TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI PROYEK ANGGARAN BIAYA TAMBAHAN (ABT) TAHUN 2003 PEMERINTAH KOTA SURAKARTA (Studi terhadap putusan hakim pengadilan negeri Surakarta dalam perkara korupsi Anggaran Biaya Tambahan (ABT) tahun 2003 Pemerintah Kota Surakarta) Penulisan hukum (skripsi) Disusun dan diajukan untuk melengkapi persyaratan guna meraih derajat sarjana dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Disusun oleh : WULAN YULIASTANTI E1104082 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
64
Embed
TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI .../Tinjauan... · akses bagi elite politik atau politisi ... pemberantasan tindak pidana korupsi terhadap ... tentang tinjauan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI
PROYEK ANGGARAN BIAYA TAMBAHAN (ABT) TAHUN 2003
PEMERINTAH KOTA SURAKARTA
(Studi terhadap putusan hakim pengadilan negeri Surakarta dalam perkara korupsi Anggaran Biaya Tambahan (ABT) tahun 2003 Pemerintah Kota Surakarta)
Penulisan hukum
(skripsi)
Disusun dan diajukan untuk
melengkapi persyaratan guna meraih derajat sarjana dalam ilmu hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh :
WULAN YULIASTANTI
E1104082
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pembangunan nasional merupakan upaya untuk mewujudkan tujuan
dan cita-cita bangsa sebagaimana dirumuskan dalam pembukaan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) 1945 alenia ke 4 (empat) yaitu
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
dan keadilan sosial dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita tersebut, bangsa
indonesia harus mampu membentuk dan membina suatu penghidupan serta
kepribadian bangsa.
”Tujuan atau fungsi hukum pada umumnya sebagai penganyom, pelindungi yaitu dengan jalan menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan” (moeljatno, 1985:18).
Dalam melaksanakan tujuan tersebut diatas maka bangsa indonesia
harus terbebas dari segala bentuk yang melanggar peraturan-peraturan yang
telah ditentukan oleh pemerintah, namun kenyataanya tidak demikian adanya
tindak kejahatan yang dilakukan oleh aparatur pemeintah yang melanggar
ketentuan yang dibuatnya sendiri.
Sistem hukum adalah kesatuan utuh dari tatanan-tatanan yang terdiri
dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang satu sama lain berhubungan dan
berkaitan secara erat maka diperlukan suatu lembaga yang menangani tindak
pidana atau pelanggaran untuk mencapai suatu tujuan kesatuan tersebut perlu
kerjasama antara bagian-bagian atau unsur-unsur tersebut menurut rencana
dan pola tertentu. Dalam sistem hukum yang baik tidak boleh terjadi
pertentangan-pertentangan atau tumpang tindih diantara bagian-bagian yang
ada.
1
2
Hukum yang merupakan sistem tersusun atas sejumlah bagian yang
masing-masing juga merupakan sistem yang dinamakan subsistem dan
hukum tersebut juga memiliki sanksi yang tegas, kesemuanya itu
bersama-sama merupakan satu kesatuan yang utuh dalam sistem hukum
positif Indonesia tersebut terdapat subsistem hukum perdata, subsistem
hukum pidana, subsistem hukum tata negara dan subsistem yang lainnya
yang satu sama lain saling berbeda dan memiliki wilayah kekuasan
tersendiri dalam pengaturan-pengaturan hukumnya.
Hukum pidana merupakan peraturan yang mengatur tentang
pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum, pelanggaran dan
kejahatan tersebut diancam dengan hukuman atau sanksi yang merupakan
sanksi atau siksaan bagi yang bersangkutan hal tersebut harus diterapkan
secara tegas tidak memandang status sosial seseorang, Hukum pidana yang
berupa aturan-aturan tertulis disusun dibuat dan diundangkan untuk
diberlakukan dan setelah diundangkan untuk diberlakukan pada kehidupan
nyata didalam masyarakat menjadi hukum positif.
Program otonomi daerah sejatinya dapat menjadi salah satu terapi
untuk mengurangi sentralisasi kekuasaan pada pemerintah pusat yang sangat
rentan terhadap penyimpangan, salah satu bentuk penyimpangan tersebut
merupakan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri dan
penyelenggara negara yang terkait, dampak dari tindak pidana korupsi yang
selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan negara tetapi juga
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat
secara luas.
Tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang
pemberantasannya harus dilakukan secara tegas, Untuk menjamin hukum,
menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan
hukum terhadap hak-hak sosial dan memberikan perlindungan hukum
terhadap hak sosial dan ekonomi masyarakat diperlukan penanganan yang
tegas terhadap pelaku tindak pidana dengan jabatan dan status sosialnya di
masyarakat.
3
Penyelenggaraan tugas Negara ini pada hakekatnya merupakan
hubungan antara negara dengan rakyat negara maka diperlukan suatu wadah
untuk menampung segala bentuk aspirasi masyarakat yang umumnya dapat
diatur dalam konstitusi atau Undang-undang. Hubungan hukum inilah yang
menentukan tipe negara serta bentuk atau system pemerintahan negara, dalam
hubungan dengan suatu tindak pidana perlulah disebut tentang hubungan
tentang perbuatan dengan orang yang melakukan perbuatan itu.
Adanya tindak pidana disebabkan oleh adanya orang yang membuat
pelanggaran hukum. Maka hubungan antara keduanya itu erat sekali. Hal ini
penting dalam penjatuhan hukum pidana (hukuman). Tidak setiap orang yang
melakukan suatu tindak pidana akan dijatuhi pidana, kecuali orang yang
dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya itu. Dengan kata lain
disebabkan bahwa orang yang melakukan tindak pidana baru akan dipidana
apabila ia mempunyai kesalahan.
Dalam desentralisasi dibidang administrasi dan penerapan asas
demokrasi dalam pemerintahan daerah dituntut untuk meningkatkan tanggung
jawab namun dengan hal tersebut banyak pemerintahan daerah terutama
dinegara-negara berkembang yang menghadapimasalah yang berupa
menurunya daya beli pejabat-pejabat karena alasan ini timbulnya korupsi
dalam pemerintahan daerah mendapat perhatian yang sangat besar, Anggran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ditetapkan dalam undang-undang
dan dilaksanakan secara terbuka serta bertanggungjawab untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat, hal ini menjadi acuan dalam meningkatkan
akuntabilitas dan keterbukaan dalam penyusunan anggaran.
