PRESENTASI KASUS REHABILITASI MEDIS SEORANG WANITA 34 TAHUN DENGAN TETRAPARESE DENGAN DISPNEU ET CAUSA SUSP GUILLAIN BARRE SINDROM Oleh: Rifni Arneswari Fardianingtyas G99141010 Pembimbing dr. Desy K. Tandiyo, Sp. KFR KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PRESENTASI KASUS REHABILITASI MEDIS
SEORANG WANITA 34 TAHUN DENGAN TETRAPARESE DENGAN
DISPNEU ET CAUSA SUSP GUILLAIN BARRE SINDROM
Oleh:
Rifni Arneswari Fardianingtyas
G99141010
Pembimbing
dr. Desy K. Tandiyo, Sp. KFR
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RSUD DR.MOEWARDI
2015
BAB I
STATUS PENDERITA
I. ANAMNESIS
A. Identitas Penderita
Nama : Ny. W
Umur : 34 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Karyawan toko
Alamat : Sukoharjo
Tanggal Masuk : 8 Januari 2015
Tanggal Periksa : 3 Februari 2015
No. RM : 01 28 48 42
B. Keluhan Utama :
Kedua tangan dan kaki lemah
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan badan lemas terutama di kedua tangan
dan kaki. Sebelumnya pasien tidak mempunyai trauma dan keluhan
dirasakan tiba-tiba. Hal ini dirasakan pasien sejak 1 bulan SMRS. Pasien
juga mengeluh nafas terasa berat, sesak nafas dirasakan terus menerus tidak
berubah dengan perubahan posisi, sesak nafas tidak dipengaruhi dengan
perubahan cuaca, mengi (-), batuk lama (-), batuk berdahak (-), batuk
berdarah (-), nafsu makan berkurang (-), penurunan berat badan (+).
Keluhan dirasakan memberat sejak 2 minggu SMRS. Pasien merasa
kedua tangan dan kaki terasa berat untuk digerakkan sehingga waktu
berjalan diseret, yang lama kelamaan pasien mengeluh tidak bisa berdiri,
nyeri kepala (-), pusing (-), mual (-), muntah (-), kejang (-) pandangan mata
dobel (-), bicara pelo (-). Keluhan ini menyebabkan pasien tidak bisa
melaksanakan pekerjaan sehari-harinya dan terpaksa keluar dari
pekerjaannya sebagai karyawan toko di Jakarta. Selain itu dalam keseharian
pasien harus dibantu oleh suaminya sehingga untuk melaksanakan aktivitas
sehari-harinya pasien menjadi terganggu. Karena keluhan tidak membaik,
pasien kembali ke Solo dan berobat ke RS Dr Moewardi.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat sakit jantung : disangkal
2. Riwayat hipertensi : disangkal
3. Riwayat asma : disangkal
4. Riwayat sakit gula : disangkal
5. Riwayat alergi : disangkal
6. Riwayat operasi : disangkal
7. Riwayat trauma sebelumnya : disangkal
E. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat sakit jantung : disangkal
2. Riwayat hipertensi : disangkal
3. Riwayat sakit gula : disangkal
4. Riwayat sakit kuning : disangkal
5. Riwayat alergi : disangkal
F. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang karyawan toko di Jakarta mempunyai seorang suami
dengan 1 orang anak. Pada saat ini pasien menggunakan pembayaran secara
umum.
G. Riwayat Kebiasaan
1. Riwayat merokok : disangkal
2. Riwayat minum jamu : disangkal
3. Riwayat minum obat-obatan : disangkal
4. Riwayat minum minuman keras : disangkal
5. Riwayat olah raga teratur : disangkal
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
1. Keadaan Umum : sakit berat, compos mentis GCS E4V5M6, gizi kessan
cukup
2. Tanda Vital :
a. Tensi : 100/70 mmHg
b. Respirasi : 20 x / menit
c. Nadi : 100 x / menit, reguler, isi dan tegangan cukup
d. Suhu : 36,7 ° C (per axiller)
3. Kulit
Warna kuning, ikterik (-), turgor kurang (-), hiperpigmentasi (-).
