TUGAS MATA KULIAH EPIDEMIOLOGI KESEHATAN SURVEILANS KESEHATAN IBU DAN ANAK “KEMATIAN BAYI DI PUSKESMAS KERTEK II WONOSOBO” Dosen Pengampu : TUTI SUKINI , S.SiT ,M.Kes Dibuat Oleh : HELMI ROHYANI NIM : P.174.24.513.008 POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
TUGAS MATA KULIAHEPIDEMIOLOGI KESEHATAN
SURVEILANS KESEHATAN IBU DAN ANAK“KEMATIAN BAYI DI PUSKESMAS
KERTEK II WONOSOBO”
Dosen Pengampu : TUTI SUKINI , S.SiT ,M.Kes
Dibuat Oleh :
HELMI ROHYANI
NIM : P.174.24.513.008
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG
PROGRAM STUDI DIV KEBIDANAN KOMUNITAS MAGELANG
KELAS WONOSOBO
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kondisi derajat kesehatan masyarakat Indonesia saat ini masih memprihatinkan , antara lain ditandai
dengan masih tingginya Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Ibu. Angka Kematian Bayi merupakan salah satu
indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat kemajuan kesehatan suatu Negara. Millenium Development
Goals (MDG’s) atau tujuan pembangunan millennium adalah upaya untuk memenuhi hak-hak dasar kebutuhan
manusia melalui komitmen bersama antara 189 negara anggota PBB untuk melaksanakan 8 (delapan) tujuan
pembangunan, yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk semua,
mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan
kesehatan ibu, memerangi penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, kelestarian lingkungan
hidup, serta membangun kemitraan global dalam pembangunan.
Dalam kesepakatan Negara-negara dunia yang tertuang dalam Millenium Development Goals (MDGs)
tujuan ke-4 adalah Menurunkan Angka Kematian Anak, targetnya adalah menurunkan angka kematian anak sebesar
dua pertiganya antara tahun 1990-2015. Sebagai salah satu anggota PBB, Indonesia memiliki dan ikut
melaksanakan komitmen tersebut dalam upaya untuk mensejahterakan masyarakat. Indonesia menargetkan pada
tahun 2015 Angka Kematian Bayi ( AKB ) turun menjadi 17 bayi per 1000 kelahiran. Jawa Tengah sebagai bagian
dari negara kesatuan Republik Indonesia juga ikut serta mendukung komitmen pemerintah tersebut ,dengan
melaksanakan program dan kegiatan yang bertujuan untuk mencapai target MDG’s.
Berdasarkan SDKI telah terjadi penurunan AKB secara signifikan selama 4 tahun survei dari 66 per 1000
kelahiran hidup pada tahun1994 menjadi 39 per 1000 kelahiran pada tahun 2007. Sedangkan di Jawa Tengah
berdasarkan SDKI terjadi penurunan AKB dari periode 2003 sebesar 36 menjadi 26 per 1000 kelahiran .
Menurut Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011, Angka Kematian Bayi di Provinsi Jawa
Tengah 10,34 per 1000 kelahiran dan AKB di Kabupaten Wonosobo 13,23 per 1000 kelahiran. Kesehatan bayi
menjadi hal yang sangat penting karena akan menentukan apakah generasi kita yang akan datang dalam keadaan
sehat dan berkualitas. Upaya untuk meningkatkan kesehatan bayi menjadi sangat strategis bagi upaya
pembangunan Sumber Daya Manusia yang berkualitas. Oleh karena itu penulis tertarik mengangkat Kematian Bayi
di Puskesmas Kertek II Wonosobo sebagai Tugas Mata Kuliah Epidemiologi Kesehatan.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. SURVEILANS
1. PENGERTIAN
Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis, dan analisis data secara terus menerus
dan sistematis yang kemudian didiseminasikan (disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam
pencegahan penyakit dan masalah kesehatan lainnya (DCP2, 2008).