Dalam desentralisai pemerintahan pada dasarnya hanya membuka
akses bagi elite politik atau politisi lokal kepada sumber-sumber daerah yang
rawan terjadinya penyimpangan terhadap anggaran negara sehingga timbul
penyimpangan korupsi, dominasi elite lokal baik didalam eksekutif maupun
legislative dalam proses pembuatan kebijakan daerah menjadi tak
terhindarkan oleh makin tidak efektifnya Kontrol pemerintah pusat atas
pemerintah daerah karena tidak ada lagi hubungan struktural yang secara
4
langsung dapat memaksakan kepatuhan pemerintah daerah ke pemerintah
pusat.
Perancangan dan pengganggaran merupakan dua siklus yang tidak
dapat dipisahkan dalam fungsi manajemen dalam perencanaan pendanaan
suatu suatu strategi harus terjamin, system pengganggaran juga memandang
bahwa setiap penggeluaran anggaran harus memiliki acuan dan kerangka
yang jelas mengapa muncul suatu mata anggaran. Dalam pelaksanaan
selanjutnya proses perencanaan dan penggangaran daerah membutuhkan
system pengendalian agar perencanaan dan penggangaran yang telah dibuat
dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien mengacu pada hal tersebut
proses perencanaan daerah tidak dapat lepas dari system pengendalian
aktifitas sedangkan pengganggaran daerah terkait erat dengan system
pengendalian keuangan.
Kondisi bangsa yang beragam baik dari sisi potensi, kecakapan
maupun keinginan setiap daerah diindonesia telah menghadirkan satu pola
pembangunan yang lebih cocok bagi Indonesia yaitu pola pembangunan
secara desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), untuk itulah pemerintah wajib menyusun strategi pembangunan
nasional secara sektoral sehingga setiap daerah otonom dapat
mengembangkan wilayahnya sesuai potensi dan aspirasi masyarakat daerah
otonom dapat mengembangkan wilayahnya sesuai potensi dan aspirasi
masyarakat daerah bersangkutan.
Di era reformasi sekarang ini pemerintah harus melakukan hal yang
penting dan mendasar untuk memperbaiki berbagai kelemahan dan
kekurangan yang ada serta upaya untuk mengakomodasikan berbagai
tuntutan dan aspirasi yang berkembang didaerah dan masyarakat. Dengan
adanya perimbangan keuangan pemerintahan pusat dan daerah membawa
perubahan fundamental dalam tata pemerintahan dan hubungan keuangan
sekaligus membawa perubahan penting dalam pengelolaan keuangan. Selama
ini dalam penentuan bersarnya anggaran untuk setiap kegiatan, pendekatan
yang biasa digunakan dengan pendekatan incramental berdasarkan
5
pendekatan tersebut penentuan besarnya anggaran untuk setiap kegiatan
didasarkan pada perubahan satu atau lebih variable yang bersifat umum.
Anggaran Biaya Tambahan (ABT) merupakan perencanaan anggaran
yang dilakukan oleh pemerintah yang berjangka pendek untuk pelaksanaan
kegiatan yang dikerjakan selama setahun dan anggaran tersebut dimasukkan
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hal ini untuk mengontrol anggaran
yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk suatu kegiatan jangka pendek dan
anggaran yang dikeluarkan disesuaikan dengan anggaran pendapatan dalam
pemerintahan pusat atau pemerintahan daerah.
Kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah
mengenai kegiatan atau proyek pemerintahan yang diambilkan dalam dana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam jangka pendek harus
disesuaikan dengan kebutuhan dan dana dalam anggaran pendapatan
pemerintah serta memperhatikan kebutuhan untuk menunjang fasilitas
pemerintah dalam melaksanakan pemerintahan.
Suatu kegiatan atau proyek yang dilaksanakan oleh pemerintah harus
direncanakan kedalam perencanaan anggaran baik jangka panjang atau
jangka pendek untuk menghindari adanya penyimpangan-penyimpangan
terhadap penyalahgunaan terhadap anggaran negara tersebut dan kegiatan
atau proyek yang dilaksanakan pemerintah pun harus sesuai dengan
kebutuhan pemerintahan itu sendiri untuk menghindarkan adanya
pemborosan terhadap anggaran yang dimiliki pemerintah.
Lemahnya perencanaan anggaran pada akhirnya akan muncul
kemungkianan underfinancing atau overfinancing yang kesemuanya itu
mempengaruhi tingkat efisiensi dan efektifitas unit kerja pemerintah.
Pengelolaan daerah telah menjadi perhatiaan utama bagi pengambilan
keputusan pemerintah baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah, sejauh
ini berbagai perundang-undangan dan produk hukum telah dikeluarkan dan
diberlakukan dalam upaya menciptakan system penggelolaan anggaran yang
6
mampu memenuhi berbagai tuntutan kebutuhan masyarakat dan
menghindarkan pada penyalahgunaan wewenang dalam pembuatan
perencanaan anggaran.
Untuk melaksanakan hak dan kewajibannya serta untuk melaksanakan
tugas yang dibebankan oleh masyarakat pemerintah harus mempunyai suatu
rencana yang matang untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dan rencana-
rencana tersebut disusun secara matang yang nantinya dipakai sebagai
pedoman dalam setiap langkah pelaksanaan tugas Negara.
Permasalahan tersebut di atas menarik untuk dikaji lebih mendalam
untuk itu penulis mengangkat permasalahan tersebut dalam sebuah penulisan
hukum yang berjudul : TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP
TINDAK PIDANA KORUPSI PROYEK ANGGARAN BIAYA
TAMBAHAN (ABT) TAHUN 2003 PEMERINTAHAN KOTA
SURAKARTA (Studi terhadap putusan hakim pengadilan Negeri surakarta
dalam perkara proyek korupsi Anggaran Biaya Tambahan (ABT) tahun 2003
pemerintah kota surakarta).
