Page 1
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |1
AKTUALISASI NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM
TRADISI WIWITAN DI DESA JIPANG
Ulfatun Nafi’ah
Universitas Negeri Malang, Email: ulfatun.nafi’[email protected] , 081333000210
Abstrak
Desa Jipang adalah daerah yang terletak di Kecamatan Cepu, Kabupaten
Blora, Propinsi Jawa Tengah. Desa ini memiliki dua dukuh yaitu Dukuh
Njudan dan Dukuh Jipang. Jipang terletak di dekat aliran sungai Bengawan
Solo sehingga belum terjangkau oleh kendaraan umum. Namun Desa Jipang
kaya akan budaya lokal yang belum banyak dikaji. Salah satunya adalah
tradisi wiwitan. Tradisi wiwitan di Desa Jipang dilakukan setiap akan
memulai menanam padi tujuannya agar selama tanaman itu tumbuh sampai
dengan sebelum dipanen hasilnya akan melimpah, terhindar dari hama dan
wereng. Wiwitan selanjutnya dilakukan pada saat padi akan di panen,
tujuannya agar padi yang dihasilkan menjadi berkah bagi masyarakat
sehingga mereka terhindar dari marabahaya dan wabah penyakit. Berbeda
dengan tradisi wiwitan di daerah lain. Di Desa Jipang proses wiwitan masih
lengkap seperti yang diajarkan nenek moyangnya. Mereka meyakini jika ada
proses yang mereka tinggalkan akan menimbulkan bencana bagi masyarakat.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskrptif. Tulisan ini akan
membahas tentang tradisi wiwitan dalam masyarakat Jipang dari cara
pandang Marcel Mauss tentang teori pemberian. Penulis akan berupaya
mengambil nilai-nilai pendidikan karakter wiwitan dan strategi
aktualisasinya. Penulis juga berharap tulisan ini akan menjadi pondasi awal
pemberdayaan masyarakat Jipang.
Kata Kunci: Bengawan Solo, pemberdayaan masyarakat, pendidikan.
PENDAHULUAN
Sejarah mengajarkan kepada kita tentang pentingnya penanaman
karakter dalam kehidupan. Generasi pendahulu kita sangat menjunjung tinggi
pendidikan karakter dalam kehidupan dan pendidikan bagi generasi penerusnya
agar menjadi pribadi yang cerdas dan lebih baik. Hal ini dapat dilihat pada
gagasan yang disampaikan oleh MR. Sartono dalam (Daradjati, 2014: 163)
tentang pentingnya pendidikan karakter dalam pembelajaran, hal ini tercermin
pada perumusan Rancangan undang-Undang tentang pendidikan pada tahun 1949.
Rancangan undang-undang tersebut memuat tujuan pendidikan adalah
membentuk manusia yang susila yang cakap, warga negara yang demokratis dan
bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Ketika
Asrudin dan Kobarsih menginginkan kata “susila” dihapus justru MR. Sartono
Page 2
2| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
berpendapat lain, menurutnya tujuan pendidikan tidak hanya mencerdaskan
bangsa melainkan juga penting untuk mendidik karakter.
Nampaknya pendidikan karakter tidak lagi menjadi kajian tersendiri
dalam mata pelajaran di sekolah. Pendidikan karakter dianggap sudah terwakili
dalam mata pelajaran PPkN dan Agama. Karakter generasi muda tergerus seiring
dengan pekembangan globalisasi sejak abad XXI, globalisasi juga melahirkan
Revolusi yang 3 T (Transportasi, telekomunikasi, dan tourisme) terpusat pada
perkembangan informasi yang begitu pesat (Friedman, 2006). Implikasi dari
perembangan teknologi informasi yang begitu cepat berpengaruh pada sikap
hidup seserang terhadap kehidupan, baik sebagai individu maupun warga negara.
Hariono (2014) menungkapkan bahwa masyarakat Indonesia seringkali memaknai
informasi sebagai sarana kebebasan yang kurang memperhatinkan resiko.
Sehingga masyarakat larut dalam kebebasan yang cukup memprihatinkan.
Jika kita cermati lebih jauh, terdapat kelompok masyarakat yang tergila-
gila dengan serial drama korea dan merasa gengsi ketika menikmati pagelaran
wayang, ketoprak dan tari-tari tradisional, atau hasil budaya dari daerahnya
masing-masing. Anak-anak kecil yang lahir saat ini sangat paham akan cerita
doraemon, ipin-upin namun tak banyak yang paham tentang tradisi lahiran, tradisi
manganan, cerita gagak rimang, cerita Arya Penangsang dan tradisi wiwitan yang
ada di masyarakat. Eksistensi budaya lokal sebagai tonggak budaya bangsa yang
kuat akan semakin tergerus apabila tidak dilestarikan dan ditanamkan pada
generasi penerusnya. Endraswara (2006:1) mengemukakan bahwa budaya adalah
sesuatu yang hidup, nyata, berkembang, dan berwujud. Termasuk juga tradisi-
tradisi budaya yang masih berlangsung di daerah-daerah sebagai ciri khas tradisi
dari kekhasan budaya daerah itu sendiri.
Hal ini tentu saja menjadi sayang bila tidak diidentifikasikan dan
dituliskan untuk kemudian ditanamkan. Pewarisan budaya yang bersifat lisan
rawan untuk punah karena apabila generasi pertama menghilang (punah) maka
akan punah pula budayanya dan generasi berikutnya akan menciptakan budaya
baru karena tidak tahu bagaimana bentuk budaya generasi sebelumnya. Budaya
lokal yang ada di masyarakat Desa Jipang sarat akan nilai dan karakter. Karakter
Page 3
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |3
bagi Ki Hajar Dewantara merupakan proses mengintegrasi pendidikan karakter,
budaya, moral guna membangun fisik, mental dan spiritual. Dengan demikian,
pendidikan seharusnya dapat mengaktualisasikan nilai-nilai pendidikan karakter
dalam tradisi wiwitan di Desa Jipang guna membangun masyarakat agar memiliki
karakter yang baik.
Desa Jipang yang terletak di Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, Propinsi
Jawa Tengah. Desa ini memiliki dua dukuh yaitu Dukuh Njudan dan Dukuh
Jipang. Desa ini terletak di dekat aliran Sungai Bengawan Solo. Bengawan Solo
menjadi penting pengairan di Desa Jipang. Oleh karena itu, masyarakat Desa
Jipang di daerah aliran Sungai Bengawan Solo mengandalkan pertanian. Ada
tradisi yang menarik dan belum banyak dikaji nilai-nilai penididikan karakter di
dalamanya adalah tradisi wiwitan. Berbeda dengan daerah lain. Tradisi wiwitan di
Desa Jipang dilakukan sebelum menanam padi, tujuannya agar tanaman padi yang
ditanam tidak diserang hama, dan hasilnya melimpah. Selanjutnya, ada tradisi
wiwitan sebelum memanen padi tujuannya agar hasil panen membawa
keberkahan bagi masyarakat. Proses yang dilakukan masih sampai saat ini masih
sama persis. Sedangkan daerah lain seperti di Desa Payaman, tradisi wiwitan
hanya dilakukan sebelum memanen padi, bahan yang digunakanpun sudah tidak
lengkap.
Kuntowijoyo (2006:3) menjelaskan bahwa kreativitas simbolik adalah
usaha manusia dalam menciptakan makna yang merujuk pada realitas yang lain
daripada pengalaman sehari-hari. Dengan kata lain apa yang mereka harapkan
serta cita-citakan bagi kehidupan mendatang tergambar melalui tradisi wiwitan.
Tujuan penyusunan artikel ini adalah untuk mengkaji lebih dalam tentang nilai-
nilai tradisi wiwitan dalam pandangan Marcel Mauss. Penulis juga akan berupaya
mengambil nilai-nilai pendidikan karakter wiwitan dan strategi aktualisasi yang
dapat digunakan.
METODE
Studi ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Tujuannya
menyajikan temuannya dalam bentuk deskripsi kalimat yang rinci, lengkap dan
Page 4
4| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
mendalam mengenai proses mengapa dan bagaimana sesuatu terjadi (Sutopo,
2006:227). Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Peneliti
memilih informan yang tinggal di Desa Jipang Kecamatan Cepu Kabupaten Blora
dan dianggap memiliki informasi berkaitan dengan tradisi wiwitan di daerah
tersebut.
Desa Jipang dipilih sebagai lokasi penelitian karena berpijak pada fakta
bahwa daerah ini pernah menjadi pusat pemerintahan kerajaan Djipang salah satu
vassal dari kerajaan Demak pada abad ke XVI. Di desa ini juga masih terdapat
beberapa sisa-sisa peninggalan Kerajaan dan belum pernah diteliti secara tuntas,
seperti makam tua, Gedong Ageng dan Santri Sembilan Walisongo. Alasan
lainnya masih banyak tradisi yang sampai saat ini ada di Desa tersebut
diantaranya manganan (sedekah bumi), berbeda dengan daerah lainnya, di Desa
Jipang Wiwitan dilakukan tradisi wiwitan yang dilakukan pada saat akan
menanam padi dan sebelum memanen padi. Didaerah lain, misalnya di Desa
Payaman tradisi ini sudah mulai ditinggalkan.
Teknik pengumpulan data meggunakan observasi, wawancara mendalam
dengan beberapa tokoh masyarakat dan tetua di Desa Jipang yaitu Bapak Sukar,
Kepala Desa Jipang Bapak Ngadi, Sekretaris Desa Jipang Bapak Suryadi, Kepala
Dusun Jipang yaitu Bapak Bapak Yono, Mudin Desa Jipang yaitu Bapak Eko, dan
Juru Kunci Makam Arya Penangsang yaitu Mbah Ujud.
Penelitian ini menggunakan teori pemberian yang dikemukakan oleh
Marcel Mauss dalam menganalisis data. Mauss (1992) mengemukakan bahwa
pada dasarnya tidak ada yang cuma-cuma atau gratis. Segala bentuk pemberian
selalu diikuti oleh pemberian kembali atau yang lebih dikenal dengan imbalan.
Proses yang demikian menjadi pengikat sosial di masyarakat. Dalam melakukan
analisis bersifat naratif-kualitatif (Sukmadinata, 2007:156). Naratif kualitatif
dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan narasi tradisi wiwitan di Desa
Jipang. Miles & Huberman dalam Sugiyono (2009:246) mengemukakan bahwa
aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung
secara terus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis
data, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Page 5
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |5
PEMBAHASAN
Perspektif Marcel Mauss dalam Tradisi Wiwitan di Desa Jipang
Marcel Mauss memiliki gagasan tentang pemberian. Menurut Mauss
(1992) pada dasarnya tidak ada pemberian yang gratis. Segala bentuk pemberian
selalu diikuti oleh suatu imbalan. Kebiasaan saling tukar-menukar pemberian itu
adalah sebuah proses sosial yang dinamik yang melibatkan keseluruhan anggota
masyarakat sebagai sistem yang menyeluruh. Saling memberi juga menjadi
penanda persaingan kedudukan antar si pemberi dan yang menerima, dan hal ini
terjadi secara terus-menerus. Proses demikian berbeda jika dalam masyarakat
sudah mengenal perdagangan. Ada tujuan ekonomi dalam proses pertukaran
antara uang, benda dan jasa. Tidak lagi antar struktur masyarakat antar kelompok,
melainkan terjadi antar individu. Tujuan utama pemberian ini adalah untuk
mengikat sistem sosial.
Menurut Mauss (1992) pemberian hadiah dalam hal ini pelaksanaan
wiwitan. Diikuti dengan pertukaran ketimbang penawaran sepihak. Pemberian
hadiah bukan seperti transaksi-transaksi pasar yang bercorak seketika dan tanpa
nama, hadiah ini dilihat sebagai modus pertukaran yang berimplikasi pada
interaksi-interaksi berjangka waktu lama dan menyajikan ikatan-ikatan kewajiban.
Seseorang yang mendapat hadiah dari orang lain memiliki kewajiban untuk
memberi balasan kepada orang yang telah memberinya hadiah. Setidaknya
terdapat tiga kewajiban yang harus dilakukan partisipan dalam pertukaran hadiah,
yakni memberi, menerima, dan membalas. Setiap orang yang diberi hadiah tidak
dapat menolak pemberian tersebut, jika melakukan penolakan maka si penerima
dianggap tidak sanggup mengembalikan dan itu berarti takut untuk
mengembalikan merupakan sebuah kegagalan. Kegagalan untuk memberi atau
menerima sama halnya kehilangan harga diri dan kehormatannya (Mauss, 1992:
58-59). Teori tersebut relevan untuk mengkaji tradisi wiwitan di Desa Jipang.
Desa Jipang terletak di Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, Propinsi Jawa
Tengah. Desa ini memiliki dua dukuh yaitu dukuh Njudan dan dukuh Jipang.
Desa ini terletak di dekat aliran sungai Bengawan Solo. Oleh karena itu,
masyarakat desa mengandalkan pertanian, beternak dan pertambangan untuk
Page 6
6| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
menunjang hidup. Wilayah desa ini seluas 191.061 km2. Desa ini berbatasan
dengan Desa Kapuan & Desa Getas di sebelah utara, Sungai Solo di sebelah
selatan dan timur serta Desa Ngloram & Desa Kapuan di sebelah Barat. Tipologi
desa ini tegolong persawahan. Jarak desa Jipang ini dengan pusat pemerintahan
kecamatan sejauh 11 km sedangkan jarak desa ini dengan pemerintah Kota sejauh
44 km, dan dengan kabupaten sejauh 42 km. Jumlah penduduk desa berdasarkan
monografi pada medio Desember 2014 sebanyak 2.078 jiwa dengan 66 Kepala
Keluarga.
Ekonomi masyarakat desa Jipang tergolong tercukupi berkat adanya
sungai Bengawan Solo. Desa Jipang yang berada di dekat sungai Bengawan Solo
ini menjadikan penduduknya mengandalkan mata pencaharian berbasis agraris.
Pertanian menjadi mayoritas Mata pencaharian penduduk mayoritas adalah
pertanian sebanyak 608 orang, buruh tani 384 orang, peternak 232 orang,
karyawan swasta 178 orang, pedagang 56 orang, pensiunan 26 orang, tukang 21
orang, jasa 17 orang, nelayan 16 orang, PNS 8 orang, pekerja seni 6 orang dan
pengrajin 1 orang. Jumlah penduduk miskin desa ini sebanyak 591 jiwa, 197 KK.
Koentjaraningrat (2002:248) menjelaskan bahwa akulturasi merupakan
suatu proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu
kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur dari suatu
kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan
sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.
Kebudayaan Indonesia yang beragam serta perjalanan sejarah Indonesia yang
panjang menyebabkan ada beberapa kebudayaan yang mengalami akulturasi.
Akulturasi kebudayaan di desa Jipang terjadi antara kebudayaan Hindu dengan
kebudayaan Islam. Hal tersebut dapat dilihat pada acara tradisi wiwitan yang ada
di Desa Jipang.
Mursal (1992:21) mengemukakan bahwa tradisi merupakan kebiasaan
turun temurun sekelompok masyarakat berdasarkan nilai kebudayaan. Masing-
masing daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Di Desa Jipang terdapat
banyak tradisi yang sampai sekarang masih dilakukan salah satunya adalah
Tradisi Wiwitan. Tradisi wiwitan yaitu tradisi untuk memulai (wiwit/kawit yang
Page 7
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |7
artinya memulai) menanam padi dan memanen padi. Tidak semua warga yang
memiliki sawah yang ada di Desa Jipang melakukan tradisi tersebut. Hanya sawah
yang memiliki Pundhung (gundukan tanah) yang melakukan wiwitan. Sebagai
contoh sawah yang di “wiwit” adalah sawah bengkok (tanah ganjaran). Tanah
bengkok menjadi hak kepala desa untuk menggarapnya sebagai kompensasi gaji
yang tidak mereka terima. Menurut Ibu Wasini ada beberapa tanah bengkok yang
memiliki Pundhung.
“..Pundhung itu yang diwiwiti terletak dipojokkan sawah.
Jumlahnya di bengkok (lurah itu ada 8 pundung namanya
pun berbeda-beda. Ada Cinde, Babarlayar, Jegong tapi di
Jegong tidak pake wiwitan ya itu ada namanya tapi gak
diwiwiti, Panjang, Lingi Etan, Lingi kulon, Cabuk,
Kembar. Kembar itu dua makanya disitu ada 7 nama tapi
jumlahnya jadi 8 pundhung.
Ada delapan tempat yang digunakan untuk tradisi wiwitan. Tanah milik
Kepala Desa. Sebelum tradisi dimulai, ada beberapa hal yang harus disiapkan
diantaranya: pisang raja setangkep, jenang, jaddah, ayam, sayur gethik, jajan
pasar seperti: nogosari, mendut dan tape diletakkan dalam di atas “Tempeh”
dilapisi daun pisang.
Selain itu juga terdapat takir dengan jumlah wolu (delapan) diisi Bunga
cok bakal, Sego klangkrang yaitu Nasi, kelapa yang dipotong-potong kecil dan
ditaburi gula merah yang telah dipotong kecil-kecil. Nasi bucu: Nasi pincuk diberi
bawang merah 1 siung, bawang putih 1 siung, telur ayam kampung, cabe rawit 1
buah (jika wiwit waktu tanam), cabe merah 1 buah (jika wiwit waktu panen),
kemiri utuh 1 buah, teri pethek 1 buah, kancang panjang, menyan dan Kembang
Pari berisi beras dicuci dan kelapa parut. Selain itu juga terdapat arak.
Proses wiwitan sendiri dilakukan di Sawah, dengan mengundang mudin
untuk mendoakan agar tanaman yang dipanen menjadi berkah. Acara dihadiri oleh
beberapa warga yang terlibat dalam proses pengerjaan lahan pertanian. Dari hasil
wiwitan tersebut kue dan nasi kemudian diberikan kepada para buruh tani dan
masyarakat di Desa Jipang. Setelah dilakukan proses do’a bersama makanan dan
jajanan tersebut dibagikan kepada orang yang ikut dalam acara wiwitan.
Page 8
8| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Jika teori Mauss tentang pemberian diaplikasikan dalam melihat tradisi
wiwitan, maka pemberian makanan dan hasil bumi (padi) Kepala Desa kepada
masyarakat Jipang mengandung dua tujuan. Pertama, pemberian makanan yang
digunakan dalam tradisi wiwitan seperti nasi, lauk-pauk dan jajanan untuk para
tetangga dan orang yang terlibat dalam proses menanam padi dan memanen padi
merupakan pola pengikatan sosial. Pemimpin Desa dalam hal ini Lurah, bukan
hanya bertindak sebagai individu. Namun, dia mewakili kelompok pejabat desa
Jipang yang ingin mendapatkan imbalan berupa ikatan sosial. Hal ini dilakukan
untuk membangun kepercayaan masyarakat Desa Jipang. Kepala Desa saat ini
menggantikan Kepala Desa yang lama karena terlibat korupsi. Kedua, pemberian
yang dilakukan oleh kepala Desa bertujuan untuk bersedekah, dan dalam
pandangan Mauss Lurah sebagai orang yang memeberi hadiah tidak
mengharapkan akan datangnya imbalan dari masyarakat di Desa Jipang.
Pemberian dimaksudkan untuk memberikan sebagian hasil pertanian tanah
bengkok untuk warga Jipang dengan tujuan bersedekah. Ada keyakinan yang
terbangun bahwa dengan bersedekah maka akan diganti oleh Tuhan dengan rizki
yang lebih melimpah, begitu pula sebaliknya jika hal ini tidak dilakukan maka ada
keyakinan akan menghadirkan bencana.
Nilai-nilai Pendidikan karakter dalam Tradisi Wiwitan
Karakter tidak bisa muncul dengan sendirinya pada diri seseorang.
Karakter terbentuk dalam diri seseorang jika ada proses internalisasi terahadp
unsur-unsur moral. Dalam pandangan Lickona (1992:84) setidaknya terdapat tiga
komponen karakter yang baik, yaitu pengetahuan tentang moral (moral knowing),
perasaan tentang moral (moral feeling) dan perbuatan yang bermoral ( moral
action).
Dalam pelaksanaannya, ada imbal balik dari ketiga unsur moral yang
baik memiliki sub unsur yang tidak dapat dipisahkan antara komponen satu dan
lainnya. Pengetahuan moral, perasaan moral dan tindakan moral saling memiliki
pengaruh dalam membentuk karakter seseorang. Tahapan awal dalam pandangan
Lickona adalah pengetahuan moral yang terwujud dalam pemahaman tentang
Page 9
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |9
niali-nilai dalam tradisi wiwitan. Nilai-nilai tersebut antara lain: (1) Relegius;
Wiwitan yang dilakukan memiliki makna untuk rasa syukur kepada Tuhan atas
berkah yang diberikan dan berharap agar mendapatkan keselamatan bagi
masyarakat di Desa Jipang. (2) Peduli Lingkungan; Masyarakat Desa Jipang
adalah masyarakat yang peduli untuk menjaga kelangsungan dan keharmonisan
dengan alam. Hal ini diwujudkan dengan kepatuhan masyarakat dari generasi ke
generasi untuk menjaga kelestarian alam, salah satunya dengan tradisi wiwitan
yang dilakukan di sawah. Mereka percaya dengan wiwitan maka proses tanam
sampai panen akan mendapat perlindungan dari Tuhan, dewi Sri agar tananamn
yang mereka tanam terhindar dari hama, wereng dan penyakit tanaman. (3)
Gotong Royong; Dalam mewujudkan kegiatan wiwitan, masyarakat tidak
melakukkannya secara individu. Mereka melakukan dengan gotong-royong dan
saling membantu, tidak hanya untuk wiwitan, dalam kegiatan lainnya masyarakat
juga saling bekerja sama seperti membuat takir, membuat tarub, membuat
berbagai jenis ketupat untuk kegiatan wiwtan, manganan dan kegiatan lainnya. (4)
Kejujuran; Jika datang ke Jipang memiliki niat kurang baik maka dan tidak jujur
maka akan timbul malapetaka dan kesurupan Kejujuran menjadi hal yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat di Desa Jipang. Jika mereka jujur maka
keberkahan dalam hidup akan mereka dapatkan. (5) Tanggung Jawab; Nilai
pendidikan karakter dalam tradisi wiwtan tanggung jawab juga bagian dari
kearifan masyarakat Jipang. Contohnya Pak Lurah Ngadi ketika akan melakukan
wiwitan dia bertanggung jawab untuk memenuhi dan memberikan contoh bagi
masyarakat yang lain dengan tetap melestarikan kearifan lokal masyarakat dengan
melakukan tradisi wiwitan dan mengikuti persayaratan yang teah dilakukan oleh
para leluhurnya. Tanggungjawab untuk memberi tauladan dengan
bertanggungjawab memberi makanan kepada warganya yang ada disekitar
merupakan contoh perwujudan pemimpin yang memiliki rasa tanggungjawab. (6)
Kesederhanaan; Tidak ada pesta yang meriah untuk melakukan tradisi wiwitan.
Bahan yang digunakan adalah bahan yang dihasilakan dari Desa. Ayam kampung
yang digunakan biasanya dari hasil ternak. Makanan dibungkus daun jati, dan
takir. menyajikan makanan di sawah juga mengajarkan kepada generasi
Page 10
10| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
penerusnya untuk selalu hidup dengan keserhanaan meskipun sudah era modern
seperti sekarang. (7) Hidup bersosial dengan saling memberi; Hidup bersosial dan
saling memberi juga bagian dari filosofi wiwitan. Beberapa makanan mislanya
Sayur yang dibuat hanya pada saat masa tertentu “wiwitan” sebelum musim
tanam. Merupakan makanan khusus yang hanya dinikmati pada masa tertentu.
Makanan dibagikan kepada 70 tentangganya dan orang-orang yang membantu
menanam di sawah. Saling memberi dan menerima sayur dan makanan tersebut.
(8) Kesabaran; Masayarakat diajarkan untuk tetap mengingat ajaran filosofi dari
Arya Penangsang untuk bersabar, menunggu selesai makan dan baru
membicarakan segala permasalahan dengan musyawarah dan dengan jalan
diplomasi.
Aktualisasi Nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam tradisi Wiwitan
Aktualisasi nilai-nilai pendidikan karakter wiwitan dapat dilakukan dengan
melibatkan peserta didik dalam proses memperoleh pengetahuan mereka. Jika
mereka terlibat secara langsung ke dalam proses akan dapat meningkatkan hasil
pembelajaran. Apabila seseorang sudah memahami nilai-nilai karakter yang baik
maka mereka akan mencintai segala sesuatu yang baik. Selanjutnya akan menjadi
pola kebiasaan yang dilakukan seseorang. Aktualisasi nilai dan karakter harus
dipahami sebagai proses merekontruksi pengalaman secara terus-menerus sejalan
dengan tujuan yang akan dicapai.
Aktualisasi nilai dapat ditanamkan dengan model Experiential Learning
Theory (ELT). Model ini merupakan dasar dari pengembangan model experiential
learning. Konsep ini lahir dari pemikiran Kolb yang terinspirasi dari teori belajar
Dewey yang mementingkan proses dari pada hasil belajar siswa. Dewey (1897:
79) mengatakan.
“....learning is best conceived a process, not terms of outcomes. to
improve learning in higher education, the primary fokus should be
on enganging student in a process that best enhances their learning.
a process that includes feedback on the effectiveness of their arning
efforts....education must be conceived as a continuing reconstruction
of experience:....the process and goal of educations are one and the
same thing.
Page 11
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |11
Sejalan dengan pendapat dari Dewey, David Kolb berupaya untuk
mengembangkan model pembelajaran yang berupaya untuk melibatkan
pengalaman siswa di dalam proses belajar agar siswa dapat terlibat langsung
untuk mengkonstruksi pengetahuannya. Model pembelajaran Experiential
Learning ini dikembangkan oleh David Kolb. Dalam experiential learning
menempatkan pengalaman sebagai titik sentral dalam proses belajar. Penekanan
inilah yang membedakan ELT dari teori-teori belajar lainnya. Istilah “experiential
learning” disini untuk membedakan antara teori belajar kognitif yang cenderung
menekankan pada kemampuan kognisi daripada afektif, dan teori belajar behavior
yang menghilangkan peran pengalaman subyektif dalam proses belajar (Kolb,
1984).
Model pembelajaran ini diharapkan dapat menciptakan proses belajar yang
lebih bermakna, dimana siswa mengalami apa yang mereka pelajari. Peserta didik
belajar tidak hanya belajar tentang konsep materi, melainkan terlibat secara
langsung dalam proses pembelajaran agar pengetahuan yang diperoleh lebih
bermakna. Hasil dari proses pembelajaran experiential learning tidak hanya
menekankan pada aspek kognitif saja, juga tidak seperti teori behavior yang
menghilangkan peran pengalaman subjektif dalam proses belajar. Pengetahuan
yang tercipta dari model ini merupakan perpaduan antara memahami dan
mentransformasi pengalaman.
Berdasarkan konsep Dawey di atas maka David A. Kolb (1984)
mengembangkan experiential learning. "the process whereby knowledge is
created through the transformation of experience. Knowledge results from the
combination of grasping and transforming experience" (Kolb, 1984: 4). Menurut
Kolb belajar merupakan sebuah proses yang berkesinambungan dan didasarkan
pada pengalaman. Belajar merupakan proses untuk mengonstruksi dan
mentransformasikan pengalaman yang dimiliki oleh peserta didik menjadi sebuah
pengetahuan.
Experiential learning dibangun di atas gagasan bahwa pemahaman bukan
merupakan unsur tetap atau tidak berubah tetapi pemahaman itu dibentuk
(formed) dan terbentuk kembali (reformed) melalui pengalaman. Experiential
Page 12
12| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
learning juga merupakan proses yang berkesinambungan dan digambarkan
sebagai siklus serta berdasarkan kepada pengalaman, menyiratkan bahwa kita
digiring untuk mempelajari situasi tentang ide-ide dan keyakinan kita sendiri pada
tingkat yang berbeda dalam sebuah proses elaborasi. Model siklus pembelajaran
yang kemudiadikenal dengan Kolb Leraning cycle membutuhkan empat jenis
kemampuan agar pembelajaran dapat dilaksanakan dengan baik, diantaranya: (1)
Concrete Experience (CE); Pengetahuan harus ditemukan anda sendiri agar
memiliki arti atau dapat membuat perbedaan pada perilaku hal ini dilakukan
dengan menggali pemahaman peserta didik melalui pengalaman yang mereka
dapatkan sebelumnya, pengetahuan tentang wiwitan bagi masyarakat di Desa
Jipang tentunya sudah sering dilihat namun belum tentu mereka maknai niklai-
nilainya. (2) Reflection Observation (RO); Peserta didik melakukan observasi
dengan mencari literatur terkait dengan tradisi wiwitan. Proses pencarian literatur
dapat dijembatani guru dengan memberikan berbagai alternatif sumber belajar
yang dapat dimanfaatkan oleh siswa. Selanjutnya peserta didik merefleksikan atau
memikirkan pengalaman dari berbagai segi. (3) Abstract Conceptualization (AC);
Peserta didik belajar secara berkelompok. Mereka mencoba memecahkan
permasalahan terkait dengan tradisi wiwitan, dengan menggunakan sumber
literatur yang relevan. Guru dapat menyusun tugas yang digunakan untuk diskusi
dengan LKS (Lembar Kegiatan Siswa) terkait dengan tradisi wiwitan. (4) Active
Experimentation (AE); Pada tahap ini peserta didik melakukan analisis
permasalahan dengan menggunakan teori untuk dan mengambil keputusan.
Misalnya terdapat berbagai nilai yang dapat ditemukan oleh peserta didik terkait
dengan permasalahan kemudian mereka diminta merefleksikan nilai-nilai dalam
tradisi wiwitan.
SIMPULAN
Aktualisasi nilai-nilai pendidikan karakter penting untuk ditanamkan
sejak dini, agar generasi penerus bangsa semakin baik.. Nilai-nilai pendidikan
karakter dalam tradisi wiwitan diantaranya: (1) Religius, (2) peduli lingkungan,
(3) gotong royong (4) kejujuran, (5) Tanggung jawab, (6) kesederhanaan (7)
Page 13
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |13
hidup bersosial dengan saing memberi, (8) kesabaran. Pendidikan karakter dapat
diupayakan jika seseorang memiliki pengetahuan tentang moral (moral knowing),
perasaan tentang moral (moral feeling) dan perbuatan yang bermoral ( moral
action). Proses aktulisasi nilai pendidikan karakter tradisi wiwitan dapat dilakukan
dengan menggunakan model Kolb’s Experiential Learning dengan tahapan
Concrete Experience (CE), Reflection Observation (RO), Abstract
Conceptualization (AC), dan Active Experimentation (AE). Dengan melibatkan
pengalaman langsung peserta didik untuk memperoleh pengetahuan maka,
pengetahuan yang dihasilkan bisa lebih bermakna.
DAFTAR PUSTAKA
Daradjati. 2014. MR. Sartono Pejuang Demokrasi dan Bapak Parlemen
Indonesia. Jakarta: Kompas.
Dewey, J. 1897: 79. 1897. My Pedagogic Creed. The School Journal. LIV (3):7-8.
Endraswara, S. 2009. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: UGM Press.
Esten, Mursal. 1999. Kajian Transformasi Budaya. Bandung: Angkasa
Friedman. T.L. 2006. The World is Flat; Sejarah Ringkas Abad ke 21. Terjemahan. P. Buntaran dkk. Jakarta: Dian Rakyat.
Hariyono. 2014. Kekuasaan dalam Proses Pembelajaran Sejarah: Membangun
Kuasa Diri dan harapan dalam Dunia yang Terus Berubah. Makalah
Disampaikan dalam Seminar “ Pembelajaran Sejarah: Tantangan dan
Harapan” , yang diadakan oleh Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang
pada tanggal 27-28 September 2014.
Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana
Kolb, D. A. 1984. Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and
devolepment. Englewood Chiffs. N.J: Prentice-Hall.
Lickona, T. 2012. Educating For Character. Terjemahan oleh Juma Abdu
Wamaungo. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mauss, Marcel. 1992. Pemberian: Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat
Kuno. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Page 14
14| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Sukmadinata, N. S. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D. Bandung: CV
Alfabeta.
Sutopo. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta. UNS Press, 2006
Monografi Desa Jipang Desember 2014
Page 15
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |15
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY SEBAGAI SARANA
PENINGKATAN PENDIDIKAN DI DAERAH (PENELITIAN PEMETAAN
SOSIAL DI WILAYAH PANTA DEWA, KABUPATEN PENUKAL ABAB
LEMATANG ILIR (PALI)
Nanda Harda P.M.
Universitas Negeri Malang, [email protected] , 085729004565)
Abstrak
Pendidikan menjadi salah satu bagian dari 17 wacana global peningkatan kemakmuran
yang ditargetkan oleh setiap negara. Tidak luput pula dengan Indonesia dimana
pendidikan masih menjadi permasalahan laten. Oleh sebab itu dibutuhkan kerjasama dari
berbagai pihak tidak hanya masyarakat dan pemerintah untuk mengentaskan masalah di
bidang pendidikan. Salah satu agen yang juga memiliki peran adalah perusahaan dimana
memiliki peluang untuk meningkatkan aspek-aspek dalam bidang pendidikan melalui
dana pemberdayaan yang dikelola CSR. PALI sebagai salah satu Kabupaten baru hasil
pemekaran di wilayah Provinsi Sumatera Selatan juga memiliki keterbatasan dalam
peningkatan kualitas pendidikan di daerahnya. Salah satu perusahaan yang setiap tahun
berupaya memberikan dana pemberdayaan adalah pihak Pertamina PALI. Salah satu
wilayah yang menjadi ranah dalam peningkatan pendidikan adalah Desa Panta Dewa.
Dalam melakukan penelitian pemetaan sosial digunakan pendekatan kualitatif di
masyarakat Panta Dewa. Sebagai salah satu wilayah dimana anak-anak mudanya
berusaha untuk memaksimalkan pendidikannya justru terkadang kerap mengalami putus
sekolah di tengah proses pembelajaran. Hasilnya melalui program CSR Pertamina
didirikan sebuah perpustakaan yang diharapkan mampu meningkatkan minat anak-anak
muda dalam hal pendidikan.
Kata Kunci: Pendidikan, CSR, Pemberdayaan
PENDAHULUAN
SDGs (Sustainable Development Goals) merupakan langkah keberlanjutan
dari program MDGs (Millenium Development Goals) yang diharapkan mampu
untuk mengentaskan permasalahan global di dunia. Tidak dapat dipungkiri bahwa
melalui program pengentasan kemiskinan tersebut, tiap negara bergerak guna
meningkatkan kesejahteraan dan basis hidup warganya termasuk di Indonesia.
Setidaknya terdapat 17 kategori permasalahan yang menjadi kajian utama bagi
tiap-tiap negara seperti kemiskinan, kesehatan, pendidikan, jender, energi,
ekonomi, serta perubahan iklim.
Page 16
16| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Permasalahan pembangunan yang semakin kompleks tersebut tentunya
tidak hanya diserahkan keseluruhan pada negara (pemerintah). Diperlukan
kerjasama yang saling terkait antara pemerintah dan masyarakat. Dalam era
modern seperti saat ini, salah satu agen dalam kehidupan yang juga diperlukan
kerjasamanya adalah perusahaan. Kerjasama antar ketiganya tentunya menjadi
salah satu alternatif dalam peningkatan pelaksanaan SDGs di Indonesia. Hal
tersebut mengingat banyaknya perusahaan yang kini mulai sadar serta memiliki
kewajiban tanggung jawab sosial pada lingkungannya melalui CSR.
Pendekatan CSR (Corporate Social Responsibility) memang masih
menjadi sebuah perdebatan di ranah global. Perdebatan yang muncul terutama
mengenai sejauh mana tingkat kesadaran perusahaan dalam membantu proses
pembangunan dan pemberdayaan di masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa
perusahaan terkadang masih berpikir bahwa program bantuan pemberdayaan
kepada masyarakat adalah sebuah kewajiban sebagaimana diatur oleh UU nomor
40 tahun 2007 pasal 74, utamanya mereka yang bergerak di bidang sumber daya
alam (SDA). Oleh sebab itu Pertamina sebagai perusahaan yang bergerak dalam
bidang SDA memiliki kewajiban serta tanggung jawab sosial pada masyarakat di
sekitar wilayahnya. Salah satu cabang wilayah Pertamina terletak di Kabupaten
Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Sumatera Selatan yang merupakan salah satu
wilayah hasil pemekaran dari wilayah Pengabuan.
Sebagai salah satu daerah baru hasil pemekaran, Kabupaten PALI masih
memulai kembali pembangunan di wilayahnya. Anggaran daerah yang terbatas
membuat pemerintah daerah PALI masih kesulitan dalam mengatur pos-pos
anggaran di wilayahnya. Oleh sebab itu di sini peran Pertamina menjadi penting
terlebih melalui program CSRnya guna membantu meningkatkan pemberdayaan
masyarakat di wilayah PALI. Memang sejak berdirinya Pertamina di wilayah
PALI, telah dilakukan beberapa kegiatan pembangunan, bahkan ketika PALI
masih tergabung dalam wilayah Pengabuan. Hal tersebut sebagaimana dari data di
lapangan dimana beberapa jalan di wilayah PALI merupakan program
pembangunan yang didapatkan dari Pertamina. Salah satu desa yang menjadi
program sasaran CSR Pertamina adalah Panta Dewa.
Page 17
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |17
Sebelum melakukan program CSR pada wilayah Panta Dewa diperlukan
penelitian Pemetaan sosial yang gunanya untuk mendapatkan data umum serta
kebutuhan masyarakat. Pemetaan sosial juga menjadi salah satu cara untuk
melihat dampak perusahaan (Pertamina) pada masyarakat. Melalui pemetaan
sosial diharapkan dapat memberikan rekomendasi program pada pertamina untuk
memenuhi kebutuhan yang memang dibutuhkan oleh masyarakat Panta Dewa. Hal
tersebut karena terkadang masyarakat juga masih kebingungan antara keinginan
serta apa yang dibutuhkan. Jadi kajian yang dilakukan diharapkan memberikan
program dalam jangka menengah ataupun panjang bukan sekedar program asal
jadi sebagaimana pada program-program sebelumnya.
METODE
Dalam melakukan penelitian pemetaan sosial di wilayah PALI, peneliti
menggunakan metode pendekatan kualitatif guna mendapatkan data yang
berkualitas. Peneliti juga memberikan beberapa batasan yang gunanya untuk
merangkai data yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan dan tidak bias
menjangkau masalah-masalah lainnya (Miles & Huberman, 1992). Pada praktek
pengumpulan informan digunakan teknik snowball (bola salju) untuk
mendapatkan informan serta data yang akurat. Melalui teknik pengumpulan
informan tersebut, didapatkan beberapa informan kunci yang menjelaskan dan
menjabarkan permasalah di wilayah Desa Panta Dewa. Dalam proses
pengumpulan data terkait hubungan antar manusia (Suyanto & Sutinah, 2004)
digunakan beberapa cara yakni observasi, studi literatur, wawacara, serta Focus
Group Discussion (FGD).
PEMBAHASAN
Salah satu basis berlangsungnya CSR adalah konsep triple bottom line
dimana terdapat 3 konsep penting dalam bisnis di era abad ke 21 yakni (planet,
people, and profit) (Elkington, 2010). Ketiganya merupakan satu bagian kesatuan
dimana dalam bisnis perusahaan berusaha memperoleh profit, menjalin hubungan
yang baik dengan stakeholder atau people, dan juga bertanggung jawab pada
Page 18
18| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
lingkungan. Hal serupa juga dijelaskan oleh Dody Prayogo bahwa setidaknya
terdapat beberapa hal bahwa CSR merupakan salah satu cara bagi perusahaan
untuk meningkatkan tanggung jawab sosialnya pada stakeholder dan lingkungan
(2011).Oleh sebab itu, pada era saat ini CSR memiliki peranan yang cukup
signifikan dalam proses pembangunan dan pemberdayaan berkelanjutan.
Pertamina memiliki concern terhadap proses pemberdayaan masyarakat
terutama di beberapa wilayah dimana mereka mengksplorasi SDA, seperti halnya
yang terletak di PALI. Salah satu wilayah yang menjadi lokasi pemberdayaan
adalah desa Panta Dewa. Wilayah Desa Panta Dewa terletak sekitar 38 Km dari
kota Kecamatan (Pendopo). Terletak di jalur utama yakni Jalan Lintas Sekayu
yang merupakan salah satu jalan Provinsi. Hal tersebut cukup mempermudah
akses warga di wilayah Desa Panta Dewa karena akses jalan yang telah beraspal
dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Sebagian besar penduduk di wilayah Panta Dewa sebagian besar bekerja
sebagai petani karet. Selain itu juga beberapa di antara mereka bekerja di
perkebunan kelapa sawit milik salah satu perusahaan swasta yang ada di daerah
tersebut. Maka tak heran apabila sekitar 85% wilayah Panta Dewa merupakan
lahan perkebunan karet dan kelapa sawit. Hal tersebut membuat warga cukup
bergantung dari hasil perkebunan. Tidak heran apabila karet menjadi komoditas
dagang utama di wilayah Panta Dewa. Jadi secara ekonomi, masyarakat di
wilayah Panta Dewa mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti
pangan, papan, dan sandang. Bahkan untuk pemenuhan alat transportasi roda dua
dan juga komunikasi seperti telepon genggam. Namun sayangnya masyarakat
masih menganggap remeh peran pendidikan bagi para generasi muda.
Tingkat pendidikan masyarakatnya pun masih cukup rendah karena
kesadaran untuk belajar masih lemah di antara warga. Hal tersebut dibuktikan dari
data yang didapatkan di lapangan dimana banyak anak usia sekolah yang
memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya lagi atau putus di tengah
proses pendidikannya. Bagi orangtua mereka hal tersebut bukanlah suatu masalah
yang cukup penting karena dengan tidak melanjutkan pendidikannya, anak-anak
tersebut dapat membantu mereka untuk berkebun. Walaupun dalam beberapa
Page 19
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |19
kesempatan para orangtua juga mengutarakan bahwa alih-alih membantu bekerja
“memantang” (mengambil hasil) karet, mereka lebih memilih untuk berkumpul
bersama dengan teman-teman sebayanya. Hal ini pula yang akhirnya
memunculkan tingkat pernikahan usia dini meningkat karena banyaknya waktu
luang anak-anak tersebut dihabiskan untuk menjalin kasih dengan teman lawan
jenis.
Hal tersebut menjadi siklus karena kekurangpahaman warga terhadap
pentingnya pendidikan, bukan hanya yang sifatnya formal namun juga pendidikan
informal edukatif yang mengajarkan ilmu dan moral pada para generasi muda.
Apabila permasalahan pemenuhan kebutuhan pendidikan tidak dapat dipenuhi
dengan baik, maka tentunya akan berakibat pula secara langsung maupun tidak
langsung pada kehidupan anak-anak muda tersebut sebagai salah satu generasi
penerus di wilayah Panta Dewa. Peneliti juga mencoba membandingkan anak-
anak muda yang melanjutkan studinya hingga masa SMA/SMK lebih sukses
secara ekonomi dibandingkan teman mereka yang putus atau tidak melanjutkan
studinya. Hal tersebut karena bagi mereka yang telah lulus mampu untuk
mengembangkan perkebunan karet milik keluarganya. Selain itu beberapa dari
mereka juga dipekerjakan oleh pihak pertamina ataupun perkebunan kelapa sawit
sebagai seorang staf. Dibandingkan dengan anak-anak muda yang putus sekolah
dimana mereka tidak mampu mengembangkan dirinya secara finansial. Bahkan
beberapa anak muda yang merantau dan mampu melanjutkan masa studinya
hingga ke jenjang perguruan tinggi di Kota Palembang mampu untuk bekerja di
beberapa perusahaan di kota tersebut.
Hal tersebut merupakan salah satu kajian yang didapatkan dari hasil
penelitian pemetaan sosial di wilayah Panta Dewa. Pendidikan rupanya bagi
kebanyakan masyarakat Panta Dewa dianggap sebagai hal yang kurang
bermanfaat, bahkan cenderung membuang waktu. Padahal melalui pendidikan,
terdapat ilmu yang didapatkan untuk dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan tidak dapat dipandang remeh, bahkan menjadi sebuah kebutuhan dasar
untuk meningkatkan kualitas masyarakat sebagaimana terkandung dalam
Page 20
20| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
pembukaan UUD 1945 sebagai proses mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal yang
seiring dengan program pelaksanaan MDGs dan berlanjut pada SDGs.
Oleh sebab itu kemudian dari hasil kajian penelitian pemetaan sosial yang
dilakukan, peneliti memberikan salah satu rekomendasi utama yakni perihal
peningkatan minat pendidikan terutama usia dini. Mengapa usia dini yang dipilih?
Hal ini karena dari generasi muda seperti ini pembentukan karakter dan minat
serta kesempatan untuk belajar jauh lebih besar. Selain itu anak-anak muda di usia
dini juga menjadi landasan atau fondasi masa depan bagi generasi selanjutnya.
Karena itu dalam peningkatan minat terhadap pendidikan, rekomendasi program
bagi Pertamina adalah pembangunan perpustakaan mini yang mampu diakses oleh
anak-anak dan juga para remaja yang tertarik untuk membaca bacaan atau buku
yang ada di dalamnya. Setidaknya kesadaran pentingnya pendidikan dimulai dari
hal yang kecil dan sederhana. Karena dibutuhkan waktu yang cukup panjang
hingga masyarakat mampu menerima dan memahami pentingnya pendidikan bagi
diri mereka, terlebih generasi muda di wilayah Panta Dewa. Selain itu juga
rekomendasi pemberian beasiswa bagi anak-anak muda yang berprestasi secara
akademik untuk meningkatkan keinginan mereka tetap melanjutkan studi hingga
jenjang yang lebih tinggi. Diharapkan melalui kedua rekomendasi utama dalam
bidang pendidikan tersebut, mulai memunculkan kesadaran dan pemahaman bagi
warga dan juga anak-anak usia sekolah untuk tetap melanjutkan studi
pendidikannya.
Walaupun memang pada akhirnya hingga penelitian selesai dilakukan,
program yang baru dilaksanakan oleh Pertamina adalah pembangunan
perpustakaan atau taman bacaan, dimana koleksi buku didominasi untuk anak-
anak usia 4 hingga 12 tahun. Keterbatasan dana CSR sebagaimana diungkapakan
oleh Pertamina, lagi lagi menjadi pengganjal untuk peningkatan kualitas layanan
perpustakaan. Selain itu program pemberian beasiswa urung berjalan juga karena
terbatasnya dana CSR mereka. Sebagaimana dijelaskan oleh beberapa kalangan
bahwa masalah klasik dari pemberian bantuan CSR pada masyarakat adalah porsi
keuangan yang masih kurang signifikan (Prayoga, 2011; Susetiawan, 2012).
Page 21
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |21
SIMPULAN
Pendidikan menjadi salah satu bagian penting baik pada MDGs maupun
SDGs. Sebagaimana disebutkan dalam SDGs bahwa dibutuhkan pendidikan yang
sifatnya inklusif dan setara sebagai sarana peningkatan kehidupan dan kesempatan
di dalam masyarakat. Oleh sebab itu dibutuhkan kerjasama antara berbagai pihak
dalam proses mengawal dan pelaksaanaan program tersebut. Di Indonesia dengan
dimunculkannya undang-undang dan peraturan terkait tanggung jawab sosial
perusahaan menjadi salah satu cara atau bagian guna meningkatkan kualitas
pendidikan. Hal tersebut sebagaimana juga dijelaskan oleh Ife & Tesoriero bahwa
dalam proses pemberdayaan masyarakat dibutuhkan kerjasama yang erat antara
bukan hanya instansi atau institusi formal, namun juga perlunya keterlibatan
masyarakat melalui stakeholder (2008). Pemerintah tidak hanya bekerja sendiri
namun juga dapat saling bekerjasama dengan korporasi serta masyarakat dalam
peningkatan kualitas pendidikan di Indonesa, terutama wilayah pelosok yang
memang memerlukan perhatian lebih, agar tidak terpusat.
PALI sebagai salah satu wilayah kabupaten baru hasil pemekaran wilayah
di Indonesia menjadi salah satu daerah dimana kerjasama antara masyarakat,
perusahaan (Pertamina), dan juga Pemerintah daerah berusaha bekerjasama satu
sama lain untuk meningkatkan kualitas masyarakatnya. Salah satu wilayahnya
yakni Desa Panta Dewa menjadi salah satu daerah yang dijadikan kajian pemetaan
sosial guna melihat kebutuhan masyarakat di wilayah tersebut. Salah satu
permasalahan utama di wilayah Panta Dewa adalah masih kurang sadarnya
masyarakat terhadap pentingnya pendidikan bagi generasi muda. Alhasil
memunculkan beberapa masalah yang muncul secara langsung maupun tidak
langsung akibat kurangnya minat dan kesadaran warganya pada pendidikan.
Oleh karena itu dalam hasil kajian pemetaan sosial yang dilakukan terdapat dua
program yang diharapkan mampu mengubah mindset warga Panta Dewa yakni
pembentukan perpustakaan atau taman baca serta pemberian beasiswa. Program
yang telah dilakukan dan berjalan yakni pembangunan perpustakaan, sementara
pemberian beasiswa masih terhalang karena keterbatasan dana yang dimiliki oleh
tim CSR Pertamina. Tentunya harapan yang muncul adalah melalui pembangunan
Page 22
22| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
perpustakaan tersebut dapat memberikan dampak positif terhadap generasi muda
agar tetap melanjutkan studinya dan memiliki pemahaman pentingnya pendidikan.
Karena melalui generasi muda inilah, kehidupan selanjutnya akan berjalan. Bak
sebuah siklus kehidupan dimana yang muda menjadi para orangtua dimana
akhirnya memiliki mindset lebih peka pada pentingnya pendidikan. Apabila hal
tersebut berhasil tentunya, peningkatan kualitas dan juga kapasitas pendidikan
warga negara seperti yang dihimbau dan dirujuk dalam SDGs bukan menjadi
sebuah wacana belaka.
DAFTAR PUSTAKA
Elkington, John. (2010). Canibals With Forks: The Triple Bottom Line of 21st
Century Business. Capstone Publishing Lt. Oxford.
Ife, Jim dan Frank Tesoriero. (2008). Alternatif Pengembangan Masyarakat di
Era Globalisasi: Community Development. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Meiji, Nanda H.P. et al. (2014). Laporan Penelitian Pemetaan Sosial dan Analisis
Kebutuhan di Desa Panta Dewa, Kecamatan Talang Ubi, Kabupaten PALI,
Sumatera Selatan. Yogyakarta: Omah Cipta
Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1992). Analisis Data Kualitatif. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Prayoga, Dody. (2011). Socially Responsible Corporation: Peta Masalah,
Tanggung Jawab Sosial dan Pembangunan Komunitas pada Industri
Tambang dan Migas. UI-Press. Jakarta.
Rudito, Bambang dan Melia Famiola. (2013). Social Mapping: Metode Pemetaan
Sosial (Teknik memahami Suatu Masyarakat atau komuniti edisi revisi).
Rekayasa Sains: Bandung.
-------,. (2013). CSR (Corporate Social Responsibility). Rekayasa Sains: Bandung.
Susetiawan (Editor), et.al (2012). Corporate Social Responsibility, Komitmen
untuk Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Azzagrafika
Suharto, Edi. (2007). Pekerjaan Sosial Dunia Industri: Memperkuat Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility). Refika
Aditama: Bandung
-------. (2014).Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat (Kajian Strategis
Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial). Refika
Aditama: Bandung
Suyanto, Bagong dan Sutinah. (2005). Metodologi PenelitianSosial (Berbagai
Altenatif Pendekatan). Jakarta: Prenada Media
Tringingsih, Luly. (2015). Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Perusahaan (Studi
tentang PT. Pertamina EP Asset 2 Field Adera di Desa Pengabuan,
Kabupaten PALI, Sumatera Selatan). Tesis pada jurusan Sosiologi S2
UGM: tidak diterbitkan
Page 23
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |23
GUBUK PUSTAKA SISWA PINTAR SEBAGAI UPAYA
MENINGKATKAN MINAT BACA ANAK-ANAK DI DESA SLEROK
KECAMATAN LEDOKOMBO KABUPATEN JEMBER
Muhammad Masruro, Fajwatul Khoiriyah, Nikmatul Jazilah,
Widiyatus Zuniarti P. Dewi
Universitas Negeri Malang, [email protected] , Telepon: 083852118633
Abtrak
Pada hakikatnya pendidikan adalah usaha sadar dalam rangka
mengembangkan kepribadian serta kemampuan peserta didik baik di
dalam maupun di luar sekolah dan bersifat seumur hidup. Untuk
mewujudkan program pencerdasan bangsa di Indonesia maka di dunia
pendidikan diperlukan adanya kesadaran pereserta didik akan
pentingnya membaca. Membaca merupakan candela dunia, dengan
membaca siswa dapat memperoleh pengetahuan serta informasi yang
lebih luas dari apa yang ada di kelas. Namun pada kenyataannya,
minat baca masyarakat terutama siswa sangatlah memprihatinkan.
Pemecahan masalah ini salah satunya dengan program Gubug Pustaka
Siswa Pintar di SDN Slateng 02 Desa Slerok, Kecamatan Ledokombo
di Kabupaten Jember dengan melibatkan seluruh masyarakat desa,
siswa SDN Slateng 2, serta perangkat sekolah dan perangkat
desa.Program ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran
masyarakat akan pentingnya membaca demi kelasungan masa depan
pendidikan anak-anaknya, selain itu diharapkan program ini dapat
memberikan manfaat dalam menciptakan suasana yang diminati oleh
siswa siswi sehingga mereka merasa senang dan nyaman berada di
ruangan perpustakaan yang asri,indah dan lengkap dengan buku-buku
pengetahuan.
Kata kunci: SDN Slateng 02, Gupustar, Jember
PENDAHULUAN
Pada hakikatnya pendidikan adalah usaha sadar dalam rangka
mengembangkan kepribadian serta kemampuan peserta didik baik di dalam
maupun di luar sekolah dan bersifat seumur hidup. Pendidikan yang layak serta
merata merupakan agenda penting dalam program pencerdasan dan pembangunan
bangsa dan negara, dan dapat kita lihat pentingnya pendidikan tercantum di kata–
kata dalam pembukaan UUD 1945 “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” sehingga
pendidikan memiliki peran penting untuk kemajuan Bangsa dan Negara
Page 24
24| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Indonesia. Pendidikan yang layak dan merata merupakan salah satu kewajiban
pemerintah yang harus dipenuhi dan diberikan kepada seluruh warga negaranya
tanpa terkecuali. Dalam meningkatkan pendidikan dan mencerdaskan Bangsa
maka diperlukan kesadaran masyarakat dalam pentingnya membaca. Menurut
(Tarigan,1984;7) membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta digunakan
untuk memperoleh pesan yang disampaikan penulis melalui media bahasa
tulis,dengan membaca kita dapat memperoleh berbagai hal pengetahuan yang
baru serta informasi tentang berbagai hal.
Dalam dunia pendidikan membaca memiliki fungsi yang sangat penting
untuk menujang Prestasi yang cermelang. Namun di Indonesia saat ini minat baca
dikalangan masyarakat terutama siswa sangatlah memperhatinkan. Mereka lebih
suka menonton televise (TV), mendengarkan radio serta bergelut pada dunia maya
atau social media. Hal ini dapat juga disebabkan karena kurangnya fasilitas
perpustakaan yang ada disekolah yang kurang menarik minat para siswa,mereka
cenderung beranggapan bahwa perpustakaan disekolah merupakan tempat yang
membosankan.
Permasalahan tersebutlah yang kini telah terjadi disalah satu wilayah
Indonesia di daerah jember khususnya di desa ledok ombo. Dimana fasilitas
perpustakaan yang kurang lengkaptidak serta kurang menarik perhatian para
siswa. Sehingga menyebabkan minat baca siswa disana sangatlah minim. Oleh
karena itu diperlukan kesadaran masyarakat tentang pentingnya membaca untuk
anak-anak agar mereka dapat mendapatkan ilmu tambahanyang tidakmereka dapat
pada waktu di kelas. Sehingga diperlukannya perputakaan yang asri,indah serta
nyaman dan penuh buku-buku pengetahuan yang pastinya disenangi para siswa
agar mereka betah dan senang berlama-lama erada di dalamperpustakaan sekolah.
