BAB 2 LAPORAN KASUS 2.1. Anamnesis 2.1.1. Identitas Pribadi Nama : Warianto Jenis Kelamin : laki-laki Usia : 19 th 9 bln Suku Bangsa : Indonesia Agama : Islam Alamat : Huta I Pardamoan Nagori Kec Bandar Musil Status : Belum Kawin Pekerjaan : Wiraswasta Tanggal Masuk : 14 Juni 2012 Tanggal Keluar : 2.1.2. Anamnesa Keluhan Utama : Penurunan kesadaran Telaah : Hal ini dialami Os setelah Os mengalami kecelakaan lalu lintas 2 minggu yang lalu. Posisi jatuh tidak jelas. Riwayat kejang dan muntah tidak di jumpai. Sebelumnya Os telah dirawat di RS Siantar selama 10hari Riwayat Hipertensi, Diabetes Mellitus, penyakit jantung tidak dijumpai Riwayat Penyakit Terdahulu : - Riwayat penggunaan obat : Tidak jelas
trauma kapitis bahasa indonesia ddddddddddddddddddddddddddddd
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1. Anamnesis
2.1.1. Identitas Pribadi
Nama : Warianto
Jenis Kelamin : laki-laki
Usia : 19 th 9 bln
Suku Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Huta I Pardamoan Nagori Kec Bandar Musil
Status : Belum Kawin
Pekerjaan : Wiraswasta
Tanggal Masuk : 14 Juni 2012
Tanggal Keluar :
2.1.2. Anamnesa
Keluhan Utama : Penurunan kesadaran
Telaah : Hal ini dialami Os setelah Os mengalami kecelakaan lalu
lintas 2 minggu yang lalu. Posisi jatuh tidak jelas.
Riwayat kejang dan muntah tidak di jumpai. Sebelumnya
Os telah dirawat di RS Siantar selama 10hari
Riwayat Hipertensi, Diabetes Mellitus, penyakit jantung
tidak dijumpai
Riwayat Penyakit Terdahulu : -
Riwayat penggunaan obat : Tidak jelas
2.1.3. Anamnesa Traktus
Traktus Sirkulatorius : TD 110/80mmhg
Traktus Respiratorius : dalam batas normal
Traktus Digestivus : dalam batas normal
Traktus Urogenitalis : dalam batas normal
Penyakit Terdahulu dan Kecelakaan : kecelakaan lalu lintas ½ bulan lalu
Intoksikasi dan Obat-obatan : tidak jelas
2.1.4. Anamnesa Keluarga
Faktor Herediter : Tidak ada riwayat keluarga
Faktor Familier : Tidak ada riwayat keluarga
Lain-lain : (-)
2.1.5. Anamnesa Sosial
Kelahiran dan Pertumbuhan : Lahir spontan.
pertumbuhan dalam batas normal
Imunisasi : tidak jelas
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : wiraswasta
Perkawinan dan Anak :belum menikah
2.2. Pemeriksaan Jasmani
2.2.1. Pemeriksaan Umum
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
Frekuensi Nafas : 24 x/menit
Temperatur : 36,5 0C
Kulit dan Selaput Lendir : dalam batas normal
Kelenjar dan Getah Bening : dalam batas normal
Persendian : dalam batas normal
2.2.2. Kepala dan Leher
Bentuk dan Posisi : bulat dan medial
Pergerakan : tidak dapat dinilai
Kelainan Panca Indera : tidak dapat dinilai
Rongga Mulut dan Gigi : dalam batas normal
Kelenjar Parotis : dalam batas normal
Desah : (-)
Dan Lain-lain : (-)
2.2.3. Rongga Dada dan Abdomen Rongga Dada Rongga Abdomen
Inspeksi : simetris fusiformis simetris
Perkusi : sonor timpani
Palpasi : sulit di nilai soepel
Auskultasi : vesikuler peristaltik(+)N
2.2.4. Genitalia
Toucher :Tidak dilakukan pemeriksaan
2.3. Status Neurologis
2.3.1. Sensorium : Somnolen
2.3.2. Kranium
Bentuk : bulat
Fontanella : tertutup
Palpasi : pulsasi a.carotis dan a.temporalis (+)
Perkusi : Cracked pot sign (-)
Auskultasi : desah (-)
Transilumnasi : tidak dilakukan pemeriksaan
2.3.3. Perangsangan Meningeal
Kaku Kuduk : (-)
Tanda Kernig : (-)
Tanda Brudzinski I : (-)
Tanda Brudzinski II : (-)
2.3.4. Peningkatan Tekanan Intrakranial
Muntah : (-)
Sakit Kepala : (-)
Kejang : (-)
2.3.5. Saraf Otak/Nervus Kranialis
Nervus I Meatus Nasi Dextra Meatus Nasi Sinistra
Normosmia : Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Anosmia : Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Parosmia : Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Hiposmia : Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Nervus II Oculi Dextra (OD) Oculi Sinistra (OS)
Visus : Tidak dapat dinilai Sulit dinilai
Lapangan Pandang
Normal : Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Menyempit : Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Hemianopsia : Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Scotoma : Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Refleks Ancaman : (-) (-)
Fundus Okuli
Warna : tidak dilakukan pemeriksaan tidak dilakukan pemeriksaan
Batas : tidak dilakukan pemeriksaan tidak dilakukan pemeriksaan
Ekskavasio : tidak dilakukan pemeriksaan tidak dilakukan pemeriksaan
Arteri : tidak dilakukan pemeriksaan tidak dilakukan pemeriksaan
