BAB ITINJAUAN PUSTAKA
I. DefinisiStroke menurut WHO adalah manifestasi klinis dari
gangguan fungsi cerebral, baik fokal maupun menyeluruh (global),
yang berlangsung dengan cepat, berlangsung lebih dari 24 jam, atau
berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab selain daripada
gangguan vaskular. (3,6) .Pada stroke, terjadi hipoksia serebrum
yang menyebabkan cedera dan kematian sel-sel neuron. Kerusakan otak
karena stroke, terjadi sebagai akibat pembengkakan dan edema yang
timbul dalam 24 72 jam pertama setelah kematian sel neuron.(7)
II. Anatomi
Gambar 1. Vaskularisasi OtakDarah mengalir ke otak melalui dua
arteri karotis dan dua arteri vertebralis (8). Arteri karotis
interna, setelah memisahkan diri dari arteri karotis komunis, naik
dan masuk ke rongga tengkorak melalui kanalis karotikus, berjalan
dalam sinus kavernosus, mempercabangkan arteri untuk nervus optikus
dan retina, akhirnya bercabang dua: arteri serebri anterior dan
arteri serebri media (6). Arteri karotis interna memberikan
vaskularisasi pada regio sentral dan lateral hemisfer. Arteri
serebri anterior memberikan vaskularisasi pada korteks frontalis,
parietalis bagian tengah, korpus kalosum dan nukleus kaudatus.
Arteri serebri media memberikan vaskularisasi pada korteks lobus
frontalis, parietalis dan temporalis (9).
Gambar 2. Stenosis pada arteri karotis (10)Sistem vertebral
dibentuk oleh arteri vertebralis kanan dan kiri yang berpangkal di
arteri subklavia, menuju dasar tengkorak melalui kanalis
transversalis di kolumna vertebralis servikalis, masuk rongga
kranium melalui foramen magnum, lalu mempercabangkan masing-masing
sepasang arteri serebeli inferior. Pada batas medula oblongata dan
pons, keduanya bersatu menjadi arteri basilaris dan setelah
mengeluarkan 3 kelompok cabang arteri, pada tingkat mesensefalon,
arteri basilaris berakhir sebagai sepasang cabang arteri serebri
posterior (6). Arteri vertebralis memberikan vaskularisasi pada
batang otak dan medula spinalis atas. Arteri basilaris memberikan
vaskularisasi pada pons. Arteri serebri posterior memberikan
vaskularisasi pada lobus temporalis, oksipitalis, sebagian kapsula
interna, talamus, hipokampus, korpus genikulatum dan mamilaria,
pleksus koroid dan batang otak bagian atas (6).
III. Patofisiologi
Gambar 3. Penyumbatan pembuluh darahPenyumbatan pembuluh darah
merupakan 80% kasus dari kasus stroke. Penyumbatan sistem arteri
umumnya disebabkan oleh terbentuknya trombus pada ateromatous
plaque pada bifurkasi dari arteri karotis (9). Erat hubungannya
dengan aterosklerosis (terbentuknya ateroma) dan arteriolosclerosis
(6). Aterosklerosis dapat menimbulkan bermacam-macam manifestasi
klinik dengan cara (6) : a. Menyempitkan lumen pembuluh darah dan
mengakibatkan insufisiensi aliran darah.b. Oklusi mendadak pembuluh
darah karena terjadinya trombus atau perdarahan ateromc. Merupakan
terbentuknya trombus yang kemudian terlepas sebagai embolid.
Menyebabkan dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi aneurisma
yang kemudian dapat robekSuatu penyumbatan total dari aliran darah
pada sebagian otak akan menyebabkan hilangnya fungsi neuron yang
bersangkutan pada saat itu juga. Bila anoksia ini berlanjut sampai
5 menit maka sel tersebut dengan sel penyangganya yaitu sel glia
akan mengalami kerusakan ireversibel sampai nekrosis beberapa jam
kemudian yang diikuti perubahan permeabilitas vaskular disekitarnya
dan masuknya cairan serta sel-sel radang (9).
Gambar 4. Iskemik penumbra (11)Disekitar daerah iskemi timbul
edem glia, akibat berlebihannya H+ dari asidosis laktat. K+ dari
neuron yang rusak diserap oleh sel glia disertai rentensi air yang
timbul dalam empat hari pertama sesudah stroke. Edema ini
menyebabkan daerah sekitar nekrosis mengalami gangguan perfusi dan
timbul iskemi ringan tetapi jaringan otak masih hidup. Daerah ini
adalah iskemik penumbra (6). Bila terjadi stroke, maka di suatu
daerah tertentu dari otak akan terjadi kerusakan (baik karena
infark maupun perdarahan). Neuron-neuron di daerah tersebut tentu
akan mati, dan neuron yang rusak ini akan mengeluarkan glutamat,
yang selanjutnya akan membanjiri sel-sel disekitarnya. Glutamat ini
akan menempel pada membran sel neuron di sekitar daerah primer yang
terserang. Glutamat akan merusak membran sel neuron dan membuka
kanal kalsium (calcium channels). Kemudian terjadilah influks
kalsium yang mengakibatkan kematian sel. Sebelumnya, sel yang mati
ini akan mengeluarkan glutamt, yang selanjutnya akan membanjiri
lagi neuron-neuron di sekitarnya. Terjadilah lingkaran setan (8).
Neuron-neuron yang rusak juga akan melepaskan radikal bebas, yaitu
charged oxygen molecules (seperti nitric acida atau NO), yang akan
merombak molekul lemak didalam membran sel, sehingga membran sel
akan bocor dan terjadilah influks kalsium (8). Stroke iskemik
menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak yang menyebabkan
kematian sel.
IV. Faktor Resiko1. Yang tidak dapat diubah : usia, jenis
kelamin pria, ras, riwayat keluarga, riwayat TIA / stroke, penyakit
jantung koroner, fibrilasi atrium, heterozigot atau homozigot untuk
homo sistinuria (5,6).Resiko penyumbatan arteri ekstrakranial
(arteri karotis interna dan arteri vertebralis) yaitu pada
laki-laki dan kulit putih. Sedangkan resiko penyumbatan arteri
intrakranial (arteri basiler, arteri serebri media, arteri serebri
anterior, arteri serebri posterio) yaitu pada wanita dan kulit
berwarna (12).2. Yang dapat diubah : hipertensi, DM, merokok,
penyalahgunaan alkohol dan obat, kontrasepsi oral, Hipertensi
tinggi, bruit karotis asimtomatik, hiperurisemia dan dislipidemia
(5,6).
