TINJAUAN YURIDIS PEMBERIAN GRASI ANTASARI AZHAR (KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 1/G/ 2017) PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh: SYUKRIAN RAHMATUL ULA NIM. 11160454000029 PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2021 M/ 1442 H
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
TINJAUAN YURIDIS PEMBERIAN GRASI ANTASARI AZHAR
(KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 1/G/ 2017) PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
SYUKRIAN RAHMATUL ULA
NIM. 11160454000029
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2021 M/ 1442 H
i
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Syukrian Rahmatul Ula
NIM : 11160454000029
Tempat, Tanggal Lahir : Bukittinggi, 15 November 1996
Program Studi : Hukum Pidana Islam
Fakultas : Syariah dan Hukum
Dengan ini Saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli Saya diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana yang Sarjana Hukum di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang Saya gunakan dalam penulisan ini telah Saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli Saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka Saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
11 Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), Cet I, h. 10
12
Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), Cet I, h. 17
13 Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), Cet I, h. 10
9
lainnya yang berkaitan secara langsung dengan objek yang diteliti. Data-
data yang telah terkumpul diperiksa kembali mengenai kelengkapan
jawaban yang diterima kejelasannya.
4. Sumber data
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan dua jenis sumber data, data
primer dan data sekunder, yaitu:
a. Data primer, yaitu data yang didapat dari bahan-bahan yang diperlukan
dalam hal ini adalah Al-Qur’an, Hadis, kaidah-kaidah fiqih, pendapat
Ulama, Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2010 tentang Grasi jo. Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan buku buku yang
berkaitan serta masalah-masalah kejahatan Pembunuhan Berencana
yang ada relevansinya dengan skripsi ini.
b. Data Sekunder, merupakan bahan-bahan yang memberikan penjelasan
dalam mengkaji data primer, yaitu data-data yang diperoleh dari buku-
buku yang masih memiliki keterkaitan dengan pokok masalah yang
akan diteliti.
5. Analisa data
Dalam menganalisa data, penulis menggunakan metode analisa
normatif-yuridis. Maksudnya adalah penelitian ini mengacu pada norma-
norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan
putusan pengadilan14
.
6. Teknik Penulisan
Adapun mengenai teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu
kepada buku “Pedoman Penulis Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017”.
F. Sistematika Penulisan
14 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 24
10
Dalam mempermudah pembahasan untuk memahami skripsi dan tersusun
dengan sistematis, maka penulis membagi isi dari pada skripsi menjadi lima
BAB yang masing-masing BAB terdiri dari sub BAB. Adapun sistematika
penulisannya adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Penulis pada bab ini menguraikan latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi
terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GRASI
Menguraikan tinjauan umum tentang grasi yang meliputi
defenisi, sejarah penerapan grasi di Indonesia, dasar hukum
grasi, syarat dan pemberian grasi, prosedur pemberian
grasi, pemberian grasi terhadap terpidana pembunuhan
berencana, penyertaan dan kewenangan Presiden dalam
memberikan grasi.
BAB III TINJAUAN UMUM GRASI PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM
Menguraikan tentang Grasi dalam Islam dan alasan faktor
memberikan grasi dalam Islam.
BAB IV TINJAUAN YURIDIS KEPUTUSAN PRESIDEN
TENTANG PEMBERIAN GRASI TERHADAP
ANTASARI AZHAR yang mencakup grasi menurut
perspektif Islam dan Hukum Positif dan keabsahan
Keputusan Presiden Nomor 1/G/2017.
BAB V PENUTUP
Pada bagian meliputi kesimpulan serta saran-saran yang
sesuai dengan pokok permasalahan yang penulis kaji
sehingga tercapai tujuan dilakukannya
11
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG GRASI
A. Defenisi Grasi
Secara etimologi Grasi berasal dalam kata Bahasa Belanda (gratie),
diartikan dengan pengurangan hukuman yang diberikan kepala negara
kepada seorang terhukum.1 Grasi berarti anugerah, dan dalam terminologi
hukum, grasi diartikan sebagai bentuk pengampunan kepada para terhukum
yang diberikan oleh kepala negara.2 Adapun pengertian grasi dalam kamus
hukum merupakan wewenang dari kepala negara untuk memberi
pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim untuk
menghapuskan seluruhnya, sebagian, atau merubah sifat atau bentuk hukuman
itu.3
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 memberikan defenisi grasi yaitu
pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan
pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden.4Pengertian
grasi dalam arti sempit merupakan tindakan pengampunan berupa perubahan,
peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana atau
hukuman yang telah diputuskan oleh hakim.
Menurut Jimly Asshiddiqe, grasi merupakan kewenangan presiden yang
bersifat judisial dalam rangka pemulihan keadilan yang terkait dengan putusan
pengadilan yaitu untuk mengurangi hukuman, memberikan pengampunan
ataupun menghapuskan hukuman yang terkait dengan kewenangan peradilan.5
1 Sudarsono, Kamus Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 149
2 Peter Salim dan Yenni Salim, Kamus Besar Indonesia Kontemporer Edisi 1 (Jakarta:
Modern English Press.1991), h.154.
