-
1
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
YANG TELAH BERKEKUATAN HUKUM TETAP ATAS OBJEK SENGKETA
YANG SAMA DENGAN PUTUSAN YANG BERBEDA
(Studi Kasus Perkara No. 145/Pdt.G/1998/PN. Smg&Perkara No.
14/Pdt.G/2005/PN. Smg)
TESIS
Disusun
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Derajat S2
Program Studi Magister Kenotariatan
Oleh:
Erna Sulistiawati
B4B 007 074
PEMBIMBING :
MULYADI, SH., MS.
YUNANTO, SH., M.Hum.
PROGRAM PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
-
2
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
YANG TELAH BERKEKUATAN HUKUM TETAP ATAS OBJEK SENGKETA
YANG SAMA DENGAN PUTUSAN YANG BERBEDA
(Studi Kasus Perkara No. 145/Pdt.G/1998/PN. Smg&Perkara No.
14/Pdt.G/2005/PN. Smg)
Disusun Oleh ;
Erna Sulistiawati
B4B O07 074
Disusun
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Derajat S2
Program Studi Magister Kenotariatan
PEMBIMBING :
MULYADI, SH., MS. YUNANTO, SH., M.Hum.
NIP : 130 529 429 NIP : 131 689 627
-
3
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
YANG TELAH BERKEKUATAN HUKUM TETAP ATAS OBJEK SENGKETA
YANG SAMA DENGAN PUTUSAN YANG BERBEDA (Studi Kasus Perkara No.
145/Pdt.G/1998/PN. Smg&Perkara No. 14/Pdt.G/2005/PN. Smg)
TESIS
Disusun
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Derajat S2
Program Studi Magister Kenotariatan
Oleh:
ERNA SULISTIAWATI
B4B 007 074
PEMBIMBING :
1. Mulyadi, SH., MS. 2. Yunanto, SH., M.Hum
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2009
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
Erna Sulistiawati 2009
-
4
YANG TELAH BERKEKUATAN HUKUM TETAP ATAS OBJEK SENGKETA
YANG SAMA DENGAN PUTUSAN YANG BERBEDA
(Studi Kasus Perkara No. 145/Pdt.G/1998/PN. Smg&Perkara No.
14/Pdt.G/2005/PN. Smg)
Disusun Oleh:
ERNA SULISTIAWATI
B4B 007 074
Dipertahankan di depan Dewan Penguji
Pada tanggal 16 Juni 2009
Tesis ini telah diterima
Sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar
Magister Kenotariatan
Mengetahui, Ketua Program Studi Magister Kenotariatan
Universitas Diponegoro
H. KASHADI, SH.,M.H.
NIP. 131 124 438
Pembimbing I
MULYADI, SH.,MS. NIP. 130 529 429
Pembimbing II
YUNANTO, SH.,M.Hum. NIP. 131 689 627
-
5
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini nama : Erna Sulistiawati,
dengan ini
menyatakan hal-hal sebagai berikut :
1. Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri dan didalam tesis
ini tidak terdapat karya
orang lain yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar di
Perguruan Tinggi atau
lembaga pendidikan manapun, pengambilan karya orang lain dalam
tesis ini
dilakukan dengan menyebutkan sumbernya sebagaimana tercantum
dalam daftar
pustaka.
2. Tidak berkeberatan untuk dipublikasikan oleh Universitas
Diponegoro dengan
sarana apapun, baik seluruhnya atau sebagian untuk kepentingan
akademik atau
ilmiah yang non komersial sifatnya.
Semarang, Juni 2009
Yang Menyatakan
Erna Sulistiswati
B4B 007 074
-
6
HALAMAN PERSEMBAHAN
Maha Suci (Indah) Engkau, kami tidak memiliki
pengetahuan selain apa yang telah engkau ajarkan kepada
kami,
sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengtahui lagi Maha
Bijaksana
(Q. S. 2 : 32)
Ku persembahkan Tesis ini untuk:
Papah(Alm) Heri Diana Salwin.
Mama h Sutji Nursasih
Kakak&Keponakannu:
Fajar Haryanto&Lakmi Devi N
(Ransi & Ocha)
Tino Budiman&Erlin Suzanna.
Muhamad Tahfif.
-
7
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas curahan kasih
sayang dan
cinta kepada penulis. Shalawat serta salam senantiasa kita
junjungkan kepada Nabi
Besar Muhammad SAW yang kita nantikan syafaatnya dihari kiamat
nanti. Karena atas
rahmat, berkah, hidayah dan kehendak-Nya kepada penulis sehingga
penulis dapat
menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul TINJAUAN YURIDIS
TERHADAP
EKSEKUSI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
YANG TELAH BERKEKUATAN HUKUM TETAP ATAS OBJEK SENGKETA
YANG SAMA DENGAN PUTUSAN YANG BERBEDA (Studi Kasus Perkara
No.
145/Pdt.G/1998/PN. Smg&Perkara No. 14/Pdt.G/2005/PN.
Smg).
Dengan segala kerendahan hati dan ucapan yang setulusnya dari
dasar hati, penulis
mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada:
1. Prof. Dr. dr. Susilo Wibowo, Ms. Med. SP, And, selaku Rektor
Universitas
Diponegoro Semarang.
2. Bapak Kashadi, SH, M.H, selaku Ketua Program Studi Magister
Kenotariatan
Universitas Diponegoro.
3. Bapak Dr. Budi Santoso, SH, M.S. selaku Sekretaris I Program
Studi Magister
Kenotariatan Universitas Diponegoro.
4. Bapak Dr. Suteki, SH, M.Hum. selaku Sekretaris II Program
Studi Magister
Kenotariatan Universitas Diponegoro.
5. Bapak Mulyadi, SH, MS. dan Bapak Yunanto, SH, M.Hum, selaku
Dosen
Pembimbing yang telah meluangkan waktu guna memberikan
bimbingan,
saran, petunjuk, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
ini.
-
8
6. Para dosen Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro,
terimakasih atas
ilmu yang diberikan.
7. Para staf pengajaran Magister Kenotariatan Universitas
Diponegoro.
8. Bapak Amiryat, SH, selaku Ketua Pengadilan Negeri Semarang,
yang telah
memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk melakukan
riset..
9. Bapak Agus Nurudin, SH., CN., MH., Azi Widianingrum, SH.,
Hendri
Wijanarko, SH., Zabidi, SH., Ali Zamroni., SH, selaku Advokat
beserta staff
pada Kantor Konsultan Agus Nurudin&Associates Semarang.
10. Orang tuaku tercinta, (Alm) Bp. Heri Diana Salwin dan
keluarga terima kasih
atas segala doa, kesabaran, perhatian dan kasih sayang yang
tulus.
11. Teman-teman Magister Kenotariatan Undip angkatan 2007,
khususnya Ika,
Ayu, Fitri, Susi, Mbak Siska, Tyas, Mbak Ratih, dan Mbak Ira
terimakasih atas
support-nya.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan
tesis ini, karena keterbatasan penulis. Untuk itu segala kritik
dan saran yang bersifat
membangun diterima dengan lapang dada.
Semarang, Juni 2009
Penulis
-
9
ABSTRAK
Latar belakang penelitian ini adalah adanya 2 (dua) putusan
Mahkamah Agung
Republik Indonesia yang sama sama telah berkekuatan hukum tetap
atas objek sengketa yang sama dengan putusan yang berbeda. Dengan
adanya dua putusan ini, membuat rasa keadilan para pencari keadilan
menjadi terganggu karena upaya utuk memperoleh keadilan menjadi
terbengkalai.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pelaksanaan
putusan atau eksekusi terhadap 2 (dua) putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia yang telah berkekuatan hukum tetap atas objek
sengketa yang sama telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia dan untuk mengetahui solusi yang tepat
guna menjamin kepastian hukum bagi para pencari keadilan terhadap
pelaksanaan putusan atau eksekusi terhadap 2 (dua) putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia yang telah berkekuatan hukum tetap atas
objek sengketa yang sama melalui Lembaga Peradilan. Metode
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan hukum normatif dengan
spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Jenis data yang
digunakan adalah data sekunder. Teknik mengumpulkan data yang
dipergunakna adalah melelui studi dokumen atau bahan pustaka dan
studi lapangan atau wawancara. Analisa data menggunakan analisis
data kualitatif. Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil ;
Pertama, bahwa terhadap 2 (dua) putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia yang telah berkekuatan hukum tetap atas objek sengketa
yang sama telah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kedua, bahwa
solusi yang tepat untuk menjamin kepastian hukum bagi para pencari
keadilan melaui Lembaga Peradilan adalah dengan permohonan
Peninjauan Kembali Implikasi penulisan hukum ini adalah dapat
memberikan manfaat bagi para pencari keadilan yang menganggap
pengadilan sebagai lembaga terakhir untuk mendapatkan keadilan, dan
menggunakan upaya-upaya hukum yang disediakan oleh hukum demi
tercapainya keadilan. Kata kunci : sengketa, berkekuatan hukum
tetap, peninjaun Kembali
-
10
ABSTRACT
This research based on 2 (two) different Indonesian Supreme
Courts verdicts with permanent legal authority on the same object
of legal action accordance with the legal law. Which is can
interrupted our sense of justiece, because the justice aim can not
be realized
The research was aimed to find out the executions of the 2 (two)
different Indonesian Supreme Courts verdicts with permanent legal
authority on the same object of quarrel accordance with the legal
law and to find out the solution from the obstruction which could
interfere the executions of the verdicts and also the means to
overcome it.
The approach used in this research was normative law approach,
with analytic descriptive research specification. The data used
were the secondary data. Technique of collecting data in this
research was by studying document or literary material and field
study or interview. The data analysis was using qualitative data
analysis.
Based on this research, there were some results gained: First,
the two different Indonesian Supreme Courts verdicts with permanent
legal authority on the same object of quarrel could not be executed
yet, because the law still provides special law efforts in the form
of Re-Observation and it was accordance with the legal law. Second,
the appropriate effort to solve the obstruction in execution of the
verdicts was by proposing for Re-Observation by one of the sides
quarrel.
Implication of this juristic writing was expected to give
benefits for the justice enforcers who consider the court as the
final institution for achieving justices and use jurisdictional
efforts provided by law to gain justices.
Key words: legal action, permanent legal authority, Request
Civiel
-
11
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................i
HALAMAN PENGESAHAN.............ii
PERNYATAAN.................... ........iii
HALAMAN PERSEMBAHAN................... ............
..................iv
KATA PENGANTAR................ ......v
ABSTRAK..............................................vii
ABSTRACT...............................
.......................viii
DAFTAR BAGAN
....................................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN
..............................................................................................
x
DAFTAR ISI............................. ......... x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
.................................................................................................
1
B. Perumusan Masalah
.........................................................................................
7
C. Tujuan
penelitian..............................................................................................
8
D. Kerangka Pemikiran/ Kerangka Teroritik
....................................................... 9
E. Metode Penelitian
..........................................................................................
