BAB I PENDAHULUAN
Demam typhoid pada masyarakat dengan standar hidup dan
kebersihan rendah, cenderung meningkat dan terjadi secara endemis.
Biasanya angka kejadian tinggi pada daerah tropik dibandingkan
daerah berhawa dingin. Sumber penularan penyakit demam typhoid
adalah penderita yang aktif, penderita dalam fase konfalesen, dan
kronik karier. Demam typhoid juga dikenali dengan nama lain yaitu,
Typhus Abdominalis, Typhoid fever, atau enteric fever. Demam
typhoid adalah penyakit sistemik yang akut yang mempunyai
karakteristik demam, sakit kepala dan ketidakenakan abdomen
berlangsung lebih kurang 3 minggu, yang juga disertai perut
membesar, limpa dan erupsi kulit. Demam typhoid (termasuk
paratyphoid) disebabkan oleh kuman Salmonella typhi, S. paratyphy
A, S. paratyphi B dan S.paratyphi C.Data World Health Organization
(WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam
tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian
tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan
sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan
sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar
dari laporan rawat inap di rumah sakit. Demam typhoid masih
merupakan masalah besar di Indonesia yang bersifat sporadik endemik
dan timbul sepanjang tahun Di Indonesia kasus ini tersebar secara
merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan
358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000
penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per
tahun.Diabetes Melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu kelompok
penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia kronis yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerusakan kinerja insulin
atau kombinasi keduanya. World Health Organisation (WHO) tahun 2003
memperkirakan 194 juta jiwa atau 5,1% dari 3,8 milyar penduduk
dunia usia 20-79 tahun menderita DM dan pada tahun 2025
diperkirakan meningkat menjadi 333 juta jiwa. Berdasarkan data
Departemen Kesehatan RI, angka prevalensi penderita diabetes di
Indonesia pada tahun 2008 mencapai 5,7% dari jumlah penduduk
Indonesia atau sekitar 12 juta jiwa.
BAB IILAPORAN KASUS
2.1 Identitas PasienNama: Ny. ER Usia: 54 TahunTTL: 25/07/1962
Jenis kelamin: Perempuan Alamat: Jl Bougenville No. 29,
BekasiPendidikan : Tamat Akademi/Universitas Pekerjaan: Ibu Rumah
Tangga Agama: KristenStatus perkawinan: Kawin
2.2 AnamnesisAnamnesis dilakukan tanggal 12 Mei 2015 pukul 16.00
di ruang rawat inap Merpati, secara autoanamnesis.Keluhan utama :
Demam sejak 3 hari SMRS Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang
ke IGD RSAU dr. Esnawan Antariksa pada tanggal 12 Mei 2015 pukul
07.00 dengan keluhan demam sejak 3 hari SMRS. Demam dirasakan tidak
terlalu tinggi dan tidak naik turun, namun pasien menggigil pada
sore hari dan terus berkeringat. Pasien mengeluh lemas, mual dan
muntah berisi cairan dan makanan sebanyak 4 - 5 kali per hari sejak
3 hari yang lalu. Tidak ada keluhan nyeri pada perut. Pusing
dirasakan oleh pasien terutama saat pasien duduk dan berdiri.