Sehingga program pemerintah dalam upaya mencerdaskan Bangsa dapat terwujud
dengan baik. Masalah dalam kajian ini adalah (1) Kurangnya fasilitas
pembelajaran di Desa Slerok, Kecamatan Ledokombo, Kabupaten Jember, (2)
Lemahnya kesadaran siswa tentang pentingnya membaca. Adapun tujuannya; (1)
Menyediakan sarana pembelajaran bagi siswa di Desa Slerok, Kecamatan
Ledokombo, Kabupaten Jember, (2) Menciptakan suasana baru dalam proses
Page 25
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |25
pembelajaran. Sedangkan manfaat yang didapat (1) Bagi Penulis; Menambah
wawasan mengenai menumbuhkan rasa minat baca bagi adik-adik yang berada di
Desa Slerok, serta dapat menciptakan semangat baru dalam berkompetisi yang
sehat. Dan menambah pengalaman baru untuk langsung ke ruang lingkup
masyarakat; (2) Bagi Masyarakat/ Siswa; Meningkatkan rasa yang peduli akan
pentingnya membaca. masyarakat dapat memberikan motivasi atau dorongan
krpada anak-anaknya agar belajar lebih giat lagi dan tidak menurunkan semangat
membaca. Siswa juga dapat mengetahui informasi pengetahuan melalui
perpustakaan yang telah disediakan; (3) Bagi Pemerintah; Memberikan
sumbangan ide berupa rangkaian program ini. Yang dapat menumbuhkan rasa
semangat membaca bagi generasi penerus bangsa. Agar generasi penerus bangsa
yang berada di Desa tersebut tidak lagi ketinggalan informasi mengenai ilmu
pengetahuan.
METODE
Program Gubuk Pustaka Siswa Pintar ini menggunakan metode awal
Participatory Rural Appraisal (PRA). PRA adalah suatu metode pendekatan
untuk mempelajari kondisi dan kehidupan pedesaan dari, dengan, dan oleh
masyarakat desa. Atau dengan kata lain dapat disebut sebagai kelompok metode
pendekatan yang memungkinkan masyarakat desa untuk saling berbagi,
meningkatkan, dan menganalisis pengetahuan mereka tentang kondisi dan
kehidupan desa, membuat rencana dan bertindak. (Chambers, 1995)
Lalu menggunakan metode partisipasi. Partisipasiberasal dari bahasa
Inggris yaitu “participation” adalah pengambilan bagian atau pengikutsertaan.
Menurut Keith Davis, partisipasi adalah suatu keterlibatan mental dan emosi
seseorang kepada pencapaian tujuan dan ikut bertanggung jawab di dalamnya.
Dalam defenisi tersebut kunci pemikirannya adalah keterlibatan mental dan
emosi. Sebenarnya partisipasi adalah suatu gejala demokrasi dimana orang
diikutsertakan dalam suatu perencanaan serta dalam pelaksanaan dan juga ikut
memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat
Page 26
26| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
kewajibannya. Partisipasi itu menjadi baik dalam bidang-bidang fisik maupun
bidang mental serta penentuan kebijaksanaan.
Sebagaimana tertuang dalam Panduan Pelaksanaan Pendekatan Partisipati
yang disusun oleh Department for International Development (DFID) (dalam
Monique Sumampouw, 2004: 106-107) adalah: (a) Cakupan : Semua orang atau
wakil-wakil dari semua kelompok yang terkena dampak dari hasil-hasil suatu
keputusan atau prosesproyek pembangunan, (b) Kesetaraan dan kemitraan (Equal
Partnership): Pada dasarnya setiap orang mempunyai keterampilan, kemampuan
dan prakarsa serta mempunyai hak untuk menggunakan prakarsa tersebut terlibat
dalam setiap proses guna membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang dan
struktur masing-masing pihak, (c) Transparansi:Semua pihak harus dapat
menumbuhkembangkan komunikasi dan iklim berkomunikasi terbuka dan
kondusif sehingga menimbulkan dialog, (d) Kesetaraan kewenangan (Sharing
Power/Equal Powership): Berbagai pihak yang terlibat harus dapat
menyeimbangkan distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk menghindari
terjadinya dominasi, (e) Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility):
Berbagai pihak mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena
adanya kesetaraan kewenangan (sharing power) dan keterlibatannya dalam proses
pengambilan keputusan dan langkah-langkah selanjutnya, (f) Pemberdayaan
(Empowerment): Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas dari segala kekuatan dan
kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga melalui keterlibatan aktif dalam
setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling belajar dan saling
memberdayakan satu sama lain, (g) Kerjasama: Diperlukan adanya kerja sama
berbagai pihak yang terlibat untuk saling berbagi kelebihan guna mengurangi
berbagai kelemahan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan kemampuan
sumber daya manusia.
Pelaksaan program ini dimulai dari observasi terhadap keadaan di wilayah
jember khususnya di Desa Slerok, Kecamatan Ledokombo, Kabupaten Jember.
Setelah itu melakukan melakukan koordinasi dengan pihak perangkat desa dan
perangkat sekolah Desa Slerok, Kecamatan Ledokombo, Kabupaten Jember
dalam bagaimana menyampaikan sosialisasi kepada msyarakat tentang pentingnya
Page 27
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |27
pendidikan serta menumbuhkan minat baca dalam diri anak-anak untuk
menunjang nilai akademik mereka. Sosialisasi dilakukan pertahap dalam waktu
yang telah disepakati oleh ketua RT/RW dalam memberikan pengetahuan kepada
warga sekitar tentang pentingya pendidikan serta sarana prasarana pendidikan
serta pentingya membaca bagi anak-anak. Sosialisasi dilakaukan kepada siswa-
siswi disekolah SDN Slateng 02 tentang manfaat membaca bagi mereka serta
memberikan motivasi agar mereka memiliki minat membaca serta anstusias pergi
keperpustakaan untuk menambah wawasan mereka tentang ilmu pengetahuan
serta informasi yang ada di luar sana dengan membaca. Kerja samapun dibuat
dengan penjual material pembangunan untuk memasok segala kebutuhan yang
diperlukan dalam pembangunan Gubug Pustaka ini.
Proses sosialisasi kepada masyarakat dimulai dengan pemasangan banner
serta pemberian brosur tentang pentingnya membaca dalam menunjang nilai
akademik para siswa. Tahadap selanjutnya memberikan gambaran kepada siswa
tentangbagimana caranya membaca yang efektif sehingga membaca dapat
dijadikan sebagai hobi yang menarik.
PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum
DesaSlerok terletak kurang lebihnya 10 kilometer dari pemerintahan
Kecamatan Ledokombo.Sebuah desa kecil yang tidak begitu padat penduduk,
danberada di kaki gunungRaung.Desainisulit di jangkau karena jalannya yang
bebatuan dan menanjak, dan hal ini menyebabkan sulitnya mencari jangkauan
signal.Desa ini melewati hutan yang sangat panjang.Hal ini menyebabkan sulitnya
akses pendidikan.
Penduduk desa Slerok memiliki mata pencaharian yang mayoritas
petani.Kebanyakan para petani ini jika mengelolah sawahharus turun dari desa
tersebut. Karena letak sawah berada di bawah desa tersebut. Ada juga yang
bekerja di sekitar hutan sana, ada pula yang beternak domba.
Penduduk Desa Slerok sadar akan pentingnya pendidikan. Terdapat satu
Sekolah Dasar yaitu SD Negeri Slateng 02, SD ini hanya untuk siswa kelas 1 dan
Page 28
28| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
2. Sedangkan kelas 3 sampai kelas6berada di lokasi yang berbeda, untuk
menyampai sekolah ini mereka harus berjalan menyusuri hutan, dan mereka
berjalan kurang lebih 6 kilometer. Mereka berangkat saat hari masih gelap tanpa
ada cahaya yang menyinari sepanjang jalan yang mereka lewati. Desa Slerok
menyediakan sekolah yang hanya untuk siswa kelas 1 dan kelas 2 dengan
pertimbangan, anak seumuran tersebut masih terlalu dini untuk menyusuri jalan
sejauh itu.
Sulitnya jangkauan desa tersebut membuat fasilitas sekolah yang hanya
satu-satunya di desa tersebut tidak memadai. Padahal mereka sangat
membutuhkan fasilitas tersebut. Keterbatasan fasilitas tersebut sangat berpengaruh
pada proses pembelajaran. Terdapat seorang guru di sekolah tersebut. Dahulu di
sekolah tersebut terdapat kelas sampai jenjang selanjutnya. Tetapi karena pengajar
di sana sudah pensiun, maka terpaksa untuk kelas yang lebih tinggi harus turun
dari desa untuk menambah ilmu.
Pembelajaran di sekolah tersebut hanya berlangsung 4 hari dalam
seminggu. Mulai hari Senin sampai Kamis. Guru pengajar juga bukan asli dari
desa tersebut. Jumlah siswa untuk kelas 1 sebanyak 7 anak, karena sudah banyak
yang melanjutkan ke jenjang berikutnya. Fasilitas yang ada hanya bangku sekolah
dan papan tulis. Fasilitas penunjang lainnya tidak ada. Hal ini menyulitkan siswa
untuk menambah wawasan tentang ilmu pengetahuan yang diajarkan. Siswa
hanya dapat memperoleh informasi pembelajaran melalui pembimbing siwa
tersebut.
Desa ini memiliki permasalahan yang cukup komplek terntang sulitnya
jangkauan dari tangan pemerintah. Yang menyebabkan banyak aspek dirugikan,
terutama tentang aspek pendidikan yang sangat minim sekali. Fasilitas yang jauh
dari kata cukup, yang menyebabkan proses pembelajaran menjadi kurang
maksimal karena tidak ada penunjang untuk membantu proses pembelajaran ini.
B. Masyarakat Mitra
Masyarakat Desa Slerok mayoritas bermatapencaharian mengumpulkan
getah pinus yang dimiliki oleh pihak perhutani. Penduduk juga memiliki lahan
Page 29
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |29
yang bisa untuk ditanami tumbuhan dan pepohonan, akan tetapi penduduk hanya
boleh mengambil buah dari tanaman tersebut. Masyarakat Desa tersebut mayoritas
pendatang dari berbagai daerah, hanya sebagian kecil penduduk asli di Desa
Slerok. Penduduk asli daerah tersebut yang terlahir di sana, orangtua mereka
pendatang dari daerah lain juga. Penduduk yang telah berpuluh-puluh tahun
menempati daerah tersebut.
Masyarakat di sana berupaya untuk memperbaiki pendidikan yang ada di
Desa tersebut, hal tersebut terbukti dengan didirikannya kelas untuk siswa yang
menduduki kelas 1 dan 2 SD. Pendirian kelas di Desa tersebut bekerjasama
dengan pihak perhutani. Hal ini dikarenakan usia siswa kelas 1 dan 2 yang masih
terlalu dini untuk menelusuri jalanan yang terjal dan jauh kurang lebih 6 kilometer
untuk menuju sekolah induk. Usia siswa yang terlalu dini membutuhkan
pengawasan dari orangtua siswa, dikarenakan keadaan pendidikan di sana masih
tertinggal. Hal ini terbukti dengan tidak adanya Taman Kanak-kanak (TK)
sehingga anak yang berusia dini yaitu sekitar 4 sampai 5 tahun sudah menduduki
bangku SD.
C. Identifikasi dan Alternatif Pemecahan Permasalahan
Berdasarkan permasalahan kurangnya minat baca anak-anak di Desa
Slerok penulis mengusulkan alternatif pembuatan perpustakaan di Sekolah Dasar
Slerok tepatnya di SDN Slateng 02 ini dengan tujuan meningkatkan minat baca
bagi anak-anak. Dalam pembuatan perpustaan ini juga diharapakan meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang pentingnya membaca bagi anak-anak agar dapat
mendapatkan ilmu tambahan yang tidak didapatkan pada waktu di kelas. Sehingga
program pemerintah dalam upaya mencerdaskan Bangsa dapat terwujud dengan
baik.
Anak-anak desa ini sangat bersemangat untuk menuntut ilmu. Hal ini
dibuktikan dengan persiapan mereka untuk menuntut ilmu di sekolah induk
dengan berangkat secara bersama-sama setelah sholat subuh, serta dengan adanya
medan yang sulit dan jauh tidak mematahkan semangat mereka untuk menuntut
ilmu setinggi-tingginya. Anak-anak desa ini juga memiliki kelebihan yang sangat
Page 30
30| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
baik dibandingkan dengan anak-anak desa yang lain, dimana pada desa ini pada
usia dini sudah dapat membaca dan berhitung.
SIMPULAN
Pendidikan yang layak dan merata merupakan salah satu kewajiban
pemerintah yang harus dipenuhi dan diberikan kepada seluruh warga negaranya
tanpa terkecuali. Dalam meningkatkan pendidikan dan mencerdaskan Bangsa
maka diperlukan kesadaran masyarakat dalam pentingnya membaca.
Dalam dunia pendidikan membaca memiliki fungsi yang sangat penting
untuk menujang Prestasi yang cermelang. Namun di Indonesia saat ini minat baca
dikalangan masyarakat terutama siswa sangatlah memperhatinkan. Hal ini dapat
disebabkan karena kurangnya fasilitas perpustakaan yang ada disekolah yang
kurang menarik minat para siswa,mereka cenderung beranggapan bahwa
perpustakaan disekolah merupakan tempat yang membosankan.
Permasalahan tersebutlah yang kini telah terjadi disalah satu wilayah
Indonesia di daerah jember khususnya di desa ledok ombo. Dimana fasilitas
perpustakaan yang kurang lengkaptidak serta kurang menarik perhatian para
siswa. Sehingga menyebabkan minat baca siswa disana sangatlah minim.
Program Gubuk Pustaka Siswa Pintar ini menggunakan metode awal
Participatory Rural Appraisal (PRA). PRA adalah suatu metode pendekatan
untuk mempelajari kondisi dan kehidupan pedesaan dari, dengan, dan oleh
masyarakat desa. Atau dengan kata lain dapat disebut sebagai kelompok metode
pendekatan yang memungkinkan masyarakat desa untuk saling berbagi,
meningkatkan, dan menganalisis pengetahuan mereka tentang kondisi dan
kehidupan desa, membuat rencana dan bertindak. (Chambers, 1995)
DAFTAR PUSTAKA
Chambers, R. 1996. Memahami Desa Secara Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius.
Kajian Pustaka.Pengertian dan Hakikat Membaca (Online) (http:
//www.kajianpustaka.com/2014/01/pengertian-dan-hakikat-membaca.html)diakses
tanggal 24 September 2015, pukul 08.45 WIB
Wikipedia.Partisipasi. (Online) (https://id.wikipedia.org/wiki/Partisipasi) diakses tanggal
24 September 2015, pukul 09.01
Page 31
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |31
KEMITRAAN PEMERINTAH, PERGURUAN TINGGI, MASYARAKAT
SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN
PENDIDIKAN DI DAERAH TERTINGGAL
Sri Untari
Universitas Negeri Malang, [email protected] , 08123253114
Abstrak
Pendidikan merupakan salah satu indikator untuk mengukur kualitas hidup manusia,
demikian juga untuk mengukur kualitas suatu bangsa dapat dilihat dari kualitas
pendidikannya. UNICEF (1998) menyebutkan bahwa tanpa pendidikan, manusia tidak
mampu berkarya secara produktif, menjaga kesehatannya, mempertahankan dan
melindungi diri serta keluarganya, ataupun menjalani kehidupan yang berbudaya.
Pentingnya pendidikan bagi semua (Education for All) telah menjadi komitmen global
sebagaimana tertuang dalam hasil kesepakatan negara-negara anggota UNESCO di Dakar
Sinegal. Secara lebih tegas telah disepakati pula bahwa pendidikan tidak boleh bersifat
diskriminatif termasuk diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, sosial ekonomi
sebagaimana tertuang dalam Konvensi Anti Diskriminasi dalam Pendidikan yang
merupakan hasil Sidang Umum UNESCO tahun 1958. Dalam kontek Indonesia problem
pelayanan pendidikan sangat komplek utamanya di daerah tertinggal antara lain
keterbatasan sarana prasarana, infrastruktur dan sumber daya manusia. Untuk itu perlu
adanya suatu gerakan untuk bersama meningkatkan pelayanan pendidikan di daerah
tertinggal melalui kinerja kemitraan antara pemerintah, perguruan tinggi dan masyarakat
agar problem pelayanan pendidikan berkualitas bagi daerah tertinggal dapat diselesaikan,
sehingga berimplikasi meningkatnya sumber daya manusia(SDM) yang penting bagi
pelaksaan pembangunan bangsa. Makalah sederhana ini mencoba menjawab
permasalahan (1) Problematika pendidikan di daerah tertinggal,(2) kebijakan strategis di
bidang pendidikan bagi daerah teringgal. (3) bentuk kemitraan pemerintah,perguruan
tinggi dan masyarakat dalam pelayanan pendidikan di daerah tertinggal.
Kata kunci: kemitraan, pelayanan, pendidikan, daerah tertinggal
PENDAHULUAN
Ideologi pendidikan Indonesia tercantum dalam Pembukaan UUD 1945
alinea IV tersurat cita-cita”.......mencerdaskan kehidupan bangsa.....”, sehingga
mestinya menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan nasional. Mencerdaskan
kehidupan bangsa mengandung makna bahwa pendidikan nasional yang
berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 berfungsi
mengembangkan kemampuan dan mengembangkan keterampilan, bahkan
membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat, bermuara untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
Page 32
32| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
mandiri dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab
(Depdiknas.2007).
UU No 20/2003 tentang Sisdiknas utamanya pasal 11 ayat 1
mengamanahkan agar Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan layanan
dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan berkualitas bagi
warga negara tanpa diskriminasi. Konsekuensi atas substansi pasal tersebut akan
memunculkan tuntutan terhadap pemerintah dan pemerintah daerah, sebagaimana
tersurat dalam ayat (2) yang menyatakan bahwa baik pemerintah pusat, maupun
pemerintah daerah berkewajiban menyediakan dana demi terselenggaranya
pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun. Berdasarkan aturan
yang demikian, maka pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah menjamin
terselenggaranya wajib belajar, minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa
dipungut biaya, karena wajib belajar adalah tanggung jawab negara yang
diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat
(pasal 34 ayat 2). Pertanyaan yang muncul apakah pemerataan pendidikan
utamanya wajib belajar 9 tahun telah dapat dinikmati secara merata oleh
masyarakat? apakah pendidikan telah menjangkau daerah 3 T ?.
Hasil wawancara dengan beberapa alumnus SM3T angkatan ke IV
menyatakan diwilayah 3T dimana mereka bertugas menunjukkan bahwa masih
banyak yang belum terjamah pendidikan, baik itu mulai dari PAUD ( Pendidikan
Anak Usia Dini ), Kesetaraan (Paket A, B, dan C), dan dari segi pembinaan
kelembagaan yaitu Kursus, PKBM ( Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat ), TBM (
Taman Baca Masyarakat ). Belum lagi masalah jumlah guru, sarana prasarana,
jarak tempat tinggal dengan sekolah dan banyak lagi. Untuk itu tulisan ini
dimaksudkan mencari jawab atas pertanyaan: (1). Bagaimanakah problematika
pendidikan di daerah tertinggal?,(2) bagaimanakah kebijakan strategis di bidang
pendidikan bagi daerah teringgal?. (3) apasajakah bentuk kemitraan
pemerintah,perguruan tinggi dan masyarakat dalam pelayanan pendidikan di
daerah tertinggal?.
Page 33
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |33
METODE
Penulisan ini memerlukan data yang diperoleh melalui studi literatur yakni
dengan mencari data dengan membaca buku, artikel, skripsi atau desertasi, jurnal
yang relevan dengan tema yang diangkat oleh penulis. Disamping itu juga melalui
wawancara dengan informan yakni para alumnus SM3T angkatan IV yang
sekarang sedang menempuh PPG di Universitas Negeri Malang.
Adapun struktur penulisan mengikuti tamplate dari penyelenggara seminar
nasional meliputi: judul makalah, abstrak, pendahuluan, metode, pembahasan dan
simpulan serta daftar pustaka.
PEMBAHASAN
1. Problematika pendidikan di daerah tertinggal
Penyediaan pelayanan pendidikan secara kuantitas terlebih secara kualitas
dihadapi oleh banyak negara di dunia utamanya negara-negara sedang
berkembang. Masalah anggaran yang relatif kurang, sumber daya manusia yakni
kecukupan guru dan tenaga kependidikan, kurangnya sarana prasarana dan
tingkat kesadaran masyarakat akan pendidikan yang rendah sampai pada hal-hal
yang bersifat akademik seperti kurikulum, ketersediaan buku, kesempatan
bersekolah bagi wanita dan sebagainya meupakan problem yang dihadapi negara
sedang berkembang ( Sedisa, 2008, Ndandiko.2009).
Bagi Indonesia sebagai negeri yang demikian luas wilayah dan
keanekaragamannya sungguh merupakan tantangan besar dan luar biasa dalam
pelayanan pendidikan di seluruh tanah air. Tantangannya tidak hanya dalam
menyediakan jasa pendidikan dalam kuantitas juga kualitas. Tantangan akan
kuantitas pendidikan menyangkut ketersediaan infrastruktur pendidikan, seperti
gedung, sarana prasarana, peralatan pembelajaran dan tenaga guru juga tenaga
kependidikan pada semua wilayah. Hal ini menyangkut isu antara wilayah barat
Page 34
34| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
dan wilayah timur, pedesaan dan perkotaan dan daerah terpencil, terpencar dan
termiskin serta terluar. (Untari.2014).
Potretpendidikan di Indonesia pada umumnya, yang sekaligus sebagai
perwujudan persoalan pendidikan yang dihadapi di daerah tiga T dapat dilihat dari
empat komponen utama: fasilitas sekolah, siswa, tenaga pendidik dan kurikulum.
Secara umum, dengan merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS 2015), terdapat
71 ribu desa yang memiliki fasilitas sekolah dasar, sedangkan di seluruh Indonesia
terdapat lebih dari 80 ribu kelurahan/desa, jadi konkritnya ada 10.895 desa yang
belum memiliki sekolah dasar. Hal ini menunjukkan suatu indikasi bahwa masih
banyak masyarakat di desa yang belum mendapat kemudahan dalam mengakses
atau mengenyam pendidikan dasar. Angka partisipasi sekolah nasional untuk anak
umur 7-12 tahun pada tahun 2014 boleh dibanggakan.
Menurut BPS, persentase anak umur 7-12 tahun yang belum pernah
sekolah hanya 0,87 persen dan persentase anak putus sekolah pada umur tersebut
adalah 0,21 persen. Kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan sepertinya
sudah tertanam dengan baik. Meskipun demikian berdasarkan data di lapangan,
masih dijumpai jutaan anak yang belum dapat merasakan nikmatnya pendidikan.
Hal tersebut sangatlah bertentangan dengan target SDGs untuk memberikan
kesempatan kepada seluruh anak merasakan pendidikan dasar. Jumlah tenaga
pendidik di Indonesia sebenarnya sudah sangat mencukupi. Pada tahun 2014,
rasio guru dan siswa mencapai 1:20 yang berarti satu guru hanya harus mengurus
kurang dari 20 siswa tingkat sekolah dasar (BPS.2015).
Potretburam pendidikan di Indonesia hingga saat ini terus dibenahi agar
empat komponen utama dapat terus ditingkatkan sesuai dengan standar
pendidikan yang telah ditetapkan pemerintah (1) fasilitas sekolah, upaya secara
bertahap melengkapi fasilitas sekolah, berupa infrastruktur, peralatan,
laboratorium dan sebagainya telah dilaksanakan, meskipun belum secara merata.
(2) siswa, dilaksanakan dengan memberikan kesempatan mengenyam pendidikan
bagi anak-anak usia 7-15 mengikuti wajib belajar 6 tahun dengan biaya dari
pemerintah, persoalannya sekalipun telah digratiskan belum menjamin seluruh
anak Indonesia mengambil haknya (3) tenaga pendidik, selain dilakukan
Page 35
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |35
rekruitmen guru juga peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru melalui
berbagai kegiatan pendidikan dan latihan dan (4) kurikulum, dilakukan
penyempurnaan, perubahan seiring dengan tuntutan jaman. meskipun demkian
berlakukan kurikulum yangtidak seragam dimana ada daerah/sekolah yang
menggunakan Kurikulum Tingkat satuan pendidikan (KTSP) , Kurikulum 13,
Kurikulum 13 perubahan. menambah semakin carut marutnya wajah pendidikan
di tanah air. Sekalipun angka partisipasi sekolah nasional untuk anak umur 7-12
tahun pada tahun 2014 boleh dibanggakan, tidak berarti banyak bagi
penyelenggaraan pendidikan di daerah 3T. Kesadaran masyarakat akan
pentingnya pendidikan sepertinya masih perlu terus ditanamkan dengan baik,
sehingga layanan pendidikan di daerah 3 T dapat berkembang seiring dengan
daerah lain di Indonesia. Berdasarkan hasil wawancara para alumnus SM3T , data
di lapangan menunjukkan pembenahan empat komponen utama pendidikan
belumlah memadai, masih dijumpai anak yang belum dapat merasakan
nikmatnya pendidikan. Jumlah tenaga pendidik di daerah 3 T sangat kurang, tidak
heran terdapat kelas yang berbeda dirangkap oleh guru yang ada.
Suatu yang umum melihat sekolah dasar dengan gedung permanen,
dinding berkeramik, meja kursi bagus, halaman berpafing, taman tertata rapi,
almari data siswa, dengan segala pajangan hasil karya siswa yang bagus, tempat
ibadah yang representatif, peralatan laboratorium lengkap: komputer, bahasa, IPA,
IPS di DKI Jaya, Surabaya, Malang, Palembang, Denpasar dan di wilayah
perkotaan lainnya, tidak demikian di pelosok NTB, NTT, Maluku, Papua, siswa di
daerah itu mungkin harus puas dengan sekolah dengan atap tua yang senantiasa
bocor, meja kursi kurang, dinding yang bolong sana sini yang ditutup peta
Indonesia, atau peta dunia yang tidak relevan dengan kebutuhan pembelajaran di
kelas tersebut, almari data kalaupun ada tidak cukup bagus, dinding yang retak
siap ambruk kapanpun, lantai dengan plester ala kadarnya, dan banyak hal yang
tidak mendukung terselenggaranya proses pembelajaran yang kondusif untuk
siswa mencapai kompetensinya, kamar mandi atau WC yang kotor dan “pesing”.
Siswa di banyak wilayah timur atau di pedesaan tidak pernah kenal isi
laboratorium, tidak bebas bermain di halaman karena saat hujan halaman becek
Page 36
36| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
bak sawah. Bahkan banyak di kecamatan Sulawesi Utara, Lampung, Papua, NTT,
murid sekolah dasar pada kelas yang berbeda harus masuk pada kelas yang sama
karena terbagi hanya 3 atau 4 kelas sebab mereka tidak memiliki cukup guru, atau
bahkan satu kelas dipergunakan untuk 2 kelas yang berbeda tingkatnya (kelas
rangkap).(Untari.2014)
Berdasarkan kondisi sebagaimana dijelaskan di atas, menunjukkan betapa
potret pendidikan di daerah 3T memiliki masalah yang lebih kompleks. Berbagai
keterbatasan yang dialami oleh sekolah, murid, guru dan kurikulum di daerah
tersebut. Daerah 3T, yang mayoritas berada di luar pulau Jawa, belum merasakan
pemerataan pembangunan.Hasil wawancara dengan informan yakni peserta PPG
FIS UM tahun 2016 menjelaskan tentang sekolah-sekolah di pedalaman yang
ambruk saat terjadi bencana alam seperti banjir atau puting beliung. Akses menuju
sekolah pun terkadang terbatas karena jarak yang jauh atau rute yang tidak aman
karena harus menyeberangi sungai, menaiki sampan sederhana yang pada saat
arus deras sangat berbahaya. Menurut Ahmad (2009) fakta-fakta lapangan yang
demikian tentunya bertentangan dengan upaya untuk melaksanakan pendidikan
untuk semua sekaligus bertentangan dengan salah satu target dari tujuan
pendidikan SDGs adalah memberikan keamanan peserta didik dari rumah mereka
menuju sekolah.
2. Kebijakan strategis di bidang pendidikan bagi daerah tertinggal.
Pembahasan terkait dengan kebijakan strategis bagi daerah tertinggal di
bidang pendidikan sangat penting mengingat wilayah Indonesia yang sedemikian
luas ke depan membutuhkan sumber daya manusia yang “ mumpuni” untuk dapat
berkompetisi dan berkolaborasi dengan bangsa lain di dunia.
Kebijakan strategis tersebut antara lain dapat diwujudkan (1) aspek biaya ,
dilaksanakan melalui pengalokasian anggaran pendidikan dari APBN 20 %
sebagaimana yang ditetapkan secara normatif oleh peraturan perundang-undangan
yang dialokasikan untuk penyediaan fasilitas pendidikan dan pengadaan buku-
buku pegangan siswa dan guru dengan harga murah, peningkatan kesejahteraan
guru. Pemberian Biaya Operasional Sekolah (BOS). merupakan salah satu
Page 37
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |37
kebijakan pemerintah untuk mengatasi permasalahan biaya pendidikan.
Persoalannya pengaalokasian anggaran pendidikan 20% hingga saat ini masih
belum direalisasikan serentak sehingga belum dapat mengatasi permasalahan.
(Priyono.2010).Pada aspek biaya hakekatnya pengelolaan APBN maupun APBD
yang transparan, akuntabel, tanpa korupsi akan mampu menjadi faktor yang dapat
mensukseskan pengelolaan pendidikan nasional.(2)aspek kurikulum, dilaksanakan
dengan menetapkan kurikulum yang berlaku nasional, bukan kurikulum yang
terkesan tarik ulur seperti saat ini ada Kurikulum KTSP. Kurikulum 13 dan
kurikulum 13 perubahan yang justru membingungkan guru-guru di lapangan.
Untuk itu penting bagi Kementerian Pendidikan dan kebudayaan menetapkan
suatu kurikulum yang baku untuk semua tingkat pendidikan. pelaksanaanya perlu
kontrol oleh para ahli pendidikan, psikolog, tokoh masyarakat dan pemuka agama
agar materi yang diajarkan, selain berisi nilai-nilai akademis, juga mengandung
pembentukan karakter, penanaman budaya dan nilai-nilai religius. (3). aspek
pendidik. problem pemerataan pendidikan tenaga pengajar dilaksanakan melalui
kebijakan pemerintah dengan mutasi guru-guru berprestasi ke daerah-daerah
untuk mengajar di sana. Guru-guru berprestasi tersebut diharapkan dapat
memberikan nafas baru pendidikan daerah 3T. Bagi guru-guru yang sudah lebih
dulu mengajar, baik PNS maupun honorer, di daerah 3T, dilakukanpembinaan
dengan pendidikan dan pelatihan dan peningkatan kesejahteraannya berupa
tunjangan khusus bagi guru-guru yang bertugas di daerah terpencil.
3. Bentuk kemitraan pemerintah,perguruan tinggi dan masyarakat dalam
pelayanan pendidikan di daerah tertinggal.
Desentraliasi dengan memberikan otonomi daerah membawa konsekuensi
bagi penyelenggaraan pembangunan. Pada era sekarang pembangunan daerah
pada hakekatnya merupakan kewenangan dari pemerintah daerah baik Provinsi
maupun Kabupaten, sedangkan Pemerintah berfungsi sebagai, motivator dan
fasilitator dalam percepatan pembangunan pada daerah tertinggal. Namun
demikian, pembangunan daerah tertinggal tidak mungkin berhasil tanpa dukungan
dan kerja keras para pemangku kepentingan (stakeholders).
Page 38
38| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Paradigma Good GovernancePelaksanaan program pembangunan di
daerah tertinggal menjadi program prioritas nasional dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009 tidak mungkin ditangani
sendiri oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah,
diperlukan aktor lain untuk bersama mengatasi permasalahan pendidikan di
daerah tertinggal.( Muluk.2009). Pelibatan aktor yang dapat dijadikan mitra
pemerintah adalah perguruan tinggi.
Pentingnya kemitraan telah menjadi sangat jelas terutama dekade terakhir,
dengan baik atas prakarsa nasional maupun internasional dalam mengembangkan
pendidikan menyangkut kemitraan dalam keuangan dan ketetapan pendidikan di
sekolah sebagai metoda untuk memastikan akses bidang pendidikan dan mutu di
dalam sistem pendidikan.
Kemitraan antara Pemerintah, Perguruan Tinggi dan masyarakat
dipandang suatu model pembangunan pendidikan di daerah tertinggal yang tepat.
Pemerintah dengan kebijakan dan pembiayaan pendidikan, sedangkan perguruan
tinggi dengan Tridarmanya dapat melakukan pengiriman tenaga pendidik seperti
SM3T, Indonesia Mengajar, juga melalui kegiatan Kuliah Kerja Nyata atas biaya
bersama, sementara masyarakat dapatmenyediakan anggaran, bahan, pemikiran
ataupun tempat tinggal bagi tenaga pendidik yang ditugaskan. PT juga dapat
melaksanakan penelitian dan pengabdian pada yang dibutuhkan daerah terpencil
hasilnya menjadi input dalam penyusunan kebijakan pemerintah terkait dengan
upaya meningkatkan kualitas layanan pendidikan di daerah tertinggal.Bentuk
kemitraan yang lain adalah pemberian beasiswa oleh pemerintah bagi mahasiswa
yang berasal dari daerah tertinggal yang nanti setelah lulus bersedia untuk
diangkat sebagai guru di daerah asalnya. Dengan demikian kebutuhan tenaga
pendidik akan tercukupi di masa mendatang.
SIMPULAN
Permasalahan pendidikan yang dihadapi di daerah tiga T dapat dilihat dari
empat komponen utama: fasilitas sekolah, siswa, tenaga pendidik dan kurikulum
Page 39
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |39
yang secara umum masih kurang memadai, sehingga berakibat kurangnya kualitas
pelayanan pendidikan di daerah tertinggal (3 T).
Kebijakan strategis bagi daerah tertinggal di bidang pendidikan sangat
penting yang akan dan telah dilakukan mecakup aspek pembiayaan, aspek
kurikulum dan aspek pendidik perlu terus dikawal dalam pelaksanaannya agar
benar-benar dapat mengatasi permasalahan pendidikan di daerah tertinggal
Kemitraan pemerintah, perguruan tinggi dan masyarakat menjadi suatu
pendekatan yang dapat mempercepat penyelesaian masalah layanan pendidikan di
daerah tertinggal dalam bentuk pembagian peran Pemerintah (pusat dan daerah)
sebagai penyandang dana, fasilitator dan pembuat regulasi. Perguruan tinggi
melalui tri dharmanya dapat untuk mendukung program peningkatan kualitas
pelayanan pendidikan di daerah tertinggal, seperti SM3T, Indonesia mengajar.
sedangkan masyarakat dapat menyedia fasilitas tempat tinggal, filantropi dapat
menyediakan beasiswa, vocer pendidikan, dan fasiliatas pendidikan lainnya.
Kinerja kemitraan akan menciptakan sinergi dan harmonisasi komponen bangsa
dalam memikirkan, melakukan, dan mengembangkan pendidikan di daerah
tertinggal.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab, Solichin, 1999. Analisis Kebijakan Publik: Teori dan Aplikasi” PT
Danar Wijaya UNIBRAW Malang
Afkari. Rafiuddin.2011.Peranan, Strategi dan Pola Pengembangan Pendidikan Mewujudkan Sumber Daya Manusia (SDM) di Inhil yang Berwawasan
Maju dan Gemilang 2025. diakses 12 juli 2016
Ahmad, Masyudi, 2009. Pencapaian Educational For All Melalui Islamics
Schools.Nazamia, Volume 12, Nomor 1, tahun 2009
Badan Pusat Statistik. 2015. Katalog BPS . Statistik Indonesia 2015 Statistical
Yearbook of Indonesia 2015. Jakarta
Depdiknas.2009. Rencana Strategis Departemen Pendidikan nasional 2009-2014.
Muluk,M.R.Khairul,2009. Peta Konsep Desentralisasi dan PemerintahanDaerah.
Surabaya,ITS Press bekerjasama dengan Lembaga Penerbitan
Ndandiko,2009. Public Private Partnerships as Modes of Procuring Public
Infrastructure and service Delivery in Developing Countries: Lesson From
Page 40
40| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Uganda. International Public Prourenment Conference Proceedings. Pp
693-710.
Priyono.Edy.2010. Pembiayaan Pendidikan di Era Otonomi Daerah: Masalah
dan Prospek.
http://www.akademika.or.id/arsip/Pembiayaan%20Pendidikan-
Edy%20Priyono.pdf
Sedisa, Kitso Nkaiwa, 2008. Public-Private Partnerships In The Provision
OfSecondary Education In The Gaborone City Area Of Botswana. Tesis
……….Kebijakan Strategis untuk Pemerataan Pendidikan di Daerah 3T.
http://www.kompasiana.com/iftikar/wacana-kebijakan-strategis-untuk-
pemerataan-pendidikan-di-daerah-3t_5715f6dd139373541f8d043f diakses
12 juli 2016
Untari.Sri.2014. Kemitraan Pemerintah dan Swasta dalam meningkatkan Kualitas
pendidikan di Kota Malang (Studi Pada SMA Negeri 10 Malang).
Desertasi. FIA UB Malang.
Page 41
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |41
KOMPETENSI KEPALA DESA DALAM PENGELOLAAN APBDes
(ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DESA) UNTUK
MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PADA BIDANG
PENDIDIKAN MENURUT UU No. 6 TAHUN 2014
Parlaungan Gabriel Siahaan
Universitas Negeri Medan, [email protected]
Abstrak
Pengelolaan APBDes yang dilakukan oleh aparatur pemerintah desa masih
perlu pengawasan dari pemerintah pusat dan daerah, sebab masih banyak
aparatur pemerintah desa yang tidak memahami perencanaan dalam
penggunaan anggaran desa (APBDes) yang sudah dikucurkan oleh pemerintah
pusat. Masih ditemukannya program yang tidak terarah dalam penggunaan
anggaran desa (APBDes) yang sudah dikucurkan, sehingga belum menyentuh
kepada kepentingan masyarakat desa yang sangat dibutuhkan. Melihat dari
kompentensi Kepala Desa dalam menyusun program-program pembangunan
pemberdayaan masyarakat desa, khususnya dalam peningkatan pendidikan di
desa tersebut masih jauh dari harapan masyarakat desa. Kondisi sekolah-
sekolah ditingkat SD (Sekolah Dasar) menjadi perhatian yang sangat serius
dengan masih banyak kerusakan sarana dan prasarana. Metode penelitian yang
digunakan adalah penelitian hukum normatif empiris. Teknik yang digunakan
melalui observasi dan penelitian kepustakaan (library research). Pihak
aparatur pemerintah desa tidak serius dalam menyelesaikan masalah sarana
dan prasarana di sekolah terutama pada tingkat sekolah dasar (SD) dan
mencari kesalahan dengan tidak ada komunikasi dengan pihak Kecamatan
dalam melakukan penyelesaian kerusakan sarana dan prasarana di sekolah.
Anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes) tidak sedikit yang sudah
diberikan oleh pemerintah pusat melalui pemerintah Kabupaten untuk
digunakan demi kesejahteraan masyarakat desa.
Kata Kunci: anggaran, pembangunan, sarana dan prasarana, desa,
masyarakat.
PENDAHULUAN
Desa merupakan suatu organisasi komunitas lokal yang memiliki batas-
batas wilayah, dihuni oleh sejumlah penduduk serta memiliki adat istiadat dalam
mengelola urusan rumah tangganya sendiri. Pemberian otonomi daerah diatur
dalam pasal 18 UUD NRI 1945 mengatakan “pembagian daerah Indonesia atas
dasar daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya diatur
dalam undang-undang”. Aparatur pemerintah desa merupakan yang bertugas
menyelenggarakan pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan desa,
Page 42
42| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
pembinaan masyarakat desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Hal ini
merupakan salah satu tugas pemerintah desa dalam melaksanakan pembangunan
di desa.
Bila dilihat pada pasal 78 (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
dijelaskan mengenai tujuan pembangunan desa dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat desa serta kualitas taraf hidup manusia dan
penanggulangan kemiskinan dengan melalui pemenuhan kebutuhan dasar,
pembangunan sarana dan prasarana di desa, pengembangan potensi ekonomi
lokal, serta melakukan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan dengan
secara berkelanjutan. Pembangunan wilayah pedesaan tidak terlepas dari peran
serta masyarakat desa yang ditopang dengan tingkat kualitas sumber daya
manusia (SDM) yang baik. Melalui pembangunan wilayah pedesaan diharapkan
mampu mendorong tingkat taraf hidup masyarakat desa karena merupakan salah
satu tugas pokok dari Kepala Desa sebagai pemimpin masyarakat desa, dimana
mampu memberikan suatu pelayanan yang maksimal dengan melihat sesuai
kebutuhan masyarakat desa tersebut.
Dalam pelaksanaan tugas Kepala Desa harus bertanggungjawab dalam
melakukan pengelolaan anggaran desa melalui Anggaran Pendapatan Belanja
Desa atau disebut APBDes. Anggaran pendapatan belanja desa (APBDes) adalah
suatu perencanaan keuangan tahunan melalui program pembangunan yang
dilakukan oleh Kepala Desa. Berdasarkan pasal 1 angka 10 Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 dijelaskan bahwa keuangan desa merupakan semua hak dan
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan
barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa.
Keuangan desa dapat dibagi dalam dua bentuk yaitu pendapatan desa dan
belanja desa. Dalam pasal 72 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
menyatakan pendapatan desa bersumber dari: (1) Pendapatan asli desa yang terdiri
dari hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong-royong dan lain-lain
pendapatan desa, (2) Alokasi APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara),
(3) Bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota, (4)
Bantuan keuangan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi dan
Page 43
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |43
anggaran pendapatan serta belanja Kabupaten/Kota, (5) Hibah atau sumbangan
yang tidak mengikat dari pihak ketiga, (6) Lain-lain pendapatan desa yang sah.
Sehubungan dengan belanja desa pada pasal 74 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 menyatakan bahwa “Belanja desa diprioritaskan untuk
memenuhi kebutuhan pembangunan yang disepakati dalam musyawarah desa dan
sesuai dengan prioritas pemerintah daerah Kabupaten/Kota, pemerintah daerah
provinsi, dan pemerintah”. Kebutuhan pembangunan dalam hal ini adalah tidak
terbatas pada kebutuhan primer saja tetapi menyangkut pelayanan dasar
lingkungan dan kegiatan pemberdayaan masyarakat desa.
Kewenangan yang dimiliki oleh Kepala Desa berdasarkan pasal 18
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 meliputi bidang penyelenggaraan
pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan
desa, dan pemberdayaan masyarakat desa yang berdasarkan prakarsa masyarakat,
hak asal-usul, dan adat istiadat desa.
Kompetensi Kepala Desa dalam melakukan pengelolaan anggaran desa
dan perencanaan pembangunan desa setelah mendapatkan persetujuan melalui
rapat BPD (Badan Perwakilan Desa). Hal ini sudah sesuai dengan pasal 18
Undang-Undang Desa dengan diberikan kewenangan yang besar kepada Kepala
Desa. Melihat kenyataan saat ini, pengelolaan anggaran desa melalui APBDes
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa) masih menjadi perhatian yang serius
karena belum menyentuh pada kebutuhan yang sangat penting. Perencanaan
pengelolaan dana desa masih mendominasi pada kebutuhan sarana perbaikan jalan
dan pengairan bagi pertanian. Anggaran desa yang digelontorkan tidak sedikit
hampir mencapai kurang lebih Rp 800.000.000,- setiap tahunnya dengan dua
tahap dalam penyaluran anggaran desa bagi setiap desa. Permasalahan yang
dihadapi adalah kompetensi Kepala Desa dalam melakukan pengelolaan keuangan
desa yang masih minim dan ditambah tingkat pengetahuan seorang Kepala Desa
diberbagai wilayah Republik Indonesia mengenai manajemen pengelolaan
keuangan negara masih rendah. Kurangnya pemahaman Kepala Desa dalam
melakukan pengelolaan keuangan desa akan berdampak pada tindakan
penyelewengan keuangan negara serta tidak memahami penyusunan perencanaan
Page 44
44| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
pengelolaan keuangan. Penggunaan anggaran desa masih dilakukan hanya pada
sektor tertentu saja, sedangkan pada sektor yang lain masih terabaikan meskipun
anggaran yang disediakan hanya sedikit nilai jumlahnya. Kondisi ini masih sering
terjadi di wilayah pedesaan tanpa memperhatikan kebutuhan yang paling penting
bagi masyarakat desa.
Akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan dana desa yang
dilakukan Kepala Desa masih menjadi perhatian yang besar karena kurangnya
pengawasan yang dilakukan oleh BPD (Badan Perwakilan Desa) dan ditambah
juga kurangnya pemahaman para anggota BPD dalam pengelolaan anggaran desa
pada program pembangunan masyarakat desa. Ditambah dengan rendahnya
pemahaman dari kompetensi Kepala Desa dalam menyusun rancangan peraturan
desa (Ranperdes) dalam penetapan program pembangunan dan pengelolaan
anggaran desa melalui APBDes (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa).
Bahkan laporan pertanggungjawaban dalam penggunaan anggaran desa melalui
APBDes masih belum tranparan selama menjabat sebagai Kepala Desa dalam satu
periode. Kepala Desa masih secara masif belum memperhatikan hal-hal yang
menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi kebutuhan masyarakat. Apabila kita
perhatikan pada pasal 82 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menjelaskan
bahwa masyarakat desa berhak mendapatkan informasi mengenai perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan desa. Hal ini masih menjadi permasalahan yang
sangat serius dan perlu menjadi bahan evaluasi yang dilakukan baik oleh
pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
Pembangunan suatu wilayah pedesaan tidak dapat berjalan dengan baik
jika tidak ditopang dengan peningkatan pendidikan sumber daya manusia (SDM)
dari masyarakat desa tersebut. Perubahan pola berfikir masyarakat desa dari cara
berfikir yang tradisional ke arah cara berfikir modern merupakan hasil dari
peningkatan pendidikan di masyarakat desa tersebut. Sarana pendidikan masih
perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah desa dengan mengalokasikan
anggaran desa melalui APBDes dengan jumlah yang tidak sedikit. Berdasarkan
hasil observasi di lapangan, masih cenderung anggaran yang dialokasikan untuk
Page 45
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |45
perbaikan sarana pendidikan (sekolah) lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah
anggaran yang dialokasikan pada sektor-sektor tertentu.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini yaitu apakah Kepala Desa mampu melakukan pengelolaan
anggaran desa melalui APBDes dengan cara transparan sehingga masyarakat desa
dapat mengetahui program pembangunan pemberdayaan masyarakat desa,
khususnya dibidang pendidikan?. Adapun tujuan dalam penelitian adalah: (1)
Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab rendahnya pemahaman Kepala Desa
dalam mengalokasikan anggaran desa dibidang pendidikan, (2) Untuk mengetahui
belum terwujudnya pengalokasian anggaran dibidang pendidikan yang masih
sedikit. Adapun manfaat dari penelitian ini dilakukan yaitu: (1) Bagi pemerintah,
penelitian ini diharapkan sebagai masukan agar pemerintah lebih memperhatikan
dan melakukan pengawasan (monitoring) terhadap pengelolaan anggaran desa
melalui APBDes secara transparan dan akuntabilitas, (2) Bagi Kepala Desa, untuk
dijadikan sebagai pedoman dan pengetahuan dalam penyusunan pengelolaan
anggaran desa melalui APBDes (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa) serta
perencanaan pembangunan secara berimbang pada semua sektor pembangunan.
METODE
Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif empiris
melalui observasi dan penelitian kepustakaan (library research).
PEMBAHASAN
Menurut pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
menjelaskan “desa merupakan desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama
lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Setiap desa
memiliki suatu adat-istiadat yang berbeda-beda yang tidak dapat dipisahkan dari
kepentingan masyarakat desa dimana terdapat hak tradisional (kebiasaan) dan
harus dihormati.
Page 46
46| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Widjaja dalam Matondang (2013:4) memberikan penjelasan mengenai
konsep desa adalah suatu kesatuan masyarakat hukum yang memiliki susunan asli
berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa, landasan pemikiran dalam
mengenai pemerintahan desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli,
demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat. Desa sebagai kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki susunan yang asli, maksudnya adalah bahwa desa
mempunyai otonom yang asli berdasarkan asal-usul daerah sebagai penghargaan
dan dihormati untuk penyelenggaraan pemerintahan desa.
Desa merupakan wilayah yang penduduknya saling mengenal, hidup
bergotong-royong, memiliki adat-istiadat yang sama, serta memiliki tata cara
sendiri dalam mengatur kehidupan masyarakatnya. Salah satu wewenang yang
ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 adalah pembangunan
desa. Menurut pendapat Solekhan (2014:52) mengatakan “sebagai unsur
penyelenggara pemerintah desa, pemerintah desa mempunyai tugas
menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan.
Karena itu jika dilihat dari segi fungsi, maka pemerintah desa memiliki fungsi: (1)
menyelenggarakan urusan rumah tangga desa, (2) melaksanakan pembangunan
dan pembinaan kemasyarakatan, (3) melaksanakan pembinaan perekonomian
desa, (4) melaksanakan pembinaan partisipasi dan swadaya gotong-royong
masyarakat, (5) melaksanakan pembinaan ketentraman dan ketertiban masyarakat,
(6) melaksanakan musyawarah penyelesaian perselisihan dan lain sebagainya”.
Aparatur pemerintahan tentu harus dekat dengan masyarakat akan mengetahui apa
yang dibutuhkan masyarakat serta masalah apa yang mereka hadapi. Hal tersebut
dijelaskan Nurcholis (2007:236) menyatakan “pemerintahan desa merupakan
unsur penyelenggara pemerintahan desa, pemerintah desa mempunyai tugas
pokok: (1) menjalankan urusan rumah tangga desa, urusan pemerintahan umum,
pembangunan dan pembinaan masyarakat; (2) menjalankan tugas pembantuan
dari pemerintah provinsi maupun kabupaten”. Kewenangan desa sebagai kesatuan
masyarakat hukum mengatur dan mengurus segala kepentingan masyarakat
sendiri dalam rangka mencapai kesejahteraan yang disebut dengan otonomi desa.
Pemerintah desa (Kepala Desa) diharapkan harus fokus dalam peningkatan
Page 47
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |47
kesejahteraan masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Berdasarkan
pendapat Soemantri (2011:7) menjelaskan bahwa Kepala Desa memiliki tugas
menyelenggarakan urusan pemerintahan antara lain pengaturan kehidupan
masyarakat sesuai dengan kewenangan desa seperti pembuatan peraturan desa,
pembentukan lembaga kemasyarakatan, pembentukan Badan Usaha Milik Desa,
dan kerja sama antar desa, urusan pembangunan antara lain pemberdayaan
masyarakat dalam penyediaan sarana dan pra-sarana fasilitas umum desa seperti
jalan desa, jembatan desa, irigasi desa, pasar desa dan urusan kemasyarakatan,
yang meliputi pemberdayaan masyarakat melalui pembinaan kehidupan sosial
budaya masyarakat seperti bidang kesehatan, pendidikan serta adat-istiadat. Dari
penjelasan tersebut dimana Kepala Desa dalam melaksanakan program
pembangunan masyarakat desa bukan hanya berdasarkan pada sektor tertentu saja
dalam pengalokasian anggaran desa melalui APBDes (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa) dalam setiap tahunnya.
Widjadja (2008:137) menjelaskan “pengelolaan keuangan dilaksanakan
oleh bendaharawan desa yang diangkat oleh Kepala Desa setelah mendapatkan
persetujuan dari Badan Perwakilan Desa (BPD)”. Penggunaan atau pengelolaan
anggaran pendapatan dan belanja desa (disingkat dengan APBDes) meliputi
anggaran pelaksanaan tata usaha keuangan dan perhitungan anggaran. Dalam
pengelolaan anggaran desa harus dipertanggungjawabkan oleh Kepala Desa
kepada Badan Perwakilan Desa (BPD) selama paling lambat tiga bulan setelah
berakhirnya tahun anggaran. Selanjutnya menurut Thomas (2013:56) menyatakan
bahwa alokasi dana desa yang disebut dengan istilah ADD merupakan alokasi
khusus desa yang dialikasikan oleh pemerintah pusat melalui pemerintah daerah
yaitu Kabupaten/Kota. Tujuan dari pada pengalokasiaan dana desa adalah untuk
mempercepat program pembangunan tingkat desa baik pembangunan fisik berupa
sarana dan pra-sarana maupun sumber daya manusia. Artinya bahwa program
pembangunan di wilayah pedesaan bukan hanya pada pelaksanaan beberapa
sektor atau sektor tertentu saja pada setiap tahun, tetapi juga harus seluruh sektor
program pembangunan masyarakat desa. Anggaran (biaya) dalam penyusunan
program pembangunan harus berimbang pada setiap sektor, terutama di bidang
Page 48
48| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
pendidikan merupakan hal yang tidak dapat dipandang sebelah mata karena
menjadi tolak ukur dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) agar dapat
menciptakan suatu wilayah pedesaan yang maju dalam setiap sektor
pembangunan. Dijelaskan kembali menurut Supriadi (2015:337) mengatakan
“kewenangan pengelolaan keuangan desa dilaksanakan oleh Kepala Desa
sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 75 ayat 1 Undang-Undang tentang
desa, bahwa Kepala Desa adalah pemegang kekuasaan dalam pengelolaan
keuangan desa. Dalam melaksanakan kekuasaannya Kepala Desa menguasakan
sebagian kekuasaannya kepada perangkat desa. Dalam rangka melaksanakan
kewenangan yang dimiliki untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakatnya, dibentuklah Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai suatu
lembaga legislasi dan wadah yang berfungsi untuk menampung dan menyalurkan
aspirasi masyarakat. Kompetensi dari pada anggota Badan Perwakilan Desa
(BPD) masih diragukan dalam melakukan aspirasi masyarakat desa untuk
disampaikan kepada Kepala Desa dalam pengelolaan anggaran desa melalui
APBDes, ditambah kurangnya pemahaman dari anggota BPD fungsi pengawasan
dalam penggunaan anggaran desa terhadap pelaksanaan setiap program
pembangunan pemberdayaan masyarakat desa.
Lebih lanjut Purwanto (2014:66) menjelaskan bahwa “pendidikan
membimbing rakyat supaya mempergunakan keahliannya untuk kesejahteraan diri
dan orang lain mengasuh warga agar potensinya dapat dikembangkan terus,
memberi bantuan kepada rakyat untuk bersikap sesuai dengan nilai-nilai
kehidupan Pancasila”. Tujuan pendidikan adalah gambaran tentang nilai-nilai
yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Pentingnya
pendidikan disebabkan pendidikan merupakan suatu barometer untuk mengukur
apakah bangsa itu maju atau mundur dengan melihat tingkat kemajuan dari
pendidikannya. Tambak (2013:4) menyatakan pemberian otonomi pendidikan di
daerah memiliki nilai strategis bagi daerah untuk berkompetensi dalam
memajukan daerah masing-masing, terutama dari aspek kualitas sumber daya
manusia (SDM). Masyarakat desa memiliki kontribusi dalam meningkatkan
pendidikan anak sebab masyarakat adalah yang bertempat tinggak disekitar
Page 49
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |49
daerah. Selanjutnya Imron (2008:80) mengatakan bahwa kebijaksanaan
pendidikan dibuat dan dilaksanakan untuk memecahkan masalah-masalah yang
dihadapi oleh rakyat, maka dalam pelaksanaannya memerlukan dukungan dan
partisipasi masyarakat. Alasan perlu adanya partisipasi masyarakat dalam
kebijaksanaan pendidikan selain alasan sebagai pelaksanaan demokrasi yang
berarti pendidikan dari, oleh dan untuk rakyat juga karena rakyat yang lebih tahu
masalah mereka sendiri dan juga banyak mengetahui bagaiman cara
memecahkannya. Pendidikan memiliki banyak fungsi, hal ini dapat dilihat dari
fungsi pendidikan untuk mengembangkan berbagai keterampilan dan kemampuan
lain yang diperlukan dalam memasuki dunia kerja atau menjadi masyarakat yang
produktif. Hal ini dijelaskan Purwanto (2014:65) bahwa pendidikan dianggap
memiliki peranan paling penting dalam menentukan kualitas manusia. Melalui
pendidikan manusia dianggap akan memperoleh pengetahuan dan dengan
pengetahuan manusia diharapkan dapat membangun keberadaan hidupnya lebih
baik. Peranan aparatur pemerintah desa sangat diperlukan dalam membangun
pendidikan di wilayah pedesaan dengan tidak terlepas dari pengalokasiaan
anggaran desa melalui APBDes dalam rangka percepatan perbaikan sarana dan
pra-sarana dibidang pendidikan. Masih banyak sekolah-sekolah yang sudah rusak
dan perlu mendapatkan perhatian dari aparatur pemerintah desa dengan
mengalokasikan anggaran desa untuk dapat memperbaiki sarana dibidang
pendidikan. Pendidikan tidak kalah penting dari sektor-sektor yang lain, dimana
selama ini Kepala Desa mengesampingkan pembangunan dibidang pendidikan
meskipun sudah memberikan pengalokasiaan anggaran desa dengan jumlah yang
sedikit atau tidak berimbang.
