8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Hati Hati yang juga dikenal dengan liver atau hepar merupakan kelenjar tubuh dengan berat sekitar 1/36 berat badan orang dewasa, yaitu berkisar 1.200-1.600 gram. Posisi organ hati sebagian besar terletak di perut bagian kanan atas, yakni dibelakang iga. Ukuran hati normal adalah selebar telapak tangan orang itu sendiri atau kira-kira diameternya 7-10 cm (Tavill, 2012; Karim, 2013). 2.1.1 Struktur Hati a. Stroma. Hati dibungkus oleh simpai tipis jaringan ikat yang menebal di hilum, tempat vena porta dan arteri hepatika memasuki hati dan duktus hepatikus kiri dan kanan serta tempat keluarnya pembuluh limfe. Pembuluh-pembuluh dan duktus ini dikelilingi oleh jaringan ikat sepanjang jalannya di daerah portal diantara lobulus hati klasik. Area ini tersusun oleh jaringan serta komponen retikuler halus yang menunjang hepatosit dan sel endotel sinusoid dari lobulus hati. b. Lobulus hati Komponen struktural utama dari hati adalah sel hati atau hepatosit. Sel epitelial ini berkelompok membentuk lempeng-lempeng yang saling berhubungan. Lobulus hati dibentuk oleh massa jaringan berbentuk poligonal berukuran 0,7 x 2 mm, lobulus ini dipisahkan oleh selapis jaringan ikat sehingga sulit ditetapkan batas-batas antar lobuli. Hepatosit berderet secara radier dalam lobulus hati
82
Embed
TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id€¦ · 10 2.1.2 Peranan Hati Dalam Metabolisme T ubuh Hati merupakan organ kedua terbesar dalam sistem tubuh. Ukuran hati kira-kira empat kali
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hati
Hati yang juga dikenal dengan liver atau hepar merupakan kelenjar tubuh
dengan berat sekitar 1/36 berat badan orang dewasa, yaitu berkisar 1.200-1.600
gram. Posisi organ hati sebagian besar terletak di perut bagian kanan atas, yakni
dibelakang iga. Ukuran hati normal adalah selebar telapak tangan orang itu sendiri
atau kira-kira diameternya 7-10 cm (Tavill, 2012; Karim, 2013).
2.1.1 Struktur Hati
a. Stroma.
Hati dibungkus oleh simpai tipis jaringan ikat yang menebal di hilum,
tempat vena porta dan arteri hepatika memasuki hati dan duktus hepatikus kiri dan
kanan serta tempat keluarnya pembuluh limfe. Pembuluh-pembuluh dan duktus
ini dikelilingi oleh jaringan ikat sepanjang jalannya di daerah portal diantara
lobulus hati klasik. Area ini tersusun oleh jaringan serta komponen retikuler halus
yang menunjang hepatosit dan sel endotel sinusoid dari lobulus hati.
b. Lobulus hati
Komponen struktural utama dari hati adalah sel hati atau hepatosit. Sel
epitelial ini berkelompok membentuk lempeng-lempeng yang saling berhubungan.
Lobulus hati dibentuk oleh massa jaringan berbentuk poligonal berukuran 0,7 x 2
mm, lobulus ini dipisahkan oleh selapis jaringan ikat sehingga sulit ditetapkan
batas-batas antar lobuli. Hepatosit berderet secara radier dalam lobulus hati
9
membentuk lapisan setebal 1 atau 2 sel. Darah mengalir dari tepian ke pusat
lobulus klasik di dalam parenkim hati. Oksigen dan metabolit serta semua
substansi toksik atau non-toksik lain yang diserap dalam usus pertama akan tiba di
sel perifer dan kemudian baru ke sel lobulus.
c. Hepatosit (sel hati)
Sel hati berbentuk polihedral dengan 6 atau lebih permukaan. Hepatosit
memiliki banyak retikulum endoplasma kasar dan halus. Retikulum endoplasma
kasar membentuk kelompok tersebar dalam sitoplasma disebut badan basofik
dalam hepatosit. Beberapa protein disintesis pada polisum dalam struktur ini.
Berbagai proses penting terjadi dalam retikulum endoplasma halus yang tersebar
secara difus di dalam sitoplasma. Organel ini berfungsi untuk proses konjugasi
dan detoksifikasi sebelum dikeluarkan dari tubuh. Retikulum endoplasma halus
pada hepatosit merupakan sistem labil yang segera bereaksi terhadap perubahan
dalam lingkungan (Ramadori et al., 2008; Karim, 2013)
Gambar 2.1Struktur Histologi Hati Normal, A. Skematis dan B. Pulasan Hematoksilin-Eosin
(Dhillon, 2012)
10
2.1.2 Peranan Hati Dalam Metabolisme Tubuh
Hati merupakan organ kedua terbesar dalam sistem tubuh. Ukuran hati kira-
kira empat kali lebih besar daripada jantung, dengan berat sekitar 1500 gram pada
laki-laki dewasa. Hati merupakan satu organ unik yang berupaya menghasilkan
sel baru untuk menggantikan sel yang rusak. Kerusakan hati berulang dalam
jangka waktu yang panjang misalnya akibat mengkonsumsi alkohol dan merokok
secara terus menerus akan menyebabkan hati mengalami kerusakan yang tidak
bisa diperbaiki. Guyton dan Hall (2011) menjelaskan bahwa hati memiliki
peranan dalam metabolisme yang cukup besar baik dalam metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein.
Hati memiliki fungsi dalam metabolisme karbohidarat sebagai berikut:
menyimpan glukosa, mengubah galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa,
glukoneogenesis dan membentuk banyak senyawa kimia penting dari hasil
perantara metabolisme karbohidarat. Sebagian metabolisme lemak dapat terjadi di
semua sel tubuh, namun aspek metabolisme lemak tertentu terutama terjadi di
hati. Beberapa fungsi spesifik hati dalam metabolisme lemak adalah: kecepatan
oksidasi beta asam lemak yang sangat cepat untuk mensuplai energi bagi fungsi
tubuh yang lain, pembentukkan sebagian besar lipoprotein dan pembentukkan
sejumlah besar kolesterol dan fospolipid. Fungsi hati lain yang cukup penting
dalam metabolisme protein yaitu: deaminasi asam amino, pembentukan amoniak
dari cairan tubuh, pembentukan protein plasma dan introkonvensi diantara asam
amino yang berbeda demikian juga dengan ikatan penting lainnya untuk proses
metabolisme tubuh. Hati juga merupakan tempat terjadi proses-proses penting
11
bagi kehidupan kita, yaitu proses penyimpanan energi, pembentukan protein dan
asam empedu, pengaturan metabolisme kolesterol, dan penetralan racun/obat yang
masuk dalam tubuh kita. Gangguan metabolisme yang fatal akan timbul apabila
terjadi kerusakan pada hati.
Beberapa penyakit hati antara lain :
1. Penyakit hati karena infeksi misalnya hepatitis virus.
2. Penyakit hati karena racun misalnya karena alkohol atau obat tertentu seperti
parasetamol.
3. Genetik atau keturunan misalnya hemochromatosis.
4. Gangguan imunitas misalnya hepatitis autoimun.
5. Kanker misalnya karsinoma hepatoseluler. Kanker hati dapat disebabkan
oleh senyawa karsinogenik diantaranya aflatoxin, polyvinyl chloride, virus
Hepatitis B dan C, sirosis hati, dan lain-lain (Karim, 2013).
2.1.3 Pertahanan Hati terhadap Radikal Bebas
Pertahanan utama hati terhadap radikal bebas menggunakan jalur glutation.
Jalur glutation merupakan pertahanan utama hepatosit dari pengaruh oksidan
(misalnya radikal oksigen). Glutation yang tereduksi dapat membebaskan
hepatosit dari peroksida (H2O2) dengan suatu reaksi yang dikatalisis oleh glutation
peroksidase, reaksi ini sangat penting karena penumpukan H2O2 intrasel akan
memperpendek umur hepatosit (Lushchak, 2012; Murray et al., 2012). Keadaan
defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PD) menyebabkan hepatosit dan
eritrosit tidak mampu menyediakan nicotinamide adenine dinucleotide phosphate
(NADPH) yang cukup untuk mereduksi glutathione teroksidasi (GSSG) menjadi
12
glutathione tereduksi (GSH) yang mengakibatkan terganggunya proses penetralan
hidrogen peroksida (H2O2) dan radikal oksigen lain (Murray, 2012). Radikal
oksigen dapat menyebabkan oksidasi gugus –SH kritis dari protein dan
peroksidasi lipid bilayer membran semua sel termasuk hepatosit sehingga
memudahkan terjadinya lisis. Oksidasi gugus –SH hemoglobin disertai presipitasi
protein eritrosit membentuk Heinz bodies yang merupakan parameter kondisi
akibat stress oksidatif (Sugawara et al., 2013).
H2O2 H2O
Glutation Peroksidase Oksidan lain (O2* / OH*)
GSH G S S G GSH
Glutation Reduktase (Glutation Transferase)
NADP NADPH HMP Shunt(hexose monophosphate shunt)
Glukosa 6 Fosfat Dehidrogenase (G6PD)
Glukosa Glukosa 6-P 6-Fosfoglukonat
Gambar 2.2Jalur Glutation dalam Hati (Murray et al., 2012)
2.1.4 Pengobatan Penyakit pada Hati
Pengobatan penyakit hati kronik dengan metode pengobatan modern masih
belum memuaskan, angka kekambuhan yang cukup tinggi, efek samping yang
13
berat, dan harga obat yang sangat mahal sehingga tidak terjangkau oleh sebagian
penderita, menyebabkan penderita berpaling ke metode pengobatan lain sebagai
pelengkap ataupun alternatif obat modern. Metode pengobatan ini sering
dinamakan complementary and alternative medicine (CAM). Metode CAM
jenisnya bermacam-macam, satu diantaranya memanfaatkan zat aktif dari
tumbuh-tumbuhan yang disebut pengobatan herbal. Pengobatan herbal mulai
dilirik kembali oleh pasien, dokter, maupun industri obat pada saat ini.
Pengetahuan para dokter tentang manfaat, efek samping, dan risiko obat herbal
masih sangat terbatas karena sedikitnya data klinis yang bisa diakses, terutama
untuk memenuhi standar berdasarkan fakta tentang efikasi, efektivitas dan
keamanan obat herbal (Daulay, 2011).
Obat-obatan yang selama ini diberikan untuk pengobatan kelainan hati
umumnya hanya sebagai obat simptomatik, disamping sebagai pengobatan
suportif atau promotif yang berguna untuk membantu kelangsungan fungi hati.
Hasil penelitian-penelitian terbaru membuktikan adanya tumbuhan obat yang
berkhasiat sebagai hepatoprotektor, antiviral, antiflamasi, antifibrosis, regenerasi
sel hati dan meningkatkan sistem imun (imunostimulator). Hepatoprotektor
merupakan senyawa atau zat berkhasiat yang dapat melindungi sel-sel hati
terhadap pengaruh zat toksik yang dapat merusak sel hati. Senyawa tersebut
bahkan dapat memperbaiki jaringan hati yang fungsinya sedang terganggu
(Kumar, 2012). Beberapa jenis tanaman yang telah digunakan sebagai bahan
pengobatan penyakit hati yaitu rimpang temulawak, herba meniran, daun mimba,
herba daun sendok, herba sambiloto, herba pegagan, buah tomat, rambut jagung,
14
akar langalang, umbi wortel dan masih banyak herba yang lainnya. Tanaman-
tanaman tersebut, termasuk juga mimba mengandung flavonoid, beta karoten, dan
senyawa lain yang memiliki potensi antioksidan (Setiawan, 2006; Kumar, 2012).
2.2 Siklus Sel dan Regulasi Replikasi Sel
Proliferasi sel merupakan suatu proses yang sangat teratur melibatkan
sejumlah besar molekul dan jalur-jalur yang saling terkait. Untuk memahami
bagaimana sel berproliferasi selama regenerasi dan pemulihan, sangat penting
merangkum gambaran-gambaran kunci dari siklus sel normal dan regulasinya.
Paparan berikut adalah ringkasan gambaran utama dari proses proliferasi sel.
Replikasi sel distimulasi oleh faktor pertumbuhan atau sinyal dari
komponen matriks ekstraseluler melalui integrin. Suatu sel untuk mencapai
replikasi dan pembelahan sel harus melalui urutan proses yang terkontrol sangat
ketat yang disebut sebagai siklus sel. Siklus sel terdiri dari fase G1 (presintesis),
fase S (sintesis DNA), fase G2 (premitosis), dan fase M (mitosis). Sel stabil
(quiescent cells) yang tidak masuk siklus sel berada pada fase istirahat atau G0
(Gambar 2.3). Tiap fase siklus sel tergantung pada aktivasi yang memadai dan
kelengkapan proses sebelumnya dan siklus akan terhenti pada fase tertentu saat
ekspresi gen penting yang mengaturnya kurang mencukupi. Siklus sel memiliki
banyak pengaturan dan pengulangan, terutama selama transisi antara fase G1 dan
S karena peran sentralnya mempertahankan homeostasis jaringan dan mengatur
proses fisiologis pertumbuhan seperti regenerasi serta pemulihan. Pengaturan
15
tersebut termasuk aktivator dan inhibitor, termasuk sensor yang bertanggung
jawab terhadap checkpoints, dijelaskan pada gambar dibawah ini (Gambar 2.3).
Gambar 2.3Siklus Sel (Kumar et al., 2010)
Gambar memperlihatkan siklus sel (G0, G1, G2, S, dan M), lokasi dari titikrestriksi G1 serta checkpoint siklus sel G1/S dan G2/M. Sel dari jaringan labilseperti epidermis dan saluran cerna dapat masuk siklus secara kontinu. Sel-selstabil seperti hepatosit relatif diam (quiescent) tetapi dapat masuk siklus sel. Sel-sel permanen seperti saraf dan miosit jantung kehilangan kemampuan untukproliferasi.
