Resusitasi Jantung Paru 2010
1. DEFINISI
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation
(CPR) adalah suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk
mengembalikan keadaan henti nafas atau henti jantung (kematian
klinis) ke fungsi optimal, guna mencegah kematian biologis.
Kematian klinis ditandai dengan hilangnya nadi arteri carotis dan
arteri femoralis, terhentinya denyut jantung dan pembuluh darah
atau pernafasan dan terjadinya penurunan atau kehilangan kesadaran.
Kematian biologis dimana kerusakan otak tak dapat diperbaiki lagi,
dapat terjadi dalam 4 menit setelah kematian klinis. Oleh Karena
itu, berhasil atau tidaknya tindakan RJP tergantung cepatnya
dilakukan tindakan dan tepatnya teknik yang dilakukan.3
2. INDIKASI
A. Henti Napas
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh
banyak hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam,
inhalasi asap/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh benda asing,
tesengat listrik, tersambar petir, serangan infark jantung, radang
epiglotis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya(4).
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba
nadi, pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup
sampai beberapa menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan
segera maka pasien akan teselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau
terlambat akan berakibat henti jantung(3,4).
B. Henti Jantung
Henti jantung primer (cardiac arrest) ialah ketidak sanggupan
curah jantung untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ
vital lainnya secara mendadak dan dapat balik normal, kalau
dilakukan tindakan yang tepat atau akan menyebabkan kematian atau
kerusakan otak. Henti jantung terminal akibat usia lanjut atau
penyakit kronis tentu tidak termasuk henti jantung(3,4).
Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel
atau takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh
ventrikel asistol (+10%) dan terakhir oleh disosiasi
elektro-mekanik (+5%). Dua jenis henti jantung yang terakhir lebih
sulit ditanggulangi karena akibat gangguan pacemaker jantung.
Fibirilasi ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas jantung
menghilang.
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba
(karotis femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis) atau
pucat sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apnu),
dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien
tidak sadar(3,4).
Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar
hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan.
Iskemi melebih 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan kortek
serebri rusak menetap, walaupun setelah itu dapat membuat jantung
berdenyut kembali(3,4).
3. FASE RJP
Resusitasi jantung paru dibagi menjadi 3 fase
diantaranya(3):
1. FASE I :
Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support) yaitu prosedur
pertolongan darurat mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas
dan henti jantung, dan bagaimana melakukan RJP secara benar.
Terdiri dari :
C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi
jantung paru.
A (airway) : menjaga jalan nafas tetap terbuka.
B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang
adekuat.
2. FASE II :
Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support); yaitu tunjangan
hidup dasar ditambah dengan :
D (drugs) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.
E (EKG) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin setelah
dimulai PJL, untuk mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel,
asistole atau agonal ventricular complexes.
F (fibrillation treatment) : tindakan untuk mengatasi fibrilasi
ventrikel.
3. FASE III :
Tunjangan hidup terus-menerus (Prolonged Life Support).
G (Gauge) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring
penderita secara terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan
kemudian mengobatinya.
H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan
sistim saraf dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti
jantung, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologic yang
permanen.
H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi
susunan saraf pusat yaitu pada suhu antara 30 32C.
H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong
adalah manusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan
hendaknya berdasarkan perikemanusiaan.
I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu :
tunjangan ventilasi : trakheostomi, pernafasan dikontrol terus
menerus, sonde lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan
tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang.(3)
4. PEMBAHARUAN PADA BLS GUIDELINES 2010
Terdapat beberapa pembaharuan pada BLS 2010, berbanding dengan
2005. Beberapa perubahan yang telah dilakukan adalah seperti
berikut:(1,2,5,6)
1. Mengenali sudden cardiac arrest (SCA) dari menganalisa respon
dan pernafasan. (ie korban tidak bernafas)
2. Look,listen and feel tidak digunakan dalam algortima BLS
3. Hands-only chest compression CPR digalakkan pada sesiapa yang
tidak terlatih
4. Urutan ABC diubah ke urutan CAB, chest compression sebelum
breathing.