Surveilans memantau terus-menerus kejadian dan kecenderungan penyakit, mendeteksi dan memprediksi
outbreak pada populasi, mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit, seperti perubahan-
perubahan biologis pada agen, vektor, dan reservoir. Selanjutnya surveilans menghubungkan informasi tersebut
kepada pembuat keputusan agar dapat dilakukan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian penyakit (Last,
2001). Kadang digunakan istilah surveilans epidemiologi. Surveilans memungkinkan pengambil keputusan untuk
memimpin dan mengelola dengan efektif. Surveilans kesehatan masyarakat memberikan informasi kewaspadaan
dini bagi pengambil keputusan dan manajer tentang masalah-masalah kesehatan yang perlu diperhatikan pada
suatu populasi. Surveilans kesehatan masyarakat merupakan instrumen penting untuk mencegah outbreak penyakit
dan mengembangkan respons segera ketika penyakit mulai menyebar. Informasi dari surveilans juga penting bagi
kementerian kesehatan, kementerian keuangan, dan donor, untuk memonitor sejauh mana populasi telah terlayani
dengan baik (DCP2, 2008).
2. TUJUAN SURVEILANS
Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan populasi,sehingga
penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat dilakukan respons pelayanankesehatan dengan lebih efektif.
Tujuan khusus surveilans:
a. Memonitor kecenderungan (tren) penyakit;
b. Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini outbreak;
c. Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease burden) pada populasi;
d. Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan, implementasi, monitoring,dan
evaluasi program kesehatan;
e. Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan;
f. Mengidentifikasi kebutuhan riset (Last, 2001; Giesecke, 2002; JHU, 2002).
3. JENIS SURVEILANS
a. Surveilans Individu
Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor individu-individu yang mengalami
kontak dengan penyakit serius, misalnya pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis. Surveilans
individu memungkinkan dilakukannya isolasi institusional segera terhadap kontak, sehingga penyakit yang
dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh, karantina merupakan isolasi institusional yang membatasi
gerak dan aktivitas orang-orang atau binatang yang sehat tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit
menular selama periode menular. Tujuan karantina adalah mencegah transmisi penyakit selama masa
inkubasi seandainya terjadi infeksi (Last, 2001). Isolasi institusional pernah digunakan kembali ketika timbul
AIDS 1980an dan SARS. Dikenal dua jenis karantina:
Karantina total : Karantina total membatasi kebebasan gerak semua orang yang terpapar penyakit
menular selama masa inkubasi, untuk mencegah kontak dengan orang yang tak terpapar.
Karantina parsial : Karantina parsial membatasi kebebasan gerak kontak secara selektif,
berdasarkan perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat bahaya transmisi penyakit. Contoh, anak
sekolah diliburkan untuk mencegah penularan penyakit campak, sedang orang dewasa
diperkenankan terus bekerja. Satuan tentara yang ditugaskan pada pos tertentu dicutikan, sedang
di pos-pos lainnya tetap bekerja.
b. Surveilans Penyakit
Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus terhadap
distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui pengumpulan sistematis, konsolidasi,
evaluasi terhadap laporan-laporan penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Jadi fokus
perhatian surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu. Di banyak negara, pendekatan
surveilans penyakit biasanya didukung melalui program vertikal (pusat-daerah). Contoh, program
surveilans tuberkulosis dan program surveilans malaria. Beberapa dari system surveilans vertikal
dapat berfungsi efektif, tetapi tidak sedikit yang tidak terpelihara dengan baik dan akhirnya kolaps,
karena pemerintah kekurangan biaya. Banyak program surveilans penyakit vertikal yang
berlangsung paralel antara satu penyakit dengan penyakit lainnya, menggunakan fungsi
penunjang masing-masing, mengeluarkan biaya untuk sumber daya masing-masing, dan
memberikan informasi duplikatif, sehingga mengakibatkan inefisiensi.
c. Surveilans Sindromik
Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus
terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing-masing penyakit. Surveilans
sindromik mengandalkan deteksi indikator-indikator kesehatan individual maupun populasi yang
bisa diamati sebelum konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-indikator
individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang dapat
ditelusuri dari aneka sumber, sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.
Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional, maupun nasional. sindromik
berskala nasional terhadap penyakit-penyakit yang mirip influenza (flu-like illnesses Sebagai
contoh, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menerapkan kegiatan surveilans)
berdasarkan laporan berkala praktik dokter di AS. Dalam surveilans tersebut, para dokter yang
berpartisipasi melakukan skrining pasien berdasarkan definisi kasus sederhana (demam dan batuk
atau sakit tenggorok) dan membuat laporan mingguan tentang jumlah kasus, jumlah kunjungan
menurut kelompok umur dan jenis kelamin, dan jumlah total kasus yang teramati. Surveilans
tersebut berguna untuk memonitor aneka penyakit yang menyerupai influenza, termasuk
fluburung, dan antraks, sehingga dapat memberikan peringatan dini dan dapat digunakan sebagai
instrumen untuk memonitor krisis yang tengah berlangsung (Mandl et al., 2004; Sloan et al., 2006).
d. Surveilans Berbasis Laboratorium.