12
F. Sistematika
Penulisan.....................................................................................
16
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
A. Tijauan Umum Tentang Putusan Hakim
......................................................... 18
1. Pengertian Putusan Hakim
..........................................................................
18
2. Kekuatan
Putusan.........................................................................................
19
-
12
3. Asas-asas
Putusan.........................................................................................
24
4. Macam-macam
Putusan................................................................................
27
5. Upaya Hukum Terhadap
Putusan.................................................................
32
B. Tinjauan Umum Tentang
Eksekusi...................................................................
35
1. Pengertian
Eksekusi......................................................................................
35
2. Sumber Aturan
Eksekusi..............................................................................
38
3. Istilah-istilah tentang
Eksekusi.....................................................................
39
4. Asas Umum
Eksekusi..................................................................................
41
5. Jenis-jenis
Eksekusi......................................................................................
45
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Putusan atau Eksekusi, terhadap 2 (dua) putusan
Mahkamah Agung
Rebuplik Indonesia yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap atas Objek
Sengketa
yang sama, telah sesuai dengan peraturan perundang-undang yang
berlaku di
Indonesia
........................................................................................
49
B. Solusi yang tepat untuk menjamin kepastian hukum bagi para
pencari keadilan
melalui Lembaga Peradilan adalah Peninjauan Kembali
................................. 73
a). Ruang Lingkup keberadaan Peninjauan Kembali dalam Sistem
Hukum
Indonesia.............................................................................................
75
b). Pengaturan tentang Peninjauan
Kembali............................................ 76
c). Prinsip Umum Peninjauan Kembali
.................................................. 79
d). Alasan Peninjauan Kembali
..............................................................
84
e). Tenggang Waktu Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali
....... 88
f). Tata cara Permohonan dan Pengiriman Berkas
Perkara.................... 92
-
13
g). Pemeriksaan Perkara Peninjauan
Kembali......................................... 97
h). Putusan Perkara Peninjauan
Kembali................................................. 99
BAB IV : PENUTUP
A.
Simpulan......................................................................................................104
B.
Saran...........................................................................................................
104
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
-
14
DAFTAR BAGAN
Kerangka Pemikiran
.................................................................................................
9
-
15
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat Penetapan Dosen Pembimbing
Lampiran 2 : Surat Keterangan Penelitian dari Pengadilan Negeri
Semarang
Lampiran 3 : Surat Keterangan Penelitian dari Kantor konsultan
Hukum Agus
Nurudin&Associates
Lampiran 4 : Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1199
K/Pdt./2000
jo putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang No.
95/Pdt/1999/PT. Smg jo putusan Pengadilan Negeri Semarang No.
145/
PDT.G/1998/PN. Smg
Lampiran 5 : Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 812
K/ Pid/ 2002 jo
putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang No.
30/Pid/B/2001/PT. Smg jo putusan Pengadilan Negeri
No.494/Pid/B/2000/PN.Smg
Lampiran 6 : Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2288
K/Pdt/2006 jo
No. 77/Pdt/2006/PT. Smg jo putusan Pengadilan Negeri Semarang
No.
145/ PDT.G/1998/PN. Smg
Lampiran 7 : Surat Fatwa Mahkamah Agung Republik Indonesia
-
16
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA
YANG TELAH BERKEKUATAN HUKUM TETAP ATAS OBJEK SENGKETA YANG SAMA
DENGAN PUTUSAN YANG BERBEDA
(Studi Kasus Perkara No. 145/Pdt.G/1998/PN. Smg&Perkara No.
14/Pdt.G/2005/PN. Smg)
Disusun Oleh:
ERNA SULISTIAWATI
B4B 007 074
Dipertahankan di depan Dewan Penguji
Pada tanggal 16 Juni 2009
Tesis ini telah diterima Sebagai persyaratan untuk memperoleh
gelar
Magister Kenotariatan
Mengetahui, Ketua Program Magister
Kenotariatan UNDIP
H. KASHADI, SH.,M.H. NIP. 131 124 438
Pembimbing I
MULYADI, SH.,MS.
NIP. 130 529 429
Pembimbing II
YUNANTO, SH.,M.Hum.
NIP. 131 689 627
-
17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dalam interaksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan
bernegara, sering menimbulkan konflik antara yang satu dengan
lainnya. Konflik ini
ada kalanya dapat diselesai kan dengan damai, ada kalanya juga
menimbulkan
ketegangan yang terus menerus sehingga menimbulkan sengketa pada
kedua belah
pihak.
Apabila para pihak merasa hak-haknya terganggu dan menimbulkan
kerugian,
maka orang yang merasa haknya dirugikan dapat mengajukan gugatan
melalui jalur
hukum sesuai dengan prosedur yang berlaku. Secara umum, tujuan
dari hukum adalah
mencari keadilan, menciptakan kesejahteraan umum, memberikan
perlindungan
terhadap individu, dan memelihara solidaritas masyaratkat.
Mengajukan gugatan menjadi suatu upaya atau tindakan untuk
menuntut hak
atau memaksa pihak lain untuk melaksanakan tugas atau
kewajibannya, guna
memulihkan kerugian yang diderita oleh Penggugat melalui putusan
pengadilan serta
bertujuan memberikan perlindungan yang diberikan oleh pengadilan
untuk mencegah
perbuatan main hakim sendiri
Dengan demikian dapat diketahui bahwa gugatan merupakan
permohonan yang
disampaikan kepada pengadilan yang berwenang tentang suatu
tuntutan terhadap pihak
lain agar diperiksa sesuai dengan prinsip keadilan terhadap
gugatan tersebut.
Dalam hal gugatan kepada pengadilan selau ada pihak Penggugat
atau para
penggugat, Tergugat atau turut Tergugat atau para turut
Tergugat. Cara penyeleseian
-
18
sengketa melaui pengadilan tersebut diatur dalam Hukum Acara
Perdata (Burgerlijk
Procesrecht, Civil Law of Procedur).
Ketentuan Hukum acara perdata pada dasarnya tidak membebani hak
dan
kewajiban, tetapi melaksanakan dan mempertahankan atau
menegakkan kaidah hukum
materiil perdata yang ada atau melindungi hak perseorangan.
Dengan kata lain, hukum
acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana
caranya menjamin
pelaksanaan hukum perdata materiil.
Sedangkan hukum materiil sebagaimana terjemahan dalam
undang-undang atau
yang bersifat tidak tertulis, menjadi pedoman bagi warga
masyarakat tentang
bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam
masyarakat. Tidak
sekedar sebagai pedoman untuk dibaca, dilihat atau diketahui
saja, melainkan untuk
dilaksanakan atau ditaati.
Diharapkan dengan adanya hukum acara perdata, para pihak yang
bersengketa
dapat memulihkan hak-haknya yang telah dirugikan oleh pihak lain
melalui Pengadilan
dan tidak main hakim sendiri.
Sehubungan dengan tahap pelaksanaan putusan tersebut, dalam
setiap putusan
yang hendak dijatuhkan oleh hakim dalam mengakhiri dan
menyelesaikan suatu
perkara, perlu memperhatikan tiga hal yang sangat esensial yaitu
unsur keadilan, unsur
kemanfaatan dan unsur kepastian hukum.
Apabila hakim telah memeriksa suatu perkara yang diajukan
kepadanya, maka
ia harus menyusun putusan dengan baik dan benar. Pada tahap
pelaksanaan dari pada
putusan ini, maka akan diperoleh suatu putusan yang in kracht
van gewijsde
(berkekuatan hukum tetap).
-
19
Terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap tersebut dapat
dilanjutkan pada
tahap eksekusi bilamana pihak yang kalah tidak mau memenuhi isi
putusan dengan
sukarela. Eksekusi atau pelaksanaan putusan ini dapat dijalankan
apabila sudah ada
permohonan eksekusi dari pihak yang menang dalam putusan. Pada
dasarnya putusan
hakim yang dapat dimohonkan eksekusi adalah putusan bersifat
condemtoir, atau
penghukuman.
Eksekusi pada hakikatnya merupakan suatu upaya hukum untuk
merealisasi
kewajiban pihak yang kalah dalam suatu perkara untuk memenuhi
prestasi yang
tercantum dalam putusan pengadilan.
Namun, ada kalanya pelaksanaan eksekusi tidak dapat berjalan
dengan lancar.
Banyak hambatan yang merintangi, baik yang berupa perlawanan
fisik, psikis dari
pihak yang kalah yang sampai pada tidak terpenuhinya perintah
pemberian jaminan,
yang ditetapkan hakim pada putusan uitvoerbaar bij voorraad
(putusan yang dapat
dijalankan terlebih dahulu). Sehingga dapat menimbulkan sengketa
dan gugatan dari
pihak lain.
Dua perkara perdata yang menjadi objek penelitian dalam tulisan
ini adalah
persoalan yang timbul setelah adanya Putusan atas Perkara No.
145/ Pdt.G/ 1998/
PN.Smg dan Putusan atas Perkara No. 14/ Pdt.G/ 2005/ PN.Smg.
Secara singkat, dapat
diuraikan sebagai berikut : Pada tahun 1998, Ny. Mayana
Anggarany Trihatma
Prihatny atau selanjutnya disebut Penggugat, mengajukan gugatan
melaui PN
Semarang, melawan Ny. Aroemi Soemartono atau selanjutnya disebut
Tergugat.
Dengan objek sengketa berupa sebidang tanah HM No. 300, yang
terletak di kelurahan
gajah mungkur, kecamatan gajah mungkur, kota Semarang, Provinsi
Jawa Tengah,
-
20
berikut bangunan/rumah dan segala sesuatu yang berdiri
diatasnya, setempat dikenal
dengan Jl. Rauna No. 14 (atas) Semarang.
Kemudian, gugatan tersebut dimenangkan oleh Penggugat, dengan
putusan
bahwa :
Tergugat telah menempati secara tidak sah dan melawan hukum atas
objek
sengketa,
Tergugat harus menyerahkan secara kosong tanah dan
bangunan/rumah, berikut
segala sesuatu yang berdiri dan tertanam di atasnya, dalam waktu
8 hari setelah
keputusan diucapkan,
Menyatakan bahwa putusan dalam perkara ini dapat dijalankan
terlebih dahulu
(uit voorbarr bij Voorraad), meskipun masih dimungkinkan adanya
Banding,
Kasasi ataupun upaya hukum lainnya,
Dalam hal ini, putusan belum berkekuatan hukum tetap, karena
Tergugat
mengajukan upaya hukum Banding.
Kemudian, pada tahun 1999, Tergugat Ny. Aroemi Soemartono,
mengajukan
upaya hukum Banding, dengan perkara No. 95/ Pdt/ 1999/ PT.Smg.
Sehingga semula
Tergugat konvensi/ Penggugat rekonvensi menjadi Pembanding.
Sedangkan Ny.