Vena : tidak dilakukan pemeriksaan tidak dilakukan pemeriksaan
Nervus III, IV, VI Oculi Dextra (OD) Oculi Sinistra (OS)
Gerakan Bola Mata :tidak dapa dinilai tidak dapat dinilai
Nistagmus : (-) (-)
Pupil
Lebar : 3 mm 3 mm
Bentuk : bulat bulat
Refleks Cahaya Langsung : (+) (+)
Refleks Cahaya tidak Langsung : (+) (+)
Rima Palpebra : Ø 7 mm Ø 7 mm
Deviasi Konjugate : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Fenomena Doll’s Eye : (+) (+)
Strabismus : (-) (-)
Nervus V Kanan Kiri
Motorik
Membuka dan Menutup Mulut : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Palpasi Otot Masseter & Temporali : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Kekuatan Gigitan : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Sensorik
Kulit : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Selaput Lendir : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Refleks Kornea
Langsung : (+) (+)
Tidak Langsung : (+) (+)
Refleks Masseter : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Refleks Bersin : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Nervus VII Kanan Kiri
Motorik
Mimik : sudut mulut simetris sudut mulut simetris
Kerut Kening : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Menutup Mata : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Meniup Sekuatnya : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Memperlihatkan Gigi : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Tertawa : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Sensorik
Pengecapan 2/3 Depan Lidah : tidak dapat dinilai
Produksi Kelenjar Ludah : tidak bisa dinilai
Hiperakusis : tidak dapat dinilai
Refleks Stapedial : tidak dapat dinilai
Nervus VIII Kanan Kiri
Auditorius
Pendengaran : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Test Rinne : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Test Weber : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Test Schwabach : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Vestibularis
Nistagmus : (-) (-)
Reaksi Kalori : tidak dilakukan pemeriksaan tidak dilakukan pemeriksaan
Vertigo : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Tinnitus : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Nervus IX, X
Pallatum Mole : simetris
Uvula : medial
Disfagia : tidak dapat dinilai
Disartria : tidak dapat dinilai
Disfonia : tidak dapat dinilai
Refleks Muntah : (+)
Pengecapan 1/3 Belakang Lidah : tidak dapat dinilai
Nervus XI Kanan Kiri
Mengangkat Bahu : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Fungsi Otot Sternocleidomastoideus : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Nervus XII
Lidah
Tremor : (-)
Atrofi : (-)
Fasikulasi : (-)
Ujung Lidah Sewaktu Istirahat : medial
Ujung Lidah Sewaktu Dijulurkan : tidak dapat dinilai
2.3.6. Sistem Motorik
Trofi : eutrofi
Tonus Otot : normotonus
Kekuatan Otot : sulit dinilai, kesan lateralisasi kek kiri
3. Berat: kehilangan kesadaran >36 jam, amnesia post traumatic > 7 hari dan GCS 3-8
Komosio Serebri 1,7
Komosio serebri yaitu disfungsi neuron otak sementara yang disebabkan oleh trauma
kapitis tanpa menunjukkan kelainan mikroskopis jaringan otak. Patologi dan
Simptomatologi Benturan pada kepala menimbulkan gelombang tekanan di dalam rongga
tengkorak yang kemudian disalurkan ke arah lobang foramen magnum ke arah bawah
canalis spinalis dengan demikian batang otak teregang dan menyebabkan lesi
iritatif/blokade sistem reversible terhadap sistem ARAS.
Pada komosio serebri secara fungsional batang otak lebih menderita daripada fungsi
hemisfer. Keadaan ini bisa juga terjadi oleh karena tauma tidak langsung yaitu jatuh
terduduk sehingga energi linier pada kolumna vertebralis diteruskan ke atas sehingga juga
meregangkan batang otak. Akibat daripada proses patologi di atas maka terjadi gangguan
kesadaran (tidak sadar kurang dari 20 menit) bisa diikuti sedikit penurunan tekanan darah,
pols dan suhu tubuh. Muntah dapat juga terjadi bila pusat muntah dan keseimbangan di
medula oblongata terangsang. Gejala : - pening/nyeri kepala - tidak sadar/pingsan kurang
dari 20 menit - amnesia retrograde : hilangnya ingatan pada peristiwa beberapa lama
sebelum kejadian kecelakaan (beberapa jam sampai beberapa hari).
Hal ini menunjukkan keterlibatan/gangguan pusat-pusat di korteks lobus temporalis. - Post
trumatic amnesia : (anterograde amnesia) lupa peristiwa beberapa saat sesudah trauma.