5. Health care providers memberi chest compression yang efektif
sehingga terdapat sirkulasi spontan.
6. Lebih terfokus kepada kualiti CPR.
7. Kurangkan penekanan untuk memeriksa nadi untuk health care
providers.
8. Algoritma BLS yang lebih mudah diperkenalkan.
9. Rekomendasi untuk mempunyai pasukan yang serentak mengandali
chest compression, airway management,rescue breathing, rhythm
detection dan shock.
Untuk mengenali terjadinya SCA (sudden cardiac arrest) adalah
hal yang tidak mudah. Jika terjadi kekeliruan dan keterlambatan
untuk bertindak dan memulakan CPR, ini akan mengurangi survival
rate korban tersebut. Chest compression merupakan antara tindakan
yang sangat penting dalam CPR kerana perfusi tergantung kepada
kompresi. Oleh kerana itu, chest compression merupakan tindakan
yang terpenting jika terdapat korban yang mempunyai SCA.
Prinsip utama dalam resusitasi: memperkuat rantai harapan hidup
(chain of survival).
Keberhasilan resusitasi membutuhkan integrasi koordinasi
jalurchain of survival.Jalur ini meliputi:
Pengenalansegera akan henti jantung dan aktivasi sistem respons
darurat (emergency response system)
RJP dini dengan penekanan pada kompresi dada
Defibrilasicepat
Advance life support yang efektif
Post-cardiac arrest care(perawatan pasca henti jantung) yang
terintegrasi
Sistem gawat darurat yang secara efektif menerapkan jalur ini
dapat meningkatkan harapan hidup pasien dengan henti jantung VF
(ventricle fibrillation) hingga 50%. Pada sebagian besar sistem
gawat darurat angkanya masih lebih rendah, menandakan bahwa masih
ada ruang untuk perbaikan dengan evaluasi ulang dari jalur ini.
Penyelamat dapat memiliki berbagai pengalaman, pelatihan dan
kemampuan. Begitu pula dengan status korban dan keadaan sekitar
kejadian. Tantangannya adalah bagaimana meningkatkan RJP yang lebih
dini dan lebih efektif bagi setiap korban.
Chain of survival(1,2,5,6)
Kerangka kerja RJP: interaksi antara penyelamat dan korban
RJP secara tradisional menggabungkan antara kompresi dada dan
nafas buatan dengan tujuan untuk meningkatkan sirkulasi dan
oksigenasi. Karakteristik penyelamat dan korban dapat mempengaruhi
penerapannya.
Penyelamat
Setiap orang dapat menjadi penyelamat bagi korban henti jantung.
Kemampuan RJP dan penerapannya tergantung dari hasil pelatihan,
pengalaman dan kepercayaan diri si penyelamat.
Kompresi dada adalah dasar RJP.Setiap penyelamat, tanpa
memandang hasil pelatihan, harus melakukan kompresi dada pada semua
korban henti jantung. Karena pentingnya, kompresi dada harus
menjadi tindakan RJP yang pertama kali dilakukan terhadap semua
korban tanpa memandang usianya. Penyelamat yang memiliki kemampuan
sebaiknya juga melakukan ventilasi. Beberapa penyelamat yang sangat
terlatih harus saling berkoordinasi dan melakukan kompresi dada
serta nafas buatan secara tim.
Terdapat 3 pola strategi RJP yang dapat diterapkan pada penolong
sesuai dengan keadaannya, yaitu: untuk penolong non petugas
kesehatan yang tidak terlatih, mereka dapat melakukan strategi
Hands only CPR (hanya kompresi dada). Kompresi dada sebaiknya
dilakukan hingga petugas kesehatan hadir atau alat defibrilasi
otomatis tersedia.
Kedua, untuk penolong non petugas kesehatan yang terlatih,
mereka dapat melakukan strategi RJP kompresi dada dan dilanjutkan
dengan ventilasi dengan perbandingan 30 : 2. RJP sebaiknya
dilakukan hingga petugas kesehatan hadir atau alat defibrilasi
otomatis tersedia.