Terdapat keluhan batuk sejak 1 bulan SMRS, pasien mengatakan
batuknya berdahak namun dahaknya tidak bisa keluar. Pasien menjadi
sulit tidur akibat batuk. Pasien sudah berobat ke dokter dua kali
karena keluhan batuknya namun tetap tidak membaik.Nafsu makan
pasien berkurang karena lidahnya terasa pahit. BAK dan BAB tidak
ada keluhan. Tidak terdapat keluhan mimisan, gusi berdarah,
bintik-bintik merah pada kulit dan tidak ada keluhat sakit pada
sendi dan otot.Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien belum pernah
mengalami hal yang sama sebelumnya Riwayat hipertensi (-) Riwayat
DM tipe 2 (+) tidak terkontrol Riwayat alergi : Penicillin Riwayat
Penyakit Keluarga : Tidak ada di keluarga yang mengalami keluhan
yang sama Riwayat hipertensi (-), DM tipe 2 (+) Riwayat Sosial dan
Kebiasaan : Pasien memiliki kebiasaan jajan sembarangan Pasien
tidak suka makan makanan asam dan pedas Pasien tidak melakukan
perjalanan dalam waktu dekat Lingkungan rumah pasien dilakukan
fogging rutin setiap 3 bulan Pasien tahu dan selalu melakukan 3M
Tidak ada orang di sekitar lingkungan pasien yang mengalami keluhan
yang sama
2.3 Pemeriksaan FisikKeadaan Umum: Tampak Sakit SedangGCS:
E4M6V5 Tanda Vital TD : 110/80 mmHg Nadi : 90 x/menit Napas : 20
x/menit Suhu : 380C Status Gizi: BB : 82 kg TB : 165 cmBMI : 30,1
(obese class I Asia Pasifik)
Status Generalis Pemeriksaan status generalis :Kepala : tidak
tampak kelainan Mata: konjungtiva anemis (-), sklera ikterik
(-)THT: faring hiperemis, tonsil T1-T1, lidah tampak kotor Leher:
trakea teraba di tengah, tidak ada pembesaran kelenjar getah
bening, tidak ada pembesaran tiroidThorax: bentuk
normalParu:Inspeksi : dalam keadaan statis simetris, dalam keadaan
dinamis tidak ada ketinggalan gerak.Palpasi: vokal fremitus paru
kanan sama dengan paru kiriPerkusi: sonor di kedua lapang paru,
batas paru normalAuskultasi: suara nafas vesikuler, ronkhi (-),
wheezing (-)Jantung: Inspeksi : iktus kordis tidak tampakPalpasi:
iktus kordis tidak terabaPerkusi: batas jantung dalam batas
normalAuskultasi: S1,S2 normal, regular, gallop (-), murmur
(-)Abdomen: bentuk datar, nyeri tekan epigastrium (+) pada regio
hipokondriaka kiri dan regio epigastrium, turgor baik (< 3
detik), bising usus (+) normal Inspeksi : datarPalpasi: nyeri tekan
epigastrium (+) pada regio hipokondriaka kiri dan regio
epigastrium, hepar dan lien tidak teraba, turgor baikPerkusi:
timpaniAuskultasi: bising usus (+) normal Ekstremitas : akral
hangat, ptekie (-), CRT < 2 detik
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium DarahPemeriksaanHasilNilai rujukanInterpretasi
Hemoglobin13.911.7 15.5 gr/dlNormal
Hematokrit3935 - 47 %Normal
Leukosit15.5003.600-11.000/mm3Meningkat
Trombosit300.000150.000 440.000/mm3Normal
Ureum darah2610 50 mg/dlNormal
Kreatinin darah1,050,6 1,1 mg/dlNormal
GDS22280 100 mg/dlMeningkat
Pemeriksaan Imunologi dan Serologi
Widal
Titer
OH
Salmonella typhyPositif 1/160Positif 1/160
Salmonella para typhy APositif 1/160Negatif
Salmonella para typhy BPositif 1/80Negatif
Salmonella para typhy CNegatifNegatif
Ro Thoraks
Kesan :Cor dan pulmo dalam batas normal
2.5 Resume Dari anamnesis didapatkan pasien datang ke IGD RSAU
dr. Esnawan Antariksa dengan keluhan demam sejak 3 hari SMRS. Demam
dirasakan tidak terlalu tinggi dan tidak naik turun, namun pasien
menggigil pada sore hari dan terus berkeringat. Pasien mengeluh
lemas, mual dan muntah berisi cairan dan makanan sebanyak 4 - 5
kali per hari sejak 3 hari yang lalu. Pusing dirasakan oleh pasien
terutama saat pasien duduk dan berdiri. Terdapat riwayat DM tipe 2
yang tidak terkontrol. Pasien memiliki kebiasaan jajan
sembarangan.Dari pemeriksaan fisik THT didapatkan faring hiperemis
dan lidah tampak kotor. Pada pemeriksaan abdomen terdapat nyeri
tekan epigastrium (+) pada regio hipokondriaka kiri dan regio
epigastrium, hepar dan lien tidak teraba, turgor baik. Hasil
pemeriksaan laboratorium darah menunjukkan peningkatan leukosit
(15.500/mm3) dan peningkatan gula darah sewaktu (222 mg/dl).
