Page 1
TINAJUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HONOR NADZIR WAKAF
DAN AMIL ZAKAT
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
YAYAH RODIYAH
NIM: 11140460000111
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2018 M/1440 H
Page 5
i
ABSTRAK
Yayah Rodiyah. NIM 11140460000111. TINJAUAN HUKUM ISLAM
TERHADAP HONOR NADZIR WAKAF DAN AMIL ZAKAT. Program Studi
Hukum Ekonomi Islam (Muamalat), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/ 2018 M.Ix 116+10 lampiran.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan tinjauan Hukum Islam terhadap upah
nadzir wakaf dan amil zakat dan praktek pengupahan nadzir wakaf dan amil zakat
dalam pengelolaannya. Dalam Hukum Islam penjelasan upah atau bagian amil zakat
diatur secara tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah, sementara untuk upah nadzir wakaf
sendiri tidak diatur secara tegas dalam al-Qur’an dan Sunnah, karena itu upah dalam
hal ini bersifat “ijtihadi” dan terbuka untuk ditafsirkan sesuai dengan kondisi. Karena
itu dalam Pasal 12 UU No 41 tahun 2004 seorang nadzir mendapatkan upah dari hasil
bersih pengelolaan harta wakaf tidak lebih dari 10%, sedangkan dalam UU No 23
Tahun 2011 amil mendapatkan upah/bagian tertentu dari zakat yang dapat
dimanfaatkan untuk biaya operasional dalam pengelolaan zakat sesuai dengan syariat
Islam dengan mempertimbangkan aspek produktivitas, efektifvitas, dan efisiensi
dalam Pengelolaan zakat. Pada prakteknya tidak semua nadzir dan amil dalam
operasionalnya mendapatkan upah berdasarkan aturan tersebut karena bersifat
kondisional dan ijtihadi.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, mempunyai jenis
penelitian hukum normatif dan studi pustaka (Library Research) dengan melakukan
pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan kitab-kitab fikih
yang berkaitan dengan judul skripsi.
Hasil penelitian ini menunjukan pertama, upah nadzir wakaf dan amil zakat
jika dilihat dari tinjauan Hukum Islam digaji dari hasil pengelolaannya atau investasi
dari harta wakaf, nadzir mendapatkan gaji dari pekerjaan yang melekat sesuai dengan
kapasitas dan kinerjanya sebagai nadzir, amil baik kaya maupun miskin ia tetap
medapatkan upahnya dari fundrising karena amil mempunyai hak tersebut dan bagian
tersebut dikategorikan sebagai upah atas kerja keras yang dilakukan. Kedua, Praktek
pengupahan nadzir wakaf dan amil zakat diberikan menurut upah/gaji bulanan
ataupun presentase.
Kata Kunci : Upah, Honor, Nadzir, Amil, Wakaf, Zakat.
Pembimbing : Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, MA
Daftar Pustaka : 1995 s.d. 2018
Page 6
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala karena
limpahan berkah dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP UPAH NADZIR
WAKAF DAN AMIL ZAKAT”. Shalawat serta salam senantiasa kita sampaikan
kepada junjungan alam semesta Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wasallam,
yang telah membawa umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang
benderang ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini dapat
diselesaikan melalui proses yang panjang, mulai dari bangku kuliah, penelitian,
hingga penyusunan sampai terbentuk seperti sekarang ini. Penulis juga menyadari
bahwa skripsi ini dapat terselesaikan karena banyaknya pihak yang turut serta
membantu, membimbing, memberikan petunjuk, saran serta motivasi. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan yang
setinggi-tingginya dan ucapan rasa terimaksih yang sedalam-dalamnya, kepada
yang terhormat :
1. Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus Pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta kesabaran dalam
membimbing, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini
dengan tepat waktu.
2. A.M. Hasan Ali, M.A. Ketua Program Studi Hukum Ekonomi Syariah dan
Dr. Abdurrauf, Lc, M.A. Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berkontribusi dari
proses perkuliahan hingga dalam pembuatan skripsi ini.
3. Nurul Handayani, M.Pd. sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang
selalu membimbing dan mengarahkan penulis kearah yang lebih baik.
4. Dosen penguji seminar proposal peneliti yang telah memberikan arahan
dan masukan yang bermanfaat sehingga peneliti bisa mengembangkan dan
menyelesaikan skripsi ini hingga selesai.
5. Segenap Dosen yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus
dan ikhlas, beserta seluruh staff dan karyawan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga Allah Subhanahu wa
Ta’ala senantiasa membalas jasa-jasa beliau-beliau serta menjadikan
semua kebaikan ini sebagai amal jariyah untuk beliau semua.
Page 7
6. Kepala dan staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Kepala dan Sraff Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah menyediakan fasilitas yang memadai
untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
7. Kedua orang tua tercinta yaitu Ayahanda dan Ibunda, Bapak Musa dan Ibu
Komariyah yang luar biasa sabar dalam membimbing untuk menggapai
semua cita-cita saya, dan mendidik dari masih dalam kandungan hingga
dapat meraih gelar S1 dan akan berlanjut dalam pendidikan saya
selanjutnya.
8. Segenap Keluarga Besar dari pihak Bapak maupun Ibunda, adik-adik
tercinta beserta saudara-saudari saya terkhusus kepada Jamalulel,
Najmuddin, Badriyah, Nursyamsiyah, Hasan, Husen, Syamsul Ma’arif
serta semua yang telah memberikan dukungan hingga dapat memotivasi.
9. Segenap Keluarga Besar Yayasan Permata Ar-Ridha Terkhusus untuk
Ayahanda Drs. H. Bahron Fathin, M.A, dan Ibu Nadziroh Hasan, S.Ag
beserta saudara-saudari santri Ar-Ridha yang telah memberikan dukungan
dan motivasi terhadap penulis.
10. Seluruh teman-teman Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya angkatan 2014 yang
telah menemani waktu luang dan memberikan ilmu pengetahuan yang
bermanfaat selama kuliah.
11. Tak lupa pula kepada Ka Muhammad Nasrullah, Ka Mun’im, dan Ka Irfan
Fathoni, Ka Abel, Ka Galuh, Ka Nadia, Khumaeroh yang senantiasa
membimbing dan dan memberikan dukungan serta motivasi dalam proses
penyelesaian skripsi ini.
12. Seluruh sahabat-sahabati PMII Komfaksyahum, PC PMII Ciputat, DPP
PM, Keluarga Besar PMII Muamalat, teman-teman Sharia Business
Intelligence, Forsilawan-Forsilawati Forsila BPC Jakarta Raya, teman-
teman KKN Imagine, terimakasih untuk kontribusi dan dedikasinya. Dan
semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah
berkenan memberikan bantuan kepada penulis.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis
dan umumnya bagi pembaca. Sekian terimakasih.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Jakarta, 28 Oktober 2018
Penulis
Page 9
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK………………………………………………………………. i
KATA PENGANTAR…………………………………………………. ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………. iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………… 1
B. Identifikasi Masalah………………………………………. 7
C. Batasan dan Rumusan Masalah…………..……………….. 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………. 7
E. Metode dan Desain Penelitian……………………………. 8
F. Tinjauan Review Kajian Terdahulu………………………. 11
G. Kerangka Teori dan Konseptual………………………….. 12
H. Sistematika Penulisan…………………………………….. 15
BAB II LANDASAN TEORI
A. Teori Upah………………………………………………… 16
1. Pengertian Upah………………………………………. 16
2. Dasar Fiqih, Hadits dan Al-Qur’an dalam Pengupahan.. 20
3. Upah dalam Urusan Agama…………………………… 22
4. Macam-Macam Upah………………………………….. 28
5. Rukun dan Syarat Upah………………………………… 28
6. Pembatalan Dan Berakhirnya Upah (Ijarah)……………. 30
7. Prinsip-Prinsip Upah……………………………………. 31
8. Upah dalam Konteks Nasional…………………………. 35
9. Standarisasi Pengupahan………………………………… 38
B. Kajian Teoritis Tentang Amil Zakat………………………. 39
Page 10
v
1. Pengertian Amil………………………………………… 39
2. Dasar Hukum Amil…………………………………….. 40
3. Kewajiban dan Hak Amil……………………………… 41
C. Kajian Teoritis Tentang Nadzir Wakaf……………………. 43
1. Pengertian Nadzir……………………………………… 43
2. Hak dan Kewajiban Nadzir……………………………. 44
D. Mustahik Zakat Dan Wakaf…………..…………………… 46
BAB III SEJARAH PENGUPAHAN NADZIR WAKAF DAN AMIL
ZAKAT
A. Sejarah Pengupahan Nadzir Wakaf……………………….. 55
1. Masa Rasulullah………………………………………… 55
2. Masa Khulafaur Rasyidin…………..………………….. 59
3. Masa Thabi’in…………………………………………..60
B. Upah Nadzir Di Beberapa Negara Islam…………………. 62
1. Kuwait………………………………………………… 62
2. Mesir…………………………………………………... 66
3. Brunei Darussalam……………………………………. 68
C. Upah Amil Di Beberapa Negara Islam……………………. 70
1. Kuwait…………………………………………………. 70
2. Mesir………………………………………………….. 72
3. Brunei Darussalam……………………………………. 74
BAB IV PANDANGAN ULAMA TENTANG UPAH NADZIR WAKAF
DAN AMIL ZAKAT
A. Larangan Bagi Upah Nadzir Wakaf dan Amil Zakat……… 79
1. Penentuan Upah Oleh Wakif…………………………. 79
2. Penetuan Upah Oleh Hakim………………………..….80
B. Kebolehan Bagi Upah Nadzir Wakaf dan Amil Zakat……. 83
1. Kebolehan Upah Bagi Nadzir Wakaf…………….…… 84
2. Kebolehan Upah Bagi Amil Zakat……………………. 92
Page 11
vi
C. Alasan dari Kebolehan dan Larangan Upah Nadzir Wakaf dan
Amil Zakat………………………………………………… 95
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN…………………………………………… 105
B. SARAN…………………………………………………… 107
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Page 12
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persoalan perwakafan nasional belakangan menjadi perbincangan yang
sangat menarik. Berawal dari krisis moneter pada tahun 1997 dan berkembangnya
isu-isu ekonomi syariah pada saat itu, Indonesia mulai menyadari urgensinya
pengembangan lembaga yang bergerak di bidang sosial keagamaan seperti halnya
zakat dan wakaf.1 Dari situlah lahir undang-undang tentang pengelolaan zakat
yang disempunakan pada tahun 2011 dan Undang-Undang Wakaf tahun 2004,
pada tahun 2006 lahirlah Peraturan Pemerintah tentang pelaksaan wakaf,
kemudian terdapat perubahan beberapa pasal sebagaimana yang tercantum dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2018 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Zakat secara bahasa mempunyai beberapa arti yaitu al-barakatu „
keberkahan‟, al-namaa „pertumbuhan dan perkembangan‟, ath-thaharu
„kesucian‟, dan ash-shalahu „keberesan‟. Sedangkan secara istilah, meskipun para
ulama berbeda redaksi dalam mengemukakannya namun pada prinsipnya sama
yaitu zakat merupakan bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, dimana
Allah mewajibkan kepada pemiliknya untuk diserahkan kepada yang berhak
menerimanya sesuai dengan persyaratannya.2 Zakat termasuk rukun islam ketiga
dan merupakan bagian dari ibadah maliyah yang dilakukan untuk mensucikan
jiwa dan harta, pelaksaan zakat dimulai ketika masuk waktu bulan ramadhan
sampai terbitnya fajar sebelum pelaksanaan sholat Idul Fitri. Sedangkan wakaf
merupakan salah satu instrument ekonomi islam yang bertujuan untuk
merealisasikan keadilan social, salah satu amal jariyah yang tidak akan pernah
terputus pahalanya.
1 Sutami, “Perkembangan Wakaf Produktif Di Indonesia”, Al-Awqaf, V, 2,(Juli, 2012), h.
14 2 Didin Hafidhuddin, “Zakat Dalam Perekonomian Modern”, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2002), h.7
Page 13
2
Adapun pendirian Badan Amil Zakat (BAZ) dilatar belakangi oleh kondisi
nasional dimana semua komponen bangsa dituntut untuk berpartisipasi dalam
pembangunan perekonomian terlebih lagi umat islam merupakan komponen
dominan dan potensial dalam pembangunan tersebut. Jika melihat sejarah pada
masa nabi Muhammad SAW, Khulafaur Rasyidin, Dinasti Umayah dan
Abbasiyah. Pada masa itu pemberdayaan perekonomian melalui tiga komponen
pranata perekonomian yaitu zakat, infak, dan shadaqah cukup efektif. Hal itu
terjadi karena bayt al-mal pada saat itu berjalan sesuai dengan tuntunan Nabi
Muhammad SAW. Namun dewasa ini ternyata bayt al-mal tersebut tidak tampak
dengan jelas, sehingga pranata perekonomian tersebut tidak dapat diaplikasikan.
Beranjak dari keresahann itulah munculnya BAZIS untuk membangkitkan
kembali semangat bayt al- mal yang pernah memobilisasi dana umat pada
zamannya.3 Adapun dalam pengumpulan dana zakat akan dapat dioptimalkan
dengan keberadaan dua lembaga zakat yaitu BAZ dan LAZ sebagai lembaga yang
profesional dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, serta
pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.4 Dalam
pedayagunaan zakat dan pelaksanaan pengelolaan zakat amil diberikan
pembekalan dan pembinaan guna memproduktifkan zakat bukan hanya yang
bersifat konsumtif namun juga produktif .
Dalam hal pendistribusian zakat hanya terdapat delapan golongan
(ashnaf) yang menerimanya seperti firman Allah dalam Surat At-Taubah ayat 60
3 H.A. Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat Sebuah
Pengenalan Ed.1., Cet.1, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), h. 37-38. 4 Kutbuddin Aibak, Pengelolaan Zakat Dalam Perspektif Maqashid Al-Syariah (Studi
Kasus di Badan Amil Zakat Kabupaten Tulungagung), (Yogyakarta: Editie Pustaka, 2016), h. 47
Page 14
3
Artinya :
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengelola zakat para mu‟allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-
orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan
Allah; dan Allah Maha mengetahui dan Maha Bijaksana”.
Sebagaimana firman Allah diatas, amil zakat merupakan mustahik zakat
yang menerima 1/8 bagian dari hasil zakat yang berarti 12,5%, dan menurut
sebagian ulama jumlah tersebut bersifat maksimal, sehingga apabila pekerjaanya
berat dan memerlukan biaya administrasi yang cukup besar melebihi 12,5% dari
harta zakat, maka diperlukan tambahan dana dari sumber lain (bukan dari zakat).
Namun, sebagian ulama membolehkan jika bagiannya melebihi 12,5% jika
memang sangat diperlukan dan tidak ada dana dari sumber lain; dengan catatan
tidak mengganggu hak mustahik lainnya terutama hak fakir miskin. Menurut
Yusuf Qardhawi bahwasanya pendapat pertama (maksimal 12,5%) adalah
pendapat yang dianggap paling tepat demi menjaga kepentingan mustahik
lainnya.5 Kemudian diperkuat juga dalam UU No 23 Tahun 2011 yang berbunyi
Bab IV
Pasal 30
“Untuk melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibiayai dengan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara dan Hak Amil”
Wakaf merupakan perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah
atau kesejahteraan umum menurut syariah.6 Wakaf sendiri merupakan instrument
ekonomi yang mempunyai nilai kebajikan (birr), kebaikan (ihsan) dan
5 Didin Hafidhuddin, Panduan Praktis Tentang Zakat, Infak Dan Sedekah, Cet. Ketujuh
(Jakarta: Gema Insani, 2008), h. 22 6 Hanafi Wibowo, “Penyelesaian Sengketa Tanah Wakaf Studi Kasus: Sengketa Tembok
Barat Di Masjidil Aqsa, Jerussalem Tahun 1929”, Al-AwqafJurnal Wakaf Dan Ekonomi Islam , IX,
1, (Januari , 2016), h. 27
Page 15
4
persaudaraan (ukhuwah)7. Lain halnya dengan zakat, wakaf yang diterima oleh
nadzir akan dikembangkan dan diolah untuk diproduktifkan sehingga
kemanfaatannya dapat dinikmati oleh masyarakat baik dalam bidang pendidikan,
sosial dan perekonomian bahkan untuk pembangunan infrastruktur, jika melihat
dampak yang dihasilkan dari wakaf produktif sangatlah amat besar untuk
pertumbuhan perekonomian umat. Akan tetapi, pokok atau central dari
keberhasilan produktifitas wakaf itu sendiri adalah nadzir,
Keberadaan nadzir dalam pengembangan wakaf dapat dianalogikan
seperti manager dalam sebuah perusahaan.8 Dalam hal mengembangkan wakaf
tersebut seorang manager dibantu oleh pegawainya dengan kata lain nadzir yang
lainnya untuk mengelola wakaf tersebut. Pengelolaan secara professional
menempati posisi penting dalam wakaf dan sangat menentukan agar wakaf itu
lebih bermanfaat tergantung dari kepiawaian pengelolanya, jika pengelolaan
wakaf selama ini hanya dilakukan seadanya dengan menggunakan managemen
kepercayaan dan sentralisme kepemimpinan yang mengesampingkan pengawasan,
maka dalam pengelolaan wakaf secara modern harus menonjolkan system
managemen yang lebih professional.9 Menurut Fathurrahman Jamil, ada tiga
syarat utama yang harus dimiliki nadzir wakaf professional yaitu:
1. Moral yang meliputi pemahaman atau ilmu tentang hukum wakaf dan ZIS
baik dalam tinjauan syar‟i maupun perundang-undangan, kejujuran,
kecerdasan, kesungguhan, sabar, dan tahan godaan.
2. Managemen yang meliputi leadership, visioner, professional, dan ada masa
bakti nadzir.
3. Bisnis yang meliputi adanya kemauan keras, kesiapan dan ketajaman
melihat peluang usaha seperti layaknya enterpreneur.10
7 Muhammad Zen , “Wakaf Produktif Tabungan Wakaf Indonesia (Twi)”, Al-Awqaf, V,
2, (Juli, 2012), h. 45 8 Asep Saepudin Jahar, “Nadzir Wakaf Uang Di Indonesia”, Al-Awqaf. IV, 2,(Juli, 2011),
h. 86 9 Veithzal Rivai Zainal, “Pengelolaan Dan Pengembangan Wakaf Produktif”, Al-Awqaf,
IX, 1, (Januari, 2016), h. 12 10
Fathurrahman Jamil, “Standarisasi Dan Profesionalisme Nadzir Di Indonesia”, Jurnal
Al-Awqaf, IV , 4, (Januari , 2011), h. 29
Page 16
5
Sedangkan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ditunjuk
sebagai amil zakat atau pengelola zakat menurut Yusuf Qardhawi harus
memenuhi:
1. Beragama islam, zakat merupakan salah satu urusan utama kaum muslim
terlebih lagi merupakan rukun islam yang ketiga, karena itu sudah saatnya
urusan penting tersebut diurus oleh sesama muslim.
2. Mukallaf, yaitu orang dewasa yang sehat akal pikirannya dan siap
menerima tanggungjawab mengurus urusan umat.
3. Amanah atau jujur, para muzakki yang akan dengan rela menyerahkan
zakatnya melalui lembaga pengelola zakat, jika memang lembaga ini patut
dan dapat dipercaya. Keamanahan yang dibuktikan dalam bentuk
trasparansi dalam menyapaikan laporan pertanggungjawaban secra berkala
dan penyalurannya tepat sasaran sesuai dengan ketentuan Syariah
Islamiyyah.11
Adapun nadzir terbagi menjadi dua golongan yaitu nadzir perseorangan
dimana terdapat ketua dan dua orang atau lebih nadzir pendukung, dan yang
kedua nadzir badan hukum yang didirikan berdasarkan organisasi nadzir.
keberadaan nadzir merupakan hal yang sangat penting dalam perkembangan
wakaf. Melihat fenomena yang semakin berkembangnya wakaf maka nadzir
dituntut untuk dapat mengembangkan secara optimal, namun ada hal yang
menarik perhatian penulis untuk diperbincangkan yaitu mengenai presentase upah
nadzir yang tertuang dalam pasal 12 Undang-Undang No 41 tahun 2004 yang
berbunyi:
Pasal 12 menyebutkan :
“Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, Nadzir dapat
menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta
benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen)”
11
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2002),
h. 127
Page 17
6
Adapun yang menjadi rujukan dasar hukumnnya pada hadis yang
menceritakan tentang kisah Umar bin Khattab ketika mendapatkan tanah di
Khaibar, lalu ia mewakafkan tanah tersebut. Pada akhir hadis disebutkan:
“bagaimanapun ia boleh digunakan dengan cara yang sesuai oleh pihak yang
mengurusnya, seperti memakan atau memberi makan kawan tanpa menjadikannya
sebagai sumber pendapatan.12
Menurut Ahmad Zainu Soleh, dalam prakteknya,
misalnya di Mesir, ketentuan 10 persen dari hasil bersih itu sering dilanggar,
sebab presentasenya bukan diambil dari hasil bersih melainkan dari hasil kotor
yang belum dipotong pajak dan lain-lain, dan ditambah lagi dengan tunjangan ini
dan itu, dari hal tersebut bisa mencapai 15 persen atau lebih .13
Melihat hal demikian, dalam pelaksanaan tugas sebagai seorang nadzir dan
amil apakah dengan presentase tersebut sepadan dengan kerja keras atau jasa yang
dilakukan untuk memproduktifkan wakaf dan zakat, mengingat semakin
meningginya harga pokok makanan dan biaya hidup yang harus dipenuhi,
perbedaan presentase upah nadzir yang maksimal 10% dan amil 12.5% juga
merupakan hal yang perlu dipertimbangkan, dalam hal amil mendapatkan
anggaran dari APBN dan hak amil sedangkan nadzir hanya mendapatkan 10%
dari wakaf yang diproduktifkan, memang dalam hal ini nadzir dan amil bersifat
sukarela dan merupakan suatu jihad untuk umat. Masalah yang timbul kemudian
adalah bagaimana jika harta tersebut hasilnya sangat sedikit terlebih lagi yang
tidak memberikan hasil apa-apa seperti tanah makam, musholla masjid. Melihat
hal tersebut penulis tertarik untuk membahas “TINJAUAN HUKUM ISLAM
TERHADAP UPAH NADZIR DAN AMIL”
12
M Syakir Sula, “Kerjasama Nadzir Dengan Bank Syariah Dalam Mengembangkan
Wakaf Uang ( Studi Khususu Di Indonesia, Bangladesh, Dan Yordania)”, Al- Awqaf ,IV, 2, (Juli,
2011), h. 65 13
Ahmad Zainu Soleh, “Menyoal Profesionaisme Nadzir Dan Istibdal Dalam Regulasi
Perwakafan”, Jurnal Bimas Islam, VII, IV, (2014), h. 647
Page 18
7
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah maka dapat
diidentifikasikan ada beberapa yang dipermasalahkan dalam skripsi ini
diantaranya :
1. Upah Nadzir dan Amil Menurut Hukum Islam
2. Praktek Upah Nadzir dan Amil Dalam Pengelolaan Wakaf dan Zakat
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Berdasarkan Identifikasi masalah yang penulis kemukakan di atas, agar
penulis skripsi ini lebih terarah dan mengihindari kemungkinan pembahasan
yang menyimpang dari pokok permasalahan yang diteliti, serta sesuai dengan
pokok permasalahan yang dibahas dan identifikasi masalah yang telah
disebutkan, maka skripsi ini dibatasi hanya membahas tentang Upah Nadzir
Wakaf dan Amil Zakat Menurut Hukum Islam dan Praktek Upah Nadzir dan
Amil Dalam Pengelolaan Wakaf dan Zakat.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah diatas dan dalam rangka mempermudah
penulis dalam menganalisa permasalahan, penulis menyusun suatu rumusan
masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana Upah Nadzir Wakaf dan Amil Zakat Menurut Hukum Islam?
b. Bagaiamana Praktek Upah Nadzir dan Amil dalam Pengelolaan Wakaf dan
Zakat?
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui Upah Nadzir dan Amil Menurut Hukum Islam
b. Mengetahui Praktek Upah Nadzir dan Amil dalam Pengelolaan Wakaf dan
Zakat.
Page 19
8
2. Manfaat Penulisan
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan khazanah
keilmuan mengenai tinjauan Hukum Islam terhadap upah nadzir wakaf dan
amil zakat serta dapat meningkatkan dan memotivasi untuk memproduktifkan
wakaf dan zakat sehingga amal dan upah yang didapatpun akan meningkat.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapakan dapat bermanfaat bagi masyarakat dan praktisi
agar menjadi edukasi penting dan besar dampak yang dihasilkan dari praktek
berwakaf dan berzakat serta pengupahannya.
E. Metode Penelitian dan Desain Penelitian
Metode dalam hal ini diartikan sebagai suatu cara yang harus dilakukan
untuk mencapai tujuan dengan menggunakan alat tertentu. Sedangkan penelitian
adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji suatu
pengetahuan yakni usaha dimana dilakukan dengan menggunakan metode
tertentu.14
Adapun Metode Penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini
dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah
penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah Penelitian
hukum normatif yang nama lainnya adalah penelitian hukum doktrinal yang
disebut juga sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen karena
penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang
tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain.15
Pada intinya penelitian yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder yang
14
Sutrisno Hadi,Metodologi Riset. (Yogyakarta: UGM Press, 1997) h. 3 15
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), cet. Ke-8, h. 14.
Page 20
9
terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tertier.
2. Jenis Pendekatan
Adapun pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach).16
Pendekatan perundangan-undangan
adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan
regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang dikaji.
Penelitian ini menggunakan metode normatif, dimana penelitian yang difokuskan
untuk mengkaji kaidah-kaidah Hukum atau Norma-Norma dalam Hukum Islam
yang mendukung dan relevan dengan Upah Nadzir Wakaf seperti yang tertuang
dalam pasal 12 Undang-Undang No 41 tahun 2004 serta Upah Amil Zakat yang
tertuang dalam Pasal 30 Undang-Undang No 23 tahun 2011.
3. Sumber Data
Seperti penelitian pada umumnya, data dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu data primer dan data sekunder. Data primer ialah data yang diperoleh
langsung dari sumbernya, sedangkan data sekunder ialah data yang diperoleh dari
bahan-bahan pustaka.17
Jenis data yang dikumpulkan berupa data yang bersifat
kualitatif yang terdiri dari data primer dan data sekunder.
a. Data primer diambil:
1) Undang-Undang No 41 tahun 2004
2) Undang-Undang No 23 tahun 2011
3) Al-Qur‟an
4) Hadits
5) Fatwa/Doktrin Ulama Terkait Upah Nadzir dan Amil
b. Data Sekunder diambil dari buku dan literatur lainnya yang terdiri atas:
1) Buku-buku, makalah, jurnal artikel yang membahas tentang upah
nadzir wakaf dan amil zakat
16
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), cet. Ke-8, h. 93 17
Soerjono Soekanto dan Sri Marmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Hukum
Singkat, cet. VII, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 12
Page 21
10
4. Teknik Pengumpulan Data
Jenis penelitian ini adalah library research, maka pada tahap pengumpulan
data menggunakan bahan-bahan pustaka yang berikatan dengan Upah Nadzir
Wakaf dan Amil Zakat, baik berupa jurnal dan buku-buku yang berkaitan dengan
tinjauan Hukum Islam , perundang-undangan ataupun berupa buku-buku.
Sebagai data primer dalam penelitian ini adalah Al-Qur‟an dan Al-Hadits
yang merupakan sumber hukum Islam, Undang-Undang No 41 tahun 2004 serta
beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang wakaf, nadzir,
zakat dan amil. Sedangkan data sekundernya adalah buku-buku atau bahan
pustaka lainnya yang berkaitan dengan bahasan mengenai upah nadzir wakaf dan
amil zakat.
5. Teknik Analisis Data
Metode analisis data yang biasanya digunakan adalah metode Kualitatif.
Data skripsi ini menggunakan analisi kualitatif yakni menarik kesimpulan secara
deskriptif dan deduktif dan seluruh data yang didapatkan akan diklasifikasikan
dari bentuk yang bersifat umum sehingga mendapatkan gambaran kesimpulan
yang spesifik.
6. Teknis Penulisan Skripsi
Penulisan Skripsi ini berpedoman pada “Buku Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
yang diterbitkan oleh FSH UIN Jakarta Tahun 2017.”
Page 22
11
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Berdasarkan telaah yang sudah dilakukan terhadap beberapa sumber kepustakaan
terdahulu yang dipakai penulis dan menjadi masalah pokok yang penting. Adapun
kajian terdahulunya sebagai berikut:
1. Skripsi yang berjudul “Peran nadzir wakaf dalam pengembangan wakaf
produktif” karya Muhammad Muflih Hidayat, konsentrasi Manajemen
Ziswaf, Jurusan Manajemen Dakwah, Uin Syarif Hidayatullah, tahun
2015, Focus penelitian dalam skripsi ini meneliti tentang peran nadzir
dalam pengembangan wakaf Al-Azhar yang amat bermacam-macam
seperti melakukan perindungan terhadap benda wakaf, peningkatan SDM,
inovasi produk wakaf, sosialisasi tentang wakaf produktif dan pengawasan
dan evaluasi kinerja menejemen itu sendiri. Adapun tantangan yang
dihadapinya dalam pengelolaan dan pengembangan wakaf produktif
adalah pengelolaan harta wakaf yang harus sesuai dengan akad,
pemahaman masyarakat tentang wakaf yang masih sangat terbatas dan
hambatan komunikasi dengan yayasan. Sedangkan tinjauan hukum islam
terhadap upah nadzirnya tidak di bahas.
2. Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pengelolaan
Wakaf Sendang Milik Masjid Al-Aqsho Desa Reksosari Kecamatan
Suruh Kabupaten Semarang” karya Kharis Fahrudi, jurusan Ahwal
Syakhsiyah, IAIN Walisongo, tahun 2012, fokus penelitian dalam skripsi
ini meneliti tentangan pengelolaan wakaf sendang yang diproduktifkan
sebagai penggerak kesejahteraan umat ditinjau dari Hukum Islam,
walaupun tedapapat perbedaan pendapat dari para ulama dan peraturan
didalam undang-undang no. 41 tahun 2004 yang melarang penjualan
wakaf. Karena pada dasarnya hukum adalah artikulasi dari pemikiran dan
kegiatan manusia pada zamannya untuk menciptakan kemaslahatan.
namun dalam penelitian ini tidak dibahas mengenai praktek upah nadzir
atau pemberdayaan nadzir wakaf.
Page 23
12
3. Jurnal yang berjudul “Wakaf Produktif (Cash Waqf) Dalam Perspektif
Hukum Islam Dan Maqashid Al-Shari’ah” karya Suryani dan Yunal Isra
walisongo: jurnal penelitian sosial keagamaan, vol. 24 no.1, mei 2016, 17-
36. Fokus penelitian dalam jurnal ini adalah perkembangan wakaf
produktif serta pro kontra terkait wakaf uang dalam hal keabadian benda
yang diwakafkan, sedangkan peran dan upah nadzir tidak dibahas dalam
jurnal ini.