Ketiga, untuk petugas kesehatan, lakukan RJP kompresi dada
sebanyak satu siklus yang dilanjutkan dengan ventilasi dengan
perbandingan 30 : 2.
Korban
Sebagian besar henti jantung dialami orang dewasa secara
tiba-tiba setelah suatu sebab primer; karenanya sirkulasi yang
dihasilkan dari kompresi dada menjadi yang terpenting. Sebaliknya,
henti jantung pada anak-anak sebagian besar karena asfiksia yang
memerlukan baik ventilasi dan kompresi untuk hasil yang optimal.
Karenanya, bantuan nafas lebih penting bagi anak-anak dibandingkan
orang dewasa.
AHA 2010 dalam panduannya memberikan 2 jenis algoritma BLS bagi
korban dewasa yaitu algoritma sederhana untuk penolong non petugas
kesehatan dan khusus untuk petugas kesehatan.
1. Simple Algorithma
Gambar 1. Algoritma RJP sederhana
Ketika menemui korban henti jantung dewasa yang bersifat
mendadak, seorang penolong pertama kali harusmengenalihenti jantung
itu dariunresponsivenessdan tidak adanya pernafasan normal. Setelah
mengenali, penolong harus segeramengaktifkansistem respons gawat
darurat, mengambil defibrilator/AED, jika ada, dan memulaiRJPdengan
kompresi dada. Jika AED tidak tersedia, penolong harus memulai RJP
langsung. Jika ada penolong lain, penolong pertama harus
memerintahkan dia untuk mengaktifkan sistem respons gawat darurat
dan mengambil AED/defibrilator sambil dia langsung memulai RJP.
Ketika AED/defibrilator datang, pasangpad, jika memungkinkan,
tanpa memotong kompresi dada yang sedang dilakukan, dan nyalakan
AED. AED akan menganalisis ritme dan menunjukkan apakah akan
melakukan kejutan (defibrilasi) atau melanjutkan RJP.
Jika AED/defibrilator tidak tersedia, lanjutkan RJP tanpa
interupsi hingga ditangani oleh penolong yang lebih
berpengalaman/ahli.
Pengenalan dan aktivasi respons gawat darurat
Seorang korban henti jantung biasanya tidak bereaksi. Tidak
bernafas atau bernafas tetapi tidak normal. Deteksi nadi saja
biasanya tidak dapat diandalkan, walaupun dilakukan oleh penolong
yang terlatih, dan membutuhkan waktu tambahan. Karenanya, penolong
harus memulai RJP segera setelah mendapati bahwa korban tidak
bereaksi dan tidak bernafas atau bernafas secara tidak normal
(terengah-engah). Petunjuk look, listen and feel for breathingtidak
lagi direkomendasikan. Petugas evakuasi harus membantu assessment
dan memulai RJP.
Kompresi dada
Memulai dengan segera kompresi dada adalah aspek mendasar dalam
resusitasi. RJP memperbaiki kesempatan korban untuk hidup dengan
menyediakan sirkulasi bagi jantung dan otak. Penolong harus
melakukan kompresi dada untuk semua korban henti jantung, tanpa
memandang tingkat kemampuannya, karakteristik korban dan lingkungan
sekitar. Penolong harus fokus pada memberikan RJP yang berkualitas
baik:
Melakukan kompresi dada dalam kecepatan yang cukup (setidaknya
100/menit)
Melakukakan kompresi dada pada kedalaman yang cukup (dewasa:
setidaknya 2 inchi/5 cm, bayi dan anak-anak: setidaknya sepertiga
diameter anteroposterior (AP) dada atau sekitar 1,5 inchi/4 cm pada
bayi dan sekitar 2 inchi/5 cm pada anak-anak).
Menunggu dada mengembang sempurna setelah setiap kompresi
Meminimalisir interupsi selama kompresi
Menghindari ventilasi yang berlebihan.
Jika ada lebih dari satu penolong, mereka harus bergantian
melakukan kompresi setiap 2 menit.