V. Klasifikasi Stroke IskemikStroke iskemik dapat dijumpai dalam
4 bentuk klinis (13) :1. Serangan iskemia atau Transient Ischemic
Attack (TIA). Pada bentuk ini gejala neurologik yang timbul akibat
gangguan peredaran darah di otak akan menghilang dalam waktu 24
jam.2. Defisit Neurologik Iskemik Sepintas atau Reversible Ischemic
Neurological Defisit (RIND). Gejala neurologik yang timbul akan
menghilang dalam waktu lebih lama 24 jam. Tapi tidak lebih
seminggu.3. Stroke Progresif (Progresive Stroke atau Stroke in
evolution). Gejala neurologik makin lama makin berat.4. Stroke
Komplit (Completed Stroke atau Permanent Stroke), gejala klinis
sudah menetap.
VI. Manifestasi KlinisGambaran klinis utama yang dikaitkan
dengan insufisiensi aliran darah otak dapat dihubungkan dengan
tanda serta gejala di bawah ini :1. Arteri vertebralis (6)a.
Hemiplegi alternanb. Hemiplegi ataksik2. Arteri karotis interna
(sirkulasi anterior ; gejala-gejalanya biasanya unilateral). Lokasi
lesi yang paling sering adalah pada bifurkasio arteria karotis
komunis menjadi arteria karotis interna dan eksterna. Gejala-gejala
yaitu (6):a. Buta mutlak sisi ipsilateralb. Hemiparese
kontralateral3. Arteri Basilaris (6)a. Tetraplegi b. Gangguan
kesadaran c. Gangguan pupild. Kebutaan e. Vertigo4. Arteria serebri
anterior (gejala primernya adalah perasaan kacau) (14)a. Kelemahan
kontralateral lebih besar pada tungkai. Lengan bagian proksimal
mungkin ikut terserang. Gerakan voluntar pada tungkai terganggu.b.
Gangguan sensorik kontralateral.c. Demensia, refleks mencengkeram
dan refleks patologis 5. Arteria serebri posterior (dalam lobus
mesencepalon atau talamus) (14)a. Koma.b. Hemiparesis
kontralateral.c. Afasia visual atau buta kata (aleksia).d.
Kelumpuhan saraf otak ketiga hemianopsia, koreoatetosis.6. Arteria
serebri media (14)a. Monoparesis atau hemiparesis kontralateral
(biasanya mengenai tangan).b. Kadang-kadang hemianopsia
kontralateral (kebutaan).c. Afasia global (kalau hemisfer dominan
yang terkena) ; gangguan semua fungsi yang ada hubungannya dengan
percakapan dan komunikasi.d. Disfagia.
VII. DiagnosisDiagnosis didasarkan atas hasil (6) :1. Penemuan
klinisAnamnesis :a. Terutama terjadinya keluhan / gejala defisit
neurologi yang mendadakb. Tanpa trauma kepalac. Adanya faktor
resiko GPDOPemeriksaan Fisikd. Adanya defisit neurologi fokale.
Ditemukan faktor resiko (hipertensi, kelainan jantung, dll)f.
Bising pada auskultasi atau kelainan pembuluh darah lainnya2.
Pemeriksaan penunjangStroke dengan oklusi pembuluh darah dapat
dilakukan pemeriksaan :1. CT Scan dan MRI
Gambar 5. CT Scan Stroke iskemik Untuk menetapkan secara pasti
letak dan kausa dari stroke. CT scan menunjukkan gambaran
hipodens.
Gambar 6. CT Scan, CT angiografi dan MRI (11)2.
EkokardiografiPada dugaan adanya tromboemboli kardiak
(transtorakal, atau transesofageal)3. Ultrasound scan arteri
karotisBila diduga adanya ateroma pada arteri karotis. Disini
dipakai prinsip doppler untuk menghasilkan continuous wave untuk
mendeteksi derajat stenosis secara akurat, serta juga pulsed
ultrasound device yang dikaitkan dengan scanner (duplex scan)4.
Intra arterial digital substraction angiografiBila pada ultrasound
scan terdapat stenosis berat5. Transcranial DopplerDapat untuk
melihat sejauh mana anastomosis membantu daerah yang tersumbat6.
Pemeriksaan darah lengkapPerlu untuk mencari kelainan pada cairan
darah sendiri
VIII. Penatalaksanaan (9)Pengobatan secara umum 1. Pertahankan
saluran pernafasan yang baik2. Pertahankan tekanan darah yang
cukup, untuk itu evaluasi fungsi jantung dan organ vital lain3.
Pertahankan milieu intern, yaitu kualitas darah cairan dan
elektrolit, protein darah, dan keseimbangan asam basa yang baik4.
Pertahankan bladder dan rectum5. Hindarkan berlangsungnya febris,
dan pemakaian glukosa dalam nutrisi parenteral
Pengobatan stroke iskemik Apabila sasaran dari terapi stroke
akut adalah daerah inti dari iskemi yaitu daerah dimana neuron
mengalami kekurangan oksigen dan depat mati, maka hanya terapi yang
cepat dan efektif yang dapat mengembalikan sumbaan aliran darah dan
meningkatkan aliran sebelum sel mengalami rusak yang ireversibel.
Pada daerah penumbra iskemik, aliran darah secara bertahap menurun.
Daerah penumbra merupakan sasaran terapi yang menjanjikan karena
periode jendela terapi yang beberapa jam (15).1. Memberi aliran
darah kembali pada bagian otak tersebut (9,15) a. Membuka
sumbatanTrombolisis dengan streptokinase atau urikinase, keduanya
merubah sirkulasi plasminogen menjadi plasmin. Jadi timbul systemic
lytic state, serta dapat menimbulkan bahaya infark
hemoragikFibrinolisis local dengan tissue plasminogen activator,
disini hanya terjadi fibrinolisis local yang amat singkat.b.
Menghilangkan vasokonstriksiCalcium channel blocker, agar diberikan
dalam 3 jam pertama dan belum ada edema otak (GCS >12)c.
