisi uang yang
melambangkan tanggung jawab untuk menafkahi sang istri.
Pasangan pengantin meminta doa restu kepada orangtua Sumber
foto: Cut Intan Elly Arby, 1989. Tata Rias dan Upacara Perkawinan
Aceh. Jakarta: Yayasan Meukuta Alam, Himpunan Ahli Rias Pengantin
Indonesia Melati dan Yayasan Insani., p. 27A.
13
Setelah itu, kedua mempelai disandingkan sebentar di pelaminan
sebelum dibimbing menuju suatu tempat khusus untuk bersujud kepada
kedua orangtua mempelai. Prosesi dimulai dari dara baro bersujud
kepada orangtua kemudian kepada kedua mertua. Linto baro mengikuti
apa yang dilakukan mempelai wanita. Lalu mereka dibimbing ke
pelaminan untuk di-peusijuek oleh keluarga. Mulai dari keluarga
linto baro yang memberikan uang dan barang berharga lainnya. Begitu
juga sebaliknya. Jumlah anggota keluarga yang melakukan peusijuek
tidak boleh genap. Setelah pelaksanaan upacara selesai, linto baro
langsung pulang ke rumahnya. Setelah hari ke tiga atau ke tujuh
barulah linto baro diantar kembali ke rumah dara baro untuk
melaksanakan upacara hari ketiga (peulhe) atau ketujuh (peutujoh).
Upacara ini diawali dengan penanaman bibit kelapa yang dilakukan
oleh woe linto bersama dara baro. Selanjutnya, linto baro melakukan
sujud kepada mertua dan diberi pakaian ganti, cincin emas, dan
lain-lain. Pihak woe into juga membawa beberapa perangkat untuk
dara baro yang berupa makanan kaleng, kopi, teh, susu, dan berbagai
perlengkapan dapur yang lain. Selain itu, juga membawa beberapa
bibit tanaman seperti bibit kelapa, bibit tebu, dan sebagainya
sesuai kemampuan keluarga wo linto. D. Upacara Setelah Perkawinan
Setelah perkawinan masih ada serangkaian upacara, yaitu Tueng Dara
Baro. Upacara Tueng Dara Baro merupakan upacara untuk mengundang
dara baro beserta rombongannya ke rumah mertua. Upacara ini
dilaksanakan pada tujuh hari setelah upacara wo linto. Pada waktu
upacara ini, dara baro diarak menuju rumah pengantin laki-laki
dengan didampingi dua pengunganjo. Rombongan pengantin perempuan
ini juga membawa makanan dan kue-kue. Cara penyambutan upacara ini
hampir sama dengan upacara wo linto, tapi tanpa prosesi berbalas
pantun dan cuci kaki.
14
Sampai di pintu masuk, rombongan akan disambut keluarga
laki-laki. Orangtua kedua belah pihak kemudian melakukan
tukar-menukar sirih. Di pintu masuk rumah, rombongan ditaburi beras
(breuh padi), bunga rampai, dan daun-daun sebagai tepung tawar (on
seunijuk). Setelah dara baro duduk di tempat yang telah disediakan,
ibu linto baro melakukan tepung tawar yang dilanjutkan dara baro
bersujud kepada orangtua linto baro. Orangtua linto baro kemudian
menyerahkan perhiasan yang ditaruh di dalam air kembang dalam suatu
wadah khusus. Pada upacara ini, dara baro menginap di rumah
orangtua linto baro selama tujuh hari dengan ditemani oleh satu
atau dua peunganjo. Tujuh hari kemudian, barulah dara baro diantar
pulang. Dara baro juga dibekali dengan beberapa perangkat pakaian,
bahan makanan, dan uang. Di rumah orangtua dara baro rombongan
disambut dengan upacara jamuan makan bersama yang menandai
berakhirnya seluruh rangkaian upacara.
Upacara Tueng Dara Baro Sumber foto: Cut Intan Elly Arby, 1989.
Tata Rias dan Upacara Perkawinan Aceh. Jakarta: Yayasan Meukuta
Alam, Himpunan Ahli Rias Pengantin Indonesia Melati dan Yayasan
Insani., p. 18A.
15
5. Nilai-nilai Upacara perkawinan yang digelar oleh masyarakat
Aceh mengandung berbagai nilai yang baik untuk dilestarikan.
