TESIS : SK-2402 MODIFIKASI PERMUKAAN ABU LAYANG MENGGUNAKAN NaOH DAN APLIKASINYA UNTUK GEOPOLIMER: SIFAT FISIK DAN MEKANIK KHOSNA IRANI 1407 201 757 DOSEN PEMBIMBING Lukman Atmaja, Ph. D Hamzah Fansuri, Ph. D
TESIS : SK-2402
MODIFIKASI PERMUKAAN ABU LAYANG MENGGUNAKAN NaOH DAN APLIKASINYA UNTUK GEOPOLIMER: SIFAT FISIK DAN MEKANIK
KHOSNA IRANI1407 201 757
DOSEN PEMBIMBINGLukman Atmaja, Ph. DHamzah Fansuri, Ph. D
PROGRAM MAGISTERBIDANG KEAHLIAN KIMIA FISIKAJURUSAN KIMIAFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMINSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA2009
Tesis disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelarMagister Sains (M.Si)
diInstitut Teknologi Sepuluh Nopember
oleh:Khosna Irani
NRP. 1407 201 757
Tanggal Ujian: 21 April 2009PeriodeWisuda: Oktober 2009
Disetujui oleh:
1. Lukman Atmaja, Ph.D (Pembimbing I)NIP. 131 835 481
2. Hamzah Fansuri, Ph.D(Pembimbing II)NIP. 132 125 666
3. Nurul Widiastuti, M.Si, Ph.D (Penguji)NIP. 132 125 685
4. Dr. Afifah Rosyidah, M.Si (Penguji)NIP. 132 206 286
5. Dr. Surya Rosa Putra (Penguji)NIP. 131 773 921
Direktur Program Pascasarjana,
ii
Prof. Dr. Ir. Suparno, MSIENIP. 130 532 035
MODIFIKASI PERMUKAAN ABU LAYANG MENGGUNAKAN NaOH DAN APLIKASINYA UNTUK
GEOPOLIMER: SIFAT FISIK DAN MEKANIK
Nama Mahasiswa : Khosna IraniNRP : 1407 201 757Dosen Pembimbing : 1. Lukman Atmaja, Ph.D
2. Hamzah Fansuri, Ph.D
ABSTRAK
Geopolimer merupakan polimer anorganik yang mempunyai sifat-sifat mekanik yang baik dan memberikan orientasi aplikasi teknologi yang bagus sehingga potensial untuk terus diteliti penggunaannya. Geopolimer dapat disintesis dari bahan baku yang berasal dari abu pembakaran batubara (abu layang). Kualitas geopolimer sangat dipengaruhi oleh kelarutan Si dan Al sehingga diperlukan cara untuk meningkatkan jumlah Si dan Al reaktif yaitu dengan memodifikasi abu layang dengan metode refluks. Jumlah Si dan Al dalam abu layang dipengaruhi oleh OH-. Dalam penelitian ini digunakan larutan NaOH untuk memodifikasi abu layang. Variasi konsentrasi NaOH yang diperlakukan adalah 0; 1; 2; 3 M. Perubahan pada abu layang hasil modifikasi kemudian dianalisis. Analisis perubahan komposisi dengan XRF menunjukkan bahwa terjadi perubahan komposisi abu layang sesudah modifikasi pada konsentrasi larutan 1 M dengan perolehan perbandingan Si/Al lebih tinggi daripada komposisi abu layang sebelum modifikasi. Analisis perubahan fasa abu layang dengan XRD menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan NaOH, semakin banyak fasa baru yang terbentuk. Tidak ada perubahan fasa antara abu layang sesudah modifikasi pada konsentrasi larutan NaOH 1 M dengan abu layang sebelum modifikasi. Analisis perubahan morfologi abu layang dengan SEM menunjukkan bahwa terjadi perubahan morfologi abu layang sebelum modifikasi dari bentuk bulat dan halus menjadi kasar pada abu layang sesudah modifikasi dengan larutan NaOH 1 M. Analisis abu layang dengan FTIR menunjukkan perubahan struktur ikatan kimia untuk abu layang sesudah modifikasi dari 1085 cm-1 ke bilangan gelombang yang lebih rendah yaitu sekitar 1000 cm-1 yang menunjukkan perubahan struktur mirip zeolit.
Kuat tekan geopolimer yang disintesis dari abu layang sesudah modifikasi lebih tinggi daripada geopolimer yang disintesis dari abu layang sebelum modifikasi. Perubahan perbandingan Si/Al, fasa, morfologi, dan ikatan kimia pada abu layang sesudah modifikasi dengan larutan NaOH 1 M menjadikan kuat tekan geopolimer yang dihasilkan tertinggi diantara geopolimer yang lainnya dan porositasnya terendah diantara geopolimer yang lainnya.
iii
Kata kunci : Abu Layang, Larutan Alkalin, Geopolimer
iv
SURFACE MODIFICATION OF FLY ASH USING NaOH AND ITS APPLICATION FOR GEOPOLYMER: PHYSICAL AND MECHANICAL PROPERTIES
ABSTRACT
Name : Khosna IraniNRP : 1407 201 757Supervisor : Lukman Atmaja, Ph.DCo-Supervisor : Hamzah Fansuri, Ph.D
Geopolymer is an inorganic polymer having good mechanical properties and give a good application orientation of technology. Geopolymer could be synthesized from fly ash, waste product of coal combustion. Geopolymer quality depends on Si and Al dissolution of fly ashes. Therefore, it is important to increase the amount of Si and Al by modifying the fly ash using reflux method. The amount of Si and Al depend on OH- available so that NaOH concentrations will be varied as 0, 1, 2, 3 M.
The change of composition analysis of modified fly ash by XRF shows that its Si/Al ratio was higher than of raw fly ash and reaches optimum in the concentration NaOH 1 M. Phase analysis by XRD shows that there was no phase change at NaOH 1 M. However, in higher concentration some new phase was formed. The shape of raw fly ash is smooth and spherical as confirmed by SEM. The modification process lead to rough shape. Analysis for chemical bonding with FTIR shows that the bond Si-O-Si and Si-O-Al was shifted to about 1000 cm-1
from the original wavenumber at 1085 cm-1. The compressive strength test were used to analysis the modified and unmodified fly ash. The change for ratio Si/Al, phase, morphology, and chemical bonding in modified fly ash with NaOH solution with concentration 1 M make the compressive strength was higher than the other.
Key words : Fly Ash, Alkaline solution, Geopolymer
v
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulisan naskah Tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.
Tesis dengan judul ” Modifikasi Permukaan Abu Layang Menggunakan NaOH
dan Aplikasinya untuk Geopolimer: Sifat Fisik dan Mekanik” memberikan
gambaran tentang pemanfaatan abu layang menjadi material geopolimer.
Penyusunan Tesis ini tidak lepas dari bimbingan dan petunjuk serta bantuan
dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Lukman Atmaja, Ph.D selaku Ketua Jurusan Kimia FMIPA ITS
dan selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu dan
membimbing penulis dalam penulisan ini
2. Bapak Hamzah Fansuri, Ph.D selaku Dosen Pembimbing II yang telah
banyak membantu dan membimbing penulis dalam penulisan ini
3. Bapak Prof. Dr. Taslim Ersam, MS selaku Koordinator Program
Magister Kimia FMIPA-ITS
4. Ibu Nurul Widiastuti, MSi, Ph.D., Ibu Dr. Afifah Rosyidah, MSi.,
Bapak Dr. Surya Rosa Putra selaku Dosen Penguji
5. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Kimia FMIPA-ITS yang telah banyak
memberikan ilmu dan motivasi
6. Departemen Pendidikan Nasional atas beasiswa yang diberikan
7. Keluarga di Malang dan di Gresik serta suami atas dukungan serta
doanya selama ini.
8. Tim penelitian dan semua pihak yang telah membantu penulisan Tesis
ini.
Penulis menyadari bahwa Tesis ini belum sempurna, sehingga penulis
mengharapkan saran dan kritik membangun dari semua pihak.
Surabaya, April 2009
vii
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HalHALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ ii
ABSTRAK....................................................................................................... iii
ABSTRACT..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR..................................................................................... vii
DAFTAR ISI.................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR....................................................................................... xi
DAFTAR TABEL........................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... xv
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................. 11.1 Latar Belakang............................................................................. 11.2 Perumusan Masalah..................................................................... 51.3 Tujuan Penelitian......................................................................... 51.4 Manfaat Penelitian....................................................................... 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 72.1 Abu Layang Batubara.................................................................. 72.2 Geopolimer.................................................................................. 9
2.2.1 Larutan Aktivator............................................................. 112.2.2 Karakterisasi Geopolimer................................................ 13
2.3 Penelitian Modifikasi Abu Layang.............................................. 152.3.1 Analisis Struktur Abu Layang......................................... 20
2.3.1.1 Difraksi Sinar X (XRD).......................................... 202.3.1.2 Spektrofotometri Inframerah Transformasi
Fourier (FTIR)........................................................ 222.3.2 Analisis Morfologi Abu Layang...................................... 242.3.3 Analisis Luas Permukaan................................................. 252.3.4 Analisis Kuat Tekan dan Porositas.................................. 27
2.4 Uji Pendahuluan........................................................................... 26
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN..................................................... 29
ix
3.1 Alat dan Bahan Penelitian........................................................... 293.1.1 Alat Penelitian.................................................................. 293.1.2 Bahan Penelitian.............................................................. 29
3.2 Cara Kerja................................................................................... 293.2.1 Analisis Abu Layang....................................................... 293.2.2 Pembuatan Larutan Aktivator.......................................... 293.2.3 Modifikasi abu layang dengan NaOH............................. 303.2.4 Analisis Struktur Abu layang........................................... 30
3.2.4.1 Difraksi Sinar X (XRD)....................................... 303.2.4.2 Spektrofotometri Inframerah Transformasi
Fourier (FTIR)..................................................... 313.2.5 Analisis Morfologi Abu Layang dan Geopolimer...…… 313.2.6 Analisis Pori dan Luas Permukaan.................................. 323.2.7 Pembuatan Pelet Geopolimer.......................................... 323.2.8 Pengukuran Kuat Tekan.................................................. 323.2.9 Pengukuran Porositas...................................................... 333.2.10 Uji Pendahuluan.............................................................. 33
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................... 354.1 Uji Pendahuluan.......................................................................... 364.2 Analisis Abu Layang................................................................... 37
4.2.1 Analisis Komposisi Kimia Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi.......................................................... 37
4.2.2 Analisis Fasa Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi........................................................................ 46
4.2.3 Analisis Struktur Ikatan Kimia Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi................................................... 49
4.2.4 Analisis Morfologi Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi........................................................................ 51
4.2.5 Analisis Luas Permukaan Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi.......................................................... 54
4.3 Hasil Sintesis Geopolimer dari Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi...................................................................... 544.3.1 Pengujian Kuat Tekan dan Porositas Geopolimer........... 584.3.2 Analisis Morfologi Geopolimer Sebelum dan Sesudah
Modifikasi........................................................................ 614.3.3 Analisis Struktur Ikatan Kimia Abu Layang Sebelum
dan Sesudah Modifikasi................................................... 634.3.4 Analisis Fasa Geopolimer Sebelum dan Sesudah
Modifikasi........................................................................ 64
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN......................................................... 675.1 Kesimpulan................................................................................. 675.2 Saran........................................................................................... 67
x
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 69
LAMPIRAN..................................................................................................... 75DAFTAR GAMBAR
HalGambar 2.1. Struktur Kimia Poly(sialate)..................................................... 10
Gambar 2.2. Analisis dengan SEM dari (a) Abu Layang dan (b) Campuran Antara Abu Layang dengan Natrium Silikat............................ 13
Gambar 2.3. Analisis dengan SEM dari (a) Abu Layang dan (b) Campuran Antara Abu Layang dengan Natrium Hidroksida..................... 13
Gambar 2.4. Grafik Waktu Curing Terhadap Kuat Tekan............................ 14
Gambar 2.5. Range Suhu Kristalisasi dari Sistem SiO2/Al2O3...................... 15
Gambar 2.6. Analisis dengan XRD untuk Abu Layang yang Teraktivasi..... 19
Gambar 2.7. Pola XRD untuk Abu Layang Teraktivasi Pada Suhu yang Berbeda-beda............................................................................ 21
Gambar 2.8. Spektra FTIR dari 4000-2800 cm-1........................................... 23
Gambar 2.9. Spektra FTIR dari 1400-900 cm-1............................................. 23
Gambar 2.10. SEM Abu Layang (a) yang Tidak Termodifikasi dan (b) Abu Layang yang Dimodifikasi dengan NaOH ............................... 24
Gambar 2.11. Distribusi Volume Pori sebagai Fungsi Jari-Jari Pori untuk Abu Layang yang Tidak Termodifikasi.................................... 26
Gambar 2.11. Distribusi Volume Pori sebagai Fungsi Jari-Jari Pori untuk Abu Layang yang Dimodifikasi dengan NaOH........................ 26
Gambar 4.1. Model Penggambaran Aktivasi Alkali pada Abu Layang........ 41
Gambar 4.2 Difraktogram XRD untuk Abu Layang (a) Sebelum Modifikasi (b), (c), (d), dan (e) Sesudah Modifikasi dengan Larutan NaOH 0 M, 1 M, 2 M dan 3 M ................................... 47
Gambar 4.2a Difraktogram XRD pada 2θ=10-20º untuk Abu Layang (a) Sebelum Modifikasi (b), (c), (d), dan (e) Sesudah Modifikasi dengan Larutan NaOH 0 M, 1 M, 2 M dan 3 M .... 48
xi
Gambar 4.2b Difraktogram XRD pada 2θ=22-26º dan 2θ=25-30º untuk Abu Layang (a) Sebelum Modifikasi (b), (c), (d), dan (e) Sesudah Modifikasi dengan Larutan NaOH 0 M, 1 M, 2 M dan 3 M .................................................................................... 48
Gambar 4.3. Spektra FTIR untuk Abu Layang (a) Sebelum Modifikasi (b), (c), (d), dan (e) Sesudah Modifikasi Dengan Larutan NaOH 0 M, 1 M, 2 M dan 3 M................................................ 51
Gambar 4.4. Morfologi dari Abu Layang untuk (a) Abu Layang Sebelum Modifikasi (b) Abu Layang Hasil Modifikasi dengan Larutan NaOH 1 M (c) Abu Layang Hasil Modifikasi dengan Larutan NaOH 2 M dan (d) Abu Layang Hasil Modifikasi dengan Larutan NaOH 3 M................................................................... 52
Gambar 4.5. Morfologi Geopolimer dengan Perbesaran 10.000 kali yang Disintesis dari Abu Layang untuk (a) Abu Layang Sebelum Modifikasi, (b) Abu Layang yang Dimodifikasi dengan Larutan NaOH 1 M dan (c) Abu layang yang Dimodifikasi dengan Larutan NaOH 3 M ..................................................... 62
Gambar 4.6. Spektra FTIR untuk (a) Geopolimer yang Disintesis Dari Abu Layang Sebelum Modifikasi dan (b) Geopolimer yang Disintesis dari Abu Layang Sesudah Modifikasi dengan Larutan NaOH 1 M .. ............................................................... 64
Gambar 4.7. Difraktogram XRD untuk (a) Geopolimer yang Disintesis Dari Abu Layang Sebelum Modifikasi dan (b) Geopolimer yang Disintesis dari Abu Layang Sesudah Modifikasi dengan Larutan NaOH 1 M .................................................................. 65
xii
DAFTAR TABEL
HalTabel 2.1 Perbandingan Si/Al dan Aplikasinya.............................................. 9
Tabel 2.2 Kondisi Sintesis dan Hasil Spesi Zeolit yang Teridentifikasi XRD................................................................................................ 19
Tabel 2.3 Data Intensitas 5 Puncak Utama Faujasite Hasil Sintesis Dibandingkan Intensitas Faujasite Standar.................................... 19
Tabel 3.1 Variasi Komposisi S/L pada Uji Pendahuluan abu layang PLTU Asam-asam...................................................................................... 33
Tabel 4.1 Nilai Kuat Tekan pada Variasi Perbandingan Mol SiO2/Al2O3...... 36
Tabel 4.2 Komposisi Kimia Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi dalam Persen Senyawa (%w/w)...................................................... 39
Tabel 4.3 Komposisi Kimia Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi dalam Persen Unsur (%w/w).......................................................... 39
Tabel 4.4 Hasil Analisis ICP Untuk Filtrat Hasil Modifikasi Abu Layang dengan Larutan NaOH.................................................................... 43
Tabel 4.5 Perbandingan Si/Al Sebelum dan Sesudah Modifikasi.................. 54
Tabel 4.6 Pengaruh Modifikasi Kimia Abu Layang Terhadap Luas Permukaan dan Pori-pori Abu Layang........................................... 55
Tabel 4.7 Hasil Kuat Tekan dan Porositas Geopolimer dari Abu Layang Hasil Modifikasi dengan Larutan NaOH........................................ 58
xiii
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
HalLampiran A: Skema Kerja............................................................................ 75
1. Uji Pendahuluan.......................................................................... 75
2. Modifikasi Abu Layang dengan NaOH...................................... 76
3. Pembuatan Geopolimer............................................................... 77
4. Komposisi Bahan untuk Sintesis Geopolimer............................ 78
Lampiran B: Data Hasil Pengujian............................................................... 79
1. Tabel Hasil Uji Kuat Tekan Sampel Geopolimer untuk Uji Pendahuluan............................................................................... 79
2. Tabel Hasil Uji Kuat Tekan Sampel Geopolimer Sebelum dan Sesudah Modifikasi.................................................................... 80
3. Tabel Hasil Porositas Sampel Geopolimer................................ 81
4. Tabel Hasil Kuat Tekan dan Porositas Sampel Geopolimer...... 82
Lampiran C: Dokumentasi............................................................................ 83
1. Pelet Geopolimer........................................................................ 83
2. Seperangkat Alat Refluks........................................................... 83
xv
xvi
xvii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejauh ini beton dikenal sebagai material bangunan paling populer. Hal ini
karena bahan dasarnya mudah didapati dan harganya relatif murah, serta teknologi
pembuatannya relatif sederhana. Namun, akhir-akhir ini penggunaan beton makin
sering mendapatkan kritik, khususnya dari kalangan yang peduli dengan
kelestarian lingkungan hidup. Yang menjadi sasaran perhatian adalah emisi gas
rumah kaca (CO2) yang dihasilkan dari proses kalsinasi kapur dan pembakaran
pada proses produksi semen yang memerlukan suhu tinggi.
Disisi lain, permintaan beton sebagai material konstruksi semakin
meningkat sehingga permintaan semen juga ikut meningkat. Pertumbuhan
konsumsi semen dalam negeri saja untuk semester I-2008 meningkat 21,1 persen
dari 15,5 juta ton per Juni 2007 menjadi 18,8 juta ton per Juni 2008. Diperkirakan
konsumsi semen hingga akhir tahun ini mencapai 20,4-21,3 juta ton. Menurut
Davidovits (1994), produksi 1 ton semen Portland akan menghasilkan 1 ton CO2
yang dilepas ke atmosfer, yang akan berakibat terhadap efek pemanasan global.
Kontribusi CO2 itu sendiri terhadap pemanasan global adalah sekitar 65%
(McCaffery, 2002). Peningkatan produksi semen tentunya akan meningkatkan
pula jumlah CO2 yang dilepas ke atmosfer sehingga akan mempercepat proses
pemanasan global.
Merujuk pada besarnya sumbangan industri semen terhadap total emisi
CO2 maka perlu segera dilakukan upaya untuk menekan angka produksi gas yang
memicu pemanasan global ini karena tampaknya proporsi sumbangan CO2 ini
akan terus bertahan atau bahkan meningkat sesuai dengan peningkatan produksi
semen. Oleh karena itu, penggantian sejumlah bagian semen dalam proses
pembuatan beton, atau secara total menggantinya dengan bahan lain yang lebih
ramah lingkungan menjadi pilihan yang lebih menjanjikan.
Usaha yang telah dilakukan untuk mengurangi konsumsi semen adalah
dengan mempromosikan penggunaan pozzolan non semen sebagai additif pada
1
pembentukan beton semen Portland. Pozzolan adalah bahan yang mengandung
silika dan alumina yang tidak mempunyai sifat mengikat seperti semen tetapi
dalam bentuk yang halus dan dengan adanya air, senyawa-senyawa tersebut akan
bereaksi dengan kalsium hidroksida pada suhu kamar membentuk senyawa
kalsium silikat hidrat dan kalsium hidrat yang bersifat seperti semen. Salah satu
material yang bersifat pozzolan adalah abu layang yang merupakan sisa
pembakaran batubara. Abu layang dapat bereaksi dengan kapur bebas yang
dilepaskan semen saat proses hidrasi dan membentuk senyawa yang bersifat
mengikat pada suhu kamar dengan adanya air. Penggunaan abu layang sebagai
bahan additif pada pembuatan beton dikembangkan oleh pakar teknologi beton
Kanada yaitu VM Malhotra (Hardjito, 2008). Beliau mempelopori riset
penggunaan abu layang dalam proporsi cukup besar (sekitar 60-65 % dari total
semen Portland yang dibutuhkan) sebagai pengganti sebagian semen dalam proses
pembuatan beton.
Dalam 2 dekade terakhir ini, perkembangan mutakhir yang lebih
menjanjikan adalah penggunaan abu layang sepenuhnya sebagai pengganti semen
lewat proses yang disebut polimerisasi anorganik yang dipelopori oleh seorang
ilmuwan Prancis, Prof. Joseph Davidovits, yang dikenal sebagai geopolimer
(Hardjito, 2008). Geopolimer, demikian nama yang diberikan, menjadi harapan
utama mereduksi penggunaan semen untuk keperluan pembangunan infrastruktur.
Walaupun tahapan yang harus dilalui untuk penggunaan teknologi ini masih jauh,
setidaknya hasil riset yang ada selama ini menunjukkan hasil yang menjanjikan.
Pembuatan semen geopolimer dapat mereduksi hingga 80 % jumlah CO2 yang
dihasilkan dari proses pembuatan semen biasa.
Geopolimer memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan beton
semen Portland. Keunggulan tersebut antara lain dapat diproduksi dari bahan-
bahan buangan atau limbah industri dengan kandungan oksida silika tinggi seperti
abu sekam padi dan jerami, abu layang dan slag. Keunggulan lainnya adalah lebih
awet serta mampu memasung bahan-bahan beracun seperti logam-logam berat dan
bahan radioaktif.
