Transportasi Sebagai Aktivitas Sosial Ekonomi Bagian I PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiki lebih dari 17.000 pulau dengan total wilayah 735.355 mil persegi. Indonesia dan menempati peringkat keempat dari 10 negara berpopulasi terbesar di dunia (sekitar 220 juta jiwa). Tanpa sarana transportasi yang memadai maka akan sulit untuk menghubungkan seluruh daerah di kepulauan ini. Kebutuhan transportasi merupakan kebutuhan turunan (derived demand) akibat aktivitas ekonomi, sosial, dan sebagainya. Dalam kerangka makro-ekonomi, transportasi merupakan tulang punggung perekonomian nasional, regional, dan lokal, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Harus diingat bahwa sistem transportasi memiliki sifat sistem jaringan di mana kinerja pelayanan transportasi sangat dipengaruhi oleh integrasi dan keterpaduan jaringan. Sarana transportasi yang ada di darat, laut, maupun udara memegang peranan vital dalam aspek sosial ekonomi melalui fungsi distribusi antara daerah satu dengan daerah yang lain. Distribusi barang, manusia, dll. akan menjadi lebih mudah dan cepat bila sarana transportasi yang ada berfungsi sebagaimana mestinya sehingga transportasi dapat menjadi salah satu sarana untuk mengintegrasikan berbagai wilayah di Indonesia. Melalui transportasi penduduk antara wilayah satu dengan wilayah lainya dapat ikut merasakan hasil produksi yang rata maupun hasil pembangunan yang ada. Skala ekonomi (economy of scale), lingkup ekonomi (economy of scope), dan keterkaitan (interconnectedness) harus tetap menjadi pertimbangan dalam pengembangan transportasi dalam kerangka desentralisasi dan otonomi daerah yang kerap didengungkan akhir-akhir ini. Ada satu kata kunci
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Transportasi Sebagai Aktivitas Sosial Ekonomi
Bagian I
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiki lebih dari
17.000 pulau dengan total wilayah 735.355 mil persegi. Indonesia
dan menempati peringkat keempat dari 10 negara berpopulasi
terbesar di dunia (sekitar 220 juta jiwa). Tanpa sarana transportasi
yang memadai maka akan sulit untuk menghubungkan seluruh
daerah di kepulauan ini.
Kebutuhan transportasi merupakan kebutuhan turunan (derived
demand) akibat aktivitas ekonomi, sosial, dan sebagainya. Dalam
kerangka makro-ekonomi, transportasi merupakan tulang punggung
perekonomian nasional, regional, dan lokal, baik di perkotaan
maupun di pedesaan. Harus diingat bahwa sistem transportasi
memiliki sifat sistem jaringan di mana kinerja pelayanan
transportasi sangat dipengaruhi oleh integrasi dan keterpaduan
jaringan.
Sarana transportasi yang ada di darat, laut, maupun udara
memegang peranan vital dalam aspek sosial ekonomi melalui fungsi
distribusi antara daerah satu dengan daerah yang lain. Distribusi
barang, manusia, dll. akan menjadi lebih mudah dan cepat bila
sarana transportasi yang ada berfungsi sebagaimana mestinya
sehingga transportasi dapat menjadi salah satu sarana untuk
mengintegrasikan berbagai wilayah di Indonesia. Melalui
transportasi penduduk antara wilayah satu dengan wilayah lainya
dapat ikut merasakan hasil produksi yang rata maupun hasil
pembangunan yang ada.
Skala ekonomi (economy of scale), lingkup ekonomi (economy of
scope), dan keterkaitan (interconnectedness) harus tetap menjadi
pertimbangan dalam pengembangan transportasi dalam kerangka
desentralisasi dan otonomi daerah yang kerap didengungkan akhir-
akhir ini. Ada satu kata kunci ini disini, yaitu integrasi, di mana
berbagai pelayanan transportasi harus ditata sedemikian rupa
sehingga saling terintegrasi, misalnya truk pengangkut kontainer,
kereta api pengangkut barang, pelabuhan peti kemas, dan angkutan
laut peti kemas, semuanya harus terintegrasi dan memungkinkan
sistem transfer yang terus menerus (seamless).
Kebutuhan angkutan bahan-bahan pokok dan komoditas harus
dapat dipenuhi oleh sistem transportasi yang berupa jaringan jalan,
kereta api, serta pelayanan pelabuhan dan bandara yang efisien.
angkutan udara, darat, dan laut harus saling terintegrasi dalam satu
sistem logistik dan manajemen yang mampu menunjang
pembangunan nasional.
Transportasi jika ditilik dari sisi sosial lebih merupakan proses afiliasi
budaya dimana ketika seseorang melakukan transportasi dan
berpindah menuju daerah lain maka orang tersebut akan menemui
perbedaan budaya dalam bingkai kemajemukan Indonesia.
Disamping itu sudut pandang sosial juga mendeskripsikan bahwa
transportasi dan pola-pola transportasi yang terbentuk juga
merupakan perwujudan dari sifat manusia. Contohnya, pola
pergerakan transportasi penduduk akan terjadi secara massal dan
masif ketika mendekati hari raya. Hal ini menunjukkan perwujudan
sifat manusia yang memiliki tendesi untuk kembali ke kampung
halaman setelah lama tinggal di perantauan.
Pada umumnya perkembangan sarana transportasi di Indonesia
berjalan sedikit lebih lambat dibandingkan dengan negara-negara
lain seperti Malaysia dan Singapura. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan regulasi pemerintah masing-masing negara dalam
menangani kinerja sistem transportasi yang ada. Kebanyakan dari
Negara maju menganggap pembangunan transportasi merupakan
bagian yang integral dari pembangunan perekonomian.
Pembangunan berbagai sarana dan prasarana transportasi seperti
halnya dermaga, pelabuhan, bandara, dan jalan rel dapat
menimbulkan efek ekonomi berganda (multiplier effect) yang cukup
besar, baik dalam hal penyediaan lapangan kerja, maupun dalam
memutar konsumsi dan investasi dalam perekonomian lokal dan
regional.
Kurang tanggapnya pemerintah dalam menanggapi prospek
perkembangan ekonomi yang dapat diraih dari tansportasi
merupakan hal yang seharusnya dihindari. Sistem transportasi dan
logistik yang efisien merupakan hal penting dalam menentukan
keunggulan kompetitif dan juga terhadap pertumbuhan kinerja
perdagangan nasional dalam ekonomi global. Jaringan urat nadi
perekonomian akan sangat tergantung pada sistem transportasi
yang andal dan efisien, yang dapat memfasilitasi pergerakan
barang dan penumpang di berbagai wilayah di Indonesia.