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas masalah yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah :
1. Bagaimana penerapan Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-
Undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi dalam putusan hakim terhadap perkara korupsi proyek Anggaran
Biaya Tambahan (ABT) tahun 2003 Pemerintah Kota Surakarta?
2. Apakah ada hambatan dalam penanganan tindak pidana korupsi proyek
Anggaran Biaya Tambahan (ABT) tahun 2003 Pemerintah Kota
Surakarta?
7
C. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan perumusan masalah diatas maka penelitian ini
mempunyai tujuan sebagai berikut :
1). Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui bagaimana penerapan Undang-Undang nomor 31
tahun 1999 jo Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi terhadap tindak pidana korupsi
terhadap tindak pidana korupsi Anggran Biaya Tambahan (ABT) tahun
2003 Pemerintah Kota Surakarta.
b. Untuk mengetahui apakah ada hambatan dalam penanganan tindak
pidana korupsi Anggaran Biaya Tambahan (ABT) tahun 2003
Pemerintah Kota Surakarta.
2). Tujuan Subyektif.
a. Untuk memperoleh data sebagai bahan utama dalam penyusunan
penulisan hukum guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk menambah wawasan mengenai hukum pidana tentang tindak
pidana korupsi proyek Anggaran biaya Tambahan (ABT) tahun 2003
Pemerintah Kota Surakarta di Pengadilan Negeri Surakarta
c. Untuk meningkatkan dan mendalami materi mata kuliah yang diperoleh
di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum
dan sistem hukum di Indonesia, terkhusus mengenai wacana tentang
tinjauan hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi proyek
Anggaran Biaya Tambahan (ABT) tahun 2003 Pemerintahan Kota
Surakarta di Pengadilan Negeri Surakarta
8
b. Memperkaya referensi penelitian khususnya tentanng kajian mengenai
tinjauan hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi proyek
Anggaran Biaya Tambahan (ABT) tahun 2003 Pemerintah Kota
Surakarta di Pengadilan Negeri Surakarta.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian diharapkan dapat membantu dan memberikan
masukan serta tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait
dengan masalah yang diteliti dan berguna bagi para pihak yang
berminat dalam masalah yang sama.
b. Mengembangkan daya penalaran dan membentuk pola pikir dinamis
peneliti yang berhubungan dengan pemahamaan mengenai wacana
tentang tinjauan hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi proyek
Anggaran Biaya Tambahan (ABT) tahun 2003 Pemerintah Kota
Surakarta diPengadilan Negeri Surakarta.
E. METODE PENELITIAN
Penelitian adalah sebuah kegiatan ilmiah yang bermaksud
melakukan konstruksi dan analisa yang dilakukan secara metodologis,
sistematis dan konsisten. Soejono Soekanto juga mengemukakan
metodologi penelitian adalah. sebagai berikut:
1. Suatu pemikiran yang digunakan dalam penelitian.
2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan.
3. Cara tertentu untuk melakukan prosedur, (Soerjono Soekanto. 1986:5).
Dengan demikian metode penelitian merupakan unsur yang sangat
penting dalam kegiatan penelitian agar data yang diperoleh benar-benar
akurat dan teruji keilmiahnnya. Dalam penelitian ini, metode yang
digunakan adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Sebagai penelitian hukum maka penelitian ini termasuk penelitian
normatif, disebut sebagai penelitian hukum normatif karena sumber data
utamanya berupa data sekunder. Penelitian hukum normatif atau
9
kepustakaan tersebut mencakup penelitian terhadap putusan pengadilan
Negeri Surakarata.
2. Sifat Penelitian
Dilihat dari sifatnya penelitian ini termasuk penelitian deskriptif, metode
deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan memberikan data seteliti
mungkin tentang manusia atau gejala-gejala lainnya. Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan penelitian kualitatif.
Menurut Soerjono soekamto penelitian kuanlitatif adalah penelitian yang
dilakukan dengan melakukan pengumpulan data berupa kata-kata, gambar-
gambar, serta informasi verbal atau normatif dan bukan dalam bentuk
angka-angka (Soerjono Soekamto 2006:10).
3. Sumber Data
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa penelitian ini termasuk penelitian
normatif. Jenis data utama dalam penelitian hukum normatif adalah data
sekunder. Data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi :
a. Bahan hukum primer, yang terdiri dari :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
2) undang-undang No 31 Tahun 1999 jo undang-undang no 20 tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3) Putusan hakim no: 196/PID.B/2006/PN.SKA.
b. Bahan Hukum Sekunder.
Bahan hukum sekunder sebagai pendukung hukum primer yang akan
digunakan dalam penelitian ini yaitu terdiri dari :
1) Buku-buku atau teks yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi
2) Jurnal dan majalah hukum yang membahas tindak pidana korupsi
c. Bahan Hukum Tersier.
Merupakan bahan hukum yang memberi informasi tentang bahan
hukum primer dan sekunder. seperti buku-buku atau artikel yang terkait
dalam tindak pidana korupsi.
10
4. Teknik Pengumpulan Data.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sesuai
dengan jenis dan sumber datanya. Mengingat bahwa jenis data dalam
penelitian ini berupa data sekunder. maka teknik pengumpulan data
dilakukan dengan cara studi dokumen atau kepustakaan (Library Study).
5. Teknik Analisis Data.
Data yang telah terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan teknik
deduksi, yaitu metode yang berusaha mencari hubungan yang ada antara
kejadian - kejadian dengan mewakili persoalan - persoalan khusus dari
dasar-dasar pengetahuan yang bersifat umum studi dokumen merupakan
suatu alat pengumpulan data yang dilakukan dengan melalui data tertulis.
