BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budidaya kakao (Theobroma cacao L.) dewasa ini ditinjau dari penambahan luas areal di Indonesia terutama kakao rakyat sangat pesat, karena kakao merupakan salah satu komoditas unggulan nasional setelah tanaman karet, kelapa sawit, kopi, dan teh. Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang berperan penting bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia terutama dalam penyediaan lapangan kerja baru, sumber pendapatan petani dan penghasil devisa bagi negara. Kakao merupakan tanaman tahunan yang mulai berbunga dan berbuah umur 3-4 tahun setelah ditanam. Apabila pengelolaan tanaman kakao dilakukan secara tepat, maka masa produksinya dapat bertahan lebih dari 25 tahun, selain itu untuk keberhasilan budidaya kakao perlu memperhatikan kesesuaian lahan dan faktor bahan tanam. Penggunaan bahan tanam kakao yang tidak unggul mengakibatkan pencapaian produktivitas dan mutu biji kakao yang rendah, oleh karena itu sebaiknya digunakan bahan tanam yang unggul dan bermutu tinggi (Raharjo, 1999). Indonesia merupakan negara terbesar ketiga mengisi pasokan kakao dunia yang diperkirakan mencapai 20% bersama Negara Asia lainnya seperti Malaysia, Filipina, dan Papua New Guinea (UNCTAD, 2007; WCF, 2007 dalam Supartha, 2008) . Peningkatan luas areal pertanaman kakao belum diikuti oleh produktivitas dan mutu yang tinggi. Data Biro Pusat Statistik 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Budidaya kakao (Theobroma cacao L.) dewasa ini ditinjau dari
penambahan luas areal di Indonesia terutama kakao rakyat sangat pesat, karena
kakao merupakan salah satu komoditas unggulan nasional setelah tanaman karet,
kelapa sawit, kopi, dan teh. Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan
yang berperan penting bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia terutama
dalam penyediaan lapangan kerja baru, sumber pendapatan petani dan penghasil
devisa bagi negara.
Kakao merupakan tanaman tahunan yang mulai berbunga dan berbuah
umur 3-4 tahun setelah ditanam. Apabila pengelolaan tanaman kakao dilakukan
secara tepat, maka masa produksinya dapat bertahan lebih dari 25 tahun, selain itu
untuk keberhasilan budidaya kakao perlu memperhatikan kesesuaian lahan dan
faktor bahan tanam. Penggunaan bahan tanam kakao yang tidak unggul
mengakibatkan pencapaian produktivitas dan mutu biji kakao yang rendah,
oleh karena itu sebaiknya digunakan bahan tanam yang unggul dan bermutu
tinggi (Raharjo, 1999).
Indonesia merupakan negara terbesar ketiga mengisi pasokan kakao
dunia yang diperkirakan mencapai 20% bersama Negara Asia lainnya seperti
Malaysia, Filipina, dan Papua New Guinea (UNCTAD, 2007; WCF, 2007 dalam
Supartha, 2008) . Peningkatan luas areal pertanaman kakao belum diikuti oleh
produktivitas dan mutu yang tinggi. Data Biro Pusat Statistik
1
2
menunjukkan bahwa pada tahun 1983 luas areal tanaman kakao 59.928 ha, dengan
produksi sekitar 20.000 ton, dan pada tahun 1993 luas areal tanaman kakao
menjadi 535.000 ha dengan produksi mencapai 258.000 ton (Direktur Jenderal
Perkebunan, 1994). Produksi kakao saat ini 435.000 ton dengan produksi dari
perkebunan rakyat sekitar 87%. Produksi tertinggi yakni 67% diperoleh dari
wilayah sentra produksi kakao yang berpusat di daerah Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah ( Suhendi, 2007).
Provinsi Bali merupakan salah satu di antara daerah lain
penghasil kakao nasional yang juga memberi sumbangan rata-rata sekitar
5.968,11 ton setiap tahun mulai tahun 2003 (Dinas Perkebunan Provinsi Bali,
2009). Sumbangan tersebut terus meningkat pada tahun–tahun berikutnya
karena meningkatnya pertanaman kakao di Provinsi Bali. Luas areal
tanaman kakao di Provinsi Bali antara tahun 2007 sampai 2009 mengalami
peningkatan seperti tahun 2007 seluas 11.641 ha, tahun 2008 seluas 12.528 ha,
dan pada tahun 2009 mencapai luas 12.796 ha (Dinas Perkebunan Provinsi
Bali, 2009).
Meningkatnya luas areal tanaman kakao tidak diikuti oleh peningkatan
produksi kakao yaitu tahun 2007 yaitu 7.425,94 ton, tahun 2008 yaitu 6.745,51
ton, dan tahun 2009 yaitu 6.800,54 ton (Dinas Perkebunan Provinsi Bali, 2009).
Produksi kakao di Provinsi Bali pada tahun 2009 mengalami peningkatan, namun
peningkatan tersebut sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya jumlah
tanaman produktif, sementara laju produktivitas tanaman per hektar per tahun
cenderung menurun.
3
Menurut Suhendi (2007) beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya
produktivitas kakao selain serangan hama dan penyakit, anomali iklim, tajuk
tanaman rusak, populasi tanaman berkurang, teknologi budidaya oleh petani yang
masih sederhana, penggunaan bahan tanam yang mutunya kurang baik juga
karena umur tanaman yang sudah cukup tua sehingga kurang produktif lagi. Rata-
rata usia tanaman kakao di Bali di atas 20 tahun (Dinas Perkebunan Provinsi
Bali, 2009).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman kakao produktivitasnya
mulai menurun setelah umur 15 - 20 tahun. Tanaman tersebut umumnya memiliki
produktivitas yang hanya tinggal setengah dari potensi produktivitasnya. Kondisi
ini berarti bahwa tanaman kakao yang sudah tua potensi produktivitasnya rendah,
sehingga perlu dilakukan rehabilitasi ( Zaenudin dan Baon, 2004).
Upaya rehabilitasi tanaman kakao dimaksudkan untuk memperbaiki
atau meningkatkan potensi produktivitas dan salah satunya dilakukan dengan
teknologi sambung samping (side grafting). Menurut Prastowo dkk. (2006)
sambung samping merupakan teknik perbaikan tanaman yang dilakukan dengan
cara menyisipkan batang atas (entres) dengan klon-klon yang dikehendaki sifat
unggulnya pada sisi batang bawah. Secara garis besar, tujuan perbaikan tanaman
adalah untuk meningkatkan produktivitas dan mutu biji yang dihasilkan.
Sambung samping dapat juga digunakan untuk memperbaiki tanaman
yang rusak secara fisik, menambah jumlah klon dalam populasi tanaman,
mengganti klon, dan pemendekan tajuk tanaman. Jika dibandingkan dengan
sambung pucuk, maka sambung samping memiliki tingkat keberhasilan yang
4
lebih tinggi karena batang bawah masih memiliki tajuk yang lengkap, sehingga
proses fotosintesis untuk menghasilkan zat-zat makanan dapat berlangsung
dengan baik (Agro Media, 2007).