Van Jaarsveld (2003) melaporkan penggunaan abu layang dari berbagai
sumber dan menyelidiki pengaruh komposisi abu layang terhadap sifat-sifat
2
geopolimer yang dihasilkan. Beliau menemukan bahwa abu layang yang berasal
dari jenis batubara dan dari produsen tertentu akan memiliki komposisi kimia
yang berbeda dengan abu layang dari jenis batubara dan produsen lain yang akan
menyebabkan perbedaan sifat fisik dan mekanik dari geopolimer yang dihasilkan.
Sifat-sifat fisik dan mekanik geopolimer ini menjadi pertimbangan utama yang
sederhana dalam menentukan kinerjanya dibandingkan beton yang terbuat dari
semen. Sayangnya, saat ini belum semua faktor yang menentukan sifat fisik dan
mekanik geopolimer telah dipahami dengan baik.
Salah satu sifat mekanik yang banyak digunakan untuk menilai kualitas
geopolimer adalah kuat tekan. Menurut Van Jaarsveld, et. al., (2003) kuat tekan
geopolimer dipengaruhi oleh sejumlah faktor antara lain tingkat kelarutan Si-Al
dari bahan baku geopolimer. Sisa bahan baku yang tidak terlarut dapat
memberikan efek negatif terhadap kuat tekan geopolimer yang dihasilkan
(Duxson, et. al., 2005). Sementara itu, faktor yang secara signifikan
mempengaruhi laju dan kelarutan Si-Al selama proses geopolimerisasi adalah
ukuran partikel dan/atau luas permukaan spesifik (Rahier, et. al., 2003).
Penurunan ukuran partikel meningkatkan luas permukaan yang berarti pula dapat
meningkatkan kelarutan partikel Si-Al (Sutarno, et. al., 2004). Dengan semakin
banyaknya Si dan Al yang terlarut dari bahan baku, maka akan semakin baiklah
kuat tekan dari geopolimer yang terbentuk.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa peningkatan luas
permukaan dari abu layang, sebagai bahan baku pembuatan geopolimer, dapat
meningkatkan pula kuat tekan geopolimer yang dihasilkan. Salah satu cara yang
dapat ditempuh untuk meningkatkan luas permukaan dari abu layang adalah
dengan memodifikasinya secara kimia seperti yang dilaporkan oleh Sarbak, et. al.,
(2001). Modifikasi secara kimia tersebut memicu perubahan pada morfologi dan
luas permukaan abu layang (Yu-Fen, et. al., 2006), sekaligus juga akan
mempengaruhi kuat tekan geopolimer yang dihasilkannya.
Modifikasi kimia abu layang dapat dilakukan dengan menginkubasi abu
layang dengan larutan NaOH selama 24 jam pada suhu 100°C seperti yang
dilaporkan oleh Pengthamkeerati, et. al., (2008). Hasil dari perlakuan modifikasi
ini antara lain menunjukkan terjadinya perubahan morfologi abu layang. Beberapa
3
perubahan yang terjadi antara lain adalah deformasi bentuk abu layang dari seperti
bola menjadi berbentuk piringan dan batangan. Selain itu, modifikasi tersebut juga
meningkatkan luas permukaan partikel-partikel abu layang. Penelitian lain
(Sarbak, et. al., 2002) menunjukkan bahwa abu layang yang direfluks dalam
larutan NaOH selama 24 jam pada suhu 90-100°C mengalami peningkatan luas
permukaan, jari-jari pori dan volume pori abu layang serta mengubah struktur abu
layang dari amorf menjadi kristalin.
Uraian di atas menunjukkan bahwa modifikasi kimia untuk abu layang
dapat meningkatkan luas permukaan abu layang. Lapisan permukaan partikel abu
layang yang tidak termodifikasi berbentuk glassy, sangat rapat dan stabil. Lapisan
ini melindungi susunan ruang di dalamnya yang berpori dan amorf dan karenanya
mempunyai aktifitas yang tinggi. Rantai glassy silika-alumina ini adalah stabil
dan rantai ini mengandung Si dan Al yang tinggi. Rantai ini harus dihancurkan
untuk meningkatkan aktivitas kimia (Yan, et. al., 2003).
Selain mengubah luas permukaan, modifikasi abu layang juga
menghasilkan gugus OH di permukaan partikel-partikel abu layang. Konsentrasi
OH permukaan yang tinggi menunjukkan banyaknya rantai glassy silika-alumina
yang dirusak dan menghasilkan sejumlah besar gugus-gugus yang aktif. Dengan
merusak lapisan permukaan yang glassy ini maka gugus-gugus aktif seperti silika
dan alumina di dalam partikel abu layang yang diperlukan untuk reaksi
geopolimerisasi menjadi lebih mudah larut (Goni, et. al., 2003) sedangkan sifat-
sifat geopolimer secara signifikan ditentukan oleh perubahan yang kecil dari
konsentrasi silika dan alumina selama sintesis. Kombinasi antara ketersedian
gugus OH di permukaan partikel-partikel abu layang ditambah dengan
peningkatan kelarutan unsur-unsur Si dan Al akan berimbas kepada perbaikan
sifat-sifat fisika dan kimia dari geopolimer yang terbentuk.
4
1.2. Perumusan Masalah
Uraian di atas menunjukkan bahwa modifikasi permukaan abu layang
dapat meningkatkan jumlah Si dan Al reaktif sehingga diharapkan akan
menghasilkan geopolimer dengan kualitas yang lebih baik. Modifikasi abu layang
dan manfaatnya dalam bidang non geopolimer telah dilaporkan oleh peneliti-
peneliti lain, namun manfaatnya untuk kualitas geopolimer belum dilaporkan.
Dalam penelitian ini akan diselidiki modifikasi abu layang dengan NaOH dan
kaitan antara sifat geopolimer dengan partikel abu layang yang sudah
dimodifikasi.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memodifikasi abu layang dengan larutan
NaOH pada kondisi reaksi saat terbentuknya fasa geopolimer. Selanjutnya
dipelajari pula pengaruh modifikasi tersebut pada sifat fisik dan mekanik dari
geopolimer yang dihasilkan.
1.4. Manfaat Penelitian
Pengetahuan tentang proses modifikasi abu layang dan kaitannya dengan
sifat mekanik maupun kimia dari geopolimer yang dihasilkannya akan
memberikan kontribusi pada pengetahuan tentang proses geopolimerisasi abu
layang. Dengan pengetahuan tersebut, maka formulasi dalam pembuatan
geopolimer dari abu layang akan dapat lebih dipahami sehingga proses pembuatan
geopolimer tidak perlu lagi dilakukan dengan cara coba-coba.
Manfaat global adalah untuk meningkatkan penggunaan abu layang yang
merupakan hasil buangan proses pembakaran batubara menjadi geopolimer dan
mengatasi dampak buruk dari akumulasi limbah abu layang terhadap lingkungan.
5
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Abu Layang Batubara
Abu layang adalah produk samping dari industri Pembangkit Listrik
Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakar. Batubara
sebagai sumber energi dalam proses industri dihancurkan terlebih dahulu sebelum
proses pembakaran dan selama pembakaran batubara tersebut, terjadi perubahan
kimia dan fisika. Perubahan itu tergantung dari jenis batubara, cara penggilingan,
suhu pembakaran dan lamanya pembakaran. Pada saat batu bara dibakar, ada
bagian yang terbakar dan yang menguap yaitu karbon, belerang dan air yang
kemudian menghasilkan panas, CO2, SO2, dan uap. Bagian yang tidak terbakar
berupa tanah liat, feldspar dan sebagainya akan menjadi massa lebur. Massa ini
akan melewati ruang pembakaran yang suhunya rendah dan akan membentuk
partikel padat yang berbentuk butiran. Sebagian butiran ini berkumpul menjadi
abu padat (bottom ash) tetapi sebagian besar butiran halus terbang mengikuti
aliran gas, keluar dari ketel uap melalui cerobong. Partikel abu ini dipisahkan dari
gas buang dengan alat electrostatic presipirator, dan akan menghasilkan abu
layang batu bara.
Abu layang mempunyai mutu yang beragam tergantung pada mutu dan
jenis batubara, efisiensi pembakaran, kehalusan serbuk batubara, dimensi tungku
untuk membakar batubara, dan cara penangkapan abu layang dari pembakaran
batubara (Neville, 1996). Abu layang bersifat pozzolan. Pozzolan adalah bahan
alam atau buatan yang sebagian besar terdiri dari silikat dan atau aluminat yang
reaktif. Bahan ini tidak mempunyai sifat-sifat semen, tetapi dalam keadaan halus
jika dicampur dengan kapur padam dan air setelah beberapa waktu dapat
mengeras pada suhu kamar sehingga membentuk suatu massa yang padat dan
sukar larut (Husin, 2002).
Bentuk, kehalusan, distribusi ukuran pertikel, berat jenis dan komposisi
dari partikel abu layang berpengaruh terhadap sifat-sifat dari campuran beton,
beton basah dan pada perkembangan kekuatan dari beton yang telah mengeras.
7
Mayoritas dari partikel abu layang adalah seperti kaca, padat, berlubang atau
berbentuk bola. Bentuk bola-bola kosong berlubang disebut cenosphere dan yang
berbentuk bulatan-bulatan yang mengandung lebih sedikit partikel abu layang
disebut plerosphere. Sisa partikel abu layang yang lainnya adalah tembus cahaya
sampai tak tembus cahaya, berpori sedikit sampai berpori banyak, bulat sampai
persegi panjang (Lauf, 1982). Sifat fisik abu layang menurut ACI (1992) adalah
ukuran partikelnya dari 1µm-1mm, spesific gravity dari 2,2-2,8, persentasi
kehalusan tertahan ayakan 0,075 mm; 0,045 mm; dan sampai ke dasar berturut-
turut adalah 3,5 %; 19,3 %; dan 77,2 %.
Abu layang dibedakan menjadi 2 tipe berdasarkan atas kandungan kalsium
oksidanya (CaO), yaitu:
1. Tipe C
Menurut ASTM C 618 abu layang ini mengandung CaO lebih dari 10%
dari beratnya. Senyawa lain yang terkandung didalamnya adalah SiO2 sebanyak
30-50%. Al2O3 sebanyak 17-20%, Fe2O3, MgO, Na2O dan sedikit K2O.
Mempunyai spesifik grafity 2,31-2,86. Abu layang tipe C biasanya didapat dari
pembakaran lignite atau sub-bitumenous batubara. Abu layang ini mempunyai
sifat seperti pozzolan, tetapi juga dapat bereaksi langsung dengan air untuk
membentuk kalsium silikat hidrat, kalsium hidroksida dan ettringite, yang
mengeras seperti semen. Sifat ini disebabkan oleh kandungan kalsium yang tinggi,
sehingga dalam penggunaannya abu layang ini dapat mempercepat atau
memperlambat waktu setting, tergantung komposisi penggunaannya, bahkan pada
komposisi tertentu penggunaan abu layang tipe ini tidak mempengaruhi proses
pengerasan.
2. Tipe F
Menurut ASTM C 618 abu layang ini mengandung CaO kurang dari 10%
dari beratnya. Senyawa yang terkandung didalamnya adalah SiO2 sebanyak 45-
60%, Al2O3 sebanyak 20-28%, Fe2O3, MgO, K2O dan sedikit Na2O. Mempunyai
spesifik grafity antara 2,15-2,45. Abu layang tipe F didapat dari pembakaran
anthracite atau bitumenous batubara. Abu layang ini bersifat pozzolan, tidak dapat
mengadakan sementasi secara langsung dengan air, karena kandungannya CaOnya
8
sedikit. Dengan kandungan CaO yang sedikit maka Ca(OH)2 yang dihasilkan juga
lebih kecil dibandingkan tipe C, jadi cenderung memperlambat waktu setting.
Salah satu pemanfaatan abu layang adalah sebagai bahan dasar pembuatan
polimer anorganik yang dikenal dengan sebutan geopolimer. Sejak
diperkenalkannya bahan geopolimer dari bahan dasar yang mengandung
aluminasilikat seperti tanah lempung dan kaolin oleh J. Davidovits, pemanfaatan
abu layang sebagai bahan bangunan semakin berkembang dengan pesat
(Davidovits, 1999).
Menurut Davidovits (1994), material geopolimer mempunyai manfaat
yang luas dalam bidang industri. Manfaat material geopolimer ditentukan oleh
struktur kimia perbandingan atomik Si/Al. Pengelompokan manfaat geopolimer
berdasarkan perbandingan Si/Al ditunjukkan pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.1. Perbandingan Si/Al dan Aplikasinya
Perbandingan Si/Al Aplikasi
1 -batu bata-keramik-pelindung api
2 -semen dan beton dengan kadar CO2 rendah
3 -komposit serat gelas tahan api-peralatan pengecoran logam-komposit tahan panas, 200°C hingga 1000°C-alat untuk proses aeronautika titanium
>3 -penutup/segel untuk industri, 200°C hingga 1000°C-alat untuk aeronautika SPF alumunium
20-35 -komposit serat tahan panas dan tahan api
2.2 Geopolimer
Geopolimer merupakan polimer anorganik dengan komposisi kimia
materialnya sama dengan material zeolit alam tetapi mikrostrukturnya adalah
amorf. Davidovits juga menggunakan istilah poly(sialate) untuk desain kimia
geopolimer yang berdasarkan silika-aluminat (Davidovits, 1991; Van Jaarsveld,
2002). Sialate adalah singkatan untuk silicon-oxo-aluminate. Poly(sialate)
merupakan rantai atau cincin polimer dengan Si4+ dan Al3+ dalam koordinasi lipat
9
4 dengan oksigen dengan range dari amorf sampai semi kristal. Rumus empiris
poly(sialate) adalah Mn(-SiO2)z (-AlO2)n.wH2O, dimana z = 1,2,3 sampai 35; M =
kation seperti kalsium; dan n = derajat polikondensasi. Ada 3 jenis poly(sialate)
yaitu poly(sialate) (Si-O-Al-O), poly(sialate-siloxo) (Si-O-Al-O-Si-O) dan
poly(sialate-disiloxo) (Si-O-Al-O-Si-O-Si-O). Struktur dari ketiganya adalah:
Gambar 2.1. Struktur Kimia Poly(sialate) ( Davidovits, 1994)
Beton geopolimer merupakan produk beton geosintetik dimana reaksi
pengikatan yang terjadi adalah reaksi polimerisasi. Dalam reaksi polimerisasi ini
aluminat dan silikat mempunyai peranan penting dalam membentuk ikatan
polimer. Proses polimerisasi melibatkan reaksi kimia dibawah kondisi alkali
dalam mineral Si-Al, yang menghasilkan rantai polimer 3 dimensi dan struktur
yang mengandung ikatan Si-O-Al-O (Davidovits, 1994) sedangkan ikatan yang
terjadi pada beton konvensional yang menggunakan semen menghasilkan ikatan
kalsium silikat hidrat (CSH).
Proses pembuatan beton geopolimer disebut dengan proses polimerisasi
kondensasi, yaitu reaksi gugus fungsi banyak (molekul yang mengandung 2 gugus
fungsi atau lebih yang dapat bereaksi) yang menghasilkan satu molekul besar
bergugus fungsi banyak dan diikuti oleh pelepasan molekul kecil. Dalam proses
geopolimer, molekul kecil yang dilepaskan adalah air. Pelepasan air ini terjadi
selama proses curing berlangsung. Proses polimerisasi kondensasi ini tidak
menghasilkan CO2, yang berarti bahwa pembuatan beton dengan beton
geopolimer dapat mereduksi jumlah CO2 yang dihasilkan dari proses pembuatan
semen biasa (semen Portland) sebagaimana yang dianalisis oleh Gartner (2004).
Poly(sialate)(-Si-O-Al-O-)
Poly(sialate-siloxo)(-Si-O-Al-O-Si-O-)
Poly(sialate-disiloxo)(-Si-O-Al-O-Si-O-Si-O-)
10
Terdapat dua unsur utama geopolimer, yaitu sumber material dan larutan
alkali. Sumber material untuk geopolimer didasarkan pada aluminasilikat dimana
material ini harus kaya akan silikon dan alumunium. Contoh mineral alam dengan
rumus empiris mengandung silikon, alumunium dan oksigen adalah kaolinite,
lempung, mica, andalousite, spinel dan lain-lain. Sebagai alternatifnya, material
produk samping seperti abu layang, silica fume, slag, abu sekam padi, lempung
merah dan lain-lain dapat digunakan sebagai sumber material. Pemilihan sumber
material ini tergantung beberapa faktor yaitu ketersediaan, biaya, tipe aplikasi dan
permintaan khusus dari pengguna.
Dalam penelitian ini, pembuatan geopolimer menggunakan abu layang
tipe F dengan kandungan kalsium kurang dari 10%. Van Jaarsveld, et. al.,
(2003) melaporkan bahwa kandungan kalsium mempengaruhi
sifat-sifat geopolimer yang dihasilkan, selain ukuran partikel,
kandungan logam alkali, kandungan fasa amorf, morfologi dan
sifat alami abu layang. Selain itu juga ditunjukkan bahwa
kandungan kalsium dalam abu layang berpengaruh signifikan
terhadap pembangunan kekuatan dan kuat tekan akhir geopolimer. Ketika
kandungan kalsium itu tinggi, dapat mengakibatkan pengembangan kekuatan
lebih cepat dan hasil kuat tekan lebih tinggi. Namun, dalam rangka menghasilkan
sifat ikatan yang optimal dari material, abu layang sebagai sumber material
seharusnya mempunyai kandungan kalsium yang rendah dan sifat-sifat yang
lainnya seperti material yang tidak terbakar kurang dari 5%, kandungan Fe2O3
tidak lebih dari 10%, kandungan silika 40-50%, dan 80-90% ukuran partikel
kurang dari 45 m (Fernández-Jiménez, et. al., 2003) dan mempunyai
kandungan total oksida SiO2, Al2O3 dan Fe2O3 minimal 70% (Husin, 2002).
Gourley (2003) juga menyatakan bahwa adanya CaO dan Fe2O3
dalam abu layang dalam kuantitas yang signifikan dapat
mengganggu laju polimerisasi dan dapat mengubah
mikrostruktur. Selain itu, kebanyakan abu layang secara global adalah abu
layang tipe F yang merupakan hasil samping dari pembakaran antrachite atau
bituminous batubara (Malhotra, 2006). Karenanya abu layang tipe F lebih
11
baik daripada tipe C sebagai sumber material untuk membuat
geopolimer.
2.2.1 Larutan Aktivator
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Davidovits (1994), diusulkan bahwa
larutan alkali dapat digunakan untuk bereaksi dengan silikon (Si) dan alumunium
(Al) dalam sumber material geologi alam atau produk samping seperti abu layang
untuk menghasilkan binder. Larutan alkali yang digunakan adalah larutan natrium
dan kalium. Penggunaan kombinasi KOH dan Na2SiO3 sebagai larutan alkalin
dalam pembuatan geopolimer dengan bahan dasar metakaolin telah dilakukan oleh
Cheng dan Chiu (2003). Palomo, et. al., (1999) melaporkan studi tentang
geopolimer dari bahan abu layang dengan membedakan penggunaan kombinasi
larutan NaOH dan Na2SiO3 dengan larutan KOH dan K2SiO3. Palomo menyatakan
bahwa tipe larutan alkali merupakan faktor yang signifikan yang mempengaruhi
kuat tekan geopolimer, dan kombinasi larutan NaOH dan Na2SiO3 ternyata
memberikan kuat tekan lebih tinggi daripada kombinasi larutan KOH dan K2SiO3.
Natrium silikat terdapat dalam 2 bentuk, yaitu padatan dan larutan.
Natrium silikat dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan, antara lain
untuk bahan campuran dalam sabun, campuran dalam semen, pengikat keramik,
coating, campuran cat serta dalam beberapa keperluan industri, seperti kertas,
tekstil dan serat. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa natrium silikat
dapat digunakan untuk bahan campuran dalam beton (Hardjito, et. al., 2004).
Natrium silikat ini memainkan peranan penting dalam proses polimerisasi karena
natrium silikat mempunyai fungsi untuk mempercepat reaksi polimerisasi. Reaksi
terjadi secara lebih cepat pada larutan alkali yang banyak mengandung larutan
silikat seperti natrium silikat ataupun kalium silikat dibandingkan larutan alkali
yang banyak mengandung larutan hidroksida. Di dalam Gambar 2.2 ditunjukkan
campuran abu layang dengan natrium silikat yang diamati dalam ukuran
mikrostruktur, terlihat bahwa campuran antara abu layang dan natrium silikat
membentuk ikatan yang sangat kuat namun banyak terjadi retakan-retakan.
12
Natrium hidroksida berfungsi untuk mereaksikan Al dan Si
yang terkandung dalam abu layang sehingga dapat menghasilkan ikatan polimer
yang kuat. Gambar 2.3 menunjukkan campuran abu layang dengan natrium
hidroksida yang diamati dalam ukuran mikrostruktur, bahwa campuran antara abu
layang dan natrium hidroksida membentuk ikatan yang kurang kuat tetapi
menghasilkan ikatan yang lebih padat dan tidak ada retakan seperti pada
campuran natrium silikat dengan abu layang.
(a) (b)
Gambar 2.2. Analisis dengan SEM dari (a) Abu Layang dan (b) Campuran Antara Abu Layang dengan Natrium Silikat (Hardjito, 2008)
(a) (b)
Gambar 2.3. Analisis dengan SEM dari (a) Abu Layang dan (b) Campuran Antara Abu Layang dengan Natrium Hidroksida (Hardjito, 2008)
2.2.2 Karakterisasi Geopolimer
Untuk mengetahui sifat-sifat geopolimer yang dihasilkan, dilakukan
karakterisasi pada produk geopolimer sehingga dapat diketahui kualitas hasil
geopolimerisasi. Secara umum, kualitas geopolimer dilihat dari skala makro dapat
13
ditentukan oleh sifat mekanik dan fisik antara lain kuat tekan dan porositas,
sedangkan sifat kimia (skala mikro) dapat dilihat dari ikatan kimianya, struktur
mikro (morfologi) serta fasa yang dikandungnya (Rowles, 2004).