Sel dapat masuk fase G1 setelah G0 (sel-sel quiescent) atau setelah lengkap
melalui mitosis (pada sel-sel yang kontinu membelah). Sel-sel quiescent pertama
harus melalui transisi dari G0 ke G1, tahap penentu awal yang berfungsi sebagai
gerbang siklus sel. Transisi ini melibatkan aktivasi transkripsional dari sejumlah
besar gen, termasuk berbagai proto-onkogen dan gen yang diperlukan untuk
sintesis ribosom serta translasi protein. Sel-sel pada tahap G1 melalui siklus dan
mencapai keadaan kritis pada transisi G1/S, dikenal sebagai titik restriksi
16
(restriction point), sebuah tahap replikasi yang terbatas kecepatannya (Gambar
2.3). Selama menjalani fase restriksi, sel-sel normal menjadi irreversibel untuk
melanjutkan replikasi deoxyribonucleic acid (DNA). Perkembangan melalui
siklus sel terutama pada transisi G1/S diatur sangat ketat oleh suatu protein yang
disebut cyclin dan enzim-enzim terkait yang disebut cyclin-dependent kinases
(CDKs). Cyclin-dependent kinases memerlukan aktivitas katalitik dengan terikat
dan membentuk suatu kompleks dengan cyclin. Aktivasi CDKs dalam kompleks
ini mengarahkan terjadinya siklus sel dengan fosforilasi protein yang penting
dalam transisi siklus sel. Satu protein tersebut adalah protein rentan
retinoblastoma (RB), yang secara normal mencegah sel-sel bereplikasi dengan
membentuk suatu kompleks erat inaktif dengan faktor transkripsi eukaryotes 2F
(E2F). Fosforilasi RB menimbulkan protein ini terlepas, yang mengaktifkan E2F d
an mengarahkan untuk menstimulasi transkripsi gen yang produknya mengatur sel
saat siklus berjalan.
Aktivitas kompleks cyclin-CDK diatur secara ketat oleh CDK inhibitors,
beberapa jenis faktor pertumbuhan (growth factors) dapat menghentikan produksi
inhibitor tersebut. Mekanisme pertahanan hidup utama yang tertanam di dalam sel
yang menggerakan siklus sel adalah pengenalan adanya kerusakan DNA dan
kromosom. Pemeriksaan ulang yang mengontrol kualitas tersebut disebut
checkpoints, proses ini menjamin sel dengan kerusakan DNA atau kromosom
tidak menjalani replikasi lengkap. Checkpoint G1/S menilai integritas dari DNA
sebelum replikasi, sedangkan checkpoint G2/M menilai DNA setelah replikasi dan
mengawasi apakah sel dapat masuk ke fase mitosis secara aman. Saat sel
17
mengenali kerusakan DNA, aktivasi checkpoint menghambat siklus sel dan
memicu mekanisme perbaikan DNA. Bila kerusakan DNA terlalu berat untuk
diperbaiki, sel akan dihilangkan melalui apoptosis atau masuk jalur nonreplikatif
disebut senescence, proses ini terutama melalui mekanisme p53-dependent. Defek
checkpoint yang meloloskan DNA dengan rantai rusak dan kromosom dengan
kelainan untuk membelah menghasilkan mutasi pada sel anak, yang dapat
mengarah pada perkembangan neoplasia.
2.2.1 Faktor Pertumbuhan (Growth Factor)
Proliferasi hampir semua jenis sel dipicu oleh suatu polipeptida dikenal
sebagai faktor pertumbuhan (growht factor). Faktor pertumbuhan tersebut dapat
hanya memiliki target satu jenis sel atau banyak jenis sel, juga memicu sel
bertahan hidup, gerak, kontraktilitas, diferensiasi, dan angiogenesis yang
merupakan aktivitas yang sama pentingnya dengan efek memicu pertumbuhan.
Gambar 2.4Tabel Faktor Pertumbuhan dan Sitokin yang Terlibat dalam Regenerasi dan
Proses Penyembuhan Luka (Kumar et al., 2010)
18
Semua faktor pertumbuhan berfungsi sebagai ligan yang terikat pada
reseptor spesifik, yang menghantarkan sinyal ke sel target. Sinyal ini
menstimulasi transkripsi dari gen-gen yang tidak aktif saat sel fase istirahat,
termasuk gen-gen yang mengkontrol awal dan progresi siklus sel. Sebagian daftar
faktor-faktor pertumbuhan penting yang terlibat dalam proses perbaikan dan
Hepatocyte growth factor (HGF) atau scatter factor (SF) diproduksi oleh
sel-sel mesenkim. Faktor pertumbuhan ini berfungsi memicu proliferasi hepatosit,
sel-sel epitelial, dan sel endotel. Hepatocyte growth factor juga berfungsi
meningkatkan motilitas sel dan replikasi keratinosit.
Hepatocyte growth factor pertama kali diisolasi dari trombosit dan serum.
Penelitian selanjutnya memperlihatkan bahwa hepatocyte growth factor identik
dengan faktor pertumbuhan yang telah lebih dulu diisolasi dari fibroblas yang
dikenal sebagai scatter factor. Faktor pertumbuhan ini dalam literatur sering
disingkat HGF/SF.
Hepatocyte growth factor memiliki efek mitogenik pada hepatosit dan
hampir seluruh jenis sel epitel, termasuk sel epitel kandung empedu, epitel paru,
ginjal, kelenjar payudara, dan kulit. Hepatocyte growth factor berperan sebagai
suatu morfogen dalam perkembangan embrionik, memicu penyebaran dan migrasi
sel serta meningkatkan kemampuan hepatosit untuk bertahan hidup. Faktor
pertumbuhan ini diproduksi oleh fibroblas dan hampir seluruh jenis sel mesenkim,
sel endotel, dan sel-sel nonparenkimal hati. Hepatocyte growth factor diproduksi
19
sebagai bentuk rantai tunggal inaktif (pro-HGF) yang diaktivasi oleh protease
serin yang dilepaskan oleh jaringan rusak. Reseptor HGF, yaitu proto-onkogen c-
MET sering tinggi ekspresinya atau mengalami mutasi pada tumor, terutama pada
karsinoma papiler tiroid dan ginjal. Penyampaian sinyal hepatocyte growth factor
dibutuhkan dalam bertahan hidup selama perkembangan embrionik, seperti yang
terlihat pada defek perkembangan otot, ginjal, hati, dan otak. Penelitian pada tikus
knockout terbukti bersifat letal bila kekurangan c-met. Beberapa inhibitor HGF
dan c-MET sedang dalam tahap penelitian uji coba untuk terapi kanker.
2.2.3 Mekanisme Regenerasi Jaringan dan Organ
Beberapa jenis kadal dan amfibi dapat meregenerasi ekor, kaki, lensa,
retina, rahang serta sebagian besar sel jantungnya, tetapi kemampuan regenerasi
dari seluruh organ dan jaringan tersebut hilang pada mamalia. Kecenderungan
tidak mampunya regenerasi sejati pada mamalia disebabkan hilangnya
pembentukan blastema (sumber sel untuk regenerasi) dan respon fibroproliferatif
yang cepat terjadi setelah cedera. Jalur Wnt/β-catenin merupakan jalur utama yang
berperan dalam regenerasi cacing pipih planaria, regenerasi sirip dan jantung ikan
zebra, dan pembentukan pola regenerasi kaki dan blastema pada kadal. Jalur
Wnt/β-catenin memodulasi fungsi sel punca epitel usus, sumsum tulang, otot,
berperan dalam regenerasi hati setelah hepatektomi parsial, dan proliferasi sel
oval setelah proses cedera pada mamalia (Kumar et al., 2010).
Regenerasi hati telah diteliti secara detail aspek biologis dan klinisnya,
walaupun proses tersebut bukan sebuah proses regenerasi sejati karena reseksi
jaringan tidak menimbulkan pertumbuhan baru hati, tetapi memicu hiperplasia
20
kompensasi sisa organ. Organ lain seperti ginjal, pankreas, kelenjar adrenal,
tiroid, dan paru hewan yang masih sangat muda juga dapat mengalami
pertumbuhan kompensasi, walaupun organ-organ tersebut memperlihatkan proses
yang kurang dramatis dibandingkan pada hati. Pertumbuhan ginjal kontralateral
setelah nefrektomi unilateral melibatkan hipertrofi nefron dan replikasi sebagian
sel tubulus proksimal, karena nefron yang baru terbentuk tidak dapat regenerasi
pada ginjal dewasa. Pankreas memiliki kemampuan terbatas untuk regenerasi
komponen eksokrin dan pulau-pulau sel beta. Regenerasi sel-sel beta pankreas
melibatkan replikasi sel beta, transdediferensiasi sel-sel duktal atau diferensiasi
dari sel-sel punca yang diduga mengekspresi faktor transkripsi Oct4 dan Sox2.
Baru-baru ini telah dapat dilakukan program ulang sel-sel eksokrin pankreas
menjadi sel-sel beta penghasil insulin (Kumar et al., 2010).
2.2.4 Regenerasi Sel Hati
Hati manusia memiliki kemampuan regenerasi yang mengagumkan, seperti
yang diperlihatkan pada pertumbuhan setelah hepatektomi parsial yang dilakukan
setelah reseksi tumor atau setelah transplantasi hati donor hidup (Gambar 2.5).
Pada manusia, reseksi sekitar 60% hati pada pendonor hidup menghasilkan
penggandaan sisa hati yang ada setelah sekitar satu bulan. Bagian hati yang tersisa
setelah hepatektomi parsial berperan sebagai “mini-liver” intak yang membesar
cepat dan mencapai ukuran semula (Gambar 2.5). Perbaikan massa hati tercapai
tanpa pertumbuhan kembali dari lobus yang direseksi saat operasi. Pertumbuhan
terjadi melalui membesarnya lobus yang tersisa setelah operasi, sebuah proses
dikenal sebagai pertumbuhan kompesasi atau hiperplasia kompensasi. Pada
21
manusia maupun hewan pengerat, titik akhir dari regenerasi hati setelah
hepatektomi parsial adalah pemulihan dari massa fungsional daripada penyusunan
kembali dari bentuk asal.
Sel punca pada hati dapat ditemukkan di perbatasan sistem porta dan sel-sel
hepatosit. Sel-sel punca tersebut dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel duktus
empedu dan hepatosit (Pedersen, 2011).
Gambar 2.5Regenerasi Sel-Sel Hati setelah Hepatektomi Parsial (Kumar et al., 2010)
A. Lobus hati tikus (M: medial; right lobe (RL) dan left lobe (LL): lobus kanandan kiri; C: lobus kaudatus). Hepatektomi parsial mengangkat dua pertiga darihati (lobus medial dan lateral kiri). Setelah 3 minggu lobus lateral kanan dankaudatus tumbuh mencapai ukuran setara dengan ukuran asal sebelumhepatektomi tanpa pertumbuhan lobus medial dan lateral kiri.
B. Awal dan perkembangan hepatosit dalam siklus sel.C. Regenerasi hati manusia pada transplantasi donor hidup. Computed
tomography scans (CT scan) dari penerima donor hati dengan transplantasidonor hidup. Gambar atas adalah CT scan dari donor hati sebelumtransplantasi. Lobus kanan, yang dipakai untuk donor diberi batas garis.Gambar bawah adalah CT scan hati 1 minggu setelah hepatektomi parsial.
22
Catatan: pertumbuhan lobus kiri (diberi garis batas) tanpa pertumbuhan lagilobus kanan.
Sebagian besar hepatosit replikasi selama regenerasi hati setelah hepatektomi
parsial. Karena hepatosit adalah sel quiescent, perlu beberapa jam sel-sel hati
untuk dapat masuk siklus sel, berkembang melalui fase G1, dan mencapai fase S
dari replikasi DNA. Gelombang replikasi hepatosit disinkronisasi dan diikuti
replikasi sinkronus dari sel-sel nonparenkim (sel-sel Kupffer, sel-sel endotel, dan
sel-sel stellate).
Bukti kuat dari hasil penelitian baru bahwa proliferasi hepatosit dalam proses
regenerasi hati dipicu oleh gabungan kerja dari banyak sitokin dan polipeptida
faktor pertumbuhan. Replikasi hepatosit bergantung sangat ketat pada efek
parakrin faktor pertumbuhan dan sitokin seperti HGF dan interleukin 6 (IL-6)
yang diproduksi sel-sel nonparenkimal hati, dengan mengesampingkan aktivitas
autokrin dari transforming growth factor alpha (TGF-α). Terdapat dua titik
restriksi utama dalam replikasi yaitu: transisi G0/G1 yang mengarahkan hepatosit
quiescent masuk siklus sel dan transisi G1/S yang diperlukan melewati akhir titik
restriksi G1. Ekspresi gen dalam proses regenerasi hati terjadi dalam beberapa
tahap, diawali dengan respon gen awal segera, yang merupakan respon sementara
yang bertanggung jawab terhadap transisi G0/G1. Lebih dari 70 gen diaktifkan
selama respon ini, termasuk proto-onkogen c-FOS dan c-JUN dimana produknya
digabung untuk membentuk faktor transkripsi AP-1 yaitu c-MYC yang mengkode
faktor transkripsi yang mengaktivasi banyak gen berbeda dan faktor transkripsi
lain seperti nuclear factor κ-binding (NF-κB), STAT-3, dan C/EBP. Respon gen
awal segera mengatur tahapan aktivasi berurutan dari banyak gen, seperti pada
23
hepatosit saat masuk fase G1. Transisi G1 ke S terjadi seperti pada gambar
(Gambar 2.3).
Hepatosit yang quiescent menjadi kompeten untuk masuk siklus sel melalui
sebuah fase awal yang terutama dimediasi oleh sitokin tumor necrosis factor
(TNF) dan IL-6 serta komponen sistem komplemen. Sinyal awal mengaktivasi
beberapa jalur sinyal transduksi sebagai pendahulu penting untuk proliferasi sel.
Akibat stimulasi dari HGF, TGFα, dan heparin binding epidermal growth factor
(HB-EGF) hepatosit masuk siklus sel serta mengalami replikasi DNA (Gambar
2.5). Norepinefrine, serotonin, insulin, tiroid, dan hormon pertumbuhan berfungsi
sebagai pelengkap untuk regenerasi hati, memfasilitasi masuknya hepatosit
kedalam siklus sel.
Hepatosit masing-masing replikasi sekali atau dua kali selama regenerasi dan
kemudian kembali ke keadaan quiescence melalui sebuah urutan proses yang
diatur sangat ketat, tetapi mekanisme penghentian pertumbuhan belum jelas.
