TONSILLOTOMY VERSUS TONILLECTOMY ON YOUNG CHILDREN : 2 YEAR POST
SURGERY FOLLOW-UP
I. PendahuluanIndikasi tersering untuk operasi tonsil pada anak
adalah sumbatan jalan napas atas yang dapat menyebabkan gangguan
napas pada saat tidur (SDB). Gangguan napas pada saat tidur
merupakan gejala yang sangat kompleks tidak hanya mendengkur dan
sesak napas saat tidur tetapi juga, tidak nyenyak saat tidur,
sering terbangun dan gangguan perilaku. Health Related Quality of
Life (HRQL) siang hari dan level fungsional dihubungkan dengan SDB.
Mendengkur tanpa disertai dengan gejala SDB, bukan indikasi relatif
untuk dilakukan operasi tonsil pada anak dan orang dewasa. SDB pada
anak biasanya disebabkan karena adanya hipertrofi tonsil dari
cincin Waldeyer, yang membesar saat usia 5 tahun. Oleh sebab itu
operasi amandel yang disebabkan karena SDB umumnya dilakukan pada
kelompok usia pra-sekolah. Dulu, tonsillotomi atau intracapsular
tonsilektomi, pengangkatan sebagian tonsil telah menjadi metode
pembedahan untuk hyperplasia tonsil karena sedikitnya risiko trauma
pada pembedahan, kecilnya risiko perdarahan yang serius dan
pemulihan yang lebih cepat. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mempelajari efek jangka panjang dari tonsillotomy dan tonsilektomi
pada anak-anak setelah dua tahun dibandingkan dengan hasil setelah
enam bulan dan untuk menilai apakah efek yang menguntungkan
bertahan pada keadaan mendengkur, infeksi, HRQL dan perilaku.
II. MetodeStudi ini disetujui oleh Human Research Ethics Comitte
di Universitas Linkoping.SubyekAnak-anak (4,5-5,5 tahun) yang
semuanya memilik hipertofi tonsil dan SDB, yang dinilai oleh bedah
THT dan telah dimasukan di daftar tunggu untuk melakukan operasi
tonsil, telah diacak dimana pada pasien TT (35) dan TE (32). Sesuai
dengan penelitian di Praksis Swedia, telah dilakukan penelitian
tidur pada anak-anak sehat yang tidak obesitas atau memiliki
tanda-tanda OSAS yang parah. Terdapat 67 anak yang terdaftar,
terdiri dari 28 anak perempuan dan 39 anak laki-laki, usia 50-65
bulan (rata-rata usia 56 bulan, yang berarti 4,8 tahun). Dua puluh
persen telah memiliki satu atau beberapa infeksi saluran napas
bagian atas. Kriteria ekslusi : infeksi tonsil berulang selama
beberapa bulan terakhir, tonsil kecil, obesitas, gangguan
perdarahan atau orang tua tidak dapat bicara bahasa swedia. Tidak
ada pasien yang drop out selama penelitian. Pengacakan dilakukan
dengan menggunakan komputerisasi dan keluarga telah diinformasikan
tentang penelitian ini dan informed consent dikirim dengan email.
Sebelum pembedahan, orang tua juga harus menjawab : kuesioner
kualitas hidup penyakit spesifik tentang kesehatan umum, dengkuran,
kesuiltan makan dan infeksi, OSA-18 (Obstructive Sleep Apnea-18),
dan penilaian standar perilaku anak CBCL (Child Behavior Check
List)TE dilakukan pada 22 anak laki-laki dan 10 anak perempuan, dan
TT dilakukan pada 17 anak laki-laki dan 18 anak perempuan. 80%
(28TT/25TE) juga dilakukan adenoidectomy pada saat yang sama dan 10
% (5TT/1TE) telah dilakukan adenoidectomy sebelumnya.Semua anak
berpartisipasi pada 6 bulan follow up. Dua tahun setelah
pembedahan, anak anak tersebut dipanggil kembali untuk follow up
klinis. Spesialis THT melakukan wawancara struktural dan
pemeriksaan untuk melihat jaringan tonsil baik di dalam maupun di
luar pilar pada kedua kelompok.Wawancara pada orang tua pasien
untuk mengevaluasi dengkuran menggunakan Visual Analogue Scale/ VAS
( tidak mendengkur sampai dengkuran hebat, secara langsung, dan
saat ini setelah 2 tahun pembedahan). Orang tua ditanyakan tentang
infeksi saluran napas atas dengan atau tanpa pengobatan antibiotik,
onset allergi, masalah atau perubahan suara, nafsu makan, enuresis,
dan pernapasan mulut.Kuesioner yang sama seperti pada saat follow
up 6 bulan setelah pembedahan dimasukkan. Kuesioner terdiri dari 11
pertanyaan untuk membandingkan saat sebelum dan sesudah operasi
yang terfokus pada kesehatan umum, sifat, energi, konsenterasi,
prevalensi dan kerasnya dengkuran, nafsu makan, infeksi THT,
pengobatan antibiotik dan kepuasan. OSA-18 yang terdiri dari 18
poin dikelompokkan menjadi 5 domain : gangguan tidur, gejala fisik
distres emosional, fungsi di siang hari, dan perhatian pengasuh.
