STUDI ANALITIS TERHADAP KEPUTUSAN IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA SE INDONESIA III MUI TAHUN 2009 TENTANG HUKUM HARAM MEROKOK DALAM PERSEPEKTIF HUKUM ISLAM “Analytical Study on Ijtima Decision of Indonesian Instruction Commission of MUI III in 2009 about Forbidden of Smoking Based on the Law of Islam” Skripsi Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam Program Studi Hukum Islam Oleh : AFRIYANA 04421001 PROGRAM STUDI SYARIAH FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2009
Penelitian tentang haramnya rokok, tidak cuma dipandang dari sisi agama, tapi juga dari sisi medis
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
STUDI ANALITIS TERHADAP KEPUTUSAN IJTIMA’ ULAMA
KOMISI FATWA SE INDONESIA III MUI TAHUN 2009
TENTANG HUKUM HARAM MEROKOK DALAM
PERSEPEKTIF HUKUM ISLAM
“Analytical Study on Ijtima Decision of Indonesian Instruction Commission of MUI III in 2009 about Forbidden of Smoking Based on the Law of Islam”
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam
Program Studi Hukum Islam
Oleh :
AFRIYANA
04421001
PROGRAM STUDI SYARIAH
FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA
2009
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawan ini; Nama : AFRIYANA Nim : 04421001 Program studi : Ahwal al-Syakhsiyyah Jurusan : Syari’ah Fakultas : Ilmu Agama Islam Judul skripsi : Studi Analitis terhadap Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi
Fatwa Se Indonesia III MUI Tahun 2009 Tentang Hukum Haram Merokok dalam Persepektif Hukum Islam.
Dengan ini menyatakan bahwa hasil penulisan skripsi ini merupakan hasil
karya sendiri dan benar keasliannya. Apabila ternyata di kemudian hari penulisan skripsi ini merupakan hasil plagiat atau penjiplakan terhadap karya orang lain, maka saya bersedia mempertanggung jawabkan sekaligus bersedia menerima sanksi berdasarkan tata tertib yang berlaku di Universitas Islam Indonesia.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan tidak dipaksakan.
Yogyakarta, 11 Juli 2009 Penulis,
(Afriyana)
MOTTO
ORANG BERHASIL MEMBERIKAN BUKTI, ORANG GAGAL MEMBERIKAN
SERIBU ALASAN
HARTA DAN KEKAYAANKU AKAN DIBAWA ANAK DAN KELUARGAKU,
NAMUN SUMBANGANKU PADA ILMU PENGETAHUAN AKAN BERSINAR
BAGAI MUTIARA DI AMBANG PINTU PENGETAHUAN
KEBANYAKAN DARI MANUSIA MENGINGINKAN KESEMPURNAAN, TAPI DIA
TIDAK MENGETAHUI BAHWASANYA KESEMPURNAAN HANYA MILIK
ALLAH SWT
KETERBUKAAN SUDAH PASTI JUJUR, AKAN TETAPI KEJUJURAN BELUM
TENTU AKAN TERBUKA
Karya kecil ini saya persembahkan teruntuk:
1. Keluarga besar H. Simad As’ary
2. Keluarga besar Alm. H. Sanusi
3. Bapak dan Mamahku yang tercinta, yang telah mendo’akan dan
memberikan kasih sayang yang tak terbatas kepada Ananda
4. Kakak dan adik-adikku (Alm. Adnan, Hilda Yulianingsih, Agus Saefullah,
Najmu Naufal Hakim, Ismi Nabila)
5. Seorang wanita yang telah hadir dalam hidupku, yang telah banyak
berkorban selama dalam penyelesaian skripsi ini, engkaulah semangat
hidupku
6. Para sahabat dan teman seperjuangan yang penulis sayangi
7. Teman-teman HMI UII
8. Teruntuk almamaterku Universitas Islam Indonesia Fakultas Ilmu Agama
Islam.
9. Semua pihak yang membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini yang
tidak dapat disebutkan satu persatu, thanks for all
ABSTRAK
Penelitian dalam skripsi ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Penulis menggunakan teknik pengumpulan data litereir atau library research (study pustaka). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan bahan hukum primer berupa al-Qur’an, Hadits dan Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia III Tahun 2009 Tentang Hukum Haram Merokok. Teknik analisis data yang digunakan adalah deduksi dan deskriptif. Sementara pendekatan yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini ada tiga: pendekatan normatif, filosofis, dan historis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa MUI dalam fatwanya tentang hukum haram merokok bagi anak-anak, wanita hamil, dan di tempat umum. Pro-kontra menyelimuti fatwa kontroversial tersebut, terlebih daerah yang menjadi tempat tembakau berkembang biak dan tempat dimana perusahaan rokok berdiri. Dibalik pro-kontra tersebut, ada fakta yang unik, ternyata sebagian para ulama/kyai dalam MUI sendiri, dulunya adalah para pecandu berat rokok. Bahkan kopi dan rokok masih menjadi “menu utama”. Terkesan, bahwa fatwa yang dikeluarkan merupakan keputusan final, absolut dan tidak menerima tafsir yang lain. Fatwa MUI terjebak dalam “penalaran ekslusif” (exlusionary reasons) sehingga menafikan tafsir lain yang sangat mungkin menyebar di berbagai pemikiran publik. Fatwa haram merokok, akan berimbas pada kian bertambahnya jumlah pengangguran di Negeri Indonesia ini. Sebab, tidak sedikit jumlah masyarakat yang menggantungkan nasibnya pada produksi rokok, seperti buruh pabrik rokok, petani tembakau, dan penjual asongan rokok. Mereka tentu akan menjadi korban paling parah jika ternyata perusahaan-perusahaan rokok terpaksa bangkrut karena fatwa dan larangan merokok.
Berdasarkan penelitian dalam skripsi ini, MUI dalam penetapan fatwa Haram Merokok belum mengutamakan kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan pokoknya dan memenuhi kebutuhan sekunder serta kebutuhan pelengkap mereka. Jadi setiap hukum syara tidak ada tujuan kecuali salah satu dari tiga unsur tersebut, dimana dari tiga unsur tersebut dapat terbukti kemaslahatan manusia. Tahsiniyah tidak berarti dipelihara jika dalam pemeliharaannya itu terdapat kerusakan bagi Hajiyah. Dan Hajiyah, juga Tahsiniyah tidak berarti dipelihara jika dalam pemeliharaan salah satunya terdapat kerusakan bagi Dharuriyah. Bahwa tujuan umum Syari’ dalam mensyariatkan hukum, ialah merealisir kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini, menarik keuntungan untuk mereka, dan melenyapkan bahaya dari mereka. Karena kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini terdiri dari beberapa hal yang bersifat dharuriyah (kebutuhan pokok) hajiyah (kebutuhan sekunder) dan tahsiniyah (kebutuhan pelengkap). Maka jika dharuriyah, hajiyah dan tahsiniyah mereka telah terpenuhi, berarti telah nyata kemaslahatan mereka.
KATA PENGANTAR
حيم الر حمن الر اهللا بسم
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayah-Nya kepada kita semua sehingga kita dapat beraktivitas dengan
baik, sehingga penyusun dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini tepat pada
waktunya meskipun masih terdapat kekurangan-kekurangan. Tak lupa shalawat serta
salam kita haturkan kepada sang Revolusioner Nabi Muhammad Saw yang telah
merubah pola pemikiran manusia dari pemikiran jahiliyyah menuju pemikiran yang
qur’aniyyah dan wahyuniyyah.
Di dalam penyusunan skripsi ini, penyusun menyadari tentang banyaknya
kendala dan rintangan yang dihadapi baik yang bersifat teknis maupun non-teknis.
Namun berkat do’a, motivasi dan kontribusi dari berbagai pihak, maka kendala dan
rintangan yang menghadang tersebut mampu terlewati dan teratasi dengan baik.
Maka pada kesempatan kali ini, penyusun menghaturkan ucapan terima kasih
kepada:
1. Rektor Universitas Islam Indonesia Prof. Dr. H. Edy Suandi Hamid, M.Ec.
2. Dekan dan para pembantu dekan Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas
Islam Indonesia Yogyakarta (Drs. HM. Fajar Hidayanto, MM., Drs. H.A.F.
Djunaidi, M.Ag) beserta staf.
3. Ketua Jurusan Syari’ah Drs. H. Syarif Zubaidah, M.Ag beserta sekretaris
Jurusan Syari’ah Drs. HM. Sularno, MA.