Inhibitor pertumbuhan seperti TGF-β dan activin mungkin terlibat dalam
mengakhiri replikasi hepatosit, namun masih belum dipahami cara kerjanya. Sel
punca intrahepatik atau sel progenitor tidak berperan dalam pertumbuhan
kompensasi yang terjadi setelah hepatektomi parsial dan tidak terdapat bukti
adanya hepatosit yang diturunkan dari sel turunan sumsum tulang selama proses
ini. Walaupun sel-sel endotel dan sel-sel nonparenkimal lain dapat merupakan
turunan dari sel prekursor dari sumsum tulang (Kumar et al., 2010).
2.2.5 Cyclin D1 dan Peranannya dalam Siklus Sel
24
Perkembangan melalui siklus sel membutuhkan ekspresi urutan gen dari
kelompok protein yang disebut cyclin (siklin). Siklin adalah semua kelompok
protein aktif yang mengatur siklus sel dan memulai sintesis DNA. Jenis siklin
yang telah teridentifikasi hingga saat ini berjumlah 15, secara garis besar dibagi
menjadi siklin A, B, C, D, E, F, G, H, I, K, dan T (Kumar, 2010). Siklus sel
membutuhkan kerja gabungan dari beberapa jenis siklin yang saling overlapping
dan berurutan. Siklin D mengawali masuk siklus sel dari fase G1 ke fase S,
dilanjutkan oleh siklin A dari fase S masuk G2, kemudian dilanjutkan siklin B
dari fase G2 masuk fase mitosis (M). Perubahan menjadi keganasan sering
melibatkan mutasi pada siklin D atau CDK4, namun jarang melibatkan mutasi
siklin B dan E.
Siklin membentuk kompleks dengan specific cyclin-dependent kinases
(CDKs) spesifik, saat terinduksi membentuk holoenzim yang memfosforilasi
protein target yang dibutuhkan pada progresi siklus sel. Induksi proto-onkogen
siklin D1, dan terikatnya pada CDK4 atau CDK6 adalah terbatas kecepatannya
selama progresi siklus sel fase G1. Beberapa penelitian mengusulkan bahwa siklin
D1 memiliki fungsi CDK-independent. Gen siklin D1 merasakan mitogenik
potensial dari lingkungan mikro selama masuk siklus sel dari posisi diam karena
induksinya membutuhkan koordinat sinyal yang berasal dari matriks ekstraseluler
dan faktor-faktor pertumbuhan terlarut, pada sel-sel yang tidak bertransformasi.
Kontrol ini dapat hilang saat transformasi seluler, dan siklin D1 berbanding lurus
overekspresinya pada beberapa jenis kanker, termasuk kanker payudara, hati, dan
otak. Represi ekspresi gen siklin D1 sebaliknya merupakan tanda khas diferensiasi
25
sel. Sejumlah besar faktor transkripsi telah teridentifikasi yang secara langsung
terikat atau sebaliknya mengatur promoter siklin D1, sejak deskripsi pertama
promoter siklin D1 muncul 15 tahun yang lalu. Kadar siklin D1 dapat diatur
secara transkripsional dan pos-transkripsional, dan pada penelitian beberapa ahli
(Klein, 2008) dibahas pemeriksaan kontrol transkripsional gen siklin. Peneliti-
peneliti mempelajari pengetahuan sel ini secara komprehensif faktor-faktor
transkripsi dan tempat terikatnya yang fungsional pada sel utuh memakai
pemeriksaan luciferasereporter, chromatin immuno-precipitation (ChIP), dan
penelitian invitro menggunakan electrophoretic mobility shift assays (EMSAs),
namun tempat terikatnya secara pasti masih belum teridentifikasi (Klein and
Richard, 2008).
Keputusan apakah sel melanjutkan progresi terletak pada fase G2, saat gen
rat sarcoma (RAS) seluler menginduksi peningkatan kadar cyclin D1. Kadar
cyclin D1 tersebut perlu dipertahankan selama fase G1 untuk inisiasi fase S,
dimana saat tersebut kadar cyclin D1 secara otomatis dikurangi hingga berkadar
rendah. Penurunan kadar cyclin D1 selama fase S diperlukan untuk sintesis DNA,
dan memaksa sel untuk menginduksi peningkatan kadar cyclin D1 sekali lagi saat
memasuki fase G2. Cyclin D1 diusulkan sebagai tombol aktif dalam pengaturan
progresi siklus sel berkelanjutan (Bienvenu et al., 2010).
Cyclin/Cdks adalah regulator kunci selama progresi siklus sel melalui
fosforilasi substrat. Masing-masing cyclin/Cdks memiliki fungsi berbeda pada tiap
fase siklus sel yang berbeda. Kompleks cyclin D1/Cdk4 memegang sebuah
peranan penting dalam fase G1. Kompleks ini dapat memfosforilasi kelompok
26
protein Rb untuk menonaktifkan fungsinya sebagai supresor transkripsi dan
diikuti aktivasi faktor transkripsi E2F-dependent untuk promosi masuk fase S dan
inisiasi sintesis DNA. Cyclin D1/Cdk4 juga memfosforilasi Smad3 untuk
mengambat aktivitas transkripsinya dan fungsi antiproliferatif. Cyclin D1/Cdk4
beriteraksi dengan NDR1/2, pada jalur ini. Hal terpenting pada penelitian tersebut
menemukan bahwa cyclin D1 memperkuat aktivitas NDR1/2 untuk promosi
transisi independen G1/S dari Cdk4. Temuan penelitian tersebut menunjukkan
fungsi penting cyclin D1 melalui pengaturan aktivitas NDR kinase selama
progresi siklus sel. Cyclin D1/Cdk4 dapat bersilang dengan jalur NDR kinase.
Penelitian tersebut menemukan bahwa cyclin D1 merupakan regulator positif dari
NDR kinase dan promosi progresi siklus sel pada satu jalur independen Cdk4.
Penemuan ini memperluas peran cyclin D1 sebagai regulator kunci dalam regulasi
siklus sel dan dapat menyediakan peluang baru terapi kanker terkait cyclin D1 (Du
et al., 2013).
Gambar 2.6Skema Peran Siklin D1 dan Ras dalam Siklus Sel (Stacey, 2003)
2.2.6 Kelebihan Siklin D1 dibandingkan Protein Petanda Proliferasi yang Lain
(Ki67)
27
Siklin dan cyclin dependent kinases (CDKs) adalah dua kelompok protein
yang bertanggung jawab terhadap siklus sel melalui pengaturan pada beberapa
checkpoint. Kadar empat jenis protein siklin berfluktuasi selama siklus sel
(Minikel, 2013), ditampilkan pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Konsentrasi Berbagai Jenis Siklin dalam Siklus Sel (Minikel, 2013)
Kombinasi dari siklin dan berbagai CDKs yang aktif pada tiap fase tertentu,
menentukan bebagai aktivitas siklus sel, diperlihatkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1Peran Siklin dan Berbagai CDKs pada Tiap Fase Siklus Sel (Minikel, 2013)
Fase SiklusSel
Siklin CDKs Keterangan
G1 Siklin D
CDK4, CDK6
Dapat bereaksi terhadap sinyal dari luar seperti faktor pertumbuhan atau mitogen.
G1/S SiklinE, A
CDK2 Meregulasi duplikasi sentrosom, penting untuk mencapai kondisi start.
S SiklinE, A
CDK2 Targetnya adalah helikase dan polimerase
M Siklin CDK1 Meregulasi checkpoint G2/M. Siklin
28
A, B disintesis selama S, tetapi tidak aktif sampaisintesis lengkap. Memfosforilasi banyak target jalur dibawahnya.
Sel-sel quiescent (stabil) seperti hepatosit yang diam pada fase G0 setelah
distimulasi sinyal mitogenik, terjadi aktivasi CDK4 dan CDK6 yang bekerja
bersama siklin D (terutama siklin D1) yang kemudian dapat masuk fase G1 dan
memulai siklus sel (Carrassa, 2013). Ki67 merupakan salah satu protein petanda
proliferasi yang juga dapat dipakai untuk mengetahui suatu jaringan tinggi
pembelahan selnya (banyak sel masuk siklus sel). Ekspresi ki67 dalam siklus sel
bervariasi. Ki67 tidak terekspresi pada fase G0. Ekspresi ki67 rendah pada fase
G1 dan S. Ekspresi tertinggi ki67 pada fase G2 dan M. Kadar ki67 akan menurun
tajam pada anafase dan telofase. Pulasan imunohistokimia maupun pengukuran
protein ki67 pada jaringan yang telah difiksasi memiliki kelemahan tidak dapat
membedakan apakah suatu sel quiescent (seperti hepatosit dan saraf) berada pada
fase G0 atau telah masuk fase G1, sebaliknya siklin D1 merupakan pemicu
masuknya sel quiescent dari fase G0 masuk G1 dan melanjutkan fase siklus sel
selanjutnya. Pemeriksaan probing imunositokimia proximal promoter gen ki67
(Ki67p) yang dapat dipakai sebagai penanda sel mengalami transisi G0-G1 dan
masuk siklus sel (Carrassa, 2013; Zambon, 2011). Siklin D terekspresi dengan
kadar yang bervariasi pada seluruh siklus sel seperti terlihat pada Gambar 2.7.
Ki67 terekspresi pada hampir seluruh fase siklus sel, kecuali pada fase G0 seperti
terlihat pada Gambar 2.8.
29
Gambar 2.8Ekpresi Protein Ki67 pada Seluruh Siklus Sel.
Semakin cerah warna merah, semakin rendah ekspresi Ki67.Ki67 tidak terekspresi pada fase G0 (Yuan et al., 2015)
Gambar 2.9Ekspresi Siklin D1 dan Ki67 dalam Siklus Sel (Iwakura et al., 2016)
2.2.7 Faktor-Faktor yang Meningkatkan dan Menurunkan Aktivitas Siklus Sel
dan Siklin
Banyak faktor yang mempengaruhi aktivitas regenerasi sel melalui siklus
sel. Faktor yang menginduksi peningkatan siklus sel antara lain: tumor necrozing
gen Rb. Faktor yang menginhibisi siklus sel antara lain p27, p53, dan anti-RAS
(Kumar, 2010).
Gambar 2. 10Skema Ilustrasi Peranan Siklin, CDK, dan Inhibitor CDK (CDKIs) dalam
Mengatur Siklus Sel (Kumar et al., 2010)Panah warna biru memperlihatkan fase siklus sel dimana kompleks siklin-CDKspesifik aktif. Sebagai ilustrasi, siklin D-CDK4, siklin D-CDK6, dan siklin E-CDK2 mengatur transisi G1 ke S melalui fosforilasi protein RB (pRB). Siklin A-CDK2 dan siklin A-CDK1 aktif pada fase S. siklin B-CDK1 penting pada transisifase G2 ke M. dua kelompok CDKIs dapat memblokir aktivitas CDK dan progresimelalui siklus sel. Inhibitor yang disebut INK4, terdiri dari p16, p15, p18, danp19, bekerja pada silin D–CDK4 dan siklin D–CDK6. Tiga kelompok inhibitorlain p21, p27, dan p57, dapat menghambat semua CDK.
31
Cyclin dependent kinase 4 (CDK4) membentuk kompleks dengan siklin D
memfosforilasi protein RB, memfasilitasi perkembangan siklus sel melalui titik
restriksi G1. Cyclin dependent kinase 2 (CDK2) membentuk kompleks dengan
siklin E pada fase lanjut G1, yang terlibat dalam transisi G1/S. Cyclin dependent
kinase 2 (CDK2) juga membentuk kompleks dengan siklin A pada fase S yang
memfasilitasi transisi G2/M. Cyclin dependent kinase 1 (CDK1) membentuk
kompleks dengan siklin B yang memfasilitasi transisi G2/M (Kumar et al., 2010).
2.2.8 Penilaian Hasil Pulasan Imunohistokimia Cyclin D1 pada Regenerasi Hati
Penilaian ekspresi cyclin D1 pada regenerasi hati dilakukan pada daerah
zona 3 dan 2 disekitar fokus-fokus nekrosis, umumnya hepatosit yang regenerasi
tampak dengan gambaran lebih hidrofik dibandingkan sel-sel hati disekitarnya
yang berukuran lebih kecil disertai peningkatan aktivitas mitosis. Perbesaran kuat
memperlihatkan hepatosit jinak yang regeneratif umumnya membentuk pita-pita
dengan ketebalan tidak lebih dari 2 lapis sel (Kleiner and Ferrel, 2016).
Ekspresi Cyclin D1 pada pulasan imunohistokimia (IHK) dinilai secara
visual menggunakan mikroskop cahaya binokuler dan dibuat skor kuantitatif
dengan menghitung jumlah inti sel hepatosit yang terpulas berintensitas sedang
sampai kuat dalam 100 sel memakai perbesaran kuat 400 kali (lapangan pandang
besar) pada area hot spot, bila memungkinkan menggunakan grid (mikrometer).
Skor pulasan Skor tersebut dinyatakan dalam prosentase 0-100% (Batinac et al.,
2004; Ramirez et al., 2005; Dornales et al., 2009; Swati et al., 2012; Nurliani and
Sandika, 2015).
32
Area hot spot terletak pada daerah zona 3 dan 2 disekitar fokus-fokus
nekrosis, hepatosit yang regenerasi tampak dengan gambaran lebih besar
dibandingkan sel-sel hati disekitarnya yang normal disertai peningkatan aktivitas
mitosis. Perbesaran kuat memperlihatkan hepatosit jinak yang regeneratif
umumnya membentuk pita-pita dengan ketebalan tidak lebih dari 2 lapis sel.
Gambar 2.11Imunohistokimia Cyclin D1 tidak Terpulas pada Sediaan (Das et al., 2011)
Gambar 2.12Imunohistokimia Cyclin D1 Terpulas pada 65% Sel, dengan Intensitas Kuat
(Termo Fisher, 2016)
33
2.3 Parasetamol
Parasetamol merupakan salah satu obat yang pemakaiannya sangat luas di
dunia, sebagai ilustrasi di Amerika terdapat lebih dari 600 merk dagang obat yang
mengandung parasetamol. Pemakaian parasetamol sangat sering, di Amerika
sebagai contohnya diperkirakan lebih dari 200 juta penduduk memakai obat ini
per tahun. Parasetamol sangat sering pemakaiannya di dunia kedokteran karena
merupakan salah satu analgesik-antipiretik yang efektif. Obat ini di Amerika
banyak dikombinasikan dengan analgesik golongan opioid, sehingga
penyalahgunaannya berkontribusi pula meningkatkan kejadian gagal hati akut.