Mengurangi viskositas darahHemodilusi; mengubah hemoreologi darah :
pentoxyfilind. Menambah pengiriman oksigenPerfluorocarbon, oksigen
hiperbarike. Mengurangi edema : Manitol2. Mencegah kerusakan sel
yang iskemik (9,15)a. Mengurangi kebutuhan oksigen: hipotermi,
barbituratb. Menghambat pelepasan glutamat, dengan merangsang
reseptor adenosine dari neuron; mengurangi produksi glutamate
dengan methioninc. Mengurangi akibat glutamateNMDA blocker pada
iskemia regional AMPA blocker pada iskemia global yang sering
disertai asidosisd. Inhibisi enzim yang keluar dari neuron seperti
enzim protein kinase C yang melarutkan membrane sel dapat
diinhibisi dengan ganglioside GM1e. Menetralisir radikal bebas
dengan vitamin C, vitamin E, superoxide dismutase seperti 2-1
aminosteroid (lazeroid) akan memperpanjang half life dari
endothelial derived relaxing factor.f. Mengurangi produksi laktat :
turunkan gula darah sampai normalg. Mengurangi efek brain
endorphine : naloxone3. Memulihkan sel yang masih baikMetabolic
activator seperti citicholin, piracetam, piritinol bekerja dalam
bidang ini4. Menghilangkan sedapat mungkin semua faktor resiko yang
ada5. Pengobatan penyebab strokeKalau terbentuk trombus pada aliran
darah cepat, dan trombus ini melewati permukan kasar seperti plaque
arteria maka akan terbentuk white clot (gumpalan platelet dengan
fibrin). Obat yang bermanfaat adalah aspirin untuk mengurangi
agregasi platelet ditambah tiklodipin untuk mengurangi daya
pelekatan dari fibrin. Bila kemudian hal ini diikuti oleh stenosis
dan pelambatan aliran darah yang progresif, maka terapi adalah
antikoagulan sampai penyebab dapat dihilangkan atau sampai buntu
total dan aliran darah hanya dari kolateral saja baru antikoagulan
dihentikan dan diganti dengan aspirin. Fase Pasca AkutPengobatan
dititik beratkan pada tindakan rehabilitasi penderita, dan
pencegahan terulangnya stroke (6). Rehabilitasi Upaya membatasi
sejauh mungkin kecacatan penderita, fisik dan mental dengan
fisioterapi, terapi wicara dan psikoterapi (6). Prinsip dasar
rehabilitasi (8): Mulailah rehabilitasi sedini mungkin Harus
sistematik Meningkat secara bertahap Pakailah bentuk rehabilitasi
yang spesifik untuk defisit penderita Terapi preventifPencegahan
Primer, untuk mencegah terjadinya ateroma, yaitu (8): Mengatur
tekanan darah baik sistoli maupun diastolik (16) Mengurangi makan
asam lemak jenuh Berhenti merokok Minum aspirin dua hari sekali
(16), 300 mg/hari, pada : Individu dengan anamnesis keluarga dengan
penyakit vaskuler Umur lebih dari 50 tahun Tidak ada ulkus lambung
Tidak ada penyakit mudah berdarah Tidak ada alergi aspirin
Penggunaan aspirin setelah mengalami TIA, dapat mengurangi kematian
dan dapat meningkatkan kemungkinan untuk sembuh(3) Pencegahan
sekunder Hipertensi diturunkan melalui (8): Minum obat anti
hipertensi Mengurangi berat badan Mengurangi natrium dan menaikkan
kalium Olahraga Jangan minum amfetamin Turunkan kadar kolesterol
yang meningkat Mengurangi natrium makanan dan meningkatkan intake
kalium melalui sayur dan buah-buahan Mengurangi obesitas Mengurangi
minum alkohol Mengurangi isap rokok Mengurangi kadar gula darah
pada penderita DM (16) Mengontrol penyakit jantung Olahraga
Mengurangi hematokrit kalau meningkat Mengurangi trombositosis
dengan aspirin
IX. Evaluasi Penderita Stroke(8)Skala-skala yang digunakan untuk
melihat kemajuan penderita stroke adalah : (1) Mathew scaleSkala
ini digunakan di Eropa. Yang diperiksa adalah :-. Mentation :
kesadaran, orientasi, bicara (speech)-. Saraf cranial-. Kemampuan
motorik-. Kemampuan sensibilitas-. Disability (2) Canadian
scaleSkala ini terutama digunakan di Amerika. Lebih sederhana dan
lebih mudah digunakan, karena hanya memeriksa apa yang penting pada
penderita stroke, yaitu :-. Mental : kesadaran, orientasi, bicara
(speech)-. Fungsi motorikPenderita yang akan keluar dari rumah
sakit, harus diperiksa dengan menggunakan Barthel Index. Yang
dinilai adalah : Apakah penderita dapat bangun dari tempat tidur
dan berjalan ke WC. Apakah penderita dapat mengenakan pakaian.
Apakah penderita dapat memakai perhiasan/make up (untuk wanita),
atau mencukur jenggot (untuk laki-laki). Apakah penderita dapat
mandi sendiri. Apakah penderita dapat makan. Apakah penderita dapat
berjalan. Apakah penderita dapat naik tangga.Di Indonesia yang
paling sulit adalah mandi sendiri dan naik tangga.
X. Pengaruh Depresi Pada Penyembuhan Strokea. Depresi
Pasca-StrokeGangguan depresi mungkin merupakan gangguan emosional
yang paling sering dihubungkan dengan penyakit serebrovaskuler.
Sekitar 25-50% pasien stroke mengalami depresi setelah serangan
stroke. Kepustakaan mengatakan bahwa gejala depresi pasca stroke
sama dengan gejala depresi fungsional seperti adanya rasa sedih
atau gangguan afek, anhedonia, tidak bertenaga, sulit konsentrasi,
nafsu makan menurun, penurunan libido, gangguan tidur pada malam
hari dan adanya ide-ide bunuh diri. Duapuluh enam persen depresi
pasca-stroke adalah penderita dengan sindrom depresi berat sedang
sisanya adalah dengan sindrom depresi ringan.Suatu penelitian
mengatakan bahwa pada pasien pascastroke yang mengalami depresi,
akan terjadi peningkatan persentase mortalitas, bahkan pada pasien
yang lebih muda dan tidak mempunyai penyakit kronis yang terlalu
banyak dibanding pasien yang tidak depresi, angka kematian tetap
tinggi pada pasien depresi pasca-stroke dan yang didiagnosis
gangguan jiwa lain akibat stroke.
b. EtiologiWalaupun penyebab depresi pasca-stroke tidak
diketahui namun beberapa penelitian mengatakan lokasi jejas pada
otak memegang peranan penting. Penelitian melaporkan sebuah hasil
yang signifikan tergantung pada lokasi lesi otak dengan kejadian
depresi pasca-stroke di lesi hemisfer kiri. Penelitian tersebut
juga menunjukkan adanya tingkat keparahan depresi dengan jauhnya
batas anterior lobus frontalis, walaupun demikian tidak semua lesi
pada hemisfer kiri menyebabkan depresi pasca-stroke.Beberapa
penelitian melaporkan bahwa pasien dengan depresi mempunyai riwayat
gangguan psikiatrik atau adanya keluarga yang menderita gangguan
psikiatrik. Sebagai tambahan, hubungan depresi dengan
ketidakmampuan fungsi fisik. Hal ini tidak ditemukan pada semua
penelitian, sehingga keparahan ketidakmampuan dalam fungsi fisik
tidak ada hubungannya dengan keparahan depresi.Depresi lebih sering
terjadi pada pasien afasia non fluent dibanding yang afasia fluent,
walaupun secara sebab akibat tidak ada hubungan antara depresi
dengan afasia. Adanya hubungan antara afasia non fluent dengan
depresi pasca-stroke dapat dijelaskan dengan bukti adanya lesi otak
yang menyebabkan afasia non fluent juga mungkin menyebabkan
depresi. Hal berbeda disebutkan oleh kepustakaan lain bahwa pasien
stroke dengan afasia ringan menderita depresi lebih sering
dibandingkan pasien stroke dengan afasia global. Hal ini disebabkan
pasien dengan afasia ringan mempunyai kesadaran yang tinggi
terhadap ketidakberdayaannya.