Kuat tekan dan daya kerja beton geopolimer dipengaruhi oleh proporsi dan
sifat unsur material dalam pembuatan pasta geopolimer. Hasil eksperimen
(Hardjito dan Rangan, 2005) antara lain menunjukkan bahwa semakin tinggi
konsentrasi (molaritas) larutan natrium hidroksida, semakin tinggi kuat tekan
beton geopolimer, semakin tinggi perbandingan masa larutan natrium silikat
terhadap natrium hidroksida, semakin tinggi kuat tekan beton geopolimer,
semakin tinggi perbandingan molar H2O terhadap Na2O, kuat tekan beton
geopolimer semakin menurun. Berdasarkan tes laboratorium,
Davidovits (1994) melaporkan bahwa geopolimer dapat
mengeras dengan cepat pada suhu ruang dan didapatkan kuat
tekan sekitar 20 Mpa hanya setelah 4 jam pada 20°C dan sekitar
70-100 Mpa setelah 28 hari. Menurut Hardjito, et. al., (2004),
kuat tekan tidak mengalami kenaikan secara signifikan setelah
28 hari.
Baik waktu curing dan suhu curing berpengaruh terhadap kuat tekan beton
geopolimer. Pemanasan yang diberikan dapat membantu reaksi kimia yang terjadi
pada pasta geopolimer. Pada gambar 2.4 menunjukkan bahwa waktu curing yang
diberikan dapat meningkatkan proses polimerisasi yang dapat menghasilkan kuat
tekan yang lebih tinggi. Laju peningkatan kuat tekan meningkat hingga waktu
curing 24 jam; melewati 24 jam, perolehan kuat tekan tidak meningkat secara
signifikan. Karenanya, waktu curing tidak membutuhkan lebih dari 24 jam dalam
aplikasi praktisnya (Hardjito dan Rangan, 2005).
Waktu curing (jam)
Kua
t Tek
an 7
har
i (M
Pa)
14
Gambar 2.4. Grafik Waktu Curing Terhadap Kuat Tekan (Hardjito dan Rangan, 2005)
Proses desain campuran beton sangat luas dan secara umum didasarkan
pada kriteria daya gunanya. Untuk memenuhi kriteria daya gunanya,
perbandingan masa padatan (solid) terhadap larutan (liquid), perbandingan masa
air terhadap geopolimer, suhu curing, dan waktu curing adalah parameter yang
dipilih. Penelitian laboratorium yang dilakukan Hardjito dan Rangan (2005)
menunjukkan bahwa perbandingan masa natrium silikat terhadap natrium
hidroksida sekitar 2,5. Natrium silikat mempunyai fungsi untuk mempercepat
reaksi polimerisasi. Sedangkan natrium hidroksida berfungsi untuk mereaksikan
Al dan Si yang terkandung dalam abu layang sehingga dapat menghasilkan ikatan
polimer yang kuat.
2.3 Penelitian Modifikasi Abu Layang
Perbaikan sifat abu layang untuk campuran semen secara ekstensif telah
dipelajari dan dilaporkan, sifat fisik dan mekaniknya telah dibandingkan dengan
semen biasa (Bai, et. al., 2000). Walaupun semua studi fokus terhadap perbaikan
sifat fisik dan mekanik beton, pembelajaran secara detail dan sistematik untuk
pembuatan geopolimer khusus (misalnya geopolimer yang tahan korosi, tahan
asam dan tahan panas) masih jarang dilakukan. Karenanya, dugaan realistik untuk
aktivasi abu layang sangat penting dalam memperkirakan sifat fisik dan mekanik
geopolimer yang dihasilkan.
Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa panas adalah salah satu
faktor penting untuk aktivasi abu layang. Dilaporkan juga bahwa energi aktivasi
untuk abu layang lebih tinggi daripada slag dan karenanya perlakuan panas lebih
penting untuk aktivasi abu layang (Jiang, et. al., 1990).
15
Gambar 2.5. Range Suhu Kristalisasi dari Sistem SiO2/Al2O3 (Davidovits, 1991)
Beberapa peneliti telah mempelajari aktivasi abu layang pada suhu curing
yang dinaikkan (Palomo, et. al., 1999; Swanepoel, et. al., 2002; Fernandez-
Jimenez, et. al., 2000). Swanepoel dan Strydom (2002) meneliti pemanfaatan abu
layang dan lempung kaolinit material geopolimer yang dicuring pada suhu hingga
70°C dengan kuat tekan setelah 28 hari adalah 8 MPa. Palomo, et. al., (1999)
mempelajari abu layang yang diaktivasi dengan alkali yang dicuring pada 65°C
dan 85°C dengan perbandingan S/L adalah 4 dan 3,3. Studi ini menunjukkan
pembentukan alkali aluminasilikat amorf yang sama dengan yang dihasilkan
dalam metakaolin yang teraktivasi alkali. Kuat tekan yang dicapai sekitar 60 MPa.
Tidak ada produk kristalin zeolit yang teramati namun spektra FTIR menunjukkan
kemungkinan keberadaannya. Gambar 2.5 menunjukkan bahwa kristal zeolit
dapat diperoleh dengan reaksi hidrotermal pada suhu tinggi dari gel aluminasilikat
dengan Si/Al tertentu (Davidovits, 1991).
Penelitian yang dilaporkan oleh Saraswathy, et. al., (2003) menunjukkan
bahwa sistem abu layang yang teraktivasi dapat meningkatkan kuat tekan beton
yang dihasilkan. Diantara sistem teraktivasi, modifikasi abu layang secara kimia,
yaitu dengan mencampurkan abu layang ke dalam larutan natrium hidroksida,
ternyata dapat meningkatkan ketahanan terhadap korosi. Abu layang untuk beton
yang teraktivasi secara kimia dan termal menunjukkan pencapaian yang lebih baik
daripada semen biasa. Diantara metode aktivasi yang dipelajari yaitu aktivasi
secara termal, fisika dan kimia, ternyata aktivasi abu layang secara kimia adalah
yang terbaik.
Abu layang yang tidak dimodifikasi mempunyai aktifitas yang rendah
(Fan, et. al., 1999). Lapisan permukaan partikel abu layang yang berbentuk glassy
sangat rapat dan stabil. Lapisan ini melindungi unsur-unsur didalamnya, yang
berpori dan amorf, dan karenanya mempunyai aktifitas yang tinggi. Rantai glassy
silika-alumina ini stabil dan rantai ini mengandung Si dan Al yang tinggi. Rantai
16
ini harus dihancurkan untuk meningkatkan aktifitas kimia. Penambahan larutan
dengan kebasaan yang tinggi menyebabkan lapisan luar yang rapat menjadi rusak
dan gugus-gugus yang terdapat didalamnya menjadi keluar (Yan, et. al., 2003).
Bila konsentrasi OH- cukup tinggi, rantai glassy silika-alumina akan cepat rusak
dan akan menghasilkan sejumlah besar gugus-gugus yang aktif. Dengan merusak
lapisan permukaan yang glassy ini, gugus-gugus aktif seperti silika dan alumina
yang ada di dalam juga akan terlarut (Goni, et. al., 2003). Sejumlah abu layang
yang teraktivasi secara kimia, silika dan alumina aktif bereaksi dengan kapur
terhidrat untuk membentuk macam-macam produk silikat dan aluminat, yang
terendapkan, membentuk inti, dan tumbuh dalam permukaan abu layang dimana
produk silikat dan aluminat ini melapisi permukaan abu layang yang tidak hanya
mengubah morfologi permukaan abu layang termodifikasi tetapi juga
meningkatkan nilai dari modifikasi abu layang itu sendiri (Yu-Fen, et. al., 2006).
Penelitian yang lain untuk mengaktifasi abu layang adalah seperti yang
dilakukan oleh Cao, et. al., (2007) yaitu memodifikasi abu layang dengan cara
mencampurkan abu layang ke dalam polydimethydiallylammonium chloride
(PDMDAAC) dan diagitasi dengan faktor suhu, waktu, konsentrasi PDMDAAC
dan pH. Aplikasi penggunaan abu layang yang dimodifikasi ini yaitu untuk
material pencampur semen dan diperoleh hasil kuat tekan yang memuaskan
menurut Chinese cement standard.
Modifikasi abu layang juga dapat dilakukan dengan cara refluks.
Penelitian yang dilakukan oleh Sarbak, et. al., (2002) menunjukkan bahwa abu
layang yang direfluks selama 24 jam dengan suhu 90-100°C dapat meningkatkan
luas permukaan, jari-jari pori, dan volume pori abu layang dan juga dapat
mengubah struktur abu layang dari amorf menjadi kristalin (Sutarno, et. al.,
2004). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wu, et. al., (2008) yang didukung
oleh Tabel 2.2 berikut ini menyatakan bahwa tidak ada perubahan fase kristalin
yang terjadi dibawah suhu 90°C. Modifikasi abu layang yang dilakukan oleh Wu,
et. al, ini yaitu dengan cara mencampurkan larutan natrium hidroksida dan abu
layang, kemudian dipanaskan dengan variasi suhu dalam jangka waktu tertentu.
Ketika abu layang teraktivasi, produk reaksi yang terbentuk disebut
“alkaline aluminosilicate gel” dengan struktur kristalin orde rendah, yang mana
17
tidak terpola tetapi terlihat dengan pita yang rendah dan menyebar seperti yang
terlihat pada Gambar 2.6. Puncak ini, dalam difraktogram XRD overlap sebagian
dengan abu murninya, dan terlihat sedikit bergeser ke nilai yang lebih tinggi yaitu
antara 2θ=25-35°. Dalam spektra XRD, fase kristalin secara alami terdapat dalam
abu layang (mullite dan quartz) tidak akan berubah oleh adanya reaksi aktivasi.
Beberapa peneliti percaya bahwa mullite dan quartz sedikit berubah ketika
bereaksi dengan media alkali yang kuat (Fernandez-Jimenez, et. al., 2005).
Dalam perkembangan kekuatan, ternyata perubahan fasa dari amorf
menjadi kristalin mengarah kedalam penurunan nilai kuat tekan (De Silva, et. al.,
2007). Oleh karena itu diperlukan usaha untuk menurunkan kristalinitas yang
terbentuk selama proses aktivasi. Salah satu cara untuk menurunkan kristalinitas
adalah dengan penggerusan. Tujuan penggerusan antara lain memperkecil dan
menyeragamkan ukuran abu layang selain berfungsi untuk menurunkan
kristalinitas. Hal ini terlihat pada Tabel 2.3 tentang perbandingan kristalinitas
dalam sintesis faujasite yang digerus dan tanpa digerus dari abu layang yang
dimodifikasi yang dilakukan oleh Sutarno, et. al., (2004).
18
Gambar 2.6. Analsis dengan XRD untuk Abu Layang yang Teraktivasi (Fernandez-Jimenez, et. al., 2005)
Tabel 2.2. Kondisi Sintesis dan Hasil Spesi Zeolit yang Teridentifikasi XRD
Suhu (°C) Konsentrasi NaOH (M)
Rasio S/L (mL/g)
Waktu reaksi (jam)
Intensitas XRD
karena zeolita
Intensitas XRD karena
kandungan mineral alamia
Suhu ruang 0 0 0 - Q(vs), M(w)
60 2 10 24 - Q(vs), M(w)
80 2 10 24 - Q(vs), M(w)
90 2 10 24 - Q(s), M(w)
120 2 10 24 P(s), C(w) Q(w), M(w)
120 0,5 10 24 P(m) Q(s), M(w)
120 1 10 24 P(s) Q(s), M(w)
120 2 10 24 P(s), C(w) Q(w), M(w)
120 4 10 24 HS(s) Q(w), M(w)
120 2 2,5 24 P(s) Q(m), M(w)
120 2 5 24 P(s), C(w) Q(w), M(w)
120 2 10 24 P(s), C(w) Q(w), M(w)
120 2 10 2 - Q(vs), M(w)
120 2 10 4 - Q(vs), M(w)
120 2 10 8 P(w), C(s) Q(vs), M(w)
120 2 10 16 P(m), C(m) Q(m), M(w)
120 2 10 24 P(s), C(w) Q(w), M(w)a semua produk tidak murni zeolit tetapi mangandung abu layang yang tidak bereaksi sebagai pengotor. P=P1 zeolite; C=Chabazite; HS=Hydroxysodalite; Q=Quartz; M=Mullite (Q dan M diturunkan dari abu layang); vs=sangat kuat; s=kuat; m=medium; w=lemah.
Tabel 2.3. Data Intensitas 5 Puncak Utama Faujasite Hasil Sintesis Dibandingkan Intensitas Faujasite Standar
2θ Faujasite (tanpa penggerusan) Faujasite (dengan penggerusan)
IF/IO IF/IO
7,37 70 56,7
19
15,36 16,7 12
23,87 22 14
27,44 20,7 12,7
29,70 23,3 14
IF = intensitas XRD faujasite hasil sintesisIO = intensitas XRD faujasite standar
Tabel 2.3 menunjukkan bahwa kristalinitas faujasite hasil sintesis dari abu
layang batubara tanpa penggerusan memiliki kristalinitas sebesar 70 % (puncak
utama) dibandingkan terhadap faujasite standar. Sedangkan faujasite hasil sintesis
dari abu layang dengan penggerusan memiliki kristalinitas sebesar 56,7 %
(puncak utama) dibandingkan faujasite standar. Rendahnya kristalinitas faujasite
yang dihasilkan dengan perlakuan penggerusan tersebut disebabkan karena
penggerusan memberikan ukuran partikel yang lebih kecil. Ukuran partikel yang
lebih kecil menyebabkan jumlah spesi silikat dan aluminat terlarut menjadi lebih
besar, terutama konsentrasi Si terlarut akan semakin tinggi dalam sistem gel silika
aluminat. Bertambahnya konsentrasi Si terlarut yang lebih besar dari Al tersebut
relatif meningkatkan perbandingan Si/Al (Sutarno et. al., 2004). Mekanisme
geopolimerisasi abu layang melibatkan proses pelarutan silika dan alumina dari
permukaan partikel abu layang, dilanjutkan transportasi (orientasi) spesies terlarut
(Si dan Al) dari permukaan partikel abu layang ke ruang antar partikel, dan diikuti
polikondensasi membentuk struktur tiga dimensi aluminasilikat (terbentuk gel
antara komplek Si dan Al dengan silikat dalam larutan yang menyebabkan
pengerasan) (Fernandez-Jimenez, et. al., 2005). Penyelidikan terhadap hasil
modifikasi abu layang dapat dilakukan dengan teknik-teknik analisis seperti XRD
untuk melihat perubahan fasanya, SEM untuk mengetahui perubahan
morfologinya, FTIR untuk mengetahui struktur molekulnya, dan BET untuk
mengetahui perubahan luas permukaannya.
2.3.1 Analisis Struktur Abu Layang
2.3.1.1 Difraksi Sinar X (XRD)
Difraksi sinar X (XRD) digunakan untuk menganalisis struktur kristal dari
abu layang karena difraksi sinar X dapat digunakan untuk memperoleh informasi
20
mengenai struktur, komposisi, dan keadaan polikristalin suatu materi. Sinar X
merupakan radiasi dari sumber elektron berenergi tinggi yang mengenai logam
target (besi, tembaga atau molibdenum). Gelombang sinar X memiliki spektrum
yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu pita lebar untuk radiasi kontinyu serta khas
(Kα dan Kβ). Jumlah radiasi sinar X yang diserap oleh sampel ditentukan oleh
koefisien absorpsi zat sesuai dengan panjang gelombang sinar. Aplikasi kualitatif
dari difraksi sinar X terhadap studi bahan polimer antara lain penentuan fraksi
kristalin bahan dan penentuan derajat kekristalan bahan. Daerah kristal ditandai
dengan puncak yang tajam sedang daerah amorf ditandai dengan puncak yang
melebar.
Analisis dengan XRD untuk abu layang murni mengandung mullite,
quartz, dan sejumlah kecil hematite. Mullite, terbentuk dari SiO2 yang bereaksi
dengan Al2O3 pada suhu tinggi 1200-1650°C dalam boiler PLTU dan mempunyai
struktur kristalin yang stabil. Adanya hump antara 2θ=20°-30° menunjukkan
adanya fase amorf alumina dan silika dengan aktifitas yang besar (Lin, et. al.,
2003). Fase amorf silika lebih aktif dari kristalin quartz (Yu-Fen, et. al., 2006).
Gambar 2.7 Pola XRD untuk Abu Layang dan Abu layang Teraktivasi Pada Suhu yang Berbeda-beda (M: Mullite, Q: Quartz, A: Zeolite A, F: Faujasite, S: Sodalite) (Fernandez-Jimenez, et. al., 2005)
Aktivasi 200ºC
Aktivasi 150ºC
Aktivasi 85ºC
Abu Layang murni
21
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Fernandez-Jimenez, et. al., (2005),
aktivasi abu layang dengan variasi suhu yang diperlakukan menunjukkan bahwa
pada difraktogram XRD terjadi pergeseran hump yaitu dari abu layang murni pada
2θ=20-30º menjadi 2θ=25-35º untuk abu layang teraktivasi pada suhu 85º, 150º
dan 200º seperti yang terlihat pada Gambar 2.7. Perubahan suhu yang
diperlakukan tidak mengubah pergeseran hump ini. Hump pada 2θ=20-30º ini
menunjukkan karakteristik ketidakteraturan senyawa secara struktural. Adanya
sejumlah puncak pada 2θ=20-30º ini berhubungan dengan fasa kristalin minor
yaitu quartz dan mullite. Aktivasi terhadap abu layang menyebabkan pergeseran
hump ke kanan. Pergeseran ini berhubungan dengan pembentukan aluminasilikat
yang amorf. Sedangkan fasa kristalin quartz dan mullite yang terdeteksi pada
difraktogram XRD merupakan fasa kristalin asli yang ada pada abu layang murni.
2.3.1.2 Spektrofotometri Inframerah Transformasi Fourier (FTIR)
Spektrofotometri Inframerah Transformasi Fourier (FTIR) digunakan
untuk mengidentifikasi material, menentukan komposisi dari campuran, dan
membantu memberikan informasi dalam memperkirakan struktur molekul.
Sampel yang digunakan biasanya berupa material dalam keadaan padat, cair, atau
gas. Dalam penelitian yang dilaporkan Yu-Fen, et. al., (2006), pengaruh waktu
pemanasan isotermal dalam gugus–OH untuk abu layang yang tidak termodifikasi
dan abu layang yang dimodifikasi 2, 4 dan 6 jam dengan kondisi suhu 90°C,
terdapat dalam Gambar 2.8.
Spektra FTIR dari abu layang tanpa modifikasi pada Gambar 2.8
menunjukkan pita pada bilangan gelombang 3400 cm-1 untuk vibrasi stretching
gugus OH berbeda dengan abu layang yang dimodifikasi. Hasil ini menunjukkan
bahwa terdapat beberapa komponen dengan gugus –OH atau kisi kristal air yang
melapisi permukaan abu layang yang termodifikasi. Kesimpulan ini didasarkan
pada pengamatan stretching simetri –OH dan H2O antara 3650-3100 cm-1. Ketiga
abu layang yang termodifikasi menunjukkan perbedaan persentase gugus –OH.
Hal ini menunjukkan bahwa persentase gugus –OH meningkat dengan
22
meningkatnya waktu pemanasan isotermal (Omotoso, et. al., 1995; Neergaard, et.
al., 1998).
Perubahan spektra FTIR diantara bilangan gelombang 1400-900 cm-1
untuk keempat sampel terdapat dalam Gambar 2.9. Puncak FTIR pada 1085 cm-1
untuk abu layang yang tidak termodifikasi berhubungan dengan internal SiO4
tetrahedral, khususnya struktur rantai Si-O-Si. Puncak pada 1010-1090 cm-1 dari
abu layang yang dimodifikasi berhubungan dengan struktur siklis Si-O-Si. Hal ini
menunjukkan bahwa jaringan glass yang acak dari abu layang yang tidak
dimodifikasi berubah kedalam struktur seperti zeolit dengan meningkatnya waktu
pemanasan (Omotoso, et. al., 1995; Neergaard, et. al., 1998).
Gambar 2.8. Spektra FTIR dari 4000-2800 cm-1 (Yu-Fen, et. al., 2006)
Abs
orba
nsi
Abu Layang Murni
6 jam pemanasan4 jam pemanasan2 jam pemanasan
Bilangan Gelombang (1/cm)
Vibrasi Ulur -OH
Abs
orba
nsi
Bilangan Gelombang (1/cm)
Abu Layang Murni
4 jam pemanasan6 jam pemanasan2 jam pemanasan
Vibrasi stretching C-OVibrasi stretching Si-O-Si
23
Gambar 2.9. Spektra FTIR dari 1400-900 cm-1 (Yu-Fen, et. al., 2006)
2.3.2 Analisis Morfologi Abu Layang
Pada dasarnya analisis dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) ini
menggunakan sinyal yang dihasilkan elektron yang dipantulkan atau sebagai
berkas sinar elektron sekunder. Prinsip kerja alat SEM adalah scanning, dimana
berkas elektron diarahkan pada titik-titik permukaan bahan. Gerakan elektron dari
satu titik ke titik yang lain pada suatu daerah disebut scan. Bila seberkas elektron
ditembakkan pada permukaan spesimen maka sebagian elektron akan dipantulkan
kembali dan sebagian lagi diteruskan (Brockway dan Moser, 1963). Jika
permukaan spesimen tidak rata, ada lekukan, lipatan, retakan atau lubang-lubang,
maka bagian-bagian permukaan itu akan memantulkan elektron dengan jumlah
dan arah yang berbeda. Berkas elektron ini akan ditangkap oleh detektor
kemudian diteruskan ke monitor sehingga diperoleh gambar yang khas dari
permukaan spesimen dalam tiga dimensi.
Analisis morfologi abu layang dengan menggunakan Scanning Electron
Microscopy (SEM) menunjukkan bahwa hampir 100% partikel adalah globular
atau elliptoid dengan permukaan yang lembut dan penyebaran yang baik seperti
yang terlihat pada gambar 2.10 (Woolard, et. al., 2002).
(a) (b)
24
Gambar 2.10. SEM Abu Layang (a) yang Tidak Termodifikasi dan (b) Abu Layang yang Dimodifikasi dengan NaOH (Woolard, et. al., 2002)
Perbedaan struktur mikro dari abu layang yang tidak termodifikasi dan
yang dimodifikasi tampak pada Gambar 2.10. Abu layang yang tidak
termodifikasi mempunyai permukaan yang lembut. Partikel ini hasil dari
pendinginan produk yang meleleh hasil pembakaran batubara (White dan Case,
1990). Permukaan abu layang yang dimodifikasi jauh lebih kasar. Sejumlah
butiran partikel yang kecil terdapat dalam permukaan abu layang.