Upaya yang telah dilakukan oleh petani selama ini untuk mengatasi
penurunan produksi tanaman kakao yang dipengaruhi umur tanaman yang sudah
tua adalah dengan melakukan peremajaan. Peremajaan dilakukan dengan cara
mengganti tanaman kakao yang tidak produktif (tua/rusak) dengan tanaman baru
secara keseluruhan atau bertahap dengan menggunakan bahan tanaman unggul .
Kegiatan ini dinilai kurang efektif karena membutuhkan waktu yang cukup lama
untuk memperoleh hasil, dilain pihak kebutuhan hidup sehari-hari petani terus
meningkat. Apabila permasalahan tersebut tidak segera ditangani, maka dapat
mengganggu kelangsungan produksi kakao sebab akan terjadi penurunan produksi
dari waktu kewaktu.
Prinsip dasar rehabilitasi dengan metode sambung samping adalah
penyatuan kambium dari entres dengan kambium batang bawah, di samping itu
pula penggunaan entres dari klon – klon unggul sangat dianjurkan karena diyakini
mempunyai dampak positif terhadap peningkatan produksi dan mutu hasil,
sehingga ketersediaan klon unggul mutlak diperlukan. Alternatif rehabilitasi
dengan menggunakan metode sambung samping dianggap cukup efektif karena
petani dengan mudah dapat melakukan sendiri serta waktu yang dibutuhkan
relatif singkat.
Suhendi ( 2007) mengatakan bahwa dibanding dengan okulasi tanaman
dewasa dan tanam ulang, metode sambung samping mempunyai keunggulan
5
antara lain: (a) areal tanaman kakao dapat direhabilitasi dalam waktu relatif
singkat, (b) lebih murah dan tanaman kakao lebih cepat berproduksi dibanding
cara tanam ulang (replanting), (c) batang atas hasil sambungan belum
berproduksi, hasil buah dari batang bawah dapat dipertahankan, (d) batang bawah
dapat berfungsi sebagai penaung yang bersifat sementara bagi batang atas yang
sedang tumbuh
Beberapa hal yang harus diperhatikan ketika menentukan kakao yang
akan direhabilitasi adalah mencari tanaman yang kurang produktif (umur diatas
20 tahun) dan secara teknis dapat dilakukan sambung samping, produktivitas
rendah namun masih mungkin untuk ditingkatkan, tidak terserang
organisme pengganggu tanaman (OPT) utama seperti hama penggerek buah kakao
(PBK), Helopeltis sp, busuk buah (Phythopthora palmivora), dan penyakit
Vascular streak dieback (VSD), serta batang bawah harus dalam kondisi sehat
dan tumbuh aktif (Deptan, 2009). Upaya untuk pengaktifan pertumbuhan batang
bawah ini dapat dilakukan lewat pengolahan tanah, pemupukan, pemangkasan,
dan kalau perlu dengan pengairan.
Kendala yang sering dihadapi ketika melakukan rehabilitasi tanaman
kakao dengan metode sambung samping adalah jauhnya jarak antara pohon induk
atau sumber entres dengan tempat atau kebun yang akan direhabilitasi,
sehingga dibutuhkan waktu yang agak lama mulai dari pengambilan entres
sampai dengan proses penyambungan. Selain itu pula jumlah tanaman kakao
yang akan disambung sering dalam jumlah yang sangat banyak, sehingga tidak
bisa dilakukan penyambungan dalam waktu sehari dan entres yang belum
6
tersambung harus disimpan untuk keesokan harinya baru dilakukan
penyambungan.
Keberhasilan usaha penyambungan tanaman kakao dipengaruhi
oleh beberapa faktor misalnya, kondisi tanaman dan lingkungan, tingkat kesehatan
batang bawah, kelembaban udara dan intensitas penyinaran serta
penggunaan klon-klon unggul yang dapat beradaptasi dengan iklim mikro
(Sunanto, 1994). Lama penyimpanan dan media penyimpanan batang atas
sebelum dilakukan penyambungan juga berpengaruh terhadap keberhasilan
penyambungan (Djazuli, dkk. 1999). Waktu yang baik untuk melakukan
penyambungan adalah pada saat cuaca cerah, namun ada pula yang menyebutkan
bahwa penyambungan pada awal musim kemarau memberikan hasil yang
lebih baik dari pada musim hujan, tetapi hal tersebut perlu dikaji lebih lanjut
(Zaubin dan Suryadi, 1999).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah
yang digunakan sebagai dasar penelitian ini adalah :
1. Apakah interaksi antara jenis klon dan lama penyimpanan entres
berpengaruh terhadap pertumbuhan sambung samping kakao?
2. Apakah jenis klon entres berpengaruh terhadap pertumbuhan sambung
samping kakao?
3. Apakah lama penyimpanan entres berpengaruh terhadap pertumbuhan
sambung samping kakao?
7
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mendapatkan interaksi antar jenis klon dan lama penyimpanan entres
terhadap pertumbuhan sambung samping kakao.
2. Mendapatkan pengaruh jenis klon entres terhadap pertumbuhan sambung
samping kakao.
3. Mendapatkan pengaruh lama penyimpanan entres terhadap pertumbuhan
sambung samping kakao.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan membantu
petani menemukan cara atau metode yang praktis, murah serta jenis klon dan
lama penyimpanan entres sebelum melakukan penyambungan sehingga tidak
merugikan patani dalam merehabilitasi tanaman kakao.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya pemanfaatan teknologi sambung
samping dalam melakukan rehabilitasi tanaman kakao.
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Kakao
Kakao termasuk tanaman perkebunan berumur tahunan. Tanaman
tahunan ini dapat mulai berproduksi pada umur 3-4 tahun . Tanaman kakao
menghasilkan biji yang selanjutnya bisa diproses menjadi bubuk coklat.
Sistematik tanaman kakao menurut Tjitrosoepomo (1988) adalah sebagai berikut:
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Ordo : Malvales
Famili : Sterculiaceae
Genus : Theobroma
Spesies : Theobroma cacao L.
Kakao merupakan tanaman perkebunan di lahan kering, dan jika di
usahakan secara baik dapat berproduksi tinggi serta menguntungkan secara
ekonomis. Sebagai salah satu tanaman yang dimanfaatkan bijinya, maka biji
kakao dapat dipergunakan untuk bahan pembuat minuman, campuran gula-gula
dan beberapa jenis makanan lainnya bahkan karena kandungan lemaknya
tinggi biji kakao dapat dibuat cacao butter/mentega kakao, sabun, parfum dan
obat-obatan.
Sunanto (1994) mengatakan bahwa sesungguhnya terdapat banyak
jenis tanaman kakao, namun jenis yang paling banyak ditanam untuk produksi
cokelat secara besar-besaran hanya tiga jenis, yaitu:
8
9
1) Jenis Criollo, yang terdiri dari Criollo Amerika Tengah dan Criollo Amerika
Selatan. Jenis ini menghasikan biji kakao yang mutunya sangat baik dan
dikenal sebagai kakao mulia. Jenis kakao ini terutama untuk blending dan
banyak dibutuhkan oleh pabrik-pabrik sebagai bahan pembuatan produk-
produk cokelat yang bermutu tinggi. Saat ini bahan tanam kakao mulia
banyak digunakan karena produksinya tinggi serta cepat sekali mengalami
fase generatif.