Pemeriksaan Widal didapatkan Salmonella typhy titer O Positif
1/160, sedangkan titer H Positif 1/160. Salmonella para typhy A
titer O Positif 1/160, sedangkan titer H negatif. Salmonella para
typhy B titer O Positif 1/160, sedangkan titer H negatif.
2.6 Diagnosis KerjaFebris suspek demam tifoidDM
2.7 Penatalaksanaan IVFD RL 28 tpm Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr IV
Paracetamol tab 3 x 500 mg Vit. B Complex 3 x 1 Inj. Ondancentron 3
x 4 mg IV Glibenclamid 1 x 1 pagi hari Metformin 1 x 1 malam hari
Cek GDN / 2 PP setiap pagi Cek DPL setiap pagi Ulangi pemeriksaan
Widal / 3 hari
2.8 PrognosisAd vitam : bonam Ad functionam : bonam Ad
sanationam : bonam
BAB IIITINJAUAN PUSTAKA
3.1 Demam Tifoid3.1.1 DefinisiPenyakit sistemik akut yang
ditandai demam akut akibat infeksi Salmonella sp (lebih dari 500
sp). Spesies yang sering dikenal di klinik adalah Salmonella typhi,
Salmonella para typhi A, Salmonella para typhi B, Salmonella para
typhi C.
3.1.2 EpidemiologiDemam tifoid masih dijumpai secara luas di
berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis
dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan
urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air
dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan
makanan yang masih rendah. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid
di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal
mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data
World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat
sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan
insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang,
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95%
merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya
adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah
sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh
propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000
penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/tahun
atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita
yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91%
kasus.
3.1.3 EtiologiDemam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S.
typhi), basil gram negatif, berflagel, dan tidak berspora. S. typhi
memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik berupa kompleks
polisakarida), antigen H (flagel), dan antigen Vi. Dalam serum
penderita demam tifoid akan terbentuk antibodi terhadap ketiga
macam antigen tersebut.
Gambar 1. Salmonella Typhi
3.1.4 PatofisiologiMasuknya kuman Salmonella Typhi ke dalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman.
Penelitian yang dilakukan terhadap sukarelawan menunjukkan dosis
infeksi organism adalah 105-109 organisme, dengan masa inkubasi
berjarak selama 4-14 hari, bergantung jumlah kuman yang dapat
masuk. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos
masuk kedalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Seperti yang
diketahui S.typhi menginvasi tubuh dengan menembus mukosa usus
ileum terminal, yang mungkin melalui antigen sample sel yang
dikhususkan yang diketahui sebagai sel M, yang melapisi usus,
berhubungan dengan jaringan limfoid, melalui enterosit atau
melalaui rute paraselular. Bila respons imunitas humoral mukosa
(IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel
(terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia
kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama
olah makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak didalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan
kemudian ke kelenjar getah bening mesenterica. Selanjutnya melalui
duktus torasikus kuman yang terdapat didalam makrofag ini masuk
kedalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan
sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi
mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai
tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sitemik.
Didalam hati kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intemiten ke
dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan
sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses
yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi
dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi infeksi sitemik seperti demam, malaise,
mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan
mental dan koagulasi.Didalam plague peyeri makrofag hiperaktif
menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S.typhi intra makrofag
menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia
jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat
terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague peyeri yang
sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel
mononuklear didinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini
dapat berkembang hingga kelapisan otot, serosa usus dan dapat
mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel direseptor
endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ
lainnya.
