Top Banner
TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH Wilayah adalah Daerah yang memiliki karakteristik yang sama baik secara alam maupun manusia yang memiliki batas administratif yang jelas sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan dalam undang-undang yang berlaku. Perbedaan Antara Perencanaan Wilayah Dan Perencanaan Sektoral 1. Perencanaan Wilayah Lebih menitik beratkan pada ruang (spasial) Perkembangan wilayah lebih di titik beratkan pada sektor ekonomi Mengenal wilayah dengan potensi, kendala, dan masalah dari wilayah tersebut Menggunakan asas desentrlisasi Bertujuan untuk pembangunan wilayah Harus ada keterpaduan antar sektoral atau lembaga 2. Perencanaan Sektoral Perencanaan sektoral lebih menitik beratkan pada aspatial bukan keruangan Ruang lingkup terdiri atas pertanian, industri, pertambangan, listrik, air, perdagangan dan jasa , keuangan dan perbankan
86

TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

Jul 05, 2015

Download

Documents

Risya Septiani
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

Wilayah adalah Daerah yang memiliki karakteristik yang sama

baik secara alam maupun manusia yang memiliki batas

administratif yang jelas sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan

dalam undang-undang yang berlaku. Perbedaan Antara

Perencanaan Wilayah Dan Perencanaan Sektoral

1. Perencanaan Wilayah

Lebih menitik beratkan pada ruang (spasial)

Perkembangan wilayah lebih di titik beratkan pada sektor

ekonomi

Mengenal wilayah dengan potensi, kendala, dan masalah dari

wilayah tersebut

Menggunakan asas desentrlisasi

Bertujuan untuk pembangunan wilayah

Harus ada keterpaduan antar sektoral atau lembaga

2. Perencanaan Sektoral

Perencanaan sektoral lebih menitik beratkan pada aspatial

bukan keruangan

Ruang lingkup terdiri atas pertanian, industri, pertambangan,

listrik, air, perdagangan dan jasa , keuangan dan perbankan

Tidak melihat pada wilayah atau karekteristik wilayah

diabaikan

Menggunakan asas dekonsentrasi (top down )

Bertujuan untuk pengembangan daerah

Tidak melihat dimensi kepentingan yang sangat penting

Page 2: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

A. Teori-Teori Pengembangan Wilayah

Dalam mengembangan suatu wilayah diperlukannya

beberapa teori-teori yang dijadikan sebagai dasar atau acuan dalam

pengembangan wilayahnya. Teori pengembangan wilayah

merupakan teori-teori yang menjelaskan bagaimana wilayah

tersebut akan berkembang, faktor-faktor yang membuat wilayah

tersebut berkembang, dan bagaimana proses perkembangannya.

Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Teori Export Base

Teori ini menjelaskan bahwa tumbuh dan berkembangnya

suatu wilayah merupakan fungsi dari tumbuh dan berkembangnya

aktivitas export base/basis ekspor. Aktivitas ekonomi suatu wilayah

dilihat dari aktivitas ekonomi dasar (export base) dan aktivitas

ekonomi penunjang (service).

Teori export base yaitu teori ekonomi, pertama kali

dikembangkan oleh Douglas C. North pada tahun 1955. Menurut

North, pertumbuhan wilayah jangka panjang bergantung pada

kegiatan industri expornya. Suatu wilayah memiliki sektor ekspor

karena sektor itu menghasilkan keuntungan dalam memproduksi

barang dan jasa, mempunyai sumber daya yang unik untuk

memproduksi barang dan jasa, mempunyai lokasi pemasaran yang

unik, dan mempunyai beberapa tipe keuntungan transportasi. Teori

Teori export base mengandung daya tarik intuitif dan

kesederhanaan, seperti halnya dianggap sebagai dasar teori,

Page 3: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

berdasarkan konsep beberapa sektor ekonomi eksternal ke dalam

wilyah untuk menstimulasikan perubahan secara cepat perubahan

pendapatan wilayah bergantung pada perubahan permintaan

ekspor.

