Page 1
TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN DI WILAYAH
PERBATASANNEGARA REPUBLIK
INDONESIADALAMPERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM
(Studi Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah SatuSyarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Eneng Hajatun Nasihah
1113045000029
KOSENTRASI HUKUM PIDANA ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2017 M
Page 5
ABSTRAK
Eneng Hajatun Nasihah, NIM : 1113045000029 Dengan ini saya
menyatakan: TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN DI WILAYAH
PERBATASAN NEGARA INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM
PIDANAISLAM Program Studi Jinayah, Konsentrasi Hukum Pidana Islam,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2017.
Dalam penelitian ini, penulis mengangkat suatu permasalahan yaitu tindak
pidana pencurian ikan di wilayah perbatasan negara Indonesia dalam perspektif
hukum pidana Islam.
Tujuan dari penelitian antara lain yaitu memberikan deskripsi Undang-
undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan terhadap pelaku pencurian ikan
atau dengan istilah lain illegal fishing di Wilayah Perbatasan Negara Republik
Indonesia dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana positif, dan untuk
menjelaskan Pasal-pasal dalam sanksi tindak pidana pencurian ikan.
Dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode kualitatif, yaitu penelitian
yang menghasilkan data deskriptif, dibantu dengan bahan-bahan sekunder berupa
hasil karya ilmiah, pendapat para pakar, buku-buku rujukan, dan sebagainya,
kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.
Adapun kesimpulan dari penelitian ini antara lain bahwa dalam
Undangundang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan di wilayah perbatasan
negara Indonesia.Faktor Ekonomi, dapat menimbulkan kejahatan/ pemberontakan.
Demikian pula Illegal fishing, alasan pokok yang dikemukakan oleh pelaku adalah
karena faktor ekonomi. Pelaku yang melakukan Illegal fishing karena tidak
memiliki pekerjaan atau karena hidup mereka bergantung pada hasil penangkapan
ikan mereka, sedangkan keluarga mereka memerlukan berbagai kebutuhan hidup.
Oleh karena itu melakukan Illegal fishing menjadi alternatif mereka untuk
kelangsungan hidup mereka. Kondisi ekonomi Indonesia yang tak menentu
membuat tuntutan hidup juga semakin besar serta penyediaan lapangan kerja yang
kurang menyebabkan tuntutan hidup masyarakat juga ikut bertambah sehingga
mereka membutuhkan penghasilan yang besar pula untuk menopang
perekonomian individu agar bisa hidup layak.
Faktor Pengetahuan, faktor rendahnya pengetahuan nelayan (WNI) juga
mendorong terjadinya Illegal fishing. Nelayan (WNI) cenderung tidak mengetahui
larangan Illegal fishing terutama penggunaan bahan peledak. Nelayan kurang
mengetahui dampak penggunaan bahan peledak yang dapat menyebabkan
kerusakan lingkungan laut.
Faktor pendidikan, tingkat pendidikan seseorang dapat mempengaruhi
tindakan mereka untuk melakukan suatu tindak kejahatan. Seseorang yang
memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, dalam bertindak dan berperilaku
cenderung berpikir dengan menggunakan kerangka pikir yang baik dan sistematis
sehingga segala perbuatannya cenderung dapat dipertanggungjawabkan, lain
Page 6
halnya dengan orang yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah dalam
melakukan tindakan terkadang berpikiran sempit.
Faktor geografis, laut Indonesia sangat luas dan terbuka. Luasnya wilayah laut
yang menjadi yurisdiksi Indonesia dan kenyataan masih sangat terbukanya ZEEI
yang berbatasan dengan laut lepas, dan itu telah menjadi magnet penarik
masuknya kapal-kapal asing maupun lokal untuk melakukan Illegal fishing.
Faktor sosial, persepsi dan langkah kerja sama aparat penegak hukum dalam
penanganan kasus Illegal fishing masih belum solid.
Kata Kunci :
Pembimbing : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag.
Daftar Pustaka : 1986 s.d 2017
Page 7
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang
telah memberikan Rahmat dan Hidayah kepada kita semua khususnya kepada
penulis. Shalawat beserta salam semoga selalu terlimpah curahkan pepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW, sebagai suri tauladan bagi kita semua.
Semua perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini banyak pihak
yang telah memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis. Sebagai tanda
syukur atas terselesaikannya skripsi yang berjudul TINDAK PIDANA
PENCURIAN IKAN DI WILAYAH PERBATASAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM, maka penulis
ingin mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya, kepada:
1. Sebagai Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. Sebagai ketua dan sekretaris Program Studi Hukum Pidana Islam Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Sebagai Dosen Pembimbing yang selalu sabar membimbing Penulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini
4. Masing-masing sebagai dosen penguji skripsi Penulis semoga masukan dan
arahannya bisa membuat Penulis lebih semangat lagi dalam menuntut ilmu
5. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah bersedia membagi ilmunya dengan Penulis,
semoga ilmu yang telah didapatkan Penulis bisa bermanfaat
Page 8
vi
6. Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan
bantuan berupa bahan-bahan yang menjadi referensi dalam penulisan skripsi
7. Pengelola Bidikmisi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
yang selalu memberi nasihat dan motivasi kepada Penulis
8. Orang tua Penulis Ayahanda Almarhum H. Uding Hasanudin dan Ibunda Hj.
Jannah, khususnya ibunda yang selalu sabar dalam memotivasi serta
dukungan moril maupun materil dari awal masuk kuliah sampai selesainya
perkuliahan, serta selalu mendoakan Penulis
9. Kakak-kakak tercinta Siti Hasni, Siti Masitoh, Maman Ansori, Muhamad
Ridwan, Dede Mahfudzin, Saepudin, yang selalu memberikan motivasi dan
selalu menghibur disaat Penulis sedang jenuh dalam penulisan skripsi
10. Keluarga Besar LEMKA (Lembaga Kaligrafi Al-Quran), HMB (Himpunan
Mahasiswa Banten), ASPI (Asrama Putri) UIN Jakarta, yang telah
memberikan tempat kepada Penulis untuk menimba ilmu
Semoga semua kebaikan, dukungan dan motivasi yang diberikan kepada
Penulis dibalas oleh Allah SWT dengan kebaikan yang jauh lebih besar.
Kesempurnaan hanya milik Allah SWT, mudah-mudahan semua yang penulis
lakukan dirohoi Allah SWT, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Amin.
Page 9
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................... 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan ...................................................... 6
D. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 6
E. Metode Penulisan ............................................................................. 7
F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 9
BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA
A. Pengertian Tindak Pidana ............................................................... 10
B. Unsur-unsur Tindak Pidana ............................................................ 12
C. Jenis-jenis Tindak Pidana ............................................................... 14
D. Teori Penyebab Terjadinya Kejahatan ........................................... 17
E. Peraturan Perundang-undangan Perikanan ..................................... 25
BAB III. TINJAUAN UMUM TENTANG ILLEGAL FISHING
A. Pengertian Illegal Fishing .............................................................. 34
B. Wilayah Perairan di Perbatasan Negara Indonesia ......................... 36
C. Kepemilikan Sumber Daya Alam di Wilayah Perbatasan Negara
Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam
1. Kepemilikan Sumber Daya Alam di Wilayah Perbatasan
Negara Menurut Hukum Positif ............................................... 47
Page 10
viii
2. Kepemilikan Sumber Daya Alam di Wilayah Perbatasan
Negara Menurut Hukum Islam ................................................. 43
D. Illegal Fishing di Perbatasan Wilayah Republik Indonesia ........... 45
BAB IV. FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PENCURIAN IKAN DI
WILAYAH PERBATASAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
A. Faktor Penyebab Terjadinya Pencurian Ikan di Wilayah Perbatasan
Negara Republik Indonesia ............................................................ 51
B. Dampak Pemidanaan Pelaku Pencurian Ikan di Wilayah Perbatasan
Negara Republik Indonesia ............................................................ 53
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 57
B. Saran ............................................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 60
LAMPIRAN .......................................................................................................... 63
Page 11
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengamanatkan pengelolaan dan pemanfaatan kedaulatan wilayah Indonesia
untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Negara Indonesia yang
terdiri atas ribuan pulau (nusantara) memiliki hak berdaulat di luar wilayah
kedaulatannya, dengan ketentuan yang telah tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 2008 tentang wilayah negara, yakni meliputi wilayah daratan,
perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial beserta dasar laut, dan
tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber
kekayaan yang terkandung di dalamnya.1
Indonesia sering disebut negara bahari, hal ini dikarenakan sebagian besar
wilayahnya terdiri dari laut. Menurut catatan WALHI Indonesia adalah negara
kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki 17.480 pulau dengan garis pantai
sepanjang 95.181 km. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982,
Indonesia memiliki kedaulatan atas wilayah perairan seluas 3,2 juta km² yang
terdiri atas perairan kepulauan seluas 2,9 juta km² dan laut teritorial seluas 0,3 juta
km².2
Salah satu Reformasi dibidang Hukum dan perundangan yang dilakukan
Negara Republik Indonesia adalah dengan diundangkannya Undang-undang
Nomor 31 Tahun 2004 yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 45
tahun 2009 tentang Perikanan. Untuk Indonesia Undang-Undang ini amatlah
penting mengingat luas perairan kita yang hampir mendekati 6 juta kilometer
persegi yang mencakup perairan kedaulatan dan yuridiksi nasional memerlukan
1 Lutfi Muta’ali, dkk, Pengelolaan Wilayah Perbatasan NKRI, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2014). h. 12
2Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015). h. 1
Page 12
2
perhatian dan kepedulian kita semua, utamanya yang menyangkut upaya
penegakan hukum dan pengamanan laut dari gangguan dan upaya pihak asing.
Indonesia masih dihadapkan pada tingginya praktik IUU fishing yang terjadi
di perairan Indonesia, ZEE Indonesia dan laut lepas yang berbatasan dengan ZEE
Indonesia oleh kapal-kapal asing dan lokal. Maraknya praktik IUU fishing ini
telah mengancam perekonomian nasional dan kelestarian sumber daya ikan, baik
yang terdapat di ZEE Indonesia maupun di laut lepas yang berbatasan dengan
ZEE Indonesia. Dalam pada itu, sumber-sumber daya ikan di beberapa tempat,
khususnya di bagian barat Perairan Kepulauan Indonesia sudah over exploitation
dan dalam beberapa hal malah menjadi tidak sustainable karena penggunaan cara-
cara penangkapan ikan yang tidak wajar seperti sianida, bahan peledak,
pemakaian listrik, dan banyaknya kegiatan Illegal, Unreported and Unregulated
(IUU) fishing.3 IUU Fishing memiliki dampak yang negatif diantaranya terhadap
aspek ekonomi, politik, sosial, dan lingkungan.
1. Ekonomi
IUU Fishing ini telah secara nyata merugikan ekonomi Indonesia. Negara ini
telah kehilangan sumber devisa negara yang semestinya bisa menghidupi
kesejahteraan masyarakatnya, namun nyatanya justru dinikmati oleh segelintir
orang atau kelompok tertentu baik dari dalam maupun luar negeri. Faktor-
kekayaan sumber daya alam Indonesia telah membuat cukong-cukong asing yang
bekerjasama dengan oknum lokal, menggaruk hasil kekayaan alam kita. Tidak
tanggung-tanggung, kerugian negara yang diakibatkan kejahatan bidang perikanan
ini mencapai angka yang luar biasa.
2. Politik
Persoalan Illegal Fishing merupakan sumber utama terjadinya ketegangan
tidak hanya diantara komunitas namun juga antar negara. Kegiatan Illegal Fishing
diperairan negara tetangga yang dilakukan kapal-kapal pukat (trawlers) salah
satunya Thailand sering menimbulkan ketegangan di antara Thailand dengan
negara-negara tetangga, khususnya dengan Malaysia, Myanmar dan Indonesia.
3Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Intrenasional dan Pengaturannya di Indonesia,
(Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 172-173
Page 13
3
Karena melibatkan kelompok nelayan dari berbagai negara, maka IUU
Fishing ini tentu akan sangat rentan terhadap konflik yang lebih luas yaitu
perselisihan antar negara. Dan kondisi itu akan semakin meningkat, mengingat
sebagian besar negara-negara yang terlibat enggan untuk membentuk kerjasama
regional untuk memberantas kegiatan Illegal tersebut. Negara yang bersangkutan
sepertinya tiadak mau dipersalahkan dan tidak mau dilibatkan. Mereka merasa
bahwa laut merupakan tempat terbuka (open access) dimana melibatkan lalu lintas
yang sangat padat sehingga sulit untuk mendeteksi dari mana mereka berasal. Di
Indonesia, hal ini semakin diperparah dengan angkatan laut dan penegakan hukum
yang lemah sehingga semakin terbukanya kesempatan untuk terjadinya IUU
Fishing di wilayah kedaulatan negara. Permasalahan ini sebenarnya bisa sedikit
dihindari apabila setiap negara mau menjalin kerja sama regional untuk bersama-
sama memberantas kegiatan IUU Fishing.
3. Sosial
Bagi Indonesia IUU Fishing menjadi perhatian utama, karena hal ini terjadi
setiap hari di perairan Indonesia. Di kawasan Asia Tenggara, sektor perikanan
menjadi salah satu sumber utama bagi ketahanan pangan di kawasan. Motif
ekonomi sering menjadikan alasan bagi eksplorasi besar-besaran terhadap sumber
daya perikanan, yang pada gilirannya, menjadikan sebagai penyebab utama bagi
berkurangnya secara drastis terhadap persediaan ikan di Asia Tenggara. Persoalan
ini akan berpengaruh buruk terhadap kelangsungan hidup lebih dari 100 juta jiwa.
