TPA Sampah Elektronik dan TPA Limbah Kimia Oleh : Nurul Mahmuda (121810401008) Lailatul Fitri Fauziah (121810401009) Ahmad Mauludin Shohih (121810401024) Muslimatin (121810401035) 1. Fakta Setiap aktivitas manusia baik secara pribadi maupun kelompok, baik di rumah, kantor, pasar dan dimana saja berada, pasti akan menghasilkan sisa yang tidak berguna dan menjadi barang buangan. Sampah merupakan konsekuensi adanya aktivitas manusia dan setiap manusia pasti menghasilkan buangan atau yang dikenal dengan sebutan sampah (Hidayati, 2004:1). Menurut Keputusan Dirjen Cipta Karya,nomor 07/KPTS/CK/1999: Juknis Perencanaan, Pembangunan dan Pengelolaan Bidang Ke-PLP-an Perkotaan dan Perdesaan, sampah adalah limbah yang bersifat padat terdiri dari zat organik dan zat anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan. Sampah merupakan istilah umum untuk menyatakan limbah padat. Limbah sendiri atau bahan buangan dapat terdiri atas limbah padat, limbah cair, dan limbah gas. Dari ketiga bentuk limbah ini, limbah padat atau sampah lebih sering dijumpai dimana-mana dan kini semakin menjadi topik yang hangat (Said,1987). Contoh limbah lain selain sampah yaitu limbah elektronik (electronic waste/e-waste). Limbah elektronik merupakan barang elektronik yang dibuang karena sudah tidak berfungsi atau sudah tidak dapat digunakan lagi. E-waste perlu diwaspadai karena mengandung 1000 material. Sebagian besar dikategorikan sebagai bahan beracun dan berbahaya, seperti logam berat (merkuri, timbal, kromium, kadmium, arsenik, perak, kobalt, palladium, tembaga dan lainnya). Peningkatan konsumsi alat elektronik akan mengakibatkan terjadinya lonjakan e-
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
TPA Sampah Elektronik dan TPA Limbah Kimia
Oleh :
Nurul Mahmuda (121810401008)
Lailatul Fitri Fauziah (121810401009)
Ahmad Mauludin Shohih (121810401024)
Muslimatin (121810401035)
1. Fakta
Setiap aktivitas manusia baik secara pribadi maupun kelompok, baik di
rumah, kantor, pasar dan dimana saja berada, pasti akan menghasilkan sisa yang
tidak berguna dan menjadi barang buangan. Sampah merupakan konsekuensi
adanya aktivitas manusia dan setiap manusia pasti menghasilkan buangan atau
yang dikenal dengan sebutan sampah (Hidayati, 2004:1).
Menurut Keputusan Dirjen Cipta Karya,nomor 07/KPTS/CK/1999: Juknis
Perencanaan, Pembangunan dan Pengelolaan Bidang Ke-PLP-an Perkotaan dan
Perdesaan, sampah adalah limbah yang bersifat padat terdiri dari zat organik dan
zat anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak
membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan.
Sampah merupakan istilah umum untuk menyatakan limbah padat.
Limbah sendiri atau bahan buangan dapat terdiri atas limbah padat, limbah cair,
dan limbah gas. Dari ketiga bentuk limbah ini, limbah padat atau sampah lebih
sering dijumpai dimana-mana dan kini semakin menjadi topik yang hangat
(Said,1987).
Contoh limbah lain selain sampah yaitu limbah elektronik (electronic
waste/e-waste). Limbah elektronik merupakan barang elektronik yang dibuang
karena sudah tidak berfungsi atau sudah tidak dapat digunakan lagi. E-waste perlu
diwaspadai karena mengandung 1000 material. Sebagian besar dikategorikan
sebagai bahan beracun dan berbahaya, seperti logam berat (merkuri, timbal,
kromium, kadmium, arsenik, perak, kobalt, palladium, tembaga dan lainnya).