SIMPULAN
Kemajuan suatu pendidikan pada wilayah pedesaan sangat memerlukan
dukungan biaya dalam pembangunan melalui pengalokasiaan anggaran desa
melalui APBDes (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa). Pengembangan suatu
wilayah pedesaan tidak terlepas dari tingkat kemajuan sumber daya manusia
(SDM). Rendahnya perhatian aparatur pemerintah desa untuk memperhatikan
Page 50
50| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
perbaikan sarana dan pra-sarana dibidang pendidikan, sehingga anak-anak tidak
dapat menikmati proses pendidikan yang lebih baik karena masih banyak
kerusakan sekolah-sekolah dan fasilitas yang mendukung pelaksanaan pendidikan
tersebut. Kecenderungan aparatur pemerintah desa (Kepala Desa) masih
mendominasikan pada sektor-sektor pembangunan tertentu dengan memberikan
alokasi anggaran yang lebih besar dari pada sektor dibidang pendidikan.
Ketidakseimbangan dalam pengalokasiaan perencanaan pembangunan akan
memberikan dampak tidak berjalan dengan baik proses pembangunan tersebut,
sehingga terjadi ketimpangan pada sektor pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA Imron, Ali. 2008. Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Nurcholis, Hanif. 2007. Teori Dan Praktik Pemerintahan Dan Otonomi Daerah.
Jakarta: Grasindo.
Purwanto, Nanang. 2014. Pengantar Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Setiawan, Deny. 2014. Metode Penelitian. Medan: Laboratorium PPKn FIS
UNIMED.
Soemantri, Bambang Trisantono. 2011. Pedoman Penyelenggaraan Pemerintahan
Desa. Bandung: Fokus Media.
Solekhan, Moch. 2014. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Berbasis
Partisipasi Masyarakat. Malang: Setara Press.
Supriadi, Edy. 2015. Pertanggungjawaban Kepala Desa Dalam Pengelolaan
Keuangan Desa Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
Tentang Desa. Jurnal IUS. Vol. III, No. 8, Agustus 2015.
Tambak, Syahraini. 2013. Membangun Bangsa Melalui Pendidikan (Gagasan
Pemikiran Melalui Perwujudan Pendidikan Berkualitas Untuk Kemajuan
Bangsa Indonesia). Yogyakarta: Graha Ilmu.
Thomas. 2013. Pengelolaan Alokasi Dana Desa Dalam Upaya Meningkatkan
Pembangunan Di Desa Sebawang Kecamatan Sesayap Kabupaten Tana
Tidung. Jurnal Pemerintahan Integratif. Vol. 1, Nomor 1.
Widjadja, HAW. 2013. Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia Dalam Rangka
Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Page 51
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |51
PENGEMBANGAN KOMPETENSI GURU UNTUK SEKOLAH DASAR
DI DAERAH TERTINGGAL
Muhammad Japar Universitas Negeri Jakarta, [email protected]
Abstrak
Daerah Tertinggal merupakan daerah Kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya
relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional. Beberapa
permasalahan penyelenggaraan pendidikan di daerah-daerah tertinggal antara lain karena
kurangnya persediaan tenaga pendidik, infrastruktur sekolah, distribusi tidak seimbang,
insentif rendah, kualifikasi dibawah standar, guru-guru yang kurang kompeten, serta
ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang yang ditempuh, dan
penerapan kurikulum di sekolah belum sesuai dengan mekanisme dan proses yang
distandarkan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pemetaan kompetensi guru
sesuai hasil tes uji kinerja dan mengembangkan pola pembinaan guru untuk Sekolah
Dasar di daerah tertinggal. Studi ini menggunakan metode kepustakaan. Dengan studi ini
diharapkan akan dapat diperoleh pemetaan kompetensi guru di daerah tertinggal dan
model pembinaan guru untuk meningkatkan kualitas guru sekolah dasar di daerah
tertinggal sebagai upaya membantu pembangunan pendidikan di daerah tertinggal.
Kata kunci : Kompetensi Guru, Sekolah Dasar, Daerah Tertinggal
PENDAHULUAN
Menurut Keputusan Menteri pembangunan daerah tertinggal Nomor
001/KEP/M-PDT/I/2005 tentang Strategi Nasional Pembangunan Daerah
Tertinggal, yang dimaksud dengan Daerah Tertinggal adalah daerah kabupaten
yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan
daerah lain dalam skala nasional. Konsep daerah tertinggal pada dasarnya berbeda
dengan konsep daerah miskin. Oleh karenanya, program pembangunan daerah
tertinggal berbeda dengan program penanggulangan kemiskinan.Berdasarkan
daftar Daerah Tertinggal dan Perbatasan Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah
Tertinggal, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) No. 2421/Dt.7.2/04/2015
tanggal 21 April 2015, daftar Daerah Tertinggalada 122 daerah.
Berdasarkan data Analytical and Capacity Development Partnership
(ACDP), rasio perbandingan antara guru dan murid di Indonesia adalah yang
Page 52
52| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
terendah di dunia. Hal itu dipengaruhi perekrutan guru yang tidak sesuai dengan
kebutuhan dan melampaui jumlah pendaftaran murid di segala tingkat pendidikan.
Menurut anggota ACDP, Sari Soegondo, perbandingan tersebut menghasilkan
rasio murid-guru 20 :1, namun, 10 tahun terakhir mengalami peningkatan menjadi
51%, sehingga rasionya 15:1 dan menjadi rasio perbandingan guru terendah di
dunia. Sedangkan data UNESCO 2014, menetapkan perbandingan 26 :1 untuk
negara-negara Asia dan 24:1 untuk negara-negara yang berpenghasilan menengah.
Jika dibandingkan dengan data UNESCO menurut Sari, Indonesia sangat jauh
karena saat ini memiliki perbandingan 15 :1 akibat kurangnya pembangunan mutu
pendidikan sehingga secara kuantitas timbul sebuah ketimpangan rasio guru-
murid yang terlihat sangat menonjol pada daerah.(BeritaSatu,13/05/2015).
Kejadian tersebut terjadi juga di daerah Kab. Pandeglang. Menurut UPT Dinas
Pendidikan Kec. Carita Kab. Pandeglang Tahun 2014, Jumlah murid di desa
Sukanegara 454 siswa dengan tenaga pendidik 26 orang. Sedangkan di desa
Sukajadi terdapat 517 siswa dengan tenaga pendidik 25 orang.
Kemudian, salah satu daerah tertinggal di Kabupaten Sambas, jenjang
pendidikan tenaga pendidik sebagian besar 65% berpendidikan dibawah S-1 dan
lebih banyak terdapat pada jenjang pendidikan SD/MI. Sedangkan yang
berpendidikan S-1 baru mencapai 35%. Terkait dengan sertifikasi, dari 7.081 guru
yang ada ternyata hingga saat ini yang bersertifikasi baru sekitar 9%. Hal ini
berpengaruh terhadap perkembangan kompetensi guru yang belum cukup untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di daerah tertinggal. (sambas.go.id)
Pentingnya Pendidikan Dasar, merupakan gerbang awal untuk melanjutkan
tingkatan pendidikan selanjutnya. Maka dari itu diperlukan pengembangan
kompetensi guru untuk dapat meningkatkan pendidikan terutama sekolah dasar di
daerah tertinggal. Oleh sebab itu, pemetaan kompetensi guru sesuai hasil tes uji
kinerja dan mengembangkan pola pembinaan guruuntuk Sekolah Dasar di daerah
tertinggal menjadi upaya di dalam meningkatkam pendidikan sekolah dasar di
daerah tertinggal. Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut : Bagaimana pengembangan kompetensi guru
untuk sekolah dasar di daerah tertinggal?. Penelitian ini bermanfaat untuk
Page 53
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |53
memberikan masukan kepada penentu kebijakan di bidang pendidikan dan tenaga
pendidik mengenai pengembangan kompetensi guru di daerah tertinggal agar
tercipta pemerataan dengan kualitas pendidikan nasional yang diinginkan.
METODE
Metode yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan yang merupakan
jenis penelitian kualitatif dimana pada umumnya tidak terjun ke lapangan dalam
pencarian sumber datanya. Penelitian kepustakaan merupakan metode yang
digunakan dalam pencarian data atau cara pengamatan secara mendalam terhadap
tema yang diteliti untuk menemukan jawaban sementara dari masalah yang
ditemukan di awal sebelum penelitian di tindaklanjuti.
PEMBAHASAN
Pemetaan Kompetensi Guru Sesuai Hasil Tes Uji Kinerja
Seorang guru yang profesional, haruslah memiliki kompetensi yang sudah
diatur dalam UU No. 16 Tahun 2007. Guru merupakan kunci keberhasilan
pendidikan, dengan tugas profesionalnya, guru berfungsi membantu peserta didik
untuk belajar dan berkembang; membantu perkembangan intelektual, personal
dan sosial warga masyarakat yang memasuki sekolah. Dengan kata lain, guru
menjadi kebutuhan utama untuk mencapai keberhasilan proses pendidikan.
(Cooper, 1982)
Kualitas kinerja guru meliputi beberapa hal pokok yang berkenaan dengan
: (1) Pengertian Kinerja; (2) Kualitas Kinerja Guru; (3) Ukuran Kualitas Kinerja
Guru. (LAN, 1 992)Kinerja adalah prestasi kerja atau pelaksanaan kerja atau hasil
unjuk kerja. Menurut Noto Atmojo, bahwa kinerja seseorang dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti ability, capacity, held, incentive, environment dan validity.
Dengan kata lain, lingkungan di daerah tertinggal mempengaruhi kinerja guru
dalam proses belajar dan mengajar seperti sarana transportasi, teknologi yang
kurang memadai, keadaan masyarakat di daerah pedalaman akan pentingnya
pendidikan masih izzlemah. Sehingga guru harus bekerja keras di dalam
melakukan proses pembelajaran.(Rusman, 2010:50)
Page 54
54| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Standar kinerja guru dapat dijadikan sebagai acuan dalam mengadakan
pertanggung jawaban terhadap apa yang telah dilaksanakan. MenurutIvancevich,
acuan tersebut meliputi : (1) Menguasai bahan/materi pelajaran; (2) Mengelola
Program Pembelajaran; (3) Mengelola Kelas; (4) Menggunakan Media dan
Sumber Belajar; (5) Menguasai Landasan Pendidikan; (6) Menilai Prestasi
Belajar; (7) mengelola interaksi belajar-mengajar; (8) Mengenal Fungsi dan
Layanan Bimbingan; (9) Mengenal dan Menyelenggarakan Administrasi Sekolah;
(10) Memahami dan Menafsirkan Hasil Penelitian Guna Keperluan Pembelajaran.
(Rusman 2010:51),
Hubungan produktivitas dengan kinerja seseorang dipaparkan
Sustermeister, bahwa; (1) Produktivitas itu kira-kira 90% bergantung pada prestasi
kerja & 10% pada teknologi dan bahan yang digunakan, (2) Prestasi kerja itu sendiri
untuk 80-90% bergantung pada motivasinya untuk bekerja, 10-20% bergantung pada
kemampuannya, (3) Motivasi kerja 50% bergantung pada kondisi sosial, 40% bergantung
pada kebutuhan-kebutuhanya dan 10% bergantung pada kondisi-kondisi fisik.
Dari gambaran tersebut dapat dikatakan bahwa kinerja guru akan memiliki
pengaruh terhadap produktivitas pendidikan. Jika kebutuhan terpenuhi akan
berdampak kepada motivasi kerja tenaga pendidik. (Rusman, 2010:52)
Dimensi-dimensi Kompetensi Guru
Menurut Undang-undangMenurut Undang-undang No.14 tahun 2005
tentang Guru Dan Dosen pasal 10 ayat (1) kompetensi guru meliputi kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Kompetensi Pedagogik
Dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
dikemukakan kompetensi pedagogik adalah “kemampuan mengelola
pembelajaran peserta didik”. Depdiknas (2004:9) menyebut kompetensi ini
dengan “kompetensi pengelolaan pembelajaran. Kompetensi ini dapat dilihat dari
kemampuan merencanakan program pembelajaran, kemampuan melaksanakan
Page 55
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |55
interaksi atau mengelola proses pembelajaran, dan kemampuan melakukan
penilaian.
Kompetensi Pribadi
Guru sebagai tenaga pendidik yang tugas utamanya mengajar, memiliki
karakteristik kepribadian yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan
pengembangan sumber daya manusia. Kepribadian yang mantap dari sosok
seorang guru akan memberikan teladan yang baik terhadap anak didik maupun
masyarakatnya, sehingga guru akan tampil sebagai sosok yang patut “digugu”
(ditaati nasehat/ucapan/perintahnya) dan “ditiru” (di contoh sikap dan
perilakunya).Kepribadian guru merupakan faktor terpenting bagi keberhasilan
belajar anak didik.
Kompetensi Profesional
Menurut Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
kompetensi profesional adalah “kemampuan penguasaan materi pelajaran secara
luas dan mendalam”. Surya (2003:138) mengemukakan kompetensi profesional
adalah berbagai kemampuan yang diperlukan agar dapat mewujudkan dirinya
sebagai guru profesional. Kompetensi profesional meliputi kepakaran atau
keahlian dalam bidangnya yaitu penguasaan bahan yang harus diajarkannya
beserta metodenya, rasa tanggung jawab akan tugasnya dan rasa kebersamaan
dengan sejawat guru lainnya
Kompetensi Sosial
Guru yang efektif adalah guru yang mampu membawa siswanya dengan
berhasil mencapai tujuan pengajaran. Mengajar di depan kelas merupakan
perwujudan interaksi dalam proses komunikasi. Menurut Undang-undang Guru
dan Dosen kompetensi sosial adalah “kemampuan guru untuk berkomunikasi dan
berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru,
orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar”.
Page 56
56| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Untuk mengetahui guru tersebut memiliki kompetensi yang sesuai atau
tidak, di perlukan Uji Kometensi Guru (UKG) dan Penilaian Kinerja Guru (PKG).
Profesi guru perlu dikembangkan terlebih masih ada daerah tertinggal yang
kekurangan guru. Selain itu, agar fungsi dan tugas guru yang melekat pada jabatan
fungsional guru dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku, maka diperlukan
UKG dan PKG yang menjamin terjadinya proses pembelajaran yang berkualitas
di semua jenjang pendidikan.
Menurut Kemendikbud tentang pedoman Uji Kompetensi Guru tertulis
bahwa Uji Kompetensi Guru adalah sebuah kegiatan ujian untuk mengukur
kompetensi dasar tentang bidang studi (subject matter) dan pedagogik dalam
domain content guru. Kompetensi dasar bidang studi yang diujikan sesuai dengan
sertifikasi (bagi guru yang sudah bersertifikat pendidik) dan sesuai dengan
kualifikasi akademik guru (bagi guru yang belum bersertifikat pendidik).
Kompetensi pedagogik yang diajukan adalah integrasi konsep pedagogik ke
dalam proses pembelajaran bidang studi tersebut dalam kelas.
Kondisi dan situasi yang berbeda menjadi sebab masing-masing guru
memiliki perbedaan dalam penguasaan kompetensi yang diisyaratkan. untuk
mengetahui kondisi penguasaan kompetensi seorang guru harus dilakukan
pemetaan kompetensi guru melalui uji kompetensi guru (UKG). UKG
dimaksudkan untuk mengetahui peta penguasaan guru pada kompetensi
pedagogik dan kompetensi profesional. Peta penguasaan kompetensi tersebut akan
digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam pemberian program pembinaan dan
pengembangan profesi guru. Output UKG difokuskan pada identifikasi kelemahan
guru dalam penguasaan kompetensi pedagogik dan profesional.
Menurut Anies Baswedan, Rata-rata UKG Nasional 53,05, sedangkan
pemerintah menargetkan rata-rata nilai di angka 55. Selain itu, rerata nilai
profesional 54,77 sedangkan nilai rata-rata kompetensi pedagogik 48,94 (lihat
Tabel 1).
Dari hasil data table 1 hanya ada 7 provinsi yang berhasil melampaui
KKM UKG 2015. Provinsi tersebut adalah DI Yogyakarta (62,58), Jawa Tengah
(59,10), DKI Jakarta (58,44), Jawa Timur (56,73), Bali (56,13), Bangka Belitung
Page 57
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |57
(55,13) dan Jawa Barat (55,06). Selebihnya ada yang menghampiri angka KKM
atau bahkan ada yang terlampau jauh dari angka KKM. Data tersebut dirilis oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 4 Januari 2016.
Tabel 1
( Hasil Nilai Pedagogik & Nilai Profesional)
sumber : sergur.kemendiknas.go.id
Tabel 2
(Komposisi hasil UKG)
sumber : sekolahdasar.net
Page 58
58| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Dalam UKG, guru mengerjakan 80 soal dengan waktu 120 menit. Komposisi
instrumen materi tes adalah 30% kompetensi pedagogik dan 70% kompetensi
profesional atau 24 soal pedagogik dan 56 soal profesional (lihat table 2).
Penilaian Kompetensi Guru
Menurut Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi No.16 Tahun 2009, PK Guru adalah penelitian dari tiap butir
kegiatan tugas utama guru dalam rangka pembinaan karir, kepangkatan dan
jabatannya. Pelaksanaan tugas utama guru tidak dapat dipisahkan dari
kemampuan seorang guru dalam penguasaan pengetahuan, penerapan
pengetahuan, dan keterampilan sebagai kompetensi yang dibutuhkan sesuai
amanat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 16 Tahun 2007 tentang
standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
Secara umum, PKG memiliki fungsi utama yaitu untuk menilai
kemampuan guru dalam menerapkan semua kompetensi dan keterampilan yang
diperlukan pada proses pembelajaran, pembimbingan atau pelaksanaan tugas
tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah.
Beberapa Kompetensi Guru yang dinilai dalam PKG diantaranya:
Kompetensi Pedagogik
- Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran,
- Pengembangan kurikulum, - Kegiatan pembelajaran yang mendidik, - Memahami dan mengembangkan potensi, - Komunikasi dengan peserta didik, - Penilaian dan evaluasi
Kompetensi Kepribadian
- Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum sosial dan kebudayaan nasional Indonesia
- Menunjukkan pribadi yang dewasa dan teladan
- Etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru.
Kompetensi Profesional
- Penguasaan materi struktur konsep dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu
- Mengembangkan keprofesionalan melalui tindakan reflektif.
Page 59
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |59
Penilaian Kinerja di Lapangan
Dilakukan setiap akhir tahun oleh kepala sekolah atau pengawas atau guru
senior yang ditunjuk oleh kepala sekolah (yang telah mengikuti pelatihan
penilaian). Penilaian terhadap 14 kompetensi guru dilakukan dengan instrumen
khusus. Hasil penilaian untuk setiap kompetensi dinyatakan dengan skala 1
sampai 4 (nilai min 4 dan maks 56).
Skala 4 : Kinerja yang sangat baik (kinerja diatas standar)
Skala 3 : Sasaran Kinerja (Kinerja sesuai standar)
Skala 2 : Kinerja dibawah standar
Skala 1 : Kinerja tidak diterima
Hasil PKG ini merupakan bahan evaluasi diri bagi guru untuk mengembangkan
potensi dan karirnya. Kemudian sebagai acuan bagi sekolah untuk merencanakan
Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB). Dan merupakan dasar untuk
memberikan nilai prestasi kerja guru dalam rangka pengembangan karir guru.
Pengembangan Pola Pembinaan Guru Sekolah Dasar di Daerah Tertinggal
Tahun 2015 Kemendikbud meluncurkan Program Sarjana Mengajar di
Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM3T). Saat ini diketahui telah
terdapat total 10.290 alumni SM3T. Sejumlah 4500 sarjana dari total tersebut
telah lulus PPG, dimana 800 diantaranya sudah diangkat sebagai CPNS oleh
Kemendikbud dan ditempatkan di daerah-daerah dalam Program Guru Garis
Depan (GGD). Program GGD akan menyasar 155 daerah. (Kemendikbud,2015)
Dilihat dari jumlah alumni dengan pengangkatan CPNS untuk alumni
sangatlah tidak sebanding. Menurut Mendikbud, SM3T memang bukan solusi
permanen untuk masalah kekurangan guru dan peningkatan kualitas pendidikan di
wilayah 3T. Namun, program SM3T cukup membantu siswa di sekolah-sekolah
yang kesulitan pendidik sehingga teratur mengikuti pelajaran.Dari catatan Dinas
Pendidikan Jatim, ada 474.483 guru yang tersebar di 38 Kabupaten dan kota di
Jatim. Kota Surabaya memiliki jumlah guru terbanya, yaitu 33.533 guru. Daerah
lain yang memiliki guru terbanyak adalah Kabupaten Jember, Malang, Sidoarjo,
dan Banyuwangi. Daerah dengan guru paling sedikit adalah kota Mojokerto, Kota
Page 60
60| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Probolinggo, Kota Blitar, Kota Pasuruan dan Kota Batu. Terkait penumpukan
guru di Kota besar, rotasi guru atau mutasi guru ke daerah lain merupakan hal
yang sulit terutama mereka yang sudah berusia 40 tahun keatas. Mereka enggan
berpindah tugas terutama karena mempertimbangkan keluarga.(kompas.com,
2015). Menurut Studi PPPI (Paramadina Public Policy Institute) saat ini jumlah
LPTK di Indonesia teracatat 429 Lembaga, jumlah mahasiswa 1.440.000, jumlah
alumni 300.000 orang per tahun sedangkan jumlah kebutuhan guru 40.000 per
tahun.
Untuk menyentuh pengembangan pola pembinaan guru di Sekolah Dasar
di Daerah Tertinggal dimulai dari proses mempersiapkan calon guru. Karena
untuk menjadi mahasiswa LPTK tidak ada persyaratan khusus. Untuk itu perlu
adanya persyaratan demi meningkatkan calon-calon guru yang berkualitas.
Menurut Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 18,
kebijakan tentang pemberian tunjangan guru di daerah khusus yaitu,
1. Pemerintah memberikan tunjangan khusus sebagaimana pasal 15 ayat (1)
kepada guru yang bertugas di daerah khusus terutama di daerah tertinggal.
2. Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara
dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan
yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat,
masa kerja dan kualifikasi yang sama.
3. Guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah di daerah khusus,
berhak atas rumah dinas yang disediakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangan.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), (2), dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah
Bagi mereka yang usianya dibawah 40 tahun, wajib mengikuti pemerataan
penempatan guru. Setiap guru wajib menguasai seluruh kompetensi dan mampu
menguasai baik KTSP maupun kurikulum 2013. Perlu adanya rotasi tugas dalam
kabupaten sesudah mengabdi 3 tahun. Kemudian kenaikan pangkat istimewa
setiap melakukan pengabdian selama 5 tahun ditempat yang sama di daerah
Page 61
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |61
terpencil. Dengan catatan tidak diperbolehkan membuat surat pindah tugas ketika
kenaikan pangkat sudah dimiliki. Memperoleh beasiswa melanjutkan studi bagi
yang menunjukkan prestasi yang inovatif serta kemampuan akademik.
Memberikan mereka reward beasiswa S2 bagi guru-guru yang sudah mengajar
lama di daerah pedalaman setelah S2 nya selesai, para guru ini diharaphkan bisa
menjadikan kualitas pendidikan di daerah tertinggal ini lebih baik lagi.
Untuk sarjana-sarjana muda yang mengikuti SM3T, perlu diberikan
kejelasan tindakan dan ruang kesempatan mereka untuk diangkat menjadi PNS di
daerah tertinggal. Sehingga ketika mereka selesai mengikuti PPG perlu diberikan
tempat di daerah tertinggal yang pernah mereka ajar.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil studi, dapat disimpulkan bahwa; (1) Hasil Pemetaan
Kompetensi Guru melalui Tes Uji Kinerja terdapat dua bentuk yaitu Uji Kompetensi
Guru dan Penilaian Kinerja Guru. Dari hasil data diatas hanya ada 7 provinsi yang
berhasil melampaui KKM UKG 2015. Provinsi tersebut adalah DI Yogyakarta (62,58),
Jawa Tengah (59,10), DKI Jakarta (58,44), Jawa Timur (56,73), Bali (56,13), Bangka
Belitung (55,13) dan Jawa Barat (55,06). Selebihnya ada yang menghampiri angka KKM
atau bahkan ada yang terlampau jauh dari angka KKM. Data tersebut dirilis oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 4 Januari 2016. Dalam UKG,
guru akan mengerjakan 80 soal dengan waktu 120 menit. Komposisi instrumen materi tes
adalah 30% kompetensi pedagogik dan 70% kompetensi profesional atau 24 soal
pedagogik dan 56 soal profesional. Sedangkan Penilaian Kinerja Guru meliputi
Kompetensi Pedagogik, Profesional dan Kepribadian. Hasil PKG ini tergantung dari
setiap sekolah. Dilakukan setiap akhir tahun oleh kepala sekolah atau pengawas atau guru
senior yang ditunjuk oleh kepala sekolah (yang telah mengikuti pelatihan penilaian).
Penilaian terhadap 14 kompetensi guru dilakukan dengan instrumen khusus. Hasil
penilaian untuk setiap kompetensi dinyatakan dengan skala 1 sampai 4 (nilai min 4 dan
maks 56); (2) Pengembangan Pola Pembinaan Guru Sekolah Dasar di Daerah Tertinggal
dapat dilakukan dengan (1) Pemberian Tunjangan Khusus; (2) Kenaikan Jabatan; (3)
Berhak atas Rumah Dinas; (4) Pemberian Beasiswa S2. Pola Pembinaan ini juga dapat di
lakukan dengan program (1) Indonesia Mengajar; (2) Sarjana Muda Mengajar 3T; (3)
Page 62
62| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
PPG; (4) Guru Garis Depan (GGD). Dengan catatan diharuskan adanya kejelasan tempat
mengajar dan pengangkatan sebagai PNS setelah mengikuti program tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Pandeglang.5 Juli 2016. http://bps.kab.pandeglang.go.id
Buchari Alma. (2010). Guru Profesional. Bandung: Alfabeta.
Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi. (2001). Metode Penelitian, Jakarta : Bumi
Aksara
Data Statistik Pendidikan.7 Juli 2016.http://sambas.go.id/ragam-informasi/data-
statistik/pendidikan/2673-apk-pendidikan.html
Depdiknas. (2005). Undang-undang republik indonesia nomor 14 tahun 2005
tentang guru dan dosen. Jakarta : Depdiknas
Dewi Fajriani.ACDP Rasio Guru dan Murid di Indonesia Timpang. 5 Juli 2016.
http://www.beritasatu.com/kesra/273803-acdp-rasio-guru-dan-murid-di-
indonesiatimpang.html
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi No.16 Tahun 2009
Keputusan Menteri pembangunan daerah tertinggal Nomor 001/KEP/M-
PDT/I/2005 tentang Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal
Marcelus R. Pyong. (2011). Profil Kompetensi Guru (Konsep dasar, Problematika
dan implementasinya), Jakarta : PT. Indeks
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 16 Tahun 2007 tentang standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
Rusman. (2010). Model-model pembelajaran, mengembangkan profesionalisme
guru. Jakarta: Rajawali Press
Robandi Babang.(2013) : Model Pembelajaran Partisipatif untuk Meningkatkan
Kompetensi Guru pada Pendidikan Profesi Guru Sekolah Dasar. Bandung :
Jurnal Pedagogik Pendidikan Dasar UPI
sergur.kemendiknas.go.id
Sekolah Dasar Net. Melihat Nilai Hasil Uji Kompetensi Guru.5 Juli 2016.
http://www.sekolahdasar.net/2015/11/melihat-nilai-hasil-uji-kompetensi-
guru-ukg-2015.html
Studi PPPI (Paramadina Public Policy Institute).Perlu ada Persyaratan Khusus
untuk Jadi Guru.7 Juli 2016.
http://policy.paramadina.ac.id/2016/01/06/perlu-ada-persyaratan-khusus-
untuk-jadi-guru/
Suharjo. (2006). Mengenal Pendidikan Sekolah Dasar Teori dan Praktek. Jakarta:
Depdiknas Dirjen Dikti.
Uno, H. B., 2009. Profesi Keguruan, Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan
di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Yunaidhi Agung.Guru Perlu Dilatih Siap Bertugas di Kota dan Desa.10 Juli
2016.http://print.kompas.com/baca/2016/01/22/Guru-Perlu-Dilatih-Siap-
Bertugas-di-Kota-dan-Desa
Page 63
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |63
MEMBANGUN SINERGI DAN KOLEGIALITAS GURU MELALUI LESSON
STUDY GUNA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN DI DAERAH
TERTINGGAL
Neni Wahyuningtyas Universitas Negeri Malang, [email protected] , 082245491386
Abstrak
Beberapa wilayah di daerah terdepan, terluar, tertinggal, dalam penyelenggaraan
pendidikan masih terdapat berbagai permasalahan. Rendahnya mutu pendidikan, baik
pendidikan dasar, menengah maupun tinggi telah menjadi keprihatinan nasional. Mutu
pendidikan di Indonesia masih sangat jauh dari standar mutu internasional. Tujuan artikel
ini mencoba mendeskripsikan perilaku guru dalam memperbaiki dirinya dengan cara
bersinergi dengan sesama guru (kolegial) melalui Lesson Study (LS) guna meningkatkan
mutu pendidikan di daerah tertinggal. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk menggambarkan kondisi yang ada dalam
situasi. Subyek dalam penelitian ini adalah peserta PPG SM-3T FIS UM. Dari hasil
penelitian dapat diketahui jika kegiatan berbagi pengetahuan dengan sesama guru
(kolegial) dalam LS sangat efektif untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan
keprofesionalan guru. Pola kolaborasi kolegial terwujud saat kegiatan lesson plan dan
refleksi, sekaligus nampak juga saat open lesson. Dengan kegiatan ini guru dapat
memperoleh atau membagi ilmu baru dan merencanakan solusi dengan sesamanya dalam
mengatasi permasalahan pembelajaran. Pada prinsipnya pembelajaran yang baik tidak bisa
jika hanya dibuat oleh diri sendiri. Seseorang perlu mendapatkan bantuan dari orang lain
untuk menciptakan pembelajaran yang efektif. Selain itu dengan penerapan LS ini akan
terjalin mutual learning antar sesama komunitas belajar.
Kata Kunci: Sinergi, Kolegialitas, Guru, Lesson Study, Pendidikan, Tertinggal.
PENDAHULUAN
Indonesia terdiri dari berbagai wilayah yang dipisahkan oleh selat dan laut,
baik pulau-pulau terdepan dan terluar maupun daerah-daerah tertinggal (3T). Hal
ini menjadi penyebab sulitnya upaya pemerataan pembangunan, karena jauhnya
jarak yang harus ditempuh untuk mencapai pusat pemerintahan. Kondisi ini
menyebabkan kualitas pendidikan tidak merata. Dengan demikian, sangat
dibutuhkan peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di pulau-pulau terdepan,
terluar, dan daerah tertinggal.
Beberapa wilayah di daerah terdepan, terluar, maupun tertinggal, dalam
penyelenggaraan pendidikan masih terdapat berbagai permasalahan.
Kemendikbud (2012) menjelaskan beberapa permasalahan penyelenggaraan
Page 64
64| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
pendidikan, utamanya di daerah terdepan, terluar, maupun tertinggal (3T) antara
lain adalah permasalahan pendidik, seperti kekurangan jumlah (shortage),
distribusi tidak seimbang (unbalanced distribution), kualifikasi di bawah standar
(under qualification), kurang kompeten (low competencies), serta ketidaksesuaian
antara kualifikasi pendidikan dengan bidang yang diampu (mismatched) dsb.
Rendahnya mutu pendidikan, baik pendidikan dasar, menengah maupun
tinggi telah menjadi keprihatinan nasional. Mutu pendidikan di Indonesia masih
sangat jauh dari standar mutu internasional. Sebaliknya dampak globalisasi
menuntut SDM yang berkualitas untuk menunjang daya saing bangsa. Dalam
persaingan pasar bebas, hanya bangsa dengan daya saing yang tinggi yang akan
mampu mengusai pasar dan memperoleh manfaat ekonomi. Sebaliknya bangsa
dengan daya saing rendah akan tereksploitasi dan pada akhirnya harus tunduk
pada kemauan bangsa yang yang berdaya saing tinggi.
Oleh sebab itulah guna mengatasi hal tersebut, pemerintah Indonesia telah
melakukan berbagai usaha. Salah satu langkah yang ditempuh dengan
meningkatkan profesionalitas guru melalui Program Pendidikan Guru (PPG)
Pasca SM-3T. Hal ini menjadi sangat prinsipil mengingat guru memegang
peranan sentral dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan.
Di Indonesia ada sekitar 12 Lembaga Pendidik Tenaga kependidikan
(LPTK) yang ditunjuk pemerintah untuk melaksanakan PPG SM-3T, salah
satunya adalah Universitas Negeri Malang. PPG SM-3T di UM diselenggarakan
di enam Fakultas dan akan menggandeng 19 sekolah mitra yang dipilih UM
sebagai lokasi praktik, mulai jenjang SD, SMP, hingga SMA dan SMK.
Berdasarkan hasil wawancara dengan peserta PPG SM-3T, diketahui jika
menjadi guru di daerah tertinggal banyak sekali hambatannya. Selain aksesbilitas,
sarana prasarana yang minim, membuat pembelajaran menjadi menarik susah
sekali untuk dicapai. Pembelajaran dengan cara yang telah biasa dilakukan
ternyata seringkali tidak efektif. Hal ini dapat diketahui dari hasil evaluasi ujian
akhir dimana masih ada beberapa siswa yang tidak memahami materi pelajaran
dengan baik.
Page 65
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |65
Persoalan semacam ini tentunya memunculkan keinginan dari guru untuk
memperbaiki dirinya sebagai seorang pengajar. Ada dua bentuk cara yang
biasanya dilakukan untuk memperbaiki hal tersebut, bentuk pertama adalah upaya
memperbaiki dengan cara-cara sendiri dan kedua adalah upaya memperbaiki diri
dengan cara meminta bantuan dari orang lain sesama pengajar.
Pada umumnya sebagai guru kita cenderung akan mengandalkan diri
sendiri untuk memperbaiki diri. Perasaan takut kehilangan reputasi sebagai
pengajar profesional apabila meminta bantuan orang lain menghalangi guru
meminta bantuan dari sesama guru. Tulisan ini akan mencoba melihat perilaku
guru dalam memperbaiki dirinya dalam pembelajaran dengan cara bersinergi
dengan sesama guru (kolegial) melalui Lesson Study (LS).
LS merupakan model pembinaan guru atau calon guru melalui pengkajian
pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan. LS bukan metode atau strategi
pembelajaran, melainkan kegiatan yang menerapkan berbagai metode/ strategi
pembelajaran yang sesuai dengan situasi, kondisi, dan permasalahan yang
dihadapi guru ataupun calon guru (Sumar, dkk, 2007: 9). Pada prinsipnya dalam
LS ada berbagai kegiatan kolaboratif dari sekelompok komunitas (community)
untuk belajar secara bersama-sama, yaitu: (1) merencanakan pembelajaran (plan),
(2) melaksanakan pembelajaran di depan kelas dan mengamati jalannya proses
pembelajaran (do), dan (3) melakukan refleksi atau melihat lagi pembelajaran
yang telah dilaksanakan (see), guna menemukan dan memecahkan masalah
pembelajaran yang mungkin muncul, sehingga pembelajaran berikutnya dapat
direncanakan dan dilaksanakan dengan lebih baik dan efektif.
LS dipilih dan diimplementasikan karena beberapa alasan. Pertama, LS
merupakan suatu cara efektif yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran
yang dilakukan guru atau calon guru dan aktivitas belajar siswa. Hal ini karena (1)
pengembangan LS dilakukan dan didasarkan pada hasil “sharing” pengetahuan
profesional yang berlandaskan pada praktik dan hasil pengajaran yang
dilaksanakan para guru atau calon guru, (2) penekanan mendasar pada
pelaksanaan suatu LS adalah agar para siswa memiliki kualitas belajar, (3)
kompetensi yang diharapkan dimiliki siswa, dijadikan fokus dan titik perhatian
Page 66
66| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
utama dalam pembelajaran di kelas, (4) berdasarkan pengalaman real di kelas, LS
mampu menjadi landasan bagi pengembangan pembelajaran, dan (5) LS akan
menempatkan peran para guru atau calon guru sebagai peneliti pembelajaran.
Kedua, LS yang didesain dengan baik akan menjadikan guru atau calon
guru yang profesional dan inovatif. Dengan melaksanakan LS para guru dapat: (1)
menentukan kompetensi yang perlu dimiliki siswa, merencanakan dan
melaksanakan pembelajaran (lesson) yang efektif; (2) mengkaji dan meningkatkan
pelajaran yang bermanfaat bagi siswa; (3) memperdalam pengetahuan tentang
mata pelajaran yang disajikan para guru atau calon guru; (4) menentukan standar
kompetensi yang akan dicapai para siswa; (5) merencanakan pelajaran secara
kolaboratif; (6) mengkaji secara teliti belajar dan perilaku siswa; (7)
mengembangkan pengetahuan pembelajaran yang dapat diandalkan; dan (8)
melakukan refleksi terhadap pengajaran yang dilaksanakannya berdasarkan
pandangan siswa dan koleganya, (Sukirman, 2006: 7).
LS memiliki beberapa manfaat sebagai berikut; (1) mengurangi
keterasingan guru (dari komunitasnya), (2) membantu guru untuk mengobservasi
dan mengkritisi pembelajarannya, (3) memperdalam pemahaman guru tentang
materi pelajaran, cakupan dan urutan materi dalam kurikulum, (4) membantu guru
memfokuskan bantuannya pada seluruh aktivitas belajar siswa, (5) menciptakan
terjadinya pertukaran pengetahuan tentang pemahaman berpikir dan belajar siswa,
dan (6) meningkatkan kolaborasi pada sesama guru (Lewis: 2002:96).
Berdasarkan analisis situasi tersebut di atas, diperoleh rumusan masalah
yaitu bagaimanakah mendeskripsikan perilaku guru dalam memperbaiki dirinya
dengan cara bersinergi dengan sesama guru (kolegial) melalui Lesson Study (LS)
guna meningkatkan mutu pendidikan di daerah tertinggal.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perilaku guru dalam
memperbaiki dirinya dengan cara bersinergi dengan sesama guru (kolegial)
melalui Lesson Study (LS) guna meningkatkan mutu pendidikan di daerah
tertinggal.
Page 67
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |67
METODE
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang
bertujuan untuk menggambarkan kondisi-kondisi yang ada dalam situasi. Subyek
dalam penelitian ini adalah peserta PPG SM-3T FIS UM. Dalam hal ini penulis
berperan sebagai observer yang berkolaborasi dengan dosen pendamping PPG
SM-3T untuk mengamati pelaksanaan dan merefleksi aktivitas peserta PPG SM-
3T dalam perkuliahan. Pengumpulan data dalam kegiatan ini dilakukan melalui
metode observasi pelaksanaan LS.
PEMBAHASAN
Secara operasional, ada tiga tahapan PPG SM-3T UM. Tahapan pertama
adalah workshop Subject Spesific Pedagogy (SSP). Tahap ini bertujuan untuk
mempersiapkan peserta PPG SM-3T merancang kegiatan pembelajaran. Hasil
workshop tersebut adalah rancangan pembelajaran yang berupa perangkat
pembelajaran seperti silabus, RPP, bahan ajar, media pembelajaran, evaluasi
pembelajaran dsb. Tahap kedua adalah PPL. PPL dilakukan selama satu semester
di sekolah guna melakukan praktik reflective activity yang diterangkan dalam
kegiatan PTK dan LS. Tahap pamungkas adalah uji kompetensi yang meliputi
ujian tulis dan kinerja.
Sebelum melaksanakan PPL di sekolah, peserta PPG SM-3T UM dituntut
untuk mengimplementasikan LS dalam pembelajaran di kelas melalui bimbingan
dan arahan dari dosen pendamping. Dalam pelaksanaan LS mereka mereka
melakukan beberapa tahapan yaitu: (a) tahap perencanaan, (b) tahap pelaksanaan
mengajar, dan (c) refleksi. Pada tahap perencanaan, peserta PPG SM-3T dibagi
dalam beberapa kelompok. Pembagian kelompok disesuaikan dengan lokasi
tempat PPL mereka. Melalui kegiatan perencanaan ini, disepakati beberapa
rencana umum, diantaranya perkiraan tanggal open lesson, mengidentifikasi
Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar, membuat lesson design yang lebih aktual
dan menyiapkan perangkat pembelajaran. Dalam tahapan ini terlihat jika masing-
masing kelompok sangat antusias dalam mendiskusikan lesson design yang akan
Page 68
68| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
digunakan untuk open lesson. Mereka seringkali saling bertukar pikiran dalam
memecahkan setiap permasalahan yang muncul.
Untuk tahap berikutnya yaitu setiap kelompok mengembangkan perangkat
pembelajaran. Perangkat pembelajaran yang berhasil dikembangkan peserta PPG
SM-3T selama tahap perencanaan adalah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP) yang dilengkapi dengan media pembelajaran, LKS, instrumen penilaian
dan lembar observasi kegiatan belajar siswa.
Tahap pelaksanaan mengajar, pada tahapan ini peserta PPG SM-3T akan
menjadi guru model secara bergantian dan mengajar secara peer teaching. Tahap
ini merupakan implementasi dan observasi peserta PPG SM-3T yang telah
ditunjuk sebagai guru model untuk melaksanakan pembelajaran dengan
berpedoman pada RPP. Sebelum pembelajaran dimulai, dilakukan pertemuan
antara guru model dengan komunitas belajarnya. Dalam pertemuan tersebut
diinformasikan tentang lesson design yang akan dilaksanakan guru model. Dosen
pendamping dan peserta PPG SM-3T yang lain melakukan observasi dengan
menggunakan lembar observasi yang telah dipersiapkan. Observer mencatat hal-
hal positif dan negatif dari siswa dalam proses pembelajaran untuk diutarakan
dalam tahap refleksi.
Tahap refleksi, pada tahapan ini peserta PPG SM-3T yang tampil praktik
mengajar (guru model) dan para observer dengan dibimbing oleh dosen
pendamping sebagai pakar, mengadakan diskusi untuk refleksi tentang
pembelajaran yang telah dilakukan oleh guru model. Langkah pertama adalah
memberikan kesempatan peserta PPG SM-3T (guru model) untuk menyatakan
kesan-kesannya terutama tentang pengalaman berharga yang diperoleh selama
melaksanakan pembelajaran, baik terhadap dirinya maupun terhadap teman
sejawat yang berperan menjadi siswa. Langkah berikutnya, observer dan
pakar/dosen menyampaikan hasil observasinya, terutama yang menyangkut
kegiatan siswa selama pembelajaran berlangsung. Pada tahap terakhir, peserta
PPG SM-3T (guru model) yang melakukan praktek mengajar diberikan
kesempatan memberikan tanggapan balik atas komentar para observer. Hal yang
penting dalam tahap refleksi ini adalah peserta PPG SM-3T (guru model) dapat
Page 69
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |69
mempertimbangkan kembali rencana pembelajaran yang telah disusun sebagai
dasar untuk perbaikan rencana pembelajaran berikutnya. Apakah pembelajaran
tersebut telah sesuai dengan RPP dan dapat meningkatkan keaktifan siswa. Jika
belum sesuai dengan RPP dan belum dapat meningkatkan keaktifan siswa, maka
hal-hal yang belum sesuai tersebut harus diperbaiki baik dalam soal metode,
model, materi, atau media. Pertimbangan-pertimbangan ini digunakan untuk
perbaikan rencana pembelajaran selanjutnya.
Dari setiap tahapan kegiatan LS yang telah dilakukan oleh peserta PPG
SM-3T, dapat diperoleh pembelajaran bermakna bahwa dengan pembelajaran LS
dapat membantu peserta PPG SM-3T dalam mencapai tujuan pembelajaran yang
berdimensi sosial yaitu mencipatkan komunitas belajar yang berlandaskan prinsip
kebersamaan (kolegialitas). Hal ini sangat dimungkinkan mengingat dalam
persiapan rencana pembelajaran selalu terjadi komunikasi intensif dan kemudian
dilaksanakan secara bersama-sama (kolaboratif) antara peserta PPG SM-3T dan
dosen pendamping. Menurut Hendayana (2007) jika prinsip kolaborasi akan
memfasilitasi para guru untuk membangun komunitas belajar yang efektif dan
efisien, sedangkan prinsip berkelanjutan akan memberi peluang bagi guru untuk
menjadi masyarakat belajar sepanjang hayat.
Guru yang memiliki budaya belajar secara kolaboratif akan mampu
menjadi guru profesional sehingga akan menunjang dalam peningkatan mutu
pembelajaran. Menurut Goodsaon & Hargreaves (dalam Saito, dkk, 2015:25)
dijelaskan melalui kegiatan dialog diantara sesama guru inilah terbentuk
kolaborasi kolegial. Tentunya kolaborasi kolegial ini akan semakin berkualitas
jika dialog melibatkan narasumber dari pakar pendidikan sesuai bidangnya, dalam
hal ini adalah dosen pendamping.
Pada prinsipnya pembelajaran yang baik memang tidak bisa jika hanya
dibuat oleh diri sendiri. Seseorang perlu mendapatkan bantuan dari orang lain
untuk menciptakan pembelajaran yang efektif. Senada dengan hal ini Sato,
Masaaki (2006) dan Sato, Manabu (2006) berpendapat bahwa strategi kolaboratif
dirancang agar tidak ada satupun pebelajar yang tidak dapat mencapai tujuan
pembelajaran. Melalui usaha ini, ketidakberhasilan siswa dapat diperkecil.
Page 70
70| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Perencanaan yang dilakukan secara bersama-sama (kolaboratif) dapat menjadi
modal utama untuk mewujudkan pembelajaran yang lebih efektif karena
banyaknya aspirasi, saran, dan masukan dari berbagai pihak. Selain itu dengan
penerapan LS ini terjalin mutual learning, dimana peserta kegiatan LS tidak boleh
merasa superior (merasa paling pintar) atau inferior (merasa rendah diri) tetapi
semua peserta LS harus memiliki niat untuk saling belajar. Peserta PPG SM-3T
yang sudah paham atau memiliki pengetahuan lebih harus mau berbagi dengan
peserta lain yang belum paham, sebaliknya peserta yang belum paham harus mau
bertanya peserta yang sudah paham.
Senada dengan hal tesebut Susilo, dkk (2009) menjelaskan perlu ada
perubahan bagi guru yang memiliki ego yang tinggi, merasa super, tidak mudah
menerima masukan untuk perbaikan pembelajaran. Mindset guru perlu diperbaiki
agar dapat berkolaborasi dan sharing dengan guru lain serta dapat terbuka untuk
perbaikan pembelajaran. Pada pelaksanaan LS sangat diperlukan interaksi di
antara guru yang terlibat dalam LS tersebut sehingga terwujud suatu kerjasama
untuk perbaikan kualitas pembelajaran. Dengan demikian, guru dapat membangun
learning community melalui kegiatan LS.
Dari hasil LS juga didapatkan temuan jika: (1) bagi guru kegiatan berbagi
pengetahuan sangat diperlukan karena mereka sering dihadapkan pada masalah
yang tidak dapat ia selesaikan dengan cara sendiri; (2) Anggota kelompok yang
terlalu besar tidak menjamin adanya kerja belajar dan sharing yang efektif; (3)
Setiap anggota kelompok memiliki rasa memiliki, kekompakan dalam kelompok,
keberhasilan kelompok sangat ditentukan oleh kekompakan anggota-anggota
dalam kelompok tersebut; (4) Diperlukan tanggung jawab masing-masing anggota
kelompok, kesadaran tanggung jawab masing-masing anggota kelompok dalam
belajar sangat mendukung keberhasilan kelompok misal dalam melakukan
observasi aktivitas teman sejawat yang menjadi siswa; (5) Terdapat kegiatan
komunikasi tatap muka yang baik antar anggota kelompok. Adanya komunikasi
ini dapat mendorong terjadinya interaksi positip, sehingga akan lebih mudah
dalam menghargai pendapat, menerima saran, kritik, menghargai perbedaan
pendapat yang selalu terjadi dalam suatu komunitas; (6) Anggota kelompok dapat
Page 71
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |71
saling asah, saling asih dan saling asuh; (7) Anggota-anggota kelompok berlatih
untuk mengevalusi aktivitas pembelajaran, belajar menerima hasil evaluasi dari
teman sesama anggota kelompok, pada akhirnya dapat menumbuhkan rasa
toleransi pendapat dan bergaul dalam hidup bermasyarakat.
Pengalaman bermakna lainnya yaitu bahwa pembelajaran bukan hanya
sekedar transfer ilmu pengetahuan dari guru kepada siswa. Pemberian materi yang
instan tidaklah efektif karena justru membuat siswa tidak belajar. Memberikan
materi yang terlalu lengkap dan instan tidak akan menantang siswa untuk berpikir
kritis dan pembelajaran yang diperoleh siswa cenderung akan tidak bermakna.
Begitu juga disampaikan oleh Syamsuri dan Ibrohim (2008) kewajiban sebagai
pendidik tidak hanya transfer ofknowledge, tetapi juga dapat mengubah perilaku
dan memberikan dorongan yang positif, sehingga peserta didik termotivasi
memberi suasana belajar yang menyenangkan agar kemampuannya dapat
berkembang maksimal.
SIMPULAN
Beberapa wilayah di daerah terdepan, terluar, maupun tertinggal, dalam
penyelenggaraan pendidikan masih terdapat berbagai permasalahan. Rendahnya
mutu pendidikan, baik pendidikan dasar, menengah maupun tinggi telah menjadi
keprihatinan nasional. Mutu pendidikan di Indonesia masih sangat jauh dari
standar mutu internasional. Oleh sebab itulah guna mengatasi hal tersebut,
pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai usaha. Salah satu langkah yang
ditempuh dengan meningkatkan profesionalitas guru melalui Program Pendidikan
Guru (PPG) Pasca SM-3T. Kegiatan berbagi pengetahuan dalam LS yang
dilakukan guru peserta PPG SM-3T sangat efektif untuk meningkatkan mutu
pembelajaran dan keprofesionalan guru. Dengan kegiatan ini guru dapat
memperoleh atau membagi ilmu baru dan merencanakan solusi dengan sesama
guru dalam mengatasi permasalahan pembelajaran. Pada prinsipnya pembelajaran
yang baik tidak bisa jika hanya dibuat oleh diri sendiri. Seseorang perlu
mendapatkan bantuan dari orang lain untuk menciptakan pembelajaran yang efektif.
Page 72
72| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Selain itu dengan penerapan LS ini terjalin mutual learning, dimana peserta LS
memiliki niat yang sama untuk menciptakan komunitas belajar.
DAFTAR PUSTAKA
Hendayana, S. 2007. LS Suatu Strategi untuk Meningkatkan Keprofesionalan
Pendidik. Bandung: FPMIPA UPI dan JICA.
Hord, Shirley, M. 1997. Professional Learning Communities: What Are They and
Why Are They Important. http://www.ncrel.org/.
Kemendikbud. 2012. Program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia melalui
SM-3T. Jakarta: Kemendikbud
Lewis, C.C. 2002. What are the Essential Elements of LS? The CPS Connection.
2. 23(4): 15-18.
Saito, E., dkk. 2015. Lesson Study for Learning Community: a Guide to
Suistainable School Reform. London: Routledge.
Sato, Manabu. 2006. Tantangan yang Harus Dihadapi Sekolah (Terjemahan).
Tokyo: SITTEMS-JICA
Sato, Masaaki. 2006. Perlunya Pembelajaran Kolaboratif (Terjemahan). Tokyo:
SITTEMS-JICA
Sukirman. 2006. Peningkatan Profesional Guru Melalui LS.Makalah Pelatihan LS
Bagi Guru-Guru Berprestasi dan Pengurus MGMP Se-Indonesia.
Sumar H dkk. 2007. LS: Suatu Strategi Untuk Meningkatkan Keprofesionalan
Pendidik (Pengalaman IMSTP-JICA). Bandung: FPMIPA UPI dan JICA.
Susilo, H. 2010. LS Berbasis MGMP sebagaiSarana Pengembangann
Keprofesionalan Guru. Malang: Surya Pena Gemilang.
Syamsuri, I; Ibrohim, & Joharmawan, R. 2008. Studi Pembelajaran (LS): Sebuah
Model Pembinaan Profesionalisme secara Berkelanjutan. Malang: FMIPA
UM.
Page 73
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |73
PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PADA KOMUNITAS ADAT SENARU,
LOMBOK, BERDASAR LATAR BELAKANG ETNOGRAFINYA
Nur Hadi
Universitas Negeri Malang, [email protected] , 08125236444
Abstrak
Komunitas adat Senaru berada di lereng gunung Rinjani masih memegang teguh nilai-
nilai budaya Sasak yang kental dengan tradisi watau telu. Keadaan lingkungan alam
pegunungan yang jauh dari pusat keramaian dan kurangnya kontak dengan masyarakat
asing menyebabkan terbentuknya konservatisme budaya dalam waktu yang lama.
Masuknya pendidikan modern dalam masyarakat telah memicu perubahan budaya. Pada
masa kini dengan majunya teknologi transportasi dan telekomunikasi, beberapa destinasi
wisata seperti gunung Rinjani dan danau Segara Anak, mesjid kuno Bayan Beleq,
menjadi katalisator bagi keterbukaan Senaru. Kemajuan teknologi yang yang terjadi
secara akseleratif dan diperlukan dalam upaya pembangunan masyarakat setempat akan
mengenalkan banyak aspek modernitas. Keberadaan modernisasi tersebut akan
mempengaruhi budaya masyarakat Senaru. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah
kualitatif-etnografis model Spradley dengan alur maju bertahap. Temuan penelitian yang
diperoleh: (1) keberadaan pendidikan pada komunitas Senaru di Lombok, NTB, selama waktu
yang panjang sudah mengembangkan pendidikan tersendiri yang banyak diwarnai oleh tradisi
budaya watau telu (2) keberadaan pendidikan dan modernisasi mewarnai budaya komunitas Adat
Senaru. Keterbukaan masyarakat secara fisik diikuti dengan pengembangan budaya menjadikan
komunitas Senaru maju berkembang.
Kata kunci: pendidikan, etnografi, Senaru.
PENDAHULUAN
Desa Senaru yang terletak di lereng gunung Rinjani adalah salah satu Desa
Adat yang masih memegang teguh nilai-nilai budaya tradisional. Keadaan
lingkungan alam pegunungan yang jauh dari pusat keramaian dan kontak dengan
masyarakat asing menyebabkan terbentuknya konservatisme budaya dalam waktu
yang lama. Masuknya pendidikan modern dalam masyarakat telah memicu suatu
perubahan budaya walaupun lambat tapi pasti. Pendidikan adalah usaha sadar
yang dilakukan untuk mendewasakan seseorang dan berlangsung seumur hidup.