Dalam penelitian yang dilaksanakan ini. penulis hanya menggunakan
dokumen siap pakai sebagai satu-satunya data, yaitu melakukan
inventarisasi dan menganalisa dokumen sekunder yang berkaitan dengan
tindak pidana korupsi.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk dapat memberi gambaran secara menyeluruh, jelas dan
komprehensif tentang sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan
baru dalam penulisan hukum maka penulis menggunakan sistematika
penulisan hukum yang terdiri dari 4 (empat) bab yang tiap bab terbagi dalam sub-
sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap
keseluruhan hasil penelitian ini Sistematika keseluruhan penulisan hukum ini
sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan
Dalam bab ini akan diuraikan yang terdiri dari latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : Tinjauan Pustaka
11
Dalam bab ini akan diuraikan tentang kerangka teori yang
melandasi penelitian serta mendukung di dalam memecahkan
masalah yang diangkat dalam penulisan hukum ini yaitu : Tinjauan
umum mengenai hukum pidana, tinjauan umum mengenai tindak
pidana, tinjauan umum mengenai tindak pidana korupsi dan
tinjauan umum mengenai Anggaran Biaya Tambahan (ABT).
BAB III : Hasil Penelitian dan Pembahasan
Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab
permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu: tinjauan
hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi proyek Anggaran
Biaya Tambahan (ABT) tahun 2003 Pemerintahan Kota Surakarta
(studi terhadap putusan hakim pengadilan negeri Surakarta dalam
perkara korupsi proyek Anggaran Biaya Tambahan (ABT) tahun
2003 Pemerintah Kota Surakarta)
BAB VI : Simpulan dan Saran
Merupakan penutup yang menguraikan secara singkat
tentang kesimpulan akhir dari pembahasan dan jawaban atas
rumusan permasalahan dan diakhiri dengan saran - saran
yang didasarkan atas hasil keseluruhan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Hukum Pidana
a. Pengertian hukum.
Banyak pendapat yang dikemukakan oleh para ahli mengenai
pengertian hukum, Menurut Prof. Mr. E. M. Mayers menyatakan bahwa:
“Hukum ialah semua aturan yang mengandung pertimbangam kesusilaan yang ditunjukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa Negara dalam melakukan tugasanya”
Pendapat serupa dikemukakan oleh leon duguit bahwa:
“Hukum adalah aturan tingkah lakupara anggota masyarakat, aturan-aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan yang jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran tersebut”
Sedangkan Menurut Immanuel Khan bahwa:
”Hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang yang lain menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan”(Kansil,1983:34).
Tata tertib dalam masyarakat tersebut tetap terpelihara maka
haruslah kaedah-kaedah hukum tersebut ditaati, tidaklah senua orang
mau menaati kaedah-kaedah hukum tersebut dan agar supaya suatu
peraturan hidup kemasyarakat benar-benar dipatuhi dan ditaati sehingga
menjadi kaedah hukum maka peraturan hidup kemasyarakatan harus
dilengkapi dengan unsur memaksa dengan demikian hukum tersebut
mempunyai sifat mengatur dan memaksa.
Hukum merupakan peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan
yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata tertib dalam masyarakat
serta memberikan sangksi yang tegas berupa hukuman terhadap siapa
saja yang tidak mau patuh mentaatinya (Kansil,1983:38).
12
13
b. Pengertian Hukum Pidana
Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana, yaitu
hal yang oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada oknum
sebagai hal yang tidak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari
dilimpahkan yang alasan dilimpahkan pidana ini ada hubungannya
dengan suatu keadaan yang didalamnya oknum yang bersangkutan
bertindak kurang baik (Wirjono Projodikoro. 2002:1).
Moeljatno memberikan batasan hukum pidana bahwa
hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang
berlaku di suatu Negara yang mengadakan dasar-dasar aturan-aturan
untuk:
1) menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tak boleh dilakukan dan
dilarang disertai dengan ancaman atau sanksi yang berupa
pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar.
2) menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan pidana
sebagaimana yang dicantumkan.
3) menentukan dengan bagaimana pengenaaan pidana itu dapat
dilaksanakkan apabila ada orang-orang yang disangka telah
melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 2002:1).
c. Pembagian Hukum Pidana
Ditinjau dari berbagai segi, hukum pidana dapat dibagi
menjadi berbagai klasifikasi yaitu sebagai berikut:
1) hukum pidana material dan hukum pidana formal
Hukum pidana material memuat aturan-aturan yang menetapkan
dan merumuskan sebagai berikut:
a) perbuatan-perbuatan apa yang bisa dipidana.
b) syarat-syarat untuk menjatuhkan pidana, khususnya orang yang
melalukan pidana itu.
c) ketentuan mengenai pidananya.
14
Sedangkan hukum pidana formal mengatur bagaimana negara
dengan melalui alat-alat pelengkapnya melaksanakan haknya
untuk menegakkan pidana atau dengan kata lain hukum pidana
formal memuat aturan-aturan bagaimana mempertahankan hukum
pidana material.
2) hukum pidana umum dan hukum pidana khusus.
Hukum pidana umum memuat aturan-aturan yang berlaku bagi
setiap orang. Misalnya aturan-aturan yang terdapat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hukum pidana khusus
memuat aturan-aturan tertentu yang berlaku bagi golongan orang-
orang tertentu atau berkaitan dengan jenis perbuatan tertentu.
Misalnya aturan-aturan yang terdapat dalam Undang-Undang
pemberantasan tindak pidana korupsi.
3) hukum pidana yang dikodifikasikan dan yang tidak dikodifikasikan.
Dikodifikasikan artinya tersusun dalam kitab undang-undang secara
sistematis, sedangkan perundang-undangan yang lain dimana berada
di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan
hukum pidana yang tidak dikodifikasikan.
4) hukum pidana nasional dan hukum pidana lokal
Hukum pidana nasional merupakan hukum pidana yang berlaku
secara menyeluruh di wilayah Indonesia, baik yang dikodifikasikan
maupun tidak Hukum pidana lokal adalah hukum yang dibentuk
oleh Pemerintah Daerah setempat dan hanya berlaku khusus di
daerah itu saja tetapi peraturan Pemeruntah Daerah tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan hukum Pidana Nasional dan terdapat
batasan-batasan tertentu.
5) hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis (hukum
pidana adat).