Peningkatan konsumsi alat elektronik akan mengakibatkan terjadinya lonjakan e-
waste di masa yang akan datang. Di Afrika Selatan dan China, diprediksi akan
terjadi lonjakan e-waste hingga 200 – 400 persen pada tahun 2020. Tak terkecuali
Indonesia, jika tanpa kendali dipastikan terdapat lonjakan e-waste. Meningkatnya
jumlah limbah elektronik di Indonesia dikarenakan beberapa faktor, antara lain:
(1) Minimnya informasi mengenai limbah e-waste kepada publik;
(2) Belum adanya kesadaran publik dalam mengelola e-waste untuk penggunaan
skala rumah tangga (home appliances);
(3) Pemahaman yang berbeda antar institusi termasuk Pemerintah Daerah tentang
e-waste dan tata cara pengelolaannya;
(4) Belum tersedianya data yang akurat jumlah penggunaan barang-barang
elektronik di Indonesia; serta
(5) Belum tersedianya ketentuan teknis lainnya, semisal umur barang yang dapat
diolah kembali.
Permasalahan sampah banyak memberikan pengaruh terhadap kehidupan
manusia dan lingkungan, terutama pada kesehatan, lingkungan, dan social
ekonomi (Suprihatin dkk.,1996).
TPA merupakan bentuk tertua perlakuan sampah yang hingga kini masih
diberlakukan terutama di negara-negara berkembang yang sistem daur ulangnya
masih belum optimal. Faktanya, TPA-TPA yang ada di Indonesia tidak
terorganisir dengan baik. Rata-rata TPA di Indonesia belum menerapkan sistem
pemilahan sampah. Antara sampah organik, anorganik, elektronik maupun limbah
kimia masih tercampur dalam satu TPA.
Proses penanganan sampah dimulai dari proses pengumpulan sampai
dengan tempat pembuangan akhir (TPA) secara umum memerlukan waktu yang
berbeda sehingga diperlukan ruang untuk menampung sampah pada masing-
masing proses tersebut. Guna memenuhi kebutuhan ruang tersebut maka
disediakan tempat sampah dimulai dari sumber pertama terbentuknya sampah
kemudian dikumpulkan di TPS (Tempat Pembuangan Sementara) dan pada
akhirnya akan diangkut ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). TPA (Tempat
Pembuangan Akhir) merupakan tempat dimana sampah mencapai tahap terakhir
dalam pengelolaannya sejak mulai timbul di sumber, pengumpulan, pemindahan,
(pengangkutan), pengolahan, dan pembuangan. TPA merupakan tempat dimana
sampah diisolasi secara aman agar tidak menimbulkan gangguan terhadap
lingkungan sekitarnya. Karenanya diperlukan penyediaan fasilitas dan perlakuan
yang benar agar keamanan tersebut dapat dicapai dengan baik. Faktanya, dalam
menetapkan lokasi TPA seringkali dijumpai masalah-masalah besar yang perlu
ditangani dengan seksama, seperti ketersediaan lahan, konflik kepentingan dan
penurunan mutu lingkungan (Basyarat,2006).
Berbagai kasus lokasi TPA sampah yang terindikasi bermasalah dalam
ketersediaan lahan, konflik kepentingan dan penurunan mutu lingkungan, antara
lain TPA Sampah kota Bandung di Leuwigajah, TPA DKI Jakarta di
Bantargebang, dan TPST DKI Jakarta di desa Bojong Kabupaten Bogor.
Permasalahan-permasalahan tersebut terjadi akibat penetapan lokasi TPA dan
TPST sampah pada awal perencanaannya tidak disesuaikan dengan criteria
pemilihan lokasinya dan dalam pelaksanaan pengelolaannya tidak sesuai standar
teknologi pengolahan yang berlaku. Longsornya TPA Leuwigajah disebabkan
karena sarana TPA tersebut belum dioperasikan sebagaimana layaknya.
Pengamatan dan penelitian yang dilakukan khususnya pada tahun 2003/2004,
menyimpulkan bahwa TPA Leuwigajah sudah berada pada kondisi yang sangat
tidak higienis dan rentan terhadap permasalahan lingkungan, terutama akibat
penimbunan secara open dumping yang antara lain dapat menyebabkan longsor
(Basyarat,2006).
