DEMAM TIFOID Pendahuluan Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah. . Gambaran klinis demam tifoid seringkali tidak spesifik sehingga dalam penegakan diagnosis diperlukan konfirmasi pemeriksaan laboratorium. Definisi Demam tifoid ( enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari, khususnya sore hingga malam hari yang disebabkan oleh Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. 1 Epidemiologi 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
DEMAM TIFOID
Pendahuluan
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang
terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi,
kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar
higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah. . Gambaran klinis demam tifoid
seringkali tidak spesifik sehingga dalam penegakan diagnosis diperlukan konfirmasi
pemeriksaan laboratorium.
Definisi
Demam tifoid ( enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada
saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari, khususnya sore hingga
malam hari yang disebabkan oleh Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi.1
Epidemiologi
1
Demam tifoid dan demam paratifoid endemik di Indonesia. Penyakit ini
termasuk penyakit menular. Demam tifoid pada umumnya menyerang penderita
kelompok umur 5 – 30 tahun, laki – laki sama dengan wanita resikonya terinfeksi. Jarang
pada umur dibawah 2 tahun maupun diatas 60. Kelompok penyakit
menular ini merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan dapat
menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah. 2,3 Di Indones i a
demam t i f o id j a r ang d i j umpa i s e ca r a ep idemik , t e t ap i
l eb ih s e r i ng bersifat sporadik, terpencar-pencar disuatu daerah, dan jarang
menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber penularannya
biasanya tidak dapat ditemukan. 2,3 Ada dua sumber penularan S. Typhi yaitu pasien
dengan demam tifoid dan yang lebih sering adalah pasien karier (pasien karier adalah
orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekskresi S.typhi d a l a m t i n j a
d a n a i r k e m i h s e l a m a l e b i h d a r i s a t u t a h u n ) . Di daerah endemik transmisi
terjadi melalui air yang tercemar. D i d e r a h n o n e n d e m i k p e n y e b a r a n t e r j a d i
m e l a l u i t i n j a . 3
Etiologi
Demam tifoid merupakan infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh Salmonella typhi,
atau jenis yang virulensinya lebih rendah yaitu Salmonella paratyphi. Salmonella adalah
kuman gram negatif yang berflagela, tidak membentuk spora, dan merupakan bakteri anaerob
fakultatif yang memfermentasikan glukosa dan mereduksi nitrat menjadi nitrit. S.typhi
memiliki antigen H yang terletak pada flagela, O yang terletak pada badan, dan K yang
terletak pada envelope, serta komponen endotoksin yang membentuk bagian luar dari dinding
sel.2
Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi (S.Typhi) dan Salmonella parathypi (S.Parathypi) ke
dalam tubuh manusia terjadi melalui mekanisme makanan yang terkontaminasi kuman.
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan
selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik,
maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina
propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama
oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.3
2
Patogenesis Demam Tifoid
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat pada makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimptomatik) dan menyebar
ke seluruh organ retikulo endothelial tubuh terutama di hati dan limfa. Di organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid
dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi sehingga mengakibatkan bakterimia
kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.3
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan
melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses
yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat
fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise,
mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.3
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan.