Bagian II
TRANSPORTASI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
Pada hakikatnya transportasi merupakan proses perpindahan
barang, manusia, maupun jasa. Dalam proses perpindahan tersebut
terdapat suatu proses dimana seseorang akan melakukan aktivitas
ekonomi. Salah satu contoh yang paling sederhana adalah ketika
seorang mahasiswa berangkat menuju kampus menggunakan
sarana transportasi umum berupa bus. Ketika mahasiswa
menumpang bus tersebut telah terjadi aktivitas ekonomi disaat
mahasiswa membayar ongkos kepada kernet. Dalam perjalanan
biasanya pedagang asongan akan turut menumpang bus dengan
menawarkan barang daganganya. Ketika itu kembali lagi terjadi
aktivitas ekonomi disaat mahasiswa tersebut membeli barang
dagangan pedagang tersebut. Melalui contoh sederhana tersebut
dapat dimaknai bahwa transportasi merupakan sarana penunjang
bagi aktifitas ekonomi.
Dalam era Otonomi daerah saat ini, transportasi memegang
peranan penting bagi kelancaran pertumbuhan ekonomi daerah
tersebut. Perubahan sistem dari sentralisasi menjadi desentralisasi
membawa angin segar bagi daerah agar sebisa mungkin dapat
mendayagunakan kemampuan dan potensi daerahnya untuk
kelangsungan pembangunan. Distribusi barang dan jasa yang baik
dan lancar menuntut keberadaan sarana dan prasarana transportasi
yang memadai agar distribusi mampu mengcover seluruh lingkup
daerah tersebut.
Sebagai contoh adalah Propinsi Papua. Semenjak pemberlakuan
otonomi daerah, propinsi Papua dituntut untuk lebih mandiri dalam
pembangunan daerahnya dan pembangunan daerah Papua akan
berjalan lancar jika distribusi barang, jasa, maupun manusia (dalam
hal ini adalah tenaga ahli) berjalan sebagaimana mestinya. Namun
demikian perbedaan spasial yang ada antara kota-kota besar di
Papua dan daerah pedalaman memberikan hambatan yang cukup
besar dalam distribusi. Perbedaan spasial disamping menyajikan
keberagaman sumber daya antar daerah juga memberikan
hambatan spasial yang tidak ringan baik itu dikarenakan oleh
perbedaan topografi, perbedaan kultur, dan sebagainya. Selama ini
distribusi barang dan jasa yang mampu mengcover seluruh wilayah
Papua cukup mengandalkan sarana transportasi udara berupa
penerbangan perintis. Melalui penerbangan perintis, kebutuhan
akan distribusi barang dan jasa dapat tercover, mengingat
hambatan spasial yang tidak dapat diatasi oleh sarana transportasi
darat. Namun, selama ini titik pusat penerbangan perintis di Papua
hanya terdapat di kota-kota besar seperti Jayapura, Merauke,
Manokwari, Sorong, dan Biak. Disamping itu armada penerbangan
perintis yang terdapat di Papua masih belum memadai dalam
mengcover seluruh distribusi barang agar lebih cepat dan memiliki
kuantitas yang besar. Hal ini disebabkan pesawat transport yang
selama ini melayani rute penerbangan perintis tersebut masih
berupa pesawat berbaling-baling berbadan kecil disamping kondisi
bandara yang belum mampu didarati pesawat sekelas Boeing 737.
Sehingga sampai saat ini pembangunan di Papua belum berjalan
secara optimal.
Era otonomi daerah juga memberikan kesempatan bagi tiap-tiap
daerah untuk memekarkan diri. Hal tersebut menyebabkan banyak
wilayah mulai dari tingkat Kabupaten, Kecamatan, Kelurahan,
sampai Desa yang ingin melepaskan diri dari struktur yang lama
karena merasa mampu mandiri untuk berdiri sebagai Propinsi,
Kabupaten, Kecamatan, Kelurahan sampai dengan Desa yang baru.
Salah satu contoh propinsi baru hasil pemekaran daerah adalah
propinsi Bangka-Belitung. Propinsi baru penghasil timah ini memiliki
modal yang lebih dari cukup untuk berdiri sebagai propinsi. Namun
demikian hambatan spasial berupa kondisi fisik propinsi tersebut
yang berupa kepulauan dengan dua pulau terbesar yaitu pulau
Bangka dan Belitung cukup memberikan permasalahan bagi
distribusi pembangunan. Pengadaan dan optimalisasi armada
transportasi baik armada laut maupun udara akan memudahkan
distribusi barang dan jasa bagi propinsi baru tersebut. Dengan
mengandalkan sarana transportasi laut yang memiliki jumlah
armada yang belum memadai, nampaknya Propinsi Bangka-Belitung
patut memikirkan optimalisasi sarana transportasi yang ada
maupun memikirkan jalur transportasi udara agar mampu
melancarkan distribusi pembangunan.
Dari beberapa contoh diatas dapat disimpulkan bahwa transportasi
memegang peranan vital bagi pembangunan ekonomi daerah.
Melalui tersedianya sarana dan prasarana yang baik maka distribusi
barang, jasa, maupun manusia akan mampu berjalan lebih lancar,
cepat, dan dalam kuantitas yang besar sehingga pembangunan di
daerah akan berjalan dengan mulus.
A. TRANSPORTASI PUBLIK DAN KONDISI SOSIAL
MASYARAKAT PENGARUHNYA TERHADAP PEREKONOMIAN
Dalam banyak kasus di lapangan dapat kita amati bahwa secara
tidak langsung transportasi mencerminkan kondisi sosial suatu
masyarakat. Pola pergerakan transportasi manusia juga merupakan
salah satu cerminan kondisi sosial suatu masyarakat. Dalam waktu-
waktu tertentu terkadang sejumlah besar penduduk melakukan
pergerakan secara bersamaan secara masif dengan menggunakan
sarana transportasi publik. Tentunya pergerakan penduduk ini akan
berimplikasi pada perekonomian pula. Salah satu contoh dari kasus
tersebut adalah fenomena mudik Lebaran.