Surveilans berbasis laboratorium digunakan untuk mendeteksi dan memonitor penyakit infeksi.
Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui makanan seperti salmonellosis,
penggunaan sebuah laboratorium sentral untuk mendeteksi strain bakteri tertentu memungkinkan
deteksi outbreak penyakit dengan lebih segera dan lengkap daripada sistem yang mengandalkan
pelaporan sindroma dari klinik-klinik (DCP2, 2008).
e. Surveilans Terpadu
Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua kegiatan surveilans
disuatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/ kota) sebagai sebuah pelayanan publik
bersama. Surveilans terpadu menggunakan struktur, proses, dan personalia yang sama,
melakukan fungsi mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit.
Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan perbedaan kebutuhan data
khusus penyakit-penyakit tertentu (WHO, 2001, 2002; Sloan et al., 2006). Karakteristik pendekatan
surveilans terpadu:
Memandang surveilans sebagai pelayanan bersama (common services);
Menggunakan pendekatan solusi majemuk;
Menggunakan pendekatan fungsional, bukan struktural;
Melakukan sinergi antara fungsi inti surveilans (yakni, pengumpulan, pelaporan, analisis data,
tanggapan) dan fungsi pendukung surveilans (yakni, pelatihan dan supervisi, penguatan
laboratorium, komunikasi, manajemen sumber daya);
Mendekatkan fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit. Meskipun menggunakan
pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap memandang penyakit yang berbeda memiliki
kebutuhan surveilans yang berbeda (WHO, 2002).
f. Surveilans Kesehatan Masyarakat Global
Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi manusia dan binatang serta
organisme, memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas negara. Konsekunsinya, masalah-
masalah yang dihadapi negara-negara berkembang dan negara maju di dunia makin serupa dan
bergayut. Timbulnya epidemi global (pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya jejaring
yang terpadu di seluruh dunia, yang manyatukan para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah, dan
organisasi internasional untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi
batas-batas negara. Ancaman aneka penyakit menular merebak pada skala global, baik penyakit-
penyakit lama yang muncul kembali (re-emerging diseases), maupun penyakit-penyakit yang baru
muncul (new emerging diseases), seperti HIV/AIDS, flu burung, dan SARS. Agenda surveilans
global yang komprehensif melibatkan aktor-aktor baru, termasuk pemangku kepentingan
pertahanan keamanan dan ekonomi (Calain, 2006; DCP2, 2008).
4. MANAJEMEN SURVEILANS
Surveilans mencakup dua fungsi manajemen:
a. Fungsi inti : Fungsi inti (core activities) mencakup kegiatan surveilans dan langkah-langkah intervensi
kesehatan masyarakat. Kegiatan surveilans mencakup deteksi, pencatatan, pelaporan data, analisis
data,konfirmasi epidemiologis maupun laboratoris, umpan-balik (feedback). Langkah intervensi kesehatan
masyarakat mencakup respons segera (epidemic type response) dan respons terencana (management
type response).
b. Fungsi pendukung : Fungsi pendukung (support activities) mencakup pelatihan, supervise , penyediaan
sumber daya manusia dan laboratorium, manajemen sumber daya, dan komunikasi . (WHO, 2001; McNabb
et al., 2002).
5. PENDEKATAN SURVEILANS
Pendekatan surveilans dapat dibagi menjadi dua jenis:
a. Surveilans pasif : Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan data penyakit
yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan. Kelebihan
surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk dilakukan. Negara-negara anggota WHO
diwajibkan melaporkan sejumlah penyakit infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan
surveilans pasif dapat dilakukan analisis perbandingan penyakit internasional. Kekurangan
surveilans pasif adalah kurang sensitif dalam mendeteksi kecenderungan penyakit. Data yang
dihasilkan cenderung under-reported, karena tidak semua kasus datang ke fasilitas pelayanan
kesehatan formal. Selain itu, tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya rendah, karena
waktu petugas terbagi dengan tanggungjawab utama memberikan pelayanan kesehatan di fasilitas
kesehatan masing-masing. Untuk mengatasi problem tersebut, instrumen pelaporan perlu dibuat
sederhana dan ringkas.
b. Surveilans aktif : Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk kunjungan berkala
kelapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik, dan
rumah sakit, dengan tujuan mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan kasus
(case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks. Kelebihan surveilans aktif, lebih akurat daripada
surveilans pasif, sebab dilakukan oleh petugas yang memang dipekerjakan untuk menjalankan
tanggungjawab itu.(Gordis, 2000) Selain itu, surveilans aktif dapat mengidentifikasi outbreak lokal.