3 JCT Simorangkir, Rudy T Erwin dan JT Prasetyo, Kamus Hukum, (Jakarta: Bumi
Aksara. 1995), h. 58
4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 108.
5 Jimly Ashiddieqe, Konstitusi dan Konstitusionalisme (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi R.I., 2006), h. 175-176.
12
Menurut Rudy T Erwin, JCT Simorangkir, dan JT Prasetyo, dalam kamus
hukum bahwa grasi adalah wewenang dari kepala negara untuk memberikan
pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim untuk
menghapuskan seluruhnya, sebagian atau merubah bentuk dan sifat hukuman
itu.6 Beberapa istilah yang merujuk pada pengertian grasi tersebut, diantaranya
negara Filipina dan Amerika Serikat adanya istilah pardon yang berarti
pengampunan dan istilah executive clemency atau clemency yang artinya
pengampunan secara luas. Sedangkan di negara yang bentuk sistem monarki,
seperti Spanyol dipergunakan istilah pardon (indulto) dan derecho de gracia
(right of grace), di Inggris digunakan istilah pardon dan royal prerogative
mercy atau clemency atau graces begitu pula berlaku di Kanada, Perancis, dan
Iran.
Penerapan pardon dan clemency mempunyai arti yang berbeda masing-
masing negara. Secara umum dibeberapa negara hanya digunakan istilah
pardon saja, seperti Afrika Selatan, Rusia, chile, Swiss. Istilah-istilah yang
berkaitan dengan terminologi pardon (pengampunan) adalah
pergantian/perubahan atau peringanan jenis hukuman yang disebut dengan
istilah commutation, remission yang artinya pengurangan atau penghapusan
hukuman atau denda, repreve yang artinya penundaan sementara atas
hukuman.7
Di Indonesia, istilah yang terkait dengan grasi adalah amnesti, abolisi dan
rehabilitasi, serta remisi. Istilah amnesti, berasal dari bahasa Yunani amnestia
yang artinya melupakan. Pengertian amnesti, ialah hak yang diberikan
presiden untuk menghapuskan hak penuntutan dari penuntut umum dan
penghentiannya sekaligus penghapusan hak (menyuruh) melaksanakan pidana
dari penuntut umum terhadap pelaku-pelaku dari suatu tindak pidana tertentu
6 JCT Simorangkir, Rudy T Erwin dan JT Prasetyo, Kamus Hukum, (Jakarta: Bumi
Aksara. 1995), h. 58
7 Amnesty and pardon- Terminology and Etymology’ lihat
http:/law.jrank.org/pages/505/Amnesty-Pardon-Terminology-Etymology.html, diakses pada
pukul 07.58 wib, tanggal 24 September 2020.
13
demi kepentingan negara. Amnesti ini biasanya diberikan pada hari peringatan
Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Istilah abolisi berasal dari kata abolition yang berarti tindakan untuk
mengakhiri sesuatu atau untuk menghentikan sesuatu. Pengertian abolisi,
merupakan hak yang di berikan presiden untuk menghapuskan hak penuntutan
dari penuntut umum dan penggantiannya apabila sudah dimulai, terhadap
pelaku- pelaku tindak pidana tertentu8. Istilah rehabilitasi berasal dari kata
rehabilitation yang artinya pengembalian hak. Pengertian rehabilitasi
merupakan suatu tindakan presiden dalam rangka mengembalikan hak
seseorang yang telah hilang karena suatu keputusan hakim yang ternyata
dalam waktu berikutnya terbukti bahwa kesalahan yang telah dilakukan
tersangka tidak bisa dibandingkan dengan perkiraan awal atau bahkan ia
ternyata tidak bersalah sama sekali. Fokus rehabilitasi ini pada nilai
kehormatan yang diperoleh kembali dan hal ini tidak tergantung kepada
Undang-Undang tetapi pada pandangan masyarakat sekitarnya.
Sedangkan istilah remisi berasal dari kata remission yang artinya
pengurangan, peringanan, pengampunan. Jadi pengertian remisi adalah
pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana
yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana9.