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang
sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding
usus. Proses patologi jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan dapat menghasilkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel
kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskular, pernafasan, dan gangguan organ lainnya.3
3
Diagnosis
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bias diberikan terapi yang
tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat
penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan
pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis. 4,5
Diagnosis tifoid karier dapat ditegakkan berdasarkan ditemukannya kuman S.typhi pada
biakan feses ataupun urin pada seseorang tanpa tanda klinis infeksi atau pada seseorang yang
telah satu tahun paska demam tifoid. Saat ini, kultur darah langsung yang diikuti
dengan identifikasi mikrobiologi adalah standar emas untuk mendiagnosa demam tifoid.4,5
Manifestasi klinis
4
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang
timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga gambaran
penyakit yang khas dengan komplikasi hingga kematian. 3,5 Secara umum gejala klinis
penyakit ini pada minggu pertama ditemukan keluhan dan
ge j a l a s e rupa dengan penyak i t i n f eks i aku t pada umumnya , ya i t u
demam, nye r i kepa l a , pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau
diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya
didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan
terutama pada sore hari hingga malam hari. Dalam minggu kedua ge j a l a -ge j a l a
men j ad i l eb ih j e l a s be rupa demam, b r ad ika rd i a r e l a t i f ( b r ad ika rd i
r e a l t i f ada l ah pen ingka t an suhu 1 ◦C t i dak d i i ku t i pen ingka t an denyu t
nad i 8 ka l i pe rmen i t ) , l i dah yang berselaput ( kotor ditengah, tepi dan ujung merah
serta tremor ), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium, atau psikosis. 3,5,6
Sekitar 10-15% pasien menjadi demam tifoid berat. Faktor yang mempengaruhi
keparahan meliputi durasi penyakit sebelum terapi, pilihan terapi antimikroba, tingkat
virulensi, ukuran inokulum, paparan sebelumnya atau vaksinasi, dan factor host
lain seperti jenis HLA, AIDS atau penekanan kekebalan lain, atau konsumsi antasida.7
Pada pengidap tifoid (karier) tidak menimbulkan gejala klinis dan 25% kasus menyangkal
bahwa pernah ada riwayat sakit demam tifoid. Pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa
tifoid karier disertai dengan infeksi kronik traktus urinarius serta terdapat peningkatan
terjadinya karsinoma kandung empedu, karsinoma kolorektal dan lain-lain. Sedangkan
patofisiologi tifoid karier belum sepenuhnya diketahui. 3
Pemeriksaan Labortorium
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah perifer; (2) pemeriksaan bakteriologis
5
dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara
molekuler.
(1) Pemeriksaan darah perifer
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap dapat ditemukan leukopenia, dapat
pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun
tanpa disertai infeksi s e k u n d e r . S e l a i n i t u p u l a d a p a t d i t e m u k a n
a n e m i a r i n g a n d a n t r o m b o s i t o p e n i a . P a d a pemeriksaan hitung jenis
leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfepenia. Laju endap darah pada demam
tifoid dapat meningkat. Pemeriksaan SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan
kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak
memerlukan penanganan khusus.3
(2) Pemeriksaan bakteriologis
Kultur darah
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam
biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots.
Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam
darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di
dalam urine dan feses.3
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa
hal sebagai berikut : 3
6
Te lah mendapa t t e r ap i an t i b io t i k .
B i l a pa s i en s ebe lum d i l akukan ku l t u r da r ah t e l ah mendapat
antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan
hasil mungkin negatif.
Volume darah yang kurang ( diperlukan kurang lebih 5 cc darah )
bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah
yang diambil sebaiknya secara b e d s i d e l a n g s u n g d i m a s u k k a n
k e d a l a m m e d i a c a i r e m p e d u ( o x g a l l ) u n t u k pertumbuhan
kuman.
Riwaya t vaks ina s i .
Vaks ina s i d imasa l ampau men imbu lkan an t i body da l am
da rah pasien. Antibodi ( agluinin ) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan
darah dapat negatif. S a a t p e n g a m b i l a n d a r a h s e t e l a h m i n g g u
p e r t a m a , d i m a n a p a d a s a a t i t u a g g l u t i n i n semakin meningkat.
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam
darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang
tidak tepat.7
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang
rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta
peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak
tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita. 7
(3) Uji serologi
UJI WIDAL
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi. Pada
uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi
yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi 7
salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid.
Akibat infeksi oleh S.typhi, pasien membuat antibodi( aglutinin ) yaitu: 3
Aglutinin O
yaitu dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman)
Aglutinin H
karena rangsangan antigen H (berasal dari flagela kuman )
Aglutinin Vi
karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)
Dar i ke t i ga agg lu t i n in t e r s ebu t hanya ag lu t i n in O dan H yang
d igunakan un tuk d i agnos i s demam tifoid. Makin tinggi titernya makin besar
kemungkinan menderita demam tifoid. P e m b e n t u k a n a g g l u t i n i n m u l a i
t e r j a d i p a d a a k h i r m i n g g u p e r t a m a d e m a m k e m u d i a n meningkat
secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke empat dan tetap tinggi
selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O,
kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin
O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih
lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukanlah pemeriksaan untuk
menentukan kesembuhan penyakit.3
Interpretasi Reaksi Widal :
a. Batas titer yang dijadikan diagnosis, hanya berdasarkan kesepakatan atau perjanjian
pada suatu daerah, dan berlaku untuk daerah tersebut. Kebanyakan pendapat bahwa
titer O 1/320 sudah menyokong kuat diagnosis demam tifoid.