Skor 1 untuk tidak pernah dan skor 7 untuk setiap saat. Skor total
18 126, dimana skor < 60 merupakan dampak kecil pada penyakit
spesifik, 60-80 dampak sedang dan >80 merupakan dampak besar.
Skor dihitung selama follow up dan dikatakan bernilai positif
dimana terdapat perbaikan dan bernilai negatif jika terjadi
kemunduran.CBCL dinilai untuk mendapatkan skor total masalah,
dimana terbagi menjadi skor Internalizing Behavior (subskor :
pendiam, komplain somatik, cemas/depresi) dan Externalizing
Behavior (subskor : perilaku nakal dan agresif). Setiap penilaian
diberikan skor 0 untuk tidak benar sampai 2 untuk benar sekali/
sering benar. Analisis statistik dengan menggunakan SPSS versi
17.0.III. HasilPada 2 tahun follow up, 67 anak menjawab kuesioner,
dan 64 anak (95,5%) datang untuk pemeriksaan klinis. Pada follow up
6 bulan, tidak ada perbedaan pada frekuensi dan kerasnya dengkuran
atau infeksi THT yang ditemukan pada TT dan TE. Pada 2 tahun follow
up saat ini, wawancara terstruktur menunjukkan tidak ada perbedaan
dengkuran antara kelompok TT dan TE walaupun 3 anak telah dioperasi
ulang.Pada pemeriksaan THT, 1 dari 33 anak kelompok TT ditemukan
memiliki jaringn tonsil agak keluar dari kantung tonsil. Orang tua
melaporkan beberapa dengkuran (VAS 4), tetapi lebih rendah
dibandingkan sebelum pembedahan dan merasa tidak perlu untuk
pembedahan ulang. 12/32 anak kelompok TE memiliki sisa sisa kecil
dari jaringan tonsil di dalam kantung tonsil, tetapi tidak satupun
dari mereka melaporkan dengkuran syang signifikan.Satu anak dari
kelompok TT dan satu anak dari kelompok TE telah dilakukan
adenoidektomi karena dengkuran berulang setelah kontrol 6 bulan.
Dua anak pada kelompok TT (5,9%) dilakukan tonsilektomi karena
dengkuran berulang setelah kontrol 6 bulan, keduanya dalam berat
yang normal.Satu dari mereka memiliki 2 episode tonsilitis berulang
setelah 6 bulan. Setelah pembedahan ulang dengan TE, anak ini tetap
mendengkur dan kekambuhan adenoid didiagnosa. Saat ini dengkuran
diringankan dengan steroid nasal. Anak ketiga dengan tanpa
dengkuran dilakukan TT ulang karena enuresis dan encopresis berat,
dimana menurut orang tua, telah mengalami perbaikan sementara
setelah operasi pertama dengan TT. Tidak ada efek positif pada
encopresis yang ditemukan pada pembedahan kedua. Anak ini telah
mengunjungi klinik pediatri dan klinik psikiatri pediatri.Secara
umum tidak terjadi peningkatan untuk infeksi saluran napas atas
yang ditemukan pada masing masing kelompok. Pengobatan antibiotik
dilaporkan pada 8 anak kelompok TT dan 1 anak pada kelompok TE.