Hal ini juga telah menyebabkan sengketa diantara para nelayan lokal dengan para
pemilik kapal pukat dan juga diantara para nelayan tradisional antar negara.
Berkurangnya persediaan ikan diperairan Indonesia sebagai akibat Illegal Fishing
yang dilakukan dengan menggunakan kapal-kapal pukat, juga telah memaksa para
nelayan tradisional Indonesia terlibat dalam kegiatan Illegal Fishing di perairan
Australia, yang menyebabkan timbulnya permasalahan di antara kedua negara.
Dampak secara langsung tidak hanya dirasakan oleh para nelayan, tetapi juga
para karyawan pabrik, terutama pabrik-pabrik pengolahan ikan. Di Tual dan
Bejina misalnya, sejak beroperasinya kapal-kapal penangkap ikan asing tersebut,
maka seluruh perusahaan industri pengolahan ikan tidak beroperasi lagi, dan
Page 14
4
akibat lebih lanjut sudah dapat ditebak apa yang terjadi, yaitu PHK (Pemutusan
Hubungan Kerja) para karyawan pabrik pengolahan ikan. Karena tidak ada lagi
bahan baku tangkapan ikan yang diolah oleh perusahaan. Ini terjadi karena semua
tangkapan ikan oleh kapal asing tersebut telah ditransfer ke kapal yang lebih besar
di tengah laut istilahnya trans-shipment dan hal ini jelas-jelas telah melanggar
peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 16 Tahun 2006 yang mewajibkan
seluruh hasil tangkapan ikan diturunkan dan diolah di darat.
4. Lingkungan
Dari segi lingkungan, telah terjadi kerusakan yang permanen, karena
menyebabkan ekosistem dan biota laut menjadi terganggu, akibat penggunaan alat
penangkap ikan skala besar (Pukat Harimau dan Trawl) yang tidak sesuai dengan
ketentuan dan keadaan kelautan kita. Dan yang pasti adalah semakin menipisnya
sumber daya ikan di perairan Arafuru, karena hampir 3 tahun terjadi kegiatan
penangkapan ikan secara semena-mena dan bersifat eksploitatif.4
Keberadaan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 ini merupakan langkah
positif dan merupakan landasan/aturan bagi Penegak Hukum dan Hakim
Perikanan dalam memutuskan persoalan hukum yang terkait dengan Illegal
Fishing, yang dampaknya sangat merugikan negara bahkan telah disinyalir dapat
merusak perekonomian bangsa. Lebih jauh lagi kegiatan Illegal Fishing di
perairan Indonesia menyebabkan kerugian negara rata-rata mencapai 4 sampai
dengan 5 milyar (USD/tahun). Setiap tahunnya sekitar 3.180 kapal nelayan asing
beroperasi secara Illegal di perairan Indonesia.
Maraknya tindak pidana di era modern ini, dengan berbagai kejahatan yang
dilakukan oleh para pelaku dari negara asing, inipun disebabkan karena kurangnya
pengawasan dan perlindungan dari pemerintah Indonesia itu sendiri. Berbagai
macam modus dilakukan oleh mereka yang ingin mengambil hasil kekayaan alam
laut di Indonesia. Dengan kapal-kapal yang canggih yang dimiliki negara asing,
dan merusak laut Indonesia dengan alat yang berbahaya yang mereka miliki serta
4Mukhtar(http://mukhtar-api.blogspot.co.id/2012/11/dampak-negatif-iuu-fishing-
terhadap.html)
Page 15
5
dengan cara modus lainnya. Pencurian Ikan di wilayah perbatasan negara sering
terjadi, tapi pemerintah kurang serius dalam menangani soal ini.
Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perikanan, pasal yang
berhubungan dengan hal yang dilarang dalam penangkapan ikan. Ada beberapa
ketentuan yang berhubungan dengan sesuatu larangan dalam hal penangkapan
ikan sehingga pasal berikut mengatur apa larangannya, kewajiban menjaga
kelestarian plasma nutfah, serta besarnya sanksi yang akan diberikan. Berikut
adalah pasal-pasal yang berhubungan dengan hal tersebut yaitu: pasal 9, 14, dan
85.5 Sudah kita ketahui pasal dan Undang-undang dalam segala tindak pidana
yang berlaku salah satunya dalam materi yang penulis tulis yaitu Illegal Fishing,
itu secara dalam hukum konvensional yang telah diatur oleh pihak yang
berwenang baik dalam negeri maupun luar negeri. Lalu bagaimana dalam
pandangan Islam itu sendiri mengenai Illegal Fishing atau sering kita sebut tindak
pidana pencurian ikan dalam segi sanksi pidana.
Allah menciptakan banyak beragam kekayaan alam seperti salah satunya
kekayaan di bawah laut yaitu ikan-ikan, itu diciptakan untuk kebutuhan manusia.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis
membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih
jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Di sini penulis
hanya akan membahas apa faktor pelaku melakukan tindak pidana
pencurian ikan di wilayah perairan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dan bagaimana dampak dari pemidanaan yang diberikan kepada pelaku
Illegal Fishing di wilayah perairan NKRI.
2. Perumusan Masalah
a. Apa faktor pelaku melakukan pencurian ikan di wilayah perbatasan
negara Republik Indonesia?
5http://www.fali.unsri.ac.id/index.php/posting/41/10 Agustus 2011, 12:34
Page 16
6
b. Apa dampak pemidanaan pelaku pencurian ikan di wilayah
perbatasan negara?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
a. Untuk mengetahui faktor-faktor pelaku melakukan pencurian ikan di
wilayah perbatasan negara Indonesia
b. Untuk mengetahui dampak pemidanaan pelaku pencurian ikan di
wilayah perbatasan negara
2. Manfaat
a. Memberi pengetahuan dan wawasan tentang konsep wilayah
perairan dan kepemilikan isinya dalam wilayah perbatasan negara
menurut Islam
b. Memberikan deskripsi, penjelasan dan uraian tentang pencurian ikan
di wilayah perairan NKRI
c. Menambah pengetahuan tentang faktor-faktor pelaku melakukan
tindak pidana pencurian ikan di wilayah perbatasan negara
Indonesia.
d. Memberi pengetahuan dan wawasan tentang dampak pemidanaan
pelaku pencurian ikan di wilayah perbatasan negara
D. Kajian (Review) Studi Terdahulu
Berdasarkan penelusuran dan pengkajian yang telah ada yang dilakukan oleh
penulis, belum ada karya ilmiah (skripsi) yang membahas tentang pemidanaan
pencurian ikan di wilayah perbatasan negara. Berikut beberapa hasil penulusuran
karya ilmiah yang berkaitan dengan tema penelitian ini:
Skripsi karya Asep Maulana. R dengan judul “Illegal Fishing Perspektif
Hukum Islam” membahas tentang bagaimana problem yang terkait dengan Illegal
Fishing yang dikaji dari perspektif hukum Islam.6 Persamaan dengan skripsi
penulis adalah sama-sama mengangkat tentang kasus perikanan sedangkan
6Asep Maulana. R, Illegal Fishing Perspektif Hukum Islam, Skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009, h. 72
Page 17
7
bedanya adalah bagaimana sanksi atau pidana yang diberikan pada pelaku tindak
pidana tersebut.
Skripsi karya Rohman Nur Hijriyatmoko dengan judul “Sanksi Bagi Pelaku
Illegal Fsishing Perspektif Undang-undang Perikanan dan Hukum Islam”7
membahas tentang bagaimana cara menjatuhkan sanksi pidana yang terkait
dengan Illegal Fishing yang dikaji menggunakan Undang-undang Perikanan dan
hukum Islam. Persamaan dengan penulis skripsi adalah sama-sama mengangkat
tentang cara pemidanaan bagi pencuri ikan. Perbedaannya adalah dampak
pemidaan bagi pelaku tindak pidana pencurian ikan.
E. Metode Penelitian
Adapun Metode Penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian
hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah metode atau cara yang
dipergunakan di dalam penelitian bahan pustaka yang ada.
Objek penelitiannya antara lain norma-norma, kaidah-kaidah, asas-asas dan
prinsip-prinsip yang terkandung dalam suatu perundang-undangan, landasan
filosofi, sosiologis dan yuridis. Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah:
1. Jenis Pendekatan
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan perundang-
undangan, dan pendekatan perbandingan.
(a) Sumber Data
Sumber data pada umumnya adalah data sekunder, yang terdiri atas
bahan hukum dan bahan non-hukum. Bahan hukum mencakup bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat atau
yang membuat orang taat pada hukum seperti peraturan
7Rohman Nur Hijriyatmoko, Sanksi Bagi Pelaku Illegal Fsishing Perspektif Undang-
undang Perikanan dan Hukum Islam, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012, h. 50
Page 18
8
perundang–undangan. Perundang-undangan yang berlaku dan
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, yang akan penulis
bahas yakni Undang – undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
perikanan adalah serta dalil-dalil yang ada dalam Al-qur’an dan
Hadist.
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder itu diartikan sebagai bahan hukum
menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang merupakan hasil
olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli yang mempelajari
suatu bidang tertentu secara khusus yang akan memberikan
petunjuk ke mana peneliti akan mengarah. Bahan hukum sekunder
yang penulis gunakan diperoleh dari penelusuran buku-buku dan
artikel-artikel yang terkait dengan penelitian ini. Seperti buku,
skripsi, tesis, jurnal hukum dan lain-lain.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data
secara library research (studi pustaka) dilakukan dengan cara menelaah
buku-buku yang berkaitan dengan penelitian judul skripsi ini. Baik berupa
peraturan perundang-undangan ataupun berupa buku-buku.
3. Teknik Analisis Data
Metode analisis data yang biasanya digunakan adalah metode kualitatif.
Data skripsi ini menggunakan analisis kualitatif yakni menarik kesimpulan
secara deskriptif dan deduktif dan seluruh data yang didapatkan akan
diklasifikasikan dari bentuk yang bersifat umum sehingga mendapatkan
gambaran kesimpulan yang spesifik.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam penelitian hukum terdapat sistematika penelitian yang berguna untuk
memudahkan peneliti menelaah dan mengkaji penelitian ini yang berjudul:
Page 19
9
“Tindak Pidana Pelaku Pencurian Ikan di Wilayah Perbatasan Negara
Republik Indonesia Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam (Studi Undang-
undang Nomor 45 Tahun 2009)”.
Pada BAB I, PENDAHULUAN yang berisi tentang uraian latar belakang,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
(review) studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Pada BAB II, Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana, yang berisi tentang
pengertian tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, jenis-jenis tindak pidana,
teori penyebab terjadinya kejahatan dan peraturan perundang-undangan
perikanan.
Pada BAB III, Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Pencurian Ikan, yang berisi
tentang pengertian tindak pidana pencurian ikan, wilayah perairan di perbatasan
negara Indonesia, kepemilikan sumber daya alam di wilayah perbatasan negara
menurut hukum positif dan hukum Islam, dan tindak pidana pencurian ikan di
wilayah perbatasan negara Republik Indonesia.
Pada BAB IV, faktor-faktor pencurian ikan di wilayah perbatasan negara, yang
berisi tentang faktor pencurian ikan di wilayah perbatasan negara, dan dampak
pemidanaan pelaku pencurian ikan di wilayah perbatasan negara.
Pada BAB V, KESIMPULAN yang berisi tentang kesimpulan dari hasil
penelitian, serta memberi saran-saran sebagai evaluasi dari penelitian.
Page 20
10
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA
A. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh
aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana. Kata tindak pidana berasal
dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda, yaitu strafbaar feit,
kadang-kadang juga menggunakan istilah delict, yang berasal dari bahasa Latin
delictum. Hukum pidana negara-negara Anglo-Saxon menggunakan istilah offense
atau criminal act untuk maksud yang sama.8
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) bersumber pada
W.V.S Belanda maka istilah aslinya pun sama, yaitu strafbaar feit (perbuatan
yang dilarang oleh undang-undang yang diancam dengan hukuman). Dalam hal
ini, Satochid Kartanegara, cenderung untuk menggunakan istilah delict yang telah
lazim dipakai.9
Pada dasarnya, istilah strafbaar feit dijabarkan secara harfiah terdiri dari tiga
kata. Straf yang diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Kata baar
diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Kata feit diterjemahkan dengan tindak,
peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan. Jadi, istilah strafbaar feit secara singkat
bisa diartikan perbuatan yang boleh dihukum. Namun, dalam kajian selanjutnya
tidak sesederhana ini karena yang bisa dihukum itu bukan perbuatannya
melainkan orang yang melakukan suatu perbuatan yang melanggar aturan
hukum.10
Tindak pidana dan perbuatan melawan hukum, keduanya adalah salah dan
masing-masing merupakan pelanggaran terhadap larangan hukum atau terhadap
kewajiban hukum. Apabila pelanggaran tersebut menimbulkan konsekuensi
8M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 23
9M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, h. 23
10M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, h. 25
Page 21
11
pidana yang dilekatkan pada pelanggaran itu, maka pelanggaran itu merupakan
tindak pidana. Konsekuensi pidana yang dimaksud adalah berupa tuntutan secara
pidana dimuka pengadilan pidana dan dijatuhi sanksi pidana bila terbukti salah.11
Dalam sistem hukum Indonesia, suatu perbuatan merupakan tindak pidana
atau perilaku melanggar hukum pidana hanyalah apabila suatu ketentuan pidana
yang telah ada menentukan bahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana. Hal ini
berkenaan dengan berlakunya asas legalitas, sebagaimana ditentukan dalam Pasal
1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali
berdasarkan aturan pidana dalam perundang-undangan yang sebelum perbuatan
itu dilakukan telah ada”. Ketentuan ini memberi jaminan bahwa seseorang tidak
dapat dituntut berdasarkan ketentuan undang-undang secara berlaku surut.12
Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud tindak pidana adalah perilaku
yang melanggar ketentuan pidana yang berlaku ketika perilaku itu dilakukan baik
perilaku tersebut berupa melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh
ketentuan pidana maupun tidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan
oleh ketentuan pidana.