Jalan nafas (airway) dan ventilasi
Membuka jalan nafas (denganhead tilt, chin liftataujaw thrust)
yang diikuti nafas bantuan dapat meningkatkan oksigenasi dan
ventilasi. Tetapi manuver ini dapat menjadi sulit dan mengakibatkan
tertundanya kompresi dada, terutama pada penolong yang sendirian
dan tidak terlatih. Karenanya, penolong yang sendirian dan tidak
terlatih hanya melakukan kompresi dada saja tanpa ventilasi.
Ventilasi harus diberikan jika korban cenderung disebabkan oleh
asfiksia (contohnya pada bayi, anak-anak atau korban
tenggelam).
Begitu alat bantu nafas tersedia, penolong harus memberikan
ventilasi dalam kecepatan yang tetap 1 nafas setiap 6-8 detik (8-10
nafas/menit) dan kompresi dada tetap diberikan tanpa terputus.
Defibrilasi
Kesempatan korban untuk selamat menurun seiring jeda waktu
antara henti jantung dan defibrilasi. Karenanya defibrilasi tetap
menjadi dasar tatalaksana untuk fibrilasi ventrikel (VFventricular
fibrillation) danpulseless ventricular tachycardia. Strategi
bersama antara masyarakat dan rumah sakit harus ditujukan untuk
mengurangi jeda waktu ini.
Satu penentu defibrilasi yang berhasil adalah efektifitas
kompresi dada. Defiibrilasi lebih berhasil jika interupsi pada
kompresi dada sedikit.
2. Untuk penolong yang terlatih atau petugas kesehatan
Lakukan RJP kompresi dada sebanyak satu siklus yang dilanjutkan
dengan ventilasi dengan perbandingan 30 : 2. Lakukan hal tersebut
hingga advanced airway tersedia, kemudian lakukan kompresi dada
tanpa terputus sebanyak 100 kali/menit dan ventilasi setiap 6-8
detik/kali (8-10 nafas/menit). Untuk petugas kesehatan penting
untuk mengadaptasi urutan langkah sesuai dengan penyebab paling
mungkin yang terjadi pada saat itu. Contohnya, jika melihat
seseorang yang tiba-tiba jatuh, maka petugas kesehatan dapat
berasumsi bahwa korban mengalami fibrilasi ventrikel, setelah
petugas kesehatan mengkonfirmasi bahwa korban tidak merespon dan
tidak bernapas atau hanya sesak terengah-engah, maka petugas
sebaiknya mengaktifasi sistem respon darurat untuk memanggil
bantuan, mencari dan menggunakan AED (Automated External
Defibrilator), dan melakukan RJP. Namun jika petugas menemukan
korban tenggelam atau henti nafas maka petugas sebaiknya melakukan
RJP konvensional (A-B-C) sebanyak 5 siklus (sekitar 2 menit)
sebelum mengaktivasi sistem respon darurat. Sama halnya dalam bayi
baru lahir, penyebab arrestkebanyakan adalah pada sistem pernafasan
maka RJP sebaiknya dilakukan dengan siklus A-B-C kecuali terdapat
penyebab jantung yang diketahui. , Berikut algoritmanya:
Gambar 2. Algoritma RJP khusus
Prinsip dasar langkah-langkah algoritma tetap sama dengan yang
sederhana.
Pengenalan dini.
Jika melihat seorang yang tiba-tiba jatuh atau tidak responsive
maka petugas kesehatan harus mengamankan tempat kejadian dan
memeriksa respon korban. Tepukan pada pundak dan teriakkan nama
korban sembari melihat apakah korban tidak bernafas atau
terengah-engah. Lihat apakah korban merespon dengan jawaban,
erangan atau gerakan. Korban yang tidak responsif serta tidak ada
nafas atau hanya terengah-engah maka petugas kesehatan dapat
mengasumsi bahwa korban mengalami henti jantung.
Aktivasi sistem darurat
Petugas sebaiknya mengaktivasi sistem respon darurat yang dalam
hal ini berarti menghubungi institusi yang mempunyai
fasilitas/layanan gawat darurat, contohnya menghubungi rumah sakit,
polisi, atau instansi terkait.