b. Reaksi widal negative tidak menyingkirkan diagnosis tifoid.
c. Diagnosis demam tifoid dianggap diagnosis pasti adalah bila didapatkan kenaikan
titer 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5-7 hari. Perlu diingat
bahwa banyak faktor yang mempengaruhi reaksi widal sehingga mendatangkan hasil
yang keliru baik negative palsu atau positif palsu. Hasil tes negative palsu seperti
pada keadaan pembentukan anti bodi yang rendah yang dapat ditemukan pada
keadaan-keadaan gizi jelek, konsumsi obat-obat imunosupresif, penyakit
agammaglobuilinemia, leukemia, karsinoma lanjut, dll. Hasil tes positif palsu dapat
8
dijumpai pada keadaan pasca vaksinasi, mengalami infeski sub klinis beberapa
waktu yang lalu, aglutinasi silang, dll.
Faktor-faktor yang mempengaruhi uji widal, yaitu:
Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid
Gangguan pemben tukan an t i bod i . S a a t p e n g a m b i l a n d a r a h
R i w a y a t v a k s i n a s i
Reaks i anamnes t i k , ya i t u pen ingka t an t i t e r ag lu t i n in pada i n f eks i
bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
Faktor teknik , a k i b a t a g l u t i n a s i s i l a n g , strain salmonella yang
digunakan untuk suspensi antigen
TES TUBEX ®
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk
meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9
yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini
sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi
IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.8
UJI TYPHIDOT
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein membran
luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi
dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S.typhi
seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.
PEMERIKSAAN DIPSTIK
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan
membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan
antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini
9
menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik
dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang
lengkap. Pemeriksaan ini juga sangat dipengaruhi hasilnya oleh penggunaan antibiotik. 7,9
Tifoid Karier
Pemantauan bakteri di dalam feses adalah salah satu pilihan untuk mendeteksi adanya
kuman S.Typhi. Selanjutnya, pengambilan sampel tinja secara rutin pasti akan memakan
biaya yang besar, memakan waktu yang lama, walaupun perkembangan bakteri di dalam
feses dapat menjadi salah satu cara pemantauan pemulihan demam tifoid. Namun, salah studi
mengatakan bahwa pada tifoid karier akan menghasilakan antibody Vi yang lebih tinggi
dalam waktu lama dibandingkan pasien demam tifoid akut. 4
Diagnosis Banding Demam Tifoid
Paratifoid A, B, dan C, Infeksi virus dengue, malaria, influenza. 10,11
Komplikasi Demam tifoid
Komplikasi intestinal
perdarahan intestinal
Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis)
dapat terbentuk tukak / luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus.
Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi
perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi
dapat terjadi. Selain karena faktor luka perdarahan juga dapat terjadi
karena gangguan koagulasi darah (KID) a t au gabungan kedua f ak to r .