2) Jenis Forastero, banyak diusahakan diberbagai negara produsen cokelat dan
menghasilkan cokelat yang mutunya sedang atau bulk cacao, atau dikenal
juga sebagai ordinary cacao. Jenis Forastero sering juga disebut sebagai
kakao lindak. Kakao lindak memiliki pertumbuhan vegetatif yang lebih baik,
relatif lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit dibandingkan kakao
mulia. Endospermanya berwarna ungu tua dan berbentuk bulat sampai
gepeng, proses fermentasinya lebih lama dan rasanya lebih pahit dari pada
kakao mulia.
3) Jenis Trinitario, merupakan campuran atau hibrida dari jenis Criollo dan
Forastero secara alami, sehingga kakao ini sangat heterogen. Kakao jenis
Trinitario menghasilkan biji yang termasuk fine flavour cacao dan ada yang
termasuk bulk cacao. Jenis Trinitario antara lain hybride Djati Runggo (DR)
dan Uppertimazone Hybride (kakao lindak). Kakao ini memiliki keunggulan
pertumbuhannya cepat, berbuah setelah berumur 2 tahun, masa panen
sepanjang tahun, tahan terhadap penyakit VSD (Vascular streak dieback)
serta aspek agronominya mudah.
10
2.1.1 Karakteristik tanaman kakao
2.1.1.1 Akar
Kakao adalah tanaman dengan surface root freeder, artinya sebagian
akar lateralnya (mendatar) berkembang dekat permukaan tanah, yaitu pada
kedalaman (jeluk) 0 – 30 cm. Menurut Himme (Smyth, 1960 dalam Puslit Kopi
dan Kakao 2004) 56% akar lateral tumbuh pada jeluk 0-10 cm, 26% pada jeluk
11- 20 cm, 14% pada jeluk 21-30 cm, dan hanya 4% tumbuh pada jeluk diatas
30 cm dari permukaan tanah. Jangkauan akar lateral jauh dari luar proyeksi tajuk
tanaman, selain itu pada akar kakao terdapat cendawan mikoriza yang membantu
penyerapan unsur hara tertentu terutama unsur P. Tanaman kakao yang
dikembangkan secara vegetatif tidak memiliki akar tunggang, namun nantinya
akan membentuk dua akar yang menyerupai akar tunggang (Susanto, 1994).
2.1.1.2 Batang dan cabang
Habitat asli tanaman kakao adalah hutan tropis dengan naungan pohon-
pohon yang tinggi, curah hujan tingi, suhu sepanjang tahun relatif sama, serta
kelembaban tinggi dan relatif tetap. Kondisi habitat seperti itu, tanaman kakao
akan tumbuh tinggi tetapi bunga dan buahnya sedikit. Jika dibudidayakan di
kebun, tinggi tanaman umur tiga tahun mencapai 1,8 – 3,0 meter dan pada umur
12 tahun dapat mencapai 4,50 – 7,0 meter (Hall, 1932 dalam Puslit Kopi dan
Kakao 2004). Tanaman kakao bersifat dimorfisme, artinya mempunyai dua bentuk
tunas vegetatif. Tunas yang arah pertumbuhannya ke atas disebut dengan tunas
ortotrop atau tunas air (wiwilan atau chupon), sedangkan tunas yang arah
pertumbuhannya ke samping disebut dengan plagiotrop (cabang kipas atau fan).
11
2.1.1.3 Daun
Sama dengan sifat percabangannya, daun kakao juga bersifat
dimosfirme artinya bersifat tumbuh ke dua arah. Pada tunas ortotrop, tangkai
daunnya panjang, yaitu 7,5-10 cm, sedangkan pada tunas plagiotrop panjang
tangkai daunnya hanya 2,5 cm (Hall, 1932, dalam Puslit Kopi dan Kakao, 2004).
Bentuk helai daun bulat memanjang (oblongus), ujung daun meruncing
(acuminatus), dan pangkal daun runcing (acatus). Susunan tulang daun menyirip
dan tulang daun menonjol kepermukaan bawah helai daun. Permukaan daun licin
dan mengkilap.
2.1.1.4 Bunga
Tanaman kakao berbunga sepanjang tahun dan tumbuh secara
berkelompok pada bantalan bunga yang menempel pada bunga tua, cabang-
cabang dan ranting-ranting (Sunanto, 1994). Tanaman kakao bersifat kauliflori,
artinya bunga tumbuh dan berkembang dari bekas ketiak daun pada batang
dan cabang. Tempat bunga tersebut semakin lama semakin membesar
dan menebal atau biasa disebut dengan bantalan bunga ( cushion) (Puslit Kopi
dan Kakao, 2004).
2.1.1.5 Buah dan biji
Warna buah tanaman kakao sangat beragam, tetapi pada dasarnya hanya
ada dua macam warna. Buah yang ketika muda berwarna hijau atau hijau agak
putih jika sudah masak akan berwarna kuning. Sementara itu, buah yang ketika
muda berwarna merah, setelah masak berwarna jingga (orange). Kulit buah
memiliki 10 alur dalam dan dangkal silih berganti. Untuk jenis Criollo dan
12
Trinitario alur buah nampak jelas, kulit tebal tetapi lunak dan permukaan kasar.
Sedangkan jenis Forastero umumnya permukaan halus atau rata dan kulit buah
tipis ( Susanto, 1994; Puslit Kopi dan Kakao, 2004).
2.1.2 Syarat tumbuh
Di daerah tempat asalnya (Amerika Selatan), tanaman kakao tumbuh
subur di hutan-hutan dataran rendah dan hidup dibawah naungan pohon-pohon
yang tinggi. Kesuburan tanah, kelembaban udara, suhu dan curah hujan
berpengaruh besar terhadap pertumbuhan tanaman kakao. Susanto (1994)
mengatakan bahwa kakao mempunyai persyaratan tumbuh sebagai berikut : curah
hujan 1.600 – 3.000 mm tahun-1 atau rata-rata optimalnya 1.500 mm tahun-1 yang
terbagi merata sepanjang tahun (tidak ada bulan kering), garis lintang 20° LS
samapai 20° LU, tinggi tempat 0 s/d 600 m dpl, suhu yang terbaik 24°C s/d 28°C
dan angin yang kuat (lebih dari 10 m detik-1) berpengruh jelek terhadap tanaman
kakao. Kecepatan angin yang baik bagi tanaman kakao adalah 2-5 m detik-1
karena dapat membantu penyerbukan, kemiringan tanah kurang dari 45% dan
tekstur tanah terdiri dari 50% pasir, 10% - 20% debu dan 30% - 40% lempung.
Tekstur tanah yang cocok bagi tanaman kakao adalah tanah liat berpasir dan
lempung liat berpasir.