Mayana Anggarany Trihatma Prihatny, semula Penggugat konvensi/
Tergugat
rekonvensi menjadi Terbanding.
Putusan yang diperoleh dari upaya hukum ini, adalah menguatkan
putusan
Pengadilan Negeri Semarang No. 145/ Pdt.G/ 1998/ PN. Smg.
Putusan ini, juga belum
berkekuatan hukum tetap karena Terbanding atau Ny. Mayana
Anggarany Trihatma
Prihatny mengajukan upaya hukum Kasasi.
-
21
Pada saat perjalanan upaya hukum ini, Ny. Aroemi Soemartono
meninggal dunia
sehingga digantikan oleh para ahli warisnya sebagai Pemohon
Kasasi, dahulu disebut
Tergugat/Pembanding, melawan Ny. Mayana Anggarany Trihatma
Prihatny sebagai
Termohon Kasasi, dahulu Pengugat/Terbanding dalam Perkara No.
1199K/ Pdt/ 2000.
Putusan yang diperoleh dari upaya hukum ini adalah, Menolak
permohonan
kasasi, Pemohon kasasi. Dengan demikian, Putusan ini telah
berkekuatan hukum tetap
sehingga dapat dilakukan eksekusi.
Namun, dalam perjalanan waktu. Suami dari Ny. Mayana Anggarany
Trihatma
Prihatny, yaitu Tuan Slamet Hartono bersama salah satu temannya,
dilaporkan dalam
perkara Pidana No. 494/ Pid. B/ 2000/ PN. Smg, yang memutuskan
bahwa secara
bersama-sama menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu
akta otentik,
terhadap sertifikat HM No. 300, atasnama Ny. Mayana Anggarany
Trihatma Prihatny
Keduanya dikenai pidana penjara dan menyatakan sertifikat HM No.
300 tercatat
atasnama Ny. Mayana Anggarany Trihatma Prihatny dikembalikan
kepada Bambang
Setyono sebagai ahli waris dari almarhum Soemartono/Ny. Aroemi
Seomartono.
Atas putusan ini, dinyatakan Banding oleh Para Terdakwa. Dengan
demikian
putusan ini belum berkekuatan hukum tetap.
Pada tingkat Banding, diputuskan bahwa menguatkan Putusan
Pengadilan
Negeri Semarang No. 494/ Pid.B/ 2000/ PN. Smg. Upaya hukum yang
dilakukan para
Terdakwa pun mencapai Kasasi, yang pada akhirnya memberikan
putusan menolak
permohonan Kasasi para terdakwa.
Berdasarkan putusan Pidana tersebut, maka pihak Ahli Waris dari
Tuan
Soemartono/ Ny. Aroemi Soemartono, kembali mengajukan gugatan
perdata melalui
-
22
Pengadilan Negeri Semarang dengan Perkara No. 14/ Pdt.G/ 2005/
PN. Smg, melawan
Ny. Mayana Anggarany Trihatma Prihatny. Atas objek sengketa yang
sama dengan
putusan bahwa objek sengketa tersebut adalah sah dan benar milik
Penggugat serta
menyatakan Tergugat telah menempati secara tidak sah dan melawan
hukum.
Kemudian, atas putusan ini memperoleh tentangan dari Pihak Ny.
Mayana
Anggarany Trihatma Prihatny yang dilanjut dengan upaya Banding
yang menghasilkan
keputusan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Semarang. Dan
dilanjut dengan
upaya hukum Kasasi yang akhirnya menolak permohonan Kasasi dari
Mayana
Anggarany Trihatma Prihatny. Akhirnya putusan ini pun
berkekuatan hukum tetap
dengan sendirinya, karena sudah tidak ada upaya hukum lain.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis terdorong ingin
meneliti
tentang bagaimana hukum yang berlaku di Indonesia memberikan
jalan keluar (solusi)
atas 2 (dua) putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang
telah berkekuatan
hukum tetap atas objek sengketa yang sama, karena bila dicermati
bahwa polemik yang
ditimbulkan oleh 2 (dua) putusan yang saling bertentangan
tersbut telah
mempermainkan rasa keadilan para pihak dan tidak terwujudnya
tiga hal yang menjadi
tujuan dari proses penegakan hukum yaitu unsur keadilan, unsur
kemanfaatan dan
unsur kepastian.
Hasil penelitian akan penulis tuangkan kedalam bentuk karya
ilmiah dengan
judul Tinjauan Yuridis Terhadap Eksekusi Putusan Mahkamah Agung
Republik
Indonesia Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap Atas Objek Sengketa
Yang Sama
Dengan Putusan Yang Berbeda (Studi kasus Putusan Perkara No.
145/ Pdt.G/ 1998/
PN. Smg dan Putusan Perkara No. 14/ Pdt.G/ 2005/ PN. Smg ).
-
23
B. Perumusan Masalah
Dari hal sebagaimana yang telah diuraikan di atas, dapatlah
dirumuskan masalah
penelitian ini sebagai berikut :
1. Apakah pelaksanaan putusan atau eksekusi terhadap 2 (dua)
putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia yang telah berkekuatan hukum tetap atas
objek sengketa
yang sama, telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku ?
2. Bagaimana solusi yang tepat untuk menjamin kepastian hukum
bagi para pencari
keadilan terhadap pelaksanaan putusan atau eksekusi terhadap 2
(dua) putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia yang telah berkekuatan hukum
tetap atas
objek sengketa yang sama melaui Lembaga Peradilan ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui apakah pelaksanaan eksekusi terhadap 2 (dua)
putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia yang telah berkekuatan hukum
tetap
atas objek sengketa yang sama telah sesuai dengan peraturan
perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia
2. Untuk mengetahui solusi yang tepat untuk menjamin kepastian
hukum bagi
para pencari keadilan melaui Lembaga Pengadilan
-
24
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat bermanfaat bagi para
pencari
keadilan yang menganggap pengadilan adalah lembaga terakhir
untuk
mendapatkan keadilan
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi
para praktisi hukum maupun aparat penegak hukum yang terkait
dalammensikapi
persoalan-persoalan yang sama yang dapat timbul dikemudian
hari.
E. Kerangka Pemikiran/ Kerangka Teoritik
Error!
Litigasi
Hukum Acara Perdata
Upaya Hukum : Biasa ;
Tahap Pendahuluan
Tahap Penentuan
Tahap Pelaksanaan Putusan
1. Konsultasi 2. Negosiasi 3. Mediasi 4. Konsiliasi atau
Penilaian ahli
Non Litigasi
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Hukum Materiil Sengketa Perdata
-
25
Sengketa perdata yang terjadi dalam kehidupan sehari-sehari
merupakan,
pelanggaran terhadap hukum materiil perdata sehingga ada pihak
yang dirugikan dan
terjadilah gangguan keseimbangan dalam masyarakat. Maka untuk
mengembalikan
keseimbangan tersebut, hukum perdata materiil yang dilanggar
haruslah dipertahankan
dan ditegakkan, dan untuk itu diperlukan rangkaian
peraturan-peraturan hukum lain
disamping hukum materiil perdata itu sendiri.
Peraturan-peraturan hukum lain tersebut
dapat berupa penyelesaian sengketa melalui jalur Non-Litigasi
dengan menggunakan
ADR (Alternative Dispute Resolution) yang telah diatur dalam
Undang-undang No. 30
tahun 1999 atau melalui jalur litigasi dengan hukum acara
perdata sebagai keseluruhan
peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau
menegakkan hukum
-
26
perdata materiil dengan perantara kekuasaan negara. Perantara
negara dalam
mempertahankan hukum materiil perdata itu terjadi dengan
peradilan.
Dalam pembahasan ini akan lebih dikhususkan mengenai
penyelesaian sengketa
perdata secara Litigasi melalui lembaga Peradilan. Sehingga
penjelasan mengenai jalur
Non-litigasi dikesampingkan.
Hukum acara perdata, meliputi 3 (tiga) tahap tindakan. Yang
pertama adalah
tahap pendahuluan yang merupakan tahap persiapan menuju kepada
penentuan atau
pelaksanaan. Yang kedua adalah tahap penentuan yang merupakan
tahap pemeriksaan
peristiwa dan pembuktian sekaligus sampai pada putusannya. Dan
yang ketiga adalah
tahap pelaksanaan, dimana merupakan tahap pelaksanaan
putusan.
Putusan hakim, merupakan suatu pernyataaan dari hakim, sebagai
pejabat negara
yang diberi wewenang unuk itu, guna mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara
atau sengketa antar pihak. Suatu putusan hakim tidak luput dari
kekeliruan atau
kehilafan, bahkan tidakmustahil memihak. Maka oleh karena itu
demi kebenaran dan
keadilan setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa
ulang, agar
kekeliruan dan kehilafan yang terjadi terhadap putusan itu dapat
diperbaiki. Dan bagi
setiap putusan hakim, pada umumnya tersedia upaya hukum yaitu
upaya atau alat
untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam sebuah
keputusan.
Sifat dan berlakunya upaya hukum itu berbeda, bergantung pada
apakah
merupakan upaya hukum biasa atau upaya hukum istimewa. Upaya
hukum biasa,
terdiri dari perlawanan (verzet), banding dan kasasi. Pada
azaznya terbuka selama
tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang, wewenang
menggunakannya
hapus dengan menerima putusan. Upaya hukum biasa bersifat
mengehentikan
-
27
pelaksanaan putusan atau eksekusi untuk sementara. Sedangkan
upaya hukum
istimewa hanya diperbolehkan dalam hal-hal tertentu yang
ditentukan undang-undang.
Yakni, terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
yang pasti tidak
dapat diubah lagi, dan tidak tersedianya lagi upaya hukum biasa.
Yang termasuk upaya
hukum istimewa adalah peninjauan kembali (PK) dan perlawanan
pihak ketiga
(derdenverzet).
F. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan
ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan oleh karena
penelitian bertujuan
mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan
konsisten. Melalui
proses penelitian tersebut diadakan analisis dan konstruksi
terhadap data yang telah
dikumpulkan dan diolah.1
Dalam pelaksanaan penelitian dibutuhkan suatu metode yang dapat
berjalan rinci,
terarah dan sistematis, sehingga data yang diperoleh dari
penelitian itu dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan tidak menyimpang dari
pokok-pokok
permasalahan.
Oleh karena itu dalam proses penyusunan suatu karya ilmiah
diperlukan data yang
mempunyai nilai validitas tinggi serta terjamin keakuratannya.
Dengan demikian, suatu
sistem metodologi yang terencana secara teratur dan sistematis
akan membantu
terwujudnya hal tersebut.