2.3.3 Analisis Luas Permukaan
Luas permukaan spesifik didefinisikan sebagai luas permukaan padatan
per satuan massa material. Luas permukaan dapat ditentukan dengan metode
adsorpsi gas N2 yang dikenal dengan teori Brunauer, Emmet, Teller (BET)
berdasarkan asumsi bahwa terjadi adsorpsi multilayer bahkan pada tekanan yang
sangat rendah, tidak terjadi interaksi antara molekul yang teradsorpsi, kecepatan
adsorpsi sama dengan desorpsi dan padatan mempunyai permukaan yang
homogen (mempunyai keadaan energi sama). Penentuan luas permukaan spesifik
menggunakan metode adsorpsi gas nitrogen dapat dihitung dengan persamaan
(Yolanda, et. al., 2000).:
(2.1)
dengan:
s = luas permukaan spesifik (m2/g)
Wm = jumlah molekul N2 yang teradsorpsi pada monolayer substrat
a = luas permukaan 1 molekul N2 (16,2 x 10-20 m2)
N0 = bilangan Avogadro (6,02 x 1023 mol-1)
BM N2 = berat molekul N2
g = berat sampel (g)
Proses adsorpsi terjadi dengan mempertimbangkan kuantitas gas nitrogen
yang diperlukan untuk menutupi permukaan dengan membentuk lapis tunggal
molekul adsorbat. Luas seluruh permukaan padatan ditentukan setelah diketahui
25
luas permukaan yang ditempati oleh gas molekul adsorbat. Nitrogen fisisorpsi
tersebut dapat menunjukkan tekstur material, misalnya luas permukaan dan
volume pori.
Gambar 2.11. Distribusi Volume Pori Sebagai Fungsi Jari-Jari Pori untuk Abu Layang yang Tidak Termodifikasi (Sarbak, et. al., 2002)
Vol
ume
Por
i (10
-5 c
m3/g)
Jari-jari pori (Å)
Vol
ume
Por
i (10
-4cm
3/g)
Jari-jari pori (Å)
26
Gambar 2.12. Distribusi Volume Pori Sebagai Fungsi Jari-Jari Pori untuk Abu Layang yang Dimodifikasi dengan NaOH (Sarbak, et. al., 2002)
Menurut penelitian yang dilakukan Sarbak, et. al, (2002), luas permukaan
abu layang yang termodifikasi ternyata lebih besar daripada abu layang yang tidak
dimodifikasi. Modifikasi ini juga menghasilkan volume pori yang lebih besar
daripada abu layang sebelum modifikasi seperti yang terlihat pada Gambar 2.11
dan Gambar 2.12. Sarbak, et. al., (2002) juga mengatakan bahwa peningkatan
volume pori sebagai akibat dari perubahan abu layang menjadi struktur seperti
zeolit.
2.3.4 Analisis Kuat Tekan dan Porositas
Secara umum, kualitas geopolimer untuk skala makronya dapat dilihat dari
sifat fisik dan mekanik. Salah satu sifat mekanik yang digunakan sebagai
parameter geopolimer adalah kuat tekan dan untuk sifat fisiknya adalah porositas.
Porositas sangat berpengaruh terhadap kualitas geopolimer terutama kuat tekan
yang dihasilkan. Hal ini karena adanya perubahan volume partikel abu layang
mempengaruhi porositas sistem geopolimer (De Silva, et. al., 2007).
Geopolimer berbentuk silinder dengan ukuran tertentu diberi tekanan
secara perlahan-lahan hingga mengalami keretakan. Nilai yang teramati adalah
gaya perlawanan dari geopolimer. Nilai kuat tekan dihitung melalui rumus:
(2.2)
dengan P adalah tekanan yang dialami (Pa atau Mpa), L adalah luas permukaan
yang menahan tekanan (m2), m adalah massa beban yang diberikan (Kg), g adalah
percepatan gravitasi bumi (ms-2), dan r adalah jari-jari silinder (m).
Porositas merupakan ukuran zat cair yang mampu diserap oleh
geopolimer. Porositas yaitu ukuran volume semua pori-pori yang terdapat dalam
material. Ada beberapa metode pengukuran porositas, diantaranya adalah
penguapan kandungan air, porositas penjenuhan kembali, porosimetri gangguan
merkuri, dan serapan-nitrogen. Metode penguapan air merupakan metode yang
27
paling sederhana dan dapat diterima berbagai kalangan penelitian (Day & Marsh,
1987). Porositas dapat dinyatakan dengan rumus (Jastrzebski, 1997):
P = (2.3)
P = porositas tampak (%)
D= berat padatan kering (g)
W= berat padatan yang telah jenuh air (g)
Geopolimer berbahan abu layang sebenarnya masih amorf dan memiliki
lubang mikro. Lubang berbentuk bola tersebut terbentuk saat pembuatan dan saat
pencetakan selesai. Saat pembuatan pasta geopolimer, terdapat gelembung udara
yang bertahan saat pengerasan. Geopolimer menggunakan bahan air yang
menempati ruang, dan jika air menguap maka dapat meninggalkan rongga udara.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Frantisek Skvara, et. al., (2006), porositas
geopolimer berbahan dasar abu layang dapat dipengaruhi oleh perbandingan
air/abu layang.
Dari uraian panjang yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa
modifikasi kimia abu layang dapat mempengaruhi sifat dan struktur geopolimer
yang dihasilkan, dimana modifikasi abu layang ini tergantung pada konsentrasi
larutan basa NaOH. Oleh karena itu dalam penelitian yang akan dilakukan, dicari
pengaruh antara abu layang yang termodifikasi dengan larutan NaOH terhadap
sifat fisik dan mekanik dari geopolimer yang dihasilkan, meliputi kuat tekan,
porositas, struktur mikro, perkembangan fasa, dan perubahan ikatan kimianya.
Modifikasi abu layang akan menghasilkan sejumlah Si dan Al reaktif yang lebih
banyak daripada abu layang yang tidak termodifikasi. Sifat-sifat geopolimer
secara signifikan ditentukan oleh perubahan yang kecil dari konsentrasi silika dan
alumina selama sintesis. Kombinasi antara ketersedian gugus OH di permukaan
partikel-partikel abu layang ditambah dengan peningkatan kelarutan Si dan Al
akan berimbas kepada perbaikan sifat-sifat fisika dan kimia dari geopolimer yang
terbentuk.
28
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan Penelitian
3.1.1 Alat Penelitian
Peralatan yang digunakan antara lain seperangkat alat gelas, cetakan
silinder film, oven, pengaduk (mixer), neraca analitik, peralatan plastik (beaker
polipropilen, botol, gelas dan sebagainya), dan seperangkat alat refluks. Peralatan
untuk karakterisasi antara lain Mesin Penguji Kuat Tekan (Universal Testing
Machine), XRF (X-Ray Fluorescence), ICP (Inductively Coupled Plasma), alat
XRD (X-Ray Diffraction), SEM (Scanning Electron Microscopy), dan alat FTIR
(Fourier Transform Infra Red).
3.1.2 Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan antara lain abu layang PLTU Asam-asam, PLTU
Paiton, PLTU Cilacap, dan PT. Semen Gresik Tuban, natrium hidroksida (NaOH)
(NaOH 99%, Merck), larutan natrium silikat (Na2SiO3) teknis dan aquades (H2O).
3.2 Cara Kerja
3.2.1 Analisis Abu Layang
Penentuan komposisi kimia abu layang sebelum dan sesudah dimodifikasi
dengan larutan NaOH dilakukan dengan menggunakan analisis flouresensi sinar-
X (XRF), XRD untuk analisis fasenya, SEM untuk analisis morfologinya, FTIR
untuk analisis ikatan kimia dan BET untuk analisis luas permukaannya.
29
3.2.2 Pembuatan Larutan Aktivator
Sebanyak 4 gram NaOH dilarutkan dalam 8 gram aquades sehingga
terbentuk larutan alkalin. Larutan alkalin yang terbentuk kemudian didiamkan
selama 24 jam. Selanjutnya, 10 gram natrium silikat ditambahkan kedalam larutan
alkalin setelah reaksi eksotermis dari larutan alkalin tersebut berhenti. Campuran
antara larutan NaOH (H2O dan NaOH) dengan Na2SiO3 selanjutnya disebut
sebagai larutan pengaktif.
3.2.3 Modifikasi Abu Layang dengan NaOH
Sebanyak 31,25 gram abu layang dicampur dengan 250 mL larutan NaOH
(dengan variasi konsentrasi NaOH 0; 1; 2; 3 M). Campuran tersebut kemudian
direfluks pada suhu (85-90)°C selama 5 jam. Hasil refluks disaring dan residu
yang dihasilkan dikeringkan dalam oven pada temperatur 120oC selama 12 jam
(Sarbak et. al, 2002; Sutarno et. al, 2004). Selanjutnya, abu layang yang telah
dimodifikasi digerus kemudian diayak dengan ukuran 100 mesh untuk
menghomogenkan ukuran partikel. Abu layang hasil modifikasi dengan NaOH
diamati perubahan fasanya dengan XRD, perubahan morfologinya dengan SEM,
perubahan struktur molekulnya dengan FTIR dan perubahan luas permukaannya
dengan adsorpsi gas nitrogen (metode BET). Hasilnya kemudian dibandingkan
dengan abu layang sebelum dimodifikasi.
3.2.4 Analisis Struktur Abu Layang
3.2.4.1 Difraksi Sinar X
Dilakukan analisis fasa atau kandungan mineral secara kualitatif terhadap
abu layang sebelum dan sesudah modifikasi dengan larutan NaOH untuk
mengetahui perkembangan fasa karena pengaruh modifikasi abu layang terhadap
variasi konsentrasi NaOH. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan alat XRD
dengan merk Philips tipe X’Pert MPD yang dilengkapi dengan data base Software
Expert Graphic and Identify yang terdapat pada Laboratorium XRD di Research
30
Center LPPM ITS. Kondisi operasional difraktogram sinar X adalah sumber sinar
Cu K1 (=1,54056 Å), tegangan dan arus adalah 40 kV, 30 mA, kecepatan : 2
permenit dan sudut difraksi 2 = (570). Analisis fasa ini juga digunakan untuk
mengetahui perubahan fasa sampel geopolimer yang disintesis dari abu layang
sebelum modifikasi dan geopolimer terbaik yang disintesis dari abu layang hasil
modifikasi.
Penelusuran data jenis mineral yang dihasilkan yang berupa intensitas
dan sudut difraksi (2) dilakukan dengan cara mencocokkan sudut difraksi dengan
pola difraktogram standard pada data base Software Expert Graphic and Identify
dengan teknik Search and Match.
3.2.4.2 Spektrofotometri Inframerah Transformasi Fourier (FTIR)
Analisis ikatan kimia dengan FTIR bertujuan untuk mengetahui perubahan
ikatan kimia yang terjadi pada abu layang yang tidak dimodifikasi dan abu layang
yang dimodifikasi. Analisis data dilakukan dengan melihat dan membandingkan
perubahan yang terjadi pada tingginya serapan (%T) dan juga pada pergeseran
bilangan gelombang yang mengindikasikan kuat lemahnya ikatan dan perbedaan
struktur. Teknik yang digunakan untuk preparasi sampel adalah teknik KBr Pelet
dengan perbandingan berat 1:10 untuk sampel (abu layang) : KBr. Analisis ikatan
kimia ini juga digunakan untuk mengetahui perubahan pada sampel geopolimer
yang disintesis dari abu layang sebelum modifikasi dan geopolimer terbaik yang
disintesis dari abu layang hasil modifikasi.
3.2.5 Analisis Morfologi dengan SEM
Morfologi abu layang sebelum dan sesudah modifikasi dengan larutan
NaOH dianalisis dengan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy)
untuk melihat pengaruh konsentrasi NaOH terhadap abu layang. Analisis dengan
SEM dilakukan pada abu layang sebelum modifikasi dan abu layang sesudah
modifikasi dengan larutan NaOH. Analisis dilakukan dengan menggunakan alat
Analitical Scanning Electron Microscope merk JEOL JSM-6360LA yang ada di
Laboratorium Geologi Kuarter V PPGL Bandung. Analisis perubahan morfologi
31
ini juga digunakan untuk mengetahui perubahan morfologi sampel geopolimer
yang disintesis dari abu layang sebelum modifikasi dan geopolimer yang
disintesis dari abu layang sesudah modifikasi. Perbesaran maksimum untuk
analisis dengan SEM ini hingga 10.000 kali. Gambar mikrograf yang diperoleh
dibandingkan dan dilihat secara detil bentuk dan sebaran partikelnya.
3.2.6 Analisis Pori Dan Luas Permukaan
Luas permukaan dan volume pori dari abu layang, baik sebelum dan
sesudah modifikasi dianalisis dengan metode adsorpsi gas N2 menggunakan
metode BET di Lemigas Jakarta untuk dianalisis menggunakan peralatan
Quantachrome dengan program analisis NovaWin2-Data Acquisition and Red for
NOVA instruments version 2.1.
3.2.7 Pembuatan Pelet Geopolimer
Abu layang, baik sebelum dan sesudah dimodifikasi, dijadikan adonan
geopolimer dengan cara dicampur dengan larutan alkalin sampai homogen.
Campuran ini dituang ke dalam cetakan berbentuk silinder berukuran tertentu
dengan perbandingan diameter terhadap tinggi adalah 1:2. Penuangan dilakukan
secara bertahap sampai cetakan terisi penuh oleh adonan geopolimer dan
digetarkan untuk memadatkannya serta mengurangi gelembung udara.
Selanjutnya adonan tersebut didiamkan dalam suhu ruang sampai dapat dilepas
dari cetakannya. Adonan berbentuk silinder yang telah dilepas dari cetakannya
kemudian ditata didalam loyang dan ditutup dengan plastik film untuk mencegah
laju penguapan air yang terlalu tinggi, kemudian dipanaskan di dalam oven pada
suhu 60 oC selama 24 jam. Setelah pemanasan selesai, geopolimer yang terbentuk
dibiarkan di dalam ruang terbuka pada suhu dan tekanan kamar. Kuat tekan
geopolimer diukur setelah masa simpan 7, 14, 21 dan 28 hari.
3.2.8 Pengukuran Kuat Tekan
Pengukuran kuat tekan silinder geopolimer dilakukan dengan
menggunakan mesin penguji kuat tekan (Universal Testing Machine) di
32
Laboratorium Struktur Jurusan Teknik Sipil FTSP ITS. Setiap uji kuat tekan
menggunakan 3 benda uji agar didapatkan kuat tekan rata-rata. Pengukuran kuat
tekan dilakukan setelah 7, 14, 21 dan 28 hari untuk setiap modifikasi abu layang
dengan variasi konsentrasi larutan NaOH.
Benda uji berupa geopolimer berbentuk silinder dengan diameter 1,5 cm
dan tinggi 3 cm ditekan hingga benda uji hancur dan pecah. Perhitungan kuat
tekan menggunakan Persamaan 2.2.
3.2.9 Pengukuran Porositas
Pengujian porositas dilakukan terhadap sampel geopolimer untuk
mengetahui tingkat ketahanannya terhadap serangan air (water proof). Langkah-
langkah pengujiannya yaitu sampel geopolimer dipanaskan dalam oven dengan
suhu 105°C selama 24 jam. Setelah dikeluarkan dari oven kemudian didinginkan
dan ditimbang. Berat ini disebut berat kering. Kemudian sampel geopolimer
direndam dalam air selama 48 jam dan dilap dengan kain, kemudian ditimbang.
Berat ini disebut berat jenuh air, (ASTM C 642-90). Hasil pengukuran selanjutnya
dihitung dengan Persamaan 2.3.
3.2.10 Uji Pendahuluan
Uji pendahuluan ini dilakukan dengan memvariasi S/L (Solid/Liquid) yaitu
variasi berat abu layang yang ditambahkan (sebagai solid), sedangkan yang dibuat
konstan adalah Na2SiO3, NaOH dan H2O (sebagai liquid), seperti yang
ditampilkan pada Tabel 3.1. Bahan-bahan ini diperlakukan sama dengan
perlakuan untuk pembuatan pelet geopolimer seperti pada 3.2.7. Geopolimer yang
terbentuk diuji kuat tekannya pada umur 28 hari.
Tabel 3.1 Variasi Komposisi S/L pada Uji Pendahuluan Abu Layang PLTU Asam-asam
Solid/liquid Berat abu layang (g)
Berat Na silikat (g)
Berat NaOH (g)
Berat H2O (g) Rasio mol SiO2/Al2O3
bahan awal
1,24 27,28 10 4 8 4,11
1,36 30,00 10 4 8 4,05
33
1,60 35,26 10 4 8 3,98
1,72 37,93 10 4 8 3,95
1,85 40,70 10 4 8 3,92
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
34
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini dibahas tentang modifikasi abu layang tipe F yang
diaplikasikan untuk pembuatan geopolimer. Modifikasi abu layang dilakukan
dengan merefluks abu layang tipe F pada kondisi tertentu sehingga produk abu
layang hasil refluks ini diharapkan dapat memperbaiki sifat-sifat geopolimer yang
dihasilkan. Dengan demikian kualitas geopolimer yang dihasilkan dapat
meningkat.
Larutan yang digunakan dalam merefluks abu layang adalah larutan
NaOH. Larutan NaOH yang digunakan divariasi konsentrasinya yaitu 0, 1, 2 dan
3 M dengan tujuan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh larutan ini dalam
memodifikasi abu layang yaitu sampai dengan batas-batas reaksi yang
memungkinkan terbentuknya fasa geopolimer. Kemudian akan dibahas pengaruh
modifikasi abu layang pada geopolimer yang dihasilkan. Untuk itu dilakukan
karakterisasi abu layang menggunakan XRF (X-Ray Fluorescence) dan ICP
(Inductively Coupled Plasma) untuk mengetahui perubahan komposisi pada abu
layang, XRD (X-Ray Diffraction) untuk mengetahui perubahan fasa, FTIR
(Fourier Transform Infra Red) untuk mengetahui perubahan struktur kimia,
analisis pengukuran luas permukaan dengan metode adsorpsi gas N2 dan SEM
(Scanning Electron Microscopy) untuk menganalisis morfologinya.
Pengaruh modifikasi terhadap sifat fisik dan mekanik geopolimer
dipelajari dengan melakukan karakterisasi. Karakterisasi geopolimer yang
disintesis dari abu layang sebelum modifikasi dan geopolimer terbaik yang
disintesis dari abu layang sesudah modifikasi dilakukan dengan XRD (X-Ray
Diffraction) untuk mengetahui perubahan fasa, FTIR (Fourier Transform Infra
35
Red) untuk mengetahui perubahan struktur kimia dan SEM (Scanning Electron
Microscopy) untuk perubahan morfologi, kemudian dibandingkan.
Dalam penelitian ini dilakukan uji pendahuluan dengan tujuan untuk
mendapatkan nilai kuat tekan tertinggi geopolimer yang disintesis dari abu layang
tipe F. Geopolimer dengan kuat tekan tertinggi dijadikan sebagai acuan untuk
membuat geopolimer dengan bahan abu layang termodifikasi.
4.1 Uji Pendahuluan
Uji pendahuluan ini dilakukan dengan memvariasi S/L (Solid/Liquid)
seperti yang ditampilkan pada Tabel 3.1. Variasi S/L ini diperoleh dengan cara
S/L 1,36 sebagai patokan kemudian memvariasi S/L dengan range yang sama
yaitu range kebawah dan keatas. Range batas variasi S/L adalah sampai campuran
abu layang, natrium silikat, natrium hidroksida dan air menghasilkan pasta yang
tidak dapat dicetak lagi antara lain karena terlalu encer ataupun terlalu kental.
Pasta dicetak pada cetakan plastik berbentuk silinder dengan diameter 2,9 cm dan
tinggi 4,5 cm. Hasil pencetakan ini disebut pelet atau benda uji. Pelet diletakkan
pada loyang dan ditutup plastik kemudian disimpan dalam oven selama 24 jam
pada suhu 60C dan diuji kuat tekannya pada umur 28 hari. Tabel 4.1
menunjukkan hasil pengukuran kuat tekan dari geopolimer yang dihasilkan dari
abu layang tipe F yaitu abu layang PLTU Asam-asam.
Tabel 4.1 Nilai Kuat Tekan pada Variasi Perbandingan Mol SiO2/Al2O3
S/L Kuat tekan (MPa)
1,24 10,14
1,36 24,21
1,60 16,19
1,72 24,21
1,85 37,83
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa kuat tekan tertinggi terjadi pada
perbandingan S/L=1,85 yakni 37,83 MPa. Naiknya kuat tekan sejalan dengan
naiknya komposisi S/L. Hal ini sesuai dengan teori yang dinyatakan oleh
36
Chindaprasirt, et. al., (2007) bahwa workabilitas akan meningkat dengan
penambahan air, namun penambahan lebih banyak air justru akan menjadikan
kekuatan menjadi lebih rendah. Semakin banyak abu layang yang ditambahkan,
maka kandungan air dalam geopolimer semakin kecil. Penguapan air yang sedikit
ini akan meninggalkan sedikit pula rongga-rongga kosong (pori), sehingga kuat
tekannya menjadi semakin meningkat. Kuat tekan akan menurun saat jumlah air
tidak lagi mampu menyeimbangkan jumlah solid yang ditambahkan. Komponen
solid yang tidak bereaksi ini justru menurunkan kuat tekan. Pada penelitian ini
didapatkan nilai tertinggi S/L=1,85. Perbandingan S/L ini dijadikan acuan untuk
membuat geopolimer dengan bahan dasar abu layang hasil modifikasi.
4.2 Analisis Abu Layang
4.2.1 Analisis Komposisi Kimia Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi
Komposisi kimia abu layang batubara berbeda berdasarkan asal dan jenis
batubara tersebut. Komposisi kimia ini biasanya digunakan untuk
mengelompokkan jenis abu layang yang dihasilkan. Abu layang yang diproduksi
dari satu tempat yang sama belum tentu setiap kali produksi menghasilkan abu
layang dengan komposisi yang sama pula. Abu layang mempunyai mutu yang
beragam tergantung pada jenis batubara, efisiensi pembakaran, kehalusan serbuk
batubara, dimensi tungku untuk membakar batubara, dan cara penangkapan abu
layang dari pembakaran batubara (Neville, 1996). Oleh karena itu setiap abu
layang yang akan digunakan, harus dianalisis kandungan-kandungan kimianya.