4. Kepala
Bentuk mesocephal, rambut hitam, uban (-), lurus, mudah rontok (-),
mudah dicabut (-), moon face (-), atrofi M.temporalis (-).
Dysautonomia berkaitan dengan bentuk berat dari GBS memperpanjang
durasi akut. Bentuk tersebut dapat mengancam jiwa dengan cardiac aritmia.
Perawatan rehabilitasi melipui : edukasi dan kesadan dari pegawai, pasien , keluarga
pasien, menggunakan compression stocking, adequat hidration, profiling techniques
dan penggunaan tilt table
Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan penurunan volume darah dan
apabila bersamaan dengan hipotensi postural sangat sulit untuk penganannya. Tilt
table dapat efektif untuk rehabilitasi pada pasien imobilisasi Mobilisasi awal akan
menurunkan kadar kalsium dalam serum dan berlawanan hiperkalsemi pada
imobilisasi.
Fisioterapi meliputi mobilitas bertahap dimana meliputi pemeliharaan postur
pasien, memelihara ROM dari tulang sendi (pasive,aktive, active assisted),
menyediakan ankle foot orthosis untuk mencegah plantar kontraktur, melakukan
endurance (latihan berulang dengan tahanan ringan), strengthening group dari otot
yang berbeda dan melakukan program ambulasi yang progesif dimana dengan
menggunakan teknik bed mobilitas dan penggunaan wheelchair (Fary Khan, 2004)
Penatalaksanaan Fisioterapi
Penatalaksanaan fisioterapi pada penderita GBS harus dimulai sejak awal,
yaitu sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan penyakit GBS yang unik,
ada dua fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan fisioterapi.
Pada fase awal - ketika waktu gejalanya memburuk hingga berhenti sebelum
kondisi pasien terlihat membaik.- fisioterapi ditujukan pada pemeliharaan fungsi dan
kondisi sehingga.hanya problem muskuloskeletal dan kardiopulmari yang menjadi
penekanan. Pada fase tersebut yang diperlukan adalah mempertahankan kondisi
pasien, meskipun kondisi pasien akan terus menurun.
Sedangkan pada. fase kedua penekanan pada semua problem menjadi sangat
penting Secara keseluruhan penatalaksanaan fisioterapi ditujukan pada pengoptimalan
kemampuan fungsional karena pada fase penyembuhan - ketika kondisi pasien
membaik- fisioterapi ditujukan pada penguatan dan pengoptimalan kondisi pasien.
Berdasarkan gejala yang timbul, dapatlah disimpulkan ada 4 problem utama
dalam penatalaksanaan fisioterapi pada kasus GBS, yakni problem muskuloskeletal,
kardiopulmonari, sensori dan gangguan sistem saraf otonomi..
Fungsi ventilasi paru harus tetap dijaga, sehingga fungsi tubuh juga dapat
optimal. Selain itu luas gerak sendi, panjang otot, dan kekuatan sendi harus tetap
dipelihara, sehingga pada saatnya ada peningkatan kondisi fungsi muskuloskeletal
bisa segera difungsikan. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk problem sensorik
selain mencegah terjadinya dekubitus.
Gangguan sistem saraf otonomi biasanya belum menjadi problem bagi
fisioterapis pada tahap ini, karena biasanya belum dilakukan mobilisasi. Pada tahap
ini kerjasama dengan perawatan sangat diharapkan.Sedangkan pada tahap akhir -
ketika kondisi pasien sudah membaik - fisioterapi ditujukan pada peningkatan fungsi.
Yang menjadi perhatian utama adalah problem muskuloskeletal, yakni peningkatan
kekuatan otot.
Dengan demikian diharapkan akan ada peningkatan fungsi secara maksimal.
Selain itu fungsi paru juga harus tetap ditingkatkan untuk mendukung peningkatan
aktivitas dan metabolisma. Bila ada gangguan sensorik, harus juga dilakukan
tindakan untuk meningkatkan fungsi sensori.