Kekuatan utama dalam pertumbuhan wilayah adalah

permintaan eksternal akan barang dan jasa, yang dihasilkan dan

diekspor oleh wilayah tersebut. Permintaan eksternal ini

mempengaruhi pengguanaan modal, tenaga kerja, dan teknologi

untuk menghasilkan komoditas ekspor. Dengan kata lain,

permintaan komoditas ekspor akan membentuk keterkaitan

ekonomi, baik kebelakang (kegiatan produksi) maupun kedepan

(sektor pelayanan).

Adapun penekanan teori ini adalah pentingnya keterbukaan

wilayah yang dapat meningkatkan aliran modal dan teknologi yang

dibutuhkan untuk kelanjutan pembangunan wilayah. Teori export

base mengandung daya tarik intuitif dan kesederhanaan. Teori ini

memandang bahwa pada dasarnya aktifitas ekonomi dalam suatu

wilayah terbagi menjadi aktifitas basic (suatu aktifitas ekonomi

yang cenderung menjadi aktifitas eksport) dan aktifitas lokal

(aktifitas sosio-ekonomi yang melayani aktifitas basic dianggap

sebagai tumbuh-kembangnya suatu wialyah). Termasuk pula dalam

teori ini , bagaimana peran SDA dalam perencanaan wilayah.

Kelemahan dari teori ini adalah hanya mengandalkan pada satu

sektor saja. Teori export base adalah:

Teori yang membahas atau membagi wilayah kedalam dua

barisan yaitu sektor basis ( ekspor) dan non basis (pendukung

ekspor)

Page 4: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

Wilayah akan berkembang bila ekspor atau memiliki sektor

basis multiplier (bangkitan ekonmi yang ditimbulkan aktivitas

sektor basis sebagai pertumbuhan wilayah)

Sedangkan sektor non basis merupakan pendukung dari sektor

basis

Teori export base berasal dari teori lokasi dimana terdapat dua

prinsip penting dalam teori lokasi, yaitu :

1. Minimisasi ongkos (transport)

2. Maksimasi keuntungan

Aglomerasi merupakan keuntungan pemakaian bersama-

sama input (bahan baku) dan prasarana/infrastruktur yang sama.

Terbentuknya kota dalam teori lokasi dikarenakan oleh pemusatan

kegiatan ekonomi. Terbentuknya pertumbuhan wilayah menurut

teori lokasi terdiri atas:

a. Wilayah terdiri dari satu wilayah kecil dan sifatnya

(pengelompokan masyarakat) masih bertani.

b. Adanya pengembangan sektor transportasi, ada hubungan

masyarakat dengan masyarakat lainnya (interaksi rasional),

ada pengelompokan baru.

c. Perkembangan sektor transportasi antar rasional.

d. Tahap industrialisasi atau aglomerasi industri

e. Eksport-import merupakan comperative adventage

(keuntungan dari wilayah )

Gambar 2Sektor Eksport Base

Page 5: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

Suatu wilayah akan berkembang dengan baik, jika wilayah

tersebut mempunyai sektor export base, sebab :

secara ekonomi keuntungannya meningkat

secara spasial akan membentuk nodal-nodal

Teori export base terdiri atas sektor basis dan sektor non basis.

Dimana sektor basis merupakan sektor penunjang yaitu :

1. industri penunjang penyediaan bahan baku

2. industri jasa perdagangan (perbankan, diklat)

3. industri penyedia industri untuk konsumsi lokal (pedagang

eceran)

Keterkaitan antara sektor non basis dan basis menggunakan

metode multiplier effect yaitu bangkitan atau pengaruh yang

ditimbulkan oleh sektor basis, dan sejauh mana sektor basis

mempengaruhi sektor non basis.