Pendidikan dimulai dari dalam kandungan, masa kanak-kanak, hingga dewasa.
Pelaksanaan pendidikan secara formal (di sekolah), non-formal (pendidikan luar
sekolah), dan pendidikan informal (pendidikan di dalam keluarga). Dalam
Page 74
74| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
implementasinya pendidikan harus dilaksanakan di setiap pelosok daerah di
seluruh wilayah Indonesia agar: (1) pendidikan dapat menjadi investasi bagi
bangsa dan negara; (2) semua masyarakat dapat melek huruf; (3) mengentaskan
kemiskinan dan percepatan pembangunan bangsa dan negara; (4)
mengikutsertakan masyarakat dalam merumuskan, melaksanakan, dan memantau
pelaksanaan pendidikan; (5) memenuhi pendidikan bagi masyarakat dan
membantu berbagai pemecahan permasalahan yang ada dalam kehidupan
masyarakat; (6) memahami persamaan gender dalam pendidikan, terjadinya
perubahan sikap dan nilai terhadap kesamaan gender; (7) menciptakan lingkungan
pendidikan yang berkualitas dan meningkatkan profesionalisme para guru. Nur
Hadi, dalam penelitiannya berjudul “Aplikasi Pendidikan untuk Semua (PUS)
pada Masyarakat Adat Bali Aga di Terunyan”, 2013 mendapati bahwa masyarakat
Desa Adat Terunyan sudah mengintegrasikan keberadaan lembaga pendidikan
dalam kehidupan sosial mereka secara utuh dan nyata. Di samping itu pendidikan
formal telah memberikan kontribusi terhadap terbukanya masyarakat, walaupun
tidak selalu secara positif berkaitan dengan aspek-aspek ekonomi mereka sebagai
petani.
Soekmono (1993) mengemukakan bahwa dalam tradisi budaya Indonesia
dikenal adanya konsep budaya pantai yang moderat dan budaya gunung
(pedalaman) yang lebih konservatif. Intensitas hubungan antar masing-masing
wilayah yang tidak sama, bahkan terdapat beberapa wilayah yang terputus
hubungan, akan memunculkan isolasi budaya. Namun kini dengan majunya
teknologi transportasi dan telekomunikasi, berbagai tempat yang jauh dan
terpencil, yang memberikan destinasi budaya yang menantang seperti, gunung dan
pantai akan dikunjungi oleh banyak wisatawan, baik asing maupun domestik.
Kehadiran mereka beserta teknologi yang mereka bawa akan memberikan
pengaruh budaya pada masyarakat setempat. Hal ini tidak terkecuali terjadi pada
komunitas adat Sasak yang sebagian bertempat di Desa Senaru, yang berada di
lereng gunung Rinjani dan danau Segara Anak. Kedua destinasi budaya terakhir
menjadi ikon wisata alam di Pulau Lombok. Di samping itu kemajuan teknologi
yang terjadi secara akseleratif dan diperlukan dalam upaya pembangunan
Page 75
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |75
masyarakat setempat akan mengenalkan banyak aspek modernitas pada
masyarakat petani Desa Senaru. Keberadaan modernisasi tersebut akan
mempengaruhi budaya masyarakat Senaru.
Atas dasar latar belakang masalah tersebut di atas, maka rumusan
masalahnya disusun sebagai berikut: (1) Bagaimanakah keberadaan pendidikan
pada komunitas Senaru di Lombok, NTB? (2) Bagaimanakah keberadaan
pendidikan dan modernisasi mewarnai budaya komunitas adat Senaru?
Mendasarkan latar belakang masalah tersebut, maka tujuan penelitiannya
dirumusan sebagai berikut: (1) Mendeskripsikan keberadaan pendidikan pada
komunitas Senaru di Lombok, NTB, dan (2) Mendeskripsikan dan menganalisis
jalinan keberadaan pendidikan dan modernisasi mewarnai budaya komunitas adat
Senaru. Adapun manfaat penelitian ini adalah untuk beberapa pihak: (1)
Masyarakat terteliti, sebagai refleksi diri atas situasi budaya yang berlangsung
untuk dapat semakin cerdas memposisikan diri di tengah arus modernisasi dan
globalisasi yang sedang berlangsung, (2) Lembaga pendidikan (formal) di desa
agar semakin peduli terhadap kemajuan jaman yang berlsangsung, namun dengan
tetap mempertahankan jatidiri sebagai komunitas adat yang kokoh, dengan
mempertahankan dan melestarikan tradisi budaya yang ada lewat penanaman
nilai-nilai pada para siswa, (3) Pemerintah Daerah, sebagai bahan penyempurnaan
kebijakan bagi pelaksanaan pembangunan yang berdaya guna dan berhasil guna,
dan dengan tetap memperhatikan pelestarian budaya dan lingkungan hidup.
METODE
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif-
etnografis. Pembentukan hipotesis (kerja) sejak awal dilakukan peneliti dengan
segera terjun ke lapangan penelitian (Moleong, 2004), dimulai dengan sejumlah
maksud tertentu yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian.
Pilihan rancangan penelitian dengan pendekatan ini dilakukan agar didapat materi
tentang keadaan masyarakat suku yang masih asli dan perubahan yang terjadi. Di
samping itu karena terkait dengan masalah adat budaya komunitas asli, juga
dilakukan penggabungan dengan model pendekatan etnografi (Spradley, 1997)
Page 76
76| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Untuk mengumpulkan data digunakan beberapa teknik: (1) observasi, (2)
wawancara mendalam secara partisipatif hingga titik jenuh. Tema berkait dengan
adat budaya sesuatu komunitas didalami dengan pendekatan etnografi dengan alur
maju bertahap model Spradley, yang meliputi: penetapan subjek
penelitian/informan, wawancara, catatan etnografis, pertanyaan deskriptif,
analisis wawancara, analisis domain, pertanyaan struktural, analisis taksonomik,
pertanyaan kontras, analisis komponen, dan temuan tema budaya. (3)studi
dokumentasi. Sumber data utama dalam penelitian ini terdiri dari: Pimpinan adat
setempat, Kepala sekolah dan guru, sebagian siswa, pimpinan agama, para
pemimpin formal, pemimpin informal, serta sebagian warga bersangkutan.
Mereka dipilih berdasar purposif sampling dalam upaya mendapat data yang
lengkap, sesuai dengan tujuan penelitian (Nasution, 1998).
Di samping digunakan analisis etnografis model Spradley (1997) untuk
menganalisis data penelitian, juga dipilih model analisis interaktif yang
dikembangkan oleh Miles dan Huberman (2002). Analisis tersebut meliputi tiga
tahap: (1) reduksi data, (2) penyajian data, (3) penarikan kesimpulan. Untuk
menjamin keabsahan data yang diperoleh selama kegiatan penelitian digunakan
beberapa kriteria: (1) derajat kepercayaan, (2) keteralihan, (3) ketergantungan, dan
(4) kepastian.
PEMBAHASAN
1. Keberadaan pendidikan pada komunitas Senaru di Lombok, Nusa
Tenggara Barat (NTB).
Komunitas Senaru di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), adalah
masyarakat adat yang berlandaskan pada kehidupan pertanian lahan basah
(sawah). Di masa lalu rumah-rumah adat terdapat di seantero Desa Senaru. Kini
hanya tinggal di Dusun Senaru. Masyarakat adat Desa Senaru adalah satu-satunya
yang masih menampakkan sisi keaslian pada rumah tinggal mereka. Rumah-
rumah tersebut berbentuk persegi empat, dengan dinding dari anyaman bambu
dan beratap ilalang. Semua yang masih ada tinggal 19 buah. Rumah-rumah adat
tersebut berada di dekat pos pendakian pertama menuju ke lokasi Danau Segara
Page 77
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |77
Anak dan gunung Rinjani. Desa Senaru termasuk salah satu desa yang terletak di
wilayah Kecamatan Bayan. Secara ekologis masyarakat Bayan hidup sebagai
petani dan nelayan. Namun untuk masyarakat Desa Senaru sendiri hampir
sepenuhnya bergantung pada tanah-tanah pertanian yang sangat subur. Di
sepanjang tahun masyarakat mengandalkan sawah-sawah yang subur, yang tidak
pernah kekurangan air. Pengairan yang ada sangat lancar dengan pasokan air dari
hulu Danau Segara Anak yang melimpah ruah, tidak pernah mengalami
kekeringan, walaupun pada puncak musim kemarau.
Upacara yang ada berfokus pada masjid tua Bayan Beleq dan dilaksanakan
pada bulan Maulud, dan memang dilaksanakan dalam rangka peringatan Maulid
(Hari Lahir) Nabi Muhammad S.A.W. Peringatan Maulid tersebut akan dilakukan
secara besar-besaran. Di sini nilai-nilai Islam yang terdapat pada peringatan
upacara berpadu dengan tradisi-tradisi lokal yang penuh dengan nuansa mitis,
kultus dan status. Mesjid Bayan Beleq sampai kini sangat dituakan dan disucikan
oleh seluruh masyarakat. Tidak ada yang berani berbuat negatif, bahkan
berpikiran negatif tentang masjid tua yang menjadi cagar budaya tersebut.
Keberadaan aset budaya Sasak pada komunitas Desa Senaru relatif masih terjaga.
Nampaknya komodifikasi budaya juga mempunyai pengaruhnya, sehingga rumah-
rumah adat yang masih ada tetap dilestarikan untuk tempat berada bagi
kelangsungan suatu tradisi. Tempat tersebut menjadi aset wisata, terutama
kenampakan yang ditujukan untuk para turis yang akan mendaki ke gunung
Rinjani atau Danau Segara Anak. Demikian juga masjid tua Bayan Beliq adalah
aset wisata yang sangat berharga dan diupayakan menjadi salah satu jujugan
wisata utama. Mereka adalah masyarakat adat yang sangat ketat menjaga tradisi.
Secara turun temurun akar tradisi yang terdapat pada “Watau Telu” mereka
amalkan dan turunkan secara bergenerasi kepada anak turun mereka pada
berbagai kesempatan, terutama dalam interaksi hidup berkeluarga. Pemahaman
tentang tradisi tersebut ternyata tidak sama, walaupun sama-sama pada suku
Sasak. Khususnya di Sade tidak sama dengan di Bayan.
Keberadaan pendidikan (formal) pada komunitas Senaru dapat
dikemukakan: masyarakat memiliki lembaga formal pendidikan yang sangat
Page 78
78| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
lengkap. Umumnya komunitas-komunitas adat yang asli seperti itu memiliki
ketertutupan (eksklusif) terhadap komunitas asing, termasuk tidak mudah
menerima berbagai inovasi yang di bawa dari luar, khususnya yang disampaikan
lewat pendidikan formal. Pada kasus komunitas Senaru nampaknya terdapat
elemen-elemen penting yang menyebabkan dinamika sosial penting, yang tidak
sama dengan tempat-tempat komunitas adat asli lainnya. Keberadaan Gunung
Rinjani dan Danau Segara Anak serta masjid tua Bayan Beliq yang menjadi
destinasi wisata, nampaknya sangat mempengaruhi dinamika sosial yang terjadi,
termasuk masuknya pendidikan formal dalam kehidupan sosial yang sangat
penting. Masing-masing memiliki keterkaitan atau hubungan simbiosis
mutualisme, di samping juga efek dari dibangunnya jalan-jalan penghubung dari
Kota Mataram sebagai ibukota propinsi sampai ke pelosok Desa Senaru. Atas
alasan-alasan praktis ekonomis berkaitan dengan pariwisata menjadikan
keberadaan pendidikan formal di Senaru menjadi maju. Sebuah jalinan menarik
terjadi antara pendidikan formal di sekolah dengan pendidikan informal dalam
keluarga dan masyarakat. Banyak inovasi dan kemajuan IPTEKS telah merambah
seluruh pelosok negeri. Kemajuan-kemajuan tersebut dibawa dan dikembangkan
lewat pendidikan formal di sekolah-sekolah. Dalam pandangan masyarakat hal
tersebut adalah keniscayaan, sebab masyarakat berharap dengan berpendidikan
formal tersebut anak akan pintar dan dengan berpendidikan (formal) yang tinggi
akan membuka peluang seseorang naik strata sosial di masyarakat, khususnya
berkaitan dengan status sosial-ekonomi. Namun demikian pendidikan informal
dalam keluarga dan masyarakat ternyata berjalan beriringan dengan kemajuan
pendidikan formal. Hanya saja titik tekan dari pendidikan informal tersebut adalah
dalam mewarnai dan memberikan identitas generasi muda dengan bekal tradisi
sebagai masyarakat adat Sasak yang kental nuansa Islam setempat.
Dengan model kedua macam pendidikan itu bekerja, maka pada masa kini
terlihat dengan manis, anak-anak Senaru yang berpendidikan relatif tinggi, namun
dengan tetap memelihara adat dan tradisi budaya yang berpusat pada eksistensi
tradisi “Watau Telu”. Dalam bentuknya yang aplikatif tradisi tersebut mewarnai
kegigihan seseorang dalam memperjuangkan semua keinginannya, tidak mudah
Page 79
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |79
berputus asa dan selalu percaya kepada kekuatan sendiri. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa pendidikan formal telah mencerdaskan akal budi anak dan
pendidikan informal telah memperadabkan anak untuk selalu cinta pada tradisi
budayanya. Jalinan pendidikan formal dan informal serta non formal tersebut
terjadi karena berlangsungnya pendekatan kolaborasi dengan komunitas di sekitar
sekolah, baik secara struktural maupun peningkatan kesadaran mereka (Cotton,
1990.b). Hal itu juga selaras dengan pendapat Pidarta bahwa setiap komunitas
akan menyelenggarakan pendidikan, sebab pendidikan tidak pernah terpisah
dengan kehidupan manusia, pendidikan adalah khas milik dan alat manusia
(2007). Demikian juga Saripudin (2008) menyatakan bahwa sistem belajar asli
(indigenous learning system) digunakan masyarakat tradisional sebagai upaya
mempertahankan dan memelihara sistem sosial masyarakatnya demi
kelangsungan hidupnya.
2. Keberadaan pendidikan dan modernisasi mewarnai budaya komunitas
Adat Senaru
Jalinan pendidikan (formal) dan modernisasi mewarnai komunitas adat
Senaru: Dari sisi jumlah keberadaan pendidikan formal pada masyarakat Desa
Senaru tidak perlu diragukan. Namun pengaruhnya secara kualitatif terhadap
tradisi budaya tidaklah terlampau besar. Hal ini didasarkan pada tradisi-tradisi asli
Sasak yang masih berlangsung hingga kini. Ketika ada keyakinan secara umum,
bahwa bertambahnya tingkat pendidikan seseorang akan menjadi faktor penyebab
tertundanya usia kawin, maka terhadap komunitas Sasak Senaru dapat
dikemukakan, bahwa dari sejak dahulu mereka menikah di usia tua, karena
mahalnya harga mahar yang harus mereka bayar. Jika kini banyak perempuan tua
di wilayah Bayan, khususnya di Bayan Timur, hal itu bukanlah pengaruh
keberadaan pendidikan formal, namun lebih karena sulitnya melaksanakan
pernikahan akibat tuntutan tradisi.
Adapun penglihatan terhadap modernisasi yang sudah terjadi pada
komunitas Senaru, yang ditunjukkan dengan masuknya berbagai teknologi
modern, khususnya di bidang transportasi dan telekomunikasi menunjukkan
peningkatan yang drastis. Kepemilikan alat komunikasi sudah menjangkau ke
Page 80
80| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
seluruh pelosok Senaru, dan digunakan untuk berbagai keperluan, khususnya
untuk kegiatan yang bernilai sosial-ekonomi. Alat-alat komunikasi tersebut
digunakan untuk memudahkan mereka dalam melakukan transaksi-transaksi
keuangan maupun jaringan kerja dalam memajukan bisnis seperti guide wisata,
pusat informasi wisata, transportasi, penginapan. Di samping itu transportasi
seperti mobil dan sepeda motor menjadi alat yang umum digunakan untuk
keperluan bisnis wisata. Mobil-mobil yang ada digunakan untuk menjemput dan
mengangkut para turis, khususnya turis asing, demikian juga dengan sepeda motor
digunakan untuk ojek. Nampaknya kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan
tourism sudah sangat akrab dengan mereka. Hal ini merupakan suatu identitas
yang luar biasa dari gejala-gejala modernitas yang sangat penting. Kehidupan
tourism tersebut terintegrasi dengan jaringan web yang menggejala dalam
menawarkan suatu pelayanan wisata secara digital. Ia mengintegrasikan banyak
hal dan bagian dari profesi-profesi tertentu, seperti: porter, pemandu wisata,
warung penyedia alat kebutuhan makan, penginapan, hotel, pusat-pusat informasi
wisata, dan lain-lain. Dengan kata lain, modernisasi dalam arti hadirnya
teknologi-teknologi maju seperti alat transportasi, informatika dan mekanisasi
dalam dunia pertanian dan industri rumah tangga sudah masuk dan mempengaruhi
tata kerja mereka, mempengaruhi tingkat pendapatan dan mengubah status sosial
mereka, namun semua itu lebih banyak digunakan untuk keperluan-keperluan
pragmatis berkaitan dunia kerja: bersifat sosio-ekonomi dan tidak sampai
mengubah akar mereka sebagai komunitas adat yang masih kukuh menjaga
tradisi.
Hal ini persis yang digambarkan oleh Dube (1988), bahwa manusia modern
ditentukan oleh struktur, institusi, sikap dan perubahan nilai pada pribadi, sosial
dan budaya. Masyarakat modern mampu menerima dan menghasilkan inovasi
baru, membangun kekuatan bersama serta meningkatkan kemampuannya dalam
memecahkan masalah. Oleh karenanya modernisasi sangat memerlukan hubungan
yang selaras antara kepribadian dan sistem sosial budaya. Sifat terpenting dari
modernisasi adalah rasionalitas. Kemampuan berpikir secara rasional sangat
dituntut dalam proses modernisasi, dan menjadi sangat penting dalam
Page 81
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |81
menjelaskan berbagai gejala sosial yang ada. Masyarakat modern tidak mengenal
lagi penjelasan yang irasional seperti yang dikenal oleh masyarakat tradisional.
Rasionalitas menjadi dasar dan karakter pada hubungan antar individu dan
pandangan masyarakat terhadap masa depan yang mereka idam-idamkan.
Hal yang sama disampaikan oleh Schoorl (1980), walaupun tidak sebegitu
mendetail seperti Dube. Namun demikian terdapat ciri penting yang diungkapkan
Schoorl yaitu konsep masyarakat plural yang diidentikkan dengan masyarakat
modern. Masyarakat plural merupakan masyarakat yang telah mengalami
perubahan struktur dan stratifikasi sosial. Secara fisik rumah-rumah adat Sasak-
Senaru sudah banyak yang berubah, dan hanya tinggal 19 buah di satu kampung
Senaru, yang lain sudah berubah menjadi rumah-rumah gedung yang modern.
Namun tradisi budaya mereka masih bertahan.
SIMPULAN
1. Komunitas Senaru memiliki lembaga pendidikan formal yang sangat lengkap.
Umumnya komunitas-komunitas adat yang asli seperti itu memiliki
ketertutupan (eksklusif) terhadap komunitas asing, termasuk tidak mudah
menerima berbagai inovasi yang di bawa dari luar komunitas, khususnya yang
disampaikan lewat pendidikan formal. Di Senaru terdapat elemen-elemen
penting yang menyebabkan dinamika sosial penting, yang tidak sama dengan
tempat komunitas adat asli lainnya. Keberadaan Gunung Rinjani dan Danau
Segara Anak serta masjid tua Bayan Beliq yang menjadi destinasi wisata,
memerlukan hadirnya sarana transportasi dan telekomunikasi, dan itu sangat
mempengaruhi dinamika sosial yang terjadi, termasuk masuknya pendidikan
formal dalam kehidupan sosial yang sangat penting. Pendidikan informal
dalam keluarga dan masyarakat ternyata berjalan beriringan dengan kemajuan
pendidikan formal. Hanya saja titik tekan dari pendidikan informal dalam
mewarnai dan memberikan identitas generasi muda dengan bekal tradisi
sebagai anggota komunitas adat Sasak yang kental nuansa Islam setempat.
Dengan model kedua macam pendidikan itu bekerja, maka pada masa kini
Page 82
82| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
terlihat dengan padu, anak-anak Senaru yang berpendidikan relatif tinggi,
namun dengan tetap memelihara adat dan tradisi “Watau Telu”.
2. Jalinan pendidikan (formal) dan modernisasi mewarnai komunitas Senaru.
Pengaruhnya secara kualitatif terhadap tradisi budaya tidaklah terlampau besar.
Hal ini didasarkan pada tradisi-tradisi asli Sasak yang masih berlangsung
hingga kini. Pengaruh modernisasi ditunjukkan dengan masuknya berbagai
teknologi modern, khususnya di bidang transportasi dan telekomunikasi yang
digunakan untuk berbagai keperluan, khususnya untuk kegiatan yang bernilai
sosial-ekonomi. Secara fisik rumah-rumah adat Sasak-Senaru sudah banyak
yang berubah, dan hanya tinggal 19 buah di satu kampung Senaru, yang lain
sudah berubah menjadi rumah-rumah gedung yang modern. Namun tradisi
budaya mereka masih bertahan.
DAFTAR PUSTAKA
Cotton, K. (1990). School-Community Collaboration to Improve the Quality of
Life for Urban Youth and Their Families, dalam School Improvement
Research Series, pp1-28.
Dube, S.C. (1988). Modernization and Development: The Search for Alternative
Paradigms. London, England: Zed Books Ltd.
Hadi, N. Dkk. (2013). Aplikasi Pendidikan untuk Semua (PUS) pada Masyarakat
Adat Bali Aga di Terunyan. Malang, Indonesia: LP2M dan FIS UM.
Mils, M.B dan Huberman. A.M. (2002). Analisis Data Kualitatif. Jakarta,
Indonesia: UI Press.
Moleong, L. J. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung, Indonesia: PT
Remaja Rosdakarya.
Nasution. S. (1998). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung,
Indonesia: Tarsito.
Pidarta, M. (2007). Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak
Indonesia. Jakarta, Indonesia: Rineka Cipta.
Saripudin, D. (2008). Pendidikan Yang Berwawasan Lingkungan Masyarakat
Terasing: Beberapa Pengalaman di Indonesia. Makalah disajikan dalam
International Conference Indigenous Pedagogies, Malaysia, 10-12 Nopember 2008.
Schoorl, J.W. (1980). Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-
Negara Sedang Berkembang. Jakarta, Indonesia: PT. Gramedia.
Soekmono, R. (1993). Pengantar Sejarah Kebudayaan Jilid 1, 2 dan 3.
Yogyakarta, Indonesia: Kanisius.
Spradley, J. P. (1997). Metode Etnografi. Yogyakarta, Indonesia: Tiara Wacana.
Page 83
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |83
POLA PENGEMBANGAN GURU GARIS DEPAN SEBAGAI
PEMBERDAYA MASYARAKAT DAN BERWAWASAN NASIONAL
PADA DAERAH TERTINGGAL
Arif Purnomo
Universitas Negeri Semarang, [email protected] , 081325701065
Abstrak
Permasalahan yang muncul di daerah tertinggal, antara lain: akses sarana
transportasi yang jelek, kurangnya kontrol dari pemerintah sehingga
memungkinkan benih-benih terorisme dapat berkembang, dan kesenjangan
pembangunan yang berakibat pada kesejahteraan masyarakat sehingga
memunculkan keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI.Dalam bidang
pendidikan, penanganan yang ekstra keras di daerah tertinggal diwujudkan
melalui kiprah guru dalam mendidik, memotivasi, memfasilitasi, dan
mendinamisasi masyarakat.Mereka dapat disetarakan sebagai Guru Garis Depan
(GGD) yang langsung berhubungan dengan permasalahan di daerah tertinggal.
Oleh karena itu, diperlukan pola pengembangan guru garis depan, sehingga guru
yang bertugas memang menjadi ujung tombak yang tajam dalam mengatasi
masalah.Metode pembahasan dilakukan dengan menggunakan teori pendidikan
partisipatif. Pola yang dikembangkan adalah melalui pengembangan hardskill
berorientasi potensi lokal daerah yang dilatihkan pada guru yang akan bertugas.
Di samping itu perlu ada pembekalan tentang keterampilan mengembangkan
wawasan kebangsaan penduduk di daerah tertinggal. Kegiatan ini dapat
disetarakan dengan prajabatan bagi calon pegawai negeri sipil. Kemampuan ini
pada akhirnya akan menjadi modal mengikatkan kembali simpul-simpul perekat
integrasi bangsa sambil membangun ekonomi masyarakat melalui keunggulan
potensi lokal.
Kata kunci: guru garis depan, wawasan nasional, pemberdaya masyarakat
PENDAHULUAN
Guru Garis Depan adalah mereka yang sudah mengikuti pendidikan profesi
guru sehingga menyandang guru profesional. Dengan demikian, aspek metodologi
pembelajaran dan substansi materi ajar sudah dikuasi. Mengutip istilah Shella
Wright (2006), guru profesional yang menjadi GGD sudah memiliki jiwa “teacher
as public art”.
Kemampuan untuk menggugah tugas dan kesadaran akan masa depan bagi
mereka yang tinggal di daerah tertinggal juga dibutuhkan. “Tugas guru adalah
memotivasi agar peserta didik memiliki mimpi-mimpi (cita-cita), seperti yang
Page 84
84| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
telah digambarkan oleh Andreas Hirata, melalui novelnya yang kemudian
difilmkan dengan judul Laskar Pelangi” (Warsono, 2015:3).
GGD mempunyai tugas yang “lebih” dibandingkan dengan guru-guru yang
tidak berada di wilayah tertinggal. Peran yang dilakukan melekat dengan
permasalahan yang ada di daerah tertinggal. Mereka tidak hanya memiliki peran
mengajar dan mendidik peserta didik, akan tetapi mereka harus mampu menjadi
inspirator, motivator dan dinamisator pembangunan di daerah tertinggal.
Peran ini sangat berat, karena menurut Sallis (2010:82) yang mengutip
Lynton Gray, situasi pendidikan meliputi pengalaman emosi dan opini yang tidak
bisa sama. Mengingat peran GGD sangat besar, sehingga perlu dilakukan pola
penyiapan agar mereka mampu memenuhi keinginan dari program GGD tersebut.
Penyiapan GGD haruslah tidak berorientasi pada kemampuan pedagogi dan
profesional, akan tetapi berorientasi pada pemberdayaan masyarakat. Kemampuan
pedagogi dan profesional GGD tampaknya sudah terasah melalui program
pendidikan profesi guru (PPG), sehingga kemampuan pedagogi dan profesional
GGD sudah tidak meragukan. Oleh karena itu, tulisan ini menyajikan pembahasan
tentang pola penyiapan GGD untuk memberdayakan masyarakat dan berwawasan
nasional pada daerah tertinggal. Dengan adanya tulisan ini, diharapkan dapat
memberi masukan bagi kebijakan kementerian pendidikan dan kebudayaan dalam
penyiapan GGD yang sedang dilakukan.
METODE
Permasalahan penulisan didasarkan pada kebijakan pemerintah tentang
GGD yang mulai diberlakukan tahun 2015 dan masih berlangsung sampai tahun
2016, dan kemungkinan masih akan dilaksanakan selama permasalahan di daerah
tertinggal yang menyangkut bidang pendidikan belum teratasi. Data-data tentang
kebijakan GGD didasarkan pada website kemendikbud. Analisis masalah
dilakukan dengan menggunakan teori pendidikan partisipatif. Dengan teori
tersebut, didapatkan pola penyiapan GGD untuk pemberdayaan masyarakat di
daerah tertinggal dan membentuk perilaku politik warganegara.
Page 85
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |85
PEMBAHASAN
Peratuan Presiden No. 131 Tahun 2015 tentang Penetapan Daerah
Tertinggal Tahun 2015-2019 menyatakan bahwa daerah tertinggal adalah daerah
kabupaten yangwilayah serta masyarakatnya kurang berkembangdibandingkan
dengan daerah lain dalam skalanasional. Suatu daerah dinyatakan tertinggal
dengan kriteria: perekonomian masyarakat, sumberdaya manusia, sarana
prasarana, kemampuan keuangan daerah, aksesibiltas, dankarakteristik daerah.
Daerah tertinggal masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dan
masyarakat luas. Permasalahan yang ditemui pada daerah tertinggal yang
menyangkut peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan dapat diatasi
dengan program GGD. Sementara itu, permasalahan pendidikan di daerah
tertinggal antara lain adalah kekurangan guru, distribusi guru yang tidak
seimbang, kualifikasi guru yang di bawah standar, kurang kompetensi, dan
ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang studi yang
diampu.Permasalahan lain adalah angka putus sekolah masih tinggi, dan angka
partisipasisekolah masih rendah serta sarana dan prasarana yang belum
memadai.Pandangan masyarakat di daerah tertinggal pun cenderung lebih
berorientasi pada materi, yaitu lebih menyukai jika anak-anaknya bekerja
membantu orang tua daripada harus belajar di sekolah.
Beberapa permasalahan lain yang menyangkut daerah tertinggal dalam
bingkai negara kesatuan adalah kemungkinan rentannya jalin persatuan. Beberapa
kasus tentang bergesernya patok di perbatasan dan upaya beralihnya
kewarganegaraan penduduk perbatasan merupakan indikatornya.
Pola Penyiapan Guru Garis Depan Sebagai Pemberdaya Masyarakat Dan
Berwawasan Nasional
Guru Garis Depan memiliki tugas tambahan sebagai pemberdaya
masyarakat. Oleh karena itu, GGD harus memiliki kemampuan dalam mengenal
potensi daerah penugasan untuk mengatasi masalah daerah tertinggal. “Sekarang
ini dibutuhkan lapis pemikir intelektual yang mampu berpikir untuk
membebaskan bangsa dari kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan” (Salim,
2004:115).
Page 86
86| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Mochtar Buchori (2000) menyatakan bahwa ada dua hal yang diperlukan
dalam membentuk visi yang realistik mengenai masa depan. Pertama, pengenalan
mengenai potensi lingkungan, baik sumber daya alam maupun sumber daya
manusia, dan kedua, pengenalan aspek kesejarahan. Pada lingkup yang lebih luas,
pandangan yang kedua dapat diartikan sebagai citizenship education. Dalam
pandangan yang lain, Butin (2005:77), juga menekankan perlunya dimiliki social
and ecological justice, sebagai relasi antara manusia dan lingkungan sekitarnya.
Terkadang juga ada yang menyebutkan konsep ini sebagai earth democracy. Oleh
karena itu, mengacu pada pendapat di atas, sebelum penugasan ke daerah
tertinggal, GGD harus dibekali dengan pelatihan yang menyangkut dua aspek,
yaitu:pemberdayaan ekonomi masyarakat dan mengembangkan civic culture,
yang menjadi bagian penting pendidikan (Azra, 2006: 167), yang meliputi
nasionalisme dan budaya politik dalam konteks masyarakat demokratis. Dua
keterampilan tersebut menjadi penting untuk mengatasi masalah di daerah
tertinggal. Dua permasalahan tersebut juga menjadi permasalahan mendesak
dalam konteks membangun masyarakat Indonesia Baru (Tilaar, 2002: 87-90). Hal
ini juga sesuai dengan nafas pendidikan, yang pada dasarnya mempersiapkan
generasi yang mampu menjadi warganegara yang produktif dan mampu
berkontribusi terhadap kesejahteraan kehidupan bangsa (Hasan, 2015: 1).
Landasan ontologis pengembangan dua kemampuan bagi GGD didasarkan
pada teori besar pendidikan berbasis yang ada. Agus Salim (2004: 117-118)
dengan mengutip pendapat Russell (1993) menyatakan bahwa terdapat tiga teori
yang mempunyai basis pendukung yang kuat. Teori pertama menyatakan bahwa
tujuan pendidikan adalah menyediakan peluang bagi pertumbuhan masyarakat dan
menyingkirkan pengaruh-pengaruh yang merintangi. Teori kedua menyatakan
bahwa tujuan pendidikan adalah membudayakan individu dan mengembangkan
kapasitas secara maksimal, dan teori ketiga menyatakan bahwa pendidikan harus
lebih mempertimbangkan hubungannya dengan komunitas daripada hubungan
dengan individu. Dalam hal ini bagaimana melatih individu menjadi lebih berguna
sebagai warganegara.
Page 87
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |87
Pemberdayaan ekonomi masyarakat di daerah tertinggal oleh GGD menjadi
penting mengingat tingkat pendapatan ekonomi yang minim. Muara dari
pemberdayaan ekonomi adalah munculnya jiwa keterampilan memanfaatkan hasil
alam sehingga memiliki nilai tambah. Oleh karena itu, GGD perlu memahami
secara utuh kondisi alam daerah sasaran dan diberi pelatihan pengolahan sumber
daya alam yang melimpah di daerah tersebut. Dengan demikian pola penyiapan
GGD didasarkan pada karakteristik daerah sasaran. Pada wilayah yang menjadi
penghasil durian misalnya, GGD dapat diberi pelatihan tentang cara pengolahan
ampas durian menjadi briket, pada daerah penghasil pisang, GGD dapat diberi
pelatihan tentang pengolahan batang kulit pisang menjadi aneka kerajinan tangan,
dan sebagainya. Dengan cara ini, GGD dapat menularkan pada penduduk di
daerah tertinggal. Pada lingkup yang luas, akan tumbuh jiwa wirausaha dari
penduduk di daerah tertinggal yang akan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Sebab, tingginya pengangguran dan rendahnya kesejahteraan di Indonesia
dipengaruhi oleh kecilnya jumlah wirausahawan (entrepreneur). Menurut David
McClelland, suatu negara akan menjadi makmur apabila memiliki wirausahawan
sedikitnya 2 % dari jumlah penduduk (Purnomo, 2012:3).
Pelatihan pada GGD juga dilakukan dengan memberikan keterampilan
tentang pemberdayaan masyarakat tentang civic culture, yang meliputi
nasionalisme dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam politik. Permasalahan
pertama terkait dengan permasalahan rajut kebangsaan di daerah tertinggal yang
sangat rentan, sedangkan permasalahan kedua terkait dengan tuntutan terhadap
kehidupan masyarakat di abad XXI.
Pemahaman nasionalisme yang ditanamkan pada GGD tidak sekedar
rentetan sejarah bangsa ini, akan tetapi juga menyangkut bagaimana pemahaman
tersebut dipahamkan pada masyarakat di daerah tertinggal. Hal yang sama juga
berlaku pada peningkatan partisipasi dalam politik.
Dua bentuk kurikulum pelatihan GGD dapat diberikan pada GGD sebelum
penugasan yang disetarakan dengan jumlah hari pelaksanaan pra jabatan saat
calon PNS akan menjadi PNS. Dengan cara ini, GGD tidak perlu lagi
Page 88
88| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
melaksanakan pra jabatan dimana mereka harus meninggalkan daerahnya menuju
tempat pelaksanaan pra jabatan.
SIMPULAN
Daerah tertinggal adalah daerah yang perlu penanganan secara serius.
Pemberdayaan masyarakat menjadi prioritas pengembangan daerah tertinggal.
GGD merupakan aktor yang dapat memainkan peran secara maksimal untuk
memberdayakan masyarakat melalui upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Di samping itu, GGD menjadi alat ampuh untuk memberikan
peningkatan kesadaran akan upaya meningkatkan integrasi masyarakat di daerah
tertinggal dalam bingkai NKRI. Oleh karena itu, pelatihan sebelum GGD
ditempatkan mutlak dilakukan dengan kurikulum pada dua aspek penekanan
tersebut. Pelatihan ini dapat disetarakan dengan prajabatan, yang menyangkut
jumlah waktu pelaksanaan. Dengan cara ini, GGD yang dikirim sudah siap
mengajar, memberdayakan masyarakat, dan turut meningkatkan jalinan
persaudaraan dalam NKRI terjaga.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. 2006. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Kompas.
Buchori. Mochtar. 2000. Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Kanisius.
Butin, Dan W. Ed. 2005. Teaching Social Foundation of Education, Context,
Theories, and Issues. Mahwah, New Jersey: Lawrance Erlbaum Ass. Inc.
Hasan, S. Hamid. 2015. “Pendidikan Sejarah dalam Mempersiapkan Generasi
Emas”. Prosiding. Seminar Nasional dan Pertemuan APPS, 27-28
Nopember. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat, hal. 1-23.
Purnomo, Arif. 2012. Model Pengembangan Pembelajaran Kewirausahaan
Melalui Pendidikan Sejarah. Tidak dipublikasikan. Laporan Penelitian.
Semarang: Unnes.
Sallis, Edward. 2010. Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan. Yogyakarta:
IRCiSoD.
Tilaar, H.A.R. 2012. Perubahan Sosial dan Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Warsono. 2015. “Arah dan Kebijakan Kurikulum dalam Memperkuat Jati Diri FIS
sebagai LPTK untuk Mempersiapkan Generasi Emas Tahun 2045”,
makalah dalam Seminar Nasional dan Silaturahmi pimpinan FIS/FPIPS
LPTK Se Indonesia, Unima Manado, 2 Oktober.
Page 89
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |89
PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI DAERAH MADURA: POTRET
PERMASALAHAN DAN SOLUSI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
DI MADURA
NettyDyahKurniasari, Sulaiman, Wispandono
UniversitasTrunojoyo Madura, [email protected] , 08123188443
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potret (kondisi) pendidikan anak usia dini di
Madura. Metode penelitian yang digunakan adalah observasi, wawancara dan studi
pustaka. Subyek penelitian adalah pos PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) di Madura.
Teknik pemilihan subyek berdasarkan purposive sampling. Teknik keabsahan data adalah
triangulasi sumber. Pertama, sumber daya manusia ini adalah kualitas SDM para
pengajar PAUD di Madura. Rata-rata dalam satu sekolah PAUD, yang mengenyam
pendidikan S1 pendidikan hanya 1 guru, itupun bukan lulusan pendidikan PAUD.Kedua,
kualitas program dan kelembagaan PAUD, banyak dari PAUD yang belum menerapkan
metode dan teknik pembelajaran sesuai dengan kekhasan anak didik. Ketiga, kepedulian
dan persepsi masyarakat yang menganggap bahwa urusan pendidikan belum dianggap
penting. Orang tua lebih mementingkan untuk bekerja di sawah daripada mendampingi
buah hatinya. Keempat, minimnya sarana dan prasarana baik indoor ataupun outdoor.
Solusi yang dilakukan antara lain pelatihan metode pembelajaran bagi pengajar PAUD,
pelatihan pembuatan kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak didik serta pelatihan
pembuatan mainan edukatif.
Kata Kunci : Pendidikan Anak Usia Dini, Pembangunan Pendidikan, Madura
PENDAHULUAN
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) pasal 109
menyatakan bahwa masa emas pertumbuhan anak yang diprioritaskan pada anak
semenjak lahir hingga berusia 4 (empat) tahun.
Undang-undang tersebut juga menyebutkan bahwa salah satu tujuan pendidikan
non formal PAUD adalah mengembangkan potensi kecerdasaran spiritual, intelektual,
emosional, estetis, kinestetis, dan sosial peserta didik pada masa emas pertumbuhannya
dalam lingkungan bermain yang edukatif dan menyenangkan
Prinsip diselenggarakannya pos PAUD berbasis masyarakat, melibatkan orang tua,
mudah, terjangkau dan bermutu. Tujuan dari pendidikan anak usia dini adalah suatu
upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun
Page 90
90| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan
dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut (UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas).
Hal yang penting dalam penyelanggaraan sekolah PAUD adalah sumber daya
manusia (pengajar) , metode pembelajaran dan sarana dan prasarana. Ketiga hal tersebut
harus melengkapi salatu sama lain. Sumber daya manusia bagus, tapi metode
pembelajaran dan sarana dan prasarana kurang bermutu maka akan menghasilkan lulusan
PAUD yang tidak berkualitas. Metode pembelajaran dan sarana bagus namun sumber
daya manusia tidak bermutu maka akan percuma semua metode dan sarana yang ada.
Satu hal lagi yang penting adalah lingkungan yang mendukung. Lingkungan ini bisa
keluarga dan masyarakat di lingkungan tersebut.
Madura, merupakan pulau dengan 4 kabupaten. Dua kabupatennya yaitu Bangkalan
dan Sampang termasuk kategori miskin di Jawa Timur.Angka buta huruf di Pulau Garam
ini juga relatif tinggi. Tingginya buta huruf tidak terlepas dari pendidikan yang ditempuh
sejak mulai dini yaitu mulai PAUD, TK dan SD mengingat di tahapan inilah pengenalan
huruf, menbaca menulis dikenalkan. Berdasarkan fakta tersebut, maka penelitian ini akan
menganalisis tentang potret dan permasalahan pendidikan di Madura khususnya
pendidikan anak usia dini (TK).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memetakan permasalahan pendidikan apa
saja yang menjadi masalah (problem) dan alternative solusi untuk memecahkannya.
Manfaat penelitian ini bisa menjadi masukan bagi pengambil kebijakan khususnya di
Madura dan instansi terkait untuk mengembangkan pendidikan PAUD di Madura.
METODE
Metodologi yang digunakan dalam penelitian adalah kualitatif dengan teknik
pengumpulan data observasi, wawanacara dan studi pustaka. Subyek penelitian adalah
TK dan PAUD yang berada di Bangkalan Madura dengan teknik pemilihan purposive
sampling yaitu PAUD PRATIWI dan PAUD PGRI Banyujuah.Observasi dilakukan
dengan melihat aktifitas dan kegiatan secara langsung di sekolah PAUD (Pendidikan
Anak Usia Dini) dan TK. Observasi ini berguna untuk mengetahui kondisi riil yang
Page 91
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |91
PEMBAHASAN
TK Pratiwi dan PGRI Banyuajuh berada di Desa Banyuajuh. Suku di desa
ini ada dua yaitu pendatang dan penduduk asli. Penduduk pendatang sebagian
besar berasal dari Jawa Timur.Sedangkan penduduk asli berasal dari keturunan
Madura.Penduduk pendatang, secara pendapatan dan pekerjaan, mempunyai
tingkat ekonomi yang lebih tinggi dengan pekerjaan yang lebih mapan dengan
rofesi sebagai guru, dosen, pegawai daerah dan pegawai swasta.
Sebaliknya, separuh dari penduduk Desa Banyuajuh adalah penduduk asli
(disebut penduduk kampong). Penduduk kampong ini dari segi ekonomi dan
tingkat pendidikan mempunyai tingkat ekonomi yang lebih rendah. Pendidikan
yang ditempuh maksimal SMA dengan komposisi SMP (30%) dan SMA
(70%).Fakta ini menimbulkan gap (perbedaan) besar khususnya akses pendidikan
anak, termasuk akses untuk mengikuti sekolah di Pos PAUD.
Penduduk pendatang menyekolahkan anaknya di TK PAUD Islam modern
dengan fasilitas dan mutu pembelajaran yang baik. Sebaliknya, penduduk
kampong menyekolahkan anaknya di PAUD yang minim fasilitas, kurang bagus
metode pengajaran dan kurikulumnya yaitu PAUD Pratiwi dan PAUD PGRI
Banyujuah .
Pos PAUD PRATIWI berdiri sejak 2010, diketuai Ibu Sri Pratiwi.Tujuan
awal didirikan lembaga ini untuk memberikan kesibukan anaknya pada tahun
2010. Karena Sri Pratiwi pengurus YWKA (Yayasan Wanita Kereta Api) jadi TK
tersebut dinaungi oleh YWKA. Dengan adanya lembaga ini selain memberikan
kesibukan anak Sri Pratiwi namun diharapkan dapat menjadi tempat bermain yang
menyenangkan dan edukatif pada usia emas (golden age). Sekitar umur 4 tahun
terjadi di lapangan. Kondisi tersebut anatar lain metode (pengajaran) guru, aktivitas
pembelajaran, peran serta murid serta sarana dan prasarana yang ada di sekolah tersebut.
Wawancara dilakukan kepada pengelola, guru PAUD untuk menggali metode
pembelajaran, permasalahan SDM, sarana dan prasarana yang ada di sekolah tersebut.
Studi pustaka juga digunakan dalam penelitian ini. Studi pustaka mencakup semua hasil
penelitian tentang potret pendidikan di Madura dari hasil penelitian atau kajian peneliti
lain untuk lebih memperkaya dan mempertajam pembahasan.
Page 92
92| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
hingga 6 tahun.sebagaimana amanat ketentuan Pasal 109 Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional (selanjutnya disebut UU Sisdiknas) bahwa
“salah satu tujuan pendidikan non formal PAUD adalah. mengembangkan
potensi kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, estetis, kinestetis, dan sosial
peserta didik pada masa emas pertumbuhannya dalam lingkungan bermain yang
edukatif dan menyenangkan.
TK PRATIWI yang berdiri pada tahun 2010, sekarang dikepalai oleh Sri
Pratiwi memiliki 58 anak didik, 18 anak kelas A sedangkan 40 anak kelas B.
Dengan jumlah pengajar 3 tenaga pengajar tetap termasuk kepala sekolah
(Pratiwi). Keberadaan TK PRATIWI ini memiliki keberagaman cara mengelola
mengingat tidak ada anggaran yang masuk dari pemerintah kota bangkalan.
Hingga saat ini tempat TK PRATIWI masih berstatus kontrak tahunan sebesar Rp.
2.700.000,-. Pembayaran itu diambil dari infak wali murid yang setiap bulannya
ditarif mengeluarkan Rp. 35.000,- mengingat kondisi perekonomian orang tua
anak-anak dari keluarga yang ekonominya menengah kebawah dan
berpencaharian sebagai petani. Dari 58 siswa ada 5 yang dibebaskan tidak bayar
SPP karena anak yatim piatu.
Disamping lahannya masih berstatus kontrak/ menyewa, bangunannya pun
seperti bangunan lama, berubin plesteran (semen dan pasir yang dihaluskan).Alat
permainan outdoor dan indoor juga sangat minim. Alat permainan outdoor hanya
satu yaitu ayunan. Kondisi ayunan tersebut sudah sangat memprihatinkan karena
hanya berasal dari bamboo diikat dengan bambu dan digantungkan dengan
pohon mangga.
PAUD PGRI Banyuajuh berdiri pada tahun 2003dalam naungan YWKA
namun pada tahun 2014 TK ini melepaskan diri dari YWKA dikarenakan tidak
mampu membayar uang iuran tiap tahun sekitar RP. 4000.000,- , Saat ini
dikepalai oleh Djamilah, S.Pd. Kini lembaga ini berada disamping masjid
Banyuajuh yang tidak jauh dari Pelabuhan Kamal.
Kondisi gedung berstatus kontrak, setiap bulannya dipatok Rp. 400.000,-
diambilkan dari SPP murid, setiap murid ditarif Rp. 40.000,-. Karena gedungnya
bergantian penggunaannya, pagi untuk TK sedangkan sore digunakan untuk
Page 93
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |93
Madrasah, jadi kendala untuk alat pemainan yang luar, jika mainannya
ditempatkan diluar takutnya dipakai anak-anak madrasah yang secara berat badan
lebih berat dari anak TK. Dan akhirnya permainan rusak karena tidak sesuai
kapasitasnya.
Di lembaga ini terdapat 27 murid terdiri dari 10 kelas A dan 17 kelas B. Memiliki
3 tenaga pengajar termasuk kepala sekolah, yang berstatus pegawai Negeri baru
satu yaitu kepala sekolah itu sendiri, yang kedua Gunarsih mendapatkan THR dan
yang terakhir Murni sukuan penuh. Dengan adanya tiga guru sangatlah kurang
karena ketika ada rapat diluar, hanya ada dua yang mengajar, sedangkan idealnya
dalam 20 siswa harus ada 2 tenaga pengajar.
Pendidikan para bunda PAUD yang berada di PAUD Pratiwi dan PGRI
Banyuajuh sebagai pengajar rata-rata pendidikan SLTA 50% SLTP 40% dan
Sarjana hanya 10%. Di PAUD Pratiwi tenaga pengajarnya hanya 3 dengan rincian
1 orang saja yang sarjana).Sedangkan di PGRI Banyuajuh jumlah pengajarnya 3,
dengan rincian yang berpendidikan sarjana dan PNS hanya 1 orang.Dua pengajar
lainnya masih berstatus honorer. Rata-rata usia para Bunda PAUd di atas 50
(lima puluh) tahun sebanyak 40%. Usia 40-50 tahun sebanyak 30% dan dibawah
40 tahun hanya 30%. Kondisi tingkat pendidikan dan usia para bunda PAUD yang
rata-rata SLTA dan ibu rumah tangga cenderung kurang memahami esensi tujuan
pendiidkan PAUD, sehingga proses pembelajara lebih didasarkan pada kondisi
mood tidaknya Bunda PAUD.
Bunda PAUD dituntut untuk memiliki kreatifitas. Peluang dan kesempatan
memperoleh pelatihan untuk proses pembelajaran dari PAUD sangat terbatas,
sementara banyaknya perkembangan dapat membantu para Bunda PUD untuk
‘melek informasi’ yang akan berpengaruh pada daya kreatifitas pengembangan
sarana pembelajaran untuk anak-anak usia PAUD (Kurniasari,2015).
Perkembangan kognitif menurut Piaget meliputi empat tahap yaitu tahap
sensomotorik (0-2 tahun), pada tahap ini pengetahuan diperoleh melalui interaksi
fisik baik dengan orang tua maupoun benda,Tahap selanjutnya adalah tahap
praoperasional (3-7 tahun), pada tahap ini anak mulai menggunakan simbol-
Page 94
94| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
simbol untuk merepresentasikan dunia (lingkungan) secara kognitif. Pada kedua
masa ini pancaidenra berperan sangat besar karena anak akan lebih mudaj
memahami pengartian dan konsep-konsep melalui menda konkrit, dan disinilah
merupakan momen prose pembelajaran terjadi (Kurniasari, 2015)
Selain proses pembelajaran dan modul pembelajaran, alat bermain adalah
hal yang paling penting untuk anak usia dini. Bermain memiliki peran penting
dalam perkembangan anak.antara lain: (a) Bermain mengembangkan kemampuan
kognitif, (b) Bermain mengembangkan kemampuan motorik, (c) Bermain
mengembangkan kemampuan bahasa, (d) Bermain mengembangkan kemampuan
afektif, (e ) Bermain mengembangkan kemampuan sosial .
Fasilitas dan sarana permaianan edukatif outdoor dan indoor di kedua POS
PAUD ini sangat minim.Jumlah permainannya tidak sebanding dengan jumlah
muridnya. Di PUAD PGRI Banyujuah terdapat 27 murid sedangkan di TK
Pratiwi terdapat 58 murid. Di PAUD PGRI Banyuajuh alatnya dalam kondisi
rusak, sedangkan di PAUD Pratiwi hanya ada ayunan dari bambu dalam kondisi
yang memprihatinkan. Kondisi ini menimbulkan pengaruh terhadap proses belajar
mengajar.
Di sisi tenaga pengajar di TK Pratiwi berjumlah 3 orang jumlah tenaga
pengajar hanya satu yang berstatus sarjana, 2 pengajar lainnya belum sarjana.
Pengajar yang sudah PNS hanya satu, sedangkan dua lainnya berstatus honorer.
Sedangkan di TK Pratiwi jumlah tenaga pengajar hanya 3 orang. Hal ini
diperparah dengan tidak adanya dukungan anggaran dari pemerintah daerah
Bangkalan.
Rendahnya tingkat pendidikan tenaga pengajar mengakibatkan proses
belajar mengajar dan metode pembelajarannya terkesan apa adanya.Hal ini bisa
dilihat dari tidak adanya modul yang dipakai oleh tenaga pengajar. Padahal
berdasarkan sasaran kurikulum PAUD Prinsip prinsip Pengembangan Kurikulum
PAUD harus memperhatikan prinsip sebagai berikut; (1) Relevansi (kurikulum
anak usia dini harus relevan dengan kebutuhan dan perkembangan anak secara
individu), (2) Adaptasi (kurikulum anak usia dini harus memperhatikan dan
Page 95
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |95
mengadaptasi perubahan psikologis, IPTEKS, dan Seni, (3) Kontinuitas
(kurikulum anak usia dini harus disusun secara berkelanjutan antara satu tahapan
perkembangan ke tahapan perkembangan berikutnya dalam rangka
mempersiapkan anak memasuki pendidikan selanjutnya, (4) Fleksibilitas
(kurikulum anak usia dini harus dipahami, dipergunakan dan dikembangkan
secara fleksibel sesuai dengan keunikan dan kebutuhan anak serta kondisi
lembaga penyelanggara, (5) Kepraktisan dan Akseptablitas (kurikulum anak usia
dini harus memberikan kemudahan bagi praktisi dan masyarakat dalam
melaksanakan kegiatan pendidikan anak usia dini, (6) Kelayakan (feasibility)
yaitu kurikulum anak usia dini harus menunjukkan kelayakan dan keberpihakan
pada anak usia dini.(Kurniasari, 2015)
Dari uraian di atas, maka dapat diambil permasalahan inti yang dihadapi
PAUD yaitu :(1) Proses belajar mengajar yang digunakan proses belajar mengajar
terkesan apa adanya. Hal ini bisa dilihat dari tidak adanya modul pembelajaran
sehingga menghambat proses belajar mengajar, (2) Metode pembelajaran tidak
(kurang) memperhatikan kebutuhan, perkembangan dan kondisi anak, (3)
Kompetensi dan kemampuan memahami kurikulum PAUD dan bahan referensi
masih terbatas, mengingat usia tenaga pengajar 50 tahun ke atas, (4) Kemampuan
memahami berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sangat terbatas,
karena jenjang pendidikan tenaga pengajar rata-rata SMA, (5) Jumlah tenaga
pengajar yang minim dan tidak adanya kesempatan untuk mengikuti pelatihan
(kegiatan) yang sifatnya menambah kemampuan mengajar dan nelajar dengan
baik, (6) Sarana dan prasarana sangat tidak memadai, mulai dari tempat yang
masih menyewa, bangunan apa adanya, kurang permainan alat peraga edukatif
(selanjutnya disebut APE) baik di dalam kelas maupun luar kelas, (7) Kurang
pedulinya pemerintah daerah terhadap kondisi ini (tidak ada bantuan pemerintah
daerah), (8) Kepedulian dan persepsi masyarakat yang menganggap bahwa urusan
pendidikan belum dianggap penting.Orang tua lebih mementingkan untuk bekerja
di sawah daripada mendampingi buahhatinya, (9) Persepsi masyarakat tentang
pentingnya pendidikan; Masyarakat Madura banyak yang mempersepsi bahwa
pendidikan formal kurang penting karena tidak langsung bekerja. Asumsi mereka,
Page 96
96| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
lebih baik anaknya tidak meneruskan sekolah asalkan dapat pekerjaan daripada
sekolah tinggi-tingginya tapi belum bekerja.
Beberapa solusi yang bisa dilakukan adalah: (a) Memberikan pemahaman
tentang pentingnya pendidikan anak usia dini berupa pendampingan kepada
pengelola serta tenaga pengajar tentang proses belajar mengajar yang benar
kepada anak didik, (b) Memberikan workshop (pelatihan) kepada tenaga pengajar
dalam hal penyusunan rencana kegiatan pembelajaran, modul dan kurikulum yang
berbasis pada kebutuhan dan perkembangan anak, (c) Memberikan sarana
penunjang pembelajaran yang menciptakan suasana kenyamanan, kreatifitas dan
kebersamaan diantara peserta anak usia dini, (d) Memberikan pelatihan dalam hal
membuat sarana pembelajaran yang kreatif, inovatif dan menyenangkan bagi anak
usia dini, ( e) Memberikan pelatihan berupa kurikulum PAUD yang berbasis pada
kebutuhan dan perkembangan anak usia dini, (f) Memberikan pelatihan berupa
adaptasi kurikulum terhadap perubahan psikologis, IPTEKS dan seni
SIMPULAN
Berdasarkan data yang diperoleh permasalahan yang dihadapi dalam dunia
pendidikan anak di Madura adalah sumberdaya manusia;kualitas program dan
kelembagaan PAUD; minimnya kepedulian orang tuawali anak didik; persepsi
masyarakat tentang pentingnya pendidikan; dan minimnya sarana dan prasarana
yang ada.Solusi yang dilakukan antara lain pelatihan metode pembelajaran bagi
pengajar PAUD, pelatihan pembuatan kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak
didik serta pelatihan pembuatan mainan edukatif.