B. Sejarah Grasi
Pemberian Grasi telah dikenal dan diberlakukan sejak lama yaitu di abad
ke-18 di zaman kerajaan absolut di Eropa. Pada mulanya Grasi merupakan
hadiah atau anugerah pada raja (Vorstelike gunst) yang memberikan
pengampunan kepada orang yang dijatuhi hukuman. Tindakan pengampunan
ini didasarkan kepada kemurahan hati raja yang berkuasa. Pemimpin dianggap
sebagai sumber dari kekuasaan termasuk sumber keadilan dan hak mengadili
sepenuhnya dikendalikan oleh raja, di Eropa abad pertengahan kekuasaan
8 Ishaq dan Efendi , Pengantar Hukum Indonesia (Cet. IV; Depok : Rajawali Pers , 2017),
h. 237. 9 Menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 174 Tahun 1999 Tentang Remisi,
pasal 1 ayat (1)
14
untuk memberikan pengampunan dilaksanakan oleh berbagai institusi,
termasuk Gereja Katolik Roma dan otoritas lokal tertentu, tetapi pada abad ke-
16 biasanya kekuasaan ini terkonsentrasi di tangan raja. Dalam pasca
reformasi Inggris, hak prerogatif kerajaan sebagai kemurahan hati raja/ratu
digunakan untuk tiga tujuan utama:
1. Sebagai pendahuluan pada pembelaan diri yang belum diakui,
kegilaan, dan minoritas.
2. Mengembangkan cara-cara baru menangani para pelaku yang belum
diakui oleh Undang-undang.
3. Untuk menghilangkan atas diskualifikasi tuduhan kriminal.10
Selama abad kedelapan belas kekuasaan penguasa untuk memberikan
pengampunan, menjadi perdebatan anatara para sarjana. Dukungan datang dari
sarjana penganut aliran hukum (natuurrechtelike school) sementara kritikan
datang dari filsuf dan pakar ilmu kejahatan.11
Dalam kasus-kasus
pengampunan individu mendapat kritikan tajam, terutama oleh Cesare
Beccaria dalam esai terkenalnya On Crimes and Punishments. Hak penguasa
untuk mencampuri pelaksanaan Undang-undang dianggap sebagai macam bagi
konsep pemisahan kekuasaan dalam pengurangan otonomi baik legislatif dan
yudikatif, meskipun Montesquieu, sebagai penggagas konsep pemisahan
kekuasaan, tidak menentang kekuasaan untuk memberikan grasi atau
memberikan pengampunan.
C. Dasar Hukum Grasi
Aturan mengenai grasi sebelumnya diatur dalam Undang-undang Nomor 3
Tahun 1950 Tentang Permohonan Grasi lahir pada 5 Juli 195012
. Undang-
undang ini berlaku sampai 52 Tahun, diganti kemudian dengan Undang-
10
Amnesty and pardon “Terminology and Etymologi”. http://law.jrank.org/pages/505/ Amnesty-Pardon-Terminology-etymologi.html/http://en.wikipedia.org/wiki/pardons(diakses
pukul 21.00 Wib 10 Oktober 2020.
11
Muhammad Ridhwan Indra dan Satya Arinanto, Kekuasaan Presiden dalam UUD 1945
(Jakarta: CV Trisula, 1998), h. 20.
12
Kobar Hari, Hukum dan Ketahanan Nasional, (Jakarta: Sinar harapan, 1992), h. 99.
undang Nomor 22 Tahun 2002 tanggal 22 oktober 2002, karena Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1950 dalam pasal-pasalnya tidak banyak membahas
tentang ketentuan formil, namun lebih banyak mengatur ketentuan sifatnya
materil. Tidak ada ketentuan umum yang dapat menjelaskan defenisi dari hal-
hal yang diatur didalamnya. Undang-undang ini dibentuk pada masa Repbulik
Indonesia Serikat sehingga tidak sesuai lagi dengan sistem ketenagakerjaan
Indonesia yang berlaku pada saat itu dan substansinya sudah tidak sesuai
denga perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat.
Kemudian Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 diganti dengan Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi didalamnya diatur mengenai
ketentuan umum, ruang lingkup permohonan dan pemberian grasi, tata cara
pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi.
Grasi diatur juga dalam UUD 1945 pasal 14 ayat (1) yang menyatakan
bahwa presiden diberikan hak untuk memberikan grasi dan rehabilitasi
berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung. Hak tersebut merupakan hak
istimewa bagi kepala Negara karena hal tersebut harus ditangani oleh
kehakiman. Ketentuan grasi juga terdapat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) pasal 33 a bahwa: jika orang yang ditahan sementara
di jatuhi pidana penjara atau orang lain dengan persetujuannya mengajukan
permohonan ampun, waktu mulai permohonan diajukan hingga ada putusan
presiden, tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana, kecuali jika presiden
mengingat keadaan perkaranya, menentukan bahwa waktu itu seluruhnya atau
sebagian dihitung sebagai waktu menjalani pidana.