Derajat keparahan trauma yang dialaminya mempunyai korelasi dengan lamanya waktu
daripada retrograde amnesia, post traumatic amnesia dan masa-masa confusionnya.
Amnesia ringan disebabkan oleh lesi di hipokampus, akan tetapi jika amnesianya berat dan
menetap maka lesi bisa meluas dari sirkuit hipokampus ke garis tengah diensefalon dan
kemudian ke korteks singulate untuk bergabung dengan lesi diamigdale atau proyeksinya
ke arah garis tengah talamus dan dari situ ke korteks orbitofrontal.
Amnesia retrograde dan anterograde terjadi secara bersamaan pada sebagian besar pasien
(pada kontusio serebri 76 % dan komosio serebri 51 %). Amnesia retrograde lebih sering
terjadi daripada amnesia retrograde. Amnesia retrograde lebih cepat pulih dibandingkan
dengan amnesia anterograde. Gejala tambahan : bradikardi dan tekanan darah naik
sebentar, muntah-muntah, mual, vertigo. (vertigo dirasakan berat bila disertai komosio
labirin). Bila terjadi keterlibatan komosio medullae akan terasa ada transient parestesia ke
empat ekstremitas.
Gejala-gejala penyerta lainnya (sindrom post trauma kapitis), adalah nyeri kepala, nausea,
dizziness, sensitif terhadap cahaya dan suara, iritability, kesukaran konsentrasi pikiran, dan
gangguan memori. Sesudah beberapa hari atau beberapa minggu ; bisa di dapat gangguan
fungsi kognitif (konsentrasi, memori), lamban, sering capek-capek, depresi, iritability. Jika
benturan mengenai daerah temporal nampak gangguan kognitif dan tingkah laku lebih
menonjol.
Prosedur Diagnostik :
1. X foto tengkorak2. LP, jernih, tidak ada kelaina
3. EEG normal
Terapi untuk komosio serebri yaitu : istirahat, pengobatan simptomatis dan mobilisasi
bertahap. Setiap penderita komosio serebri harus dirawat dan diobservasi selama minimal
72 jam. Awasi kesadarannya, pupil dan gejala neurologik fokal, untuk mengantisipasi
adanya lusid interval hematom.
Kontusio Serebri 1,7
Kontusio serebri yaitu suatu keadaan yang disebabkan trauma kapitis yang menimbulkan
lesi perdarahan intersitiil nyata pada jaringan otak tanpa terganggunya kontinuitas jaringan
dan dapat mengakibatkan gangguan neurologis yang menetap. Jika lesi otak menyebabkan
terputusnya kontinuitas jaringan, maka ini disebut laserasio serebri. Patofisiologi dan
Gejala : Pasien tidak sadar > 20 menit.
Fase I = fase shock
Keadaan ini terjadi pada awal 2 x 24 jam disebabkan :
- kolaps vasomotorik dan kekacauan regulasi sentral vegetative
- temperatur tubuh menurun, kulit dingin, ekstremitas dan muka sianotik
- respirasi dangkal dan cepat
- nadi lambatsebentar kemudian berubah jadi cepat, lemah dan irregular
- tekanan darah menurun
- refleks tendon dan kulit menghilang
- babinsky refleks positif
- pupil dilatasi dan refleks cahaya lemah
Fase II = fase hiperaktif central vegetative
- temperatur tubuh meninggi
- pernafasan dalam dan cepat
- takikardi
- sekret bronkhial meningkat berlebihan
- tekanan darah menaik lagi dan bisa lebih dari normal
- refleks-refleks serebral muncul kembali
Fase III = cerebral oedema
Fase ini sama bahayanya dengan fase shock dan dapat mendatangkan kematian jika tidak
ditanggulangi secepatnya.
Fase IV = fase regenerasi/rekonvalesens
Temperatur tubuh kembali normal, gejala fokal serebral intensitas berkurang atau
menghilang kecuali lesinya luas.
Gejala lain :
Fokal neurologik :
- Hemiplegia, tetraplegia, decerebrate rigidity
- Babinsky reflex
- Afasia, hemianopsia, kortikal blindness
- Komplikasi saraf otak :
fraktur os criribroformis : gangguan N. I (olfaktorius)
fraktur os orbitae : gangguan N. III, IV dan VI
herniasi uncus, gangguan N. III
farktur os petrosum (hematotympani) : gangguan N. VII dan N. VIII
perdarahan tegmentum : batang otak ; opthalmoplegia total
fraktur basis kranii post : gangguan N. X, XI, XII
- Tanda rangsang meningeal : akibat iritasi daerah yang mengalir ke arachnoid
- Gangguan organik brain sindroma : delirium
Kontusio serebri pada anak-anak dibawah 6 tahun kadang-kadang gejalanya berbeda
dengan dewasa antara lain :
1. adanya fase latent, dimana anak tersebut tak menunjukkan kelainan kesadaran dan
tingkah laku. Fase latent ini dapat berlangsung dampai 16 jam.