4. Dosen pembimbing, Dr. Drs. H. Dadan Muttaqien, SH, M.Hum. penyelesaian
skripsi ini tentu juga berkat kerja keras beliau, yang telah banyak meluangkan
watunya untuk mendiskusikan beberapa permasalahan yang penulis rasa
penting mendengar pendapat beliau. Oleh karenanya, beliau telah penulis
anggap sebagai bagian tak terpisahkan dari lahirnya skripsi ini.
5. Keluarga besar H. Simad As’ary, tempat yang menjadi rumah dan keluarga
serta telah banyak memberikan dukungan baik berupa moral maupun materil.
Berkat dukungan keluarga besar H.Simad As’ary penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
6. Keluarga besar Alm H. Sanusi, tempat yang menjadi rumah dan keluarga
serta telah banyak memberikan dukungan baik berupa moral maupun materil.
Berkat dukungan keluarga besar Alm. H. Sanusi penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
7. Bapak dan Mamah, yang tanpa diminta senantiasa selalu mendoakan untuk
kesuksesan penulis. Tidak ada bahasa yang tepat untuk menggambarkan
peran yang telah mereka berdua berikan selama ini pada diri penulis. Semoga
Allah selalu memberikan kekuatan, kesehatan, dan kesuksesan pada penulis
untuk membuat mereka tersenyum dan bangga kepada penulis.
8. Kakak dan adik-adikku, Alm. Adnan, Hilda Yulianingsih, Agus Saefullah,
Najmu Naufal Hakim, dan Ismi Nabila. Yang selalu memaksa penulis untuk
pulang ke rumah saat liburan tiba demi bertemu untuk bercengkrama dengan
mereka dan jalan-jalan ke gunung, dan ke pantai. Kalian semua harus lebih
hebat dari kakak kalian.
9. Seorang wanita dengan inisial 3493 RF, yang telah memberikan pelajaran
hidup kepada penulis. Dan selalu membangkitkan semangat pada diri penulis
dalam melakukan segala aktivitas. Berkat hadirnya dirimu serta dukungan
moral dan materilmu penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Engkaulah
inspirasiku, semangat hidupku.
10. Teman-teman HMI UII, yang siap sedia untuk meluangkan waktunya hanya
untuk berdiskusi dengan penulis.
11. Tinto Wardani, Hendro Iswahyudi. Teman penulis yang telah memberikan
fasilitas berupa laptop, komputer, printer serta kopi dan rokok 234 yang
selalu disediakan setiap penulis menggarap skripsi.
5. Mereka yang mempunyai otoritas untuk menangani fatwa adalah sebagai
berikut:
a. MUI berkaitan dengan:
a) Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan berkaitan
dengan masyarakat Islam Indonesia secara umum.
b) Masalah-masalah keagamaan yang relevan dengan wilayah tertentu
yang dianggap dapat diterapkan di wilayah lain.
b. MUI tingkat propinsi berkaitan dengan masalah keagamaan yang sifatnya
lokal dan kasus kedaerahan, tetapi setelah berkonsultasi dengan MUI pusat
dan komisi fatwa.
6. Sidang Komisi Fatwa harus dihadiri para Anggota Komisi Fatwa yang telah
diangkat pimpinan pusat MUI dan pimpinan pusat MUI propinsi dengan
kemungkinan mengundang para ahli jika dianggap perlu.
7. Sidang Komisi Fatwa diselenggarakan ketika:
a. Ada permintaan atau kebutuhan yang dianggap MUI memerlukan fatwa.
b. Permintaan atau kebutuhan tersebut bisa dari pemerintah, lembaga-
lembaga sosial, dan masyarakat atau MUI sendiri.
8. Sesuai dengan aturan Sidang Komisi Fatwa, bentuk fatwa yang berkaitan
dengan masalah tertentu harus diserahkan ketua Komisi Fatwa kepada ketua
MUI Nasional dan Propinsi.
9. Pimpinan pusat MUI Nasional/Propinsi akan merumuskan kembali fatwa itu
kedalam bentuk sertifikat keputusan penetapan fatwa.
B. Faktor-faktor yang melatarbelakangi lahirnya fatwa tentang rokok
1. Faktor Politik
Sebuah produk keputusan maupun fatwa yang dikeluarkan oleh
lembaga manapun pasti akan sangat terikat dengan setting sosio-kultural dan
sosio-politik yang berada di sekitarnya. Faktor ini pulalah yang menyebabkan
sifat dari sebuah fatwa maupun keputusan sebuah lembaga sangat bersifat
sosiologis. Asumsi ini sebenarnya berawal dari latar belakang Majelis Ulama
Indonesia sendiri yang lahir dari dan untuk dari kepentingan politik. Saat
awal pembentukannya, sebagaimana ditulis Atho Mudhzhar, MUI merupakan
lembaga bentukan pemerintah yang diproyeksikan untuk mengendalikan
kaum muslimin melalui keputusan-keputusan politis yang diligitimasi oleh
MUI.29
Fikih adalah pemahaman yang dirancang oleh cerdik, pandai melalui
aktivitas pemikiran atau olah intelektual bersama sejumlah latar belakang
historis dan desakan-desakn sosial, bahkan tidak jarang berada dalam under
attack politik. Artinya fikih tidak hadir dalam ruang sosial yang kosong. Fikih
bukanlah pemikiran murni yang datang dari kehampaan sejarah, melainkan ia
juga merefleksikan selisih-selisih sosial, budaya dan politik.30
Bisa kita pahami bahwa fatwa MUI itu tidak lebih merupakan bagian
dari upaya meminimalisir bahaya yang mengancam masyarakat Indonesia,
terutama bagi mereka yang mengidap penyakit parah yang disebabkan oleh
konsumsi rokok. Hanya yang menjadi persoalan, mengapa harus MUI yang
harus mengeluarkan fatwa haram rokok ? sedangkan pemerintah mempunyai
peraturan tentang rokok (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 19
Tahun 2003, Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan Presiden Republik
Indonesia).
Inilah barangkali yang menjadi tanda tanya besar pada sebagian
masyarakat kita saat ini. Sejumlah kalangan menduga, bahwa yang dilakukan
MUI sesungguhnya sarat dengan nuansa politis. Hanya saja tidak ada
keterangan lebih lanjut tentang nuansa politis seperti apa yang dimaksud.
Padahal jika merujuk kepada syariat Islam tidak ada penjelasan yang spesifik
menyinggung masalah rokok, apalagi sampai pada ketentuan hukum
mengharamkannya. Hukum haram tentang merokok justru terdapat di dalam
fiqh, itu pun masih mengandung banyak perdebatan. Ada yang menyatakan
hukumnya haram, makruh, ada yang mubah, bahkan ada pula yang
menyatakan wajib. Ketidakjelasan hukum inilah yang menyebabkan
masyarakat bawah berbeda-beda menanggapi masalah hukum rokok.
29 Atho Mudzhar, Fatwa, hal. 59. Lihat juga Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Taufik Abdullah
(ed, et al), (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), artikel “Pergolakan Pemikiran Keagamaan, al” VI: 126.
30 Team FKI, Esensi Pemikiran Mujtahid: Dekonstruksi dan Rekonstruksi Khasanah Islam, (Kediri: Purna siswa III Aliyah 2003 Ponpes Lirboyo, 2003), hal. xxvi
2. Faktor Sosial
Sifat tugas MUI adalah memberi nasihat, karena MUI tidak
dibolehkan melakukan program praktis. Orang pertama yang menyarankan
diadakannya pembatasan demikian adalah presiden Soeharto sendiri. Dalam
pidato pembukaan pada Konferensi Nasional Pertama para ulama pada
tanggal 21 Juli 1975. Presiden secara khusus menyarankan bahwa MUI tidak
boleh terlibat dalam program-program praktis seperti menyelenggarakan
madrasah-madrasah, masjid-masjid atau rumah sakit. Karena kegiatan
semacam itu diperuntukkan bagi organisasi-organisasi Islam lain yang telah
ada. Banyak pertanyaan dari masyarakat terkait dengan masalah strategis
kebangsaan, masalah keagamaan-kontemporer, dan masalah yang terkait
dengan peraturan perundang-undangan. Bahwa pertanyaan-pertanyaan
tersebut mendesak untuk segera dijawab sebagai panduan dan pedoman bagi
si penanya dan masyarakat pada umumnya.31
Dalam Anggaran Dasar MUI dapat dilihat bahwa majelis diharapkan
melaksanakan tugasnya dalam pemberian fatwa-fatwa dan nasihat, baik
kepada pemerintah maupun kepada kaum muslimin mengenai persoalan-
persoalan yang berkaitan dengan keagamaan khususnya dan semua masalah
yang dihadapi bangsa umumnya. MUI juga diharapkan menggalakkan
persatuan di kalangan umat Islam, bertindak selaku penengah antara
pemerintah dan kaum ulama, dan mewakili kaum muslimin dalam
permusyawaratan antar golongan agama. Menurut kata-kata ketua umum
MUI ketiga, Hasan Basri, MUI bertugas “Selaku penjaga agar jangan ada
undang-undang di negeri ini yang bertentangan dengan ajaran Islam”.32
C. Prosedur Penetapan Fatwa
Fatwa merupakan jawaban yang diberikan oleh juru fatwa (mufti)
kepada orang yang pertanyaan akan status hukum. Fatwa mengharuskan adanya
31 Ijma’ Ulama, Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia III Tahun 2009, hal. 1 32 K.H. Basri, Wawancara, (Jakarta: 01 Agustus 1988), Tugas “Penjagaan” ini mengingatkan kita
pada majelis penasihat Tentang Ideologi Islam yang diberikan oleh presiden Ayub Khan dari Pakistan, yang dimuat dalam konstitusi Pakistan tahun 1962.