4. Jurnal yang berjudul “Peran Zakat Produktif dalam Pemberdayaan
Masyarakat Miskin (Studi Kasus Badan Amil Zakat (BAZ) Kabupaten
Kebumen)” karya Hidayat Aji Pambudi jurnal Fokus Bisnis: Media
Pengkajian Manajemen dan Akuntansi, XII, 2, (2013) . Fokus penelitian
dalam jurnal ini adalah peran zakat dalam memproduktifkan dan
mengentaskan kemiskinan melalui program-program yang ada pada BAZ
kabupaten Kebumen, serta peran pengawasan dan pendampingan BAZ
kepada penerima atau mustahik. Namun, dalam penelitian ini tidak dibahas
mengenai tinjauan hukum islam terhadap upah amil zakat.
Dari kajian terdahulu, ditemukan kesamaan fokus materi pada judul yang
penulis angkat, terlebih yang membahas mengenai konsep hukum atau
permasalahan wakaf dan zakat yang ada didalamnya. Tetapi dari beberapa
literatur di atas, maka terlihat perbedaan inti permasalahannya yaitu pada objek
yang diteliti, sangat jelas bahwa penulis memfokuskan pembahasannya pada
tinjauan hukum islam terhadap upah nadzir wakaf dan amil zakat serta praktek
upah nadzir dan amil dengan jasa pengelolaan wakaf dan zakat.
G. Kerangka Teori dan Konseptual
Zakat bermakna at-thahuru ( membersihkan atau mensucikan), menurut Abu
Hasan Al-Wahidi dan Imam Nawawi yang berarti orang uang ingin berzakat
karena Allah bukan karena ingin dipuji manusia, maka Allah akan membersihkan
dan mensucikan harta dan jiwanya sebagaimana firmannya dalam surat at-
Taubah:103, al- barakatu „berkah‟ yang berarti orang yang berzakat akan
senantiasa diberkahi hidupnya, an-numuw yang artinya berkembang, orang yang
Page 24
13
berzakat hartanya akan senantiasa tumbuh dan berkembang, as-shalahu „beres
atau bagus‟ orang yang berzakat hartanya senantiasa akan terhidar dari masalah.18
Adapun zakat terbagi menjadi dua macam yaitu zakat mal (harta) dan zakat fitrah
untuk mensucikan harta dan jiwa.
Amil zakat adalah orang yang melaksakanakan kegiatan yang berhubungan
dengan zakat, mulai dari penghimpunan, penjagaan, pemeliharaan, sampai
pendistribusian, serta bertugas mencatat masuk dan keluarnya zakat. 19
adapun
lembaga amil zakat yang mengelola atau memproduktifkan zakat adalah BAZ dan
LAZ serta dibantu oleh UPZ yang sebelumnya sudah diberikan pembinaan dan
edukasi terkait pengelolaan zakat.
Wakaf secara bahasa mempunyai arti menahan, mencegah, selamanya, tetap,
paham, menghubungkan, mencabut, meninggalkan, dan lain sebagainya.
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah dan sebagian Ulama Hanabilah adalah
menahan benda yang statusnya masih tetap milik wakif, sedangkan yang
disedekahkan adalah manfaatnya. Sedangkan menurut Malikiyah adalah
menjadikan manfaat benda yang dimiliki baik berupa sewa atau hasilnya
diserahkan kepada orang yang berhak menerima wakaf, baik berjangka maupun
tidak sesuai kehendak wakif.
Menurut Syafi‟iyah adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dari
kekekalan zat bendanya, terlepas dari peguasaan wakif dan dimanfaatkan untuk
hal-hal yang diperbolehkan agama. Menurut Hanabilah adalah menahan
kebebasan pemilik harta dalam membelanjakan hartanya disertai dengan kekalan
zat benda, kemanfaatannya dipergunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah.20
Sedangkan Wakaf Produktif adalah harta wakif yang diproduktifkan dan
kemanfaatannya dirasakan masyarakat bersama. Dalam hal memproduktifkan
wakaf tak terlepas dari seorang nadzir, adapun nadzir adalah pihak yang
18
Direktorat Pemberdayaan Zakat Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Tanya
Jawab Zakat,(Jakarta: Departemen Agama Republic Indoneisa, 2007), h. 2 19
Didin Hafidhuddin, Agar harta Berkah dan Bertambah, (Jakarta: Gema Insani, 2007),
h.177. 20
Maftuh Basyuni, Fikih Ruislagh, (Jakarta: Badan Wakaf Indonesia, 2015), h.1
Page 25
14
menerima harta wakaf untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan
peruntukannya.21
Sebagaimana tugas-tugasnya tertuang dalam pasal 11 Undang-
Undang Wakaf No 41 tahun 2004. Adapun tentang presentase upah nadzir
tertuang pula dalam pasal 12 Undang-Undang Wakaf No 41 tahun 2004.
Kerangka teori yang akan dipakai oleh penulis adalah teori upah, nadzir dan
amil yang menitik beratkan kepada pembagian upah nadzir yang tertuang dalam
Undang-Undang No 41 Tahun 2004, kemudian nadzir dalam menjalankan tugas
sebagaimana mestinya harus ada pengawasan dan kesejahteraan yang ia peroleh
dari jasa yang telah dilakukan seperti halnya dalam presentase upah nadzir ini,
penulis akan menggunakan tinjauan Hukum Islam yang berkaitan dengan upah
nadzir wakaf dan amil zakat.
Adapun konsep yang akan penulis pakai adalah sebagai berikut:
21
Jaih Mubarok, “Wakaf Dan Pendidikan Islam”, Al-Awqaf Jurnal Wakaf Dan Ekonomi
Islam, Vol. VI, 1, (Januari, 2013), h. 15
WAKIF NADZIR AMIL MUZAKKI
WAKAF ZAKAT
HUKUM
ISLAM
UU 41
2004
UU 23
2011
ANALISIS
HASIL
Page 26
15
H. Sistematika Penulisan
Agar dalam penulisan skripsi ini menjadi terarah dan tidak mengambang,
penulis membuat sistematika penulisan yang disusun per bab. Dalam skripsi ini
terdiri dari lima bab,dan setiap bab memiliki sub bab yang menjadi penjelasan dari
masing-masing bab tersebut. Skripsi ini diakhiri dengan daftar pustaka yang
menjadi rujukan penulis dalam penulisan skripsi ini dan lampiran-lampiran.
Adapun sistematika penulisan tersebut ialah sebagai berikut:
BAB I: Pendahuluan yang didalamnya menguraikan latar belakang,
pokok masalah dan rumusan masalah yang menjadi kajian
dalam penulisan skripsi ini, tujuan dan kegunaan penelitian,
metode penelitian yang berfungsi sebagai kendali untuk
meluruskan alur penelitian sampai pada titik akhir
pembahasan dan sistematika penulisan.
BAB II : Ketentuan umum yang didalamnya mengurai teori upah,
pengertian, dasar hukum pengupahan, syarat dan rukun
upah, kajian teoritis tentang amil dan kajian teoritis tentang
nadzir
BAB III: Sejarah pengupahan nadzir wakaf dan amil zakat, praktek
upah nadzir dan amil di beberapa negara Islam
BAB IV: Dalam bab ini menjelaskan tentang perdebatan ulama
terhadap upah nadzir wakaf dan amil zakat
BAB V: Berisi penutup dari penelitian ini, yang didalamnya terdapat
kesimpulan dan saran
Page 27
16
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Teori Upah
1. Pengertian Upah
Di Indonesia konteks upah sering dikaitkan antara pekerja atau karyawan
dengan pengusaha. Menurut Dewan Penelitian Perupahan Nasional upah adalah
suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kepada penerima untuk suatu
pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, sebagai jaminan kelangsungan
hidup yang layak bagi kemanusiaan dan produksi, dinyatakan atau dinilai dalam
bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, undang-undang, dan
peraturan yang dibayarkan atas dasar sutu perjanjian kerja antara pemberi dan
penerima.1
Menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
“Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau
peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan
keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan”.2
Dalam fiqh Islam ujrah (upah) diartikan sebagai transaksi uang dengan
menggunakan tenaga kerja manusia.3Upah atau ujrah adalah pembayaran yang
diterima pekerja selama ia melakukan pekerjaan. Dalam hal pemberian upah
diakukan pada saat selesainya suatu pekerjaan dengan segera sebelum keringatnya
kering, sebagaimana yang dianjurkan Rasulullah sebagai berikut:
1 Ahmad Faiq, Hukum Upah dalam Fiqih Islam dan Aplikasinya di Indonesia, (Depok:
Pena Utama, 2015), h. 85 2Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
3 Sri Dewi Yusuf, “Konsep Penentuan Upah dalam Ekonomi Islam”, Jurnal Al Ulum, X,
2, (Desember, 2010), h. 310
Page 28
17
ش قا ه قا ع عبذالل ب ه الل صي الل عيي سي اعط ع ا الجيش اجش ه سس
ي ف ع اجش اعي ذ اىبيق اىحذيث ع ا ج يجف عشق قبو ا
Artinya:
“Diceritakan dari Abdillah bin Umar, berkata: “Rasulullah SAW bersabda:
“Berikanlah upah buruh itu selagi belum kering keringatnya, menurut
Baihaqi, sempurnanya hadits tersebut, dan tunukkan kepadanya upahnya
selagi dia dalam pekerjaannya”.4 (H.R. Ibnu Majah, 2: 817).
Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa upah atau ujrah
adalah pembayaran atau imbalan yang wujudnya dapat bermacam-macam, yang
dilakukan atau diberikan seseorang atau suatu kelembagaan atau instansi terhadap
orang lain atas usaha, kerja dan prestasi kerja atau pelayanan (servicing) yang
telah dilakukannya.5
Dalam penggunaan barang untuk memanfaatkan fungsinya disebut sewa
(ijarah), Ijarah merupakan akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa,
melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
(ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri.6 Dalam hal sewa-menyewa barang
yang berwujud (ijarah ain) diisyaratkan upah harus diketahui jenis, kadar, dan
sifatnya, layaknya harga dalam jual-beli. Karena ijarah merupakan akad yang
berorientasi pada keuntungan. Adapun ijarah yang yang mentransaksiakan suatu
pekerjaan atas seorang pekerja atau buruh harus jelas batas waktu pekerjaannya,
diperlukan pula job description (uraian pekerjaan), serta pekerjaan yang menjadi
objek ijarah tidak berupa pekerjaan yang telah menjadi kewajiban pihak musta‟jir
4 Muhammad bin Yazid, Kitab Hadits Shahih Li Ibni Majjah,(Beirut, Libanon: Dar al-
Fikr, t.t). Dan Imam al- Hafidh Ibnu Hajar al-„Asqolani, Kitab Bulughul Maram min „Adillah al-
Ahkam, (Surabaya: al-Haramain), h. 195 5 Fuad Riyadi, “Sistem Dan Strategi Pengupahan Perspektif Islam”, Iqtishadia, VIII, 1,
(Maret, 2015), h. 161. 6 Muhammad Syafi‟i Antonio, “Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik”, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2001), h. 117
Page 29
18
(pekerja) sebelum terjadi akad ijarah. Seperti kewajiban mambayar hutang,
mengembalikan pinjaman, menyusui anak dan sebagainya.7
Berbeda dengan ijarah, jualah sendiri secara bahasa berarti mengupah,
sedangkan secara syara‟sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayyid Sabiq yang
artinya:
“Sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah) yang diduga kuat dapat
diperoleh”.8
Lebih spesifik lagi, ju‟alah identik dengan sayembara, yaitu menawarkan
sebuah pekerjaan yang belum pasti dapat diselesaikan. Apabila seseorang mampu
menyelesaikan, maka ia berhak mendapatkan upah atau hadiah.9
Sedangkan menurut Fatwa DSN-MUI ju‟alah adalah janji atau komitmen
(iltizam) untuk memberikan imbalan (reward/I‟iwadh/ju‟l) tertentu atas
pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan. Adapun imbalan
ju‟alah hanya berhak diterima oleh maj‟ul lahu apabila hasil dari pekerjaan
tersebut terpenuhi dan pihak ja‟il harus memenuhi imbalan yang diperjanjikannya
jika pihak maj‟ullah menyelesaikan (memenuhi) prestasi (hasil/natijah) yang
ditawarkan.10
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ju‟alah adalah
perjanjian imbalan tertentu dari pihak pertama kepada pihak kedua atas
pelaksanaan suatu tugas/pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk
kepentingan pihak pertama.11
Karena manusia merupakan zoon politicon yang tidak dapat melakukan
berbagai macam pekerjaan dengan sendiri maka dibutuhkan orang lain untuk
7 Firmansyah dan Muhammad Hafidz, “Tinjauan Fiqih Muamalah Terhadap Praktek
Bisnis Cost Per Action (CPA) : Studi Kasus Di Www.Accesstrade.co.id”, Jurnal Ekonomi Dan
Perbankan Syariah, Vol III, 2, (Oktober, 2015), h.74 8 Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2012
cet kedua, hlm. 141. 9 Firmansyah dan Muhammad Hafidz, “Tinjauan Fiqih Muamalah Terhadap Praktek
Bisnis Cost Per Action (CPA) : Studi Kasus Di Www.Accesstrade.co.id”, Jurnal Ekonomi Dan
Perbankan Syariah, Vol. III, 2, (Oktober, 2015), h. 74 10
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 62/Dsn-Mui/XII/2007 Tentang Akad Ju‟alah 11
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Page 30
19
dapat memenuhi kebutuhannya, dari situlah terjadi tolong menolong antara
pemberi upah dengan penerima upah, dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan
bahwa upah adalah pembayaran atau imbalan dari pemberi kapada penerima atas
suatu pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan (prestasi) sesuai dengan perjanjian
atau kontrak dan dalam memberikan upah sesuai dengan standar pengupahannya
yang layak dan adil.
Banyak literatur-literatur fiqih yang menyamakan antara ju‟alah dengan
ijarah namun pada hakikatnya keduanya mempunyai persamaan, adapun
persamaan antara ju‟alah dengan ijarah adalah :
1. Keduanya terdapat akad menyewa tenaga untuk mengerjaan pekerjaan
yang mubah.
2. Keduanya wajib memberikan upah/imbalan yang dijanjikan ketika
pekerjaan yang dimaksud telah selesai.
3. Imbalan/upah yang diberikan sudah jelas sebelum akad dimulai dan bukan
berupa upah yang dilarang oleh syariat.
Adapun perbedaan antara ju‟alah dan ijarah adalah seperti yang dikutip Haryanto
dalam Wahbah Zuhaili adalah:
1. Ju‟alah tetap sah dilakukan dengan seseorang yang belum jelas.
Sedangkan ijarah tidak sah apabila dilakukan dengan seseorang yang
belum jelas.
2. Ju‟alah diperbolehkan dalam pekerjaan yang belum pasti, sedangkan ijarah
tidak sah apabila pekerjaan yang akan dilakukan belum pasti.
3. Dalam ju‟alah ucapan qabul dari pelaku tidak disayariatkan karena ia
merupakan upaya atas keinginan pribadi. Sedangkan ijarah tidak sah
kecuali ada ucapan qabul dari pihak penyewa karena melibatkan kedua
belah pihak secara langsung.
4. Ju‟alah bersifat boleh dan tidak mengikat, sedangkan ijarah sifatnya lazim
dan tidak bisa dibatalkan kecuali dengan ridha kedua belah pihak.
Page 31
20
5. Dalam ju‟alah imbalan tidak dapat didapat sebelum pekerjaan tersebut
selesai, jika mensyaratkan upah terlebih dahulu maka ju‟alahnya rusak.
Sedangkan ijarah boleh mensyaratkan upah terlebih dahulu.12
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan ju‟alah dan ijarah mempunyai
persamaan dan perbedaan, adapun yang paling membedakan antara kedua tersebut
jika ju‟alah merupakan transaksi atau sayembara yang bersifat tidak mengikat dan
dapat dibatalkan oleh satu pihak sedangkan ijarah merupakan transaksi
(perjanjian) yang mengikat kedua belah pihak dan tidak boleh dibatalkan oleh satu
pihak.
2. Dasar Fiqih, Hadist, dan Al-Qur’an dalam Pengupahan
Jumhur fukaha bersepakat hukum jialah mubah karena dalam kehidupan
sehari-hari jialah diperlukan, jialah merupakan akad yang sangat manusiawi.
Seseorang dalam hidupnya tidak dapat memenuhi semua pekerjaan dan
keinginannya, kecuali jika ia memberikan upah kepada orang lain untuk
membantunya. Dalam Al-Qur‟an dengan tegas Allah membolehkan memberikan
upah kepada orang lain yang berjasa menemukan barang yang hilang.13
Adapun ulama golongan Hanafiyah berpendapat bahwa akad jualah tidak
diperbolehkan dikarenakan mengandung unsur gharar, yaitu ketidak jelasan atas
pekerjaan dan jangka waktu yang ditentukan. Namun ada sebagian ulama
Hanafiyah yang memperbolehkan atas dasar istihsanan (karena ada nilai
manfaat).
Sedangkan ulama golongan Malikiyah, Syafi‟iyah dan Hanabilah
berpendapat bahwa secara syar‟i jualah boleh dilakukan dengan alasan
sebagaimana kisah Nabi Yusuf beserta saudaranya, yang tertuang dalam firman
Allah SWT:
12
Haryono, “Konsep Al Ju‟alah Dan Model Aplikasinya Dalam Kehidupan Sehari-Hari”,
Al Mashlahah Jurnal Hukum Islam Dan Pranata Sosial Islam, (2017), h.653 13
Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalat, cet kedua,(Jakarta: Kencana Prenada
Group, 2012), h. 142.
Page 32
21
Surat Yusuf ayat 72.
Artinya:
“Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa
yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat)
beban unta, dan aku menjamin terhadapnya". (Q.S. Yusuf [12]:72)14
Selain itu, Hadits dari Abi Sa‟id al-Khudri, bahwa para sahabat pernah
menerima hadiah atau upah dengan cara ju‟alah berupa seekor kambing karena
salah seorang diantara mereka berhasil mengobati orang yang dipatok
kalajengking dengan cara membaca surat Al-fatihah. Ketika mereka menceritakan
hal itu kepada Rasulullah Saw., karena takut hadiah tidak halal, Rasulullah pun
tertawa seraya bersabda: “Tahukah anda sekalian, bahwa itu adalah jampi-jampi
(yang positif). Terimalah hadiah itu dan beri saya sebagian”. (HR. Jamaah,
mayoritas ahli Hadits kecuali an-Nasa‟i).15
Secara logika jualah dapat dibenarkan, karena merupakan salah satu cara
untuk memenuhi kebutuhan manusia, sebagaimana halnya dengan akad ijarah dan
akad mudharabah.16
.
Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan ju‟alah boleh dilakukan karena
pada dasarnya manusia membutuhkan orang lain dalam mengerjakan suatu
pekerjaan dengan memberikan suatu imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan.
14
Q.s Yusuf:72 15
Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani, Nail al-Authar Syarh Muntaqi al-
Akhbar, (Beirut: Dar al-Fikr,1973), Juz V, h.289 16
Isnawati Rais, dan Hasanuddin, “Fiqih Muamalah dan Aplikasinya pada LKS”,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 202
Page 33
22
3. Upah Untuk Urusan Agama
Dalam islam upah merupakan suatu imbalan (Jaza) sebagaimana yang
sering dijumpai dalam Q.S. An Nahl (16): 97. Adapun kebolehan mengambil gaji
(upah) bagi pengajar ilmu-ilmu al-Qur‟an dan hadits dan lainnya, al- Qadhi‟iyah
menukil sebuah pendapat yang membolehkan gaji bagi pengajar dari kebanyakan
ahli ilmu, sebagaimana hadits Nabi:17
اجشا محاب الل عيي ااخزج احق ا
Artinya: “Sesungguhnya yang paling pantas kamu ambil upah atasnya adalah
kitabullah”(H.R Bukhari dan Ibnu Abbas)18
Hadits lain menyebutkan:
ع با نححن اىقشآا ل
Artinya : “Saya menikahkanmu dengan al-qur‟an yang ada padamu dengannya”.19
Perkataan Nabi kepada seorang laki-laki yang mencari mahar dan tidak
memperolehnya, maka beliau membekalinya dengan mengajarinya sedikit Al-
Qur‟an. Riwayat sahih yang lain memakai lafadz (اىقشآ ا maka“ (فعي
ajarkanlah sedikit al-Qur‟an”.20
Wajhu al- Dhilalah hadist tersebut adalah,
sesungguhnya Nabi memberi upah pengajaran atau mahar. Hal ini menunjukkan
diperbolehkan dalam pengambilan upah dari pengajaran al-Qur‟an perbuatan
tersebut dapat mendekatkan diri kepada Allah, untuk mencapai kedekatan tersebut
sayaratnya adalah ikhlas dan tidak meminta upah. Apabila kedekatan tersebut
tidak dapat dicapai kecuali dengan didukung oleh yang lain, maka dibolehkan
17
Ash- Shadiq Abdurrahman Al-Gharyani, “Fatwa-Fatwa Muamalah Kontemporer”,
cet. Pertama, (Surabaya, Pustaka Progressif: 2004). h, 224 18
Ahmad Ibn „Ali Ibn Hajar al-„Asqolani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari, Juz
X, (Riyadh, Dar el Salam, t.t), h. 254 19
Ahmad Ibn „Ali Ibn Hajar al-„Asqolani, Fath al-Bari, Juz IV, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, t.t), Nomor. 452, 20
Ash- Shadiq Abdurrahman Al-Gharyani, “Fatwa-Fatwa Muamalah Kontemporer”,
cet. Pertama, (Surabaya, Pustaka Progressif: 2004). h, 224
Page 34
23
meminta upah. Seperti kontrak kerja pembangunan masjid, biaya perawatan
mayat, pengumpulan zakat dan pembagiannya, serta badal (wakil) haji.21
Sedangkan kedekatan Allah yang tidak dibolehkan meminta imbalan
adalah yang ringan dan tidak melibatkan orang lain, seperti shalat dan puasa.
Karena itu, tidak dibolehkan seorang ayah menyewa anaknya untuk menjalankan
tugas-tugasnya, karena tugas-tugas tersebut menjadi tanggungjawabnya.
Demikian juga dengan seorang istri, tidak dibolehkan menuntut gaji atas tugas dan
kewajibannya seperti, memasak makanan untuk keluarga.22
Dalam shahih Bukhari di sebutkan:
فأجث اىبي صي ا جطح ح اىش ا جيق ا اشحشمث ة سضيالل ع فاط ا
جسأى خادا... سي ا ؟ الل عيي ا سأىح جا: ألادىنا عي خيش ىض فقاه ىا
ا إرا أخزج
Artinya:
“Sesungguhnya Fatimah ra mengeluhkan beratnya membuat tepung dengan
gilingan tangan, kemudian ia mendatangi Rasulullah saw. Menanyakan pembantu.
Maka Rasulullah berkata kepada Fatimah dan suaminya: maukah aku tunjukkan
kepada kamu berdua yang kamu tanyakan? Apabila kalian beristirahat atau
mendatangi tempat tidur; maka bertasbihlah kepada Allah tiga puluh tiga kali, dan
bertahmidlah kamu kepada Allah tiga puluh tiga kali, dan bertakbirlah kamu
kepada Allah tiga puluh tiga kali, yang demikian itu lebih baik dari bagimu
daripada seorang pembantu”. 23
Ada beberapa hadits yang secara tegas melarang perihal permintaan upah
pengajaran Al-Qur‟an, seperti hadits al-Qaws, diriwayatkan dari „Ubadah dan as-
21
Ash- Shadiq Abdurrahman Al-Gharyani, “Fatwa-Fatwa Muamalah Kontemporer”,
cet. Pertama, (Surabaya, Pustaka Progressif: 2004). h, 224 22
Ash- Shadiq Abdurrahman Al-Gharyani, “Fatwa-Fatwa Muamalah Kontemporer”,
cet. Pertama, (Surabaya, Pustaka Progressif: 2004). h, 224 23
Ahmad Ibn „Ali Ibn Hajar Al-„Asqolani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih Bukhari, Juz
VII, Nomor. 123, (Beirut: Dar al Kutub al-Ilmiyyah, t.t).
Page 35
24
Shamit dari dua jalur, dan hadits Ubai bin Ka‟ab dari Ubadah: saya telah mengajar
beberapa orang suffah tentang al-Qur‟an dan menulis tiba-tiba salah seorang dari
mereka memberi hadiah qaws (busur panah) kapadaku, saya tanyakan hal itu
kepada Rasulullah saw, Beliau berkata:
اس فاقبيا قا ق با ط جط ك أ سش ا
Artinya: “Sesungguhnya caramu itu membelinya dengan kalung dari api neraka,
maka terimalah”.24
Namun, hadits-hadits larangan tersebut tidak dapat berdiri sendiri dalam
satu artikel, namun secara parallel saling menguatkan, dan semuanya itu dipakai
dalil. Setiap golongan baik dari yang membolehkan dan melarang meminta upah
mentakwilkan hadits yang ada sehingga hadits tersebut menjadi netral.Artinya,
tidak menjadi tuntutan buku, hal ini menjadi ruang ijtihad. Akan tetapi
pengambilan gaji dari para murid atau menggaji guru yang diambil dari bait al-
mal adalah boleh hukumnya, sebab bait al-mal merupakan objek bagi siapa saja
yang memperhatikan kemaslahatan kaum muslimin. Arang siapa yang menjaga
kemaslahatan kaum muslimin tidak ada salahnya bila diberi upah dengan
mengambilnya dari bait al-mal sebagai sumber rejeki. Seperti itulah hukum
kebolehan mengambil gaji atas pengajaran ilmu-ilmu yang lain seperti fiqih,
hadits, ilmu alat, ilmu hitung dan semisalnya.25
Dalam hal pemberian upah untuk urusan agama atau imbalan terhadap
pekerjaan-pekerjaan yang bersifat ibadah atau perwujudan ketaatan kepada Allah
Swt para Ulama berbeda pendapat.
Menurut madzhab Hanafi Ijarah dalam perbuatan ibadah seperti menyewa
orang lain untuk sholat, puasa, haji atau membaca al-Qur‟an yang pahalanya
dihadiahkan kepada orang tertentu seperti kepada arwah orang tua yang menyewa,
24
Ibnu Majjah, Sunan Ibnu Majjah, Maktabah Syamilah, Juz II, h.730 25
Ash- Shadiq Abdurrahman Al-Gharyani, “Fatwa-Fatwa Muamalah Kontemporer”,
cet. Pertama, (Surabaya, Pustaka Progressif: 2004). h, 227
Page 36
25
menjadi muadzin, imam, dan lain-lain yang sejenis haram hukumnya mengambil
upah dari pekerjaan tersebut sebagaimana sabda Rasuulullah saw:
إقرؤالقران ولآ تأكلوبه
Artinya:
“Bacalah olehmu al-Qur‟an dan janganlah kamu cari makan dengan jalan
itu”.(H.R Ahmad)26
Pada hadits lain Rasulullah saw bersabda:
اجشا الآرا ا فلآ جأخز ؤر اىحخز ت إ
Artinya:
“Jika kamu mengangkat seseorang menjadi muadzin maka janganlah kamu
ambil (kamu beri) dari adzan itu suatu upah”. (H.R Tirmidzi dan Nasa‟i)27
Menurut Sayyid Sabiq, pekerjaan seperti ini batal menurut hukum islam,
karena yang membaca al-Qur‟an apabila bertujuan memperoleh upah (uang) maka
baginya tak memperoleh pahala dari Allah sedikitpun. Para ulama memfatwakan
tentang kebolehan mengambil upah dari aktivitas yang dianggap perbuatan baik.
Pengajar al-Qur‟an, guru agama disekolah atau ditempat lain, dibolehkan
mengambil upah atau menerima upah, atas jasa yang diberikan, karena mereka
membutuhkan tunjangan untuk dirinya dan keluarganya, menurut madzhab
Hambali, boleh mengambil upah dari pekerjaan mengajar al-Qur‟an dan
sejenisnya, jika tujuannya untuk kemaslahatan. Namun haram hukumnya apabila
tujuannya termasuk pada taqarrub kepada Allah.
Menurut Madzhab maliki, Syafi‟i dan Ibnu Hazm, membolehkan
mengambil upah sebagai imbalan mengajar al-Qur‟an dan sejenisnya karena hal
tersebut diketahui (terukur) dan dari tenaga yang diketahui pula. Ibnu Hazm
mangatakan pengambilan upah sebagai imbalan mengajar al-Qur‟an dan
26
Ibn Abidin, Radda al-Muktar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), Jilid 9, h. 76 27
Ibn Abidin, Radda al-Muktar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), Jilid 9, h. 76
Page 37
26
sejenisnya, baik bulanan ataupun sekaligus dibolehkan dengan alasan tidak ada
nash yang melarangnya.28
Dari uraian tersebut sudah jelas bahwasanya mengambil upah dari
perbuatan ibadah tidak diperbolehkan, namun pengupahan tersebut boleh
hukumnya apabila diketahui (terukur) dari tenaga yang diketahui dan merupakan
suatu tunjangan yang diperlukan yang tujuannya untuk kemaslahatan sebagaimana
upah pengajar ngaji.Namun ketika upah yang diberikan berdasarkan pekerjaan
yang di lakukan bukan dalam hal pekerjaan yang bersifat ibadah sebagaimana
Nabi Musa yang mendapatkan imbalan atas kebaikan beliau memberikan minum
kepada terrnak sebagaimana yang terdapat dalam Qs Al-Qashas: 26 yang berbunyi
sebagai berikut:
Artinya:
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia
sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang
paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang
kuat lagi dapat dipercaya". (Q.S. Al- Qashas [28]: 26)
Dalam ayat tersebut menjelaskan tentang Musa yang hendak diangkat
sebagai pekerja pada keluarga seorang sholeh yang memiliki dua anak, semuanya
wanita.Sebelumnya, Musa telah membantu kedua wanita tersebut saat mengambil
air untuk minum ternak mereka.Kisah ini dijelaskan dalam al-Qur‟an ayat 23-24.
Berdasarkan pada QS Al-Qashas ayat 26 seseorang boleh mengangkat pekerja dan
menjadi pekerja atas suatu pekerjaan. Pekerja berhak mendapatkan upah atas
28
Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalat, Cet. Kedua, (Jakarta: Kencana Prenada
Group, 2012), , h. 280-282.
Page 38
27
pekerjaan yang telah diselesaikannya, pemberi pekerjaan memiliki kewajiban
untuk membayar upah kepada pekerja tersebut.29
Sejak dahulu memang sudah dilakukan pengupahan (ju‟alah) atau imbalan
atas suatu pekerjaan baik berupa jasa maupun barang dengan imbalan yang telah
disepakati baik pertahun perbulan atau perhari dan dengan pertimbangan pegawai
tersebut mempunyai kemampuan dan amanah dalam menjalankan pekerjaannya.
Pada ayat selanjutnya yaitu Al-Qashas ayat 27, Allah berfirman:
Artinya:
“Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan
kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu
bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun
Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak
memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk
orang- orang yang baik". (Q.S al-Qashas [28]: 27)
Kata ta‟jiru pada ayat 27 di beberapa terjemahan dimaknakan “engkau
bekerja denganku” dapat juga diartikan, “engkau mengambil upah denganku”.
Ada yang menarik dari ayat ini, syau‟aib memberi tawaran kepada Nabi Musa –
setelah Nabi Musa mengadukan perihal kondisi yang sedang menimpanya, karena
hendak dibunuh oleh Fir‟aun untuk bekerja dengannya. Seakan Nabi Syu‟aib
mengontrak Nabi Musa bisa 8 tahun atau bisa juga 10 tahun, kata-kata wa ma
29
Azhari Akmal Tarigan, “Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Sebuah Eksplorasi Melalui Kata-
Kata Kunci dalam Al-Qur‟an”, (Bandung: Ciptapustaka Media Perintis, 2012), h.159
Page 39
28
uridu an asyuqqa‟alaika, menandakan tidak ada paksaan dalam kesepakatan kerja.