2. sesudah fase latent, diikuti serangan akut gejala fokal serebral serta kehilangan
kesadaran dan kejang-kejang.
3. jika kondisi kontusionya tidak berat maka sesudah 4 hari sang anak pulih normal
bermain-main seakan tidak ada apa-apa lagi.
Hal ini disebabkan anak-anak tidak melalui fase I shock, tapi langsung ke fase II. Di duga
hal tersebut dikarenakan tulang kranium anak masih elastis sehingga berfungsi sebagai
shock absorber yang baik terhadap trauma.
Diagnostik bantu :
1. X foto tengkorak polos, Brain CT-Scan, MRI
2. 2. LP bercampur darah
3. 3. EEG abnormal
Epidural Hematom 1,7
Hematoma terjadi karena perdarahan antara tabula interna kranii dengan duramater.
Insiden terjadinya 1-3 %.
Hematoma ini disebabkan oleh :
1. pecahnya arteri dan atau vena meningea media
2. perdarahan sinus venosus : misalnya sinus sphenoparietalis, sinus sagitalis
posterior.
3. Perdarahn sinus ini bisa bersifat progresif.
Berhubung perdarahannya kebanyakan massif atau arteriil maka lucid interval cepat antara
beberapa menit, beberapa jam sampai 1-2 hari. Volume darah biasanya setelah mencapai
75 cc dan melepaskan duramater dari ikatannya pada periost baru tampak ada gejala nyata
penurunan kesadaran. Lucid interval adalah waktu sadar antara terjadinya trauma sampai
timbulnya penurunan kesadaran ulang.
Jadi biasanya epidural hematoma sering bersamaan dengan komosio serebri atau kontusio
serebri. Jika bersamaan dengan kontusio serebri berat, lusid interval tidak tampak karena
gejalanya berhubungan antara superposisi dengan kontusionya. Pada anak-anak jarang
terjadi epidural hematom sebab duramaternya masih melekat erat pada dinding periosteum
kranium. Pada dewasa perlekatan duramater paling lemah di daerah temporal. Tanda-tanda
yang paling dapat dipercaya suatu epidural hematom apabila ada gejala-gejala seperti
dibawah :
1. adanya lucid interval
2. kesadarn yang makin menurun
3. hemiparese yang terlambat kontralateral lesi
4. pupil anisokor. Unilateral midriasis terjadi karena lesi N. III pada sisi akibat
penekanan daripada herniasi uncus gyrus hipokampus lobus temporalis sehingga N.
III terjerat
5. babinsky unilateral kontralateral lesi (bisa juga bilateral)
6. fraktur kranii yang menyilang pada sisi (sering di temporal)
7. kejang
8. bradikardi
Jika epidural hematom terletak pada fossa kranii posterior gejalanya tidak sama dengan
yang di atas, tapi sebagai berikut :
1. lusid interval tidak jelas2. fraktur kranii daerah oksipital3. kehilangan kesadarannya terjadi cepat
4. terjadi gangguan pernafasan dan serebellum
5. pupil isokor biasanya disebabkan oleh karena sinus transversus atau confluence
sinuum pecah maka prognosanya jelek.
Diagnosa bantu
1. X foto tengkorak : ada fraktur yang menyilang2. Brain CT-Scan
3. Arteriografi karotis
4. EEG abnormal
5. LP tekana meninggi jernih
Subdural Hematom 1,7
Hematoma yang terbentuk karena adanya perdarahn di antara duramater dan arakhnoid.
Hygroma subdural yaitu subdural hematom yang diikuti perobekan arakhnoid dan darah
bergabung dengan likuor serebrospinal. Penyebabnya adalah robeknya bridging vein
(vena-vena yang menyebrang dari korteks ke sinus-sinus sagitalis superior) antara lain :
1. trauma kapitis
2. kaheksia
3. gangguan diskrasia darah
lokasi : sering di daerah frontal, parietal dan temporal.
Subdural hematom sering bersamaan dengan kontusio serebral. Lusid interval pada
subdural hematoma lebih lama daripada epidural hematom karena yang mengalami
perdarahan adalah pembuluh darah venous kecil akibatnya perdarahannya tidak masif
bahkan hematomanya itu sendiri bisa sebagai tampon bagi vena-vena yang robek dimana
perdarahan dapat berhenti sendir.
Klasifikasi:
a. Akut Subdural Hematoma (SDH) : lusid interval 0-5 hari
Akut SDH biasanya bersamaan dengan kontusio berat akibatnya lusid interval dan
gejala subdural tidak terdeteksi. Biasanya diketahui pada diagnosa postmortem atau
pada saat otopsi. Penderita akut SDH langsung jatuh koma, pupil anisokor dan
hemiplegia kontralateral. Prognosisnya fatal.