Terdapat suatu fenomena menarik di masyarakat yang bisa
disaksikan setiap tahun menjelang Idul Fitri atau Lebaran. Sebagian
masyarakat daerah yang kebetulan bekerja di kota-kota besar
menjalankan ritual tahunan berupa mudik ke tempat asalnya.
Kerinduan terhadap daerah tempat dilahirkan dan dibesarkan,
keinginan bersilaturahmi serta berkumpul bersama saudara dan
handai taulan, serta motivasi lain semisal ingin menunjukkan
keberhasilan hidup di kota, menjadi faktor pendorong dan alasan
bagi warga masyarakat untuk pulang kampung.
Peristiwa itu seharusnya bisa ditangkap oleh pemerintah daerah
untuk membantu pengembangan ekonomi Kabupaten atau Kota.
Meskipun masa tinggal para pemudik di daerah asalnya tidak terlalu
lama, hal itu tetap berdampak terhadap perekonomian daerah.
Biasanya beberapa pemerintah daerah sudah menyiapkan acara
penyambutan secara khusus terhadap para pemudik tersebut. Pola
semacam itu bisa dikembangkan sehingga akhirnya timbul sinergi
antara pemudik, kota besar, dan perekonomian daerah asal mereka.
Aktivitas mudik, terutama pada saat Lebaran di samping Natal dan
Tahun Baru, merupakan perhelatan akbar tahunan yang
diselenggarakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Bukan hanya pelaku
mudik yang harus bekerja keras demi mewujudkan keinginan
mereka, namun pemerintah dituntut pula berpartisipasi aktif dalam
kegiatan itu.
Penyediaan sarana transportasi publik yang cukup, nyaman, dan
memadai merupakan sebagian kecil tugas pemerintah yang
dilakukan setiap tahun. Tahun lalu diperkirakan dua sampai tiga juta
warga Jakarta kembali ke daerah asalnya untuk merayakan Lebaran
bersama keluarga. Angka itu berarti lebih dari 30% total penduduk
Jakarta yang berjumlah sekitar 8,4 juta jiwa.
Secara nasional diperkirakan ada sekitar 13,5 juta pemudik yang
kembali ke daerah asalnya. Meski bersifat temporer, perpindahan
penduduk dalam jumlah besar itu tentu berdampak secara ekonomi
baik terhadap kota tempat bekerja maupun daerah-daerah yang
dilalui dan dituju. Umumnya kaum pekerja yang ingin mudik harus
mengumpulkan dan mempersiapkan dana jauh-jauh hari. Tidak
berlebihan jika dikatakan mereka setahun penuh bekerja dan
mengumpulkan uang dengan salah satu motivasinya agar bisa
berlebaran di kampung halaman.
Perlu dicermati adalah apabila kegiatan mudik dikalkulasi secara
ekonomi maka akan ditemukan fakta bahwa aktivitas tersebut
melibatkan perputaran uang tidak sedikit. Memang belum ada
penelitian dan perhitungan komprehensif mengenai masalah itu,
namun diduga perputaran uang yang terkait secara langsung atau
tidak langsung dengan kegiatan mudik bisa triliunan rupiah.
Fenomena ekonomi semacam itu menjadi bahan perdebatan antara
pelaku, ekonom, dan pemerintah. Ada yang beranggapan mudik
adalah pemborosan dan merupakan aktivitas yang bersifat counter
productive. Secara ekonomi hal itu terkait dengan pemahaman
mengenai konsep opportunity cost, yaitu uang yang sudah dipakai
untuk satu kegiatan tidak akan bisa dimanfaatkan untuk kegiatan
lain.
B. Kondisi Transportasi Publik Indonesia
Setelah membahas pengaruh mudik lebaran dan aktivitas ekonomi
ada baiknya kita mengakaji kondisi sarana transportasi publik yang
selama ini menghubungkan seluruh daerah di Indonesia dan
menjadi pendukung aktivitas ekonomi masyarakat.
Secara garis besar kondisi sarana dan prasarana transportasi publik
di Indonesia masih belum dioptimalkan. Hal tersebut dapat
dievaluasi secara sederhana melalui pengamatan di lapangan.
Dalam bahasa keseharian, terdapat empat hal yang kita bisa
jadikan tolok ukur dalam melakukan evaluasi sederhana kondisi
dan kenyamanan (keempat hal ini selanjutnya disebut dengan 4K).
Aspek pertama dan utama adalah masalah keselamatan. Hal ini
tidak bisa ditawar karena kita semua tentunya tidak menginginkan
musibah menimpa diri kita. Berbagai data kecelakaan (Jasa Raharja,
kepolisian, Departemen Perhubungan) yang selalu berbeda
menunjukkan bahwa angka korban kecelakaan meninggal dunia dan
luka cukup mencengangkan, yaitu mencapai sekitar 80 orang per
hari.
Aspek kedua adalah keamanan. Berbagai survei transportasi, baik di
perkotaan maupun antarkota dan desa memperlihatkan bahwa para
penumpang umumnya masih menempatkan aspek ini ke dalam dua
hal utama dalam melakukan perjalanan. Wawancara sederhana
dengan para pemudik Lebaran lalu dari berbagai modal angkutan
menunjukkan bahwa keamanan merupakan salah satu faktor yang
sangat dipertimbangkan oleh para pemudik. Kenyataan ini konsisten
dengan berbagai kajian bahwa faktor keamanan sangat
memengaruhi keputusan seseorang dalam menentukan jenis
kendaraan yang dipilih, misalnya bis dengan kereta api, pesawat
dengan kendaraan carteran, dan lain-lain.
Ketiga adalah masalah keterjangkauan. Seseorang memilih alat
angkut tentunya berdasarkan anggaran di kantong masing-masing.
Ada yang bisa naik kapal terbang atau naik kapal laut, selebihnya
dengan bis, kereta api, kendaraan pribadi, sepeda motor, atau yang
lainnya. Pemerintah terlihat telah berupaya maksimal untuk
mengatur tarif sehingga aspek keterjangkauan ini tidak
menyusahkan rakyat banyak. Pelayanan angkutan kelas ekonomi,
yang sering kali dianggap sebagai kewajiban pelayanan umum,
telah dicoba untuk diatur sehingga masyarakat berpenghasilan
rendah dapat memiliki berbagai aksesibilitas dalam aktivitas
kesehariannya.