Dengan kata lain, bentuk pekerjaan atau upah yang bakal diterima tidak boleh
memberatkan bagi si pekerja, harus ada kerelaan untuk menerima apa yang
diperjanjikan.
Pesan dalam ayat tersebut, sesungguhnya kita boleh menawarkan
pekerjaan kepada orang lain, lebih baik lagi jika tawaran itu mengandung
beberapa alternatif, sehingga buruh/pekerja yang akan bekerja bisa
mempertimbangkan dirinya untuk memilih mana yang lebih mungkin dan
sanggup ia kerjakan.30
4. Macam Macam Upah
Upah atau ujrah dapat dibagi dua yaitu:
a. Ajrun Musamma, yaitu upah yang telah disebutkan dalam perjanjian dan
dipersyaratkan, ketika disebutkan harus disertai dengan kerelaan kedua
belah pihak yang bertransaksi dan tidak ada unsur paksaan.
b. Ajrun Mitsli, yaitu upah yang sepadan dengan kerjanya sesuai dengan
kondisi pekerjaannya (profesi kerja) baik sepadan dengan jasa maupun
dengan pekerjaannya saja.31
5. Rukun dan Syarat Upah (Ijarah)
a. Rukun ijarah yaitu:
1) Terdapat dua pihak yang bertransaksi (Muajir dan musta‟jir)
2) Adanya Shighat dalam transaksi ijarah
3) Adanya manfaat atas barang ataupun jasa
4) Adanya Upah (ujrah) 32
30
Azhari Akmal Tarigan, “Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Sebuah Eksplorasi Melalui Kata-
Kata Kunci dalam Al-Qur‟an”, (Bandung: Ciptapustaka Media Perintis, 2012), h.159 31
M. Mabruri Faozi dan Putri Inggi Rahmiyanti, “Sistem Pengupahan Tenaga
KerjaHome Industri Perspektif Ekonomi Islam”, Jurnal Penelitian Hukum Ekonomi Syariah, IV,
1, (2016), h. 18 32
Syamsul Hilal, “Urgensi Ijarah Dalam Prilaku Ekonomi Masyarakat”, Jurnal Hukum
dan Ekonomi Islam, V, 1 (2013). h.4
Page 40
29
Ju‟alah atau ijarah sah dengan ucapan atau perbuatan yang menunjukkan
izin melakukan pekerjaan dengan bayaran tertentu.33
b. Transaksi (akad) upah mengupah (ijarah) sah apabila memenuhi syarat
sebagai berikut:
1) Bentuk dan Jenis Pekerjaaan
Setiap aktivitas dalam kehidupan harus berlandaskan pada
pedoman Al-Qur‟an dan Hadits serta fatwa ulama. Tujuan hidup manusia
adalah untuk beribadah kepada Allah SWT yang ditunjang dengan harta,
jabatan, kemampuan, keluarga, ilmu, keterampilan dan orang disekitarnya.
Dalam islam bekerja itu merupakan suatu kebolehan bahkan suatu
kewajiban sebagaimana dalam surat At-Taubah ayat 50
Artinya:
“Jika kamu mendapat suatu kebaikan, mereka menjadi tidak senang
karenanya; dan jika kamu ditimpa oleh sesuatu bencana, mereka berkata:
"Sesungguhnya Kami sebelumnya telah memperhatikan urusan Kami
(tidak pergi perang)" dan mereka berpaling dengan rasa gembira”.34
(Q.S
At-Taubah [9]:50).
Pesan dari ayat tersebut adalah Allah memerintahkan untuk
melakukan pekerjaan. Namun dalam Islam sendiri pekerjaan yang
dilakukan haruslah yang toyyib dan halal dengan menggunakan cara-cara
yang baik dan tidak bertentangan dengan syariat islam.
33
Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2012), h. 315 34
Q.S At-Taubah [9]:50
Page 41
30
2) Masa Kerja
Toto Asmara seperti dikutip Fuad Riyadi mendefinisikan makan dan
bekerja merupakan upaya sungguh-sungguh dengan mengerahkan asset
dan dzikirnya untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai Hamba Allah Swt
yang menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai hamba yang
baik dengan kata lain degan bekerja manusia dapat memanusiakan dirinya.
Lebih lanjut lagi bekerja adalah aktivitas dinamis yang mempunyai tujuan
untuk memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun rohani dan dalam
mencapainya ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan
dan mencapai prestasinya sebagai bukti pengabdian dirinya kepada
Allah.35
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan terdapat dua macam upah yaitu
Ajrun Musamma, yaitu upah yang telah disebutkan dalam perjanjian dan
dipersyaratkan serta Ajrun Mitsli yaitu upah yang sepadan dengan kondisi
pekerjaannya, adapun rukun upah yaitu adanya dua pihak yang berakad (mu‟ajir
dan musta‟jir), shigat, adanya manfaat dari barang/jasa, dan upah. Kemudian
syarat dari pengupahan harus memenuhi bentuk dan jenis pekerjaan yang baik
(toyyib) dan tidak bertentangan dengan syariat Islam serta masa kerja yang dengan
pekerjaan tersebut dapat membutktikan pengabdian dirinya kepada Allah.
6. Pembatalan dan Berakhirnya Upah (Ijarah)
Para ulama berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah. Menurut Ulama
Hanafiyah akad ijarah bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak
apabila salah satu pihak terdapat uzur seperti salah satu pihak wafat, atau
kehilangan kecakapan dalam hukum. Adapun jumhur Ulama mengatakan bahwa
35
Fuad Riyadi, “Sistem Dan Strategi Pengupahan Perspektif Islam”, Iqtishadia, VIII, 1,
(Maret, 2015), h.175
Page 42
31
ijarah bersifat mengikat kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh
dimanfaatkan. 36
Para ulama fiqh menyatakan bahwa akad ijarah dapat berakhir apabila:
a. Objek hilang atau musnah, seperti rumah terbakar atau baju yang dijahit
hilang.
b. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah telah berakhir.
c. Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad menururt
mereka tidak boleh diwariskan, sedangkan menurut jumhur ulama akad
ijarah tidak batal dengan salah satu orang yang berakad meninggal,
karena manfaat menurut mereka boleh diwariskan dan ijarah sama dengan
jual beli, yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad.
d. Menurut ulama Hanafiyah, apabila ada uzur dari salah satu pihak seperti
rumah yang disewakan disita Negara karena terkait hutang maka akad
ijarah batal. Adapun uzur-uzur yang dapat membatalkan akad ijarah salah
satu pihak jatuh muflis, dan berpindahtempatnya penyewa. Akan tetapi
menurut jumhur Ulama, uzur yang membatalkan akad ijarah hanyalah
apabila objeknya mengandung cacat manfaat atau manfaat yang dituju
dalam akad ini hilang. 37
Dari pandangan ulama tersebut dapat disimpulkan berkahirnya akad ijarah
dapat terjadi apabila objek akadnya hilang, tenggang waktu yang disepakati telah
berakhir, salah satu pihak wafat, dan salah satu pihak jatuh muflis.
7. Prinsip-Prinsip Upah
Prinsip Upah Ada Dua Yaitu38
:
a. Adil
36
Abdul Rahman Ghazay dkk, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group,2010), h. 283 37
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 237 38
Ahmad Faiq, Hukum Upah dalam Fiqih Islam dan Aplikasinya di Indonesia, (Depok:
Pena Utama, 2015), h.79
Page 43
32
Dalam al-Qur‟an Q.S Al Baqarah: 282 Allah menegaskan:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun
Page 44
33
daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan,
Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada
dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan
dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang
seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis
hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.
yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan
persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai
yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu,
(jika) kamu tidak menulisnya.dan persaksikanlah apabila kamu berjual
beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu
lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu;
dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”39
(Q.S Al Baqarah [2]: 282)
Dalam hal pembayaran upah, Nabi bersabda:
ه الل صي الل عيي سي ا ش قا ه قا ه سس ع عبذالل ب ا ط ع ع
ج ق ش ع ف ج ي ا و ب ق ش ج ا ش ي ج ال ق ي ب اى ذ ع ث ي ذ ح اى ا ش ج ا ي ع ا
ي ع ف
Artinya:
“Diceritakan dari Abdillah bin Umar, berkata: “Rasulullah SAW bersabda:
“Berikanlah upah buruh itu selagi belum kering keringatnya, menurut
39
Q.S Al Baqarah: 282
Page 45
34
Baihaqi, sempurnanya hadits tersebut, dan tunukkan kepadanya upahnya
selagi dia dalam pekerjaannya”.40
(H.R. Ibnu Majah).
Dari Ayat al-Qur‟an dan hadits diatas, dapat diketahui prinsip
utama keadilan terletak pada kejelasan aqad (transaksi) dan komitmen atas
dasar kerelaan melakukannya.41
Dan dianjurkan untuk menyegerakan
membayar upah pekerja setelah selesai melakukan pekerjaannya.
b. Kelayakan (Kecukupan)
Apabila adil berbicara mengenai kejelasan, transparansi serta
proporsiaonalitas dilihat dari berat pekerjaannya, maka kelayakan
berhubungan dengan besaran yang diterima dilihat dari kecukupan segi
pangan, sandang, dan papan.
Dari hadits yang diriwayatkan Abu Dzar Rasulullah bersabda yang
Artinya:
“Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah
menempatkan mereka dibawah asuhanmu; sehingga barang siapa yang
mempunyai saudaradibawah asuhannya maka harus diberinya makan
seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa
yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebenkan kepada mereka dengan
ugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas
seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya)”.42
(H.R
Muslim)
Dari hadits tersebut dijelaskan bahwa hubungan antara majikan
dengan pekerja bukan hanya sebatas hubungan pekerjaan formal, namun
pekerja (karyawan) dianggap sebagai keluarga majikan. Upah menurut
40
Muhammad bin Yazid, Kitab Hadits Shahih Li Ibni Majjah,(Beirut, Libanon: Dar al-
Fikr). Dan Imam al- Hafidh Ibnu Hajar al-„Asqalani, Kitab Bulughul Maram min „Adillah al-
Ahkam, (Surabaya: al-Haramain), h. 195 41
Ahmad Faiq, Hukum Upah dalam Fiqih Islam dan Aplikasinya di Indonesia, (Depok:
Pena Utama, 2015), h.81 42
Muslim, Kitab Shahih Muslim, (Dar al-Fikr, Beirut Libanon)
Page 46
35
islam sangat erat kaitannya dengan moral, upah juga tidak hanya sebatas
materi melainkan lebih dari itu menembus batas kehidupan yang
berdimensi akhirat (pahala).43
Bukan hanya hubungan pekerja dan majikan
saja melainkan berhubungan erat dengan ibadah, setiap pekerjaan yang
dilakukan bernilai ibadah.
8. Upah dalam Konteks Nasional
Dalam hal buruh/ pekerja diatur secara jelas dalam Undang-Undang
Nomor 13 tahun 2003 pasal 1 angka 2 tentang ketenagakerjaan yang berbunyi : “
pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain”. Adapun menurut kamus besar bahasa Indonesia
(KBBI) buruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah
sedangkan yang dimaksud dengan upah adalah uang yang dibayarkan sebagai
pembalas jasa atau sebagai pembayar tenaga yang sudah di keluarkan untuk
mengerjakan sesuatu.44
Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa upah dalam
kontek buruh adalah imbalan/uang yang diterima buruh/pekerja dengan
mempertimbangkan kelayakan dan kebutuhan hidupnya sebagai pembayaran atas
tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu, sesuai dengan
perjanjan dan tidak merugikan salah satu pihak.
Adapun sistem pembayaran upah buruh terdapat beberapa cara yaitu:
a. Sistem upah jangka waktu
Sistem pengupahan ini menggunakan pengupahan yang ditentukan
menurut jangka waktu buruh/pekerja melakukan pekerjaan.Dalam hal ini
buruh menerima sistem upah tetap.
b. sistem upah potongan (sanksi)
43
Ahmad Faiq, Hukum Upah dalam Fiqih Islam dan Aplikasinya di Indonesia, (Depok:
Pena Utama, 2015), h. 85 44
Fuad Riyadi, “Sistem dan Strategi Pengupahan Perspektif Islam”, Iqtishadia, VIII, 1,
(Maret, 2015), h. 162
Page 47
36
sistem upah potongan sering digunakan untuk mengganti sistem upah
jangka waktu, apabila hasil pekerjaanya tidak memuaskan.Adapun
manfaat dari sistem ini adalah :
1) buruh/ pekerja mendapatkan dorongan untuk giat bekerja, karena
semakin banyak yang ia hasilkan maka semakin banyak pula upah
yang didapatkan.
2) Produktivitas buruh/pekerja dinaikkan setinggi-tingginya
3) Barang modal seperti alat dan lainnya digunakan secara intensif.
Sebaliknya, jika sistem ini digunakan maka memungkinkan beberapa
keburukan seperti:
1) Kegiatan buruh/pekerja yang berlebihan
2) Kurang diperhatikannya savety dan healthy dalam bekerja
3) Kurang teliti dalam mengerjaan sesuatu
4) Upah yng diterima tidak tetap
Untuk mengindari keburukan tersebut maka yang sebaiknya dilakukan
adalah menggabungkan kedua sistem tersebut yaitu sistem upah potongan
dan sistem upah jangka waktu menjadi sistem upah potongan dengan upah
minimum.
Dalam sistem upah gabungan ini ditentukan:
1) Upah minimum untuk jangka waktu yang tertentu misalnya upah
minimum sehari;
2) Jumlah banyaknya hasil yang sedikit-dikitnya untk pekerja sehari.
Jika pada suatu hari buruh hanya mengahsilkan jumlah minimum atau
kurang dari mimimum maka upah yang ia peroleh hanya upah mimium
sehari itu, dan jika ia mengahsilkan lebih banyak dari jumlah mimimum
maka ia menerima upah menurut banyaknya hasil pekerjaannya. 45
45
Endeh Suhartini, “Sistem Pembayaran Upah Pekerja”, Dialogia Luridica, VI, 2, (2016),
h. 7
Page 48
37
c. Sistem upah permufakatan
Sistem upah ini pada dasarnya upah untuk hasil pekerjaan tertentu.
Sistem pengupahan ini sangat mirip dengan upah borongan yang susah
dibedakan dari pemborongan pekerjaan (aannemerji,aanneming van
werk) biasa, dimana tidak ada hubungan kerja antara tiap pekerja dengan
orang yang memborongkan pekerjaan (aanbesteder).
d. Sistem upah berubah
Pada sistem upah berubah terdapat keterkaitan antara upah dengan harga
penjualan hasil perusahaan.Cara pengupahan ini tergantung harga barang
atau hasilnya untuk sebagian atau keseluruhan tergantung dari harga
pasaran di luar negri.
e. Sistem upah indeks
Upah yang naik turun menurut angka indeks biaya penghidupan, disebut
upah indeks. Naik turunnya upah ini tidak mempengaruhi nilai riil dari
rupiah
f. Sistem pembagian keuntungan
Disamping upah yang diterima pada waktu-waktu tertentu, pada
penutupan tahun buku apabila majikan menerima keuntungan yang cukup
besar, maka buruh menerima sebagian keuntungan tersebut. Disamping
menerima upah sebagai buruh ia juga menerima pembagian keuntungan
sebagai persero perusahaan. Sistem ini banyak digunakan di Amerika
serikat, Nederland dan lain-lain.
Berdasarkan sistem pembayaran upah tersebut dapat dikatakan
bahwa sistem pembayaran upah diberbagai Negara disesuaikan dengan
kemampuan perusahaannya dan perkembangan ekonomi serta kebutuhan
masyarakatnya. Jika dikaji berbagai ketentuan mengenai kebijakan
perkembangan ekonomi, akan berdampak banyaknya persoalan serta
usaha untuk menjelaskan kenaikan upah, atau bagaimana upah itu
seharusnya sehingga pelaksanaan hubungan ketenaga kerjaan di beberapa
Page 49
38
perusahaan yang ada tidak terhambat karena adanya sistem pembayaran
upah yang rendah tidak sesuai dengan kebutuhan pekerja. 46
Tingkat upah minimum dalam Islam harus cukup untuk memenuhi
kebutuhan dasar pekerja yaitu sandang, pangan dan papan. Ada dua
faktor yang harus diperhatikan dalam menentukan upah, yaitu faktor
primer dan sekunder. Adapun faktor primer adalah kebutuhan dasar,
beban kerja dan kondisi pekerjaaan. Sedangkan faktor sekunder adalah
memperlakukan pekerja sebagai saudara.47
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan terdapat enam sistem
pengupahan diantanya sistem upah jangka waktu, potongan,
permufakatan, indeks, dan pembagian keuntungan. Pada dasarnya semua
sistem pengupahan harus memperhatikan perihal pemberian upah yang
layak yang disesuaikan dengan daerah dan kebutuhan pekerjanya
mencakup kebutuhan primer (sandang, pangan, papan serta beban kerja)
dan sekundernya (memperhatikan kesejahteraan pekerja) memperlakukan
pekerja selayaknya saudara.
9. Standarisasi Pengupahan
Dalam Islam, negara wajib menjamin warganya untuk mendapatkan
pekerjaan, namun Islam melarang eksploitasi dengan memberi upah rendah pada
pekerja, upah yang diberikan harus direncanakan adil baik bagi pekerja maupun
bagi majikan, adapun besar kecilnya upah ditentukan oleh kualitas dan jasa yang
diberikan (ajrun al-mistl). Semakin besar jasa yang diberikan, maka semakin
besar upah yang diterimanya, dasar dari standar pengupahan dalam islam
menggunakan prinsip keadilan dengan asas proporsional atas dasar
profesionalisme.48
46
Endeh Suhartini, “Sistem Pembayaran Upah Pekerja”, Dialogia Luridica,VI, 2(2016),
H. 9 47
Fuad Riyadi, :Sistem dan Strategi Pengupahan Perspektif Islam”, Iqtishadia, VIII, 1,
(Maret, 2015),h. 170 48
Ridwan, “Fiqih Perburuhan”, (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2007), h. 91
Page 50
39
Adapun dalam menentukan upah hendaknya diperlukan pertimbangan
terlebih dahulu sebagaimana berikut:
a. Upah menurut prestasi kerja
b. Upah menurut lama kerja
c. Upah menurut senioritas
d. Upah menurut kebutuhan.49
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan dalam standarisasi upah harus
menggunakan prinsip keadilan dengan asas proporsional dan profesionalisme,
dengan mempertimbangkan prestasi, lama kerja, senioritas dan kebutuhan pekerja.
Agar tercipta keselarasan antara pekerja dan pemberi kerja (majikan, perusahaan).
B. Kajian Teoritis Tentang Amil Zakat
1. Pengertian Amil
Menurut imam Syafi‟i amilun adalah orang-orang yang diangkat dan
memiliki tugas untuk memungut zakat dari pemiliknya. Dalam hal ini amil
adalah orang-orang yang mengumpulkan zakat.50
Amil adalah orang orang yang ditugaskan oleh pimpinan atau wakilnya
untuk mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya yang biasa disebut al-
juba‟ah (para penarik zakat) yang ditugaskan untuk mengaja harta zakat,
pengembala zakat yang berupa ternak dan para pegawai administrasi. Adapun
amil harus berasal dari kalangan kaum muslimin dan bukan merupakan orang
yang diharamkan menerima zakat dari keluarga Rasulullah yaitu bani Hasyim
dan bani Abdul Muthalib, bisa juga para pengurus zakat itu terdiri dari orang-
orang kaya. Sebagaimana diriwayatkan Abu Sa‟id Nabi Saw bersabda:
49
Siswadi, “Pemberian Upah Yang Benar Dalam Islam Upaya Pemerataan Ekonomi
Umat Dan Keadilan”, Jurnal Ummul Qura, IV, 2, (Agustus, 2014), h. 110 50
Widi Nopiardo, “Urgensi Berzakat Melalui Amil dalam Pandangan Ilmu Ekonomi
Islam”,Jurnal Ilmiah Syari‟ah, Vol XV, 1, (Januari-Juni, 2016), h.88
Page 51
40
ع : ى ة س خ ى ل ا ي غ ى ة ق ذ اىص و جح ل ، ى ا ا ب ا ش ح ش ا و ج س ا،ا ي ي ع و ا
ي غ ا ى ذ ا ا ف ي ي ع ق ذ ص ج ي ن س ،ا الل و ي ب ي س ف اص غ ،ا اس غ ا
Artinya:
“Zakat itu tidak halal bagi orang kaya, kecuali untuk lima orang: para
petugas zakat, seseorang yang membeli (kembali) harta zakat dengan
hartanya, orang yang berhutang, orang yang berperang dijalan Allah, atau
orang miskin yang diberi zakat, lalu dihadiahkan”.51
Hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, serta al-Hakim dan
beliau berkata “shalih menurut syarat Bukhari dan Muslim”. Orang orang kaya
tadi menerima zakat sebagai upah atas pekerjaannya.52
Dari pendapat mengenai amil tersebut dapat disimpulkan bahwa amil
adalah orang yang ditunjuk pemimpin dan ditugaskan untuk menghimpun
zakat dari orang-orang mampu serta mendistribusikannya kepada mustahik
zakat.
2. Dasar Hukum Amil
Kedudukan amil oleh agama maupun pemerintah sudah dilegalkan,
adapun dasar hukum amil dalam al-Qur‟an sebagai berikut.
a. Q.S At-Taubah:103
Artinya:
51 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 2, (Dar Fath Lili‟lami al-Arabiy), Terjemahan
Khairul Amru Harahap., dkk, Cet.3, (Jakarta:Cakrawala Publishing, 2012), h. 143 52
Syaikh as-Sayyid Sabiq, Panduan Zakat, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2005). h, 144
Page 52
41
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.
dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.53
(Q.S. At-Taubah
[9]:103).
b. Q.S At-Taubah [9] : 60
Artinya :
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-
orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk
jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai
suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana”.(Q.S at-Taubah [9]: 60)54
Adapun legalitas amil sebagai penghimpun pencatat dan
pendistribusi zakat kepada delapan asnaf tercantum dalam Q.s at-Taubah
ayat 103 dan Q.s at-Taubah ayat 60.
3. Kewajiban dan Hak Amil
a. Kewajiban amil zakat menurut Fatwa MUI55
adalah:
53
Q.S At-Taubah [9]:103 54
Q.S At-Taubah [9]:60 55
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 8 Tahun 2011Tentang Amil Zakat
Page 53
42
1) Penarikan/pengumpulan zakat yang meliputi pendataan wajib
zakat, penentuan objek wajib zakat, besaran nishab zakat, besaran
tarif zakat, dan syarat-syarat tertentu pada masing-masing objek
wajib zakat;
2) Pemeliharaan zakat yang meliputi inventarisasi harta,
pemeliharaan, serta pengamanan harta zakat; dan
3) Pendistribusian zakat yang meliputi penyaluran harta zakat agar
sampai kepada mustahiq zakat secara baik dan benar, dan termasuk
pelaporan.
b. Hak Amil
Jika melihat Undang-Undang No 23 Tahun 2011 hak amil adalah bagian
tertentu dari zakat yang dapat dimanfaatkan untuk biaya operasional dalam
pengelolaan zakat sesuai syariat islam.56
Dalam hal upah jika dikaitkan dengan amil, amil berhak menerima zakat
karena status mereka sebagai pegawai baik kaya maupun miskin. Karena
pengambilan bagian tersebut dengan pertimbangan kerjanya bukan karena
pertimbangan kebutuhan mereka. Jika pengurus zakat itu orang-orang fakir,
mereka diberi bagian zakat sebagai pegawai dan mereka juga diberi bagian
zakat yang dapat mencukupi kebutuhan mereka selama setahun karena
kefakiran mereka. Apabila mereka menerima bagian zakat sebatas status
mereka sebagai amil, berarti mereka tidak perlu menerima kelebihan hak
mereka selaku amil selama satu tahun.57
Sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang nomor 23 tahun 2011
tentang pengelolaan zakat pada pasal 30 untuk melakukan tugasnya,
BAZNAZ dibiayai dengan Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Hak
Amil. Adapun hak amil adalah bagian tertentu dari zakat yang dapat
56
Undang-Undang No 23 Tahun 2011 57
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Fiqih Zakat Kontemporer Soal Jawab Ihwal Zakat
dari yang Klasik Hingga Terkini, (Solo: Al-Qowam, 2011), h. 299.
Page 54
43
dimanfaatkan untuk biaya operasional dalam pengelolaan zakat sesuai syariat
Islam. 58
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan kewajiban amil adalah
melakukan penghimpunan, pencatatan, pemeliharaan dan pendistribusian
zakat kepada mustahik zakat dengan baik dan benar disertai dengan
pelaporannya. Adapun hak amil sendiri diambil dari bagian asnaf (amil)
dengan pertimbangan kerjanya dan diambil dari Anggaran Pendapatan Belanja
Negara untuk biaya operasional dan pengelolaan zakat sesuai dengan syariat
Islam.
C. Kajian Teoritis Tentang Nadzir Wakaf
1. Pengertian Nadzir
Menurut Undang Undang nomor 41 tahun 2004 nadzir adalah pihak yang
menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan
sesuai dengan peruntukannya.59
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam
nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas
pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.60
Nadzir wakaf adalah orang yang diamanahkan untuk memelihara dan
menyelenggarakan harta wakaf sesuai dengan tujuan perwakafan. Adapun
syarat yang harus dipenuhi adalah beragama islam, dapat dipercaya (amanah)
serta mampu secara jasmani dan rohani untuk menyelenggarakan segala
urusan yang berkaitan dengan harta wakaf juga tidak terhalang melakukan
perbuatan hukum dan bertempat tinggal di kecamatan tempat benda yang
diwakafkannya.61
Dari beberapa definisi yang telah dijelaskan dapat disimpulkan, nadzir
adalah kelompok orang atau badan hukum yang diamanahkan oleh wakif
58
Undang-Undang No 23 Tahun 2011 59
Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004. 60
Kompilasi Hukum Islam 61
Elsi Kartika Sari, Pengantar Hukum Zakat Dan Wakaf, (Jakarta: PT Grasindo, 2006). h.
66.
Page 55
44
(orang yang berwakaf) untuk mengelola, memelihara, serta mengembangkan
harta wakaf sesuai peruntukannya.
Kemudian apabila berbentuk badan hukum maka nadzir harus memenuhi
syarat yaitu badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, serta
mempunyai perwakilan dikecamatan tempat letak benda yang diwakafkannya.
Baik nadzir perorangan dan badan hukum harus didaftarkan pada Kantor
Urusan Agama Kecamatan setempat setelah mendengar saran dari Camat dan
Majelis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan pengesahan.62
Dalam melaksanakan tugasnya, diperbolehkan bagi orang yang mengurus
wakaf (nadzir) untuk mengambil sebagian dari hasil wakaf.63
Hal ini
berdasarkan hadis Nabi saw:
ي ع اح ج ل ف ا و م أ ي أ ا ي ى عش با ى
Artinya: “Tidak ada halangan bagi orang yang mengurusinya untuk
memakan sebagian darinya dengan cara yang makruf”64
Nadzir sebelum melaksanakan tugasnya harus mengucapkan sumpah
dihadapan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan dan disaksikan
sekurang-kurangnya oleh 2 orang saksi.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa nadzir terbagi menjadi dua
yaitu nadzir perseorangan dan nadzir berbadan hukum (organisasi) dalam hak
menjalankan tugasnya nadzir diperbolehkan mengambil haknya atau upah dari
hasil pengelolaan harta wakaf dan sebelum menjalankan tugasnya nadzir
terlebih dahulu dilantik dan diambil sumpahnya di hadapan Kepala Kantor
Urisan Agama Kecamatan dan di saksikan oleh sekurang kurangnya dua saksi.
62
Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). h.
68 63
Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalat,cet kedua,(Jakarta: Kencana Prenada
Group, 2012),h. 177. 64
Ahmad Ibn „Ali Ibn Hajar al-„Asqolani, Fath al-Bari Sharhi Shahih Bukhari, Juz 5,
(Beirut: Dar al-Kutub al „Ilmiah, 2000), Cet. 2, h. 502
Page 56
45
2. Hak Dan Kewajiban
a. Hak Nadzir
1) Nadzir dapat menerima imabalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10%
(sepuluh persen).
2) Nadzir memperoleh pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf
Indonesia;65
Dalam pasal 222 KHI Nadzir berhak mendapatkan penghasilan dan
fasilitas, yang jenis dann jumlahnya ditentukan berdasrkan kelayakan ataas
saran Majelis Ulama Kecamatan dan Kantor Urusan Agama kecamatan
Setempat.66
b. Kewajiban Nadzir
Adapun tugas nadzir sebagaimana yang tertuag dalam pasal 11 undang-
undang nomor 41 tahun 2004 adalah :
1) Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;
2) Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan
tujuan, fungsi, dan peruntukannya;
3) Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;
4) Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia;
Sebagai pemegang amanat, pada dasarnya, nadzir tidak dibebankan resiko
yang terjadi atas harta wakaf, kecuali apabila kerusakan itu terjadi karena
kelalaian atau bahkan kesengajaannya. Besarnya kerusakan atau kerugian karena
kelalaian bahkan kesengajaan nadzir ditetapkan oleh pengadilan atau penguasa
lainnya.67
Dari uraian diatas dapat disimpulkan nadzir sebagai pemegang amanah
dari wakif mempunyai hak dan kewajiban. Diantara haknya yaitu mendapatkan
65
Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004. 66
Kompilasi Hukum Islam 67
Suparman Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1999).
H.34
Page 57
46
imbalan dan pembinaan dari Menteri dan Badan wakaf Indonesia, serta
berkewajiban untuk melakukan pengadministrasian, pengelolaan, pengembangan,
mengawasi dan melindungi harta banda wakaf serta melaporkan hasil pelaksaan
tugasnya kepada Badan Wakaf Indonesia.
3. Mustahik Zakat dan Wakaf
Dalam mendistribusikan harta zakat maka amilin mendistribusikannya kepada
mustahik zakat yang terdiri dari 8 (delapan) asnaf yang berhak menerima zakat
yaitu:
Sebagaimana firman Allah dalam surat At-Taubah:60
Artinya:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-
orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk
jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai
suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana”. (Q.S. At-Taubah [9] :60)68
Sudah jelas bahwasanya menurut Q.S. At-Taubah: 60 zakat harus
disalurkan kepada mustahiknya yaitu:
68
Q.S. At-Taubah: 60
Page 58
47
a. Fakir dan miskin
Zakat yang disalurkan pada kelompok ini bisa bersifat konsumtif, untuk
memnuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari dan dapat pula bersifat
produktif yaitu dengan menambah modal usahanya.
b. Amil (petugas zakat)
Kelompok ini berhak mendapatkan bagian dari zakat, maksimal satu
perdepalan atau 12,5% , dengan catatan amil memang melakukan tugas
keamilannya dengan baik dan waktunya sebagian besar atau seluruhnya
untuk tugas tersebut. Jika hanya diakhir bulan ramadhan saja maka
petugas tidak mendapatkan bagian zakat satu perdelapan, melaikan hanya
sekedarnya saja untuk keperluan administrasi atau konsumsi yang
dibutuhkan mereka. Amil zakat tidaklah bertingkat dari atas sampai bawah
atau berlevel melainkan amil zakat hanyalah mereka yang secara langsung
mengurus zakat, mencatat, dan mengadministrasikan, menagih zakat pada
muzakki, melakukan sosialisasi, dan mendistribusikannya dengan tepat
sasaran sesuai dengan ketentuan syariat islam.
c. Muallaf
Kelompok orang yang baru masuk islam dan dianggap masih lemah
imannya.69
Adapun muallaf terbagi menjadi empat kategori yaitu:
1) Mereka yang dibujuk hatinya untuk menolong kaum muslim;
2) Mereka yang dibujuk hatinya agar cenderung untuk membela umat
islam;
3) Mereka yang dibujuk agar ingin masuk islam;
4) Mereka yang dibujuk hatinya dengan diberi zakat agar kaum dan
sukunya tertarik masuk islam.70
c. Memerdekakan budak belian
69
Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2002),
h. 134. 70
Hasbi Umar, Nalar Fiqih: Kontemporer, (GP Press, 2007), h. 154
Page 59
48
Zakat yang digunakan untuk membebaskan dan menghapus perbudakan.
d. Gharimin
Gharimin yaitu kelompok orang yang berhutang dan sama sekali tidak
dapat melunasi hutangnya. Adapun kelompok ulama membaginya dalam
dua bagian yaitu, kelompok orang yang mempunyai utang untuk kebaikan
dan kemaslahatan diri dan keluarganya, dan kelompok orang yang
mempunyai utang untuk kemaslahatan orang atau pihak lain.
e. Fi sabilillah (dalam jalan Allah)
Kelompok orang yang menjadi sukarelawan perang yang tidak mempunyai
gaji tetap.
f. Ibnu Sabil
Orang yang terputus bekalnya dalam perjalanan seperti musafir yang
mengadakan perjalanan yang dianjurkan agama.71
Dalam pembagian harta zakat yang terkumpul tersebut terdapat beberapa
pertanyaan apakah pendistribusian tersebut bersifat mutlak 1/8 atau kondisional?