1 Soerjono Sukanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta : Rajawali Pers, 1985), hal. 45
-
28
Pada hakekatnya, metodologi sebagai cara yang lazim dipakai
dalam penelitian
memberikan pedoman tentang cara-cara mempelajari, menganalisa,
dan memahami
permasalahan-permasalahan yang ada. Sehingga dapat dikatakan
bahwa suatu
metodologi merupakan unsur mutlak yang harus ada di dalam
penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa diperlukan usaha untuk
menemukan,
mengembangkan dan menguji suatu kebenaran dari pengetahuan
melalui suatu metode
ilmiah.2 Maka dalam penyusunan tesis ini diperlukan metode
penelitian yang disusun
sebagai berikut:
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum ini
adalah penelitian
hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan (library
research), yaitu penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder yang
terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tersier.3
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif mencakup
lima macam
penelitian, yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum,
penelitian terhadap sisitematika
hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian
perbandingan hukum
dan penelitian sejarah hukum.4
2. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis artinya hasil
penelitian ini berusaha
memberikan gambaran secara menyeluruh, mendalam tentang suatu
keadaan atau
2 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta : ANDI, 1981),
hal. 4 3Triwibowo, Studi Perbandingan Tentang Ketentuan Penyidikan
Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang Dengan Anti Money Laundering Act Of 2001 Republic Of
Philipines.( Surakarta : UNS. Surakarta, 2003) , hal.11 4 Soerjono
Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta ; UI Press,
1986).,Hal. 11
-
29
gejala yang diteliti.5 Sehingga penelitian ini diharapkan mampu
memberi gambaran
secara rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai segala hal yang
berkaitan dengan
pelaksanaan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang telah
berkekuatan
hukum tetap atas objek sengketa yang sama dengan putusan yang
berbeda serta
putusan mana yang dapat dilaksanakan serta solusi yang tepat
untuk menjamin
kepastian hukum bagi para pencari keadilan terhadap putusan
Mahkamah Agung
Republik Indonesia yang telah berkekuatan hukum tetap atas objek
sengketa yang
sama melalui Lembaga Peradilan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, akan diteliti melalui data sekunder.
Dengan demikian
kegiatan utama yang dilakukan adalah studi kepustakaan (library
research) Dalam
penelitian ini penulis menggunakan :
a. Studi Pustaka
Studi pustaka yaitu teknik pengumpulan data dengan cara
membaca,
mempelajari dan mencatat dari buku-buku atau informasi yang ada
kaitannya dengan
objek penelitian yang utama yang berupa data sekunder. Data
sekunder yang
digunakan dalam penelitian ini berupa :
12. Bahan bahan hukum primer yang meliputi :
a) Kitab Undang Undang Hukum Perdata
b) Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata
c) Putusan Mahkamah Agung RI No. 2288 K/ PDT/ 2006
d) Putusan Mahkamah Agung RI No. 1199 K/ PDT/ 2000
5 Soerjono Soekanto, Op. Cit, hal 10.
-
30
e) Putusan perkara Pidana No. 812 K/ Pid/ 2002
f) Peraturan Perundang-undang yang mendukung
13. Bahan bahan hukum sekunder yaitu bahan bahan yang erat
hubungannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan
memahami
bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder tersebut meliputi :
3. Hasil karya ilmiah para sarjana
4. Hasil penelitian
b. Studi Lapangan
Di dalam studi lapangan, alat pengumpulan data yang dipergunakan
adalah
wawancara. Dalam wawancara ini, responden yang diwawancarai
mempunyai
pengalaman tertentu atau terjun secara langsung yang berkaitan
dengan penelitian ini.
Yang menjadi narasumber dalam wawancara yang dilakukan
adalah
1). Hakim pada Pengadilan Negeri Semarang
2). Advokat
Dari hasil wawancara ini diharapkan dapat memberikan gambaran
yang jelas
mengenai pelaksanaan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
yang telah
berkekuatan hukum tetap atas objek sengketa yang sama dengan
putusan yang berbeda
serta putusan mana yang dapat dilaksanakan serta solusi yang
tepat untuk menjamin
kepastian hukum bagi para pencari keadilan terhadap putusan
Mahkamah Agung
Republik Indonesia yang telah berkekuatan hukum tetap atas objek
sengketa yang
sama melalui Lembaga Peradilan. Hasil yang diperoleh dari
wawancara ini merupakan
data primer untuk mendukung data sekunder.
4. Teknik Analisis Data
-
31
Setelah data dapat dikumpulkan kemudian diolah secara kualitatif
yaitu data
yang diperoleh melalui penelitian dilapangan maupun penelitian
kepustakaan disusun
secara sistematis dan selanjutnya dianalisa secara kualitatif
untuk mencapai kejelasan
masalah yang akan dibahas. Data tersebut kemudian dianalisa
secara interprestatif
menggunakan teori maupun hukum positif yang telah dituangkan
kemudian secara
induktif ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang
ada.
G. Sistematika Penulisan
Dalam Tesis yang berjudul Tinjauan Yuridis Terhadap Eksekusi
Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Yang Telah Berkekuatan Hukum
Tetap Atas
Objek Sengketa Yang Sama Dengan Putusan Yang Berbeda (Studi
kasus Putusan
Perkara No. 145/ Pdt.G/ 1998/ PN. Smg dan Putusan Perkara No.
14/ Pdt.G/ 2005/ PN.
Smg), sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan dan Metode Penelitian,
Merupakan Bab Pendahuluan yang menjelaskan tentang latar
belakang permasalahan
yang dipilih, tujuan penelitian, manfaat penelitian, Kerangka
Penelitian/Kerangka
Teoritik, Metode Penelitian dan Sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka,
Merupakan Bab Tinjauan Pustaka tentang teori-teori dan hal-hal
mengenai pengertian
putusan hakim, jenis-jenis putusan hakim, pengertian eksekusi,
istilah-istilah tentang
eksekusi, asas-asas umum eksekusi dan jenis-jenis eksekusi.
Materi-materi dan teori-
teori merupakan landasan yang mendasari pembahasan dari hasil
penelitian yang
diperoleh dari survei lapangan dan kepustakaan Bab I yang
mengacu pada pokok
permasalahan.
-
32
Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan
Merupakan bab yang merupakan hasil penelitian dan pembahasan.
Dalam Bab III ini
akan disajikan data yang diperoleh dari hasil penelitian, baik
melalui penelitian
kepustakaan maupun penelitian lapangan yang telah
dianalisis.
Pembahasan data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan
penelitian lapangan,
tidak menyimpang dari pokok-pokok permasalahan yang telah
disebutkan dalam Bab I.
Sistematika penyajian data dan pembahasan sesuai dengan
pokok-pokok permasalahan
yang ada.
Bab IV Penutup
Merupakan bab penutup dari Tesis ini, berisi simpulan dan
saran-saran. Simpulan
merupakan inti dari hasil penelitian dan pembahasan, simpulan
merupakan landasan
untuk mengembangkan saran-saran.
-
33
-
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim
A. 1. Definisi Putusan Hakim
Definisi Putusan Hakim menurut Andi Hamzah6 adalah hasil
atau
kesimpulan dari suatu perkara yang telah dipertimbangkan dengan
masak-masak
yang dapat berbentuk putusan tertulis maupun lisan.
Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo7, putusan hakim adalah
suatu
pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi
wewenang untuk
itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri
atau
menyeleseiakan suatu perkara atau sengketa antara para
pihak.
Bukan hanya yang di ucapkan saja yang disebut putusan, melainkan
juga
pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian
diucapkan oleh
Hakim di persidangan. Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak
mempunyai
kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan di persidangan oleh
hakim8.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa putusan hakim adalah
kesimpulan
akhir yang diambil oleh Majelis Hakim yang diberi wewenang untuk
itu dalam
menyelesaikan atau mengakhiri suatu sengketa antara para pihak
pihak yang
berpekara dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
6 Andi Hamzah, Hukum Acara Perdata, (Yogyakarta : Liberty,
1986), hlm 485 7 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata
Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1998), hlm 206 8 Ibid, hlm
175
-
19
A. 2. Kekuatan Putusan
HIR tidak mengatur secara rinci mengenai kekuatan putusan. Namun
para
ahli hukum Indonesia, memiliki pandangannya masing-masing. Di
antaranya
adalah ;
a) Soepomo dalam literaturnya menjelaskan 3 (tiga) kekuatan
putusan, yakni 9:
1. kekuatan mengikat, putusan yang telah memperoleh kekuatan
hukum yang
tetap (kracht van gewijsde, power of force), tidak dapat
diganggu gugat
lagi. Putusan yang telah berkekuatan hukum pasti bersifat
mengikat
(bindende kracht, binding force).
2. kekuatan pembuktian, yakni dapat digunakan sebagai alat bukti
oleh para
pihak, yang mungkin dipergunakan untuk keperluan banding, kasasi
atau
juga untuk eksekusi. Sedangkan putusan yang telah berkekuatan
hukum
tetap dapat dipergunakan sebagai alat bukti bagi para pihak
yang
berperkara sepanjang mengenai peristiwa yang telah ditetapkan
dalam
putusan tersebut.
3. kekuatan eksekutorial, putusan yang telah berkekuatan hukum
yang tetap
atau memperoleh kekuatan yang pasti, mempunyai kekuatan
untuk
dilaksanakan (executoriale kracht, executionary power).
b) Sudikno Mertokusumo, putusan hakim mempunyai 3 (tiga)
macam
kekuatan10 :
9 Soepomo R. , Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta :
Pradnya Paramita, 1993) , hlm . 57 10 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit,
hlm 182
-
20
1. Kekuatan Mengikat,
Untuk dapat melaksanakan atau merealisasi suatu hak secara
paksa
diperlukan suatu putusan pengadilan atau akta otentik yang
menentapkan
hak itu. Suatu putusan pengadilan dimaksudkan untuk
menyelesaikan suatu
persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Kalau
pihak
yang bersangkutan menyerahkan dan mempercayakan sengketanya
kepada
pengadilan atau hakim untuk diperiksa atau diadili, maka hal
ini
mengandung arti bahwa pihak-pihak yang sangkutan akan tunduk dan
patuh
pada putusan yang dijatuhkan. Putusan yang telah dijatuhkan itu
haruslah
dihormati oleh kedua belah pihak. Salah satu pihak tidak boleh
bertindak
bertentangan dengan putusan.
Jadi putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat : mengikat
kedua
belah pihak (Pasal 1917 BW). Terikatnya para pihak kepada
putusan
menimbulkan beberapa teori yang hendak mencoba memberikan
dasar
tentang kekuatan mengikat dari pada putusan11 ;
a. Teori Hukum Materiil
Menurut teori ini maka kekuatan mengikat dari pada putusan
yang
lazimnya disebut gezag van gewijisde mempunyai difat hukum
materiil
oleh karena mengadakan perubahan terhadap wewenang dan
kewajiban
keperdataan; menetapkan, menghapuskan atau mengubah. Menurut
teori
ini putusan dapat menimbulkan atau meniadakan hubungan hukum.
Jadi
putusan merupakan sumber materiil. Disebut juga ajaran hukum
materiil
11 Ibid, hlm 213
-
21
karena memberi akibat yang bersifat hukum pada putusan.