Diagnosis bantu :
- CT-Scan
- LP berdarah
- Arteriografi karotis
- EEG abnormal
b. Subakut Subdural Hematoma : lusid interval 5-15 hari
Gejala nyeri kepala, kesadaran makin lama makin menurun, pelan-pelan visus
makin kabur disebabkan papil oedema. Jarang bersamaan dengan kontusio serebri.
Kemudian timbul hemiplegia secara perlahan.
Diagnosa bantu : sama dengan akut SDH
Prognosis sangat baik jika operatif pada subdural yang besar cepat dilakukan 75 %
kembali sembuh sempurna.
c. Kronik Subdural Hematoma : lusid interval 15 hari sampai bertahun-tahun
Pecahnya bridging vein makin lama makin besar dan hematomanya sendiri
berfungsi sebagai tampon bagi vena-vena yang pecah akibatnya perdarahn berhenti,
hematoma kemudian membeku dan dinding hematoma membentuk jaringan ikat
kapsula sebagai pembatas di sekitar hematoma.
Gumpalan darah kemudian lisis dengan osmolaritas lebih tinggi dari cairan
intersitiil di sekitarnya yang bisa menarik cairan sekitarnya atas dasar beda
osmolaritas. Lama kelamaan cairan jumlahnya bertambah sehingga mengakibatkan
proses desak ruang dan tekanan intrakranial meninggi.
Gejala awal :1. sefalgia terus menerus intermiten, sebab tertariknya duramater dan kompresi
jaringan otak di daerah sekitar hematoma2. kesadaran makin lama makin menurun samapi koma3. terjadi perubahan mental dan fungsi intelelek4. papil oedem, pandangan makin kabur dan diplopia parese N. VI5. hemiparesis yang pelan-pelan6. pupil bisa anisokor7. tekanan LP meninggi 1,2,3,9
Intraserebral Hematoma 1,7
Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di dalam jaringan otak,
sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio berat. Hematoma dapat hanya satu saja
ataupun multiple.
Jika hematoma tunggal dan letaknya di permukaan korteks, tindakan operatif dapat
dilakukan. Pada semua kasus intra kranial hematoma, bila hematomanya kecil, pengobatan
konservatif dapat dipertimbangkan tanpa memerlukan tindakan operatif.
Fraktur Basis Kranii
Fraktur basis kranii dapat dilakukan tanpa diikuti kehilangan kesadaran, kecuali memang
diserta adanya komosio ataupun kontusio serebri. Gejala tergantung letak frakturnya.
1. Fraktur basis kranii media biasanya fraktur terjadi pada os petrosum
- keluar darah dari telinga dan likuorrhoe
- parese N. VII dan VIII sering dijumpai
2. Fraktur basis kranii posterior
- unilateral/bilateral orbital hematom (Brill’s hematom)
- gangguan N. II jika fraktur melalui foramen optikum
- perdarahan melalui hidung dan likuorrhoe dan diikuti : Anosmia, anosmia
akibat trauma bisa persistent, jarang bisa sembuh sempurna.
3. Fraktur basis kranii posterior
- gejala lebih berat, kesadaran menurun
- tampak belakang telinga berwarna biru (Battle sign)
Diagnosa bantu : 50 % fraktur basis tidak dapat dilihat pada X foto polos basis.
3.5 Diagnosis
Laboratorium
1. Natrium
Perubahan dalam kadar natrium serum terjadi sekitar 50% dari pasien cedera kepala yang
koma. Hiponatremia mungkin terjadi karena sindrom inappropriate antidiuretik hormon
(SIADH) atau cerebral salt wasting. Kedua sindrom ini melibatkan tingkat natrium serum
menurun.
Kadar natrium meningkat pada cedera kepala menunjukkan dehidrasi ringan atau diabetes
insipidus.
2. Magnesium
Magnesium bisa turun pada fase akut cedera kepala ringan dan berat. Hal ini karena kation
ini menghambat respon eksitotoksik dan berfungsi sebagai antioksidan, pemantauan yang
cermat dari magnesium dapat memperbaiki outcome pasien.
Pemeriksaan Radiologis
1. X –Ray Tengkorak
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak atau
rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT scan bisa
mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat
digunakan bila CT scan tidak ada.6
Fraktur tengkorak pada trauma kapitis hanya 3-15 % saja dan kasus-kasus yang ada
fraktur tidak ada selalu ada kelainan intra kranial yang berarti. Namun demikian X foto
polos rutin dilakukan untuk setiap kasus trauma kapitis. Ini penting sebab :
a. Dari semua kematian akibat trauma kepala 80 % didapati fraktur tengkorak
b. Pembuatan X foto tengkorak diperlukan untuk kepentingan medikolegal
c. Tindakan atau pengawasan klinik ditentukan dengan melihat jenis dan lokasi fraktur
Jenis foto :
1. Foto antero-posterior2. Foto lateral
3. Foto Towne : foto ini dibuat seperti foto AP tetapi dengan tabung rontgen
diarahkan 30 derajat kraniokaudal. Foto ini penting untuk melihat fraktur di daerah
oksipital yang sulit di lihat dengan foto AP
4. Foto Waters : dibuat bila curiga ada fraktur tulang muka
5. Foto basis kranii : dibuat bila curiga ada fraktur basis
6. Foto tangensial : dibuat bila ada fraktur impresi, untuk melihat kedudukan pas
fragmen tulang yang melesak masuk
Jenis-jenis fraktur tengkorak :
1. Fraktur linier : garis fraktur terlihat lebih radiolusen dibandingkan dengan
gambaran pembuluh darah dan sutura, dan biasanya melebar pada bagian tengah
dan menyempit pada ujung-ujungnya. Perhatikan juga lokasi pembuluh darah dan
sutura mempunyai lokasi anatomis tertentu.