Fenomena low cost carrier atau kapal terbang yang terjangkau
menyebabkan sebagian pemudik angkutan laut berpindah naik
kapal terbang. Bandara menjadi semakin ramai dan bahkan
overcrowded sehingga masalah 4K juga sekarang menular di
angkutan udara. Di angkutan darat, tekanan terhadap kereta api
tidak sedramatis dulu karena sekarang banyak alternatif bagi
pemudik, misalnya bis yang jumlahnya cukup banyak, mobil
carteran, dan bahkan sepeda motor yang semakin menjadi favorit di
kalangan tertentu karna keterjangkauannya.
Aspek terakhir dari 4K adalah kenyamanan. Dalam suasana di mana
pasokan (supply) jauh lebih kecil daripada permintaan (demand),
maka aspek ini tampaknya harus agak ditoleransi oleh para
penumpang angkutan umum, utamanya yang berkantong pas-
pasan. Kenyamanan tampaknya menjadi aspek luxury bagi
sebagian besar pengguna transportasi di Indonesia. Dari mulai
mereka yang berjalan kaki, naik kendaraan tidak bermotor, sepeda
motor, hingga kendaraan mewah, tidak akan terlepas dari aspek
ketidaknyamanan, tentunya dengan derajat yang berbeda-beda.
Bagi mereka yang berpenghasilan rendah, aspek survival akan lebih
mengemuka dalam melakukan perjalanan. Sedangkan bagi mereka
yang berpenghasilan menengah ke atas, perjalanan pada waktu,
ruang, dan moda yang sama (kendaraan pribadi) biasanya akan
menyebabkan kemacetan dan berujung pada ketidaknyamanan.
Seperti yang telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya transportasi
memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam perdagangan.
Kelancaran dan ketepatan waktu pengiriman barang baik itu untuk
ekspor maupun impor menjadi harga mutlak dalam perdagangan
internasional.
Indonesia sebagai negara yang melakukan perdagangan dengan
negara lain tentunya patut memperhatikan fakta tersebut. Selama
ini arus barang dan jasa yang masuk menuju Indonesia didominasi
oleh jalur udara dan perairan, mengingat kondisi Indonesia berupa
negara kepulauan sehingga arus barang dan jasa yang masuk
melalui Indonesia terbatas di Kalimantan (Malaysia Serawak), dan
Papua (Papua New Guinea). Jalur perairan didominasi oleh kapal-
kapal kargo dan tanker besar yang memasok barang baik keluar
maupun masuk dari pelabuhan-pelabuhan utama di Indonesia.
Kebanyakan dari kapal-kapal tersebut datang melalui Selat Malaka
menuju Singapura dan berlabuh di pelabuhan utama Jawa. Jalur
udara merupakan jalur yang lebih fleksibel dalam mengcover
seluruh wilayah Indonesia, namun kapasitas angkutnya lebih
terbatas dibandingkan dengan kapal.
Dalam aplikasinya di lapangan, kebanyakan hambatan dalam
pendistribusian barang melalui perairan adalah faktor regulasi yang
rumit dan pungutan liar. Akibatnya banyak pengiriman barang yang
tertunda akibat waktu pengurusan izin. Disamping itu masalah
keamanan juga menjadi isu yang penting. Selama ini kawasan selat
Malaka masih disatroni oleh kawanan perompak yang kebanyakan
bersembunyi di daerah Sungai Musi Palembang. Hambatan fisik
berupa kondisi cuaca juga berpengaruh, namun semenjak
ditemukanya peralatan navigasi perairan modern hambatan ini
dapat dieliminir.
Hambatan dalam pendistribusian barang maupun jasa melalui udara
kembali tidak lepas dari prosedur imigrasi dan pungutan liar
sehingga arus distribusi cenderung melambat. Namun demikian
jalur udara merupakan jalur distribusi yang permasalahnya tidak
serumit jalur distribusi perairan dan elatif aman sehingga kerap
dijadikan sarana bagi penyelundup untuk menyelundupkan barang
baik keluar maupun masuk menuju Indonesia.
Hambatan-hambatan tersebut terkadang juga terkadang datang
dari negara lain. Contohnya adalah masalah embargo ekonomi.
Melalui embargo ekonomi negara lain dapat menutup hubungan
dagang dan berakibat pada instabilitas pemasukan negara dari
perdagangan.
Berbagai permasalahan dalam transportasi barang dan jasa baik
dari luar negeri maupun dalam negeri dapat mengurangi volume
perdagangan nasional. Hal tersebut dapat menciptakan penurunan
volume dagang dan investasi. Pemerintah sudah sepatutnya
memberikan perhatian yang cukup dalam menangani
permasalahan-permasalahan tersebut untuk meningkatkan
pemasukan Negara yang berguna bagi pembangunan.
C. Kebutuhan Energi di Sektor Transportasi
Proyeksi kebutuhan energi untuk sektor transportasi termasuk di
dalamnya subsektor transportasi darat, udara, air dan kereta api.
Kebutuhan energi yang terbesar didominasi oleh angkutan darat
sebesar 80 % dari total kebutuhan. Transportasi darat diperkirakan
akan tumbuh sebesar 5.2 % per tahun sedangkan untuk
transportasi air dan udara naik masing-masing sebesar 7.1 % dan
6.6% pertahun. Transportasi air yang tumbuh paling cepat hanya
mempunyai pangsa 14 % sedangkan transportasi udara dengan
pangsa 9 % pada yang tumbuh sebesar 6.5 % per tahun. Pangsa
konsumsi energi listrik ini masih sangat kecil yaitu sebesar 0.2 %
pada tahun 2021 atau sebesar 5 PJ/tahun.
Berdasarkan skenario DNC dapat dihitung emisi polutan yang
ditimbulkan oleh penggunaan energi di sektor transportasi
berdasarkan koefisien emisi kendaraan bermotor. Untuk
menentukan koefisien emisi dilakukan pengambilan sampel gas
buang kendaraan bermotor pada saat diam. Dilakukan juga
observasi dengan menggunakan kamera video pada berbagai jenis
kondisi lalu lintas. Pengambilan sampel dilakukan pada 350
kendaraan secara random di berbagai tempat di Jakarta. Dengan
tambahan informasi dari literatur dan dengan menggunakan data
hasil pengukuran dapat ditentukan koefisien emisi. Yang termasuk
dalam perhitungan ini adalah emisi NO2, SO2, SPM dan VHC untuk
wilayah Jawa.