Selama pemberian tindakan fisioterapi, selalu diperhatikan toleransi pasien
terhadap perubahan posisi. Selain pasien yang sudah lama berbaring, gangguan
sistem saraf otonomi akan lebih menghambat program mobilisasi.Dengan tidak
mengurangi pentingnya pengobatan pada tahap lanjut, keberhasilan penanganan pada
kasus Guillain Barre Syndrome (GBS) secara menyeluruh sangat tergantung pada
perawatan tahap awal. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa prognose penderita
GBS adalah baik.
Oleh karenanya kerja sama yang baik tim medik pada tahap ini akan
menentukan hasil akhir kondisi pasien, termasuk diantaranya penatalaksanaan
fisioterapi pada tahap lanjut yang akan mengembalikan penderita pada fungsi sosial
seperti semula
1. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Problem Muskuloskeletal
Seperti telah disebutkan di atas, masalah muskuloskeletal adalah penting baik
pada fase pertama maupun kedua oleh karena bukan hanya motorik adalah masalah
utama penderita GBS, tetapi juga skeletal sebagai akibat dari gangguan motorik. Pada
fase pertama yang perlu diberikan adalah mempertahankan kekuatan otot, panjang
otot, luas gerak sendi (LGS), tanpa melupakan bahwa kondisi pasien masih akan terus
memburuk dalam waktu maksimal 2 minggu.
Bila panjang otot dan LGS terus terjaga pada fase pertama, fisioterapi pada
fase kedua ditekankan peningkatan kekuatan otot, dengan tetap memperhitungkan
jumlah motor unit yang kembali bekerja
1.1. Penatalaksanaan pada masalah kekuatan otot
Pada fase pertama, program awal yang bisa diberikan adalah latihan aktif, bila
memungkinkan. Bila penderita tidak mampu menggerakkan sendiri anggota
badannya, sebaiknya bantuan diberikan (=aktif asistif). Bila kemudian kondisi
kelemahan otot sangat menonjol, latihan pasif harus diberikan; artinya fisioterapis
yang menggerakkan angota badan penderita. Oleh karena dalam fase ini, kondisi
penderita akan menurun, maka biasanya bantuan yang diberikan fisioterapis kepada
pasien semakin banyak dari waktu ke waktu.
Sebaiknya seorang fisioterapis mempunyai sistematis dalam menggerakkan
anggota tubuh pasien, sehingga tidak ada bagian yang terlewati. Selain itu fisioterapis
juga akan bisa sekaligus mengamati perkembangan motorik pasien bila dilakukan
secara sistematis. Dianjurkan menggerakkan anggota tubuh dari bawah, sehingga
akan diakhiri dengan bagian tubuh yang terkuat. Secara psikis hal ini juga akan
sangat membantu motivasi pasien. Selain menggerakkan bagian tubuh secara
sistematis, juga sebaiknya arah gerakan tiap sendi dibuat secara sistematis, sehingga
tidak ada gerakan otot yang tertinggal.
Dalam menggerakkan anggota badan, sebaiknya fisioterapis mengamati
tingkat toleransi pasien terhadap latihan. Jangan sampai pasien dibiarkan terlalu lelah
atau memaksa menggerakkan anggota tubuh, karena akan merusak motor unit.
Berikan kesadaran kepada pasien bahwa pada waktunya ototnya akan kembali
bergerak, asalkan dilakukan gerakan secara rutin. Bagi pasien GBS, frekuensi latihan
seharusnya tidak terlalu tinggi dalam satu sesi, untuk mencegah kelelahan, mengingat
jumlah motor unit yang bekerja hanya terbatas. Intensitas latihan dalam sehari bisa
ditingkatkan dengan melakukan lebih banyak sesi dalam sehari.
Penatalaksanaan pada fase kedua tidak jauh berbeda dengan fase sebelumnya.
Sasaran utama pada fase ini adalah peningkatan kekuatan otot. Meskipun demikian
latihan yang diberikan masih harus tidak boleh terlalu berat, karena jumlah motor unit
yang aktif terbatas. Program latihan aktif seharusnya ditingkatkan bila penderita
sudah mampu melakukan latihan aktif dan memenuhi LGS normal tanpa kesulitan.
Latihan kemudian meningkat menjadi aktif resistif, artinya menggunakan beban
unntuk meningkatkan kekuatan otot.