2. Fraktur impressi : jika impressi melebihi 1 cm dapat merobek duramater dan atau
jaringan otak dibawahnya. Fraktur impressi terlihat sebagai garis atau daerah yang
radiopaque dari tulang sekitarnya disebabkan bertumpuknya tulang.
3. Fraktur diastasis sutura : tampak sebagai pelebaran sutura (dalam keadaan normal
sutura tidak melebihi 2 mm)
2. CT-Scan Otak
Tidak semua penderita trauma kepala dilakukan CT-Scan otak, penguasaan klinis
mengenai trauma kapitis yang kuat dapat secara seleksi menentukan kapan penderita
secara tepat dilakukan CT-Scan. Dari CT-Scan dapat dilihat kelainan-kelainan berupa :
oedema serebri, kontusio jaringan otak, hemaroma intraserebral, epidural, subdural,
fraktur dan lain-lain.1
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa. MRI
mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput pada
pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau
terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk
pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan
intrakranial terkontrol baik.6
Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru
pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera
Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya
dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan
adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di
dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya
sampai saat ini dapat menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan
gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan.6
3.6 Penatalaksanaan
Prioritas Penanggulangan Cidera Kepala 1
a. Perbaiki kardiovaskular (atasi shock)b. Perbaiki keseimbangan respirasi, ventilasi atau jalan nafas yang baik
c. Evaluasi tingkat kesadaran
d. Amati jejas di kepala, apakah ada impressi fraktur, tanda-tanda fraktur basis kranii,
likuorhoe, hati-hati terhadap adanya fraktur servikalis (stabilisasi leher)
e. Amati jejas di bagian tubuh lainnya
f. Pemeriksaan neurologik lengkap dan X fot kepala, leher, CT-Scan
g. Perhatikan pupil
h. Atasi oedema serebri
i. Perbaiki keseimbangan cairan, elektrolit dan kalori
j. Monitor tekanan intra cranial
k. Pengobatan simptomatis atau konservatif
l. Jika ada pemburukan kesadaran disertai perdarahan intra kranial yang lebih dari 75 cc,
perlukaan tembus kranioserebral terbuka, impressi fraktur lebih dari 1 cm secepatnya
dilakukan tindakan operatif
Penatalaksaan Edema Serebri 1
1. Hipertonic Solution Therapy
Pengobatan cairan hipertonis bertujuan untuk mengurangi oedema serebri dengan cara
perbedaan osmolaritas cairan jaringan otak dengan plasma.
Contoh cairan hipertonik :
a. Manitol
b. Glyserol
Pemberian cairan hipertonis yang berlebihan dapat menimbulkan bahaya berupa :
- Dehidrasi berat
- Pengeluaran Na+ dan Cl- mengakibatkan neuron rusak
- Timbul rebound phenomen sehingga tekanan intrakranial meninggi
- Hati-hati pada perdarahan intrakranial sebab :
dengan mengeriputnya jaringan otak akibat cairan hipertonis itu, maka
darah akan menempati daerah yang kosong dan dengan demikian akan
mengaburkan gejala perdarahan yang sebenarnya
cairan hipertonis bisa mempercepat proses perdarahan itu sendiri
cairan hipertonis bisa mencetuskan proses perdarahan baru
Kontraindikasi :
- Renal Failure
- Hepatic Failure
- Congestive Heart Failure
Manitol
Mempunyai efek :
- meninggikan cerebral blood flow
- meninggikan eksresi Na+ urine
- menurunkan tekanan likuor serebro spinal
- diuresis secara ekstrem
Jika berlebihan dapat menyebabkan :
- dehidrasi berat
- hipotensi
- takikardi
- hemokonsentrasi
- overshoot obat masuk intraseluler padahal kadang di plasma sudah menurun maka
bisa terjadi rebound phenomen
Dosis
Manitol 20 % dengan dosis 0,25-1 gr/KgBB diberikan cepat dalam 30-60 menit. Efek
samping jika diberikan dalam dosis besar : sering nyeri kepala, chest pain. Jarang : kejang,
renal failure
Gliserol
mempunyai efek:
- meninggikan osmolaritas plasma yang lebih berperanan untuk menarik cairan di
otak dibandingkan dengan efek diuresisnya
- dimetabolisir oleh tubuh sebagai bahan substrat energy
- tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap kadar gula darah dan keton bodies
darah
- tidak mempunyai efek rebound phenomen
Dosis
- per oral : 0,5-1 gr/Kg diberikan setiap 4 jam dalam larutan 50 % gliserol untuk
mempertahankan kadar dalam darah. Dalam 30 menit sesudah pemberian akan
terlihat efek penurunan tekanan intra cranial
- per infus : 1 gr/Kg BB/hari dalam 10 % gliserol diberikan jangan melebihi 5
cc/menit. Efeknya akan kelihatan setelah 1 jam sesudah pemberian dan akan
menetap bertahan selama 12 jam. Jika infus diberikan dengan dosis melebihi 2,5
cc/menit maka akan terjadi efek diuresis.