Moeljanto telah memakai istilah perbuatan pidana yang dirumuskan sebagai
berikut: “Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dilarang dan diancam
dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut”.
Beliau mengemukakan bahwa menurut wujud dan sifatnya, perbuatan-
perbuatan pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum.
Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan
dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat
dianggap baik dan adil.
11
Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 12
12Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 12
Page 22
12
B. Unsur-unsur Tindak Pidana
Pembahasan unsur-unsur tindak pidana dilakukan dengan dasar pikiran
bahwa antara perbuatan dan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) merupakan
dua hal tidak dapat dipisahkan secara ketat.13
Dalam mengemukakan apa yang merupakan unsur-unsur tindak pidana,
umumnya dikemukakan terlebih dahulu pembedaan dasar antara unsur (bagian)
perbuatan dan unsur (bagian) kesalahan (pertanggungjawaban pidana). Unsur
(bagian) perbuatan ini sering juga disebut unsur (bagian) objektif sedangkan unsur
(bagian) kesalahan sering juga disebut unsur (bagian) subjektif. Selanjutnya
dikemukakan unsur-unsur (sub-sub unsur) yang lebih terinci dari masing-masing
unsur (bagian) dasar tersebut.14
Unsur objektif antara lain: perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari
perbuatan itu, mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti
dalam Pasal 281 KUHP sifat openbaar atau “di muka umum”.15
Sedangkan unsur subjektif: orang yang mampu bertanggungjawab, adanya
kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan,
kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan
keadaan mana perbuatan itu dilakukan.16
Sementara menurut Moeljanto, unsur-unsur perbuatan pidana: perbuatan
(manusia), yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formal) dan
13
M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, h. 65
14M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, h. 65
15Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta:
Kencana, 2014), h. 39
16Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, h. 40
Page 23
13
bersifat melawan hukum (syarat materil). Sedangkan unsur-unsur tindak pidana
menurut Moeljanto terdiri dari:17
1. Kelakuan dan akibat
2. Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan yang dibagi
menjadi:
a. Unsur subjektif atau pribadi, yaitu mengenai diri orang yang
melakukan perbuatan, misalnya unsur pegawai negeri yang
diperlukan dalam delik jabatan seperti dalam perkara tindak pidana
korupsi. Pasal 418 KUHP jo. Pasal 1 ayat (1) sub C Undang-undang
No. 3 Tahun 1971.
b. Unsur objektif atau non pribadi, yaitu mengenai keadaan di luar si
pembuat, misalnya Pasal 160 KUHP tentang penghasutan di muka
umum (supaya melakukan perbuatan pidana atau melakukan
kekerasan terhadap penguasa umum).
3. Karena keadaan tambahan dinamakan unsur-unsur yang memberatkan
pidana. Contoh: penganiayaan menurut Pasal 351 ayat (1) KUHP
diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.
Tapi jika perbuatan menimbulkan luka-luka berat, ancaman pidana
diberatkan menjadi lima tahun dan jika mengakibatkan mati, menjadi
tujuh tahun. (Pasal 351 ayat 2 dan 3).18
4. Biasanya dengan adanya perbuatan yang tertentu seperti dirumuskan
dengan unsur-unsur di atas maka sifat pantang dilakukannya perbuatan
itu sudah tampak dengan wajar. Sifat yang demikian ini, ialah sifat
melawan hukumnya perbuatan, tidak perlu dirumuskan lagi sebagai
elemen atau unsur tersendiri. Contohnya: dalam merumuskan
pemberontakan yang menurut Pasal 108 antara lain adalah melawan
pemerintah dengan senjata, tidak perlu diadakan tersendiri yaitu kata-kata
17
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, h. 40
18Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 60
Page 24
14
yang menunjukkan bahwa perbuatan adalah bertentangan dengan
hukum.19
5. Unsur melawan hukum yang subjektif. Misalnya dalam Pasal 167, bahwa
terdakwa tidak mempunyai wewenang untuk memaksa masuk, karena
bukan pejabat kepolisian atau kejaksaan.
C. Jenis-jenis Tindak Pidana
Jenis-jenis tindak pidana yaitu:
1. Tindak Pidana Materiil (materieel delict) adalah apabila tindak pidana
yang dimaksudkan dalam suatu ketentuan hukum pidana di situ
dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu,
tanpa merumuskan ujud dari perbuatan itu.
Contohnya:
a. Pembunuhan (Pasal 338 KUHP), yang dirumuskan sebagai
perbuatan yang mengakibatkan matinya orang lain, tanpa
dipersoalkan ujud dari perbuatannya.20
Rechtdelicten ialah perbuatan
yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu
diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang
benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan
keadilan misal: pembunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini
disebut kejahatan.21
b. Pembakaran rumah (Pasal 187 KUHP), yang dirumuskan sebagai
mengakibatkan kebakaran dengan sengaja, tanpa disebutkan ujud
dari perbuatannya.22
Wetsdelicten ialah perbuatan yang oleh umum
19
Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, h. 61
20M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, (Bandung: Remadja Karya CV, 1986), h. 10-11
21Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta:
Kencana, 2014), h. 44
2222M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, hal. 11
Page 25
15
baru disadari sebagai tindak pidana karena undang-undang
menyebutnya sebagai delik, jadi karena ada undang-undang
mengancamnya dengan pidana. Misal: memakir mobil disebelah
kanan jalan. Delik semacam ini disebut pelanggaran.23
2. Tindak Pidana Formal (formeel delict) adalah apabila tindak pidana yang
dimaksudkan dirumuskan sebagai ujud perbuatannya, tanpa
mempersoalkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu.
Contohnya:
a. Pencurian (Pasal 362 KUHP), yang dirumuskan sebagai perbuatan
yang berwujud mengambil barang tanpa dipersoalkan akibat tertentu
dari pengambilan barang itu.
b. Pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP), yang dirumuskan sebagai
perbuatan yang terwujud membuat surat palsu tanpa disebutkan
akibat tertentu dari penulisan surat palsu itu.24
Dengan demikian maka lebih tepat apabila penggolongan ini
dinamakan penggolongan tindak pidana dengan perumusan secara
“materiil” dari tindak pidana dengan perumusan secara “formal”. Dalam
tindak pidana “materiil” dirumuskan isi yang yang berupa akibat yang
dilarang, sedangkan dalam tindak pidana “formal” dirumuskan “ujud”
yang berupa perbuatan tertentu.25
3. Commissie Delict adalah tindak pidana yang berupa melakukan suatu
perbuatan positif, umpamanya membunuh, mencuri dan lain-lain.26
23
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta:
Kencana, 2014), h. 44
24M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, (Bandung: Remadja Karya CV, 1986), h. 11
25M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, h. 11
26M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, h. 12
Page 26
16
Delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, adalah berbuat
sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan dan penipuan.27
4. Ommissie Delict adalah melalaikan kewajiban untuk melakukan
sesuatu, umpamanya tidak melakukan pemberitahuan dalam 10 hari
hal kelahiran atau kematian kepada Pegawai Jawatan Catatan Sipil
(Pasal 529 KUHP).28
Delik yang berupa pelanggaran terhadap
perintah, adalah tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan/ yang
diharuskan, misal: tidak menghadap sebagai saksi dimuka pengadilan
(Pasal 522 KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan
pertolongan (Pasal 531 KUHP).29
5. Gequalificeerd Delict
Istilah ini digunakan untuk suatu tindak pidana tertentu yang bersifat
istimewa, umpamanya pencurian yang gequalificeerd (Pasal 363
KUHP), apabila pencurian dilakukan dengan diikuti perbuatan yang
lain, misalnya dengan merusak pintu.30
6. Voortdurend Delict adalah tindak pidana yang tidak ada hentinya.
Umpamanya:
a. Pasal 169 KUHP yang melarang turut serta dalam suatu
perkumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan, atau dalam
suatu perkumpulan yang oleh undang-undang atau oleh pemerintah
berdasarkan undang-undang dilarang. Jadi tindak pidana itu mulai
dilakukan pada waktu orang menjadi anggota dari perkumpulan
27
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta:
Kencana, 2014), h. 46
28M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, (Bandung: Remadja Karya CV, 1986), h. 12
29Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta:
Kencana, 2014), h. 46
30M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, (Bandung: Remadja Karya CV, 1986), h. 12
Page 27
17
yang bersangkutan, dan akan terus-menerus berlangsung selama ia
belum keluar dari perkumpulan itu.
b. Pasal 529 KUHP yang menentukan:
“Barangsiapa yang tidak memenuhi kewajiban berdasarkan
undang-undang untuk melakukan pemberitahuan kepada pegawai
catatan sipil guna dimasukkan dalam daftar kelahiran atau daftar
kematian, akan dihukum dengan denda sebesar-besarnya seratus
rupiah.”
Selain itu ada peraturan yang diwajibkan dilakukannya itu dalam
waktu 10 hari setelah peristiwa yang bersangkutan terjadi. Apabila waktu
10 hari ini sudah lampau tanpa ada pemberitahuan maka pada saat itu
orang yang berkewajiban memberitahuakn itu mulai melakukan
pemberitahuan setelah lewat waktu sepuluh hari.31
Suatu contoh yang istimewa ialah yang diatur dalam Pasal 333 KUHP. Di
situ dalam satu pasal dilarang sekaligus dua perbuatan, yang satu merupakan
tindak pidana yang tidak ada hentinya (voortdurend), dan yang lain
merupakan tindak pidana yang biasa (afloopend). Yang merupakan tindak
pidana biasa yaitu menculik atau merampas kemerdekaan orang lain dengan
sengaja, sedangkan perbuatan yang merupakan tindak pidana yang tidak ada
hentinya adalah menahan orang yang diculiknya.32
D. Teori Penyebab Terjadinya Kejahatan
Di dalam kriminologi dikenal adanya beberapa teori yang dapat
dipergunakan untuk menganalisis permasalahan-permasalahan yang berkaitan
dengan kejahatan. Teori-teori tersebut pada hakikatnya berusaha untuk mengkaji
dan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan penjahat dengan kejahatan,
31
M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, h. 13
32M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, h. 13
Page 28
18
namun dalam menjelaskan hal tersebut sudah tentu terdapat hal-hal yang berbeda
antara satu teori dengan teori lainnya.
Made Darma Weda (1996:15-20) mengemukakan teori-teori kriminologi
tentang kejahatan, sebagai berikut:33
1. Teori Klasik
Teori ini mulai muncul di Inggris pada pertengahan abad ke-19 dan
tersebar di Eropa dan Amerika. Teori ini berdasarkan psikologi hedonistik.
Menurut psikologi hedonistik setiap perbuatan manusia berdasarkan
pertimbangan rasa senang dan rasa tidak senang (sakit). Setiap manusia
berhak memilih mana yang baik dan mana yang buruk, perbuatan mana yang
mendatangkan kesenangan dan yang mana yang tidak. Menurut Beccaria
(Made Darma Weda, 1996:15) bahwa: “Setiap orang yang melanggar hukum
telah memperhitungkan kesenangan dan rasa sakit diperoleh dan perbuatan
tersebut.” Lebih lanjut Beccaria (Purnianti dkk., 1994:21) menyatakan
bahwa:34
“Semua orang melanggar Undang-Undang tertentu harus menerima
hukuman yang sama, tanpa mengingat umur, kesehatan jiwa, kaya
miskinnya, posisi sosial dan keadaan-keadaan lainnya. Hukuman yang
dijatuhkan harus sedemikian beratnya, sehingga melebihi suka yang
diperoleh dari pelanggaran Undang-Undang tersebut.”
Berdasarkan pendapat Beccaria tersebut setiap hukuman yang
dijatuhkan sekalipun pidana yang berat sudah diperhitungkan sebagai
kesenangan yang diperolehnya, sehingga maksud pendapat Beccaria adalah
untuk mengurangi kesewenangan dan kekuasaan hukuman.
33
Wiliater Pratomo R.S, “Tinjauan Kriminologis Terhadap Illegal Fishing yang Terjadi di
Kota Makassar,” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Makassar, 2014), h. 36
34
Topo santoso dan Eva Achjani Zulfa, “Kriminologi”, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2010), h. 21
Page 29
19
2. Teori Neo Klasik
Menurut Made Darma Weda (1996:15) bahwa:35
“Teori neo klasik ini sebenarnya merupakan revisi atau pembaharuan
teori klasik, dengan demikian teori neo klasik ini tidak menyimpang dari
konsepsi-konsepsi umum tentang sifat-sifat manusia yang berlaku pada
waktu itu. Doktrin dasarnya tetap yaitu bahwa manusia adalah makhluk yang
mempunyai rasio yang berkehendak bebas dan karenanya bertanggung
jawab atas perbuatan-perbuatannya dan dapat dikontrol oleh rasa
ketakutannya terhadap hukum”.