Gambar 2. Patofisiologi Demam Tifoid3.1.5 Manifestasi klinisMasa
inkubasi demam tifoid berlangsung antara 7-14 hari, namun ini juga
bergantung dosis infeksi (3-30 hari). Gejala-gejala klinis yang
timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari
asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai
komplikasi.
Gambar 3. Perjalanan Penyakit Demam Tifoid
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan
dan gejala serupa infeksi akut pada umumnya yaitu Demam sekitar
interminten/remiten Lidah kotor, mulut kering, mual muntah Gambaran
gejala saluran nafas atas Sakit kepala hebat, tampak apatis, lelah
Tidak enak di perut dan mungkin kontipasi/ diare, ditemukan
splenomegali/ hepatomegali Raseola mungkin ditemukan
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa
Demam kontinyu Bradikardi relatif (peningkatan suhu 1C tidak
diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali permenit) Keadaan penderita
semakin menurun, apatis, bingung Hepatomegali dan splenomegali,
Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta
tremor) dan kehilangan nafsu makan Nyeri, distensi perut,
meteorismus
Pada minggu ketiga dapat ditemukan gejala antara lain: Suhu
turun jika berhasil diobati tanpa komplikasi Jika keadaan memburuk:
Disorientasi, bingung, insomnia, Komplikasi perdarahan dan
perforasi.
3.1.6 Penegakkan diagnosisPenegakan diagnosis demam tifoid dapat
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Namun diagnosis pasti dapat ditegakkan dari hasil kultur darah.
Hasil kultur darah menunjukkan 40-60% positif pada pasien di awal
penyakit dan kultur feses dan urin akan positif setelah minggu
pertama infeksi. Hasil kultur feses kadang-kadang juga positif pada
masa inkubasi. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid tidak terlalu spesifik. Pada
pemeriksan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, namun
dapat pula terjadi leukositosis atau kadar leukosit normal.
Pemeriksaan widal juga dilakukan dalam membantu penegakan diagnosis
demam tifoid. Uji widal dilakukan dengan mengukur antibodi terhadap
antigen O dan H dari Salmonella Typhi, namun tes ini kurang
spesifik dan sensitive. Karena bnyak hasil tes false-negative dan
false-positif terjadi.
Tes WidalUji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap
kuman S.typhi. pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi
antara antigen kuman S.typhi dengan antibody yang disebut
agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspense
Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dilaboratorium. Tujuan
uji widal adalah untuk menentukan adanya agluitinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu :a). agglutinin O (dari
tubuh kuman)b). agglutinin H (flagella kuman)c). agglutinin Vi
(simpai kuman)Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O
dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi
titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama
demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada
minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase
akut mula-mula timbul agglutinin O, kemudian diikuti dengan
agglutinin H. Pada orang yang telah sembuh agglutinin O masih tetap
dijumpai setelah 4-6 bulan, setelah agglutinin H menetap lebih lama
antara 9-12 bulan.Sekurang-kurangnya diperlukan dua bahan serum,
yang diperoleh dengan selang waktu 7-10 hari, untuk membuktikan
adanya kenaikan titer antibody. Serum yang tidak dikenal diencerkan
berturut-turut (dua kali lipat) lalu dites terhadap antigen
Salmonella. Hasilnya ditafsirkan sebagai berikut :1) Titer O yang
tinggi atu kenaikan titer O ( 1 : 160) menunjukkan adanya infeksi
aktif.2) Titer H yang tinggi ( 1 : 160) menunjukkan bahwa penderita
itu pernah divaksinasi atau pernah terkena infeksi.3) Titer Vi yang
tinggi terdapat pada beberapa pembawa bakteriAda beberapa faktor
yang mempengaruhi uji widal yaitu :1) Pengobatan dini dengan
antibiotik2) Gangguan pembentukan antibodk dan pemberian
kortikosteroid3) Waktu pengambilan darah4) Daerah endemik atau non
endemik5) Riwayat vaksinasi6) Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan
titer agglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat demam
tifoid masa lalu atau vaksinasi7) Faktor teknik pemeriksaan antar
laboratorium, akibat aglutinasi silang dan strain Salmonella yang
digunakan untuk suspense antigen.Kultur darahDiagnosis pasti demam
tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam
biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum.
Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih
mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit,
sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.Hasil
biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :1) Telah mendapat terapi
antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah
mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat
dan hasil mungkin negatif.2) Volume darah yang kurang (diperlukan
kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit
hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara
bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall)
untuk pertumbuhan kuman3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi dimasa
lampau menimbulkan antibody dalam darah psien. Antibodi (aglutinin)
ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif.4)
Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin
semakin meningkat.
3.1.7 Penatalaksanaan Penegakan diagnosis awal demam tifoid dan
penatalkasaan yang tepat merupakan hal yang penting. Sebagian besar
anak-anak dengan tifoid dapat dirawat dirumah dengan antibiotic
oral dan dilakukan follow-up utnuk mengikuti perkembangan penyakit
dan melihat apakah ada komplikasi atu kegagalan terapi. Pasien
dengan muntah yang persisten, diare serta distensi abdomen
memerlukan perawatan di rumah sakit dan terapi antibiotic
parenteral.Secara umum terdapat tiga prinsip penatalaksanaan demam
tifoid. Istirahat yang adekuat, hydrasi dan pengobatan penting
untuk mengoreksi ketidakseimbangan cairan-elektrolit. Terapi
antipiretik (aceminophen 120-750 mg stiap 4-6 jam PO) harus
diberikan jika diperlukan. Makanan yang lunak, harus dilanjutkan
pada pasien distensi abdomen atau ileus. Terapi antibiotic penting
untuk meminimalisir komplikasi. Pengggunaan chloramphenicol atau
amoxicillin diketahhui mempunyai angka kekambuhan masing-masing
5-15% dan 4-14%. Penggunaan antibiotik untuk demam tifoid pada anak
juga dipengaruhi oleh prevalensi dari resistensi antimikroba.
Berikut adalah antibiotik yang biasa digunakan pada demam tifoid.
Sebagai tambahan untuk antibiotik, terapi suportif juga penting dan
pemeliharaan keseimbangan cairan dan elektrolit juga harus
diperhatikan. Pemberian terapi tambahan dengan dexametason
(3mg/kgBB dosis awal, diikuti 1 mg/kg setiap 6 jam selama 48 jam)
telah diekomendasikan pada pasien dengan syok, penurunan kesadaran,
stupor atau koma, hal ini harus dilakukan dengan pengawasan .
Gambar 4. Pengobatan pada demam tifoid
Gambar 5. Antibiotik yang direkomendasi untuk demam tifoid
3.1.8 KomplikasiKomplikasi pada demam tifoid dibagi menjadi
komplikasi intestinal dan ekstraintestinal. Intestinal :
peritonitis, perdarahan intestinal dan perforasi Ekstraintestinal :
hepatitis, pancreatitis, miokarditis, tifoid toksi
3.1.9 Pencegahan Higiene peorangan dan lingkunganDemam tifoid
ditularkan melalui rute fekal-oral, maka pencagahan utama
memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan
dan lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan
air bersih, dan penanganan pembuangan limbah feses. Imunisasi
Imunisasi aktif terutama diberikan bila terjadi kontak dengan
pasien demam tifoid, terjadi kejadian luar biasa dan untuk turis
yang bepergian ke daerah endemik. Vaksin polisakarida (capsular Vi
polysacharide), pada usia 2 tahun atau lebih diberikan secara
intramuscular dan diulang setiap 3 tahun. Vaksin tifoid oral ,
diberikan pada usia >6 tahun dengan interval selang sehari (hari
1,3 dan 5), ulangan setiap 3-5 tahun. Vaksin ini belum beredar di
Indonesia, terutama direkomendasikan untuk turis yang bepergian ke
daerah endemik.
3.1.10 PrognosisPrognosis terhadap pasien demam tifoid
bergantung kepada kecepatan penegakan diagnosis dan ketepatan
terapi antibiotik. Faktor lain yang mempengaruhi meliputi umur
pasien, status kesehatan dan nutrisi, serotype Salmonella dan
munculnya komplikasi. Meskipun terapi yang didapat tepat, 2-4% anak
yang terinfeksi dapat kambuuh setelah respon awal terapi. Individu
yang mengekskresikan S.typhi 3bulan setelah infeksi dianggap
sebagai karier kronik. Bagaimanapun resiko untuk menjadi karier
rendah pada anak-anak dan meningkat dengan bertambahnya umur, namun
secara umum < 2% dari semua anak yang terinfeksi.
3.2 Diabetes Mellitus 3.2.1 DefinisiDiabetes mellitus (DM)
adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi
etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai
dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai
akibat insufisiensi fungsi insulin.3.2.2 Jenis-jenis diabetes
melitusDiabetes mellitus tipe 1Diabetes ini merupakan diabetes yang
jarang atau sedikit populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10%
dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Diabetes tipe ini
disebabkan kerusakan sel-sel pulau Langerhans yang disebabkan oleh
reaksi otoimun. Pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat
beberapa tipe sel, yaitu sel , sel dan sel . Sel-sel memproduksi
insulin, sel-sel memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel
memproduksi hormon somastatin. Namun demikian serangan autoimun
secara selektif menghancurkan sel-sel .Destruksi otoimun dari
sel-sel pulau Langerhans kelenjar pankreas langsung mengakibatkan
defesiensi sekresi insulin. Defesiensi insulin inilah yang
menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain
defesiensi insulin, fungsi sel-sel kelenjar pankreas pada penderita
DM tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM tipe 1
ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel pulau
Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi
glukagon, tapi hal ini tidak terjadi pada penderita DM tipe 1,
sekresi glukagon akan tetap tinggi walaupun dalam keadaan
hiperglikemia, hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah
satu manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM tipe
1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapatkan terapi
insulin.Diabetes mellitus tipe 2Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan
tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya
dibandingkan dengan DM tipe 1, terutama terjadi pada orang dewasa
tetapi kadang-kadang juga terjadi pada remaja. Penyebab dari DM
tipe 2 karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon
insulin secara normal, keadaan ini disebut resietensi
insulin.Disamping resistensi insulin, pada penderita DM tipe 2
dapat juga timbul gangguan gangguan sekresi insulin dan produksi
glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi
pengrusakan sel-sel langerhans secara autoimun sebagaimana terjadi
pada DM tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada
penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut.Obesitas
yang pada umumnya menyebabkan gangguan pada kerja insulin,
merupakan faktor risiko yang biasa terjadi pada diabetes tipe ini,
dan sebagian besar pasien dengan diabetes tipe 2 bertubuh gemuk.
Selain terjadi penurunan kepekaan jaringan pada insulin, yang telah
terbukti terjadi pada sebagian besar dengan pasien diabetes tipe 2
terlepas pada berat badan, terjadi pula suatu defisiensi jaringan
terhadap insulin maupun kerusakan respon sel terhadap glukosa dapat
lebih diperparah dengan meningkatya hiperglikemia, dan kedua
kerusakan tersebut dapat diperbaiki melalui manuve-manuver
teurapetik yang mengurangi hiperglikemia tersebut.Diabetes mellitus
gestasionalDiabetes mellitus gestasional adalah keadaaan diabetes
yang timbul selama masa kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya
sementara. Keadaan ini terjadi karena pembentukan hormon pada ibu
hamil yang menyebabkan resistensi insulin (Tandra, 2008).3.2.3
Diagnosis diabetes mellitusDiagnosis DM biasanya diikuti dengan
adanya gejala poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Diagonosis DM dapat
dipastikan apabila hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu
200 mg/dl dan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126
mg/dl. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut
ini.Glukosa plasmaPuasaGlukosa Plasma 2 jamsetelah makan
Normal