c. DiagnosisTidak mudah mendiagnosis depresi pada penderita
pasca-stroke terutama jika pasien tersebut mengalami afasia. Adanya
ekspresi kesedihan akibat kelemahan otot wajah, apatis yang
disebabkan lesi pada hemisfer kanan atau adanya aprosodi akan
menyesatkan diagnosis pada stroke. Indikasi yang dapat membantu
diagnosis depresi pada stroke antara lain bila didapatkan perubahan
kepribadian atau mood, kehilangan berat badan dalam waktu singkat,
pola tidur yang kacau dan kemajuan minimal rehabilitasi.
d. Penatalaksanaan1) PsikofarmakoterapiPenderita depresi
pasca-stroke dapat diberikan antidepresi. Penderita dianjurkan
untuk mulai terapi dengan dosis kecil terlebih dahulu. Hal ini
dilakukan untuk meminimalkan efek samping. Perlu diingat penggunaan
subterapeutik tidak dianjurkan. Tidak ada satupun jenis
antidepresan yang khusus untuk pengobatan depresi pasca-stroke.
Kepustakaan lain mengatakan bahwa antidepresan trisiklik seperti
amitriptilin berguna juga untuk menghilangkan gejala pseudobulbar
yaitu tertawa dan menangis patologis yang dikaitkan dengan stroke.
Penggunaan golongan trisklik yang juga mempunyai efek antiaritmia
menyebabkan obat antiaritmia lain dapat dihentikan atau dikurangi
dosisnya. Fluolestine merupakan SSRI dengan efek antikolinergik
ringan. Dikatakan fluolestine efektif untuk pasien depresi
pasca-stroke. Karena kurang menimbulkan kenaikan berat badan,
obat-obat ini dapat dipakai oleh pasien depresi yang gemuk atau ada
riwayat penambahan berat badan selama pemakaian trisiklik. 1 Perlu
diperhatikan obat yang diminum penderita sebelum terkena stroke
seperti obat anti hipertensi misalnya beta-blocker atau metildopa
karena obat-obatan tersebut dapat menimbulkan depresi.Penderita
stroke yang mengalami depresi harus diberikan antidepresan agar
tidak terjadi peningkatan mortalitas akibat stroke ataupun depresi
pasca-strokenya. Terjadi peningkatan mortalitas pada pasien stroke
iskemik yang mengalami depresi. Penggunaan antidepresan telah
terbukti dapat menurunkan angka mortalitas pasien depresi
pasca-stroke. Penelitian lain mengatakan adanya penemuan yang
mengejutkan bahwa pada pasien yang menerima pengobatan aktif dengan
antidepresan terdapat kecenderungan untuk selamat dari penyakitnya.
Keuntungan pemakaian antidepresan tetap siginifikan di atas keadaan
lain yang menyertai keadaan stroke seperti usia, tipe stroke,
adanya penyerta diabetes melitus dan kekerapan gangguan depresif.
Psikoterapi dan terapi lainnya seperti fisioterapi dan terapi
okupasi diberikan bersama-sama dengan terapi medikamentosa untuk
strokenya.
2) PsikoterapiPsikoterapi individu, terapi keluarga, dan terapi
kelompok dapat diberikan kepada pasien stroke dengan emosi. e.
PrognosisTerdapat beberapa penelitian tentang prognosis pasien
depresi pasca-stroke. Penelitian di rumah sakit tidak menunjukkan
prognosis yang baik, tetapi menurut penelitian komunitas didapatkan
perbaikan setelah 1 tahun. Penelitian lain mengatakan penderita
stroke dengan depresi selama 1 tahun akan sulit mengalami
perbaikan. Peningkatan angka kematian pada penderita depresi
pasca-stroke juga berhubungan dengan ketidakpatuhan pasien dalam
rangka pengobatan untuk keadaan akibat strokenya. Pasien juga
terkadang enggan dalam meelakukan upaya promosi kesehatan untuk
mencegah terjadinya keberulangan stroke. Apalagi jika terdapat
penyakit penyerta lain seperti diabetes melitus, pasien biasanya
mempunyai kepatuhan yang kurang untuk menerapkan dietnya dalam
angka mengontrol gula darah sehingga peningkatan gula darah menjadi
tidak terkontrol dan komplikasi kardiovaskuler lebih mudah terjadi.
Dengan demikian prognosis juga menjadi kurang baik
XI. Rehabilitasi Strokea. Proses Pemulihan setelah StrokeProses
pemulihan setelah stroke dibedakan atas pemulihan neurologis
(fungsi saraf otak) dan pemulihan fungsional (kemampuan melakukan
aktivitas fungsional). Pemulihan neurologis terjadi awal setelah
stroke. Mekanisme yang mendasari adalah pulihnya fungsi sel otak
pada area penumbra yang berada di sekitar area infark yang
sesungguhnya, pulihnya diaschisis dan atau terbukanya kembali
sirkuit saraf yang sebelumnya tertutup atau tidak digunakan lagi.
Kemampuan fungsional pulih sejalan dengan pemulihan neurologis yang
terjadi. Setelah lesi otak menetap, pemulihan fungsional masih
dapat terus terjadi sampai batas-batas tertentu terutama dalam 3-6
bulan pertama setelah stroke. Hal itulah yang menjadi fokus utama
rehabilitasi medis, yaitu untuk mengembalikan kemandirian pasien
mencapai kemampuan fungsional yang optimal. Proses pemulihan
fungsional terjadi berdasarkan pada proses reorganisasi atau
plastisitas otak melalui:1). Proses SubstitusiProses ini sangat
tergantung pada stimuli eksternal yang diberikan melalui terapi
latihan menggunakan berbagai metode terapi. Pencapaian hasilnya
sangat tergantung pada intaknya jaringan kognitif, visual dan
proprioseptif, yang membantu terbentuknya proses belajar dan
plastisitas otak.2). Proses KompensasiProses ini membantu
menyeimbangkan keinginan aktivitas fungsional pasien dan kemampuan
fungsi pasien yang masih ada. Hasil dicapai melalui latihan
berulang-ulang untuk suatu fungsi tertentu, pemberian alat bantu
dan atau ortosis, perubahan perilaku, atau perubahan lingkungan.