Ciri khas teori neo klasik (Made Darma Weda, 1996:15) adalah sebagai
berikut:
a. Adanya pelunakan/ perubahan pada doktrin kehendak bebas. Kebebasan
kehendak untuk memilih dapat dipengaruhi oleh:
1) Patologi, ketidak mampuan untuk bertindak, sakit jiwa, atau lain-
lain keadaan yang mencegah seseorang untuk memperlakukan
kehendak bebasnya.
2) Premeditasi niat, yang dijadikan ukuran dari kebebasan kehendak,
tetapi hal ini menyangkut terhadap hal-hal yang aneh, sebab jika
benar, maka pelaku pidana untuk pertama kali harus dianggap lebih
bebasuntuk memilih dari pada residivis yang terkait dengan
kebiasaan-kebiasaannya, dan oleh karenanya harus dihukum dengan
berat.
b. Pengakuan dari pada sahnya keadaan yang berubah ini dapat berupa fisik
(cuaca, mekanis, dan sebagainya) keadaan- keadaan lingkungannya atau
keadaan mental dari individu.
c. Perubahan doktrin tanggung jawab sempurna untuk memungkinkan
perubahan hukuman menjadi tanggung jawab sebagian saja, sebab-sebab
35
Wiliater Pratomo R.S, “Tinjauan Kriminologis Terhadap Illegal Fishing yang Terjadi di
Kota Makassar,” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Makassar, 2014), h. 37
Page 30
20
utama untuk mempertanggungjawabkan seseorang untuk sebagian saja
adalah kegilaan, kedunguan, usia dan lain-lain yang dapat mempengaruhi
pengetahuan dan niat seseorang pada waktu melakukan kejahatan.
d. Dimasukkan persaksian/ keterangan ahli di dalam acara pengadilan untuk
menentukan besarnya tanggungjawab, untuk menentukan apakah si
terdakwa mampu memilih antara yang benar dan salah.
Berdasarkan ciri khas teori neo klasik, tampak bahwa teori neo- klasik
menggambarkan ditinggalkannya kekuatan yang supra natural, yang ajaib
(gaib), sebagai prinsip untuk menjelaskan dan membimbing terbentuknya
pelaksanaan hukum pidana. Dengan demikian teori-teori neo-klasik
menunjukkan permulaan pendekatan yang naturalistik terhadap perilaku/
tingkah laku manusia
3. Teori Kartografi/ Geografi
Teori kartografi yang berkembang di Perancis, Inggris, Jerman. Teori ini
mulai berkembang pada tahun 1830-1880 M. Teori ini sering pula disebut
sebagai ajaran ekologis. Yang dipentingkan oleh ajaran ini adalah distribusi
kejahatan dalam daerah-daerah tertentu, baik secara geografis maupun secara
sosial. Menurut Made Darma Weda (1996:16) bahwa: “Teori ini kejahatan
merupakan perwujudan kondisi-kondisi sosial yang ada. Dengan kata lain
bahwa kejahatan itu muncul disebabkan karena faktor dari luar manusia itu
sendiri.”36
4. Teori Sosialis
Teori sosialis mulai berkembang pada tahun 1850 M. Para tokoh aliran ini
banyak dipengaruhi oleh tulisan dari Marx dan Engels, yang lebih
menekankan pada determinasi ekonomi.
36
Topo santoso dan Eva Achjani Zulfa, “Kriminologi”, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2010), h. 28
Page 31
21
Menurut para tokoh ajaran ini (Made Darma Weda 1996:16) bahwa
“kejahatan timbul disebabkan oleh adanya tekanan ekonomi yang tidak
seimbang dalam masyarakat.” Satjipto Rahardjo (A.S. Alam, 2010: 21)
berpendapat bahwa: “Kejahatan itu merupakan bayang-bayang manusia maka
dari itu makin tinggi peradaban manusia makin tinggi pula cara melakukan
kejahatan.”
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka untuk melawan kejahatan itu
haruslah diadakan peningkatan di bidang ekonomi. Dengan kata lain
kemakmuran, keseimbangan dan keadilan sosial akan mengurangi terjadinya
kejahatan. Ajaran ini menghubungkan kondisi kejahatan dengan kondisi
ekonomi yang dianggap memiliki hubungan sebab akibat. Walau demikian
ajaran ini dapat dikatakan bersifat ilmiah, sebab dimulai dengan sebuah
hipotesa dan kumpulan bahan-bahan nyata dan menggunakan cara yang
memungkinkan orang lain untuk mengulangi penyelidikan dan untuk menguji
kembali kesimpulan-kesimpulannya.37
5. Teori Tipologis
Di dalam kriminologi telah berkembang empat teori yang disebut dengan
teori tipologis atau bio-typologis. Ke empat aliran tersebut mempunyai
kesamaan pemikiran dan metodologi. Mereka mempunyai asumsi bahwa
terdapat perbedaan antara orang jahat dengan orang yang tidak jahat.
Keempat teori tipologis tersebut adalah sebagai berikut:38
a. Teori Lombroso/ Mazhab Antropologis
Teori ini dipelopori oleh Cesare Lombroso. Menurut Lombroso
(Made Darma Weda 1996:16-17) bahwa: “Kejahatan merupakan bakat
manusia yang dibawa sejak lahir (criminal is born). Selanjutnya ia
37
Topo santoso dan Eva Achjani Zulfa, “Kriminologi”, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2010), h. 29
38
Topo santoso dan Eva Achjani Zulfa, “Kriminologi”, h. 29
Page 32
22
mengatakan bahwa ciri khas seorang penjahat dapat dilihat dari keadaan
fisiknya yang mana sangat berbeda dengan manusia lainnya.”
Aliran Lombroso ini bertujuan untuk membantah aliran klasik dalam
persoalan determinasi melawan kebebasan kemauan dan kemudian
membantah teori Tarde tentang theory of imitation (Le lois de'l
imitation).
Teori Lombroso ini, dibantah oleh Goring dengan membuat
penelitian perbandingan. Hasil penelitiannya tersebut, Goring (Made
Darma Weda, 1996:18) menarik kesimpulan bahwa “Tidak ada tanda-
tanda jasmaniah untuk disebut sebagai tipe penjahat, demikian pula tidak
ada tanda-tanda rohaniah untuk menyatakan penjahat itu memiliki suatu
tipe”.39
Dengan demikian Goring dalam mencari kausa kejahatan kembali
pada faktor psikologis, sedangkan faktor lingkungan sangat kecil
pengaruhnya terhadap seseorang.
b. Teori Mental Tester
Teori mental Tester ini muncul setelah runtuhnya teori Lombroso.
Teori ini dalam metodologinya menggunakan tes mental untuk
membedakan penjahat dan bukan pejahat. Menurut Goddard (Made
Darma Weda, 1996:18) bahwa: “Setiap penjahat adalah orang yang
otaknya lemah, karena orang yang otaknya lemah tidak dapat menilai
perbuatannya, dan dengan demikian tidak dapat pula menilai akibat dari
perbuatannya tersebut atau menangkap serta menilai arti hukum”.40
Berdasarkan pendapat tersebut, teori ini memandang kelemahan otak
merupakan pembawaan sejak lahir dan merupakan penyebab orang
melakukan kejahatan.
39
Wiliater Pratomo R.S, “Tinjauan Kriminologis Terhadap Illegal Fishing yang Terjadi di
Kota Makassar,” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Makassar, 2014), h. 40
40
Wiliater Pratomo R.S, “Tinjauan Kriminologis Terhadap Illegal Fishing yang Terjadi di
Kota Makassar,” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Makassar, 2014), h. 41
Page 33
23
c. Teori Psikiatrik
Teori psikiatrik merupakan lanjutan teori-teori Lombroso dengan
melihat tanpa adanya perubahan pada ciri-ciri morfologi (Made Darma
Weda, 1996:19) bahwa:41
“Teori ini Iebih menekankan pada unsur psikologis, epilepsi dan
moral insanity sebagai sebab-sebab kejahatan.Teori psikiatrik ini,
memberikan arti penting kepada kekacauan kekacauan emosional, yang
dianggap timbul dalam interaksi sosial dan bukan karena pewarisan.
Pokok teori ini adalah organisasi tertentu dari pada kepribadian orang,
yang berkembang jauh terpisah dari pengaruh jahat, tetapi tetap akan
menghasilkan kelakuan jahat tanpa mengingat situasi situasi sosial”.
d. Teori Sosiologis
Dalam memberi kausa kejahatan, teori sosiologis merupakan aliran
yang sangat bervariasi. Analisis sebab-sebab kejahatan secara sosiologis
banyak dipengaruhi oleh teori kartografik dan sosialis.
Teori ini menafsirkan kejahatan (Made Darma Weda, 1996:19)
sebagai: Fungsi lingkungan sosial (crime as a function of social
environment). Pokok pangkal dengan ajaran ini adalah, bahwa kelakuan
jahat dihasilkan oleh proses-proses yang sama seperti kelakuan sosial.
Dengan demikian proses terjadinya tingkah laku jahat tidak berbeda
dengan tingkah laku lainnya termasuk tingkah laku yang baik. Orang
melakukan kejahatan disebabkan karena orang tersebut meniru keadaan
sekelilingnya.42
41
Wiliater Pratomo R.S, “Tinjauan Kriminologis Terhadap Illegal Fishing yang Terjadi di
Kota Makassar,” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Makassar, 2014), h. 41
42
Topo santoso dan Eva Achjani Zulfa, “Kriminologi”, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2010), h. 29
Page 34
24
6. Teori Lingkungan
Teori ini biasa juga disebut sebagai mazhab Perancis. Menurut Tarde
(Made Darma Weda, 1996:20):43
“Teori ini seseorang melakukan kejahatan
karena dipengaruhi oleh faktor di sekitarnya/ lingkungan, baik lingkungan
keluarga, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan termasuk dengan
pertahanan dengan dunia luar, serta penemuan teknologi.”
Masuknya barang-barang dari luar negeri seperti televisi, buku-buku serta
film dengan berbagai macam reklame sebagai promosinya ikut pula
menentukan tinggi rendahnya tingkat kejahatan.
7. Teori Biososiologi
Tokoh dari aliran ini adalah A. D. Prins, van Humel, D. Simons dan lain-
lain. Aliran biososiologi ini sebenarnya merupakan perpaduan dari aIiran
antropologi dan aliran sosiologis, oleh karena ajarannya didasarkan bahwa
tiap-tiap kejahatan itu timbul karena faktor individu seperti keadaan psikis
dan fisik dari si penjahat dan juga karena faktor lingkungan.
Menurut Made Darma Weda, (1996:20) bahwa: “Faktor individu itu dapat
meliputi sifat individu yang diperoleh sebagai warisan dari orang tuanya,
keadaan badaniah, kelamin, umur, intelek, temperamen, kesehatan, dan
minuman keras. Keadaan lingkungan yang mendorong seseorang melakukan
kejahatan itu meliputi keadaan alam (geografis dan klimatologis), keadaan
ekonomi, tingkat peradaban dan keadaan politik suatu negara misalnya
meningkatnya kejahatan menjelang pemilihan umum dan menghadapi sidang
MPR.44
43
Wiliater Pratomo R.S, “Tinjauan Kriminologis Terhadap Illegal Fishing yang Terjadi di
Kota Makassar,” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Makassar, 2014, h. 42
44
Wiliater Pratomo R.S, “Tinjauan Kriminologis Terhadap Illegal Fishing yang Terjadi di
Kota Makassar,” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Makassar, 2014, h.42
Page 35
25
8. Teori NKK
Teori NKK ini merupakan teori terbaru yang rnencoba menjelaskan sebab
terjadinya kejahatan di dalam masyarakat.Teori ini sering dipergunakan oleh
aparat kepolisian di dalam menanggulangi kejahatan di masyarakat.
Menurut A S. Alam (Kuliah Kriminologi, 13-11-1999) bahwa rumus teori
ini adalah: “N + K1 = K2, Keterangan: N = Niat, K1 = Kesempatan, K2 =
Kejahatan”. Menurut teori ini, sebab terjadinya kejahatan adalah karena
adanya niat dan kesempatan yang dipadukan. Jadi meskipun ada niat
tetapi tidak ada kesempatan, mustahil akan terjadi kejahatan, begitu pula
sebaliknya meskipun ada kesempatan tetapi tidak ada niat maka tidak
mungkin pula akan terjadi kejahatan.45
E. Peraturan Perundang-Undangan Perikanan
Hal yang penting yang diatur dalam Undang-undang No.45 Tahun 2009
tentang Perubahan Atas Undang-undang No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan
(UU PAUUP) ini adalah setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
pengelolaan perikanan diwajibkan mematuhi ketentuan yang menyangkut
konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan.46
Nampak bahwa UU PAUUP telah mengatur langkah-langkah konservasi dan
pengelolaan sumber daya ikan di perairan nasional yang cakupan pengaturannya
lebih luas daripada UU ZEEI sejalan dengan Konvensi Hukum Laut 1982, CCRF
(Code of Conduct for Responsible Fisheries) dan IPOA-IUU (International Plan
of Action to Deter, Prevent and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated
Fishing). Namun demikian Undang-undang tersebut belum melaksanakan
ketentuan-ketentuan Persetujuan PBB tentang Persediaan Ikan 1995 yang
45
Wiliater Pratomo R.S, “Tinjauan Kriminologis Terhadap Illegal Fishing yang Terjadi di
Kota Makassar,” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Makassar, 2014, h. 43
46
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Intrenasional dan Pengaturannya di Indonesia,
(Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 171-172.