Obat ini di Indonesia dalam bentuk murni termasuk obat bebas (berlabel hijau)
dan termasuk obat bebas terbatas bila dalam kombinasi sebagai obat flu, sehingga
mudah didapat dimana-mana baik preparat murni parasetamol maupun terkandung
dalam obat flu. Pemakaian parasetamol oleh masyarakat sering tanpa pengawasan
tenaga medis dan pemakaian parasetamol yang melebihi dosis terapi dalam jangka
waktu lama atau dengan dosis yang tidak tepat mampu menimbulkan kerusakan
hati (efek hepatotoksik). Sebagian masyarakat kurang tahu akan efek hepatotoksik
parasetamol ini (Franciscus, 2014).
2.3.1 Metabolisme Parasetamol dalam Hati
Pemberian parasetamol dosis toksik menghasilkan metabolit reaktif yang
dipercaya sebagai senyawa pemicu kerusakan pada hati. Sebagian besar
parasetamol (± 80%) di dalam hati terkonjugasi dengan asam glukuronat dan
sulfat dan sebagian kecil (9%-20%) dioksidasi oleh sistem sitokrom P-450 MFO
hati menjadi metabolit rektif N-asetil-p benzokuinonimina (NAPBKI). Campuran
34
ini sangat beracun, akan tetapi di dalam hati akan diikat oleh enzim antioksidan
berupa glutation, jika jumlahnya tidak mencukupi maka kuinon yang bersifat
beracun ini tidak akan dihapuskan dan mulai untuk bereaksi dengan
makromolekul protein-protein selular dan asam nukleat di dalam hati, pada
akhirnya menyebabkan kerusakan hati (Johnson et al., 2014; Lee, 2007).
Gambar 2.13Kadar Metabolit Acetaminophen-Cystein (Acetaminophen-CYS) dalam Serum
pada Beberapa Kelompok Pasien (Pauls and Senior, 2013)
A. Pasien acute liver failure (ALF) sekunder akibat overdosis acetaminophen.B. Pasien dengan ALF karena obat nonacetaminophen.C. Pasien dengan overdosis acetaminophen tetapi tanpa ALF.D. Pasien dengan ALF karena sebab yang tidak diketahui etiologinya dan tidak
terdeteksi obat dalam serumnya.E. Pasien dengan ALF tidak diketahui penyebabnya dan tidak diperiksa
serumnya.
2.3.2 Efek Hepatotoksik Parasetamol
Obat yang menyebabkan hepatotoksisitas dapat memiliki perangai
berhubungan dengan dosis (dose-dependent) atau tidak bergantung dosis (dose-
independent atau idiosyncratic). Kedua tipe cedera hati terinduksi obat yang
35
paling sering menimbulkan kegagalan hati akut disertai ensefalopati hepatik dan
koagulopati, meskipun proporsi kasus gagal hati akut disebabkan obat sangat
bervariasi di dunia (Gambar 2.17). Reaksi obat idiosinkratik jarang terjadi (terjadi
pada 1:10.000 sampai 1:100.000 penduduk yang memakai obat tertentu), dan
polimorfisme enzim pada satu sitokrom P450 (CYP) atau gen lain berperan
penting pada banyak pasien yang rentan, walaupun peran klinis dan nilai
farmakogenetik baru saja muncul. Acetaminophen (paracetamol) mungkin contoh
terbaik obat yang bersifat tergantung dosis dalam menimbulkan hepatotoksisitas.
Acetaminophen sangat aman saat dipakai pada dosis maksimal yang dianjurkan (4
gram/hari), tetapi dosis 8–10 gram/hari dapat menimbulkan nekrosis hati berat.
Gambar 2.15 menjelaskan secara skematik jalur metabolisme parasetamol
(acetaminophen) menghasilkan metabolit toksik. Telah diterima secara luas
bahwa toksisitas dianggap berasal dari metabolitnya yang sangat reaktif N-acetyl-
p-benzoquinone imine (NAPQI). N-acetyl-p-benzoquinone imine dapat terikat
secara kovalen pada protein seluler dan menyebabkan pembengkakan dan
kemudian lisis hepatosit. Gagal hati terinduksi parasetamol merupakan kelainan
hiperakut dimana gagal hati dapat berkembang hanya dalam waktu satu hari
setelah menelan parasetamol overdosis. Karakteristik biokimiawi termasuk
peningkatan enzim aminotransferase yang sangat tinggi (5.000–25.000 IU/L) dan
sering disertai peningkatan kadar kreatinin karena efek nefrotoksik langsung dari
parasetamol. Transplantasi hati tidak sering dilakukan pada pasien gagal hati
terinduksi parasetamol karena penyakit berkembang sangat cepat atau terdapat
kontraindikasi transplantasi secara medis atau sosial. Sebagai tambahan, rerata
36
bertahan hidup spontan (bebas transplantasi) adalah lebih baik (sekitar 70%)
dibanding penyebab lain dari gagal hati akut dan sebagian besar pasien tidak
memerlukan transplantasi hati. Kasus toksisitas parasetamol dapat salah
diinterpretasi apabila pasien datang dengan ensefalopati atau tidak mengaku
memakai parasetamol. Untuk mengatasi hal tersebut, telah dikembangkan
pemeriksaan baru yang dapat mengukur parasetamol terikat protein, yang sangat
efektif dalam mengidentifikasi kasus terselubung “smoking gun” (Franciscus,
2014).
Parasetamol juga merupakan salah satu contoh hepatotoksin unpredictable
yang merusak hati secara tidak langsung. Kerusakan hati yang timbul disini bukan
disebabkan karena toksisitas intrinsik dari obat, tetapi karena adanya reaksi
idiosinkrasi yang hanya terjadi pada orang-orang tertentu. Ciri dari kelainan yang
bersifat idiosinkrasi ini ialah timbulnya tidak dapat diramalkan dan biasanya
hanya terjadi pada sejumlah kecil orang yang rentan. Reaksi yang berdasarkan
idiosinkrasi menurut penyebab terjadinya dapat dibedakan dalam dua golongan
yaitu karena reaksi hipersensitivitas dan karena kelainan metabolisme. Kelainan
yang timbul karena hipersensitivitas biasanya terjadi setelah satu sampai lima
minggu dimana terjadi proses sensitisasi. Tanda-tanda sistemik dapat muncul
berupa demam, ruam kulit, eosinofilia dan kelainan histologik berupa peradangan
granulomatosa atau eosinofilik pada hati (Borges et al., 2010). Brunton et al.
(2011) mengemukakan teori parasetamol dimetabolisme terutama oleh enzim
mikrosomal hati.
37
Gambar 2.14Seluruh Jalur Metabolisme Parasetamol dalam Hati (Brunton et al., 2011)
Parasetamol mengalami biotranformasi di hati dan sebagian besar
dieksekresikan setelah berkonjugasi dengan glukoronat (60%), asam sulfat (20%)
dan sistein (3%). Konsumsi parasetamol dalam dosis yang tinggi, maka
parasetamol ikut mengalami N-hidroksilasi yang secara spontan mengalami
dehidritasi membentuk metabolit N-asetil-p-benzoquinone yang bersifat
hepatotoksik. Brunton et al. (2011) juga berpendapat hepatotoksis dapat terjadi
setelah mengkonsumsi dosis tunggal 10-15 g (200-250 mg/kg) parasetamol. Dosis
diatas 250 mg/kg secara potensial sangat fatal. Indikasi klinik terhadap
manifestasi kerusakan hati terjadi 2-6 hari setelah mengkonsumi parasetamol
dosis toksik.
38
Gambar 2.15Metabolisme Parasetamol Menghasilkan Metabolit Toksik NAPQI
(Borges et al., 2010)
Jalur utama metabolisme parasetamol termasuk glukoronidasi dan sulfatasi
(kiri) menghasilkan konjugat nontoksik larut air yang diekskresi lewat ginjal
(kanan atas). Jalur kedua melibatkan sistem sitokrom P450 (CYP), terutama
CYP2E1, dimana parasetamol dimetabolisme menjadi metabolit yang sangat
reaktif N-acetyl-p-benzoquinone imine (NAPQI). Metabolit ini dapat terikat
secara kovalen dengan protein hati dan menimbulkan nekrosis seluler. Efek toksik
dari NAPQI dihilangkan dengan pengikatan pada antidot alami glutation (GSH),
menghasilkan asam merkapturat suatu metabolit nontoksik larut air yang dapat
diekskresi. N-acetylcysteine berfungsi sebagai antidot dengan cara memperbaharui
glutation. Alkohol dapat meningkatkan toksisitas dengan induksi dari CYP2E1
atau menyebabkan deplesi simpanan glutation hati (Gambar 2.15).
39
Gambar 2.16Mekanisme Kerusakan Hati Dipicu Obat (Clinicalgate, 2015)
a. Gangguan filamen sitoskeletal memicu pembentukan gelembung dan nekrosissel.
b. Gangguan mekanisme transport kanalikuler empedu menyebabkan kolestasis.c. Zat antara yang sangat reaktif yang terikat ke protein sel mengarahkan
pembentukan hapten.d. Neoantigen dapat ditranport ke permukaan sel dan membangkitkan suatu
respon imun sitotoksik atau pembentukan autoantibodi.e. Mekanisme apoptosis dapat juga berperan.f. Gangguan mitokondria mengarahkan akumulasi lemak mikrovesikuler dalam
hepatosit juga pembentukan asam laktat akibat metabolisme anaerob.
40
Gambar 2.17Mekanisme Antioksidan Herbal Menurunkan Toksisitas Seluler
Akibat Radikal Bebas (Singh et al., 2016)
Keterangan: = menghambat
2.3.3 Insiden Hepatotoksik
Toksisitas parasetamol adalah penyebab utama gagal hati akut di negara-
negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat. Parasetamol merupakan agen
penyebab yang memberikan kontribusi sekitar 46% dari seluruh gagal hati akut di
Amerika Serikat. Nekrosis masif hepatosit adalah gambaran predominan cedera
hati akut terinduksi parasetamol (Yamada et al., 2009; Sirisha et al., 2013).
Gagal hati akut terinduksi obat lain dan parasetamol predominan bertambah
pada negara-negara maju yang sering diakibatkan karena pemakaian obat
kombinasi narkotik-parasetamol, sedangkan hepatitis virus banyak di Asia dan
negara-negara berkembang (Bernal and Wendon, 2013).
41
Gambar 2.18Etiologi Gagal Hati Akut di Amerika (Pauls and Senior, 2013)
Keterangan:Jumlah pasien keseluruhan 2000.APAP: acetaminophen = parasetamol.Hep B: virus hepatitis BHep A: virus hepatitis A
Indeter: tidak dapat diketahui etiologinya dengan pasti
Insiden gagal hati akut akibat pemakaian parasetamol di Amerika pada
januari tahun 2013 sebanyak 916 kasus dari keseluruhan 2000 pasien gagal hati
akut yang tercatat dalam register pasien nasional. Parasetamol menduduki
peringkat pertama sebagai penyebab gagal hati akut, memberikan kontribusi
sekitar 46% dari seluruh kasus gagal hati akut. Seluruh penelitian di seluruh
negara tersebut (Gambar 2.19) terdapat kasus hepatitis A dan hepatitis B,
sedangkan gagal hati akut terinduksi parasetamol adalah tinggi berdasarkan hasil
penelitian di negara barat. Reaksi obat idiosinkratik terutama memberi kontribusi
12%–17% kasus, dengan jumlah kasus yang lebih rendah di India, Jepang, dan
Inggris Raya. (Pauls and Senior, 2013).
42
Gambar 2.19Perkiraan Etiologi Gagal Hati Akut di Berbagai Belahan Dunia
(Pauls and Senior, 2013)ACM: acetaminophen; drug: idiosyncratic drug reactions; HAV: hepatitis Avirus; HBV: hepatitis B virus; shock: ischemic hepatitis.
Data jumlah pasien gagal hati akut dan etiologinya di Indonesia belum
tercatat dengan baik, namun dari sebuah kepustakaan angka kejadian kasus
hepatotoksik akibat obat di rumah sakit umum pusat dokter Sardjito Yogyakarta
sekitar 3,4% dari seluruh pasien yang berobat. Obat penyebab hepatotoksik yang
terbanyak adalah isoniazid, diikuti oleh parasetamol. Kasus hepatotoksik akibat
isoniasid yang tinggi tersebut dikarenakan kejadian tuberkulosis yang tinggi di
Indonesia, namun parasetamol sebagai agen penyebab hepatotoksik perlu
diperhitungkan karena menduduki urutan kedua (Febrinasari, 2010).
2.3.4 Gambaran Histopatologi Hati pada Toksisitas Akut Parasetamol
Makroskopis hati yang rusak akibat parasetamol dosis toksik tampak
dengan bercak-bercak, area nekrosis tampak sebagai bintik-bintik merah gelap
hemoragik yang umumnya tersebar dengan latar belakang kekuningan (Cavar et
al., 2010). Toksisitas akut parasetamol terutama memberikan gambaran histologi
berupa adanya nekrosis koagulatif pada zona 3 dengan sebukan ringan radang
limfoplasmasitik, terdapat sedikit atau tidak ada sama sekali fibrosis, dapat ada
43
kolestasis, dan tidak ada gambaran kelaianan oklusi vena sentral. Hepatosit
disekitar sistem porta masih viabel. Gambaran histologi nekrosis zona 3 (nekrosis
zonal) yang ditemukkan pada toksisitas akut parasetamol terlihat sebagai area
berwarna merah muda pekat, disekitarnya hepatosit yang viabel berwarna pucat
karena mengalami steatosis dan cedera bengkak (balloning injury) (Kleiner and
Ferrel, 2016).
2.3.5 Gambaran Histologi Regenerasi Hati
Regenerasi dapat bersifat difus, fokal, dan kadang dapat membentuk nodul.
Hepatosit yang regenerasi umumnya belum disertai sirosis. Hepatosit yang
regenerasi terlihat lebih hidrofik dibandingkan sel-sel hati disekitarnya yang
berukuran lebih kecil. Perbesaran kuat memperlihatkan hepatosit jinak secara
sitologis membentuk pita-pita dengan ketebalan tidak lebih dari 2 lapis sel.