15
6) hukum pidana nasional dan hukum pidana internasional (Adami
Chazawi. 2002:3).
d. Fungsi Hukum Pidana
Secara umum hukum pidana berfungsi sebagai pengatur dan
penyelenggara kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpelihara
ketertiban umum. Fungsi tersebut terdapat dalam semua jenis hukum
termasuk didalamnya hukum pidana. Oleh karena itu fungsi yang
demikian disebut sebagai fungsi umum hukup pidana Secara khusus
sebagai bagian hukum publik, hukum pidana berfungsi yaitu:
1) Fungsi melindungi kepentingan hukum dari perbuatan
menyerangatau memperkosa kepentingan hukum tersebut.
Kepentingan hukum yang wajib dilindungi disini agar tidak
dilanggar oleh perbuatan-perbuatan manusia yaitu :
a). Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen).
b). Kepentingan hukum masyarakat (sociale belangen).
c). Kepentingan hukum Negara (staats belangen).
Fungsi khusus hukum pidana yang pertama ini terdapat
terutama dalam hukum pidana material. Dalam hukum pidana
material terutama merumuskan bermacam-macam perbuatan
yang dilarang untuk dilakukan (termasuk mewajibkan orang
dalam keadaan-keadaan tertentu untuk berbuat tertentu), yang
apabila larangan itu dilanggar atau kewajiban hukum untuk
berbuat itu tidak ditaati, maka kepada mereka dapat dijatuhi pidana
dengan yang diancamkan pada larangan tersebut (Adami Chazawi.
2002:5).
16
2) Fungsi memberi dasar legitimasi bagi Negara dalam rangka Negara
menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang
dilindungi.
Didalam mempertahankan kepentingan hukum yang
dilindungi, dilakukan oleh Negara dengan tindakan-tindakan yang
sangat tidak sangat menyenangkan, tindakan yang justru
melanggar kepentingan hukum pribadi yang mendasar bagi yang
bersangkutan. Dengan kekuasaan yang sangat besar ini, yaitu
kekuasaan yang berupa hak untuk menjalankan pidana dengan
menjatuhkan pidana.
Hak untuk menyerang kepentingan hukum manusia atau
warganya adalah berupa kekuasaan yang sangat besar, yang hanya
dimiliki oleh Negara. Hak untuk menjatuhkan pidana ini diatur
dalam hukum pidana itu sendiri. Terutama terdapat dalam hukum
acara pidana (Adami Chazawi 2002:5).
e. Asas-Asas Dalam Hukum Pidana
Dalam hukum pidana terdapat beberapa azas yang berlaku, dan
sangat penting untuk selalu dipahami antara lain:
1). Azas Legalitas
Azas ini terkenal pula dengan sebutan "Nullum Delictum, Nulia
Poena, Sine Praovia Lege Poenali". Yang dinyatakan oleh Anselm
von Feurbach. Merupakan bahasa latin yang artinya dalam
terjemahan bahasa Indonesia yaitu "Tiada delik (tidak pidana),
tiada pidana, jika tidak ada ketentuan perundang-undangan yang
telah mengatur sebelumnya".
2). Asas lex spesialis derograt legi generali
Ketentuan-ketentuan dalam bab I sampai dengan bab VIII ini juga
berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketntuan-ketentuan
perundang-undangan lainya diancam dengan pidana kecuali jika
oleh undang-undangditentukan lain.(Pasal 103 KUHP).
3). Azas Lex Temporis Delicti dan Pengecualiannya.
17
Dalam perbuatan sesorang harus diadili menurut atuaran yang
berlaku pada waktu perbuatan dilakukan, dari hal tersebut yang
menjadi persoalan adalah bagaimanakah jika setelah perbuatan
dilakukan, akan tetapi sebelum perkara diadili, ada perubahan
dalam aturan hukum, bahwa jika ada perubahan dalam perundang-
undangan sesudah saat melakukan perbuatan maka digunakan
aturan yang paling ringan bagi terdakwa atau pelaku,
Dengan ketentuan ini pada asas lex temporis delicti diatas
diadakan pembatasan dalam arti bahwa asas tersebut tidak berlaku
jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan
dilakukan dan sebelum perkara diadiliuntuk itu yang dipakai untuk
mengadili adalah aturan yang paling ringan bagi terdakwa atau
pelaku.
4). Azas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan
Terkenal pula dengan kalimat "Geen Staf Zonder Schuld,
Keine Strafe Ohne Schuld". Oleh karena tindak pidana itu
adalah suatu perbutan yang dilakukan oleh orang, maka untuk
menjatuhkan pidana pada orang tersebut haruslah dilakukan
bilamana ada unsur kesalahan pada orang tersebut.
Ada kalanya suatu perbutan memenuhi rumusan
perundang-undangan pidana, tetapi ada hal-hal yang
meniadakan tindak pidana, dalam artian walaupun perbuatan
pidana dilakukan tetapi pelakunya tidak dijatuhi pidana atau
bebas dari ancaman pidana.
Beberapa hal yang meniadakan tindak pidana antara lain:
a). Pertumbuhan jasmani dan rohani yang cacat atau sakit
ingatan.
b). Suatu kekuatan yang tidak dapat dilawan atau sesuatu hal
yang terpaksa (force majeure).
18
c). Perbuatan yang terpaksa dilakukan untuk mempertahankan
diri sendiri, orang lain, kehormatan, atau harta bendaterhadap
serangan yang mengancam dan melawan hukum (noodwer).
d). Menjalankan perintah Undang-undang.
e). Menjalankan perintah jabatan (Barda Nawawi. 2002:6).
2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana
a. Istilah Tindak Pidana
Kata “tindak pidana” merupakan terjemahan dari “strafbaar
feit”, kata “feit” berarti sebagian dari kenyataan atau “een gedeelte van
werkelijkheid” sedangkan “strafbaar” berarti dapat dihukum. sehingga
secara harafiah “strafbaar feit” dapat diartikan sebagai bagian dari
kenyatan yang dapat dihukum (Lamintang, 1997:181).
Istilah tindak pidana adalah sebagai terjemahan dalam bahasa
indonesia untuk istilah belanda “strafbaar feit” dan “delict” untuk
terjemahan tersebut dalam bahasa indonesia, disamping istilah “tindak
pidana” juga digunakan beberapa istilah lain sebgai berikut:
1) perbuatan yang boleh dihukum.