Jika gliserol diberikan dalam dosis besar akan mempunyai komplikasi :
- hemolisis intravaskuler
- hemoglobinuria
- gastric iritasi
- nonketotic hiperosmolar hiperglikemia
2. Kortikosteroid
Sifat dan kegunaannya memperbaiki membran sel yang rusak dengan cara :
- membentuk ikatan dengan fatty acid atau phospolipid membrane
- melindungi sel otak dari anoksia
- memperbaiki sistem sodium pump
- memperbaiki capillary tissue junction dan intercelluler junction sehingga permeabilitas
membran sel menjadi normal kembali dan akibatnya BBB pun membaik dan edema
sel-sel otak berkurang
Dosis
- dexamethason : initial 10 mg IV kemudian diikuti dengan pengurangan 4 mg/4
jam/hari dan pengurangan dosis secara tappering off. (diberikan dalam waktu singkat
7-10 hari)
- methyl prednisolon sodium succinat : initial 60 mg kemudian diikuti 20 mg/6 jam
kemudian taffering off, hati-hati pada perdarahan lambung.
Akhir-akhir ini penggunaan kortikosteroid pada oedema serebri mulai dipertanyakan.
Banyak kontroversi diperdebatkan dalam penggunaannya pada kasus trauma kapitis.
3. Barbiturat
Berguna untuk melindungi otak dari kerusakan lebih parah dengan cara :
- menurunkan metabolisme otak
- menstabilkan membran sel
- menurunkan aktivitas lysozim
- menurunkan tekanan intra cranial
- menurunkan pembentukan oedema otak
- melindungi sel otak terhadap ischemia
Dosis
Tiopental atau pentotal : 3-5 mg/KgBB/hari yang bisa dinaikkan sampai 30-50 mg/KgBB
kemudian di monitor terus kadarnya dalam plasma untuk mencapai kadar optimal 2-2,5 mg
%. Pemberian barbiturat terapi adalah pilihan terakhir sesudah gagal dalam penggunaan
hiperventilasi artifisiil, cairan hiperosmolar dan deksametason.
Penyulit yang timbul adalah timbulnya aritmia cordia dan asidosis biasanya ini dilakukan
hanya dalam 5 hari saja.
5. Hiperventilasi Artifisial
Memakai alat bantu ventilator melakukan induksi hipokapnia dimana PaCO2 arteri
diturunkan dan dipertahankan pada 26-28 mmHg (3,5-3,7 kPa) sehingga cerebral blood
flow berkurang dan akibatnya akan menurunkan tekanan intra kranial.
3.7 komplikasi
a. Kerusakan nervus kranialis
1. anosmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi pembauan yang jika total
disebut dengan anosmia dan bila parsial disebut hiposmia. Tidak ada pengobatan
khusus bagi penderita anosmia.7
2. Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami
cedera (trauma). Biasanya disertai hematoma di sekitar mata,
proptosis akibat adanya perdarahan, dan edema di dalam orbita.