Sek i t a r 25% pende r i t a demam t i f o id dapa t menga l ami pe rda rahan
mino r yang t i dak membu tuhkan t r ans fu s i da r ah . Pe rda rahan heba t
dapa t t e r j ad i h ingga pa s i en menga l ami syok . 3 , 1 0
Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3 % dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul
pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain
gejala umum demam t i fo id yang b i a sa t e r j ad i maka pende r i t a
10
demam t i fo id dengan pe r fo r a s i menge luh nye r i pe ru t yang heba t
t e ru t ama d i dae r ah kuad ran kanan bawah yang kemudian menyebar
ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus melemah
pada 50 % penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena adanya udara
bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat,
tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri
dapat menyokong adanya perforasi.3
Bi l a pada gamba ran f o to po lo s abdomen 3 pos i s i d i t emukan
uda ra pada r o n g g a p e r i t o n e u m , m a k a h a l i n i m e r u p a k a n
n i l a i y a n g c u k u p u n t u k m e n e n t u k a n terdapatnya perforasi usus
pada demam tifoid. Beberapa factor yang dapat meningkatkan kejadian perforasi
adalah umur, lama pengobatan, modalitas pengobatan, beratnya penyakit, dam
mobilitas penderita.3
Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman s.typhi
tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan anaerobik pada f l o r a
u s u s . U m u m n y a d i b e r i k a n a n t i b i o t i k s p e k t r u m l u a s
d e n g a n k o m b i n a s i kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk
kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin/metronidazol. Cairan
harus diberikan dalam jumlah yang cukup serta penderita dipuasakan dan
dipasang nasogastric tube. Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan
darah akibat perdarahan intestinal.3
Berbeda dengan kasus demam tifoid yang mengalami komplikasi
perdarahan usus, maka perforasi usus banyak sekali ditulis dalam
kepustakaan terutama oleh para ahli bedah. Hal ini disebabkan oleh karena
penderita umumnya datang dalam keadaan abdomen akut, sudah dalam
keadaan perforasi, sehingga langsung dirawat dibagian bedah untuk
mendapatkan tindakan operatif. Perforasi usus pada demam tifoid terjadi
bila proses patologik jaringan limfoid usus menembus lapisan muskularis
dan lapisan serosa. Perforasi ini paling sering terjadi pada minggu ketiga
dari perjalanan penyakit, pada saat proses patologik dinding usus mencapai
kedalaman maksimal dan terjadi pelepasan jaringan nekrotik dari dasar 11
ulkus. Manifestasi klinik perforasi usus pada umumnya berupa nyeri
abdomen mendadak, yang segera diikuti oleh tanda-tanda peritonitis lokal
maupun umum. Gejala-gejala yang dimaksud adalah selain nyeri perut juga
"Defense musculaire", melemah atau menghilangnya bising usus, pekak hati
menyempit atau menghilang dan muntah-muntah. Gambaran khas diatas
kadang-kadang jarang terlihat. Yang lebih sering dijumpai adalah penderita
dengan keadaan umum jelek, reaksi tubuh dan mental yang lambat, tiba-tiba
menjadi gelisah dan mengeluh nyeri perut hebat yang sebelumnya tidak
dirasakan. Temperatur tiba-tiba turun, denyut nadi menjadi cepat dan
frekuensi nafas meningkat, yang menggunakan otot-otot pernafasan
interkostal. Bila dinding perut masih bebas bergerak untuk bernafas, maka
tidak dijumpai perforasi usus. Defans otot dinding perut, nyeri dan tegang
perut sebelah kanan paling sering dikeluhkan oleh penderita, karena
perforasi terjadi pada umumnya di bagian ileum terminal. Nyeri menyebar
ke dinding abdomen, bila perforasi usus sudah berkembang menjadi
peritonitis lokal maupun general. Tetapi tanda-tanda peritonitis dapat pula
terjadi lambat, terutama pada penderita dalam keadaan toksik, keadaan
umum jelek, sehingga tertutup oleh keadaan penderita yang apati. Gejala
stadium lanjut perforasi usus akibat demam tifoid adalah : peritonitis nyata
dan merata, tetapi defans otot dinding perut sudah tidak nyata lagi, karena
keadaan sakit sudah memberat, temperatur naik secara mendadak, penderita
tampak toksis, abdomen cembung dan tegang, nyeri takan dan nyeri lepas
positif diseluruh dinding abdomen, tanpa dapat ditentukan dimana punktum
maksimumnya, pekak hati menghilang dan pekak samping lebih nyata,
bising usus melemah atau bahkan tidak terdengar, dan dehidrasi berat,
oliguria sampai anuria. Untuk membantu diagnosis perforasi usus bagi
pemeriksaan secara klinik tidak jelas atau meragukan, diperlukan foto polos
abdomen tiga posisi, diantaranya adalah posisi duduk untuk melihat udara
bebas dibawah diafragma kanan, penebalan dinding usus, udara dan cairan
12
dalam lumen usus. Mortalitas tanpa tindakan operatif sebesar 100% dan
65% dengan operasi. Beberapa faktor yang diduga menyebabkan tingginya
mortalitas, diantaranya adalah waktu antara tindakan operatif dan kejadian
perforasi, lamanya sakit dirumah, kurang adekuatnya obat yang diberikan,
gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, asam basa. Komplikasi pasca
bedah yang sering ditemukan adalah infeksi luka operasi, infeksi traktus
respiratorius, septikemia dan peritonitis generalisata.