DAFTAR PUSTAKA
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/lain-lain/sisca-rahmadonna-spd-
mpd/PEMBELAJARAN%20UNTUK%20PAUD.pdf
staff.uny.ac.id/sites/.../PEMBELAJARAN%20UNTUK%20PAUD.pdf
Kurniasari, Netty 2015, Pengabdian dan Ipteks untuk Masyarakat, PAUD,
Surabaya .
Undang-undang Sisdiknas Wawancara dan observasi dengan TK Pratiwi
Wawancara dan observasi dengan TK PGRI Banyuajuh
Page 97
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |97
SUAMI SIAGA: PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM KAITAN
PENURUNAN KEMISKINAN SERTA ANGKA KEMATIAN IBU DAN
BAYI
Titis Puspita Dewi
Magister Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan, Sekolah Pascasarjana, Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta, [email protected] , 08983479782
Abstrak
Kemiskinan di Indonesia belum menunjukkan penurunan yang signifikan. Imbas dari
kemiskinan yang semakin tinggi ini adalah ketidaktercapaian pemenuhan fasilitas
kesehatan dan pendidikan. Salah satu kasus yang hangat mulai dari pelaksanaan MDGs
hingga SDGs diluncurkan sejak tahun 2015 adalah tingginya angka kematian ibu (AKI)
dan angka kematian bayi (AKB). Salah satu cara mengurangi tingginya AKI dan AKB
diperlukan partisipasi aktif dari suami atau laki-laki dalam mendukung proses kehamilan
hingga kelahiran yang dilalui sang istri melalui program suami siaga. Sebagai bentuk
partisipasi aktif dalam PUG dan pelaksanaan SDGs, suami yang sadar terhadap keadilan
serta kesetaraan gender dapat memahami kebutuhan perempuan selama hamil. Studi
kasus yang menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan analisis gender pada
wilayah Kelurahan Tambak Wedi, Kecamatan Kenjeran, Kota Surabaya menunjukkan
progres pencapaian SDGs, dilihat dari 3 (tiga) komponen melalui partisipasi aktif laki-
laki yang menjadi salah satu penggerak ketercapaian SDGs pada sektor pemberantasan
kemiskinan, pencapaian kesehatan yang baik, dan kesetaraan gender.
Kata kunci: kemiskinan, AKI dan AKB, gender, suami siaga
PENDAHULUAN
Kegagalan pada pelaksanaan MDGs (Millenium Development Goals)
seperti belum mampu menurunkan angka kematian ibu, akses sanitasi dan air
minum, serta penurunan prevalansi AIDS dan HIV menjadi pekerjaan rumah bagi
pemerintah dan masyarakat Indonesia selaku pelaksana program. Ibaratnya
menumpuk pekerjaan tambahan, SDGs justru menjadi momok paling
menyeramkan bagi pengambil kebijakan terutama yang sektornya belum mampu
mengatasi masalah pada target MDGs. Tahun 2016 ini diharapkan masyarakat
bekerja sama dengan pemerintah mampu menyelesaikan permasalahan terkait
pencapaian SDGs. Meski ke-17 poin belum pasti bisa dicapai, setidaknya dengan
menyelesaikan permasalahan sebelumnya (tiga poin kegagalan MDGs di
Indonesia) akan meningkatkan kepercayaan diri masyarakat dalam menyokong
terselenggaranya derajat hidup yang baik sesuai standar dunia.
Page 98
98| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Angka kematian anak terkait dengan kemiskinan menurut ringkasan kajian
UNICEF pada Oktober 2012 menunjukkan bila anak-anak dalam rumah tangga
termiskin umumnya memiliki angka kematian balita lebih dari dua kali lipat dari
angka kematian balita di kelompok kuintil paling sejahtera. Hal ini ternyata
disebabkan oleh adanya keterbatasan akses pada fasilitas kesehatan, adanya
praktek kesehatan yang tidak sesuai dengan standar seperti diobatkan pada dukun
bayi, dan tingkat pendidikan orang tua yang rendah.
Derajat kesehatan perempuan dapat ditinjau melalui tingkat Angka
Kematian Ibu (AKI) pada waktu persalinan maupun pasca persalinan, angka
kematian ibu juga merupakan satu dari lima tujuan dari pembangunan milenium
(MDGs – Millennium Development Goals) yakni meningkatkan derajat kesehatan
perempuan dengan capaian target dapat mengurangi angka kematian ibu sampai ¾
pada tahun 2015. Survey terakhir pada tahun 2007 menunjukkan penurunan dari
waktu ke waktu, dari tahun 1994-2015, data yang diperoleh SDKI tingkat
kematian ibu berada pada 228 per 100.000 kelahiran hidup di Indonesia. Meski
data menunjukkan penurunan namun angka 228 masih dalam tingkat tertinggi di
Asia. (Stalker, 2008). Hal tersebut mendorong komitmen dan kerja keras harus
diterapkan demi tercapainya tujuan pembangunan millinium (MDGs).
Angka kematian ibu melahirkan di Indonesia masih tergolong tinggi,
ditunjukkan dari hasil penelitian Woman Research Institute menyebutkan terdapat
13 provinsi di Indonesia yang mengalami angka kematian ibu tinggi, per tahun
2011 terdapat 307 per 100.000 kelahiran lahir. Kenyataan ini jauh tertinggal bila
dibandingkan dengan target nasional tingkat AKI yakni 125 per 100.000 kelahiran
hidup. Sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia menunjukkan
penurunan 35 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2004 menjadi 34 per 1.000 kelahiran
hidup pada tahun 2007. Meski begitu kerja keras dan komitmen yang kuat demi
tercapainya tujuan pembangunan millennium saja, Indonesia belum mampu hal tersebut
dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa realitas angka kematian ibu dan angka
kematian bayi di Indonesia masih cukup tinggi.
Dalam dua rilis serupa dari Woman Research Institute, Bappenas
memperkirakan bahwa pada tahun 2015, AKI di Indonesia masih akan berkisar di
Page 99
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |99
angka 163. Indonesia tertinggal jauh dari Malaysia dan Thailand yang angka
AKInya masing-masing 30 dan 24,7 dan lebih mendekati tingkat AKI Vietnam
(150), Filipina (230), dan Myanmar (380). Indonesia bila dibandingkan dengan
ketiga negara tersebut dari segi fasilitas pelayanan kesehatan tentu lebih baik
namun mengapa jumlahnya masih belum menunjukkan perubahan? Satu lagi
masalah yang membelenggu adalah diterapkannya SDGs dengan target yang
semakin tinggi dibanding MDGs.
Tingginya AKI dan AKB di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain: kondisi sumber daya masyarakat yang rendah kemudian berpotensi
pada status ekonomi yang rendah pula. Status ekonomi ini menjadikan
ketidakmampuan bagi masyarakat dalam menikmati akses fasilitas kesehatan.
Kultur masyarakat pun menjadi faktor penyebab tingginya AKI dan AKB. Pada
budaya masyarakat tertentu terdapat pewarisan nilai-nilai budaya oleh generasi
tua pada generasi selanjutnya, misalnya anjuran untuk lebih memilih pelayanan
kesehatan pada dukun dibanding bidan maupun fasilutas kesehatan modern seperti
rumah sakit. Hal tersebut dilakukan karena nilai yang diwariskan telah
berlandaskan pengalaman oleh generasi tua. Padahal peningkatan kualitas
pelayanan maupun fasilitas kesehatan di tingkat primary health care/puskesmas
telah menjadi pemicu perubahan tingkat Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka
Kematian Bayi (AKB) di Indonesia.
Pada tulisan ini dibahas mengenai studi kasus pemanfaatan fasilitas
kesehatan oleh ibu untuk mengurangi AKI dan AKB sekaligus penulis akan
menunjukkan alternatif berbasis pengarusutamaan gender untuk mengarahkan
pencapaian SDGs di bidang kesehatan sekaligus meningkatkan peran laki-laki
dalam kaitan pengurangan tingkat kemiskinan keluarga dan PUG dalam kajian
pembangunan masyarakat.
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif deskriptif yang berusaha menggali, memahami, dan mencari fenomena
sosial yakni kontruksi masyarakat pra sejahtera terhadap fasilitas kesehatan
sekaligus menangkap beberapa kajian analisis gender dalam kegiatan suami siaga.
Page 100
100| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Tulisan ini menggunakan pendekatan berbasis analisis gender mengingat
keterlibatan laki-laki sekaligus munculnya kesetaraan dalam pembangunan sangat
dibutuhkan untuk mencapai tujuan pelaksanaan SDGs.
PEMBAHASAN
Pembentukan Suami Sadar Kerja dan Komunitas Suami Siaga
Menurut Henrik L. Blum dan E. A. Suchman, terdapat empat pendekatan
untuk mengetahui pola perilaku kesehatan manusia antara lain perilaku itu sendiri,
konsekuensinya, tempat atau ruang lingkup, dan variasi perilaku selama tahap-
tahap perawatan medis. Pada tingkat permulaan sangat berperan penting dalam
pengambilan keputusan karena terdapat tiga dimensi, pertama terjadi rasa sakit
atau rasa yang tidak biasa dirasakan, kedua pengetahuan seseorang terhadap
penyakit tersebut mendorong membuat penafsiran-penafsiran terhadap penyakit
serta gangguan sosialnya, dan ketiga perlu diketahui bahwa kesimpulan pada
tahap pengenalan gejala berbeda satu sama lainnya.
Pada awalnya dapat dianalisis terlebih dahulu mengenai perilaku itu
sendiri, bagaimana kemudian seorang ibu dapat menentukan perilaku yang tepat
untuk mengatasi beberapa gejala-gejala yang kemudian muncul ketika masa
kehamilannya kemudian mengarah pada pengetahuannya terhadap rasa sakit dan
jenis penyakit yang muncul untuk memberikan bentuk pengarahan pada bagian
pemilihan pelayanan kesehatan. Barulah seorang ibu melakukan pengambilan
keputusan berdasarkan latar belakang pilihan sebelumnya. Sedangkan untuk
bahasan mengenai konsekuensi bisa dilihat dari efek pasca pengambilan
keputusan, apakah mendukung atau justru menghambatnya. Barulah hal tersebut
menciptakan variasi dalam pembuatan keputusan, termasuk dalam bahasan
pengambilan keputusan akan pemilihan layanan kesehatan, antara medis dan
tradisional.
Dulu, perempuan Kelurahan Tambak Wedi, Kecamatan Kenjeran memang
tidak memiliki banyak pilihan kepada siapa dan dimana mereka akan melahirkan,
yang ada ketika itu hanya dukun beranak dengan tingkat higienitas dan
keselamatan ibu-bayi yang rendah. Kini, seiring perkembangan zaman dan
Page 101
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |101
terbukanya cakrawala informasi serta pengetahuan mereka akan kesehatan,
mereka lebih banyak menggunakan bidan desa dan puskesmas. Terlebih dukungan
dari suami melalui kegiatan suami siaga (siap, antar, dan jaga) dengan ikrarnya,
kami suami siaga dengan ini berikrar: (1) senantiasa mendampingi istri dalam
pemeriksaan kehamilan, (2) bertindak waspada dalam melihat tanda bahaya
kehamilan, (3) bersama istri menyiapkan persalinan, (4) selalu mendampingi istri
selama kehamilan, saat, dan setelah persalinan, (5) senantiasa mendukung istri
dalam memberikan ASI ekslusif, dan (6) bertanggung jawab atas istri dan buah
hati.
Menjadi salah satu perwujudan pengarusutamaan gender dengan
memasukkan keterlibatan laki-laki dalam mengurangi AKI dan AKB. Hal tersebut
relevan dengan yang dibutuhkan oleh istri atau perempuan selama masa
kehamilannya. Suami yang siaga akan mengurangi tingkat kematian pra dan pasca
melahirkan karena suami selalu berusaha memenuhi kebutuhan istrinya.
Seiring berkembangnya pola pikir kesehatan masyarakat setempat, yang
ditandai dengan bergesernya pola pemilihan fasilitas kesehatan dari dukun ke
tenaga kesehatan (bidan), kebiasaan-kebiasaan yang harus dimiliki oleh ibu-ibu
hamilpun tidak hanya sebatas pada tataran konsumsi. Melainkan juga pada
aktivitas fisik seperti program senam ibu hamil. Namun, karena kelas senam ibu
hamil ini terkendala kuota dan biaya yang cukup mahal dengan kondisi ekonomi
keluarga nelayan pada tingkat subsisten (terbatas) sehingga tidak semua ibu hamil
di kelurahan ini mengetahui keberadaan kelas ibu hamil. Dukungan yang dapat
dilakukan suami dimungkinkan dengan tidak memberikan beban berat kepada istri
selama masa kehamilannya. Misalnya, istri yang biasanya membantu membawa
hasil tangkapan seusai melaut, bisa tidak diperkenankan untuk melakukan hal
tersebut. Selain itu, munculnya program keluarga harapan (PKH) turut membantu
meningkatkan perekonomian keluarga terutama untuk pemenuhan gizi ibu semasa
kehamilannya.
Gangguan kesehatan Pilihan Pengobatan Model Kepercayaan
Kesehatan (Health Belief Model) Cobb, Rosenstock
Pada awal pasca kelahiran, bayi memang rentan dengan segala gangguan
kesehatan seperti demam, asma, muntah, batuk, pilek dan alergi pada susu (dalam
Page 102
102| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
hal ini dapat berupa susu formula ataupun ASI). Ganguan-gangguan kesehatan
yang dialami oleh bayi dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan, bawaan selama
kehamilan, dan kondisi kesehatan sang ibu pasca persalinan. Kondisi lingkungan
masyakat Tambak Wedi termasuk dalam kondisi lingkungan yang kumuh. Banyak
sampah yang dibuang di sembarang tempat. Hal ini dapat mengakibatkan virus
atau bakteri yang dapat menyebabkan bayi terserang gangguan kesehatan.
Gangguan tersebut biasanya dapat berupa diare, mutaber, penyakit kulit dan asma.
Ibu-ibu di Kelurahan Tambak Wedi, pada saat hamil jarang
memperhatikan makanan yang mereka konsumsi. Mengingat mereka termasuk
pada masyarakat miskin sehingga tidak memungkinkan untuk membeli buah-buah
ataupun susu ibu hamil dalam rangka pemenuhan gizi pada saat kehamilan. Hal
ini tentunya akan berdampak pada kesehatan bayi pasca kelahiran. Apabila selama
kehamilan ibu kurang mengkonsumsi makanan yang bergizi, bayi akan mudah
terserang penyakit atau bahkan kecacatan pada saat pasca persalinan. Pemenuhan
nutrisi pada bayi sangat dianjurkan pada ibu-ibu hamil karena pemenuhan nutrisi
yang cukup dapat mempengaruhi tumbuh kembang bayi nantinya. Kemudian,
kondisi kesehatan ibu pasca persalinan juga mempengaruhi kesehatan bayi.
Ibu-ibu di Tambak Wedi lebih memilih memberikan ASI kepada bayi dari
pada susu formula. Bukan karena didukung oleh suami dalam rangka pelaksanaan
suami siaga. Namun alasan utamanya adalah biaya untuk membeli susu formula
yang cukup besar. Apabila ibu telah memilih ASI sebagai makanan pokok bayi,
maka kesehatan ibu sangat mempengaruhi kualitas ASI. Sehingga dibutuhkan
peran suami dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan ibu dan bayi.
Sebagian besar masyarakat Kelurahan Tambah Wedi memperoleh bantuan PKH
dan seluruh pemanfaatannya memang digunakan untuk memenuhi kebutuhan
pokok seperti pendidikan dan kesehatan. Sedangkan kehidupan sehari-hari masih
bertumpu pada hasil tangkapan yang diperoleh suami.
Seperti yang dikatakan oleh Peter L. Blum bahwa pola perilaku pencarian
kesehatan berubah-ubah karena dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Ibu-ibu
Tambak Wedi memilih untuk pergi ke bidan bukan karena kesadaran pribadi dan
dukungan dari laki-laki (suami) namun akibat mulai sulitnya mencari dukun anak
Page 103
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |103
yang awalnya menjadi rujukan ibu saat bayi sakit dan kendala biaya yang ternyata
hanya bisa ditutup dengan keikutsertaan pada fasilitas kesehatan formal.
Pandangan tersebut membawa masyarakat pada konsep Model Kepercayaan
Kesehatan (Health Belief Model) Cobb, Rosenstock, yakni membentuk sebuah
kepercayaan tersendiri oleh masyarakat kepada keberadaan Bidan Kelurahan.
Konstruksi Sosial, Peter L. Berger dan Nuansa PUG
Pada dasarnya Peter L. Berger menyatakan bahwa konstruksi merupakan
produk manusia atas peristiwa-peristiwa yang dialami secara rutin oleh individu
dan dialami bersama oleh orang lain dalam sebuah pola yang disebut taken for
granted. Jika dikorelasikan dengan fenomena di atas maka konstruksi atas
ketidakpahaman akan dunia kesehatan terlebih pada aspek terselenggaranya suami
siaga dan penggunaan fasilitas kesehatan formal ternyata dilatarbelakangi oleh
kebiasaan-kebiasaan sebelum mereka dibenturkan dengan kebijakan tersebut.
Tingkat kultur yang masih terbilang ortodok terindikasi menjadi faktor utama
yakni lebih mengutamakan dukun dibandingkan dengan tenaga kesehatan
mengingat cara kerja dari seorang dukun terbilang baik dan pengobatannyapun
terbilang alamiah.
Pada dasarnya kesehatan ibu ketika hamil tidak hanya penting bagi bayi
yang berada di dalam kandungan namun juga bagi ibu itu sendiri, baik sebelum,
ketika, dan sesudah proses persalinan. Pemeriksaan, perawatan, serta pertolongan
menjelang proses kelahiran menjadi persoalan yang krusial. Tidak hanya karena
pertolongan kelahiran membantu menekan angka kematian bayi namun juga dapat
menekan angka kematian ibu. Pemilihan pelayanan kesehatan tersebut memang
tidak hanya sebatas persoalan kepada siapa para ibu hamil tersebut akan meminta
pertolongan namun juga ditentukan oleh kemampuan ekonomi dan kondisi
sosiokultural dimana mereka berada. Sosiokultural sangat berperan besar dalam
proses pengambilan keputusan oleh ibu hamil dalam memilih kemana ia harus
berobat. Sesuai dengan konsep Henrik L. Blum tentang Perubahan Perilaku
Pelayanan Kesehatan, keberadaan lingkungan memberikan pengaruh pada proses
pengambilan keputusan tersebut.
Page 104
104| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Pandangan ibu-ibu Tambak Wedi mengenai bidan adalah orang yang dapat
membantu mereka dalam menyembuhkan gangguan-gangguan kesehatan yang
dialami oleh bayi. Tidak hanya gangguan kesehatan, melainkan juga kontrol
mengenai tumbuh kembang bayi. Bidan di sini berfungsi sebagai konselor.
Pelayanan yang diberikan membuat ibu-ibu yakin memilih bidan sebagai
pengganti dukun yang tidak mempunyai dasar ilmu kebidanan secara pasti.
Pandangan tersebut membawa masyarakat pada konsep Model Kepercayaan
Kesehatan (Health Belief Model) Cobb, Rosenstock, yakni membentuk sebuah
kepercayaan tersendiri oleh masyarakat kepada keberadaan Bidan Kelurahan.
Gambaran di atas merupakan sebuah proses riil terbentuknya sebuah
konstruksi pada masayarakat Kelurahan Tambak Wedi, Kecamatan Kenjeran,
Kota Surabaya. Inilah yang dimaksud oleh Alfred Schutz sebagai bentuk
interpretasi subyektif atau seringkali disebut sebagai konstruksi subyektif
masyarakat. Pemahaman yang kemudian menjadi sebuah penilaian terhadap
sebuah realitas pelayanan kesehatan dan pola pencarian pengobatan sekaligus
mempengaruhi pola perilaku dalam penetapan keputusan kepercayaan
masyarakat.
Namun konstruksi sosial yang salah mengenai posisi dukun bayi telah
dapat pula dikurangi dengan masuknya program pengarusutamaan gender (PUG)
dalam pembangunan. Gender menjadi perbincangan paling hangat saat ini. Tidak
hanya di Indonesia namun juga mancanegara. Adapun pengertian tentang gender
misalnya menurut Nugroho (2011: 9), gender sebagai “pembedaan peran
perempuan dan laki-laki di mana yang membentuk adalah konstruksi sosial, jadi
bukan karena konstruksi yang dibawa sejak lahir”.
Jika “jenis kelamin” adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir, maka “gender”
adalah sesuatu yang dibentuk karena pemahaman yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat. Misalnya, perempuan bertugas membesarkan dan mengasuh
anak dan laki-laki bekerja mencari nafkah adalah pembedaan yang bersifat
“gender”. (Nugroho, 2011: 9)
Bila mengkaji masalah gender, tentu tidak akan habis membahasnya dalam
satu kacamata saja. Gender meliputi konstruksi sosial dan kultural yang
berhubungan dengan laki-laki dan perempuan. Seperti yang telah dipaparkan
Page 105
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |105
sebelumnya bila gender, tidak lantas membahas tentang perempuan dan
kondisinya di masyarakat namun lebih daripada itu, laki-laki turut ikut serta di
dalamnya. Entah nanti akan berperan ke arah pendukung kesetaraan atau
melanggengkan ketidakadilan, bergantung pada analisis sekaligus pembuktian
yang rigid melalui penelitian mendalam. Inpres No 9 tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional mengamanatkan
agar setiap lembaga pemerintah memasukkan dimensi kesetaraan dan keadilan
gender (KKG) dalam setiap tahapan kegiatan pembangunannya, baik pada tahap
perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasi. Tujuannya adalah
agar perempuan dan laki-laki mempunyai kesempatan dan berpartisipasi serta
memiliki kontrol dan manfaat yang sama dalam pembangunan sehingga pada
akhirnya dapat mengurangi ataupun mempersempit kesenjangan gender
diberbagai bidang kehidupan.
Mengapa kemudian biasanya hanya perempuan saja yang hangat
dibicarakan bila berhubungan dengan gender? Karena kerapkali perempuan
menjadi nomor kesekian atau subordinate di masyarakat. Dalam tulisannya, Fakih
(2008: 15) menyatakan “anggapan bahwa perempuan irrasional atau emosional
sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya
perempuan pada posisi yang tidak penting”. Oleh karena itu, muncul istilah
kesetaraan gender untuk memomosikan perempuan pada jenjang yang sama
dengan laki-laki. Bahkan lebih daripada itu, di Indonesia telah diupayakan adanya
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Sosial melalui Inpres No. 9 tahun
2000 (Nugroho, 2011: 11). Sehingga kini perhatian gender tidak hanya “hak
milik” perempuan namun juga milik bersama dan diatur oleh negara. Perhatian
negara terhadap kepentingan sekaligus hak perempuan dalam pembangunan
menjadi jelas melalui peraturan yang disepakati.
Negara yang dulunya hanya fokus terhadap pemberian bantuan dana untuk
mengurangi tingkat kemiskinan yang ada di masyarakat, kini beralih dengan
memberdayakan perempuan melalui program pemberdayaan ekonomi perempuan.
Mengingat di wilayah Kelurahan Tambak Wedi, perempuan sudah tidak lagi
diminta untuk membantu suaminya setelah selesai melaut bahkan mencari
Page 106
106| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
penghasilan sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup tentu membuktikan dari
segi pemberdayaan atau untuk mengurangi ketidakberdayaan perempuan di luar
rumah sudah tidak lagi terjadi.
Adapun fokus aktivitas pemberdayaan ekonomi perempuan di wilayah ini
adalah dengan memberikan bantuan Program Keluarga Harapan (Bantuan
langsung kepada perempuan, balita dan anak sekolah terkait kesehatan dan
pendidikan). Hal ini justru lebih membantu daripada sekedar membuat pelatihan
agar perempuan lebih berdaya dari segi perekonomian. Selain itu, mulai
digalakkannya program Suami Siaga sebagai bagian dari keikutsertaan laki-laki
dalam menyukseskan pelaksanaan SDGs dengan mengurangi angka kematian ibu
dan bayi merupakan salah satu progress yang baik.
Dari kasus yang dibahas dalam tulisan ini, tiga poin target pencapaian
SDGs dapat dicapai meski belum memberikan progress terkait jumlah dalam
statistik. Namun secara konstruksi sosial, masyarakat telah berubah dan
memberikan kontribusi aktif untuk menyelenggarakan SDGs di wilayah mereka.
Apabila dilihat segi ekonomi, kemiskinan penduduk yang ditargetkan dapat
semakin menurun hingga mencapai angka separuh dari jumlah laki-laki_,
perempuan, dan anak-anak yang mengalami kemiskinan di tahun 2030.
Keterlibatan laki-laki dalam mendukung sekaligus memberikan stimulus
baik bagi istri selama masa kehamilan tentu akan memberikan pencapaian target
berkurangnya angka kematian ibu hingga 70 jiwa 100.000 kelahiran hidup atau
kematian bayi dan balita yang dapat dicegah, dengan seluruh negara berusaha
menurunkan Angka Kematian Neonatal setidaknya hingga 12 per 1.000 KH dan
Angka Kematian Balita 25 per 1.000 KH sesuai target sistem kesehatan nasional
yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2015.
Sedangkan bentuk kesetaraan gender yang dapat dimasukkan atau
ditargetkan berhasil adalah adanya pemberian pengakuan dan nilai pada
pelayanan tak berbayar dan pekerja rumah tangga dengan penyediaan kebijakan-
kebijakan layanan umum, infrastruktur dan jaminan sosial, serta promosi
pembagian tanggung jawab dalam rumah tangga dan keluarga sesuai dengan
kondisi nasional sesuai target sistem kesehatan nasional yang dibuat oleh
Page 107
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |107
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2015. Sekaligus
menciptakan kesadaran pada laki-laki apabila kehamilan sepenuhnya bukan hanya
tanggung jawab perempuan atau istri. Suami pun perlu ikut serta dalam
pencapaian kehamilan yang sehat. Dengan menjadi suami siaga, diharapkan selain
memenuhi kebutuhan gizi, suami turut menjadi pendorong keikutsertaan
perempuan dalam rangka pendidikan kesehatan ibu dan bayi maupun akses
kesehatan formal seperti puskesmas.
Apabila suami yang menurutnya belum mampu memenuhi kebutuhan
secara harafiah melalui pemberian nafkah yang sesuai dengan kebutuhan sehari-
hari, suami dapat melakukan partisipasi aktif misalnya ikut serta dalam program
keluarga harapan (PKH) dan tidak memanfaatkan dana yang ada tersebut sebagai
kepentingan pribadi. Tidak jarang beberapa masyarakat di sana, memanfaatkan
dana PKH tersebut sebagai “dana jagan” atau berjaga-jaga apabila ditagih hutang
oleh tengkulak atau pemilik kapal. Namun bila kesadaran laki-laki untuk tidak
mengambil keuntungan dari dana tersebut dan peruntukkannya diperjelas melalui
pemanfaatan untuk dana pendidikan dan kesehatan tentu AKI dan AKB bisa
menurun meski belum mampu ditargetkan jumlahnya. Program PUG di sini bukan
hanya memberikan akses kepada perempuan untuk lebih berdaya namun juga
menyadarkan laki-laki tentang pentingnya kesadaran gender.
Ketika laki-laki lantas masih buta terhadap gender bagaimana mungkin ia
akan peduli dengan kesehatan maupun pemenuhan kebutuhan istrinya yang
tengah hamil. Partisipasi aktif laki-laki dalam mengubah konstruksi sosial yang
berkembang di masyarakat pun demikian. Ketika istri hendak pergi ke dukun bayi
yang menurut mereka lebih mumpuni dibanding dengan bidan kelurahan, suami
sebagai bagian dari gerakan suami siaga dapat mengingatkan atau mengantarkan
istrinya pada fasilitas kesehatan formal. Dengan demikian, kesetaraan gender
tidak hanya memosisikan perempuan pada posisi sejajar namun penghargaan atas
posisi tersebut yang justru menjadi roh dari kesetaraan gender.
SIMPULAN
Pada dasarnya peran laki-laki atau suami dalam perlindungan dan
pemenuhan kebutuhan perempuan atau istri semasa kehamilan merupakan suatu
Page 108
108| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
yang urgent. Kaitan hal ini adalah pemberian perhatian kepada perempuan dalam
rangka pemberian kesempatan untuk mengakses fasilitas kesehatan yang baik
sekaligus sebagai bagian dari partisipasi aktif menyukseskan program SDGs.
Alasan kemiskinan yang menjadi penyebab tingginya Angka Kematian Ibu (AKI)
dan Angka Kematian Bayi (AKB) yang tinggi bukan merupakan ukuran atau
takaran lagi mengingat progress keikutsertaan laki-laki untuk menjadi aktor
pengurangan kemiskinan dan AKI-AKB sekaligus memberikan ruang pada
perempuan di ruang publik terutama akses yang sama dalam bidang kesehatan
memberikan perhatian khusus dari pemerintah dan masyarakat untuk
menyukseskan SDGs secara bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. 2015. Garis Kemiskinan, Jumlah dan
Persentase Penduduk Miskin Menurut Daerah Tempat Tinggal, Maret
2008 s/d September 2015. Surabaya.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. 2015. Gini Rasio Menurut
Kabupaten/Kota Tahun 2008 - 2014. Surabaya.
Fauzi Muzaham. 1995. Memperkenalkan Sosiologi Kesehatan. Jakarta: UI Press.
George Ritzer. 2011. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta:
Rajawali Press.
Intruksi Presiden Tahun 2000 Nomor 9 tentang Pengarusutamaan Gender. Jakarta
Kompas, “Angka Kematian Ibu Dapat Diturunkan; Edisi Kesehatan Ibu dan
Anak”, 23 Januari 2010, h. 36. dalam Woman Research Institute. 2010.
Kemiskinan:Penyebab Tingginya Angka Kematian Ibu. Jakarta.
Momon Sudarma. 2008. Sosiologi Untuk Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.
Nugroho, Riant. 2011. Gender dan Strategi Pengarusutamaannya di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Stalker, Peter. 2008. Millennium Development Goals. (Online).
(www.undp.or.id,diakses 13 Juni 2016).
UNICEF Indonesia. 2012. Ringkasan Kajian yang dikembangkan oleh UNICEF
Indonesia. Jakarta: UNICEF
Page 109
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |109
MODEL UKM PRODUSEN KRIPIK MELALUI OPTIMALISASI
PEMANFAATAN UMBI INFERIOR
Sukma Perdana Prasetya
Universitas Negeri Surabaya, [email protected]
Endryansyah
Universitas Negeri Surabaya, [email protected]
Retnani
Universitas Negeri Surabaya, [email protected]
Absrtrak
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) meningkatkan keterampilan sumber daya manusia di
bidang kripik; (2) peningkatan produktivitas kripik melalui rekayasa dan pemanfaatan
Teknologi Tepat Guna. Untuk dapat mencapai sasaran tersebut, akan dilakukan penelitian
dengan metode survai, observasi, wawancara dan eksperimen di lokasi UKM, yaitu di Ds.
Bangsal, Kec. Bangsal, Kab. Mojokerto yang digunakan sebagai role model dalam
penelitian ini. Penelitian dilakukan selama tiga tahun. Pada tahun pertama ini, mencakup
tahapan: (1) Optimalisasi kesadaran pengusaha UKM produsen kripik dalam
mengupayakan merek dagang serta pengaruhnya terhadap eksistensi UKM; (2)
peningkatan produksi kripik melalui rekayasa dan pemanfaatan Teknologi Tepat Guna.
Penelitian pada tahun pertama memperoleh hasil sebagai berikut: (1) kesadaran para
produsen kripik terhadap merk dagang sudah bagus, sehingga bagi produsen kripik yang
belum memiliki merk dagang, diharapkan segera mengurusnya; (2) pemanfaatan Mesin
Pengupas Kulit Bahan Baku Kripik (MPKBBK) dapat meningkatkan kapasitas produksi
sebesar 366,66%; (3) pemanfaatan Mesin Perajang Bahan Baku Kripik (MPBBK) dapat
meningkatkan produktivitas rajangan bahan baku kripik sebesar 340 %; (4) pemanfaatan
Mesin Pencuci Rajangan Bahan Baku Kripik (MPRBBK) produktivitas meningkat
sebesar 400 %,; (5) pemanfataan Mesin Peniris Air (MPA) dapat meningkatkan
produktivitas sebesar 337,50 %; (6) pemanfaatan Mesin Peniris Minyak (MPM) dapat
meningkatkan produktivitas penirisan sebesar 250%.
Kata Kunci: Umbi Inferior, UKM, Produsen Kripik
PENDAHULUAN
Umbi inferior merupakan umbi yang belum banyak dibudidayakan dan
belum banyak diolah menjadi produk turunannya. Ketersediaan umbi inferior di
Indonesia sangat berlimpah, sebab umbi inferior tumbuh secara liar dan mudah
dibudidayakan. Sebagian besar jenis umbiinferior yang dibudidayakan
diantaranya adalah: garut, ganyong, gadung, uwi, gembili, uwi katak, kimpul,
talas belitung, suwek, yang masing-masing mempunyai ragam pada tingkat
spesiesnya (Kasno, dkk, 2006).
Potensi biologik jenis tanaman umbi-inferioradalah sangat besar,
karena jenis atau ragamnya banyak, persyaratan tumbuhnya tidak terlalu tinggi
Page 110
110| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
dan mampu menghasilkan energi yang cukup tinggi. Akan tetapi pemanfaatan dan
pengolahan umbi inferior selama ini, belum dilakukan secara optimal. Pada
umumnya umbi-inferior hanya diolah dengan cara perebusan dan penggorengan.
Menurut Ginting (1994) jenis produk olahan umbi-inferior
umumnya masih berbentuk olahan segar berupa ubi rebus (49,1%), ubi goring
(27,2%), kolak (15,5%), sawut (4,5%), getuk (3,4%) dan carang mas (<1%).
Pengolahan dengan cara yang masih tradisional tersebut, belum mampu
menciptakan nilai tambah ekonomi yang signifikan, lantaran umur produk olahan
tersebut masih sangat pendek. Fenomena ini menunjukkan, betapa pemanfaatan
umbi-inferior masih dalam skala yang sangat terbatas, dan belum dipikirkan
bagaimana membuat produk olahan dengan umur yang yang lebih panjang. Pada
hal umbi-inferior dapat diolah menjadi berbagai produk makanan seperti kripik
talas, kripik ketela ungu, kripik ganyong dan lain-lain, yang memiliki umur yang
relative panjang. Hal ini terjadi karena para UKM Produsen kripik, adalah mereka
yang pada umumnya penuh dengan segala kelemahan dan keterbatasan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa pemanfaatan umbi-inferior untuk
maksud pangan masih sangat terbatas. Pada hal para UKM dapat dengan mudah
mengolah umbi inferior tersebut menjadi aneka produk makanan (seperti kripik
talas, kripik ketela ungu, kripik ganyong, kripik ketela madu, kripik gadung, roti
wortel dan lain-lain). Namun UKM produsen kripik (pengolah umbi-inferior)
pada umumnya memiliki berbagai keterbatasan. Berdasarkan survai awal di
Sentra Industri Kripik (Ds. Bangsal, Kec. Bangsal, Kab. Mojokerto), beberapa
keterbatasan UKM produsen kripik adalah: (1) Merek Dagang yang belum
menjadi perhatian para pelaku UKM (dari sebanyak 90-an lebih UKM produsen
kripik, hanya 2 (dua) UKM yang telah memiliki merek dagang secara resmi; (2)
alat-alat produksi yang masih konvensional; (3) keterampilan sumber daya
manusia (SDM) yang masih rendah; (4) terbatasnya pengetahuan tentang
diversifikasi produk; (5) model kemasan yang masih tradisonal; (6) rendahnya
kemampuan menjalin kerjasama dagang; dan (7) model pemasaran yang juga
masih tradisional. Kelemahankelemahan seperti itu, harus dicarikan solusi,
mengingat kontribusi UKM terhadap pertumbuhan dan ketahanan ekonomi
Page 111
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |111
nasional sangatlah besar. Melalui kegiatan PENPRINAS MP3EI 2011- 2025, akan
diadakan evaluasi terhadap kelemahan UKM produsen kripik di Desa Bangsal,
Kecamatan Bangsal, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur.
Penelitian ini meliputi tiga tahun pelaksanaan. Pada tahun pertama ini
penelitian bertujuan untuk (1) Optimalisasi kesadaran pengusaha UKM produsen
kripik dalam mengupayakan Merek Dagang serta pengaruhnya terhadap eksistensi
UKM kripik; (2) peningkatan produksi kripik melalui rekayasa dan pemanfaatan
Teknologi Tepat Guna (TTG) yaitu mesin (pengupas, perajang, pencuci dan
peniris).
UKM Produsen kripik yang telah dikembangkan tersebut, diharapkan
menjadi UKM yang: (1) tangguh dan mampu mengolah umbi-inferior secara
efektif dan efesien melalui pemanfaatan teknologi tepat guna (TTG), sehingga
harga satuan produksi menjadi murah, yang berarti memiliki daya saing yang
tinggi; (2) mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas produk olahan dengan
bahan baku umbi-inferior; (3) mampu berperan sebagai mesin pencipta lapangan
kerja baru, dalam rangka pemerataan pendapatan masyarakat; (4) mampu
meningkatkan kontribusi terhadap ketahanan pangan nasional; dan (5) makin
mampu meningkatkan diri sebagai mesin penggerak ekonomi nasional.
METODE
Untuk dapat mencapai sasaran tersebut, akan dilakukan penelitian dengan
metode survai, observasi, wawancara dan eksperimen di lokasi UKM, yaitu di Ds.
Bangsal, Kecamatan Bangsal, Kabupaten Mojokerto yang digunakan sebagai
rolemodel dalam penelitian ini.
Page 112
112| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Gambar 1. Tahapan Kegiatan yang sedang dan akan dilaksanakan
Page 113
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |113
PEMBAHASAN
Sosialisasi dan optimalisasi atas kesadaran para pengusaha UKM yang
tergolong dalam kelompok produsen kripik dalam mengupayakan Merek
Dagang serta pengaruhnya terhadap eksistensi UKM kripik
Telah diadakan sosialisasi dan pemahaman terhadap merk dagang bagi
para produsen kripik di Desa Bangsal, Kecamatan Bangsal, Kabupaten Mojokerto.
Para produsen kripik, perlu mengupayakan “Merek Dagang” dalam rangka
menjaga keberlangsungan UMKM Kripik termasuk UMKM “Dian Putri Jaya”.
Sosialisasi diadakan terhadap 35 orang peserta. Pada akhir acara sosialisasi,
kesadaran dan pemahaman produsen kripik diukur dengan menggunakan
instrument survai. Dari 35 orang peserta sosialisasi, yang dapat diukur kesadaran
dan pemahamannya terhadap “merk dagang” adalah sebanyak 32 orang, dengan
hasil seperti tampak pada Tabel 1. berikut.
Tabel 1. Kesadaran Produsen Kripik terhadap Merk Dagang (N=35)
Dari Tabel 1 tersebut dapat diketahui bahwa terhadap pernyataan butir 1,
responden menyatakan setuju sebanyak 5 orang dan sangat setuju sebanyak 28
orang atau sebanyak 33 orang (94,28 %) menyatakan setuju dan sangat setuju
terhadap pernyataan bahwa “masyarakat akan ragu membeli suatu produk
termasuk produk kripik, jika produk tersebut tidak memiliki nama atau merk”.
Terhadap butir 2, responden menyatakan setuju sebanyak 3 orang dan sangat
Page 114
114| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
setuju sebanyak 29 orang atau sebanyak 32 orang ( 91,42%) menyatakan setuju
dan sangat setuju terhadap pernyataan bahwa “untuk dikenal oleh masyarakat,
suatu produk termasuk produk kripik perlu memiliki nama atau merk”. Terhadap
pernyataan butir 3, sebanyak 3 orang menyatakan setuju, dan sebanyak 29 orang
menyatakan sangat setuju, atau sebanyak 32 orang (91,42 %) menyatakan setuju
dan sangat setuju terhadap pernyataan bahwa “dengan merk, kemasan produk
kripik bisa dibuat dengan baik dan menarik”. Jika digambar dalam bentuk
diagram batang, tampak seperti Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Diagram Batang Kesadaran Produsen Kripik terhadap “Merk Dagang”
Dari Tabel 1 juga dapat diketahui bahwa terhadap pernyataan butir 4,
responden menyatakan setuju sebanyak 7 orang dan sangat setuju sebanyak 27
orang atau sebanyak 34 orang (97,14 %) menyatakan setuju dan sangat setuju
terhadap pernyataan bahwa “Dengan merk, produk kripik mudah diingat oleh
masyarakat”. Terhadap butir 5, responden menyatakan setuju sebanyak 6 orang
dan sangat setuju sebanyak 29 orang atau sebanyak 35 orang (100 %) menyatakan
setuju dan sangat setuju terhadap pernyataan “Dengan merk, produk kripik mudah
dipesan”. Terhadap pernyataan butir 6, sebanyak 10 orang menyatakan setuju, dan
sebanyak 25 orang menyatakan sangat setuju, atau sebanyak 35 orang (100 %)
menyatakan setuju dan sangat setuju terhadap pernyataan bahwa “dengan merk,
hak produsen kripik dapat dilindungi”. Jika digambar dalam bentuk diagram
batang, tampak seperti Gambar 2 di bawah ini.
Page 115
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |115
Gambar 2 Diagram Batang Kesadaran Produsen Kripik terhadap “Merk Dagang”
Gambar 3. Diagram Batang Kesadaran Produsen Kripik terhadap “Merk Dagang”
Masih dari Tabel 1, dapat diketahui bahwa terhadap pernyataan butir 7,
responden menyatakan setuju sebanyak 8 orang dan sangat setuju sebanyak 22
orang atau sebanyak 30 orang (85,71%) menyatakan setuju dan sangat setuju
terhadap pernyataan butir 7. Terhadap butir 8, responden menyatakan setuju
sebanyak 12 orang dan sangat setuju sebanyak 22 orang atau sebanyak 34 orang
(97,14%) menyatakan setuju dan sangat setuju terhadap pernyataan butir 8.
Terhadap pernyataan butir 9, sebanyak 14 orang menyatakan setuju, dan sebanyak
Page 116
116| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
21 orang menyatakan sangat setuju, atau sebanyak 35 orang (100 %) menyatakan
setuju dan sangat setuju terhadap pernyataan butir 9, bahwa “dengan merk,
produk kripik mudah dipasarkan melalui webb/blok, sehingga dikenal masyarakat
secara global’. Jika digambar dalam bentuk diagram batang, tampak seperti
Gambar 3 di atas.
Dengan demikian berdasarkan data-data dan analisis seperti dipaparkan di
atas, dapat disimpulkan bahwa kesadaran para produsen kripik di Desa Bangsal,
Kecamatan Bangsal, Kabupaten Mojokerto terhadap merk dagang, sudah bagus.
Dengan kesadaran tersebut diharapkan bagi produsen kripik yang belum memiliki
merk dagang segera mengurusnya. Dengan merk dagang tersebut,
keberlangsungan produsen kripik dapat dipertahankan, bahkan peluang
peningkatan pendapatan produsen kripik UKM/UD Dian Putri Jaya menjadi
sangat terbuka lebar.
Mesin Teknologi Tepat Guna (TTG) Pengolah Kripik
Hasil rancang bangun mesin teknologi tepat guna (TTG) pengolah kripik
ini terdiri dari mesin pengupas kulit bahan baku kripik (MPKBBK), mesin
perajang kripik (MPK), mesin pencuci rajangan kripik (MPRK), mesin peniris air
(MPA) dan mesin peniris minyak (MPM). Sebelum dioperasikan secara terus-
menerus, mesin TTG ini perlu diuji secara teknis (baik secara umum, maupun
secara khusus). Metode yang dikembangkan adalah uji kelayakan teknis dan uji
kinerja masing-masing mesin TTG pengolah kripik. Tujuan pengujian adalah
untuk mendapatkan data-data kinerja mesin pada kondisi optimum, sedangkan
manfaatnya adalah untuk memberikan rekomendasi tentang pengoperasian mesin
pada kondisi/titik optimum yang dapat dicapai. Masing-masing mesin beserta
pengujiannya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Mesin Pengupas Kulit Bahan Baku Kripik (MPKBBK)
Sebelum digunakan operasional secara penuh, dalam rangka meningkatkan
produktivitas UKM Dian Putri Jaya, perlu diadakan uji kelayakan teknis dan
kinerja terhadap MPKBBK. Hasil uji kelayakan teknis seperti tampak pada Tabel
2 di bawah ini.
Page 117
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |117
Tabel 2. Hasil uji Kelayakan Teknis Mesin Pengupas Kulit Bahan Baku
Kripik (MPKBBK) dengan Putaran Mesin (n) =2800 rpm
Berdasarkan hasil uji kelayakan teknis seperti tampak pada Tabel 2, dapat
disimpulkan bahwa Mesin Pengupas Kulit Bahan Baku Kripik (MPKBBK) dapat
dioperasionalkan secara penuh dalam rangka mengupas bahan baku kripik
UKM/UD. Dian Putri Jaya. Mesin MPKBBK, memiliki kapasitas 35 kg/jam.
Mesin ini dapat meningkatkan kapasitas produksi sebesar (35-7,5) :7,5 x 100% =
366,66% dibanding kapasitas produksi secara manual tradisional 7,5 kg/jam.
Dengan kenaikan kapasitas produksi ini, maka ongkos satuan produksi menjadi
lebih murah, yang berarti meningkatkan daya saing produk, sesuai dengan
tuntutan era pasar bebas Asean (MEA) 2015.
2. Mesin Perajang Bahan Baku Kripik (MPBBK)
Tabel 3. Uji Kinerja Mesin Perajang Bahan Baku Kripik (MPBBK) dengan 7
(tujuh) Variasi Ketebalan (Putaran mesin =2800 rpm)
Page 118
118| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Berdasarkan hasil uji kinerja disimpulkan bahwa MPBBK dapat dioperasikan
secara penuh dalam rangka meningkatkan produktivitas kripik. Dengan
pemanfaatan MPBBK, produktivitas kripik dapat ditingkatkan rata-rata menjadi
55 kg/jam atau (55-12,5): 12,5 x 100% = 340 % atau produktivitas rata-rata
meningkat sebanyak 340 % dibanding produktivitas secara manual tradisional
sebanyak 10kg/jam. Dengan kenaikan produktivitas ini, harga satuan produksi
menjadi rendah, yang berarti kemampuan daya saing produksi menjadi
meningkat.
3. Mesin Pencuci Rajangan Bahan Baku Kripik (MPRBBK)
Bahan baku kripik yang telah dirajang, perlu dicuci dengan menggunakan
mesin pencuci rajangan kripik (MPRBBK).
Tabel 4. Hasil Uji Kinerja Mesin Pencuci Rajangan Bahan Baku Kripik
(MPRBBK) dengan 5 (lima) Variasi Berat Rajangan Kripik (kg) (n =
2800 rpm)
Berdasarkan hasil uji kinerja MPRBBK seperti tampak pada Tabel 5.6 di atas,
bahwa untuk mencuci dengan kualitas baik rajangan bahan baku kripik seberat 3
kg, dibutuhkan waktu selama 2,5 menit, MPRBBK membutuhkan daya listrik
sebesar 85 watt. Selanjutnya untuk mencuci dengan kualitas baik, secara berturut-
turut rajangan kripik seberat 4 kg, 5 kg, 6 kg, dan 7 kg, masing-masing
membutuhkan waktu selama 3,5 menit, 4 menit, 4,5 menit dan lima menit, dan
membutuhkan daya listrik (P), masing-masing secara berturut-turut adalah sebesar
95 watt, 100 watt, 110 watt, dan 120 watt. Dari data ini dapat diketahui bahwa
makin berat rajangan bahan baku kripik yang dicuci, makin lama waktu
pencucian, dan makin besar daya listrik yang dibutuhkan.
Page 119
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |119
Dengan pemanfaatan MPRBBK, produktivitas rata-rata pencucian rajangan
bahan baku kripik dapat ditingkatkan menjadi 50 kg/jam atau produktivitas rata-
rata meningkat sebanyak (50-10):10 x 100% % =400 %, dibanding produktivitas
secara manual tradisional sebanyak 10kg/jam. Dengan kenaikan produktivitas ini,
maka harga satuan produksi menjadi rendah, yang berarti kemampuan daya saing
produksi menjadi lebih meningkat.
4. Mesin Peniris Air (MPA)
Tabel 5 Hasil Uji Kinerja Mesin Peniris Air (MPA)
Untuk memperoleh hasil penirisan rajangan bahan baku kripik dengan baik,
maka makin berat rajangan bahan baku kripik yang telah dicuci, waktu yang
diperlukan untuk penirisan makin lama, dan daya listrik (P) yang dibutuhkan juga
makin besar. Kapasitas MPA adalah 35kg/jam, yang berarti dapat meningkatkan
produktivitas= (35-8):8x100%=250% dibanding produktivitas secara manual
sebanyak 8kg/jam.
Jika rajangan kripik yang telah dicuci, dapat ditiriskan dengan baik (kadar air
yang terkandung kecil), maka waktu rata-rata penggorengan kripik dapat
dilakukan lebih cepat, dan pemakaian minyak goreng rata-rata menjadi lebih
hemat, yang berarti menurunkan harga satuan produksi, sehingga kemampuan
daya saing lebih meningkat. Hal ini sejalan dengan tuntutan era pasar besar Asean
(MEA), dimana Indonesia harus mampu bersaing dengan negara-negara di
kawasan Asean.
5. Mesin Peniris Minyak (MPM)
Rajangan bahan baku kripik yang telah ditiriskan (untuk mengurangi kadar
airnya), proses selanjutnya rajangan bahan baku kripik tersebut adalah digoreng.
Page 120
120| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Untuk mengurangi kadar minyak pada kripik, perlu dilakukan penirisan dengan
mesin peniris minyak (MPM).
Tabel 6 Hasil Uji Kinerja Teknis Mesin Peniris Minyak (MPM) (n= 2800 rpm)
Kapasitas MPM adalah 30kg/jam, yang berarti dapat meningkatkan
produktivitas= (30-10):10x100% =250% dibanding produktivitas secara manual
sebanyak 10 kg/jam. Penirisan minyak terhadap kripik yang telah digoreng,
menjadi titik kritis dari seluruh proses pembuatan kripik, dan seberapa banyak
tingkat kadar minyak dalam kripik menjadi penentu kualitas dan umur kripik yang
bersangkutan. Karena itu wajar jika titik kritis ini perlu mendapat perhatian UD.
Dian Putri Jaya, dan para pengusaha kripik pada umumnya.
Jika kripik yang telah digoreng dapat ditiriskan dengan baik (kadar minyak
yang terkandung adalah kecil), maka kualitas kripik akan lebih bagus, tidak
tengik, dan umur rata-rata kripik akan menjadi lebih lama. Jika kualitas kripik
seperti itu dapat dicapai, maka kemampuan daya saing produk kripik menjadi
lebih meningkat, yang berarti akan mampu bersaing di lingkungan pasar bebas
Asean (MEA).
SIMPULAN
1. Berdasarkan hasil survai terhadap peserta sosialisasi merk dagang, kesadaran
para produsen kripik di Desa Bangsal, Kecamatan Bangsal, Kabupaten
Mojokerto terhadap merk dagang, sudah bagus. Dengan kesadaran tersebut
diharapkan bagi produsen kripik yang belum memiliki merk dagang segera
mengurusnya. Dengan merk dagang tersebut, keberlangsungan produsen kripik
Page 121
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |121
dapat dipertahankan, bahkan peluang peningkatan pendapatan produsen kripik
termasuk UKM/UD Dian Putri Jaya menjadi sangat terbuka lebar;
2. Hasil rancang bangun mesin teknologi tepat guna (TTG) pengolah kripik terdiri
dari mesin pengupas kulit bahan baku kripik (MPKBBK), mesin perajang bhan
baku kripik (MPBBK), mesin pencuci rajangan kripik (MPRK), mesin peniris
air (MPA) dan mesin peniris minyak (MPM) telah teruji kelayakan dan
kinerjanya;
3. Pengaruh pemanfaatan masing-masing mesin TTG terhadap kapasitas dan
peningkatkan produktivitas kripik UD. Dian Putri Jaya adalah sebagai berikut:
a. Pemanfaatan MPKBBK dapat meningkatkan kapasitas produksi pengupasan
kulit bahan baku kripik sebesar 35kg/jam atau sebesar 366,66% dibanding
kapasitas produksi secara manual sebanyak 7,5 kg/jam; b. Pemanfaatan
MPBBK, dapat meningkatkan produktivitas rata-rata rajangan bahan baku
kripik menjadi 55 kg/jam atau produktivitas rata-rata meningkat sebesar 340 %
dibanding produktivitas secara manual sebanyak 12,5kg/jam; c. Pemanfaatan
MPRBBK, dapat meningkatkan produktivitas rata-rata pencucian rajangan
bahan baku kripik menjadi 50 kg/jam atau produktivitas rata-rata meningkat
sebesar 400 %, dibanding produktivitas secara manual sebesar 10kg/jam; d.
Pemanfataan MPA dapat meningkatkan produktivitas rata-rata penirisan air
menjadi 35kg/jam atau produktivitas rata-rata meningkat sebesar 337,50 %
dibanding produktivitas secara manual sebanyak 8 kg/jam; e. Pemanfaatan
MPM dapat meningkatkan produktivitas penirisan minyak terhadap kripik
menjadi 30kg/jam atau terjadi peningkatan produktivitas rata-rata sebesar
250% dibanding produktivitas secara manual sebanyak 10 kg/jam; f.
Kandungan kadar minyak yang rendah pada kripik, akan meningkatkan kualitas
produk kripik, produk kripik tidak tengik, dan umur rata-rata produk kripik
akan menjadi lebih lama.
DAFTAR PUSTAKA
Arfiningsih, Y. 2004. Perencanaan Usaha Cepiring Kimpul. Tugas Akhir.
Jurusan Teknologi Jasa dan Produksi. Fakultas Teknik. Universitas Negeri
Semarang.
Page 122
122| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Ginting, E. 1994. Proporsi Penggunaan Ubi Jalar dalam Menu Sehari-hari dalam
Rangka Pengurangan Konsumsi Beras. Edisi khusus Balittan Malang 3 :
136-144.
Kasno, A., N. Saleh dan E. Ginting. 2006. Pengembangan Pangan Berbasis
Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian Guna Pemantapan Ketahanan
Pangan Nasional. Buletin Palawija no 12. 43-45.
Marinih,M. 2005. Pembuatan Keripik Kimpul Bumbu Balado dengan Tingkat
Pedas yang berbeda. Tugas Akhir. Jurusan Teknologi Jasa dan Produksi.
Fakultas Teknik. Univeristas Negeri Semarang.
Muliawan, D. (1991). Pengaruh berbagai Tingkat Kadar Air terhadap
Pengembangan Kripik Sagu Goreng. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan
dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Bogor.
Muslim, Supari. (2009). “Pengembangan model pemberdayaan masyarakat miskin
perkotaan di Surabaya”. Laporan Penelitian. Surabaya: Universitas Negeri
Surabaya.
Kristiastuti, D. (2011). Model Pemasaran UKM Produsen Kripik lewat kerjasama
dagang dan pemasaran online di Kabupaten Sidoarjo” . Surabaya: Laporan
Penelitian. Bappeprov Jawa Timur.
Subekti, E.I. (1998). Optimasi Perencanaan Produksi Industri Kripik Udang/Ikan
di Perusahaan Kripik Indrasari Indramayu Jawa Barat. Skripsi. Jurusan
Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Bogor.
Sulistiyowati, A. 1999. Membuat Keripik Buah dan Sayur. Jakarta: Puspa Swara.