Kelemahan surveilans aktif, lebih mahal dan lebih sulit untuk dilakukan daripada surveilans pasif.
Sistem surveilans dapat diperluas pada level komunitas, disebut community surveilance. Dalam community
surveilance, informasi dikumpulkan langsung dari komunitas oleh kader kesehatan, sehingga memerlukan pelatihan
diagnosis kasus bagi kader kesehatan. Definisi kasus yang sensitif dapat membantu para kader kesehatan
mengenali dan merujuk kasus mungkin(probable cases) ke fasilitas kesehatan tingkat pertama. Petugas kesehatan
di tingkat lebih tinggi dilatih menggunakan definsi kasus lebih spesifik, yang memerlukan konfirmasi laboratorium.
Community surveilans mengurangi kemungkinan negatif palsu (JHU, 2006).
B. KEMATIAN BAYI
Kematian bayi adalah kematian yang terjadi saat setelah bayi lahir sampai bayi belum berusia tepat 1
tahun. Penyebab Kematian Bayi antara lain : BBLR, asfiksia, infeksi, hipotermi, trauma persalinan, kelainan
kongenital, dan penyebab lain (pengetahuan yang kurang tentang perawatan bayi, tradisi masyarakat yang tidak
percaya tenaga kesehatan, sistem rujukan yang kurang efektif, dll)
Dari hasil SKRT 2001, kematian neonatal adalah 180 kasus. Kasus lahir mati berjumlah 115 kasus. Jumlah
seluruh kematian bayi adalah 466 kasus. Menurut umur kematian, 79,4% dari kematian neonatal terjadi sampai
dengan usia 7 hari, dan 20,6% terjadi pada usia 8-28 hari. Proporsi kematian neonatal sebesar 39% dari seluruh
kematian bayi (N=466). Rasio kematian post neonatal dan neonatal adalah 1,58. Rasio tersebut sama nilainya
dengan rasio hasil SKRT 1995. Pola ini tidak lazim seperti umumnya di negara berkembang pada kondisi tahun
1999, dimana dua per tiga dari kematian bayi terjadi pada masa neonatal. Kemungkinan kejadian kematian bayi
pada usia terlalu dini cenderung dilupakan perlu dipertimbangkan sebagai salah satu sebab rendahnya pelaporan
kasus kematian. Rasio kematian postneonatal dan neonatal sangat dipengaruhi oleh keberhasilan program imunisasi
dan manajemen penanggulangan bayi sakit. Apabila pencapaian program berhasil, maka proporsi kematian
postneonatal akan menurun, sedangkan proporsi kematian neonatal akan meningkat.
Menurut karakteristik kesehatan ibu sebelum dan ketika hamil, kematian neonatal banyak terjadi pada
kelompok umur 20-39 tahun, pada anak pertama, dan pada ibu dengan paritas 3 ke atas. Banyak studi menunjukkan
bahwa kehamilan ke dua dan ketiga adalah paling tidak menyulitkan, sedangkan komplikasi meningkat setelah anak
ke tiga. Sebagian besar dari kematian neonatal ibunya tidak mengalami komplikasi ketika hamil. Di antara ibu yang
mengalami gangguan kesehatan ketika hamil, kematian neonatal terjadi pada 7,5% ibu yang menderita anemi.
Dari hasil studi SKRT ibu yang menderita infeksi ketika hamil sebesar 4,6% . Ibu yang menderita infeksi
ketika hamil dapat menyebabkan dampak yang besar terhadap ibu sendiri maupun janin dan bayi neonatal seperti
cacat congenital (infeksi rubella), aborsi spontan atau fetal death (infeksi sifiliis), infeksi neonatal (gonorrhoea atau
infeksi streptococcus group B), berat bayi lahir rendah (malaria).
Menurut karakteristik perawatan bayi baru lahir, hanya sekitar 26,7% bayi neonatal yang dibawa berobat.