Selain KUHP, grasi diatur juga dalam Kitab Undang-Undang Acara
Hukum Pidana (KUHAP) pasal 196 ayat (3) bahwa : segera setelah putusan,
hakim ketua sidang wajib memberitahu terdakwa haknya, yaitu : menerima
dan menolak putusan, mempelajari putusan, mengajukan banding dan
permohonan grasi, dan lain-lain.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 perubahan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, kesempatan mendapatkan pengampunan
dari Presiden atau grasi dibatasi, batsannya adalah lama hukuman dan
16
hukuman mati. Menurut Undang-Undang grasi menyebutkan bahwa terpidana
yang dapat dimohonkan grasi adalah:
a. Pidana mati.
b. Penjara seumur hidup.
c. Penjara paling rendah 2 tahun.13
Sebagaimana kita ketahui bahwa upaya hukum grasi sebagai salah satu
dari upaya hukum atas putusan hakim dalam perkara pidana, mempunyai sifat
yang berbeda dibandingkan dengan upaya hukum banding dan kasasi. Karena
didalam upaya hukum banding dan kasasi pihak pemohon pada dasarnya tidak
mengakui dirinya bersalah dan meminta kepada pengadilan yang lebih tinggi
(Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung) untuk memeriksa dan mengadili
sendiri atas perkara yang dimohonkan tersebut.14
Mengingat dalam upaya
hukum grasi, pemohon grasi pada prinsipnya telah mengakui dirinya bersalah
dan menerima putusan hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim, dan atas
kesalahannya tersebut pemohon mengajukan pemohonan grasi kepada
Presiden dan meminta agar hukuman yang telah dijatuhkan atas dirinya dapat
dikurangi atau dihapuskan.15
Tujuan dari adanya grasi adalah untuk memperbaiki putusan hakim agar
lebih sesuai dengan rasa keadilan sebagai dasar segala hukum16
, untuk
menjamin kemaslahatan dan rasa keadilan serta ketentraman individu di
masyarakat, untuk membina keselarasan social atara pihak yang bersangkutan
dengan peristiwa kejahatan, untuk mencari peluang atau memberi pelajaran
13
Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.
14
Departemen Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia, h.90
15 Departemen Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia, h.91
16 Wirjono Prodjodikiro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, h.105
17
kepada penjahat untuk kembali kejalan yang benar dan menghindari
kemudharatan akibat terlalu beratrnya hukuman yang dijatuhkan.17
D. Prosedur Pemberian Grasi
Terpidana dapat mengajukan permohonan grasi terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kepada Presiden
sesuai pasal 2 ayat (1) satu. Dengan demikian Presiden mempunyai hak
memberikan grasi berupa:
a. Perubahan, dari jenis pidana yang telah diajtuhkan oleh hakim bagi
seorang narapidana. Contoh perubahan hukuman mati menjadi pidana
penjara seumur hidup.
b. Peringanan, pengurangan pidana penjara sebagai pengganti denda atau
karena telah menyerahkan suatu benda yang telah dinyatakan sebagai
disita untuk kepentingan negara seperti yang telah diputuskan hakim
atau pengurangan besarnya hukuman denda.
c. Pengahpusan, meniadakan pelaksanaan pidana baik hukuman penjara
atau denda yang telah dijatuhkan oleh hakim kepada seseorang
pengampunan menghapuskan akibat-akibat pemidanaan, bukan karena
pemidanaannya sendiri.
Presiden berhak untuk memberikan grasi dari hukuman yang dijatuhkan
oleh pengadilan. Hal ini dilakukan oleh Presiden setelah meminta
pertimbangan dari Mahkamah Agung, bahkan hukuman mati dijatuhkan
kepada narapidana, maka hukuman tersebut tidak dapat dijalankan sebelum
Presiden diberi kesempatan untuk memberikan grasi.18
Dalam konsideran huruf b, dan huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2010 tentang Grasi menyebutkan bahwa grasi dapat diberikan oleh Presiden
untuk mendapatkan pengapunan dan/atau untuk menegaskan keadilan hakiki
dan penegakan hak asasi manusia terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, bahwa grasi yang berikan kepada
17 Muhammad Ash-Shan’ani, Subulussalam, (Beirut, Lubna: Daar al Fikr) Juz 4, h.21 18 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung,
1983), h. 153
18
terpidana harus mencerminkan keadilan, perlindungan hak asasi manusia dan
kepastian hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Permohonan grasi harus memenuhi syarat sebelum diajukan ke Presiden
sebagai berikut:
1) Diajukan atas suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada
Presiden.19
2) Pihak yang dapat mengajukan grasi adalah terpidana, kuasa hukum
atau keluarga terpidana. Untuk terpidana mati keluaraga dapat
mengajukan permohonan grasi tanpa persetujuan terpidana.20
3) Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati,
penjara seumur hidup dan penjara paling rendah 2 (dua) tahun. 21
4) Grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali.22
5) Permohonan grasi diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pemberian grasi dapat diberikan dengan alasan bahwa keputusan hukum
yang sudah benar menurut hukum positif yang berlaku, tapi dirasakan terlalu
berat dan tidak sesuai dengan keadaan masyarakat pada waktu putusan hakim
dijalankan, yang mana keadaan ini dapat merubah pada saat putusan hakim
dijatuhkan.23
Ada beberapa alasan sebagai pertimbangan pemberian grasi bagi
terhukum, yaitu:24
1) Permohonan grasi berdasarkan alasan kepentingan keluarga, bahwa
terhukum merupakan tulang punggung di dalam keluarganya.