Pemilihan jenis intervensi rehabilitasi didasarkan pada
pertimbangan beratnya gejala-sisa stroke, fase stroke saat terapi,
penyakit penyerta dan atau komplikasi medis, serta berbagai faktor
terkait lainnya seperti usia pasien, motivasi, serta dukungan dan
ekonomi keluarga. Sebagai contoh pasien usia lanjut, penderita PPOK
yang mendapat stroke akibat oklusi total a.cerebri media tentu
tidak mungkin diberikan program rehabilitasi substitusi agar ia
dapat berjalan dan mandiri penuh dalam aktivitas sehari-harinya,
rehabilitasi kompensasi tentu lebih tepat untuknya.
b. Intervensi Rehabilitasi Medis pada StrokeSecara umum
rehabilitasi pada stroke dibedakan dalam beberapa fase. Pembagian
ini dalam rehabilitasi medis dipakai sebagai acuan untuk menentukan
tujuan (goal) dan jenis intervensi rehabilitasi yang akan
diberikan, yaitu:1. Stroke fase akut: 2 minggu pertama pasca
serangan stroke2. Stroke fase subakut: antara 2 minggu-6 bulan
pasca stroke3. Stroke fase kronis: diatas 6 bulan pasca stroke
1) Rehabilitasi Stroke Fase AkutPada fase ini kondisi
hemodinamik pasien belum stabil, umumnya dalam perawatan di rumah
sakit, bisa di ruang rawat biasa ataupun di unit stroke.
Dibandingkan dengan perawatan di ruang rawat biasa, pasien yang di
rawat di unit stroke memberikan outcome yang lebih baik. Pasien
menjadi lebih mandiri, lebih mudah kembali dalam kehidupan
sosialnya di masyarakat dan mempunyai kualitas hidup yang lebih
baik.
2) Rehabilitasi Stroke Fase SubakutPada fase ini kondisi
hemodinamik pasien umumnya sudah stabil dan diperbolehkan kembali
ke rumah, kecuali bagi pasien yang memerlukan penanganan
rehabilitasi yang intensif. Sebagian kecil (sekitar 10%) pasien
pulang dengan gejala sisa yang sangat ringan, dan sebagian kecil
lainnya (sekitar 10%) pasien pulang dengan gejala sisa yang sangat
berat dan memerlukan perawatan orang lain sepenuhnya. Namun sekitar
80% pasien pulang dengan gejala sisa yang bervariasi beratnya dan
sangat memerlukan intervensi rehabilitasi agar dapat kembali
mencapai kemandirian yang optimal.Rehabilitasi pasien stroke fase
subakut dan kronis mungkin dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan
primer. Rehabilitasi fase ini akan dibahas lebih rinci terutama
mengenai tatalaksana sederhana yang tidak memerlukan peralatan
canggihPada fase subakut pasien diharapkan mulai kembali untuk
belajar melakukan aktivitas dasar merawat diri dan berjalan. Dengan
atau tanpa rehabilitasi, sistim saraf otak akan melakukan
reorganisasi setelah stroke. Reorganisasi otak yang terbentuk
tergantung sirkuit jaras otak yang paling sering digunakan atau
tidak digunakan. Melalui rehabilitasi, reorganisasi otak yang
terbentuk diarahkan agar mencapai kemampuan fungsional optimal yang
dapat dicapai oleh pasien, melalui sirkuit yang memungkinkan gerak
yang lebih terarah dengan menggunakan energi/tenaga se-efisien
mungkin. Hal tersebut dapat tercapai melalui terapi latihan yang
terstruktur, dengan pengulangan secara kontinyu serta
mempertimbangkan kinesiologi dan biomekanik gerak.
Prinsip-prinsip Rehabilitasi Stroke:1. Bergerak merupakan obat
yang paling mujarab. Bila anggota gerak sisi yang terkena terlalu
lemah untuk mampu bergerak sendiri, anjurkan pasien untuk
bergerak/beraktivitas menggunakan sisi yang sehat, namun sedapat
mungkin juga mengikutsertakan sisi yang sakit. Pasien dan keluarga
seringkali beranggapan salah, mengharapkan sirkuit baru di otak
akan terbentuk dengan sendirinya dan pasien secara otomatis bisa
bergerak kembali. Sebenarnya sirkuit hanya akan terbentuk bila ada
kebutuhan akan gerak tersebut. Bila ekstremitas yang sakit tidak
pernah digerakkan sama sekali, presentasinya di otak akan mengecil
dan terlupakan.2. Terapi latihan gerak yang diberikan sebaiknya
adalah gerak fungsional daripada gerak tanpa ada tujuan tertentu.
Gerak fungsional misalnya gerakan meraih, memegang dan membawa
gelas ke mulut. Gerak fungsional mengikutsertakan dan mengaktifkan
bagianbagian dari otak, baik area lesi maupun area otak normal
lainnya, menstimulasi sirkuit baru yang dibutuhkan. Melatih gerak
seperti menekuk dan meluruskan (fleksiekstensi) siku lengan yang
lemah menstimulasi area lesi saja. Apabila akhirnya lengan tersebut
bergerak, tidak begitu saja bisa digunakan untuk gerak fungsional,
namun tetap memerlukan terapi latihan agar terbentuk sirkuit yang
baru.3. Sedapat mungkin bantu dan arahkan pasien untuk melakukan
gerak fungsional yang normal, jangan biarkan menggunakan gerak
abnormal. Gerak normal artinya sama dengan gerak pada sisi sehat.
Bila sisi yang terkena masih terlalu lemah, berikan bantuan tenaga
secukupnya dimana pasien masih menggunakan ototnya secara aktif.