Pengobatan terbanyak ke rumah sakit 8,3%, sedangkan ke puskesmas 5,5%. Sekitar 6% bayi neonatal dibawa ke
pengobat tradisional. Sebagian besar bayi neonatal meninggal di rumah yaitu 54,2%. Di antara yang meninggal di
fasilitas kesehatan, 38,5% meninggal di rumah sakit dan 1,1% meninggal di puskesmas/poliklinik.
Pola penyakit penyebab kematian menunjukkan bahwa proporsi penyebab kematian neonatal kelompok
umur 0-7 hari tertinggi adalah premature dan berat badan lahir rendah/LBW (35%), kemudian asfiksia lahir (33,6%).
Penyakit penyebab kematian neonatal kelompok umur 8-28 hari tertinggi adalah infeksi sebesar 57,1% (termasuk
tetanus, sepsis, pnemonia, diare), kemudian feeding problem (14,3%).
1. Bayi Berat Lahir Rendah ( BBLR )
BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang masa kehamilan.
Berat badan lahir rendah (kurang dari 2500 gram) merupakan salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap
kematian perinatal dan neonatal. Berat badan lahir rendah (BBLR) dibedakan dalam 2 katagori yaitu:
a. BBLR karena premature (usia kandungan kurang dari 37 minggu) atau
b. BBLR karena intrauterine growth retardation (IUGR) yaitu bayi cukup bulan tetapi berat kurang untuk
usianya. Banyak BBLR di negara berkembang dengan IUGR sebagai akibat ibu dengan status gizi buruk,
anemi, malaria, dan menderita penyakit menular seksual (PMS) sebelum konsepsi atau ketika hamil, namun
dari hasil survei proporsi kematian BBLR dengan IUGR hanya 1,4%. Masalah-masalah BBLR :
a. Asfiksia : berdampak pada proses adapatasi pernapasan waktu lahir sehingga mengalami asfiksia lahir.
BBLR membutuhkan kecepatan dan ketrampilan resusitasi.
b. Gangguan napas : gangguan napas sering terjadi pada BBLR kurang bulan adalah penyakit membrane
hialin, sedangkan pada BBLR lebih bulan adalah aspirasi meconium. BBLR yang mengalami gangguan
napas harus segera dirujuk ke fasilitas rujukan yang lebih tinggi
c. Hipotermi : terjadi karena hanya sedikit lemak tubuh dan system pengaturan suhu tubuh pada bayi baru
lahir belum matang. Metode kanguru dengan kontak kulit dengan kulit membantu BBLR tetap hangat.
d. Hipoglikemi karena hanya sedikit simpanan energi pada bayi baru lahir dengan BBLR
e. Masalah pemberian ASI: karena ukuran tubuh kecil,kurang energy,lemah,lambungnya kecil dan tidak
dapat mengisap. BBLR sering mendapatkan ASI dengan bantuan, membutuhkan pemberian ASI
dakam jumlah yang sedikit tapi sering. BBLR dengan kehamilan ≥ 35 minggu dan berat lahir ≥2000
gram umumnya bisa langsung menetek
f. Infeksi karena system kekebalan tubuh BBLR belum matang. Keluarga dan tenaga kesehatan yanag
merawart BBLR harus melakukan tindakan pencegahan infeksi antara lain dengan mencuci tangan
dengan baik
g. Ikterus ( kadar bilirubin yang tinggi karena fungsi hati yang belum matang. BBLR menjadi kuning lebih
awal dan lebih lama dari pada bayi yang cukup beratnya.
h. Masalah perdarahan berhubungan dengan belum matangnya system pembekuan darah saat lahir.
Pemberian injeksi vitamin K dengan dosis 1 mg segera setelah lahir ( dalam 6 jam pertama) untuk
semua bayi baru lahir dapat mencegah kejadian perdarahan.