M= sektor non basissektor basis

Prinsip export base adalah:

Page 6: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

1. Suatu wilayah akan maju atau berkembang, maka wilayah

tersebut akan berorientasi pada eksport/permintaan dari luar

(adanya sektor basis)

2. Adanya sektor non basis maka akan ada effect multiplier

berlipat ganda, aktivitas yang timbul dari aktivitas basis

Jenis multiplier terdiri atas:

1. Multiplier lokal yaitu keuntungan yang diperoleh daerah itu

sendiri

2. Multiplier non lokal, yaitu keuntungan yang diperoleh bukan

oleh daerah itu sendiri

Wilayah berkembang karena :

1. Proses multiplier (teori economic base)

2. Proses linkage (kleterkaitan) yaitu teori input output

3. Mobilitas sektor produksi dan perdagangan antar wilayah

(teori neo klasik)

4. Siklus produksi (teori siklus produksi)

5. Timbulnya wiraswasta lokal (teori lokal ekonomi development)

Kelemahan dari teori export base adalah :

Sumber : resume mata kuliah perencanaan wilayah

Gambar 3Effect Multiplier

Page 7: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

1. Tidak menjelaskan keterkaitan antara satu sektor dengan

sektor lainnnya, sebab dalam export base menghitung

/melihat perekonomian secara agregat

2. Tidak bisa menghitung effect yang dikeluarkan dari suatu

investasi

3. Di satu wilayah, perkembangannya hanya diandalkan pada

sektor basis

4. Hanya melihat dari segi demand side

Cara untuk mengetahui suatu sektor masuk dalam basic atau

non basic, menggunakan lingkage system (sistem keterkaitan).

Diamana lingkage system yaitu: bersifat antar daerah, bagaimana

keterkaitan antar daerah terjadi, sehingga masing-masing daerah

Sumber : resume mata kuliah perencanaan wilayah

Gambar 4Proses Multiplier

Page 8: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

mampu untuk mengambil keuntungan (ekonomi) dari adanya

keterkaitan tersebut.

Penyebab adanya lingkage system adalah dari sumber daya

yang diambil dari tiap daerah terbatas, sehingga setiap wilayah

tersebut harus memilih untuk spesialisasinya pada barang dan jasa

yang mempunyai keunggulan tinggi, bila dibandingkan dengan

daerah lain. Barang/jasa yang menjadi unggulan di daerah tersebut

(basis) disebut leading sector.

Linkage system mempelajari tentang aliran-aliran produksi,

baik barang/jasa yang potensial, sehingga lingkage system akan

mampu menjawab permasalahan tentang bagaimana posisi

potensial/aktual suatu daerah terhadap interegional, sehingga

dapat memberikan basis/ dasar untuk memunculkan aliran, baik

inter-regional maupun intra-regional dari barang/jasa untuk

memperoleh perekonomian daerah. Metoda yang digunakan dalam

linkage adalah LQ (Location Quotiens) merupakan metoda yang

statis dalam membandingkan suatu daerah dengan daerah yang

lebih luas (referensi yang mencakup daerah tersebut).

Yang dibandingkan dalam LQ adalah :

1. Tenaga kerja, industri, atau sektor tertentu

2. Output/produk dari industri/sektor tertentu

asumsi daerah dalam LQ :

1. Wilayah itu sendiri (wilayah yang kecil)

2. Wilayah diluar wilayah tersebut (daerah yang lebih luas)

LQ= Xa / Xa'Xb / Xb'

Keterangan :

Page 9: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

Xa = jumlah tenaga kerja/output yang dihasilkan oleh

industri atau sektor tertentu diwilayah yang lebih kecil

Xa’ = jumlah total tenaga kerja/output yang dihasilkan oleh

industri atau sektor tertentu di wilayah yang lebih kecil

Xb = jumlah tenaga kerja/output yang dihasilkan oleh

industri atau sektor tertentu di wialyah yang lebih besar

Xb’ = jumlah total tenaga kerja/output yang dihasilkan oleh

industri atau sektor tertentu di wilayah yang lebih besar

Dimana nilai LQ :

LQ < 1 merupakan sektor non basis, daerah tersebut

mempunyai ukuran spesifikasi lebih kecil (under

representatif), bila dibandingkan dengan daerah referensinya

(daerah yang lebih besar pada industri/ sektor x (sektor

penunjang)

LQ > 1 merupakan sektor basis, daerah tersebut

mempunyai ukuran spesifikasi lebih besar (over

representatif), bila dibandingkan dengan daerah referensinya

(daerah yang lebih besar pada industri/ sektor x (sektor

penunjang)

LQ = 1 memiliki ukuran sama (bukan basis ataupun non

basis)

2. Teori Pentahapan

Pandangan teori tersebut menekankan bahwa suatu

wilayah/negara akan mengalami pertumbuhan secara linier. Teori

pentahapan ini dikembangkan oleh sependuduk ahli ekonomi.

a. Rostow

Page 10: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

Yang mengatakan bahwa : Pentingnya Investasi dan Inovasi.