Witjaksono, A.D. 2011. Perkuatan Usaha Kripik Jamur Champignon Organik
Berbahan Limbah Industri Pengalengan Jamur Sebagai Upaya
Peningkatan Pendapatan Masyarakat Di Desa Cowek Kecamatan
Purwodadi Kabupaten Pasuruan. Laporan Kemajuan Pengabdian Kepada
Masyarakat. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
Page 123
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |123
STRATEGI KOMUNIKASI CSR DAN PENINGKATAN KEMANDIRIAN
MASYARAKAT: STUDI DESKRIPTIF KUALITATIF STRATEGI
KOMUNIKASI PROGRAM CSR KONSERVASI KAWASAN LAUT
BADAK LNG DI KOTA BONTANG
Miftah Faridl Widhagdha
Universitas Gadjah Mada; [email protected] ; +62-8222-7872-444
Abstrak Kerusakan ekosistem laut di wilayah Kalimantan Timur salah satunya disebabkan oleh
adanya pengeboman ikan illegal dalam skala besar oleh nelayan lokal yang telah terjadi
selama bertahun-tahun. Aktifitas ilegal itu terjadi karena rendahnya tingkat kesejahteraan
dan pendidikan masyarakat sehingga menyebabkan kurangnya kesadaran masyarakat
terhadap kelestarian lingkungan. Badak LNG sebagai perusahaan gas alam cair yang
berada di Bontang, Kalimantan Timur percaya bahwa mereka mempunyai tanggung
jawab sosial untuk ikut menyelesaikan masalah tersebut melalui kegiatan CSR
Konservasi Kawasan Laut yang bekerja sama dengan kelompok nelayan Kedo-Kedo
Sunu Abadi untuk merehabilitasi terumbu karang dan menyediakan penghasilan
tambahan bagi masyarakat untuk jangka panjang secara keberlanjutan. Tujuan dari
penelitian ini untuk mengetahui pelaksanaan strategi komunikasi program CSR dan
keberlanjutannya. Metodologi yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan
pengumpulan data melalui informan kunci, observasi dan telaah pustaka. Strategi
komunikasi program CSR Konservasi Kawasan Laut yang diinisiasi oleh Badak LNG
sesuai dengan model pendekatan yang disampaikan oleh Cutlip & Center melalui
identifikasi masalah di masyarakat, pelaksanaan strategi komunikasi melalui sosialisasi
yang intens dan evaluasi program dengan pendekatan Penilaian Masyarakat Desa yang
Partisipatoris (PRA).
Kata Kunci : Corporate Social Responsibility, Konservasi Kawasan Laut, Partisipatory
Rural Appraisal
PENDAHULUAN
Di Bontang, Kalimantan Timur, kerusakan terumbu karang sudah terjadi
sejak puluhan tahun lalu diakibatkan oleh aktifitas manusia berupa : Penangkapan
ikan menggunakan Bom Ikan berbahan pupuk urea, Penangkapan ikan
menggunakan Belat (sejenis alat penangkap ikan tradisional terbuat dari bambu
yang ditancapkan ke terumbu karang), Penangkapan ikan menggunakan Bubu
(alat tangkap ikan tradisional terbuat dari rotan yang menggunakan terumbu
karang sebagai alat sandaran supaya bubu tidak terbawa arus), Pengambilan
terumbu karang untuk bahan bangunan dan cinderamata (Arni, 2004).
Penggunaan Bom Ikan menjadi kegiatan yang paling massif dan berdampak buruk
terhadap terumbu karang dan biota laut di Laut Bontang. Akibat dari penggunaan
Page 124
124| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Bom Ikan tersebut, Dinas Tata Ruang Kota Bontang pada tahun 2007 melansir
data bahwa 1.402 Ha terumbu karang di perairan Kota Bontang rusak parah dari
total 2.802 Ha luas terumbu karang di wilayah Bontang (Dohang, 2013).
Penggunaan bom ikan sendiri menurut Arni (2004) terjadi karena dua hal, yaitu
rendahnya taraf ekonomi masyarakat dan rendahnya tingkat pendidikan
masyarakat pesisir Kota Bontang, sehingga mereka menggunakan cara – cara
yang ilegal dan membahayakan keselamatan untuk mendapatkan hasil tangkapan
yang lebih banyak daripada menggunakan alat tangkap tradisional. Apalagi, data
BPS (2014) menunjukkan bahwa masyarakat pesisir Kota Bontang yang
berprofesi di sektor Non Migas mempunyai pendapatan per kapita sebesar Rp
62.208.766 sedangkan masyarakat yang berprofesi di sektor Migas menghasilkan
pendapatan per kapita sebesar Rp 355.781.786. Data ini menunjukkan adanya
kesenjangan kesejahteraan antara masyarakat yang bekerja di sektor non migas
dan sektor migas.
Penelitian ini melihat pelaksanaan program CSR Konservasi Kawasan
Laut dari kajian komunikasi yang meliputi strategi komunikasi dan proses-proses
komunikasi yang terjadi dalam pelaksanaan program tersebut, melalui beberapa
tahapan komunikasi antara lain: Fact Finding, Planning, Communicating, dan
Evaluation (Susanto, 1989). Tahapan-tahapan komunikasi tersebut menjamin
pelaksanaan program sesuai kaidah yang berlaku sehingga pelaksanaannya dapat
sesuai dengan tujuan dilaksanakannya CSR oleh Badak LNG. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana Badak LNG dalam melaksanakan Strategi
Komunikasi Program CSR Konservasi Kawasan Laut melalui 4 (Empat) tahap
komunikasi, yaitu : (1) Fact Finding, (2) Planning, (3) Communicating, (4)
Evaluation.
Strategi pada dasarnya adalah perencanaan dan pengelolaan untuk
mencapai tujuan. Namun strategi tidak hanya berfungsi sebagai penunjuk arah
saja, melainkan turun kepada konsep operasionalnya juga (Uchjana, 2014).
Artinya pendekatan operasional dan praktis ini bisa berubah sewaktu – waktu
tergantung pada situasi dan kondisi yang ada. Strategi komunikasi menurut Pace,
Peterson & Burnett dalam Uchjana (2014).mempunyai tujuan utama untuk,
Page 125
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |125
pertama, to secure understanding, memastikan bahwa komunikan mengerti pesan
yang disampaikan. Kedua, setelah komunikan mengerti pesan yang diterima,
maka komunikan harus dibina (to establish acceptance). Terakhir, untuk
dimotivasikan ke dalam perilaku (to motive action).
Untuk mencapai tujuan utama komunikasi, yang harus diperhatikan adalah
pendapat Schramm & Robert (1971) tentang proses komunikasi yang tidak bisa
dilepaskan dari lingkungan sosial (field of experience) dan dipengaruhi oleh
konteks hubungan (context of relationship). Konteks hubungan ini diartikan
sebagai pengalaman, pengetahuan, ketrampilan komunikasi, keadaan sosial dan
sikap yang samaa sehingga proses komunikasi yang terjadi antar komunikator dan
komunikan dapat dimengerti dan berjalan lancar. Gangguan komunikasi yang
muncul dan menyebabkan gagalnya komunikasi terjadi karena ketidaksamaan
lingkungan sosial dan ketiadaan konteks hubungan yang kuat antar komunikator
dan komunikan. Kegagalan komunikasi dapat menyebabkan efek yang diharapkan
dari proses komunikasi tidak tercapai sesuai rencana. Maka agar komunikasi
berjalan efektif dan tujuan dari komunukasi itu tercapai apabila terdapat banyak
kesamaan lingkungan sosial antara komunikator dan komunikannya.
Public Relations menurut Jefkins (1992) adalah “Public Relations consist
of all from of planned communication, outwards and inwards, between an
organizations and its public for the purpose of achieving specific objectives
concerning mutual understanding”. Dalam melakukan komunikasinya, Public
Relations menggunakan perencanaan yang terpadu dan berkesinambungan
sehingga kepentingan organisasi dapat tercapai dengan baik tanpa harus
meniadakan kepentingan publik. Untuk itu, Public Relations sebagai pelaksana
komunikasi menggunakan strategi komunikasi dalam setiap tahapan managerial
komunikasi menurut Cutlip dan Center dalam Susanto P. A., (1989) antara lain (1)
Fact Finding (Menyelidiki temuan), Tahap ini meliputi penelitian pendapat, sikap
dan reaksi publik, serta pengumpulan data. Disini dapat diketahui masalah apa
yang sedang dihadapi. (2) Planning (Merencanakan), Integrasi dengan kebijakan
yang ada pada organisasi. Pada tahap ini dapat ditentukan pilihan-pilihan rencana
aksi yang akan diambil serta orang-orang yang akan melaksanakan strategi
Page 126
126| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
komunikasi. (3) Communicating (Melaksanakan komunikasi), Rencana-rencana
komunikasi yang telah disusun pada tahap Planning kemudian harus
dikomunikasikan dengan semua pihak yang terlibat dan berkepentingan
(stakeholder) sesuai dengan metode yang sesuai. Dalam tahap Communicating,
dijelaskan tindakan yang diambil serta tujuan dari tindakan tersebut. Tahap
Communicating menurut Morrisan (2008) meliputi serangkaian kegiatan,
diantaranya sebagai berikut (i) Memberi tahu banyak publik sasaran, baik itu
internal maupun eksternal, mengenai tindakan yang akan dilakukan, (ii)
Mempersuasi publik sasaran untuk berperan aktif dalam bentuk dukungan dan
penerimaan mengenai tindakan yang dimaksud, (iii) Mendorong publik sasaran
yang telah menentukan sikap mendukung dan menerima untuk melakukan
tindakan yang dimaksud. (4) Evaluation (Penilaian), Pada tahap ini, penilaian-
penilaian atas suatu kegiatan meliputi keberhasilan, masalah yang timbul, dan hal-
hal lain terkait pelaksanaan kegiatan. Hasil dari pelaksanaan suatu kegiatan
komunikasi menjadi luaran yang dihasilkan dalam tahap evaluasi dan dijadikan
bahan bagi perencanaan selanjutnya.
Corporate Social Responsibility (CSR) didefinisikan sebagai Hubungan
antara perusahaan dengan /komunitas lokal baik itu penduduk maupun karyawan
untuk meminimumkan dampak negative dan memaksimumkan dampak positif
operasional perusahaan dalam ranah ekonomi, social dan lingkungan untuk
mencapai tujuan secara keberlanjutan (David & Aras, 2008; CSR Indonesia,
2013).
Marrewijk dalam Menatallah & El-Bassiouny (2013) mengklasifikasikan
teori CSR ke dalam tiga kategori dasar. Pertama, pendekatan pemegang saham
bahwa perhatian utama perusahaan adalah memaksimalkan keuntungan untuk
kepentingan pemegang saham. Kedua, pendekatan pemangku kepentingan bahwa
pemangku kepentingan di perusahaan harus bertanggung jawab atas peran
masing-masing dalam aktifitas operasional dalam mencari keuntungan. Ketiga,
pendekatan sosial, yang memandang perusahaan bertanggung jawab atas penuh
terhadap masyarakat di sekitar perusahaan. Perusahaan dianggap sukses ketika
mampu mendapat kepercayaan public (public trust) dalam operasional
Page 127
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |127
perusahaannya dengan memenuhi kebutuhan dan kepuasan masyarakat di sekitar
perusahaan.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang bertujuan
untuk menggambarkan data melalui kata-kata atau uraian penjelasan yang
bersumber pada hasil wawancara mendalam, observasi partisan, dokumentasi,
rekaman, dan bukti-bukti fisik lainnya. Data primer dalam penelitian ini
merupakan data yang bersumber dari hasil wawancara dengan sample.
Pengambilan sample dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive
sampling. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan
wawancara, observasi dan telaah pustaka. Peneliti mengambil data dalam kurun
waktu April 2014 di Kota Bontang.
Karena penelitian ini bersifat deskriptif, setelah semua data terkumpul,
berdasarkan pendapat Miles & Huberman yang dikutip dari Sugiyono (2009)
maka akan dianalisis menggunakan teknis analisis interaktif yang pada dasarnya
terdiri dari tiga komponen, antara lain : Reduksi data (Data Reduction), Penyajian
data (Data Display), Penarikan kesimpulan dan Verifikasi Kesimpulan (Drawing
and Verifying Conclusions).
PEMBAHASAN
1. Fact Finding (Penemuan Masalah)
Penemuan masalah (Fact Finding) yang menjadi dasar pelaksanaan CSR
Badak LNG merupakan hasil dari usulan masyarakat, kajian pihak ketiga melalui
Pemetaan Sosial (Social Mapping) dan Koordinasi dengan pemerintah daerah
selaku stakeholders perusahaan. Penemuan masalah melalui usulan masyarakat
dilakukan melalui metode Participatory Rural Appraisal, yang melibatkan
masyarakat dalam menentukan masalah apa yang sedang mereka hadapi. Chamber
(1994) menyebutkan, Participatory Rural Apprasisal adalah pendekatan dan
metode untuk mempelajari tentang kehidupan masyarakat dari, dengan dan oleh
masyarakat sendiri. Sedangkan Wiwik (2007) menjelaskan Participatory Rural
Appraisal adalah suatu pendekatan dalam proses pemberdayaan dan peningkatan
Page 128
128| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
partisipasi masyarakat, yang tekanannya pada keterlibatan masyarakat dalam
keseluruhan kegiatan pembangunan.
Komunikasi yang terjalin antara Badak LNG dengan masyarakat dalam
menemukan masalah ini sesuai dengan pendekatan PRA yang melibatkan
masyarakat dalam memberikan penilaian dan pendapat tentang masalah yang
dihadapi dan cara menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan kebisaan
masyarakat. Berdasarkan pendekatan PRA, identifikasi masalah yang ditemukan
antara lain (1) Nelayan sebagai profesi mayoritas masyarakat di daerah pesisir
secara turun temurun, (2) Tingkat Pendidikan dan Ekonomi masyarakat yang
rendah, (3) Penggunaan Bahan Peledak untuk mencari ikan sebagai cara
masyarakat mendapatkan ikan dengan jumlah banyak.
2. Planning (Perencanaan)
Perencanaan Program CSR Konservasi Kawasan Laut merupakan bentuk
dari Program Pemberdayaan Masyarakat (Society Empowerment) yang bertujuan
untuk mengembangkan kemandirian ekonomi masyarakat melalui berbagai usaha
mandiri, sementara perusahaan terlibat dalam memberikan bantuan yang bersifat
partisipatoris berdasarkan kebutuhan masyarakat (Badak LNG, 2014). Maka
untuk itu dalam tahap perencanaan ditemukan beberapa temuan yang berpengaruh
pada tahap perencanaan program antara lain (1) Komitmen Perusahaan, (2)
Pemetaan Sosial, (3) Usulan Masyarakat, (4) Usulan Pemerintah Daerah (Forum
CSR).
Selain itu juga ditemukan tahap perencanaan program yang digambarkan
dalam bagan berikut :
Page 129
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |129
Gambar 1.3 : Tahap Perencanaan Program CSR Badak LNG
3. Communicating (Pelaksanaan Komunikasi)
Strategi Komunikasi dilakukan oleh Tim CSR untuk mengelola
komunikasi dengan masyarakat dalam melaksakanan Program CSR terutama
kelompok masyarakat yang menjadi mitra binaan Badak LNG. Melalui Strategi
Komunikasi yang dibangun, perusahaan melakukan aktifitas komunikasinya
kepada kelompok sasaran dalam tahapan Sosialisasi Program, yang merupakan
tahapan untuk membangun hubungan dan berkomunikasi dengan stakeholders
terkait, seperti Instansi Pemerintah, Perusahaan, LSM dan masyarakat sekitar.
Pada Tahap Sosialisasi Program ini, Badak LNG juga aktif terlibat dalam forum –
forum yang diselenggarakan masyarakat untuk lebih dekat dengan masyarakat
sehingga aspirasi dan masukan – masukan untuk program bisa terserap dengan
baik sesuai dengan prinsip Participatory Rural Apprasial.
Aktifitas Sosialisasi Program oleh Badak LNG juga sesuai dengan
penjelasan Schramm mengenai peran penting Lingkungan Sosial (frame of
reference) dan Konteks Hubungan (context of relationship) sebagai dua aspek
yang perlu dijaga agar komunikasi berjalan efektif. Badak LNG mencoba untuk
menyamakan pemahaman atas permasalahan yang dihadapi masyarakat dan
harapan yang ada di masyarakat dengan cara berada sedekat mungkin dengan
Page 130
130| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
masyarakat. Kedekatan yang dibangun Badak LNG pada akhirnya menimbulkan
modal sosial yang kuat untuk menjalankan program CSR dengan terciptanya two
ways communications yang berkesinambungan. Modal Sosial seperti dikatakan
Field (2011) adalah utamanya soal hubungan. Dengan membangun hubungan
dengan masyarakat dan menjaganya untuk terus berlangsung, seseorang atau
organisasi bisa mencapai berbagai hal yang tidak dapat dilakukan sendirian (Field,
2011). Lebih lanjut, Putnam dalam Field (2011) mengatakan bahwa dalam
hubungannya dengan ekonomi, modal sosial mendorong kinerja ekonomi secara
keseluruhan lebih baik dalam masyarakat yang terkait erat daripada masyarakat
yang tidak banyak menjalin hubungan.
Keterlibatan Badak LNG dalam forum – forum masyarakat menjadi
kunci untuk membangun hubungan baik dengan masyarakat untuk memetakan
kebutuhan masyarakat secara bersama - sama. Membangun kedekatan dan
hubungan baik ini menurut Miller & Steinber dalam Tubbs & Moss (2010)
dinyatakan sebagai hubungan antarpersona yang berkualitas tinggi, sehingga
informasi yang bersifat psikologis lebih penting dibandingkan informasi yang
bersifat kultural maupun sosiologis. Pada praktiknya, tim CSR perusahaan lebih
banyak menggali faktor – faktor psikologis, selain tentunya faktor kultural dan
sosiologis untuk dapat mengetahui permasalahan yang berkembang dimasyarakat.
Hubungan baik dengan masyarakat inilah yang pada akhirnya
menimbulkan hubungan timbal balik antara masyarakat dan perusahaan. Apabila
hubungan timbal balik itu tercipta, harapannya adalah keamanan opersaional
perusahaan akan terjaga terutama untuk meminimalkan konflik antara perusahaan
dengan masyarakat, sehingga perusahaan dapat meningkatkan citra perusahaan
selain tentunya untuk membantu dan mengembangkan masyarakat sekitar.
4. Evaluating (Evaluasi)
Evaluasi Program CSR Konservasi Kawasan Laut menghasilkan beberapa
pencapaian, yang terbagi dalam tiga aspek utama, antara lain (1) Dampak
Lingkungan : direhabilitasnya lahan perairan seluas 0,5 hektar melalui program
penanaman terumbu karang buatan, berkurangnya aktifitas pengeboman ikan. (2)
Dampak Ekonomi : munculnya unit usaha baru yang dikelola oleh masyarakat,
Page 131
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |131
meningkatnya variasi jenis ikan budidaya, meningkatnya jumlah ikan yang
dibudidayakan, meningkatnya omzet kelompok melalui usaha pembuatan terumbu
karang buatan dari tahun 2012 sebesar 195%, terjadi peningkatan pendapatan di
antara anggota sebesar 227%. (3) Dampak Sosial : meningkatnya kebisaan dan
kapasitas masyarakat dalam mengelola unit usaha bersama, meningkatnya
kemampuan masyarakat dalam mengolah batok kelapa menjadi terumbu karang
buatan yang bernilai ekonomis, menguatnya ikatan antar anggota, meningkatnya
lembaga swadaya masyarakat yang terlibat dalam program ini, meningkatknya
peran pemerintahan yang terlibat dalam program ini.
Meskipun pelaksanaan strategi komunikasi program CSR sudah
dilaksanakan sesuai kaidah yang berlaku dan telah mencapai tujuan pelaksanaan
program, namun pada praktiknya tetap dijumpai hambatan - hambatan yang
terjadi dilapangan baik dikarenakan faktor teknis dan non-teknis. Beberapa
hambatan komunikasi yang terjadi antara lain (1) Lemahnya peran ketua
kelompok sebagai Opinion Leader, (2) Lemahnya keterlibatan anggota dalam
pemecahan masalah.
SIMPULAN
Peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa aspek perencanaan strategi
komunikasi telah dilakukan Badak LNG melalui pendekatan Participatory Rural
Appraisal yang menjadi kunci untuk mengetahui dengan baik permasalahan yang
dihadapi oleh masyarakat dan bersama-sama merumuskan solusi yang dekat
dengan kebiasaan masyarakat. Kemampuan Badak LNG untuk melaksanakan
tahapan komunikasi merupakan apresiasi tersendiri di tengah minimnya praktik-
praktik komunikasi pembangunan yang melibatkan masyarakat dan berhasil
mencapai kebermanfaatan yang dapat dirasakan oleh banyak pihak.
Namun peneliti ingin memberikan saran kepada Badak LNG dalam
pelaksanaan Program CSR Konservasi Kawasan Laut agar lebih optimal, antara
lain (1) Penguatan peran ketua kelompok sebagai tokoh kunci (Opinion Leader)
dalam masyarakat sebagai fasilitator program CSR, (2) Perusahaan perlu
mendorong keterlibatan anggota dalam pemecahan masalah di kelompok karena
Page 132
132| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
peneliti menemukan temuan bahwa kebanyakan anggota bersikap pasif terhadap
pesan – pesan komunikasi yang disampaikan kepada mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Arni, K. (2004). Kajian Faktor-Faktor Penyebab Kerusakan Terumbu Karang di
Perairan Bontang Kuala dan Alternatif Penanggulangannya. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Badak LNG, C. C. (2014). Community Development Badak LNG. Bontang: Badak
LNG.
BPS. (2014). Bontang Dalam Angka 2013. Bontang: BPS.
Chamber, R. (1994). The Origin and Practice of Participatory Rural Appraisal.
Journal of World Development, Vol.22, No.7, 953-969.
CSR Indonesia. (2013, March 3). Tantangan dan Peluang Perkembangan CSR di
Indonesia. Retrieved from A+ CSR Indonesia:
http://csrindonesia.com/tantangan-peluang-perkembangan-csr-indonesia/
David, C., & Aras, G. (2008). Corporate Social Responsibility. Ebook: Ventus
Publishing.
Dohang, U. (2013, November 13). Regional Kalimantan. Retrieved from Tribun
News: http://www.tribunnews.com/regional/2013/11/13/1402-hektare-
terumbu-karang-di-laut-bontang-rusak
Field, J. (2011). Modal Sosial. Bantul: Kreasi Wacana.
Jefkins, F. (1992). Public Relations Edisi Keempat. Jakarta: Erlangga.
Menatalallah, D., & El-Bassiouny, N. (2013). An Introspect into the Islamic Roots
of CSR in the Middle East: the Case of Savola Group in Egypt. Social
Responsibility Journal, Vol.9, No.3, 365.
Morrisan. (2008). Manajemen Public Relations: Strategi Menjadi Humas
Profesional. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Soemanto, B. (2007). Sustainable Corporation: Implementasi Hubungan
Harmonis antara Perusahaan dan Masyarakat. Gresik: PT Semen Gresik.
Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: CV
Alfabeta.
Susanto, A. (2009). Reputation-Driven Corporate Social Responsibility. Jakarta:
Erlangga.
Susanto, P. A. (1989). Komunikasi dalam Teori dan Praktik Jilid III: Hubungan
Masyarakat dan Periklanan. Bandung: Bina Cipta.
Uchjana, E. O. (2014). Dinamika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Wiwik, P. D. (2007). Participatory Rural Appraisal. Bandung.
Page 133
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |133
MEWUJUDKAN EKOWISATA BERBASIS NELAYAN TANGKAP
Heri Saputro
Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil (Pupuk) Surabaya.
Email: [email protected] . HP: 085645432960
Abstract:
Coorporate Social Responsibility (CSR) translated on ISO26000 as the responsibility of
an organization for the impact of decisions and activities on society and the environment.
PGN SAKA as oil and gas exploration company operating in Ujungpangkah block in
cooperation with the Association for advancement of Small Businesses ( PUPUK )
Surabaya to run one of its CSR program Ecotourism.The location of the program, namely
: Rural Pangkahwetan, Pangkahkulon, Banyuurip and NgembohUjungpangkah District of
Gresik. The purpose of this program is to preserve and utilize the biological wealth is
located in the coastal region. One approach is to run this program, are : Supply and
demand side approach.Various programs have been conducted in 2014-2016 to support
CSR program is the first ecotourism, establishment and institutional strengthening,
including: youth, fishermen, fisherman's wife and the PKK. Second, the establishment of
Mangrove and Environmental Concern Group Banyuurip( KPMLB ). Third, the
construction of nurseries of mangrove and cypress shrimp. Fourth, Reforestation
ecotourism locations is currently around 2 hectares. Fifth, construction of facilities to
support ecotourism.Sixth, Developmen UKM Center.Seventh, the formation of regulatory
documents on ecotourism village.Eight, involvement of a third party for the promotion of
ecotourism.Nine, preparation of the strategic plan of ecotourism.Ten, construction of
infrastructure and learning facilities for all parties mangrove.
Key Word: CSR PGN SAKA , Ecotourism and community empowerment
PENDAHULUAN
Coorporate Social Responsibility (CSR) atau tanggungjawab sosial
diterjemahkan pada ISO26000 sebagai tanggung jawab suatu organisasi atas
dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan.
Salah satu isu dalam tujuh subyek inti dalam ISO26000 adalah Pelibatan dan
Pengembangan Masyarakat atau Community Involvement and Development
(CID/CSR) yang meliputi pelibatan masyarakat, pendidikan dan kebudayaan,
penciptaan lapangan kerja dan peningkatan keterampilan, pengembangan dan
akses atas teknologi, kesejahteraan dan peningkatan pendapatan, kesehatan dan
investasi sosial.
Perencanaan program CID/CSR dapat mengacu pada Sustainable
Development Goals (SDGs)dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Di dalam
konteks RPJMN, setidaknya ada tiga norma yang dinilai penting dalam SDGs.
Page 134
134| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Pertama, perencanaan pembangunan ditujukan untuk manusia dan masyarakat.
Kedua, peningkatan kesejahteraan dan produktivitas manusia tanpa menciptakan
ketimpangan yang cukup besar. Ketiga, pembangunan tidak boleh merusak dan
mengurangi daya dukung lingkungan.
Salah satu program CSR PGN SAKA bidang lingkungan adalah program
ekowisata. Program ini diharapkan bisa memperbaiki kondisi lingkungan alam
Ujungpangkah saat ini sedang mengalami kritis. Berdasarkan catatan Balai Besar
KSDA JawaTimur, pada tahun 70-an kawasanini merupakan belantara mangrove
yang menyimpan keanekaragaman hayati tinggi, hal ini terbukti dengan
digunakannya daerah ini sebagai daerah persinggahan burung pengembara
(migran) yang berasal dari benua Eropa menuju Australia.
Akan tetapi, padabeberapa tahun terakhir luas hutan mangrove di
Kecamatan Ujungpangkah menurun. Salah satu penyebabnya adalah akibat
aktivitas masyarakat seperti: penebangan pohon, reklamasi pantai untuk perluasan
pemukiman, industri galangan kapal dan perluasan tambak untuk budidaya ikan.
Berdasarkan data DinasPerikanan dan Kelautan Jawa Timur tahun 2009, lahan
mangrove di pantai Ujungpangkah seluas 84,1 ha rusak akibat ditebangi oleh
nelayan. Kayu mangrove digunakan oleh masyarakat sebagai bahan bangunan
maupun kayu bakar sebagai pengganti minyak tanah.
Kerusakan mangrove salah satunya juga dipengaruhi oleh adanya aktivitas
perluasan lahan tambak. Diketahui dari data BPS 2015, empat desa yang
mendapatkan bantuan CSR PGN SAKA merupakan desa yang memilikitambak
yang cukup luas. Berdasarkan data diperoleh, Ngembohtanahtambaknya seluas
6,75 Ha, Banyuurip 77,35 Ha, Pangkahkulon 1550,22 Ha dan Pangkahwetan
seluas 2003,03 Ha. Pada Desa Ngemboh puluhan hektar lahan mangrove rusak
karena adanya reklamasi pantai untuk perluasan industri galangan kapal (Berita
Metro, 18/07/2016).
Dari berbagai permasalahan tersebut, PGN SAKA selaku perusahaan
eksplorasi migas yang beroperasi di blok Ujungpangkah bekerjasama dengan
Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil (PUPUK) Surabaya untuk
menjalankan salah satu program CSR-nya, yaitu: Ekowisata. Dengan adanya
Page 135
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |135
ekowisata ini diharapkan akan mampu meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam menjaga kelestarian lingkungan. Tujuan dari program ini adalah
melestarikan dan memanfaatkan kekayaan hayati yang terletak di wilayah pesisir.
Manfaat program ekowisata ini adalah pertama, munculnya partisipasi aktif
masyarakat untuk melestarikan dan memanfaatkan kekayaan hayati di wilayah
pesisir. Kedua, menumbuhkan dan meningkatkan produktivitas usaha mikro kecil
dan menengah (UMKM) berbasis pesisir.Ketiga, sebagai referensi bagi
stakeholder yang akan mengembangkan ekowisata mangrove.
METODE
Program ini akan dilakukan dengan menggunakan beberapa pendekatan; (1)
Supply and demand side approach.Program ini akan dilakukan dengan
memperhatikan dua komponen penting sebagai pendekatan utama yaitu:
melibatkan pemerintah baik ditingkat kabupaten, kecamatan dan desa untuk
menyediakan kerangka kebijakan, program dan layanan yang sinergi (Supply
side) untuk memperkuat pengembangan ekonomi komunitas dan memperkuat
peran atau keterlibatan masyarakat dan khususnya masyarakat sekitar pesisir dan
pendukung Busines Development Services (BDS) sebagai pengelola ekowisata /
UMKM untuk mendorong kebijakan, program dan layanan pemerintah yang
merespon kebutuhan masyarakat (demand side); (2) Memperkuat keterlibatan
masyarakat dan kelompok perempuan; (3) Kampanye media termasuk media
sosial; (4) Keberlanjutan dan Replikasi.Pola keberlanjutan yang bisa didorong
selain melalui kebijakan yang ada baik ditingkat kabupaten maupun desa, juga
mendorong upaya pemerintah daerah untuk mendanai kegiatan lanjutan
pengembangan ekowisata. Selain itu, akan mengembangkan pendekatan dengan
mendorong replikasi di daerah-daerah lainnya yang tidak terkena dampak proyek.
Lokasi program terletak di Kecamatan Ujungpangkah, Kabupaten Gresik,
Provinsi Jawa Timur, meliputi desa sebagai berikut: Pangkahwetan,
Pangkahkulon, Banyuurip, dan Ngemboh.
Page 136
136| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Konsep Program
Konsep yang digunakan dalam melakukan program ini menggunakan
teori perubahan. Teori perubahan pada dasarnya menjelaskan bagaimana sebuah
komunitas akan mewujudkan suatu sasaran jangka panjang. Dengan adanya teori
perubahan ini maka kita dapat melihat gambaran bagaimana berbagai faktor-
faktor berinteraksi dalam mencapai suatu tujuan. Berikut adalah gambaran teori
perubahan untuk program Ekowisata Mangrove:
Strategi Implementasi Program
Beberapa aspek kunci dalam implementasi ekowisata berbasis nelayan
tangkap adalah: (1) Kelompok nelayan dan elemen masyarakat membentuk lembaga
Setrategi
- Bibit mangrove dan cemara udang di Desa
Banyuurip Kecamatan Ujungpangkah dengan
kapasitas 60.000 bibit.
- Terdapat kelompok lingkungan Pokmaswas
Pangkahkulon dan Kelompok Peduli
Mangrove dan Lingkungan Banyuurip
(KPMLB)
- Anggota Rukun Nelayan, Persatuan Istri
Nelayan (PIN), Karang Taruna dan kelompok
petambak (Pokdakan) yang ikut terlibat dalam
pengembangan usaha ekowisata.
Masalah
Community Needs/Aset
Hasil Faktor yang
Berpengaruh
Asumsi
- Mangrove belum difungsikan secara
maksimal
- Adanya perilaku penebangan Mangrove
secara ilegal
- Komunitas mangrove hanya berkutat pada
penanaman belum pada pengelolaan hasil
- Kesadaran masyarakat yang masih kurang
terhadap pemanfaatan dan pelestarian
mangrove
- Goal: melestarikan
dan memanfaatkan
kekayaan hayati yang
terletak di pesisir
- Out Come:
pengembangan
ekowisata mangrove
- Output:
1. Model ekowisata
mangrove
2. Meningkatnya
kemampuan SDM,
Organisasi dan
kelembagaan
dalam
mengembangkan
rantai usaha
ekowisata
3. Meningkatnya
keragaman hayati
dan partisipasi
masyarakat dalam
mengembangkan
atraksi ekowisata
- Peraturan desa untuk melarang
penebangan
mangrove
- Dukungan jaringan dari mangrove
center Tuban dan
Ekowisata
Mangrove
Wonorejo
Surabaya
- Ketertarikan DKP Provinsi untuk
membuat pusat
pembibitan
mangrove di
Banyuurip
Ujungpangkah
Community-Based Ecotourism: Pola
pengembangan ekowisata yang mendukung dan
memungkinkan keterlibatan penuh oleh
masyarakat setempat dalam perencanaan,
pelaksanaan dan pengelola usaha ekowisata dan
segala keuntungan yang diperoleh.
- Terjadi pergantian kepala desa dan ketua Rukun
Nelayan yang berdampak pada perubahan
kebijakan yang mempengaruhi jalannya
program - Force majeur, apabila terjadi kerusakan alam
diluar prediksi
Page 137
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |137
untuk pengelolaan ekowisata, dengan dukungan dari pemerintah dan organisasi
masyarakat lain(nilai partisipasi masyarakat dan edukasi), (2) Prinsip local ownership,
diterapkan sedapat mungkin terhadap sarana, prasarana dan kawasan ekowisata (nilai
partisipasi masyarakat), (3) Homestay menjadi pilihan untuk sarana akomodasi di lokasi
wisata (nilai ekonomi dan edukasi), (4) Pemandu wisata adalah orang setempat (nilai
partisipasi masyarakat), (5) Perintisan, pengelolaan dan pemeliharaan objek wisata
menjadi tanggung jawab masyarakat setempat, termasuk penentuan biaya untuk
wisatawan (nilai ekonomi dan wisata).
Exit Setrategy
Salah satu peran penting dalam program ini adalah bagaimana implementasi
program ekowisata selama kegiatan berjalan dengan baik serta muncul
kemandirian dan keberlanjutan (sustainability) sesuai dengan konteks yang ada
di daerah. Pada konteks implementasi program melalui pengembangan ekowisata
mangrove berbasisnelayan tangkap di Ujungpangkah, PUPUK Surabaya
berprinsip minimal menjalankantiga poin utama,sehingga ekowisata tetap berjalan
dengan baik dan berkelanjutan, yaitu: pertama, penumbuhan dan memperkuat
organisasi operator ekowisata.Kedua, penumbuhan dan memperkuat lembaga-
lembaga (industri atau lembaga pendukung) dan ketiga, memperkuat lingkungan
usaha (enabling busines environment) di wilayah sasaran dan sekitarnya dalam
konteks regionalisasi.
PEMBAHASAN
Program ekowisata ini merupakan program CSR PGN SAKA Indonesia
Pangkah limited. Program ini dimulai pada tahun anggaran 2014.Ekowisata
mangrove berbasis nelayan tangkap adalah pola pengembangan ekowisata yang
mendukung dan melibatkan peran aktif dari masyarakat setempat khususnya
kelompok nelayan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan usaha
ekowisata serta segala keuntungan yang diperoleh. Ekowisata ini menitik beratkan
peran aktif komunitas, khususnya kelompok nelayan setempat. Selain itu, lokasi
wisata ini berada di kawasan aktifitas nelayan tangkap dan petambak.
Pada dasarnya masyarakat lokal memiliki pengetahuan tentang kondisi
alam, budaya serta sejarah yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik
Page 138
138| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
wisata, sehingga pelibatan komunitas masyarakat menjadi hal yang mutlak.Pola
pengembangan ekowisata inimerupakan hak masyarakat lokal dalam mengelola
kegiatan wisata dikawasan yang mereka miliki secara adat ataupun sebagai
pengelola.
Dengan adanya ekowisata mangrove ini, salah satu harapannya adalah:
adanya tambahan penghasilan diluar tangkapan hasil laut dari kegiatan ekowisata,
memunculkan tumbuhnya sentra UMKM dan memunculkan partisipasi aktif dari
masyarakat untuk turut serta dalam menjaga kelestarian lingkungan. Melalui
pelestarian lingkungan maka diharapkan hasil tangkapan laut juga akan
meningkat.Masyarakat lokal dapat memanfaatkan penghasilan dari sektor
ekowisata, seperti:fee pemandu wisata, ongkos transportasi,penjualanhasil produk
lokal, dll.
Saat ini, desa yang menjadi pilot project ekowisata adalah Desa
Banyuurip, lokasinya berada dikawasan nelayan atau Tempat Pelelangan Ikan
(TPI) dan desa-desa yang ada di sekitar Banyuurip sebagai daerah pendukung
ekowisata. Langkah selanjutnya untuk desain program ekowisata kedepan adalah
menjadikan 4 desa (Pangkahwetan, Pangkahkulon, Banyuurip dan Ngemboh)
sebagai satu kesatuan ekowisata berbasis nelayan tangkap.
Saat ini salah satu kelompok yang berperan aktif dalam perintisan dan
pengelolaan ekowisata di Desa Banyuurip adalah kelompok Rukun Nelayan Tirta
Buana Desa Banyuurip. Akan tetapi, dalam mengembangkan ekowisata ini juga
melibatkan beberapa pihak terkait mulai dari level komunitas, masyarakat,
pemerintah, dunia usaha dan organisasi non pemerintah.
Dengan adanya kerjasama antar berbagai pihak tersebut diharapkan
membangun suatu jaringan dan menjalankan suatu kemitraan yang baik sesuai
peran dan keahlian masing-masing.Oleh karena itu, pembentukan Stakeholder
Engagement yaitu pelibatan banyak pihak (multistakeholder) sangat penting
untuk dibentuk, agar program berjalan dengan baik dan keberlanjutan. Berikut ini
adalah beberapa stakeholder yang dilibatkan dan peran yang dijalankannya,
adalah sebagai berikut:
Page 139
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |139
Tabel 1: Pelibatan Peran Stakeholder Engagement
Stakeholder Peran
Rukun Nelayan Mobilisasi para nelayan, pemandu
wisata, operator, membangun dan
dan memelihara aset ekowisata
Persatuan Istri Nelayan (PIN) Menghasilkan produk UMKM
unggulan
Kelompok Petambak (Pokdakan) Mobilisasi kelompokpetambak dan
memelihara kawasan mangrove yang
ada di lokasi tambak
Kelompok Pemuda / Karang
Taruna
Mobilisasi kelompok pemuda dan
kampanye media online / offline
Pemerintah desa Kebijakan, teknis dan monitoring
Dinas Pariwisata Kebijakan, teknis dan monitoring
DKP Kebijakan, teknis dan monitoring
Masyarakat Seluruh aspek masyarakat
Setelah stakeholder dan peran-perannya sudah diketahui, langkah
selanjutnya adalah: penguatan organisasi dan peningkatan kapasitas SDM
kelompok yang terlibat dalam pengembangan ekowisata, meliputi: Rukun
Nelayan, istri nelayan, perangkat desa, PKK, Karang Taruna. Dengan adanya
pelatihan ini juga muncul sebuah keinginan untuk saling bekerjasama untuk
mewujudkan program. Kerjasama antar desa juga dapat dibentuk dengan adanya
pelatihan dan kunjungan kerja bersama. Dengan adanya kegiatan bersama itu
masing-masing kelompok atau desa mengetahui kekurangan dan kelebihan akan
potensi SDM dan SDA yang dimiliki sehingga saling tukar informasi dan
memunculkan sikap saling kerjasama.
Melalui program ekowisata juga dapat mengubah perilaku masyarakat
dalam memanfaatkan sumber daya pesisir. Saat ini masyarakat khususnya
kelompok nelayan sudah membentuk kelompok yang mau menanam dan
memelihara kelestarian mangrove.
Page 140
140| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Pada Desa Banyuurip, kelompok nelayan membentuk Kelompok Peduli
Mangrove dan Lingkungan Banyuurip (KPMLB). Kelompok ini sudah memiliki
usaha pembibitan mangrove dengan kapasitas 60.000 bibit mangrove dan 500
bibit cemara udang. Selain usaha pembibitan kelompok ini juga bersedia untuk
mengajari kelompok lain yang ingin belajar cara pembibitan dan penanaman
mangrove, cemara udang dan tanaman lain. Sampai saat ini kelompok ini telah
melakukan reboisasi lahan mangrove sekitar 2 Hektar dengan rincian 26.000 bibit
mangrove dan 300 bibit cemara udang.
Pada Desa Pangkahkulon terdapat Kelompok Masyarakat Pengawas
(Pokmaswas) Sari Laut. Kelompok ini juga berperan aktif dalam pembibitan
mangrove, penanaman dan pemeliharaan mangrove. Selain itu, kelompok ini juga
ikut mensosialisasikan kepada masyarakat untuk ikut serta dalam menjaga
kelestarian mangrove, sehingga penebangan mangrove secara liar bisa
diminimalisir. Kelompok ini juga memiliki sebuah perahu untuk patroli demi
menjaga kelestarian mangrove.
Saat ini kelompok lingkungan yang ada di Desa Banyuurip dan
Pangkahkulon juga aktif untuk menjalin hubungan dengan pihak ketiga atau pihak
terkait, seperti DKP, perusahaan-perusahaan di Gresik, maupun Mangrove Center
Tuban untuk membantu program lingkungan seperti pembibitan, penanaman dan
pemeliharaan mangrove.
Dalam pembangunan ekowisata pihak PGN SAKA juga melakukan
pembangunan fasilitas ekowisata. Pada Desa Banyuurip dibangun fasilitas seperti:
air bersih, MCK, bangunan multifungsi, tempat parkir, Gazeboo, jogging track,
prahu wisata, kolam pemancingan dll. Selain itu, juga memfasilitasi untuk tumbuh
kembangnya sentra UMKM yang akan menghasilkan produk khas lokal yang
berdaya saing. Dalam konteks pengembangan ekonomi pada Desa Banyuurip
terdapat toko Kelompok Usaha Bersama (KUB) nelayan, sentra bibit mangrove,
cemara udang dan produk olahan istri nelayan. Dokumen rencana setrategi
(renstra) ekowisata sudah terdokemen. Dokumen ini nanti yang akan dijadikan
untuk acuan dalam pengembangan ekowisata.
Page 141
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |141
Pada Desa Pangkahwetan terdapat: usaha Desain dan sablon kaos karang
taruna, pembangunan UKM Center, KUB nelayan, produk olahan istri nelayan.
Desa Pangkahkulon: KUB Pokdakan, Persewaan alat catering UP2K PKK, digital
printing karang taruna. Desa Ngemboh: KUB Nelayan, KUB Karang taruna,
produk olahan dan konveksi istri nelayan. Pihak PGN SAKA juga melakukan
penghijauan lingkungan desa di lingkungan Desa Pangkahwetan, Pangkahkulon,
Banyuurip dan Ngemboh. Selain itu, juga melakukan kegiatanpelatihan,
kunjungan dan praktek kerja pengelolaan sampah.
Saat ini berbagai kalangan sudah mulai berdatangan ke lokasi kawasan
Ekowisata Mangrove Banyuurip. Wisatawan yang berminat bukan hanya dari
Ujungpangkah saja. Akan tetapi, sudah lintas kota, misal: Gresik, Lamongan,
Surabaya, Sidoarjo dan Malang. Informasi tentang keberadaan ekowisata bisa
tersebar luas dengan cepat karena bantuan beberapa pihak, seperti pengunjung,
event HUT TNI, pemerintah desa, pengelola ekowisata dan pihak ketiga yang
turut membantu untuk mempromosikan keberadaan ekowisata kepada orang lain
maupun komunitas-komunitas yang ada di wilayah Jawa Timur.
Dengan adanya ekowisata ini kedepannya juga akan dijadikan sebagai
wahana pembelajaran pemanfaatan sumberdaya pesisir terutama mangrove
kepada generasi muda. Saat ini sudah diadakan sebuah kerjasama antara pengelola
ekowisata dan sekolah-sekolah yang ada di 4 desa Ujungpangkah.Kerjasama
tersebut berupa pemanfaatan sarana prasarana untuk kegiatan pembelajaran.
Bahkan pihak pengelola di dorong untuk dapat memberikan materi tentang
pemanfaatan sumber daya pesisir. Melalui program tersebut anak-anak pesisir
akan mengetahui manfaat dan cara melestarikan potensi sumber daya alam yang
ada disekitarnya sejak dini.
SIMPULAN
Upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan
dan memlihara sumber daya pesisir salah satunya bisa dilakukan dengan program
ekowisata berbasis masyarakat lokal. Melalui partisipasi aktif pelibatan kelompok
masyarakat lokal mulai dari perencanaan, pembangunan, pemeliharaan aset
Page 142
142| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
ekowisata dan pengelolaan sumber daya akan menumbuhkan rasa kebanggaan dan
rasa memiliki. Oleh karena itu, akan meningkatkan rasa saling kerjasama antar
stakeholder untuk mencapai tujuan bersama. Salah satu wujud kerjasama antar
stakeholder itu adalah adanya kelompok peduli lingkungan, yang dalam
aktivitasnya melibatkan berbagai unsur.
Dalam meningkatkan nilai lokasi ekowisata agar lebih menarik bagi
pengunjung, maka pengelola ekowisata bekerjasama dengan PGN SAKA
membangun infrastruktur fisik. Seiring dengan bertambahnya wisatawan yang
berkunjung akan mempengaruhi masyarakat untuk membuat produk olahan dan
kerajinan berbasis pesisir. Dari aktivitas itu, akan melahirkan sebuah sentra
UMKM. Fungsi lain dari ekowisata ini adalah sebagai pembelajaran bagi anak-
anak pesisir dan para pengunjung. Dengan adanya edukasi anak-anak pesisir dan
pengunjung akan mengetahui manfaat dan cara melestarikan potensi sumber daya
alam yang ada disekitarnya sejak dini.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2015. Kecamatan Ujungpangkah Dalam Angka.
Harian Berita Metro, 18/07/2016. “Disorot, Reklamasi Pantai Diduga Ilegal”.
lihat http://www.beritametro.co.id/jawa-timur/disorot-reklamasi-
pantai-diduga-ilegal Harian koran-sindo. 22-02-2016. “150 Ha Hutan Bakau Gresik Rusak”
http://kominfo.jatimprov.go.id/read/umum/19294. “Kerusakan Mangrove Di
Pantura Gresik Harus Dikonservasi”
Munir, Risfan dkk. 2008. “Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif: Masalah,
Kebijakan dan Panduan Pelaksanaan Kegiatan”. Local Governance
Sopport Program (LGSP)
Rudianto. 2014.”Analisis Restorasi Ekosistem Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis
Co-Management: Studi Kasus di Kecamatan Ujung Pangkah dan
Kecamatan Bungah, Kabupaten Gresik”. Research Journal of Life Science.
Volume 01 no. 01
Sobari, Wawan dkk. 2007. “Membangun Inisiatif Mendorong Perubahan”. The
Jawa Pos Institute of Prootonomi.
Syamsudin dkk. 2009. Pendidikan Lingkungan Hidup. Solo: Pt. Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri
Tjahjono, Subur. 2009. “Ekspedisi Bengawan Solo : laporan jurnalistik kompas”.
Jakarta: Kompas.
Page 143
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |143
MEMBANGUN DESA INKLUSIF MELALUI TEKNOLOGI INFORMASI
DAN KOMUNIKASISEBAGAI UPAYA MENCAPAI TUJUAN SDGs
Luhung Achmad Perguna
Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang
[email protected] , 08563456961
Abstrak
Konsep MDGs (Millenium Development Goals) berakhir tahun 2015. SDGs (Sustainable
Development Goals) lahir melanjutkan konsep MDGs yang belum tercapai. Salah satu
target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan adalah mengakhiri segala bentuk kemiskinan
dimanapun tak terkecuali di Desa. Desa yang sering diasumsikan sebagai daerah miskin
nan terbelakang dibanding saudaranya harus berbenah, berdaya dan bermartabat.
Pengentasan kemiskinan milik dan tanggung jawab semua pihak, bukan hanya
pemerintah pusat dan kelompok masyarakat sipil semata. Dari Desa-lah ujung tombak
realisasi target SDGs bila merujuk pada prinsip Nawa Cita yang ketiga “membangun dari
pinggiran”. Membangun dari pinggiran bisa dimaknai sebagai bagian dari membangun
dan memajukan desa yang berfaedah bagi penduduk desa sendiri. Penggunaan Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK) menjadi keniscayaan untuk membangun desa.
Mengapa? Pertama piramida penduduk desa secara umum menyebutkan bahwa jumlah
warga berusia produktif jauh lebih tinggi daripada yang tidak produktif. Artinya jumlah
warga yang termasuk dalam kategorisasidigital native jauh lebih besar daripada digital
immigrant. Kedua, 70 persen penduduk Indonesia merupakan masyarakat melek internet.
Hal ini bisa menjadi peluang besar bagi desa untuk menjadi entitas yang kuat dan subjek
pembangunan yang inklusif dan partisipatif. Bila TIK dapat dimanfaatkan secara
optimaldalam pelayanan dan pembangunan desa bukan mimpi target SDGs bakal tercapai
yang pada gilirannya memberikan insentif politik bagi para pemimpin baik pada level
desa hingga pusat.
Kata kunci: SDGs, Desa, TIK.
PENDAHULUAN
Tahun 2015 yang lalu, tujuan pembangunan milenium atau dikenal dengan
Millenium Development Goals (MDGs) resmi berakhir. Sebagai gantinya
kerangka pembangunan yang berkaitan dengan perubahan situasi dunia yang
semula menggunakan konsep MDGsberubah menjadi program pembangunan
berkelanjutan atau apa yang dikenal dengan istilah Sustainable Development
Goals (SDGs). Berbeda dengan MDGs yang objeknya lebih mengarah kepada
negara-negara berkembang, SDGs memiliki sasaran yang lebih global. Konsep
SDGs yang telah disepakati oleh dunia pada September 2015 diperlukan sebagai
kerangka pembangunan baru yang mengakomodasi semua perubahan yang terjadi
Page 144
144| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
pasca berakhirnya MDGs. SDGs yang diberi rentang waktu 15 tahun sejak
ditetapkan menjadi tantangan untuk menjawab persoalan global dan tantangan
negara yang menyepakatinya yang belum sepenuhnya terjawab pada MDGs.
Banyak tujuan yang hendak dicapai dari konsep SDGs. Secara makroada tiga
tujuan besar dalam SDGs. Pertama diharapkan program ini bisa mengakhiri segala
bentuk kemiskinan di semua negara manapun terutama negara
berkembang.Kedua, SDGs bertujuan mengakhiri segala bentuk kelaparan,
mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan gizi dan mendorong pertanian
secara berkelanjutan.Ketiga, target SDGs adalah menjamin adanya kehidupan
yang sehat, serta mendorong kesejahteraan untuk semua orang di dunia pada
semua usia.
Salah satu titik fokus target tujuan pembangunan berkelanjutan yang
belum berhasil sepenuhnya dijawab oleh Pemerintah Indonesia adalah menghapus
kemiskinan dimanapun baik kota tak terkecuali desa.Kemiskinan dan
keterbelakangan sering diasumsikan dengan desa. Dibanding saudaranya, desa
harus terus berbenah dan berjuang untuk keluar dari kemiskinan. Kesenjangan
yang menganga desa kota harus dikikis. SDGs menjadi salah satu trigger untuk
mewujudkan kemandirian desa yang bermartabat. Nawacita yang diusung
presiden Jokowi telah terintegrasi dengan SDGsikut menegaskan bagaimana
pembangunan seharusnya berasal, bukan dari pusat tetapi dari pinggiran. UU
nomor 5 tahun 2014 tentang Desa yang lahir mendahului SDGs dan Nawacita
makin memperkokoh untuk mewujudkan cita-cita besar dalam menghapus
kemiskinan utamanya di desa. Bahkan lahirnya UU ini bak oase khususnya dalam
pembangunan desa. Desa mengalami reposisi dan memiliki kedudukan yang jelas
beserta segala kewenangannya. Paling tidak dua asas yang termaktub dalam UU
desa yaitu asas rekognisi dan asas subsidaritas menjadi roh serta pilar dalam
pembangunan desa yang keduanya tidak dapat dipisahkan dan memberikan
peluang sekaligus tantangan tersendiri bagi desa bagaimana desa dapat
membangun dan memperkuat secara mandiri tanpa intervensi pemerintah pusat
khas orde baru.
Page 145
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |145
Persoalannya adalah bagaimana desa dapat membangun desanya secara
mandiri di tengah infrastruktur desa dan sumber daya manusia dengan kapasitas
mumpuni yang terbatas. Bagaimana desa bisa keluar dari kukungan kemiskinan
yang selama ini sering melekat kuat pada desa? Teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) menjadi jawaban ditengah ketertinggalan desa dalam arus
globalisasi. Meski TIK dianggap seperti pisau bermata dua namunpenggunaan
TIK dalam pemerintahan dianggap mampu meningkatkan efisiensi, menghemat
biaya dan memberikan pelayanan yang lebih cepat oleh pemerintah (Moon, 2002:
Wauters, 2006). TIK juga mampu menambah devisa negara, mengurangi tingkat
korupsi dan membangun kepercayaan publik. Hal ini seperti yang terjadi di Korea
Selatan yang menempati peringkat pertama dan mengungguli Negara maju
lainnya di belahan Eropa dan Amerika (UNDESA, 2012). Korea Selatan dianggap
berhasil dan memiliki komitmen penuh dalam mengembangkan (website dan
media sosial) sebagai instrumen untuk transparansi dan memfasilitasi warga untuk
berpartisipasi dalam penyelenggaraan dan pembangunan pemerintahan terutama
dalam pembuatan kebijakan dan pelayanan publik (Kim, 2010; Snyder, et al.
2012). Hasilnya Korea Selatan menjadi salah satu negara yang disegani di belahan
dunia dan nir kemiskinan.
Belajar dari Korea Selatan, semestinya pengentasan kemiskinan di semua
lini harus terus didengungkan Pengentasan kemiskinan utamanya di desa harus
menjadi proyek dan target bersama khususnya pemerintah daerah. Karena
kesuksesan SDGs membutuhkan collaborative governance antara pemerintah,
masyarakat, dan swasta dalam mencapai strategi pencapaiannya. Dari desa-lah
ujung tombak target realisasi pencapaian SDGs bila merujuk pada prinsip
Nawacita. Tulisan inimemfokuskan pada inisiatif penggunaan TIK (website dan
media sosial) dan pengembangannya dalam pelayanan dan pembangunan desa
dengan muara akhirnya berkurangnya kemiskinan di desa.
METODE
Tulisan ini merupakan studi pendahuluan dalam penelitian yang dilakukan
oleh penulis di desa Karangrejo Kabupaten Blitar tahun 2016. Desa Karangrejo
Page 146
146| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
merupakan satu dari lima desa yang ada di kabupaten Blitar yang telah berhasil
menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Indikatornya sederhana yaitu
dengan jumlah pengunjung yang mencapai 12 ribu pengunjung dalam waktu
kurang dari satu tahun. Pengembangan TIK lainnya adalah dengan
dibangunnyahotspot di sekitar kantor kepala Desa. Selain itu Sistem Informasi
Desa (SID) sebagai salah satu item turunan UU No 5 tahun 2014 juga sudah
diterapkan pada desa ini. Kajian literatur dan pustaka baik buku, jurnal nasional
dan internasional lebih ditekankan dalam penulisan artikel ini karena studi yang
dilakukan dalam tulisan ini lebih kepada studi pendahuluan sehingga data yang
sifatnya sekunder jauh lebih mengemuka dibanding data primer.
PEMBAHASAN
Optimalisasi TIK di Desa
Keuntungan yang telah dicapai manusia dalam bidang teknologi informasi
dan komunikasi (TIK) merupakan sesuatu yang patut kita syukuri karena dengan
kemajuan tersebut akan memudahkan manusia dalam mengerjakan tugas yang
harus dikerjakan. Pada dasarnya memang teknologi diciptakan untuk membantu
pekerjaan manusia agar lebih efisien dan efektif.Perkembangan teknologi yang
demikian pesat utamanya teknologi informasi dan komunikasi (TIK) berdampak
kepada penyelenggaraan pemerintahan dan peningkatan pelayanan publik.