2) Pristiwa pidana.
3) Pelanggaran pidana.
4. Perbuatan pidana.
b. Pengertian Tindak Pidana
Dalam ilmu hukum pidana masalah tindak pidana adalah
merupakan bagian yang pokok dan sangat penting, berbagai masalah
dalam hukum pidana seolah terpaut dengan persolan tindak pidana,
19
menurut wujud dan sifatnya perbuatan-perbuatan pidana ini merupakan
perbuatan-perbutan melawan hukum dan perbuatan tersebut juga
merugikan masyarakat.
Bahwa hal tersebut mengahambat atau bertentangan dengan
terlaksananya tata dalam pergaulan masyarkat yang dianggap baik dan
adil. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan akan
menjadi suatu tindak pidana apabila perbuatan tersebut melawan hukum,
merugikan masyarakat, dilarang oleh aturan pidana dan pelakunya
diancam dengan pidana (K.Wantjik Saleh.1983:16).
Menurut pendapat Pompe bahwa tindak pidana sebagai suatu
pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan
sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang
pelaku dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah
perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminya kepentingan
umum sedangkan menurut van hamel bahwa tindak pidana tersebut
sebagai suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain
(Lamintang 1997: 181).
c. Unsur-Unsur Tindak Pidana.
1) menurut ilmu pengetahuan hukum pidana terdapat dua pandangan
mengenai unsur-unsur tindak pidana atau syarat pemidanaan yaitu
sebagai berikut:
a) pandangan monistis bahwa tindak pidana tidak dapat dipisahkan
dengan orangnya selalu dibayangkan bahwa dalam tindak pidana
selalu adanya si pembuat (orangnya) yang dipidana oleh karena itu
unsur-unsur mengenai diri orangnya tidak dipisah dengan unsur
mengenai perbuatanya, jadi monisme tidak membedakan antara
unsur tindak pidana dengan syarat untuk dapat dipidana, syarat
dipidanaya tersebut masuk dalam dan menjadi unsur tindak pidana.
b) pandangan dualistis merupakan adanya pemisahan antara perbuatan
pidana dengan pertanggungjawaban pidana dimana jika hanya ada
20
unsur perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang serta
melawan hukum saja maka sudah cukup menyatakan bahwa hal
tersebut merupakan tindak pidana dan dipidana. (Moeljatno 2000:).
2) unsur-unsur tindak pidana menurut perundang-undangan dibagi
menjadi 2 yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif sebagai berikut:
a) unsur-unsur subyektif
Unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri
sipelaku atau yang berhubungan dengan diri sipelaku dan yang
termasuk didalamnya. Dari hal tersebut maka unsur-unsur
subyektif terdiri dari:
(1) kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)
(2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging
(pasal 53 ayat (1) KUHP).
(3) Macam-macam maksud atau oogmerk dalam tindak kejahatan
(4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachteraad
(5) Perasaan takut.
b) unsur-unsur obyektif
Unsur obyektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan
keadaan-keadaan, yang didalam keadaan-keadaan tersebut terdapat
tindakan-tindakan dari sipelaku tersebut yang harus dilakukan.
Maka dari hal tersebut unsur-unsur obyektif terdiri dari:
1) sifat melanggar hukum (wederrechtelijkheid)
2) kualitas sipelaku
3) kausalitas. (Lamintang 1997:193).
d. Penggolongan Tindak Pidana oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP)
Untuk mengetahui apakah suatu perbuatan itu merupakan suatu
tindak pidana atau bukan haruslah dilihat pada ketentuan-ketentuan
hukum pidana tersebut termuat sebagai berikut:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
21
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) membagi
semua tindak pidana baik yang termuat didalam maupun diluar Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dari hal tersebut dapat
digolongkan menjadi 2 (dua) golongan besar yaitu sebagai berikut:
a) Golongan ”kejahatan”yang termuat dalam buku II Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai berikut:
(1) Kejahatan terhadap kemanan negara
(2) Kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden
(3) Kejahatan-kejahatan terhadap negara asing dan terhadap
kepala dan wakil negara
(4) Kejahatan terhadap ketertiban umum
(5) Kejahatan tentang melakukan kewajiban negara dan hak
negara
(6) Perang tanding
(7) Kejahatan yang membahayakan orang dan barang
(8) Kejahatan terhadap kekuasaan umum
(9) Sumpah palsu dan keterangan palsu
(10) Pemalsuan uang logam dan uang kertas
(11) Pemalsuan materai dan cap
(12) Pemalsuan surat
(13) Kejahatan tentang kedudukan perkara
(14) Kejahatan tentang kesusilaan
(15) Meninggalkan orang yang perlu diolong
(16) Penghinaan
(17) Membuka rahasia
(18) Kejahatan terhadap kemerdekaan orang
(19) Kejahatan terhadap nyawa
(20) Penganiayaan
(21)Memyebabkan mati atau luka-luka karena kealpaan
(22) Pencurian
(23) Pemerasan dan pengancaman
22
(24) Pengelapan
(25) Penipuan
(26) Merugikan orang berpiutang atau berhak
(27) Pengahancuran atau pengerusakan barang
(28) Kejahatan jabatan
(29) Kejahatan pelayaran
(30) Penadahan
b) Golongan ”pelanggaran” buku III Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) ;yang terdiri sebagai berikut:
(1) Pelanggara keamanan umum bagi orang atau barang dan
kesehatan
(2) Pelanggaran terhadap ketertiban umum
(3) Pelanggran terhadap kekuasaan umum
(4) Pelanggaran terhadap kedudukan perdata
(5) Pelanggaran terhadap orang yang perlu ditolong
(6) Pelanggaran kesusilan
(7) Pelanggran tetang tanah, tanaman dan pekarangan
(8) Pelanggran jabatan
(9) Pelanggran pelayaran
2. Undang-Undang atau peraturan pidana lain yang merupakan
ketentuan-ketentuan hukum pidana diluar Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP).