2.2 Perbanyakan Tanaman Kakao
Tanaman kakao dapat diperbanyak dengan dua cara yaitu perbanyakan
secara generatif maupun vegetatif. Cara perbanyakan generatif dewasa ini sangat
jarang digunakan lagi dalam penyediaan bahan tanam untuk usaha perkebunan,
karena dengan cara ini akan menghasilkan tanaman dengan tipe pertumbuhan
13
yang tidak seragam dan terjadi segregasi genetis (Prawoto dan Bambang, 1996).
Tujuan dari perbanyakan tanaman adalah untuk menghasilkan tanaman baru
sejenis yang sama unggul atau bahkan lebih. Caranya adalah dengan
menumbuhkan bagian-bagian tertentu dari tanaman induk yang memiliki sifat
unggul (Agro Media, 2007).
2.2.1 Teknik perbanyakan kakao secara generatif
Perbanyakan secara generatif dilakukan dengan menanam biji yang
dihasilkan dari penyerbukan bunga jantan (serbuk sari) dan bunga betina (kepala
putik). Benih kakao termasuk golongan benih rekalsitran sehingga memerlukan
penanganan khusus (Puslit Kopi dan Kakao, 2004). Dikatakan benih rekalsitran
karena ketika masak fisiologi kadar airnya tinggi yakni lebih dari 40%, viabilitas
benih akan hilang dibawah ambang kadar air yang relatif tinggi yaitu lebih dari
25%, untuk tahan dalam penyimpanan memerlukan kadar air yang tinggi. Benih
kakao yang dikeluarkan dari buahnya tanpa disimpan dengan baik akan
berkecambah dalam waktu 3–4 hari dan dalam keadaan normal benih akan
kehilangan daya tumbuhnya 10– 15 hari (Soedarsono, 1976 ).
Keunggulan tanaman hasil perbanyakan secara generatif adalah sistem
perakarannya yang kuat dan rimbun, oleh karena itu sering dijadikan sebagai
batang bawah untuk okulasi atau sambungan. Selain itu, tanaman hasil
perbanyakan secara generatif juga digunakan untuk program penghijauan dilahan-
lahan kritis yang lebih mementingkan konservasi lahan dibandingkan dengan
produksi buahnya. Sementara itu ada beberapa kelemahan perbanyakan secara
generatif, yaitu sifat biji yang dihasilkan sering menyimpang dari sifat pohon
14
induknya. Jika ditanam ratusan atau ribuan biji yang berasal dari satu pohon induk
yang sama akan menghasilkan banyak tanaman baru dengan sifat yang beragam.
Ada sifat yang sama atau bahkan lebih unggul dibandingkan dengan sifat pohon
induknya, namun ada juga yang sama sekali tidak membawa sifat unggul pohon
induk, bahkan lebih buruk sifatnya. Keragaman sifat dipengaruhi oleh mutasi gen
dari pohon induk jantan dan betina (Agro Media, 2007).
2.2.2 Teknik perbanyakan kakao secara vegetatif
Perbanyakan tanaman secara vegetatif akan menghasilkan populasi
tanaman homogen dalam sifat-sifat genetiknya. Perbanyakan secara vegetatif
dilakukan dengan menggunakan bagian-bagian tanaman seperti cabang, ranting,
pucuk, daun, umbi dan akar. Prinsipnya adalah merangsang tunas adventif yang
ada dibagian-bagian tersebut agar berkembang menjadi tanaman sempurna yang
memiliki akar, batang dan daun sekaligus. Perbanyakan secara vegetatif dapat
dilakukan dengan cara cangkok, rundukan, setek dan kultur jaringan (AgroMedia,
2007 ).
Perbanyakan vegetatif pada tanaman kakao dikenal tiga macam cara
yang lazim digunakan, yaitu okulasi (budding), sambung pucuk (top grafting) dan
sambung samping (side grafting), namun akhir-akhir ini dikembangkan juga
perbanyakan tanaman dengan kultur jaringan (tissue culture) atau yang lebih
dikenal dengan istilah Somatik Embryogenesis (SE).
2.2.2.1 Okulasi (budding)
Penempelan atau okulasi (budding) adalah penggabungan dua bagian
tanaman yang berlainan sedemikian rupa, sehingga merupakan satu kesatuan
15
yang utuh dan tumbuh sebagai satu tanaman setelah terjadi regenerasi jaringan
pada bekas luka sambungan atau tautannya. Bagian bawah (yang mempunyai
perakaran) yang menerima sambungan disebut batang bawah (rootstock atau
understock) atau sering disebut stock. Bagian tanaman yang ditempelkan atau
disebut batang atas, entres (scion) dan merupakan potongan satu mata tunas
(Prastowo dan Roshetko, 2006).
Rukmana (1997) mengemukakan bahwa hal yang penting untuk
diperhatikan dalam perbanyakan tanaman dengan okulasi adalah persyaratan
batang bawah dan batang atas. Batang bawah harus memenuhi persyaratan antara
lain: pertumbuhan dan perakarannya baik (kuat), tahan kekurangan dan kelebihan
air, memiliki pertumbuhan yang seimbang dengan batang atas dan tahan terhadap
hama dan penyakit. Persyaratan batang atas adalah berproduksi tinggi,
berpenampilan menarik, tahan terhadap hama dan penyakit dan digemari oleh
masyarakat luas. Syarat lain yang perlu diperhatikan pada waktu pengambilan
entres adalah kesuburan dan kesehatan pohon induk.
Peningkatkan kesuburan pohon induk, biasanya tiga minggu sebelum
pengambilan batang atas dilakukan pemupukan dengan pupuk NPK. Kesehatan
pohon induk ini penting karena dalam kondisi sakit, terutama penyakit sistemik
mudah sekali ditularkan pada bibit. Entres diambil setelah kulit kayu cabangnya
dengan mudah dapat dipisahkan dari kayunya (dikelupas). Bagian dalam kulit
kayu (kambium) akan tampak berair menandakan kambiumnya aktif, sehingga
bila mata tunasnya segera diokulasikan akan mempercepat pertautan dengan
batang bawah.
16
Menurut Prawoto (1991) pada okulasi tanaman kakao telah dibuktikan
bahwa batang bawah juga mempengaruhi kadar unsur hara daun batang atas dan
kualitas hasilnya, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap mutu hasil biji. Syamsul
(2010) mengatakan bahwa penyambungan tanaman dari satu varietas atau dari
satu spesies memang dapat dilakukan tanpa mengalami kesukaran. Lain halnya
dengan okulasi yang dilakukan antar spesies biasanya sedikit mengalami
kesukaran karena antar batang atas dan batang bawah kadang-kadang terdapat
perbedaan fisiologis.