Jika jumlah fakir miskin lebih banyak dalam suatu daerah dan tidak ada budak
serta muallaf, apakah masih 1/8 dalam pembagian harta wakafnya?
Imam Syafi‟I berpendapat bahwa zakat harus dibagikan kepada delapan
asnaf dengan merata, kecuali jika salah satu kelompok itu tidak ada, maka zakat
diberikan kepada ashnaf yang masih ada. Jika muzakki itu sendiri yang
membagikan langsung zakatnya, maka gugur pula bagian amil.
Madzhab Hambali dan Maliki berpendapat bahwa zakat boleh diberikan
kepada sebagian ashnaf, tidak kepada seluruh ashnaf yang ada.Bahkan mereka
71
Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2002),
h.133-138.
Page 60
49
memperbolehkan pemberian zakat hanya kepada salah satu ashnaf saja sesuai
dengan kondisi. Inilah pendapat mayoritas ulama dan pendapat yang paling kuat
dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Tidak diperbolehkan menghilangkan hak salah satu mustahik tanpa ada
sebab, jika imam yang melakukan pembagian dan jumlah zakat cukup
banyak.
b. Diperbolehkannya memberi zakat hanya kepada satu ashnaf saja jika ada
kemaslahatan yang dapat dipertanggungjawabkan, seperti ketika perang
yang mengahruskan zakat untuk pembiayaan mujahid dimedan perang.
c. Ketika membagikan zakat kepada semua ashnaf secara menyeluruh tidak
diharuskan membagi rata kepada mereka. Dan yang wajib adalah
memberikan bagian pada masing-masing sesuai dengan jumlah dan
kebutuhan,
d. Selalu diperhatikan bahwa kelompok prioritas adalah fakir miskin.
Kelompok yang diulang-ulang dalam al-qur‟an dan as-sunnah. Maka tidak
diperbolehkan menghalangi hak mereka dari zakat, keculai karena kondisi
darurat sesaat.
e. Jika muzakki yang membagikan langsung zakatnya dan jumlahnya kecil,
boleh diberikan kepada satu kelompok dan satu orang saja untuk mencapai
tujuan zakat yaitu menurut kebutuhan.
f. Jika imam yang membagikan, maka bagian amilin tidak boleh lebih
banyak dari seperdelapan, menurut imam Syafi‟I, agar zakat tidak habis
ditangan para pegawai saja.72
Apabila asnaf yang ditetapkan dalam Qs at-Taubah ayat60 dipahami
secara tekstual, ada asnaf yang sudah tidak dapat diaplikasikan yaitu riqab. Riqab
adalah budak muslim yang telah dijanjikan untuk dimerdekakan jika ia telah
membelinya. Begitu juga dengan fuqara, masakin dan gharimin. Pemahaman
tekstual menyebabkan tujuan zakat tidak tercapai. Karena pemberian zakat
72
Dakwatuna, golongan yang berhak menerima zakat,
https://www.dakwatuna.com/2008/09/19/1044/8-golongan-yang-berhak-menerima-
zakat/?PageSpeed=noscript#axzz5Ei4gvGi4 diakses pada 07/05/2018.
Page 61
50
bersifat charity. Masalah krisis ekonomi bukan hanya bagaimana kebutuhan dasar
terpenuhi melainkan bagaimana mengatasi penyebab krisis tersebut muncul.
Dengan demikian pemahaman secara komprehensif dan kontekstual terhadap
delapan asnaf perlu dilakukan, sehingga kelompok yang berhak menerima zakat
dapat menerima haknya.73
Jika dikaitkan dengan kedelapan ashnaf yang pertama di sebutkan terlebih
dahulu oleh Allah adalah mereka yang memiliki status fakir miskin karena fakir
dan miskin merupakan komponen sosial yang paling lemah dan harus
mendapatkan perhatian serius dari para pemilik harta.74
Dari beberapa pandangan tersebut dapat disimpulkan uuntuk mustahik
zakat diberikan berdasarkan ketentuan dari Q.s at-Taubah ayat 60. Namun
ketentuan tersebut bersifat kondisional tergantung situasi dan kondisi mustahik di
daerah yang akan di salurkan zakatnya dan lebih diutamakan kepada fakir dan
miskin.
Apakah target penyaluran manfaat wakaf juga berdasarkan 8 asnaf karena
dalam hal ini nadzir merupakan pengelola dari harta wakaf yang kemanfaatannya
dimiliki oleh publik?
Dalam hal Mauquf alaih (yang diberi wakaf) terdapat perbedaan pendapat
Madzhab Hanafi mensyaratkan agar mauquf alaih ditujukan untuk ibadah menurut
pandangan Islam dan menurut keyakinan wakif jika tidak terwujud salah satunya
maka wakaf tidak sah, oleh karena itu:
a. Wakaf orang muslim yang dipergunakan untuk kebajikan maupun sarana
ibadah dan sosial, seperti orang miskin, rumah sakit, tempat penampungan
dan sekolah.
73
Jasafat, “Manejemen Pengelolaan Zakat, Infaq Dan Shadaqah Pada Baitul Mal Aceh
Besar”, Prodi Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah Dan Komunikasi UIN Ar-
Raniry, Jurnal Al-Ijtimaiyyah, Vol. 1, 1, (Januari-Juni 2015).h, 10. 74
Kementrian Agama Republic Indonesia, Paradigma Baru Wakaf Di Indonesia,
(Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Wakaf,
2013), h.59
Page 62
51
b. Wakaf non muslim dikatakan sah apabila diperuntukan kepada pihak
kebajikan umum seperti tempat ibadah dalam pandangan Islam seperti
pembangunan masjid, bantuan kepada jamaah haji dll. Adapun kepada
selain pihak kebajikan umum dan tempat ibadah dalam pandangan
agamanya saja seperti pembangunan gereja hukumnya tidak sah.
Artinya, Pahala sedekah jariyah terus mengalir selain muslim tidak ada pahalanya.
Madzhab Maliki mensyaratkan agar mauquf alaih untuk ibadah menurut
pandangan wakif. Sah wakaf muslim kepada syi‟ar-syiar islam dan badan-badan
sosial umum, dan tidak sah wakaf non muslim kepada masjid dan syiar syiar
islam.
Madzhab Syafi‟I dan Hambali mensyaratkan agar mauquf alaih adalah
ibadah menurut pandangan islam saja, tanpa memandang keyakinan wakif.
Karena itu sah wakaf muslim dan non muslim kepada badan-badan sosial seperti
penampungan, tempat peristirahatan, badan kebajikan dalam islam seperti masjid.
Dan tidak sah wakaf muslim dan muslim kepada badan-badan sosial yang tidak
sejalan dengan islam seperti gereja.
Secara khusus, ahli fiqih dari Madzhab Syafi‟I membagi tempat
penyaluran wakaf kedalam dua bagian yaitu a) orang tertentu (baik satu orang
atau jamaah tertentu), b) tidak tertentu .
a. Kepada orang tertentu (satu orang atau jamaah tertentu)
Imam Nawawi menyebut bagian ini dengan “syahshan mu‟ayyinan atau
jamaatan mu‟ayyinan”. Syaratnya ialah penerima wakaf dapat memiliki
harta yang diwakafkan kepadanya pada saat pemberian wakaf.
1) Wakaf pada diri sendiri
2) Wakaf kepada muslim (muslimat)
3) Wakaf kepada non muslim tertentu atau kelompok tertentu
a) Kepada kafir dzimmi dari muslim
b) Kepada kafir dzimmi dari kafir dzimmi
Page 63
52
c) Wakaf kepada pihak yang belum cakap seperti:
(1) Wakaf kepada janin, tidak sah karena janin tidak berhak
memiliki.
(2) Wakaf kepada mayit
(3) Wakaf kepada hewan
(4) Wakaf kepada hewan wakaf
b. Wakaf kepada yang tidak tertentu
Adapun tujuan wakif yaitu memberikan wakaf kepada pihak yang
menderita kefakiran dan kemiskinan secara umum bukan kepada pihak
tertentu. Adapun wakaf jenis ini dibagi menjadi dua yaitu
1) Wakaf umum yang mengandung unsur maksiat
2) Wakaf untuk yang tidak mengandung unsur maksiat75
Berdasarkan uraian tersebut mustahik wakaf yang dapat merasakan
kemanfaatan dari hasil wakaf terbagi menjadi dua. Pertama, penyaluran wakaf
tertentu yaitu wakaf pada diri sendiri, wakaf kepada muslim (muslimat), wakaf
kepada non muslim tertentu atau kelompok tertentu. Kedua, penyaluran wakaf
tidak tertentu seperti wakaf umum yang mengandung unsur maksiat dan wakaf
untuk yang tidak mengandung unsur maksiat karena pada dasarnya yang
menikmati kemafaatan wakaf adalah semua pihak.
Berdasarkan dari pemaparan yang sudah dijelaskan dalam bab dua ini,
mengasilkan beberapa kesimpulan diantaranya:
Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam
bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan perundangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh
dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan
dilakukan, sedangkan upah dalam Islam sendiri disebut ujrah merupakan
75
Direktorat Pengembangan Zakat Dan Wakaf, Fiqih Wakaf, (Jakarta: Direkotorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, 2015), h. 45-55
Page 64
53
pembayaran yang diterima pekerja selama ia melakukan pekerjaan, dalam
literature fiqih juga dipaparkan mengenai ju‟alah dimana ju‟alah merupakan janji
atau komitmen untuk memberikan imbalan tertentu atas pencapaian hasil yang
ditentukan dari suatu pekerjaan, Adapun ulama golongan Hanafiyah berpendapat
bahwa akad jualah tidak diperbolehkan dikarenakan mengandung unsur gharar,
yaitu ketidak jelasan atas pekerjaan dan jangka waktu yang ditentukan. Namun
ada sebagian ulama Hanafiyah yang memperbolehkan atas dasar istihsanan
(karena ada nilai manfaat). Sedangkan ulama golongan Malikiyah, Syafi‟iyah dan
Hanabilah berpendapat bahwa secara syar‟i jualah boleh dilakukan dengan alasan
sebagaimana kisah Nabi Yusuf beserta saudaranya. Dalam hal imbalan untuk
keagamaan seperti membacakan fatihah kepada orang yang sakit, mengajarkan
Al-Qur‟an maka menurut Madzhab Syafi‟i, Maliki dan Ibnu Hazm membolehkan
karena hal tersebut diketahui (terukur) dan dari tenaga yang diketahui. Adapun
menurut madzhab Hanafiyah hal tersebut haram hukumnya mengambil upah dari
pekerjaaan ibadah seperti Muadzin, sholat, puasa, Imam dan lain-lain yang
sejenis.
Dalam memperkirakan dan mempertimbangkan tingkat upah yang harus
diterima oleh penerima atau karyawan harus memenuhi kebutuhan sandang,
pangan dan papannya dengan layak, maksudnya, janganlah merugikan orang lain
dengan mengurangi hak-hak dari si pegawai atau karyawan. Serta
mempertimbangkan prestasi, lama kerjanya, tingkatan dan kebutuhan yang
diperlukan oleh pegawai atau karyawan, dalam hal mempertimbangkan upah
maka perlu orang orang yang ahli dan mempunyai skill dalam mempertimbangkan
upah. Dan janganlah mempekerjakan orang lain dengan upah minimum karena hal
tersebut berkaitan dengan moral sehingga dimensi akhirat tidak diperoleh oleh
majikan apabila memberikan upah dibawah minimum.
Dengan demikian, Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang
diamanahkan oleh wakif (orang yang berwakaf) untuk mengelola, memelihara,
serta mengembangkan harta wakaf sesuai peruntukannya. dalam hal
pendistribusian manfaat wakaf bersifat menyeluruh, baik dalam hal ibadah, sosial,
Page 65
54
ekonomi bahkan pembangunan infrastrukstur dan kemanfaatannya, bukan hanya 8
ashnaf saja yang merasakannnya bahkan non muslim dan hewan pun dapat
merasakan kemanfaatan dari wakaf tersebut. Sedangkan amil adalah orang-orang
yang ditunjuk oleh pemerintah guna mengumpulkan, menjaga, mencatat, dan
mendistribusikan harta zakat kepada golongan yang berhak menerima zakat
(mustahik). Dalam hal pendistribusian zakat kepada mustahik zakat bersifat
kondisional.
Page 66
55
BAB III
Sejarah Pengupahan Nadzir Wakaf Dan Amil Zakat
A. Sejarah Pengupahan Nadzir Wakaf
1. Masa Rasulullah
Dalam Islam, wakaf dikenal pertama kali pada zaman Rasulullah
yaitu wakaf di Madinah, tahun kedua hijriyah. Ada dua pendapat dari
kalangan fuqaha terkait siapa yang pertama kali menjalankan syariat
wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama yang pertama kali menjalankan
syariat wakaf adalah Rasulullah dengan mewakafkan tanah milik
Rasulullah untuk masjid.1 Pendapat ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan Umar bin Syabah dari Amr bin Sa‟ad bin Mu‟ad:
ي عي عور ر عي عور ل ثي شج ثي سعذ ثي هعبد قبل :سألب عي أ
الإسلام فقبل الو ى صذقة حجس ف صبر صذقة عور بجر قبل الأ
سل ن ل الله صلى الله عل رس
Artinya:
Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa'ad bin Muad
berkata : “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang
Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor
mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW.2
Rasulullah pada tahun ketiga hijriyah pernah mewakafkan tujuh
kebun kurma di Madinah diantaranya adalah kebun A‟raf, Shafiyah, Dalal,
Barqah dan kebun lainnya.3 Ketujuh kebun tersebut merupakan milik
1 Kementerian Agama Republic Indonesia Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam , Fiqih Wakaf , (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006), h. 4 2 Al-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Nail al-Authar Syarh Muntaqi al-
Akhbar, Jilid VI, (Beirut: Dar al-Fikr), 129 3 Kementerian Agama Republic Indonesia Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam , Fiqih Wakaf , (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006), h. 4
Page 67
56
Mukhairik yang beragama yahudi yang terbunuh dalam perang Uhud
sebagai hasil perjanjian yang disepakati antara kaum muslimin dan yahudi
untuk bersama-sama mempertahankan kota Madinah, da Mukhairik
memberikan ultimatum jika ia terbunuh maka ketujuh kebunnya menjadi
milik Rasulullah dan dipergunakan sesuai kemaslahatan kaum
muslimin.4Adapun pendapat yang kedua, orang yang pertama kali
melakukan praktek wakaf dan menjadi seorang nadzir dengan seizin
Rasulullah adalah Umar sebagaimana riwayat berikut:
ب ثخجر فأتى الج وب قبل :أصبة عور أرض الله ع عي اثي عور رض
ب أصجت أرض ل الله إ ب فقبل :برس سلن ستأهر ف صلى الله عل
ل .فقبل ل رس ث فوب تأهر ذي ه أفس ع جر لن أصت هبلا قظ ثخ
سلن تصذ , إى شئت حجست اصل الله صلى الله عل ق ثب صذ قت ثب فت ب
عور ,أب لاتجبع ف الفقراء تصذق ثب ف رث .قبل لات ت لات
الض ل اثي السج ل الله سج ف الرقبة ف ى هي ف لاجبح عل القرثى
ل ب ثبلو طعن غر هت ب أى أكل ه ف عر را هسلن( (ل و
Artinya :
Dari Ibnu Umar ra. berkata : “Bahwa sahabat Umar ra. meperoleh
sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra. Menghadap Rasulullah
SAW. untuk meminta petunjuk. Umar berkata: “Hai Rasulullah SAW.,
saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta
sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah
SAW. bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan
engkau sadekahkan (hasilnya). “Kemudian Umar mensadekahkan
(tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak
diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil
4Abdurrohman Kasdi, “Fiqih Wakaf Dari Klasik Hingga Wakaf Produktif”, (Yogyakarta:
Idea Press, 2017). h, 36
Page 68
57
pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba
sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang
mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik
(sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud
menumpuk harta”. 5
Dari hadits tersebut dijelaskan ketika Umar mendapatkan tanah di
Khaibar dan ia menanyakan pengelolaan dan pemanfaatannya untuk
publik kepada Rasulullah. Rasulullah kemudian menyuruh Umar
menggunakannya untuk kepentingan umum sementara aset tanahnya tetap
terjaga, tidak bisa dijual atau dialih milikkan kepada yang lain. dihibahkan
melainkan menyedekahkan hasilnya kepada hamba sahaya, fakir miskin,
sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dalam hal pengelolaan tanah tersebut maka
Umar sebagai nadzir diperbolehkan memakan dari hasil wakaf tersebut
dengan cara yang pantas atau memberi makan orang lain tanpa bermaksud
untuk menumpuk harta.6
Kemudian syariat wakaf lainnya oleh Umar disusul oleh Abu
Thalhah wakaf dalam bentuk kebun kurma yang dikenal dengan sebutan
“Bairaha‟”. Kemudian disusul pula oleh sahabat Nabi Saw seperti Abu
Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukan
kepada keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman Bin Affan yang
menyedekahkan hartanya di Khaibar, Ali Bin Abi Thalib yang
mewakafkan tanahnya yang subur, Mu‟adz bin Jabal mewakafkan
rumahnya yang disebut dengan “Dar Al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan
5Ahmad Ibn „Ali Ibn Hajar al-„Asqolani, Fath al-Bari Sharhi Shahih Bukhari, Juz 5,
(Beirut: Dar al-Kutub al „Ilmiah, 2000), Cet. 2, h. 502 6 Andy Agung Prihatna, et.al, ed. Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan: Studi Tentang
Wakaf Dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia (Jakarta:Center For The Study of Religion
and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2006), Cet.1, h. 2
Page 69
58
wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin
Awwam dan Aisyah ra istri Rasulullah saw.7
Jika melihat praktek wakaf Umar bin Khattab r.a., dari tanah
Khaibar yang bertindak sebagai nadzir ialah Umar sendiri, ini
menunjukkan bahwa nadzir bisa diambil dari waqif
صلى الله عل - ج ال ر ه ب ث ق ذ ص لو ا - ع الله ى ض ر – ر و ع ى لأ
الله ض ج ى ق ت ب ح غ ل ب ث و ف ت ق ذ ى ص ل ل ز ن ل –سلن - ل ع ل ز ن ل ،
ض ر - ة و بط ف ل ز ت ن ل ى ،بل ع ت الله ق ى ل ت ح ت ق ذ ص ل - ع الله ض ر
. الله ت ق ى ل ت ب ح ت ق ذ ص ل ت –ب ع الله
Artinya:
“Buktinya, Umar r.a berwakaf, sesuai petunjuk Nabi saw., dan - sepanjang
pengetahuan kami – ia tetap menjadi nadzir wakafnya, sampai ia wafat,
begitu pula Ali tetap menjadi Nadzir wakafnya sampai wafat, demikian
juga Fathimah tetap menjadi Nadzir wakafnya sampai wafat”.8
Penunjukan Nadzir oleh wakif sendiri adalah hak, bukan
kewajiban.9 Jadi ketika seseorang wakif menunjuk dirinya sebagai nadzir
maka tak ada larangan atas hal tersebut. Lebih lanjut lagi, wakaf di zaman
Rasulullah dan sahabat dikelola oleh nadzir wakaf yang ditunjuk langsung
untuk memelihara dan mengembangkan harta wakaf. Seperti halnya Abu
Rafi yang ditunjuk Rasulullah, kemudian Ali bin Abi Thalib dan
seterusnya. Penunjukan ini mengartikan bahwa wakaf harus diserahkan
kepada nadzir atau pengelolaan wakaf secara langsung. Dengan cara
pengelolaan dan pengembangan wakaf melalui nadzir yang memiliki
7 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, Pedoman
Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf , (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006), h.
13 8 Syafii, Mukhtasar Al-Muzany dan Syarahnya oleh Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir,
(Beirut: Dar al-Kutub Al-„Ilmiah), Juz VII, h. 511 9 Anwar Ibrahim, “Peran Nadzir Perempuan”, Al-Awqaf , V, 1, (Januari, 2012), h. 5
Page 70
59
keahlian sesuai dengan tujuan wakaf tersebut, maka wakaf tersebut akan
menambah fungsi secara produktif.10
Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa orang pertama
yang menjalankan wakaf dan menjadi nadzir adalah Rasulullah, kemudian
di susul oleh Umar bin Khattab yang menunjuk dirinya sebagai nadzir
segaligus waqif dimana ia juga mengambil bagian dari hasil wakaf yang ia
produktifkan dengan cara yang baik.
2. Masa Khulafaur Rasyidin
Setelah Rasul wafat, praktek wakaf masih dilanjutkan oleh para
sahabatnya Abu Bakar, misalnya, mewakafkan sebidang tanahnya di
Mekkah yang diperuntukan kepada anak keturunannya yang datang ke
Mekkah. Berikutnya adalah sahabat Utsman menyedekahkan hartanya di
Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur yaitu wakaf
Yanbu‟ dan Wadi Al-Qura‟ yang masih ada sampai sekarang . Tidak
ketinggalan Mu‟adz bin Jabal juga mewakafkan rumahnya, yang popular
dengan sebutan Dar-al Anshar. Tak ketinggalan Usman Bin Affan yang
mewakafkan sumur Rauman untuk minum para muslimin, Gerakan wakaf
terus berlanjut misalnya Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin
Awwam dan Aisyah istri Rasulullah. Lebih lanjut wakaf dilakukan Sa„ad
bin Abi Waqqas yang mewakafkan rumahnya yang ada di Mesir, Amru
bin As yang menyedekahkan bangunan miliknya di Ta‟if dan rumahnya di
Mekah, Hakim bin Hazzam mewakafkan rumahnya di Mekah dan
Madinah yang masih ada sampai sekarang, serta Zubair bin Awwam yang
mewakafkan rumah yang ada di Mekah, rumahnya yang ada di Mesir dan
hartanya yang ada di Madinah yang masih ada sampai sekarang.11
10
Wahiduddin Adams, “Signifikansi Peran Dan Fungsi Nazhir Menurut Hukum Islam
Dan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004”, Al-Awqaf ,IV, 4, (Januari, 2011), h.49 11
Abdurrohman Kasdi, “Fiqih Wakaf Dari Klasik Hingga Wakaf Produktif”,
(Yogyakarta: Idea Press, 2017), H. 40
Page 71
60
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan kegiatan berwakaf
mulai ramai dilakukan oleh para Sahabat serta keturunan Rasulullah.
3. Masa Thabi’in
Setelah perkembangan wakaf Perkembangan wakaf pada masa
thabi‟in mengalami perkembangan yang semakin baik terlebih pada
Khalifah Umayah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar al-
Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abd. Malik. Ia membentuk
lembaga wakaf sendiri sebagaimana lembaga lainnya di bawah
pengawasan hakim. Lembaga ini yang pertama kali melakukan
pengadministrasian wakaf di Mesir, bahkan di seluruh Negara Islam.
Kemudian hakim Taubah juga mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak
itulah pengelolaan lembaga wakaf di bawah Departemen Kehakiman yang
dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan
membutuhkan. 12
Begitupula pada masa Dinasti Khalifah Bani Abbasiyah terdapat
“Sadr al-Wuquf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola
lembaga wakaf. 13
Demikian perkembangan pengelolaan wakaf pada masa
Abbasiyah dan Umayyah sehingga kemanfaatannya dirasakan masyarakat.
Pada masa dinasti Ayyubiyah hampir semua tanah pertanian
menjadi harta wakaf dan semuanya dikelola oleh Negara dan menjadi
milik Negara (baitul mal). Shalahuddin Al Ayyubi mewakafkan banyak
lahan milik Negara untuk pendidikan seperti mewakafkan lahan desa
(qaryah) untuk pembangunan madrasah Madzhab Asy-Syafi‟Iyah,
Madzhab Malikiyah dan Madzhab Hanafiyah dengan dana model
mewakafkan kebun dan lahan pertanian. Dalam rangka menyejahterakan
ulama dan misi madzhab sunni, Shalahudiin al ayyubi mengeluarkan
12
Kementerian Agama Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam , Fiqih Wakaf, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006), h. 7 13
Abdurrohman Kasdi, “Fiqih Wakaf Dari Klasik Hingga Wakaf Produktif”,
(Yogyakarta: Idea Press, 2017), h. 41
Page 72
61
kebijakan untuk orang Kristen yang datang dari Iskandar untuk berdagang
harus membayar bea cukai. Dari hasil tersebut dikumpulkan dan
diwakafkan kepada para fuqaha dan keturunannya.14
Pada masa ini semua
harta dan tanah milik Negara (baitul mal) menjadi harta wakaf yang
peruntukannya untuk publik dan Madzhab Sunni.
Pada masa Dinasti Mamluk perkembangan wakaf sangat pesat dan
beragam, sehingga apapun yang dapat diambil manfaatnya maka boleh
diwakafkan. Pada masa itu yang paling banyak diwakafkan adalah tanah
pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran dan penginapan. Pada
masa Mamluk terdapat wakaf hamba sahaya yang diwakafkan untuk
merawat lembaga-lembaga agama. Hal ini dilakukan pertama kali pada
masa dinasti Utsmani ketika menaklukkan Mesir, Sulaiman Basya yang
mewakafkan budaknya untuk merawat masjid. Selain itu disahkannya
undang-undang wakaf. Namun menurut berita dan berkas yang terhimpun
bahwa perundang-undangan wakaf pada dnasti Mamluk dimulai sejak
Raja Al-Dzahir Bibers Al-Bandaq (1260-12277 M/ 658-676 H) dimana
dengan undang-undang tersebut raja al-Dzahir memilih hakim dari
masing-masing empat madzhab sunni. Pada orde al-Dzahir perwakafan
dibagi menjadi 3 yaitu pendapatan Negara dari hasil wakaf yang telah
diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yang dianggap berjasa, wakaf
untuk membantu Haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan
kepentingan masyarakat.15
Setelah Dinasti Mamluk pada abad ke lima belas Dinasti
Utsmaniyah berhasil memperluas wilayah kekuasannya ke sebagian besar
wilayah Arab dan secara otomatis untuk menerapkan Syari‟at Islam
diantaranya penetapan peraturan perwakafan, adapun peraturan tersebut
berupa peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang
14
Kementerian Agama Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam , Fiqih Wakaf, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006), h. 9 15
Kementerian Agama Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam , Fiqih Wakaf, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006), h.10
Page 73
62
dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 Hijriyah yang
mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan
wakaf, agar mencapai tujuan wakaf dan perlembagaan wakaf dalam upaya
merealisasikan wakaf dari sisi administrasi dan Perundang-undangan yang
berlaku. Pada tahun 1287 H dikeluarkanlah Undang-Undang yang
menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah dibawah keukasaan Turki
Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Implementasi
dari Undang-undang tersebut di negara-negara Arab masih banyak tanah
yang berstatus wakaf dan aturan tersebut dipraktikkan sampai sekarang.
Sejak masa Rasulullah, masa khulafaurrasyidin, khilafah dan masa dinasti-
dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari waktu ke
waktu di seluruh negeri muslim.16
B. Upah Nadzir di Beberapa Negara Islam
1. Kuwait
Kemajuan wakaf di Kuwait ditandai menunjukkan dengan
pengelolaan wakaf modern, terihat dari adanya peran nadzir yang sangat
penting sebab itu dari data yang ada, seoorang nadzir yang professional
mendapatkan ujrah dari prakteknya, Praktek wakaf di Kuwait sudah setua
keberadaan kebudayaan orang-orang Kuwait. Orang Kuwait sudah terbiasa
membangun masjid dan mendedikasikannya sebagai wakaf. Para
sejarawan mencatat bahwa wakaf pertama di Kuwait adalah wakaf masjid
Ibn Bahar pada tahun 1108 AH (1695 AD).17
Pada masa itu, sector wakaf
di Kuwait di kelola secara mandiri oleh wakif secara langsung atau melalui
pihak yang ditunjuk sebagai nadzir oleh hakim setempat. Seiring
berjalannya waktu, perubahan ekonomi, sosial, dan budaya, di negeri
Kuwait pemerintah berkontribusi dalam pengelolaan wakaf dengan
berdirinya Departemen of Waqf pada tahun 1930 dan diikuti dengan
16
Abdurrohman Kasdi, “Fiqih Wakaf Dari Klasik Hingga Wakaf Produktif”,
(Yogyakarta: Idea Press, 2017), h. 44 17
Andy Agung Prihatna, et.al, ed. Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan: Studi
Tentang Wakaf Dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia (Jakarta:Center For The Study of
Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2006), Cet.1, h. 58
Page 74
63
pendirian Waqf Affairs Board pada decade 1940-an. Selanjutnya,
keputusan Emir Kuwait pada 29 Jumadil Tsaniyah tahun 1370 H
bertepatan pada 5 April 1950 memberikan jalan bagi adanya regulasi
perwakafan yang lebih maju.18
Secara umum, di masa lalu asset wakaf hanya melingkupi rumah-
rumah tua dan uang yang terbatas. Karena keterbatasan asset tersebut
cukup menyulitkan pembiayaan operasional masjid dan menggaji para
karyawannya. Namun setelah menemukan minyak nilai wakaf yang
berbentuk property berkembang pesat dan dijadikannya komplek
komersial, bangunan pemukiman, pertokoan, dan pusat rekreasi. Pada
tahun 1921, Departemen Wakaf dibentuk oleh Pemerintah Kuwait, pada
tahun 1948, Departemen ini ditugaskan untuk mengelola tempat-tempat
ibadah, dan juga merawat orang-orang yang lemah. Pada saat yang sama
pihak swastapun turut berkontribusi dalam mengelola wakaf yang
disorong melalui pendirian Dewan Wakaf, yang diwakili oleh Syekh
Abdul Al-Jabbar al-Sabah. Selanjutnya struktur lembaga wakaf disahkan
melalui keputusan amir tentang aplikasi syariah islam (termasuk wakaf)
pada tahun 1951.