Jenis latihan bisa bervariasi, bisa menggunakan beban manual, artinya
fisioterapis memberikan beban secara manual, hingga latihan dengan alat, seperti
misalnya quadricep bench. Dalam memberikan program latihan, hendaknya selalu
diingat bahwa tujuan akhir program fisioterapi adalah memaksimalkan kemampuan
fungsional. Jadi dalam meningkatkan kekuatan otot, perlu diingat otot-otot mana saja
yang diperlukan dalam beraktivitas, atau mensiasati bila ada keterbatasan.
Untuk mengukur perubahan kondisi pasien, bisa digunakan pengukuran
kekuatan otot (MMT- manual muscles testing). Tentu saja pada fase pertama
kekuatan pasien tidak akan mengalami kenaikan, sesuai dengan perjalanan penyakit.
Tetapi pengukuran kekuatan terakhir pasien, saat kekuatan biasanya berhenti
sebelum kemudian membaik, bisa dijadikan titik balik pengukuran pada tahap
berikutnya. Sebaiknya pengukuran dilakukan secara berkala, misalnya tiap minggu,
atau tiap 3 hari. Dengan demikian fisioterapis maupun penderita bisa melihat
perkembangan yang terjadi, yang mungkin juga akan menjadi motivasi keduanya.
1.2 Penatalaksanaan pada Luas Gerak Sendi (LGS)
Bersamaan dengan digerakkannya otot anggota tubuh penderita, bisa
dikatakan semua sendi sudah digerakkan. Hanya perlu diingat bahwa pada fase
pertama, otot penderita GBS biasanya tidak mampu menggerakkan LGS secara
penuh. Oleh karenanya fisioterapis perlu membantu penderita untuk menggerakkan
sendi sesuai dengan luas gerak sendi yang normal, minimal yang fungsional.
Sama seperti memberikan latihan untuk otot, menggerakkan sendi sebaiknya
juga dilakukan secara sistematis supaya tidak ada yang tertinggal. Sesudah gerakan
aktif setiap sendi oleh penderita, sebaiknya ditambahkan 2 sampai 3 kali gerakan
sendi oleh fisioterapis dalam LGS maksimal untuk mempertahankan LGS. Berbeda
dengan program untuk kekuatan otot, untuk mempertahankan sendi sama pada fase
pertama dan kedua.
Ukuran yang dipergunakan untuk mengukur luas gerak sendi adalah
pengukuran sudut setiap sendi. Alat yang digunakan adalah goniometer.
Pengukurannya dilakukan dengan satuan derajat. Dalam satu institusi biasanya
disepakati sistem apa yang digunakan, posisi penderita dan posisi goniometer pada
setiap sudut pengukuran. Seharusnya tidak akan ada perubahan LGS dari waktu ke
waktu, agar pada akhirnya penderita masih mempunyai kemampuan fungsional yang
maksimal.
1.3. Penatalaksanaan pada Panjang Otot
Pada saat melakukan latihan untuk mempertahankan LGS, sebagian besar otot
juga terpelihara panjangnya. Kecuali beberapa otot yang panjangnya melewati dua
sendi. Untuk otot-otot tersebut, perlu gerakan khusus untuk mempertahankan
panjangnya. Otot-otot seperti quadricep, iliotibial band, sartorius adalah contoh otot
yang melewati dua sendi. Otot-otot tersebut penting dalam kegiatan sehari-hari,
misalnya duduk, bersila atau bersimpuh. Sehingga bila panjang ototnya tidak
terpelihara, maka akan berpengaruh pada aktivitas penderita bila sembuh nanti.
Agak sulit membuat pengukuran panjang otot, oleh karena panjang otot tiap
individu akan berbeda tergantung pada aktivitas dan keturunan. Karenanya untuk
mengetahui panjang otot yang normal, secara nalar, berarti fisioterapis harus tahu
penderita sebelum menderita GBS. Kenyataannya hal itu tidak mungkin terjadi.
Sehingga salah satu cara untuk mengetahui panjang otot adalah menanyakan aktivitas
penderita, apakah penderita biasa bersila, duduk sambil menumpangkan kaki atau
bersimpuh.