Page 36
26
berkaitan dengan konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan di ZEE Indonesia
dan di laut lepas.47
Ketentuan dalam UU PAUUP yang mengimplementasikan Pasal 6 ayat 6
CCRF termuat dalam Pasal 9 ayat 1. Ketentuan pasal ini melarang setiap orang
memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan
dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak
keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik Indonesia. Suatu hal lain yang perlu dirumuskan oleh
Undang-undang perikanan ini adalah perihal larangan yang sama bagi kapal
perikanan Indonesia yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut lepas.48
Undang-undang positif mengidentifikasikan tindak pidana dalam bidang
perikanan sebagai berikut:49
1. Kejahatan
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan jo. Undang-
undang Nomor 45 Tahun 2009 mengidentifikasi tindak pidana di bidang
perikanan yang merupakan “kejahatan” sesuai Pasal 103 sebagai berikut:
a. Setiap orang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau
pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan
biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang
dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya
ikan dan/atau lingkungannya (Pasal 84 ayat (1)),50
47
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Intrenasional dan Pengaturannya di Indonesia, h.
171-172.
48Ibid, h. 173.
49Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), h. 83.
50Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 83.
Page 37
27
b. Nahkoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkap ikan, dan
anak buah kapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat
dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya
(Pasal 84 ayat (2)),51
c. Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan,
penanggungjawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal
perikanan yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat
dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya
(Pasal 84 ayat (3)),52
d. Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan
pembudidayaan ikan, dan/atau penanggungjawab perusahaan
pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan usaha
pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak,
alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya
(Pasal 84 ayat (4)),53
e. Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa,
dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu
51
Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 83
52Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 83.
53Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 83.
Page 38
28
penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan
sumber daya ikan di kapal penangkapan ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 (Pasal 85),54
f. Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan
pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya (Pasal 86 ayat (1)), membudidayakan ikan yang dapat
membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya
ikan dan/atau kesehatan manusia (Pasal 86 ayat (2)),
membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat
membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya
ikan dan/atau kesehatan manusia (Pasal 86 ayat (3)), menggunakan
obat-obatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan
sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau
kesehatan manusia (Pasal 86 ayat (4)),55
g. Setiap orang yang dengan sengaja memasukkan, mengeluarkan,
mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang
merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan,
dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia (Pasal 88),56
h. Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan bahan baku, bahan
tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang
54
Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 83.
55Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 83.
56Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 84
Page 39
29
membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam
melaksanakan penanganan dan pengelolaan ikan (Pasal 91),57
i. Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang
penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengelohan, dan
pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP (Pasal 92),58
j. Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di
wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan/atau di
laut lepas, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat 1 (Pasal 93 ayat (1)),59
k. Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di
ZEEI yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 ayat 2 (Pasal 93 ayat (2)),60
l. Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera
Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia, yang tidak membawa SIPI asli sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (3) (Pasal 93 ayat (3)),61
57
Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 84
58Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 84
59Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 84
60Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 84
61Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 84
Page 40
30
m. Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera
asing di ZEEI, yang tidak membawa SIPI asli sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (3) (Pasal 93 ayat (4)),62
n. Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang
terkait yang tidak memiliki SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan)
(Pasal 94),63
o. Setiap orang yang memalsukan dan/atau menggunakan SIUP, SIPI,
dan SIKPI palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28A (Pasal
94A).64
2. Pelanggaran
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Peikanan jo. Undang-
undang Nomor 45 Tahun 2009 mengidentifikasi tindak pidana yang
dikategorikan sebagai “pelanggaran” sesuai Pasal 103 adalah sebagai
berikut:65
a. Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan
sumber daya ikan (Pasal 87 ayat (1)), yang karena kelalaiannya di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia mengakibatkan
62
Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 84
63Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 84
64Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 85
65Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 85
Page 41
31
rusaknya plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan
(Pasal 87 ayat (2)),66
b. Setiap orang yang melakukan penanganan dan pengelolaan ikan yang
tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan
pengelolaan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan
(Pasal 89),67
c. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasukan atau
pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah
Republik Indonesia yang tidak dilengkapi sertifikat kesehatan untuk
konsumsi manusia (Pasal 90),68
d. Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal
perikanan yang tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu (Pasal
95),69
e. Setiap orang yang mengoperasikan kapal perikanan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak mendaftarkan
kapal perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia (Pasal 96),70
f. Nahkoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera
asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan, yang selama berada
di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak
menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka (Pasal 97 ayat (1))
yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat
66
Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 85
67Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 85
68Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 85
69Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 85
70Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 85
Page 42
32
penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI yang
membawa alat penangkapan ikan lainnya (Pasal 97 ayat (2)), yang
telah memiliki izin penangkapan ikan, yang tidak menyimpan alat
penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah
penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia (Pasal 97 ayat (3)),71
g. Nahkoda kapal perikanan yang tidak memiliki surat persetujuan
berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) (Pasal 98),72
h. Setiap orang asing yang melakukan penelitian perikanan di wilayah
pengelolaan Republik Indonesia yang tidak memiliki izin dari
pemerintah (Pasal 99),73
i. Setiap orang yang melanggar ketentuan yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) (Pasal 100), yaitu setiap orang yang
melakukan dan/atau kegiatan perikanan wajib mematuhi ketentuan:74
1) Jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkap ikan,
2) Jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan
ikan,
3) Daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan,
4) Persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan,
5) Sistem pemantauan kapal perikanan,
6) Jenis ikan baru yang akan dibudidayakan,
71
Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 85
72Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 86
73Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 86
74Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 86
Page 43
33
7) Jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan
berbasis budi daya,
8) Pembudidayaan ikan dan perlindungannya,
9) Pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta
lingkungannya,
10) Ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap,
11) Suaka perikanan,
12) Wabah dan wilayah wabah penyakit ikan,
13) Jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan
dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia, dan
14) Jenis ikan yang dilindungi.
UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan jo. UU No. 45 Tahun 2009
mencantumkan definisi atau konsep “perikanan” yang mengandung pengertian
luas. Dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan, bahwa:
“Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya
mulai dari praproduksi, produksi, pengelohan sampai dengan
pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan”.
Setelah konsep Illegal Fishing yang dibuat oleh lembaga yang
berwenang disinkronkan dengan konsep “perikanan” menurut Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Perikanan jo. Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009, maka dapat diketahui bahwa semua bentuk-
bentuk tindak pidana, baik yang merupakan “kejahatan” maupun
“pelanggaran” dalam Undang-Undang Perikanan dapat disebut sebagai
tindak pidana Illegal Fishing.75
75
Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 87-88.
Page 44
34
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG ILLEGAL FISHING
A. Pengertian Illegal Fishing
Dalam peraturan perundang-undangan tentang kelautan, terutama
menyangkut bidang perikanan, kategori tindak pidana dibedakan menjadi
“kejahatan” dan “pelanggaran”. Namun, baik dalam tindak kejahatan maupun
pelanggaran tidak terdapat istilah Illegal Fishing. Istilah ini terdapat dalam
penjelasan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, tetapi tidak diberikan
definisi maupun penjelasan lebih lanjut tentang apa itu Illegal Fishing.
Istilah Illegal Fishing populer dipakai oleh aparat penegak hukum dan
instansi terkait untuk menyebut tindak pidana di bidang perikanan, seperti dalam
acara “Laporan Singkat Rapat Kerja Komis III DPR RI dengan Kepolisian
Republik Indonesia (Bidang Hukum, Perundang-undangan, HAM dan
Keamanan)”. Pada salah satu pokok bahasannya menyebutkan bahwa Komisi III
DPR RI meminta penjelasan Kapolri tentang kebijakan atau langkah-langkah
yang telah dilakukan untuk memberantas perjudian, premanisme, narkotika,
Illegal logging, Illegal Fishing, dan Illegal minning serta memproses secara
hukum aparat Polri yang terlibat (tindak lanjut kesimpulan Rapat Kerja tanggal 10
Desember 2008). Dari sini dapat diketahui istilah Illegal Fishing juga digunakan
dalam acara resmi oleh lembaga negara.76
Illegal Fishing berasal dari kata Illegal yang berarti tidak sah atau tidak
resmi. Fishing merupakan kata benda yang berarti perikanan, dari kata fish dalam
bahasa Inggris yang berarti ikan, mengambil, merogoh, mengail, atau
memancing.77
76
Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), h. 79
77Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 80
Page 45
35
Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan
dan Perikanan, memberi batasan pada istilah Illegal Fishing, yaitu pengertian
Illegal, unreported, dan unregulated (IUU) fishing yang secara harfiah dapat
diartikan sebagai kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang
tidak diatur oleh peraturan yang ada, atau aktivitasnya tidak dilaporkan kepada
suatu institusi atau lembaga pengelola perikanan yang tersedia.78
Hal ini merujuk pada pengertian yang dikeluarkan oleh International Plan of
Action (IPOA) – Illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing yang diprakarsai
oleh FAO dalam konteks implementasi Code of Conduct for Responsible
Fisheries (CCRF). Pengertian Illegal Fishing dijelaskan sebagai berikut:
1. Kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh suatu negara tertentu atau
kapal asing di perairan yang bukan merupakan yurisdiksinya tanpa izin
dari negara yang memiliki yurisdiksi atau kegiatan penangkapan ikan
tersebut bertentangan dengan hukum dan peraturan negara itu.
2. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal perikanan
berbendera salah satu negara yang tergabung sebagai anggota organisasi
pengelolaan perikanan regional, Regional Fisheries Management
Organization (RFMO), tetapi pengoperasian kapal-kapalnya bertentangan
dengan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan perikanan yang
telah diadopsi RFMO. Negara RFMO wajib mengikuti aturan yang
ditetapkan itu atau aturan lain yang berakitan dengan hukum internasional.
3. Kegiatan penangkapan ikan yang bertentangan dengan perundang-
undangan suatu negara atau ketentuan internasional, termasuk aturan-
aturan yang ditetapkan negara anggota RFMO.79
78
Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 80
79Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 80-81
Page 46
36
B. Wilayah Perairan di Perbatasan Negara Indonesia
Indonesia sebagai negara Nusantara menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-
bangsa tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) yang telah diratifikasi dengan
Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 disebut sebagai negara kepulauan
(archipelagic state), memiliki laut yang menurut kelompok pengaturan hukum
(legal regime) dapat dibedakan atas:80
1. Perairan Pedalaman (internal water) adalah perairan yang terletak pada
sisi darat dari garis pangkal kepulauan, dan perairan yang ditutup oleh
garis-garis penutup pada perairan kepulauannya sesuai dengan ketentuan
Pasal 9, 10 dan 11 UNCLOS 1982 yang berlaku bagi mulut sungai, teluk
dan pelabuhan.
2. Perairan Kepulauan (archipelagic waters) adalah perairan yang terletak
disebelah dalam dari garis pangkal lurus kepulauan.
3. Laut Teritorial (territorial sea) adalah suatu jalur laut dengan lebar 12 mil
laut, diukur dari garis pangkal kepulauan. Yang artinya dengan garis
pangkal kepulauan dalam pengaturan sebagai berikut:
a. Garis pangkal biasa adalah berupa garis air terendah sepanjang pantai
pada waktu air sedang surut, yang mengikuti segala lekuk liku pantai.
Pada muara sungai, teluk yang lebarnya tidak lebih dari 24 mil laut, dan
pelabuhan, garis air rendah tersebut dapat ditarik suatu garis lurus.
b. Garis pangkal lurus adalah garis air terendah yang menghubungkan
titik-titik terluar dari pantai pulau-pulau suatu negara yang memiliki:
1) Garis pantai yang menjorok dan menikung jauh kedalam
2) Deretan/ gugusan pulau sepanjang pantai di dekatnya
3) Delta
80
Adi Susanto, Hubungan Antara Penegakan Hukum Perairan Indonesia dan Ketahanan
Nasional, Tesis Kajian Stratejik Ketahanan Nasional Universitas Indonesia, 2007.
Page 47
37
4) Kondisi alam lainnya menyebabkan garis pantai sangat tidak tetap,
maka titik-titik yang tepat dapat dipilih pada garis air rendah yang
paling jauh menjorok ke laut dan sekalipun garis air rendah
kemudian mundur, garis-garis pangkal lurus tersebut akan tetap
berlaku sampai dirubah oleh negara pantai sesuai dengan konvensi
ini.
5) Kepentingan khusus bagi negara tersebut, yang kenyataan dan
kepentingannya secara jelas dibuktikan oleh praktek yang telah
berlangsung lama.
c. Garis pangkal lurus kepulauan adalah berupa garis-garis air terendah
yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-pulau dan karang
kering terluar dari suatu negara kepulauan.
4. Zona tambahan adalah suatu jalur laut yang terletak di luar dan perbatasan
dengan laut teritorial, di mana negara memiliki yurisdiksi terbatas untuk
kepentingan bea-cukai, diskal, imigrasi dan saniter (karantina) dan lebar
maksimalnya 24 mil laut dari garis pangkal.
Apabila zona tambahan Indonesia tumpang tindih dengan zona
tambahan negara tetangga yang berhadapan atau berdampingan dengan
Indonesia sepanjang belum ada perjanjian antara Indonesia dengan negara
tetangga yang bersangkutan dan tidak terdapat keadaan-keadaan khusus
yang perlu dipertimbangkan, batas zona tambahan antara Indonesia dengan
negara tetangga tersebut ditetapkan berdasarkan garis tengah.
5. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah jalur laut yang terletak di luar dan
berdampingan dengan laut teritorial yang lebarnya 200 mil laut diukur dari
garis pangkal. Dari rumusan tersebut, dapat dirinci unsur-unsur pengertian
ZEE antara lain:
a. Bahwa ZEE adalah bagian laut yang terletak di luar laut teritorial
b. Keberadaannya di luar laut teritorial tidak diselingi oleh bagian laut
lain tetapi langsung berdampingan dengan laut teritorial sendiri
c. ZEE diatur oleh rezim khusus
Page 48
38
d. Disebut rezim hukum khusus karena pada ZEE oleh Kovensi
(UNCLOS 1982) hak-hak dan yurisdiksi negara pantai dan sekaligus
juga diakui adanya hak-hak serta kebebasan negara lain.
6. Landas Kontinen adalah dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di
luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya
hingga pinggiran luar tepian kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut
diukur dari garis pangkal kepulauan dalam hal pinggiran luar tepian
kontinen tidak mencapai jarak tersebut.
Mengingat sisi terluar dari wilayah negara atau yang dikenal dengan
Kawasan Perbatasan merupakan kawasan strategis dalam menjaga integritas
wilayah negara, maka diperlukan juga pengaturan secara khusus. Pengaturan
batas-batas wilayah negara dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum
mengenai ruang lingkup wilayah negara, kewenangan pengelolaan wilayah
negara, dan hak-hak berdaulat. Negara berkepentingan untuk ikut mengatur
pengelolaan dan pemanfaatan di laut bebas dan dasar laut internasional sesuai
dengan hukum internasional. Pemanfaatan di laut bebas dan di dasar laut meliputi
pengelolaan kekayaan alam, perlindungan lingkungan laut dan keselamatan
navigasi.81
Pengelolaan wilayah wegara dilakukan dengan pendekatan kesejahteraan,
keamanan dan kelestarian lingkungan secara bersama-sama. Pendekatan
kesejahteraan dalam arti upaya-upaya pengelolaan wilayah negara hendaknya
81
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara dalam Dimensi Hukum Internasional,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 136-137.
Page 49
39
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat yang tinggal di kawasan perbatasan. Pendekatan keamanan dalam arti
pengelolaan wilayah negara untuk menjamin keutuhan wilayah dan kedaulatan
negara serta perlindungan segenap bangsa.82
Peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting terkait
dengan pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan sesuai dengan prinsip otonomi
daerah dalam mengelola pembangunan kawasan perbatasan. Peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan wilayah negara telah diatur dalam berbagai
peraturan perundang-undangan, antara lain:
1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1971 tentang Perjanjian antara
Republik Indonesia dan Malaysia tentang Penetapan Garis Batas Laut
Wilayah kedua Negara di Selat Malaka,
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen
Indonesia,
3. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1973 tentang Perjanjian antara
Indonesia dan Australia Mengenai Garis-garis Batas Tertentu antara
Indonesia dan Papua New Guinea,
4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1973 tentang Perjanjian antara
Republik Indonesia dan Republik Singapura mengenai garis Batas Laut
Wilayah kedua Negara di Selat Singapura,
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia,
6. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Convention on the Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut),
7. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia,
8. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pengesahan Persetujuan
Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintahan Republik
82
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara dalam Dimensi Hukum Internasional, h.
137.
Page 50
40
Sosialis Vietnam tentang Penetapan Batas Landas Kontinen Tahun
2003,
9. Keputusan presiden nomor 89 tahun 1969 tentang Persetujuan Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia tentang
Penetapan Garis Batas Landas Kontinen Antara Kedua Negara,
10. Keputusan presiden nomor 42 tahun 1971 tentang Persetujuan Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Common Wealth
Australia tentang Penetapan Batas-Batas Dasar Laut Tertentu,
11. Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1972 tentang Persetujuan Antara
Pemerintah Republik Indonesia, Pemerintah Malaysia dan Pemerintah
Kerajaan Thailand tentang Penetapan Garis-garis Batas Landas
Kontinen Di Bagian Utara Selat Malaka,
12. Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1972 tentang Persetujuan Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Thailand
tentang Penetapan Suatu Garis Batas Landas Kontinen Di Bagian Utara
Selat Malaka dan Laut Andaman,
13. Keputusan Presiden Nomor 66 Tahun 1972 tentang Persetujuan
Bersama Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah
Commonwealth Australia tentang Penetapan Garis Batas Dasar Laut di
Daerah Laut Timor dan Laut Arafura,
14. Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 1974 tentang Persetujuan Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik India tentang
Penetapan Batas Landas Kontinen Antara Kedua Negara,
15. Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1977 tentang Persetujuan Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Thailand
tentang Penetapan Garis Batas Dasar Laut Antara Kedua Negara Di
Laut Andaman,
16. Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1977 tentang Persetujuan Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik India tentang
Garis Batas Landas Kontinen Tahun 1974 Antara Kedua Negara Di
Laut Andaman dan Samudera Hindia,
Page 51
41
17. Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1978 tentang Persetujuan
Bersama Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah
Republik India, dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang Penetapan
Titik Pertemuan Tiga Garis Batas dan Penetapan Garis Batas Ketiga
Negara Di Laut Andaman, dan
18. Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1982 tentang Persetujuan Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Papua Nugini tentang
Batas-Batas Maritim Antara Pemerintah RI dan Papua Nugini dan
Kerjasama tentang Masalah-masalah yang Bersangkutan Sebagai Hasil
Perundingan Antara Delegasi Pemerintah RI dan Delegasi Pemerintah
Papua Nugini.83
Dalam mengelola potensi laut, kiranya dapat dibedakan menjadi tiga jenis
laut yang penting bagi Indonesia, yaitu:
1. Laut yang merupakan “wilayah Indonesia” dan yang berada di bawah
“kedaulatan Indonesia”. Yang termasuk ke dalam katagori ini adalah
perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial,
2. Laut yang merupakan kewenangan Indonesia mempunyai hak-hak
berdaulat atas sumber daya alamnya serta kewenangan untuk mengatur
hal-hal tertentu, yaitu jalur tambahan, zona ekonomi eksklusif dan
landas kontinen serta,
3. Laut yang merupakan kepentingan Indonesia, di mana keterkaitan
Indonesia cukup erat walaupun Indonesia tidak mempunyai kedaulatan
kewilayahan atau pun kewenangan dan hak-hak berdaulat atas laut
tersebut. Yang termasuk ke dalam kategori ini adalah laut lepas dan
kawasan dasar laut internasional.84
83
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara dalam Dimensi Hukum Internasional, h.
137-139.
84Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia,
(Bandung: Refika Aditama, 2011), h.49-50
Page 52
42
C. Kepemilikan Sumber Daya Alam di Wilayah Perbatasan Negara
Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam
1. Kepemilikan Sumber Daya Alam di Wilayah Perbatasan Negara Menurut
Hukum Positif
Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai bagian dari sumber daya
alam yang dianugerahkan oleh Tuhan Maha Esa kepada Bangsa Indonesia,
merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh Negara yang perlu dijaga
kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,
baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang.85
Kekayaan nasional tersebut telah ditasbihkan dalam Konstitusi Negara
UUD 1945 untuk dipergunakan demi pencapaian sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Pasal 33 (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Bumi, air,
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Konsepsi hak
menguasai negara dalam hubungan dengan sumber daya alam sebagaimana
ditentukan dalam UUD 1945 tersebut ditegaskan kembali dalam Undang-
Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(yang lebih dikenal dengan UUPA).86
Dalam konteks ini maka hubungan antara negara dengan bumi, air, dan
ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah
hubungan menguasai, bukan hubungan memiliki.87
85
Andi Iqbal Burhanuddin, dkk, Membangun Sumber Daya Kelautan Indonesia, (Bogor:
IPB, 2013), h. 292
86Andi Iqbal Burhanuddin, dkk, Membangun Sumber Daya Kelautan Indonesia, h. 292
87Andi Iqbal Burhanuddin, dkk, Membangun Sumber Daya Kelautan Indonesia, h. 292
Page 53
43
2. Kepemilikan Sumber Daya Alam di Wilayah Perbatasan Negara Menurut
Hukum Islam
Allah menganugerahkan berbagai kenikmatan bagi manusia dengan
bertujuan untuk memuliakan mereka. Manusia dianjurkan untuk
mendayagunakannya jika ia memang seorang yang berakal dan berilmu:
Artinya: “Allahlah yang menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air
hujan dari langit. Kemudian dia mengeluarkan dengan air hujan itu
berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu, dan Dia telah
menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan
kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.
Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus-
menerus beredar (dalam orbitnya), dan telah menundukkan bagimu malam
dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari
segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung
nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghinggakannya, Sesungguhnya
manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)”.
(Q.S. Ibrahim: 32-34).
Di antara sumber daya alam yang diserahkan kepada manusia adalah
hewan, tumbuh-tumbuhan, kekayaan laut, kekayaan tambang, matahari
dan bulan.
Page 54
44
Status manusia mempunyai sifat yang khas, selaras dan sejalan dengan
konsep hak milik dalam Islam. Keseimbangan antara hal-hal berlawanan
yang terlalu dilebih-lebihkan sangat dijaga dan dipelihara dalam Islam.
Tidak hanya dengan mengakui hak milik pribadi, melalui peringatan-
peringatan moral, Islam juga menjamin pembagian kekayaan yang seluas-
luasnya dan paling bermanfaat melalui lembaga-lembaga yang
didirikannya.88
Atas seizin-Nya manusia memiliki kekuasaan untuk memiliki barang
dari Allah Swt. Artinya, ketentuan-ketentuan syara’ membatasi hak untuk
memiliki, memanfaatkan, mengembangkan dan dalam
pendistribusiannya.89
Sumber daya alam yang terdapat di laut yang penulis teliti merupakan
milik umum karena kekayaan di dalam laut yang jumlahnya tak terbatas.
Hasil pendapatannya merupakan milik bersama dan dapat dikelola oleh
negara, atau negara menggaji tim ahli dalam pengelolaannya.90
Karena barang tambang (kekayaan alam) yang jumlahnya tak terbatas
merupakan milik umum seluruh rakyat, maka negara tidak boleh
memberikan izin kepada perorangan atau perusahaan untuk memilikinya.
Demikian juga negara tidak boleh mengizinkan perorangan atau
perusahaan melakukan eksploitasi untuk menghidupi mereka. Negara
dalam hal ini wajib melakukan eksploitasi barang tambang (sumber alam)
tersebut mewakili kaum muslim. Kemudian hasilnya digunakan untuk
memelihara urusan-urusan mereka. Jadi, apapun yang dikeluarkan dari
88
M. Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007),
h. 66
89M. Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, h. 66
90M. Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, h. 99
Page 55
45
barang tambang (kekayaan alam) ditetapkan sebagai milik umum seluruh
rakyat.91
Harta milik umum dan milik negara92
pengelolaannya dilakukan oleh
negara, namun ada perbedaan antara kedua bentuk hak milik tersebut.
Harta yang termasuk milik umum pada dasarnya tidak boleh diberikan
negara kepada siapa pun, meskipun negara dapat membolehkan kepada
orang-orang untuk mengambil dan memanfaatkannya. Berbeda dengan hak
milik negara di mana negara berhak untuk memberikan harta tersebut
kepada siapa pun yang dikehendaki oleh negara sesuai dengan kebijakan
negara.93
Sebagai contoh: air, tambang garam, padang rumput, lapangan yang
merupakan milik umum, negara tidak boleh sama sekali memberikannya
kepada orang tertentu, meskipun semua orang boleh memanfaatkannya
secara bersama-sama sesuai dengan keperluannya. Berbeda dengan harta
kharaj yang merupakan milik negara, boleh diberikan kepada para petani
saja sedangkan yang lain tidak.94
D. Illegal Fishing di Perbatasan Wilayah Republik Indonesia
Berbagai bentuk kejahatan Illegal Fishing yang diidentifikasi dalam UU No.
31 Tahun 2004 tentang Perikanan jo. Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009,
91
M. Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, h. 101.
92Hak milik negara ialah sebagai harta hak seluruh umat yang pengelolaannya menjadi
wewenang kepala negara, di mana dia bisa memberikan sesuatu kepada sebagian umat, sesusi
dengan kebijakannya.
93M. Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), h.
114.
94M. Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, h. 115.
Page 56
46
dicantumkan beberapa pelaku terhadap tindak kejahatan maupun pelanggaran
tersebut. Para pelakunya antara lain:95
1. Setiap orang,
2. Nahkoda atau pemimpin kapal perikanan,
3. Ahli penangkapan ikan,
4. Anak buah kapal,
5. Pemilik kapal perikanan,
6. Pemilik perusahaan perikanan,
7. Penanggungjawab perusahaan perikanan,
8. Operator kapal perikanan,
9. Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan,
10. Kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan,
11. Penanggungjawab pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia.
Beberapa modus atau jenis kegiatan Illegal yang sering dilakukan oleh kapal
ikan Indonesia, antara lain: penangkapan ikan tanpa izin (Surat Izin Usaha
Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) maupun Surat Izin
Kapal Pengangkutan Ikan (SIKPI). Kegiatan ini memiliki izin tetapi melanggar
ketentuan sebagaimana ditetapkan (pelanggaran daerah penangkapan ikan,
pelanggaran alat tangkap, pelanggaran ketaatan berpangkalan), pemalsuan atau
manipulasi dokumen (dokumen pengadaan, registrasi, dan perizinan kapal),
transshipment96
di laut, tidak mengaktifkan transmitter (khusus bagi kapal yang
diwajibkan memasang transmitter), serta penangkapan ikan yang merusak
(destructive fishing) dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan
peledak, alat, cara, dan/atau bangunan yang membahayakan pelestarian sumber
95
Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), h. 89.