Ketika Kuwait memproklamirkan kemerdekaannya, Departemen
Wakaf dikonfersikan menjadi Kementraian Wakaf yang diformalkan pada
17 November 1962. Selanjutnya pada 25 Oktober 1965, Kementrian
Wakaf dikembangkan menjadi Kementrian Wakaf dan Urusan-Urusan
Islam. Pada masa invasi 1990-an Irak berhasail dipaksa keluar dari Kuwait
dan melahirkan pembentukan Kuwait Awkaf Public Foundation (KAPF)
pada November 1993, tiga tahun pasca krisis teluk (Gulf Crisis).
Tugas utama KAPF adalah mendorong perkembangan wakaf
berdasarkan pada syariat islam dan mempromosikan perbaikan ekonomi
18
Bank Indonesia, “Wakaf: Pengaturan dan Tata Kelola yang Efektif Seri Ekonomi dan
Keuangan Syariah”, (Jakarta: Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah , 2016), h. 97
Page 75
64
budaya dan sosial-kemasyarakatan, dan juga meringankan kaum miskin
dari berbagai kesulitan yang dialaminya.19
Berkaitan dengan sumber
pendanaan wakaf, setiap lembaga wakaf menggalang dan menerima dana
dari sumber-sumber berikut: pendapatan tahunan (sejenis dana abadi);
alokasi dana dari KAPF melalui investasi dan jasa servis; donasi yang
tidak mengikat; dana asing yang disetujui KAPF; wakaf perorangan yang
sesuai dengan tujuan lembaga wakaf. 20
Di Kuwait, fungsi regulator perwakafan dijalankan oleh Ministry of
Awqaf. Tetapi, lembaga pemerintah yang berwenang mengurus asset-aset
wakaf adalah KAPF yang telah terbentuk sejak tahun 1993. Manfaat dari
pengelolaan wakaf dialokasikan untuk pengembangan kesehatan
masyarakat, beasiswa bagi para pelajar, pemberdayaan sosial dan kegiatan
ilmiah.21
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa struktur lembaga wakaf
di Kuwait diatur oleh satu dewan direktur yang terdiri dari sejumlah tokoh
terkemuka yang dipilih oleh ketua badan kepengurusan wakaf. Masa kerja
anggota dewan adalah dua tahun dan dapat dipilih kembali. Sistem
pemilihannya adalah Badan memilih seorang ketua dan wakil ketua dari
anggota dewan yang ada. Dewan dibantu oleh seorang Direktur yang
ditunjuk oleh KAPF (biasanya staf dari KAPF atau orang luar). Direktur
bertindak sebagai anggota dewan dan menjadi sekretarisnya. Dalam
19
Andy Agung Prihatna, et.al, ed. Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan: Studi
Tentang Wakaf Dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia (Jakarta:Center For The Study of
Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2006), Cet.1, h. 59 20
Andy Agung Prihatna, et.al, ed. Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan: Studi
Tentang Wakaf Dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia (Jakarta:Center For The Study of
Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2006), Cet.1, h. 62 21
Bank Indonesia, “Wakaf: Pengaturan dan Tata Kelola yang Efektif Seri Ekonomi dan
Keuangan Syariah”, (Jakarta: Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah , 2016), h.1 95
Page 76
65
melaksanakan tugasnya direktur boleh menunjuk satu atau dua asisten
yang membantunya. 22
“Diperbolehkannya memberikan uang perawatan wakaf baik perbulan atau
pertahun dalam jumlah tertentu yang relative sesuai dengan yang
dihasilkan dalam perawatan wakaf itu sendiri. Dan nadzir diperbolehkan
mengambil keuntungan dari hasil pengembangan wakaf. Jika si pewakif
yang menunjuk nadzir memberikan upah yang cukup untuk kebutuhan si
nadzir untuk mengelolanya, apabila si pewakif tidak memberikan upah
yang mencukupi maka si nadzir boleh memanfaatkan wakaf tersebut”.23
Dalam operasional atau pemberian upah terhadap kinerja seorang
nadzir, seorang nadzir akan menerima upah dengan jumlah yang telah
ditentukan oleh waqif bahkan jika jumlahnya melebihi biaya standard
biasanya, dalam hal jumlah pemberian upah terhadap nadzir memang tidak
ada ketentuannya, apabila terjadi permasalahan terkait kenaikan atau
jumlah upah yang di dapatkan dirasa kurang dari standar, maka hakim
yang memutuskannya. 24
Dari penjelasan diatas telah diketahui bahwasanya dalam sistem
operasional di Negara Kuwait tidak ditentukan berdasarkan presentase
maupun nominalnya namun ditentukan berdasarkan yang telah ditentukan
oleh waqif dan sesuai dengan kebutuhannya berikut dengan kinerjanya
dalam mengelola dan mengembangkan wakaf tersebut.
22
Andy Agung Prihatna, et.al, ed. Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan: Studi
Tentang Wakaf Dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia (Jakarta:Center For The Study of
Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2006), Cet.1, h. 62 23
Annadzaratu Wa Akhkamuha, About Endowment Fiqh Of Waqf Waqf Administraion,
Awqaf.org.kw,
ww2.awqaf.org.kw/12/08/2018/Arabic/AboutEndowment/FiqhOfWaqf/Pages/WaqfAdministration
.aspx. 24
Eissa Zaki, “A Summary of Waqf Regulations” (Kuwait: State of Kuwait Awqaf Public
Foundation Department of Studies and External Relations, 2006 AD - 1427 AH), h. 13
Page 77
66
2. Mesir
Seperti halnya di Kuwait, praktek wakaf di Mesir sudah ada sejak
dulu bahkan sudah ribuan tahun yang lalu, Mesir mengalami kemajuan
yang sangat pesat dapat dilihat dengan berbagai kemajuan salah satunya
dalam bidang pendidikan, hasil wakaf dibagikan untuk menyokong
operasional tempat-tempat belajar dan menghafal al-qur‟an, mendirikan
sekolah, dan Universitas Al-Azhar, perpustakaan, serta membangun
boarding school khusus anak yatim.25
Keberhasilan wakaf ini di dukung
dari nadzir yang professional.
Dalam perkembangan wakaf terdapat suatu lembaga yang
bernama Badan Wakaf Mesir (Hay‟ah al Awqaf al Mashriyyah), Badan
Wakaf Mesir merupakan sebuah lembaga yang bertanggungjawab atas
pengelolaan dan pemberdayaan asset wakaf atas nama Kementerian
Wakaf. Badan Wakaf ini memiliki kantor cabang di seluruh provinsi
Mesir. Landasan hukum terbentuknya Badan Wakaf Mesir ini adalah
Undang-Undang Nomor 80 tahun 1971 pada pasal 6 mengatur bahwa 75%
penghasilan dari investasi asset wakaf diserahkan kepada kementerian
wakaf untuk disistribusikan kepada peruntukannya sesuai dengan
keinginan wakif, sedangkan 15% penghasilan digunakan untuk biaya
operasional, dan 10% disisihkan untuk dana cadangan yang diinvestasikan
untuk menambah pengahasilan asset wakaf. 26
Jika dilihat dari presentase biaya operasionalnya berbeda 5% dari
biaya operasional (upah) nadzir yang berada di Indonesia, namun ada yang
menjadi perhatian bahwa dalam prakteknya di Mesir, ketentuan 10%
sering dilanggar, karena prosentasenya tidak diambil dari hasil bersih
tetapi dari hasil kotor sebelum dipotong pajak dan lain-lain, ditambah lagi
dengan tunjangan ini dan itu, sehingga imbalan tersebut bias menjadi 15%
25
Yuli Yasin Tayyeb, “Pengelolaan Wakaf Produktif Di Mesir”, Al-Awqaf , V, 2, (Juli,
2012), h. 11 26
Yuli Yasin Tayyeb, “Pengelolaan Wakaf Produktif Di Mesir”, Al-Awqaf , V, 2, (Juli,
2012), h. 7
Page 78
67
atau lebih.27
Pada dasarnya ketentuan 15% tersebut masih dalam jumlah
kotor belum dalam jumlah bersih, jika di Indonesia ketentuan 10%
terhitung sudah jumlah bersih, bisa saja ketentuan 15% tersebut jika di
kurangi dengan tunjangan yang lain serta pemotongan pajak menjadi
kurang dari 10%.
Adapun kondisi asset wakaf di bawah Pengelolaan Badan Wakaf
Mesir dapat diberdayakan dengan optimal dan memberikan penghasilan
yang luar biasa sehingga mendukung kemajuan Pembangunan Mesir.
Dalam mengelola aset wakafnya Badan Wakaf Mesir berkontribusi dalam
pembangunan Negara di bidang property, pertanian dan reklamasi tanah
dan bidang ekonomi. Sebagaimana tugas dari badan wakaf adalah
mewakili kementrian wakaf dalam mengelola aset wakaf agar
mendapatkan penghasilan seoptimal mungkin, badan wakaf tidak
mempunyai wewenang dalam mendistribusikan hasil usahanya, melainkan
yang mendistribusikan hasil usahanya sesuai dengan keinginan
(peruntukan) wakif adalah Kementrain wakaf, adapun distribusi wakaf
terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu di bidang agama seperti
membangun masjid dan membayar gaji para petugas masjid tersebut
berikut dengan fasilitas dan peralatan yang diperlukan di masjid tersebut.
Dalam bidang social hasil wakaf tersebut dipergunakan untuk santunan
bulanan kepada yang membutuhkan, atau bantuan temporal kepada fuqara,
serta memberikan beasiswa kepada pelajar yang tidak mampu.28
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengelolaan wakaf
di Mesir di lakukan oleh Badan Wakaf Mesir atas nama Kementerian
Wakaf dan mempunyai berbagai cabang di setiap provinsi, tugas utama
dari Badan wakaf tersebut untuk mengelola dan memproduktifkan harta
wakaf seoptimal mungkin. Hasil dari harta wakaf tersebut didistribusikan
oleh Kementerian Wakaf berdasarkan peruntukan dari wakif. Dalam hal
27
Tolhah Hasan, “Pemberdayaan Nadzir”, Al-Awqaf , IV, 4, (Januari, 2011), h. 13 28
Yuli Yasin Tayyeb, “Pengelolaan Wakaf Produktif Di Mesir”, Al-Awqaf , V, 2, (Juli,
2012), h. 10
Page 79
68
operasional pengelolaan zakat Mesir berdasarkan Undang-Undang Nomor
80 tahun 1971 pada pasal 6 75% diperuntukan untuk peruntukan wakif dan
investasi 15% untuk operasional dan 10% untuk pengelola namun pada
prakteknya ketentuan tersebut bersifat kotor jika di bandingkan dengan
Indonesia 10% hasil bersih dari hasil produktifitas harta wakaf.
3. Brunei Darussalam
Berbeda dengan Kuwait dan Mesir, Pelaksanaan wakaf di Brunei
Darussalam di dasarkan pada Laws of Brunei 1/1984.29
Pengelolaan wakaf
secara formal berada di bawah Majelis Ugama Islam Brunei (MUIB),
ketentuan ini ditegaskan dalam Konstitusi Brunei Darussalam pada pasal
77 yang mengatur tentang Majlis Ugama Islam dan Mahkamah-
Mahkamah Kadi, pasal tersebut menyatakan bahwa MUIB adalah lembaga
yang berwenang mengatur dan mengelola seluruh asset wakaf yang berada
di Brunei Darussalam. Baik wakaf „am dan wakaf khas atau wakaf yang
telah jelas peruntukannya oleh wakif.30
Secara prosedur perwakafan di
Brunei ada yang terdaftar dan tidak terdaftar. Untuk wakaf yang tidak
terdaftar biasanya hanya berupa lisan antara nadzir dan wakif, bahkan ada
juga nadzir yang tidak mengetahui ada wakif yang berwakaf. Sedangkan
wakaf terdaftar terdapat bukti berupa surat wakaf resmi dari Majelis
Ugama Islam selaku nadzir. Dan kebanyakan wakaf di Brunei masih
berbentuk masjid dan musholla.31
Adapun yang mengelola wakaf (nadzir) di Brunei terdapat tiga
macam yaitu MUIB selaku nadzir resmi yang ditugaskan langsung oleh
Negara, lembaga berbadan hokum yaitu Kolej Universiti Perguruan
Ugama Seri Begawan (KUPUSB) yang mengelola wakaf tarbiyah
(pendidikan), dan nadzir perorangan yaitu pengurus masjid yang tergabung
29 Bank Indonesia ,Wakaf: Pengaturan Dan Tata Kelola Yang Efektif Seri Ekonomi Dan
Keuangan Syariah, (Jakarta: Departemen Ekonomi Dan Keuangan Syariah , 2016), h. 197 30
Bank Indonesia ,Wakaf: Pengaturan Dan Tata Kelola Yang Efektif Seri Ekonomi Dan
Keuangan Syariah, (Jakarta: Departemen Ekonomi Dan Keuangan Syariah , 2016), h. 64 31
Penghimpunan Wakaf Asia Tenggara, Dyah Ayu Sukma, Kompasiana.Com,
Kompasiana.Com/Dyahayusukma/29/5/2018/Penghimpunan-Wakaf-Asia-Tenggara_
Page 80
69
didalam program wakaf melalui masjid.32
Adapun upah yang diterima
nadzir sebagaimana dalam Hukum Brunei Bab 77 Pengadilan Religius dan
Pengadilan Kadis 1984 Ed. Topi . 77 Bagian IV Akun Pasal 111
Pengeluaran dari majlis
“Semua biaya, ongkos dan biaya administrasi property dan aset yang
diserahkan ke Majlis, termasuk biaya pemeliharaan dan perbaikan setiap
harta yang tidak bergerak, gaji dan tunjangan semua hamba Majlis, dan
biaya dan tunjangan yang dibayarkan kepada petugas atau anggota dari
Majlis sehubungan dengan jasanya seperti itu akan dibayarkan dari
property dan aset Dana Abadi Umum”33
Pada dasarnya, asset wakaf yang diterima MUIB akan diupayakan
pokoknya dan dikelola sesuai dengan hukum syariat dan ketentuan yang
disyaratkan wakif. Adapun contoh wakaf yang dikelola oleh MUIB adalah
tanah, bangunan, uang tunai yang diperuntukan untuk pembangunan
masjid, kendaraan seperti mobil jenazah, buku-buku agama, kitab suci al-
Qur‟an, peralatan computer, AC, peralatan-peralatan masjid, dan lain-lain.
MUIB juga melakukan investasi asset-aset wakaf yang berpotensi untuk
diproduktifkan salah satu contohnya adalah tanah wakaf Lot 11613 dan
Lot 11106 yang diatasnya dibangun penginapan dan restoran yang
disewakan kepada masyarakat luas. Hasil sewa dari gedung tersebut
menjadi sumber pendapatan bulanan MUIB yang selanjutnya disalurkan
kepada Umat Islam yang membutuhkan.34
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan untuk operasional harta
wakaf nadzir mendapatkannya dari asset Dana Abadi Umum bukan dari
hasil produktifitas harta wakaf. Untuk pendistribusian manfaat wakaf
32
Ulfah Sisi Yatiningrum, “Praktek Pengelolaan Wakaf Di Negara Muslim (Studi Pada
Negara Brunei Darussalam)”, (Skripsi S-1 Fakultas Ekonomi Dan Bisnis, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, 2017), h. 54 33
Law Of Brunei, Chapter 77 Religius Counsil And Kadis Courts, Revised Edition 1984,
H.55 34
Bank Indonesia , Wakaf: Pengaturan dan Tata Kelola yang Efektif Seri Ekonomi dan
Keuangan Syariah,( Jakarta: Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah , 2016), h. 64
Page 81
70
Brunei cenderung menyalurkannya ke bidang pendidikan dan infrastuktur
yang bersifat keagamaan belum semodern Mesir dan Kuwait dan
bedasarkan peruntukan yang diisyaratkan oleh wakif.
C. Upah Amil di Beberapa Negara Islam
1. Kuwait
Perkembangan pengelolaan zakat di Kuwait terbagi menjadi tiga
fase. Pertama, pengelolaan individu. Zakat dikelola sukarela dan
bersifat pribadi dengan inisiatif para dermawan dalam membantu
mereka yang membutuhkan. Kedua, fase pegelompokan kelompok.
Tahap ini berlangsung bersamaan dengan berkembangnya masyarakat
Kuwait seiring dengan perkembangan perdagangan sebagai sumber
utama pendapatan Negara. Ketiga, fase pengelolaan secara
kelembagaan. Munculnya cikal bakal pengelolaan zakat dalam bentuk
lembaga yang terorganisir bermula pada abaad ke-20 dengan
dirikannya al-jam‟iyyah al-Khairiyyah al-Arabiyyah pada 1913 M. 35
Lembaga zakat di bawah dua kementrian yaitu Menteri Wakaf dan
Urusan Islam yang bertugas mengarahkan kerja Baituz Zakat Kuwait
dan kemeterian Sosial dan tenaga kerja yang bertugas megurus
lembaga zakat swasta milik lembaga-lembaga kebajikan.36
Undang-undang pendirian lembaga pemerintah yang bertugas
mengurusi zakat di Kuwait disahkan, disetujui parlemen, dan
diterbitkan sebagai undang-undang pendirian Bait az-Zakah dengan
nomor 5/82 tertanggal 21 Rabi‟ul Awwal 1403 H bertepatan dengan 16
Januari 1982.
Baituz Zakah mempunyai dewan direksi yang dipimpin langsung
menteri waqaf dan urusan islam dengan anggota: wakil kementrian
35
Aminuddin K, “Model-Model Pengelolaan Zakat Di Dunia Muslim”, Jurnal Ahkam, III,
1, (Juli, 2015), h. 151 36
Aminuddin K, “Model-Model Pengelolaan Zakat Di Dunia Muslim”, Jurnal Ahkam,
III, 1, (Juli, 2015), h. 152
Page 82
71
waqaf dan urusan islam , wakil kementrian sosial dan tenaga kerja,
direktur utama institusi jaminan sosial, kepala rumah tangga istana,
enam warga Kuwait yang memilki pengalaman dan keahlian
dibidangnya yang tidak menjabat di instansi pemerintah yang
ditentukan oleh pemerintah melalui sidag cabinet dengan masa jabatan
3 tahun dan bisa diperpanjang.37
Baituz Zakat Kuwait konsen dengan perencanaan strategis sejak
pendiriannya. Mereka meyakini pentingnya perencanaan dalam
mengantarkan lembaga pada sarana-sarana dan tujuan di masa
mendatang. Hal tersebut dilakukan dengan menempuh cara dan
metodologi ilmiah, serta kajian yang terencana. Aktivitas perencanaan
di Baituz zakat berkembang sesuai dengan perkembangan menejemen
dan acara kerja didalamnya. Pada saat ini, hal tersebut bertumpu pada
para pegawai yang ahli dalam merumuskan strategi dengan
menggunakan panduan dan metodologi perencanaan strategis yang
paling mutakhir. 38
Pendistribusian zakat dilakukan oleh Baituz Zakat dengan
berpedoman pada alokasi (sasaran) yang sesuai dengan tuntutan
syari‟at yang disebut dalam al-Qur‟an yaitu delapan ashnaf dengan
menetukan skala prioritas dari sisi kebutuhan dan menentukan nilai
dana zakat berdasarkan hitungan yang teliti secara berkala (tidak habis
dalam satu waktu).39
Pemberian upah atau gaji untuk amil di Baituz
Zakat dibayarkan dari baitul mal atau kerajaan dan semua hasil
pungutan zakat didistribusikan kepada asnaf yang lain.40
lebih dari 85
37
Faisal, “Sejarah Pengelolaan Zakat Di Dunia Muslim Dan Indonesia (Pendekatan
Teori Investigasi – Sejarah Charles Pierce Dan Devisit Kebenaran Lieven Boeve”, Analisis, XI, 2,
(Desember, 2011), h. 254 38
Faisal, “Sejarah Pengelolaan Zakat Di Dunia Muslim Dan Indonesia (Pendekatan
Teori Investigasi – Sejarah Charles Pierce Dan Devisit Kebenaran Lieven Boeve”, Analisis, XI, 2,
(Desember, 2011), h. 255 39
Aminuddin K, “Model-Model Pengelolaan Zakat Di Dunia Muslim”, Jurnal Ahkam,
III, 1, (Juli, 2015), h. 152 40
Hairulfazli Mohammad Som Dan Azman Ab Rahman, “Konsep Amil Dan
Peranannnya Dalam Pengurusan Zakat”, Kajian Syariah Dan Undang-Undang, III, Part 1
Page 83
72
persen dari dana zakat didistribusikan kepada orang miskin dan orang
yang membutuhkan (fakir).41
Dalam hal sistem pendistribusian zakat
di baituzzakah mengadopsi sistem pendistribusian Sudan namun di
Sudan Sendiri 65% dana zakatnya didistribusikan langsung kepada
orang miskin dan 35% nya didistribusikan untuk membeli sarana
produksi, untuk diberikan kepada keluarga yang membutuhkan.42
Dari uraian diatas dapat disimpulkan Amil yang bertugas untuk
memungut, mengumpulkan serta mendistribusikan zakat di Negara Kuwait
mendapatkan upah dari baitul mal atau dibayarkan dari kerajaan itu sendiri
adapun untuk pendistribusiannya sesuai dengan delapan ashnaf yang
disebutkan dalam al qur‟an namun lebih dari 85% dari dana zakat tersebut
didistribusikan kepada fakir dan miskin dan 15 % lainnya untuk asnaf yang
lainnya dan yang bersifat produktif. Dalam hal ini terdapat dana zakat yang
bersifat konsumstif dan produktif.
2. Mesir
Seperti halnya di Kuwait, pengelolaan zakat di negara Mesir juga
mengalami perkembangan dan semakin modern, kemajuan dalam pengelolaan
zakat juga didukung dengan amil zakat yang professional sehingga dalam
manajemen dan pendistribusian zakat pun tepat sasaran. seperti halnya Bank
Faisal Naser dimana melalui bank tersebut setiap nasabah bisa membayar
zakat dan yang berhak menerima (mustahik) zakatnyapun jelas dan Bank
menyetujui untuk membayar zakat atas nama nasabah.43
41
Rose Binti Abdullah , Zakat Management In Brunei Darussalam: A Case Study,
Seventh International Conference – The Tawhidi Epistemology: Zakat And Waqf Economy, (Bangi
2010), H. 381 42
Rose Binti Abdullah , Zakat Management In Brunei Darussalam: A Case Study,
Seventh International Conference – The Tawhidi Epistemology: Zakat And Waqf Economy,
(Bangi, 2010), H. 382 43
Hosam Elsayed Abdhelhalim Aamr Helal, “What is The Required Role Of The State In
Egypt Concerning Zakat?”, Institute Of Social Studies, The Hague, The Netherland, (Juli, 2012),
h. 31
Page 84
73
Jika melihat penjelasan diatas bahwa Mesir dalam hal pendistribusian dan
pengelolaan zakat dilakukan oleh lembaga semi-pemerintah yang
menghimpun zakat secara sukarela dan menyalurkan zakat tersebut kepada
mereka yang berhak. Distribusi zakat dilakukan kantor dan cabang bank
berdasarkan rekomendasi dari panitia amil zakat lokal. Dalam hal ini, Bank
tidak mengambil bagian dana zakat sebagai amil, dan panitia lokal bekerja
secara sukarela.44
Dalam hal pendistribusian zakat Mesir yang dilakukan di Naser Sosial
Bank mengadopsi negara Sudan dimana 65 % dari dana zakat didistribusikan
kepada fakir miskin serta 35% nya didistribusikan untuk membeli sarana
produksi, untuk diberikan ke keluarga yang membutuhkan.45
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan perkembangan zakat semakin maju
bahkan sudah dapat berzakat melalui salah satu bank yaitu Bank Faisal Naser
melalui bank tersebut nasabah dapat mengetahui pendistribusian zakatnya.
Amil disini bersifat sukarela maka tidak ada ketentuan secara presentase
maupun nominal berapa upah yang diterima amil. Namun jika amil tersebut
termasuk kedalam orang miskin ataupun yang membutuhkan maka ia berhak
menerima bagian zakat tersebut.
3. Brunei Darussalam
Pengelola (pentadbiran dan pengurusan) zakat di Negara Brunei
Darussalam di bawah pimpinan bidang kuasa Majlis Ugama Islam
(MUIB), yang pertama kali didirikan tahun 1970 dengan nama bagian
44
Yusuf Wibisono, “Mengelola Zakat Indonesia Diskursus Pengelolaan Zakat Nasional
Dari Rezim Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Ke Rezim Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2011”, (Jakarta : Prenada Media Group, 2015), Cet. 1, h.152 45
Rose Binti Abdullah , “Zakat Management In Brunei Darussalam: A Case Study,
Seventh International Conference – The Tawhidi Epistemology: Zakat And Waqf Economy”,(
Bangi, 2010), H. 382
Page 85
74
Baitul Mal Zakat dan Fitrah, dan mengalami perubahan pada tahun 1995
menjadi unit Zakat dan Fitrah (setelah berbentuk Badan Tanmiah Harta
MUIB), namun pada saat ini pengurusan zakat dilakukan salah satu unit
pejabat Majlis Ugama Islam Brunei yaitu: Unit Kutipan dan Agihan Zakat
(UKAZ) yang bertanggungjawab terhadap pengumpulan dan pengelola
zakat di Brunei Darussalam. Adapun zakat yang diterima UKAZ Meliputi
zakat harta (maal) dan zakat fitrah. Dan berdasarkan Fatwa Agihan Zakat
MUIB zakat tersebut hanya diditribusikan kepada 6 (enam) golongan
(ashnaf) yaitu: fakir, miskin, amil, mu‟allaf , al Gharimin, fi sabilillah,
namun lebih menekankan kepada ashnaf fakir, miskin dan muallaf.46
Selain 6 asnaf tersebut ada dua asnaf yang tidak disebutkan untuk
menerima zakat yaitu firriqab dan fisabillah menurut Hukum Islam
keduanya berhak menerima zakat akan tetapi menurut fatwa Mufti
Kerajaan Brunei kedua asnaf tersebut tidak ada di Brunei Darussalam.47
Adapun Majelis Ugama Islam Brunei mengeluarkan keputusan tentang
pengeluaran uang zakat kepada asnaf fakir dan miskin sebagai berikut:
1. Setiap kepala keluarga sebanyak $ 1.200.00 dan sebanyak $480.00 bagi
setiap tanggungannya ( berlaku pada tahun 2008)
2. Pembayaran dilakukan berangsur-angsur selama 12 bulan mulai bulan
September sampai bulan agustus tahun depan, yang dimasukkan kedalam
tabungan bank masing-masing. Tujuan diberikan secara berangsur-angsur
agar dapat membantu penerima (fakir miskin) dalam menggunakan untuk
biaya belanja mereka
3. Pembayaran zakat harta akan diberikan sebanyak dua kali yaitu ketika
menyambut hari raya idul fitri dan pada awal bulan desember
46
Elis Kartika Sari, “Pengelolaan Zakat Negara Brunei Darussalam”, Supremasi Hukum,
VIII, 1 (2012), h. 20 47
Bahrom, “Distribusi Zakat Di Negara Brunei Darussalam” Penerjemah Didin
Hafidhuddin et al dalam , “The Power Of Zakat Studi Perbandingan Pengelolaan Zakat Asia
Tenggara”, (Malang: UIN- Malang Press, 2008), h. 279
Page 86
75
Adapun strategi yang digunakan daalam pendistribusian zakat melalui
program bantuan dengan kadar yang didasarkan pada
a. bantuan untuk keperluan dasar (bantuan bulanan, bantuan tempat tinggal
dll)
b. bantuan untuk meningkatkan ekonomi (peralatan untuk usaha dll)
c. bantuan untuk keperluan pendidikan
d. bantuan untuk kepentingan dakwah dan syiar islam
e. bantuan untuk muallaf berupa menaikkan haji48
Amil adalah orang yang dilantik untuk menerima atau memungut
zakat harta dan zakat fitrah dalam menjalankan tugasnya, amil
mendapatkan bayaran atau upah atas tugas mereka dalam menjalankan
pemungutan zakat dan menyampaikan bantuan-bantuan kepada asnaf-
asnaf yang berhak dikawasan dan kampung mereka masing-masing. Amil
juga mendapatkan beg, kalkulator, computer dan sebagainya untuk
menunjang kinerjanya. Serta mendapatkan biaya pembelanjaan
pentadbiran zakat.49
Mesir, Kuwait dan Brunei merupakan negara yang menganut
sistem pengelolaan zakat secara sukarela dimana terdapat tiga varian
pengelolaan zakat didalamnya. Pertama, pengelolaan zakat oleh lembaga
amal swadaya masyarakat yang banyak terdapat diberbagai Negara dan
komunitas muslim. Pemerintah dapat mengontrol lembaga-lembaga ini
sebagaimana control terhadap lembaga nirlaba lainnya. lembaga amal ini
dicirikan oleh tingkat kepercayaan donor yang tinggi. Aktivitas lembaga
amal ini kadang mampu menjangkau seluruh negeri, bahkan hingga
48
Elis Kartika Sari, “Pengelolaan Zakat Negara Brunei Darussalam”, Supremasi Hukum,
VIII, 1 (2012), H. 20 49
Bahrom, “Distribusi Zakat Di Negara Brunei Darussalam” Penerjemah Didin
Hafidhuddin et al dalam , “The Power Of Zakat Studi Perbandingan Pengelolaan Zakat Asia
Tenggara”, (Malang: UIN- Malang Press, 2008), H.282
Page 87
76
internasional.50
Seperti hanya Brunei yang membebaskan masyarakatnya
untuk membayar atau mengumpulkan zakat kepada amil yang sudah di
lantik, biasanya yang menjadi amil adalah para tokoh masyarakat, imam,
dan lainnya. selain mendapatkan bagian sebagai amil, amil di brunei juga
mendapatkan fasilitas lain seperti mendapatan peralatan yang menunjang
pekerjaannya dan biaya operasional zakat itu sendiri.
Kedua, pengelolaan zakat oleh lembaga semi-pemerintah yang
menghimpun zakat secara sukarela dan menyalurkan zakat tersebut kepada
mereka yang berhak. Seperti halnya Nasser Sosial Bank (1971) di Mesir.
Untuk pengelolaan zakat ini, bank mendirikan departemen khusus untuk
zakat. Bank menerima zakat melalui panitia local atau pembayaran
langsung ke kantor dan cabang bank. Distribusi zakat dilakukan kantor dan
cabang bank berdasarkan rekomendasi dari panitia amil zakat local.
Sedangkan bank sendiri tidak mengambil bagian dana zakat sebagai amil,
dan panitia local bekerja secara sukarela. 51
dalam hal ini panitia lokal
yang mendapatkan bagian amil tersebut sebagai imbalan atau bagian yang
diterima dari pendistribusian zakat.
Ketiga, pengelolaan zakat oleh lembaga pemerintah secara khusus
didirikan Negara untuk menerima dan menyalurkan zakat. Beberapa
negara mendirikan lembaga pengelola zakat yang secara hukum dan
finansial adalah independen, seperti halnya Kuwaity Bayt al-Zakat karena
ia berada dibawah kementerian wakaf.52
Dan dalam hal pemberian upah
terhadap amil di Baituz Zakat dibayarkan dari baitulmal atau kerajaan dan
semua hasil pungutan zakat didistribusikan kepada asnaf yang lain.