19 Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002.
20 Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002.
21 Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002.
22 Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010.
23
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Tata Negara di Indonesia, (Jakarta: Dian
Rakyat.1980), h. 104
24 E. Utrecht, Rangkaian Sari Hukum Kuliah Hukum Pidana II, (Surabaya: Pustaka Tinta
Mas,1987), Cet. Ke-3, h. 251
19
2) Permohonan grasi berdasarkan alasan bahwa terhukum pernah
sangat berjasa bagi masyarakat.
3) Permohonan grasi berdasarkan alasan bahwa terhukum menderita
penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
4) Permohonan grasi berdasarkan alasan bahwa terhukum berkelakuan
baik selama di penjara.
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 dan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 2010 tentang grasi diatur tentang prosedur dan mekanisme
pengajuan grasi. Beberapa proses permohonan grasi sebagai berikut:
1) Hak untuk mengajukan grasi diberitahukan oleh hakim atau ketua
sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama kepada
terpidana, apabila pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan
terpidana tidak hadir, hak terpidana untuk mengajukan grasi
diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang
memutus perkara pada tingkat pertama.25
2) Permohonan grasi diajukan kepada Presiden oleh terpidana, kuasa
hukumnya, atau keluarga terpidana. Permohonan grasi tersebut
dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan
hukum tetap.26
3) Permohonan grasi dapat diajukan paling lama dalam jangka waktu 1
(satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
4) Permohonan grasi melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan
diajukan kepada Presiden secara tertulis oleh terpidana, kuasa
hukumnya atau keluarganya. Selanjutnya Salinan permohonan grasi
disampaikan kepada pengadilan tingkat pertama untuk diteruskan
kepada Mahkamah Agung, paling lambat 7 (tujuh) hari sejak
diterimanya permohonan grasi dan salinannya.
25 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002.
26 Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010.
20
5) Pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan
berkas terpidana kepada Mahkamah Agung mengirimkan
pertimbangan tertulis kepada Presiden dalam jangka waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimannya
salinan permohonan dan berkas perkara.
6) Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Keputusan
Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi, dengan
jangka awktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak
diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung.
7) Keputusan Presiden tersebut disampaikan kepada terpidana dalam
jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak
ditetapkannya keputusan Presiden. Salinan keputusan disampaikan
kepada Mahkamah Agung, pengadilan yang memutus perkara pada
tingkat pertama, kejaksaan negeri menuntut perkara terpidana, dan
lembaga pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.
E. Kewenangan Presiden dalam Memberikan Grasi
1. Kepala Negara
Kepala Negara yaitu Jabatan secara individual atau kolektif yang
mempunyai peran sebagai wakil tertinggi dari sebuah negara seperti:
sistem republic, monarki, federasi, persekutuan atau bentuk-bentuk
lainnya. Kepala negara harus mempunyai tanggung jawab dan hak politis
sesuai yang ditetapkan dalam konstitusi negara. Maka pada dasarnya
kepala negara dapat dibedakan dengan melalui konstitusi negara
tersebut.27
Sedangkan Negara Indonesia dipimpin oleh Presiden sebagai
lembaga pemerintahan yang mempunyai kekuasaan dan memegang
kekuasaan. Kemudian dalam UUD 1945 pasal 4 ayat 1 yang berbunyi :
27 https://id.wikipedia.org/wiki/Kepala_negara
21
“Presiden Republik Indonesia memgang kekuasaan pemerintahan
menurut UUD”
Kekuasaan Presiden sebagai pemegang kekuasaan yang mana
pemerintah yang dilaksanakan Presiden dibagi menjadi dua yaitu:
pemerintahan yang bersifat umum dan pemerintahan yang bersifat khusus.
Pemerintahan yang bersifat umum adalah kekuasaan yang
menyelenggarakan administrasi negara. Sedangkan pemerintahan yang
bersifat khusus adalah Presiden memiliki hak prerogative dalam
pemerintahan dalam tugas dan wewenang yang secara konstitusional.28
Kemudian Presiden mempunyai kekuasaan dalam bidang perundang-
undangan yaitu pembentukan Undang-Undang, pembentukan PERPU (
tahun kepada Antasari Azhar. Keputusan ini dikuatkan oleh Pengadilan
Tinggi (PT) Jakarta Nomor 71/PID/2010/PT.DKI/ tanggal 17 Juni 2010 dan
Mahkamah Agung (MA) Nomor 1429/k/Pid/2010 pada tanggal 21
September 2010 yang mana permohonan kasasi tersebut ditolak. Dalam
ketentuan pokok kekuasaan kehakiman dalam pasal 1 UU Nomor 14 Tahun
1970 bahwa “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum
Republik Indonesia.” Artinya seorang hakim dalam memutuskan perkara
harus dalam keadaan merdeka tanpa intervensi dari pihak manapun demi
terwujudnya keadilan bagi semua pihak.