2. ASFIKSIA
Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Penyebab
Asfiksia :
a. Keadaan Ibu : preeklamsia dan eklamsia, perdarahan abnormal ( plasenta previa atau solutio
plasenta), partus lama, demam selama persalinan, infeksi berat (malaria, sipilis,TBC, HIV), kahamilan
post matur (sesudah 42 minggu kehamilan).
b. Keadaan Bayi : lilitan tali pusat, tali pusat pendek, simpul tali pusat, prolapsus tali pusat, bayi prematur
c. Trauma pada Susunan Saraf : Paralisis pleksus brakialis, paralisis nervus facialis,paralisis nervus frenikus
d. Patah tulang : Fraktura klavikula,fraktura humeri,fraktura femoris
C. UPAYA – UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN
1. Dari gambaran penyakit penyebab kematian neonatal di Indonesia, dan permasalahan kesehatan neonatal
yang kompleks dimana dipengaruhi oleh faktor medis, sosial dan budaya (sama dengan permasalahan
kesehatan maternal) maka:
a. Bidan di desa atau petugas kesehatan harus mampu melakukan:
1) perawatan terhadap bayi neonatal.
2) promosi perawatan bayi neonatal kepada ibunya.
3) pertolongan pertama bayi neonatal yang mengalami gangguan atau sakit.
b. Kepala Puskesmas dan jajarannya mempunyai komitmen yang tinggi dalam melaksanakan :
1) Deteksi dan penanganan bayi neonatal sakit
2) Persalinan yang ditolong/didampingi oleh tenaga kesehatan
3) Pembinaan bidan di desa dan pondok bersalin di desa
4) PONED dengan baik dan lengkap (obat, infus, alat-alat emergensi)
5) Organisasi transportasi untuk kasus rujukan
c. Kepala Dinkes Dati II dan atau RS Dati II dan jajarannya mempunyai komitmen yang tinggi dalam
melaksanakan:
1) Fungsi RS Dati II sebagai PONEK 24 jam
2) Sistem yang tertata sehingga memberi kesempatan kepada keluarga bayi neonatal dari
golongan tidak mampu untuk mendapatkan pelayanan standar, termasuk pertolongan gawat
darurat di RS Dati II dengan biaya terjangkau.
3) Pelayanan berkualitas yang berkesinambungan
4) Pembinaan teknis profesi kebidanan untuk bidan yang bekerja
5) Puskesmas/desa melalui pelatihan, penyegaran pengetahuan dan keterampilan, penanganan
kasus rujukan.
d. Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan neonatal emergency care di
Puskesmas dan RS Dati II.
2. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kematian bayi yaitu :
Peningkatan Kegiatan imunisasi pada bayi
Peningkatan ASI eksklusif , status gizi, deteksi dini dan pemantauan tumbuh kembang
Pencegahan dan pengobatan penyakit infeksi
Program ManajemenTumbuh Kembang Balita Sakit dan Manajemen Tumbuh Kembang Balita
Muda
Pertolongan Persalinan dan penatalaksanaan Bayi Baru Lahir dengan tepat
Diharapkan keluarga memiliki pengetahuan,pemahaman,dan perawatan pasca persalinan sesuai
standar kesehatan
Program Asuh
Keberadaan Bidan Desa
Perawatan Neonatal Dasar meliputi perawatan tali pusat,pencegahan hipotermi dengan metode
kanguru, menyusui dini, usaha bernapas spontan,pencegahan infeksi,penanganan neonatal sakit,
audit kematian neonatal
Pelayanan antenatal yang berkualitas
3. Partisipasi bidan dalam mencegah kematian yaitu dengan:
Menerapkan program ASUH ( Awal Sehat Untuk Hidup Sehat ) yang memfokuskan kegiatan pada
keselamatan dan kesehatan bayi baru lahir
Mengintensifkan kegiatan kunjungan rumah 7 hari pertama pasca persalinan berisi pelayanan dan
konseling perawatan bayi dan ibu nifas yang bermutu
Pelayanan antenatal yang berkualitas
Penanganan persalinan, neonatal,bayi sesuai kompetensi dan system rujukan yang tepat
4. Partisipasi masyarakat dalam mencegah kematian bayi yaitu dengan:
Menyebarluaskan pengetahuan tentang pentingnya 7 hari pertama pasca persalinan bagi
kehidupan bayi selanjutnya
Meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kunjungan rumah 7 hari pertama pasca persalinan
oleh Bidan di Desa
Mencatatkan dan melaporkan adanya ibu hamil,ibu melahirkan,dan bayi meninggal pada bidan di
desa , agar diperoleh masukan untuk merencanakan tindakan/ kunjungan dan memecahkan
sekaligus mengantisipasi masalah kematian bayi.