proses istifta (pengajuan permohonan atas fatwa) oleh pemohon (mustafti) secara
personal maupun badan hukum kepada mufti.
Dalam pandangan Guru Besar FIAI UII, Amir Mu’allim (Himmah,
Juni, 2008), fatwa itu sama saja dengan amar ma’ruf nahi munkar, yaitu suatu
perbuatan untuk mengajak kepada kebaikan dan memerangi keburukan.
Perbedaannya terletak pada sifatnya yang khusus. Fatwa secara umum
memberikan pandangan hukum yang nantinya akan diakomodasi oleh publik.
Bila qadhi merupakan kepanjangan tangan negara untuk mengurus
yudikatif, maka mufti menurut Amir lazimnya adalah seorang intelektual
(ulama) independen, tidak berafiliasi dengan kekuatan manapun, termasuk
negara. Fatwa bisa berkembang seiring perkembangan masa, perubahan letak
geografis, peralihan kondisi, dan pergeseran niat. Fatwa mengandaikan adanya
perkembangan baru, persoalan baru atau kebutuhan baru yang secara hukum
belum ada ketetapan hukumnya, atau belum jelas duduk masalahnya.
Menurut Amir, sebuah produk fatwa juga harus melihat dan
memperhitungkan faktor masyarakat umum. Kondisi sebuah obyek fatwa harus
benar-benar bisa dipahami dan diteliti terlebih dahulu. “Jadi fatwa itu betul-betul
yang menjadikan kepercayaan publik dan sesuai dengan kebutuhan publik.
Fatwa juga harus berorientasi pada kearifan dalam memberikan informasi yang
bersifat hukum”.33
MUI mengeluarkan fatwa-fatwa untuk mengumumkan pendirian
akhirnya mengenai persoalan-persoalan tertentu.34 Jika sifat dan cara
pembuatannya adalah menurut garis-garis agama, peranan yang dilakukan fatwa-
fatwa itu bersifat sekuler, fatwa-fatwa itu dimaksudkan untuk mempersatukan
pendapat kaum muslimin dan memberikan nasihat kepada pemerintah tentang
peraturan hukum agama untuk dipertimbangkan dalam menyusun kebijakan
tertentu.
Penyusunan dan pengeluaran fatwa-fatwa dilakukan oleh Komisi
Fatwa MUI. Komisi itu diberi tugas untuk merundingkan dan mengeluarkan
33 Drs. Rohidin, Studi Tentang Paradigma MUI Dalam Mengeluarkan Fatwa Sesat Terhadap Aliran Keagamaan dan Kaitannya dengan Prinsip-Prinsip HAM, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 2009), hal. 70
34 Atho mudzhar, Op. cit. hal. 79
fatwa mengenai persoalan-persoalan hukum Islam yang dihadapi masyarakat.
Pada waktu pembentukannya pada tahun 1975, komisi itu mempunyai tujuh
orang anggota, tetapi jumlah itu dapat berubah karena kematian atau
penggantian anggota, setiap lima tahun sekali komisi itu diperbaharui melalui
pengangkatan baru. Ketua Komisi Fatwa secara otomatis bertindak selaku salah
seorang wakil ketua MUI.
Persidangan-persidangan Komisi Fatwa diadakan menurut keperluan
atau bila MUI telah diminta pendapatnya oleh umum atau oleh pemerintah
mengenai persoalan-persoalan tertentu dalam hukum Islam. Persidangan
semacam itu biasanya di samping ketua dan para anggota komisi, juga dihadiri
oleh para undangan dari luar, terdiri dari para ulama bebas dan para ilmuwan
sekuler, yang ada hubungannya dengan masalah yang dibicarakan.35 Untuk
mengeluarkan satu fatwa biasanya diperlukan hanya sekali sidang, tetapi
adakalanya satu fatwa memerlukan hingga enam kali sidang, sebaliknya dalam
sekali persidangan adapula yang dapat menghasilkan beberapa fatwa seperti
dalam masalah vasektomi, tubektomi, dan sumbangan kornea mata. Fatwa-fatwa
itu sendiri adalah berupa pernyataan-pernyataan, diumumkan baik oleh Komisi
Fatwa sendiri atau oleh MUI.
Pada tanggal 30 Januari 1986 sebuah buku pedoman terperinci untuk
mengeluarkan fatwa diterbitkan oleh MUI, yang menerangkan bahwa dasar-
dasar untuk mengeluarkan fatwa, menurut urutan tingkatannya adalah:
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Ijma
4. Qiyas
5. Harus disusuli dengan penelitian pendapat para imam madzhab yang ada dan
fuqaha yang telah melakukan penelaahan mendalam tentang masalah
Meski demikian, fatwa sebagaimana ijtihad juga memiliki aturan main
yang harus ditaati. Ada beberapa pedoman dalam berfatwa yang disesuaikan
dengan tuntunan nash. Beberapa larangan bagi pemberi fatwa (mufti) dalam
pedoman tersebut antara lain dijelaskan oleh Musfir bin Ali al-Qahtany dalam
sebuah bukunya “Dlawabit al-Fataya fi al-Nawazil al-Mu’ashiroh” sebagai
berikut:
a. Fanatik terhadap salah satu madzhab, atau pendapat ulama-ulama tertentu.
Pedoman ini sebagaimana juga dikatakan oleh Imam Ahmad, melarang
seorang pemberi fatwa untuk memaksakan madzhab yang dianutnya pada
orang lain, padahal hal itu justru memberatkan bagi orang tersebut.
b. Berpegang hanya pada arti eksplisit nash saja. Larangan ini mengindikasikan
pentingnya pemahaman seorang mufti terhadap makna di balik nash yang
menjadi tujuan syara (maqashid syari’ah). Begitu juga orang yang hanya
mengandalkan Hadis saja untuk menjawab persoalan yang ada tanpa
mempelajari fikih dan ushul fiqh serta perbedaan-perbedaan pendapat di
kalangan ulama. Orang yang demikian, menurut al-Ghazali termasuk
golongan neo-Dhahiriyyah.
c. Tidak menggunakan konsep syaddu al-zari’ah dan terlalu berhati-hati dalam
menyikapai perbedaan ulama. Menurut Ibnu Taymiyah sebagaimana dikutip
Qardawi, melakukan suatu keharaman yang dilarang Allah pasti melalui
perantara (wasilah). Bila tidak menutup perantara tersebut dengan konsep
syaddu al-dzari’ah, berarti mengurangi ketetapan haram dari Allah.
Sementara perbedaan yang terjadi antara para ulama tidak harus disikapi
berlebihan dengan meninggalkan semuanya, namun bisa difatwakan yang
paling unggul (rojih) di antara mereka.
d. Berlebihan dalam menggunakan maslahat dan memaksakan penggunaanya
meskipun bertentangan dengan nash. Hanya Najmuddin al-Thufi yang
meletakkan maslahat sebagai dalil independen yang boleh bertentangan dan
harus didahulukan dari pada nash.
e. Terlalu sering menggunakan rukshsoh dan talfiq antar madzhab.
f. Melakukan hilah dalam perkara-perkara syar’i.
Demikian juga yang dilakukan Yusuf Qardawi dalam salah satu karya
monumentalnya, “Fatwa-Fatwa Kontemporer”. Ia menyebutkan bahwa dalam
fatwa yang ia tulis dan merupakan jawaban atas berbagai persoalan hukum,
terdapat beberapa pedoman yang menjadi pegangan. Secara global dapat
disebutkan sebagai berikut:
a. Tidak fanatik dan tidak taqlid.
b. Mempermudah dan tidak mempersulit.
c. Menjelaskan kepada manusia sesuai dengan bahasa zamannya.
d. Berpaling dari sesuatu yang tidak bermanfaat.
e. Bersikap seimbang antara memperlonggar dan memperketat.
f. Memberikan hak fatwa berupa keterangan dan penjelasan.37
Selain itu, faktor kepentingan pihak manapun, termasuk pribadi
pemberi fatwa harus dihilangkan dari lahirnya sebuah fatwa. Untuk
meminimalisasi adanya kepentingan di balik penetapan fatwa, para ulama
menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi mufti. Imam Ahmad misalnya,
sebagaimana dikutip oleh Ali Hasballah menyatakan bahwa seorang muslim
tidak boleh mengeluarkan fatwa sebelum ia memenuhi lima syarat:
a. Ia harus memiliki niat benar-benar karena Allah Swt.
b. Ia harus memiliki kapabilitas, dan bersikap baik.
c. Ia harus benar-benar ahli dalam bidang yang ia tekuni, sehingga ia tidak
mudah berpaling dari kebenaran.
d. Ia harus orang yang mampu mencukupi diri dan keluarganya, agar terlepas
dari pengaruh orang luar.
e. Mengetahui kondisi sosiologis dan antropologis masyarakat yang diberi
fatwa.38
D. Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam
Berbicara tentang urgensi fatwa keagamaan dalam kehidupan umat
Islam berarti kita tidak terlepas dari samapai seberapa jauh kemanfaatan fatwa
37 Yusuf Qardawi, fatwa-fatwa kontemporer, cet. VII, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hal. 21 38 Ali Hasballah, Ushul, hal. 89
dalam kehidupan ummat manusia. Ajaran Islam yang berupa Al-Qur’an dan Al-
Hadits pada dasarnya masih banyak yang bersifat global, sehingga adanya
perincian secara analisis, agar umat Islam mengetahui duduk persoalan yang
sebenarnya. Al-Qur’an dan Al-Hadits Rasulullah Saw masih perlu ada
penjabaran secara mendetail terhadap masalah-masalah yang diangkat
sebelumnya, sepanjang masalah itu masih bersifat dzanny.39
Fatwa adalah kata yang sering disalah pahami. Ada yang menyangka,
fatwa adalah sejenis dogma yang memiliki daya ikat kuat seperti halnya al-
Qur’an. Atau seperti konstitusi Negara sehingga bagi yang melanggarnya dapat
dikenakan sanksi hukum. Tentu sangkaan ini keliru sepenuhnya. Sebab, fatwa
pada hakekatnya tidak lebih dari sebuah petuah, nasihat, atau jawaban
pertanyaan hukum dari individu ulama atau institusi keulamaan, yang boleh
diikuti atau justru diabaikan sama sekali. Fatwa seorang mufti tidak mengikat
siapapun, karena betapapun kesungguhannya untuk bersikap obyektif, ia tidak
dapat lepas dari unsur subyektivitas berupa kecenderungan pribadi dan
kemampuan daya nalarnya. Pendeknya, fatwa bersifat ghair mulzim (tidak
mengikat).
Kebenaran fatwa bersifat relatif sehingga selalu dimungkinkan untuk
diubah seiring perubahan ruang, waktu, dan tradisi. Ibnul Qayyim al-Jauziyah
dalam magnum opusnya “I’lam al-Muwaqqi’in” menyatakan tentang adanya
peluang untuk selalu mereformasi dan memperbaiki fatwa dalam satu bahasan;
fashl:fiy taghayyur al-fatwa wa ikhtilafiha bihasabi taghayyur al-azminah wa al-
amkinah wa al-ahwal wa al-niyyat wa al-awaid. Jadi, mengubah teks fatwa
bukanlah perkara tabu.
Menurut Ahmad bin Hanbal, jika sebuah fatwa diduga keras akan
menimbulkan keburukan, maka semestinya mufti dapat menahan diri dan tidak
mengedarkan fatwa tersebut. Fatwa perlu ditinjau kembali, waktu demi waktu,
untuk dilihat apakah ia memberi efek maslahat terhadap umat atau justru
menimbulkan huru-hara di tengah masyarakat. Suatu fatwa tidak bisa dijadikan
sebagai sumber ketetapan hukum. Fatwa merupakan suatu pilihan hukum yang
39 Drs. H. Rohadi Abd. Fatah, Analisa Fatwa Keagamaan dalam Fiqh Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1991), hal. 34
bisa diikuti dan bisa saja dikritisi, karena produk hukum hasil fatwa tidak
ubahnya seperti produk hasil ijtihad lainnya yang tidak memiliki nilai kebenaran
mutlak dan nilai kekuatan untuk mengikat.
Fungsi MUI adalah:
1. Sebagai wadah musyawarah para ulama, zuama dan cendikiawan muslim
dalam mengayomi umat dan mengembangkan kehidupan yang Islami,
Demokratis, akomodatif, dan Aspiratif.
2. Sebagai wadah silaturrahmi para ulama, zuama dan cendikiwan muslim untuk
mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam dan menggalang ukhuwah
Islamiyah.
3. Sebagai wadah yang mewakili umat Islam dalam hubungan dan konsultasi
antar umat beragama.
4. Sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam dan Pemerintah, baik diminta
maupun tidak diminta.40
Karena MUI tidak dibolehkan melakukan program praktis. Dalam
anggaran dasar MUI dapat dilihat bahwa majelis diharapkan melaksanakan
tugasnya dalam pemberian fatwa-fatwa dan nasihat, baik kepada pemerintah
maupun kepada kaum muslimin mengenai persoalan-persolan yang berkaitan
dengan keagamaan khususnya dan semua masalah yang dihadapi bangsa
umumnya. Dalam bahasa Hasan Basri, ketua umum MUI ketiga, MUI bertugas
“Selaku penjaga agar jangan ada undang-undang di negeri ini yang bertentangan
dengan ajaran Islam”.41 Syaikh Mahmoud Syaltout, mantan rektor Universitas
40 MUI, Wawasan dan PD/PRT MUI. 2000
41 K. H. Hasan Basri, wawancara dengan Muhammad Atho Mudzhar, (Jakarta: 1 Agustus 1988). Tugas “penjagaan” ini mengingatkan kita pada Majelis Penasihat Tentang Ideologi Islam yang didirikan oleh Presiden Ayub Khan dari Pakistan, yang dimuat dalam Konstitusi Pakistan tahun 1962. Bagian ke-10 konstitusi tersebut menyebutkan bahwa tugas-tugas Majelis Penasihat Ideologi Islam adalah: 1. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai peraturan-peraturan yang memungkinkan kaum muslimin memperbaiki cara hidupnya menurut ajaran Islam. 2. Memberikan nasihat kepada pemerintah apakah rancangan undang-undang bertentangan dengan Islam. Salah satu di antara perbedaan besar antara MUI dan Majelis Penasihat Pakistan adalah, meskipun yang disebut pertama dibantu pemerintah, tetapi tetap bersifat swasta, sedangkan yang kedua merupakan bagian dari aparat pemerintah. Sampai seberapa jauh perbedaan kedudukan itu mempengaruhi timbulnya perbedaan dalam kebebasan gerakan kedua badan tersebut, merupakan bahan studi sendiri.
al-Azhar juga memandang penting adanya lembaga fatwa yang dapat menjadi
tempat bertanya masyarakat dalam masalah agama, demi menjaga kepentingan
umat.42
42 ibid
BAB III
DESKRIPSI UMUM TENTANG ROKOK
A. Deskripsi Umum Tentang Tembakau
1. Sejarah Tembakau
Awal mula perkenalan dunia pada tembakau dan kebiasaan merokok
tak bisa dilepaskan dari peristiwa penemuan benua Amerika oleh para pelaut
Spanyol di bawah pimpinan Christophorus (Christoper) Columbus (1451-
1506) pada tahun 1942. Setelah melakukan serangkain pendaratan di berbagai
pulau di benua itu, pada 2 November tahun 1942 rombongan Columbus
mendarat di pulau Waitling, dan mereka melihat sebuah perahu lesung orang
Indian yang berisi muatan, diantaranya daun-daun kering yang kelak dikenal
sebagai tembakau.