Beberapa kebijaksanaan pemerintah yang telah dilaksanaan untuk
mengurangi emisi polutan dan diversifikasi penggunaan energi di
sektor transportasi ditunjukkan pada Tabel 2. Bensin yang saat ini
beredar yaitu Premium RON 92, Premix RON 94, Premium TT dan
Super TT. Dengan adanya bensin tanpa Pb ini maka terbuka peluang
untuk pemasangan katalitik konverter yang dapat mengurangi emisi
polutan dari gas buang kendaraan bermotor. Sedangkan
penggunaan kendaraan berbahan bakar gas (CNG maupun LPG)
disamping akan mengurangi emisi juga untuk menunjang program
diversifikasi. Pada skenario ERC pengurangan emisi ditekankan
pada penggunaan katalitik konverter pada kendaraan berbahan
bakar bensin dan penggunaan mesin diesel yang beremisi rendah.
Dengan skenario ERC dapat mengurangi emisi rata-rata sebesar 85
% bila dibandingkan dengan skenario DNC. Pengurangan emisi SO2,
NO2, VHC dan SPM pada tahun 2021 di Jawa masing-masing adalah
sebesar 0.07 juta ton per tahun, 0.65 juta ton per tahun, 0.20 juta
ton per tahun dan 0.01 juta ton per tahun. Pengurangan terbesar
emisi NO2 dan VHC karena penggunaan katalitik konverter.
D. Penggunaan Teknologi Pengurangan Emisi
Teknologi yang dapat digunakan untuk mengurangi emisi gas buang
adalah penggunaan katalitik konverter pada kendaraan yang
berbahan bakar bensin dan penggunaan mesin diesel yang beremisi
rendah. Beberapa negara maju telah melakukan penelitian serta
menggunakan katalitik konverter untuk mengurangi emisi NOx, CO
dan VHC dari gas buang kendaraan yang menggunakan BBM.
Pemasangan katalitik konverter untuk mobil baru dapat
menurunkan emisi NOx, CO dan VHC sebesar 90 %.Persentasi
penurunan emisi Nox dapat berkurang sampai menjadi 70 % untuk
mobil yang sudah beroperasi lebih dari 80.000 km. Katalitik
konverter ini hanya bisa diterapkan untuk kendaraan yang
menggunakan BBM yang tidak mengandung Pb (tanpa TEL). Biaya
tambahan untuk pemasangannya adalah sebesar 5 % dari rata-rata
harga mobil. Penetapan suatu standar yang berupa undang-undang
atau surat keputusan diperlukan sebagai upaya untuk pengendalian
pencemaran. Sampai saat ini sudah ada Undang-Undang Nomor 4
tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Keputusan Menteri KLH tahun 1988 tentang Pedoman Baku Mutu
Lingkungan, Keputusan Menteri KLH tahun 1995 tentang Baku Mutu
Emisi Sumber Tidak Bergerak dan untuk DKI Jakarta ada SK
Gubernur tahun 1996 tentang Baku Mutu Udara Ambien dan Tingkat
Kebisingan. Dengan adanya standar ini diperlukan pelaksana
pengawasan sehingga baku mutu yang telah ditetapkan dapat
tercapai.
Dengan meningkatkan efisiensi penggunaan energi maka energi
yang dibutuhkan per unit output akan berkurang sehingga akan
mengurangi besarnya emisi per unit operasi kendaraan tiap
kilometer. Peluang untuk meningkatkan efisiensi dan konservasi
masih terbuka untuk sektor transportasi. Penetapan suatu standar
yang berupa undang-undang atau surat keputusan diperlukan
sebagai upaya untuk pengendalian pencemaran. Sampai saat ini
sudah ada Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Pokok-
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Keputusan Menteri KLH tahun
1988 tentang Pedoman Baku Mutu Lingkungan, Keputusan Menteri
KLH tahun 1995 tentang Baku Mutu Emisi
Sumber Tidak Bergerak dan untuk DKI Jakarta ada SK Gubernur
tahun 1996 tentang Baku Mutu Udara Ambien dan Tingkat
Kebisingan. Dengan adanya standar ini diperlukan pelaksana
pengawasan sehingga baku mutu yang telah ditetapkan dapat
tercapai. Dengan meningkatkan efisiensi penggunaan energi maka
energi yang dibutuhkan per unit output akan berkurang sehingga
akan mengurangi besarnya emisi per unit operasi kendaraan tiap
kilometer. Peluang untuk meningkatkan efisiensi dan konservasi
masih terbuka untuk sektor transportasi.
Bagian III
KESIMPULAN
Sektor transportasi tumbuh dan berkembang seiring dengan
peningkatan erekonomian nasional. Transportasi merupakan sarana
yang penting bagi masyarakat modern untuk memperlancar
mobilitas manusia dan barang. Saat ini BBM merupakan andalan
utama bahan bakar di sektor transportasi. Pada tahun delapan
puluhan, pemakaian bahan bakar minyak (BBM) di sektor
transportasi telah mengalami pertumbuhan sebesar 6,8 % per
tahun. Mengingat sumber daya minyak bumi semakin terbatas
maka perlu diupayakan diversifikasi energi untuk sektor
transportasi. Gas buang sisa pembakaran BBM mengandung bahan-
bahan pencemar seperti SO2 (Sulfur Dioksida), NOx (Nitrogen
Oksida), CO (Karbon Monoksida), VHC (Volatile hydrocarbon), SPM
(Suspended Particulate Matter) dan partikel lainnya. Bahan-bahan
pencemar tersebut dapat berdampak negatif terhadap manusia
ataupun ekosistem bila melebihi konsentrasi tertentu.
Dengan peningkatan penggunaan BBM untuk sektor transportasi
maka gas buang yang mengandung polutan juga akan naik dan
akan mempertinggi kadar pencemaran udara. Oleh karena itu perlu
suatu strategi yang tepat dalam penggunaan energi di sektor
transportasi untuk mengurangi emisi polutan ini sehingga
penggunaan energi dapat tetap ramah terhadap lingkungan.
Dengan skenario DNC penggunaan energi di sektor transportasi
untuk jangka panjang akan dapat mengakibatkan pencemaran
lingkungan akibat emisi gas buang. Pencemaran lingkungan
tersebut dapat dikurangi dengan menerapkan teknologi baru untuk
kendaraan bermotor. Teknologi yang bisa diterapkan untuk
mengurangi emisi khususnya yang berupa emisi NOx, CO dan VHC
adalah : penggantian BBM ke BBG, pemasangan katalitik konverter
pada kendaraan berbahan bakar bensin dan penggunaan mesin
diesel yang beremisi rendah. Teknologi ini diterapkan pada skenario
ERC sehingga dapat mengurangi emisi NO2, SO2, SPM dan VHC.