Mendukung dan mempertahankan keberadaan bidan di desa
Menurut sebab utama pada janin, asfiksia lahir (39%), premature dan BBLR (33,2%). Kelainan
bawaan memberi kontribusi sebesar 4,2%.Sedangkan sebab ibu yang mempengaruhi janin
sebesar 5,1% (4).
D. ANGKA KEMATIAN BAYI ( AKB )
1. Konsep dan definisi
AKB adalah banyaknya bayi yang meninggal sebelum mencapai usia 1 tahun AKB per 1000 kelahiran hidup
pada tahun yang sama. Nilai normatif AKB kurang dari 40 sangat sulit diupayakan penurunannya (hard rock), antara 40-70 tergolong sedang, namun sulit untuk diturunkan, dan lebih besar dari 70 tergolong
mudah untuk diturunkan.
2. Manfaat
Indikator ini terkait langsung dengan target kelangsungan hidup anak dan merefleksikan kondisi sosial,
ekonomi dan lingkungan anak-anak bertempat tinggal termasuk pemeliharaan kesehatannya. AKB
cenderung lebih menggambarkan kesehatan reproduksi dari pada Akaba. Meskipun target program terkait
khusus dengan kematian balita, AKB relevan dipakai untuk memonitor pencapaian target program karena
mewakili komponen penting pada kematian balita.
3. Metode Perhitungan
Rumus yang digunakan:
AKB = Banyaknya kematian bayi (di bawah 1 tahun) selama tahun tertentu
X 1000
Banyaknya kelahiran hidup
BAB III
PEMAPARAN KASUS
A. PROFIL PUSKESMAS KERTEK II
Secara geografis wilayah Puskesmas Kertek II terletak antara 7° 21’13” sampai 7º 26’23” lintang selatan
( LS ) dan 109°56’31” bujur timur ( BT ). Berjarak kurang lebih 17 km dari ibukota kabupaten. Berdasarkan hasil
sensus penduduk 2011 dan laporan registrasi penduduk bulanan, penduduk kecamatan Kertek wilayah Puskesmas
Kertek II pada akhir tahun 2011 sebanyak 45.400 jiwa, laki-laki 23.114 dan wanita 22.286. Sex Ratio (perbandingan
jumalh penduduk laki-laki dan wanita) di wilayah Puskesmas Kertek II 2011 adalah 103,72. Pada tahun 2011 rata-
rata kepadatan penduduk di kecamatan Kertek adalah 1.143 jiwa per km ².
Tabel Jumlah Sarana Kesehatan dan Tenaga Kesehatan di Puskesmas Kertek II
NO Kategori Jumlah
1 Puskesmas 1
2 PKD 5
3 PUSTU 1
4 Posyandu 40
5 Dokter Umum 1
6 Dokter Gigi -
7 Perawat 7
8 Bidan Rawat Inap -
9 Bidan Puskesmas 3
10 Petugas Gizi 1
11 Penyuluh Kesehatan 1
12 Kesling 1
13 Bidan Desa 8
14 TU 2
Jumlah Kelahiran hidup tahun 2011 yaitu 571 dan jumlah kematian bayi 16 sehingga
AKB = Jumlah kematian bayi x 1000 = 16 x 1000=28,02
Jumlah kelahiran hidup 571
Jadi Angka Kematian Bayi tahun 2011 : 28,02 per 1000 kelahiran hidup. AKB tahun 2011 puskesmas Kertek II lebih
tinggi dibandingkan AKB Kabupaten Wonosobo dan AKB propinsi Jawa Tengah.
B. KASUS KEMATIAN BAYI
Dari kasus kematian bayi yang terjadi pada tahun 2011, dari jumlah 16 kematian, perincian sebabnya
adalah :
1. BBLR : 7 ( 43,75% )
2. IUFD : 4 ( 25 %)
3. Asfiksia : 3 ( 18,75%)
4. Kelainan kongenital : 2 ( 12,50%)
44%
25%
19%
13%
Sebab Kematian Bayi Tahun 2011
BBLRIUFDASFIKSIAKEL>KONGENITAL
januari
febru
arimare
tap
ril mei junijuli
agustu
s
septem
ber
oktober
nopember
desember
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
jumlah kematian bayi per bulan tahun 2011
jumlah kematian bayi per bulan tahun 2011
Kasus kematian bayi yang terjadi pada tahun 2012 ber jumlah 19 kematian, terjadi peningkatan 18,75%
dibandingkan tahun 2011 perincian sebabnya adalah :