Putusan hakim merupakan produk hukum hasil dari proses persidangan
dalam pengadilan. Untuk mencapai putusan yang adil, hakim dalam
memutuskan perkara harus berdasarkan tiga unsur yaitu keadilan, kepastian
hukum, dan kemanfaatan.16
Dalam putusan hakim sering terjadi
pertentangan antara tujuan 3 unsur tersebut, terkadang putusan sudah
memenuhi unsur kepastian hukum dinilai belum memenuhi unsur keadilan
atau unsur kemanfaatan dan sebaliknya.
C. Keabsahaan Grasi Antasari Azhar Keputusan Presiden Nomor 1/G
Tahun 2017
Pada hakikatnya grasi merupakan pemberian pengampunan oleh kepala
negara kepada pelaku tindak pidana dengan batasan sebagaimana yang
dijelaskan di dalam undang-undang grasi pasal 2 ayat (2) yakni, putusan
pemidanaan mati, penjara seumur hidup, dan penjara paling rendah 2 (dua)
16
Margono, Asas Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum dalam Putusan Hakim,
(Jakarta:Sinar Grafika, 2012), h. 37
54
tahun.17
Kepala Negara atau Presiden dianggap berwewenang dalam hal
memberikan grasi, abolisi dan amnesti untuk kepentingan memulihkan
keadilan terhadap dampak penderitaan yang ditimbulkan oleh putusan
pengadilan terhadap perilaku tindak pidana yang telah terbukti secara hukum
dalam proses peradilan sebelumnya. Namun, dalam sistem presidensil tidak
membedakan antara kedua jenis jabatan tersebut, kewenangan tersebut
dianggap ada pada Presiden yang merupakan Kepala Negara dan sekaligus
Kepala Pemerintahan. Hanya saja untuk membatasi penggunaan kewenangan
ini, sebelum Presiden nenentukan akan memberikan grasi, amnesti dan abolisi
itu, Presiden terlebih dahulu diharuskan mendapat pertimbangan dari
Mahkamah Agung dan Dewan Pertimbangan Rakyat
Kewenangan Presiden dalam memberikan grasi merupakan hak kepala
negara dan hak prerogatif Presiden untuk memberikan pengampunan kepada
terpidana yang dijatuhi hukuman dengan pertimbangan Mahkamah Agung.
Pemberian grasi merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudisial,
melainkan hak kepala Negara dalam memberikan pengampunan yaitu grasi,
yang dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan pidana
yang dijatuhkan, tetapi tidak menghilangkan kesalahan terpidana.18
Pemberian
grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait
dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi melainkan sebagai
hak prerogative Presiden untuk memberikan ampunan yang direalisasikan
dalam bentuk Keputusan Presiden.19
Pengaturan terkait pemberian grasi oleh Presiden terdapat pada pasal 14
ayat 1 UUD 1945, dan UU Nomor 22 Tahun 2002 jo UU Nomor 5 Tahun
2010 tentang perubahan atas UU Nomor 22 tahun 2002 Tentang Grasi, bahwa
17 Undang-undang No. 5 Tahun 2010 junto Undang-undang No. 22 Tahun 2002 tentang
grasi 18
Niklas Bantika / D101 09 124, Pemberian Grasi Oleh Presiden Republic Indonesia
Berdasarkan UUD 1945 h. 2
19
Pemberian Grasi Oleh Presiden bagi Terpidana Antasari Azhar, Mimbar Yustitia Vol.
1 No. 1 Juni 2017.
55
mengatur mengenai prinsip umum grasi serta tata cara pengajuan dan
penyelesaian permohonan grasi. Salah satunya mengatur pembatasan
permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali. Grasi diberikan dengan
syarat formil sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU No.5 Tahun 2010 tentang
Grasi bahwa ditujukan kepada terpidana yang memperoleh kekuatan hukum
tetap terhadap yang kenakan sanksi pidana mati, pidana penjara seumur hidup,
atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun. Selain itu permohonan grasi
diajukan oleh kuasa hukum, terpidana, atau keluarga terpidana kepada
Presiden. Permohonan grasi dapat diajukan Cuma 1 (satu) kali saja sesuai
pasal 2 ayat 3.