Hal yang perlu diperhatikan adalah pada AHA 2010 ini ada dua hal
yang tidak dianjurkan setelah memeriksa korban tidak responsif
yaitu :
Memeriksa ada tidaknya nafas pada korban dengan look, feel,
listen. Sulitnya menilai nafas yang adekuat pada korban merupakan
alasan dasar hal tersebut tidak dianjurkan. Nafas yang terengah
dapat disalah artikan sebagai nafas yang adekuat oleh professional
maupun bukan. Contohnya pada korban dengan sindroma koroner akut
sering kali terdapat nafas terengah yang dapat disalah artikan
sebagai pernafasan yang adekuat. Maka tidak dianjurkan memeriksa
pernafasan dengan look, feel, listen dan direkomendasikan untuk
menganggap pernafasan terengah sebagai tidak ada pernafasan.
Memeriksa denyut nadi pasien. Untuk petugas kesehatan,
pemeriksaan nadi korban sebaiknya tidak lebih dari 10 detik jika
lebih dari waktu tersebut tidak didapatkan denyut nadi yang
definitive maka petugas sebaiknya memulai RJP.
Kedua hal tersebut tidak lagi dianjurkan bertujuan untuk
meminimalisir waktu untuk memulai RJP.
Resusitasi Jantung Paru dini
Seperti yang telah disebutkan, mulai RJP dengan algoritma C-A-B
. Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kompresi (sekitar 18 detik).
Kriteria penting untuk mendapatkan kompresi yang berkualitas adalah
:
Frekuensi kompresi setidaknya 100 kali/menit.
Kedalaman kompresi untuk dewasa minimal 2 inchi (5 cm),
sedangkan untuk bayi minimal sepertiga dari diameter
anterior-posterior dada atau sekitar 1 inchi (4 cm) dan untuk anak
sekitar 2 inchi (5 cm).
Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah
sternum). Petugas berlutut jika korban terbaring di bawah, atau
berdiri disamping korban jika korban berada di tempat tidur (bila
perlu dengan bantuan ganjalan kaki untuk mencapai tinggi yang
diinginkan sehingga dan papan kayu untuk mendapatkan kompresi yang
efektif selama tidak memakan waktu).
Menunggu recoil dada yang sempurna dalam sela kompresi.
Meminimalisir interupsi dalam sela kompresi.
Menghindari ventilasi berlebihan.
Jika ada 2 orang maka sebaiknya pemberi kompresi dada bergantian
setiap 2 menit.
Airway dan Breathing
Kriteria penting pada Airway dan Breathing adalah :
Airway. Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang
belakang maka bebaskan jalan nafas melalui head tilt chin lift.
Namun jika korban dicurigai cedera tulang belakang maka bebaskan
jalan nafas melalui jaw thrust.
Breathing. Berikan ventilasi sebanyak 2 kali. Pemberian
ventilasi dengan jarak 1 detik diantara ventilasi. Perhatikan
kenaikan dada korban untuk memastikan volume tidal yang masuk
adekuat.
Untuk pemberian mulut ke mulut langkahnya sebagai berikut :
Pastikan hidung korban terpencet rapat
Ambil nafas seperti biasa (jangan terelalu dalam)
Buat keadaan mulut ke mulut yang serapat mungkin
Berikan satu ventilasi tiap satu detik
Kembali ke langkah ambil nafas hingga berikan nafas kedua selama
satu detik.
Jika tidak memungkinkan untuk memberikan pernafasan melalui
mulut korban dapat dilakukan pernafasan mulut ke hidung korban.
Untuk pemberian melalui bag mask pastikan menggunakan bag mask
dewasa dengan volume 1-2 L agar dapat memeberikan ventilasi yang
memenuhi volume tidal sekitar 600 ml. Setelah terpasang advance
airway maka ventilasi dilakukan dengan frekuensi 6 8
detik/ventilasi atau sekitar 8-10 nafas/menit dan kompresi dada
dapat dilakukan tanpa interupsi.
Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan
bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau
sekitar 10-12 nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap
2 menit. Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi
adalah 30 : 2, setelah terdapat advance airway kompresi dilakukan
terus menerus dengan kecepatan 100 kali/menit dan ventilasi tiap
6-8 detik/kali.
RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang,
pasien bangun, atau petugas ahli datang. Bila harus terjadi
interupsi, petugas kesehatan sebaiknya tidak memakan lebih dari 10
detik, kecuali untuk pemasangan alat defirbilasi otomatis atau
pemasangan advance airway.
Alat defibrilasi otomatis
Penggunaanya sebaiknya segera dilakukan setelah alat
tersedia/datang ke tempat kejadian. Pergunakan program/panduan yang
telah ada, kenali apakah ritme tersebut dapat diterapi kejut atau
tidak, jika iya lakukan terapi kejut sebanyak 1 kali dan lanjutkan
RJP selama 2 menit dan periksa ritme kembali. Namun jika ritme
tidak dapat diterapi kejut lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa
kembali ritme. Lakukan terus langkah tersebut hingga petugas ACLS
(Advanced Cardiac Life Support ) datang, atau korban mulai
bergerak.
Posisi mantap
Lebih dikenal dengan recovery posisition, dipergunakan pada
korban tidak responsive yang memiliki pernafasan dan sirkulasi yang
baik. Tidak ada posisi baku yang menjadi standar, namun posisi yang
stabil dan hamper lateral menjadi prinsip ditambah menaruh tangan
yang berada lebih bawah ke kepala sembari mengarahkan kepala menuju
tangan dan menekuk kedua kaki menunjukan banyak manfaat.
Ringkasan komponen BLS (basic life support) bagi dewasa,
anak-anak dan bayi
Komponen
Dewasa
Anak-Anak
Bayi
Pengenalan
Tidak responsif, tidak bernafas atau tersedak (gasping)
Tidak responsif, tidak bernafas atau tersedak (gasping)
Tidak responsif, tidak bernafas atau tersedak (gasping)
Nadi tidak teraba dalam 10 detik
Nadi tidak teraba dalam 10 detik
Nadi tidak teraba dalam 10 detik
Urutan RJP
CAB
CAB
CAB
Kecepatan kompresi
100/menit
100/menit
100/menit
Kedalaman kompresi
2 inchi (5cm)
1/3 AP, sekitar 2 inchi (5cm)
1/3 AP, sekitar 1,5 inchi (4 cm)
Interupsi kompresi
Minimalisir interupsi hingga < 10 detik
Minimalisir interupsi hingga < 10 detik
Minimalisir interupsi hingga < 10 detik
Jalan nafas
Head tilt-chin lift-jaw thrust
Head tilt-chin lift-jaw thrust
Head tilt-chin lift-jaw thrust
Rasion kompresi:ventilasi
30:2 (1 atau 2 penyelamat)
30:2 (satu), 15:2 (2 penyelamat)
30:2 (satu), 15:2 (dua penyelamat)
Jika penyelamat tidak terlatih
Kompresi saja
Kompresi saja
Kompresi saja
Ventilasi jika mungkin
1 nafas setiap 6-8 detik, tanpa menyesuaikan dengan kompresi, 1
detik setiap nafas, hingga dada mengembang
1 nafas setiap 6-8 detik, tanpa menyesuaikan dengan kompresi, 1
detik setiap nafas, hingga dada mengembang
1 nafas setiap 6-8 detik, tanpa menyesuaikan dengan kompresi, 1
detik setiap nafas, hingga dada mengembang
Defibrilasi
Gunakan AED sesegera mungkin, minimalisir interupsi kompresi,
lanjutkan kompresi setelah setiap kejutan
Gunakan AED sesegera mungkin, minimalisir interupsi kompresi,
lanjutkan kompresi setelah setiap kejutan
Gunakan AED sesegera mungkin, minimalisir interupsi kompresi,
lanjutkan kompresi setelah setiap kejutan
11.5 BANTUAN HIDUP LANJUT
Terdiri atas Bantuan hidup dasar ditambah langkah-langkah:
D (Drugs): Pemberian obat-obatan.