Bantuan yang berlebihan membuat pasien tidak menggunakan otot yang
akan dilatih (otot bergerak pasif). Bantuan tenaga yang kurang
menyebabkan pasien mengerahkan tenaga secara berlebihan dan
mengikutsertakan otot-otot lain. Ini akan memperkuat gerakan ikutan
ataupun pola sinergis yang memang sudah ada dan seharusnya
dihindari. Besarnya bantuan tenaga yang diberikan harus disesuaikan
dengan kemajuan pemulihan pasien.4. Gerak fungsional dapat dilatih
apabila stabilitas batang tubuh sudah tercapai, yaitu dalam posisi
duduk dan berdiri. Stabilitas duduk dibedakan dalam stabilitas
duduk statik dan dinamik. Stabilitas duduk statik tercapai apabila
pasien telah mampu mempertahankan duduk tegak tidak bersandar tanpa
berpegangan dalam kurun waktu tertentu tanpa jatuh/miring ke salah
satu sisi. Stabilitas duduk dinamik tercapai apabila pasien dapat
mempertahankan posisi duduk sementara batang tubuh doyong ke arah
depan, belakang, ke sisi kiri atau kanan dan atau dapat bertahan
tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi sementara lengan meraih ke
atas, bawah, atau samping untuk suatu aktivitas. Latihan stabilitas
batang tubuh selanjutnya yaitu stabilitas berdiri statik dan
dinamik. Hasil latihan ini memungkinkan pasien mampu melakukan
aktivitas dalam posisi berdiri. Kemampuan fungsional optimal
dicapai apabila pasien juga mampu melakukan aktivitas sambil
berjalan.5. Persiapkan pasien dalam kondisi prima untuk melakukan
terapi latihan. Gerak fungsional yang dilatih akan memberikan hasil
maksimal apabila pasien siap secara fisik dan mental. Secara fisik
harus diperhatikan kelenturan otot-otot, lingkup gerak semua
persendian tidak ada yang terbatas, dan tidak ada nyeri pada
pergerakan. Secara mental pasien mempunyai motivasi dan pemahaman
akan tujuan dan hasil yang akan dicapai dengan terapi latihan
tersebut. Kondisi medis juga menjadi salah satu pertimbangan.
Tekanan darah dan denyut nadi sebelum dan sesudah latihan perlu
dimonitor. Lama latihan tergantung pada stamina pasien. Terapi
latihan yang sebaiknya adalah latihan yang tidak sangat melelahkan,
durasi tidak terlalu lama (umumnya sekitar 45-60 menit) namun
dengan pengulangan sesering mungkin.6. Hasil terapi latihan yang
diharapkan akan optimal bila ditunjang oleh kemampuan fungsi
kognitif, persepsi dan semua modalitas sensoris yang utuh.
Rehabilitasi fisik dan rehabilitasi fungsi kognitif tidak dapat
dipisahpisahkan. Mengembalikan kemampuan fisik seseorang harus
melalui kemampuan kognitif, karena rehabilitasi pada prinsipnya
adalah suatu proses belajar, yaitu belajar untuk mampu kembali
melakukan suatu aktivitas fungsional dengan segala keterbatasan
yang ada.
Intervensi rehabilitasi pada stroke fase subakut ditujukan
untuk:1) Mencegah timbulnya komplikasi akibat tirah baring2)
Menyiapkan / mempertahankan kondisi yang memungkinkan pemulihan
fungsional yang paling optimal3) Mengembalikan kemandirian dalam
melakukan aktivitas sehari-hari4) Mengembalikan kebugaran fisik dan
mental
Terapi Latihan untuk Kemandirian dalam Melakukan Aktivitas
Sehari-hariMengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas
sehari-hari setelah stroke merupakan fokus utama rehabilitasi
stroke fase subakut. Terapi latihan dan remediasi yang diberikan
merupakan paduan latihan sederhana dan latihan spesifik menggunakan
berbagai metode terapi dan melibatkan berbagai disiplin ilmu.
Menentukan jenis, metode pendekatan, waktu pemberian, frekuensi dan
intensitas terapi yang tepat harus disesuaikan dengan kondisi medis
pasien. Selain itu terapi latihan fungsional baru efektif apabila
terpenuhi beberapa kondisi yaitu:1) Tidak ada nyeri, keterbatasan
gerak sendi atau pemendekan otot. Apabila ada, maka kondisi
tersebut perlu diatasi terlebih dahulu.2) Pasien memahami tujuan
dan hasil yang akan dicapai melalui latihan yang diberikan.
Kesulitan pemahaman terjadi pada pasien afasia sensorik dan
gangguan kognitif. Pemberian stimulasi untuk kemampuanpemahamanan
bahasa dan persepsi pasien diintegrasikan ke dalam terapi
latihan.
Gangguan KomunikasiKemampuan manusia berkomunikasi satu sama
lain melibatkan bermacam-macam fungsi, yang utama adalah kemampuan
berbahasa dan berbicara. Gangguan fungsi bahasa disebut sebagai
afasia sedangkan gangguan fungsi bicara disebut disartria.1.
AfasiaAfasia didefinisikan sebagai gangguan untuk memformulasikan
dan menginterpretasikan simbol bahasa. Afasia terjadi sebagai
akibat adanya lesi pada mekanisme bahasa di sistem saraf pusat,
umumnya di hemisfer dominan. Kemampuan berbahasa seseorang
dibedakan antara lain:a) kemampuan mengekspresikan bahasa verbal
(bicara spontan)b) kemampuan memahami bahasa verbal (pemahaman
auditori)c) kemampuan mengekspresikan bahasa melalui tulisan
(bahasa simbol)d) kemampuan memahami bahasa tulisan/membaca
(pemahamanan visual)e) menamakanf) meniruStroke dapat mengakibatkan
gangguan pada salah satu beberapa atau bahkan semua kemampuan
berbahaya (afasia global). Secara umum afasia dibedakan menjadi
afasia motorik, afasia sensorik, afasia transkortikal sensorik,
afasia transkortikal motorik, afasia anomik dan afasia global.
Kemampuan pemahaman bahasa menjadi indikator penting untuk
kemandirian aktivitas fungsional, artinya semakin berat gangguan
afasia sensorik yang diderita, semakin sulit tercapai kemandirian
dalam aktivitas sehari-hari.Pasien afasia harus diajak berbicara
dengan suara biasa afasia bukan gangguan pendengaran, jadi tidak
perlu berteriak keras). Selain itu, jangan terlalu cepat dan dengan
kalimat pendek yang mengandung satu informasi saja dalam setiap
kalimat. Akan lebih bermanfaat apabila stimulasi auditori (bahasa
verbal) yang diberikan secara simultan dengan stimulasi visual
(bahasa tulisan atau gambar-gambar). Pasien afasia jangan diajarkan
mengeja huruf, karena akan membuat pasien frustasi. Mengeja
merupakan fungsi hemisfer kiri yang justru terganggu. Stimulasi
melalui lagu, menyanyikan dan menyuarakan syair lagu yang sudah
pasien kenal sebelum sakit akan lebih bermanfaat.
2. DisartriaDisartria didefinisikan sebagai gangguan dalam
mengekspresikan bahasa verbal, akibat kelemahan, spastisitas dan
atau gangguan koordinasi pada organ bicara dan artikulasi.
Parameter bicara yang terkena pada disatria antara lain respirasi,
fonasi/suara, artikulasi, resonansi dan prosodi. Tergantung letak
lesi disatria dibedakan atas disatria flaksid, spastik, ataksik,
hipokinetik dan hiperkinetik. Terapi latihan diberikan sesuai
dengan penyebab disatria, antara lain untuk memperbaiki kontrol
pernapasan, meningkatkan kelenturan dan penguatan organ bicara dan
artikulasi termasuk otot wajah, otot leher dan otot pernapasan.