50
Yusuf Wibisono, “Mengelola Zakat Indonesia Diskursus Pengelolaan Zakat Nasional
Dari Rezim Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Ke Rezim Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2011”, (Jakarta : Prenada Media Group, 2015), Cet. 1, h. 151 51
Yusuf Wibisono, “Mengelola Zakat Indonesia Diskursus Pengelolaan Zakat Nasional
Dari Rezim Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Ke Rezim Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2011”, (Jakarta : Prenada Media Group, 2015), Cet. 1, h.152 52
Yusuf Wibisono, “Mengelola Zakat Indonesia Diskursus Pengelolaan Zakat Nasional
Dari Rezim Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Ke Rezim Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2011”, (Jakarta : Prenada Media Group, 2015), Cet. 1, h. 152
Page 88
77
Adapun kesimpulan dari pembahasan dalam bab ini adalah sebagai
berikut:
Praktek Pengupahan Nadzir wakaf dan Amil zakat sudah ada sejak
zaman dahulu dan disertai dengan perkembangan pengelolaan zakat dan
wakaf itu sendiri, dalam sejarahnya terbagi menjadi tiga masa yaitu, masa
Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, masa Thabi‟in adapun perapan peraturan
perwakafan pertama pada masa Dinasti Utsmaniyah yang didalamnya
mengatur tentang pencatatan, sertifikasi dan tata cara pengelolaan wakaf
guna mencapai tujuan wakaf dan perlembagaan wakaf dalam upaya
merealisasikan wakaf dari sisi administrasi dan perundang-undangan.
Dalam hal pengupahan nadzir di Kuwait dalam operasionalnya
seorang nadzir akan menerima upah dengan jumlah yang telah ditentukan
oleh waqif bahkan jika jumlahnya melebihi standard biasanya, dan
disesuaikan dengan kebutuhan dan kinerjanya, apabila wakif tidak
memberikan upah yang cukup maka nadzir diperbolehkan untuk
memanfaatkan wakaf tersebut, dalam hal jumlah upah yang diterima
nadzir memang tidak ada ketentuannya, dan jika terjadi permasalahn tekait
upah yang tidak memnuhi standard maka nadzir berhak meminta hakim
untuk memutuskan upahnya. Jika di negara Mesir, menurut Undang-
Undang No 80 tahun 1971 pada pasal 6 mengatur bahwa 75% pengasilan
dari investasi asset wakaf diserahkan kepada kementrian wakaf untuk
didistribusikan kepada peruntukannya sesuai dengan keinginan wakif,
sedangkan 15% penghasilan dipergunakan untuk biaya operasional dan
10% disishkan untuk dana cadangan yang diinvestasikan untuk menambah
penghasilan asset wakaf. Berbeda dengan Kuwait dan Mesir, di Brunei
dalam operasional wakaf sebagaimana dalam Hukum Brunei Bab 77
Pengadilan Religious dan Pengadilan Kadis 1984 Ed. Topi. 77 Bagian IV
Akun Pasal 11 bahwasanya upah pengelola wakaf diambil dari Dana
Abadi Umum.
Page 89
78
Dengan demikian, untuk operasional amil di Kuwait dan Mesir
diambil dari baitul mal atau kas negara/pemerintah sementara di Brunei
amil mendapatkan bayaran/upah atas tugas mereka dalam menjalankan
pemungutan zakat dan menyampaikan bantuan-bantuan kepada asnaf-
asnaf yang berhak di kawasan dan kampung mereka masing-masing, amil
juga mendapatkan beg, kalkulator, computer dan sebagainya untuk
menunjang kinerjanya, serta mendapatkan biaya pembelanjaan pentadbiran
zakat.
Page 90
79
BAB IV
Pandangan Ulama Tentang Upah Nadzir Wakaf dan Amil Zakat
A. Larangan Upah Bagi Nadzir Wakaf Dan Amil Zakat
Menurut pandangan Ibn „At dan Ibn Marzuq dari Malikiyah, bahwa nadzir
tidak mengambil upah dari wakaf yang dikelolanya, melainkan dari Negara
bila wakaf dikelola oleh pemerintah, atau baitul mal.1 Adapun beberapa
pandangan ulama terkait larangan upah bagi nadzir yang dilakukan beberapa
pihak adalah sebagai berikut:
1. Penentuan Upah Oleh Wakif
a. Seorang wakif memberikan upah kepada nadzir melebihi upah
standard
Menurut ulama Hanabilah, hak ini tidak boleh diambil oleh nadzir,
untuk mendapatkan tambahan upah tersebut, seorang nadzir harus
memberikan bukti tertulis dari wakif yang menyatakan dia berhak
menerimanya. Jika wakif menentukan tambahan upah untuk nadzir, ia
berhak menerima upah tersebut, tetapi dengan status sebagai orang yang
berhak menerima wakaf (mustahik) bukan sebagai pengelola. Hal ini
selaras dengan pendapat ulama lainnya seperti Syafi‟iyah, Malikiyah
ataupun Hanafiyah.
Sebagian ulama Hanafiyah berpendapat jika wakif memberikan
upah kepada nadzir yag ditunjuk untuk mengelola wakafnya melebihi
standard, kemudian nadzir tersebut menyerahkan urusannya kepada orang
lain, maka orang yang diserahi urusan wakafnya tersebut hanya
mendapatkan upah standard saja. Karena yang berhak mendapatkan
kelebihan upah hanya nadzir yang ditunjuk oleh wakif. Orang yang
1 Wahiduddin Adams, “Signifikansi Peran Dan Fungsi Nazhir Menurut Hukum Islam
Dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004”, Al-Awqaf , IV, 4,( Januari, 2011), H. 46
Page 91
80
diserahi urusan wakaf oleh nadzir tidak berhak mendapatkan upah yang
lebih dari standard. Karena dia tidak termasuk dalam syarat wakif.2
Apabila seorang nadzir sendiri adalah wakif maka menurut ulama
Syafi‟iyah, ia tidak memiliki hak tambahan upah, hal ini berdasarkan dua
sebab yaitu:
1) Kelebihan upah itu didapatkan nadzir karena posisinya sebagai
mustahik, bukan sebagai wakif.
2) Wakaf terhadap diri sendiri tidak diperbolehkan, atas dasar
tersebut kelebihan upah standard akan menyembunyikan maksud
dari wakaf terhadap diri sendiri, untuk mencegah hal tersebut,
mereka melarangnya.
Ulama Hanabilah menetapkan jika upah nadzir melebihi upah
standard, maka nadzir harus mengeluarkan sebagian upahnya untuk
kepentingan wakaf.3
Adapun dari beberapa pendapat mengenai larangan pemberian
upah kepada nadzir yang ditentukan oleh wakif didasarkan pada kelebihan
upah yang diterima oleh nadzir yang melebihi standard upah nadzir pada
umumnya dan larangan mengenai nadzir yang merangkap sebagai wakif
karena hal tersebut akan menyembunyikan maksud dari berwakaf terhadap
diri sendiri.
2. Penentuan Upah Oleh Hakim
a. Nadzir termasuk jenis orang yang tidak mengambil upah dari
pekerjaan sukarela
2 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, “Hukum Wakaf Kajian Kontemporer Pertama
Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengeketa
Wakaf”, (Ciputat: Dompet Dhuafa Republika Dan Iiman Press, 2004), h. 502 3 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, “Hukum Wakaf Kajian Kontemporer Pertama
Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengeketa
Wakaf”, (Ciputat: Dompet Dhuafa Republika Dan Iiman Press, 2004), h. 503
Page 92
81
Menurut Ulama Hanabilah hakim tidak diharuskan untuk
menentukan upah atas kinerja nadzir. Sebab dari sebagian manusia ada
yang mempunyai citra diri yang tinggi untuk tidak menerima upah atas
pekerjaan yang dilakukan, ia bekerja dengan sukarela tanpa
mengaharapkan imbalan apa-apa, dan termasuk orang yang memeiliki
kedududkan tinggi dalam perilakunya yang selalu menjaga
kehormatannya. Dan hal itu sesuai dengan kaidah fikih yang berbunyi,
“kebaikan yang telah diketahui bagaikan sebuah syarat yang telah
diisyaratkan”. Maka kesanggupan dan penerimaan nadzir dalam
mengelola wakaf tanpa adanya penetuan upah terlebih dahulu
dianggap sebagai syarat yang menyatakan bahwa tidak adanya hak dia
untuk mendapatkan upah atas kerjanya.4
b. Nadzir tidak berhak mendapatkan upah terkecuali membutuhkan
Dalam kitab al-furu’ disebutkan “tidak boleh bagi wali anak kecil
untuk mengambil sebagian harta dari anak asuhnya. Kecuali lebih
sedikit dari upah standard atau sesuai dengan kebutuhannya”. Nadzir
dikiaskan sebagai orang tua yang mengurusi anaknya, maka nadzir
tersebut tidak diperkenankan untuk mendapatkan upah dari mengasuh
anaknya terkecuali ia membutuhkan dan pemgambilan tersebut
berdasarkan kebutuhan.5
Menurut ulama Syafi‟iyah nadzir tidak berhak mendapatkan upah
kecuali dia membutuhkan untuk memenuhi kebutuhannya dan dia
menuntutnya, upah yang diambil dari keuntungan wakaf disesuaikan
dengan kinerja dan kebutuhannya saja. Namun, jika nadzir tersebut
4 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, “Hukum Wakaf Kajian Kontemporer Pertama
Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengeketa
Wakaf”, (Ciputat: Dompet Dhuafa Republika Dan Iiman Press, 2004), h. 509 5 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, “Hukum Wakaf Kajian Kontemporer Pertama
Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengeketa
Wakaf”, (Ciputat: Dompet Dhuafa Republika Dan Iiman Press, 2004), h. 50
Page 93
82
tidak membutuhkannya, maka nadzir tersebut tidak mempunyai hak
sedikitpun dari hasil wakaf tersebut. 6
Dari uraian pendapat ulama tersebut dapat disimpulkan seorang nadzir
tidak diperkenankan mendapatkan upah karena nadzir merupakan
pekerjaan suka rela yang tidak ada ketentuan untuk diberikan upah dan
apabila nadzir merupakan orang mampu maka upah tersebut tidak boleh ia
terima.
Selain larangan upah bagi nadzir, adapula larangan upah bagi amil,
dalam menjalankan tugasnya sebagai pengumpul, pendistribusi zakat, dan
orang yang amanah dalam menjalankan tugas, seorang amil tidak
diperbolehkan untuk menerima hadiah, sogokan, atau hibah dalam bentuk
uang ataupun barang yang berkaitan dengan statusnya.7 Selain itu bagian
yang diberikan kepada panitia zakat (amil) dikategorikan sebagai upah atas
kerja yang dilakukannya. Panitia masih tetap diberi bagian zakat,
meskipun ia orang kaya, karena, jika itu dikategorikan sebagai zakat atau
sedekah, dia tidak boleh mendapatkannya. 8
Sebagaimana dalam Fatwa MUI tentang Amil Zakat disebutkan:
“Amil zakat yang telah memperoleh gaji dari negara atau lembaga swasta
dalam tugasnya sebagai Amil tidak berhak menerima bagian dari dana
zakat yang menjadi bagian Amil. Sementara amil zakat yang tidak
memperoleh gaji dari negara atau lembaga swasta berhak menerima bagian
dari dana zakat yang menjadi bagaian Amil sebagai imbalan atas dasar
prinsip kewajaran”. 9
6 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, “Hukum Wakaf Kajian Kontemporer Pertama
Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengeketa
Wakaf”, (Ciputat: Dompet Dhuafa Republika Dan Iiman Press, 2004), h. 507 7 Elsi Kartika Sari, “Pengantar Hukum Zakat Dan Wakaf”, (Jakarta: PT Grasindo, 2006),
h. 39 8 Wahbah Zuhayly, “Zakat: Kajian berbagai Madzhab”, cet, 6, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2005), h. 283 9 Fatwa MUI Nomor 8 tahun 2011 tentang Amil Zakat
Page 94
83
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa larangan pemberian upah
kepada amil zakat berlaku apabila amil sudah mendapatkan gaji yang ia
peroleh dari negara atau lembaga swasta dan ia tidak berhak mendapatkan
bagian sebagai amil (mustahik zakat).
B. Kebolehan Upah Bagi Nadzir Wakaf Dan Amil Zakat
Nadzir berhak menerima upah untuk jerih payahnya adalam mengurus
harta wakaf, selama ia melakasanakan tugasnya dengan baik. Besaran upahnya
disesuaikan dengan ketentuan wakif, bisa sepersepuluh seperdelapan atau
berapa saja yang pantas menurut pertimbangan wakif. Apabila wakif tidak
menentukan besaran upah nadzir, maka hakim dapat menentukan besaran
upahnya baik perbulan atau pertahun sesuai dengan berat ringan tugas yang
diembannya. 10
Bahkan dalam suatu riwayat dijelaskan “bayar hak seorang pekerja itu,
sebelum keringatnya kering”11
. Hal ini sudah dilakukan oleh Rasullullah
sendiri dan juga sabahat Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Menurut
ulama Hanafi, Maliki dan Imam Ahmad, nadzir berhak mendapatkan upah
dari hasil usaha wakaf yang telah dikembangkan. Adapun besarnya berbeda
satu dengan yang lain, sesuai dengan tanggungjawab dan tugas diembannya.
Namun harus disesuaikan dengan ketentuan wakif, jika wakif tidak
menentukan maka ditetapkan hakim atau kesepakatan para
pengelola/managemen wakaf yang ada.12
Sedangkan para pengurus zakat
berhak menerima zakat karena status mereka adalah sebagai pegawai. Karena
itu, orang yang statusnya seperti itu, ia perlu diberi bagian zakat sesuai dengan
10
Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf , cet. 1, (Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press, 1988), h. 92 11
Imam al-Hafidh Ibnu Hajar al-„Asqolani, Kitab Bulughul Maram min ‘Adillah al-
Ahkam, (Surabaya: al-haramain), h. 195 12
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat jenderal Bimbingan Masyarakat Islam,
“Kumpulan khutbah Wakaf”, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2008), h.125
Page 95
84
statusnya tersebut, baik kaya maupun miskin.13
Adapun dalam besaran upah
atau bagiannya, para ulama berbeda pendapat.
Untuk lebih jelasnya maka berikut pandangan ulama terkait kebolehan
upah bagi nadzir dan amil.
1. Kebolehan Upah Bagi Nadzir Wakaf
Para Ulama fikih dari berbagai madzhab menyetujui adanya
pemberian upah atau imbalan kepada nadzir yang mengelola harta
benda wakaf, namun dalam hal jumlah imbalan yang diberikan kepada
nadzir jumhur ulama berbeda pendapat, dan dari mana dana imbalan
itu dikeluarkan. Yang menjadi rujukan dalil mereka antara lain
pernyataan Umar bin Khattab dalam pengelolaan wakafnya:14
لمى عروف ويطعم غير مت ها أن يأكل منها بالم لاجناح على مه ولي
Artinya:
“Tidak dilarang bagi orang yang mengurusinya (nadzir) untuk
mengambil makan dari (hasil) harta wakaf dengan cara yang baik,
atau untuk memberi jamuan kepada temannya, tanpa maksud
mengambil kekayaan dari harta wakaf itu”.(H.R Bukhari)15
Berdasarkan hal tersebut diatas, Ulama fikih dalam Madzhab
Hanafiyah, Malikiyah, Syafi‟iyah, maupun Hanabilah sepakat jika nadzir
menerima imbalan sesuai upah standard (ajrun al-mitsl) atau lebih. Hanya
saja diantara mereka terdapat perbedaan tentang penerimaan imbalan
tersebut (apalagi yang melebihi upah standard)16
apakah dapat langsung
menerima atau langsung mengambil, atau harus menunggu nominalnya
13
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Fiqih Zakat Kontemporer Soal Jawab Ihwal Zakat
Dari Yang Klasik Hingga Terkini,(Solo: Al-Qowam, 2011), h. 299 14
Muhammad Subari bin Ramli, Marliana binti Abdullah, “Penentuan Kadar Ujrah Al-
Nazir Dalam Pengurusan Wakaf”, International Research Management and Innovation
Conference 2014 (IRMIC 2014) KL, 17 – 18 November 2014, h.754 15
Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), 2532 16
Tolhah Hasan, “Pemberdayaan Nadzir”, Al-Awqaf, IV, 4,( Januari, 2011), H. 12
Page 96
85
dari wakif atau dari hakim dan dari mana dana tersebut diambil, apakah
dari baitul mal atau dari hasil bersih harta wakaf tersebut.
Karena tugasnya yang berat maka nadzir berhak mendapatkan haknya
dari pengelolaan wakaf. Seperti pada umumnya bahwa nadzir berhak
memperoleh hasil pengembangan wakaf paling banyak 10%. Sedangkan di
Indonesia nadzir memperoleh imbalan dari hasil bersih atas pengelolaaan
dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi
10%.17
Adapun beberapa pandangan ulama mengenai kebolehan memberi
upah kepada nadzir wakaf adalah sebagai berikut:
Hadist Umar ra yang mewakafkan tanahnya di Khaibar beliau
mengatakan:
لمى عروف ويطعم غير مت ها أن يأكل منها بالم لاجناح على مه ولي
Artinya:
“Tidak dilarang bagi orang yang mengurusinya (nadzir) untuk
mengambil makan dari (hasil) harta wakaf dengan cara yang baik,
atau untuk memberi jamuan kepada temannya, tanpa maksud
mengambil kekayaan dari harta wakaf itu”. (H.R Bukhari)18
Dan hadits tentang upah pada zaman Rasulullah
“Siapa yang bekerja dengan kita (orang Islam) dan ia tidak
mempunyai tempat tinggal hendaklah disediakan kepadanya rumah.
17
Uswatun Hasanah, “Urgensi Pegawasan Dalam Pengelolaan Wakaf Produktif,
Universitas Indonesia”, Al Ahkam Jurnal Pemikiran Hukum Islam, XXII, 1, (April, 2012) , h. 74 18
Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), 2532
Page 97
86
Jika ia belum kawin hendaklah dipilihkan jodoh untuknya dan jika
tidak ada kendaraan hendaklah disediakan kendaraan untuknya”.19
Kedua hadits tersebut menjelaskan mengenai upah yang boleh
diambil dari hasil pengembangan wakaf, serta sikap dalam menentukan upah
yang sesuai dengan kelayakan dan kecukupan sebagaimana mereka adalah
keluarga kita sendiri, apabila kita makan dan tidur dengan enak maka
hendaklah mereka juga merasakan hal yang sama dengan majikan (wakif).
Dalam menentukan kadar upah juga harus sesuai dengan kinerjanya dalam
merawat dan mengembangkan harta wakaf.
Penentuan upah bisa dilakukan oleh beberapa pihak yaitu:
a. Penentuan Upah Oleh Wakif
Pandangan para Ulama dalam hal menentukan besaran upah yang
diberikan kepada nadzir, seorang wakif berhak menentukannya. Dan
dalam penentuannya itu wakif boleh menentukan upah yang sesuai
dengan ukuran kelayakan menurut pandangan dia. Oleh karenanya
kesempurnaan wakaf akan tercapai jika sesuai dengan apa yang
diisyaratkan wakif termasuk juga dalam hal menentukan mustahik dan
upah nadzir.
1) Seorang wakif memberikan upah kepada nadzir melebihi upah
standard.
Dalam terjemahan kitab al is’af dikatakan bahwa apabila si
wakif memberikan upah lebih besar dari upah standard maka hal
tersebut diperbolehkan karena jika dia memberikan upah kepada
orang yang tidak diisyaratkan saja diperbolehkan, maka
memberikan upah kepada yang diisyarakatkan lebih diutamakan,
19
Muhammad Subari bin Ramli, Marliana binti Abdullah, “Penentuan Kadar Ujrah Al-
Nazir Dalam Pengurusan Wakaf”, International Research Management and Innovation
Conference 2014 (IRMIC 2014) KL, 17 – 18 November 2014, h.754
Page 98
87
terlebih kesempurnaan wakaf tergantung pada syarat wakif selama
tidak bertentangan dengan hukum (yang telah ditentukan).20
Sebagian ulama Hanafiyah berpendapat jika wakif memberikan
upah kepada nadzir yang ditunjuk untuk mengelola wakafnya
melebihi standard, kemudian nadzir tersebut menyerahkan
urusannya kepada orang lain, maka orang yang diserahi urusan
wakafnya tersebut hanya mendapatkan upah standard saja. Karena
yang berhak mendapatkan kelebihan upah hanya nadzir yang
ditunjuk oleh wakif. Orang yang diserahi urusan wakaf oleh nadzir
tidak berhak mendapatkan upah yang lebih dari standard. Karena
dia tidak termasuk dalam syarat wakif. Kecuali jika wakif
menyamarakatan hal tersebut, kecuali jika wakif menyamarakan
hal tersebut seperti menentukan upah yang lebih dari semestinya
menjadi hak nadzir dan setiap orang yang menggantikan
kedudukannya, atau dia tidak menentukannya bagi orang tertentu.21
Sebagian ulama Hanafiyah lainnya berpendapat apabila wakif
menambahkan orang yang terpercaya selain nadzir dalam
mengelola wakaf, atau memasukkan orang sesuai ketentuan
syaratnya, maka wakif boleh mengambil sebagian dari upah nadzir
yang melebihi standard untuk diberikan kepada orang tersebut.22
Dari pandangan ulama tersebut dapat disimpulkan kebolehan
memberikan upah kepada nadzir wakaf berdasarkan penentuan
wakif yang sesuai dengan ukuran kelayakan menurut pandangan
dia serta apabila ada tambahan orang selain nadzir yang ditunjuk
20
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, “Hukum Wakaf Kajian Kontemporer Pertama
Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengeketa
Wakaf”, (Ciputat: Dompet Dhuafa Republika Dan Iiman Press, 2004), h. 501 21
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, “Hukum Wakaf Kajian Kontemporer Pertama
Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengeketa
Wakaf”, (Ciputat: Dompet Dhuafa Republika Dan Iiman Press, 2004), h. 502 22
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, “Hukum Wakaf Kajian Kontemporer Pertama
Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengeketa
Wakaf”, (Ciputat: Dompet Dhuafa Republika Dan Iiman Press, 2004), h. 503
Page 99
88
wakif namun nadzir mengonfirmasikan kepada wakif maka wakif
dapat menyamarakatan upah tersebut kepada nadzir dan orang
tambahan tersebut.
b. Penetuan Upah Oleh Hakim
Ketika upah seorang nadzir tidak ditentukan atau kurang dari
standard maka hakim berhak untuk menetukan upah terhadap nadzir
namun berdasarkan permintaan atau tuntutan dari nadzir atas upah
yang diarasa tidak memenuhi standard, namun yang menjadi
pertanyaan adalah seberapa besarkah hak nadzir (upah) yang harus
diberikan oleh wakif maupun hakim? Dan dari mana upah yang akan
diberikan kepada nadzir yang diangkat oleh hakim?
Beberapan faktor dan pendapat ulama ketika wakif atau hakim
tidak menentukan upah nadzir baik berupa nominal maupun presentase
antara lain:
1) Nadzir tidak mengadukan perkara tersebut kepada hakim untuk
menetapkan upahnya.
Ketika upah seorang nadzir belum ditentukan baik dari
hakim maupun dari wakifnya, maka nadzir diperbolehkan
untuk mengambil bagian yang sesuai dengan kualitas
kinerjanya dari keuntungan wakaf. Meskipun tidak ada izin dari
hakim. pendapat ini di kutip dari pendapat Ibn Al-Shibak dalam
kitab Tuhfah Al-Muhtaj.
2) Nadzir mengadukan perkara tersebut kepada hakim untuk
menentukan upahnya
Menurut pandangan Hanafiyah dan Malikiyah, hakim
memiliki hak untuk menetukan upah nadzir, asalkan sesuai
dengan upah standard. Apabila yang ditentukan melebihi upah
standard maka kelebihan tersebut harus dikembalikan.
Page 100
89
Adapun menurut pandangan Syafi‟iyah, nadzir berhak
mendapatkan upah standard baik membutuhkan maupun tidak,
karena upah tersebut merupakan hak dan jerih payahnya dalam
mengelola wakaf yang diamanahkan kepadanya tanpa
memandang tingkat kebutuhannya.23
Menurut pandangan Hanabilah, nadzir termasuk jenis orang
yang bekerja untuk mendapatkan upah dari pekerjaannya
termasuk dalam mengelola wakaf, nadzir wakaf diperbolehkan
makan dari harta wakaf dengan cara yang baik ketika dia
membutuhkannya ataupun tidak. Hal ini sebagaimana
perkataan Umar ra ketika beliau mewakafkan tanahnya di
Khaibar.
Nadzir cukup mengambil upah sesuai dengan kebutuhannya saja
atau lebih sedikit dari upah standard, hal ini dianalogikan seperti wali yang
mengasuh anak kecil yang tidak berhak atas upah terebut terkecuali dia
merupakan orang miskin (membutuhkan).
Dalam kitab al-furu’ disebutkan “tidak boleh bagi wali anak kecil
untuk mengambil sebagian harta dari anak asuhnya. Kecuali lebih sedikit
dari upah standard atau sesuai dengan kebutuhannya..” Abu al-Khatab juga
berpendapat demikian dan menambahkan kalimat „memakannya dengan
cara yang baik‟. Mereka mengiaskan Nadzir berhak mendapatkan upah
standar sebagai imbalan atas pekerjaannya dan dalam hal penentuan
upahnya di samakan dengan upah pekerjaan yang sejenis.
Menurut padangan Malikiyah nadzir berhak mendapatkan upah
sesuai dengan yang ditentukan wakif berapapun nominalnya, dan upah
tersebut diambil dari keuntungan wakaf yang dikelola sesuai dengan yang
disyaratkan wakif.
23
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, “Hukum Wakaf Kajian Kontemporer Pertama
Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengeketa
Wakaf”, (Ciputat: Dompet Dhuafa Republika Dan Iiman Press, 2004), h.507
Page 101
90
Apabila upah tidak ditentukan oleh wakif ataupun hakim, atau
upah ditentukan hakim bagi orang yang diangkatnya, ataupun upah yang
ditentukan wakif lebih sedikit dari upah standard kemudian nadzir
meminta kepada hakim untuk ditambah upah tersebut sehingga sesuai
dengan upah standard, dalam hal ini menurut padangan Malikiyah, nadzir
yang upahnya ditentukan hakim maka upahnya diambil dari baitul mal
bukan dari keuntungan wakaf. Apabila nadzir mndapatkan upah dari
keuntungan wakaf maka dia harus mengembalikannya. Karena apabila
nadzir mengambil keuntungan dari wakaf sama halnya dengan merubah
wasiat, dimana seorang wakif tidak menetapkan upah apapun untuk
nadzir, ini berarti ia telah melarang untuk memberikan upahnya kepada
nadzir. 24
Selain seorang nadzir mempunyai kewajiban untuk mengelola, menjaga
dan mengembangkan harta wakaf, maka nadzir juga mempunyai hak, yaitu
mendapatkan upah, adapun yang menjadi hak nadzir dalam pengelolaan wakaf
ditentukan melalui:
Standard pekerjaan yang dilakukan nadzir dan waktu dimulainya hak upah
bagi nadzir.
1) Standard pekerjaan yang dilakukan Nadzir
Dalam hal standard pekerjaan nadzir, sebetulnya tidak ada standard khusus
untuk mengukur pekerjaan seorang nadzir, namun nadzir diberikan beban
tanggungjawab untuk mengelola dan melakukan berbagai aktivitas yang
berkaitan dengan wakaf, para fuqaha berpandangan bahwa nadzir tidak
24
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, “Hukum Wakaf Kajian Kontemporer Pertama
Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengeketa
Wakaf”, (Ciputat: Dompet Dhuafa Republika Dan Iiman Press, 2004), h. 511
Page 102
91
dituntut untuk bekerja namun diharapkan untuk tidak lengah dan teledor
dalam menjaga dan mengelola wakaf (pekerjaannya).25
Apabila hak pengelolaan wakaf dipegang oleh wanita, maka dia tidak
dituntut untuk bekerja kecuali selazimnya seorang pekerja perempuan karena
wanita berbeda degan laki-laki, dalam hal ini wanita bekerja sesuai dengan
porsinya dan kemampuannya. Sebagaimana dalam kitab al is’af disebutkan
“apabila hak pengelolaan diberikan kepada seorang wanita dan ditentukan
baginya upah tertentu, maka dia tidak boleh dibebani untuk melakukan
sesuatu, kecuali sesuai dengan kemampuannya sebagai wanita”.
Apabila terjadi perselisihan antara nadzir dan wakif karena wakif tidak
menentukan upah bagi nadzir maka nadzir dapat meminta hakim untuk
menetukan upah atas pekerjaannya. Namun apabila terjadi hal demikian
namun nadzir tetap diam saja (tidak meminta hakim menentukan upahnya)
maka nadzir hanya perlu melakukan tanggungjawabnya sebagaimana nadzir
yang lainnya, adapun yang lebih dari itu maka ia tidak bertanggungjawab
sedikitpun.
Apabila nadzir dalam hal melakukan pekerjaannya dibantu oleh wakilnya
maka dalam hal upah yang diberikan kepada wakilnya diambil dari upah yang
ditentukan untuk dirinya.26
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan apabila wakif tidak
menentukan nominal atau presentase dari upah yang diperoleh nadzir atas
hasil wakaf maka hakim dapat menentukan upah dengan catatan nadzir
melaporkan hal tersebut dengan stadar yang telah ditentukan sebagaimana
nadzir yang lain dalam hal mengelola harta wakaf dan apabila nadzir dalam
25
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, “Hukum Wakaf Kajian Kontemporer Pertama
Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengeketa
Wakaf”, (Ciputat: Dompet Dhuafa Republika Dan Iiman Press, 2004), h. 512 26
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, “Hukum wakaf Kajian Kontemporer Pertama
dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian Atas Sengeketa
Wakaf”, (Ciputat: Dompet Dhuafa republika dan IIMaN Press, 2004), h. 514
Page 103
92
menjalankan tugasnya dibantu wakilnya maka upah wakilnya diambil dari
upah nadzir.
2) Waktu Diberikannya Upah Bagi Nadzir
Apabila upah nadzir telah ditentukan baik oleh wakif maupun
hakim, para fuqaha sepakat bahwa nadzir berhak mendapatkan upah
semenjak dia mulai mengelola dan mengurus harta wakafnya baik dengan
cara membangun, mengeksploitasi, menjual hasil produksi dan
mendistribusikan apa-apa yang telah terkumpul kepadanya. Sesuai dengan
apa yang disayaratkan wakif dan pekerjaan lainya yang biasa dilakukakan
rekan sesama nadzir. Karena pada dasarnya upah tersebut adalah balasan
dari pekerjaannya.27
2. Kebolehan Upah Amil Zakat
Allah menyediakan upah bagi amilin dari harta sebagai imbalan jasa dari
tugas mereka walaupun mereka termasuk dalam orang kaya. Oleh sebab itu
jumlah bagian amilin tidak disamakan dengan bagian asnaf lain seperti fakir
dan miskin, amilin diberikan bagian atau imbalan berdasarkan kebutuhannya.