3. Tinjuan Umum Tentang Pidana Korupsi
a. Pengertian Korupsi
Robert Klitgaard mendefinisikan korupsi sebagai berikut bahwa
korupsi merupakan tingkah laku menyimpang dari tugas-tugas resmi
sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang
menyangkut pribadi (perseorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri)
23
atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah pribadi atau
menyalahgunakan jabatan dan wewenang untuk mencapai tujuan yang
tidak sah dalam bentuk tujuan keuntungan pribadi (Robert Klitgaard,
2002:31).
Sedangkan dalam Undang-Undang No. 31 Thaun 1999 jo Undang-
undang 20 Tahun 2001 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
memberikan pengertian tindak pidana korupsi diantaranya dalam Pasal-
pasal sebagai berikut:
1). Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2). Pasal 3 ayat Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atas suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan,
keuntungan negara atau perekonomian negara.
3). Pasal 5 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
Setiap orang yang :
1. Memberi atau menjajikan sesuatu kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai
negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak
berbuat sesuatu dalam abatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya; atau
2. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan
sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan
atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
b. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi
Faktor-faktor penyebab korupsi dapat dirumuskan sebagai berikut:
24
1). Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan
dengan kebutuhan yang makin meningkat.
Pada umumnya orang menghubung-hubungkan tumbuh
suburnya korupsi sebab yang paling gambang dihubungkan
misalnya kurangnya gaji pejabat-pejabat, buruknya ekonomi,
mental pejabat yang kurang baik, administrasi dan manajemen
yang kacau yang menghasilkan adanya prodesur yang berliku-liku
dan sebagainya.
Tetapi banyak faktor yang bekerja dan saling
mempengaruhi satu sama lain sampai menghasilkan keadaan yang
kita hadapi. Yang dapat dilakukan hanyalah mengemukakan
faktor-faktor yang paling berpengaruh. Buruknya ekonomi belum
tentu dengan sendirinya menghasilkan suatu wabah korupsi
dikalangan pejabat kalau tidak ada faktor-faktor lain yang bekerja.
Kurangnya gaji bukanlah faktor yang menentukan.
Orang-orang yang berkecukupan banyak yang melakukan
korupsi. Prosedur yang berbelit-belit bukanlah pula hal yang perlu
ditonjolkan karena korupsi juga meluas di bagian-bagian yang
produsennya sederhana.
2). Latar belakang kebudayaan kultur Indonesia yang merupakan
sumber atau sebab meluasnya korupsi.
Dalam hubungan meluasnya korupsi di Indonesia, apabila
hal itu ditinjau lebih lanjut yang perlu diselidiki tentunya bukan
kekhususan hal itu orang satu per satu, melainkan yang secara
umum meliputi, dirasakan dan mempengaruhi kita semua orang
Indonesia.
Dengan demikian, mungkin kita bisa menemukan sebab-
sebab masyarakat kita dapat menelurkan korupsi sebagai way of
life dari banyak orang, mengapa korupsi itu secara diam-diam
ditoleransi, bukan oleh penguasa, tetapi oleh masyarakat sendiri.
Kalau masyaraat umum mempunyai semangat anti korupsi seperti
25
para mahasiswa pada waktu melakukan demontrasi anti korupsi,
maka korupsi sungguh-sungguh tidak akan dikenal.
3). Faktor modernisasi sebagai penyebab korupsi
Menulis sebagai berikut bahwa korupsi terdapat dalam
masyarakat, tetapi korupsi lebih umum dalam masyarakat yang
satu dari pada masyarakat yang lain dan dalam masyarakat
yang sedang tumbuh korupsi lebih umum dalam suatu periode
yang satu dari yang lain.
Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa luas
perkembangan korupsi berkaitan dengan modernisasi sosial
dan ekonomi yang cepat. Penyebab modernisasi
mengembangbiakkan korupsi dapat disingkat dari jawaban
Huntington berikut ini :
a). Modernisasi membawa perubahan-perubahan pada nilai dasar
atas masyarakat.
b). Modernisasi juga ikut mengembangkan korupsi karena
modernisasi membuka sumber-sumber kekayaan dan
kekuasaan baru. Hubungan sumber-sumber ini dengan
kehidupan politik tidak diatur oleh norma-norma tradisional
yang terpenting dalam masyarakat, sedangkan norma-norma
yang baru dalam hal ini belum dapat diterima oleh golongan-
golongan berpengaruh dalam masyarakat.
c). Modernisasi merangsang korupsi karena perubahan-
perubahan yang diakibatkannya dalam bidang kegiatan
sistem politik. Modernisasi di negara-negara yang memulai
modernisasi lebih kemudian, memperbesar kekuasaan
pemerintah dan melipatgandakan kegiatan-kegiatan yang
diatur oleh peraturan-peraturan pemerintah.(Andi hamzah.
2007:25)
c. Akibat Korupsi
26
Dalam penjelasan peraturan pemerintah pengganti Undang-
Undang no 24 tahun 1960 yang dimksud dengan perbuatan korupsi
pidana bahwa apabila terjalin unsure-unsur kejahatan atau pelnggaran
berdasarkan hal tersebut dapat dipidana dengan hukuman badan
dan/atau denda yang cukup berat disamping perampasan harta benda
hasil korupsinya sedangkan perbuatan korupsi bukan pidana.
Apabila terdapat unsur perbutan melawan hukum perbuatan
korupsi ini tidak dapat diancam dengan hukuman pidana melainkan
pengadilan tinggi yang mengadilinya atas gugatan badan koordinasi
sipemilik harta dapat merampas harta benda hasil korupsi (K.Wantjik
Saleh. 1983:29).
Gunnar Mudral menyatakan akibat dari korupsi sebagai
berikut:
1). Korupsi memantapkan dan memperbesar masalah-masalah
yang menyangkut kurangnya hasrat untuk terjun dibidang
usaha dan mengenai kurang tumbuhnya pasaran nasional.
2). Korupsi mempertajam permasalahan masyarakat plural
sedang bersamaan dengan itu kesatuan negara bertambah lemah
Juga karenaturunnya martabat pemerintah tendensi-tendensi itu
membahayakan stabilitas politik.