Okulasi dilakukan dengan metode okulasi fokert. Kulit batang bawah
disayat secara melintang dengan lebar 6-12 mm, kemudian dikupas ke arah bawah
dengan panjang 2-3 cm sehingga terbentuk lidah. Lidah kemudian dipotong
dengan menggunakan pisau okulasi dan disisakan seperempat bagian. Mata tunas
dari cabang entres disayat dengan kayunya sepanjang ± 2 cm. Selanjutnya mata
tunas disisipkan pada sayatan batang bawah, lalu diikat dengan tali plastik yang
telah disiapkan (Gambar 2.1). Pengikatan dimulai dari bagian bawah ke atas
(sistem genting bertingkat) agar pada waktu hujan atau penyiraman air tidak
masuk ke dalam okulasian. Setelah okulasi berumur dua minggu, tali plastik
dibuka. Mata tunas yang berwarna hijau menandakan bahwa okulasi berhasil
(hidup). Batang bawah kemudian dipotong dengan menyisakan dua helai daun.
Mata tunas yang berwarna coklat menandakan okulasi mengalami kegagalan.
Keberhasilan okulasi sangat tergantung pada kondisi batang bawah
dan jenis tali okulasi. Prastowo dan Roshetko (2006) mengatakan bahwa waktu
terbaik pelaksanaan okulasi adalah pada pagi hari, antara jam 07.00 - 11.00,
17
karena saat tersebut tanaman sedang aktif berfotosintesis sehingga kambium
tanaman juga dalam kondisi aktif dan optimum, diatas jam 12.00 daun mulai
layu, tetapi ini bisa diatasi dengan menempel di tempat yang teduh sehingga
terhindar dari sinar matahari langsung (Puslit Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).
Gambar 2.1 Teknik Okulasi (gambar diambil dari penelitan Abdulrahman dkk, 2005)
2.2.2.2 Sambung pucuk (top grafting)
Menyambung (grafting) merupakan suatu usaha perbanyakan tanaman
dengan cara melukai atau menyayat kedua individu tanaman yang masih satu
species atau varietas dengan berbagai keunggulannya. Keduanya digabungkan
sehingga kambium mata tunas (entres) dan kambium batang bawah (understump)
Mata tempel
Batang bawah disayat hingga membentuk lidah
Mata tunas disisipkan pada sayatan batang bawah
Arah ikatan mulai dari bawah keatas Ikatan dibuka
setelah 2 minggu
18
saling melekat satu sama lain dan semakin banyak bagian yang melekat sesama
kambium tersebut semakin besar kemungkinannya untuk tumbuh (Wudianto dan
Rini, 1987). Keberhasilan penyambungan sangat tergantung pada kualitas batang
bawah dan entres (Ditjenbun, 2006). Faktor-faktor yang harus diperhatikan pada
(a) kemampuan batang bawah (under stock) dan atas (entres) menyatu (uniting);
(b) penyambungan entris harus dilakukan sedemikian rupa sehingga pembuluh
kambium dapat menyatu dengan batang bawah dengan baik, sehingga batang
bawah dapat menyuplai air dan bahan makanan sampai tunas baru keluar;
22
(c) penyambungan dilakukan pada saat yang tepat, dalam arti batang atas pada
tahap fisiologi yang baik (sebaiknya pada saat dormansi), sedangkan batang
bawah pada masa pertumbuhan aktif;
(d) setelah proses penyambungan selesai, usahakan bekas luka tidak mengalami
insfeksi oleh penyakit dan jamur;
(e) tanaman dirawat dengan baik sehingga memungkinkan tunas hasil
penyambungan berkembang dengan sempurna.
Ditjenbun (2006) menyebutkan bahwa syarat-syarat keberhasilan
penyambungan perlu memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: entres harus
diambil dari pohon yang telah diseleksi dan secara genetis harus serasi
(compatible); entres harus berada dalam kondisi fisiologis yang baik; sambungan
dari masing-masing bahan tanaman harus terpaut sempurna; tanaman hasil
penyambungan harus dipelihara dengan baik dalam jangka waktu tertentu.
2.3 Proses Fisiologi pada Penyatuan Penyambungan
Proses pembentukan pertautan sambungan dapat disamakan dengan
penyembuhan luka. Bila pangkal tanaman dibelah, maka jaringan yang luka
tersebut akan sembuh jika luka tersebut diikat dengan kuat. Keberhasilan
penyambungan suatu tanaman tergantung pada terbentuknya pertautan sambungan
itu, dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya hubungan kambium yang
rapat dari kedua batang yang disambungkan (Ashari, 1995). Adnance dan Brison
(1976, dalam Hamid, 2010) menjelaskan adanya pengikat yang erat akan
menahan bagian sambungan untuk tidak bergerak, sehingga kalus yang terbentuk
akan semakin jalin-menjalin dan terpadu dengan kuat. Jalinan kalus yang kuat
23
semakin menguatkan pertautan sambungan yang terbentuk. Pada penyambungan
tanaman, pemotongan bagian tanaman menyebabkan jaringan parenkim
membentuk kalus. Kalus-kalus tersebut sangat berpengaruh pada proses pertautan
sambungan. Proses pembentukan kalus ini sangat dipengaruhi oleh kandungan
protein, lemak dan karbohidrat yang terdapat pada jaringan parenkim karena
senyawa-senyawa tersebut merupakan sumber energi dalam membentuk kalus.
Batang bawah lebih berperan dalam membentuk kalus (Harmann, 1997,
dalam Anonim, 2010). Pembentukan kalus sangat dipengaruhi oleh umur
tanaman. Batang bawah yang lebih muda akan menghasilkan persentase
sambungan yang tumbuh lebih besar dibandingkan dengan tanaman yang lebih
tua (Samekto dkk, 1995).
Mekanisme terjadinya proses pertautan antara batang atas dan batang
bawah adalah sebagai berikut: (1) lapisan kambium masing-masing sel tanaman
baik batang atas maupun batang bawah membentuk jaringan kalus berupa sel-sel
parenkim, (2) sel-sel parenkim dari batang bawah dan batang atas masing-masing
saling kontak, menyatu dan selanjutnya membaur, (3) sel-sel parenkim yang
terbentuk akan terdiferensiasi membentuk kambiun sebagai lanjutan dari lapisan
kambium batang atas dan batang bawah yang lama, (4) dari lapisan kambium
akan terbentuk jaringan pembuluh sehingga proses translokasi hara dari batang
bawah ke batang atas dan sebaliknya untuk hasil fotosintesis dapat berlangsung
kembali (Hartmann dkk,1997, dalam Barus, 2003). Menurut Hartmann dan
Kester (1978, dalam Ashari, 1994) proses pertautan somatis batang bawah dan
batang atas disajikan (Gambar 2.3, 2.4, 2.5, dan 2.6) dibawah ini :
24
Gambar 2.3 Lapisan Kambium, Masing-masing Sel Baik Batang Atas dan Batang Bawah Membentuk Jaringan Kalus yang Berupa Sel Parensima
Gambar 2.4 Sel-sel Parensima dari Batang Atas dan Batang Bawah Masing-masing Mengadakan Kontak Langsung Saling Menyatu dan Membaur
Batang atas
kambium
Batang bawah
kambium
25
Gambar 2.5
Sel Parensima Tertentu Mengadakan Diferensiasi Membentuk Kambium Sebagai Kelanjutan dari Lapisan Kambium Batang Atas dan Batang Bawah yang Sama
Gambar 2.6 Pembentukan Jaringan/Pembuluh Tanaman dari Kambium yang Baru Sehingga Proses Translokasi Hara dari Batang Bawah ke Batang Atas dan Sebaliknya Dapat Berlangsung Kembali.
Xilem baru
Floem baru
26
2.3.1 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penyambungan
Faktor yang berpengaruh terhadap penyambungan (Anonim, 2010)
dibagi menjadi tiga faktor:
1. Faktor tanaman
Kesehatan batang bawah yang akan digunakan sebagai bahan
perbanyakan perlu diperhatikan. Batang bawah yang kurang sehat, proses
pembentukan kambium pada bagian yang dilukai sering terhambat. Keadaan ini
akan sangat mempengaruhi keberhasilan penyambungan (Sugiyanto, 1995, dalam
Hamid, 2009). Pendapat ini didukung oleh Garner dan Chaudri (1976, dalam
Hamid, 2009) yang mengemukakan bahwa batang bawah berpengaruh kuat
dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sehingga pemilihan tanaman
yang digunakan sebagai batang bawah sama pentingnya dengan pemilihan
varietas yang akan digunakan sebagai batang atas.
Berhasilnya pertemuan entris dan batang bawah bukanlah jaminan adanya
kompatibilitas pada tanaman hasil sambungan, sering terjadi perubahan pada
entris maupun pada tanaman hasil sambungan, misalnya pembengkakan pada
sambungan, pertumbuhan entris yang abnormal atau penyimpangan pertumbuhan
lainnya, dimana keadaan ini disebut inkompatibel. Kondisi ini dapat disebabkan
oleh perbedaan struktur antara batang atas dan batang bawah atau ketidakserasian
bentuk potongan pada sambungan (Rochiman dan Harjadi, 1973). Batang bawah
dan batang atas yang mampu menyokong pertautan dengan baik dan serasi
disebut kompatibel (Winarno, 1990).
27
2. Faktor pelaksanaan
Faktor pelaksanaan memegang peranan penting dalam penyambungan.
Menurut Rochiman dan Harjadi (1973) kecepatan penyambungan merupakan
pencegahan terbaik terhadap infeksi penyakit. Pemotongan yang bergelombang
dan tidak sama pada permukaan masing-masing batang yang disambungkan tidak
akan memberikan hasil yang memuaskan (Hartman dan Kester, 1976).
Kehalusan bentuk sayatan dari suatu bagian dengan bagian lain sangat penting
untuk mendapatkan kesesuaian posisi persentuhan cambium, disamping itu
ketrampilan dan keahlian dalam pelaksanaan penyambungan maupun penempelan
serta ketajaman alat-alat yang digunakan juga sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan pekerjaan tersebut (Winarno, 1990).
3. Faktor lingkungan
Cahaya matahari sangat kuat akan berpengaruh terutama pada saat
pelaksanaan penyambungan, oleh karena itu penyambungan dilakukan pada waktu
pagi hari atau sore hari. Penyambungan sebaiknya dilakukan pada musim
kemarau. Selain untuk menghindari kebusukan, pada musim kemarau batang
sedang aktif mengalami pertumbuhan serta entris yang tersedia cukup masak
(Sugiyanto, 1995, dalam Hamid, 2010).
2.4 Klon – klon Unggul pada Tanaman Kakao
Salah satu penyebab rendahnya produktivitas kakao Indonesia adalah
masih belum digunakannya bahan tanam unggul yang sesuai kondisi lingkungan
setempat. Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas kakao adalah
28
dengan perbaikan bahan tanam (Anonim, 2010). Pemuliaan tanaman melalui
pengujian klon, persilangan antar klon, pengujian keturunan serta pemilihan
individu pohon terpilih untuk menghasilkan klon baru merupakan cara untuk
mendapatkan bahan tanam unggul. Kegiatan tersebut dilakukan secara
berkesinambungan agar diperoleh bahan tanam unggul yang memiliki sifat
produksi tinggi dan cepat menghasilkan buah, kualitas atau mutu hasilnya sesuai
dengan keinginan konsumen dan toleran terhadap hama dan penyakit (Puslit Kopi
dan Kakao, 2004).
Langsa (2007) mengatakan bahwa penggunaan klon unggul harus
diyakini mempunyai dampak positif terhadap peningkatan produksi dan mutu
hasil, sehingga ketersediaan klon unggul mutlak diperlukan. Produk bahan tanam
unggul kakao yang berdaya hasil tinggi serta memiliki kualitas mutu hasil yang
sesuai dengan tuntutan produsen dan konsumen merupakan salah satu komponen
penting dalam menunjang pembangunan bisnis perkebunan kakao. Ketersediaan
dan penggunaan bahan tanam unggul tersebut akan mampu meningkatkan daya
saing produk kakao Indonesia di pasar internasional. Bahan tanam unggul baru
diharapkan dapat meningkatkan produksi dan mutu hasil kakao. Upaya untuk
mendapatkan klon kakao yang mempunyai sifat produksi yang tinggi, stabil dan
beradaptasi baik, serta mempunyai beberapa sifat sekunder yang menguntungkan
mutlak diperlukan.
Terdapat beberapa klon kakao yang telah dilepas oleh Menteri
Pertanian sejak tahun 2006 yang lalu karena mempunyai produksi yang lebih
tinggi, mutu hasilnya baik, tahan terhadap hama dan penyakit utama seperti
29
penggerek buah kakao (PBK), Helopeltis sp, Vasculas steak diabeck (VSD)
adalah ICCRI 03, ICCRI 04, Sulawesi 1, Sulawesi 2. (Deptan, 2009). Rata-rata
potensi daya hasil dari masing-masing jenis kakao tersebut diatas adalah 1,5 –
2,9 ton ha-1 (Lampiran 1,2,3 dan 4).
30
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang sangat penting
peranannya dalam perkembangan perekonomian nasional. Peningkatan luas areal
pertanaman kakao di Indonesia belum diikuti dengan peningkatan produktivitas
dan mutu yang tinggi, hal ini terbukti dari produksi rata–rata kakao nasional
masih rendah yaitu 0,7 ton, ha-1, thn-1 (Prawoto, 2006).
Mawardi (2004) mengatakan bahwa tanaman kakao dapat diperbanyak
dengan benih atau secara klon yaitu okulasi (tempel) dan sambungan. Pertanaman
kakao yang diusahakan oleh petani pada umumnya berasal dari benih hibrida.
Pemakaian benih hibrida pada awal penanaman di kebun petani merupakan
pilihan yang tepat karena relatif muda dalam pelaksanaan pembibitan, lebih
mudah penyediaan benih dalam jumlah banyak, serta lebih mudah pengiriman
bahan tanam kakao dalam bentuk benih.
Pertanaman kakao asal benih hibrida yang telah diusahakan petani sejak
tahun 1970 mulai menunjukan keragaman yang kurang produktif karena umur
tanaman yang sudah tua (Zaenudin dan Baon, 2004). Lebih lanjut dikatakan
bahwa rendahnya produktivitas tanaman kakao pada umumnya karena teknologi
pembudidayaan oleh kebanyakan petani masih sederhana, penggunaan bahan
tanam yang mutunya kurang baik, serangan hama dan penyakit, tajuk tanaman
rusak, populasi tanaman berkurang juga karena umur tanaman kakao yang sudah
tua sehingga kurang produktif dan perlu diremajakan atau direhabilitasi.
30
31
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman kakao sudah tidak
produktif lagi bila umurnya sudah diatas 20 – 25 tahun. Tanaman tersebut
umumnya memiliki produktivitas yang hanya tinggal setengah dari potensi
produktivitasnya (Suhendi, 2007). Iswanto (2001) mengatakan bahwa keadaan
pertanaman yang kurang produktif tersebut mendorong petani melakukan
rehabilitasi dan penanaman ulang. Petani lebih tertarik melakukan sambung
samping untuk merehabilitasi tanaman kakao yang kurang produktif atau sudah
tua dibandingkan dengan cara membongkar dan tanam ulang, karena dengan
sambung samping petani masih dapat memungut hasil buah kakao dan dapat
menikmati pembuahan kakao yang lebih cepat dari keberhasilan sambung
samping.
Rehabilitasi secara vegetatif menggunakan varietas (klon) unggul
dengan teknik sambung samping merupakan salah satu alternatif yang dianjurkan
sebagai upaya untuk meningkatkan produksi kakao di Indonesia (Langsa, 2007).
Meningkatnya permintaan klon unggul oleh petani kakao karena mempunyai
produksi yang tinggi, biji lebih besar, tahan terhadap hama penggerek buah
kakao (PBK) dan penyakit Vascular steak dieback (VSD), serta potensi daya hasil
dari klon–klon unggul bisa mencapai 2,9 ton-1 (Deptan, 2009). Penggunaan
klon unggul harus diyakini mempunyai dampak positif terhadap pertumbuhan
tanaman, produksi dan mutu hasil, sehingga ketersediaan klon unggul mutlak
diperlukan (Langsa, 2007).
Penggunaan beberapa klon unggul seperti ICCRI 03, ICCRI 04,
Sulawesi 1, dan Sulawesi 2 diharapkan mempunyai kemampuan yang berbeda –
32
beda dalam pertumbuhan, hal ini karena kakao mempunyai keragaman genetik
serta kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungannya yang berbeda-beda
pula.
Teknik sambung samping pertama kali diterapkan oleh BAL estate
pada tahun 1991 dan 1992 untuk rehabilitasi pada kebun benih (Yow dan Lim,
1994, dalam Prawoto, 2006) dan telah dipraktekkan secara luas di Sabah
(Departemen of Agriculture Sabah, 1993 dalam Prawoto, 2006). Di Malaysia,
sambung samping dilakukan untuk menanggulangi hama pengerek buah kakao
(PBK) dengan cara mengganti klon-klon yang ada dengan klon-klon yang potensi
produksinya tinggi, baik pada tanaman muda maupun tua. Hasil menunjukkan
produktivitas kakao meningkat 2-4 kali dibandingkan dengan produktivitas
sebelumnya ( Sastrosoedarjo dkk, 1995).
Kendala yang sering dihadapi dalam perbanyakan tanaman secara
sambung samping adalah jauhnya jarak antara pohon induk dengan kebun yang
akan direhabilitasi, sehingga dibutuhkan waktu beberapa hari mulai dari
pengambilan entres sampai penyambungan. Selain itu jumlah tanaman yang akan
disambung sering dalam jumlah yang banyak, sehingga tidak bisa disambung
dalam waktu sehari dan entres yang belum tersambung harus disimpan untuk
keesokan harinya.
Menurut Jawal dan Alwarudin ( 2006) lamanya penyimpanan entres
mempengaruhi keberhasilan sambung pucuk dan panjang tunas, yaitu semakin
lama entres disimpan semakin rendah tingkat keberhasilan sambung pucuk dan
semakin pendek tunas yang terbentuk. Interaksi antara lama penyimpanan entres
33
dengan varietas berpengaruh terhadap persentase pecah tunas dan pembentukan
daun bibit sambung avokad. Diagram kerangka berpikir (Gambar 3.1)
Gambar 3.1 Diagram Kerangka Berpikir
Penggunaan klon unggul
Petani belum melakukan rehabilitasi kakao secara optimal
Penelitian sambung samping dengan menggunakan klon unggul dan waktu penyimpanan entris
Waktu penyimpanan entris
Pertumbuhan entris yang optimum
Rehabilitasi kakao menggunakan teknik sambung samping
Produktivitas kakao menurun
- Produksi tinggi - Tahan terhadap hama dan penyakit - Mudah beradaptasi dengan
lingkungan dalam proses penyatuhan entris dan batang bawah
-
- Kemampuan daya tumbuh - Kesegaran - Warna kulit - Kadar air
34
3.2 Kerangka Konsep
Sambung samping (side grafting) merupakan teknik perbaikan tanaman
kakao yang dilakukan dengan cara menyisipkan batang atas dengan klon-klon
unggul yang dikehendaki sifat baiknya pada sisi batang bawah. Penggunaan klon-
klon unggul serta entres yang telah dipotong harus disimpan beberapa hari
sebelum dilakukan penyambungan dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan
entres yang akan disambung. Perlakuan pengunaan beberapa jenis klon dan lama
penyimpanan entres diduga saling berpengaruh, sehingga terdapat interaksi pada
kedua perlakuan tersebut.
Penggunaan klon unggul pada sambung samping kakao sangat
dianjurkan karena diharapkan mampu berproduksi tinggi, tahan terhadap hama
dan penyakit, lebih cepat beradaptasi dengan lingkungan serta kemampuan untuk
menyesuaikan diri antar entris dengan batang bawah. Penggunaan klon unggul
diduga dapat mempercepat penyatuan batang atas dan batang bawah yaitu ditandai
dengan menutupnya luka pada sayatan sambungan dan berkembangnya entres
menjadi bagian utuh dari tanaman. Penutupan bekas sayatan akan membantu
meningkatkan kelembaban di daerah luka dan juga mencegah terjadinya dehidrasi
pada jaringan-jaringan disekitar sambungan. Penutupan juga bisa mencegah
terjadinya infeksi luka sayatan dan infeksi dari jamur dan pathogen lainnya.
Perbedaan lama penyimpanan entres juga dapat mempengaruhi
keberhasilan sambungan, pertumbuhan dan kesegaran entris yang akan
disambung. Entres yang baru diambil dari pohon induk tampak segar serta
warnanya hijau kecoklotan, namun jika waktu penyambungan dilakukan beberapa
35
hari kemudian, maka warna entres tersebut menjadi coklat kehitaman serta
kulitnya mengkerut. Terjadinya perubahan warna dan mengkerutnya kulit entres
dipengaruhi oleh berkurangnya kadar air pada entres akibat transpirasi. Entres
yang disambung beberapa hari setelah diambil dari pohon induknya harus
diperlakukan secara khusus sehingga kesegaran, warna serta kadar air tetap
terpelihara.
3.3. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. Interaksi antar jenis klon dan lama penyimpanan entres berpengaruh terhadap
pertumbuhan sambung samping kakao.