Disamping itu, cara-cara yang selama ini digunakan, telah mengakibatkan
permasalahan lingkungan. Lindi (leachate) yang tidak dikendalikan telah
mencemari badan air di hilirnya. Kepulan asap, bau dan lalat merupakan kejadian
yang telah lama terpapar pada lingkungan di sekitar TPA. Penelitian kondisi
geoteknik dan hidrologi yang dilakukan pada tahun 1987 menyimpulkan bahwa
lokasi TPA Leuwigajah terletak di daerah perbukitan dengan kemiringan agak
terjal (lebih dari 30%), merupakan tanah residu dari batuan vulkanik dan terdiri
dari lanau elastis pasiran yang terletak di atas batuan andesit berkekar. Pada
musim kemarau curah hujan sedikit, lokasi ini akan merupakan daerah resapan,
namun pada musim hujan akan berubah menjadi daerah pengeluaran air yang
bersifat temporer, yang muncul dalam bentuk mata air musiman di dasar lembah
yang dapat berpindah dari elevasi satu ke elevasi lainnya. Selain dibutuhkan
sistem pelapis dasar TPA yang cukup kedap, maka drainase di bawah dasar
sangatlah dibutuhkan untuk mengalirkan air yang datang dari bawah agar tidak
masuk ke dalam timbunan sampah. Akibat terjadinya uplift akibat akumulasi air
yang terbentuk di timbunan sampah pada musim hujan maka sampah bergerak
dalam bentuk longsor (Basyarat,2006).
Konflik sampah perkotaan terjadi di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu
Bojong, Klapanunggal, Kabupaten Bogor (Kompas 25 November 2004). Konflik
persampahan di TPST Bojong, merupakan kasus kedua yang terjadi di lokasi
pengolahan akhir sampah DKI Jakarta. Kasus pertama terjadi di tempat
pembuangan akhir (TPA) sampah Bantargebang, Kota Bekasi, 10 Desember 2001
dan awal Januari 2004 yang berdampak terhadap penutupan TPA Bantargebang
(Basyarat,2006).
Catatan Reportase Konflik Persampahan Pemerintah DKI Jakarta dengan
Pemerintah Kota Bekasi dalam Menangani TPA Sampah Bantargebang
(Komunitas Jurnalis Bekasi, 2003), terlihat betapa berbagai sistem dan teknologi
pengolah sampah cukup ideal. Setidaknya terdapat tiga sistem, yakni dikubur
(balapres), dibakar (incenerated), dan sanitary landfill (menggunakan pelapis
geotekstil). Menurut konsepnya, semua sistem dan teknologi tersebut cukup aman
dari sudut lingkungan hidup. Karya teknologi modern tersebut mulai menjadi
bermasalah, begitu dikelola dengan manajemen yang kurang optimal dan tidak
profesional. Masalah utama yang dikeluhkan sebagian besar warga, justru bukan
di lokasi pembuangan atau pemusnahan sampah, melainkan ketika diangkut
menggunakan truk dari Jakarta ke TPA dan TPST. Pencemaran lingkungan terjadi
pada proses pengangkutan sampah ke TPA yang dilakukan tidak sesuai dengan
kriteria teknis yang berlaku. Sampah organik yang diangkut masih basah dan
mengandung banyak air lindi (leachate) dan tercecer sepanjang perjalanan
(Basyarat,2006).
Pencemaran ini menimbulkan aroma tak sedap yang dihirup warga dan
pengguna jalan. Kehadiran TPA dan TPST dapat menyebabkan kehadiran
pemulung. Kehadiran pemulung di TPST Bojong belum dirasakan warga sekitar,
namun dengan membandingkan pengalaman di TPA Bantargebang, maka
masyarakat menjadi khawatir dengan kehadiran pemulung nantinya. Pada
mulanya para pemulung mengais rezeki di dalam TPA, namun dalam
perkembangannya mereka menjadi tidak peduli terhadap dampak lingkungan.
Sampah yang belum dibuang ke TPA di turunkan pada saat proses pengangkutan.
Sampah-sampah yang bernilai ekonomis dimanfaatkan oleh pemulung, sedangkan
sisanya dbiarkan berceceran atau dibuang di tempat yang tidak layak, seperti
sawah, sungai dan kolam ikan, sehingga terjadi pencemaran terhadap lingkungan
sekitarnya (Basyarat,2006).