Komplikasi ekstra-intestinal
Hepatitis tifosa:
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan demam
tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S.typhi dari pada s.paratyphi. . dapat terjadi
pada pasien dengan system imun yang kuarang dan malnutrisi. Biasanya pada demam
tifoid kenaikan enzim tranaminasse tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin
(untuk membandaingkan dengan hepatitis akibat virus)
P a n c r e a t i t i s T i f o s a
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid. Pnkreatitis sendiri
dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat
farmakologik. Penatalaksanaan pancreatitis tifosa sama seperti penanganan
pancreatitis pada umumnya; antibiotic yang diberikan adalah antibiotic intravena
seperti seftriakson atau kuinolon.
Tatalaksana Demam Tifoid Dan Tifoid Karier
Tatalakasana Demam Tifoid
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid yaitu : 3
13
Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penye
m buhan.
D i e t d a n t e r a p i p e n u n j a n g ( s i m p t o m a t i k d a n s u p o r t i f )
d e n g a n t u j u a n mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara
optimal.
Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran
kuman.
I s t i r aha t d an p e r awa tan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring
dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buangair kecil, dan
buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan.
D a l a m p e r a w a t a n p e r l u s e k a l i d i j a g a k e b e r s i h a n t e m p a t t i d u r , p a
k a i a n , d a n perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk
mencegah dekubitus dan pneumon ia o r t o s t a t i k s e r t a h ig i ene pe ro rangan
t e t ap pe r l u d ipe rha t i kan dan di jaga.
D ie t dan t e r ap i penun j ang
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid,
karena makanan yang kurang akan menyebabkan menurunnya keadaan umum dan gizi
penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama.3
Pember i an an t im ik roba
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah : 3,12
1 . K l o r a m f e n i k o l
Dosis diberikan 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara per oral atau intravena.
Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan intramuskular tidak di
anjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan
terasa nyeri.
2 . T i a m f e n i k o l
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan
kloramfenikol,akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan
terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan
14
kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demamrata-rata
menurun pada hari ke 5 sampai hari ke 6.
3 . K o t r i m o k s a z o l
Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang
dewasa adalah 2 x 2 tablet ( 1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg
dan 80 mg trimetoprin ) diberikan selama 2 minggu.
4 . A m p i s i l i n d a n a m o k s i s i l i n
K e m a m p u a n o b a t i n i u n t u k m e n u r u n k a n d e m a m l e b i h
r e n d a h d i b a n d i n g k a n d e n g a n k lo r amfen iko l , dos i s yang
d i an ju rkan an t a r a 50 -150 mg /KgBB dan d igunakan selama 2 minggu.
5 . S e f a l o s p o r i n g e n e r a s i k e t i g a
Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke 3 yang tebukti efektif untuk demam
tifoida dalah seftriakson, dosis yang dianjurkan antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100
cc diberikanselama ½ jam per infus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari.
6 . G o l o n g a n f l u o r o k u i n o l o n
Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
Of loksa s in dos i s 2 x 400 mg /ha r i s e l ama 7 ha r i
Pe f loksa s in dos i s 400 mg /ha r i s e l ama 7 ha r i
Fle roksa s in dos i s 400 mg /ha r i s e l ama 7 ha r i
Demam pada umumnya menga l ami l i s i s pada ha r i ke 3 a t au
men j e l ang ha r i ke 4 . Has i l p e n u r u n a n d e m a m s e d i k i t l a m b a t
p a d a p e n g g u n a a n n o r f l o k s a s i n y a n g m e r u p a k a n fluorokuinolon
pertama yang memiliki bioavailabilitas tidak sebaik fluorokuinolon yang
dikembangkan kemudian.
7 . K o m b i n a s i o b a t a n t i m i k r o b a
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu saja
antara laintoksik tifoid, peritonitis atau perforasi, septik syok, dimana
pernah terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain kuman
salmonella.