Gambaran pada perbesaran kuat dapat memperlihatkan sel-sel hati dengan
sitoplasma luas dan inti membesar, sebagian dengan anak inti prominen. Sebagian
sel mengandung badan Mallory (displasia sel besar), masih membentuk pita
dengan ketebalan tidak lebih dari 2 lapis sel. Aktivitas mitosis meningkat pada
area yang regenerasi. Pulasan H-E lebih sulit untuk mengevaluasi sediaan,
gambaran histologi lebih jelas dengan pulasan retikulin.
2.3.6 Parameter Klinis dan Laboratoris Hepatotoksisitas atau Nekrosis Hati Akut
Nekrosis hati akut menurut jurnal terbaru, didefinisikan sebagai nekrosis
akut hati akibat cedera toksik, onsetnya mendadak, bertambah berat, ditandai
peningkatan kadar aminotransferase, muncul tanda awal kegagalan atau disfungsi
hati atau organ lain, dan disertai atau tidak disertai ikterus. Gejala nekrosis hati
44
akut muncul dalam periode singkat 1 sampai 14 hari. Obat-obat yang sering
menimbulkan nekrosis hati akut antara lain: parasetamol (acetaminophen), asam
bahan toksik seperti fosfor atau minyak penny royal. Hepatotoksik dapat terjadi
juga setelah anestesi umum atau propofol.
Parameter laboratoris berupa peningkatan ALT (SGPT) secara cepat >800
IU/L atau meningkat >20 kali nilai awal, alkalin fosfatase naik < 2 kali nilai awal
atau < 230 U/L. Rasio ALT/ALP meningkat sangat tinggi (lebih dari 10).
Parameter lain yang juga meningkat LDH, kreatinin, BUN, INR, dan amonia.
Hiperbilirubinemia terjadi lebih lambat. Kadar parameter-parameter dalam darah
tersebut akan menurun drastis setelah paparan dengan bahan toksik pemicu
dihentikan, akan menurun nilainya 50% dalam 8 hari.
Kriteria nekrosis hati akut yaitu:
1. Muncul mendadak, kurang dari 14 hari
2. Onset dan gejala bertambah berat
3. Alanine aminotransferase (ALT)/SGPT meningkat >800 IU/L atau
meningkat >20 kali nilai awal
4. Alkalin fosfatase (ALP) normal atau meningkat ringan-sedang (<2 kali
nilai awal)
5. Kadar bilirubin < 10 mg/dL saat diagnosis
6. Cedera akut dan disfungsi sistem organ lain (paru, ginjal, sumsum tulang)
7. Histopatologi (bila dilakukan biopsi): terjadi nekrosis koagulatif zona 3
dengan infiltrat ringan limfositik, sedikit atau tanpa fibrosis, tidak ada
45
kolestasis atau kolestasis ringan, dan tidak ada gambaran oklusi vena
sentral (Kleiner and Ferrel, 2016).
Beberapa kepustakaan menyebutkan kadar ALT dan AST meningkat
setelah paparan obat hepatotoksik (termasuk parasetamol), dengan puncak setelah
24 jam hingga 48 jam. Beberapa kepustakaan lain menyebutkan puncaknya pada
24 jam hingga 96 jam setelah paparan parasetamol dosis toksik (Kleiner and
Ferrel, 2016).
2.3.7 Pemakaian N-Acetylcystein (NAC) Sebagai Antidot Efek Hepatotoksik
Parasetamol
Regenerasi hati merupakan proses vital dalam survival setelah paparan
bahan toksik, proses ini terjadi relatif terlambat setelah fase cedera. N-
acetylcystein yang merupakan prekursor glutation hingga saat ini dipakai sebagai
antidot overdosis parasetamol. Beberapa literatur memaparkan bahwa pemakaian
N-acetylcystein yang terlambat lebih dari 8 jam setelah paparan parasetol dosis
toksik, menurunkan efektivitasnya dan efek hepatoprotektifnya semakin menurun
setelah paparan parasetamol lebih dari 24 jam (Waring, 2012; Quai and
Shepherd, 2010; Yang et al., 2009).
Dosis NAC yang lazim digunakan adalah dosis awal 150 mg/kg BB
intravena atau 140 mg/kg BB peroral, dilanjutkan 70 mg/kg BB tiap 4 jam atau
420 mg/kg BB/hari minimal diberikan selama tiga hari (Varney, 2012; Algren,
2008). Tikus putih dengan berat badan rerata 200 gram memerlukan dosis awal 28
mg, dilanjutkan 84 mg/hari. Obat herbal terstandar yang sering diberikan oleh
klinisi penyakit selain obat standar NAC dalam untuk mengobati gangguan fungsi
46
hati akibat intoksikasi obat ialah silimarin (dengan berbagai merk dagangnya)
yang merupakan ekstrak dari tanaman milk thistle. Silimarin telah teruji klinis
sebagai hepatoprotektor (MIMS, 2017).
2.3.8 Kegagalan Pemakaian N-Asetilsistein (NAC) Jangka Panjang Sebagai
Antidot Efek Hepatotoksik Parasetamol
Regenerasi hati merupakan proses vital dalam survival setelah paparan
bahan toksik, proses ini terjadi relatif terlambat setelah fase cedera. N-
acetylcystein yang merupakan prekursor glutation hingga saat ini dipakai sebagai
antidot overdosis parasetamol. Beberapa literatur memaparkan bahwa pemakaian
N-acetylcystein lebih dari 8 jam setelah paparan parasetol dosis toksik,
menurunkan efektivitasnya dan efek hepatoprotektifnya semakin menurun setelah
paparan parasetamol lebih dari 24 jam (Waring, 2012; Quai and Shepherd, 2010).
Beberapa penelitian menunjukkan NAC hanya efektif untuk pasien dengan
overdosis akut yang baru terjadi beberapa jam dan kurang efektif pada pasien
yang terpapar parasetamol dengan jangka waktu yang lebih lama. Hasil penelitian
tersebut, 72 jam setelah paparan parasetamol, dibandingkan dengan kontrol yang
diberikan larutan garam fisiologis, perlakuan dengan NAC secara signifikan
meningkatkan serum transaminase (alanin transaminase/aspartat
aminotransferase), menginduksi terjadinya vakuolisasi hepatosit pada daerah
periportal dan pada pemeriksaan histopatologi tampak memperlambat regenerasi
sel hati. Efek merugikan ini dikaitkan dengan berkurangnya faktor inti hati terikat
DNA (hepatic nuclear factor (NF)-κB DNA binding) dan berkurangnya ekspresi
protein siklus sel cyclin D1, keduanya merupakan faktor penting dalam regenerasi
47
hati. Disimpulkan pengobatan jangka panjang NAC menghambat regenerasi pada
cedera hati akut diinduksi parasetamol (Yang et al., 2009).
Penelitian tersebut mendapatkan hasil pengobatan jangka panjang NAC
meningkatkan kadar ALT dan AST 72 jam setelah paparan parasetamol. Dua pulu
empat jam setelah penyuntikan parasetamol, dibandingkan dengan perlakuan
memakai larutan garam fisiologis, pengobatan NAC secara signifikan
menurunkan kadar ALT / AST. Cedera hati akut pada 6 ekor tikus jantan dengan
parasetamol dosis tunggal (350 mg/kgBB) melaui injeksi intraperitoneal. 2 jam
setelah injeksi parasetamol, hewan coba diberikan NAC 100 mg/kgBB dilarutkan
dalam 0,6 mL saline dan kontrol dengan 0,6 mL saline saja tiap 12 jam. Alanine
Aminotransferase (ALT) dan Aspartate Aminotransferase (AST) diukur 24 jam
setelah injeksi parasetamol (n=6 tikus yang bertahan hidup pada masing-masing
kelompok). Hasil adalah rata-rata + standard error of the mean (SEM). *p < 0,05
dibanding kontrol; † p < 0,05 dibanding kelompok NAC. Tiga kelompok tikus
terpisah, 72 jam setelah paparan parasetamol dibandingkan dengan perlakuan
memakai larutan garam fisiologis, pemakaian NAC secara signifikan
meningkatkan kadar ALT / AST dengAN nilai p < 0,05. Cedera akut hati
diinduksi seperti cara tersebut diatas. 2 jam setelah paparan parasetamol, hewan
coba diberikan perlakuan yang sama tiap 12 jam, selama periode total 72 jam.
ALT dan AST diukur 72 jam setelah injeksi parasetamol (n = 6 sampai 7 tikus
yang bertahan tiap kelompok). Hasil adalah rata-rata + standard error of the mean
(SEM). *p < 0,05 dibanding kontrol; † p < 0,05 dibanding kelompok NAC (Yang
et al., 2009).
48
Pengobatan jangka panjang menggunakan NAC menghambat regenerasi
hati pada pemeriksaan histopatologi. Hasil penilaian histologi 72 jam setelah
induksi cedera hati akut, dibandingkan dengan hewan coba kontrol, tikus dengan
perlakuan larutan saline memperlihatkan sejumlah kecil sebaran hepatosit
nekrosis, bukti adanya regenerasi dan infiltrasi luas sel-sel radang (240 + 40 per
lapang pandang besar, n = 6) pada daerah sentrilobuler. Sebaliknya, tikus dengan
perlakuan NAC memperlihatkan 10% nekrosis hepatosit dan infiltrasi luas sel-sel
radang (250 + 35 per lapang pandang besar, n = 6) pada daerah sentrilobuler,
namun tidak ada tanda regenerasi yang terlihat (Gambar 2.20; tanda panah
memperlihatkan daerah periportal yang ditunjukkan pada gambar 2.21). Sebagai
tambahan, bertambah lamanya pengobatan memakai NAC juga menginduksi
terjadinya vakuolisasi pada daerah periportal (Gambar 2.21).
Gambar 2.20Efek Pengobatan dengan NAC atau Larutan Garam Fisiologis terhadap Patologi Cedera Akut Hati Diinduksi Parasetamol dengan Pulasan HE. A. Kontrol (200x); B. Saline (200x); C. NAC (200x). Tanda panah menunjukkan daerah periportal
pada gambar 2.25. NAC = N-acetyl-cystein (Yang et al., 2009)
A B C
49
Gambar 2.21Pemakaian NAC Jangka Panjang Menginduksi Vakuolisasi Daerah Periportal
pada Tikus yang Diinduksi Cedera Hati Akut dengan Parasetamol, Pulasan HE. A.Kontrol (200x); B. Saline (200x); C. NAC (200x)
NAC = N-acetyl-cystein (Yang et al., 2009)
Pengobatan jangka panjang menggunakan NAC meningkatkan kadar
mieloperoksidase (MPO) jaringan hati. Aktivitas MPO jaringan didefinikan
sebagai suatu indeks infiltrasi netrofil pada hati setelah injeksi parasetamol. Nilai
aktivitas MPO hati kelompok control adalah 4,2 + 0,29 U/g. Tujuh puluh dua jam
setelah induksi cedera hati akut, nilai tersebut meningkat menjadi 5,88 + 1,19 U/g
pada kelompok dengan larutan saline. Aktivitas MPO hati meningkat secara
signifikan pada kelompok perlakuan NAC, menjadi 9,5 + 0,70 U/g (p < 0,05), bila
dibandingkan dengan kelompok saline (n = 6 tiap kelompok, data diperlihatkan
sebagai rata-rata + SEM) (Gambar 2.22).
A B C
50
Gambar 2.22Efek Perlakuan dengan NAC atau Salin terhadap Aktivitas MPO Hati Tikus yang
Diinduksi Cedera Hati AkutNAC = N-acetylcystein (Yang et al., 2009)
Pengobatan jangka panjang NAC menurunkan hepatic NF-κB DNA
binding. NF-κB adalah suatu factor transkripsi pleiotropik yang aktivasinya
dihubungkan dengan inflamasi dan proses destruksi, dan juga sebagai inisiasi dari
program regenerasi hati yang cedera. Blockade dari HMGB1 melindungi dari
cedera akibat iskemia-reperfusi (I/R-induced liver injury); perlindungan ini
dihubungkan dengan peningkatan aktivitas pengikatan NF-κB DNA. Pacuan
aktivitas NF-κB DNA terlihat pada tikus yang terlindungi dari cedera hati
iskemia-reperfusi diikuti blockade dari reseptor HMGB1 terhadap hasil akhir
proses glikasi (advanced glycation end products). Oleh karena itu, peneliti
memeriksa pengaruh parasetamol terhadap aktivasi NF-κB 72 jam setelah injeksi
parasetamol dan menguji efek pengobatan NAC. Terdapat kadar basal NF-κB
DNA binding yang rendah pada jaringan hati sampel kelompok kontrol.
Kelompok yang mendapat larutan garam fisiologis (saline), memiliki peningkatan
51
nyata NF-κB DNA binding. Pengobatan jangka panjang menggunakan NAC pada
tikus yang dipapar parasetamol secara jelas menurunkan NF-κB DNA binding
secara relative dibanding kadar yang teramati pada tikus yang diperlakukan
dengan saline. Nuclear Factor (NF)-κB DNA binding diukur 72 jam setelah
induksi cedera hati akut atau prosedur Sham. Gambar diambil untuk
memperlihatkan hasil dari 5 pemeriksaan yang representatif (Gambar 2.23).
Gambar 2.23Efek Perlakuan dengan NAC atau Salin terhadap NF-κB DNA-binding dalam
Ekstrak Inti yang Dibuat dari Sampel Jaringan Hati Tikus yang Diinduksi Cedera Hati Akut. Diperlihatkan jel yang khas. NAC = N-acetyl-cystein
(Yang et al., 2009)
Pengobatan jangka panjang NAC menurunkan ekspresi cyclin D1 hati.
Onset yang tepat proses perbaikan dapat membatasi cedera hati dan memicu
regenerasi kehilangan massa jaringan. Induksi cyclin D1 adalah petanda yang
paling dapat dipercaya untuk menilai tahapan perkembangan siklus sel (fase G1)
pada hepatosit. Pemeriksaan Western blot dilakukan menggunakan ekstrak
seluruh sel yang dibuat dari jaringan hati untuk menilai ekspresi cyclin D1 pada
tikus hewan coba yang diinduksi cedera hati akut atau kelompok prosedur kontrol.