Peluang terbesar untuk mengurangi emisi adalah penggunaan
katalitik konverver dan penggunaan mesin diesel yang beremisi
rendah karena BBM Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan
mengenai transportasi dan pengaruhnya pada aspek sosial dan
ekonomi antara lain adalah :
1. Kebutuhan transportasi merupakan kebutuhan turunan
(derived demand) akibat aktivitas ekonomi, sosial, dan
sebagainya.
2. Sarana transportasi yang ada di darat, laut, maupun udara
memegang peranan vital dalam aspek sosial ekonomi melalui
fungsi distribusi antara daerah satu dengan daerah yang lain.
3. Kebanyakan dari negara maju menganggap pembangunan
transportasi merupakan bagian yang integral dari
pembangunan perekonomian. Ada baiknya pemerintah
memperhatikan hal tersebut.
4. Sistem transportasi dan logistik yang efisien merupakan hal
penting dalam menentukan keunggulan kompetitif dan juga
terhadap pertumbuhan kinerja perdagangan nasional dalam
ekonomi global.
5. Secara tidak langsung transportasi mencerminkan kondisi
social suatu masyarakat.
6. Berbagai permasalahan dalam transportasi barang dan jasa
baik dari luar negeri maupun dalam negeri dapat mengurangi
volume perdagangan nasional.
7. Makalah Hukum PAJAK8.9. BAB I10. PENDAHULUAN11.12. A. Latar Belakang13. Pajak merupakan sumber penerimaan Negara disamping
penerimaan dari sumber migas dan non migas. Dengan posisi yang sedemikian itu pajak merupakan penerimaan strategis yang
harus dikelula dengan baik . Dalam struktur keuangan Negara tugas dan fungsi penerimaan pajak dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak dibawah Departemen Keuangan Republik Indonesia.
14. Dari tahun ke tahun telah banyak dilakukan berbagai kebijakan untuk meningkatkan penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan Negara .Kebijakan tersebut dapat dilakukan melalui penyempurnaan undang-undnag, penerbitan peratuan perundang-undangan baru dibidang perpajakan, guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak maupun menggali sumber hukum pajak lainnya.
15. Berbagai upaya yag dilakukan belum menunjukkan perubahan yang singnifikan bagi penerimaan Negara. Bahkan kondisi ini makin diperparah pada tahun 1997 dengan terjadinya krisis ekonomi bahkan krisis multi dimensi yang sampai sekarang ini belum terselesaikan di Indonesia.
16. Pada umumnya dinegara berkembang, penerimaan pajaknya yang terbesar berasal dari pajak tidak langsung, Hal ini disebabkan Negara berkembang golongan berpenghasilan tinggi lebih rendah persentasenya.
17.18. B. Perumusan Masalah 19. Cukup terlihat pentingnya peranan penerimaan pajak
dalam skala penerimaan pajak nasional dan lebih lanjut pada penerimaan Negara pada umumnya.
20. Penerimaan dalam negeri menjadi sumber utama apabila kemandirian pembiayaan Negara yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia benar-benar ingin direalisasikan. Untuk itu penerimaan pajak yang merupakan salah satu komponen penerimaan dalam negeri yang harus ditingkatkan peranannya karena pajak merupakan sumber penerimaan utama yang merefleksikan praktek demokrasi yang paling mendasar yaitu peran serta rakyat ikut dalam pembiaaan Negara dan pemerintahannya.
21. Penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat oleh Pemerintah baik Pusat maupun Daerah tentulah membutuhkan pembiayaan. Salah satu sumber dana bagi pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat di Daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD).
22. Untuk memenuhi sumber dana bagi pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan tersebut Pemerintah Daerah akan berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan realisasi penerimaannya. Melalui peningkatan penerimaan tersebut diharapkan juga dapat ditingkatkan pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah.
23. Sebelum melanjutkan pembahasan ini dapat kami jelaskan terlebih dahulu, bahwa materi bahasan yang diminta oleh penyelenggara kepada kami adalah :
24. Implementasi Pungutan Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (PBHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemerintah setempat sesuai dengan UU 22,34 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah serta Perda 26 Tahun 2000 tentang Tata Niaga Kayu di Indonesia.
25. Namun setelah kami mempelajari peraturan perundang-undangan yang berhubungan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah maka untuk meluruskan kembali pengertian PAD yang dihubungkan dengan materi bahasan yang diajukan penyelenggara maka judulnya menjadi seperti di atas.
26.27.28.29.30. BAB II31.32. A. Pendapatan Asli Daerah (PAD) 33. Pelaksanaan kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menurut pengamatan kami telah menimbulkan kecemasan dari kalangan dunia usaha terhadap kemungkinan pengenaan berbagai pajak, retribusi atau pungutan lainnya oleh Pemerintah Daerah terhadap dunia usaha untuk memacu peningkatan PAD.
34. Namun menurut hemat kami hal tersebut sangat tidak beralasan, karena penetapan pajak dan retribusi daerah serta pungutan lainnya harus diatur dengan Peraturan Daerah yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan secara nasional. Upaya yang dilakukan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan PAD tentu saja dilakukan sepanjang koridor regulasi yang ada, karena penetapan suatu kebijakan dalam bentuk Peraturan Daerah bukan lagi monopoli Pemerintah Daerah tetapi juga diawasi oleh legislatif dan masyarakat.
35. Baik Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah maupun penggantinya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, mengatur tentang Pendapatan asli Daerah (PAD) tersebut. Dalam UU 5/1974 dinyatakan bahwa PAD terdiri dari; 1) hasil pajak Daerah, 2) hasil retribusi Daerah, 3) hasil Perusahaan Daerah, 4) lain-lain usaha Daerah yang sah.
36. Kemudian dengan lahirnya kebijakan Otonomi Daerah dengan desentralisasi otoritas dan desentralisasi fiskal yang diatur dengan UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU
25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dijelaskan bahwa sumber pendapatan Daerah terdiri dari :
37. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu: 38. Hasil pajak Daerah. 39. Hasil retribusi Daerah 40. Hasil perusahaan milik Daerah, dan hasil penge-lolaan
kekayaan Daerah yang dipisahkan. 41. Lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah. 42. Dana Perimbangan, yaitu: Bagian Daerah dari penerimaan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam.