96pemindahan dari satu alat pengangakut ke alat pengangkut lain.
Page 57
47
daya ikan.97
Merujuk pada pengertian Illegal Fishing tersebut, secara umum dapat
diidentifikasi menjadi empat golongan yang merupakan Illegal Fishing yang
umum terjadi di Indonesia, yaitu:98
1. Penangkapan ikan tanpa izin,
2. Penangkapan ikan dengan menggunakan izin palsu,
3. Penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang,
4. Penangkapan ikan dengan jenis (spesies) yang tidak sesuai dengan izin
Unreported fishing, yaitu kegiatan penangkapan ikan yang:99
1. Tidak pernah dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar pada instansi
yang berwenang dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan
nasional,
2. Dilakukan di area yang menjadi kompetensi organisasi pengelolaan
perikanan regional, namun tidak pernah dilaporkan atau dilaporkan secara
tidak benar dan tidak sesuai dengan prosedur pelaporan dari organisasi
tersebut.
Kegiatan Unreported fishing yang umum terjadi di Indonesia:100
1. Penangkapan ikan yang tidak melaporkan hasil tangkapan yang
sesungguhnya atau pemalsuan data tangkapan,
2. Penangkapan ikan yang langsung dibawa ke negara lain (transshipment di
tengah laut).
Unreported fishing, yaitu kegiatan penangkapan ikan:101
97
Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), h. 81.
98Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 82.
99Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 82
100Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 82
Page 58
48
1. Pada suatu area atau stok ikan yang belum diterapkan ketentuan
pelestarian dan pengelolaan, dalam hal ini kegiatan penangkapan tersebut
dilaksanakan dengan cara yang tidak sesuai dengan tanggungjawab negara
untuk pelestarian dan pengelolaan sumber daya ikan sesuai hukum
internasional,
2. Pada area yang menjadi kewenangan organisasi pengelolaan perikanan
regional yang dilakukan oleh kapal tanpa kewarganegaraan atau yang
mengibarkan bendera suatu negara yang tidak menjadi anggota organisasi
tersebut, hal ini dilakukan dengan cara yang tidak sesuai atau bertentangan
dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan dari organisasi tersebut.
Kegiatan Unreported fishing di perairan Indonesia, antara lain masih
belum diaturnya:102
1. Mekanisme pencatatan data hasil tangkapan dari seluruh kegiatan
penangkapan ikan yang ada,
2. Wilayah perairan yang diperbolehkan dan dilarang,
3. Pengaturan aktivitas sport fishing, kegiatan penangkapan ikan yang
menggunakan modifikasi dari alat tangkap ikan yang dilarang.
Illegal Fishing sering terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia
adalah pencurian ikan oleh kapal-kapal asing yang berasal dari beberapa negara
tetangga (neighboring countries). Walaupun sulit untuk memetakan dan
mengestimasi tingkat Illegal Fishing yang terjadi di wilayah perairan Republik
Indonesia, namun dari hasil pengawasan yang dilakukan selama ini, (2005-2010)
dapat disimpulkan bahwa Illegal Fishing oleh kapal ikan asing sebagian besar
terjadi di ZEEI (exclusive economi zone) dan juga cukup banyak terjadi di
perairan kepulauan (archipelagic state). Pada umumnya, jenis alat tangkap yang
101
Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 82
102Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 82-83
Page 59
49
digunakan oleh kapal ikan asing di perairan Indonesia adalah alat-alat tangkap
produktif seperti purse seine103
dan trawl.104
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya Illegal Fishing di perairan
Indonesia tidak terlepas dari lingkungan strategis global terutama
kondisiperikanan di negara lain yang memiliki perbatasan laut, dan sistem
pengelolaan perikanan di Indonesia itu sendiri.105
Kementerian Kelautan dan Perikanan menemukan 12 kapal asing yang tengah
melakukan aktivitas penangkapan ikan secara ilegal (Illegal Fishing) di Wilayah
Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia. Kapal-kapal tersebut sempat terpantau
tengah berada di kawasan WPP 717 yang meliputi perairan Teluk Cendrawasih
dan Samudera Pasifik. Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti
menyebut 12 kapal asing yang telah melakukan aktivitas pencurian di sekitar Biak
Numfor itu telah kabur meninggalkan WPP Indonesia. Ada aktivitas Illegal
Fishing di WPP 717, terdapat kapal long line Taiwan, Jepang, dan Tiongkok
Kawasan Pengelolaan Perikanan (WPP) 717 berada di kawasan Teluk
Cendrawasih dan Samudra Pasifik. Wilayah ini berada di kawasan Maluku Utara,
Halmahera Utara, dan Halmahera Timur, lalu Samudra Pasifik meliputi kawasan
Provinsi Papua, dan Papua Barat, Biak Numfor, Sarmi, Nabire, Raja Ampat dan
Sorong.106
Pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan perlu dibarengi
103
Purse seine adalah alat penangkapan ikan yang berbentuk kantong dilengkapi dengan
cincin dan tali purse line yang terletak dibawah tali ris bawah berfungsi menyatukan bagian bawah
jaring sewaktu operasi dengan cara menarik tali purse line tersebut sehingga jaring membentuk
kantung
Trawl adalah suatu jaring kantong yang ditarik di belakang kapal menelusuri permukaan
dasar perairan untuk menangkap ikan, udang dan jenis demersal lainnya
104Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 111.
105Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, h. 111
106https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170726165157-12-230497/kkp-akan-
laporkan-12-kapal-asing-Illegal-fishing-ke-interpol/waktu akses: Kamis, 27/07/2017 04:24 WIB.
Page 60
50
dengan pengawasan yang optimal untuk memastikan pelaku usaha kelautan dan
perikanan mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Terlebih lagi beberapa wilayah perairan Indonesia, seperti Selat Malaka, Laut
Natuna, Laut Arafuru, dan Laut Utara Sulawesi, merupakan wilayah yang cukup
rawan terjadinya kegiatan Illegal Fishing oleh kapal ikan asing.107
107
Nunung Mahmudah, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), h. 113.
Page 61
51
BAB IV
FAKTOR TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN DI WILAYAH
PERBATASAN NEGARA
A. Faktor Tindak Pidana Pencurian Ikan di Wilayah Perbatasan Negara
faktor-faktor yang mempengaruhi penangkapan ikan di wilayah ZEEI adalah:
1. Faktor geografis
Kepulauan Indonesia yang terletak di antara dua benua dan dua samudra
dengan letak geografis. Laut Indonesia sangat luas dan terbuka, di sisi lain
kemampuan pengawasan khususnya armada pengawasan nasional (kapal
pengawas) masih sangat terbatas dibandingkan kebutuhan untuk
mengawasi daerah rawan. Luasnya wilayah laut yang menjadi yurisdiksi
Indonesia dan kenyataan masih sangat terbukanya ZEEI yang berbatasan
dengan laut lepas telah menjadi magnet penarik masuknya kapal-kapal
ikan asing maupun lokal untuk melakukan Illegal fishing.
2. Faktor Teknis
Dengan meningkatnya IPTEK penangkapan ikan, seperti penggunaan
Souer, untuk mengetahui lokasi ikan, diciptakannya jarring-jaring model
baru, dan digunakannya satelit untuk mengetahui lokasi ikan.
3. Faktor Ekonomi
Dengan adanya perkembangan sosial ekonomi telah mendorong manusia
untuk mengeksploitasi SDA, termasuk ikan untuk dijadikan komoditi
yang sangat potensial dalam menunjang pertumbuhan ekonomi.
Terjadinya overfishing (tangkap lebih) di negara-negara tetangga yang
kemudian mencari daerah tangkapan di Indonesia untuk memenuhi
kebutuhan produksi dan pemasarannya. Meskipun, beberapa stok ikan di
beberapa wilayah perairan (Pantai Utara Jawa, sebagian Selat Malaka,
Pantai Selatan Sulawesi, dan Selat Bali) telah mengalami overfishing.
Tetapi, masih cukup banyak wilayah laut Indonesia lainnya yang masih
memiliki sumberdaya ikan cukup besar, seperti Natuna dan ZEEI (Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia) di Laut Cina Selatan, Laut Arafura, Laut
Page 62
52
Sulawesi, ZEEI di Samudera Pasifik, ZEEI di Samudera Hindia, dan
wilayah laut perbatasan. Indonesia dengan potensi produksi lestari
(Maximum Sustainable Yield = MSY) ikan laut sebesar 6,5 juta ton/tahun
merupakan salah satu negara dengan potensi ikan laut terbesar di dunia.
MSY ikan laut dunia sekitar 90 juta ton/tahun (FAO, 2010). Artinya,
sekitar 7,2 persen ikan laut dunia terdapat di Indonesia. Sementara,
negara-negara yang selama ini melakukan pencurian ikan di wilayah laut
Indonesia (Thailand, Pilipina, Vietnam, Malaysia, RRC, dan Taiwan)
memiliki potensi sumberdaya ikan laut yang jauh lebih kecil ketimbang
yang dimiliki Indonesia.
4. Faktor Sosial
Usaha-Usaha penangkapan ikan laut sarat dengan aspek-aspek sosial,
sebab penangkapan ikan dilakukan oleh nelayan yang memiliki berbagai
tingkat kemampuan ekonomi, mulai dari nelayan-nelayan tradisional yang
memiliki modal kecil yang menangkap ikan untuk keperluan sehari-hari,
sampai pada nelayan-nelayan bertarap yang terletak digaris equator yang
beriklim tropis memiliki sumber daya ikan yang dicirikan oleh sifat
banyak jenis (multi species). Keadaan alam tersebut mempengaruhi musim
penangkapan ikan. Sistem dan mekanisme perizinan kapal ikan masih
diwarnai oleh praktik KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme), dan
Kebanyakan pengusaha penangkapan ikan Indonesia yang lebih senang
sebagai broker (menjual izin kepada pengusaha asing), tanpa memiliki
kapal ikan sendiri atau kalaupun memiliki kapal ikan, mereka tidak
bekerja cerdas, keras, dan serius seperti pengusaha negara-negara tetangga
itu.
Faktor-faktor illegal fishing di atas merupakan suatu faktor yang
berhubungan dengan kesempatan terjadinya kriminalitas yang dapat berupa
persiapan, pemberian, pendorongan, atau pendukung adanya suatu tindakan
criminal yang mempunyai perwujudan yang bermacam-macam, masalah ini
mempunyai aspek-aspek sosial ekonomi, yuridis, religious, dan politis.
Page 63
53
Kegiatan Illegal Fishing di WPP-RI telah mengakibatkan kerugian yang
besar bagi Indonesia. Overfising, overcapacity, ancaman terhadap kelestarian
sumber daya ikan, iklim usaha perikanan yang tidak kondusif, melemahnya daya
saing perusahaan dan termarjinalkannya nelayan merupakan dampak nyata dari
kegiatan IUU fishing. Kerugian lain yang tidak dapat di nilai secara materil
namun sangat terkait dengan harga diri bangsa, adalah rusaknya citra Indonesia
pada kancah International karena dianggap tidak mampu untuk mengelola
perikanannya dengan baik.
Untuk dapat mengetahui, kerugian materil yang diakibatkan oleh Illegal
fishing perlu ditetapkan angka asumsi dasar antara lain: diperkirakan jumlah kapal
asing dan eks asing yang melakukan IUU fishing sekitar 1000 kapal, ikan yang
dicuri dari kegiatan IUU fishing dan dibuang (discarded) sebesar 25% dari stok
(estimasi FAO, 2001). Dengan asumsi tersebut, jika MSY (maximum sustainable
yield = tangkapan lestari maksimum) ikan = 6,4 juta ton/th, maka yang hilang
dicuri dan dibuang sekitar 1,6 juta ton/tahun. Jika harga jual ikan di luar negeri
rata-rata 2 USD/Kg, maka kerugian per tahun bisa mencapai Rp 30 trilyun.108
B. Dampak Pemidanaan Pelaku Pencurian Ikan di Wilayah
Perbatasan Negara
Pemidanaan bagian terpenting dalam hukum pidana, karena
merupakan puncak dari seluruh proses mempertanggungjawabkan
seseorang yang telah bersalah melakukan tindak pidana. Hukum pidana
tanpa pemidanaan berarti menyatakan seseorang bersalah tanpa ada akibat
yang pasti terhadap kesalahannya tersebut.109
Pemidanaan merupakan salah satu sarana untuk menanggulangi
masalah sosial dalam mencapai tujuan, yaitu kesejahteraan masyarakat.
Di dalam sistem hukum pidana Islam, dua hal harus diperhatikan
108
http://mukhtar-api.blogspot.co.id/2011/05/illegal-fishing-di-indonesia.html, 18 Mei, 2011.
109
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana, 2006), hl. 125
Page 64
54
berkaitan dengan retributif (pembalasan) ini sebagai gambaran hukuman
had, yaitu: kerasnya hukuman, dan larangan setiap bentuk mediasi
berkenaan dengan hal ini, dengan kata lain hukuman ini wajib dijalankan
jika kejahatan terbukti.
Tujuan pembalasan selalu dikatakan berlawanan dengan tujuan
pencegahan. Sebaliknya, tujuan pencegahan pun dikatakan sebagai lawan
dari tujuan pembalasan. Kekurangan pada tujuan yang satu dipandang
menjadi kekuatan tujuan yang lainnya, padahal tidak selalu demikian.