Dengan demikian bisa diukur apakah panjang otot yang bersangkutan cukup
untuk kembali melakukan kembali aktivitasnya. Cara lain yang bisa digunakan adalah
membandingkan otot sebelah kiri dan kanan, karena biasanya keduanya mempunyai
panjang otot yang sama. Pencatatannya baru dilakukan bila ada keterbatasan panjang
otot.
2. Penatalaksanaan pada Problem Kardiopulmonari
Masalah kardiopulmonari lebih menonjol pada fase pertama. Pada kasus GBS
yang berat, terjadi kelemahan otot-otot intercostal disebabkan karena berkurangnya
jumlah motor unit yang terkonduksi. Akibatnya tidak dapat melakukan inspirasi
secara penuh, sehingga kapasitas vital menjadi berkurang. Seperti yang telah
disebutkan di atas, menurunnya kemampuan batuk, akan menurunkan kemampuan
untuk membersihkan saluran pernafasan. Sehingga saluran pernafasan semakin
menyempit, dan ekspansi paru menjadi berkurang juga. Sehingga pada akhirnya
kembali terjadi penurunan kapasitas vital.
2.1. Penatalaksanaan pada Kemampuan Ekspansi Dada
Berbeda dengan masalah muskuloskeletal yang lain, latihan pasif tidak bisa
dilakukan dengan mudah. Latihan pasif hanya bisa dilakukan dengan bantuan
ventilator atau manual hyperinflation. Dengan terpenuhinya volume sesuai dengan
kapasitas vital, maka pertukaran gas dalam alveoli menjadi meningkat dan mampu
memenuhi kebutuhan ventilasi. Selain itu juga memelihara kelenturan jaringan-
jaringan lunak disekitarnya, sehingga LGS persendian disekitar tulang rusuk
terpelihara.
Dengan demikian bila kekuatan otot interkostal sudah kembali membaik,
rongga dada sudah siap kembali mengembang.Bila otot intercostal dan diafragma
sudah menigkat, maka latihan penguatan harus segera diberikan. Oleh karena tekanan
positif yang diberikan lewat ventilator dan manual hyperinflation bisa memberikan
efek samping, seperti barotrauma. Maka latihan aktif harus segera diberikan.
Pemberian latihan masih harus memperhatikan aturan rendah frekuensi dalam satu
sesi dan banyak sesi dalam sehari. Ini berarti harus diberikan kesempatan istirahat
cukup bagi penderita diantara sesi latihan, untuk menghindari kelelahan.
2.2. Penatalaksaaan pada Pembersihan Saluran Pernafasan
Dalam keadaan normal, setiap hari dihasilkan sekitar 100 ml sekresi saluran
pernafasan dalam sehari. Pembersihan dilakukan sebagai bagian dari sistem
pertahanan, yakni didorong oleh cilia yang kemudian tertelan. Bila sekresi yang
dihasilkan lebih dari normal, atau ada kegagalan kerja cilia, maka diperlukan
mekanisme batuk untuk mengeluarkannya dari saluran pernfasan. Agar bisa
meletupkan batuk yang kuat, seseorang harus bisa menghirup cukup volume udara.
Sehingga seorang penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan yang
menonjol tidak mampu melakukan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi. Bila
sekresi dibiarkan menumpuk, maka diameter saluran pernafasan akan menyempit. Ini
berarti volume udara yang bisa masuk ke paru berkurang, sehingga kemampuan
ventilasi menjadi berkurang.
Pada fase awal, pada penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan yang
menonjol, pembersihan saluran pernafasan bisa dilakukan dengan bantuan ventilator
atau manual hyperinflation. Dengan teknik tertentu, maka panjang ekspirasi bisa
diperpendek, sehingga kecepatan udara yang keluar pada waktu ekspirasi bisa
meningkat. Dengan demikian sekresi saluran pernafasan bisa dikeluarkan. Selain
menggunakan bantuan ventilator dan manual hyperinflation, bisa dilakukan postural
drainage untuk membantu memindahkan sekresi dari saluran pernafasan yang distal
ke yang lebih proksimal. Untuk membersihkan sekresi dari saluran pernafasan,
penderita harus mampu batuk, atau bila tidak harus dilakukan suction.
Selama melakukan postural drainage, haruslah diwaspadai tanda-tanda
gangguan otonomik, seperti kecepatan nafas permenit, nadi permenit, atau saturasi
penderita agar selalu dalam batas normal. Jelaslah bahwa melatih batuk sejak dini
sangatlah diperlukan untuk meningkatkan kemampuan pembersihan saluran
pernafasan. Hal ini biasanya bisa terlaksana pada fase ke-dua, ketika otot-otot
pernafasan mulai menguat. Atau pada fase pertama bila kelemahan otot-otot
pernafasan masih mampu menghasilkan batuk, sehingga latihan batuk berguna untuk
mempertahankan kekuatan otot.
2.3. Penatalaksanaan pada Gangguan Menelan
Jika terjadi juga gangguan menelan, maka resiko infeksi dada semakin tinggi.
Oleh karena kemungkinan masuknya benda asing ke saluran pernafasan menjadi
lebih besar. Benda tersebut kemudian akan menjadi sumber infeksi dada. Dalam hal
ini ada dua masalah dalam sistem respiratori, yakni benda itu sediri, dan sekresi yang
berlebihan akibat adanya benda asing yang masuk ke saluran pernafasan. Bila
kemampuan pasien untuk batuk kuat, maka pasien mampu mengeluarkan benda asing
dari saluran pernafasan dan membersihkan sekresi. Sayangnya, biasanya gangguan
menelan disertai kelemahan otot pernafasan, sehingga penderita tidak mampu batuk.
Namun penderita dengan gangguan menelan biasanya menerima makanan
melalui slang yang langsung masuk ke lambung, sehingga tidak perlu dikawatirkan
akan masuk ke saluran pernafasan. Pada fase pertama tidak banyak fisioterapi yang
bisa dilakukan. Tetapi pada fase ke dua program fisioterapi yang bisa diberikan
adalah segera memberikan latihan batuk, bila otot-otot pernafasan sudah bertambah
kuat. Sehingga pada saatnya penderita belajar menelan, resiko masuknya benda asing
ke saluran pernafasan sudah teratasi.
3. Penatalaksanaan pada Problem Saraf Otonomik
Seperti disebutkan diatas, gangguan saraf otonomik akan timbul, bila
kehancuran selaput myelin mencapai tingkat thoracal atau lebih tinggi, yakni cranial
nerves. Pada umumnya gangguann saraf otonnomik tersebut adalah hal yang perlu
dicermati dalam melakukan tindakann fisioterapi. Gangguan-gangguan tersebut
antara lain labilnya tekanan darah, keluarnya keringat tidak sesuai keadaan, atau
postural hipotensi. Gangguan-gangguan tersebut akan mejadi masalah, biasanya pada
waktu mobilisasi. Pada waktu mobilisasi, misalnya dari berbaring ke duduk, tubuh
memerlukan berbagai adaptasi, oleh karena terjadi perbedaan pengaruh terhadap
tubuh.
Tanpa gangguan saraf otonomik pun, seseorang yanng berbaring lama
memerlukan waktu untuk beradaptasi terhadap tekanan darah. Adaptasi tersebut
teratasi oleh karena pusat pengaturan tekanan darah mendapatkan input, kemudian
tekanann darah meningkat atas pengaruh saraf otonnom. Bila terjadi gangguan saraf
otonnomik, maka adaptasi tersebut akan terganggu.
Maka, dalam memberikan tindakan fisioterapi harus selalu dicermati tekanan
darah dari waktu ke waktu. Oleh karena yang diukur adalah tekanan darah, maka
yang dijadikan aturan adalah tekanan darah. Bila memungkinkan digunakan
spirometer elektronik yang terus bisa dimonitor setiap saat. Disamping tekanan darah,
bisa dicermati kemampuan komunikasi penderita, atau warna muka sebagai indikator
tekanan darah.
3.3. Penatalaksanaan pada Problem Sensasi
Problem sensasi pada penderita GBS yang muncul adalah rasa terbakar,
kesemutan, rasa tebal atau nyeri. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk
mengurangi ketidaknyamanan akibat rasa tebal, rasa terbakar, atau kesemuta. Secara
teori rasa nyeri bisa dikurangi dengan pemberian TNS. Rasa nyeri bisa disebabkan
murni oleh karena gangguan sensasi.
Tetapi nyeri pada punggung mungkin juga disebabkan oleh kurangnya
gerakan pada sendi-sendi tulang belakang. Bila sesudah peregangan sendi-sendi
tulang belakang beserta otot-otot disekitarnya, rasa nyeri berkurang, maka rasa nyeri
tersebut disebabkan oleh kurangnya gerakan. Tetapi bila rasa nyeri tersebut tidak
hilang, maka gangguan tersebut disebabkan oleh gangguan sensasi. Seringkali rasa
nyeri yang timbul karena kombinasi keduanya.
Jadi bila sesudah peregangan rasa nyeri berkurang, tetapi tidak hilang sama
sekali. Bila rasa nyeri disebabkan oleh kuranngnya gerakan sendi, tindakan yang bisa
dilakukan adalah peregangan lebih lanjut, atau lebih spesifik bisa dilakukan
manipulasi atau mobilisasi pada tulang belakang tertentu. Selain ketidaknyamanan,
rasa tebal juga bisa menimbulkan komplikasi, yaitu dekubitus.
Rasa tebal menyebabkan penderita tidak dapat merasakan tekanan kasur pada
penonjolan-penonjolan tulang, sehingga memungkinkan terjadi lecet dan akhirnya
dekubitus. Oleh karenanya perubahan posisi harus selalu dilakukan sebagai usaha
pencegahan. Idealnya perubahan posisi dilakukan setiap 2 jam, dan setiap penonjolan
tulang harus selalu mendapat perhatian.(ikatan fisioterapi,2009)
DISPNEU
A. Definisi
Dispnea atau sesak napas adalah perasaan sulit bernapas dan merupakan
gejala utama dari penyakit kardiopulmonar. Seorang yang mengalami dispnea sering
mengeluh napasnya menjadi pendek atau merasa tercekik. Gejala objektif sesak napas
termasuk juga penggunaan otot-otot pernapasan tambahan (sternokleidomastoideus,
scalenus, trapezius, pectoralis mayor), pernapasan cuping hidung, takipnea, dan
hiperventilasi. Takipnea adalah frekuensi pernapasan yang cepat, lebih cepat dari
pernapasan normal (12 hingga 20 kali per menit) yang dapat muncul dengan atau
tanpa dispnea. Hiperventilasi adalah ventilasi yang lebih besar daripada jumlah yang
dibutuhkan untuk mempertahankan pengeluaran CO2 normal, hal ini dapat
diidentifikasi dengan memantau tekanan parsial CO2 arteri, atau tegangannya
(PaCO2), yaitu lebih rendah dari angka normal (40 mmHg).
Dispnea sering dikeluhkan pada sindrom hiperventilasi yang sebenarnya
merupakan seseorang yang sehat dengan stres emosional. Selanjutnya, gejala lelah
yang berlebihan juga harus dibedakan dengan dispnea. Seseorang yang sehat
mengalami lelah yang berlebihan setelah melakukan kegiatan fisik dalam tingkat
yang berbeda-beda, dan gejala ini juga dapat dialami pada penyakit kardiovaskular,
neuromuskular, dan penyakit lain selain paru.
Ortopnea adalah sesak napas pendek yang terjadi pada posisi berbaring dan
biasanya keadaan diperjelas dengan penambahan sejumlah bantal atau penambahan
elevasi sudut untuk mencegah perasaan tersebut.