43. Dana Alokasi Umum (DAU). 44. Dana Alokasi Khusus (DAK). 45. Pinjaman Daerah. 46. Lain-lain pendapatan Daerah yang sah. 47. Jadi dari ketentuan di atas jelas bahwa Pendapatan Asli
Daerah (PAD) bersumber dari pajak dan retribusi Daerah serta hasil usaha Daerah sendiri. Sedangkan jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur lebih lanjut oleh Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997.
48. Pajak Daerah Kabupaten/Kota menurut UU 34/2000 terdiri dari:
49. Pajak Hotel. 50. Pajak Restoran. 51. Pajak Hiburan. 52. Pajak Reklame. 53. Pajak Penerangan Jalan. 54. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C 55. Pajak Parkir. 56.57. B. PBPHTB dan PBB sebagai Salah Satu Sumber
Pendapatan Daerah. 58. Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) dan Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (PBPHTB) adalah salah satu sumber pendapatan Daerah, tetapi bukan termasuk sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kedua pajak tersebut merupakan pajak Pusat, sedangkan Daerah hanya menerima bagian dari kedua pajak tersebut sebagai dana perimbangan. Hal ini dijelaskan oleh Pasal 80 ayat (1) huruf a UU 22/1999 dan Pasal 6 ayat (1) sampai (4) UU 25/1999.
59. Dengan demikian penetapan objek pajak, dasar pengenaan pajak, tarif pajak dan teknis pemungutan diatur dan
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Sedangkan Pemerintah Daerah tidak terlibat secara langsung dalam hal tersebut. Keterlibatan Pemerintah Daerah hanya dalam membantu mengintensifkan pemungutan PBB dengan melibatkan perangkat daerah.
60. Bagian yang diterima Daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (PBPHTB) sebagai dana perimbangan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2000, diatur pembagian hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) antara Pemerintah Pusat dan Daerah dengan perimbangan 10% untuk Pemerintah Pusat dan 90% untuk Daerah. Dari jumlah 90% yang merupakan bagian Daerah tersebut diperinci sebagai berikut; 16,2% untuk Daerah Propinsi yang bersangkutan, 64,8% untuk
61. Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan, dan 9% untuk Biaya Pemungutan. Sedangkan hasil penerimaan PBB bagian Pemerintah Pusat dibagikan kepada seluruh Daerah Kabupaten/Kota dengan alokasi; 65% dibagi merata kepada seluruh Daerah Kabupaten/Kota, dan 35% dibagikan sebagai insentif kepada Daerah Kabupaten/Kota yang pada tahun anggaran sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan.
62. Sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 519/KMK.04/2000 ditetapkan pembagian hasil penerimaan Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (PBPHTB) antara Pemerintah Pusat dan Daerah dengan perimbangan; 20% untuk Pemerintah Pusat dan 80% untuk Daerah. Dari jumlah 80% bagian Daerah tersebut diperinci sebagai berikut; 16% untuk Daerah Propinsi yang bersangkutan, dan 64% untuk Daerah Kabupaten penghasil.
63. Jadi dapat disimpulkan disini bahwa dalam hal Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (PBPHTB) sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, keberadaan Daerah Kabupaten/Kota hanyalah sebagai Daerah yang menjadi penghasil pajak dan hanya berhak menerima bagian dari dana perimbangan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Berbeda halnya dengan pajak dan retribusi Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, Daerah mempunyai kewenangan untuk mengelola dan mengaturnya sendiri.
64. Sehubungan dengan maksud dan tujuan dari seminar ini yang ingin menata kembali pengelolaan hutan dan perkebunan yang berdampak positif bagi Otonomi Daerah dan kehidupan masyarakat, memberikan rasa aman dan kepastian hukum bagi Investor, serta memperjelas status pertanahan dari pengelolaan
hutan dan perkebunan sebagai sumber PAD, dapat kami samapaikan sebagai berikut:
65. Daerah menyambut baik dan sangat mendukung keinginan para investor untuk mengembangkan usahanya di Daerah.
66. Daerah akan berupaya memberikan rasa aman dan kepastian hukum sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengenai pengelolaan pertanahan yang menurut UU 22/1999 dan PP 25/2000 merupakan kewenangan Daerah Kabupaten/ Kota , namun pada kenyataannya sekarang diambil alih lagi oleh Pusat dengan Keppres 10/2001 sehingga pada sebagian Daerah timbul dualisme pengelolaan pertanahan. Untuk mengatasi hal tersebut APKASI telah berusaha meminta Pemerintah meninjau kembali kebijakan tersebut.
67. Kecemasan kalangan dunia terhadap upaya Daerah mengoptimalkan pungutan pajak, retribusi dan pungutan lainnya untuk memacu peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat dicarikan solusinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta pengawasan dari masyarakat.
68.69.70. C. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan 71. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara
yang dikenakan terhadap bumi dan/atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994.
72. PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan. Keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.
73. Objek PBB adalah "Bumi dan/atau Bangunan":74. Bumi : Permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh
bumi yang ada dibawahnya.75. Contoh : sawah, ladang, kebun, tanah. pekarangan,
tambang, dll.76. Bangunan : Konstruksi teknik yang ditanamkan atau
dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan di wilayah Republik Indonesia.
77. Contoh : rumah tempat tinggal, bangunan tempat usaha, gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, jalan tol, kolam renang, anjungan minyak lepas pantai, dll
78. Objek yang dikecualikan adalah objek yang :79. 1. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan
umum dibidang ibadah, sosial, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan memperoleh keuntungan,
seperti mesjid, gereja, rumah sakit pemerintah, sekolah, panti asuhan, candi, dan lain-lain.