Pernapasan oral dilaporkan 17/65 anak dari kedua kelompok
dibandingkan 40/67 sebelum operasi dan 8/65 setelah 6 bulan. 3 anak
kelompok TT dan 2 anak kelompok TE hanya bernapas lewat mulut saat
tidur. Tidak ada perubahan suara dan alergi setelah operasi dari
masing masing kelompok.Kuesioner tentang kesehatan umum tidak
menunjukkan perubahan yang signifikan antara 6 bulan dan 2 tahun
mengenai kesehatan umum, frekuensi atau kerasnya dengkuran (Figure
1) atau jumlah infeksi THT ( otitis dan infeksi saluran napas atas
termasuk masalah tenggorokan, Figure 2).Hasil dari OSA-18
ditunjukkan pada tabel 1 dimana data preoperatif dibandingkan
dengan hasil follow up 6 bulan dan 2 tahun. Gangguan tidur dan
gangguan fisik adalah tingkat penilaian tertinggi. Tidak ada
perbedaan antara kelompok TT dan TE pada perbbaikan skor setelah 2
tahun (tabel 2 dan figur 3).
IV. DiskusiPerhatian tentang pertumbuhan ulang dan pengulangan
dari masalah obstruksi telah meningkat setelah pembuangan sebagian
tonsil, terutama pada anak yang lebih muda yang secara alami sedang
mengalami pertumbuhan langsung jaringan limfatik pada cincin
Waldeyer dan pada saat yang sama dimensi yang sempit pada saluran
napas atas. Studi terbaru menunjukkan secara baik hasil jangka
panjang dari pengulangan SDB untuk RF-tonsilotomi sebagai
tonsilektomi tradisional untuk pasien yang lebih muda.Namun ada
beberapa risiko tertentu untuk pertumbuhan jaringan tonsil berulang
dan pengulangan masalah obstruksi. Seberapapun hebatnya risiko,
tidak mungkin untuk mengevaluasi dengan kekuatan studi saat ini
walaupun tingkat kekambuhan 6-7% pada anak yang sangat muda dan
sekitar 3 % pada anak yang lebih tua telah dicatat dalam
penelitian. Material yang besar dibutuhkan dalam penelitian. Pada
studi ini, sepasang anak dari kelompok TT telah menjalani
pembedahan tonsil lebih lanjut dalam 2 tahun dikarenakan kekambuhan
dengkuran dan satu anak pada grup yang sama dilakukan
adenoidektomi.Selama penelitian berlangsung, TE dilakukan setelah
kekambuhan dengkuran (pada 2 anak), tetapi TT ulang mungkin juga
akan sama efektif, dan pada praxis klinik ini, TT ulang sering
menjadi pilihan orang tua, walaupun tonsilektomi dapat dianjurkan
untuk mencegah kemunduran lain.Selain dari kekhawatiran dari
pertumbuhan kembali, infeksi telah dimasukkan sebagai risiko
setelah tonsilotomi, tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan
antara kelompok TT dan TE yang ditemukan dari infeksi saluran napas
atas. Ini sejalan dengan penelitian sebelumnya. Beberapa peneliti
dan klinisi menyarankan TE sebagai metode untuk pilihan pada kasus
infeksi berulang, walaupun sebagian kecil penelitian telah
menemukan infeksi tenggorokan setelah pembedahan tonsil.Beberapa
anak melanjutkan bernapas lewat mulut setelah pembedahan walaupun
menunjukkan tidak ada pertumbuhan ulang dari tonsil, jumlah
menunjukkan lebih banyak setelah 2 tahun daripada 6 bulan. Reflek
ini menunjukkan fakta bahwa kebiasaan bernapas lewat mulut adalah
tanda gangguan oromotor yang sangat sulit diubah dan mungkin
menghasilkan dampak negatif lebih lanjut pada pertumbuhan maxilla.
Untuk mencapai efek maksimal dari pembedahan dan mencegah risiko
lebih lanjut dari penyimpangan cranio-facial, penyimpangan tertentu
pada latihan perilaku direkomendasikan jika seorang anak tidak
dapat bernapas lewat hidung secara spontan setelah
pembedahan.Perbaikan yang besar pada penyakit spesifik dan HRQL
umum sebaik paramater perilaku tercatat pada semua anak yang
dioperasi. Kelemahan pada studi ini adalah tidak membuat
perbandingan dengan anak yang sehat tanpa SDB atau anak dengan SDB
yang tidak melakukan pembedahan tonsil. V. KesimpulanTonsillotomi
dengan Radio Frekuensi (RF) untuk anak usia antara 4-6 tahun dengan
hiperplasia tonsil memiliki risiko lebih rendah untuk kekambuhan
dalam 2 tahun. Ini harus dipertimbangkan terhadap risiko lebih
rendah untuk nyeri yang hebat dan perdarahan yang berbahaya. Efek
jangka panjang yang baik untuk dengkuran, infeksi, perilaku dan
kualitas hidup memilik hasil yang sama dengan tonsilektomi.10