Pemanfaatan TIK dalam penyelenggaran pemerintahan dikenal dengan electronic
goverment atau biasa disingkat e-gov. Sayangnya belum banyak pemerintah
daerah yang memanfaatkan e-gov secara optimal untuk pelayanan kualitas publik.
Bahkan banyak studi yang menyebutkan 85% proyek e-government gagal di
negara berkembang dalam berbagai level baik gagal total atau gagal sebagian
(Heeks, 2003).
Gagalnya e-governmentdi negara berkembang bukan berarti kita phobia
dalam menggunakannya. Kenapa? Karena peluang Indonesia untuk maju dan
berkembang sangat tinggi. Hal ini ditunjukan dengan data pengguna internet
tahun 2010 yang dirilis Depkominfo mencapai 45 juta orang (Suryadhi, 2010).
Terakhir data terbaru yang dirilis Kompas menyebut pengguna internet Indonesia
Page 147
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |147
saat ini mencapai 88 juta jiwa (Kompas 18/7). Pengguna yang terus meningkat
dari tahun ke tahun menunjukkan jumlah digital native yang makin eksis dan
digital immigrant yang tak ingin ketinggalan perkembangan TI.Banyaknya
peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk mendukung dan
mengamanatkan penggunaan TIK. Sebut saja misalnya UU nomor 32 tahun 2004
(Perubahan dari UU 22 tahun 1999) tentang pemerintah daerah. Dengan adanya
UU tentang sistem pemerintahan daerah (pemda) ini maka pemda mempunyai
kewenangan mengatur wilayahnya sendiri dengan batasan-batasan tertentu.
Tuntutan akan layanan prima pada rakyat pemilih kepala daerah telah memaksa
Gubernur/Bupati/Walikota untuk mengoptimalkan sistem pemerintahan, salah
satunya dengan otomatisasi layanan dan transparansi penggunaan anggaran.
Otomatisasi layanan daerah hanya bisa dilakukan dengan pengembangan
teknologi informasi yang sejalan dengan visi pembangunan daerah. Aturan lain
yang mendukung penggunaan TIK adalah Instruksi Presiden nomor 3 tahun 2003
tentang Strategi dan Kebijakan Nasional Pengembangan TIK, Peraturan Presiden
nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025.
Peraturan perundangan ini secara eksplisit menyebut bagaimana TIK menjadi
penting untuk diterapkan dalam peningkatan kualitas pelayanan.
Bila menilik UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa yang lahir karena
banyaknya tuntutan dalam kemandirian desa malah mengamanatkan untuk
memanfaatkan TIK dalam mengejar ketertinggalan antara desa dan kota. Potensi
desa yang cukup banyak belum tereksplor dan terpublikasi secara apik. Bila
potensi desa dengan segala kearifan lokalnya dapat terbaca bukan mustahil desa
global dapat terwujud. Salah satu jalannya mempublikasikan dan
menginformasikan potensi tersebut adalah dengan pemanfaatan TIK. Banyak
manfaat yang bisa diambil bila TIK dapat dimanfaatkan secara optimal.
Berdasarkan laporan dari OECD (The Organization for Economic Co-operation
and Development) dalam Darmawan (2011) terdapat beberapa manfaat E-Govbila
digunakan dengan optimal yaitu: meningkatkan efisiensi dalam berbagai data atau
informasi mulai dari pengumpulan (collecting), penyampaian (transmission) dan
penyediaan informasi dan komunikasi baik di dalam maupun antar pemerintahan.
Page 148
148| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Manfaat kedua peningkatan pelayan terhadap masyarakat, kenapa? Karena
masyarakat tidak perlu mengetahui struktur dan hubungan kompleks dibalik
layanan yang diberikan oleh pemerintah. Struktur hirarkis birokratis yang terkesan
ribet nan panjang dipotong oleh adanya TIK ini. Manfaat ketiga dapat membantu
mensosialisasikan kebijakan pemerintah termasuk kegiatan-kegiatan yang sedang
dijalankan kepada masyarakat sehingga pihak-pihak terkait dapat berbagi ide dan
informasi terkait suatu kebijakan. Potensi desa yang selama ini terpendam akan
ikut terbangun melalui pemanfaatan TIK (Jahja, 2012). Manfaat lainnya dapat
mengurangi korupsi, meningkatkan keterbukaan dan kepercayaan terhadap
pemerintah. Pemerintah juga dapat melakukan penghematan melalui proses
administrasi dan penyedian informasi berbasis TIK. Manfaat yang tak kalah
pentingnya adalah meningkatkan kepercayaan antara pemerintah dengan
masyarakatnya, meningkatkan good governance melalui peningkatantransparansi,
dan efeknya akan mengurangi korupsi. Begitu pula jika aspirasi dan pendapat
masyarakat dapat difasilitasi ataupun ditampung dalam media berbasis TIK yang
digunakan oleh pemerintah, maka partisipasi masyarakat dalam membangun desa
akan terbangun. Dampaknya terbangun rasa memiliki desa. Desa menjadi milik
bersama dan bukan milik segelintir penguasa desa.Ketika kebersamaan dan
partisipasi masyarakat desa terhadap desanya terbangun, keberdayaan desa makin
bermartabat dan kemiskinan akan terkurangi secara perlahan.
SID sebagai Media Partisipasi Warga
Penggunaan dan perkembangan TIK yang demikian pesatbukanlah tujuan
melainkan sebagai sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan atau manfaat
yang lebih besar (Utomo, 2013). Penggunaan TIK memerlukan dukungan dan
sebaliknya mendukung sejumlah aspek penting lain yang diperlukan untuk
mencapai tujuan atau manfaat yang diharapkan seperti dukungan dan komitmen
pimpinan, dukungan peraturan/ regulasi dan kelembagaan yang jelas,
transformasi budaya birokrasi, pengembangan kapasitas sumber daya manusia,
serta yang tak kalah penting dukungan dari warga dan pemangku kepentingan
(Siau & Long, 2006; Kluver, 2005; Edmiston, 2003; Galindo, 2006). Hadirnya
Page 149
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |149
TIK bukan berarti menghilangkan upaya konvensional yang tanpa menggunakan
perangkat TIK. Justru penggunaan TIK ditujukan untuk melengkapi dan
mendukung upaya konvensional yang selama ini digunakan. Keduanya
diselenggarakan untuk mengatasi kesenjangan digital dan memberikan
kemudahan bagi warga dan pemangku kepentingan. Efisiensi dan efektivitas
kegiatan menjadi keniscayaan.
Salah satu bentuk E-Government yang telah diterapkan di Desa bernama
Sistem Informasi Desa (SID). Kebermulaan SID merupakan konsekuensi logis
dari UU no 6 tahun 2014. SID lahir dari rangkaian ragam teknologi informasi dan
piranti lunak yang dioperasikan oleh perangkat desa untuk mendukung percepatan
peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat tanpa menghilangkan
upaya-upaya tradisional (Dewi,2011). Melalui SID, warga dan pemangku
kepentingan dapat mengetahui kerja pemerintahnya, dapat mengetahui potensi
yang ada di desa untuk dikembangkan. Warga juga memiliki keuntungan dengan
hadirnya SID yaitu mereka dapat mencari informasi tentang desa tersebut dari
mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja tanpa harus datang ke kantor
pemerintah desa dengan syarat pemerintah menyediakan informasi secara
transparan dan akuntabel. Salah satu SID yang cukup apik diterapkan di salah satu
desa di Kabupaten Blitar. Di SID ini, potensi desa terekspos, data kependudukan
dapat diunduh dengan mudah, kegiatan-kegiatan masyarakat desa juga
tersosialisasi dengan baik. Meski kebanyakan SID di kabupaten Blitar ini masih
pada level interaksi belum sampai pada level transaksi lebih-lebih integrasi tetapi
dalam implementasinya sudah mengalami progress yang baik (Rokhman, 2008).
Pengunjung dalam SID terus meningkat dari waktu ke waktu hingga mencapai
angka 18 ribu pengunjung. Ini membuktikan bahwa SID yang belum genap satu
tahun berjalan dengan baik terasa manfaatnya dan dapat terus dikembangkan
mencapai level integrasi. Bila SID sampai pada tahap integrasi itu berarti bahwa
sistem ini sudah menyediakan sarana untuk bertransaksi bagi masyarakat dalam
menggunakan layanan publik yaitu transaksi yang melahirkan kesepakatan yang
dapat disertai dengan pembayaran sebagai akibat dinikmatinya layanan publik
Page 150
150| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
yang telah digunakan. Sekaligus pada saat yang bersamaan pemerintah juga
menyediakan layanan secara konvensional melalui kantor terkait.
Hadirnya SID, program-program pemanfaatan TIK yang selama ini hanya
sampai pada level kota/kabupaten hingga kecamatan mulai berpenetrasi masuk
hingga ke desa.Jumlah pengunjung yang terus meningkat dari waktu ke waktu
memunculkan gerakan dari bawah. Partisipasi warga terus meningkat dan
memunculkan pelajaran pelajaran bahwa inisiatif tersebut dapat dilakukan dari
bawah tidak melulu dari atas termasuk di level desa. Hal ini bisa dilakukan
dengan memanfaatkan TIK secara baik dan bijak.
SIMPULAN
Pemanfaatan TIK dan SID (e-goverment pada level desa) sebagai
turunannyabukan sekadar menjadi proyek “gagah-gagahan”, bukan pula menjadi
ajang jualan pedagang teknologi informasi baik hardware maupun software. SID
memang dicirikan dengan pemakaian TIK, tetapi TIK bukanlah tujuan final SID.
TIK hanyalah sarana dan media untuk mencapai tujuan dan manfaat SID.
Implementasi dalam penerapan SID memerlukan lebih dari sekadar pembangunan
TIK. Implementasi SID memerlukan waktu yang cukup panjang dan dukungan
semua pihak untuk keberlanjutannya karena membangun SID bukan cukup
dengan membuat website (web presence) tanpa ada optimalisasi dan peningkatan
pelayanan. Membangun sumber daya tanpa menghilangkan potensi kearifan lokal
desa menjadi keniscayaan dalam membangun SID. Informasi yang menarik bagi
masyarakat harus terus dikemas dengan baik untuk disebarluaskan dalam rangka
mengundan atau menarik minat warga untuk bergabung dan berpartisipasi dalam
SID. Bila SID dapat dikelola dengan baik berimplikasi positif dengan tingkat
partisipasi warga untuk membangun desanya. Oleh karena itu, gerakan
penggunaan SID yang memanfaatkan internet dengan segala fasilitasnya, menjadi
pelajaran bahwa inisiatif dapat dilakukan dari bawah (desa). Perlahan, paradigma
pemerintah pusat yang menempatkan desa sebagai objek akan berubah yang pada
gilirannya desa akan mandiri, berdikari. Cita-cita menghapus kemiskinan sebagai
salah satu tujuan SDGs dapat tercapai.Semoga.
Page 151
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |151
DAFTAR PUSTAKA
Darmawan, Iksan. 2011. E-Government: Studi Pendahuluan di Kabupaten Sragen.
Proseding Simposium Nasional Otonomi Daerah, LAB-ANE FISIP
UNTIRTA 69 – 75.
Dewi, A.S. 2013. Membuat e-government Bekerja di Desa: Analisis Actor
Network Theory Terhadap Sistem Informasi Desa dan Gerakan Desa
Membangun. Jurnal Mandatory 10 (2). 89 – 114.
Edmiston, K.D. 2003. State and Local E-Government; Prospects and Challenges”.
The American Review of Public Administration, 33 (1).
Galindo, F. 2006. Basic Aspects of the Regulation of E-Government. Law
Technology. 39 (1) 1 – 22.
Kim, S. 2010. Collaborative Governance in South Korea: Citizen Participation in
Policy Making and Welfare Service Provision. Asian Perspective, 34 (3),
165 – 190.
Kluver, R. 2005. US and Chinese Policy Expectations of Internet, China
Information. 19 (2), 299 – 324.
Jahja, Ranggoaini, et.al. 2012. Sistem Informasi Desa: Sistem Informasi dan Data
untuk Pembaruan Desa. Yogyakarta. COMBINE Resource Institution.
Mustika, Maya Dewi. 2011. Desa Mandalamekar. Raih Kemandirian Teknologi
dengan Open Source Indonesian e-Learning Media. Tersedia di
(http://idelearning.com/desamandalamekar-raih-kemandirianteknologi-
dengan-open-source/) diakses pada 11 Juli 2016.
Moon, Jae. 2002. The Evolution of e-government among Municipalities: Rhetoric
or Reality? Public Administration Review 62 (4): 422-433.
Rokhman, A. 2008. Potret dan Hambatan E-Government di Indonesia. Jurnal
Inovasi Online 11 (20). Diunduh dari http://io.ppijepang.org/article.php?id
=263.
Siau, K & Long. Y. 2006. Using Social Development Lenses to Understand E-
Government Development. Journal of Global Information Management, 14
(1), 47 – 62.
Snyder, N. et al. 2012. Metropolitan Governance Reforms: The Case of Seoul
Metropolitan Government. European Journal of Economic and Political
Studies, 5 (2), 107 – 129.
Page 152
152| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
UNDESA (Department of Economic and Social Affairs, United Nations). 2012. e-
Government Survey 2012: e-Government for the People. New York:
United Nations.
Utomo, P.P. 2013. Website sebagai Media Pemenuhan Hak Politik Warga dalam
Penyelanggaraan Pemerintahan. Jurnal Mandatory 10 (2). 59 – 88.
Wauter,P. 2006. Benchmarking e-government Policy Within The e-Europe
Programme.Aslib Proceedings:New Information Perspectives58 (5):389-
405.
Peraturan Perundangan, majalah dan koran
Kompas, 18 Juli 2016
Peraturan Presiden nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi
Birokrasi 2010-2025.
Undang – Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Sistem Pemerintahan Daerah
Undang – Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa
Page 153
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |153
KONTRIBUSI EKOSISTEM MANGROVE DALAM MENDUKUNG
PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU KECIL
Heru Setiawan1; Dian Ayu Larasati2 1Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar;
Email : [email protected] ; Hp. 081390623630 2Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya;
Email : [email protected] ; Hp. 081230772224
Abstrak
Ekosistem mangrove sebagai bagian dari ekosistem pesisir memiliki peranan yang sangat
penting dalam menunjang kehidupan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
kontribusi ekosistem mangrove dalam mendukung pembangunan wilayah pesisir dan
pulau kecil. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Pengumpulan
data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan studi pustaka. Wawancara dilakukan
dengan responden kunci menggunakan teknik purposive sampling. Observasi dilakukan
untuk mengetahui kondisi ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke dan berbagai aktifitas
masyarakat dalam memanfaatkan mangrove. Analisis data dilakukan secara diskriptif
kualitatif, dengan tahapan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil
penelitian menunjukkan, kontribusi langsung ekosistem mangrove bagi masyarakat Pulau
Tanakeke diantaranya adalah sebagai penghasil arang dan kayu bakar, tiang pancang
rumput laut, usaha pembibitan mangrove untuk kegiatan rehabilitasi dan digunakan
sebagai bahan pembuatan paropo sebagai salah satu metode penangkapan ikan
tradisional. Kontribusi mangrove secara tidak langsung bagi masyarakat Pulau Tanakeke
diantaranya adalah daerah tangkapan untuk komoditas udang dan kepiting, pelindung
tambak dan pemukiman dari banjir ROB, menghasilkan sedimentasi dan tanah timbul,
mengendalikan laju intrusi air laut, melindungi pulau dari abrasi akibat gelombang
pasang dan angin kencang.
Kata kunci : Sumberdaya mangrove, pembagunan, masyarakat, pulau tanakeke
PENDAHULUAN
Pada beberapa tahun belakangan, muncul beberapa isu global yang
menjadi fokus perhatian masyarakat dunia yaitu pemanasan global (global
warming), perubahan iklim (climate change), dan kelangkaan energi, pangan, dan
air (energy, food, and water scarcity). Sidang umum Perserikatan Bangsa–
Bangsa (PBB) pada 25 September 2015 lalu di New York, Amerika Serikat,
secara resmi telah mengesahkan Agenda Pembangunan Berkelanjutan atau
Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai kesepakatan pembangunan
global. SDGs berisi 17 Tujuan, salah satu tujuan yang disepakati dan berlaku bagi
seluruh bangsa tanpa terkecuali adalah "Melestarikan dan arif memanfaatkan
Page 154
154| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
samudra, laut dan sumber daya kelautan untuk pembangunan berkelanjutan”.
Sejalan dengan Nawacita dan SDGs, pemerintah telah menetapkan program
prioritas nasional yang salah satu diantaranya adalah kemaritiman dan kelautan,
dimana ekosistem pesisir dan pulau kecil termasuk di dalamnya.
Indonesia merupakan negara kepulauan, terdiri dari 17.504 pulau dengan
luas laut diperkirakan sekitar 5,8 juta km2 dan bentangan garis pantai sepanjang
81.000 km (Dahuri et al., 1996). Dengan garis pantai yang panjang tersebut dan
posisinya yang berada pada daerah khatulistiwa sangat menunjang
berkembangnya hutan mangrove. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas
terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang
surut air laut. Mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-
pantai yang datar, biasanya di sepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin atau
di belakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung (Nontji, 1987;
Nybakken, 1992).Luas hutan mangrove di Indonesia adalah yang terluas di dunia
dengan luasan mencapai 3.112.989 Ha dengan persentase 22,6% dari total
luasangan mangrove di seluruh dunia (Giri et al., 2011). Ekosistem hutan
mangrove memiliki fungsi ekologis, ekonomis dan sosial yang penting dalam
pembangunan, khususnya di wilayah pesisir.
Masyarakat Pulau Tanakeke sebagai masyarakat pesisir merupakan
kelompok masyarakat yang mempunyai interaksi yang tinggi dengan ekosistem
mangrove. Interaksi yang intensif antara masyarakat dengan ekosistem mangrove
tersebut tidak lepas dari tingginya peranan mangrove dalam menopang kehidupan
mereka, baik dari segi ekologi maupun ekonomi. Kondisi ekosistem mangrove
yang mengalami degrasi,secara langsung maupun tidak langsung, berpengaruh
terhadap kehidupan masyarakat pesisir. Hal yang paling dirasakan masyarakat
adalah degradasi mangrove membuat penghasilan masyarakat pesisir menjadi ikut
berkurang, terutama masyarakat pembuat arang dan kayu bakar. Para petani
tambak juga merasakan langsung dampak degradasi mangrove, karena rusaknya
tanggul pada tambak yang berdampak pada semakin berkurangnya hasil panen.
Dengan semakin berkurangnya pendapatan masyarakat akibat rusaknya ekosistem
mangrove, menjadikan kesadaran masyarakat akan kelestarian ekosistem
Page 155
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |155
mangrove semakin meningkat. Munculnya alternatif pekerjaan lain, misalnya
sebagai petani rumput laut, juga turut menjaga kelestarianekosistem mangrove.
Tulisan berikut merupakan hasil penelitian dalam bentuk kajian terhadapperanan
mangrove dalam mendukung pembangunan wilayah pesisir,terutamadalam segi
ekologis maupun sosial ekonominya.
METODE
Kegiatan penelitian ini dilakukan pada Bulan Juli – September 2015 di
Pulau Tanakeke, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar, Propinsi
Sulawesi Selatan. Secara geografis, pulau ini terletak pada 119° 14’ 22” – 119°
20’ 29” BT dan 5° 26’ 43” – 5° 32’ 34” LS. Bahan yang digunakan diantaranya
adalah responden kunci yang merupakan tokoh masyarakat, tetua adat dan
kelompok masyarakat pegiat mangrove di desa-desa di Pulau Tanakeke, dan
kondisi tegakan mangrove sebagai obyek penelitian. Alat-alat yang digunakan
antara lain daftar panduan pertanyaan, alat perekam, alat tulis, kompas, GPS dan
kamera.
Pada penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan dengan dua cara,
yaitu : teknik observasi dan teknik wawancara. Teknik observasi digunakan untuk
melihat kondisi umum lokasi penelitian, yang meliputi kondisi tegakan dan
ekosistem mangrove secara keseluruhan dan kondisi sosial masyarakat. Teknik
wawancara digunakan untuk mendapatkan data mengenai model pengelolaan
ekosistem mangrove oleh masyarakat serta kearifan lokal masyarakat dalam
mengelola mangrove. Teknik wawancara dilakukan secara semi structured
interview yakni wawancara yang pelaksanaannya lebih bebas dan menggunakan
panduan pertanyaan terbuka yang dilakukan terhadap masyarakat yang sehari-hari
berinteraksi dengan ekosistem mangrove maupun dengan responden kunci.
PEMBAHASAN
Kondisi Hutan Mangrove
Provinsi Sulawesi Selatan dengan dengan panjang garis pantai mencapai
1.937 km dan jumlah pulau 299 buah, merupakan habitat yang potensial bagi
Page 156
156| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
tumbuh dan berkembangnya ekosistem mangrove. Berdasarkan data dari Dinas
Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2014, luas mangrove di Propinsi
Sulawesi Selatan mencapai 28.954 ha. Dari luasan tersebut, Kabupaten Bone
adalah kabupaten yang mempunyai hutan mangrove terluas yaitu 8.367 ha. Dari
total luasan hutan mangrove di Sulawesi Selatan, hanya 5.238 ha termasuk dalam
kategori baik, 5.248 ha termasuk dalam kategori rusak, dan 17.328 ha termasuk
dalam kategori sangat rusak. Persentase kerusakan mangrove di Sulawesi Selatan
mencapai 60%. Kerusakan mangrove di Sulawesi Selatan lebih disebabkan oleh
alih fungsi mangrove menjadi tambak atau untuk penggunaan lainnya. Selain itu,
kerusakan mangrove juga disebabkan oleh pemanfaatan yang tidak terkendali.
Kawasan mangrove di Pulau Tanakeke merupakan yang terluas di Provinsi
Sulawesi Selatan yang dalam kondisi baik dengan luasan mencapai 951,11 ha
(Akbar, 2014). Adanya alih fungsi, penebangan mangrove yang tidak terkendali
dan manajemen pengelolaan yang tidak tepat membuat hutan mangrove di Pulau
Tanakeke telah mengalami degradasi yang cukup tinggi. Pada tahun 1970 an,
luasan ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke mencapai 2.500 ha. Pada periode
1990 an, luasan mangrove hampir berkurang setengahnya menjadi 1.300 ha.
Menurut Rahayu (1994), penyusutan luas hutan mangrove antara lain bersumber
dari kegiatan manusia yang mengkonversi areal mangrove menjadi pemukiman,
kegiatan komersial/industri, pertanian dan eksploitasi yang berlebihan terhadap
vegetasi mangrove menjadi kayu bakar.
Pengelolaan kawasan mangrove di Pulau Tanakeke dilakukan secara
perseorangan. Hal ini tidak terlepas dari adanya kenyataan bahwa hutan mangrove
di kawasan ini telah dibagi dan dimiliki secara pribadi oleh masyarakat dan telah
diwariskan secara turun-temurun. Dari keseluruhan mangrove yang ada di Pulau
Tanakeke, hanya terdapat satu kawasan hutan mangrove yang ditetapkan sebagai
area perlindungan dan tidak dimiliki oleh perseorangan. Kawasan hutan bakau
tersebut disebut “Bangko Tapampang” dengan luas mencapai 50,5
ha.Kesepakatan bersama masyarakat Pulau Tanakeke yang diwakili oleh tokoh
masyarakat dan kelima kepala desa yang ada di Tanakeke telah menyepakati
Page 157
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |157
kawasan Bangko Tapampang dibagi menjadi tiga zona, yaitu zona inti, zona
penyangga dan zona rehabilitasi.
Jenis mangrove di Pulau Tanakek didominasi olehRhizophora
stilosa.Selain itu juga dijumpai jenis Rhizophora mucronata, Rhizophora
apiculata, Avicennia sp, Bruguiera gymnorrhiza, dan Sonertia alba.Hutan
mangrove di Pulau Tanakeke sudah menyatu dengan masyarakatnya yang
mayoritas bermatapencaharian sebabagi nelayan. Kehidupan masyarakatnya tidak
bisa dilepaskan dari hutan mangrove karena sehari-hari berinteraksi dengan
mangrove. Dengan semakin terdegradasinya hutan mangrove di daerah ini
berdampak pula pada kehidupan nelayan. Hal ini dikarenakan hutan mangrove
sudah tidak mampu lagi memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat.
Agar hutan mangrove dapat kembali bermanfaat secara optimal, maka masyarakat
baik secara individu maupun berkelompok tergerak untuk melakukan rehabilitasi
mangrove pada areal yang terdegradasi.
Kontribusi Mangrove dalam Bidang Ekonomi
1. Arang Bakau
Pemanfaatan kayu mangrove untuk industri arang sudah dilakukan
masyarakat Pulau Tanakeke secara turun-temurun. Arang bakau telah menjadi
primadona masyarakat karena mempunyai panas yang tinggi. Menurut Hilal dan
Syaffriadi (1997), kayu mangrove memiliki nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu
4.000–4.300 Kkal/kg. Harga arang per karung di tingkat pengrajin mencapai Rp.
60.000,- sampai Rp. 75.000. Harga ekspor arang mangrove sekitar US$ 1.000/10
ton, sedangkan harga lokal antara Rp 400,- - Rp 700,-/kg. Jumlah ekspor arang
mangrove tahun 1993 mencapai 83.000.000 kg dengan nilai US$ 13.000.000
(Inoue et al., 1999).
2. Kayu Bakar
Secara umum masyarakat di Pulau Tanakeke sudah menggunakan kompor
gas untuk kebutuhan memasak. Penggunaan kayu bakar hanya dilakukan untuk
kebutuhan tertentu, misalnya memasak air, memasak dalam jumlah besar untuk
keperluan pesta dan untuk membakar ikan. Terdapat beberapa kelompok
masyarakat yang memanfaatkan kayu bakar untuk dijual guna menambah
Page 158
158| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
perekonomian keluarga. Penjualan kepada tengkulak biasanya dilakukan dengan
sistem per ikat dengan harga mencapai Rp 30.000,-. s/d Rp 50.000,- tergantung
besar kecilnya batang. Berdasarkan hasil wawancara, tidak ada masyrakat yang
membeli kayu mangrove untuk kayu bakar, sehingga pasar utama kayu bakar
adalah untuk dibawa ke luar pulau, biasanya langsung ke Kota Makassar.
3. Aset keluarga
Berdasarkan keterangan dari masyarakat Pulau Tanakeke, sudah menjadi
kesepakatan yang telah ditetapkan sejak zaman nenek moyang bahwa tegakan
mangrove yang dimiliki masyarakat merupakan aset kekayaan yang dapat
diwariskan secara turun-temurun. Sebagian masyarakat yang mempunyai tegakan
mangrove bahkan menjadikannya untuk mahar pernikahan. Hal ini tidak terlepas
dari tingginya nilai ekonomi mangrove. Harga tegakan mangrove per hektar
berkisar 20 - 30 juta, tergantung besar kecilnya batang dan kerapatan pohonnya.
Tegakan mangrove ibarat ladang bagi petani di daratan, yang dapat dijadikan aset
tidak bergerak bagi keluarga nelayan. Dengan tingginya nilai ekonomi tegakan
mangrove, sebagian besar masyarakat tergoda untuk menjualnya ke pengusaha
arang.
4. Tiang pancang rumput laut
Usaha pertanian rumput laut telah menjadi komoditas primadona bagi
warga Pulau Tanakeke, Kabupaten Takalar. Puncak produksi rumput laut
biasanya terjadi pada Bulan Juni sampai Desember. Harga rumput laut kering di
tingkat petani per kilogram mencapai Rp 4.000 s/d Rp 7.000. Kebutuhan akan
tiang pancang berbahan kayu mangrove semakin tinggi seiring dengan semakin
meningkatnya luasan pertanian rumput laut. Sebagian masyarakat yang memilki
tegakan mangrove menebangnya untuk dijadikan tiang pancang rumput laut. Bagi
masyarakat yang tidak mempunyai tegakan mangrove akan membelinya dengan
harga mencapai Rp 3.000/batang dengan ukuran panjang 3 meter.
5. Usaha pembibitan mangrove
Peluang usaha pembibitan mangrove juga dilakukan oleh masyarakat
Pulau Tanakeke dengan membentuk kelompok masyarakat. Salah satu kelompok
masyarakat yang bergerak dalam usaha pembibitan mangrove adalah “Women
Page 159
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |159
Group”. Sesuai dengan namanya, kelompok ini beranggotakan ibu-ibu/istri
nelayan. Harga jual bibit mangrove di lokasi ini adalah Rp 1.000/batang. Dengan
adanya usaha ini, merupakan perwujudan peran serta ibu dan istri nelayan turut
meningkatkan pendapatan keluarga. Selain bergerak dalam usaha pembibitan
mangrove, kelompok ini juga melakuka aksi rehabilitasi mangrove secara
swadaya.
6. Bahan pembuatan paropo
Paropo merupakan salah satu metode penangkapan ikan yang dilakukan
nelayan di Pulau Tanakeke. Paropo merupakan kayu mangrove yang disusun
sedemikian rupa yang berfungsi sebagai tempat ikan untuk berkumpul dan
bersembunyi. Sistem kerjanya adalah ketika air dalam keadaan surut, ikan akan
tinggal di dalam paropo sehingga memudahkan nelayan untuk menangkapnya.
Sebagian besar nelayan memanfaatkan metode ini untuk menangkap ikan,
terutama ikan kerapu. Jika kayu mangrove telah banyak yang lapuk, maka nelayan
akan menggantinya dengan yang baru.
Kontribusi Mangrove dalam Bidang Ekologi
1. Daerah tangkapan untuk komoditas udang dan kepiting
Secara tidak langsung, mangrove berperan dalam meningkatkan
pendapatan nelayan. Hamparan mangrove meruapakan tempat yang baik bagi
berkembangnya udang dan kepiting, yang dimanfaatkan nelayan sebagai tempat
berburu kepiting dan udang. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan di
Pulau Tanakeke, rata-rata hasil tangkapan kepiting bakau per harimencapai 2-3
ekor kepiting, sedangkan udangnya berkisar 25 – 100 ekor.Harga kepiting bakau
bervariasi, tergantung besar kecilnya kepiting. Kepiting yang mencapai berat 1 kg
per ekornya harganya mencapai Rp 150.000,-, tetapi jika ukuran kecil per
kilogramnya dihargai Rp 60.000,-. Untuk hasil tangkapan udang, jika ukurannya
besar akan langsung dijual ke pengepul dengan harga mencapai Rp 80.000,-,
tetapi jika tangkapan udang masih kecil maka akan dilakukan pembesaran di
tambak. Berdasarkan hasil wawancara, pada saat ini populasi kepiting sudah jauh
berkurang. Hal tersebut dikarenakan semakin banyaknya masyarakat nelayan
yang berburu dan juga karena adanya degradasi mangrove.
Page 160
160| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
2. Pelindung tambak dan pemukiman dari banjir rob
Bentuk daratan Pulau Tanakeke yang menjari dengan pemukiman nelayan
berada diujung daratan membuat kawasan pemukiman rawan terkena banjir ROB.
Hal tersebut sudah sering terjadi dan dirasakan langsung oleh masyarakat.
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, dahulu sebelum mangrove
dikonversi menjadi tambak, tidak pernah terjadi banjir ROB yang sampai
pemukiman, tetapi setelah mangrove di konversi menjadi tambak, banjir ROB
yang menggenangi pemukiman sering terjadi. Kerugian semakin dirasakan
masyarakat karena tanggul tambak menjadi sering hancur karena tidak ada
penghalangnya. Dampaknya pendapatan nelayan tambak menjadi menurun.
Dengan merasakan langsung pengalaman tersebut, banyak warga yang merasakan
langsung manfaat mangrove dalam melindungi pemukiman mereka dari banjir
ROB, sehingga secara swadaya banyak masyarakat yang menanami kembali
tambak mereka dengan mangrove.
3. Menghasilkan sedimentasi dan tanah timbul
Vegetasi mangrove dengan ciri khas akarnya mempunyai kemampuan
dalam menjerap sedimen yang kemudian menjadi tanah timbul. Hasil wawancara
dengan masyarakat Pulau Tanakeke yang mempunyai tegakan mangrove,
mangrove di areal yang dimilikinya semakin lama akan semakin luas karena
adanya anakan baru yang tumbuh. Lama kelamaan anakan tersebut akan tumbuh
dan berbuah yang selanjutnya akan menghasilkan anakan baru yang tumbuh di
depannya. Dengan demikian, areal mangrove lama-lama akan menjadi semakin
luas. Berdasarkan penelitian Anwar (1998), laju akumulasi tanah akibat adanya
tegakan mangrove mencapai 9 mm/th.
4. Mengendalikan laju intrusi air laut
Manfaat mangrove secara tidak langsung yang dirasakan warga adalah
mangrove turut mengendalikan laju intrusi air laut. Intrusi air laut adalah masuk
atau menyusupnya air laut kedalam akuifer di mana air laut akan menggantikan
atau tercampur dengan air tanah tawar yang ada di dalam akuifer. Berdasarkan
penelitian Sukresno dan Anwar (1999) terhadap air sumur pada berbagai jarak
dari pantai menggambarkan bahwa kondisi air pada jarak 1 km untuk wilayah
Page 161
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |161
Pemalang dan Jepara dengan kondisi mangrove-nya yang relatif baik, masih
tergolong baik, sementara pada wilayah Semarang dan Pekalongan, Jawa Tengah
sudah terintrusi pada jarak 1 km.
5. Melindungi pulau dari abrasi akibat gelombang pasang dan angin kencang
Sebagai pulau sangat kecil dengan luasan yang hanya 43 km2, Pulau
Tanakeke sangat rawan akan bahaya abrasi yang timbul akibat gelombang pasang
dan angin kencang. Pada saat musim angin barat atau angin timur dengan
kecepatan yang tinggi tentu akan sangat berbahaya bagi lingkungan daratan
terutama di daerah pinggiran pantai. Dengan adanya hutan mangrove yang
menjadi barier atau pelindung pada pesisir pantai, kuatnya angin laut yang bertiup
ke darat akan dapat ditahan dan diserap. Hasil penelitian Suryana et al. (1998)
melaporkan bahwa daya jangkauan air pasang berkurang sampai lebih dari 60 %
pada lokasi dengan lebar hutan mangrove 100 m. Bahaya abrasi dapat mengancam
pemukiman warga yang tinggal di kawasan pantai dan berbatasan langsung
dengan laut seperti di Desa Tompotana dan Desa Rewataya. Berdasarkan laporan
dari BBC (2014), tingkat abrasi air laut yang terbesar terjadi di Desa Bedono
Kabupaten Demak dengan Luas kawasan yang terkena erosi mencapai 2.116,54
ha yang menyebabkan garis pantai mundur sepanjang 5,1 kilometer yang terjadi
dalam kurun waktu 20 tahun. Dengan demikian, hamparan hutan mangrove di
Pulau Tanakeke berfungsi juga dalam menjaga kestabilan garis pantai dari abrasi
dan menjaga kelestarian ekosistem pantai.
SIMPULAN
Secara umum, kondisi ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke masih
cukup bagus, walaupun masih ada kerusakan di beberapa tempat. Kontribusi
ekosistem mangrove dalam pembangunan kawasan pesisir dan pulau kecil sangat
dirasakan masyarakat. Kehidupan sehari-hari masyarakat sudah sangat tergantung
dengan keberadaan ekosistem mangrove, baik dari segi ekonomi (manfaat
langsung) maupun dari segi ekologi (manfaat tidak langsung). Peranan mangrove
dari segi ekonomi bagi masyarakat Pulau Tanakeke diantaranya adalah sebagai
penghasil arang dan kayu bakar, tiang pancang rumput laut, usaha pembibitan
Page 162
162| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
mangrove untuk kegiatan rehabilitasi dan digunakan sebagai bahan pembuatan
paropo sebagai salah satu metode penangkapan ikan tradisional. Kontribusi
mangrove secara tidak langsung bagi masyarakat Pulau Tanakeke diantaranya
adalah sebagai daerah tangkapan untuk komoditas udang dan kepiting, pelindung
tambak dan pemukiman dari banjir ROB, menghasilkan sedimentasi dan tanah
timbul, mengendalikan laju intrusi air laut, melindungi pulau dari abrasi akibat
gelombang pasang dan angin kencang.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar A.S, M. 2014. Geospatial Modeling of Vegetation Cover Changes on A
Small Island - Case Study: Tanakeke Island, Takalar District, South
Sulawesi. Graduate School Bogor Agricultural University, Bogor. (Not
Published).
Anwar, C. 1998. Akumulasi tanah di Bawah Tegakan Mangrove. Prosiding
Expose Hasil Penelitian BTPDAS Surakarta, Februari 1998: 105-115.
BTPDAS Surakarta, Solo.
Dahuri R, J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita.
BBC. 2014. Desa Bedono di Demak terancam tenggelam akibat abrasi.
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/12/151212_indonesia_demak_abrasi”. Diakses tanggal 17 Juni 2016.
Inoue, Y., O. Hadiyati, H.M.A. Affendi, K.R. Sudarma dan I.N. Budiana. 1999.
Model Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari. Departemen Kehutanan dan
Perkebunan dan JICA. Jakarta.
Giri, C. E. Ochieng, L. L. Tieszen, Z. Zhu, A. Singh, T. Loveland, J. Masek and
N. Duke. 2011. Status and Distribution of Mangrove Forests of the World
using Earth Observation Satellite Data. Global Ecology and Biogeography,
20, 154–159.
Hilal, H dan Syaffriadi. 1997. Pemanfaatan Sumber Energi untuk Mendukung
Pembangunan berkelanjutan. Jurnal Studi Pembangunan Institut Teknologi
Bandung Vol. 1 No. 2. Bandung.
Rahayu, S. 1994. Mengikutsertakan Masyarakat Pedesaan dalam Proyek
Pembangunan Hutan Berskala Kecil. Journal of Forestry Research and
Development IX (2) : 73 –79.
Sukresno dan C. Anwar. 1999. Kajian Intrusi Air Asin pada Kawasan Pantai Ber-
lumpur di Patai Utara Jawa Tengah. Bulletin Teknologi Pengelolaan DAS
V (1) : 64-72. Balai Teknologi Pengelolaan DAS Surakarta, Solo.
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Nybakken, J .W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Page 163
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |163
CSR DAN UPAYA PEMBANGUNAN ALTERNATIF: REFLEKSI ATAS
PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DI JAWA TIMUR
Abdul Kodir
Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Malang, [email protected] , 081217200051
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai relasi antar aktor yang
berperan dalam pembentukan Peraturan Daerah No 4 Tahun 2011 tentang
Tanggung Jasab Sosial Perusahaan. Selain itu penelitian juga melihat sejauh mana
efektifitas pelaksanaan Perda di lapangan. Pertemuan penting UN Global Compact
di Jenewa, Swiss, Kamis, 7 Juli 2007 yang dibuka Sekjen PBB mendapat perhatian
media dari berbagai penjuru dunia. Pertemuan itu bertujuan meminta perusahaan
untuk menunjukkan tanggung jawab dan perilaku bisnis yang sehat yang dikenal
dengan corporate social responsibility (CSR). Di Indonesia regulasi mengenai CSR
itu sendiri dijelaskan dalam UU PT No 40 tahun 2007, dan bahkan hal tersebut di
respon hingga pemerintah daerah melalui peraturan daerah. Khusus di provinsi
Jawa Timur, regulasi mengenai CSR tersebut dijelaskan dalam Peraturan Daerah
No 4 Tahun 2011. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk melihat
relasi sosial sebagai objek penelitian. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa
peraturan daerah tersebut merupakan merupakan kompromi politik dalam upaya
mengakomodasi kelompok kepentingan yang ada. Adanya peraturan tersebut juga
ingin mensinergiskan antara program CSR yang dilakukan perusahaan dengan
program pemerintah provinsi daerah sebagai upaya percepatan pembangunan di
wilayah Jawa Timur.
Kata kunci: CSR, Perda, Pembangunan
PENDAHULUAN
Fenomena munculnya tanggung jawab sosial perusahaan atau yang lazim
disebut dengan Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan salah satu
perkembangan dari sistem ekonomi politik global. Dan juga merupakan kewajiban
untuk perusahaan multinasional untuk menunjukkan tanggung jawab lebih besar
dalam hal transparansi dan akuntabilitas terhadap lingkungan sekitar
perusahaannya (Levy & Newell 2006:56; Sell & Prakash, 2004;143, Doh & Guay,
2006: 147). Kelahiran CSR yang merupakan sebuah respon msyarakat global
terhadap proses industrialisasi yang dilakukan oleh korporasi MNC/TNC yang
secara nyata menyebabkan masalah ekologi, HAM, dan permasalahan sosial
lainya yang perlu untuk segera ditangani. Fakta-fakta kerusakan ekologi pada
tingkat planet a.l dapat dilihat dari lahan pertanian, hutan hujan dan berhutan
Page 164
164| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
daerah, padang rumput dan sumber air tawar semua berisiko. Pada tingkat global,
lautan, sungai dan ekosistem air lainnya mengalami kerusakan. Seiring dengan
perkembangannya, CSR ini dianggap sebagai bentuk invisible hand dari
korporasi untuk tetap mempertahankan eksistensinya di tengah masyarakat global,
sehingga bisa melakukan proses produksi secara berkelanjutan (Bierman,
2001:45).
CSR dinilai sebagai produk internasional, yang dalam tujuan awalnya
merupakan kerangka besar agenda pembangunan dunia yang ingin mengentaskan
permasalahan yang ada di dunia khususnya di negara-negara berkembang
terutama bertujuan mengentaskan kemiskinan (Fajar, 2010:6; Prayogo, 2011:34).
Oleh karena itu diambilah kebijakan oleh PBB bahwasanya pihak korporasi/ non-
state harus membantu dalam permasalahan pembangunan yakni melalui program
CSR (Vogel, 2005: 13, Utting, 2000:27, Levy, 1997:126, Keck & Sikking, 1998:
57, Jepperson, 1991: 143).
Salah satu bentuk respon yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam
menyikapi isu mengenai CSR ialah dengan disahkannya UU No. 40 tahun 2007.
Dalam hal ini sempat terjadi perdebatan terutama dari pihak pengusaha karena
adanya CSR tersebut semakin menjadi beban baru bagi perusahaan untuk
mengeluarkan laba diluar pajak pemerintah yang sudah di tetapkan. Akan tetapi
keputusan tersebut sudah final dengan dikuatkan keputusan Mahkamah Konstitusi
(MK) yang dalam putusannya 15 April 2009 menolak gugatan uji material oleh
Kadin terhadap pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (UU PT) mengenai kewajiban Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
(TJSL) bagi perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif
merupakan suatu metode berganda dalam fokus, yang melibatkan pendekatan
interpretatif dan wajar terhadap setiap pokok permasalahan yang dikajianya. Ini
berarti bahwa penelitian kualitatif bekerja dalam setting yang alamiah dan
berupaya memahami dan memberi tafsiran pada fenomena yang dilihat dari
Page 165
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |165
makna yang diberikan orang-orang kepada fenomena tersebut (Salim, 2006: 34).
Selain itu penelitian kualitatif yang berusaha menekankan sifat realitas yang
terbangun secara sosial, yang memiliki hubungan eratantara peneliti dengan
subjek yang diteliti (Denzin & Lincoln, 2009). Peneliti menggunakan metode
kualitatif karena sangat sesuai untuk mengamati objek penelitian yakni mengenai
relasi-relasi sosial yang terbangun dalam implikasi Perda No 4 Tahun 2011 antara
agen-agen yang mempunyai andil dalam terbentuknya struktur tersebut.
PEMBAHASAN
Kemunculan Perda No 4/2011 tersebut karena provinsi Jawa Timur
merupakan provinsi dengan iklim investasi yang sangat baik, hal ini bisa dilihat
bahwa di Jawa Timur terdapat banyak perusahaan-perusahaan baik dari BUMN,
BUMD atapun BUMS. Hal tersebut dilihat bahwasanya adanya potensi yang
besar yang bisa diperoleh dari dana CSR peruahaan yang ada di Jawa Timur
khususnya BUMN untuk membantu pemerintah provinsi Jawa Timur dalam
membangun masyarakat melalui program-programnya yang terkadang tidak bisa
ter-cover dengan dana APBD Jatim. Dan juga dalam mengsinergiskan mengenai
upaya pembangunan yang ada di Jawa Timur dengan melibatkan dari dunia usaha
masih belum optimal itu karena adanya kesenjangan potensi daerah yang ada di
Jawa Timur itu sendiri, semisal ada suatu daerah yang terdapat jumlah perusahaan
yang begitu banyak hal ini sangat mendorong percepatan pembangunan yang ada
di wilayah tersebut contohnya Surabaya, Gresik dan Sidoarjo akibat dana CSR
dari perusahaan tersebut. Akan tetapi ada daerah yang sangat minim jumlah
perusahaan sehingga dalam upaya pembangunan hanya mengandalkan APBD
sehingga peroses pembangunan tersebut bisa dilihat sangat lambat. Oleh karena
itu melalui Perda ini bahwasanya akan mengakomodasi daerah yang minim
perusahaan akan mendapatkan dana CSR dari perusahaan di tempat lain demi
melakukan percepatan pembangunan yang ada di Jawa Timur.
Selain itu diberlakukan Perda tersebut memberikan kepastian hukum yang
jelas untuk implementasi program CSR perusahaan-perusahaan yang ada di Jawa
Timur, hal ini guna menghindari pungutan-pungutan yang sifatnya tidak jelas dan
Page 166
166| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
juga memberikan perhatian kepada perusahaan-perusahaan yang sudah
melaksanakan program CSR sesuai dengan standart yang berkelanjutan melalui
reward yang diberikan kepada perusahaan tersebut. Tidak hanya itu, Perda
tersebut dirumuskan karena keterlibatan dari pihak dunia usaha masih dirasa
kurang proaktif dalam proses pembangunan yang ada di wilayah Jawa Timur,
sedangkan dalam penguatan dalam terciptanya pembangunan yang bersinergis
tidak hanya pihak pemerintah yang terlibat, akan tetapi dari dunia usaha dan
masyarakat itu sendiri. Hal tersebut diharapkan ketiganya saling terintegritas dan
bersinergis dengan baik.
Sedangkan yang dimaksud dengan rasionalisasi tindakan adalah bahwa
aktor secara rutin mempertahankan suatu ‘pemahaman teoritis’ yang terus
menerus tentang landasan aktifitas mereka. Akan tetapi pemahaman mengenai hal
ini tidak boleh disertai dengan alasan unsur tindakan tindakan tertentu dan juga
tidak menspesifikasikan mengenai alasan secara diskursif. Perda tersebut dibuat
ialah guna mempercepat pembangunan yang ada di wilayah di Jawa Timur,
karena jika hanya mengandalkan dari dana APBN dan APBD pembangunan
tersebut dirasa akan lambat, oleh karena itu Perda tersebut mengatur mengenai
peran dari dunia uasaha dan masyarakat melalui program CSR yang diberikan
kepada masayarakat secara langsung dan tepat maka pembangunan akan sangat
cepat karena keterlibatan aktor-aktor tersebut.
Secara tekhnis hal yang diatur dalam Perda melalui Pergub mengatur
implementasi program CSR yang akan disalurkan oleh peruahaan tidak hanya
mengutamakan pemberian dana CSR hanya kepada wilayah-wilayah yang
menjadi range I mereka, akan tetapi pemerataan mengenai program-program CSR
oleh perusahan bisa tersalurkan di wilayah-wilayah yang seharusnya mendapatkan
dana meskipun tidak di wilayah range I mereka. Pengaturan tekhnis tersebut
melalui informasi-informasi yang dimiliki oleh pihak pemerintah mengenai
pemetaan wilayah-wilayah yang lebih memerlukan dana atau program CSR di
daerah Jawa Timur.
Page 167
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |167
Karena mengingat wilayah di Jawa Timur itu sendiri sangatlah luas,
dengan terbagi menjadi 38 daerah Kabupaten Kota, hal ini agar program maupun
dana CSR perusahaan tersebut bisa terserap dengan baik dan juga adanya
penebaran program CSR tersebut juga membantu brand image perusahan itu
sendiri nantinya, karena yang merasakan dana maupu program perusahaan
tersebut tidak hanya masyarakat yang ada di wilayah range I nya, akan tetapi
meliputi wilayah-wilayah yang ada di Jawa Timur nantinya.
Hingga sejauh ini dengan adanya Perda tersebut cukup memberikan
dampak yang positif kepada perusahaan-perusahaan yang ada di wilayah Jawa
Timur dikarenakan pihak dari perusahaan juga dilibatkan oleh pemerintah
provinsi Jawa Timur dalam melaksanakan proses percepatan pembangunan yang
ada. Dengan melalui setiap kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pihak
perusahaan segera dilaporkan kepada pihak pemerintah provinsi yang dalam hal
ini diwakili oleh BAPPEDA Jatim.
Lebih dari itu juga pengaturan melalui Perda tersebut cukup rinci dalam
pelaksanaannya, dalam hal ini mencoba menghindari beberapa kemungkinan
masalah yang terjadi ketika program CSR tersebut diimplementasikan di
lapangan. Yakni mengenai masalah tumpang tindih program ‘over climbing’ baik
dalam program maupun wilayah, yang seharusnya program tersebut bisa
dilaksanakan oleh perusahaan melalui program CSR akan tetapi juga program
yang sama dilakukan oleh pihak pemerintah dan juga wilayah yang seharusnya
sudah dimasuki oleh perusahaan tetapi juga disana benturan dengan program yang
dilakukan oleh pemerintah, begitupun sebaliknya. Hal ini menghindari terjadinya
miss komunikasi antara pihak masyarakat, perusahaan dan pemerintah.
Diharapkan nantinya sinergitas antara ketiganya sangat baik demi melancarkan
proses pembangunan yang ada di wilayah Jawa Timur khususnya.
Dampak mengenai kadanya Perda itu sendiri mungkin sejauh ini masih
belum bisa dirasakan oleh semua kalangan stakeholders yang ada di Jawa Timur,
akan tetapi keberadaan Perda juga cukup efektif dalam upaya menyalurkan
program perusahaan. Dimana penyaluran tersebut melalui pihak pemerintah
Page 168
168| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
melalui BAPPEDA yang di Koordinasikan dengan pihak SKPD terkait mengenai
bentuk program yang akan disalurkan oleh perusahaan tersebut agar tepat guna.
Pada prinsipnya adanya Perda yang sudah dibentuk oleh pihak pemerintah
yang pada pelaksaannya dilaksanakan oleh pihak BAPPEDA yang mewakili
pemerintah daerah provinsi Jawa Timur dengan memfasilitasi pelaksanaan
program CSR yang dilakukan oleh perusahaan dan juga memberikan apresiasi
kepada pihak perusahaan yang telah melaksanakan program tersebut dengan tepat
dikarenakan memang tidak ada sangsi tegas sendiri kepada perusahaan dalam
melaksanakan program CSR akan tetapi mencoba memberikan penyadaran dalam
mendorong setiap perusahaan untuk melakukan program CSR tersebut.
Terkait mengenai proses monitoring mapun evaluasi terhadap pelaksanaan
Perda ketika diimplementasikan oleh perusahaan tidak sepenuhnya dilakukan oleh
pihak pemerintah, akan tetapi hal tersebut dipasrahkan sepenuhnya kepada pihak
perusahan. Namun kewajiban yang dilakukan oleh perusahaan ialah melaporkan
kepada pihak BAPPEDA selaku ketua Tim Fasilitasi CSR di Jawa Timur.
Sehingga dari apa yang sudah dilaporkan tersebut diteruskan kepada pihak DPRD
Jatim selaku pembuat regulasi dan nantinya jika ada hal yang memang belum bisa
diatur dalam Perda ini maka akan perlu ditinjau kembali.
Mengenai sangsi dalam pelaksanaan program CSR itu sendiri memang
sampai sejauh ini belum bisa mengikat sepenuhnya, karena sampai sekarang ini
memang tidak ada sangsi yang mengikat, akan tetapi adanya Perda ini diharapkan
ada peningkatan peran dari perusahaan yang peduli dalam upaya melaksanakan
program CSR tersebut.
Meskipun hingga sejauh ini sangsi atau punishment yang diberikan kepada
pihak perusahaan hanya bersifat teguran tertulis oleh pihak provinsi hanya saja
memang teguran tersebut ada yang tidak mendapatkan respon. Karena memang
fungsi dari pihak pemerintah hanya sebagai fasilitasi perusahaan dalam
melaksanakan program CSR tersebut. Jika sanksi kemudian dipraktekan maka
perusahaan akan terbebani mengenai sanksi tersebut karena kegiatan CSR pada
prinsipnya ialah bersifat sukarela dan juga ketakutan yang akan terjadi jika
Page 169
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |169
perusahaan tersebut merasa terbebani maka perusahaan-perusahaan tersebut akan
berfikir kembali jika ingin menginvestasikan modalnya di wilayah Jawa Timur,
sehingga imbasnya produksi di Jawa Timur menurun dan secara langsung
berdampak kepada penurunan jumlah lapangan kerja.
SIMPULAN
Peraturan Daerah tersebut dikatakan sebagai sebuah produk hukum yang
sangat kompromis, dikarenakan dalam Peraturan Daerah tersebut ingin
mengakomodasi semua stakeholders maupun shareholders yang ada di provinsi
Jawa Timur. Kompromi kepentingan tersebut bisa dilihat dalam ketentuan
Peraturan Daerah tersebut tidak diatur mengenai prosentase laba bersih yang
dikeluarkan oleh perusahaan untuk melakukan program CSRnya, semuanya
diberikan keleluasaan kepada perusahaan untuk mengeluarkan jumlah dana untuk
program CSR.
Tidak hanya itu juga, kompromi kepentingan yang ada dalam Peraturan
Daerah tersebut ialah tidak diberlakukannya sanksi yang sangat tegas kepada
perusahaan yang tidak menjalankan program CSR sehingga bisa dikatakan
kekuatan hukum pada Peraturan Daerah tersebut tidak mengikat. Hal ini
dikarenakan bahwa nantinya Peraturan Daerah tersebut tidak menjadi beban
kepada perusahaan-perusahaan yang ada. Dan ketika Peraturan Daerah ini
menjadi beban tersendiri bagi perusahaan maka akan ditakutkan perusahaan-
perusahaan tersebut tidak mau menginvestasikan dan lari dari Jawa Timur
dikarenakan perusahaan sendiri sudah terbebankan dengan pajak yang berlaku.
Tujuan akhir dengan diberlakukannya Peraturan Daerah tersebut ingin
mensinergiskan mengenai peran serta keterlibatan dunia usaha dengan pihak
pemerintah daerah untuk mewujudkan pembangunan melalui progrm pemerintah
yang sampai hari ini tidak semuanya program pemerintah tersebut dapat ter-cover
jika hanya mengandalkan dana Anggaran Pembiayaan Belanja Daerah (APBD)
dan Anggaran Pembiayaan Belanja Nasional (APBN) untuk membiayai program
tersebut. Hal ini diharapkan dengan adanya Peraturan Daerah tersebut dapat
mengakomodasi program CSR yang dilakukan oleh perusahaan agar dapat
Page 170
170| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
disesuaikan dengan rencana pembangunan program pemerintah daerah untuk
mewujudkan percepatan pembangunan yang ada di wilayah provinsi Jawa Timur
itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Bierman, F. (2001). The emerging debate on the need for a World Environment
Organization. Global Environmental Politics, 2001, 1, 1.
Denzin, Norman. K & Yoanna S. Lincoln. (2009). Handbook of Qualitative
Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Doh, P. J & T. R Guay (2006). Corporate social responsibility, public policy, and
NGO activism in Europe and the United States: An institutional-
stakeholder perspective. Journal of Management Studies, 1, 43.