Pengukuran kandungan kimia abu layang ini perlu dilakukan karena perbedaan
kandungan kimia abu layang berpengaruh terhadap kuat tekan dan porositas
geopolimer yang akan dihasilkan.
Dalam penelitian ini, geopolimer yang disintesis berasal dari abu layang
murni dan hasil modifikasi oleh larutan NaOH melalui metode refluks. Selama
ini, geopolimer yang dihasilkan disintesis dari abu layang murni secara langsung
tanpa perlakuan apapun. Tujuan memodifikasi abu layang adalah untuk
memperbaiki sifat-sifat geopolimer yang disintesis dari abu layang tipe F yang
meliputi sifat fisik dan mekanik geopolimer yang dihasilkan.
37
Abu layang batubara yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari
PLTU Asam-asam Kalimantan Selatan. Sintesis geopolimer dilakukan melalui
dua tahap yaitu refluks abu layang dan pembuatan geopolimer itu sendiri.
Refluks abu layang dilakukan dengan larutan NaOH 0, 1, 2 dan 3 M,
dimana perbandingan komponen dalam sistem refluks adalah 30,25 gram abu
layang dengan 250 mL larutan NaOH (1:8). Refluks dilakukan pada suhu 90ºC
selama 5 jam. Filtrat yang diperoleh dianalisis kandungannya yaitu kandungan Si
dan Al. Sedangkan abu layang hasil refluks kemudian dikeringkan dalam oven
pada suhu 105ºC selama 12 jam untuk menghilangkan kandungan air. Padatan
yang diperoleh kemudian digerus untuk menurunkan kristalinitas dan membuat
ukuran abu layang menjadi lebih kecil. Abu layang hasil penggerusan diayak
dengan ayakan 100 mesh untuk menghomogenkan ukurannya. Ukuran partikel
yang lebih kecil akan menyebabkan jumlah Si dan Al terlarut dari abu layang
tersebut menjadi lebih besar. Hal ini bisa dilihat pada analisis filtrat abu layang
dengan ICP (Tabel 4.4) dan perbandingan Si/Al (Tabel 4.5) dimana apabila
konsentrasi Si terlarut lebih besar dari Al terlarut maka akan didapatkan
perbandingan Si/Al yang lebih besar, yang akan berpengaruh terhadap geopolimer
yang dihasilkan. Padatan yang diperoleh selanjutnya dikarakterisasi untuk
mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi sehingga dapat diketahui sifat-
sifatnya.
Komposisi abu layang sebelum modifikasi dan abu layang yang sudah
dimodifikasi dianalisis dengan menggunakan XRF (X-ray Flourescence). Analisis
dengan XRF dilakukan untuk mengetahui komposisi abu layang, meliputi kadar
silika, alumina, dan komponen-komponen lainnya. Komposisi kimia dari abu
layang tersebut baik sebelum dan sesudah modifikasi disajikan pada Tabel 4.2 dan
4.3.
Tabel 4.2 dan 4.3 menunjukkan bahwa abu layang dari PLTU Asam-asam
adalah abu layang tipe F dimana abu layang ini mengandung CaO kurang dari
10%. Dapat dilihat juga bahwa semua komposisi kimia dari abu layang
mengalami perubahan sesudah modifikasi. Hal ini jelas menunjukkan bahwa
modifikasi abu layang dengan NaOH melalui metode refluks dapat mengubah
komposisi kandungan abu layang.
38
Tabel 4.2 Komposisi Kimia Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi Dalam Persen Senyawa (% w/w)
No Senyawa Oksida
Sebelum Modifikasi
Sesudah Modifikasi (%w/w)
0 M 1 M 2 M 3 M
1 SiO2 43,70 38,20 36,00 32,10 29,60
2 Al2O3 21,00 19,00 17,00 17,00 15,00
3 CaO 4,85 5,79 6,68 6,65 6,56
4 Fe2O3 22,50 32,94 37,00 40,05 43,13
5 K2O 0,88 0,98 0,79 0,32 0,49
6 TiO2 0,95 1,27 1,32 1,38 1,37
7 MnO 0,44 0,56 0,62 0,65 0,70
8 BaO 0,21 0,29 0,38 0,38 0,41
9 SrO 0,06 0,11 0,12 0,14 0,15
Tabel 4.3 Komposisi Kimia Abu Layang Sesudah Modifikasi dalam Persen Unsur (% w/w)
No Unsur Sesudah Modifikasi (%w/w)
0 M 1 M 2 M 3 M
1 Si 27,80 24,80 22,10 21,40
2 Al 15,00 13,00 12,00 12,00
3 Ca 6,95 7,71 7,67 7,55
4 Fe 44,55 48,47 52,17 53,27
5 K 1,34 1,10 0,45 0,56
6 Ti 1,31 1,36 1,37 1,34
7 Mn 0,81 0,86 0,91 0,93
8 Ba 0,50 0,50 0,60 0,54
9 Sr 0,19 0,21 0,25 0,26
Larutan basa, dalam hal ini NaOH, dapat mengubah komposisi abu layang
dengan cara merusak lapisan luar abu layang sehingga silika dan alumina yang
ada dalam abu layang keluar ke permukaan abu layang dan menyebabkan
terjadinya perubahan prosentase jumlah unsur atau senyawa yang dikandung abu
layang. Silika dan alumina ini bereaksi dengan larutan NaOH yang akan
39
membentuk beberapa produk reaksi seperti silikat dan aluminat. Perubahan
komposisi ini diperjelas dengan analisis ICP untuk filtrat hasil refluks abu layang
seperti yang terlihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 ini menunjukkan bahwa semakin
tinggi konsentrasi larutan NaOH yang diberikan untuk merefluks abu layang,
maka semakin tinggi pula jumlah kelarutan Si dan Al. Menurut Yan, et. al.,
(2003) dan Goni, et. al., (2003) lapisan permukaan partikel abu layang yang
berbentuk glassy ini sangat rapat dan stabil. Karena berpori dan amorf inilah,
maka gugus didalam lapisan abu layang memiliki aktifitas yang tinggi. Untuk
mendapatkan gugus-gugus aktif ini, maka lapisan tersebut harus dihancurkan.
Penghancuran lapisan ini dapat dilakukan dengan penambahan larutan yang
memiliki kebasaan tinggi seperti NaOH. Larutan basa ini menyebabkan lapisan
luar yang rapat menjadi rusak, sehingga gugus-gugus aktif yang ada didalamnya,
seperti silika dan alumina, keluar ke permukaan abu layang. Bila konsentrasi OH-
cukup tinggi, rantai glassy silika-alumina yang rapat akan cepat rusak dan akan
menghasilkan sejumlah besar gugus-gugus yang aktif. Dengan merusak lapisan
permukaan yang glassy ini, gugus aktif yang ada di dalam juga akan terlarut.
Gambar 4.1 menunjukkan diagram modifikasi abu layang oleh larutan
alkali. Untuk Gambar 4.1a, menunjukkan tahap penyerangan awal pada
permukaan abu layang. Penyerangan alkali terhadap abu layang ini yaitu dengan
merusak rantai silika dan alumina pada permukaan abu layang. Peningkatan
konsentrasi larutan alkali yang menyerang abu layang ini menyebabkan kerusakan
rantai silika dan alumina semakin meningkat sehingga perluasan lubang pada
permukaan abu layang semakin besar. Gambar 4.1b, menunjukkan bahwa
penyerangan alkali terhadap abu layang menyebabkan partikel-partikel yang
terdapat didalam abu layang keluar sedangkan larutan alkali akan masuk kedalam
abu layang kemudian gugus-gugus yang aktif yang terdapat didalam seperti silika
dan alumina akan bereaksi dengan larutan NaOH membentuk produk-produk
silikat dan aluminat yang merupakan reaktan utama untuk terbentuknya
geopolimer. Produk reaksi yang dihasilkan akan memenuhi lapisan abu layang
baik di dalam maupun diluar permukaannya, hingga hampir semua partikel abu
layang yang terkonsumsi itu bereaksi dengan NaOH seperti yang terlihat pada
Gambar 4.1c. Mekanisme yang terlibat dalam tahap ini adalah tahap pelarutan
40
dimana larutan alkali akan menembus dan kontak dengan partikel-partikel yang
terdapat didalam lapisan abu layang, seperti yang terlihat pada Gambar 4.1d.
Salah satu akibat dari produk reaksi yang terbentuk yang berupa endapan pejal
akan menutupi permukaan abu layang. Endapan seperti kerak ini menyebabkan
permukaan abu layang menjadi kasar seperti yang terlihat pada Gambar 4.1e.
Proses yang terjadi tidak sepenuhnya seragam/sama melainkan bervariasi,
tergantung dari distribusi ukuran partikel dan kondisi reaksi kimia seperti pH.
Perbedaan morfologi dari abu layang hasil modifikasi meliputi morfologi partikel
abu layang yang tidak bereaksi, partikel abu layang yang terserang larutan alkali,
produk reaksi dan lain-lain (Fernandez-Jimenez, et. al., 2005).
Gambar 4.1 Model Penggambaran Aktivasi Alkali pada Abu Layang (Fernandez-Jimenez, et. al., 2005)
Produk reaksi dari abu layang yang dimodifikasi yang berupa silikat dan
aluminat akan membentuk rantai geopolimer. Rantai-rantai ini akan membentuk
makromolekul dengan struktur tiga dimensi. Geopolimer itu sendiri merupakan
suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan hasil reaksi polimerisasi
Produk Reaksi
Abu Layang
41
material aluminasilikat dengan larutan alkali berupa natrium hidroksida atau
kalium hidroksida. Mekanisme pelarutan dan geopolimerisasi pada tahap awalnya
melibatkan transportasi ion hidroksil kedalam permukaan abu layang, diikuti
dengan hidrolisis, kemudian pembentukan silikat dan aluminat. Monomer-
monomer ini membentuk oligomer dengan geometri yang berbeda-beda yang
menyebabkan pembentukan fasa gel geopolimer. Reaksi geopolimerisasi secara
sederhana diusulkan seperti persamaan reaksi 4.1 dan 4.2 berikut (Davidovits,
1994) :
n(Si2O5,Al2O2) + 2nSiO2 + 4nH2O KOH/NaOH n(OH)3-Si-O-Al--O-Si-(OH)3 (4.1)
(OH)2
n(OH)3-Si-O-Al--O-Si-(OH)3 KOH/NaOH (Na,K)+-(-Si-O-Al--O-Si-O-) + 4 nH2O (4.2)
(OH)2 O O O
Tabel 4.2 dan 4.3 menunjukkan bahwa komposisi silika dan alumina hasil
modifikasi pada abu layang semakin menurun tetapi pada Tabel 4.4 kandungan Si
dan Al pada filtrat semakin meningkat sehingga dapat dikatakan bahwa dengan
peningkatan konsentrasi larutan NaOH maka terjadi peningkatan jumlah kelarutan
Si dan Al lebih banyak sehingga akan mempengaruhi perbandingan Si/Al yang
terjadi. Peningkatan kelarutan Si dan Al ini akan berimbas pada peningkatan
kualitas geopolimer yang dihasilkan. Panias, et. al., (2006) mengatakan bahwa
penambahan konsentrasi larutan NaOH akan menambah laju pelarutan Si dan fasa
Si-Al dari abu layang sehingga akan meningkatkan proses geopolimerisasi.
Penambahan Si dan Al dalam larutan dalam sistem geopolimer penting untuk
inisiasi pembentukan prekursor oligomer, dan dengan demikian juga penting
untuk polikondensasi yang merupakan proses utama terhadap peningkatan
kekuatan dalam sistem geopolimer.
Komposisi kimia dari abu layang, seperti yang tertera pada Tabel 4.2 dan
4.3, yang menjadi pusat perhatian adalah kandungan dari abu layang sesudah
modifikasi yaitu penurunan kadar SiO2 dan Al2O3 sejalan dengan peningkatan
konsentrasi larutan NaOH. Penurunan kandungan SiO2 dan Al2O3 sebelum dan
42
sesudah modifikasi pada abu layang disebabkan oleh sebagian Si terlarut hilang
ketika proses modifikasi berlangsung. Sebagaimana yang akan dijelaskan pada
analisis abu layang dalam difraksi sinar X (XRD) pada sub bab 4.1.2, semakin
tinggi konsentrasi larutan NaOH yang digunakan untuk merefluks abu layang,
maka semakin berubahlah struktur abu layang untuk menjadi struktur mirip zeolit.
Hilangnya Si terlarut dapat dijelaskan dengan fakta bahwa (1) Pembentukan
zeolit-silika rendah (low-silica zeolite) dari Si terlarut lebih mudah dibandingkan
Al terlarut (2) Komponen Si dalam abu layang lebih mudah larut daripada
komponen Al (3) Sebagian Al, yang terdapat dalam mullite, inert dalam media
alkalin. Walaupun tidak ada penyelidikan yang sistematis dalam perubahan
komposisi kimia selama proses modifikasi sampai sekarang, tetapi penelitian yang
dilakukan oleh Amrhein, et. al., (1996) telah berhasil menghubungkan penentuan
komposisi kimia dari abu layang murni dengan zeolit yang dihasilkan dari abu
layang itu. Perubahan yang terjadi adalah penurunan komposisi SiO2 secara
signifikan setelah proses modifikasi dan terjadi pembentukan zeolit silika-rendah
(low-silica zeolite) sesudah proses modifikasi.
Tabel 4.4 Hasil Analisis ICP Untuk Filtrat Hasil Modifikasi Abu Layang dengan Larutan NaOH
Konsentrasi Larutan NaOH (M)
Kadar (ppm)
Al Si
0 57,85 3,08
1 175,09 545,40
2 62,58 656,39
3 31,27 >700
Seiring dengan peningkatan larutan NaOH ini juga, jumlah Si dan Al
dalam filtrat meningkat (Tabel 4.4). Tetapi terdapat perkecualian untuk
kandungan Al dalam filtrat ini. Ternyata kandungan Al yang meningkat ini,
mencapai titik tertinggi pada konsentrasi larutan NaOH 1 M, kemudian menurun
setelah konsentrasi 1 M. Fenomena penurunan kandungan Al setelah mencapai
titik tertinggi dikarenakan peningkatan konsentrasi NaOH akan meningkatkan laju
reaksi yang terjadi pada Al (Fernandez-Jimenez, et. al., 2006) sehingga Al yang
43
reaktif ini akan bereaksi dengan OH- dan unsur-unsur lain membentuk produk
baru yang dalam penelitian ini adalah kristal Gibbsite (Al(OH)3), Kaolinite
(Al2Si2O5(OH)4) dan Sodalite (Al6Na8(SiO4)6Cl2). Dengan demikian laju pelarutan
Al dalam filtrat pada konsentrasi larutan NaOH 2 M dan 3 M menjadi semakin
menurun dan menyebabkan jumlah Si dalam filtrat jauh melebihi jumlah Al.
Munculnya produk baru ini didukung oleh difraktogram dari difraksi sinar-X
seperti yang akan dibahas dalam Gambar 4.2 untuk konsentrasi NaOH 2 M dan 3
M. Pada difraktogram sinar-X ditunjukkan bahwa ada puncak Gibbsite (Al(OH)3)
pada 2θ=28,18º dan 45,78º, Kaolinite (Al2Si2O5(OH)4) pada 2θ = 12,45 dan
Sodalite (Al6Na8(SiO4)Cl2) pada 2θ= 14,03º; 24,40º sedangkan pada 0 M dan 1 M
tidak terdapat puncak Gibbsite (Al(OH)3), Kaolinite (Al2Si2O5(OH)4) dan Sodalite
(Al6Na8(SiO4)Cl2).
Folliard, et. al., (2005) menjelaskan bahwa jumlah kelarutan Si yang
melebihi kelarutan Al ini disebabkan oleh penambahan ion OH- yang kemudian
memasuki struktur aluminasilikat. Ikatan silanol (Si–OH) ini akan bereaksi
dengan ion OH-, dimana ion OH- ini juga akan menyerang ikatan kuat siloksan
(Si–O–Si). Reaksi yang terjadi dapat ditulis sebagai berikut :
Si–OH + OH- Si–O- + H2O (4.3)
Si–O–Si + 2OH- 2 (Si – O-) + H2O (4.4)
Kation natrium (Na+) berdifusi ke dalam struktur untuk menyeimbangkan
muatan negatif pada terminal atom oksigen. Penyerangan ikatan siloksan ini akan
melemahkan struktur. Jika jumlah alkali hidroksida tersedia cukup banyak dan
didukung oleh temperatur pelarutan, proses ini akan berlanjut menghasilkan
alkalin silikat dalam larutan. Disamping itu, pada kondisi ini komposisi oksida
aluminasilikat dari masing-masing abu layang (Tabel 4.2) juga memainkan
peranan dalam melarutkan jumlah Si dan Al ke dalam larutan basa (Brouwers dan
van Eijk, 2003). Kondisi ini cukup penting dalam proses geopolimerisasi, karena
akan menentukan perbandingan Si/Al yang menentukan sifat-sifat geopolimer
yang terbentuk (Duxon, et. al., 2007).
44
Selain penurunan kandungan SiO2 dan Al2O3, yang menjadi pusat perhatian
adalah kandungan CaO dan Fe2O3 yang semakin meningkat (Tabel 4.2).
Peningkatan kandungan CaO dan Fe2O3 dapat mempengaruhi kelarutan Si dan Al
pada permukaan partikel abu layang. Penambahan larutan basa alkali terhadap abu
layang yang mengandung CaO menyebabkan pelarutan yang cepat terhadap
kalsium dari abu layang, yakni dengan mengendapkannya sebagai Ca(OH)2.
Sebagai akibatnya pH sistem akan turun dari nilai seharusnya karena sejumlah ion
OH- dipakai untuk terbentuknya Ca(OH)2 tersebut. Hal ini tentu saja akan
mempengaruhi proses-proses pelarutan Si dan Al.
Hal yang sama juga terjadi bila kandungan Fe2O3 semakin meningkat. Besi
bereaksi dengan ion hidroksida dalam larutan basa alkali membentuk Fe3+, yang
akan mengendap kembali sebagai hidroksida atau oksihidroksida. Ini
menyebabkan pemakaian ion hidroksida dari larutan akan memperlambat
kelarutan partikel-partikel abu layang seperti Si dan Al (van Deventer, et. al.,
2006).
Selain jumlah Si dan Al, tingginya kandungan senyawa kalsium abu
layang juga merupakan faktor pendukung untuk mempercepat pembentukan
kekuatan dari geopolimer. Pembentukan kalsium silikat hidrat, kalsium aluminat
hidrat, dan juga kalsium-siliko-aluminat dapat terjadi dari pelarutan Si dan Al
yang cepat yang bereaksi dengan ion kalsium yang larut sebelum bereaksi dengan
ion hidroksida membentuk Ca(OH)2. Menurut van Jaarsveld (2003), kekuatan
yang tinggi campuran semen geopolimer dapat berasal dari pembentukan senyawa
tersebut. Kandungan CaO meningkat seiring dengan penambahan konsentrasi
larutan NaOH yang digunakan untuk merefluks abu layang. Kandungan CaO pada
abu layang mencapai titik tertinggi pada konsentrasi larutan NaOH 1 M seperti
terlihat pada Tabel 4.2 dan 4.3. Kandungan CaO tertinggi ini mengakibatkan kuat
tekan geopolimer yang dihasilkan tertinggi diantara yang lain.
Tingkat kelajuan dan/atau jumlah pelarutan itu sendiri selain dipengaruhi
oleh tingkat kebasaan larutan juga dipengaruhi oleh struktur dari aluminasilikat.
Menurut Comrie dan Kriven (2004), faktor yang lebih dominan daripada faktor-
faktor lain dalam proses pelarutan ketika padatan sumber Si dan Al dikontakan
dengan larutan alkalin adalah sifat-sifat dari material sumber Si-Al dan
45
konsentrasi larutan alkalin. Aluminasilikat amorf atau kurang kristalin cenderung
membentuk struktur alumina dan silika reaktif daripada aluminasilikat yang
kompak atau terkristalisasi (seperti mikrokristalin quartz). Kelarutan padatan
amorf bertambah secara signifikan terhadap pH, sehingga cenderung melarut lebih
baik dalam larutan pH tinggi. Kehadiran padatan kristalin atau berstruktur lebih
kompak, relatif kurang dapat diakses oleh larutan alkali hidroksida, dan pelarutan
hanya terjadi pada permukaan dan dengan laju sangat lambat (Folliard, et. al.,
2005). Difraktogram dari difraksi sinar X pada Gambar 4.2 jelas menunjukkan
bahwa kehadiran kristalin quartz, mullite, gibbsite, kaolinite dan sodalite akan
menghambat akses larutan NaOH pada permukaan abu layang, sehingga
menghambat kelarutan Si dan Al. Dengan demikian penambahan konsentrasi
NaOH dalam fase pelarut selain dapat berpengaruh positif, juga dapat
berpengaruh negatif terhadap pelarutan Si dan Al dari permukaan abu layang.
4.2.2 Analisis Fasa Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi
Analisis fasa pada abu layang dilakukan dengan difraksi sinar X untuk
mengetahui perubahan fasa yang terjadi sebelum dan sesudah modifikasi. Gambar
4.2 menunjukkan difraktogram dari difraksi sinar X untuk abu layang sebelum
dan sesudah dimodifikasi.