Ekspresi cyclin D1 pada kelompok kontrol dan kelompok NAC terlihat minimal
(Gambar 2.24). Sebaliknya, secara kontras, ekspresi cyclin D1 secara jelas dapat
52
teramati pada kelompok hewan coba dengan perlakuan larutan saline pada 72 jam
setelah pemberian parasetamol, yang mengindikasikan bahwa pengobatan jangka
panjang menggunakan NAC menghambat ekspresi cyclin D1 hati. Pemeriksaan
Western blot dilakukan memakai ekstrak hati yang dibuat dari jaringan yang
diambil 72 jam setelah injeksi parasetamol. Gambar diambil untuk
memperlihatkan hasil dari 5 pemeriksaan yang representatif (Yang et al., 2009).
Gambar 2.24 Efek Perlakuan dengan NAC atau Salin terhadap Ekspresi Cyclin D1 Jaringan
Hati. Diperlihatkan jel yang khasNAC = N-acetyl-cystein (Yang et al., 2009)
2.3.9 Dosis Parasetamol untuk Hewan Coba
Dosis terapi parasetamol oral untuk manusia dewasa (70 kg) rata–rata 1500
mg per hari. Dosis toksik parasetamol sering terjadi pada pemakaian dengan dosis
lebih dari 200 mg/kgBB/hari. Sedangkan dosis parasetamol yang menimbulkan
cedera berat sel hati atau nekrosis hati yang fatal adalah 3-4 g/kgBB/hari atau
dosis tunggal 3-4 gram pada kasus percobaan bunuh diri atau kasus tidak sengaja
tertelan pada anak-anak (Bancha, 2007). Dosis toksik untuk tikus yang memiliki
berat badan 200 gram bila dihitung dari dosis untuk manusia dewasa 70 kilogram
sebesar 250 mg/kg BB/hari berdasarkan penelitian oleh Bancha dengan faktor
53
konversi manusia–tikus 0,018 maka dosis toksik parasetamol adalah 315 mg/hari
(Johnson et al., 2014; Lee, 2007).
Sebuah penelitian yang menguji efektifitas N-acetylcystein jangka panjang
sebagai antidot parasetamol, dipakai dosis toksik parasetamol 350 mg/kgBB/
dosis tunggal melalui injeksi intraperitoneal (Yang et al., 2009). Sebuah laporan
kasus seorang wanita 33 tahun dirawat di rumah sakit, pemakaian parasetamol
dosis terapi 3 kali sehari 500 mg selama 3 hari dengan dosis total 4 gram
menimbulkan nekrosis hati yang fatal dan gagal ginjal akut atau nekrosis tubuler
akut (Bancha et al., 2007).
2.3.10 Sediaan Parasetamol yang Digunakan untuk Hewan Coba
Parasetamol yang dipakai dalam bentuk obat tetes untuk bayi yang
mengandung parasetamol 100 mg/ mL, maka volume yang diberikan pada hewan
coba 3,15 mL, setara dengan 315 mg parasetamol. Dosis pemberian 3,15 mL
sesuai acuan volume maksimum pemberian obat menurut Donatus dan Nurlaila
masih di bawah volume maksimum untuk tikus 200 g yaitu 10 mL obat peroral
seperti tertera pada Lampiran 2 (BPOM RI, 2014; Soekanto, 2002). Parasetamol
tersebut diberikan melalui sonde lambung.
2.4 Etika Penelitian Menggunakan Hewan Coba
2.4.1 Pemanfaatan dan Penggunaan Hewan Coba
Pemanfaatan hewan coba di bidang kesehatan antara lain untuk penelitian
pengembangan obat dan vaksin; uji coba keamanan, potensi, khasiat dari obat dan
bahan makanan; pengembangan diagnostik baru; penyedia produk biologis; serta
54
bahan pendidikan (biologi dan kedokteran). Penggunaan hewan coba antara lain
untuk penelitian (bidang fisiologi, farmakologi, biokimia, patologi, komporatif
zoologi, dan ekologi); diagnostik; pengamatan tingkah laku hewan; serta pada
balita untuk menguji tingkat kecerdasan anak (Ardhana and Rita, 2015).
2.4.2 Latar Belakang Etika Penelitian Hewan Coba
Hal-hal yang melatarbelakangi etika penelitian hewan coba ialah:
1. Penggunaan hewan coba untuk meramalkan efek yang mungkin timbul
dalam percobaan pada manusia, untuk penelitian fisologik, patologik,
toksikologik, pencegahan, diagnostik, terapeutik atau untuk menguji
sekumpulan preparat biologik yang tidak dapat diperiksa kadarnya
dengan metode kimia fisik, sehingga memerlukan pertimbangan etik
2. Adanya perbedaan dalam sistim hukum dan latar belakang kebudayaan
maka terdapat perbedaan pendekatan dalam implikasi etis dalam
penelitian pada hewan coba di berbagai negara
3. Hewan coba sebagai sistim biologik utuh masih belum dapat tergantikan
Penggunaan hewan coba hanya diizinkan bila diperlukan, dan hanya
dengan perlakuan yang layak, sehingga memerlukan pertimbangan etik dan
kualitas hasil penelitian (Darwin, 2016).
2.4.3 Pentingnya Etika dalam Penelitian Hewan Coba
Hewan coba yang dipakai dalam penelitian akan mengalami penderitaan,
berupa ketidaknyamanan, ketidaksenangan, kesusahan, rasa nyeri, dan terkadang
berakhir dengan kematian. Berdasarkan hal tersebut, hewan coba yang
dikobankan pada penelitian yang hasilnya dapat dimanfaatkan manusia patut
55
dihormati, mendapat perlakuan manusiawi, dipelihara secara baik, dan diusahakan
agar dapat disesuaikan pola kehidupannya seperti di alamnya. Peneliti yang akan
memakai hewan coba dalam penelitian kesehatan harus menilai dengan seksama
kelayakan dan alasan pemanfaatan hewan coba dengan mempertimbangkan
penderitaan yang akan dialami hewan coba dan seberapa besar manfaat yang akan
diperoleh untuk kepentingan umat manusia (Prastowo, 2016).
Bahan uji (obat) yang ditujukan untuk digunakkan pada manusia, perlu
diteliti dengan menyertakan subjek manusia sebagai final test tube. Relawan
manusia secara etis boleh diikutsertakan bila bahan yang akan diuji telah lolos uji
di laboratorium secara menyeluruh, dilanjutkan dengan menggunakan hewan coba
untuk menguji kelayakan dan keamanannya. Hewan coba dibutuhkan untuk
mengamati dan mengkaji semua reaksi dan interaksi bahan uji yang diberikan,
serta dampak yang muncul secara utuh dan mendalam. Kelayakan penggunaan
hewan coba dalam penelitian harus dikaji secara mendalam dengan
membandingkan risiko yang akan dialami hewan coba dengan manfaat yang akan
diperoleh untuk umat manusia. Setiap penelitian yang memanfaatkan hewan coba
secara etis harus mengaplikasikan prinsip umum etika penelitian kesehatan dan
prinsip 3R yaitu: replacement, reduction, dan refinement. Perlakuan terhadap
hewan coba perlu dijabarkan secara rinci di dalam protokol penelitian sebagai
pengganti informed consent pada subjek manusia (Ridwan, 2013).
Penggunaan hewan coba dibutuhkan untuk mengungkap proses-proses
yang terjadi di dalam tubuh (in vivo) dalam suatu bentuk penelitian dan hewan
coba yang dipakai pada proses pendidikan menjadi hal yang sangat perlu
56
diperhatikan. Komisi Bioetika Nasional maupun Komisi Nasional Etik Penelitan
Kesehatan dibentuk untuk mengemban tugas khusus dengan memperhatikan dan
mempertimbangkan sudut pandang multidisiplin dalam spektrum ilmu-ilmu dasar
dan ilmu-ilmu terapan yang mengacu pada bidang kesehatan dan kedokteran serta
ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pertanian dalam arti luas (Prastowo,
2016; Ridwan, 2013).
Penelitian-penelitian di bidang ilmu dasar, biologi, dan biomedis dalam
pelaksanaannya sering menimbulkan munculnya masalah etika. Penggunaan
hewan coba dalam proses pendidikan atau pengajaran seperti praktikum dan
demonstrasi dalam ilmu dasar, pertanian, perikanan, peternakan, dan biomedik,
harus memenuhi kaidah kesejahteraan hewan. Suatu penelitian yang dilakukan
pada objek hewan coba yang telah dirancang dengan cermat dan teliti pun tetap
memiliki risiko merugikan hewan coba yang dipakai sebagai objek penelitian.
Risiko yang muncul dalam penelitian harus tetap selalu diperhitungkan, bukan
saja didasari kepentingan penggunaan hewan coba atau institusi pengguna hewan
coba semata, tetapi berdasarkan didapatkannya manfaat sebesar-besarnya bagi
hewan coba yang diteliti dan sumbangsihnya terhadap ilmu pengetahuan
(Prastowo, 2016).
Semua perlakuan terhadap hewan coba dijelaskan secara rinci di dalam
protokol penelitian yang dianggap sama seperti informed consent pada penelitian
yang memanfaatkan relawan manusia. Uraian perlakuan terhadap hewan coba
dapat dianggap sama seperti informed consent bagi hewan coba dan menjadi salah
57
satu penilaian dalam etika penelitian yang memanfaatkan hewan coba (Ridwan,
2013).
2.4.4 Syarat Etis Penggunaan Hewan Coba pada Penelitian Biomedik
Syarat Etis hewan coba dapat dipakai dalam penelitian biomedik antara
lain:
1. Tujuan penelitian cukup memiliki nilai manfaat
2. Desain penelitian disusun sedemikian rupa sehingga kemungkinan besar
penelitian tersebut mencapai tujuan
3. Tujuan penelitian tidak mungkin akan tercapai bila hewan coba diganti
dengan subjek atau prosedur alternatif
4. Manfaat yang akan diperoleh jauh lebih berarti dibandingkan dengan
penderitaan yang akan dialami hewan coba (Darwin, 2016).
2.4.5 Landasan Etika Penelitian Hewan Coba
Kebijakan yang mendasari etika penelitian hewan coba yaitu peraturan
perundang-undangan nasional dan internasional, komisi etik penelitian kesehatan
(KEPK) dan komisi pemanfaatan dan pemeliharaan hewan (KPPH), serta prinsip
dasar etik pelaksanaan penelitian kesehatan yang memanfaatkan hewan coba.
Peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 7 tahun 2016 tentang
komisi etik penelitian dan pengembangan kesehatan nasional. Salah satu fungsi
komisi etik penelitian dan pengembangan kesehatan nasional adalah memberikan
masukan dalam menyusun pedoman nasional di bidang etik penelitian dan
pengembangan kesehatan yang mengikutsertakan manusia sebagai subyek
penelitian dan memanfaatkan hewan coba, untuk ditetapkan menjadi peraturan
58
atau kebijakan. Dasar etika penelitian hewan coba yang lain adalah pedoman
nasional etik penelitian kesehatan suplemen II tahun 2006 yang membahas etik
penggunaan hewan coba pada riset biomedik (Darwin, 2016; Kementerian
Kesehatan, 2016).
Dasar pengembagan etika penelitian yang melibatkan hewan coba adalah
deklarasi Helsinki yang diperbaharui di Tokyo tahun 2004, “Ethical principles for
medical research involving human subjects” butir 11 dan 12 (World Medical
Association). Butir 11 menyatakan “Penelitian kesehatan yang mengikutsertakan
manusia sebagai subyek penelitian harus memenuhi prinsip ilmiah (scientifically
sound), berdasarkan kepustakaan ilmiah, percobaan di laboratorium; dan
dilakukan percobaan pada hewan (bila diperlukan)”. Butir 12 menyatakan
“Keberhati-hatian (caution) yang wajar harus diterapkan pada penelitian yang
dapat mempengaruhi lingkungan maupun kesejahteraan hewan yang digunakan
dalam penelitian, dan harus dihormati (respect). Pedoman lain yang perlu diingat
adalah hewan bukan manusia (animals are not human) dan tidak memanusiakan
hewan (do not humanize animals, instead treat animals humanely) (Ardhana and
Rita, 2015).
2.4.6 Tiga Prinsip Dasar Etik Pelaksanaan Penelitian Menggunakan Hewan Coba
Tiga prinsip dasar etik pelaksaan penelitian menggunakan hewan coba
ialah:
1. Tiga pilar prinsip etik penelitian
2. Prinsip etik penggunaan hewan Coba 3R
59
3. Prinsip etik pemeliharaan atau perlakuan terhadap hewan coba: 5F (Five
freedom) (Ardhana and Rita, 2015)
2.4.6.1 Tiga Pilar Prinsip Etik Penelitian Hewan Coba
Tiga pilar prinsip Etik Penelitian Hewan Coba:
1. Respect for animals: setiap peneliti yang menggunakan hewan coba
harus menghormati hewan coba tersebut
2. Beneficence: bermanfaat bagi manusia dan mahluk lain
3. Justice: bersikap adil dalam memanfaatkan hewan coba. Contoh sikap
adil: hewan tidak dibedah berulang kali untuk menghemat jumlah
hewan coba dan memakai euthanasia yang tidak menimbulkan rasa
nyeri (Ardhana and Rita, 2015).
2.4.6.2 Prinsip Etik Penggunaan Hewan Coba (3R)
Prinsip etik penggunaan hewan coba (3R) meliputi:
1. Reduction: penggunaan hewan dalam jumlah sekecil mungkin tetapi
memberikan hasil penelitian yang sahih. Jumlah minimum biasa
dihitung menggunakan rumus Federer yaitu (n-1) (t-1) >15, dengan n
adalah jumlah hewan yang diperlukan dan t adalah jumlah kelompok
perlakuan. Kelemahan dari rumus itu adalah semakin sedikit kelompok
penelitian, semakin banyak jumlah hewan yang diperlukan, serta
sebaliknya. Untuk mengatasinya, diperlukan penggunaan desain
statistik yang tepat agar didapatkan hasil penelitian yang sahih.
2. Replacement: dapat bersifat relatif berupa penggantian hewan coba
dengan memakai organ, jaringan hewan dari rumah potong, atau dari
60
orde yang lebih rendah; dapat bersifat absolut: mengganti hewan coba
dengan memakai kultur sel jaringan atau tissue culture, maupun
program komputer.