Fakta mengenai permasalahan sampah ini juga dibuktikan melalui sajian
data kuantitatif oleh beberapa peneliti maupun badan yang menangani
permasalahan sampah. Seperti yang dipaparkan oleh Badan Nasional Kelautan
dan Atmosfer AS (NOAA) dari Amerika Serikat pada bahwa setiap tahun, 10%
dari 200 milyar pon plastik diproduksi secara global dan berakhir di laut tengah
samudera pasifik utara (North Pacific Gyre) yang terletak kira-kira antara 135 °
sampai 155 ° W dan 35 ° ke 42 ° N . Dan sekarang, sekitar 46.000 potong sampah
plastik yang mengambang di setiap mil dari laut. Sekitar 1.700 mil massa sampah
plastik berada di tengah Pasifik Utara dan searah jarum jam bergerak perlahan
dari arus laut berbentuk spiral. Fakta tersebut menyebabkan 100.000 mamalia laut
setiap tahun seperti kura-kura laut, anjing laut dan burung menjadi korban
kematian terkait sampah plastik karena mereka mengkonsumsi atau terjebak
dalam limbah tersebut.
Tragedi kebocoran gas yang menimpa pabrik kimia milik Union Carbide,
3 Desember 1984, meninggalkan luka mendalam bagi warga Kota Bhopal, India.
Hingga kini, korban Tragedi Bhopal masih berjuang demi kelangsungan hidup
mereka. Akibat menghirup gas berbahaya itu, mereka kini menderita berbagai
macam penyakit. Bahkan, mereka tak memiliki uang lagi untuk berobat karena tak
sanggup bekerja akibat kondisi fisik lemah.
Bencana ini dipicu kebocoran 25 ton gas metil isocyanate dari tanki
penyimpanan milik Union Carbide. Gas berbahaya itu kemudian menyebar dan
dihirup ribuan warga miskin Bhopal. Akibatnya, sekitar 15 ribu orang tewas dan
setengah juta lainnya menderita aneka macam penyakit. Warga Bhopal yakin,
Union Carbide tidak membersihkan area penyimpanan gas pascapenutupan pabrik
kimia itu. Sehingga diduga, gas yang masih tertinggal meracuni pasokan air
minum milik warga.
Kondisi ini membuat sejumlah aktivis mendesak pemerintah India untuk
menyediakan pasokan air bersih bagi warga Bhopal. Tak hanya itu, pemerintah
diminta membersihkan lokasi kebocoran gas dan menuntut Union Carbide atau
Dow Chemicals--yang mengambil alih pabrik kimia Union Carbide--memberikan
lebih banyak kompensasi.
Pihak Amnesti Internasional juga telah menuntut Amerika Serikat agar
membawa Union Carbide dan Dow Chemicals ke meja hijau. Amnesti
Internasional turut mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa agar membuat
peraturan perlindungan hak asasi manusia yang nantinya harus diterapkan di
pabrik-pabrik (Ozi, 2004).
Data produsen elektronik mengungkapkan bahwa angka daur ulang
mereka sangat rendah. Para produsen perangkat keras computer (PC) hanya
melakukan 8,8 - 12,4 % daur ulang. Sedangkan tingkat daur ulang produsen
ponsel lebih rendah lagi, yakni hanya sekitar 2 – 3%.
Berdasarkan data UNEP (United Nations Environment Programme),
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Program Lingkungan, sampah
elektronik meningkat sebanyak 40 juta ton per tahun. Diantaranya adalah sampah
komputer bekas yang melonjak dari tahun 2007 hingga sekarang. UNEP
(Program Lingkungan Hidup PBB) memaparkan secara global sampah ponsel dan
komputer personal sebagai penyumbang terbesar diikuti limbah emas dan perak
3%, palladium 13% dan kobalt 15%, setiap tahunnya. Lonjakan e-waste yang
paling sensasional terjadi pada produk telepon seluler (ponsel). Saat ini hampir
setiap orang memiliki sebuah ponsel atau bahkan lebih, ini tentu akan
mempengaruhi jumlah e-waste yang dihasilkan. E-waste tertinggi berikutnya