Beberapa nilai yang terkandung dalam upacara adat tersebut adalah:
A. Nilai Tradisi Upacara adat yang dilaksanakan dalam perkawinan
bagi masyarakat Aceh merupakan salah satu bentuk pelestarian
tradisi. Rangkaian upacara tersebut mengandung simbol dan makna
tertentu yang mewakili cara mereka memandang dunia dan kehidupan di
dalamnya. Sebagian orang, terutama yang bukan bagian dari budaya
itu, mungkin akan beranggapan bahwa rangkaian upacara adat di Aceh
rumit dan panjang. Namun, tentu saja, tidak begitu menurut
masyarakat penganut kebudayaan itu. B. Nilai Religi Pengaruh Islam
pada kebudayaan Aceh sangat kuat. Hal ini tercermin dalam pandangan
dan perilaku dalam kehidupan. Perkawinan merupakan salah satu
ajaran dalam Islam. Sehingga melaksanakannya adalah ibadah.
Implementasi nilai-nilai ajaran agama dalam membangun keluarga yang
baik (sakinah) dapat dilakukan melalui perkawinan. Selain itu,
perkawinan juga menjadi sarana untuk
mengimplementasikan nilai Islam dalam membina hubungan
antarsanak kerabat. C. Nilai Sosial Perkawinan mengandung fungsi
sosial, yaitu sebagai suatu cara di mana ikatan antara laki-laki
dan perempuan diakui oleh masyarakat. Selain itu, salah satu tujuan
perkawinan bagi masyarakat Aceh adalah untuk memperluas kaum
kerabat dan mempererat hubungan yang sudah ada. Di beberapa daerah
tujuan ini berbeda-beda.
16
Di Aceh Tamiang tujuan perkawinan adalah untuk memperluas sistem
perkauman yang disebut suku sakat kaum biak, sedangkan bagi
masyarakat Gayo tujuan perkawinan adalah untuk memperkuat sistem
kemargaan yang disebut belah atau merge.7
7
(Intan, Tata Rias dan Perkawinan Adat Aceh, 1989) (Dewi,
2007)
17
BAB IV
KESIMPULAN Pelaksanaan perkawinan dalam adat Aceh ( Kabupaten
Aceh Selatan ) pihak mempelai laki-laki lebih banyak persiapan di
dalam rangka untuk menetukan pilihan sehingga makna dari perkawinan
itu sendiri di dapatkan yaitu mebentuk keluarga sakinan, mawadhah
dan warahmah. Dalam perkawinan tersebut juga bagaimana seorang
pihak mempelai laki-laki menjalankan dan menjadi pemimpin dalam
rumah tangga dan bertanggung jawab terhadap apa yang telah menjadi
pilihan dalam berumah tangga sepenuhnya . Pihak mempelai perempuan
dalam melangsungkan pernikahan cendung mengikuti apa yag telah
menjadi sebuah kesepakatan yang telah di tentukan sebelum
berlangsungnya perkawinan. Untuk seterusnya mempelai perempuan akan
di hadapkan kepada sebuah tanggung jawab bagaimana mengurusi rumah
tangga yang baik sehingga si mempelai laki-laki tetap terasa tenang
dalam mengerungi bahtera rumah tangga yang telah mereka bentuk.
18
SARAN Setiap bangsa harus melestarikan budaya yang telah
diwarisi oleh para pendahulu mereka yang merupakan ciri-ciri suatu
Bangsa yang harus di pertahankan oleh generasi muda yang ada pada
saat sekarang sehingga budaya yang telah diwarisi tetap terjaga dan
tertata rapi . Bagi setiap generasi yang mengalami moderenisasi
dalam hal budaya, sosial, dan ilmu pengetahuan maka harus
menciptakan sistem yang melestarikan buadaya, adat yang telah di
wariskan supaya adat istiadat tetap menjadi hal yang harus di
pertahankan walaupun mengalami moderenisasi akan budaya tersebut
sehingga genarasi-generasi bangga akan budaya yang mereka
miliki.
19
DAFTRA PUSTAKA
Intan, Cut.1098. Tata Rias & Upacara Perkawinan Adat Aceh.
Banda Aceh: Yayasan Meuketa Alam. Muthasir, Azhar, Dkk. 2008. Adat
Perkawinan Etnis Alas. Banda Aceh : Pemerintah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam Dinas Kebudayaan dan Parawisata. Dewi, Ernita.
2007. Perempuan Aceh di Depan Hukum Setelah Konflik dan Stunami
Berlalu. Banda Aceh: IDLO & UNDP. Fattah, Sanusi. 2008. Ilmu
Pengetahuan Sosial. Jakarta: C.V. Teguh Karya. Undangan, Pro. 2010.
Undangan Pro. 2: 11
20