Nama “tembakau” diberikan kepada tanaman beracun ini oleh karena
tembakau sering diisap dengan pipa bercabang yang berbentuk “Y” waktu
mengisapya dua dari cabang pipa ini dimasukkan ke dalam tiap lobang
hidung. Ini membuat pengisap tembakau itu merasa kurang enak, tetapi tetap
mengisapnya juga karena dilakukan dalam suatu upacara tertentu.43
Di lain tempat dua orang utusan yang dikirimkan Columbus ke pantai
Cuba, mereka bertemu banyak orang lelaki yang membawa kayu bakar dan
bungkusan-bungkusan berisi daun pengobatan yang telah dikeringkan. Orang-
orang itu mengisap gulungan daun kering itu sambil menjelaskan jika asap
dari daun kering yang mereka hisap itu bisa mendatangkan kenikmatan pada
tubuh mereka, menciptakan rasa nyaman dan mengurangi kelelahan. Rasa
penat hilang dan muncul rasa santai. Gulungan daun kering itu mereka sebut
tobacco dan orang Indian karibia menyebutnya Tobago.
Perlu waktu sebulan bagi para pelaut Spanyol itu untuk memahami
manfaat daun tembakau. Mereka baru tahu bahwa warga Indian setempat
menggulung dedaunan kering menjadi seperti senapan kuno (musket), yang
43 DR. RA. Nainggolan, Anda Mau Berhenti Merokok Pasti Berhasil, (Bandung: Indonesian
Publishing House, 1990), hal. 11
dibakar di salah satu ujungnya dan diisap di ujung yang lain. Itulah daun
tembakau yang mereka jadikan rokok atau cerutu yang kita kenal sekarang
ini. Tiap suku Indian pada waktu itu memakai cara-cara tersendiri dalam
menikmati tembakau. Ada yang dikunyah, ada yang dicium-tembakau cium
ini dikenal dengan nama niopo atau iopo, ada pula dengan dijilat. Tembakau
juga dipakai dalam upacara ritual, bahkan pengobatan.
Kedatangan orang Eropa, ke “Dunia baru” 50 an tahun lalu itu
menjadi awal perkenalan dunia luar Amerika kepada tembakau hingga
banyak pendatang Eropa yang pergi ke sana. Dari Jamestown, seorang
pendatang dari Inggris Jhon Rolfe mengirim daun tembakau Virginia partama
kali pada tahun 1613 ke Eropa. Satu tahun kemudian, tembakau jenis
nicotiana tabacum dan nicotiana rustica dua spesies yang dibudidayakan
orang Indian Amerika dikenal di seluruh dunia.
Rolfe menikahi putri Indian terkenal, Pocahontas, yang merupakan
anak perempuan Powhatan, kaisar merah dari Virginia. Rolfe mengetahui
pembudidayaan tembakau dari putri kaisar Indian itu dan mereka berdua
berhasil menanam tembakau dalam jumlah besar di Varina, dekat Richmond
belakangan menjadi tempat kelahiran rokok modern. Akibatnya, pertanian
tembakau berkembang dan menjadi buruan utama orang Inggris di Amerika,
dan Pocahontas menjadi pasangan terpandang di koloni itu. Sayangnya,
dalam kunjungan ke Inggris pada tahun 1617, sang putri meninggal. Rolfe
memutuskan kembali ke Varina, tapi pada tahun 1662 ia dibunuh oleh
anggota keluarganya sendiri. Usahanya dilanjutkan oleh putranya, Thomas.44
Diperkirakan, dunia mengenal 20 spesies tembakau. Dari 20 spesies
tersebut, tiga di antaranya varieta utama: Nicotiana tabacum (Virginia),
Nicotiana Macrophylla (Maryland), dan Nicotiana rustica (Boeren), yang
semuanya berasal dari Amerika.
Tembakau telah menciptakan keberuntungan kepada benua Amerika
selama beberapa generasi. Dalam hal ini, terutama koloni kecil (Inggris)
44 http://www.detiknews.com/r.diakses pada 18 Juni 2009
Virginia, yang diambil dari nama depan Ratu Elizabeth. Nama tembakau
Virginia inilah yang paling terkenal di seluruh dunia.
Tembakau Virginia ditanam di seluruh dunia, namun dalam
kenyataannya, ada lima wilayah penanaman: Pertama, Asia yang
menghasilkan sekitar 53% panen dunia. Lalu Amerika Selatan 21%, Amerika
Utara 11%, Eropa 8% dan Afrika 7%.45
Banyak orang menyebut Amerika sebagai “tanah air tembakau”,
sementara William Barclay, seorang penulis Inggris, dalam bukunya
Nephentes, or The Vertues of Tobacco (1604) menyebut Amerika sebagai
negeri dimana Tuhan telah memberikan karunia dan memberkatinya dengan
daun pengobat yang membahagiakan dan suci ini.
Penyebaran Tembakau ke Seluruh Dunia
a. Eropa
Dengan mencontoh penduduk pribumi, pada dekade pertama pada
abad ke-16, sejumlah pelaut Spanyol dan Portugis bersama menanam
tembakau di Hindia Barat dan Brasil. Di akhir abad itu, tumbuhan yang
menimbulkan kontroversi ini diperkenalkan di Inggris oleh Sir Jhon
Hawkins, pahlawan bahari imperium Inggris, sepulangnya dalam lawatan
kedua ke Amerika Serikat, pada 20 September tahun 1565. Sedang
penyebaran terjadi sejak tahun 1573, saat Sir Francis Drake membawa
pulang tembakau dari Virginia, koloni Inggris di Amerika. Sejak itulah
kaum bangsawan Inggris mulai mengenal budaya konsumsi tembakau.
Pada tahun 1854, Ratu Elizabeth memberi hak atas Virginia kepada
Sir Walter Raleigh. Melalui orang inilah, tembakau dan kebiasaan
merokok dengan pipa diperkenalkan secara luas. Ratu sendiri malah punya
tongkat berupa pipa rokok. (Bahkan Winston Churcill, Perdana menteri
Inggris tahun 1940-1945 dan tahun 1951-1955, terkenal karena
cangklongnya).46
45 http://www.tempointeraktif.com.diakses pada 18 Juni 2009 46 Suryo Sukendro, Filosofi Rokok, (Yogyakarta: Pinus, 2007), hal.34
Perancis mengenal tembakau lewat Andre Thevet dan Jean Nicot.
Semenjak tahun 1560, penanaman tembakau sudah mulai berkembang di
Perancis. Pada tahun 1573, Nicot dengan beberapa orang sarjana
menerbitkan kitab logat bahasa Perancis-Latin, yang pada halaman 478
dijumpai istilah Nicotiane untuk menyebut jenis tanaman obat (tembakau)
yang dimaksud. Dari sinilah istilah “Nicotiane” kemudian dipakai untuk
menyebut tanaman tembakau obat itu.
Tembakau di Portugis mulai tumbuh pada tahun 1558. Di Spanyol
tanaman tembakau pertama kali masuk sebagai tanaman hias dan
kemudian sebagai tanaman obat. Jenis tembakau yang berkembang di sana
saat itu adalah jenis Nicotiana tabacum. Tembakau masuk Italia pada
tahun 1561, dibawa oleh seorang pendeta bernama Prospero Santa Croce
dari Lisabaon, Portugis, sewaktu jadi duta Sri Paus. Pendeta kedua yang
membawanya adalah Nicolo Tornabuoni, yang juga duta Sri Paus.
Praktek merokok di Belanda berkembang di kalangan mahasiswa
Universitas Leiden. Tembakau di Jerman ditanam pada abad XVI di
daerah sekitar Nurnberg, Saxonia, Thuringen, dan Hessen. Di Rusia,
sekitar tahun 1690-an tembakau telah digunakan secara berlebihan tak
ubahnya brendi dan sering menjadi pemicu pertengkaran. Abad XVIII
orang Rusia mengenal cara baru menikmati tembakau dengan
menggunakan pipa air, yang sebelumnya telah popular di kalangan orang
Turki.47
b. Asia
Tembakau di Jepang diperdagangkan oleh orang-orang Portugis
menjelang akhir abad XVI. Perkebunan tembakau yang pertama adalah di
Nagasaki pada tahun 1605 dan meluas pada akhir abad XVII. Tembakau di
Tiongkok dikenal lewat orang-orang Filipina, mula-mula murni dipakai
untuk obat.