Mengingat
bahwa putusan hanya mengikat para pihak dan tidak memberi
wewenang
untuk mempertahankan hak seseorang terhadap pihak ketiga dan
saat ini
ajaran ini telah ditinggalkan.
b. Teori Hukum Acara
Menurut teori ini putusan bukanlah sumber hukum materiil
melainkan
sumber dari pada wewenang prosesuil. Akibat putusan ini bersifat
hukum
acara yaitu diciptakan nya atau dihapuskannya wewenang dan
kewajiban
prosesuil. Ajaran ini sangat sempit, sebab suatu putusan
bukanlah semata-
matahanyalah sumber wewenang prosesuil, karena menuju kepada
penetapan yang pasti tentang hubungan hukum yang merupakan
pokok
sengketa.
c. Teori Hukum Pembuktian
Menurut teori ini putusan merupakan bukti tentang apa yang
ditetapkan didalamnya, sehingga mempunyai kekuatan mengikat
oleh
karena menurut teori ini pembuktian lawan terhadap isi suatu
putusan yang
telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti tidak diperkenankan.
Teori
ini termasuk teori kuno yang sudah tidak banyak penganutnya.
d. Terikatnya para Pihak pada Putusan
Terikatnya para pihak kepada putusan dapat mempunyai arti
positif
dan negatif, yakni ;
(1). Arti positif, arti positif dari kekuatan mengikat suatu
putusan ialah
bahwa apa yang telah diputus di antara para pihak berlaku
sebagai
-
22
positif benar. Apa yang telah diputus oleh hakim harus
dianggap
benar (res judicata pro veritate habetur). Pembuktian lawan
tidak
dimungkinkan. Terikatnya para pihak ini didasarkan pada
undang-
undang Ps. 1917-1920 BW.
(2). Arti negatif, arti negatif daripada kekuatan mengikat suatu
putusan
ialah bahwa hakim tidak boleh memutus perkara yang pernah
diputus sebelum nya antara para pihak yang sama serta
mengenai
pokok perkara yang sama. Ulangan dari tindakan itu tidak
akan
mempunyai akibat hukum : Nebis in idem (ps. 134 Rv). Kecuali
didasarkan atas pasal 134 Rv, kekuatan mengikat dalam arti
nagatif
ini juga didasarkan asas litis finiri oportet yang menjadi
dasar
ketentuan tentang tenggang waktu untuk mengajukan upaya
hukum; apa yang pada suatu waktu telah diselesaikan oleh
hakim
tidak boleh diajukan lagi kepada hakim.Di dalam hukum acara
kita
putusan mempunyai kekuatan hukum mengikat baik dalam arti
positif maupun dalam arti negatif.
e. Kekuatan hukum yang pasti
Suatu putusan memperoleh kekuatan hukum yang pasti atau
tetap
(kracht van gewisjde) apabila tidak ada lagi upaya hukum biasa
tersedia.
Termasuk upaya hukum biasa adalah perlawanan, banding dan
kasasi.
Dengan memperoleh kekuatan hukum yang pasti maka putusan itu
tidak
lagi dapat diubah, sekalipun oleh Pengadilan yang lebih tinggi,
kecuali
dengan upaya hukum khusus yakni request civil dan perlawanan
oleh
-
23
pihak ketiga. Pendapat para ahli hukum lain, ada yang
berpandangan
bahwa suatu putusan mempunyai kekuatan hukum mengikat yang
negatif
kalau belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti dan sejak
mempunyai kekuatan hukum yang pasti memperoleh kekuatan
hukum
yang positif, maka putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum
yang
pasti sudah mempunyai kekuatan mengikat yang positif. Putusan
yang
dijatuhkan harus dianggap benar dan sejak diputuskan para pihak
harus
menghormati dan mentaatinya.
2. Kekuatan Pembuktian
Dituangkannya putusan dalam bentuk tertulis yang merupakan
akta
otentik, tidak lain bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat
bukti bagi
para pihak, yang mungkin diperlukannya untuk mengajukan banding,
kasasi
atau pelaksanaannya. Putusan itu sendiri merupakan akta otentik
yang dapat
digunakan sebagai alat bukti.
3. Kekuatan Eksekutorial
Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan
atau
sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Ini tidak berarti
semata-mata
hanya menetapkan hak atau hukumnnya saja melainkan juga
realisasi atau
pelaksanaannya (eksekusinya) secara paksa. Kekuatan mengikat
saja dari
suatu putusan pengadilan belumlah cukup dan tidak berarti
apabila putusan
itu tidak dapat direalisasikan atau dilaksanakan. Oleh karena
putusan itu
menetapkan dengan tegas hak atau hukumnya untuk kemudian
direalisir,
maka putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu
kekuatan
-
24
untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam putusan itu
secara paksa
oleh alat-alat negara. Suatu putusan memperoleh kekuatan
eksekutorial,
apabila dilakukan oleh Peradilan di Indonesia yang menganut
Demi
Keadilan Berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa (Ps. 4 ayat 1
Undang-
undang No. 4 tahun 2004) dan semua putusan pengadilan di
seluruh
Indonesia harus diberi kepala di bagian atasnya yang berbunyi
Demi
Keadilan berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa (Ps. 435 Rv jo. Ps.
4 ayat
1 Undang-undang No. 4 tahun 2004)12.
A. 3. Asas-asas Putusan
Asas yang mesti ditegakkan agar suatu putusan yang dijatuhkan
tidak
mengandung cacat, diatur dalam Pasal 178 HIR, Pasal 189 Rbg dan
Pasal 19
Undang-Undang Nomer 4 tahun 2004 (dahulu diatur dalam Pasal 18
Undang-
Undang Nomer 14 tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman), antara
lain 13:
1. Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci;
Menurut asas ini putusan yang dijatuhkan harus berdasarkan
pertimbangan
yang jelas dan cukup. Putusan yang tidak memenuhi ketentuan
itu
dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan atau
onvoldoende
gemotiveerd (insufficient judgement). Alasan-alasan hukum yang
menjadi
dasar pertimbangan bertitik tolak dari ketentuan pasal 23
Undang-undang No.
14 tahun 1970, sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 35
tahun
1999,sekarang dalam Pasal Undang-undang No. 4 tahun 2004
tentang
Kekuasaan Kehakiman, yakni ;
12 Ibid, hlm 184 13 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata,
(Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hlm 797
-
25
(1). Pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan,
(2). Hukum kebiasaan,
(3). Yurisprudensi atau
(4). Doktrin hukum
2. Wajib mengadili seluruh bagian gugatan;
Asas ini digariskan dalam Pasal 178 ayat 2 HIR, Pasal 189 ayat 2
Rbg dan
Pasal 50 Rv. Putusan harus secara total dan menyeluruh memeriksa
dan
mengadili setiap segi gugatan yang diajukan. Tidak boleh hanya
memeriksa dan
memutuskan sebagian sajadan mengabaikan gugatan selebihnya.
3. Tidak boleh mengabulkan melebih tuntutan;
Asas ini digariskan dalam Pasal 178 ayat 3 HIR, putusan tidak
boleh
mengabulkan melebihi tuntutan yang diajukan dalam gugatan. Jika
hakim
mengabulkan lebih dari tuntutan dalam gugatan maka hakim
dianggap telah
melampaui batas wewenang dan harus dinyatakan cacat meskipun hal
ini
dilakukan hakim dengan itikad baik maupun sesuai dengan
kepentingan umum.
4. Diucapkan di muka umum
a) Prinsip keterbukaan untuk Umum bersifat Imperatif
(memaksa).
Prinsip ini didasarkan oleh asas fair trial, menurut asas
ini
pemeriksaan persidangan harus didasarkan pada proses yang jujur
sejak
awal sampai akhir. Prinsip ini bertolak belakang dengan
peradilan yang
bersifat rahasia (secrecy) atau confidence sebagaimana dalam
proses
pemeriksaan mediasi atau arbitrase, dengan maksud untuk
menjaga
kredibilitas para pihak yang bersengketa.
-
26
b) Akibat Hukum atas Pelanggaran Asas Keterbukaan
Prinsip pemeriksaan dan putusan diucapkan secara terbuka,
ditegaskan dalam Pasal 5 huruf e dan Pasal 18 Undang-undang No.
14
tahun 1970 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 35
tahun
1999 sekarang dalam Pasal 20 Undang-undang No. 4 tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, selain itu juga diatur dalam
hukum
acara pidana Pasal 64 KUHAP. Pelanggaran terhadap prinsip
keterbukaan dimaksud dalam Pasal 19 ayat 2 jo Pasal 20
Undang-
undang No. 4 tahun 2004 tentang Kehakiman, mengakibatkan ;
(a). Tidak sah, atau
(b). Tidak mempunyai kekuatan hukum
c) Dalam hal pemeriksaan secara tertutup, putusan tetap
diucapkan dalam
sidang terbuka.
Dalam kasus-kasus tertentu, peraturan perundang-undangan
membenarkan pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup.
Akan
tetapi, pengecualian ini sangat terbatas, yang terutama dalam
bidang
hukum kekeluargaan, khususnya perkara percaraian. Prinsip
pemeriksaan tertutup dalam persidangan perceraian bersifat
imperatif,
namun sepanjang mengenai proses pengucapan putusan, tetap
tunduk
pada ketentuan Pasal 18 Undang-undang No. 14 tahun 1970
sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 35 tahun 1999
-
27
sekarang dalam Pasal 20 Undang-undang No. 4 tahun 2004
tentang
Kekuasaan Kehakiman .
d) Diucapkan di dalam sidang Pengadilan
Selain persidangan harus terbuka untuk umum, pemeriksaan dan
pengucapan putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila
dilakukan dalam sidang pengadilan. Menyimpang dari ketentuan
itu,
mengakibatkan putusan tidak sah dan tidak mempunyai
kekuatan.
e) Radio dan Televisi dapat menyiarkan Langsung Pemeriksaan
dari
Ruang Sidang
Sesuai dengan perkembangan jaman, penyiaran dan penayangan
radio dan televisi, dapat dilakukan langsung dari ruang sidang,
dan hal
ini sudah banyak diterapkan diberbagai negara.
A. 4. Macam-macam Putusan
Mengenai macam-macam Putusan Pengadilan, dapat dilihat dari
beberapa
segi antara lain :
a. Dilihat dari segi kehadiran para pihak 14:
(a). Putusan gugatan gugur
(b). Putusan Verstek
(c). Putusan contradictoir
b. Dilihat dari segi isinya15 :
(a). Niet Onvankelijk Verklaart (N.O), yang berarti tidak dapat
diterima
gugatannya, yaitu putusan pengadilan yang diajukan oleh
Penggugat 14 Ibid, hlm 798 15 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara
Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,(Jakarta :
Prenada media, 2005), hlm 299
-
28
tidak dapat diterima, karena ada alasan yang dibenarkan oleh
hukum.