Pemidanaan selalu dipandang bertujuan untuk membalas atau untuk
mencegah.110
Hukum Islam melindungi hak asasi manusia. Kalau hukum Islam
dibandingkan dengan pandangan atau pemikiran (hukum) Barat tentang
hak asasi manusia, akan kelihatan perbedaannya. Perbedaan itu terjadi
karena pemikiran (hukum) Barat memandang hak asasi manusia. Dengan
pemikiran itu manusia sangat dipentingkan. Sebaliknya, pandangan
hukum Islam yang bersifat teosentris, artinya berpusat pada Tuhan.
Manusia adalah penting, tetapi yang lebih utama adalah Allah, Allahlah
pusat segala sesuatu.111
Perbedaan yang mendasar antara konsep HAM dalam Islam dan
HAM dalam konsep Barat sebagaimana yang diterima oleh perangkat-
perangkat internasional. HAM dalam Islam didasarkan pada premis
bahwa aktivitas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Sedangkan dunia Barat, bagaimanapun, percaya bahwa pola tingkah laku
hanya ditentukan oleh hukum-hukum negara atau sejumlah otoritas yang
mencukupi untuk tercapainya aturan-aturan publik yang aman dan
110
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 130
111Mardani, Kejahatan Pencurian dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: CV Indhill Co,
2008), h. 85
Page 65
55
perdamaian semesta. Dengan kata lain, dari segi prosedurnya adalah guna
mempengaruhi kondisi batin manusia dari luar.112
Dasar-dasar HAM dalam Islam sudah ada dalam al-Qur’an, seperti:
hak persamaan, hak kebebasan, hak hidup, hak perlindungan, hak
kehormatan dan hak kepemilikan. Semua sudah diatur dalam al-Quran.
Salah satu bahasan yang terdapat penelitian ini ialah hak hidup,
perlindungan dan kehormatan yang di dalamnya terdapat juga hak
tahanan dan narapidana.
Di dalam Islam seseorang tidak boleh berlaku aniaya (zhalim) dan
sewenang-wenang terhadap orang lain. Salah satu bentuk kesewenang-
wenangan itu dilambangkan Tuhan dalam sosok pribadi Fir’aun dan
Namrud di Mesir. Fir’aun telah kejam terhadap kaum Bani Israil,
sedangkan Namrud telah bertindak terhadap Nabi Ibrahim. Sedangkan
terhadap orang-orang yang ditawan atau tahanan seperti sabda Nabi yang
artinya:113
“Dari Abu Musa Al-Asy’ari RA, dari Nabi SAW ia berkata:
“Beri makanlah orang yang kelaparan, dan kunjungilah orang yang sakit,
dan lepaskanlah orang yang tertahan”. (H.R. Bukhari)
Dampak adalah suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat suatu aktivitas.
Dampak dapat bersifat negatif maupun positif. Berhubungan dengan Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang memiliki sanksi pidana
denda yang sangat berat dibandingkan dengan ketentuan pidana yang lain,
ternyata belum memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan Illegal Fishing.
Ancaman hukuman penjara yang paling berat 6 (enam) tahun bagi pelaku yang
melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki atau membawa SIPI (Surat Ijin
Penangkapan Ikan) dan paling berat 7 (tujuh) tahun bagi yang melakukan
pemalsuan dan memakai ijin palsu berupa SIUP, SIPI, SIKPI. Pidana denda yang
112
Ahmad Kosasi, HAM dalam Perspektif Islam Menyingkap dalam Persamaan dan
Perbedaan antara Islam dan Barat, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), h. 36
113Ahmad Kosasi, HAM dalam Perspektif Islam Menyingkap dalam Persamaan dan
Perbedaan antara Islam dan Barat, h. 80
Page 66
56
paling banyak Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah). Sanksi dalam
Undang-undang ini tidak mengatur sanksi paling rendah atau minimum sehingga
seringkali sanksi pidana yang dijatuhkan tidak memberi efek jera kepada pelaku.
Dampak kebijakan penenggelaman kapal tidak mempengaruhi terhadap hak
asasi manusia tetapi memiliki dampak negatif bagi ekosistem laut. Karena
bangkai kapal yang ditenggelamkan akan mencemari lingkungan laut dan
mengakibatkan rusaknya terumbu karang, selain itu limbah bahan bakar dan
bangkai kapal yang terbuat dari plastik akan menyebabkan pencemaran pada air
laut. Penenggelaman atau pembakaran kapal juga dapat mengurangi keindahan
pantai karena keberadaan tumpukan kerangka kapal. Imbas lainnya adalah
ekosistem laut menjadi terganggu akibat banyak benda asing di perairan yang
mengganggu kehidupan ikan.
Jenis-jenis sanksi sebagaimana dikemukakan di atas seperti hukuman
penjara, denda dan penenggelaman serta pembakaran bagi pelaku Illegal Fishing
menurut penulis itu lebih efektif untuk mencegah dan memberi efek jera kepada
para nelayan asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia.
Page 67
57
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian bab satu sampai bab empat penulis menyimpulkan
bahwa:
1. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana Illegal fishing
ialah:
a. Faktor Ekonomi, Sebagaimana telah dikemukakan bahwa
kemiskinan dapat menimbulkan kejahatan/ pemberontakan.
Demikian pula Illegal fishing, alasan pokok yang dikemukakan oleh
pelaku adalah karena faktor ekonomi. Pelaku yang melakukan Illegal
fishing karena tidak memiliki pekerjaan atau karena hidup mereka
bergantung pada hasil penangkapan ikan mereka, sedangkan
keluarga mereka memerlukan berbagai kebutuhan hidup. Oleh
karena itu melakukan Illegal fishing menjadi alternatif mereka untuk
kelangsungan hidup mereka. Kondisi ekonomi Indonesia yang tak
menentu membuat tuntutan hidup juga semakin besar serta
penyediaan lapangan kerja yang kurang menyebabkan tuntutan hidup
masyarakat juga ikut bertambah sehingga mereka membutuhkan
penghasilan yang besar pula untuk menopang perekonomian
individu agar bisa hidup layak.
b. Faktor Pengetahuan, faktor rendahnya pengetahuan nelayan (WNI)
juga mendorong terjadinya Illegal fishing. Nelayan (WNI)
cenderung tidak mengetahui larangan Illegal fishing terutama
penggunaan bahan peledak. Nelayan kurang mengetahui dampak
penggunaan bahan peledak yang dapat menyebabkan kerusakan
lingkungan laut.
c. Faktor pendidikan, tingkat pendidikan seseorang dapat
mempengaruhi tindakan mereka untuk melakukan suatu tindak
Page 68
58
kejahatan. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi,
dalam bertindak dan berperilaku cenderung berpikir dengan
menggunakan kerangka pikir yang baik dan sistematis sehingga
segala perbuatannya cenderung dapat dipertanggungjawabkan, lain
halnya dengan orang yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah
dalam melakukan tindakan terkadang berpikiran sempit.
d. Faktor geografis, laut Indonesia sangat luas dan terbuka. Luasnya
wilayah laut yang menjadi yurisdiksi Indonesia dan kenyataan
masih sangat terbukanya ZEEI yang berbatasan dengan laut lepas,
dan itu telah menjadi magnet penarik masuknya kapal-kapal asing
maupun lokal untuk melakukan Illegal fishing.
e. Faktor sosial, persepsi dan langkah kerja sama aparat penegak
hukum dalam penanganan kasus Illegal fishing masih belum solid.
2. Dampak pemidanaan bagi pelaku Illegal Fishing dari hukuman penjara
dan denda dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 belum
mengatur sanksi paling rendah atau minimum sehingga seringkali sanksi
pidana yang dijatuhkan tidak memberi efek jera kepada pelaku Illegal
fishing. Dampak daripada penenggelaman serta pembakaran kapal, lebih
memberikan efek jera karena dengan hal itu pelaku tidak dapat
mengulanginya, kapal sebagai alat utamanya telah ditenggelamkan dan
dibakar oleh petugas yang berwenang. Akan tetapi dampak pemidanaan
ini berakibat buruk bagi ekosistem laut, bangkai kapal bangkai yang
ditenggelamkan akan mencemari lingkungan laut dan mengakibatkan
rusaknya terumbu karang, selain itu juga dapat mengurangi keindahan
pantai karena tumpukan kerangka kapal.
Page 69
59
B. Saran
Dalam memberikan dan melaksanakan pidana bagi pelaku Illegal Fishing
yang berupa penenggelaman dan pembakaran kapal lebih diperhatikan lagi, agar
saat penenggelaman dan pembakaran kapal di wilayah perairan tidak
membahayakan dan mencemarkan kerusakan ekosistem laut.
Agar tidak banyak tindakan Illegal Fishing di perairan Negara Indonesia dari
kapal negara asing pengawas kelautan dan perikanan harus lebih ditegaskan dan
diperketat dalam penugasannya dalam mengawasi perairan di wilayah Negara
Indonesia.
Page 70
60
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami, Beirut: Mu’assasah Al-
Risalah, 1992, jilid II,
Ahmad Kosasi, HAM dalam Perspektif Islam Menyingkap dalam Persamaan dan
Perbedaan antara Islam dan Barat, Jakarta: Salemba Diniyah, 2003
Bassar, Sudradjat. Tindak-tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana. Bandung: Remadja Karya CV, 1986.
Burhanuddin, Andi Iqbal, dkk. Membangun Sumber Daya Kelautan Indonesia.
Bogor: IPB, 2013.
Gunadi, Ismu dan Jonaedi Efendi. Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana.
Jakarta: Kencana, 2014.
Hadiwijoyo, Suryo Sakti. Perbatasan Negara dalam Dimensi Hukum
Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011.
Hijriyatmoko, Rohman Nur. “Sanksi Bagi Pelaku Illegal Fsishing Perspektif
Undang – undang Perikanan dan Hukum Islam”. Skripsi S1 Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, 2012.
Huda Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: Kencana, 2006
Irfan, M. Nurul, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah, 2012.
Mahmudah, Nunung, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di
Wilayah Perairan Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2015.
Maramis, Frans. Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2012.
Mardani, Kejahatan Pencurian dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: CV Indhill
Co, 2008.
Page 71
61
Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Muta’ali, Lutfi dkk. Pengelolaan Wilayah Perbatasan NKRI. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2014.
Novita, Tiara, Dampak Ekonomi Politik Kebijakan Penenggelama Kapal di
Indonesia, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Lampung, Bandar Lampung, 2017), h. 21.
Pratomo R.S, Wiliater, “Tinjauan Kriminologis Terhadap Illegal Fishing yang
Terjadi di Kota Makassar,” Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas
Hasanuddin Makassar, 2014.
R. Asep Maulana. “Illegal Fishing Perspektif Hukum Islam”. Skripsi S1 Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, 2009.
Rizki, Muhamad Gerry. KUHP dan KUHAP. Jakarta: Permata Press, 2008.
Santoso, Topo dan Eva Achjani Zulfa. “Kriminologi”. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2010.
Sciencebiology-um.blogspot.co.id/2015/10/dampak-kebijakan-penenggelaman-
kapal.html?m=1. Diakses pada tanggal 19/10/2015
Sholahuddin, M. Asas-asas Ekonomi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2007.
Sodik, Mohamad Dikdik. Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di
Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2011.
Sumardjo, Maria S.W, dkk. Pengaturan Sumber Daya Alam di Indonesia antara
yang Tersurat dan Tersirat. Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, 2014.
Susanto, Adi. Hubungan Antara Penegakan Hukum Perairan Indonesia dan
Ketahanan Nasional. Tesis S2 Kajian Stratejik Ketahanan Nasional
Universitas Indonesia, 2007.
Page 72
62
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam Penerapan Syariat Islam dalam
Konteks Modernitas, Bandung: Asy Syamil dan Grafika, 2001
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
http://mukhtar-api.blogspot.co.id/2012/11/dampak-negatif-iuu-fishing-
terhadap.html) 17 November, 2012
http://www.fali.unsri.ac.id/index.php/posting/41/10 Agustus 2011, 12:34
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170726165157-12-230497/kkp-akan-
laporkan-12-kapal-asing-illegal-fishing-ke-interpol/waktu akses: Kamis,
27/07/2017 04:24 WIB.
http://mukhtar-api.blogspot.co.id/2011/05/illegal-fishing-di-indonesia.html, 18
Mei, 2011.
Page 73
63
LAMPIRAN
ISTILAH-ISTILAH
WALHI : Wahana Lingkungan Hidup
UNCLOS : united nations convention on the law of the sea
(Konvensi Hukum Laut atau Hukum Perjanjian Laut)
IUU : Illegal, Unreported and Unregulated
ZEEI : Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
PHK : Pemutusan Hubungan Kerja
KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
UU PAUUP : Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang
Perikanan
CCRF : Code of Conduct for Responsible Fisheries (Tatalaksana
untuk Perikanan yang Bertanggungjawab)
IPOA-IUU : International Plan of Action to Deter, Prevent and
Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing
(Rencana Aksi Internasional untuk Mnecegah,
Menghilangkan, dan Menghilangkan Perikanan yang
Tidak Sah, Tidak Dilaporkan dan Tidak Teraturasi)
RFMO : Regional Fisheries Management Organization
(Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional)
UUPA : Undang-Undang Peraturan Agraria
SIUP : Surat Izin Usaha Perikanan
SIKPI : Surat Izin Kapal Pengangkutan Ikan
SIPI : Surat Izin Penangkapan Ikan
Page 74
64
ABK : Anak Buah Kapal
WPP : Wilayah Pengelolaan Perikanan
KKP : Kementerian Kelautan dan Perikanan
IPTEK : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi