TUGAS TERSTRUKTUR RADIASI DAN KEBISINGAN OLEH: BUDI KUSUMA NINGRUM P17433210005 POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI DIPLOMA IV KESEHATAN LINGKUNGAN
TUGAS TERSTRUKTUR
RADIASI DAN KEBISINGAN
OLEH:
BUDI KUSUMA NINGRUM P17433210005
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI DIPLOMA IV KESEHATAN LINGKUNGAN
PURWOKERTO
2010
KEBISINGAN
A. Pengertian kebisingan
Kebisingan adalah bunyi atau suara yang tidak dikehendaki dan dapat
mengganggu kesehatan dan kenyamanan lingkungan yang dinyatakan dalam
satuan desibel (dB).
Kebisingan juga dapat didefinisikan sebagai bunyi yang tidak disukai,
suara yang mengganggu atau bunyi yang menjengkelkan. Predikat tidak
dikehendaki atau “unwanted” ini sebenarnya subyektif. Suara yang
dikehendaki seseorang mungkintidak disenangi orang lain. Kebisingan sering
mengganggu walaupun terdapat variasi dalam besarnya gangguan atau jenis
dan kekerasan suatu kebisingan. Bahkan suara yang sama yang hari ini
dikehendaki mungkin pada waktu yang lain dianggap mengganggu. Adapun
yang mempengaruhi sifat tersebut adalah: pengalaman yang lalu, derajat
kesehatan, kesenangan, pekerjaan, aktivitas: tidur, rekreasi, umur dan lain
sebagainya.
Menurut WHS (1993) kebisingan adalah bunyi atau suara yang tidak
dikehendaki yang bersifat mengganggu pendengaran dan bahkan dapat
menurunkan daya dengar seseorang.
Kepmennaker No. 51 Tahun 1999 adalah semua suara yang tidak
dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan alat-alat kerja
yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.
B. Batas pemaparan kebisingan
Standar Kebisingan
Setelah pengukuran kebisingan dilakukan, maka perlu dianalisis apakah
kebisingan tersebut dapat diterima oleh telinga. Berikut ini standar atau
kriteria kebisingan yang ditetapkan oleh berbagai pihak.
1. Keputusan Menteri Negara Tenaga Kerja No.KEP-51/MEN/1999 tentang
nilai ambang batas kebisingan.
2. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi No.SE
01/MEN/1978.
“Nilai Ambang Batas yang disingkat NAB untuk kebisingan di tempat
kerja adalah intensitas tertinggi dan merupakan nilai rata-rata yang masih
dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang
tetap untuk waktu kerja yang terus menerus tidak lebih dari 8 jam sehari dan
40 jam seminggu”
“NAB untuk kebisingan di tempat kerja ditetapkan 85 dB (A)”
Nilai Ambang Kebisingan Menurut Kep Menaker No.
KEP-51/MEN/1999.
Waktu Pemaparan Intensitas (dB A)8
4
2
1
Jam 85
88
91
9430
15
Menit 97
100
7,5
3,75
1,88
0,94
103
106
109
11228,12
14,06
7,03
3,52
1,75
0,88
0,44
0,22
0,11
Detik 115
118
121
124
127
13
133
136
139
3. Kriteria Kebisingan Menurut Department of Labor OSHA
Waktu (jam/hari) Tingkat Kebisingan (dB A)
8
6
4
3
2
90
92
95
97
100
1,5
1
0,5
<0,25
102
105
110
115
4. Standard Kebisingan Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.718/Men/Kes/Per/XI/1987, tentang kebisingan yang berhubungan dengan
kesehatan
Pembagian Zona Bising Oleh Menteri Kesehatan
No Zona Maksimum dianjurkan
(dBA)
Maksimum
diperbolehkan (dBA)
1 A 35 45
2 B 45 55
3 C 50 60
4 D 60 70
Keterangan:
Zona A = tempat penelitian, rumah sakit, tempat perawatan kesehatan dsb;
Zona B = perumahan, tempat pendidikan, rekreasi, dan sejenisnya;
Zona C = perkantoran, pertokoan, perdagangan, pasar, dan sejenisnya;
Zona D = industri, pabrik, stasiun kereta api, terminal bis, dan sejenisnya.
5. Kriteria Kebisingan menurut Formula ACGIH dan NIOSH. Formula ini,
dengan menggunakan rumus tertentu, dipakai untuk menghitung waktu
maksimum yang diperkenankan bagi seorang pekerja untuk berada dalam
tempat kerja dengan tingkat kebisingan tidak aman.
Kriteria Kebisingan Menurut ACGIH dan NIOSH
DBWaktu Paparan yang
diperbolehkan (jam)DB
Waktu Paparan yang
diperbolehkan(jam)
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
25,4
20,16
16
12,7
10,08
8
6,35
5,04
4
3,17
2,52
2
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116
117
37,5
2,98
2,36
1,88
1,49
1,18
0,94
0,74
0,59
0,47
0,37
0,3
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
1,59
1,26
1
0,79
0,63
0,5
0,4
0,31
0,25
0,2
0,16
0,13
0,1
0,08
118
119
120
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130
0,23
0,19
0,15
0,12
0,09
0,07
0,06
0,05
0,04
0,03
0,02
0,02
0,01
C. Identifikasi bahaya kebisingan
Jenis-jenis kebisingan berdasarkan sifat dan spektrum bunyi dapat dibagi
sebagai berikut:
1. Bising yang kontinyu
Bising dimana fluktuasi dari intensitasnya tidak lebih dari 6 dB dan tidak
putus-putus. Bising kontinyu dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:
a. Wide Spectrum adalah bising dengan spektrum frekuensi yang luas.
bising ini relatif tetap dalam batas kurang dari 5 dB untuk periode 0.5
detik berturut-turut, seperti suara kipas angin, suara mesin tenun.
b. Norrow Spectrum adalah bising ini juga relatif tetap, akan tetapi
hanya mempunyai frekuensi tertentu saja (frekuensi 500, 1000, 4000)
misalnya gergaji sirkuler, katup gas.
2. Bising terputus-putus
Bising jenis ini sering disebut juga intermittent noise, yaitu bising
yang berlangsung secar tidak terus-menerus, melainkan ada
periode relatif tenang, misalnya lalu lintas, kendaraan, kapal terbang,
kereta api
3. Bising impulsif
Bising jenis ini memiliki perubahan intensitas suara melebihi 40 dB
dalam waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengarnya
seperti suara tembakan suara ledakan mercon, meriam.
4. Bising impulsif berulang
Sama dengan bising impulsif, hanya bising ini terjadi
berulang-ulang, misalnya mesin tempa.
Berdasarkan pengaruhnya pada manusia, bising dapat dibagi
atas :
1. Bising yang mengganggu (Irritating noise).
Merupakan bising yang mempunyai intensitas tidak terlalu
keras, misalnya mendengkur.
2. Bising yang menutupi (Masking noise)
Merupakan bunyi yang menutupi pendengaran yang jelas,
secara tidak langsung bunyi ini akan membahayakan
kesehatan dan keselamatan tenaga kerja , karena
teriakan atau isyarat tanda bahaya tenggelam dalam
bising dari sumber lain.
3. Bising yang merusak (damaging/injurious noise)
Merupakan bunyi yang intensitasnya melampui Nilai
Ambang Batas. Bunyi jenis ini akan merusak atau
menurunkan fungsi pendengaran.
D. Dampak kesehatan paparan kebisingan
Bising dapat menyebabkan berbagai gangguan seperti gangguan
fisiologis, gangguan psikologis, gangguan komunikasi dan ketulian. Ada
yang menggolongkan gangguannya berupa gangguan Auditory, misalnya
gangguan terhadap pendengaran dan gangguan non Auditory seperti
gangguan komunikasi, ancaman bahaya keselamatan, menurunya performan
kerja, stres dan kelelahan. Lebih rinci dampak kebisingan terhadap kesehatan
pekerja dijelaskan sebagai berikut:
1. Gangguan Fisiologis
Pada umumnya, bising bernada tinggi sangat mengganggu, apalagi
bila terputus-putus atau yang datangnya tiba-tiba. Gangguan dapat berupa
peningkatan tekanan darah (± 10 mmHg), peningkatan nadi, konstriksi
pembuluh darah perifer terutama pada tangan dan kaki, serta dapat
menyebabkan pucat dan gangguan sensoris.
Bising dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan pusing/sakit
kepala. Hal ini disebabkan bising dapat merangsang situasi reseptor
vestibular dalam telinga dalam yang akan menimbulkan evek
pusing/vertigo. Perasaan mual,susah tidur dan sesak nafas disbabkan oleh
rangsangan bising terhadap sistem saraf, keseimbangan organ, kelenjar
endokrin, tekanan darah, sistem pencernaan dan keseimbangan elektrolit.
2. Gangguan Psikologis
Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang
konsentrasi, susah tidur, dan cepat marah. Bila kebisingan diterima dalam
waktu lama dapat menyebabkan penyakit psikosomatik berupa gastritis,
jantung, stres, kelelahan dan lain-lain.
3. Gangguan Komunikasi
Gangguan komunikasi biasanya disebabkan masking effect (bunyi
yang menutupi pendengaran yang kurang jelas) atau gangguan kejelasan
suara. Komunikasi pembicaraan harus dilakukan dengan cara berteriak.
Gangguan ini menyebabkan terganggunya pekerjaan, sampai pada
kemungkinan terjadinya kesalahan karena tidak mendengar isyarat atau
tanda bahaya. Gangguan komunikasi ini secara tidak langsung
membahayakan keselamatan seseorang.
4. Gangguan Keseimbangan
Bising yang sangat tinggi dapat menyebabkan kesan berjalan di
ruang angkasa atau melayang, yang dapat menimbulkan gangguan
fisiologis berupa kepala pusing (vertigo) atau mual-mual.
5. Efek pada pendengaran
Pengaruh utama dari bising pada kesehatan adalah kerusakan pada
indera pendengaran, yang menyebabkan tuli progresif dan efek ini telah
diketahui dan diterima secara umum dari zaman dulu. Mula-mula efek
bising pada pendengaran adalah sementara dan pemuliahan terjadi secara
cepat sesudah pekerjaan di area bising dihentikan. Akan tetapi apabila
bekerja terus-menerus di area bising maka akan terjadi tuli menetap dan
tidak dapat normal kembali, biasanya dimulai pada frekuensi 4000 Hz
dan kemudian makin meluas kefrekuensi sekitarnya dan akhirnya
mengenai frekuensi yang biasanya digunakan untuk percakapan.
Macam-macam gangguan pendengaran (ketulian), dapat dibagi atas :
a. Tuli sementara (Temporaryt Treshold Shift =TTS)
Diakibatkan pemaparan terhadap bising dengan intensitas tinggi.
Seseorang akan mengalami penurunan daya dengar yang sifatnya
sementara dan biasanya waktu pemaparan terlalu singkat. Apabila
tenaga kerja diberikan waktu istirahat secara cukup, daya dengarnya
akan pulih kembali.
b. Tuli Menetap (Permanent Treshold Shift =PTS)
Diakibatkan waktu paparan yang lama (kronis), besarnya PTS di
pengaruhi faktor-faktor sebagai berikut :
1) Tingginya level suara
2) Lama paparan
3) Spektrum suara
4) Temporal pattern, bila kebisingan yang kontinyu maka
kemungkinan terjadi TTS akan lebih besar
5) Kepekaan individu
6) Pengaruh obat-obatan, beberapa obat-obatan dapat memperberat
(pengaruh synergistik) ketulian apabila diberikan bersamaan
dengan kontak suara, misalnya quinine, aspirin, dan beberapa obat
lainnya
7) Keadaan Kesehatan
c. Trauma Akustik
Trauma akustik adalah setiap perlukaan yamg merusak sebagian
atau seluruh alat pendengaran yang disebabkan oleh pengaruh pajanan
tunggal atau beberapa pajanan dari bising dengan intensitas yang
sangat tinggi, ledakan-ledakan atau suara yang sangat keras, seperti
suara ledakan meriam yang dapat memecahkan gendang telinga,
merusakkan tulang pendengaran atau saraf sensoris pendengaran.
d. Prebycusis
Penurunan daya dengar sebagai akibat pertambahan usia
merupakan gejala yang dialami hampir semua orang dan dikenal
dengan prebycusis (menurunnya daya dengar pada nada tinggi). Gejala
ini harus diperhitungkan jika menilai penurunan daya dengar akibat
pajanan bising ditempat kerja.
e. Tinitus
Tinitus merupakan suatu tanda gejala awal terjadinya gangguan
pendengaran . Gejala yang ditimbulkan yaitu telinga berdenging.
Orang yang dapat merasakan tinitus dapat merasakan gejala tersebut
pada saat keadaan hening seperti saat tidur malam hari atau saat berada
diruang pemeriksaan audiometri (ILO, 1998).
E. Metode yang dapat Anda gunakan untuk mengendalikan paparan
kebisingan di tempat kerja
Dalam hirarki hazard control atau pengendalian bahaya,
penggunaan alat pelindung diri merupakan metode pengendali bahaya paling
akhir. Artinya, sebelum memutuskan untuk menggunakan APD, metode-
metode lain harus dilalui terlebih dahulu, dengan melakukan upaya optimal
agar bahaya atau hazard bisa dihilangkan atau paling tidak dikurangi.
Adapun hirarki pengendalian bahaya di tempat kerja, adalah sebagai
berikut:
1. Elimination, merupakan upaya menghilangkan bahaya dari sumbernya.
Contohnya: Pemeliharaan mesin (maintenance) yaitu mengganti,
mengencangkan bagian mesin yang longgar, mengganti mesin bising
tinggi ke yang bisingnya kurang, memberi pelumas secara teratur, dan
lain-lain.
2. Reduction, mengupayakan agar tingkat bahaya bisa dikurangi.
Contohnya: mengurangi vibrasi atau getaran dengan cara mengurangi
tenaga mesin, kecepatan putaran atau isolasi, mengubah proses kerja
misal kompresi diganti dengan pukulan, mengurangi transmisi bising
yang dihasilkan benda padat, mengurangi turbulensi udara dan
mengurangi tekanan udara.
3. Engineering control, artinya bahaya diisolasi agar tidak kontak dengan
pekerja.
Contohnya: pengendalian kebisingan pada sumber suara dengan
mengisolasi mesin sehingga terpisah dengan pekerja, melakukan isolasi
operator dalam ruang yang relatif kedap suara, pengendalian kebisingan
pada transmisi kebisingan melapisi dinding dengan dengan menggunakan
lantai berpegas, menyerap suara pada dinding dan langit-langit kerja.
4. Administrative control, artinya bahaya dikendalikan dengan menerapkan
instruksi kerja atau penjadualan kerja untuk mengurangi paparan terhadap
bahaya.
Pengendalian administratif dilakukan dengan cara : mengatur jadwal
produksi, rotasi tenaga kerja, penjadualan pengoperasian mesin, transfer
pekerja dengan keluhan pendengaran, mengikuti peraturan.
5. Personal protective equipment, artinya pekerja dilindungi dari bahaya
dengan menggunakan alat pelindung diri.
Contohnya:
a. Sumbat telinga (earplugs/insert device/aural insert protector)
Dimasukkan ke dalam liang telinga sampai menutup rapat sehingga
suara tidak mencapai membran timpani. Beberapa tipe sumbat telinga:
formable type, custom-molded type, premolded type
Sumbat telinga bisa mengurangi bising s/d 30 dB lebih.
b. Tutup telinga (earmuff/protective caps/circumaural protectors)
Menutupi seluruh telinga eksternal dan dipergunakan untuk
mengurangi bising s/d 40- 50 dB frekuensi 100 8000 Hz.
c. Helmet/ enclosure
Menutupi seluruh kepala dan digunakan untuk mengurangi
maksimum 35 dBA pada 250 Hz sampai 50 dBA pada frekuensi
tinggi.
Pemilihan alat pelindung telinga :
1) Earplug bila bising antara 85-95 dBA
2) Earmuff bila di atas 100 dBA
F. Hubungan antara paparan kebisingan dengan gangguan pendengaran
Berkurangnya pendengaran akibat kebisingan terjadi perlahan-lahan
dalam waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Hal ini sering tidak
disadari oleh penderitanya, sehingga pada saat penderita mulai mengeluh
berkurang pendengarannya biasanya sudah dalam stadium irreversible.
Dalam hubungan ini, jalan yang paling baik adalah mencegah terjadinya
ketulian sedini mungkin. Kecepatan penurunan pendengaran tergantung pada
tingkat kebisingan, lamanya pemaparan dan tingkat kepekaan individu.
Beberapa kondisi lain ikut berperan pada gangguan pendengaran seperti
intoksikasi, trauma pada usia 55 tahun keatas juga presbiakusis
G. Jenis dan penggunaan pelindung pendengaran
Usaha terakhir untuk mengendalikan kebisingan dengan melakukan
usaha proteksi secara personal. Proteksi personal yang bisa diterapkan adalah
penggunaan earplugs dan earmuffs. Pemilihan antara kedua proteksi ini
disesuaikan dengan kondisi. Secara umum, penggunaan earmuffs bisa
mengurangi desibel yang masuk ke telinga lebih besar dari earplugs. Namun
juga harus diingat bahwa proteksi yang berlebihan sangat dimungkinkan
dapat mengurangi efektifitas proses.
Berikut beberapa penjelasan yang terkait dengan Earmuffs dan Earplugs.
1. Earmuffs, terbuat dari karet dan plastik. Earmuffs bisa digunakan untuk
intensitas tinggi (>95 dB), bisa melindungi seluruh telinga, ukurannya
bisa disesuaikan untuk berbagai ukran telinga, mudah diawasi dan
walaupun terjadi infeksi pada telinga alat tetap dapat dipakai.
Kekurangannya, penggunaan earmuffs menimbulkan ketidaknyamanan,
rasa panas dan pusing, harga relatif lebih mahal, sukar dipasang pada
kacamata dan helm, membatasi gerakan kepala dan kurang praktis
karena ukurannya besar. Earmuffs lebih protektif daripada earplugs jika
digunakan dengan tepat, tapi kurang efektif jika penggunaannya kurang
pas dan pekerja menggunakan kaca mata.
Gambar 1.1 Earmuffs
2. Earplugs, digunakan untuk tingkat kebisingan sedang (80-95 dB),
dengan waktu paparan 8 jam. Terdapat berbagai macam earplugs, baik
bentuk padat maupun berongga. Bahannya terbuat dari karet lunak,
karet keras, lilin, plastik atau kombinasi dari bahan-bahan tersebut.
Pengunaan ear plug mempunyai beberapa keuntungan, selain mudah
dibawa karena bentuknya yang kecil, tidak membatasi gerakan kepala,
lebih nyaman digunakan pada tempat panas, juga lebih murah
(dibandingkan ear muff), Ear Plug juga lebih mudah dipakai bersama
dengan kacamata dan helm. Sedangkan kekurangan ear plug atenuasi
lebih kecil, sukar mengontrol atau diawasi, resiko infeksi pada saluran
telinga.
Gambar 1.2 Ear plug
Pengendalian pada penerima kebisingan dapat dilakukan dengan
pembinaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), serta melengkapi
karyawan dengan alat pelindung diri (ear muff dan ear plug).
H. Mengukur kebisingan tempat kerja
Ada tiga cara atau metode pengukuran akibat kebisingan di lokasi kerja.
1. Pengukuran dengan titik sampling
Pengukuran ini dilakukan bila kebisingan diduga melebihi ambang
batas hanya pada satu atau beberapa lokasi saja. Pengukuran ini juga dapat
dilakukan untuk mengevalusai kebisingan yang disebabkan oleh suatu
peralatan sederhana, misalnya Kompresor/generator. Jarak pengukuran
dari sumber harus dicantumkan, misal 3 meter dari ketinggian 1 meter.
Selain itu juga harus diperhatikan arah mikrofon alat pengukur yang
digunakan.
2. Pengukuran dengan peta kontur
Pengukuran dengan membuat peta kontur sangat bermanfaat dalam
mengukur kebisingan, karena peta tersebut dapat menentukan gambar
tentang kondisi kebisingan dalam cakupan area. Pengukuran ini dilakukan
dengan membuat gambar isoplet pada kertas berskala yang sesuai dengan
pengukuran yang dibuat. Biasanya dibuat kode pewarnaan untuk
menggambarkan keadaan kebisingan, warna hijau untuk kebisingan
dengan intensitas dibawah 85 dBA warna orange untuk tingkat kebisingan
yang tinggi diatas 90 dBA, warna kuning untuk kebisingan dengan
intensitas antara 85 – 90 dBA.
3. Pengukuran dengan Grid
Untuk mengukur dengan Grid adalah dengan membuat contoh data
kebisingan pada lokasi yang di inginkan. Titik–titik sampling harus dibuat
dengan jarak interval yang sama diseluruh lokasi. Jadi dalam pengukuran
lokasi dibagi menjadi beberpa kotak yang berukuran dan jarak yang sama,
misalnya : 10 x 10 m. kotak tersebut ditandai dengan baris dan kolom
untuk memudahkan identitas.
I. Instrumen yang digunakan untuk mengukur kebisingan
Noise Level Meter dan Noise Analyzer (untuk mengidentifikasi
paparan). Peralatan audiometric, untuk mengetes secara periodik selama
paparan dan untuk menganalisis dampak paparan pada pekerja.
Ada beberapa macam peralatan pengukuran kebisingan, antara lain sound
survey meter, sound level meter, octave band analyzer, narrow band
analyzer, dan lain-lain. Untuk permasalahan bising kebanyakan sound level
meter dan octave band analyzer sudah cukup banyak memberikan informasi.
1. Sound Level Meter (SLM)
Adalah instrumen dasar yang digunakan dalam pengukuran
kebisingan. SLM terdiri atas mikropon dan sebuah sirkuit elektronik
termasuk attenuator, 3 jaringan perespon frekuensi, skala indikator dan
amplifier. Tiga jaringan tersebut distandarisasi sesuai standar SLM.
Tujuannya adalah untuk memberikan pendekatan yang terbaik dalam
pengukuran tingkat kebisingan total. Respon manusia terhadap suara
bermacam-macam sesuai dengan frekuensi dan intensitasnya. Telinga
kurang sensitif terhadap frekuensi lemah maupun tinggi pada intensitas
yang rendah. Pada tingkat kebisingan yang tinggi, ada perbedaan respon
manusia terhadap berbagai frekuensi. Tiga pembobotan tersebut
berfungsi untuk mengkompensasi perbedaan respon manusia.
Gambar 1.3 Sound Level Meter
2. Octave Band Analyzer (OBA)
Saat bunyi yang diukur bersifat komplek, terdiri atas tone yang
berbeda-beda, oktaf yang berbeda-beda, maka nilai yang dihasilkan di
SLM tetap berupa nilai tunggal. Hal ini tentu saja tidak representatif.
Untuk kondisi pengukuran yang rumit berdasarkan frekuensi, maka alat
yang digunakan adalah OBA. Pengukuran dapat dilakukan dalam satu
oktaf dengan satu OBA. Untuk pengukuran lebih dari satu oktaf, dapat
digunakan OBA dengan tipe lain. Oktaf standar yang ada adalah 37,5 –
75, 75-150, 300-600,600-1200, 1200-2400, 2400-4800, dan 4800-9600
Hz.