Obat-obat tersebut dibagi menjadi 2 golongan:
1. Penting:
a. adrenalin : Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan
beta, dosis yang diberikan 0,5 1 mg iv diulang setelh 5 menit
sesuai kebutuhan dan yang perlu diperhatikan dapat meningkatkan
pemakaian O2 myocard, takiaritmi, fibrilasi ventrikel(4).
b. Natrium Bicarbonat: Penting untuk melawan metabolik asidosis,
diberikan iv dengan dosis awal : 1 mEq/kgBB, baik berupa bolus
ataupun dalam infus setelah selama periode 10 menit. Dapat juga
diberikan intrakardial, begitu sirkulasi spontan yang efektif
tercapai, pemberian harus dihentikan karena bisa terjadi metabolik
alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila belum ada
sirkulasi yang efektif maka ulangi lagi pemberian dengan dosis yang
sama(3).
c. Sulfat Atropin: Mengurangi tonus vagus memudahkan konduksi
atrioventrikuler dan mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus
bradikardi. Paling berguna dalam mencegah arrest pada keadaan sinus
bradikardi sekunder karena infark miokard, terutama bila ada
hipotensi. Dosis yang dianjurkan mg, diberikan iv. Sebagai bolus
dan diulang dalam interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi >
60 /menit, dosis total tidak boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok
atrioventrikuler derajat 3 yang membutuhkan dosis lebih besar.
d. Lidokain: Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek
antiaritmia dengan cara meningkatkan ambang stimulasi listrik dari
ventrikel selama diastole. Pada dosis terapeutik biasa, tidak ada
perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard, tekanan arteri
sistemik, atau periode refrakter absolut. Obat ini terutama efektif
menekan iritabilitas sehingga mencegah kembalinya fibrilasi
ventrikel setelah defibrilasi yang berhasil, juga efektif
mengontrol denyut ventrikel prematur yang mutlti fokal dan episode
takhikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv sebagai bolus,
pelan-pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan
infus kontinu 1-3 mg.menit, biasanya tidak lebih dari 4 mg.menit,
berupa lidocaine 500 ml dextrose 5 % larutan (1 mg/ml) (3).
2. Berguna:
a. Isoproterenol: Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera
(bradikardi hebat karena complete heart block). Ia diberikan dalam
infus dengan jumlah 2 sampai 20 mg/menit (1-10 ml larutan dari 1 mg
dalam 500 ml dectrose 5 %), dan diatur untuk meninggikan denyut
jantung sampai kira-kira 60 kali/menit. Juga berguna untuk sinus
bradikardi berat yang tidak berhasil diatasi dengan
Atropine(3).
b. Propanolol: Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti
aritmianya terbukti berguna untuk kasus-kasus takhikardi ventrikel
yang berulang atau fibrilasi ventrikel berulang dimana ritme
jantung tidak dapat diatasi dengan Lidocaine. Dosis umumnya adalah
1 mg iv, dapat diulang sampai total 3 mg, dengan pengawasan yang
ketat(3).
c. Kortikosteroid: Sekaranfg lebih disukai kortikosteroid
sintetis (5 mg/kgBB methyl prednisolon sodium succinate atau 1
mg/kgBB dexamethasone fosfat) untuk pengobatan syok kardiogenik
atau shock lung akibat henti jantung. Bila ada kecurigaan edema
otak setelah henti jantung, 60-100 mg methyl prednisolon sodium
succinate tiap 6 jam akan menguntungkan. Bila ada komplikasi paru
seperti pneumonia post aspirasi, maka digunakan dexamethason fosfat
4-8 mg tiap 6 jam(3).
E (EKG): Diagnosis elektrokardigrafis untuk mengetahui adanya
fibrilasi ventrikel dan monitoring.
F: (Fibrilation Treatment)
Gambaran EKG pada Ventrikel Fibrilasi ini menunjukan gelombang
listrik tidak teratur baik amplitudo maupun frekuensinya.
Terapi definitifnya adalah syok electric (DC-Shock) dan belum
ada satu obatpun yang dapat menghilangkan fibrilasi.
Tindakan defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi ventrikel.
Elektroda dipasang sebelah kiri putting susu kiri dan di sebelah
kanan sternum atas.