47 Ibid, hal. 35
Tembakau masuk India lewat orang-orang Portugis sekitar tahun
1605. Pada tahun 1610 tembakau telah tumbuh di Sailan dan tahun
berikutnya kebiasaan merokok telah dikenal luas di India.
Dalam Budiman (1978 : 71) jika istilah Cerutu diyakini berasal dari
sebuah kata dalam bahasa Tamil shuruttu atau churuttu dalam bahasa
Malayalam, yang kedua-duanya berarti gulungan tembakau. Dari
perkataan inilah timbul perkataan Portugis charuto dan perkataan cerutu
dalam bahasa kita (baca: Indonesia-red).
c. Awal Tembakau di Indonesia
Jauh sebelum orang Indonesia mengenal tembakau, mereka lebih dulu
mengenal budaya mengunyah buah pinang dan sirih serta mencampurnya
dengan kapur yang terbuat dari kulit tiram, sebagai sebuah kebiasaan
untuk mendapatkan kenikmatan. Namun hingga zaman Majapahit,
kebiasaan makan sirih belum mengenal gambir. Budiman (1987)
menyebut jika gambir baru masuk Indonesia pada awal abad XVI dan
merupakan barang impor. Pemakaian tembakau baru muncul belakangan,
setelah dimasukkan oleh orang Portugis ke tanah air kita pada awal abad
XVII. Tembakau khusus untuk makan sirih ini dikenal dengan nama
tembakau sugi. Masyarakat Jawa menyebutnya bako susur.48
Tembakau barulah dikenal belakangan, menurut Thomas Stamford
Raffles dalam bukunya The History of Java, jilid I (1817), orang
Belandalah yang memperkenalkan tembakau sekaligus kebiasaan merokok
pada orang Indonesia dan itu terjadi pada tahun 1601. Namun menurut De
Candolle, yang dikutip dalam Van Der Reijen dalam bukunya Rapport
betreffende Eene Gehouden Enquete Naar De Arbeids Toestanden In De
Industrie Van Strootjes En Inheemsche Sigaretten Op Java, jilid I (1934),
tanaman tembakau telah dibawa ke pulau Jawa sekitar tahun 1600, hanya
saja, menurutnya dibawa oleh orang Portugis.
48 Ibid, hal. 37
Dalam naskah Jawa Babad Ing Sangkala, tembakau dikatakan
masuk Jawa bersamaan dengan mangkatnya pendiri kerajaan Mataram,
Panembahan Senapati Ing Ngalaya-ayah Sultan Agung-pada tahun Saka
1523 (sekitar 1601-1602 Masehi). Sayangnya, tak tercantum di sana
keterangan siapa pembawa tembakau ke pulau Jawa. Barangkali lebih
cenderung untuk menerima pendapat De Candolle yang meyakini jika
orang Portugis sebagai pembawanya kemari. Alasannya, nama tembako
atau bako, yang lazim dipakai orang Jawa, lebih dekat ke istilah tabaco
atau tumbaco dalam bahasa Portugis, ketimbang kata tabak dalam bahasa
Belanda.
Menurut sinolog G. Schlegel dalam Budiman (1987:80), tanaman
tembakau bukan merupakan tanaman asli Indonesia. Sebagai bukti, ia
menunjuk pemakaian nama tembakau atau yang semacam itu, untuk
menyebut tanaman termaksud di berbagai daerah, yang semuanya berasal
dari perkataan Portugis tabaco atau tumbaco. Berdasarkan kenyataan ini ia
berpendapat jika orang Portugis pastilah orang pertama yang memasukkan
tembakau ke Indonesia. Namun, kebiasaan pemakaian tembakau di daerah-
daerah lain tak banyak diketahui, karena sumber Belanda sangat sedikit
mengungkapnya, setidaknya sampai abad ke-17. Sedang di Deli, Sumatera
Timur, tembakau mulai ditanam pada tahun 1864 oleh orang Belanda
bernama Nienhuys.
Tembakau yang digunakan orang Jawa untuk merokok pada waktu
itu berasal dari Karesidenan Besuki dan dari daerah Kedu-tembakau Kedu
merupakan tembakau terbaik di pualau Jawa pada waktu itu. Orang
Belanda juga memakai tembakau Kedu untuk pipa rokok mereka, selain
kebiasaan mengisap rokok cerutu. Orang Belanda menyebut mengisap
pipa dan cerutu dengan istilah ro’ken. Gericke-Roorda dalam buku kamus
bahasa Jawa-Belanda Javaansch-Nederlandsch Woordenboek jilid I (1901)
halaman 332, menyebutkan jika dari perkataan Belanda ro’ken inilah
muncul perkataan rokok yang dipakai hingga sekarang.49
49 Ibid, hal. 39
Tembakau diperbanyak dengan menyemai bijinya. Setelah biji
disemai di pesemaian, calon pohon tembakau dipindahkan ke bedengan
ketika berusia 38-45 hari. Musim tanamnya tergantung sepesiesnya.
Tembakau Virginia ditanam pada akhir musim hujan, dan dipanen pada
musim hujan pula. Tembakau untuk cerutu ditanam pada musim kemarau,
dan dipanen setelah musim hujan. Tembakau biasanya tumbuh pada tanah
campuran, antara tanah liar dan pasir, dengan kadar humus yang tinggi dan
cukup air. Bila usianya telah mencapai 90-100 hari, sesudah daun
terbawahnya mulai menguning, itulah saatnya panen.50
Di Indonesia, tembakau menjadi tanaman perkebunan. Secara
ekonomi, peranannya cukup besar karena dapat menjadi sumber
pendapatan masyarakat. Jawa timur menjadi penghasil tembakau utama
bagi Indonesia, dan tembakau Deli di Sumatera Timur sebagai jenis yang
paling terkenal di dunia. Daun tembakau yang diekspor adalah yang
khusus untuk bahan cerutu.
2. Kandungan yang Membahayakan dalam Tembakau
Daun tembakau yang batangnya dapat mencapai dua meter,
mengandung alkaloid beracun: nikotin, nikotinin, nikotein, dan nikotelin.
Gejala keracunannya berupa diare, muntah-muntah, kejang-kejang, dan sesak
nafas. Akibat sampingan mengisap asapnya, yakni merokok, berupa batuk
kering, asma dan sukar tidur.51
3. Aspek Manfaat dari Tembakau
Untuk bertahun-tahun lamanya penggunaan tembakau adalah
merupakan masalah kontroversial. Orang-orang Indian di Amerika Serikat
percaya bahwa tembakau itu dapat digunakan sebagai obat. Oleh karena
itulah, pendatang-pendatang ke Amerika Serikat itu membawa tembakau itu
kembali ke Eropa. Bahkan pada abad pertengahan ke 17, seorang dokter di
London menulis sebuah buku yang berjudul Panacea; or the Universal
50 Ibid, hal. 27 51 Ibid, hal. 28
Medicine, Being a Discovery of the Wonderful Virtues of Tobacco; Taken a
Pipe with is operation and use both in Physical and Chyrurgery.
Dokter ini berpendapat bahwa tembakau itu mempunyai khasiat untuk
menyembuhkan tubuh dan untuk pembedahan. Khasiat-khasiat yang terdapat
dalam tembakau menurut dokter ini antara lain, ialah: setetes getah tembakau
dimasukkan ketiap-tiap telinga dapat menyembuhkan ketulian. Untuk
menyembuhkan sakit kepala, daunnya ditempelkan diatas dahi atau kepala.
Untuk membuat wajah berseri-seri kemerahan, digunakanlah getah daun
tembakau itu. Untuk yang sakit gigi, diletakkan daun tembakau itu pada
bagian yang sakit. Serta untuk mengobati batuk, daun tembakau itu direbus
dan airnya diminum. Bahkan, sebelumnyapun dokter-dokter di Eropa
menyatakan bahwa tembakau itu bukan untuk diisap, tetapi hanya digunakan
untuk tujuan pengobatan.52
Daun tembakau dipercayai dapat berkhasiat sebagai obat tradisional.
Air tembakau, misalnya dapat dipakai membersihkan luka yang kotor dan
borok yang membusuk dan berulat. Getah daunnya bisa dipakai untuk
membersihkan kotoran pada luka bernanah-atau sebagai racun yang dioleskan
pada senjata tajam. Daun tembakau dapat pula digunakan sebagai tapal pada
bisul, atau mengobati orang yang perutnya mulas. Rebusan daun keringnya
berkhasiat sebagai obat cacing.