Difraktogram pada Gambar 4.2 menunjukkan bahwa quartz (SiO2) dan
mullite (3Al2O3.xSiO2) sebagai kristal utamanya. Quartz dan mullite adalah hasil
dekomposisi dari mineral lempung seperti kaolinite (White and Case, 1990). Abu
layang ini mengandung fasa amorf silika yang ditunjukkan dengan munculnya
gundukan pada 2θ antara 20o-30o. Penentuan kandungan mineral abu layang
dilakukan dengan membandingkan data hasil analisis difraksi sinar X dengan
database JCPDS 1997-International Centre for Diffraction. Hasil penentuan
tersebut menunjukkan bahwa abu layang mengandung mineral utama: (Q) Quartz
(SiO2) yang ditunjukkan oleh puncak-puncak difraksi pada 2θ=20,94; 26,64;
36,59; 39,47; 42,47; 45,80; 50,14; 54,89; 59,94; 68,25 (PDF 05-0490); (M)
Mullite (3Al2O3.xSiO2) pada 2θ=16,43; 33,24; 40,81; 60,63 (PDF 06-0258);
sedangkan mineral-mineral yang lain yang muncul seiring dengan penambahan
konsentrasi larutan NaOH adalah Maghemite (Fe2O3) pada 2θ=30,23; 35,67;
46
40,81; 43,26; 62,89 (PDF 39-1346); Gibbsite (Al(OH)3) pada 2θ=28,18; 45,78
(PDF 29-0041); Kaolinite (Al2Si2O5(OH)4) pada 2θ=12,45 (PDF 29-1488);
Sodalite (Al6Na8(SiO4)6Cl2) pada 2θ=14,03 dan 24,50 (PDF 02-0341).
Gambar 4.2. Difraktogram XRD untuk Abu Layang (a) Sebelum Modifikasi (b), (c), (d), dan (e) Sesudah Modifikasi dengan Larutan NaOH Berturut-turut Untuk Konsentrasi 0 M, 1 M, 2 M dan 3 M (K: Kaolinite, S: Sodalite, M: Mullite, Q: Quartz, G: Gibbsite, Ma: Maghemite)
10 11 12 13 14 15 16
2 theta
e
d
c
b
a
Kaolinite
Sodalite
2 θ
Q
5 15 25 35 45 55 65
2 theta
edc
ba
Q Q
QQ Q
MM
K
MS S G G
Ma
2 θ
Ma
47
Gambar 4.2a. Difraktogram XRD pada 2 θ = 10-20º untuk Abu Layang (a) Sebelum Modifikasi (b), (c), (d), dan (e) Sesudah Modifikasi dengan Larutan NaOH berturut-turut untuk konsentrasi 0 M, 1 M, 2 M dan 3 M
Gambar 4.2b. Difraktogram XRD pada 2θ = 22-26º dan 2θ = 25-30º untuk Abu Layang (a) Sebelum Modifikasi (b), (c), (d), dan (e) Sesudah Modifikasi dengan Larutan NaOH Berturut-turut Untuk Konsentrasi 0 M, 1 M, 2 M dan 3 M
Gambar 4.2a dan Gambar 4.2b menunjukkan adanya perubahan fasa yang
terjadi pada abu layang yaitu sebelum dan sesudah modifikasi. Pada Gambar 4.2a
dan 4.2b terlihat puncak kaolinite pada 2 θ = 12,45º dan gibbsite pada pada 2 θ =
28,18º untuk abu layang yang direfluks dengan larutan NaOH 2 M, sedangkan
pada abu layang yang direfluks dengan larutan NaOH 0 M, 1 M dan 3 M tidak
2 theta2 theta
22 22.5 23 23.5 24 24.5 25 25.5 26
e
d
c
b
a
25 25.5 26 26.5 27 27.5 28 28.5 29 29.5 30
edcba
Sodalite
Gibbsite
2 θ 2 θ
48
terdapat puncak kaolinite dan gibbsite. Adanya fasa baru kaolinite dan gibbsite
setelah peningkatan konsentrasi larutan NaOH untuk 0 M dan 1 M menunjukkan
bahwa laju pelarutan untuk Si dan Al serta pembentukan fasa aluminasilikat
bertambah dengan peningkatan konsentrasi NaOH yang artinya semakin banyak
ketersediaan OH- pada permukaan abu layang untuk bereaksi dengan silika dan
alumina untuk membentuk silikat dan aluminat. Laju pelarutan hidroksida
bergantung pada konsentrasi permukaan ion hidroksida. Konsentrasi permukaan
ion hidroksida berhubungan dengan konsentrasi ion hidroksida ([OH-]).
Peningkatan konsentrasi NaOH menyebabkan percepatan laju pelarutan yang
berarti terhadap promosi reaksi-reaksi pelarutan pada tahap awal proses
geopolimerisasi (Panias, et. al., 2006) dimana keefektifan penambahan laju
pelarutan menyebabkan terbentuknya fasa kristalin minor. Selain itu
kereaktifitasan aluminasilikat secara termodinamika pada akhirnya akan
mengubah abu layang yang teraktivasi tersebut menjadi zeolit (Kovalchuk, et. al.,
2007). Hilangnya puncak kaolinite pada abu layang yang direfluks dengan
konsentrasi larutan 3 M dan munculnya puncak sodalite pada 2 θ = 14,03º dan
24,39º menunjukkan adanya transformasi kristal menjadi kristal yang lain yaitu
transformasi kaolinite menjadi sodalite. Perubahan struktur kristal dari kaolinite
menjadi sodalite dijelaskan oleh Zhao, et. al., (2004) pada reaksi 4.7 dan 4.8.
4.2.3 Analisis Struktur Ikatan Kimia Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi
Analisis perubahan struktur ikatan kimia pada abu layang sebelum dan
sesudah modifikasi dilakukan dengan FTIR. Analisis perubahan spektra FTIR
sebelum dan sesudah modifikasi pada range 1300-400 cm-1 ditampilkan pada
Gambar 4.3. Spektra FTIR berturut-turut untuk aluminasilikat dan quartz tampak
pada daerah 500 cm-1-420 cm-1 dan 1200 cm-1-950 cm-1. Puncak FTIR pada 1085
cm-1 untuk abu layang sebelum modifikasi berhubungan dengan internal SiO4
tetrahedra, khususnya struktur rantai Si-O-Si. Terlihat dari gambar bahwa pita ini
bergeser ke bilangan gelombang yang lebih rendah yaitu sekitar 1000 cm -1 seiring
dengan peningkatan konsentrasi larutan NaOH. Hal ini terjadi sebagai akibat dari
polikondensasi dengan perubahan penggantian Si-O-Si dan Al-O-Si (Lee,
49
W.K.W., van Deventer, J.S.J, 2002; Phair, J.W., van Deventer, J.S.J., 2002).
Pergeseran pita pada 1085 cm-1 ke frekuensi yang lebih rendah yaitu sekitar 1000
cm-1 menunjukkan produk baru telah terbentuk sehubungan dengan peningkatan
konsentrasi larutan NaOH. Pergeseran puncak ini juga menunjukkan telah
terjadinya perubahan perbandingan Si/Al (Fernandez-Jimenez, et. al., 2005).
Intensitas adsorpsi pita pada 950-1200, 800, 600, 500 cm-1 meningkat sejalan
dengan peningkatan konsentrasi larutan NaOH. Peningkatan intensitas ini
menunjukkan peningkatan dalam perpanjangan rantai dan menunjukkan lebih
banyak aluminasilikat yang terbentuk. Pada tahap pelarutan, larutan alkali akan
secara langsung menyentuh abu layang. Dalam tahap ini, konsentrasi OH- yang
tinggi akan memutuskan ikatan kovalen Si-O-Si, Si-O-Al dan Al-O-Al,
mengeluarkan ion Si dan Al dalam larutan, dimana ion-ion ini akan membentuk
Si-OH dan Al-OH dalam jumlah yang besar akibat pengaktifan hidroksida
terhadap Si dan Al sehingga terbentuk monomer-monomer seperti yang
digambarkan dalam reaksi 4.5 dan 4.6 (Comrie, et. al., 2004). Spesi kimia ini
berkondensasi memberikan tempat bagi prekursor zeolit. Gel aluminasilikat ini
akan mempengaruhi struktur tiga dimensi dengan orde zeolit pada range yang
pendek (Palomo, et. al., 2004). Pergeseran ke frekuensi yang lebih rendah dengan
peningkatan konsentrasi larutan NaOH ini menunjukkan perubahan abu layang
murni ke dalam struktur seperti zeolit.
Pelarutan Si
OH
4 NaOH + Si 4+ HO Si OH + 4 Na + (4.5)
OH
Pelarutan Al
OH
4 NaOH + Al 3+ HO Al- OH + 4 Na + (4.6)
50
OH
Adanya puncak pada daerah 820-500 cm-1 menunjukkan pita baru yang
terdeteksi sebagai gabungan antara SiO4 dan AlO4 tetrahedra yang membentuk
bermacam-macam cincin (Fernandez-Jimenez, et. al., 2005; Mozgawa, et. al.,
2002).
Gambar 4.3. Spektra FTIR untuk Abu Layang (a) Sebelum Modifikasi (b), (c), (d), dan (e) Sesudah Modifikasi dengan Larutan NaOH 0 M, 1 M, 2 M dan 3 M
4.2.4 Analisis Morfologi Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi
Analisis morfologi dilakukan untuk mengetahui perubahan morfologi pada
permukaan abu layang baik sebelum maupun sesudah modifikasi. Gambar 4.4
menunjukkan tampilan gambar dari Scanning Electron Microscope (SEM) untuk
abu layang yang belum dimodifikasi (abu layang murni) dan abu layang yang
sudah dimodifikasi.
4005006007008009001000110012001300
Bilangan Gelombang (1/cm) Bilangan Gelombang (1/cm) Bilangan Gelombang (1/cm)
e
d
c
ba1090,67
1078,13
1026,06
991,34
990,38
51
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 4.4. Morfologi Dari Abu Layang untuk (a) Abu Layang Sebelum Modifikasi (b) Abu Layang Hasil Modifikasi dengan Larutan NaOH 1 M (c) Abu Layang Hasil Modifikasi dengan Larutan NaOH 2 M dan (d) Abu Layang Hasil Modifikasi dengan Larutan NaOH 3 M
Gambar 4.4a, 4.4b, 4.4c, 4.4d menunjukkan morfologi yang sangat
berbeda. Abu layang yang tidak termodifikasi berbentuk bulat dengan permukaan
yang halus dengan ukuran yang beragam yaitu mulai kurang dari 1 μm hingga 1
mm. Partikel abu layang ini dihasilkan dari pendinginan produk lelehan dari
pembakaran batubara (White dan Case, 1990) sehingga memiliki ukuran partikel
yang sangat variatif. Berbeda dengan permukaan produk abu layang sesudah
termodifikasi yang tampak lebih kasar (Gambar 4.4b, 4.4c, 4.4d).
Selama dalam proses refluks, larutan NaOH secara terus-menerus
berinteraksi dengan partikel-partikel abu layang yang menyebabkan permukaan
abu layang menjadi kasar. Gambar 4.4b. menunjukkan bahwa permukaan abu
layang hasil modifikasi kasar dan pecah-pecah. Pada Gambar 4.4c. teramati
keretakan yang terjadi pada abu layang. Selain itu tampak bahwa abu layang
52
diselimuti oleh kristal-kristal kecil dengan ukuran panjang sekitar 10 μm.
Sedangkan pada Gambar 4.4d. tampak bahwa abu layang dikelilingi oleh banyak
kristal-kristal, baik kristal yang berbentuk jarum maupun kristal yang berbentuk
batangan, walaupun tidak dilakukan analisis khusus untuk kristal pada penelitian
ini, namun kemungkinan besar kristal-kristal ini adalah zeolit.
Terbentuknya kristal-kristal ini karena adanya proses hidrotermal yang
terjadi ketika abu layang direfluks dengan larutan NaOH dengan konsentrasi yang
lebih tinggi. Kristal zeolit mengendap dalam permukaan abu layang selama proses
perlakuan hidrotermal tersebut sehingga menyebabkan permukaan abu layang
kasar. Pertumbuhan inti kristal yang terjadi dengan cepat dalam permukaan abu
layang dijelaskan oleh Jansen (1991) yakni bahwa adanya pengotor dalam reaktan
akan menyebabkan percepatan terbentuknya kristal dan terbentuknya sifat-sifat
kimia zeolit. Faktanya, pengotor-pengotor ini mengarah pada terbentuknya kristal-
kristal kecil. Hal ini dikarenakan pengotor dapat meningkatkan laju pertumbuhan
inti kristal pada saat kristal tumbuh. Karena abu layang tidak sepenuhnya murni
quartz dan mullite, tetapi terdiri dari sejumlah material lain seperti oksida-oksida,
tidak mengherankan jika pertumbuhan kristal ini dipengaruhi oleh unsur-unsur
lain tersebut. Peningkatan konsentrasi larutan NaOH akan menyebabkan
terbentuknya kristal-kristal yang lebih besar. Terbentuknya kristal-kristal ini
didukung oleh penelitian Lin dan Hsi (1995) dan Wu, et. al., (2008), yang
mengamati telah terjadi penurunan perbandingan Si/Al pada abu layang oleh
sebab yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa Si lebih reaktif dalam
NaOH daripada senyawa Al. Selain itu dapat dikatakan bahwa semakin tinggi
konsentrasi larutan NaOH semakin mudah quartz (SiO2) melarut. Dapat dilihat
pada hasil analisis dengan XRF sebelumnya bahwa komposisi Si setelah direfluks,
dengan semakin meningkatnya konsentrasi larutan NaOH, prosentase Si menurun
lebih tajam daripada Al. Dapat dilihat juga pada Gambar 4.2 bahwa larutan NaOH
2 M dan 3 M yang digunakan untuk merefluks abu layang mengarah pada
pembentukan kristal zeolit dengan mengambil Si dan Al untuk terjadinya kristal-
kristal tersebut. Semua proses ini menyebabkan perbandingan Si dan Al menurun
yang pada akhirnya menyebabkan kuat tekan geopolimer juga menurun.
53
Tabel 4.5. Perbandingan Si/Al Sebelum dan Sesudah Modifikasi
Konsentrasi Larutan NaOH
Sebelum Modifikasi
Sesudah Modifikasi
0 M 1 M 2 M 3 M
Perbandingan Si/Al
2,08 2,01 2,12 1,97 1,89
4.2.5 Analisis Luas Permukaan Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi
Untuk menentukan luas permukaan dan volume pori abu layang digunakan
analisis adsorpsi gas N2 (metode BET. Menurut Sarbak, et. al., (2002) dan Yu-
Fen, et. al., (2006) perlakuan hidrotermal abu layang dengan larutan basa akan
meningkatkan luas permukaan abu layang. Tabel 4.6 menunjukkan luas
permukaan spesifik dan volume pori abu layang sebelum dan sesudah modifikasi.
Tabel 4.6 ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan luas permukaan abu layang
sesudah modifikasi.
Menurut hipotesis awal, abu layang yang dimodifikasi dengan larutan
NaOH mengakibatkan terjadinya peningkatan luas permukaan. Tetapi pada
penelitian ini terjadi penurunan luas permukaan untuk abu layang sesudah
modifikasi. Hal ini dimungkinkan karena dua alasan yaitu pertama alasan teknis,
dimana ada jeda/penundaan waktu dari sampel untuk dianalisis dan kedua, adanya
kristal yang terbentuk akibat proses hidrotermal abu layang dengan larutan basa.
Penundaan waktu analisis yaitu sekitar 49 hari memungkinkan abu layang hasil
modifikasi yang reaktif ini bereaksi dengan oksida-oksida yang terdapat dalam
abu layang itu sendiri atau bereaksi dengan unsur-unsur lain disekitar
lingkungannya untuk membentuk produk baru yang dapat menurunkan luas
permukaan. Penurunan luas permukaan ini disebabkan karena munculnya produk
baru berupa kristal zeolit. Analisis ini didukung oleh gambar morfologi dari SEM
untuk abu layang yang sudah dimodifikasi baik untuk konsentrasi larutan NaOH 1
M, 2 M dan 3 M, yang menunjukkan bahwa morfologi permukaan abu layang
sesudah modifikasi antara lain retak, kasar serta munculnya produk kristal-kristal
baru yang terbentuk, dimana dengan semakin tingginya konsentrasi larutan NaOH
54
yang diperlakukan, semakin banyak kristal-kristal yang menyelimuti permukaan
abu layang. Seiring dengan waktu, kestabilan dari kristal-kristal ini semakin
meningkat (Rios, et. al., 2009). Munculnya kristal-kristal ini menyebabkan
penurunan luas permukaan dari abu layang yang sudah dimodifikasi (Woolard, et.
al., 2002). Namun demikian, adanya fasa baru ini membutuhkan proses yang
sangat kompleks, yaitu pelarutan, perpindahan massa, munculnya inti dan
pertumbuhan kristal, dikarenakan pecahnya kesetimbangan kimia dalam sistem
(Ojha, et. al., 2004).
Tabel 4.6 Pengaruh Modifikasi Kimia Abu Layang Terhadap Luas Permukaan dan Pori-Pori Abu Layang
Jenis Material Luas Permukaan
(m2/g)
Volume Pori
(cm2/g)
Abu Layang Sebelum Modifikasi
8,10 0,01
Abu Layang Sesudah Modifikasi dengan Larutan NaOH
1 M 7,46 0,03
2 M 2,98 0,03
3 M 1,82 0,02
Untuk abu layang sesudah modifikasi, luas permukaan tertinggi dicapai
saat abu layang direfluks dengan larutan NaOH 1 M yaitu sebesar 7,46 m2/g
dengan volume pori meningkat tiga kali lebih besar daripada abu layang sebelum
modifikasi. Hal ini sesuai dengan yang dianalisis oleh Sarbak, et. al., (2002)
bahwa abu layang yang dimodifikasi akan menghasilkan volume pori yang lebih
besar. Dibandingkan dengan abu layang sebelum modifikasi, abu layang sesudah
modifikasi diharapkan dapat berinteraksi atau melakukan kontak dengan
permukaan abu layang lainnya lebih baik karena permukaannya yang lebih kasar
sehingga diharapkan dapat memperbaiki dan meningkatkan sifat fisik dan
mekanik geopolimer yang dihasilkan. Penurunan luas permukaan dari larutan
NaOH 1 M ke larutan NaOH 2 M dan 3 M mencerminkan perubahan kristal
menjadi kristal lainnya yaitu abu layang yang direfluks pada larutan NaOH 2 M
muncul kristal kaolinite dan gibbsite sedangkan abu layang yang direfluks dengan
55
larutan NaOH 3 M muncul sodalite. Perubahan struktur kristal dari kaolinite
menjadi sodalite ini dijelaskan oleh Zhao, et. al., (2004), bahwa terdapat dua
proses yang dilibatkan dalam transformasi kaolinite menjadi sodalite setelah
kontak dengan alkali yaitu:
Al2Si2O5(OH)4 + 6 OH- + H2O 2 Al(OH)4- + 2 H2SiO4
2- (4.7)
6 Al(OH)4- + 6 H2SiO4
2- + 8 Na+ + 2 Cl- Na6Si6Al6O24.2 NaCl
+ 12 OH- + 12 H2O (4.8)
Reaksi 4.7 dan 4.8 menggambarkan pelarutan kaolinite telah
mengeluarkan Si dan Al dan membentuk sodalite.
4.3 Hasil Sintesis Geopolimer dari Abu Layang Sebelum dan Sesudah Modifikasi
Pada penelitian ini pembuatan geopolimer dilakukan dengan
mencampurkan abu layang baik sebelum dan sesudah modifikasi dengan larutan
alkalin. Pencampuran dilakukan dengan perbandingan berat padatan dan air sesuai
dengan konsistensi masing-masing. Konsistensi disini dengan menghitung volume
air yang ditambahkan kedalam abu layang yang telah dicampur dengan padatan
NaOH dan larutan Na2SiO3 sampai batas tertentu dan waktu tertentu. Komposisi
bahan dari campuran dengan perbandingan ini dapat dilihat pada Lampiran 4.
Dalam Lampiran 4 terdapat perbedaan komposisi penambahan air untuk
sintesis geopolimer dimana perbedaan ini dipengaruhi oleh komposisi kimia abu
layang sehingga akan mempengaruhi hidrasi abu layang dan pelarutan abu layang.
Hidrasi abu layang adalah pembentukan material geopolimer yang terjadi dari
reaksi antara CaO bebas dengan Al2O3 dan SiO2 dengan melibatkan air. Pelarutan
abu layang akan berbeda jika komposisi SiO2, Al2O3 dan CaO juga berbeda.
Geopolimer disintesis dari abu layang dengan menggunakan larutan
alkalin. Abu layang yang digunakan dikeringkan dalam oven pada suhu 105ºC
selama 24 jam agar kandungan air yang terdapat dalam abu layang hilang
sehingga air yang ada dalam fasa gel hanya berasal dari larutan alkalin saja.
56
Larutan alkalin yang digunakan adalah NaOH dan Na2SiO3 yang dilarutkan dalam
air. NaOH yang digunakan mempunyai kemurnian 98% dan berbentuk pelet.
Larutan NaOH yang telah dibuat disimpan dalam wadah tertutup selama 24 jam
sebelum digunakan karena pelarutan NaOH di dalam air akan menimbulkan panas
yang disebabkan oleh reaksi eksotermis pelarutan NaOH. Tujuan penambahan
NaOH dalam reaksi geopolimerisasi adalah untuk melarutkan silika dan alumina
pada abu layang pada saat pembentukan gel. Ion hidroksida mengaktifkan silika
dan alumina dari partikel abu layang sehingga terbentuk monomer-monomer
sebagaimana reaksi pada 4.5 dan 4.6 (Xu, et. al., 1999).
Sampel geopolimer dipanaskan dalam oven selama 24 jam pada suhu
60ºC (Hardjito, 2004). Tujuan pemanasan ini adalah untuk membantu proses
pematangan geopolimer. Selama waktu pemanasan, sampel geopolimer ditutup
dengan plastik film agar molekul air yang menguap dapat diminimalkan. Jika
jumlah molekul air yang hilang selama pemanasan cukup banyak, maka akan
terbentuk pori atau retakan yang mempengaruhi kuat tekan. Kemudian sampel
geopolimer disimpan selama 28 hari sebelum dianalisis lebih lanjut. Penyimpanan
dilakukan sampai umur 28 hari karena geopolimerisasi pada umur 28 hari sudah
dianggap selesai (Swanepoel, 2002) dan tidak ada penambahan kuat tekan yang
berarti setelah berumur 28 hari (Hardjito, 2004). Masa simpan 28 hari juga
merupakan standard pengukuran kuat tekan pada beton, dimana penentuan
kualitas beton dinilai dari pengukuran kuat tekannya pada umur 28 hari. Setelah
masa simpan 28 hari dilakukan analisis kuat tekan.