Berdasarkan surat at-taubah ayat 60 maksimal amilin menerima 1/8 atau
12,5% hal itu dilakukan apabila zakat yang terhimpun didistribusikan secara
merata dengan asnaf yang lain. Bagian amil tidak hanya diperuntukan untuk
gaji saja melainkan untuk operasional lembaga atau badan amil tersebut.28
Adapun besarnya zakat yang diberikan kepada pengurus zakat, menurut
kesepakatan ulama ialah sebesar yang diberikan oleh imam berdasarkan
pertimbangan atas kinerjanya, atau sebesar biaya transportasi yang diperlukan
olehnya selama mengurusi zakat. Tetapi madzhab Hanafi memberikan catatan
27
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, “Hukum wakaf Kajian Kontemporer Pertama
dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian Atas Sengeketa
Wakaf”, (Ciputat: Dompet Dhuafa republika dan IIMaN Press, 2004), h. 515 28
Elsi Kartika Sari, “Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf”, (Jakarta: PT Grasindo, 2006),
h. 39
Page 104
93
bahwa pemberian yang diberikan kepada amil hendaknya tidak melebihi
setengah dari bagian zakat yang telah dipungutnya.29
Besaran hak amil 12,5% bukanlah merupakan sesatu yang mutlak
melainkan suatu bentuk kehati-hatian agar amil tidak mengambil bagian zakat
yang terlalu besar dari bagian fakir dan miskin.30
Untuk meminimalisir pengeluaran suatu badan atau lembaga pengelola
zakat, lebih baik pegawai zakat (amilin) yang dipekerjakan tidak melebihi
keperluan, Jika dimungkinkan gaji amilin ditetapkan dan diambil dari
anggaran pemerintah, sehingga uang zakat dapat disalurkan kepada mustahiq
zakat. 31
Amilin juga tidak boleh menerima hadiah, sogokan, atau hibah dalam
bentuk uang ataupun barang yang berkaitan dengan statusnya.32
Untuk
pendistribusian zakat tidak boleh disalurkan untuk kepentingan pembangunan
masjid, jalan waduk dll yang tidak mengandung unsur kepemilikan (tamlik)
karena tamlik merupakan salah satu rukun zakat.33
Bagian yang diberikan kepada panitia zakat dikategorikan sebagai upah
atas kerja keras yang dilakukan amil. Panitia masih diberikan bagian zakat
meskipun ia merupakan orang kaya, karena jika hal tersebut dikategorikan
sebagai zakat atau sedekah ia tidak boleh mendapatkannya. 34
Menurut Ulama Malikiyah amil zakat yang sekalipun boleh menerima
zakat sesuai dengan kerjanya. Bukan karena kefakirannya. Jika seorang amil
merupakan fakir maka amil tersebut berhak menerima dua bagian dari zakat
29
Wahbah Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, cet. 6, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2005), h. 292 30
Didin Hafidhuddin dkk, “Anda Bertanya Tentang Zakat Infak dan Sedekah Kami
Menjawab”, (Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), 2006), h. 90 31
Elsi Kartika Sari, “Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf”, (Jakarta: PT Grasindo, 2006),
h. 39 32
Elsi Kartika Sari, “Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf”, (Jakarta: PT Grasindo, 2006),
h. 39 33
Abdurrahman Al-Jaziri, “Fiqih Empat Madzhab Bagian Ibadat (Puasa, Zakat, Haji,
Kurban)”, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1996), h. 159 34
Wahbah Al Zuhayly, “Zakat Kajian Berbagai Madzhab”, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2005), h. 283
Page 105
94
tersebut yaitu sebagai amil dan sebagai fakir. 35
Amil zakat diperbolehkan
mendapatkan bagian dari zakat apabila dibagikan oleh imam, dan ia tidak
mendapatkan bayaran secara khusus karena amil bukan merupakan pekerjaan
melainkan suatu kesukarelaan. Atas dasar itulah amil diberi (zakat) upah atas
yang sesuai dengan ukuran pekerjaan yang setara (semisal).36
Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah amil zakat boleh menerima zakat
sesuai dengan kerjanya.37
Sebagaimana Ulama Malikiyah, Ulama Hanabila
pun memperbolehkan amil untuk mengambil bagiannya sesuai dengan
kerjanya sekalipun ia merupakan orang kaya.38
Ada tiga pendapat mengenai bagian atau upah amil, yaitu:
a. Sebagian ahli fiqih berpendapat bahwa amil (panitia zakat) berhak
menerima bagian sebesar 1/8.
b. Sebagain ulama yang lain berpendapat bahwa ketentuan mengenai
besaran bagian amil ditentukan berdasarkan kebijaksanaan
pemimpin yang disesuaikan dengan usaha masing-masing dan
upah yang wajar.
c. Namun sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa amil
menerima gaji yang diambil dari baitul mal.39
Point (a) sesuai dengan pandangan Imam Syafi‟i yang mengatakan bahwa
amil mendapatkan bagian seperdelapan.40
35
Abdurrahman Al-Jaziri, “Fiqih Empat Madzhab Bagian Ibadat (Puasa, Zakat, Haji,
Kurban)”, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1996), h. 161 36
Abdurrahman Al-Jaziri, “Fiqih Empat Madzhab Bagian Ibadat (Puasa, Zakat, Haji,
Kurban)”, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1996), h. 166 37
Abdurrahman Al-Jaziri, “Fiqih Empat Madzhab Bagian Ibadat (Puasa, Zakat, Haji,
Kurban)”, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1996), h. 158 38
Abdurrahman Al-Jaziri, “Fiqih Empat Madzhab Bagian Ibadat (Puasa, Zakat, Haji,
Kurban)”, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1996), h. 163 39
Husein As-Syahatah, “Akuntansi Zakat Panduan Praktis Penghitungan Zakat
Kontemporer”, (Jakarta: Pustaka Progressif, 2004), H. 203 40
Abu Zahrah, “ Zakat dalam Perspektif Sosial”, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995), h.
152
Page 106
95
Namun lain halnya dengan Imam Abu Hanifah, menurut pandangannya
amil diberikan haknya sesuai dengan pekerjaannya dan kebutuhnnya secara
makruf sebagaimana hakim, jaksa dan pejabat. Hal ini juga sama dengan
pendapat Imam Malik. 41
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kebolehan upah
amil diberikan berdasarkan kinerjanya dan kebutuhannya yang diambil secara
makruf seperti hakim, jaksa, dan pejabat. Hak amil sebesar 12,5% bukanlah
merupakan suatu yang mutlak melainkan suatu bentuk kehati-hatian agar amil
tidak mengambil bagian zakat yang terlalu besar dari bagian fakir dan miskin.
Namun, apabila amil sudah diberikan upah/gaji dari baitul mal ataupun negara
maka amil tidak berhak mengambil bagian dari zakat.
C. Alasan Dari Kebolehan Dan Larangan Upah Nadzir Wakaf Dan Amil
Zakat
Menurut pendapat ulama terkait dengan kebolehan fee atau upah untuk
nadzir para ulama telah bersepakat bahwa nadzir berhak untuk memperoleh
imbalan atau bayaran dari hasil kerja kerasnya dalam mengelola harta wakaf,
namun dalam hal besaran imbalan yang diterima nadzir para ulama masing-
masing berselisih pandangan mengenai hal tersebut. Para ulama menyatakan
yang berhak menentukan besaran imbalan yang diperoleh nadzir adalah si
pewakaf (wakif). Namun apabila wakif tidak menentukan besaran imbalannya
maka dalam hal ini hakim atau pemerintah turun tangan untuk menentukan
besarnya imbalan tersebut. Besaran imbalan yang diterima nadzir adalah upah
minimum yang biasa diterima oleh mereka yang pekerjaannya sama dengan
nadzir, apabila si wakif menentukan imbalan bagi nadzir dibawah standar
upah minimum, maka nadzir boleh mengadukan hal tersebut kepada hakim
atau pemerintah.42
41
Abu Zahrah, “ Zakat dalam Perspektif Sosial”, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995), h.
152 42
Rizaluddin, “Book Review: Al-Waqfu Fi As-Syariah Al-Islamiah Wa Atsaruhu Fi
Tanmiyah Al-M ujtama”, Al-Awqaf ,V, 1, (Januari, 2012). H.85-86
Page 107
96
Seorang nadzir dalam menjalankan tugasnya mengembangkan, merawat,
serta mendistribusikan hasil pengembangan wakaf sudah sepatutnya
mendapatkan upah atas kinerjanya dimana harus mempertimbangkan
kecukupan dan kelayakan dalam mengelolanya. Namun, mengenai penentuan
upah tersebut tidak ada batasan tertentu. Karenanya bisa berbeda-beda
tergantung tempat dan kondisinya.
Begitupula upah tersebut harus sesuai dengan kemampuan dan kecakapan
nadzir serta penentuan dari wakif. Adapun bentuk daripada upah tersebut juga
bermacam-macam, baik berupa uang atau prosentase. Ataupun wakif
memberikan hak kepada nadzir untuk mengambil hasil wakaf setiap bulan
ataupun setiap tahun. Semuanya kembali kepada syarat waqif atau kebiasaan
(‘urf) yang berlaku dalam masalah itu.
Sebagaimana pendapat Abu Zahrah bahwa ketentuan 10% dari hasil
bersih pengelolaan dan pengembangan harta wakaf untuk imbalan nadzir itu
tidak mempunyai dasar fikih yang dapat dijadikan rujukan, kecuali jika 10%
itu dianggap sebagai upah standard atau kebiasaan (urf). 43
Dalam hal ini perlu dipertanyakan dari mana dana untuk melakukan
perawatan terhadap harta benda wakaf, jika wakif menyediakan dana khusus
untuk itu, nadzir hendaknya menggunakan yang telah disiapkan wakif baik
dana itu berasal dari harta miliknya atau biaya pemeliharaannya diambil dari
hasil wakaf itu sendiri. Apabila harta wakaf keadaanya sudah siap untuk
dimanfaatkan sebagaimana rumah yang siap untuk disewakan atau tanah yang
siap ditanami, dana pemeliharaanya dapat diambil dari hasil harta wakaf.
Sedangkan apabila harta wakaf memerlukan dana pemeliharaan, nadzir harus
memprioritaskan perawatan daripada membaginya pada mustahik. Apabila
harta wakaf digunakan untuk sarana umum seperti masjid, maka nadzir dapat
menggunakan hasil wakaf untuk kepentingan pembangunan dan perawatan
43
Wahiduddin Adams, “Signifikansi Peran Dan Fungsi Nazhir Menurut Hukum Islam
Dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004”, Al-Awqaf , IV, 4,( Januari, 2011), h. 46
Page 108
97
masjid. Tetapi apabila masjid tidak mempunyai sumber dana maka perawatan
dapat diperoleh dari kas Negara (baitul mal)44
Dalam penentuan pemberian upah yang telah dijabarkan menurut ulama
Hanafiyah, Malikiyah, Syafi‟iyah dan Hanabilah dapat diambil kesimpulan
bahwasanya upah seorang nadzir baik yang telah ditentukan maupun tidak
ditentukan oleh wakif seyogyanya harus memenuhi kebutuhan dan kelayakan
si nadzir tersebut terlebih lagi nadzir yang sudah berkeluarga, karena
tanggungan dan kebutuhannyapun berbeda dengan yang masih sendiri, dan
ketika seorang nadzir merangkap menjadi wakif maka hal tersebut tidak
diperbolehkan karena dikhawatirkan menyembunyikan maksud dari wakaf itu
sendiri.
Nadzir dalam batasan pekerjaannya hanya bersifat pengawasan dan
pengaturan sedangkan buruh batasan pekerjaannya sudah ditetapkan dan
hanya melakukan pekerjaan tertentu sedangkan nadzir tidak ada batasan
tertentu dalam melaksanakan kegiatan (pekerjaannya). Kemudian dalam hal
upah buruh mendapatkan upah yang pasti akan diterimanya sebagai imbalan
dari pekerjaannya baik kegiatan produksi itu mengalami keuntungan ataupun
kerugian, sedangkan nadzir dalam mendapatkan upah berkaitan erat dengan
hasil wakaf, namun terkadang ditentukan dari wakifnya, namun apabila wakif
tidak menentukan upah tersebut maka nadzir diperbolehkan untuk mengambil
upah dari hasil wakafnya sesuai dengan kadar pekerjaannya. 45
Dari yang dijelaskan dalam bab ini ada beberapa point yang disimpulkan
oleh para fuqaha terhadap kebolehan dan larangan bagi upah nadzir wakaf:
a) Apabila nadzir tidak melakukan pekerjaan yang semestinya dia kerjakan
maka nadzir tidak berhak mendapatkan upah. Kecuali jika sebelumya
wakif telah menentukan upah kepada nadzir. Mesipun nadzir tidak
44
Wahiduddin Adams, “Signifikansi Peran Dan Fungsi Nazhir Menurut Hukum Islam
Dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004”, Al-Awqaf , IV, 4,( Januari, 2011), H. 46 45
Jaribah Al-Haritsi, “Fikih Ekonomi Umar Bin Al-Khathab”, (Jakarta: Khalifa Pustaka
Al-Kautsar Group, 2010), h. 98
Page 109
98
melakukan pekerjaan apapun maka nadzir berhak menerima upah
berdasarkan yang telah disayaratkan oleh wakif, dalam hal ini nadzir
termasuk orang yang berhak menerima hasil wakaf bukan karena imbalan
pekerjaannya.
b) Nadzir berhak atas seluruh upahnya baik dalam kondisi sakit maupun
terkena musibah namun ia mampu melakukan kewajibannya dalam
mengelola harta wakaf tanpa ada keteledoran sedikitipun. Namun jika dia
tidak mampu maka ia tidak berhak mendapatkan upah kecuali disesuaikan
dengan pekerjaan yang telah ia lakukan.
c) Apabila nadzir meninggal dunia saat menjalankan tugas yang diembannya
maka ahli warisnya memiliki hak untuk menerima upah orang tuanya
semasa ia bekerja mengelola wakaf dan belum sempat diambil oleh nadzir
semasa hidupnya. Karena posisi nadzir ibarat buruh yang jika ia tidak
melakukan pekerjaan maka ia tidak akan mendapatkan upah.
d) Apabila nadzir dalam melakukan aktivitasnya belum ditentukan upah
terlebih dahulu baik dari wakif maupun hakim dan tidak mengadukan hal
tersebut kepada hakim maka, menurut para fuqaha nadzir tersebut berhak
menerima upah dihitung sejak ia menjalankan aktifitasnya sebagai nadzir
bukan sejak pengaduan perkaranya kepada hakim. karena tidak adanya
pengaduan nadzir kepada hakim bukan berarti ia kehilangan haknya dalam
memperoleh upah, apalagi disebabkan oleh masalah-masalah lain diluar
kehendaknya. Seperti halnya ia berkeyakinan bahwa wakif dan hakim
telah menentukan upah tahunan untuknya, dan diakhir taun ia sadar bahwa
sebenarnya selama ini belum ada penentuan upah untuknya.46
Dari berbagai pandangan ulama baik Hanafiyah, Malikiyah, Syafi‟iyah
dan Hanabila seorang nadzir diperbolehkan untuk mengambil bagiannya
sesuai dengan kebutuhannya. Karena jika dianalogikan nadzir seperti halnya
buruh, apabila ia tidak menjalankan tugasnya maka ia tidak berhak mengambil
46
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, “Hukum wakaf Kajian Kontemporer Pertama
dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian Atas Sengeketa
Wakaf”, (Ciputat: Dompet Dhuafa republika dan IIMaN Press, 2004), h. 516
Page 110
99
bagian dari pengelolaan atau upah terkecuali sudah ada kesepakatan antara
nadzir dengan wakif dalam pemberian upah atas hasil pengelolaan wakaf
tersebut.
Upah amil zakat sendiri mengikuti ketentuan agama yaitu 12,5% atau 1/8
namun jika hasil dari zakat itu sedikit maka prosentasenya akan berubah
sesuai dengan kondisi dan golongan yang diprioritaskan.
Sebagaimana firman Allah dalam Surat At-taubah Ayat 60
Artinya :
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-
orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk
jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai
suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana”.47
Dalam penentuan kadar jumlah yang diperoleh oleh amil hendaknya
mengambil madzhab Syafi‟I dalam menentukan batas yang paling tinggi yang
47
Q.S At-Taubah :60
Page 111
100
diberikan kepada petugas yang menerima dan yang membagikan zakat itu,
yaitu 1/8 dari hasil zakat, tidak boleh lebih dari itu.48
Amil adalah pegawai. Jadi ia berhak mendapatkan upah sesuai dengan
pekerjaannya, tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi. Menurut Imam
Syafi‟I, amil diberi zakat sebesar bagian kelompok lainnya karena didasarkan
pada pendapatnya yang menyamakan bagian semua golongan mustahik zakat.
Jika upah itu lebih besar dari bagain tersebut, harus diambil dari harta di luar
zakat. Sedangkan menurut jumhur ulama, amil itu diberi zakat sesuai dengan
haknya sebagaimana dalam nash Al Qur‟an meskipun lebih besar daripada
batas yang ditentukan, pendapat ini sebenarnya diriwayatkan dari Imam
Syafi‟I karena pendapat Imam Syafi‟I dianggap lebih relevan dengan
pemeliharaan kepentingan kaum fakir miskin dan para mustahik lainnya.
pendapat itu juga sejalan dengan jangkauan hadist mengenai pajak yang
mengehendaki berlaku ekonomis dalam pembiayaan para petugas penagih
pajak.49
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan alasan yang paling menonjol
pada kebolehan bagi upah Nadzir wakaf dan amil zakat adalah karena faktor
tugas yang dilakukan oleh nadzir dan amil, karena posisi mereka adalah
sebagai pengelola, pengembang dan pengumpul dari harta wakaf dan zakat
maka mereka berhak untuk mendapatkan bagian mereka atas kinerja mereka
sebagai orang yang diamanahkan untuk mengelola, mengembangkan serta
mendistribusikan hasil wakaf dan zakat sesuai dengan peruntukannya kepada
(mustahik) yang berhak menerima hasil tersebut. Untuk nadzir sendiri, upah
yang diterima berdasarkan kesepakatan dan ditentukan oleh wakif apabila
wakif tidak menentukan maka dalam hal ini hakim yang menentukan dan
apabila hakim pun tidak menentukan, maka nadzir boleh mengambil upah dari
hasil pengelolaan wakaf dengan cara yang makruf, sesuai dengan kebutuhan.
48
Yusuf Qardhawi, “Hukum Zakat: Studi Komparatif Mengenai Status Dan Filsafat
Zakat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits”, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 1996), h. 672 49
Al Furqon Hasbi, “125 Masalah Zakat”, (Solo:Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2008),
H. 171
Page 112
101
Sedangkan untuk amil sendiri menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan
Hanabilah, upah atau bagian yang diterima disesuaikan dengan kerjanya
meskipun amil merupakan orang kaya, sedangkan menurut Syafi‟iyah amil
zakat mendapatkan bagiannya maksimal sebesar seperdelapan namun itu
bersifat kondisional. Dalam hal upah jika dikaitkan dengan amil, amil berhak
menerima zakat karena status mereka sebagai pegawai baik kaya maupun
miskin. Karena pengambilan bagian tersebut dengan pertimbangan kerjanya
bukan karena pertimbangan kebutuhan mereka. Jika pengurus zakat itu orang-
orang fakir, mereka diberi bagian zakat sebagai pegawai dan mereka juga
diberi bagian zakat yang dapat mencukupi kebutuhan mereka selama setahun
karena kefakiran mereka. Apabila mereka menerima bagian zakat sebatas
status mereka sebagai amil, berarti mereka tidak perlu menerima kelebihan
hak mereka selaku amil selama satu tahun.50
Dengan kata lain bagian amil
merupakan gaji dari pengelolaan yang dilakukan amil baik amil itu kaya
maupun miskin dengan catatan amil tersebut belum digaji oleh pemerintah.
Setelah menjelaskan alasan kebolehan upah bagi nadzir dan amil, maka
bahasan selanjutnya adalah perihal alasan larangan upah bagi nadzir dan amil,
adapun larangan upah bagi nadzir yang pertama, karena posisi nadzir
merupakan pekerjaan sukarela maka nadzir tidak berhak mendapatkan upah
dan tidak mengharapkan ucapan terimakasih dari orang lain, sebagaimana
pandangan Hanabilah, nadzir merupakan orang yang memiliki kedudukan
tinggi dalam perilakunya dan selalu menjaga kehormatan dirinya. 51
yang
kedua, menurut pandangan Syafi‟iyah, nadzir tidak berhak mendapatkan upah
apabila ia tidak membutuhkannya (mampu).52
Adapun larangan upah bagi
amil adalah apabila amil tersebut telah digaji oleh pemerintah maka ia tidak
50
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Fiqih Zakat Kontemporer Soal Jawab Ihwal Zakat
dari yang Klasik Hingga Terkini, (Solo: Al-Qowam, 2011), h. 299. 51
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, “Hukum wakaf Kajian Kontemporer Pertama
dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian Atas Sengeketa
Wakaf”, (Ciputat: Dompet Dhuafa republika dan IIMaN Press, 2004), h. 511 52
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, “Hukum wakaf Kajian Kontemporer Pertama
dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian Atas Sengeketa
Wakaf”, (Ciputat: Dompet Dhuafa republika dan IIMaN Press, 2004), h. 507
Page 113
102
berhak untuk mendapatkan bagian upah amil sebagaimana dalam Fatwa
Majelis Ulama Indonesia tentang Amil Zakat menyebutkan:
“Amil zakat yang telah memperoleh gaji dari negara atau lembaga swasta
dalam tugasnya sebagai Amil tidak berhak menerima bagian dari dana
zakat yang menjadi bagian Amil. Sementara amil zakat yang tidak
memperoleh gaji dari negara atau lembaga swasta berhak menerima bagian
dari dana zakat yang menjadi bagaian Amil sebagai imbalan atas dasar
prinsip kewajaran”. 53
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan terdapat beberapa kesimpulan
dalam bab ini yaitu:
1. Tinjauan Hukum Islam mengenai larangan upah bagi nadzir wakaf dan
amil zakat, dimana
a. Menurut Pandangan Ibn „At dan Ibn Marzuq dari Malikiyah
bahwa, nadzir tidak mengambil upah dari wakaf yang dikelolanya,
melainkan dari negara apabila wakaf dikelola oleh pemerintah atau
baitul mal.
b. Menurut ulama Hanabila apabila seorang wakif memberikan upah
kepada nadzir melebihi upah standard maka nadzir harus
memberikan bukti tertulis dari wakif yang menyatakan ia berhak
menerima kelebihan tersebut.
c. Menurut ulama Syafi‟iyah apabila nadzir tersebut merupakan
wakif, maka nadzir tidak memiliki hak tambahan upah karena
kelebihan upah didapat karena posisinya sebagai mustahik bukan
sebagai wakif, atas dasar itulah kelebihan upah standard tidak
diperbolehkan karena akan menyembunyikan maksud dari wakaf
terhadap diri sendiri. Kemudian, Menurut Ulama Syafi‟iyah nadzir
tidak berhak mendapatkan upah terkecuali dia membutuhkan untuk
memenuhi kebutuhannya dan ia menuntutnya.
53
Fatwa MUI Nomor 8 tahun 2011 tentang Amil Zakat
Page 114
103
d. Ulama Hanabilah menetapkan jika upah nadzir melebihi standard,
maka nadzir harus mengeluarkan sebagian upahnya untuk
kepentingan wakaf. Menurut Ulama Hanabilah nadzir juga
termasuk jenis orang yang tidak mengambil upah dari pekerjaan
sukarela karena sebagian manusia ada yang mempunyai citra diri
yang tinggi untuk tidak menerima upah atas pekerjaan yang
dilakukan.
e. Adapun larangan pemberian upah bagi amil sebagaimana dalam
Fatwa MUI tentang amil zakat disebutkan bahwa “Amil zakat yang
telah memperoleh gaji dari negara atau lembaga swasta dalam
tugasnya sebagai amil tidak berhak menerima bagian dari dana
zakat yang menjadi bagian Amil. Sementara Amil zakat yang tidak
memperoleh gaji dari negara atau lembaga swasta berhak
menerima bagian dari dana zakat yang menjadi bagian Amil
sebagai imbalan atas dasar prinsip kewajaran”
2. Kebolehan upah amil menurut ulama Malikiyah, amil zakat yang
sekalipun boleh menerima zakat sesuai dengan kerjanya bukan karena
kefakirannya. Jika seorang amil merupakan fakir maka mail tersebut
berhak menerima dua bagian dari zakat tersebut yaitu sebagai amil dan
fakir. Menurut ulama Hanafiyah amil zakat boleh menerima zakat sesuai
dengan kerjanya dan kebutuhannya secara makruf sebagaimana hakim,
jaksa dan pejabat. Menurut Ulama Hanabilah amil diperbolehkan untuk
mengambil bagiannya seseuai dengan kerjanya sekalipun ia merupakan
orang kaya. Adapun menurut Ulama Syafi‟i amil berhak menerima
bagiannya sebesar 1/8. Dan bagian seperdelapan merupakan kehati-hatian
dan batas maksimum dalam menentukan kadar upah/bagian yang
diperoleh amil.
Dengan demikian, tinjauan Hukum Islam mengenai kebolehan upah nadzir
dan amil menurut ulama Hanafi, Maliki dan Imam Ahmad, nadzir berhak
mendapatkan upah dari hasil usaha wakaf yang dikembangkan. Adapun
Page 115
104
besarannya berbeda satu sama lain, sesuai dengan tanggungjawab dan tugas
yang diembannya. Namun harus disesuaikan dengan ketentuan wakif, jika
wakif tidak menentukan maka ditetapkan hakim atau berdasarkan kesepakatan
para pengelola/managemen wakaf yang ada. Ulama Fikih dalam Madzhab
Hanafiyah, Malikiya, Syafi‟iyah maupun Hanabilah sepakat bahwa nadzir
menerima imbalan sesuai upah standard (ajrun al-mitsl) atau lebih. Sedangkan
para pengurus zakat berhak menerima zakat karena status mereka adalah
sebagai pegawai. Oleh karena itu, orang yang statusnya seperti itu, ia perlu
diberi bagian zakat sesuai dengan statusnya tersebut, baik kaya maupun
miskin. Pada prakteknya amil mendapatkan upah maksimal 1/8 dari harta
zakat berdasarkan asnaf yang bersifat fleksibel dan kondisional. Nadzir
mendapatkan upah sesuai dengan kapasitas dan kinerjanya dari hasil
pengelolaan dan investasi harta wakaf yang bersifat makruf.
Page 116
105
BAB V
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, skripsi ini menyajikan beberapa
temuan dan kesimpulan sebagai berikut:
1. Perdebatan para ulama dalam menyampaikan perbedaan pandangan
mengenai kebolehan dan larangan pemberian upah nadzir dan amil, terbagi
menjadi beberapa kelompok
a. Kelompok yang membolehkan adalah Ulama Malikiyah dan
Hanafiyah dengan pandangan, nadzir berhak mendapatkan upah
sesuai dengan yang ditentukan wakif berapapun nominalnya dan
upah tersebut diambil dari keuntungan wakaf yang dikelola sesuai
yang diisyaratkan wakif serta sesuai dengan standard upah (ajrun
mitsl). Sedangkan untuk amil sendiri baik Ulama Hanafiyah,
Malikiyah, Hanabilah, dan Syafi’iyah membolehkan pemberian
bagian atau hak amil disesuaikan dengan kinerja meskipun amil
merupakan orang kaya.
b. Kelompok yang melarang yaitu Ulama Syafi’Iyah dengan
pandangan apabila nadzir merangkap sebagai wakif maka ia tidak
berhak mendapatkan kelebihan upah, nadzir tidak berhak
mendapatkan upah terkecuali membutuhkan, serta menurut Ulama
Hanabilah nadzir termasuk jenis orang yang tidak mengambil upah
dari pekerjaan sukarela. Sedangkan Amil tidak diperkenankan
mendapatkan bagian upah dari hasil zakat apabila ia telah digaji
oleh pemerintah sebagaimana dalam Fatwa MUI Nomor 8 Tahun
2011
2. Praktek upah atau gaji nadzir wakaf atau amil zakat dalam menjalankan
tugas diberikan menurut:
a. Upah/gaji bulanan
b. Presentase
Page 117
106
Pada keumuman prakteknya bahwa para praktisi untuk menjalankan
operasional wakaf dan zakat mengeluarkan apresiasinya secara fleksibel
yaitu berdasarkan kisaran standar dari 1/8 berdasarkan asnaf atau dari
presentase 10% yang kesemuanya itu bersifat ijtihadi dan berdasarkan
hasil pengelolaan harta wakaf dan zakat.
Page 118
107
B. Saran
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat untuk penulis pribadi
khususnya dan para pembaca pada umumnya. Adapun saran yang berhubungan
dengan penelitian ini adalah:
1. Karya tulis yang berkaitan dengan kenadziran, wakaf, zakat dan amil perlu
diperbanyak lagi dan dibahas lebih mendalam terlebih pada prakteknya
yang selama ini masih minim penelitiannya
2. Nadzir dan amil memiliki peranan penting dalam kemajuan filantropi
islam, namun dalam hal kesejahteraannya kurang serta nadzir dan amil
juga masih minim akan pengetahuan perihal pengelolaan zakat dan wakaf
baik yang bersifat produktif maupun konsumtif, oleh karena itu para
akademisi diharapkan dapat turut serta memberikan pemahaman kepada
nadzir dan amil melalui karya tulis.
3. Dalam pemberian upah terhadap nadzir dan amil seharusnya pemerintah
membuat regulasi terkait akuntansi dari hasil wakaf dan zakat serta
operasionalnya agar tercipta kepastian baik presentase maupun nominal
upah yang diterima disertai dengan bukti slip gaji.
Page 119
108
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Rose Binti, Zakat Management In Brunei Darussalam: A Case Study,
Seventh International Conference – The Tawhidi Epistemology: Zakat
And Waqf Economy, Bangi, 2010
Abidin, Ibn, Radda al-Muktar, Jilid 9, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994
Adams, Wahiduddin, “Signifikansi Peran Dan Fungsi Nazhir Menurut Hukum
Islam Dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004”, Al-Awqaf , 4, 4,(
2011), h. 46
Aibak, Kutbuddin, Pengelolaan Zakat Dalam Perspektif Maqashid Al-Syariah
(Studi Kasus di Badan Amil Zakat Kabupaten Tulungagung), Yogyakarta:
Editie Pustaka, 2016
Al Zuhayly, Wahbah, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2005.
Al-„Asqolani, Ahmad Ibn „Ali Ibn Hajar, Fath al-Bari Sharhi Shahih Bukhari,
Cet. 2, Juz 5, Beirut: Dar al-Kutub al „Ilmiah, 2000
______________, Fathul Bari, Juz 10, Riyadh: Dar el Salam, t.t.
______________, Fath al-Bari, Juz 4, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah
______________, Fath al-Bari, Juz 7, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah
Al-„Asqolani, Imam al-Hafidh Ibnu Hajar, Kitab Bulughul Maram min ‘Adillah
al-Ahkam, Surabaya: al-Haramain
Al-Gharyani, Ash- Shadiq Abdurrahman, Fatwa-Fatwa Muamalah Kontemporer,
Cet. Pertama, Surabaya, Pustaka Progressif: 2004
Al-Haritsi, Jaribah, Fikih Ekonomi Umar Bin Al-Khathab, Jakarta: Khalifa
Pustaka Al-Kautsar Group, 2010
Page 120
109
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Al-Hikmah, Bandung:
Diponegoro, 2010.
Ali, Mohammad Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Cet. 1, Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1988
Al-Jaziri, Abdurrahman, Fiqih Empat Madzhab Bagian Ibadat (Puasa, Zakat,
Haji, Kurban), Jakarta: Darul Ulum Press, 1996.
Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah, Hukum Wakaf Kajian Kontemporer
Pertama Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengelolaan Wakaf Serta
Penyelesaian Atas Sengeketa Wakaf, Ciputat: Dompet Dhuafa Republika
Dan Iiman Press, 2004
Al-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Nail al-Authar Syarh Muntaqi
al-Akhbar, Beirut: Dar al-Fikr, 1973
Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Fiqih Zakat Kontemporer Soal Jawab Ihwal
Zakat Dari Yang Klasik Hingga Terkini, Solo: Al-Qowam, 2011
As-Syahatah, Husein, Akuntansi Zakat Panduan Praktis Penghitungan Zakat
Kontemporer, Jakarta: Pustaka Progressif, 2004.