Sebuah hasil penelitian paling baru dari Arief Budi Witarto Meng-
seorang peneliti dari pusat penelitian bioteknologi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyatakan bahwa ternyata tembakau dapat
pula menghasilkan protein anti-kanker yang berguna bagi penderita kanker.
Proposal penelitian soal inilah yang membawa Doktor Bioteknologi
dari Fakultas Teknik, Tokyo University Of Agriculture And Technology,
Jepang itu meraih penghargaan dari badan Jerman DAAD dan Fraunhofer di
Jakarta, tanaman tembakau ini tidak diambil daun tembakaunya untuk
memproduksi rokok tetapi dimanfaatkan sebagai reaktor penghasil protein
GCSF. Suatu hormone yang menstimulasi produksi darah.
52 R.A. Nainggolan, Anda Mau Berhenti Merokok ? Pasti Berhasil, (Bandung: Indonesia
Publishing House, 1990), hal. 14
Selain untuk protein antikanker, GSCF, ujarnya bisa juga untuk
menstimulasi perbanyakan sel tunas (stemcell) yang bisa dikembangkan
untuk memulihkan jaringan fungsi tubuh yang sudah rusak.53
Tembakau di Tiongkok dikenal lewat orang-orang Filipina. Mula-
mula murni dipakai sebagai obat. Biasanya tembakau digunakan untuk
menyembuhkan penyakit malaria, dan rebusan daun tembakaunya bisa
dipakai untuk membinasakan serangga-serangga dan penyakit kulit yang
bersifat parasit. Olahan daun tembakaunya bisa untuk menghentikan luka
pendarahan.
Pada tahun 1573, dengan bekerjasama dengan beberapa orang sarjana,
Nicot berhasil menerbitkan sebuah kitab logat bahasa Perancis-Latin, yang
sebuah copynya masih tersimpan di perpustakaan Newberry di Chicago. Pada
halaman 478 dari buku bausastra ini kita jumpai perkataan Nicotiane dengan
batasan sebagai berikut: “ini adalah suatu tanaman pengobat dengan sifat
baiknya yang menakjubkan melawan segala macam luka-luka, borok,
penyakit kulit yang sering menyebabkan luka dibagian muka atau penyakit
borok di bagian muka lainnya, penyakit-penyakit yang disebabkan kuman
virus dan penyakit-penyakit lain semacam ini”.
B. Rokok dan Permasalahannya
1. Sejarah Rokok di Indonesia
Industri tembakau di Indonesia dimulai bersamaan dengan
berkuasanya kolonial Belanda di negeri ini. Dimulai dengan penanaman
pertama pada tahun 1609, pada tahun 1650 tembakau dijumpai di banyak
daerah di Nusantara. VOC melakukan penanaman tembakau secara besar-
besaran di daerah Kedu, Bagelen, Malang, dan Priangan. Dari abad ke-17
hingga-19, penanaman tembakau mencapai daerah Deli, Padang, Palembang,
Cirebon, Tegal, Kedu, Bagelen, Banyumas, Semarang, Rembang, Kediri,
53 http://www.antara.co.id.diakses 20 Juni 2009
Besuki, Lumajang, Malang, Surabaya, Pasuruan, bahkan juga di Kalimantan,
Sulawesi, Ambon dan Irian.54
Kisah kretek bermula dari kota Kudus. Menurut Amen Budiman &
Onghokham dalam buku Keretek: Lintasan sejarah dan Artinya Bagi
Pembangunan Bangsa dan Negara (1987), pembuatan rokok keretek di
Indonesia dimulai oleh seorang bernama Haji Jamahri. Awal mulanya,
penduduk asli kota Kudus, pantai utara Jawa, itu telah lama mengidap rasa
nyeri di dadanya. Untuk mengurangi rasa sakit di dadanya itu, ia
mengusapkan dada dan pinggangnya dengan minyak cengkeh, bahkan me-
mamah-mamah cengkeh. Hasilnya, rasa sakitnya kemudian banyak
berkurang.
Lantas timbul gagasan dari Haji Jamahri untuk memakai rempah-
rempah itu sebagai obat dengan cara berbeda. Ia lalu merajang cengkeh
sampai halus, kemudian mencampurnya dengan tembakau, dan dibungkus
dengan daun jagung, dan kemudian dibakar ujungnya. Dengan cara
menghirup asapnya sampai masuk ke paru-paru, ia merasa sakit di dadanya
berangsur-angsur sembuh. Ia memberitahukan perihal penemuan ini kepada
orang-orang dekatnya. Akhirnya berita ini cepat sekali tersiar dan menyebar
luas hingga permintaan rokok obat temuannya ini pun berdatangan. Tak lama
kemudian akhirnya Haji Jamhri membuat industri rokok temuannya itu dalam
skala kecil.55
Awal mulanya, penduduk Kudus menyebut rokok temuan Haji
Jamahri ini rokok cengkeh. Akan tetapi, oleh karena jika dihisap rokok ini
menimbulkan bunyi keretek-keretek seperti bunyi daun dibakar sebagai
akibat pemakaian rajangan cengkeh untuk campuran tembakau isinya, jenis
rokok ini akhirnya disebut orang rokok keretek. Awalnya, keretek ini
dibungkus kelobot atau daun jagung kering. Dijual per ikat dimana setiap ikat
terdiri dar 10 batang, tanpa selubung kemasan sama sekali. Haji Jamahri
meninggal dunia di Kudus pada tahun 1890 dan dengan demikian lahirnya
Masing-masing argumentasi yang mereka pergunakan mengandung
kelemahan. Lebih dari itu, tidak tepat kalau dalam hal ini digeneralisasi. Sebab
kondisi seseorang tidaklah sama. Dengan demikian pendapat keempat layak
dipertimbangkan. Untuk itu fatwa yang menyatakan haram mutlak atau mubah
mutlak tidaklah tepat.
Sisi lain yang perlu kita pertimbangkan adalah terjadinya polarisasi di
masyarakat antara yang menghendaki diharamkan dan sebaliknya. Hal ini perlu
menjadi pertimbangan tersendiri. Demikian juga seandainya kita mengambil
pendapat yang menyatakan haram mutlak ada yang perlu kita pertimbangkan.
Pertama, akan efektifkah fatwa itu atau hanya akan menjadi fatwa yang mubazir.
Kedua, seandainya benar-benar dipatuhi bagaimana nasib sekian banyak
karyawan pabrik rokok yang harus ditutup karena mematuhi fatwa MUI?
Bagaimana nasib sekian banyak petani tembakau yang kebanyakan muslim?
Sisi lain yang menjadi bahan pertimbangan ialah kendati merokok itu
jelas mengganggu dan membahayakan kesehatan tetapi kita tidak pernah
mengetahui secara pasti apakah seseorang itu meninggal gara-gara rokok atau
karena faktor yang lain. Kyai-kyai kita banyak yang menjadi perokok berat,
tetapi kok sehat-sehat saja dan umurnya juga panjang. Demikian juga kendati
merokok itu mengandung aspek negatif terkait dengan ekonomi dan keuangan,
tetapi kita belum pernah mendengar ada orang jatuh miskin gara-gara rokok.
Yang jelas, rokok mengandung nikotin yang membahayakan
kesehatan. Dan perokok tanpa disadari telah membakar sekian fulusnya secara
sia-sia. Pabrik rokok membuka lapangan pekerjaan dan cukai yang cukup besar.
Rokok dan merokok memang ada manfaat dan mafsadatnya. Mana yang lebih
besar di antara keduanya perlu diadakan penelitian, agar ijtihad untuk
menentukan hukumnya mendekati kebenaran.
Bahwa rokok banyak mengandung mudharat baik terkait dengan
kesehatan atau keuangan banyak diakui oleh banyak pihak. Tetapi memastikan
bahwa hukumnya haram untuk semua orang memang aplikasinya bisa menjadi
sulit. Apalagi dalil yang dijadkan landasan bagi mereka yang menyatakan haram
tetap mengandung sisi-sisi kelemahan dalam istidlal.