Geopolimer dalam penelitian ini disintesis dari abu layang sebelum
modifikasi dan abu layang sesudah modifikasi. Dari data kuat tekan geopolimer
tertinggi untuk geopolimer yang disintesis dari abu layang hasil modifikasi
kemudian dianalisis dengan difraksi sinar X (XRD) untuk melihat perubahan
fasanya, SEM (Scanning Electron Microscopy) untuk mengetahui morfologinya,
dan FTIR (Fourier Transform Infra Red) untuk mengetahui perubahan ikatan
kimia untuk dibandingkan dengan geopolimer yang disintesis dari abu layang
sebelum modifikasi.
4.3.1 Pengujian Kuat Tekan dan Porositas Geopolimer
57
Pengujian kuat tekan yang merupakan sifat mekanik geopolimer ini
merupakan uji yang penting karena uji kuat tekan ini adalah salah satu aspek yang
berpengaruh yang bisa diperbandingkan dengan beton yang terbuat dari semen.
Pengukuran kuat tekan dilakukan menggunakan mesin penguji kuat tekan
(Universal Testing Machine ). Sampel geopolimer yang diuji kuat tekannya yaitu
berbentuk silinder dengan tinggi 30 mm dengan diameter 15 mm, diberi tekanan
secara perlahan-lahan sehingga mengalami keretakan dan kemudian hancur. Kuat
tekan dihitung pada saat sampel retak ataupun pecah. Hasil pengukuran kuat tekan
pada sampel geopolimer setelah 28 hari ditampilkan pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Hasil Kuat Tekan dan Porositas Geopolimer dari Abu Layang Hasil Modifikasi dengan Larutan NaOH
Molaritas Larutan NaOH
Kuat Tekan (Mpa) Porositas (%)
Sebelum Modifikasi 35,29 21,80
0 M 34,73 22,10
1 M 36,33 21,50
2 M 11,32 39,40
3 M ≈0 ≈100
Hasil kuat tekan terbaik sampel geopolimer yang disintesis dari abu layang
hasil modifikasi yaitu terjadi pada modifikasi abu layang dengan larutan NaOH 1
M, dengan nilai kuat tekan tertinggi sebesar 36,329 MPa. Selanjutnya dari data
terbaik untuk geopolimer ini dianalisis untuk dibandingkan antara geopolimer
yang disintesis dari abu layang sesudah dimodifikasi dan abu layang sebelum
modifikasi. Pada peningkatan konsentrasi larutan NaOH yang lebih tinggi yaitu
2 M dan 3 M, kekuatan geopolimer yang dihasilkan mengalami penurunan. Hal
ini disebabkan oleh pengaruh komposisi kimia dari abu layang. Kuat tekan
semakin meningkat dengan meningkatnya perbandingan Si/Al. Perbandingan
Si/Al mencapai titik tertinggi untuk konsentrasi NaOH 1 M (Tabel 4.5),
sedangkan kuat tekan untuk geopolimer yang disintesis dari abu layang sebelum
modifikasi mempunyai perbandingan Si/Al lebih rendah daripada geopolimer
yang disintesis dari abu layang hasil modifikasi dengan larutan NaOH 1 M .
58
Pengaruh perbandingan Si/Al ini juga akan mempengaruhi pembentukan
kerangka geopolimer, karena penjenisan silikat dan aluminat sebagian besar
ditentukan oleh konsentrasi larutan alkalin dan perbandingan Si/Al. Pelarutan
aluminasilikat amorf yang sangat cepat pada pH tinggi akan menghasilkan suatu
campuran silikat, aluminat dan spesies aluminasilikat yang lewat jenuh yang
dalam konsentrat larutan akan membentuk oligomer dalam fase air dengan
jaringan besar (Duxon, et. al., 2007).
Kelarutan Si dan Al semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi
larutan NaOH. Pelarutan yang menghasilkan perbandingan Si/Al yang semakin
tinggi akan menambah derajat polimerisasi dari rantai geopolimer yang terbentuk
(Fernandez-Jimenez, et. al., 2004) sehingga geopolimer yang dihasilkan akan
memiliki kuat tekan yang semakin tinggi pula. Perbandingan Si/Al yang
mendekati nilai 2 akan membentuk kerangka tiga dimensi poly(sialate-siloxo) (Si-
O-Al-O-Si-O-) dimana reaksi dengan ion natrium dan kalsium dengan
poly(sialaet-siloxo) akan membentuk (Na-Ca)(Si-O-Al-O-Si-O-) yang merupakan
geopolimer berkekuatan tinggi (Davidovits, 2002).
Menurut De Silva (2008), kondensasi dapat terjadi antara spesies silikat
dan aluminat atau antara spesies silikat sendiri tergantung pada konsentrasi Si dan
Al dalam sistem. Untuk Si/Al = 1, kondensasi secara dominan terjadi antara
spesies silikat dan aluminat, menghasilkan struktur polimer poly(sialate). Bila
Si/Al meningkat (>1), spesies silikat yang terbentuk akan berkondensasi dengan
silikat lainnya untuk membentuk silikat oligomerik. Silikat oligomerik ini
kemudian akan berkondensasi dengan aluminat membentuk jaringan struktur
polimer yang lebih panjang, yakni poly(sialate-siloxo) dan poly(sialate-disiloxo).
Laju kondensasi antar spesies silikat lebih rendah daripada antara spesies silikat
dan aluminat. Jika silikat dan aluminat terlarut cukup banyak maka pelarutan
aluminasilikat akan semakin tinggi sehingga geopolimerisasi akan lebih efektif.
Geopolimerisasi yang lebih efektif akan menghasilkan matrik geopolimer
yang lebih rapat dan kuat sehingga akan memiliki porositas yang rendah.
Porositas merupakan ukuran volume semua pori-pori yang terdapat dalam
material. Ukuran pori mempengaruhi kekuatan geopolimer (Skvara, 2006).
59
Porositas setiap sampel geopolimer yang diukur setelah 28 hari diberikan
dalam Tabel 4.7. Tabel 4.7 menunjukkan bahwa dalam sampel geopolimer, ada
kaitan antara porositas dengan kuat tekan geopolimer. Disini ditunjukkan bahwa
dari setiap komposisi abu layang, peningkatan kuat tekan hampir selalu diikuti
dengan penurunan porositas. Dengan demikian terdapat hubungan berbanding
terbalik antara kuat tekan dan porositas geopolimer. Geopolimer dengan porositas
rendah menghasilkan kuat tekan tinggi, begitu pula sebaliknya (Duxon, et. al,
2005; Lee dan Van Deventer, 2002). Pori terbentuk akibat adanya udara yang
terjebak selama proses pembentukan geopolimer. Pori juga disebabkan oleh
retakan-retakan yang tidak beraturan yang ada di dalam struktur mikro bahan
geopolimer. Porositas dalam geopolimer merupakan ukuran volume semua pori-
pori yang terdapat dalam sampel geopolimer yang pada kondisi jenuh air akan
terisi air.
Selain dipengaruhi faktor-faktor diatas, kuat tekan geopolimer dipengaruhi
oleh bentuk permukaan abu layang. Permukaan abu layang yang kasar hasil
modifikasi dapat meningkatkan interaksi antarmuka diantara abu layang itu
sendiri daripada bentuk abu layang yang halus sebelum dimodifikasi sehingga
geopolimer yang dihasilkan akan memiliki kuat tekan yang lebih tinggi. Dalam
penelitian ini, kuat tekan untuk geopolimer hasil sintesis dari abu layang yang
direfluks dengan larutan NaOH 1 M memiliki kuat tekan yang lebih tinggi
daripada geopolimer yang disintesis dari abu layang murninya. Peningkatan
interaksi antarmuka abu layang akan menghasilkan material yang berstruktur rapat
sehingga kuat tekan yang dihasilkan lebih tinggi dengan porositas yang rendah.
Bila dibandingkan dengan geopolimer yang disintesis dari abu layang sebelum
modifikasi, luas permukaan abu layang yang direfluks dengan larutan NaOH 1 M
lebih kecil daripada luas permukaan abu layang sebelum modifikasi tetapi volume
porinya lebih besar. Partikel berpori akan mempengaruhi kuat tekan yang
dihasilkan geopolimer. Kemungkinan yang terjadi dari peningkatan kuat tekan
geopolimer dari abu layang sesudah modifikasi dengan larutan NaOH 1 M ini
dikarenakan mekanisme pengisian pori dengan fasa kalsium silikat hidrat
(Pacewska, et. al., 2002).
60
Penurunan kuat tekan yang terjadi pada geopolimer yang disintesis dari
abu layang hasil refluks, seiring dengan peningkatan konsentrasi larutan NaOH
setelah 1 M, terjadi karena lambatnya laju pelarutan Si dan Al pada abu layang
karena dihasilkannya produk kristalin abu layang hasil refluks pada larutan NaOH
2 M dan 3 M. Dari analisis luas permukaan dan volume pori, ditunjukkan bahwa
semakin tinggi konsentrasi larutan NaOH semakin kecil luas permukaan dan
volume porinya. Penurunan luas permukaan ini dikarenakan hadirnya kristal
sebagai akibat dari proses hidrotermal pada abu layang dengan larutan basa.
Padatan kristalin dengan struktur lebih kompak mempunyai ikatan yang kuat dan
kestabilan yang lebih tinggi daripada bentuk amorf, sehingga laju pelarutan Si dan
Al sebagai bahan pembentuk aluminasilikat pada geopolimer menjadi lebih
lambat karena pelarutan hanya terjadi pada permukaannya saja (Folliard, et. al.,
2005). Kuat tekan geopolimer berhubungan erat dengan derajat polimerisasi,
sedangkan polimerisasinya sangat dipengaruhi oleh kelarutan Si dan Al pada
sistem geopolimer. Secara umum, semakin tinggi derajat polimerisasi dalam
struktur geopolimer, akan semakin tinggi pula kuat tekannya.
4.3.2 Analisis Morfologi Geopolimer Sebelum dan Sesudah Modifikasi
Scanning Electron Microscopy (SEM) digunakan untuk mengetahui
morfologi geopolimer. Karakterisasi mikrostruktur geopolimer dilakukan terhadap
sampel geopolimer yang disintesis dari abu layang sebelum modifikasi dan abu
layang sesudah modifikasi dengan larutan NaOH 1 M dan 3 M yang diberikan
pada Gambar 4.5.
Dari gambar 4.5a menunjukkan adanya (a) matrik geopolimer, (b) partikel
abu layang dan (c) pori-pori. Matrik geopolimer merupakan fasa terbesar yang
terdapat di dalam sampel geopolimer. Sedangkan butiran abu layang yang terlihat
merupakan sisa abu layang yang tidak bereaksi dan mengisi bagian-bagian
tertentu dan partikel abu layang ini kurang menyatu dengan matrik geopolimer
serta terdapat pori dan retakan-retakan kecil (microcracks). Adanya pori
disebabkan masuknya udara selama preparasi sampel dan bersama retakan-retakan
yang terjadi akan memperlemah kuat tekan geopolimer.
61
ab
c
(a) (b)
(c)
Gambar 4.5 Morfologi Geopolimer dengan Perbesaran 10.000 kali yang Disintesis dari Abu Layang untuk (a) Abu Layang Sebelum Modifikasi, (b) Abu Layang yang Dimodifikasi dengan Larutan NaOH 1 M dan (c) Abu Layang yang Dimodifikasi dengan Larutan NaOH 3 M
Pada Gambar 4.5b. nampak matrik geopolimer yang disintesis dari abu
layang sesudah modifikasi dengan larutan NaOH 1 M lebih banyak dan lebih
rapat, dimana dengan semakin lebih banyak matrik geopolimer dan lebih rapat
maka struktur geoplimer yang terbentuk akan semakin meningkat. Adanya
permukaan abu layang sesudah modifikasi yang lebih kasar daripada abu layang
sebelum modifikasi akan menyebabkan interaksi antar abu layang semakin kuat
dibandingkan dengan abu layang sebelum modifikasi yang bentuk permukaannya
lebih halus sehingga kuat tekan geopolimer yang disintesis dari abu layang
62
sesudah modifikasi ini lebih tinggi daripada geopolimer yang disintesis dari abu
layang sebelum modifikasi.
Berbeda dengan Gambar 4.5b, Gambar 4.5c menunjukkan matrik
geopolimer yang lunak. Geopolimer ini tidak bisa dianalisis kuat tekannya karena
setelah masa simpan 28 hari, geopolimer ini tetap lunak dan retak-retak. Penyebab
utamanya adalah laju pelarutan Si dan Al pada abu layang yang sangat lambat
karena adanya fasa kristalin. Abu layang hasil refluks dengan larutan NaOH 3 M
menghasilkan produk sodalite (Al6Na8(SiO4)6Cl2) seperti yang terlihat pada
difraktogram XRD pada Gambar 4.2, dimana struktur kristal ini lebih kompak dan
ikatannya lebih kuat sehingga tingkat kelarutan silika dan alumina untuk
membentuk aluminasilikat pada geopolimer sangat kecil. Sebagai akibatnya kuat
tekan geopolimer yang dihasilkan juga rendah bahkan tidak bisa dianalisis.
4.3.3 Analisis Struktur Ikatan Kimia Geopolimer Sebelum dan Sesudah Modifikasi
Analisis FTIR digunakan untuk mengetahui ikatan Si-O-Al dan gugus
fungsi lain dalam geopolimer. Analisis FTIR dilakukan terhadap sampel
geopolimer yang disintesis dari abu layang sebelum modifikasi dan geopolimer
yang memiliki kuat tekan tertinggi yaitu geopolimer dari abu layang sesudah
modifikasi dengan larutan NaOH 1 M. Hasil analisis spektrum inframerah sampel
geopolimer memperlihatkan adanya pita serapan yang lebar yang terlihat pada
Gambar 4.6 pada 990-1090 cm-1 dari vibrasi ulur asimetrik ikatan Si-O-Si dan Al-
O-Si. Adanya pita serapan yang lebar pada 990-1090 cm-1 dari vibrasi ulur
asimetrik ikatan Si-O-Si dan Al-O-Si mengindikasikan terbentuknya fasa gel
aluminasilikat amorf dalam geopolimer.
Puncak vibrasi ulur asimetrik Si-O-Si dan Si-O-Al sampel geopolimer yang
disintesis dari abu layang murni terdapat pada bilangan gelombang 1006,773 cm-1
dan geopolimer yang memiliki kuat tekan tertinggi yaitu geopolimer yang
disintesis dari abu layang sesudah modifikasi dengan larutan NaOH 1 M yaitu
pada bilangan gelombang 1018,345 cm-1. Puncak serapan pada bilangan
gelombang yang lebih rendah menunjukkan ikatan dalam tetrahedral lebih lemah
sehingga kuat tekan geopolimer yang dihasilkan akan lebih rendah (van Jaarsveld,
63
2002). Puncak serapan sampel geopolimer yang disintesis dari abu layang sesudah
modifikasi dengan larutan NaOH 1 M pada bilangan gelombang 1018,345 cm -1,
lebih tinggi dibanding sampel geopolimer yang disintesis dari abu layang sebelum
modifikasi sehingga ikatan dalam tetrahedral geopolimer sesudah modifikasi ini
menjadi lebih kuat. Dengan demikian pada sampel geopolimer sesudah modifikasi
kuat tekannya lebih tinggi dari sampel geopolimer sebelum modifikasi.
Gambar 4.6 Spektra FTIR untuk (a) Geopolimer yang Disintesis dari Abu Layang Sebelum Modifikasi dan (b) Geopolimer yang Disintesis dari Abu Layang Sesudah Modifikasi dengan Larutan NaOH 1 M
4.3.4 Analisis Fasa Geopolimer Sebelum dan Sesudah Modifikasi
Analisis difraksi sinar X dilakukan untuk mengetahui keadaan fasa dan
mineral dalam geopolimer. Analisis difraksi sinar X dilakukan terhadap sampel
geopolimer yang disintesis dari abu layang sebelum modifikasi dan geopolimer
yang memiliki kuat tekan tertinggi yaitu geopolimer dari abu layang yang sudah
dimodifikasi dengan larutan NaOH 1 M. Pola difraktrogram kedua geopolimer ini
mengandung mineral utama berupa kristal quartz dan mullite. Tidak semua Si dan
Al pada abu layang larut pada saat tercampur dengan larutan NaOH. Hanya Si
dari SiO2 dan Al dari Al2O3 dalam fasa amorf yang lebih mudah melarut dalam
kondisi basa kuat (Xu, et. al., 2002).
8071007120714071607
Bilangan Gelombang (1/cm)
b
a 1018,35
1006,77
64
Geopolimer yang terbentuk berfasa amorf terlihat pada pola difaksi sinar
X, yaitu adanya gundukan yang lebar (broad hump) pada 2θ antara 25o-35o.
Menurut Panias, et. al., (2007) terjadi pelarutan fase amorf abu layang dan
pembentukan fasa baru gel aluminasilikat yang amorf dalam matrik geopolimer.
Material amorf ini ditunjukkan dengan analisis dari difraktogram
XRD yang menghasilkan karakteristik hump pada daerah sekitar
2θ=25º-35º. Hump yang lebar antara 2θ= 20º-30º pada difraktogram XRD abu
layang, berasal dari fasa amorf, dimana fasa ini bergeser kekanan yaitu dengan
nilai 2θ= 25º-35º dalam difraktogram geopolimer. Perubahan hump ini
menunjukkan pelarutan fasa amorf abu layang dan pembentukan fasa amorf baru
pada material geopolimer.
Gambar 4.7 Difraktogram XRD untuk (a) Geopolimer yang Disintesis Dari Abu Layang Sebelum Modifikasi dan (b) Geopolimer yang disinteis Dari Abu Layang Sesudah Modifikasi Dengan Larutan NaOH 1 M
Secara umum, hasil analisis XRD geopolimer sebelum modifikasi dan
geopolimer sesudah modifikasi tidak mempunyai perbedaan yang signifikan,
tetapi kuat tekan geopolimer sesudah modifikasi lebih tinggi daripada geopolimer
sebelum modifikasi. Perbandingan Si/Al untuk abu layang sesudah modifikasi
10 20 30 40 50 60 70
2 theta
10 10.5 11 11.5 12 12.5 13 13.5 14 14.5 15
2 theta
ba
2 θ
65
dengan larutan NaOH 1 M lebih tinggi daripada abu layang sebelum modifikasi
sehingga kuat tekan yang dihasilkan dari geopolimer yang disintesis dari abu
layang sesudah modifikasi lebih tinggi daripada abu layang sebelum modifikasi.
Puncak pada 2θ=12,4º pada sampel geopolimer sesudah modifikasi
adalah puncak untuk kaolinite (Al2Si2O5(OH)4). Terjadinya produk kristal
kaolinite (Al2Si2O5(OH)4 ini dimungkinkan karena abu layang hasil modifikasi
dengan larutan NaOH untuk sintesis geopolimer mengandung lebih banyak unsur-
unsur yang reaktif yang akan bereaksi dengan larutan alkali dibandingkan abu
layang sebelum modifikasi, sehingga produk-produk yang dihasilkan juga lebih
beragam seperti munculnya kristal kaolinite pada geopolimer sesudah modifikasi.
Produk kristalin kaolinite (Al2Si2O5(OH)4 ini tidak diharapkan karena dapat
menurunkan kuat tekan geopolimer, karena seharusnya silika dan alumina reaktif
yang dihasilkan dari refluks abu layang menghasilkan aluminasilikat amorf bagi
pembuatan geopolimer. Kehadiran kristalin kaolinite (Al2Si2O5(OH)4 jelas
menunjukkan bahwa terhambatnya akses larutan NaOH pada permukaan abu
layang akan menurunkan kelarutan Si dan Al yang berakibat terhadap penurunan
kuat tekan geopolimer yang dihasilkan dari nilai sebenarnya.
66
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Abu layang tipe F yang telah dimodifikasi permukaannya dengan larutan
NaOH 1 M menghasilkan geopolimer dengan kekuatan yang lebih tinggi
dan porositas yang lebih rendah daripada geopolimer dari abu layang tipe
F yang tidak dimodifikasi.
2. Peningkatan konsentrasi NaOH yang lebih tinggi (setelah 1 M)
menghasilkan geopolimer dengan kuat tekan yang lebih rendah dan
porositas yang lebih tinggi.
3. Peningkatan kekuatan geopolimer yang dibuat dari abu layang tipe F
termodifikasi oleh larutan NaOH 1 M disebabkan oleh: i) Perbandingan
Si/Al tertinggi; ii) Kandungan CaO tertinggi; iii) Permukaan partikel abu
layang yang lebih kasar
4. Peningkatan konsentrasi larutan NaOH menyebabkan terbentuknya fasa-
fasa kristalin baru.
5.2 Saran-saran
Kajian kimia yang mendalam perlu terus dikembangkan dalam upaya
untuk memperbaiki sifat-sifat geopolimer yang disintesis dari abu layang tipe F.
Penyelidikan yang sistematis perlu dilakukan dalam memperoleh geopolimer
dengan sifat-sifat yang terbaik seperti penemuan formula yang baku untuk sintesis
geopolimer dan perlakuan pendahuluan untuk abu layang.
67
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
68
DAFTAR PUSTAKA
ACI Committee 363, (1992), “State of the Art Report on High-Strength Concrete”, American Concrete Institute, Detroit, USA.
ACI Committee 318, (2002), “Building Code Requirements for Structural Concrete”, American Concrete Institute, Farmington Hills, MI.
Amrhein, C., Haghnia, G.H., Kim, T.S., Mosher, P.A., Gagajena, R.C., Amanios, T., De La Torre, L., (1996), “Synthesis and properties of zeolites from coal fly ash”, Environment Science Technology, 30, hal. 35-742.
ASTM C618, (1994), “Standard Specification for Fly Ash and Raw or Calcined Natural Pozzolan For Use as Mineral Admixture in Portland Cement Concrete”. American Society for Testing and Materials, Annual Book of ASTM Standards, Volume 04.02, West Conshohocken, Pennsylvania.
Bai, J., B.B. Sabir, S. Wild, J.M. Kinuthia, (2000), “Strength Development in Concrete Incorporating PFA and Metakaolin”, Magazine Concrete Research, 52, hal. 153-62
Bakharev, T., (2005), “Resistance of geopolymer materials to acid attack”, Cement and concrete Research, 35, hal. 658-670.
Brockway, C.E., Moser, K.B., (1963), “Grafting of Poly (methyl Methacrylate) to Granular Corn-Starch”, Journal of Polymer Science, vol. 1.
Brouwers, H.J.H. dan R.J. van Eijk, (2003), “Chemical Reaction of Fly Ash”, International Congress on the Chemistry of Cement (ICCC), Duban, South Africa.