80. 2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala.81. 3. Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata,
taman nasional, dan lain-lain.82. 4. Dimiliki oleh Perwakilan Diplomatik berdasarkan azas
timbal balik dan Organisasi Internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
83. Subyek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata :
84. - mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau;85. - memperoleh manfaat atas bumi, dan atau;86. - memiliki, menguasai atas bangunan, dan atau;87. - memperoleh manfaat atas bangunan.88. Wajib Pajak adalah Subyek Pajak yang dikenakan
kewajiban membayar pajak89. Dasar Penghitungan PBB90. Dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak
(NJKP).91. Besarnya NJKP adalah sebagai berikut :92. Objek pajak perkebunan adalah 40%93. Objek pajak kehutanan adalah 40%94. Objek pajak pertambangan adalah 20%95. Objek pajak lainnya (pedesaan dan perkotaan):96. - apabila NJOP-nya > Rp1.000.000.000,00 adalah 40%97. - apabila NJOP-nya < Rp1.000.000.000,00 adalah 20%98. Tarif PBB99. Besarnya tarif PBB adalah 0,5%100. Rumus Penghitungan PBB101. Rumus penghitungan PBB = Tarif x NJKP102. a. Jika NJKP = 40% x (NJOP - NJOPTKP) maka besarnya
PBB 103. = 0,5% x 40% x (NJOP-NJOPTKP)104. = 0,2% x (NJOP-NJOPTKP)105. b. Jika NJKP = 20% x (NJOP - NJOPTKP) maka besarnya
PBB 106. = 0,5% x 20% x (NJOP-NJOPTKP)107. = 0,1% x (NJOP-NJOPTKP)108. Tempat Pembayaran PBB109. Wajib Pajak yang telah menerima Surat Pemberitahuan
Pajak Terutang (SPPT), Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat Tagihan Pajak (STP) dari Kantor Pelayanan PBB atau disampaikan lewat Pemerintah Daerah harus melunasinya tepat waktu pada tempat pembayaran yang telah ditunjuk dalam SPPT yaitu Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro.
110.
111. Saat Yang Menentukan Pajak Terutang112. Saat yang menentukan pajak terutang menurut Pasal 8
ayat 2 UU PBB adalah keadaan Objek Pajak pada tanggal 1 Januari. Dengan demikian segala mutasi atau perubahan atas Objek Pajak yang terjadi setelah tanggal 1 Januari akan dikenakan pajak pada tahun berikutnya.
113. Contoh : A menjual tanah kepada B pada tanggal 2 Januari 1996.
114. Kewajiban PBB Tahun 1996 masih menjadi tanggung jawab A. Sejak Tahun Pajak 1997 kewajiban PBB menjadi tanggung jawab B.
115. Pajak yang terjadi setelah tanggal 1 Januari akan dikenakan pajak pada tahun berikutnya.
116. Contoh : A menjual tanah kepada B pada tanggal 2 Januari 1996. Kewajiban PBB Tahun 1996 masih menjadi tanggung jawab A. Sejak Tahun Pajak 1997 kewajiban PBB menjadi tanggung jawab B.
117.118. D. Pengaturan Surat Tagihan Pajak Bumi dan Bangunan119. Surat Tagihan Pajak (STP) adalah Surat Keputusan Kepala
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP.PBB) untuk menagih pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar ditambah denda administrasi sebesar 2 (dua) persen per bulan.
120. Dasar Penerbitan STP 121. a. Wajib Pajak (WP) tidak melunasi pajak yang terutang
sedangkan saat jatuh tempo pembayaran Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)/Surat Ketetapan Pajak (SKP) telah lewat.
122. b. WP melunasi pajak yang terutang setelah lewat saat jatuh tempo pembayaran SPPT/SKP tetapi denda administrasi tidak dilunasi.
123. Cara Penyampaian STP124. - Kantor Pelayanan PBB/Kantor Penyuluhan Pajak.125. - Kantor Pos dan Giro.126. - Pemerintah Daerah.127. Batas Waktu Pelunasan STP128. STP harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan
sejak tanggal STP diterima WP.129. Sanksi Administrasi130. Sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua
persen) setiap bulan, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran.
131. E. Perkembangan dan Ruang Lingkup Pengaturan Pajak Buni dan Bangunan
132. Perkembangan Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia sudah cukup baik, karena dari tahun ke tahun telah banyak
dilakukan berbagai kebijakan untuk meningkatkan penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan Negara.
133. Kebijakan tersebut dapat dilakukan melalui penyempurnaan undang-undnag, penerbitan peratuan perundang-undangan baru dibidang perpajakan, guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak maupun menggali sumber hukum pajak lainnya. Ruang lingkup hukum pajak sendiripun sangat beragam, mulai dari pajak penghasilan dan pajak bumi dan bangunan itu sendiripun telah menghasilkan pendapatan yang cukup besar bagi kas Negara.
134. Pengasilan-penghasilan yang didapat dari pemungutan pajak di Indonesia sebagian besar dari hasil pemungutan pajak tidak langsung. Yang kita harapkan agar pemerintah bisa memberikan kebijakan yang berarti dan tidak memberatkan bagi masyarakat Indonesia.
135.136. BAB III137. KESIMPULAN DAN SARAN138.139. A. Kesimpulan dan saran 140. Jadi dapat disimpulkan disini bahwa dalam hal Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) dan Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (PBPHTB) sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, keberadaan Daerah Kabupaten/Kota hanyalah sebagai Daerah yang menjadi penghasil pajak dan hanya berhak menerima bagian dari dana perimbangan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Berbeda halnya dengan pajak dan retribusi Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, Daerah mempunyai kewenangan untuk mengelola dan mengaturnya sendiri.
141. Sehubungan dengan maksud dan tujuan dari seminar ini yang ingin menata kembali pengelolaan hutan dan perkebunan yang berdampak positif bagi Otonomi Daerah dan kehidupan masyarakat, memberikan rasa aman dan kepastian hukum bagi Investor, serta memperjelas mendukung keinginan para investor untuk mengembangkan usahanya di Daerah.
142. Daerah akan berupaya memberikan rasa aman dan kepastian hukum sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
143. Mengenai pengelolaan pertanahan yang menurut UU 22/1999 dan PP 25/2000 merupakan kewenangan Daerah Kabupaten/ Kota , namun pada kenyataannya sekarang diambil alih lagi oleh Pusat dengan Keppres 10/2001 sehingga pada sebagian Daerah timbul dualisme pengelolaan pertanahan. Untuk mengatasi hal tersebut APKASI telah berusaha meminta Pemerintah meninjau kembali kebijakan tersebut.
144. Kecemasan kalangan dunia terhadap upaya Daerah mengoptimalkan pungutan pajak, retribusi dan pungutan lainnya untuk memacu peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat dicarikan solusinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta pengawasan dari masyarakat.
145. Yang kami harapkan bagi pihakyang berwenang dalam
pemungutan pajak agar, pajak yang didapat dari pemungutan
wajib pajak tersebut harus bisa dipertanggung jawabkan dengan
sebaik-baiknya, jangan sampai pajak tersebut selalu di bebankan
bagi masyarakat. Semua warga Negara ikut serta dalam wajib