Gangguan Fungsi LuhurFungsi kortikal luhur merupakan fungsi yang
paling luhur pada manusia, yang membedakan manusia dengan mahkluk
Tuhan lainnya. Kerja fungsi ini melibatkan jaringan yang rumit dan
kompleks serta sulit untuk dipisahkan karena saling terkait satu
sama lain. Untuk memudahkan pemahaman, fungsi kortikal luhur
dibedakan menjadi fungsi berbahasa, fungsi memori, fungsi
visuospasial, fungsi emosi dan fungsi kognisi. Fungsi kognisi
seseorang memerlukan intaknya fungsi kortikal luhur yang lain.
Fungsi kognisi antara lain kemampuan atensi, konsentrasi,
registrasi, kategorial, kalkulasi, persepsi, proses pikir,
perencanaan, tahapan serta pelaksanaan aktivitas/tugas,
pertimbangan baik buruk, bahaya tidak bahaya, pemecahan masalah dan
lain sebagainya. Pasien stroke disertai gangguan fungsi luhur
memerlukan rehabilitasi spesifik. Rehabilitasi untuk mengembalikan
kemampuan fungsional (karena ada gangguan fungsi kognisi) tersebut
lebih sulit dan memerlukan waktu lebih lama. Salah satu yang perlu
mendapat perhatian adalah hemi-neglect. Pasien dengan gangguan
hemi-neglect umumnya mempunyai lesi di hemisfer kanan dan
mengabaikan semua yang berada di sisi kirinya. Pasien tersebut
seringkali berjalan menabrak pintu yang ada di sebelah kiri, jatuh
tersandung benda yang berada di sisi kiri, atau tidak menyadari ada
makanan atau minuman yang diletakkan di sisi kirinya. Gangguan
hemi-neglect paling parah adalah ia tidak mengenali tangan kirinya
sebagai bagian dari tubuhnya.Gangguan ini tidak sama dengan
hemianopsia, dimana lapang pandang pasien menjadi terbatas.
Gangguan MenelanGangguan menelan disebut sebagai disfagia.
Insiden gangguan menelan akibat stroke cukup banyak berkisar antara
30-65%.2,11,12 Sekitar 30% akan pulih dalam 2 minggu, sisanya akan
pulih dalam bulan-bulan berikutnya. Disfagia merupakan gejala
klinis penting karena menempatkan pasien pada risiko aspirasi dan
pneumonia, selain dehidrasi dan malnutrisi.Suara pasien yang serak
basah perlu dicurigai adanya gangguan menelan. Apabila ternyata
pasien tidak dapat menelan atau suara menjadi basah, maka makan dan
minum per oral harus dihentikan. Pasien memerlukan pemeriksaan
fungsi menelan lebih lanjut dengan VFSS (video fluorosgraphic
swallow study) atau FEES (fiberoptic endoscopic evaluation of
swallowing).
Gangguan Fungsi Miksi dan DefekasiGangguan miksi yang terjadi
pada stroke umumnya adalah uninhibited bladder yang menimbulkan
inkontinensia urin. Walaupun pasien kelihatannya mampu miksi, namun
harus tetap dievaluasi apakah urin keluar tuntas, artinya residu
sisa dalam kandung kemih setelah miksi kurang dari 50-80 ml. Sisa
urin yang terlalu banyak akan menyebabkan timbulnya infeksi kandung
kemih.Pasien inkontinensia karena uninhibited bladder dapat diatasi
dengan manajemen waktu berkemih. Catat waktu serta jumlah minum dan
urine pada voiding diary selama minimal 3 hari berturut-turut.
Berdasarkan voiding diary tersebut dapat ditentukan kapan pasien
setiap kali harus berkemih dengan pengaturan minum yang sesuai.
Apabila frekuensi miksi terlalu sering, obat seperti antikolinergik
dapat membantu, namun hati-hati dengan risiko timbulnya retensio
urin.Gangguan defekasi pada stroke fase subakut pada umumnya adalah
konstipasi akibat immobilisasi. Perlu diingat bahwa diare yang
timbul kemudian selain gastroenteritis juga bisa disebabkan oleh
adanya skibala, terutama bila didahului oleh obstipasi lama
sebelumnya. Sarankan pasien untuk banyak bergerak aktif, berikan
cukup cairan (sekitar 40 ml/kg BB ditambah 500 ml air/cairan bila
tidak ada kontraindikasi), serta makan makanan berserat tinggi.
Bila perlu obat laksatif dapat diberikan.
Gangguan BerjalanAmbulasi jalan merupakan suatu aktivitas
komplex yang memerlukan tidak hanya kekuatan otot ekstremitas bawah
saja, tetapi juga kemampuan kognitif, persepsi, keseimbangan dan
koordinasi. Terapi latihan menuju ambulasi jalan perlu diberikan
bertahap, dimulai dari kemampuan mempertahankan posisi duduk statik
dan dinamik, keseimbangan berdiri statik dan dinamik kemudian
latihan berjalan. Dalam latihan berdiri perlu selalu diperhatikan
bahwa panggul harus pada posisi ekstensi 00, lutut mengunci pada
posisi ekstensi 00 sedangkan pergelangan kaki dalam posisi netral
900 . Pastikan berat badan tertumpu juga pada tungkai sisi yang
sakit. Paralel bar yaitu palang dari besi, kayu atau bambu yang
dipasang sejajar merupakan tempat latihan jalan yang paling baik.
Letakan kaca setinggi tubuh di depan paralel bar agar pasien dapat
melihat sendiri postur berdiri serta jalannya dan melakukan koreksi
secara aktif. Apabila jalan sudah cukup stabil di dalam paralel
bar, maka latihan jalan dapat dilanjutkan dengan memakai tripod,
yaitu tongkat yang ujung bawahnya bercabang tiga. Untuk memperbaiki
stabilitas jalan, tidak jarang diperlukan perespon splint kaki
(dynamic foot orthosis) atau sepatu khusus.
Gangguan Melakukan Aktivitas Sehari-hari Pasien yang telah
kembali ke rumah seharusnya di motivasi untuk mengerjakan
semampunya aktivitas perawatan dirinya sendiri. Apabila sisi kanan
yang terkena, pasien dapat diajarkan untuk menggunakan tangan
kirinya untuk semua aktivitas. Pastikan juga tangan yang sakit
diikutsertakan dalam semua kegiatan. Semakin cepat dibiarkan
melakukannya sendiri, semakin cepat pula pasien menjadi mandiri.
Hanya aktivitas yang dapat menimbulkan risiko jatuh atau
membahayakan pasien sendiri yang perlu ditolong oleh keluarga.