Sebelum berkas permohonan grasi sampai kepada Presiden, dalam jangka
waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari permohonan grasi setelah diterima
pengadilan yang memutuskan perkara pada tingkat pertama.19
Kemudian
dikirimkan kepada Mahkamah Agung agar dilakukan pertimbangan hakim
Mahkamah Agung. Setelah mendapat pertimbangan Mahkamah Agung,
Presiden dapat memberikan keputusan bahwa permohonan grasi dapat
menolak atau memberikan grasi tersebut. Jangka waktu pemberian atau
penolakan ditentukan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya
pertimbangan Mahkamah Agung.20
Ketentuan Pasal 4 UU No. 2 Tahun 2002 menyebutkan bahwa ‚Presiden
berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 setelah mendapat pertimbangan dari
Mahkamah Agung. Hak Presiden untuk mengabulkan atau menolak
permohonan grasi disebut dengan hak prerogatif Presiden, yang mana hak
Prerogatif tersebut merupakan hak khusus yang diberikan oleh konstitusi
kepada Presiden. Kemudian Presiden berhak untuk mengabulkan atau
19 Pasal 9 UU No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi 20 Pasal 11 UU No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi
56
menolak permohonan grasi yang di sebut hak prerogratif Presiden yang
diberikan oleh konstitusi kepada Presiden.21
Grasi dalam Islam disebut al-Syafa’at yaitu pengampunan. Defenisi
syafa’at diartikan sebagai permohonan dari seseorang terhadap orang lain agar
keinginannya dikabulkan. Dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 85 bicara
tentang syafa’at yaitu:
عة سي ئة يكن لهۥ كف نها ومن يشفع شف عة حسنة يكن لهۥ نصيب م ن يشفع شف نها وكان م ل م
قيتا على كل شيء م ( ٨٥ :. ) النساءٱلل
Artinya: Barangsiapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan
memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. Dan barangsiapa memberi syafa'at
yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S An-Nisa :85)
Syafa’at dalam surah al-Nisa’ ayat 85 ini supaya orang yang telah
melakukan tindak pidana dapat kembali memperoleh hak-haknya sebagai
warga negara, karena syafa’at diberikan supaya kembali untuk berbuat
kebaikan. Pengampunan dalam Islam terhadap pelaku tindak pidana
tergantung kepada kemaslahatan umat dan sanksi hukuman yang diterima
berupa Hudud, Qishas, Diyat, dan Takzir. Salah satunya jarimah takzir yaitu
hukuman yang disyariatkan atas tindakan kejahatan yang tidak ada ketentuan
hudud atau kifaratnya.22
Takzir berarti memberi pengajaran atau jera dan
hukuman diberikan oleh pemimpin sebagai pelajaran bagi pelaku.
Dalam jarimah takzir, pemimimpin mempunyai hak untuk mengampuni
tindakan kejahatan dan memberikan hukuman. Pengampunan dalam jarimah
takzir Abdul Qadir Audah menerangkan, telah disepakati oleh fuqaha bahwa
penguasa memiliki hak pengampunan yang telah disepakati oleh fuqaha
bahwa penguasa memiliki hak pengampunan yang sempurna pada semua
21
Niklas Bantika / D101 09 124, Pemberian Grasi Oleh Presiden Republic Indonesia
Berdasarkan UUD 1945 h. 9 22
Mawardi Noor, Garis-Garis Besar Syariat Islam, (Jakarta: Khairul Bayan Sumber
Pemikiran Islam, 2002), h. 30.
57
tindak jarimah takzir. Karena itu, penguasa boleh mengampuni suatu tindak
pidana takzir dan hukumannya, baik sebagian maupun keseluruhannya.
Karena tindak pidana langsung berhubungan dengan masyarakat,
pengampunan yang diberikan sangat membantu pelaku untuk meringankan
hukuman. Seorang hakim mempunyai kekuasaan pada tindak pidana takzir
dalam mempertimbangkan keadaan yang meringankan serta peringanan
hukuman.23
Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh penulis di atas.
Pertimbangan pemberian grasi bagi pelaku tindak pidana pembunuhan
berencana menurut UndangUndang Nomor 5 Tahun 2010 tentang grasi,
mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Faktor Keadilan.
2. Faktor Kemanusiaan
Jika di tinjau dalam hukum Islam pertimbangan Presiden dalam grasi bagi
pelaku tindak pidana pembunuhan berencana merupakan hal yang dibenarkan
prinsip keadilan merupakan hal yang harus ditegakkan, dan tentunya lebih
ditekankan kepada para pemimpin dan penguasa yang senantiasa melayani
kepentingan masyarakat. Dalam hal ini, ajaran Islam memerintahkan kepada
pemeluknya agar menegakkan dan menjalankan keadilan.24
Pada penjelasan bab sebelumnya, grasi merupakan pengampunan berupa
perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelakasanaan pidana
kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Menurut Jimly Asshiddiqe,
grasi merupakan kewenangan presiden yang bersifat judisial dalam rangka
pemulihan keadilan yang terkait dengan putusan pengadilan yaitu untuk
mengurangi hukuman, memberikan pengampunan ataupun menghapuskan
hukuman yang terkait dengan kewenangan peradilan.25
Menurut Rudy T
Erwin, JCT Simorangkir, dan JT Prasetyo, dalam kamus hukum bahwa grasi
23
Muhammad Ahsin Sakho, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, h. 101
24 Husin Wattimena, Pemberian Dan Pencabutan Grasi Perspektif Hukum Islam. Hlm. 60 25 Jimly Ashiddieqe, Konstitusi dan Konstitusionalisme (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi R.I., 2006), h. 175-176
58
adalah wewenang dari kepala negara untuk memberikan pengampunan
terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim untuk menghapuskan
seluruhnya, sebagian atau merubah bentuk dan sifat hukuman itu.26
Grasi diberikan dengan syarat formil sebagaimana diatur dalam pasal 2
UU No.5 Tahun 2010 tentang Grasi bahwa ditujukan keapda terpidana yang
memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap yang kenakan sanksi pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun.