Adapun alasan tidak diterimanya gugatan Pengugat ada
beberapa
kemungkinan sebagai berikut :
1. Gugatan tidak berdasarkan hukum
2. Gugatan tidak mempunyai kepentingan hukum secara langsung
yang melekat pada diri Penggugat
3. Gugatan Kabur (obscuur libel)
4. Gugatan masih premature
5. Gugatan Nebis In Idem
6. Gugatan Eror in Persona
7. Gugatan telah lampau waktu (daluarsa)
(b). Gugatan dikabulkan
(c). Gugatan ditolak
(d). Gugatan didamaikan
(e). Gugatan digugurkan
(f). Gugatan dihentikan (aan hanging)
c. Dilihat dari segi sifatnya 16 :
(a). Putusan declaratoir, adalah putusan yang amarnya menyatakan
suatu
keadaan dimana keadaan tersebut dinyatakan sah menurut
hukum.
(b). Putusan constitutive, adalah putusan yang bersifat
menghentikan atau
menimbulkan hukum baru.
16 Ibid
-
29
(c). Putusan condemnatoir, adalah putusan yang bersifat
menghukum pihak
yang kalah untuk memenuhi suatu prestasi yang ditetapkan
oleh
hakim.
d. Dilihat dari segi Jenisnya17:
(a). Putusan sela adalah putusan yang belum merupakan putusan
akhir
(b). Putusan preparatoir, adalah putusan sela yang dipergunakan
untuk
mempersiapkan putusan akhir, tanpa ada pengaruhnya atas
pokok
perkara atau putusan akhir.
(c). Putusan interlucotoir, adalah putusan yang isinya
memerintahkan
pembuktian dan dapat mempengaruhi putusan akhir. putusan
insidentil, adalah putusan atas suatu perselisihan yang tidak
begitu
mempengaruhi atau berhubungan dengan pokok perkara.
(d). putusan provisi, adalah putusan yang menjawab tuntutan
provisional
yaitu permintaan para pihak yang bersangkutan agar untuk
sementara
diadakan tindakan pendahuluan
(e). putusan akhir, adalah suatu pernyataan yang oleh hakim
sebagai
pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan
dalam
persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan
perkara atau sengketa antara para pihak yang berperkara dan
diajukan
kepada pengadilan.
17 Ibid, hlm 301
-
30
Dalam literaturnya, M. Yahya Harahap memiliki pendapat lain
mengenai
putusan ditinjau dari jenis putusan yang dapat diklasifikasikan
sebagai
berikut18:
(a). Putusan Sela,
Putusan sela atau disebut juga putusan sementara. Hal ini diatur
dalam
Pasal 185 ayat 1 HIR atau Pasal 48 Rv. Putusan sela berisi
perintah yang
harus dilakukan para pihak yang berperkara untuk memudahkan
hakim
menyelesaikan pemeriksaan perkara sebelum menjatuhkan putusan
akhir19.
Sehubungan dengan itu, dalam teori dan praktek dikenal beberapa
jenis
putusan yang muncul dari putusan sela, antara lain :
1. putusan preparatoir, tujuan putusan ini merupakan persiapan
jalannya
pemeriksaan.
2. putusan interlocutoir, Seringkali Pengadilan Negeri
menjatuhkan putusan
interlucotoir saat proses pemeriksaan tengah berlangsung20.
Putusan ini
merupakan bentuk khusus dari putusan sela (een interlucotoir
vonnis is
een special tussen vonnis) yang dapat berisi macam-macam
perintah
sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai hakim, antara lain
sebagai
berikut :
a. putusan interlokuter yang memerintahkan pendengaran
keterangan
saksi ahli (berdasarkan Pasal 154 HIR),
18 M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm 879 19 Soepomo, R, Op. Cit,
hlm 57 20 Ibid, hlm 58
-
31
b. memerintahkan pemeriksaan setempat (berdasarkan Pasal 153
HIR),
c. memerintahkan pengucapan atau pengangkatan sumpah baik
sumpah
penentu atau tambahan (berdasarkan Pasal 155 HIR, Pasal 1929
KUHPerdata), maka pelaksanaannya dituangkan dalam putusan
interlocutor,
d. memerintahkan pemanggilan saksi (berdasarkan Pasal 139
HIR),
e. memerintahkan pemeriksaan pembukuan perusahaan yang
terlibat
dalam suatu sengketa oleh akuntan publik yang independent,
3. putusan insidentil, yakni putusan sela yang berkaitan
langsung dengan
gugatan insidentil atau yang berkaitan dengan penyitaan yang
membebankan pemberian uang jaminan dari pemohon sita, agar
sita
dilaksanakan yang disebut cautio judicatum solvi. Dalam praktek
dikenal
2 (dua) bentuk putusan insidentil :
a. putusan insidentiil dalam gugatan intervensi,
b. putusan insidentiil dalam pemberian jaminan atas pelaksanaan
sita
jaminan,
4. putusan provisi, atau disebuit juga provisionele beschikking,
yakni
keputusan yang bersifat sementara atau interim award yang
berisi
tindakan sementara menunggu sampai putusan akhir mengenai
pokok
perkara dijatuhkan.
-
32
(b). Putusan Akhir.
Merupakan jenis putusan lain ditinjau dari segi bentuknya atau
pada saat
menjatuhkannya adalah putusan akhir. Atau disebut juga
putusan
penghabisan21. Sebagai alih bahasa dari eind vonnis.
Dengan demikian, putusan akhir merupakan tindakan atau
perbuatan
hakim sebagai penguasa atau pelaksana kekuasaan kehakiman
(judicative
power) untuk menyelesaikan dan mengakhiri sengketa yang terjadi
antara
pihak yang berperkara22.
A. 5. Upaya Hukum Terhadap Putusan
Suatu putusan hakim tidak luput dari kekeliruan atau kehilafan,
bahkan
tidak mustahil bersifat memihak. Maka oleh karena itu demi
kebenaran dan
keadilan setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa
ulang, agar
kekeliruan atau kehilafan yang terjadi pada putusan dapat
diperbaiki. Bagi setiap
putusan hakim pada umumnya tersedia upaya hukum, yaitu upaya
atau alat
mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan23.
Sifat dan berlakunya upaya hukum, bergantung pada apakah itu
merupakan
upaya hukum biasa atau upaya hukum istimewa24 ;
a. Upaya hukum biasa, pada asasnya terbuka setiap putusan selama
tenggang
waktu yang ditentukan oleh undang-undang. Wewenang
menggunakannya
hapus dengan menerima putusan. Upaya ini bersifat
menghentikan
pelaksanaan putusan untuk sementara. Upaya hukum biasa ialah
:
21 Arief S (ed), Kamus Hukum Edisi Lengkap, (Surabaya: Pustaka
Tirta Mas), hlm 102. 22 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm 168 23
Ibid, hlm 232 24 Ibid, hlm 233
-
33
1. Perlawanan (verzet),
Perlawanan merupakan upaya hukum terhadap putusan yang
dijatuhkan di luar hadirnya tergugat (Ps. 125 ayat 3 jo Ps. 129
HIR, Ps.
149 ayat 3 jo Ps. 153 Rbg.). Pada asasnya perlawanan ini
disediakan bagi
pihak tergugat yang (pada umumnya) dikalahkan. Bagi penggugat
yang
dengan putusan verstek dikalahkan tersedia upaya hukum
banding.
2. Banding,
Apabila salah satu pihak dalam suatu perkara perdata tidak
menerima
suatu putusan Pengadilan Negeri karena merasa hak-haknya
terserang oleh
adanya putusan itu atau menganggap putusan itu kurang benar atau
kurang
adil, maka ia dapat mengajukan permohonan banding. Ia dapat
mengajukan perkara yang telah diputuskan itu kepada pengadilan
yang
lebih tinggi untuk dimintakan pemeriksaan ulangan. Asas
peradilan dalam
dua tingkat itu disandarkan pad keyakinan bahwa putusan
pengadilan pada
tingkat pertama itu belum tentu tepat atau benar dan oleh karena
itu perlu
dimungkinkan pemeriksaan ulang oleh pengadilan yang lebih
tinggi.
3. Kasasi.
Terhadap putusan putusan yang diberikan dalam tingkat akhir
oleh
pengadilan-pengadilan lain daripada Mahkamah Agung demikian
pula
terhadap putusan pengadilan yang dimintakan Banding dapat
dimintakan
Kasasi kepada Mahkamah Agung oelh pihak-pihak yang
berkepentingan
(Pasal 22 Undang-undang No. 4 tahun 2005 tentang Kehakiman,
Pasal 43
Undang-undang No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung). Jadi
-
34
apabila pihak bersangkutan belum atau tidak mempergunakan
hak
melawan putusan pengadilan yang dijatuhkan di luar hadir
tergugat atau
hak memohon ulangan pemeriksaan perkara oleh Pengadilan
Tinggi,
permohonan pemeriksaan Kasasi tidak dapat diterima (Pasal 43
Undang-
undang No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung).
Dalam meninjau alasan-alasan hukum yang dipergunakan dalam
permohonan Kasasi, dipakai sebagai dasar Pasal 30 Undang-undang
No. 5
tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, yaitu karena :
(a). tidak berwenang atau melampaui batas wewenang,
(b). salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, dan
(c). lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
peraturan
perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan
batalnya
putusan yang bersangkutan
b. Upaya hukum istimewa, digunakan untuk putusan-putusan yang
telah
berkekuatan hukum yang pasti dan sudah tidak dapat diubah serta
tidak
tersedia lagi upaya hukum biasa. Upaya hukum ini hanyalah
dibolehkan dalam
hal-hal tertentu yang disebut dalam Undang-undang saja. Yang
termasuk
upaya hukum istimewa ialah
1. Peninjauan Kembali (request civil),
Diatur dalam Pasal 66 Undang-undang No. 4 tahun 2004
Kehakiman. Permohonan PK dapat diajukan secara tertulis maupun
lisan
oleh para pihak sendiri (ayat 1) kepada Mahkamah Agung melaui
Ketua
Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat
pertama.
-
35
Permohonan PK tidak menangguhkan atau menghentikan
pelaksanaan putusan pengadilan dan dapat dicabut selama belum
diputus
serta hanya dapat diajukan satu kali saja.
2. Perlawanan dari pihak ketiga (derdenverzet).
Pada asasnya suatu putusan hanya mengikat para pihak yang
berperkara dan tidak mengikat pihak ketiga (Pasal 1917 BW).
Akan
tetapi apabila pihak ketiga merasa hak-haknya dirugikan oleh
suatu
putusan, maka ia dapat mengajukan perlawanan terhadap
putusan
tersebut (Pasal 378 Rv).
B. Tinjauan Umum Tentang Eksekusi
B. 1. Pengerti Eksekusi
Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh Pengadilan
kepada
pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan aturan dan
tatacara lanjutan dari
proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu, eksekusi tiada lain
daripada tindakan
yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara
perdata. Eksekusi
merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan
tata tertib
beracara yang terkadung dalam HIR atau RBG. Setiap orang yang
ingin
mengetahui pedoman aturan eksekusi harus merujuk ke dalam aturan
perundang-
undangan dalam HIR atau RBG25.