Ada juga bentuk lain berupa dispnea nokturnal paroksismal menyatakan
timbulnya dispnea pada malam hari dan memerlukan posisi duduk dengan segera
untuk bernapas. Membedakan dispnea nokturna paroksismal dengan ortopnea adalah
aktu timbulnya gejala setelah beberapa jam dalam posisi tidur. Penyebabnya sama
dengan penyebab ortopnea yaitu gagal jantung kongestif, dan waktu timbulnya yang
terlambat itu karena mobilisasi cairan edema perifer dan penambahan volume
intravaskular pusat
B. Etiologi
Sumber penyebab dispnea bisa bermacam-macam, misalnya:
(1) reseptor-reseptor mekanik pada otot-otot pernapasan, paru, dan dinding dada;
dalam teori tegangan panjang, elemen-elemen sensoris, gelondong otot pada
khususnya, berperan penting dalam membandingkan tegangan dalam otot
dengan derajat elastisitasnya; dispnea terjadi jika tegangan yang ada tidak
cukup besar untuk satu panjang otot (volume napas tercapai);
(2) kemoreseptor untuk tegangan CO2 dan O2 (PCO2 dan PO2) (teori hutang
oksigen);
(3) peningkatan kerja pernapasan yang mengakibatkan sangat meningkatnya rasa
sesak napas; dan
(4) ketidakseimbangan antara kerja pernapasan dengan kapasitas ventilasi.
Mekanisme tegangan panjang yang tidak sesuai adalah teori yang paling
banyak diterima karena teori tersebut menjelaskan paling banyak kasus klinis
dispnea. Besarnya tenaga fisik yang dikeluarkan untuk menimbulkan dispnea
bergantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian tempat, jenis latihan fisik, dan
terlibatnya emosi dalam melakukan hal tersebut. Selain itu, terdapat beberapa variasi
gejala umum dispnea. Pasien dengan gejala utama dispnea biasanya memiliki satu
dari keadaan ini, yaitu penyakit kardiovaskular, emboli paru, penyakit paru interstitial
atau alveolar, gangguan dinding dada dan otot-otot, penyakit obstruktif paru, atau
kecemasan. Dispnea adalah gejala utama edema paru, gagal jantung kongestif, dan
penyakit katup jantung. Emboli paru ditandai dengan dispnea mendadak. Dispnea
merupakan gejala paling nyata pada penyakit yang menyerang percabangan
trakeobronkial, parenkim paru, dan rongga pleura. Dispnea biasanya dikaitkan
dengan penyakit restriktif yaitu terdapat peningkatan kerja pernapasan akibat
meningkatnya resistensi elastik paru (pneumonia, atelektasis, kongesti) atau dinding
dada (obesitas, kifoskoliosis) atau pada penyakit jalan napas obstruktif dengan
meningkatnya resistensi nonelastik bronkial (emfisema, bronkitis, asma). Tetapi jika
beban keja pernapasan meningkat secara kronik maka pasien yang bersangkutan
dapat menyesuaikan diri dan tidak mengalami dispnea. Dispnea juga bisa terjadi jika
otot pernapasan lemah, misalnya pada miastenia gravis, selain itu juga pada lumpuh
(pada poliomielitis, sindrom Guillain-Barre), letih akibat meningkatnya kerja
pernapasan, atau otot pernapasan kurang mampu melakukan kerja mekanis
(contohnya, emfisema yang berat atau pada obesitas).
Penyebab tersering ortopnea adalah gagal jantung kongestif akibat
peningkatan volume darah di vaskularisasi sentral pada posisi berbaring. Ortopnea
juga merupakan gejala yang sering muncul pada banyak gangguan pernapasan.
DAFTAR PUSTAKA
Fary Khan, 2004. Rehabilitation Guillain Barre Syndrom. www.racgp.org.au/ afp/200 412 / 14264 ( diakses pada tanggal 6 Februari 2015).
Ginsberg Lionel, 2002. Lecture Notes Neurologi. Penerbit erlangga . Jakarta
Guillain barre syndrome association of new south wales, 2004. Guillain-Barre syndrome www.betterhealth.vic.gov.au/bhcv2/.../Guillain-Barre_syndrome (diakses pada tanggal 6 Februari 2015).
Ikatan fisioterapi, 2009. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Guillain-Barre Syndromehttp://www.fisiosby.com/index.php?option=com_content&task=view&id=11&Itemid=7 ( diakses pada tanggal 6 Februari 2015).
Newswanger Dana L., Warren Charles R., Guillain-Barre Syndrome, http://www.americanfamilyphysician.com. (diakses pada tanggal 6 Februari 2015).
Mardjono Mahar, Sidharta Priguna. Sindroma Guillain-Barre : Neurologi Klinis Dasar, Cetakan ke 8. Dian Rakyat, Jakarta, 2000.