11.6 BANTUAN HIDUP TERUS-MENERUS (3)
G (Gauge) : Tindakan selanjutnya adalah melakukan monitoring
terus-menerus terutama system pernapasan, kardiovaskuler dan system
saraf.
H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan
sistim saraf dari kerusakan lebih lanjut, sehingga dapat dicegah
terjadinya kelainan neurologic yang permanen.
H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi
susunan saraf pusat yaitu pada suhu antara 30 32C.
H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong
adalah manusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan
hendaknya berdasarkan perikemanusiaan.
I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu :
tunjangan ventilasi : trakheostomi, pernafasan dikontrol terus
menerus, sonde lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan
tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang.
Keputusan untuk mengakhiri resusitasi
Keputusan untuk memulai dan mengakhiri usaha resusitasi adalah
masalah medis, tergantung pada pertimbangan penafsiran status
serebral dan kardiovaskuler penderita. Kriteria terbaik adanya
sirkulasi serebral dan adekuat adalah reaksi pupil, tingkat
kesadaran, gerakan dan pernafasan spontan dan refleks. Keadaan
tidak sadar yang dalam tanpa pernafasan spontan dan pupil tetap
dilatasi 15-30 menit, biasanya menandakan kematian serebral dan
usaha-usaha resusitasi selanjutnya biasanya sia-sia. Kematian
jantung sangat memungkinkan terjadi bila tidak ada aktivitas
elektrokardiografi ventrikuler secara berturut-turut selama 10
menit atau lebih sesudah RJP yang tepat termasuk terapi
obat(3).
BAB IIIKESIMPULAN
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation
(CPR) adalah suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk
mengembalikan keadaan henti nafas atau henti jantung (kematian
klinis) ke fungsi optimal, guna mencegah kematian biologis
Peran RJP ini sangatlah besar, seperti pada orang-orang yang
mengalami henti jantung tiba-tiba. Henti jantung menjadi penyebab
utama kematian di beberapa negara. Terjadi baik di luar rumah sakit
maupun di dalam rumah sakit. Diperkirakan sekitar 350.000 orang
meninggal per tahunnya akibat henti jantung di Amerika dan Kanada.
Perkiraan ini tidak termasuk mereka yang diperkirakan meninggal
akibat henti jantung dan tidak sempat diresusitasi. Walaupun usaha
untuk melakukan resusitasi tidak selalu berhasil, lebih banyak
nyawa yang hilang akibat tidak dilakukannya resusitasi. Bantuan
hidup dasar boleh dilakukan oleh orang awam dan juga orang yang
terlatih dalam bidang kesihatan. Ini bermaksud bahwa RJP boleh
dilakukan dan dipelajari dokter, perawat, para medis dan juga orang
awam.
Oleh karena itu sangatlah penting untuk mengetahui dan memahami
serta mampu melaksanakan bantuan hidup dasar ini. Pedoman
pelaksanaan RJP yang dipakai adalah pedoman yang dikeluarkan oleh
Amerikan Heart Assosiation. Amerikan Heart Assosiation merevisi
pedoman RJP setiap lima tahun, dengan revisi terbaru pada tahun
2010. AHA merevisi dari A-B-C ke C-A-B, dan memberikan 2 algoritma
bantuan hidup dasar yakni simple algoritma untuk masyarakat awam
dalam bentuk sederhana agar mudah dipahami dan algoritma khusus
untuk petugas kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. John M. Field, Part 1: Executive Summary: 2010 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010;122;S640-S656.
2. Sayre MR. et al. Highlights of the 2010 American Heart
Association Guidelines for CPR and ECC. 7272 Greenville Avenue.
Dallas, Texas 75231-4596.. 90-1043.
3. Alkatiri J. Resusitasi Kardio Pulmoner dalam Sudoyo W. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. FKUI. Jakarta. 2007.
Hal. 173-7.
4. Latief S.A. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua.
Penerbit FKUI. Jakarta. 2007
5. Robert A. Berg, et al. Part 5: Adult Basic Life Support: 2010
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.
Circulation2010;122;S685-S705.
6. Andrew H. Travers, et al. Part 4: CPR Overview: 2010 American
Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010;122;S676-S684
1