Menyatakan bahwa suatu wilayah / negara tumbuh dan

berkembang melalui tahapan/fase yang sama, yaitu tradisional–

prakondisi tinggal landas–tinggal landas–menuju kematangan–

sampai dengan tingkat konsumsi masa tinggi. Misalnya: dari

pertanian di kembangkan industri yang memerlukan investasi dan

modal untuk dikembangkan lagi menjadi perdagangan dan jasa.

Dimana faktor investasinya adalah keterampilan sedangkan modal

adalah teknologi dan infrastruktur .

Teori pembangunan ekonomi ini muncul pada awalnya

merupakan artikel yang dimuat dalam Economic Journal (1956),

selanjutnya dikembangkan dalam buku yang berjudul The Stages of

Economics, (1960). Teori pembangunan Rostow ini termasuk

dalam teori linier tahapan pertumbuhan ekonomi, yang

memandang proses pembangunan sebagai suatu tahap-tahap yang

harus dialami oleh seluruh negara. Proses pembangunan sebagai

suatu urutan tahap-tahap yang harus dilalui oleh seluruh negara.

Industrialisasi merupakan salah satu kunci dari perkembangan

Menurut Walt W. Rostow, pembangunan ekonomi atau

transformasi suatu masyarakat tradisional menjadi suatu

masyarakat modern merupakan proses yang multidimensi.

Pembangunan ekonomi bukan saja pada perubahan dalam struktur

ekonomi, tetapi juga dalam hal proses yang menyebabkan:

1)   Perubahan reorientasi organisai ekonomi

2)   Perubahan masyarakat

3)   Perubahan penanaman modal, dari penanam modal tidak

produktif ke penanam modal yang lebih produktif

Page 11: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

4)   Perubahan cara masyarakat dalam membentuk kedudukan

sesependuduk dalam sistem kekeluargaan menjadi

ditentukan oleh kesanggupan melakukan pekerjaan

5)   Perubahan pandangan masyarakat yang pada mulanya

berkeyakinan bahwa kehidupan manusia ditentukan oleh

alam

Dalam dimensi ekonominya menurut Rostow, semua

masyarakat dikelompokkan ke dalam salah satu dari lima tahap

pertumbuhan, yakni:

a. Masyarakat tradisional (the traditional society)

b. Prasyarat pra-lepas landas (precondition for take-off)

c. Lepas landas (take-off)

d. Tahap menuju kematangan (the drive to maturity)

e. Masyarakat berkonsumsi tinggi (the age of high mass

consumption)

Konsep dasar Teori Tahapan Pertumbuhan Rostow:

1. Ada pentahapan pembangunan yang harus dilalui oleh seluruh

negara:

a.   Masyarakat tradisional (the traditional society) /fungsi

produksi yang terbatas, didasarkan pada teknologi dan

ilmu pengetahuan yang sederhana dan sikap masyarakat

primitif, serta berpikir irasional /meliputi masyarakat yang

sedang dalam proses peralihan, yaitu suatu periode yang

sudah mempunyai prasyarat-prasyarat untuk lepas landas.

b.    Prasyarat untuk take-off (Pre conditions for take-off

/tinggal landas)

Page 12: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

c.   Take off /dimotori oleh teknologi industri dan pertanian,

pembagunan prasarana serta tumbuhnya kekuatan politik

yang sangat peduli akan modernisasi dan pertumbuhan

ekonomi

d.   Tahap menuju kematangan (drive to maturity) /didasari

oleh pertumbuhan industri yang beraneka ragam dan telah

terkait dengan pasar internasional.

e.   Komsumsi Masal (High Mass Consumption) /pendapatan

per kapita yang tinggi dan persoalaan telah beralih dari

pertumbuhan industri ke kesejahteraan sosial yang lebih

tinggi (Walfare State).