15
8 . K o r t i k o s t e r o i d
P e n g g u n a a n s t e r o i d h a n y a d i i n d i k a s i k a n p a d a t o k s i k t i f o i d
a t a u d e m a m t i f o i d y a n g mengalami syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.
Vaksin hidup oral Ty21a secara teoritis dikontraindikasikan pada sasaran alergi atau
reaksi efek samping berat, penurunan imunitas, dan kehamilan (karena sedikitnya data). Bila
diberikan bersamaan dengan obat antimalaria dianjurkan minimal setelah 24 jam pemberian
obat baru dilakukan vaksinasi. Dianjurkan tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan
obat sulfonamide atau antimikroba lainnya.
Efeksamping :
Pada vaksin oral Ty21a : demam dan sakit kepala. Pada vaksin parenteral ViCPS :
demam, malaise, sakit kepala, rush, nyeri lokal. Efek samping terbesar pada parenteral
adalah heatphenol inactivated, yaitu demam, nyeri kepala, dan reaksi local nyeri dan edema
bahkan reaksi berat termasuk hipotensi, nyeri dada, dan syok.
Efektivitas :
Serokonversi ( peningkatan titer antibodi 4 kali ) setelah vaksinasi dengan ViCPS t e r j ad i s eca r a c epa t ya i t u s ek i t a r 15 ha r i – 3 m inggu dan 90 % be r t ahan s e l ama 3 t ahun . Kemampuan proteksi sebesar 77% pada daerah endemik ( Nepal ) dan sebesar 60% untuk daerah hiperendemik.
Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat
kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi Salmonella serta cepat dan tepatnya pengobatan.
Angka kematian pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4%, rata-rata 5,7%.
Kesimpulan
Demam tifoid ( enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada
saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari, khususnya sore hingga
malam hari yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penularan penyakit ini dapat melalui
pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering adalah melalui pasien karier.
Karena gejala klinis demam tifoid kurang spesifik maka dalam penegakan diagnosis
diperlukan konfirmasi pemeriksaan laboratorium.
Terdapat trilogi tatalaksana terhadap demam tifoid, yaitu : Istirahat dan perawatan, diet
dan terapi penunjang, serta pemberian antimikroba. Pencegahan dari demam tifoid yang perlu
18
diperhatikan adalah menghindari transmisi, higienis lingkungan,sanitasi yang sesuai, dan
proteksi berupa vaksinasi.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Darmowandowo W. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi &
Penyakit Tropis, edisi 1. 2002. Jakarta : BP FKUI.
2. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002 ; 347(22): 1770-82
3. Widodo, Djoko. Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI Jilid
III. 2006. Jakarta : IPD FKUI
4. Baker et al. Searching For The Elusive Typhoid Diagnostic. BMC Infectious Diseases
2010, 10:45
5. Lifshitz, Edward I. Travel trouble: Typhoid fever--a case presentation and review.
Journal of American College Health, 07448481, Vol. 45, Issue 3
6. Antony S.Fauci t al. Harrison’s Manual of Medicine 17th Edition. 2008. McGraw Hill
7. Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis, treatment
and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18
8. Frankie, et al. The TUBEX test detects not only typhoid-specific antibodies but also
soluble antigens and whole bacteria. Journal of Medical Microbiology (2008), 57,
316–323
9. Gasem MH, Smits HL, Goris MGA, Dolmans WMV. Evaluation of a simple and
rapid dipstick assay for the diagnosis of typhoid fever in Indonesia. J Med Microbiol
2002;51:173-7
10. Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. 2000. Jakarta : Media
Aesculapius FKUI
11. Sastroasmoro, Sudigdo, dkk. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit
Dalam RSCM. 2007 . Jakarta : RSUP.Nasional Dr.Cipto Mangunkusumo
12. Setiabudy, R dkk. Farmakologi Dan Terapi Edisi 5. 2007. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI
13. MK Bhan,et al. Typhoid and paratyphoid fever . All India Institute of Medical
Sciences, New Delhi 110029, India. Lancet 2005; 366: 749–62
14. Begum Zohra, et al. Evaluation of Typhidot (IgM) for Early Diagnosis of Typhoid
Fever. Bangladesh J Med Microbiol 2009; 03 (01): 10-13