As-Syahatah, Husein, Akuntansi Zakat Panduan Praktis Penghitungan Zakat
Kontemporer, Jakarta: Pustaka Progressif, 2004
Bahrom, “Distribusi Zakat Di Negara Brunei Darussalam” Penerjemah Didin
Hafidhuddin et.al dalam, The Power Of Zakat Studi Perbandingan
Pengelolaan Zakat Asia Tenggara, Malang: UIN- Malang Press, 2008
Bank Indonesia, Wakaf: Pengaturan Dan Tata Kelola Yang Efektif Seri Ekonomi
Dan Keuangan Syariah, Jakarta: Departemen Ekonomi Dan Keuangan
Syariah,
Basyuni, Maftuh, Fikih Ruislagh, Jakarta: Badan Wakaf Indonesia, 2015
Page 121
110
Bin Shalih Al-Utsaimin, Muhammad, Fiqih Zakat Kontemporer Soal Jawab Ihwal
Zakat dari yang Klasik Hingga Terkini, Solo: Al-Qowam, 2011
Bukhari, Imam, Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr, 1989
Dakwatuna, Golongan Yang Berhak Menerima Zakat, diaksses pada 7/5/2015
https://www.dakwatuna.com/2008/09/19/1044/8-golongan-yang-berhak-
menerima-zakat/?PageSpeed=noscript#axzz5Ei4gvGi4
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam, “Kumpulan Khutbah Wakaf”, Jakarta: Departemen Agama RI, 2008
Direktorat Pengembangan Zakat Dan Wakaf, Fiqih Wakaf, Jakarta: Direkotorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, 2015
Djazuli, H. A. dan Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat Sebuah
Pengenalan Ed.1., Cet.1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002
Dyah Ayu Sukma, Kompasiana.Com, Penghimpunan Wakaf Asia Tenggara,
diakes pada 29/5/2018,
Kompasiana.Com/Dyahayusukma/29/5/2018/Penghimpunan-Wakaf-Asia-
Tenggara_
Faiq, Ahmad, Hukum Upah dalam Fiqih Islam dan Aplikasinya di Indonesia,
Depok: Pena Utama, 2015
Faisal, “Sejarah Pengelolaan Zakat Di Dunia Muslim Dan Indonesia (Pendekatan
Teori Investigasi – Sejarah Charles Pierce Dan Devisit Kebenaran Lieven
Boeve”, Analisis, Vol 9, 2, (Desember, 2011)
Faozi, M Mabruri dan Putri Inggi Rahmiyanti, “Sistem Pengupahan Tenaga
KerjaHome Industri Perspektif Ekonomi Islam”, Jurnal Penelitian Hukum
Ekonomi Syariah, Vol. 4, 1, (2016)
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 62/Dsn-Mui/XII/2007 Tentang Akad
Ju’alah
Page 122
111
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 8 Tahun 2011,Tentang Amil Zakat
Ghazaly, Abdul Rahman, dkk, Fiqh Muamalat, Cet.Kedua, Jakarta: Kencana
Prenada Group, 2012,.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Riset. Yogyakarta: UGM Press, 1997.
Hafidhuddin, Didin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani
Press, 2002
______________Agar Harta Berkah Dan Bertambah, Jakarta: Gema Insani, 2007
______________Panduan Praktis Tentang Zakat, Infak Dan Sedekah, Cet.
Ketujuh, Jakarta: Gema Insani, 2008
Hafidz, Muhammad, dan Firmansyah “Tinjauan Fiqih Muamalah Terhadap
Praktek Bisnis Cost Per Action (CPA) : Studi Kasus Di
Www.Accesstrade.co.id”, Jurnal Ekonomi Dan Perbankan Syariah, Vol 3,
2, (Oktober, 2015)
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007
Haryono, H, “Konsep Al Ju‟alah Dan Model Aplikasinya Dalam Kehidupan
Sehari-Hari”, Al Mashlahah Jurnal Hukum Islam Dan Pranata Sosial
Islam, (2017)
Hasan, Tolhah, “Pemberdayaan Nadzir”, Al-Awqaf, IV, 4,( Januari, 2011), H. 12
Hasanah, Uswatun, “Urgensi Pegawasan Dalam Pengelolaan Wakaf Produktif,
Universitas Indonesia”, Al Ahkam Jurnal Pemikiran Hukum Islam,Vol. 22,
1, (2012)
Hasbi, Al Furqon, 125 Masalah Zakat, Solo:Tiga Serangkai Pustaka Mandiri,
2008
Hasbi, Al Furqon, 125 Masalah Zakat, Solo:Tiga Serangkai Pustaka Mandiri,
2008
Page 123
112
Hilal, Syamsul, “Urgensi Ijarah Dalam Prilaku Ekonomi Masyarakat”, Jurnal
Hukum dan Ekonomi Islam, Vol. 5, 1 (2013)
Ibrahim, Anwar, “Peran Nadzir Perempuan”, Al-Awqaf , Vol 5, 1, (Januari, 2012)
Jahar, Asep Saepudin “Nadzir Wakaf Uang Di Indonesia”, Al-Awqaf, Vol. 4, 2,
(2011).
Jamil, Fathurrahman, “Standarisasi Dan Profesionalisme Nadzir Di Indonesia”,
Al-Awqaf, Vol, 4 , 4, (2011).
Jasafat, “Manejemen Pengelolaan Zakat, Infaq Dan Shadaqah Pada Baitul Mal
Aceh Besar”, Jurnal Al-Ijtimaiyyah, Vol. 1, 1, (Januari-Juni 2015).
K, Aminuddin, “Model-Model Pengelolaan Zakat Di Dunia Muslim”, Jurnal
Ahkam, Vol 3, 1, (Juli, 2015)
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Kementerian Agama Republic Indonesia Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam , Fiqih Wakaf , Jakarta: Direktorat Pemberdayaan
Wakaf, 2006
Kementrian Agama Republic Indonesia Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Wakaf , Paradigma Baru
Wakaf Di Indonesia, Jakarta: Kemenag RI Dirjen Bimas Islam, 2013
Kementrian Agama Republic Indonesia Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Paradigma Baru
Wakaf Di Indonesia, Jakarta: Kemenag RI Dirjen Bimas Islam, 2013
Kementrian Agama Republic Indonesia, Paradigma Baru Wakaf Di Indonesia,
Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat
Pemberdayaan Wakaf, 2013.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Page 124
113
Law Of Brunei, Chapter 77 Religius Counsil And Kadis Courts, Revised Edition
1984
Majjah, Ibnu, Sunan Ibnu Majjah, Maktabah Syamilah, Juz II
Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah Fiqih Muamalah, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2012
Ministry of Awqaf Kuwait, Annadzaratu Wa Ahkamuha, About Endownment
Fiqh Of Waqf Waqf Administration, artikel diakses pada 12 Agustus 2018
dari http://
ww2.awqaf.org.kw/Arabic/AboutEndowment/FiqhOfWaqf/Pages/WaqfAd
ministration.aspx
Mubarok, Jaih, “Wakaf Dan Pendidikan Islam”, Al-Awqaf Jurnal Wakaf Dan
Ekonomi Islam, Vol. 6, 1, (2013), Badan Wakaf Indonesia
Muslim, Kitab Hadits Shahih Muslim, Nomor 1437 (Beirut, Libanon: Dar-al Fikr)
Nopiardo, Widi, “Urgensi Berzakat Melalui Amil dalam Pandangan Ilmu
Ekonomi Islam”, Jurnal Ilmiah Syari’ah, Vol 15, 1, (Januari-Juni, 2016)
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum 2017
Prihatna, Andy Agung, et.al, ed. Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan: Studi
Tentang Wakaf Dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia, Cet.1,
(Jakarta: Center For The Study of Religion and Culture (CSRC) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006
Qardhawi, Yusuf, Hukum Zakat: Studi Komparatif Mengenai Status Dan Filsafat
Zakat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Bogor: Pustaka Litera Antar
Nusa, 1996.
Qardhawi, Yusuf, Hukum Zakat: Studi Komparatif Mengenai Status Dan Filsafat
Zakat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits,Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,
1996
Page 125
114
Rais, Isnawati dan Hasanuddin, Fiqih Muamalah dan Aplikasinya pada LKS,
Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011
Ramli, Muhammad Subari bin, dan Marliana binti Abdullah, “Penentuan Kadar
Ujrah Al-Nazir Dalam Pengurusan Wakaf”, International Research
Management and Innovation Conference 2014 (IRMIC 2014) KL, 17 – 18
November, 2014
Ridwan, Fiqih Perburuhan, Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2007
Riyadi, Fuad, “Sistem Dan Strategi Pengupahan Perspektif Islam”, Iqtishadia,
Vol. 8, 1, (2015)
Rizaluddin, “Book Review: Al-Waqfu Fi As-Syariah Al-Islamiah Wa Atsaruhu Fi
Tanmiyah Al-M ujtama”, Al-Awqaf ,Vol. 5, 1, (2012). H.85-86
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Jilid 2, (Dar Fath Lili‟lami al-Arabiy), Terjemahan
Khairul Amru Harahap., dkk, Cet.3, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012
Sabiq, Syaikh as-Sayyid, Panduan Zakat, Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2005
Sari, Elsi Kartika, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf, Jakarta: PT Grasindo,
2006.
Siswadi, “Pemberian Upah Yang Benar Dalam Islam Upaya Pemerataan Ekonomi
Umat Dan Keadilan”, Jurnal Ummul Qura, Vol. 4, 2,(2014).
Soekanto, Soerjono, dan Sri Marmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Hukum Singkat, Cet. VII, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003.
Soleh, Ahmad Zainu “Menyoal Profesionaisme Nadzir Dan Istibdal Dalam
Regulasi Perwakafan”, Jurnal Bimas Islam, Vol.7, 4, (2014).
Som, Hairulfazli Mohammad Dan Azman Ab Rahman, “Konsep Amil Dan
Peranannnya Dalam Pengurusan Zakat”, Kajian Syariah Dan Undang-
Undang, Vol 3, Part 1, (2011)
Page 126
115
Suhartini, Endeh, “Sistem Pebayaran Upah Pekerja”, Dialogia Luridica,Vol 4, 2,
(2016)
Sula, M Syakir, “Kerjasama Nadzir Dengan Bank Syariah Dalam
Mengembangkan Wakaf Uang ( Studi Khusus Di Indonesia, Bangladesh,
Dan Yordania)”, Al- Awqaf , Vol. 4, 2, (2011).
Sutami, “Perkembangan Wakaf Produktif Di Indonesia”, Al-Awqaf, Vol. 5, 2,
(2012).
Syafii, Mukhtasar Al-Muzany dan syarahnya oleh Al-Mawardi, Al-Hawi Al-
Kabir, Beirut: Dar Al-Kutub Al-„Ilmiah, Juz VII
Tanya Jawab Zakat, Direktorat Pemberdayaan Zakat Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama Republic Indoneisa
Tahun 2007
Tarigan, Azhari Akmal, Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Sebuah Eksplorasi Melalui
Kata-Kata Kunci dalam Al-Qur’an, Bandung: Ciptapustaka Media
Perintis, 2012
Tayyeb, Yuli Yasin, “Pengelolaan Wakaf Produktif Di Mesir”, Al-Awqaf, Vol. 5,
2, (2012): 7.
Undang-Undang No 23 Tahun 2011
Undang-Undang No 41 tahun 2004
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003, Tentang
Ketenagakerjaan
Usman, Rachmadi, Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2009.
Usman, Suparman, Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta: Darul Ulum Press,
1999
Page 127
116
Wibowo, Hanafi “Penyelesaian Sengketa Tanah Wakaf Studi Kasus: Sengketa
Tembok Barat Di Masjidil Aqsa, Jerussalem Tahun 1929”, Al-Awqaf
Jurnal Wakaf Dan Ekonomi Islam , Vol. 9, 1,(2016).
Yatiningrum, Ulfah Sisi, Praktek Pengelolaan Wakaf Di Negara Muslim (Studi
Pada Negara Brunei Darussalam), Skripsi S-1 Fakultas Ekonomi Dan
Bisnis, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2017
Yazid, Muhammad bin, Kitab hadits Shahih Li Ibni Majjah, (Beirut, Libanon: Dar
al-Fikr)
Yusuf, Sri Dewi, “Konsep Penentuan Upah dalam Ekonomi Islam, Jurnal Al
Ulum, Vol. 10, 2, (2010)
Zahrah, Abu, Zakat dalam Perspektif Sosial, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995.
Zahrah, Abu, Zakat dalam Perspektif Sosial, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995
Zainal, Veithzal Rivai “Pengelolaan Dan Pengembangan Wakaf Produktif”, Al-
Awqaf, Vol. 9, 1, (2016).
Zaki, Eissa, A Summary of Waqf Regulations, Kuwait: State of Kuwait Awqaf
Public Foundation Department of Studies and External Relations, 2006
AD - 1427 AH
Zen, Muhammad, Wakaf Produktif Tabungan Wakaf Indonesia (TWI) Al-Awqaf,
Vol. 5, No 2, Juli 2012.
Zuhayly, Wahabah, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2005
Page 128
LAWS OF BRUNEI
Religious Council and Kadis Court
B.L.R.O. 1/1984
p. 49CAP. 77] [1984 Ed.
(3) When the documents referred to in subsection (2) are ready, theCourt shall give notice thereof to the appellant, and within 21 days afterreceipt of such notice the appellant shall file in the Court sufficient copies ofa record of appeal.
(4) Four copies of the said record shall be forwarded by the Court tothe Secretary for transmission to His Majesty or the Judicial Committee, anda copy shall be served on each respondent to the appeal.
(5) The record of appeal shall consist of a petition addressed to HisMajesty stating the grounds of the appellant’s objection to the judgment ororder appealed from, a copy of the plaint, a copy of any written defence,copies of any interlocutory orders, a copy of the Court’s note of theproceedings, copies of all exhibits and documentary evidence, a copy of thejudgment or order, a copy of the grounds of judgment, a copy of the notice ofappeal and an index.
(6) If the record is irregular, or is filed out of time, or if anyrespondent has not been served, the Court shall inform the Secretary of suchfacts.
(7) A respondent to an appeal may give notice to the Court and theother parties thereto that he intends to contend that the judgment or orderappealed from should be varied, and such notice shall operate as a cross-appeal.
(8) The Court may in its discretion grant a stay of execution of anyjudgment or order pending appeal.
Irregularities.
95. No appeal shall be allowed, or retrial ordered on grounds ofirregularity of procedure, or wrongful reception or rejection of evidenceunless a failure of justice has been occasioned thereby.
Matters not provided for.
96. In matters of practice and procedure in civil proceedings, notexpressly provided for in this Act or any rules made thereunder, the Courtmay adopt such procedure as may seem proper for the avoidance of injusticeand the disposal of the matters in issue between the parties, and may inparticular, but without prejudice to the generality of the foregoing, adopt the
Page 129
LAWS OF BRUNEI
Religious Council and Kadis Courtp. 50 CAP. 77][1984 Ed.
practice and procedure for the time being in force in the Magistrates’ Courtsin civil proceedings.
PART IV
FINANCIAL
Charitable Trusts
Muhammadan Fund.
97. The fund known as the Muhammadan Religious Fund and allinvestments and assets thereof shall, on the coming into force of this Act,forthwith vest in the Majlis in the manner and for the purposes hereinafter setout.
General Endowment Fund.
98. All property, investments and funds, including the fund heretoforeconstituting the Muhammadan Religious Fund, which are vested from timeto time in the Majlis for the purposes of this Act, other than property held, byvirtue of the terms of this Act or of any trust, wakaf or nazar affecting thesame, for a specific purpose or subject to specific express trusts, togetherwith the income thereof, shall form the General Endowment Fund of theMajlis and shall be held by the Majlis in trust for such charitable purposes forthe support and promotion of the Islamic religion, or for the benefit ofMuslims in Brunei Darussalam in accordance with Muslim law, as to theMajlis may from time to time seem proper:
Provided that His Majesty may give to the Majlis directions, notinconsistent with Muslim law or with the provisions of this Act, as to theexpenditure of any part of the General Endowment Fund or the incomethereof and may, in like manner, veto any proposed expenditure thereof.
Escheat.
99. Where after the commencement of this Act, any Muslim dies in suchcircumstances that, under the provisions of Muslim law, his property wouldprior to the commencement of this Act have vested in, or been payable to, thesaid fund known as the Muhammadan Religious Fund, the property of suchperson shall, in pursuance of such provisions of Muslim law, vest in and bepayable to His Majesty and shall form part of the General Endowment Fund.
Page 130
LAWS OF BRUNEI
Religious Council and Kadis Court
B.L.R.O. 1/1984
p. 51CAP. 77] [1984 Ed.
Wakaf and nazar am.
100. Notwithstanding any provision to the contrary contained in anyinstrument or declaration creating, governing or affecting the same, theMajlis shall be the sole trustee of all wakaf, whether wakaf am, or wakafkhas, of all nazar am, and of all trusts of every description creating anycharitable trust or the support and promotion of the Islamic religion or for thebenefit of Muslims in accordance with Muslim law, to the extent of anyproperty affected thereby and situate in Brunei Darussalam and, where thesettler or other person creating the trust, wakaf or nazar am was domiciled inBrunei Darussalam, to the extent of all property affected thereby whereversituate.
Vesting.
101. (1) All property subject to the provisions of section 100 shall, ifsituate in Brunei Darussalam, and, if the same shall consist of land, uponregistration under the Land Code (Chapter 40) vest in the Majlis, without anyconveyance, assignment or transfer whatever, for the purposes of the trust,wakaf or nazar am affecting the same.
(2) The Majlis shall take all necessary steps to vest in itself for thelike purposes any such property situate elsewhere than in BruneiDarussalam.
Restrictions on creation of charitable trusts.
102. (1) Whether or not made by way of will or death-bed gift, no wakafor nazar made after the commencement of this Act and involving more thanone-third of the property of the person making the same shall be valid inrespect of the excess beyond such one-third, unless expressly sanctioned andvalidated by His Majesty in writing.
(2) Every wakaf khas or nazar made after the commencement of thisAct shall be null and void unless —
(a) His Majesty shall have expressly sanctioned and validatedthe same in writing; or
(b) it was made during a serious illness from which the makersubsequently died and was made in writing by an instrument executedby him and witnessed by one of the pegawai masjid of the mukim
Page 131
LAWS OF BRUNEI
Religious Council and Kadis Courtp. 52 CAP. 77][1984 Ed.
masjid, and by either the penghulu of the daerah or the ketua of thekampong, in which the maker resided.
(3) This section shall not operate to render valid any will, death-bedgift, wakaf or nazar which is invalid under the provisions of Muslim law.
Income of wakaf and nazar.
103. (1) The income of a wakaf khas, if received by the Majlis, shall beapplied by it in accordance with the lawful provisions of such wakaf khas.
(2) The income of every other wakaf and of every nazar am shall bepaid to and form part of the General Endowment Fund.
Change of investments and borrowing powers.
104. (1) The Majlis shall not, without the approval in writing of HisMajesty, sell, transfer or dispose of, or charge, mortgage or encumber, anyimmovable property vested in it for the purposes of this Act, whether or notforming part of the General Endowment Fund:
Provided that it shall be lawful for any such immovable property to becompulsorily acquired or reserved by Government for a public purpose inmanner provided by any written law.
(2) Save as aforesaid, any investments, assets and funds vested in theMajlis may be sold, realised or disposed of, and they and the proceedsthereof may be invested from time to time in any investments authorised byany written law for the time being in force for the investment of trust funds,or in or upon title to any immovable property situate within BruneiDarussalam.
(3) The Majlis shall have power to lease any immovable propertyvested in it upon such terms as seem proper and are not inconsistent with anytrusts affecting the same.
(4) The Majlis shall have power to borrow monies whether withoutsecurity or upon the security of any of the assets of the General EndowmentFund in such manner and to such extent as His Majesty may in writingauthorise. Any monies so borrowed shall form part of the GeneralEndowment Fund.
Page 132
LAWS OF BRUNEI
Religious Council and Kadis Court
B.L.R.O. 1/1984
p. 53CAP. 77] [1984 Ed.
Capital of Wakaf and nazar am.
105. (1) Subject to the provisions of subsections (2) and (3), the capitalproperty and assets affected by any lawful wakaf or nazar am shall not formpart of the General Endowment Fund, but shall be applied in pursuance ofsuch wakaf or nazar am and held as segregated funds.
(2) If from lapse of time or change of circumstances it is no longerpossible beneficially to carry out the exact provisions of any wakaf or nazaram, the Majlis shall prepare a scheme for the application of the property andassets affected thereby in a manner as closely as may be analogous to thatrequired by the terms of such wakaf or nazar am and shall apply the sameaccordingly:
Provided that the Majlis may, with the approval in writing of His Majesty,direct that such property and assets shall be added to and form part of theGeneral Endowment Fund.
(3) If the terms of any wakaf or nazar am are such that no method ofapplication of the capital property and assets affected thereby is specified, orit is uncertain in what manner the same should be applied, the Majlis maydirect that such capital property and assets shall be added to and form part ofthe General Endowment Fund.
(4) All instruments creating, evidencing or affecting any wakaf ornazar am, together with any documents of title or other securities relatingthereto, shall be held and retained by the Majlis.
Construction of instrument.
106. If in the opinion of the Majlis the meaning or effect of any instrumentor declaration creating or affecting any wakaf or nazar is obscure oruncertain, the Majlis may refer the same to the Legal Committee for itsopinion as to the meaning or effect thereof, and shall act on any opinion sogiven by the Committee or a majority thereof, unless His Majesty shallotherwise direct.
Page 133
LAWS OF BRUNEI
Religious Council and Kadis Courtp. 54 CAP. 77][1984 Ed.
Accounts
Annual Report.
107. The Majlis shall cause full and true accounts of the GeneralEndowment Fund to be kept and shall as soon as possible after the 31st dayof December of every year issue and publish in the Gazette a report on theactivities of the Majlis during the preceding year, together with a balancesheet of the General Endowment Fund as at the 31st day of December, anincome and expenditure account of the said Fund for the year and a list of theproperties and investments of the said Fund showing their cost price, ifbought, and estimated value as at the 31st day of December.
Audit.
108. The said annual balance sheet, income and expenditure account andlist of investments shall prior to the issue thereof be audited and certified ascorrect by the Auditor General or one of his officers duly authorised in thatbehalf. A copy of the auditor’s certificate shall be annexed to all copies of thereport and accounts as issued.
Wakaf and nazar property.
109. Not less than once in every 3 years the Majlis shall prepare, issue andpublish in the Gazette a list of all properties, investments and assets vested inthe Majlis subject to any trust, wakaf or nazar, and not forming part of theGeneral Endowment Fund. Such list shall be audited in manner set out insection 108.
Estimates.
110. (1) The Majlis shall prepare and submit to His Majesty not later thanthe 31st day of October in each year estimates of all income and expenditureof the Majlis, including therein estimates of all property receivable anddisposable in kind, in respect of the ensuing year.
(2) His Majesty may approve such estimates or may direct that thesame be amended and thereupon such approved or amended estimates, as thecase may be, shall be published in the Gazette.
(3) The Majlis may at any time submit to His Majestysupplementary estimates of expenditure in respect of the current year, or, at
Page 134
LAWS OF BRUNEI
Religious Council and Kadis Court
B.L.R.O. 1/1984
p. 55CAP. 77] [1984 Ed.
any time prior to the 31st March in any year, in respect of the preceding year,and the same may be approved or amended, and shall be published, in likemanner.
(4) No monies shall be expended, or property disposed of in kind,save in accordance with such estimates as aforesaid and upon a vouchersigned by the President or Vice-President.
Expenses of the Majlis.
111. All costs, charges and expenses of administering the property andassets vested in the Majlis, including the cost of maintenance and repair ofany immovable property, the salaries and allowances of all servants of theMajlis, and the fees and allowances payable to any officer or Member of theMajlis in respect of his services as such shall be paid out of the property andassets of the General Endowment Fund.
Bankers.
112. (1) The Majlis shall appoint bankers and may operate such accountor accounts as to it may seem proper.
(2) Payments by the Majlis of amounts exceeding $50 shall be madeby cheque.
(3) All monies received by or for the Majlis shall be paid into a bankaccount of the Majlis in the manner provided in State Financial Regulations.
(4) Cheques drawn on any bank account of the Majlis shall be signedby the President or Vice-President and by the Secretary.
Financial Statements.
113. (1) At least once in every month there shall be laid on the table afinancial statement showing details of all receipts and expenditure from thetime of the preceding financial statement up to a date not more than 7 daysprior to the meeting.
(2) Every such financial statement shall be considered and approvedat the meeting at which it is submitted and, if not unanimously approved,shall be submitted to His Majesty, together with any comments which anyMember may wish to take thereon.
Page 135
LAWS OF BRUNEI
Religious Council and Kadis Courtp. 56 CAP. 77][1984 Ed.
Zakat and Fitrah
Powers of Majlis.
114. The Majlis shall have the power, and shall be under the duty, tocollect on behalf of His Majesty, and to dispose of as His Majesty may,subject to the provisions of this Act direct, all zakat and fitrah payable inBrunei Darussalam in accordance with Muslim law, and shall do so to theextent and in the manner provided in this Act.
Assessment Lists.
115. (1) The Majlis shall prepare annually assessment lists in respect ofeach mukim masjid in Brunei Darussalam, showing the names of all personstherein liable to pay zakat and fitrah respectively and the amounts whichthey are so liable to pay.
(2) The Majlis shall be directly responsible for the preparation of theassessment lists in respect of such areas as the Majlis may determine.
(3) In all other areas, the Imam shall, as agent for and on behalf ofthe Majlis, prepare the assessment lists in respect of each mukim masjid andshall submit copies thereof to the Majlis, which may alter or amend the same.
(4) Any person may make an objection to the Majlis against theinclusion of his name in any assessment list or against the amount or quantityin respect of which he is assessed and the Majlis shall consider every suchobjection and shall make such decision thereon as it considers just.
(5) An appeal from any such decision shall lie to His Majesty inReligious Council, if the subject-matter is of a value not less than $1,000.
Provided that any such appeal may be referred by His Majesty to theJudicial Committee for its opinion and, if so referred, shall be determined asif it were a civil appeal from the Court of a Kadi.
Liability to pay zakat.
116. Zakat shall be payable by every Muslim who rears any animals, orcultivates any crops, or carries on any enterprise, from which Zakat shall bepayable at the rate and in such manner as may be determined by the Majlisfrom time to time in accordance with Muslim law.
Page 136
LAWS OF BRUNEI
Religious Council and Kadis Court
B.L.R.O. 1/1984
p. 57CAP. 77] [1984 Ed.
Liability for fitrah.
117. (1) Fitrah shall be payable by all Muslim householders in BruneiDarussalam and shall be at the rate of and in such manner as may bedetermined by the Majlis from time to time in accordance with Muslim law:
Provided that, where a household consists of an odd number of members,payment shall be made as if it consisted of the next higher even number ofmembers.
(2) Payment of fitrah may be excused on grounds of poverty and theImam may with the approval of the other pegawai masjid omit from theassessment list prepared by him the name of any person considered too poorto pay fitrah, but in any such case he shall inform the Majlis of the facts andthe Majlis may reverse such decision.
Payment of zakat.
118. (1) The Majlis or the Imam or Amil as the case may be, shallcomplete the Zakat assessment list by entering the amounts produced and theamounts payable as soon as the harvest is complete.
(2) Where any person produces padi in more than one mukim masjidhis name shall be entered in every assessment list concerned and he shall beassessed on the total production.
Payment shall, in any such case, be made directly to the Majlis.
(3) On completion of the assessment lists, and notwithstanding anyappeal pending, the producer shall forthwith pay the zakat to the Majlis or, incases to which subsection (2) does not apply to the Imam.
(4) Zakat shall be paid in padi but the person paying may bepermitted to repurchase such padi at such price per gantang as the Majlismay, by notification signified in the Gazette, from time to time fix.
Payment of fitrah.
119. (1) Fitrah assessment lists shall be completed not later than the 15thday of Syaaban in each year and the fitrah shall be paid to the Majlis or to theImam not later than the 1st day of Shawal next ensuing.
(2) The Majlis may from time to time by notification signified in theGazette fix rates at which rice may be sold by any pegawai masjid to persons
Page 137
LAWS OF BRUNEI
Religious Council and Kadis Courtp. 58 CAP. 77][1984 Ed.
liable to pay fitrah. Such rates shall be not lower than the current minimummarket price for the cheapest grade of rice.
Receipts and Accounts.
120. (1) The Majlis or the Imam or Amil, as the case may be, shall issue areceipt as in Form A or in Form B (as appropriate) in the First Schedule forevery payment of Zakat or Fitrah, whether in cash or in kind.
(2) Every Imam or Amil shall account to the Majlis for all zakat andfitrah received by him and shall hold, store, and dispose of the same or ofany proceeds of sale thereof in such manner as the Majlis may direct.
(3) The Majlis shall cause assessment lists, receipts, accounts andother documents kept by any Imam or Amil and relating to zakat or fitrah tobe examined and audited and may for such purpose appoint and remunerateInspectors.
Disposal of balance.
121. After complying with all directions of His Majesty as to disposal ofany zakat and fitrah, the Majlis shall, if any portion thereof be undisposed of,sell and realise such part thereof as may not consist of money and it and theproceeds of any sale thereof shall be added to and form part of the GeneralEndowment Fund.
Collection for Charities
Charitable collections.
122. (1) Notwithstanding the provisions of the Subscriptions Control Act(Chapter 91), the Majlis may collect, or may grant licences to any person orbody of persons, authorising him or them to collect, monies or funds for anycharitable purpose for the support and promotion of the Islamic religion orfor the benefit of Muslims in accordance with Muslim law, and may by anysuch licence impose such terms as it may think fit.
(2) It shall be deemed to be a term of every such licence that thegrantee thereof and every other person authorised thereby to collect moniesor funds shall —
Page 138
LAWS OF BRUNEI
Religious Council and Kadis Court
B.L.R.O. 1/1984
p. 59CAP. 77] [1984 Ed.
(a) issue in respect of every sum so collected a seriallynumbered receipt in Form C in the First Schedule;
(b) keep true and full accounts of all sums so collected and ofthe disposal thereof with all proper vouchers;
(c) produce on demand the counterfoils of such receipts and allsuch accounts and vouchers for inspection and audit by the Majlis;
(d) apply and dispose of all sums so collected in accordancewith the terms of such licence, or, if no method of disposal thereof bethereby expressly authorised, pay and account for the same to themajlis.
(3) Monies collected in pursuance of this section may be applied fora specific purpose if the Majlis shall so direct, but shall, in default of anysuch direction, be added to and form part of the General Endowment Fund.
(4) No person shall make or take part in any collection of money forany such purpose as aforesaid unless with the express authority of the Majlisor by virtue and in pursuance of such a licence as aforesaid.
PART V
MOSQUES
Majlis to be trustee.
123. Notwithstanding any provision to the contrary in any writteninstrument, the Majlis shall be the sole trustee of all mosques in BruneiDarussalam and every mosque, together with any immovable property onwhich it stands or appurtenant thereto and used for the purposes thereof,other than State land or land reserved for a public purpose, shall uponregistration under the Land Code (Chapter 40), and without any conveyance,assignment or transfer whatever vest in the Majlis for the purposes of thisAct.
Restriction on new mosques.
124. (1) No person shall erect any mosque or dedicate or otherwise applyany existing building, as or for the purposes of a mosque, without thepermission in writing of the Majlis.