2. Jenis klon entres berpengaruh terhadap pertumbuhan sambung samping (side
grafting) kakao.
3. Lama penyimpanan entres berpengaruh terhadap pertumbuhan sambung
samping kakao.
36
Produksi kakao di Bali saat ini masih rendah jika dibandingkan dengan
luas areal pertanaman kakao. Pada tahun 2007 produksi kakao di Bali 7.425,94
ton, tahun 2008 yaitu 6.745,51 ton dan tahun 2009 yaitu 6.800,54 ton (Dinas
Perkebunan Provinsi Bali, 2010).
37
Kebutuhan kakao nasional dari tahun ke tahun terus meningkat seiring
meningkatnya permintaan pasar dunia. Meningkatnya permintaan kakao tersebut
tidak diimbangi oleh peningkatan produksi. Umur tanaman kakao yang sudah tua
merupakan salah satu penyebab yang berpengaruh terhadap rendahnya produksi.
Kondisi tersebut diatas juga dijumpai di lokasi penelitian Desa Angkah
Kecamatan Selemadeg Barat Kabupaten Tabanan Provinsi Bali.
Penggunaan klon – klon unggul dan waktu penyambungan juga mampu
meningkatkan penyatuhan batang atas dan batang bawah, sehingga mempengaruhi
keberhasilan sambung samping.
38
Tambanahan Kerangka konsep
Sejak dulu sampai sekarang petani di Desa Tonggolobibi masih tetap menggunakan bahan tanam yang bersumber dari sesama petani atau dari kebunnya sendiri, sehingga belum ditemukan petani yang menggunakan bahan tanam bermutu (klon unggul) dengan cara membeli dari penangkar bibit atau lembaga penelitian. Hal ini disebabkan karena di satu sisi bahan tanam berkualitas harganya relatif mahal dan agak sulit diperoleh, sementara di sisi lain petani dapat dengan mudah menggunakan bahan tanam yang bersumber dari kebunnya sendiri.
Rehabilitasi tanaman kakao dengan metode sambung samping menggunakan bahan
tanam unggul merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi masalah tersebut. Saat ini momennya cukup tepat karena ada kecenderungan peningkatan minat petani kakao di Desa Tonggolobibi terhadap penggunaan bahan tanam klonal dalam upaya memperbaiki performa tanaman yang sudah tua untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil.
Teknologi sambung samping memerlukan entres yang cukup banyak. Oleh karena itu selain menggunakan entres dari kebun-kebun entres dengan klon-klon unggul yang telah diketahui, juga dapat memanfaatkan klon unggul lokal yang telah diketahui petani dengan terlebih dahulu melalui tindakan seleksi dan pemurnian.
Dibandingkan dengan okulasi tanaman dewasa dan tanam ulang, metode sambung samping menunjukkan keunggulan berikut: Areal pertanaan kakao dapat direhabilitasi dalam waktu relatif singkat. Lebih murah, dan tanaman kakao lebih cepat berproduksi dibandingkan cara
tanam ulang (replanting) Sementara batang atas belum berproduksi, hasil buah dari batang bawah dapat
dipertahankan Batang bawah dapat berfungsi sebagai penaung sementara bagi batang atas
yang sedang tumbuh. PENGENDALIAN
Teknik ini dipilih dengan pertimbangan untuk memperbanyak tanaman yang sukar/tidak dapat diperbanyak dengan cara stek, perundukan, pemisahan, atau dengan cangkok. Menurut Ashari (1995), banyak jenis tanaman buah-buahan yangsukar/tidak dapat diperbanyak dengan cara-cara tersebut, tetapi mudah dilakukan
39
penyambungan, misalnya pada manggis, mangga, belimbing, jeruk dan durian. Alasan lain untuk melakukan grafting adalah: Ashari, S. 1995. Holtikultura. Aspek Budidaya. UI-Press. 485 hal.
40
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Percobaan
Rancangan yang digunakan dalam percobaan ini adalah Rancangan
Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan perlakuan yang disusun secara
faktorial. Perlakuan yang dicoba terdiri dari dua faktor yaitu :
Faktor Pertama adalah klon unggul sebagai batang atas (entres) yang terdiri dari:
KS1 : Klon Sulawesi 1
KS2 : Klon Sulawesi 2
KI1 : Klon ICCRI 03
KI2 : Klon ICCRI 04
K0 : Klon Lokal Bali
Faktor Kedua adalah lama penyimpanan entres:
H0 : Penyambungan dilakukan dengan lama penyimpanan entres maksimal 16 jam sejak pemotongan
H3 : Penyambungan dilakukan dengan lama penyimpanan entres maksimal 72 jam sejak pemotongan (3 hari)
H6 : Penyambungan dilakukan dengan lama penyimpanan entres maksimal 144 jam sejak pemotongan (6 hari)
Dalam percobaan ini terdapat 15 kombinasi perlakuan (KS1H0, KS1H3,
Sulawesi 1 (KS1) 0,5 (0,98) a 0,6 (1,04) a 0,8 (1,11) a Sulawesi 2 (KS2) 0,6 (1,03) a 0,7 (1,10) a 0,9 (1,16) a ICCRI 03 (KI1) 0,6 (1,03) a 0,7 (1,07) a 0,8 (1,11) a ICCRI 04 (KI2) 0,6 (1,05) a 0,7 (1,10) a 0,8 (1,13) a Lokal Bali (KO) 0,7 (1,10) a 0,8 (1,15) a 1,0 (1,20) a
BNT 5 % 0,102 0,109 0,120 Lama Penyimpanan Entres Langsung disambung (H0) 0,72 (1,10) a 0,88 (1,17) a 1,06 (1,25) a Disimpan 3 hari (H3) 0,70 (1,09) a 0,86 (1,16) a 1,02 (1,23) a Disimpan 6 hari (H6) 0,36 (0,92) a 0,42 (0,94) a 0,46 (0,96) a
BNT 5 % 0,119 0,127 0,140 Keterangan : - Angka – angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan variabel
yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji BNT 5 % - Angka dalam kurumg menunjukan data transformasi . BNT 5 % adalah angka
yang membandingkan dengan angka yang telah ditransformasi dengan √x+½
56
5.1.4 Jumlah daun umur 45, 60, dan 75 hsp
Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa pada umur 45, 60, dan 75
hsp perlakuan jenis klon berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun (Tabel
5.1), tetapi lama penyimpanan entres berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah
daun. Jumlah daun terbanyak dicapai pada klon ICCRI 03 dengan rata – rata 8,2
helai tan-1 (Tabel 5.5) .
Penyimpanan entres yang semakin lama berpengaruh terhadap jumlah
daun, dimana Jumlah daun tan-1 paling banyak terdapat pada perlakuan lama
penyimpanan entres yang langsung disambung (H0) dengan rata-rata 7,93 helai
tan-1 dan berbeda sangat nyata dengan penyimpanan entres 6 hari (H6).
Tabel 5.5 Pengaruh Tunggal Jenis Klon dan Lama Penyimpanan Entres terhadap Jumlah