Pengertian eksekusi secara umum adalah pelaksanaan putusan hakim
atau
menjalankan putusan hakim. Adapun ketentuan mengenai pelaksanaan
putusan
25 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang
Perdata, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2005), hlm 1
-
36
atau eksekusi ini diatur dalam ketentuan Pasal 195 sampai dengan
Pasal 200
HIR/Rbg.
Pengertian eksekusi menurut R. Subekti dikatakan bahwa Eksekusi
atau
pelaksanaan putusan mengandung arti bahwa pihak yang dikalahkan
tidak mau
mentaati putusan itu secara sukarela sehingga putusan itu harus
dipaksakan
kepadanya dengan bantuan kekuatan umum26.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Retno Wulan Sutantio dan
Iskandar Oeripkartawinata yang menyatakan bahwa Eksekusi adalah
tindakan
paksaan oleh pengadilan terhadap pihak yang kalah dan tidak mau
melaksanakan
putusan secara sukarela27 .
Sejalan dengan pendapat tersebut adalah pendapat Sudikno
Mertokusumo
yang menyatakan Pelaksanaan putusan/eksekusi ialah realisasi
daari kewajiban
pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum
dalam putusan
tersebut28 .
Ketiga definisi mengenai eksekusi tersebut memandang eksekusi
sebagai
pelaksana putusan hakim. Pendapat yang sama dikemukakan oleh R.
Soepomo
yang menyatakan bahwa Hal menjalankan putusan hakim sama artinya
dengan
eksekusi. Hukum eksekusi mengatur cara dan syarat-syarat yang
dipakai oleh alat-
alat negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk
menjalankan
26 Mochammad Djais, Pikiran Dasar Hukum Eksekusi, (Semarang :
Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, 2000), hlm 12 27 Retnowulan Sutantio dan Iskandar
Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek
(Bandung : Mundur Maju, 1989), hlm 130 28 Sudikno Mertokusumo, Op
Cit, hal 206
-
37
putusan hakim apabila pihak yang kalah tidak bersedia memenuhi
bunyi putusan
dalam waktu yang ditentukan29 .
Masih sejalan dengan pendapat tersebut adalah pendapat M.
Yahya
Harahap, yang menyatakan bahwa Eksekusi sebagai tindakan hukum
yang
dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu
perkara,
merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemerikasaan
perkara. Oleh
karena itu eksekusi tiada lain daripada tindakan yang
bersinambungan dari
keseluruhan proses Hukum Acara Perdata. Eksekusi merupakan suatu
kesatuan
yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan tata tertib beracara
yang terkandung
dalam HIR/Rbg30.
Dari keseluruhan pendapat para sarjana, tentang pengertian
Eksekusi
tersebut diatas, eksekusi hanya menyangkut pengertian yang
sempit dan terbatas
yaitu hanya pada pelaksanaan putusan hakim saja, sehingga belum
dapat
memberikan gambaran yang utuh tentang eksekusi mengingat
pengertian eksekusi
tidak hanya terbatas pada pelaksanaan putusan hakim semata.
Pengertian eksekusi dalam arti yang lebih luas dikemukakan
oleh
Mochammad Djais yang menyatakan bahwa : Eksekusi adalah upaya
kreditur
merealisasikan hak secara paksa karena debitor tidak mau secara
sukarela
mememuhi kewajibannya. Dengan demikian eksekusi merupakan bagian
dari
proses penyeleseian sengketa hukum. Menurut pandangan hukum
eksekusi, objek
eksekusi tidak hanya putusan hakim dan grosse akta31
29 Soetarwo Soemowidjoyo, Eksekusi oleh PUPN, Pusat Pendidikan
dan Latihan Keuangan, Balai
Pendidikan dan Latihan Keuangan, Departemen Keuangan Republik
Indonesia, 1995), hlm 7 30 M. Yahya Harahap, Op. Cit hlm 1 31
Mochammad Djais, Op Cit, hlm 16
-
38
Berdasarkan pemaparan diatas dapat diketahui bahwa pengertian
eksekusi
tidak hanya menjalankan putusan hakim saja namun eksekusi juga
mencakup
upaya kreditor merealisasi haknya secara paksa karena debitor
tidak mau secara
sukarela memenuhi kewajibannya.
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa eksekusi tidak
hanya
diartikan dalam arti sempit tetapi juga dalam arti luas.
Eksekusi tidak hanya
pelaksanaan terhadap suatu putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap kepada
pihak yang kalah, yang tidak mau menjalankan isi putusan secara
sukarela, tetapi
eksekusi dapat dilaksanakan terhadap grosse surat hutang
notariil dan benda
jaminan eksekusi serta eksekusi terhadap perjanjian. Eksekusi
dalam arti luas
merupakan suatu upaya realisasi hak, bukan hanya merupakan
pelaksanaan
putusan pengadilan saja.
B.2. Sumber Aturan Eksekusi
Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh Pengadilan
kepada
pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan aturan dan tata
cara lanjutan
dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu, eksekusi tiada
lain dari pada
tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum
acara perdata32.
Cara-cara menjalankan putusan pengadilan yang disebut eksekusi
diatur
mulai Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai Pasal
258 Rbg.
Namun pada saat sekarang, tidak semua ketentuan pasal-pasal itu
berlaku efektif.
Yang masih betul-betul berlaku terutama Pasal 195 sampai Pasal
208 dan Pasal
224 HIR atau Pasal 206 sampai pasal 240 dan Pasal 258 Rbg.
Sedang Pasal 209
32 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm 2
-
39
sampai 223 HIR atau Pasal 242 sampai Pasal 257 Rbg yang mengatur
tentang
sandera (gijzeling), tidak lagi diperlakukan secara
efektif33.
Disamping itu, terdapat lagi Pasal 180 HIR atau Pasal 191 Rbg
yang
mengatur tentang pelaksanaan putusan serta merta (uitvoerbaar
bij voorraad)
atau provisionally enforceable (to have immediate effect), yakni
pelaksanaan
putusan segera dapat dijalankan lebih dahulu sekalipun putusan
yang
bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum tetap34.
Namun, pembahasan berdasarkan pasal-pasal tersebut sama sekali
tidak
terlepas dari peraturan lain seperti yang terdapat dalam
asas-asas hukum,
yurisprudensi, maupun praktik perasilan sebagai alat pembantu
memecahkan
penyeleseian masalah eksekusi yang timbul dalam konkreto.
Misalnya eksekusi
mengenai barang hipotek dan Hak Tanggungan, yang dikaitkan
dengan peraturan
perundang-undangan yang diatur dalam KUHPerdata maupun UUPA No.
5 tahun
1960 dan UU No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Kemudian
aturan yang
tidak kalah penting dalam ruang lingkup eksekusi adalah
Peraturan Lelang No.
189 tahun 1908 (Vendu Reglement St. 1908/No. 189)35.
B. 3. Istilah-istilah tentang Eksekusi
Beberapa pembakuan istilah eksekusi dalam Bahasa Indonesia
guna
menghindari pemakaian istilah yang berlebihan antara lain36
:
1. Oleh Prof. Subekti, beliau mengalihkannya dengan istilah
pelaksanaan
putusan,
33 Ibid, hlm 2 34 Ibid, hlm 5 35 Ibid, hlm 5 36 Ibid, hlm 5
-
40
2. Retno Wulan Sutantio, mengalihkannya ke dalam Bahasa
Indonesia dengan
istilah pelaksanaan putusan,
Pendapat kedua penulis tersebut dapat dijadikan perbandingan.
Bahkan,
hampir semua penulis telah membakukan istilah pelaksanaan
putusan sebagai
kata ganti eksekusi (executie). Pembakuan istilah pelaksanaan
putusan sebagai
kata ganti eksekusi, dianggap sudah tepat. Sebab jika bertitik
tolak dari ketentuan
Bab Kesepuluh Bagian Kelima HIR atau titel Keempat Rbg,
pengertian eksekusi
sama dengan tindakan menjalankan putusan (ten uitvoer legging
van
vonnissen). Menjalankan putusan pengadilan, tiada lain daripada
melaksanakan isi
putusan pengadilan, yakni melaksanakan secara paksa putusan
pengadilan
dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak yang kalah
(tereksekusi atau pihak
tergugat) tidak mau menjalankannay secara sukarela (vrijwillig
voluntary).
Dengan diterimanya istilah pelaksanaan putusan sebagai pengganti
istilah
eksekusi, tidak pada tempatnya kedua istilah itu digabungkan
dalam satu
rangkaian penulisan. Penulisan dan pemakaian istilah itu dalam
satu rangkaian
adalah berlebihan. Seperti misalnya : pelaksanaan eksekusi.
Cukup dipilih salah
satu, boleh dipergunakan pelaksanaan putusan atau cukup
dipergunakan
perkataan eksekusi putusan. Akan tetapi, pada masa belakangan
ini, hampir
baku dipergunakan istilah hukum (legal term) eksekusi atau
menjalankan
eksekusi37.
37 Ibid, ,hlm 6
-
41
B. 4. Asas Umum Eksekusi
Asas-asas umum eksekusi 38:
1. Menjalankan Putusan yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap
a. Pada prinsipnya, hanya putusan yang telah memperoleh
kekuatan
hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang dapat dijalankan.
Sehingga
pada asasnya putusan yang dapat dieksekusi adalah :
(a). Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (res
judicata);
(b). Karena hanya dalam putusan yang telah berkekuatan hukum
terkandung wujud hubungan hukum yang tetap (fixed) dan pasti
antara pihak yang berperkara;
(c). Disebabkan hubungan hukum antara pihak yang berperkara
sudah
tetap dan pasti :
(1). Hubungan hukum tersebut mesti ditaati, dan
(2). Mesti dipenuhi oleh pihak yang dihukum (pihak Tergugat)
(d). Cara menaati dan memenuhi hubungan hukum yang
ditetapkan
dalam amar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang
tetap :
(1). Dapat dilakukan atau dijalankan secara sukarela oleh
pihak
Tergugat, dan
38 Ibid, hlm 6
-
42
(2). Bila enggan menjalankan secara sukarela, hubungan hukum
yang ditetapkan dalam putusan harus dilaksanakan dengan
paksa dengan bantuan kekuatan umum
Pada prinsipnya, apabila terhadap putusan masih ada pihak
yang
mengajukan upaya hukum berupa banding atau kasasi, putusan
yang
bersangkutan belum berkekuatan hukum tetap berdasarkan Pasal
1917 KUHPerdata. Prinsip ini, ditegaskan dalam Putusan MA
No.