Mengembalikan Kebugaran Fisik dan MentalPasien stroke seringkali
mengeluh cepat lelah. Ia selalu berupaya untuk sedikit bergerak dan
lebih banyak istirahat. Keluarga seringkali membenarkan perilaku
seperti itu, menganggap biasa karena pasien baru pulang rawat dan
mengharapkan kondisi seperti ini akan bertambah baik. Kenyataannya
pasien akan semakin cepat lelah bahkan untuk aktivitas yang kecil
sekalipun, seperti misalnya duduk beberapa menit di kursi roda. Hal
tersebut disebabkan oleh endurans pasien menjadi rendah karena
immobilisasi lama. Selain itu, adanya kelemahan otot menyebabkan
tenaga yang diperlukan untuk bergerak lebih besar dari biasanya.
Kedua kondisi tersebut menyebabkan pasien menjadi cepat lelah.
Terapi yang terbaik adalah biasakan pasien sejak awal aktif
semampunya. Pasien jangan dibiarkan istirahat berkepanjangan.
Pasien dianjurkan agar sering duduk, bukan duduk di tempat tidur
melainkan duduk di kursi di luar kamar tidur. Waktu aktif dan
istirahat dijadwalkan secara proporsional sesuai dengan kondisi
pasien. Pasien dimotivasi untuk selalu makan di kamar makan bersama
keluarga dan dibiarkan untuk mengambil makananan pilihannya
sendiri. Pasien selalu dilibatkan dalam aktivitas keluarga bahkan
bagi pasien dengan afasia. Pasien diajak berlatih yang bertargetkan
hasil misalnya melempar bola masuk ke keranjang, bowling kecil,
main catur atau halma. Kegiatan tersebut awalnya mungkin hanya
sebentar, namun bila dilakukan sesering mungkin akan memperbaiki/
meningkatkan endurans pasien. Latihan endurans dengan beban ringan
selanjutnya dapat dimulai misalnya dengan latihan mengayuh sepeda
statik atau menggunakan theraband atau karet ban dalam
bekas.Suasana hati yang murung juga membuat pasien merasa cepat
lelah dan bosan. Berikan sedikit demi sedikit peran dan tanggung
jawab serta ungkapkan selalu bahwa peran serta pasien sangat
dibutuhkan oleh keluarga. Dengan demikian pasien akan merasa
dirinya masih berharga dan berguna bagi orang lain.
3) Rehabilitasi Stroke Fase Kronis Program latihan untuk stroke
fase kronis tidak banyak berbeda dengan fase sebelumnya. Hanya
dalam fase ini sirkuit-sirkuit gerak/aktivitas sudah terbentuk,
membuat pembentukan sirkuit baru menjadi lebih sulit dan lambat.
Hasil latihan masih tetap dapat berkembang bila ditujukan untuk
memperlancar sirkuit yang telah terbentuk sebelumnya, membuat
gerakan semakin baik dan penggunaan tenaga semakin efisien. Latihan
endurans dan penguatan otot secara bertahap terus ditingkatkan,
sampai pasien dapat mencapai aktivitas aktif yang
optimal.Tergantung pada beratnya stroke, hasil luaran rehabilitasi
dapat mencapai berbagai tingkat seperti (a) Mandiri penuh dan
kembali ke tempat kerja seperti sebelum sakit, (b) Mandiri penuh
dan bekerja namun alih pekerjaan yang lebih ringan sesuai kondisi,
(c) Mandiri penuh namun tidak bekerja, (d) Aktivitas sehari-hari
perlu bantuan minimal dari orang lain atau (e) Aktivitas
sehari-hari sebagian besar atau sepenuhnya dibantu orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mansjoer, Arief et al. 2000. Strok dalam Kapita Selekta
Kedokteran. Media Aesculapius FKUI, Jakarta. Hal 17-202. Sidharta
P, Mardjono M. 2004. Mekanisme gangguan vaskular susunan saraf
dalam Neurologi klinis dasar. Dian Rakyat. Surabaya. Hal 269-2933.
Gubitz G, Sandercock P. Extracts from clinical evidence.Acute
ischemic stroke. BMJ 2000; 320: 692-64. Guyton, A et al. 1997.
Aliran darah serebral, aliran serebrospinal dan metabolisme otak
dalam Fisiologi Kedokteran edisi 9 editor Setiawan I. EGC, Jakarta.
Hal 175-1845. Pines A, Bornstein NM, Shapira I. Menopause and
sichaemic stroke: basic, clinical and epidemiological
consederations. The role of hormone replacement. Human reproduction
update 2002; 8 (2): 161-86. Aliah A, Kuswara F F, Limoa A, Wuysang
G. 2005. Gambaran umum tentang gangguan peredaran darah otak dalam
Kapita selekta neurology edisi kedua editor Harsono. Gadjah Mada
university press, Yogyakarta. Hal 81-1027. Corwin EJ 2000. Stroke
dalam buku saku patofisiologi editor Endah P. EGC, Jakarta. Hal
181-1828. Chandra, B. 1994. Stroke dalam nurology Klinik Edisi
Revisi. Lab/bagian Ilmu Penyakit Saraf FK. UNAIR/RSUD Dr. Soetomo,
Surabaya. Hal 28-519. Widjaja, L 1993. Stroke patofisiologi dan
penatalaksanaan. Lab/bagian Ilmu Penyakit Saraf FK. UNAIR/RSUD Dr.
Soetomo, Surabaya.Hal 1-4810. Gubitz G, Sandercock P. Regular
review: prevention of ischemic stroke. BMJ 2000; 321:1455-911.
Gonzales RG. Imaging-guided acute ischemic stroke theraphy: from
time is brain to physiology is brain. AJNR Am J Neuroradiol 2006;
27: 728-3512. Caplan LR, Gorelick PB, Hier DB. Race, sex and
occlusive cerebrovascular disease: a review. Stroke 1986; 17:
648-65513. Azis AL, Widjaja D, Saharso D dan kawan-kawan 1994.
Gangguan pembuluh darah otak dalam pedoman diagnosis dan terapi
LAB/ UPF Ilmu Penyakit Saraf. Lab/bagian Ilmu Penyakit Saraf FK.
UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Hal 33-3514. Prince, A. Sylvia
and Wilson, Lorraine. 1995. Penyakit serebrovaskular dalam
patofisiologi edisi 6 editor Hartanto H et al. EGC, Jakarta. Hal
1105-1130
15. Heiss WD, Thiel A, Grond M, Graf R. Which targets are
relevant for therapy of acute ischemic stroke. Stroke 1999; 30:
1486-916. Barnett HJM, Eliasziw M, Meldrum HE. Evidence based
cardiology: prevention of ischaemic stroke. BMJ 1999; 318:
1539-43