3). Korupsi mengakibatkan turunnya disiplin sosial. Uang suap itu
tidak hanya dapat memperlancar prosedur administrasi, tetapi
biasanya juga berakibat adanya kesengajaan untuk memperlambat
proses administrasi agar dengan demikian dapat menerima
uang suap Disamping itu, rancana-rencana pembangunan yang
sudah diputuskan, dipersulit atau diperlambat karena alasan-alasan
yang sama. Dalam hal itu Mydral bertentangan dengan pendapat
yang lazim, bahwa korupsi itu harus dianggap sebagai semir pelicin
(Robet Klitgaard 2001:51).
4. Tinjauan umum mengenai anggaran biaya tambahan (ABT)
27
a. Pengertian Anggaran
Anggaran kerja merupakan suatu sistem anggaran yang lebih
menekankan pada pendayagunaan dana yang tersedia untuk mencapai
hasil yang optimal, secara etimologi bahasa kata ”kinerja”muncul setelah
kata ”anggaran” maka tidak sulit untuk mengartikan bahwa penggangaran
berbasis kinerja mencoba untuk memberikan kepastian bahwa setiap
penggeluaran mata anggaran harus memiliki (kontrak) kinerja yang
terukur hal ini berarti bahwa penggangaran kerja juga menitik beratkan
dari segi penatalaksanaan atau sistem pengendalian kinerja.
Suatu pelaksanaan anggaran tidak hanya berhenti pada ketaatan
realisasi terhadap rencana namun yang lebih penting adalah hasil dari
implikasi kinerja yang diharapkan dari penggeluaran tersebut. Sistem
anggaran kinerja pada dasarnya merupakan sistem yang mencakup
kegiatan penyusunan program, sistem ini merupakan indikakator kerja,
standar kerja dan standar biaya dari setiap jenis pelayanan. Anggaran
harus didasarkan pada sasaran yang hendak dicapai pada tahu anggaran
tersebut dengan adanya standart pelayanan dan adanya ukuran biaya
satuan (Sony yuwono dkk 2008:80).
Anggaran adalah rencana atau planning pengeluaran dan
pembiayaan negara yang ditetapkan dengan Undang-undang untuk masa
yang akan datang dalam usaha mencapai tujuan negara. Maka Anggaran
mempunyai fungsi antara lain sebagai berikut :
1). Fungsi politik adalah anggaran sebagai dokumen berisi rencana
kegiatan yang berbentuk Undang-undang member kesemptan kepada
kekuatan politik didalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyusun
atau memilih keinginan-keinginan mereka serta memberi kuasa
kepada pemerintah untuk melaksanakannya sesuai dengan rencana
tersebut dalam kebijaksanan pemerintah. Anggaran tersebut
mencukupi hubungan antara pelaksanaan anggaran swasta pada
kehidupan ekonomi masyarakat dengan melalui perencanaan angka-
angka didalam perencanaan tersebut.
28
2). Fungsi yuridis adalah suatu dokumen yang berbentuk Undang-undang
yang mengikat khususnya pemerintah yang berhubungan dengan
pengeluaran dan penerimaan negara, ia membatasi pemerintah dalam
hal pengunaan kekayaan negara serta membatasi perbuatan
pemerintah dalam hal pengunaan kekayaan negara serta membatasi
perbuatan pemerintah dalam menarik sebagian kekayaan masyarakat.
Dalam hubungan ini anggaran memberi kuasa atau otorisasi
kepada pemerintah dalam untuk menerima dan mengeluarkan yang
disebut dengan istilah fungsi otorisasi. Fungsi otorisasi ini menjadi
dasar bergeraknya atau bekerjanya administrasi Negara khususnya
dibidang keuangan.
3). Fungsi ekonomi adalah anggaran yang merupakan seluruh tindakan
kebijaksanaan untuk menentukan besarnya susunan pengeluaran
negara dan menuntut pula besarnya skala pembangunan yang
diperlukan sesuai dengan tuntutan ekonomi yang dapat digunakan
oleh Negara sebagai penerimaan politik ekonomi dari Negara tersebut.
Anggaran menyediakan dasar bagi penelitian pelaksanaan
kebijaksanaan dilihat dari sudut ketepatgunaan ekonomi dalam rumah
tangga Negara, anggaran memberikan pengertian mengenai arti
kebijaksanaan Negara yang telah ditentukan bagi rumah tangga rakyat
(ekonomi rakyat) dalam keseluruhan yakni fungsi ekonomi anggaran
yang merupakan kebijaksanaan keuangan atas perkembangan rumah
tangga rakyat sebagai keseluruhan (Bohari.1995:10)
b. Pengertian Anggaran Biaya Tambahan (ABT).
Anggaran Biaya Tambahan (ABT) merupakan alokasi tambahan
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun berjalan
yang bersifat mendesak, adanya perubahan asumsi dasar penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terjadi selama
tahun anggaran berjalan dan anggaran belanja yang ditetapkan negara
29
untuk menunjang kegiatan daerah yang dimaksud (Sony Yuwono dkk
2008:85).
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
30
1. Tinjauan tentang Putusan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta nomor:
196/PID.B/2006/PN.SKA Dalam Tindak Pidana Korupsi Proyek Anggaran
Biaya Tambahan (ABT) tahun 2003 Pemerintah Kota Surakarta.
a. Kronologis tindak pidana korupsi Anggaran Biaya Tambahan (ABT)
tahun 2003 Pemerintah Kota Surakarta.
Sesuai dengan SK. Walikota Nomor : 901/140-A/2003 tanggal
22 Oktober 2003 tentang penunjukan penanggung jawab proyek,
pimpinan proyek dan bendahara proyek anggaran biaya tambahan
(ABT) tahun 2003 bidang perumahan dan pemukiman serta bidang
sumber daya air yang perinciannya sebagai berikut :
1) Penanggung jawab proyek adalah Walikota Surakarta slamet
suryanto
2) Pimpinan proyek adalah Agung hasto banindro
3) Bendaharawan proyek adalah Mustofa
Setelah SK. Walikota maka pemimpin proyek yaitu Agung