3. Refinement: memperlakukan hewan percobaan secara manusiawi
(humane), memelihara hewan dengan baik, tidak menyakiti hewan,
mengurangi rasa distress dengan memakai obat analgetik, sedativa,
anastesi, atau dengan melakukan prosedur secara benar oleh tenaga ahli
teknisi yang terlatih, sehingga menjamin kesejahteraan hewan coba
sampai akhir penelitian. Pada dasarnya prinsip refinement berarti
membebaskan hewan coba dari beberapa kondisi yang terjabarkan
dalam prinsip “five freedom” (Ardhana and Rita, 2015; Ridwan, 2013).
2.4.6.3 Prinsip Etik Pemeliharaan dan Perlakuan Hewan Coba (5F atau Five
freedom)
Five freedom mencakup:
1. Freedom from hunger and thirst (bebas dari kelaparan dan haus)
Tikus: pakan mengandung nutrisi protein 20–25%, lemak 5%, pati
45-50%, serat kasar 5 %, abu 4-5%, vitamin (A 4.000 IU/kg, D 1.000
Persyaratan ruangan yang digunakan untuk memelihara hewan coba
hendaknya memenuhi persyaratan suhu, kelembaban, cahaya dan kebisingan yang
sesuai dengan kebutuhan hidup hewan coba, yaitu secara umum untuk hewan
64
rodensia suhu ruangan diatur menjadi 22° ± 3° C, dengan kelembaban relatif
30–70%, dan penerangan 12 jam terang 12 jam gelap. Ruangan harus selalu dijaga
kebersihannya. Hewan diberi pakan yang sesuai standar laboratorium dan
diberikan minum air tanpa batas (ad libitum). Hewan dipelihara dalam kandang
yang terbuat dari material yang kedap air, kuat dan mudah dibersihkan, ruang
pemeliharaan bebas dari kebisingan.
Luas area kandang per ekor hewan menurut Cage Space Guidelines For
Animals Used In Biomedical Research (2008) sebagai berikut:
a) Mencit (berat 15 – 25 g) : luas alas kandang 77,4 cm2, tinggi 12,7 cm
b) Tikus (berat 100 – 200 g) : luas alas kandang 148,4 cm2 , tinggi 17,8 cm .
c) Kelinci (berat 2 – 4 kg) : luas alas kandang 270 cm2 , tinggi 40,64 cm .
d) Marmut (berat 300 – 350 g) : luas alas kandang 387 cm2, tinggi 17,18 cm
(BPOM, 2014).
4. Freedom from fear and distress (bebas dari ketakutan dan kesusahan).
Caranya dengan memberi kondisi (lingkungan, perlakuan) kandang yg
nyaman, memberikan masa adaptasi dan latihan sebelum diberi perlakuan,
dan personil yang menangani hewan coba adalah tenaga profesional.
5. Freedom to express natural behavior (bebas mengekspresikan tingkah laku
alami). Memberikan ruang dan fasilitas yang sesuai (pengayaan lingkungan
yang sesuai dengan biologi dan tingkah laku spesies), mencari makan, dll.
Memberikan sarana untuk kontak sosial (bagi spesies yang bersifat sosial),
pengandangan berpasangan atau berkelompok. Memberikan kesempatan
65
untuk prooming, mating, bermain, dll. Program pengayaan lingkungan
(environmental enrichment) (Ardhana and Rita, 2015).
Pedoman-pedoman umum yang lahir dari prinsip-prinsip dasar etik
pelaksanaan penelitian menggunakan hewan coba antara lain:
1. Untuk kemajuan pengetahuan biologik dan pengembangan cara-cara yang
lebih baik dalam usaha melindungi kesehatan dan kesejahteraan manusia dan
memerlukan percobaan pada spesies hewan utuh.
2. Bila layak, gunakan metode simulasi komputer, matematik dan invitro untuk
mengurangi jumlah hewan coba.
3. Percobaan hewan hanya dapat dilakukan dengan pertimbangan seksama, ada
relevansi kuat terhadap kesehatan manusia dan kemajuan pengetahuan
biologik.
4. Spesies hewan coba harus tepat dan dari fologeni serendah mungkin.
5. Peneliti atau pelaksana penelitian harus melakukan hewan sebagai makhluk
perasa (sentient).
6. Peneliti harus beranggapan bahwa prosedur yang menimbulkan rasa nyeri
pada manusia juga menimbulkan nyeri pada hewan coba.
7. Prosedur yang menimbulkan nyeri harus dengan pembiusan yang memadai.
8. Pada akhir penelitian hewan yang menderita nyeri hebat atau kecacatan harus
dimatikan tanpa rasa nyeri.
9. Hewan yang dimanfaatkan untuk penelitian biomedik harus dijamin dalam
kondisi hidup yang paling baik berdasarkan animal laboratory science
(Darwin, 2016).
66
2.5 Pemilihan Hewan Coba
Tikus adalah hewan coba yang paling sering dipakai sebagai pada
penelitian laboratoris bidang biomedis. Tikus merupakan hewan coba yang ideal
untuk penelitian eksperimental karena beberapa alasan. Alasan pertama ialah
tersedianya banyak literatur yang telah diterbitkan membahas hewan coba ini.
Alasan lainnya ialah karena hewan coba tikus mudah dipindahkan, tidak
memakan ruang pemeliharaan yang luas, memiliki fertilitas tinggi, masa
kehamilan pendek, mudah dalam perawatannya, dan dapat menjadi model
berbagai kelainan serta penyakit pada manusia (McGill, 2009).
Fisiologi dan metabolisme tikus memiliki banyak kemiripan dengan
manusia, dengan sedikit perbedaan sifat biologis dan perilaku. Tikus memiliki
sifat biologis lebih aktif pada malam hari (hewan nokturnal) dan sangat ingin tahu
lingkungan sekitarnya. Salah satu galur tikus yang paling sering dipakai sebagai
knock-out rats pada penelitian eksperimental adalah tikus putih strain Wistar yang
memiliki nama Latin Rattus norvegicus. Tikus galur ini memiliki ciri khas kepala
lebar, telingga panjang, dan panjang ekor tidak melebihi panjang badan. Nama
Wistar diambil dari nama institut Wistar yang pertama kali membiakkan tikus
putih strain ini untuk hewan coba pada tahun 1906. Jenis tikus ini sekarang
banyak dikembangbiakkan di banyak negara (Alexandru, 2011; Hubrecht and
Kirwood, 2010). Nilai normal parameter biologis dasar tikus putih Wistar
disajikan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3
67
Data Biologis Dasar Tikus Wistar (Alexandru, 2011; Hubrecht and Kirwood, 2010)
Parameter Nilai NormalJumlah kromosomUmur maksimal (tahun)Berat badan jantan dewasa (g)Berat badan jantan dewasa (g)Berat badan lahir (g)Kebutuhan makanan per hari (g/100g BB) Kebutuhanair per hari (mL/100g BB) Defekasi (g/24 jam)Produksi kencing (mL/24 jam)
422 – 4
450 – 520250 – 300
4,5 – 610
10 – 159 – 1310 – 15
Tabel 2. 4Berat Organ Tikus Putih (Alexandru, 2011; Hubrecht and Kirwood, 2010)
Organ Prosentase dari berat badan (%)Kelenjar anak ginjal (masing-masing)DarahOtakJantungGinjal (masing-masing)HatiParuOvarium (masing-masing)SpleenTestis (masing-masing)TimusTiroid
0,025 – 7
10,50,531
0,050,20,5
0,070,005
Tabel 2.5Konversi Umur Tikus Terhadap Manusia (Andreollo et al., 2012)
Umur Tikus (dalam bulan) Umur Manusia (dalam tahun)6 bulan
12 bulan18 bulan24 bulan30 bulan36 bulan42 bulan45 bulan48 bulan
18 tahun30 tahun45 tahun60 tahun75 tahun90 tahun
105 tahun113 tahun120 tahun
Nilai normal fungsi hati tikus, dalam hal ini alanine aminotransferase
(ALT) atau disebut juga serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT) memiliki
rentang antara 44,45 – 75 U/L dan aspartate aminotransferase (AST) atau disebut
68
juga serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT) memiliki rentang antara
54,54 – 120 U/L (Dwarkinath, 2014). Parameter fungsi hati yang meningkat
secara signifikan pada cedera akut akibat toksisitas parasetamol adalah SGPT.
2.5.1 Ciri Umum Hewan Coba Tikus Putih yang Sehat
Ciri umum yang dapat dinilai dari luar sebagai dasar menyatakan seekor
tikus hewan coba sehat antara lain tidak tampak kelainan anatomis secara
makroskopis, gerakan aktif, mata bersinar, mau makan dengan lahap, bulu tidak
berdiri, bulu bersih (tidak kusam atau rontok), dan feses padat (Mahanani, 2013).
Hewan coba memperlihatkan ciri-ciri umum tersebut diatas dianggap memiliki
fungsi hati yang normal, karena kelainan hati bawaan jarang terjadi.
2.6 Peroksidasi Lipid
Peroksidasi lipid merupakan suatu reaksi yang dipicu oleh adanya radikal
bebas. Peroksidasi lipid terjadi akibat ketidakseimbangan radikal bebas (oksidan)
dengan antioksidan seluler atau dengan kata lain jumlah radikal melebihi
kemampuan tubuh untuk menetralisirnya. Peroksidasi lipid yang terjadi
menimbulkan kerusakan membran. Kerusakan membran diawali dengan
perusakan protein dan oksidasi rantai samping asam lemak tak jenuh ganda (poly
unsaturated fatty acid / PUFA) yang merupakan penyusun utama membran sel
(Murray et al., 2012; Lane, 2011).
69
Senyawa pemicu inisiasi peroksidasi lipid dapat berupa radikal alkil (R*)
atau radikal hidroksil (OH*). Tahapan reaksi peroksidasi lipid dapat digambarkan
secara skematis sebagai berikut (Lane, 2011):
Inisiasi : Lipid + R* / OH* à Lipid*
Propagasi : Lipid* + O2 à Lipid-OO*
Lipid-OO* + Lipid à Lipid-OOH + Lipid*
Terminasi : Lipid* + Lipid* à Lipid-Lipid
Lipid-OO* + Lipid* à Lipid-OO-Lipid
(Scavenging / : Lipid* + Vit E (atau antioksidan lain) à Lipid + Vit E*
Penyelamatan) / Antioksidan*
2.7 Radikal Bebas
Radikal bebas didefinisikan sebagai atom yang memiliki satu atau lebih
orbital yang diisi elektron tak berpasangan (unpaired electron). Setiap molekul
dapat menjadi radikal asalkan memiliki elektron tak berpasangan. Radikal bebas
bersifat merusak karena sangat reaktif, untuk menstabilkan ikatan kimia akibat
adanya elektron tak berpasangan tersebut atom atau molekul ini mudah bereaksi
dengan molekul donor yang akan menyumbangkan elektron untuknya. Radikal
bebas juga memiliki kemampuan mengubah senyawa lain termasuk komponen
tubuh baik komponen stuktural (lipid, karbohidrat dan protein penyusun
membran) maupun komponen fungsional (enzim dan asam nukleat) menjadi
radikal (Murray et al., 2012; Lane, 2011). Pengertian oksidan dan radikal bebas
sering dibaurkan di dalam kepustakaan kedokteran. Radikal bebas merupakan
70
oksidan, tetapi tidak semua oksidan termasuk radikal bebas (misalnya ion Fe3+
merupakan oksidan namun bukan radikal bebas). Oksidan, dalam pengertian ilmu
kimia adalah senyawa penerima elektron (electron acceptor), yaitu senyawa yang
dapat menarik elektron. Radikal bebas memiliki persamaan dengan oksidan dalam
hal kemampuannya menerima elektron (Murray et al., 2012).
Ditinjau dari struktur kimianya radikal bebas dapat dibedakan menjadi
beberapa tipe, yaitu:
a. Radikal bebas dengan atom pusat hidrogen, misalnya atom H dengan
satu proton dan satu elektron.
b. Radikal bebas dengan atom pusat karbon, misalnya radikal triklorometil
dan karbon triklorida.
c. Radikal bebas dengan atom pusat sulfur, misalnya radikal thiyl.
d. Radikal bebas dengan atom pusat nitrogen, misalnya radikal fenildiazin
dan nitrit oksida.
e. Radikal bebas dengan atom pusat oksigen, terdiri dari 2 macam, yaitu:
1. Anorganik, misalnya radikal superoksida dan radikal hidroksil.
2. Organik, misalnya radikal alkoksil dan peroksil.
2.7.1 Radikal Oksigen
Oksigen merupakan unsur terbanyak di bumi. Unsur oksigen (lambang
kimia O) merupakan komponen terbanyak di udara atau atmosfer yaitu berkisar
21%. Oksigen di udara terdapat sebagai molekul ganda (diatomik), yaitu dua atom
yang bergabung menjadi molekul O2 (dioksigen).
71
Oksigen diatomik (O2) dapat dikategorikan sebagai radikal bebas karena
memiliki dua elektron yang tidak berpasangan, tetapi oksigen dalam bentuk ini
mempunyai kemampuan mengatur susunan elektronnya (dua orbital elektron yang
berperan dalam reaksi oksidasi memiliki spin yang sama) sehingga tidak sereaktif
radikal oksigen lain (Lane, 2011). Reduksi oksigen akan menghasilkan radikal
kuat yaitu radikal superoksida dan melalui reaksi bertahap dapat terbentuk radikal
hidroksil (Murray et al., 2012; Lane, 2011).
1. O2 + e- à O2* (radikal superoksida)
2. O2* + 2 H+ + e- à H2O2 (hidrogen peroksida)
3. H2O2 + e- à OH* (radikal hidroksil)
Radikal superoksida terbentuk melalui penambahan satu elektron pada
oksigen sehingga hanya terdapat satu elektron oksigen yang tidak berpasangan,
dilambangkan dengan O2*. Sifat kimia radikal ini sangat bergantung pada tempat
dimana dia berada. Radikal ini tidak begitu reaktif di dalam air, tetapi di dalam
pelarut organik radikal ini menjadi lebih reaktif. Radikal superoksida dapat
terbentuk pada proses auto-oksidasi hemoglobin menjadi methemoglobin di dalam
eritrosit. Radikal superoksida di jaringan lain dapat terbentuk melalui kerja enzim
seperti sitokrom P450 reduktase dan xantin oksidase. Radikal superoksida lebih
lanjut dapat bereaksi dengan hidrogen (H+) dan penambahan elektron membentuk
hidrogen peroksida.