Gejala klinik berupa penurunan visus, skotoma, dilatasi pupil dengan
reaksi cahaya negative, atau hemianopia bitemporal. Dalam waktu 3-
6 minggu setelah cedera yang mengakibatkan kebutaan, tarjadi
atrofi papil yang difus, menunjukkan bahwa kebutaan pada mata
tersebut bersifat irreversible.7
3. Oftalmoplegia
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata,
umumnya disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak ada
pengobatan khusus untuk oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan
dengan latihan ortoptik dini.7
4. Paresis fasialis
Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan
pengecapan pada lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup
mata, mulut moncong, semuanya pada sisi yang mengalami
kerusakan.7
5. Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya disertai
vertigo dan nistagmus karena ada hubungan yang erat antara
koklea, vestibula dan saraf. Dengan demikian adanya cedera yang
berat pada salah satu organ tersebut umumnya juga menimbulkan
kerusakan pada organ lain.7
b. disfasia
Secara ringkas , disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan
untukmemahami atau memproduksi bahasa disebabkan oleh
penyakit system saraf pusat. Penderita disfasia membutuhkan
perawatan yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit karena
masalah komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk
disfasia kecuali speech therapy.7
c. Hemiparese
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau
kanan) merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidal
di korteks, subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya berkaitan
dengan cedera kepala adalah perdarahan otak, empiema subdural,
dan herniasi transtentorial7,8
d. Sindroma pascatrauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome)
merupakan kumpulan gejala yang kompleks yang sering dijumpai
pada penderita cedera kepala. Gejala klinisnya meliputi nyeri kepala,
vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan konsentrasi,
penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan
fungsi seksual.7
e. Sindroma karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara
arteri karotis interna dengan sinus kavernosus, umumnya disebabkan
oleh cedera pada dasar tengkorak. Gejala klinik berupa bising
pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar penderita atau
pemeriksa dengan menggunakan stetoskop, proptosis disertai
hyperemia dan pembengkakan konjungtiva, diplopia dan penurunan
visus, nyeri kepala dan nyeri pada orbita, dan kelumpuhan otot-otot
penggerak bola mata.7
f. Epilepsy
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam
minggu pertama pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan
epilepsy yang muncul lebih dari satu minggu pascatrauma (late
posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul dalam tahun
pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi
setelah 4 tahun kemudian.7,8
3.8 Prognosis
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh MRC CRASH Trial Collaborators (2008), Umur
yang tua, Glasgow Coma Scale yang rendah, pupil tidak reaktif, dan terdapatnya cedera
ekstrakranial mayor merupakan prediksi buruknya prognosis. Skor Glasgow Coma Scale
menunjukkan suatu hubungan linier yang jelas terhadap mortalitas pasien
.
BAB 4
DISKUSI KASUS
Pada kasus ini, pasien didiagnosa mengalami trauma kapitis berat. Hal ini ditegakkan pada
pasien ini dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik dimana ditemukan:
1. Riwayat kecelakaan lalu lintas
2. Penurunan kesadaran selama lebih dari 7 hari
3. GCS waktu masuk rumat sakit 6
TEORI KASUS
KLASIFIKASI DAN DIAGNOSIS
Menurut teori, berdasarkan klasifikasi keparahannya dibagi menjadi trauma kapitis ringan, sedang dan berat
Pada pasien ini digolongkan menderita trauma kapitis berat karena penurunan kesadaran > 7 hari dan GCS waktu masuk rumah sakit 6
PEMERIKSAAN PENUNJANGPemeriksaan penunjang, yang diperlukan adalah pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan X-ray kepala, Computed Tomography-Scan(CT Scan) dan MRI.
Pada kasus, telah dilakukan pemeriksaandarah rutin dan beberapa pemeriksaan darah lainnya yang dibutuhkan dan dijumpai adanya peningkatan jumlah leukosit. Dari hasil CT-Scan yang dilakukan pada pasien ini dijumpai adanya infark di bangsal ganglia.
PENATALAKSANAAN
penatalaksanaan pada pasien trauma kapitis Dalam kasus ini pasien system kardiovaskuler
pada prinsipnya adalah perbaiki
kardiovaskular, perbaiki keseimbangan
respirasi, ventilasi atau jalan nafas yang baik,
Evaluasi tingkat kesadaran, amati jejas di
kepala, apakah ada impressi fraktur, tanda-
tanda fraktur basis kranii, likuorhoe, hati-hati
terhadap adanya fraktur servikalis (stabilisasi
leher), amati jejas di bagian tubuh lainnya,
Perhatikan pupil, atasi oedema serebri, perbaiki
keseimbangan cairan, elektrolit dan kalori,
monitor tekanan intra cranial, pengobatan
simptomatis atau konservatif, Jika ada
pemburukan kesadaran disertai perdarahan
intra kranial yang lebih dari 75 cc, perlukaan
tembus kranioserebral terbuka, impressi fraktur
lebih dari 1 cm secepatnya dilakukan tindakan
operatif.
dan respirasi stabil, untuk terapi lainnya pasien ini diberikan IVFD R Sol 20 tetes per menit, injeksi citicholin 1 ampul per 12 jam, injeksi ceftriaxone 1ampul per 12 jam, vitamin B komplek 3x1 tablet.
BAB 5
KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan neurologi serta pemeriksaan
penunjang, os didiagnosa dengan kapitis berat dan diberikan terapi O2 2-5 liter per menit,
IVFD R Sol 20 tetes per menit, injeksi ceftriaxone 1 ampul per 12 jam, injeksi citicholin 1
ampul per 12 jam dan vitamin B komplek 3 kali 1 tablet.
Saat ini os masih di rawat di ruang rawat inap neuraologi dan kondisi os sudah
mulai membaik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjahrir, Hasan. Ilmu Penyakit Syaraf Neurologi Khusus. 1994; 1-28
2. Japardi, Iskandar. Penatalaksanaan Cidera Kepala Secara operatif. USU Digital
Library. 2004: 1-4
3. Rambe AS, Zuraini. Profil Penderita Trauma Kapitis Pada Bangsal Neurologi RSUP H.
Neurona. Majalah Kedokteran Nusantara. 2008: 235-238