Cheng, T. W., J. P. Chiu, (2003), “Fire-resistant Geopolymer Produced by Granulated Blast Furnace Slag”, Minerals Engineering, 16(3), hal. 205-210.
Chindaprasirt, P., T. Chareerat, V. Sirivivatnanon, (2007), “Workability and Strength of Coarse High Calsium Fly Ash Geopolymer”, Cement and Concrete Composites, 29, hal. 224-229.
Comrie, D.C., dan W.M. Kriven, (2004), Composite Cold Ceramic Geopolymer in a Refractory Application, America
Day, R.L., B.K. Marsh, (1987), “Measurament of Porosity in Blended Cement Paste”, Cement and Concrete Research, 18, hal. 63-73
69
Davidovits, J., (1994), “Gepolymers: Man-made Rock Geosynthesis and The Resulting Development of Very Early High Strength Cement”, Journals of Materials and Education, 16, hal. 91-137.
Davidovits, J., (1999), ”Chemistry of Geopolymeric Systems”, Terminology, Geopolymer 1999 2nd International Conference, Saint-Quentin, France, hal. 9-39.
De Silva, P., K. Sagoe-Crenstil, V. Sirivivatnanon, (2007), “Kinetics of Geopolymerization : Role of Al2O3 and SiO2”, Cement and Concrete Research, 37, hal. 512-518.
Duxson P., J.L. Provis, G.C. Lukey, J.S.J. Van Deventer, (2007), "The Role of Inorganic Polymer Technology in the Development of Green Concrete", Cement and Concrete Research, 37(12), hal. 1590-1597.
Erol. M., Demirler, U., Kucukbayrak, S., Ersoy-Mericboyu, A., Ovecoglu, M.L., (2003), “Characterization Investigations of Glass Ceramics Developed From Seyitomer Thermal Power Plant Fly Ash”, Journal European Ceramic Society, 23, hal. 757-63.
Fan, Y.M., S.H. Yin, Z.Y. Wen, J.Y. Zhong, (1999), “Activation of Fly Ash and its Effects on Cement Properties”, Cemistry Concrete Research, 29, hal. 467-472.
Fernandez-Jimenez, A., Palomo, A., (2000), “Alkali-activated Fly Ashes: Properties and Characteristics”, Proceedings of 11th ICCC 3, hal. 1332-1340.
Fernández-Jiménez, A., Palomo, A., (2003), “Characterisation of fly ashes. Potential reactivity as alkaline cements”,Fuel, 82(18), hal. 2259-2265.
Fernandez-Jimenez, A., Palomo, A., Criado, M., (2004), “Corrosion Resistance in Activated Fly Ash Mortars”, Cement and Concrete Research, 35, hal. 1210-1217.
Fernández-Jiménez, A., Palomo, A., (2005), “Composition and Microstructure of Alkali Activated Fly Ash Binder: Effect of The Activator”, Cement and Concrete Research, 35, hal. 1984-1992.
Folliard, K.J., M.D.A. Thomas, B. Fournier, K.E. Kurtis, dan J.H. Ideker, (2005), Interim Reomendation For the use of Lithium to Migrate or Prevent Alkali-Silica Reaction (ASR), The Transtec Group Inc, Austin.
70
Gartner, E., (2004), “Industrially Interesting Approaches to 'Low-CO2' Cements”, Cement and Concrete Research, 34(9), hal. 1489-1498.
Goni, S., A. Guerrero, M.P. Luxan, A. Macias., (2003), “Activation of The Fly Ash Pozzolanic Reaction by Hydrothermal Conditions”, Chemistry Concrete Research, 33 (9), hal. 1399-1405.
Gourley, J. T., (2003), “Geopolymers; Opportunities for Environmentally Friendly Construction Materials”, Paper presented at the Materials 2003 Conference: Adaptive Materials for a Modern Society, Sydney.
Gourley, J. T., G.B. Johnson, (2005), “Developments in Geopolymer Precast Concrete”, Paper presented at the International Workshop on Geopolymers and Geopolymer Concrete, Perth.
Hardjito, D., S.E. Wallah, D.M.J. Sumajouw, B.V. Rangan, (2004), “Properties of Geopolymer Concrete with Fly Ash as Source Material: Effect of Mixture Composition”, Paper presented at the Seventh CANMET/ACI International Conference on Recent Advances in Concrete Technology, Las Vegas, USA.
Hardjito, D., S.E. Wallah, D.M.J. Sumajouw, B.V. Rangan, (2005), “Fly Ash-Based Geopolymer Concrete”, Australian Journal of Structural Engineering, 6(1), hal. 77-86.
Husin, A.A., (2002), “Pemanfaatan Limbah untuk Bahan Bangunan”, Modul, Puslitbang Pemukiman, Jakarta.
Jansen, J.C., (1991), The preparation of molecular sieves. In: Van Bekkum H, Flanigen EM and Jansen JC (eds.) Introduction to Zeolite Scienceand Practice. Elsevier, Amsterdam.
Jastrzebski, Z.D., (1997), The Nature and Properteis of Engineering Materials, John Wiley & Sons inc., New York.
Jiang, W., Roy, D., (1990), “Hydrothermal Processing of New Fly Ash Cement”, Ceramic Bulletin, 71(4) , hal. 642-647.
Komnitsas, K., D. Zaharaki, (2007), “Geopolimerisation : A Review and Prospects for the Minerals Industry“, Minerals Engineering, 20, hal. 1261-1277.
Kovalchuk, G., Fernandez-Jimenez, A., Palomo, A., (2007), “Alkali-Activated Fly Ash: Effect of Thermal Curing Conditions on Mechanical and Microstructural Development – Part II, Fuel, 86, hal. 315-322.
71
Lee, W.K.W., van Deventer, J.S.J. (2002), “Structural Reorganisation of Class F Fly Ash in Alkaline Silicate Solutions, Colloids and Surface”, a Physicochem, Engineering Aspects 211, hal. 49 – 66.
Lin, C., His, H., (1995), “Resource Recovery of Waste Fly Ash: Synthesis of Zeolite-like Materials”, Environment Scence Technology, 29, hal. 1109-1117.
Lin, R.B., S.M. Shih, C.F. Liu, (2003), “Characteristic and Reactivities of Ca(OH)2/silica fume Sorbents for Low Temperatures Flue Gas Desulfurization”, Chemistry Engineering Science, 58 (16), hal. 3659-3668.
Malhotra, V. M., (1999), “Making Concrete 'Greener' with Fly Ash”, ACI Concrete International 21, hal. 61-66
Malhotra, V.M., (2006), “Reducing CO2 Emissions”, ACI Concrete International 28, hal. 42-45.
McCaffrey, R., (2002), “Climate Change and the Cement Industry”, Global Cement and Lime Magazine (Environmental Special Issue), hal. 15-19.
Mozgawa, W., Sitarz, M., (2002), Journal Molecular Structure, 614, hal. 273-279.
Neegaard, L.J., M.B. Nawaz, (1998), “Dry-pressing Behavior of Silicone-Coated Alumina Powders”, Powder Technology, 98, hal. 104-108.
Neville A.M., (1996), Properties of Concrete, 4th ed., New York, John Wiley & Sons, Inc.
Nicholson, A., R. Fletcher, (2005), ”Building Innovation Trough Geopolymer technology”, Industrial Research, hal. 10-12.
Ojha, K., Pradhan, N.C., Samanta, A.N., (2004), “Zeolite from Fly Ash: Synthesis and Characterization”, Bulletin Material Science, 27, hal. 555–564.
Omotoso, O.E., Ivey, D. G., Mikula, R., (1995), “Characterization of Chromiumdoped Tricalcium Silicate Using SEM, EDS, XRD and FTIR”, Journal Hazard Material, 42, hal. 87-102.
Pacewska, B., Bukowska, M., Wilinska, I., Swat, M., (2002), “Modification of the properties of concrete by a new pozzolan A waste catalyst from the catalytic process in a fluidized bed”, Cement and Concrete Research, 32, hal. 145–152.
72
Palomo, A., M.W. Grutzeck, M.T. Blanco, (1999), “Alkali-activated Fly Ashes Cement for the Future”, Cement And Concrete Research, 29(8), hal. 1323-1329.
Palomo, A., Alonso, S., Fernandez-Jimenez, A., Sobrados, I., Sanz, J., (2004), “Alkaline activation of Fly Ash. A 29 Si NMR study of the Reaction Products”, Journal American Ceramic Society, 87 (6), hal. 1141-1145.
Panias, D., Giannopoulou, I.P., dan Perraki, Th., (2006), Effect of Synthesis Parameters on The Mechanical Properties of Fly Ash-Based Geopolymers, Colloids and Surfaces a Physicochemical and Engineering Aspect, National Technical University of Athens, Yunani.
Phair, J.W., van Deventer, J.S.J., (2002), “Effect of the silicate activator pH on the microstructural characteristic of waste-based geopolymers”, International Journal of Mineral Processing, 66, hal. 121-143.
Rahier, H., B. Van Mele, J.F. Denayer, (2003), Journal Material Science, 38 (14), hal. 3131.
Ríos, C.A., Williams, C.D., Maple, M.J., (2007), “Synthesis of Zeolites and Zeotypes by Hydrothermal Transformation of Kaolinite and Metakaolinite”, Bistua, 5, hal. 15–26.
Rowles, M. R., (2004), The Structural Nature of Aluminosilicate Inorganic Polymers : A Macro to Nanoscale Study, Tesis Ph. D., Curtin University of Technology, Curtin
Saraswathy, V., S. Muralidharan, K. Thangavel, S. Srinivasan, (2003), “Influence of Activated Fly Ash on Corrosion-Resistance and Strength of Concrete”, Cement and Concrete Composites, 25, hal. 673-680.
Sarbak, Z., M. Kramer-wachowiak, (2002), “Porous Structure of Waste Fly Ash and Their Chemical Modification”, Powder Technology, 123, hal. 53-58.
Škvára, F., Tomas J., Lubomir, K., (2005), “Geopolymer Materials Based On Fly Ash”, Ceramics-Silikaty, 49(3), hal. 195-204.
Swanepoel J.C., C.A. Strydom, (2002), “Utilisation of fly ash in a geopolimeric material”, Application Geochemistry, 17, hal. 1143-1148.
Sutarno, Yateman A, Arief B, (2004), “Sintesis faujasite Dari Abu Layang: Pengaruh Refluks dan Penggerusan Abu Layang Batubara Terhadap Kristalinitas Faujasite, Jurnal matematika dan Sains, 9 (3), hal. 285-290.
Taylor, W. H., (1977), Concrete Technology and Practice, 4th, McGraw-Hill Book Company, Sidney
73
Van Deventer , J.S.J., J.L. Provis, P. Duxon, G.C. Luckey, (2006), “Reaction Mechanism in Geopolymeric Conversion of Inorganic Waste to Useful Products”, Journal of Hazardous Materials, Article in Press.
Van Jaarsveld, J.G.S., Van Deventer, J.S.J., & Lukey, G.C., (2003), “The Characterisation of Source Materials in Fly Ash-Based Geopolymers”, Materials Letters, 57(7), hal. 1272-1280.
Van Jaarsveld, J.G.S., J.S.J. Van Deventer, L. Lorenzen, (1997), “The Potential Use of Geopolymeric Materials to Immobilise Toxic Metals: Part I. Theory and Applications”, Minerals Engineering, 10(7), hal. 659-669.
Van Jaarsveld, J.G.S, J.S.J Van Deventer, G.C.Luckey, (2002), “The Effect of Composition and Temperature on The Properties of Fly Ash and Koalinite Based Geopolymers”, Chemical Engineering Journal, 89, hal. 63-73.
Van Jaarsveld, J.G.S, J.S.J Van Deventer, G.C. Luckey, (2003), “The Characterisation of Source Materials in Fly Ash Based Geopolymer”. Material Letters, 57, hal. 272-1280.
White, S.C., E.D. Case, (1990), “Characterization of Fly Ash From Coal-Fired Power Plants”, Journal Material Science, 25, hal. 5215-5219.
Whiston, C., F.E. Prichard, (1987), “X-ray Method, Analitycal Chemistry by Open Learning”, John Wiley and Sons Inc., New York.
Woolard C.D.,J. Strong, C.R Erasmus, (2002), “Evaluation of The Use of Modified Coal Ash as a Potential Sorbent for Organic Waste Streams”, Applied Geochemistry, 17, hal. 1159-1164.
Wu D, S. Yanming, C. Xuechu, H. Shengbing, W. Xinze, K. Hainan, (2008), “Changes of Mineralogical-Chemical Composition, Cation Exchange Capacity, and Phosphate Immobilization Capacity During the Hydrothermal Conversion Process of Coal Fly Ash Into Zeolite”, Fuel, 87, hal. 2194-2200.
Xu, H., J.S.J. Van Deventer, (2002), “Geopolymerisation of Multiple Minerals”, Mineral Engineering, 15, hal. 1131 – 1139.
Yan, S., A.L. Cai, F.X. Yu, C.H. Jiang, (2003), “Dissolving Mechanism of High Sulfate Fly Ash in Water”, Journal Nanjing University Technology, 25 (3), hal. 17-22.
Yolanda, D., Suseno, A. dan Anwar, C., (2000), “Preparasi, Karakterisasi dan Uji Aktivitas Katalis Ni-Mo/-Al2O3”, Jurnal Sains dan Matematika (JSM) Seri B: Jurnal Nasional Kimia Fisik, 2, No. 1, hal. 6.
74
- ditambah larutan alkalin - diaduk hingga homogen
- dituang bertahap pada cetakan- divibrasi - didiamkan - dilepaskan dari cetakan- diletakkan dalam loyang dan ditutup plastik- dipanaskan dalam oven pada suhu
60 oC selama 24 jam- dikeluarkan dari oven - disimpan
- diambil 4 gram- dilarutkan dalam 8 gram aquades - didiamkan selama minimal 1 hari - ditambah Na-silikat 10 gram
- diukur kuat tekan (setelah masa simpan 28 hari)
- dikeringkan dalam oven 1050C- dianalisis dengan
XRF dan XRD
Yu-Fen, Y., G. Guo-Sheng, C. Zhen-Fang, C. Qing-Ru, (2006), “Surface Modification of Purified Fly Ash and Application in Polymer”, Journal of Hazardous Materials, B133, hal. 276-282.
Zhao, H., Deng, Y., Harsh, J.B., Flury, M., Boyle, J.S., (2004), “Alteration of Kaolinite to Cancrinite and Sodalite by Simulated Hanford Tank Waste and Its Impact on Cesium Retention”, Clays Clay Mineralogy, 52, hal. 1–13.
LAMPIRAN A: SKEMA KERJA
1. Uji Pendahuluan
Abu layang NaOH
Geopolimer
Pasta
Hasil
75
2. Modifikasi Abu Layang dengan NaOH
250 mL Larutan NaOH
62,5 g abu layang tipe F
Campuran
- Direfluks pada suhu (85-90)oC selama 5 jam dengan variasi konsentrasi NaOH 0; 1; 2; 3 M
Campuran hasil refluks
- Disaring
Abu Layang termodifikasi NaOH
- Dikeringkan pada suhu 105oC selama 12 jam
- Digerus dan diayak 100 mesh- Dianalisis dengan XRF, XRD dan
BET
HASIL
- Dibuat geopolimer
76
3. Pembuatan Geopolimer
Pasta kering
- Dituangkan pada cetakan- Cetakan divibrasi- Dipanaskan dalam oven pada suhu
60°C selama 24 jam
Sampel geopolimer
- Disimpan 7, 14, 21, 28 hari pada suhu kamar
Data
- Diuji kuat tekan dan porositasnya
Pasta Homogen
Abu layang Asam-asam
-Direfluks dengan variasi konsentrasi NaOH 0; 1; 2; 3 M
Na2SiO3 + NaOH + H2O
Campuran abu layang dan larutan alkalin
- Diaduk dengan mixer selama 2 menit
77
4. Komposisi Bahan untuk Sintesis Geopolimer
Komposisi Sebelum
Modifikasi
Sesudah Modifikasi
0 M 1 M 2 M 3 M
Abu Layang 40,59 gram 40,59 gram 40,59 gram 40,59 gram 40,59 gram
Na2SiO3 10 gram 10 gram 10 gram 10 gram 10 gram
NaOH 4 gram 4 gram 4 gram 4 gram 4 gram
H2O 8 mL 8 mL 12,5 mL 17,5 mL 20 mL
Waktu 1 menit 1 menit 1 menit 1 menit 1 menit
78
LAMPIRAN B: Data Hasil Pengujian
1. Tabel Hasil Uji Kuat Tekan Sampel Geopolimer untuk Uji Pendahuluan
Komposisi bahan untuk sintesis geopolimer
Solid/liquidBerat abu layang (g)
Berat Na silikat (g)
Berat NaOH (g)
Berat H2O (g)
Rasio mol SiO2/Al2O3
bahan awal1,24 27,28 10 4 8 4,111,36 30,00 10 4 8 4,051,60 35,26 10 4 8 3,981,72 37,93 10 4 8 3,951,85 40,70 10 4 8 3,92
Data Kuat Tekan Pada Penelitian Pendahuluan
Solid/Liquid Hasil Pengukuran (Kg.f)
Pengukuran rata-rata (Kg.f)
Kuat Tekan (MPa)
(S/L) 1 2 31,24 590 700 720 670 10,141,36 1430 1470 1900 1600 24,211,60 1000 1010 1200 1070 16,191,72 1760 1820 1700 1760 26,641,85 2500 2240 2670 2500 37,83
79
0
5
10
15
20
25
30
35
40
1 1.2 1.4 1.6 1.8 2
Komposisi S/L
Ku
at T
ekan
(M
Pa)
Grafik Kuat Tekan Geopolimer terhadap Komposisi S/L
2. Tabel Hasil Uji Kuat Tekan Sampel Geopolimer Sebelum dan Sesudah Modifikasi
NO Sampel
Konsentrasi Larutan NaOH
Hari Ke
Hasil Pengujian(kgf)
KUAT TEKAN
Rata-Rata( MPa)
1 2 3
1
Sebelum Modifikasi
7 480 420 430 25,082 14 450 490 500 27,183 21 500 600 610 32,274 28 600 620 650 35,295
Sesudah Modifikasi
0 M 7 440 440 480 25,676 0 M 14 460 480 510 27,377 0 M 21 540 580 600 32,448 0 M 28 600 610 630 34,739 1 M 7 435 450 480 25,7610 1 M 14 475 500 510 28,0511 1 M 21 565 570 600 32,7412 1 M 28 620 640 665 36,3313 2 M 7 150 150 170 8,8714 2 M 14 170 180 200 10,3815 2 M 21 170 200 210 10,9513 2 M 28 180 210 210 11,3214 3 M 7 0 0 0 015 3 M 14 0 0 0 0
80
13 3 M 21 0 0 0 014 3 M 28 0 0 0 0
Kuat tekan Geopolimer dihitung dengan persamaan:
Contoh :
Dari hasil uji tekan didapat data geopolimer pecah saat diberi beban 623,33 kg
Luas alas sampel (lingkaran) dengan
r = 0,15 cm adalah Л r2
= 3,14 x (0,75.10-2 m)2
= 1,76625 x 10-4 m2
Kuat Tekan = (623,33 kg x 10 m s-2) / 1,76625 x 10-4 = 35,291 Mpa
3. Tabel Hasil Porositas Sampel Geopolimer
Konsentrasi Larutan NaOH
Massa (g)Porositas
(%)
PorositasRata-rata
(%)Jenuh (W)
Kering (D)
Sebelum Modifikasi0,32 0,25 21,88
21,800,56 0,44 21,431,47 1,15 22,09
Sesudah Modifikasi
0 4,18 3,28 21,6022,100 2,95 2,28 22,80
0 4,39 3,43 21,901 5,44 4,29 21,20
21,501 4,71 3,65 22,501 5,49 4,35 20,802 7,33 4,51 38,50
39,402 5,15 3,11 39,602 7,31 4,38 40,10
Porositas Geopolimer dihitung dengan persamaan:
P =
P = porositas tampak (%)
D = berat padatan kering (g)
W = berat padatan yang telah jenuh air (g)
81
Contoh :
Berat padatan kering = 0,25 gram
Berat padatan yang telah jenuh air = 0,32 gram
P =
= 21,88 %
4. Tabel Hasil Kuat Tekan dan Porositas Sampel Geopolimer
Molaritas Larutan NaOH
Kuat Tekan (Mpa) Porositas (%)
Sebelum Modifikasi 35,291 21,80
0 34,725 22,10
1 36,329 21,50
2 11,323 39,40
3 ≈0 ≈100
82
Grafik Kuat Tekan dan Porositas Geopolimer terhadap Molaritas Larutan NaOH
LAMPIRAN C: Dokumentasi
1. Pelet Geopolimer
2. Seperangkat Alat Refluks
83
BIOGRAFI PENULIS
Penulis bernama Khosna Irani lahir di Malang, tanggal 11 Juni 1983 sebagai putri ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Sudianto dan Mariani dan telah menikah dengan Nurul Fahron, ST pada tahun 2009. Penulis telah menempuh pendidikan formal yaitu di SD Negeri Sumbersari II Malang, SMP Negeri 1 Malang, dan SMU Negeri 8 Malang. Pada tahun 2002, penulis diterima sebagai mahasiswa di Jurusan Kimia FMIPA Universitas Brawijaya dan lulus tahun 2006. Di Jurusan Kimia Universitas Brawijaya ini, penulis mengambil
Skripsi di bidang Kimia Analitik dengan Judul “Penentuan Sianida Dalam Ketela Pohon dengan Metode Pervaporator-Flow Injection (PV-FI)” di bawah bimbingan Ibu Hermin Sulistyarti, Ph.D. Tahun 2007, penulis melanjutkan studi pada Program Pascasarjana Magister Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya berkat Beasiswa Unggulan dari Departemen Pendidikan Nasional. Di Jurusan Pascasarjana Kimia ITS ini, penulis mengambil Tesis di bidang Kimia Fisik dengan Judul “Modifikasi Permukaan Abu Layang Menggunakan NaOH dan Aplikasinya untuk Geopolimer: Sifat Fisik dan Mekanik” di bawah bimbingan Bapak Lukman Atmaja, Ph.D dan Bapak Hamzah Fansuri, Ph.D.
.
84
85