Reaksi pembentukan H2O2 dari radikal superoksida masih dapat berlanjut
bila terdapat donor elektron. Hidrogen peroksida yang memperoleh donor elektron
akan membentuk radikal hidroksil, radikal ini lebih reaktif dibanding radikal
72
superoksida maupun hidrogen peroksida. Jumlah radikal superoksida dan
hidroksil yang melampaui kemampuan antioksidan seluler (NADPH, vitamin E
dan GSH) untuk menetralisirnya akan menyebabkan cedera membran sel (Murray
et al., 2012).
Radikal superoksida secara langsung dapat bereaksi dengan hidrogen
peroksida membentuk radikal hidroksil melalui suatu reaksi yang dikatalisis oleh
besi, reaksi ini disebut reaksi Haber-Weiss (Murray et al., 2012; Lane, 2011):
O2* + H2O2 à O2 + OH- + OH* (radikal hidroksil)
Radikal hidroksil yang sangat reaktif tersebut juga dapat terbentuk dari
hidrogen peroksida melalui suatu reaksi nonenzimatik yang dikatalisis oleh ion
besi (Fe2+), reaksi ini disebut reaksi Fenton (Murray et al., 2012):
antifertilitas dan antikanker (Kardinan, 2003; Sukrasno, 2003).
2.10.2 Simplisia Daun Mimba
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa
bahan yang telah dikeringkan. Simplisia daun mimba dibuat dari daun mimba
segar yang dipetik, dipisahkan dari tangkai daunnya, kemudian dikeringkan
dengan cara dijemur terlindung dari sinar matahari langsung. Daun yang telah
kering atau simplisia tersebut kemudian digiling dengan pemecah biji kopi,
kemudian diayak dengan pengayak nomor 100 hingga seluruh serbuknya lolos
(Kementerian Kesehatan, 2014; Prastowo, 2013).
2.10.3 Kandungan Aktif Daun Mimba
Senyawa utama yang terkandung dalam mimba ialah kuersetin, β-sitosteral
dan margosin. Siddiqui berhasil mengisolasi pertama kalinya kandungan mimba
pada tahun 1942, senyawa tersebut adalah nimbin yang merupakan kandungan
terpahit dari komponen minyak mimba. Daun dan kulit batang mimba
mengandung senyawa utama kuersetin yang merupakan flavonoid, telah lama
diketahui bahwa senyawa flavonoid memiliki efek antioksidan. Kuersetin
memiliki aktivitas antioksidan cukup kuat (Kumar, 2012).
80
Tanaman mimba mengandung sekitar 135 macam senyawa kimia.
Kandungan mimba dibagi menjadi dua kelas utama yaitu kelompok isoprenoid
dan kelompok nonisoprenoid. Isoprenoid meliputi diterpenoid dan triterpenoid
yang terdiri atas golongan protomeliacin, limonoid, azadirone dan derivatnya,
gedunin dan derivatnya, beberapa tipe vilasinin dan Csecomeliacin seperti nimbin,
salanin dan azadirachtin. Nonisoprenoid meliputi protein dan polisakarida,
persenyawaan sulfur, flavonoid dan glikosidanya, dihydrochalcone, kumarin dan
tanin, senyawa alifatik, dan senyawa lain (Biswas et al., 2002).
Gambar 2.26Rumus Bangun Kuersetin (Grotewold, 2006)
Mimba selain mengandung kuersetin, juga mengandung flavonoid lain
yaitu asam galat, (+)gallocatechin, (-)epicatechin, (+)catechin, dan
epigallocatechin (Biswas et al., 2002). Dibanding flavonoid lain epigallocatechin
memiliki aktivitas sebagai antioksidan terkuat (Kumar, 2012). Karena kandungan
flavonoidnya tersebut mimba sangat berpotensi digunakan sebagai antioksidan
dalam bentuk suplemen maupun dikonsumsi langsung daunnya (Sukrasno, 2003;
Biswas et al., 2002). Flavonoid memiliki kesamaan dengan tokoferol (vitamin E)
yakni mempunyai cincin chromane dan efek antioksidannya memiliki sinergisme
81
dengan tokoferol. Tanin atau zat penyamak yang terkandung dalam daun mimba
juga memiliki aktivitas antioksidan.
Hasil penelitian golongan katekin memiliki efek antioksidan lebih kuat
daripada butil hidroksi-anisol (BHA) dan α-tokoferol. Bahkan efek antioksidan
golongan katekin setara dengan efek antioksidan butil hidroksi-toluen (BHT) yang
merupakan salah satu antioksidan sintetik untuk senyawa lipid yang terkuat.
Katekin memiliki tiga aktivitas utama yang mendasar sebagai antioksidan.
Pertama katekin mempunyai aktivitas penyelamatan sel (scavenger) dari H2O2
dan O2* yang terbentuk dari sistem xantine oksidase, aktivitas kedua katekin yaitu
mencegah peroksidasi lipid bilayer membran sel. Aktivitas ketiga katekin sebagai
antioksidan ialah meningkatkan aktivitas enzim glutation-S transferase (glutation
reduktase) yang merupakan salah satu enzim terpenting untuk menjaga keutuhan
membran sel mamalia, terutama membran sel hati dan eritrosit. Penelitian lain
menyebutkan bahwa katekin (10 mikrogram/mL) memiliki efek protektif terhadap
membran eritrosit normal dan membran eritrosit penderita talasemia dari stres
oksidatif in vitro (Biswas et al., 2002).
82
Gambar 2.27Rumus Bangun Kandungan Mimba Selain Senyawa Utama Kuersetin
(Biswas et al., 2002)
2.10.4 Efek Sinergis Flavonoid dalam Ekstrak Mimba dengan Glutation
Hasil penelitian beberapa jenis flavonoid didapatkan hasil flavonoid yang
memiliki gugus catechol pada cincin B, termasuk kuersetin, fisetin, luteolin,
luteolin-7-O-glucoside, taxifolin, dan (+)-catechin, memperlihatkan efek sinergis
dengan glutation. Sebuah perkecualian adalah quercetagetin yang memiliki
tambahan satu gugus hidroksil pada karbon C6 rantai A dibandingkan dengan
kuersetin. Gugus hidroksil ini tampaknya sangat penting sebagai penentu
perangainya saat bekerja bersama GSH, karena insersi gugus ini pada kuersetin
membentuk quercetagetin, akan meningkatkan kadar quercetagetin yang
meningkatkan aktivitas bahan isolat ini (dengan p < 0.05), namun membuat
campuran ini menjadi suatu bahan antagonis dari GSH (Pereira et al., 2013).
Hasil yang didapat dari penelitian baru tersebut menunjukkan bahwa
pemakaian suplementasi flavonoid dan atau lewat diet tidak selalu bagus karena
interaksinya berbeda dengan antioksidan endogen utama dalam tubuh (GSH).
Semua antioksidan yang diuji memiliki aktivitas antioksidan saat diisolasi,
83
walaupun demikian galangin dan ishoramnetin memiliki efek antagonis terhadap
GSH, menurunkan kapasitas antioksidan endogen. Adanya gugus catechol pada
cincin B terbukti memiliki sinergi esensial dengan GSH, kecuali saat sebuah
gugus hidroksil (-OH) pada C6 juga ada (seperti pada quercetagetin).
Penambahan GSH pada flavonoid dengan gugus cathecol cincin B lebih aktif
daripada di cincin A. Proses-proses oksidatif banyak terlibat pada banyak
penyakit, sehingga interaksi yang teramati tersebut juga sangat penting dalam
meningkatkan kesehatan manusia. Kapasitas antioksidan beberapa flavonoid
tersebut telah terbukti secara in vitro sinergis dengan antioksidan endogen
terpenting dalam tubuh (GSH), namun potensi bahaya dan manfaat sebenarnya
pada penelitian in vivo akan bergantung pada proses bioavailabilitas dan
biotransformasi flavonoid-flavonoid tersebut (Pereira et al., 2013).
2.10.5 Ekstrak Daun Mimba
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari
simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya
matahari langsung. Cairan penyari dapat dipakai air, eter, atau campuran etanol
dan air (Kementerian Kesehatan, 2014). Simplisia adalah bahan alam yang
digunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga, kecuali
dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. Ekstrak daun mimba dibuat
menggunakan larutan penyari etanol 96% karena kelarutan flavonoid yang
terkandung dalam serbuk mimba lebih tinggi dalam alkohol (sering dipakai etanol
96% atau metanol 80%) dibanding dalam air.
84
Pembuatan ekstrak daun mimba dilakukan dengan cara maserasi serbuk
daun mimba. Daun mimba dicuci kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari,
dilanjutkan dengan penyerbukan menggunakan pemecah biji dan diayak dengan
pengayak nomor 100 (setiap 2,54 cm pengayak terdapat 100 lubang dihitung
searah dengan panjang kawat pengayak) hingga semua bagian lolos terayak lalu
serbuk dimaserasi. Maserasi ialah penyarian dengan cara merendam simplisia
dalam larutan penyari pada suhu 15o-25o C (Anief, 2015).
Ekstraksi dengan cara maserasi secara umum dilakukan sebagai berikut: 10
bagian simplisia atau campuran simplisia dengan derajat halus yang cocok (untuk
daun mimba derajat halusnya 100) dimasukkan dalam bejana, lalu dituangi 75
bagian cairan penyari etanol 96%, ditutup dan dibiarkan selama 7 hari terlindung
dari cahaya langsung sambil sering diaduk. Campuran tersebut setelah dibiarkan 7
hari diserkai, diperas dan dicuci ampasnya dengan cairan penyari secukupnya
hingga diperoleh 100 bagian. Ekstrak cair yang diperoleh kemudian diuapkan
cairan penyarinya pada tekanan rendah dan suhu tidak lebih dari 50oC dalam
cawan penguap di atas penangas air atau rotary evaporator hingga diperoleh
ekstrak dengan konsistensi kental, penguapan cairan penyari etanol tersebut
dilakukan di lemari asam (Anief, 2015; Kementerian Kesehatan, 2014). Ekstrak
kental yang diperoleh ditimbang untuk menghitung konversinya dengan berat
serbuk daun mimba yang dipakai.
Dosis lethal (LD50) ekstrak mimba dengan penyari metanol 13g/kg berat
badan tikus. Dosis 2g/kg BB tikus tidak menimbulkan kematian, perubahan berat
organ-organ tubuh, komposisi darah, kadar enzim dan histopatologi organ hewan
85
coba, sehingga dosis ini dapat dianggap sebagai dosis maksimal untuk hewan
coba. Dosis untuk tikus putih dengan berat badan 200 gram adalah 400 mg/hari
atau 200 mg 2 kali sehari (Biswas et al., 2002).
Penelitian Kiranmai et al. (2011) yang mengekstraksi kulit akar mimba
dengan metode maserasi didapatkan hasil jumlah bahan yang terlarut dalam etanol
80% 1,66% m/m dengan kandungan total flavonoid 0,512% (512 mg/100 gram
serbuk kulit akar mimba), total flavonoid dihitung sebagai ekuivalen terhadap
asam galat.
Penelitian El-Sayed et al. pada tahun 2009 yang meneliti ekstraksi daun
mimba menggunakan berbagai macam bahan pelarut, didapatkan kandungan zat
berkhasiat dihitung sebagai ekuivalen terhadap asam galat (Tabel 2.6).
Tabel 2.6 Kandungan Flavonoid Total Ekstrak Daun Mimba dengan Berbagai Macam Pelarut, dihitung sebagai GAE: gallic acid equivalent (El-Sayed et al., 2009)
Keterangan: TE: Turbo extraction dengan pelarut etanol absolut.TM:Turbo extraction dengan pelarut metanol absolut.TA: Turbo extraction dengan pelarut air.SE: Shake extraction dengan pelarut etanol absolut.SM: Shake extraction dengan pelarut metanol absolut.SA: Shake extraction dengan pelarut air.
2.10.6 Toksisitas dan Dosis Toksik Ekstrak Mimba
Efek toksik pada hewan coba akibat pemberian bahan–bahan racun atau
obat–obatan (pada dosis toksik) peroral biasanya muncul setelah beberapa menit
sampai beberapa jam sesudah pemberian, dapat berupa tanda–tanda pada bibir dan
selaput lendir mulut berwarna keputih–putihan.
Pemberian ekstrak biji mimba peroral dapat menghambat spermatogenesis
pada tikus. Toksisitas sub-akut pada tikus putih yang diberi minyak mimba 30%
dengan dosis harian 200mg/kg BB, 400mg/kg BB, dan 600mg/kg BB
menunjukkan adanya peningkatan konsumsi pakan yang berlebih dan
penambahan berat badan. Ekstrak daun mimba dapat merangsang sistem saraf
pusat untuk mensekresikan serotonin. Serotonin tersebut akan menghambat
87
respon kontraksi yang ditimbulkan oleh stimulasi saraf adrenergik pada pembuluh
darah dan organ (Hidayah, 2003).
Penyuntikan ekstrak daun mimba dapat menurunkan tekanan darah karena
secara tidak langsung dapat mempengaruhi kekuatan kontraksi jantung dan
diameter pembuluh darah (Hidayah, 2003). Tikus jantan maupun betina yang
disuntik intramuskuler ekstrak daun mimba dengan dosis 1,3 mg/10g BB dapat
mengalami kejang, hal ini terjadi karena adanya rangsangan terhadap sistem saraf
pusat.
Pemberian ekstrak mimba (daun dengan cairan penyari metanol) dengan
dosis 2g/kg BB atau 2mg/g BB pada tikus belum menimbulkan kematian,
perubahan berat organ–organ tubuh, komposisi darah, kadar enzim dan perubahan
histopatologi organ hewan coba (Biswas et al., 2002).
2.10.7 Hasil Penelitian Aktivitas Hepatoprotektor Ekstrak Daun Mimba Melawan
Efek Hepatotoksik Parasetamol
Penelitian Sirisha tahun 2013 yang menguji efek hepatoprotektor campuran
lima ekstrak etanol tanaman obat yang salah satunya mimba (2 g/100 mL formula
dan 3 g/100 mL formula) melawan efek hepatotoksik parasetamol dengan dosis
2000 mg/kgBB sebagai dosis tunggal.
Tabel 2.8Komposisi Formula F1 dan F2 (Sirisha et al., 2013)