Fajar, Mukti. (2010). Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia: Studi
tentang Penerapan Ketentuan CSR pada Perusahaan Multinasional,
Swasta Nsional & BUMN di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jepperson, L.R. (1991). Institutions, institutional effects, and institutionalism. In
W. W. Powell, & P. J. DiMaggio (Eds.), The new institutionalism in
organizational analysis. Chicago: University of Chicago Press.
Keck, M.E & K. Sikkink. (1998). Transnational advocacy networks in
international politics: introduction In M. E. Keck, & K. Sikkink (Eds.),
Activists beyond borders: Advocacy networks in international politics.
Cornell University Press: Ithaca.
Levy, L. D. (1997). Environmental management as political sustainability.
Organization and Environment, 2, 10.
Levy, D. L., & Newell, P. (2006). Multinationals in global governance. In S.
Vachani (Ed.), Transformations in global governance: Implications for
multinationals and other stakeholders, Edward Elgar: London.
Prayogo, Dody. (2011). Socially Responsible Corporation: Peta Masalah,
Tanggung Jawab Sosial dan Pembangunan Komunitas pada Industri
Tambang dan Migas di Indonesia. Depok: UI-Press.
Salim, Agus. (2006). Teori & Paradigma Penelitian Sosial : Buku Sumber Untuk
Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Tiara Kencana.
Sell, S. K., & Prakash, A. (2004). Using ideas strategically: The contest between
business and NGO networks in intellectual property rights. International
Studies Quarterly, 1, 48.
Utting, P. (2000). Business responsibility for sustainable development. United
Nations Research Institute for Social Development: Geneva.
Vogel, D. J. (2005). The market for virtue: the potential and limits of corporate
social responsibility. Brookings Institution Press: Washington DC.
Page 171
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |171
MEMBANGUN WISATA PAHLAWAN KOTA SURABAYA
R.N. Bayu Aji
Universitas Negeri Surabaya – email : [email protected]
Sumarno
Universitas Negeri Surabaya – email : [email protected]
Abstrak
Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia dan terkenal dengan sebutan kota
pahlawan. Gelar kota pahlawan yang diperoleh surabaya tidak terlepas dari sejarah
panjang yang diperhitungkan dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia dari
kolonialisme penjajah terutama saat terjadinya Perang 10 November 1945. Sejarah kota
pahlawan inilah yang kemudian harus senantiasa dijaga sehingga sampai kapanpun dapat
diwarisi keberadaannya oleh generasi selanjutnya sebagai wawasan kesejarahan yang
memiliki nilai arti penting. Surabaya kaya dengan situs bersejarah dan dapat digunakan
untuk peneladanan serta mengambil hikmah dari pendekatan historis yang ada dan
inheren dengan situs itu sendiri. Peneladanan dalam pendekatan historis tersebut bisa
dilakukan melalui wisata Pahlawan. Melalui wisata pula, nilai penting sejarah kota
surabaya bisa tertransformasikan kepada masyarakat umum, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Sebagai contoh surabaya memiliki Rumah Kediaman HOS
Cokroaminoto dan rumah kost yang pernah ditempati oleh Soekarno dan Sema’oen.
Kedua tempat tersebut merupakan bangunan cagar budaya, akan tetapi masih belum bisa
dimaksimalkan dengan baik sebagai salah satu objek wisata bernilai historis. Surabaya
juga memiliki makam khusus dan makam pahlawan seperti Makam Dr. Sutomo pendiri
Budi Utomo, Makam Bung Tomo seorang orator ulung pertempuran 10 November 1945,
Makam W.R. Supratman yang merupakan pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Semua nama-nama di atas merupakan pahlawan nasional Indonesia dan situs
bangunannya termasuk dalam bangunan-bangunan bersejarah yang telah dilindungi oleh
pemerintah kota Surabaya sesuai dengan Surat Keputusan Walikota Surabaya tahun 1996
dan tahun 1998 yang berisi tentang 163 bangunan dan situs yang harus dilindungi.
Pembangunan yang berkelanjutan harus juga memerhatikan potensi nilai kesejarahan
yang ada dalam perjalanan sejarah sebuah kota.
Kata kunci: potensi dan masalah, wisata pahlawan Surabaya
PENDAHULUAN
Kota Surabaya telah menjadi tujuan urbanisasi dari penduduk daerah-
daerah di sekitar kota Surabaya sejak sebelum abad ke-20. Surabaya memiliki
karakteristik penduduk yang sangat heterogen. Selain dihuni oleh penduduk
pribumi setempat, orang-orang Eropa, masyarakat Tionghoa, dan Timur Asing
lainnya, Surabaya juga menjadi tujuan orang-orang dari Pulau Madura yang
Page 172
172| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
memiliki sumbangan besar bagi terbentuknya formasi spasial kota (Purnawan,
2009: 14). Sampai saat ini, tidak bisa dipungkiri bahwa kota metropolitan seperti
surabaya merupakan salah satu daya tarik bagi daerah maupun kota lain untuk
dikunjungi. Sebagai kota yang banyak dituju oleh daerah lainnya, surabaya
memiliki nilai penting dalam pelestarian sebuah sejarah perkotaan. Surabaya yang
tekenal dengan sebutan Kota Pahlawan perlu memiliki warisan sejarah terkait
keteladanan para pahlawan yang pernah singgah dan menjadi orang besar di
Surabaya.
Warisan yang ada di setiap kota memiliki arti penting yang berbeda bagi
penduduk kota itu sendiri. Selama ini wisata kota Surabaya tidak pernah tergarap
dengan baik, meskipun terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan. Salah satu
potensi dan masalah yang harus dipecahkan adalah menjadikan Surabaya sebagai
kota yang memiliki wisata pahlawan. Berbeda dengan hanya sekedar penyebutan
gelar sebagai kota pahlawan, wisata pahlawan adalah bagaimana meneladani nilai
sejarah dari pahlawan serta situs bersejarahnya yang berada di Surabaya.
Seringkali anggapan selama ini Surabaya terkenal sebagai Kota Pahlawan yang
promosi dan peneladannya hanya melalui Museum Tugu Pahlawan. hal ini
mengakibatkan potensi dan permasalahan peninggalan situs lainnya yang ada di
Surabaya terlupakan.
Untuk meneladani nilai kepahlawanan melalui wisata pahlawan, di
Surabaya terdapat beberapa tempat ataupun situs bersejarah yaitu Rumah
Kediaman HOS Cokroaminoto dan rumah kost yang pernah ditempati oleh
Soekarno dan Sema’oen, makam umum dan makam pahlawan seperti Makam Dr.
Sutomo pendiri Budi Utomo, Makam Bung Tomo seorang orator ulung
pertempuran 10 November 1945, dan Makam W.R. Supratman yang merupakan
pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Tulisan ini mencoba mengetahui sejauh mana potensi dan permasalahan
yang melingkupi wisata pahlawan kota Surabaya. Bagaimana perkembangan situs
wisata pahlawan kota Surabaya yang memiliki nilai historis tinggi selama ini
harus dipertahankan, apa saja yang harus dikembangkan sebagai sebuah wisata
Page 173
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |173
sehingga selalu tetap menjadi cirikhas untuk membangun kota Surabaya yang
berkelanjutan ke depan.
PEMBAHASAN
Upaya pelestarian pusaka budaya menurut Timoticin Kwanda tidak hanya
melindungi satu atau beberapa bangunan saja, tetapi juga mempertahankan
struktur kota/kawasan (urban fabric), yang meliputi pola penggunaan lahan
(fungsi bangunan), langgam arsitektur, dan aktifitas kehidupan masyarakat yang
membentuk karakter suatu kawasan menjadi berbeda dan unik (Colombijn dkk.,
2005: 448). Surabaya sebagai Kota Pahlawan tidak bisa terlepas dari nilai-nilai
kepahlawanan dan nilai historis sebagai perjalanan tumbuh berkembangnya
sebuah perkotaan ke depan.
Berkat perlawanan heroik yang ditunjukkan oleh arek-arek suroboyo pada
10 November 1945, Surabaya sekarang berpredikat sebagai Kota Pahlawan.
Menurut Taufik Abdullah, peristiwa 10 November merupakan peristiwa besar
setelah proklamasi 17 Agustus 1945. Apabila peristiwa ini dipahami dari konteks
kesejarahannya, maka dapat dianalisa bahwa terdapat antusias pada tingkat
idealisme yang tinggi sebagai keabsahan proklamasi. Peristiwa 10 November
1945 di Surabaya tidak bisa dianggap sebagai sebuah kejadian yang hanya
menyangkut kalangan terpelajar dan tokoh besar saja. Tidak hanya para elit saja,
peristiwa 10 November diwujudkan dengan keterlibatan massa sebagai
nasionalisme dan proses pembentukan bangsa (Taufik Abdullah, 2001: 44-45).
Perkembangan kota di Indonesia berdasar jenisnya dari segi sosial budaya,
kependudukan, ekonomi, pola lingkungan fisik menunjukkan perawatakan yang
khusus. Perlu diakui bahwa perkembangan kota di Indonesia belum mampu
mengungkap kekhususan atau karakter yang dapat digeneralisasi karena banyak
alasan dan motivasi yang berbeda (Djoko dan Eko Budiarjo, 2005: 191-192).
Tentunya hal tersebut harus dicarikan solusi agar kota di Indonesia dapat
menunjukkan ciri khas masing-masing.
Page 174
174| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Merebaknya bangunan baru yang semakin marak dan dikatakan modern di
metropolis memang tidak bisa dihindarkan. Apabila bangunan yang dikatakan
modern di metropolis dapat mengggilas keunikan dan karakter atau ciri khas
kawasan kota bersejarah, maka dapat mengakibatkan pelecehan budaya (cultural
harassment). Tantangan utama adalah membangun kesadaran segenap pihak
tentang arti penting pelestarian atau konservasi kota bersejarah sebagai bagian tak
terpisah dari perkembangan kota (Eko Budiarto, 2005: 202).
Warisan luhur dari kota Surabaya berupa peninggalan nilai kepahlawanan
harus selalu dilestarikan untuk generasi mendatang. Nilai kepahlawan ini
menjadikan Surabaya sebagai inspirasi bagi kota lain dalam perjuangan ketika
masa penjajahan maupun masa mempertahankan kedaulatan negara setelah
kemerdekaan. Nilai kepahlawan dari kota Surabaya dengan pendekatan sejarah
dapat dipelajari melalui sarana wisata. Pengertian wisata tidak hanya sebagai
wahana atau sarana untuk bersenang-senang saja. Perihal yang utama dalam
penyebutan kata wisata adalah berkaitan dengan pesan dan kesan. Ketika
menelusuri dan menjalani wisata tersebut, kita akan mendapatkan pesan nilai
sejarah dan terkesan dengan pembelajaran serta peneladanan kisah secara historis.
Dengan demikian, wahana wisata memiliki nilai lebih sebagai transfer of
knowledge. Untuk itu, surabaya paling tidak memiliki wisata pahlawan yang harus
dikelola dengan baik dengan menggali potensi dan permasalahannya.
1. Rumah Kediaman H.O.S. Cokroaminoto
Rumah Kediaman H.O.S Cokroaminoto di Surabaya ada dua yakni di jalan
Ngagel Jaya dan di jalan Peneleh VII/29-31. Kedua bangunan tersebut adalah
saksi bisu dari perjuangan para pejuang kemerdekaan. Kedua bangunan tersebut
merupakan bangunan yang dilindungi oleh pemerintah kota Surabaya dan
termasuk dalam daftar bangunan cagar budaya melalui surat keputusan Walikota
Surabaya tahun 1996 dan tahun 1998 yang berisi 163 bangunan dan situs yang
harus dilindungi.
a. Permasalahan
Page 175
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |175
Kedua bangunan Rumah Kediaman H.O.S. Cokroaminoto memiliki nilai
penting sebagai warisan dan peninggalan sejarah pergerakan dan perjuangan di
Indonesia. Rumah yang berada di Ngagel Jaya saat ini nyaris tidak berarti.
Bangunan tersebut hanya menjadi bangunan kosong tanpa bisa menceriterakan
tentang peran besar dari pemiliknya. Sedangkan untuk Rumah Kediaman yang
berada di jalan Peneleh tampak tak terawat meskipun juga termasuk saksi bisu
kebesaran perjuangan bangsa yang dilakukan oleh H.O.S. Cokroaminoto.
Sangat disayangkan, kondisi bangunan rumah ini tidak mencerminkan
sebuah bangunan bersejarah yang termasuk sebagai cagar budaya. Rumah ini
pernah direnovasi tapi tidak memiliki nilai guna lebih. Sekitar tahun 2000
pemerintah kota Surabaya merenovasi atap agar kondisinya lebih baik dan
temboknya dikapur serta dicat sehingga terlihat bersih. Tidak bisa dipungkiri
kondisi ruangan dan kamar didalamnya terasa gelap, pengap dan kotor.
Gentingnya bocor saat hujan tiba. Penjaga rumah tersebut merasakan tidak ada
optimalisasi pemanfaatan. Bahkan rumah ini pernah dijadikan tempat kost agar
bisa mendapatkan keuntungan sebagai pemasukan dana untuk perawatan. Nama
besar Soekarno ternyata belum bisa mengangkat nilai bangunan menjadi lebih dari
sekadar bangunan kosong. Sementara itu, pengeluaran biaya untuk perawatan
selalu keluar dan tidak ada bantuan intensif yang memadahi dari pemerintah
(Kompas Jatim, 14 April 2004 dan 13 November 2006).
b. Potensi
Rumah Kediaman H.O.S Cokroaminoto yang berada di Jalan Ngagel Jaya
sebenarnya dapat dijadikan sebagai salah satu wisata pahlawan kota surabaya
karena cukup representatif apabila dijadikan museum serta terdapat diorama yang
kemudian mengulas sosok pemiliknya yakni H.O.S Cokroaminoto. Bisa juga
peninggalan benda yang berharga dari Cokroaminoto digunakan untuk menghiasi
ruangan. Seperti kita ketahui bersama bahwa Cokroaminoto adalah pemimpin
Sarekat Islam pada tahun 1912. Sebelum menjadi Sarekat Islam, organisasi ini
merupakan organisasi pedagang-pedagang islam bernama Sarekat Dagang Islam
(SDI). Selanjutnya, SI dalam perjalanannya pecah menjadi dua yakni SI merah
Page 176
176| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
dan SI putih. Sedangkan rumah kost yang berada di Peneleh pernah ditinggali
oleh tokoh Sarekat Islam (SI) yakni Sema’oen dan Soekarno sang proklamator
kemerdekaan Indonesia ketika masih muda dan bersekolah di Hogore Burger
School (HBS). Dari rumah yang terdiri enam ruangan ini, Soekarno seringkali
mendengar percakapan permasalahan politik sejumlah tokoh Sarekat Islam yang
berguru pada Cokroaminoto. Rumah ini dapat kita maksimalkan sebagai wisata
sekaligus belajar tentang kiprah Sema’oen dan Soekarno dalam sejarah
pergerakan sampai kemerdekaan Indonesia.
2. Makam W.R. Supratman
Makam W.R. Supratman terletak di jalan Kenjeran. Makam tersebut
dikelilingi oleh pagar besi di sisi utara, timur dan selatan, sedangkan sisi barat
dipagari oleh tembok putih. Makam itu berada di tengah pendopo berlantai
marmer coklat muda. Pendopo yang terletak di sisi utara area tampak megah
meski kesan seadanya tidak bisa dihindari. Sebagai contoh terlihat salah satu dari
fitting lampu yang menggantung tak teratur di tengah langit-langit pendopo.
Apabila di sekitar kompleks area pemakaman ada acara, permukaan makam
ditutup dengan papan, khususnya bagian tengah yang membentuk biola.
Keteduhan di kompleks makam dapat dirasakan di bawah pendopo. Selebihnya
terasa panas karena hanya terdapat satu pohon di pojok selatan kompleks
pemakaman (Kompas Jatim, 26 Juni 2002).
W.R Supratman merupakan pemain biola dan pencipta lagu kebangsaan
Indonesia Raya. Perjalanan W.R Supratman dalam dunia seni dan musik begitu
penting bagi inspirasi rasa nasionalisme di luar jalur pergerakan mengangkat
senjata. Pelajaran seni dan musik W.R. Supratman didapat dari kakak iparnya
yakni Willem van Eldik. Keahliannya bermain biola mengantarkannya ahli dalam
menggubah lagu. Pada tahun 1924, W.R. Supratman menggubah lagu Indonesia
Raya yang menjadi lagu kebangsaan negara Indonesia.
a. Permasalahan
Page 177
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |177
Kondisi Makam W.R. Supratman terlihat kurang terawat. Warna pagar
makam tampak memudar dan rerumputan liar tumbuh lebat di pekarangan
makam. Bukan hanya tidak terurus dengan baik, jarang sekali ada bunga yang
bertabur di pusaranya. Seringkali justru pusara yang terbuat dari marmer putih
terlihat penuh kotoran kelelawar. Ketika malam hari tiba, kompleks makam
terlihat remang-remang karena lampu mercuri yang terpasang terkadang hidup
dan mati (Kompas Jatim, 19 Desember 2001). Makam W.R. Supratman
beberapakali diupayakan untuk dipugar dan direnovasi, namun seringkali terhenti
karena kendala anggaran dana. Dinas Pertamanan dan Pemakaman kota Surabaya
nampak belum maksimal sebagai pelaksana renovasi dan pemugaran. Sejalan
dengan hal tersebut, makam W.R. Supratman juga jarang dikunjungi peziarah
baik dari kalangan pelajar, kalangan umum, maupun kalangan pemerintah.
b. Potensi
Dalam hal penataan dan renovasi kawasan makam, sebenarnya telah ada
keinginan untuk merenovasi serta menjadikan Makam W.R. Supratman sebagai
salah satu wisata di kota surabaya. Pemerintah kota Surabaya juga merencanakan
pembangunan ruang musik, patung W.R. Supratman, dan relief lagu Indonesia
Raya yang masih asli (Kompas Jatim, 26 Juni 2002). Pergerakan dan perjuangan
W.R. Supratman melalui musik dan nasionalisme sebenarnya secara umum telah
muncul sebagai salah satu fase periode Romantik musik Eropa abad 19. Gerakan
itu merupakan reaksi dari dominasi musik seni yang universal dari komposer
besar seperti Mozart dan Bethoven. Jadi, inisiatif gerakan ini melibatkan
nasionalisme ke dalam musiknya. Lagu yang diciptakan oleh W.R. Supratman
merupakan salah satu wujud dari nasionalisme. Perkawinan antara musik dengan
nasionalisme di Indonesia ini berjalan lurus dengan semangat jamannya (Kompas,
8 Juni 1992).
Upaya yang perlu didukung adalah kunjungan anak-anak sekolah dasar
saat memainkan biola dan sekaligus menyanyikan lagu indonesia raya di Makam
W.R. Supratman. Selanjutnya, anak-anak sekolah dasar juga mencatat tiap sejarah
kiprah W.R. Supratman yang tertulis di makam (detiksurabaya.com, 14 Agustus
Page 178
178| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
2008, diakses 4 Desember 2009). Kunjungan itu memiliki arti penting bagaimana
mempelajari sosok kepahlawanan dan nilai sejarah perjuangan dengan langsung
melihat situs bersejarahnya. Tidak hanya kunjungan ziarah saja yang didapatkan
apabila Makam W.R Supratman dijadikan tujuan utama dalam wisata pahlawan
kota Surabaya. Melalui wisata kunjungan ke Makam W.R. Supratman, kita semua
sekaligus dapat belajar sejarah terutama mengenai perannya ketika berjuang
melalui seni dan musik demi perjuangan bangsa Indonesia hingga rela
mempertaruhkan keselamatan nyawa untuk tanah air.
3. Makam dr. Sutomo
Sejarah pergerakan nasional Indonesia dan kepahlawanan Surabaya tidak
terlepas dari peranan Budi Utomo yang didirikan oleh dr. Sutomo pada tanggal 20
Mei 1908. meskipun banyak yang mengkritik bahwa pergerakan Budi Utomo
masih berwatak kedaerahan khususnya Jawa sentris, namun pendiriannya
memiliki peranan penting dalam sejarah pergerakan nasional bangsa Indonesia
saat terajajah. Peran penting itu adalah sebagai pemantik kesadaran dan
kebangkitan pergerakan nasional di Hindia Belanda. Pergerakan Budi utomo yang
menitik beratkan pada pendidikan dan budaya merupakan kebutuhan riil dari
bangsa indonesia tentang pentingnya pendidikan.
a. Permasalahan
Makam dr. Sutomo terletak di jalan Bubutan 85 Surabaya. Makam ini
memang lebih banyak dikunjungi oleh peziarah, namun pada hari tertentu saja
seperti saat hari Pahlawan 10 November, hari Kebangkitan Nasional 20 Mei dan
peringatan wafatnya dr. Sutomo 30 Mei. Selain hari itu, Makam dr. Sutomo
menjadi sepi dan kosong. Saat ini, Makam dr. Sutomo dijaga oleh Murtiningrum
yang merupakan salah satu mahasiswa dan sekaligus asisten dr. Sutomo. Makam
dr. Sutomo berdekatan dengan rumahnya yang merupakan bekas kompleks
Gedung Nasional Indonesia (Kompas, 13 November 2006). Tidak banyak orang-
orang yang concern terhadap pelestarian dan menjaga makam para pahlawan.
b. Potensi
Page 179
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |179
Nama besar dr. Sutomo dan teman-temannya dari STOVIA yakni
Goenawan Mangoenkoesoemo, Goembrek, Saleh, dan Soeleman sebenarnya bisa
dijadikan kekuatan untuk mendatangkan peziarah ataupun pengunjung. Perjalanan
hidup dr. Sutomo dapat dijadikan pelajaran untuk meneladani sosoknya sebagai
dokter yang sekaligus berperan untuk pencerahan pendidikan dan dunia
kedokteran di Hindia Belanda. Tentu saja ilmu kedokteran yang diajarkannya
tidak berwatak matrealistis dan harus memberikan manfaat bagi yang miskin.
Rumah dr. Sutomo yang berdekatan dengan makamnya dapat juga
dijadikan sebagai salah satu tempat persinggahan setelah berziarah. Banyak kisah
yang bisa diinformasikan dan dipelajari dari dr. Sutomo saat berada dirumah
tersebut. Mulai dari kiprahnya dalam Indonesische Studie Club (ISC) yang
merupakan wadah kaum terpelajar yang didirikan dr. Sutomo pada tahun 1924.
Kemudian ISC berubah menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) hingga berfusi
dan melahirkan Partai Indonesia raya (Parindra). dr. Sutomo diangkat menjadi
ketua umumnya pada Desember 1935. Selain aktif di dunia politik, dr. Sutomo
juga menjadi pengajar di NIAS (Nedherland Indische Artsen School) yang saat ini
berubah menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Bukan tidak
mungkin, perjalanan hidup dan kebesaran dr. Sutomo dapat dipelajari ketika
makam dr. Sutomo tidak hanya dijadikan sebagai makam biasa, melainkan
dijadikan wisata Pahlawan yang kemudian dikemas dengan pendekatan edukatif
secara historis.
4. Makam Bung Tomo
Bung Tomo (Sutomo) terkenal sebagai seorang orator ulung yang berperan
dalam pertempuran 10 November 1945. Ia berhasil membangkitan semangat arek-
arek Suroboyo dan para milisi di Surabaya untuk melawan sekutu (Inggris). Bung
Tomo juga menjadi pemimpin BPRI (Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia)
yang didirikannya pada tanggal 12 Oktober 1945.
a. Permasalahan
Page 180
180| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Makam Bung tomo terletak di pemakamam umum di jalan Ngagel.
Makam Bung Tomo tidak banyak diketahui oleh masyarakat luas termasuk juga
warga Surabaya. Hal itu mungkin menunjukkan ketidakinginan Bung Tomo untuk
dijadikan sebagai orang ternama dan dijadikan Pahlawan oleh siapapun. Maka
dari itu, Bung Tomo berpesan agar ia tidak dimakamkan di makam pahlawan
karena menurutnya dia tidak layak dan tidak meminta disejajarkan dengan
pahlawan.
b. Potensi
Makam Bung Tomo yang merupakan sebuah taman pemakaman umum
dapat dijadikan sebagai kunjungan salah satu wisata Pahlawan kota Surabaya.
Kesederhanaan Bung Tomo yang tidak mau dikuburkan di Taman Makam
Pahlawan dapat dijadikan sebagai salah satu daya tarik bagi peziarah ataupun
wisatan untuk selalu meneladani hal tersebut.
Selain itu, ketika melakukan ziarah sekaligus berwisata di Makam Bung
Tomo, dapat juga dilakukan perenungan untuk selalu menjadi seorang yang kritis.
Bung Tomo pernah menduduki jabatan penting seperti manjadi Menteri Urusan
Bekas Pejuang Bersenjata sekaligus Menteri Sosial Ad Interim tahun 1955-1956
saat Kabinet Perdana Menteri Burahnuddin Harapahap. Ia juga pernah menjadi
anggota DPR di tahun 1970-an saat Orde Baru berkuasa. Meskipun menjabat, ia
tetap selalu mengkritik pemerintah dan memerankan dirinya sebagai oposisi mulai
saat Orde Lama sampai Orde Baru. Bahkan, ia sempat dipenjarakan oleh Soeharto
karena banyak program pemerintah yang dikritik olehnya. Hal itu yang kemudian
menjadi penghambat baginya untuk diangkat menjadi Pahlawan Nasional oleh
Pemerintah Orde Baru. Baru tanggal 10 November 2008, Bung Tomo dianugerahi
gelar sebagai Pahlawan Nasional oleh Kabinet Indonesia Bersatu yang
disampaikan oleh Muhammad Nuh selaku Menteri Komunikasi dan Informatika.
Page 181
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |181
SIMPULAN
Hasil studi kajian mengenai membangun wisata pahlawan kota Surabaya
ini menunjukkan bahwa bangunan bersejarah masih belum mampu
dimaksimalkan dengan baik sebagai pengingat dan sekaligus tempat untuk
mempelajari sejarah. Bangunan bersejarah baik berupa rumah peninggalan seperti
Rumah Kediaman H.O.S Cokroaminoto dapat dijadikan salah satu wisata
pahlawan sekaligus mempelajari sejarah. Begitu juga dengan keberadaan makam
para pahlwan di Surabaya seperti Makam W.R. Supratman, Makam dr. Sutomo,
dan Makam Bung Tomo yang dapat dijadikan sebagai wisata pahlawan untuk
dikunjungi. Rumah peninggalan dan makam tersebut selain menjadi wisata juga
dapat dijadikan sarana untuk belajar tentang sejarah bangsa mulai pergerakan
nasional, kemerdekaan hingga mempertahankan kemerdekaan.
Surabaya sebagai Kota Pahlawan berdasar kajian ini ternyata memiliki ciri
khas yang dapat dijadikan sebagai ikon kotanya. Seiring dengan industrialisasi
kota Surabaya, wisata pahlawan merupakan ciri khas Kota Pahlawan yang dapat
dijadikan kekuatan untuk menunjukkan identitas Surabaya. Wisata pahlawan ini
tidak terlepas dari gelar pahlawan yang diperoleh oleh pemilik maupun tempat-
tempat situs bersejarah seperti W.R. Supratman, Soekarno, H.O.S. Cokroaminoto,
dr. Sutomo, Bung Tomo.
Berdasarkan potensi yang dimiliki oleh objek wisata pahlawan kota
Surabaya, maka langkah selanjutnya adalah mempertahankannya dan
mengembangkannya menjadi bangunan bernilai historis agar senantiasa menjadi
lebih hidup dan bisa menceriterakan perjuangan bangsa ini saat memperjuangkan
kemerdekaan. Pengenalan dan promosi wisata pahlawan kota Surabaya secara
intensif akan semakin meneguhkan Surabaya sebagai kota yang bergelar Kota
Pahlawan. marilah bersama-sama kita jadikan Surabaya sebagai kota yang penuh
dengan nilai kepahlawanan dengan pendekatan historis yang menjanjikan dan
memberikan pendidikan berupa ilmu pengetahuan bagi masyarakat dan bangsa
Indonesia.
Page 182
182| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. 2001, Nasionalisme dan Sejarah. Bandung: Satya Historika.
Basundoro, Purnawan. 2009, Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang
Sejak Zaman Kolonial Sampai Kemerdekaan. Yogyakarta: Ombak.
Budiarjo, Eko dan Djoko Sugiarto. 2005, Kota Berkelanjutan. Bandung: Alumni.
Budiharjo, Eko. 2005, Tata Ruang Perkotaan. Bandung: Alumni.
Colombijn, Freek, dkk., (ed.). 2005, Kota Lama Kota Baru Sejarah Kota-
Kota di Indonesia. Yogyakarta: Ombak, NIOD, Jurusan Ilmu Sejarah
Unair.
Kusno, Abidin. 2009, Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta
Pasca-Suharto. Yogyakarta: Ombak.
Anggoro, Antonius Ponco. “Bangunan Bersejarah, Pahlawan di balik
Pahlawan”, Kompas, tanggal 13 November 2006.
Solapung, Kaye A. “Musik dalam Nasionalisme, dan Lagu ‘Dari Sabang
Sampai Merauke’ Supratman”, Kompas, tanggal 08 Juni 1992.
“Makam WR Supratman Tak Terurus”, Kompas Jatim, Tanggal 19 Desember
2001.
“Saksi Sejarah yang Terabaikan”, Kompas Jatim, tanggal 14 April 2004.
“Seberapa Besar Penghargaan Kepada Pahlawan”, Kompas Jatim,
tanggal 13 November 2006.
“Renovasi Makam WR Supratman Seperti Sandiwara”, Kompas Jatim, tanggal
26 Juni 2002.
http://surabaya.detik.com/
Page 183
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |183
INDUSTRI BATIK MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA PINGGIRAN
DI SOLO
Riyadi
Universitas Negeri Surabaya, email: [email protected] , Hp. 085647073468
Eko Satriya Hermawan
Universitas Negeri Surabaya, email: [email protected] , Hp. 08563170312
Agus Trilaksana
Universitas Negeri Surabaya, email: [email protected] , Hp. 081335737996
Abstrak
Batik berasal dari Jawa meskipun di wilayah lain di Nusantara terdapat kerajinan
berbahan dasar kain dengan motif yang sekilas mirip batik. Batik dalam konsepsi Jawa
berasal dari kata “tik”, yang dalam bahasa Jawa berarti sesuatu yang kecil. Dalam bahasa
Jawa ditemukan istilah lain, yakni “klitik”. Penggunaan kata “tik” juga dijumpai dalam
“pabatik” yang dalam istilah Suku Dayak di Kalimantan berarti ”tato”. Dan “bitik” yang
berarti menggambar atau menulis. Di Minahasa dijumpai kata “mahapantik” yang berarti
menulis. Dengan demikian kata “ambatik” berasal dari kata “tik” yang berarti menulis
atau melukis sesuatu yang kecil. Dalam konteks ini dipersepsikan bahwa batik adalah
kerajinan merangkai atau menghubungkan dari titik-titik satu ke titik-titik yang lain,
sehingga menjadi pola tertentu mengikuti pakem baku dalam seni membatik. Batik
tumbuh dan berkembang selaras dengan kultur, sehingga bagi orang Jawa batik selalu
mewarnai sejak kelahiran yang dijemput dengan baik sampai meniinggal yang juga
ditutup dengan batik. Kelekatan batik ini tidak membedaan linta etnisitas, termasuk juga
etnis Tionghoa yang ”terjebak” dalam budaya Jawa di Solo. Dalam penelitian ini
digunakan metode sejarah berusaha menggali aktivitas usaha batik masyarakat Tionghoa
di Solo. Hasil yang diperolah yakni eksistensi batik yang lekat dengan keraton, membuat
batik berkembang pesat seiring fungsi keraton juga sebagai pusat kebudayaan dan
kesenian sehingga usaha batik inipun diikuti masyarakat di luar istana. Batik dengan
begitu cepat memiliki potensi ekonomis yang begitu besar juga dimanfaatkan etnis
Tionghoa yang membawa transformasi identitas sebagai orang Jawa.
Kata Kunci: Batik, Tionghoa, Solo
PENDAHULUAN
Mengapa kehidupan orang Tionghoa selalu identik dengan aktivitas
perniagaan serta bagaimana perkembangan aktivitas ekonomi tersebut mampu
menjadi perekat sosial antara Tionghoa dengan orang Jawa? Apakah terjadi
pergeseran yang berarti pada aktivitas ekonomi Tionghoa di Balong seiring
perubahan rezim di Indonesia pada paruh kedua abad ke-20? Jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan itu memerlukan pemahaman tentang kegiatan ekonomi
Page 184
184| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
masyarakat Tionghoa mulai periode yang lebih awal ketika komunitas ini menetap
di Surakarta.
Dimulai pada abad ke-20, kegiatan perdagangan yang dilakukan orang
Tionghoa di Balong semakin memegang peran penting dalam sistem ekonomi
masyarakat Surakarta yang ketika itu digunakan lebih dari satu sistem ekonomi,
mulai dari kolonial, kerajaan, hingga swasta. Diantara ketiga sistem itu, swasta
jauh lebih pesar berkembang sedangkan kolonial sudah mulai mendekati masa-
masa kebangkrutan dan sistem kerajaan semakin tergerus modernisasi sehingga
tidak dapat berjalan dengan baik. Dalam kondisi demikian para pelaku ekonomi
Tionghoa mulai membentuk kongsi-kongsi kecil yang didasarkan pada dua hal
yaitu, suku asli serta jenis bidang usaha yang dilakukan. Sesama anggota kongsi
ini memiliki solidaritas yang kuat untuk membangun jaringan ekonomi yang
lebih luas. Sebagai contoh, sub etnis Tionghoa terbesar di Surakarta yaitu Hokkian
yang umumnya memiliki usaha pada bidang hasil bumi dan toko besi. Sub etnis
Hokjia sebagai pedagang tekstil di Pasar Klewer, sub etnis Hakka sebagai
pedagang kelontong dan alat-alat rumah tangga, pada kelompok sub etnis yang
lebih kecil seperti Hinhua sebagai pelaku ekonomi pada bidang usaha otomotif,
sedangkan Hok Ciu pada bidang usaha perhiasan emas, Kwong Fu pada bidang
usaha mebelair, furnitur dan elektronik, dan yang terakhir sub etnis Hope sebagai
ahli gigi.1 Masyarakat Tionghoa di Balong ataupun Surakarta tidak ada yang
menjadi petani, hal ini yang menunjukkan perbedaan dengan Tionghoa di wilayah
Surakarta dengan wilayah lain.2
Sejak awal, aktivitas ekonomi etnis Tionghoa di Surakarta sudah menjalin
hubungan dengan pelaku ekonomi orang Jawa.3 Yang dimaksud pelaku ekonomi
1 M. Hari Mulyadi, “Sejarah Peranan dan Potensi Masyarakat Etnis Tionghoa di
Surakarta”, dalam Kalimatun Sawa’, Vol. 02, No. 02, 2004, hlm. 33-34. 2 Bukan tanpa alasan etnis Tionghoa banyak melakukan aktivitas ekonomi di kota, karena
kota dianggap memiliki potensi hubungan multi etnik yang lebih kompleks dengan tingkat
persaingan yang lebih tajam, meskipun demikian proteksi keamanan juga lebih mudah didapatkan
di kota. Potensi yang dimiliki kota itulah yang menarik perhatian pengkaji masalah sosial, politik
dan budaya. Lebih lanjut lihat Ahmad Habib, Konflik Antar Etnik di Pedesaan: Pasang Surut
Hubungan Tionghoa-Jawa, (Yogyakarta: Lkis, 2004), hlm. ix-xiii. 3 Benedict Anderson, Richard Robison, Charles A. Coppel, J.A.C. Mackie, dan Harol
Crouch berpendapat bahwa sebesar apapun kegiatan ekonomi yang dilakukan orang-orang
Tionghoa tidak akan menjadi borjuasi karena mereka tidak melibatkan diri dalam politik praktis.
Page 185
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |185
Jawa salah satunya yaitu pengusaha Laweyan yang bergerak dalam bidang tekstil
dan batik.4 Bukti-bukti interaksi dagang lintas etnis terlihat dari letak
perkampungan etnis Tionghoa di tepi Sungai Pepe yang terhubung langsung oleh
Sungai Bengawan Solo. Struktur geografis ini yang memudahkan arus distribusi
barang menuju Laweyan dengan menggunakan jalur sungai. Sementara itu tipe
rumah milik orang-orang Tionghoa tinggal di tepi Sungai Pepe pada umumnya
berbentuk ruko, serta pada bagian belakangnya menjorok ke sungai. Hal ini untuk:
(1) pemindahan barang-barang dari ruko menuju sungai, dan (2) arus distribusi
barang menuju kawasan konsumen di sepanjang sungai. Dimungkinkan juga
sebagai satu bentuk pertahanan Tionghoa agar cepat berpindah tempat ketika
situasi di lingkunganya tidak aman.
Masyarakat Tionghoa di Kampung Balong selain berdagang juga
mengembangkan industri rumah tangga dan industri batik. Pada awal abad ke-20
timbul kompetisi antara etnis Tionghoa dan Pribumi berkaitan dengan penguasaan
bahan baku batik dan industri batik.5 Pengusaha Tionghoa telah menanamkan
modal ke dalam industri batik di Surakarta sejak akhir abad ke-19, dan awal abad
ke-20. Bahan baku pembuatan kain batik yang meliputi kain mori, lilin, dan bahan
pewarna dimonopoli oleh pedagang-pedagang Tionghoa dan Arab.
Pada tulisan ini akan mengkaji bagaimana bentuk aktivitas ekonomi
masyarakat Tionghoa pinggiran di Surakarta dalam usaha batik sejak awal abad
XIX? Pada bagian terakhir ini juga akan membahas aktualisasi kebudayaan
Tionghoa di tengah budaya Jawa. Hal itu untuk membuktikan apakah kebudayaan
Tionghoa di Surakarta memiliki fungsi akulturatif atau sebagai bentuk luapan
romantisme tentang Cina.
Etnis Tionghoa akan eksis bila beraliansi dengan pribumi, karena legitimasi dan keamanan mudah
didapat dibanding bertahan dengan corak ke-Tionghoa-an. Lihat Twang Pek Yang, Elite Bisnis
Tionghoa di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950, (Yogyakarta: Niagara, 1998),
hlm. 12-13. 4 Susanto, ”Surakarta Tipologi Kota Dagang”, dalam Diakronik, Vol. 2, No. 6, januari
2005, (Surakarta: Jurusan Ilmu Sejarah UNS, 2005), hlm. 4-5. 5 Produksi kain batik di Surakarta sudah dimulai sebelum tahun 1830. Lihat Vincent J.H.
Houben, Kraton dan Kumpeni: Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870 (Leiden, KITLV Press,
1994), hlm. 250.
Page 186
186| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah.6
Pendekatan sejarah sosial relevan digunakan dalam penelitian ini karena dalam
pendekatan sejarah sosial memiliki cakupan topik yang sangat luas serta
komprehensif.7 Sebagai sebuah ilmu, sejarah mempunyai metodenya sendiri untuk
membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan objektif. Penelitian
historis ini, menurut Ernest Bernheim, memiliki empat tahapan pokok: Pertama,
heuristik, yaitu mencari dan menemukan sumber-sumber sejarah yang berkaitan
dengan topik penelitian; Kedua, melakukan kritik sumber baik ekstern maupun
intern; Ketiga, melakukan interpretasi. Pada tahap ini dilakukan sintesis terhadap
fakta-fakta yang diperoleh melalui kritik sumber atau disebut juga dengan analisis
sumber. Keempat, historiografi, yakni penyajian data tersebut dalam bentuk
tertulis.8
PEMBAHASAN
Salah satu industri batik yang berdiri pada abad ke-19 di Kampung Balong
adalah milik orang tua Go Tik Swan Hardjonagoro. Dengan kesibukkan
mengelola industri batik dan usaha kelontong, membuat Go Tik Swan harus
dititipkan kepada kakeknya.9 Gambaran ini menunjukkan bahwa Tionghoa hanya
sebagai pedagang adalah salah sampai sekarang Industri batik yang besar di
Surakarta sebagian milik orang Tionghoa. Sejak tahun 1930, Masyarakat
6 Metode penelitian sejarah adalah prosedur dari cara kerja para sejarawan untuk
menghasilkan kisah masa lampau berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh masa lampau
tersebut. Metode penelitian sejarah merupakan suatu usaha untuk memberikan interaksi dari
bagian tren yang naik turun suatu status generalisasi yang berguna untuk memahami kenyataan
sejarah, membandingkan dengan keadaan sekarang dan dapat meramalkan keadaan yang akan
datang. Metode sejarah disebut juga prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data
peninggalan masa lampau untuk memahami masa sekarang dalam hubungannya dengan masa
lampau. 7 Setiap gejala sejarah yang memanifestasikan kehidupan sosial suatu komunitas atau
kelompok, dapat disebut sejarah sosial. Sejarah sosial juga dipahami sebagai penulisan sejarah
yang mencakup berbagai aspek kehidupan manusia kecuali aspek politik. Lihat, Sartono
Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1992) hlm. 50. 8 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995) hlm. 99.
9 Lihat Rustopo, Jawa Sejati:... op. cit., hlm. 19-20.
Page 187
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |187
Tionghoa di Surakarta telah memiliki berbagai pekerjaan selain sebagai pedagang,
lihat tabel berikut:
Tabel 1. Persentase Klasifikasi Pekerjaan Orang Tionghoa di Surakarta
Menurut Jenis Kelamin Tahun 1930
Pekerjaan Laki-laki Perempuan Total
Produksi bahan mentah 3,77 0,72 3,19
Industri 24,03 33,72 25,87
Transportasi 2,31 0,36 1,94
Perdagangan 61,79 54,93 60,50
Pekerjaan bebas 3,09 1,95 2,87
Pegawai pemerintah 0,56 - 0,45
Jenis pekerjaan lain 4,45 8,32 5,18
Total 100,00 100,00 100,00
Sumber: Volkstelling 1930
Perkembangan industri batik Tionghoa pada awal abad ke-20 juga
ditopang oleh pembangunan sarana transportasi. Jalur kereta api beserta stasiun
selesai dibangun pada awal abad ke-20 yang menghubungkan daerah-daerah Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat berdampak positif terhadap industri batik di
Surakarta.10 Pembangunan jalur kereta api ke berbagai daerah di Jawa
memungkinkan jumlah pengiriman batik lebih banyak, misalnya Surabaya,
Jakarta dan Bandung. Keberadaan jalur kereta api tidak saja memperlancar
transportasi bahan baku batik, termasuk produksi kain batik itu sendiri.11
Menjelang tahun 1900 batik menjadi kebutuhan primer masyarakat Jawa,
Kalimantan, Sumatra dan pulau-pulau lainnya. Batik Surakarta mampu bersaing
dengan batik Pekalongan, Jogjakarta maupun batik pesisir pantai utara Jawa.
Kurun waktu di atas menunjukkan bahwa pemasaran batik Surakarta sudah
10 Di Purwosari dibangun stasiun yang menghubungkan Surakarta dengan Jogjakarta.
Jalur menuju timur, yakni menuju Surabaya, melalui Stasiun Jebres. Lebih lanjut lihat
Kuntowidjoyo, The making of A Modern Urban Ecology: Social and Economic History of solo,
1900-1915 dalam Lembaran Sejarah, hlm. 10 11 Shiraishi, An Age in Motion Populer Radicalism in Java, 1912-1926, (Ithaca and
London: Cornell University Press, 1990), hlm, 24.
Page 188
188| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
sampai di Singapura, Suriname maupun negara-negara lain.12 Kondisi pasar batik
di atas berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi etnis Tionghoa di Surakarta, baik
sebagai pedagang kelontong, pedagang perantara, perkreditan serta penjualan
candu yang juga mengikuti arus perdagangan batik.13
Di Surakarta orang Jawa, Tionghoa, Arab dan sedikit orang Eropa yang
masuk dalam kegiatan industri dan perdagangan batik. Orang Jawa mendominasi
produksi batik Surakarta, meskipun orang-orang Tionghoa dan Arab turut
memproduksi. Bahkan orang-orang Tionghoa dan Arab memonopoli bahan baku,
sehingga timbul ketergantungan terhadapnya. Perusahaan batik milik orang
Tionghoa berada di sebelah timur laut Kota Surakarta, yakni di Kampung
Warungpelem dan Balong.14 Semantara itu, peruahaan batik milik orang-orang
Arab berada di kawasan Pasar Kliwon.15
Orang-orang Tionghoa di Balong selain memproduksi batik juga
berdagang bahan dan obat-obatan batik.16 Hampir seluruh pedagang Jawa
mempercayakan orang Tionghoa dalam memenuhi kebutuhan bahan-bahan untuk
produksi batik. Penguasaan bahan baku industri batik sudah dilakukan sejak tahun
1870-an. Pengusaha batik pribumi berhubungan baik dengan pedagang-pedagang
Tionghoa karena batas keuntungan yang diambil tidak berlebihan dan adanya
kemudahan dalam pembayaran.17 Kemudahan pemberian kredit berdasarkan
kepercayaan pribadi dan memberi kredit berdasarkan perjanjian lisan, baik
mengenai bunga maupun pembayaran ansurannya.18
12 Susane Brener April, Domesticatig the Market History, Culture and Economy in A
Javanese Merchant Community, Disertation for the degree Doctor of philosophy in Antropology,
(Ithaca, Cornell University, 1991), hlm. 42. 13 Ketika batik masih dimonopoli keraton serta lingkup keluargannya, batik kurang dapat
berkembang. Namun ketika batik mulai dibuka bagi kalangan bukan aristokrat kerajaan, maka
batik berkembang sangat pesat. Lihat Soetopo, Batic Education and Culture, (Jakarta: Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan), hlm. 3. 14 Salah satu artefak yang masih dapat dilihat di masa sekarang adalah Pabrik Batik Merk
Tiga Negeri milik bapak Wijaya, seorang etnis Tionghoa, yang diwarisinya setelah tiga generasi.
Sebenarnya istilah “tiga negeri” dalam merek batik itu merupakan salah satu motif yang
menggabungkan antara batik keraton dan pisisir, serta batik pedalaman. 15 Lihat Shiraishi, 1990, hlm. 24. Sajid, Babad Solo, hlm. 64. 16 Sariyatun, Usaha Batik Masyarakat Tionghoa Vorstenlanden Surakarta Awal Abad XX,
(Surakarta, UNS Press, 2005), hlm. 75. 17 J. S. Furnifall, Netherland Indie: Study of Prural Economy, (Cambridge, Cambridge
University Press,1939), hlm 213-214. 18 Kofer, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil? (Jakarta: Gravity Press, 1985), hlm. 14-15.
Page 189
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |189
Harmonisasi Tionghoa-Jawa mulai luntur pada awal abad ke-19, karena
orang-orang Tionghoa menguasai industri batik dari hulu hingga hilir. Mereka di
samping sebagai pengusaha batik, juga memonopoli bahan baku industri batik.
Bahkan cara penyaluran bahan baku industri batik dilakukan secara kredit. Cara
ini berakibat pengusaha Pribumi tergantung kepada etnis Tionghoa.19 Faktor di
atas yang memacu munculnya konflik antara etnis Tionghoa dan Pribumi. Konflik
di samping faktor penguasaan bahan baku juga munculnya kesombongan etnis ini
setelah keberhasilan Revolusi Tiongkok 1911.20 Menurut Agus Salim yang
dikutip Deliar Noer bahwa Revolusi Tiongkok 1911 telah memicu perubahan
sikap orang-orang Tionghoa di Surakarta. Orang-orang Tionghoa memandang
rendah para pengusaha dan pedagang pribumi yang bergerak dalam industri batik.
Hal ini menimbulkan ketegangan antar mereka, bahkan orang Tionghoa
memandang dirinya sejajar dengan bangsa Belanda, meskipun kebijakan
diskriminasi sosial tetap diberlakukan kepadanya oleh pemerintah kolonial, yaitu
sebagai kelompok timur asing.21 Dalam konteks ini pemerintah kolonial Belanda
justru berpihak kepada etnis Tionghoa. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa
pemerintah Belanda merasa aman dan effisien untuk memungsikan etnis
Tionghoa sebagai penghubung ekonomi kapitalis dengan pedagang-pedagang
pribumi, dan tidak perlu memberi kekuatan politik dalam birokrasi kepada etnis
Tionghoa di Hindia Belanda.22 Keadaan ini mengakibatkan perdagangan
menengah dikuasa oleh etnis Tionghoa.
Kerajinan batik yang diproduksi oleh orang-orang Tionghoa, proses
pembuatannya tetap mengacu pada konsep yang dilakukan pengusaha Pribumi.
Sementara itu, ciri dan ragam hias batik mengacu pada seni tradisional. Ragam
hias dipadukan dengan lambang-lambang mitologi budaya Tionghoa. Ragam hias
yang paling popular adalah burung Phoenix, kupu-kupu, angsa, dan itik. Usaha
batik yang dilakukan orang-orang Tionghoa di Kampung Balong berhasil
membangun jaringan perdagangan yang sangat luas.
19 Sariyatun, op. cit. hlm.80. 20 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980),
hlm. 114-116. 21 Ibid., hlm. 116. 22 Susane Brenner, op. cit. hlm. 66.
Page 190
190| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Kemampuan menguasai jaringan perdagangan yang sangat luas, karena
usaha mereka mencakup tiga bidang, yakni: (1) proses produksi batik, (2)
perdagangan bahan baku batik, dan (3) perdagangan kain batik. Tiga kegiatan ini
membentuk jaringan ekonomi masyarakat Tionghoa yang sangat luas dan saling
mendukung.
Sementara itu kepemilikan perusahaan yang bersifat turun temurun
menjadikan usaha batik etnis Tionghoa tetap eksis dalam persaingan dengan
pengusaha Jawa. Sebagai contoh, usaha batik bermerk “Tiga Negeri” hingga saat
ini terus berproduksi di Kampung Balong, dan perusahaan ini akan terus
diwariskan secara turun temurun pula.23 Salah satu tokoh pengusaha batik
Surakarta dari keturunan Tionghoa adalah Go Tik Swan.24 Dia seorang etnis
Tionghoa generasi ke lima yang datang di Jawa. Mulai dari canggah Go Tik
Swan, Tjan Khay Sing, yang memiliki usaha batik.
Usaha yang ditempuh pemerintah kolonial Belanda untuk melindungi
usaha pribumi terbentur pada aktivitas orang Tionghoa yang bergabung dengan
orang Jawa, selain itu keberadaan orang Tionghoa juga sangat diinginkan orang
Jawa. Hal ini disebabkan pemerintah kolonial tidak mampu memberikan solusi
praktis yang dapat menghambat usaha etnis Tionghoa. Sebagai perbandingan
adalah peminjaman kredit bank-bank milik pemerintah kolonial harus
menggunakan persyaratan yang lebih pelik, maka pengusaha Jawa cenderung
memilih berkredit dengan orang Tionghoa.
Surakarta yang berkembang menjadi daerah swapraja membuat pengusaha
makin semarak di daerah ini, termasuk orang-orang Eropa. Perdagangan orang
Tionghoa ditempatkan di bawah hukum perdata Eropa (Europe Civil Code Tahun
1855). Dengan landasan undang-undang itu, etnis Tionghoa ditempatkan pada
kedudukan sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang Jawa.25 Dengan
23 Ibid., hlm. 101. 24 Go Tik Swan adalah orang yang mendapat perintah untuk membuat “batik Indonesia”
oleh Presiden Seokarno. Batik tersebut sepintas terlihat perpaduan antara ragam batik Jawa, dipadu
dengan Batik Pekalongan, batik pesisir utara Jawa serta sentuhan gaya Bali. 25 Budi Santoso, Rekayasa Kekuasaan Ekonomi (Indonesia 1800-1950); Siasat
Pengusaha Tionghoa, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 12.
Page 191
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |191
posisi di tengah-tengah antara Eropa dan Pribumi membuat orang-orang Tionghoa
mampu menarik keuntungan dari kedua belah pihak.
Pada paruh kedua abad ke-19, produksi batik untuk keperluan eksport
sudah dihasilkan oleh orang-orang Tionghoa. Para wanita pribumi yang menjadi
istri saudagar batik Tionghoa memegang peran penting dalam proses produksi.
Para wanita berkewajiban mengontrol kualitas batik. Para pekerja yang umumnya
Pribumi dikenakan disiplin secara ketat untuk menghasilkan batik berkualitas
baik. Orang Tionghoa merupakan tangan pertama yang melakukan eksperimen
warna sintetis, sehingga pewarnaan batik lebih cerah dan beragam. Jenis warna
yang dipakai umumnya pewarna tiruan yang tahan terhadap sinar matahari.26
Ketika batik cap sangat populer pada abad ke-19, orang-orang Tionghoa di
Kampung Balong tergerak untuk melibatkan diri dalam industri batik cap. Dari
perspektif ekonomi, teknik batik cap dirasa lebih menguntungkan, lebih cepat
proses pengerjaan, dan dijual dengan harga murah.27
SIMPULAN
Eksistensi batik yang lekat dengan keraton, membuat batik berkembang
pesat seiring fungsi keraton juga sebagai pusat kebudayaan dan kesenian
sehingga usaha batik inipun diikuti masyarakat di luar istana. Batik dengan begitu
cepat memiliki potensi ekonomis yang begitu besar sehingga industri batik di
Laweyan maupun industri batik milik etnis Tionghoa merupakan usaha yang
prestisius. Sentra industri batik mulai bermunculan di kawasan pinggiran
Surakarta sehingga muncul batif dengan motif-motif baru, baik itu motif Cina
maupun lokal. Sentra industri tersebut mengusung model atau corak yang khas.
Hingga tahun 1870 batik merupakan barang eksklusif dan dewasa ini hampir
setiap lapisan masyarakat menggemari batik termasuk masyarakat Tionghoa di
Solo.
26 Shiraishi, op. cit. 27 Sariyatun, op. cit. hlm. 82.
Page 192
192| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Habib. 2004. Konflik Antar Etnik di Pedesaan: Pasang Surut Hubungan
Tionghoa-Jawa.Yogyakarta: Lkis.
Budi Santoso. 1996. Rekayasa Kekuasaan Ekonomi (Indonesia 1800-1950);
Siasat Pengusaha Tionghoa. Yogyakarta: Kanisius.
Deliar Noer. 1980. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta:
LP3ES.
J. S. Furnifall. 1939. Netherland Indie: Study of Prural Economy. Cambridge:
Cambridge University Press
Kofer. 1985. Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?. Jakarta: Gravity Press.
Kuntowidjoyo, The making of A Modern Urban Ecology: Social and Economic
History of solo, 1900-1915 dalam Lembaran Sejarah, hlm. 10
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya.
M. Hari Mulyadi, “Sejarah Peranan dan Potensi Masyarakat Etnis Tionghoa di
Surakarta”, dalam Kalimatun Sawa’, Vol. 02, No. 02, 2004, hlm. 33-34.
Rustopo. 2007. Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di
Surakarta 1895-1998. Yogyakarta: Ombak.
_________. 2008. Jawa Sejatai: Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro.
Yogyakarta-Jakarta: Ombak-Yayasan Nabil.
Sajid, R.M.. 1984. Babad Sala. Surakarta: Rekso Pustoko.
Sariyatun. 2005. Usaha Batik Cina di Vorstenlanden Surakarta Awal Abad XX.
Surakarta: UNS Press.
Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Shiraishi. 1990. An Age in Motion Populer Radicalism in Java, 1912-1926. Ithaca
and London: Cornell University Press.
Soetopo. 1990. Batic Education and Culture. Jakarta: Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan.
Susane Brener April, Domesticatig the Market History, Culture and Economy in
A Javanese Merchant Community, Disertation for the degree Doctor of
philosophy in Antropology, (Ithaca, Cornell University, 1991), hlm. 42.
Susanto, ”Surakarta Tipologi Kota Dagang”, dalam Diakronik, Vol. 2, No. 6,
januari 2005, Surakarta: Jurusan Ilmu Sejarah UNS, 2005, hlm. 4-5.
Twang Pek Yang. 1998. Elite Bisnis Tionghoa di Indonesia dan Masa Transisi
Kemerdekaan 1940-1950. Yogyakarta: Niagara.
Vincent J.H. Houben. 1994. Kraton dan Kumpeni: Surakarta dan Yogyakarta
1830-1870. Leiden: KITLV Press.