Demikian juga menyatakan secara pasti hukumnya mubah atau
makruh bagi setiap orang juga sulit dalam aplikasinya, mengingat kondisi
seseorang tidak selalu sama, sehingga hukum yang akan dikenakan kepadanya
pun tidak dapat disamakan. Apalagi hal ini merupakan hasil ijtihad yang
statusnya tetap dhanni. Sisi lain dari segi argumentasi juga mengandung
kelemahan. Untuk itu menurut hemat penulis pendapat keempat lebih bisa kita
terima. Dari sinilah maka masalah rokok menurut hemat penulis tidak perlu
difatwakan. Akan lebih bagi kalau Ulil Amri/Pemerintah yang mengaturnya agar
dampak negatifnya bagi kepentingan umum dapat dihindarkan, paling tidak
diminimalisir. Untuk itu Pemda yang telah memiliki Perda tentang rokok, seperti
DKI perlu diefektifkan dan bagi Pemda yang belum mempunyai dihimbau agar
segera memiliki Perda tentang aturan merokok dan dilaksanakannya secara
konsisten serta konsekuen.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah penulis lakukan di atas, maka
penulis dapat menyimpulkan beberapa hal:
1. MUI dalam mengeluarkan fatwa hukum haram merokok menggunakan dasar-
dasar hukum yaitu; Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Dan disusuli dengan
penelitian pendapat para imam madzhab dan fuqaha yang telah melakukan
penelaahan mendalam tentang masalah serupa.
2. Faktor yang melatarbelakangi lahirnya fatwa tentang hukum haram merokok
yaitu: faktor sosial dan faktor politik. Faktor sosial yaitu Dalam Anggaran
Dasar MUI dapat dilihat bahwa majelis diharapkan melaksanakan tugasnya
dalam pemberian fatwa-fatwa dan nasihat, baik kepada pemerintah maupun
kepada kaum muslimin mengenai persoalan-persoalan yang berkaitan dengan
keagamaan khususnya dan semua masalah yang dihadapi bangsa umumnya.
MUI juga diharapkan menggalakkan persatuan di kalangan umat Islam,
bertindak selaku penengah antara pemerintah dan kaum ulama, dan mewakili
kaum muslimin dalam permusyawaratan antar golongan agama. Faktor politik
yaitu Sebuah produk keputusan maupun fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga
manapun pasti akan sangat terikat dengan setting sosio-kultural dan sosio-
politik yang berada di sekitarnya. Faktor ini pulalah yang menyebabkan sifat
dari sebuah fatwa maupun keputusan sebuah lembaga sangat bersifat
sosiologis. Asumsi ini sebenarnya berawal dari latar belakang Majelis Ulama
Indonesia sendiri yang lahir dari dan untuk kepentingan politik.
3. MUI mengeluarkan fatwa tentang haram merokok bagi: anak-anak, wanita
hamil, dan di tempat umum. Berdasarkan ijtihadnya dengan menggunakan
metode Qiyas.
B. Saran
1. MUI dalam mengeluarkan produk fatwa hendaknya harus melihat dan
memperhitungkan faktor masyarakat umum. Kondisi sebuah obyek fatwa
harus benar-benar bisa dipahami dan diteliti terlebih dahulu. Jadi fatwa itu
yang betul-betul menjadikan kepercayaan publik dan sesuai keperluan publik.
Fatwa juga harus berorientasi pada kearifan dalam memberikan informasi
yang bersifat hukum. Oleh sebab itu, bila sebuah fatwa diduga akan
menimbulkan keburukan, maka semestinya si mufti atau pemberi fatwa
menahan diri untuk tidak mengedarkan fatwanya tersebut. Fatwa perlu
ditinjau kembali untuk dilihat masalah dan mudharatnya di tengah
masyarakat.
2. MUI jangan terjebak dengan politik praktis untuk mengeluarkan sebuah
fatwa, karena MUI berperan sebagai pemberi fatwa bagi umat Islam baik
diminta maupun tidak diminta. Sebagai lembaga pemberi fatwa Majelis
Ulama Indonesia harus mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi umat Islam
Indonesia yang sangat beragam aliran paham dan pemikiran.
3. Bahwa tujuan umum syar’i dalam mensyariatkan hukum ialah merealisir
kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini, menarik keuntungan dari mereka
dan melenyapkan bahaya dari mereka. Jadi, seorang ahli hukum muslim tidak
mensyariatkan hukum kecuali untuk merealisir kemaslahatan manusia. Dan
dia tidak membiarkan maslahatan yang dikehendaki oleh kondisi manusia
dengan tidak mensyariatkan hukum demi maslahat itu.
DAFTAR PUSTAKA Abu Zahrah, Muhammad. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus. Atho Mudzhar, Muhammad. 1993. Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: INIS. Aditama, Tjandra Yoga. 1992. Rokok dan Kesehatan. Jakarta: UI Press. Abd. Fatah, Rohadi. 1991. Analisa Fatwa Keagamaan dalam Fiqh Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Djauharudin. 1994. Madzhab-madzhab dalam Islam. Bandung: Fakultas Syariah IAIN Sunan Gunung Jati. Daud Ali, Mohammad. 2004. Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Eriyanto. 2003. Analisis Wacana. Yogyakarta: LKIS. Firdaus, Robitul. 2008. Menggagas Konsep Maslahat Ala Indonesia. Skripsi Sarjana. Yogyakarta: Falultas Ilmu Agama Islam UII. Dahlan, Zaini. 1999. Qur’an Karim dan terjemahan. Yogyakarta: UII Press. Istoqomah, Umi. 2003. Upaya Menuju Generasi tanpa Merokok. Surakarta: CV Setia Aji. Jaya, Muhammad. 2009. Pembunuh Berbahaya itu Bernama Rokok. Yogyakarta: Riz’ma. Khan, Elayne dan A. Ruanitsky, David. 1996. 1001 Cara Mengungkap Kepribadian. Jakarta: Dahara Prize.
Maba, K.H. Ghufron. 2008. Ternyata Rokok Haram. Surabaya: PT Java Pustaka. Mangoenprasodjo, A. Setiono dan Hidayati, Sri Nur. 2005. Hidup Sehat Tanpa Rokok. Yogyakarta: Pradipta Publishing. Muhammad, Abu. 1998. Rokok Haramkah Hukumnya. Jakarta: Gema Insani. Muchtar, Kamal dkk. 1995. Ushul Fiqh II. Yogyakarta: Dhana Bakti Wakaf. Nainggolan. 1990. Anda Mau Berhenti Merokok? Pasti Berhasil. Bandung: Indonesia Publishing House.
Rohidin. 2009. Studi tentang Paradigma MUI dalam Mengeluarkan Fatwa Sesat terhadap Aliran Keagamaan dan Kaitannya dengan Prinsip-prinsip HAM. Yogyakarta: DPPM UII. Schacht, Joseph. 2003. Pengantar Hukum Islam. Yogyakarta: Islamika. Sukendro, Suryo. 2007. Filosofi Rokok. Yogyakarta: Pinus. Wahab Khallaf, Abdul. 1994. Ilmu Ushhul Fiqh. Semarang: Dina Utama. Wahab Khallaf, Abdul. 1985. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Press. Yunus BS, Muhammad. 2009. Kitab Rokok “Nikmat dan Mudharat yang Menghalalkan atau Mengharamkan. Yogyakarta: CV. Kutub Wacana. Qardawi, Yusuf. 1996. Problematika Islam Masa Kini. Bandung: Trigenda Karya. . 1995. Fatwa-fatwa Kontemporer. Jilid I. Jakarta: Gema Insani Press. . 1995. Ijtihad Kontemporer Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan. Surabaya: Risalah Gusi. Data Software, Internet, Dan Majalah MUI. 2000. Wawasan dan PD/PRT Majelis Ulama Indonesia. MUI. 2009. Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia III http://www.akibatmerokok.com.diakses 1 Juni 2009 http://www.antara.co.id.diakses 1 Juni 2009 http://www.cerminduniakedokteran.com.diakses 3 Juni 2009 http://www.bpkp.go.id.diakses 1 Juni 2009 http://www.detiknews.com.diakses 3 Juni 2009 http://www.depkes.com.diakses 3 Juni 2009 http://www.halalguide.info.diakses 3 Juni 2009 http://www.images.google.co.id.diakses 5 Juni 2009 http://www.keluarga.com.diakses 5 Juni 2009 http://www.kesehatan.com.diakses 9 Juni 2009
http://www.MUI.com.diakses 9 Juni 2009 http://www.news.okezone.com.diakses 9 Juni 2009 http://www.organisasi.org.diakses 9 Juni 2009 http://www.pikiranrakyat.com.diakses 9 Juni 2009 http://www.sejarahrokok.html.diakses.10 Juni 2009 http://www.suarapembaruan.com.diakses 12 Juni 2009 http://www.tempointeraktif.com.diakses 15 Juni 2009 http://www.van.9f.com/hukum-rokok.htm.diakses 15 Juni 2009