1043 K/Sip/197139.
Dengan demikian eksekusi merupakan tindakan paksa yang
dilakukan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum guna
manjalankan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan
hukum tetap. Selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum
tetap, putusan belum dapat dijalankan. Dengan kata lain,
selama
putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, upaya dan
tindakan eksekusi belum dapat berfungsi. Eksekusi baru
berfungsi
sebagai tindakan hukum yang sah dan memaksa, terhitung :
(1). Sejak tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum tetap,
dan
(2). Pihak Tergugat (yang kalah) tidak mau menaati dan
memenuhi
putusan secara sukarela
Sehingga, jika ditinjau dari segi yuridis, asas ini
mengandung
makna bahwa eksekusi menurut hukum perdata adalah
menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Cara
39 Tanggal 3-12-1974, Rangkuman Yurisprudensi MA II (RY MA II),
hlm 271
-
43
menjalankan pelaksanaannya secara paksa dengan bantuan
kekuatan
umum, apabila pihak Tergugat (pihak yang kalah) tidak
memenuhi
putusan secara sukarela. Cara melaksanakan putusan (eksekusi)
diatur
dalam Pasal 195 HIR atau Pasal 206 RBG serta pasal-pasal
berikutnya40.
b. Pengecualian terhadap asas umum
Beberapa pengecualian yang dibenarkan undang-undang yang
memperkenankan eksekusi dapat dijalankan di luar putusan yang
telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, antara lain 41:
(1). Pelaksanaan putusan yang dapat dijalankan terlebih
dahulu
(berdasarkan Pasal 180 ayat 1 HIR atau Pasal 191 ayat 1
RBG);
(2). Pelaksanaan putusan provisi, (berdasarkan Pasal 180 ayat 1
HIR
atau Pasal 191 ayat 1 RBG, maupun Pasal 54 dan 55 RV);
(3). Akta Perdamaian, (berdasarkan Pasal 130 HIR atau Pasal
154
RBG);
(4). Eksekusi terhadap Grosee Akta, (berdasarkan Pasal 224 HIR
atau
Pasal 258 RBG);
(5). Eksekusi Hak Tanggungan (HT) dan Jaminan Fidusia (JF),
(berdasarkan Undang-undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak
Tanggugang dan Undang-undang No. 42 tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia)
40 Ibid, hlm 8 41 Ibid, hlm 9
-
44
2. Putusan tidak dijalankan secara sukarela,
Eksekusi dalam suatu perkara baru tampil dan berfungsi apabila
pihak
Tergugat tidak bersedia menaati dan menjalankan putusan secara
sukarela.
Keengganan Tergugat menjalankan pemenuhan putusan secara
sukarela
akan menimbulkan konsekuensi hukum berupa tindakan paksa
yang
disebut eksekusi42.
3. Putusan yang dapat di eksekusi bersifat Kondemnator
Hanya putusan yang bersifat Kondemnator (condemnatoir) yang
bisa
dieksekusi, yakni putusan yang amar atau diktumnya mengandung
unsur
penghukuman 43. Putusan yang amar atau diktumnya tidak
mengandung
unsur penghukuman, tidak dapat dieksekusi atau
noneksekutebel.
4. Eksekusi atas Perintah dan di Bawah Pimpinan Ketua Pengadilan
Negeri.
Asas ini diatur dalam Pasal 195 ayat 1 HIR atau Pasal 206 ayat 1
RBG.
Didalamnya berisi beberapa hal yang perlu dipedomani dan
dijelaskan,
yakni :
(1). Menentukan Pengadilan Negeri mana yang berwenang
menjalankan
eksekusi putusan, yakni :
a). di Pengadilan Negeri mana perkara (gugatan) diajukan,
dan
b). di Pengadilan Negeri mana perkara diperiksa dan diputus
tingkat
pertama
Manfaat dari ketentuan ini adalah kepastian kewenangan
eksekusi
bertujuan menghindari saling rebutan di antara Pengadilan
Negeri.
42 Ibid, hml 12 43 R. Subekti, Hukum Acara Perdata, (Jakarta :
BPHN, 1977), hlm 128
-
45
(2). Kewenangan menjalankan eksekusi hanya diberikan kepada
Pengadilan Negeri;
(3). Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua
Pengadilan
Negeri.
B. 5. Jenis-jenis Eksekusi
Menurut M. Yahya Harahap, dalam bukunya pada dasarnya ada
dua
bentuk eksekusi ditinjau dari segi sasaran yang hendak dicapai
oleh hubungan
hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan. Adakalanya
sasaran hubungan
hukum yang hendak dipenuhi sesuai dengan amar atau diktum
putusan, yaitu
melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan riil, sehingga
eksekusi
semacan ini disebut eksekusi riil. Adakalanya hubungan hukum
yang mestinya
dipenuhi sesuai dengan amar putusan, melakukan pembayaran
sejumlah uang.
Eksekusi semacam ini disebut eksekusi pembayaran uang44.
Menurut Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata
pembagian
jenis eksekusi meliputi 45:
a. Eksekusi Pasal 196 HIR yaitu eksekusi pembayaran sejumlah
uang
b. Eksekusi yang diatur dalam Pasal 225 HIR yaitu menghukum
seseorang
melakukan suatu perbuatan
c. Eksekusi Riil, yang dalam praktek banyak dilakukan akan
tetapi tidak diatur
dalam HIR.
Menurut Sudikno Mertokusumo, ada beberapa jenis pelaksanaan
eksekusi
antara lain 46:
44 M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm 23 45 Retnowulan Sutantio dan
Iskandar Oeripkartawinata, Op.Cit, hlm 130
-
46
a. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk
membayar
sejumlah uang (Pasal 196 HIR/208 Rbg). Prestasi yang diwajibkan
adalah
membayar sejumlah uang
b. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melaksanakan
suatu
perbuatan (Pasal 225 HIR/259 Rbg). Orang tidak dapat dipaksakan
untuk
memenuhi prestasi yang berupa perbuatan tetapi pihak yang
dimenangkan
dapat meminta pada hakim agar kepentingan yang akan diperolehnya
dinilai
dengan uang
c. Eksekusi riil. Eksekusi riil tidak diatur dalam HIR tetapi
diatur dalam Pasal
133 RV. Eksekusi riil merupakan pelaksanaan prestasi yang
dibebankan pada
debitor oleh putusan hakim secara langsung
d. Eksekusi parate atau eksekusi langsung (Pasal 1155
KUHPerdata)
Menurut Mochammad Djais, jenis-jenis eksekusi dapat dibagi
berdasarkan
objek dan prosedurnya yaitu sebagai berikut 47:
1) Berdasarkan objek, eksekusi meliputi :
a. Eksekusi putusan hakim
b. Eksekusi grosse utang notariil
c. Eksekusi benda jaminan (objek gadai, hak tanggungan, fidusia,
cessie,
sewa beli, leasing)
d. Eksekusi piutang negara baik yang timbul dari kewajiban
(utang, pajak,
utang biaya masuk) maupun perjanjian (kredit, macet bank
pemerintah,
piutang BUMN maupun BUMD)
46 Sudikno Mertokusumo,Op.Cit, hlm 206 47 Mochammad Djais, Op
Cit, hlm 17
-
47
e. Eksekusi putusan lembaga yang berwenang menyelesaikan
sengketa
(Putusan P4D/P4P, Mahkamah Pelayaran, Lembaga Arbitrase,
Alternative Dispute Resolution (ADR), Lembaga-lembaga
Internasional,
Pengadilan Asing)
2) Berdasarkan prosedur, eksekusi terdiri dari :
a. Eksekusi tidak langsung, meliputi
(a). Sanksi/hukuman membayar uang paksa, berdasarkan perjanjian
atau
putusan hakim
(b). Sandera (gijzeling), Pasal 209-223 HIR
(c). Penghentian/pencabutan langganan, ini didasarkan pada
perjanjian
yang dapat ditemukan dalam perjanjian langganan listrik,
telepon, air
minum dan sebagainya
b. Eksekusi langsung, meliputi :
(a). Eksekusi biasa (membayar sejumlah uang)
(b). Eksekusi riil (terhadap putusan pengadilan dan objek
lelang)
(c). Eksekusi melakukan suatu perbuatan
(d). Eksekusi dengan pertolongan hakim
(e). Eksekusi parat
(f). Eksekusi penjualan dibawah tangan atas benda
(g). Eksekusi piutang sebagai jaminan (berdasarkan
perjanjian)
(h). Eksekusi dengan ijin hakim
(i). Eksekusi oleh diri sendiri
-
48
Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa eksekusi tidak
hanya
terhadap putusan hakim saja namun mencakup pelaksanaan eksekusi
dalam
praktek yaitu eksekusi berdasarkan perjanjian dan undang-undang.
Bahkan dapat
diperluas lagi dengan eksekusi terhadap sesuatu yang menggangu
hak dan
kepentingan, hal ini menunjukkan bahwa eksekusi bukan saja
merupakan
pelaksanaan putusan hakim tetapi eksekusi merupakan suatu upaya
realisasi hak.
-
49
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Putusan Atau Eksekusi Terhadap 2 (Dua)
Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Yang Telah Berkekuatan
Hukum
Tetap Atas Objek Sengketa Yang Sama, Telah Sesuai Dengan
Peraturan
Perundang-Undangan Yang Berlaku Di Indonesia
Pada hakikatnya peran hukum dalam masyarakat mempunyai fungsi
dan
andil yang sangat penting dalam mengatur pola-pola interaksi
agar tidak terjadi
konflik antar anggota masyarakat. Dengan adanya hukum maka hak
dan
kewajiban anggota masyarakat menjadi jelas dan terjamin. Hukum
akan
melindungi hak tiap-tiap orang dan menjaga keseimbangan yang
serasi antara
berbagai kepentingan yang ada. Dan jika terjadi pelanggaran,
hukum berfungsi
menyeimbangkan kembali keadaan yang tidak seimbang tersebut.
Menurut JF. Glastra van Loon48, peran hukum dalam masyarakat
dapat
dibedakan sebagai berikut :
1). Alat menertibkan masyarakat dan mengatur pergaulan
hidup,
2). Menyelesaikan pertikaian,
3). Memelihara dan mempertahankan tata tertib/aturan yang
pelaksanaannya
dapat dipaksakan (memaksa),
4). Pengubah tata tertib/aturan dalam rangka menyesuaikan
dengan
perkembangan dalam masyarakat.
48 JF. Glastra van Loon, dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,
(Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hlm 100
-
50
Dengan peran/fungsi hukum tersebut diatas, maka tujuan hukum
yaitu;
keadilan (justice), kepastian hukum (rechtszekerheidllegal
security), dan hasil
guna (doelmatigheid) akan tercapai.
Namun ketika keseimbangan tersebut terganggu dan menimbulkan
kerugian,
maka orang yang merasa haknya dirugikan dapat mengajukan gugatan
melalui
jalur hukum sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Menurut Darwan Prints, SH, gugatan merupakan suatu upaya atau
tindakan
untuk menuntut hak atau memaksa pihak lain untuk melaksanakan
tugas atau
kewajibanny