Selain itu permohonan grasi diajukan oleh kuasa hukum, terpidana, atau
keluarga terpidana kepada Presiden. Permohonan grasi dapat diajukan Cuma 1
(satu) kali saja sesuai pasal 2 ayat 3.
Sebelum berkas permohonan grasi sampai kepada Presiden, dalam jangka
waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari permohonan grasi setelah diterima
pengadilan yang memutuskan perkara pada tingkat pertama.27
Kemudian
dikirimkan kepada Mahkamah Agung agar dilakukan pertimbangan hakim
Mahkamah Agung. Setelah mendapat pertimbangan Mahkamah Agung,
Presiden dapat memberikan keputusan bahwa permohonan grasi dapat
menolak atau memberikan grasi tersebut. Jangka waktu pemberian atau
penolakan ditentukan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya
pertimbangan Mahkamah Agung.28
Setelah permohonan kasasi ditolak sesuai putusan Mahkamah agung
Nomor 1429/k/Pid/2010. Antasari Azhar mengajukan peninjauan kembali
(PK) dan permohonan peninjauan kembali tersebut ditolak sesuai dengan
Putusan No. 117 PK/PID/2011 pada rapat permusyawaratan Mahkamah
Agung hari Senin, 13 Februari 2012 diketuai oleh hakim DR. harifin A.
Tumpa, SH.MH.
Kemudian Antasari Azhar mengajukan permohonan grasi pada tanggal 1
Mei 2015 kepada Presiden dan langsung ditolak permohonan grasi tersebut
26
JCT Simorangkir, Rudy T Erwin dan JT Prasetyo, Kamus Hukum, (Jakarta: Bumi
Aksara. 1995), h. 58
27 Pasal 9 UU No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi 28
Pasal 11 UU No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi
59
melalui Keputusan Presiden Nomor 27/G Tahun 2015 tanggal 27 Juli 2015.
Penolakan grasi tersebut karena pemohon grasi tidak memenuhi syarat formil
yang diatur dalam pasal 7 ayat 2 UU Nomor 5 tahun 2010 tentang grasi yang
berbunyi : Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diajukan
paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh
kekuatan hukum tetap. Sedangkan permohonan grasi tersebut diajukan setelah
empat tahun sejak putusasn berkekuatan hukum tetap.
Kemudian keluar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-
XIII/2015 pada 15 Juni 2015 yang menyatakan tidak berlaku dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat pada pasal 7 ayat 2 UU Nomor 5
Tahun 2010 tentang grasi, sehingga pemohon dapat mengajukan permohonan
grasi dengan berbagai pertimbangan. Kemudian Antasari Azhar mengajukan
grasi kembali 8 Agustus 2016 dan permohonan grasi tersebut disetujui oleh
Presiden Jokowi Keputusan Presiden Nomor 1/G/2017 dengan pertimbangan
Mahkamah Agung yang menyetujui grasi tersebut.
Mahkamah Agung berpendapat bahwa terdapat cukup alasan untuk
mengabulkan permohonan terpidana dengan pertimbangan diantaranya bahwa
pemohon pernah mengajukan permohonan grasi kepada Presiden dan ditolak.
Menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, alasan pemberian grasi itu semata karena
pertimbangan kemanusiaan.30
Hasil keputusan Presiden bahwa hasil
pengurangan jumlah pidana selama 6 tahun sehingga hukuman pidana penjara
yang diajtuhkan kepada terpidana dari pidana penjara 18 tahun menjadi pidana
penjara selama 12 tahun.
Berdasarkan pasal 2 ayat 3 UU Nomor 5 Tahun 2010 perubahan atas UU
nomor 22 tahun 2002 tentang grasi yaitu permohonan grasi sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 hanya dapat diajukan 1 (satu) kali sesuai dengan asas
(lex scripta, lex certa, lex stricta) grasi hanya dapat diajukan 1 kali saja.31
30
https://pinterpolitik.com/menakar-grasi-antasari diakses pukul 12.30 wib tanggal 20
November 2020.
31 Pemberian Grasi Oleh Presiden bagi Terpidana Antasari Azhar, Mimbar Yustitia Vol.