 

2.    Perlu peranan pemerintah pada proses tersebut (perencanaan).

Rostow membagi sektor-sektor ekonomi dalam tiga sektor

pertumbuhan:

a)  Sektor primer /sektor pertanian

b)  Sektor Supplemen /sektor yang tumbuh sebagai

pertumbuhan sektor primer seperti pertambangan dan

pengakutan.

c)   Sektor tarikan (derived sector)/industri dan perumahan.

b. Douglass North

Menyatakan bahwa suatu wilayah / negara tumbuh dan

berkembang mengikuti pola definitif (tahapan yang jelas, yaitu :

subsistansi ekonomi– perdagangan dan spesialisasi lokal –

perdagangan antar wilayah–industrilisasi– spesialisasi pada industri

tersier (jasa).

Page 13: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

c. Gunnar Myrdal

Pada pertengahan tahun 1950-an, Gunnar Myrdal (1957)

melontarkan thesis tentang keterbelakangan yang terjadi di negara-

negara berkembang. Menurut Myrdal adanya hubungan ekonomi

antara negara maju dengan negara belum maju yang telah

menimbulkan ketimpangan internasional dalam pendapatan per

kapita dan kemiskinan di negara yang belum maju.

Adapun faktor utama yang menyebabkan ketimpangan ini

adalah adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, adanya

pasar yang luas dan konsentrasi modal keuangan di negara maju.

Kemakmuran kumulatif timbul di negara maju dan kemiskinan

kumulatif dialami rakyat di negara miskin. Dengan perkataan lain,

hubungan ekonomi antara negara maju dengan negara miskin

menimbulkan efek balik (backwash effect) yang cenderung

membesar terhadap negara miskin. Myrdal (1957) mengemukakan

pemikirannya mengenai prakondisi struktural yang harus dimiliki

oleh negara sedang berkembang dalam melaksanakan proses

pembangunan, antara lain adalah sebagai berikut :

1.   Sebagian besar rakyat di negara sedang berkembang berada

dalam situasi kekurangan gizi yang parah dan berada dalam

kondisi yang menyedihkan baik dalam tingkat kesehatan,

fasilitas pendidikan, perumahan dan sanitasi

2.   Sebagian besar rakyat di negara sedang berkembang berada

dalam situasi kekurangan gizi yang parah dan berada dalam

kondisi yang menyedihkan baik dalam tingkat kesehatan,

fasilitas pendidikan, perumahan dan sanitasi.

3.   Adanya struktur sosial yang sangat timpang sehingga alokasi

sumber-sumber ekonomi yang produktif sangat banyak untuk

Page 14: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

keperluan memproduksi barang-barang mewah (conspicuos

consumption).

Menurut Myrdal, upaya untuk memberantas kemiskinan di

negara yang belum maju harus dilakukan dengan campur tangan

pemerintah terutama dalam mempengaruhi kekuatan pasar bebas.

Kemudian tentang teori keunggulan komparatif yang

digunakan oleh ahli ekonomi neoklasik tidak dapat dijadikan

petunjuk untuk proses alokasi sumber-sumber ekonomi. Harus ada

perlindungan atas industri-industri rakyat yang belum berkembang

dari persaingan dengan luar negeri.

3. Teori Neo klasik

Suatu negara/ wilayah berkembang berdasarkan tahapan –

tahapan mulai dari tradisional – pratradisional sampai pada tahap

moderinisasi, dengan pemikiran dasar bahwa mekanisme pasar

berkembang untuk mencapai keseimbangan, ekonomi merupakan

aspek penting dalam pengembangannya dan proses perkembangan

ekonomi dapat diramalkan.

Dalam kaitan dengan negara–negara yang sudah

berkembang. Teori pertumbuhan ekonomi pada pertengahan abad

ke-20 pada dasarnya bersumber pada Karya Tinbergen (1942)

dan Harrod (1939) kedua ahli ekonomi ini melihat bahwa dalam

pertumbuhan nasional. Modal (investasi) merupakan bagian dari

output nasional. Akan tetapi mereka mempunyai pandangan yang

berbeda terhadap peran teknologi dalam pertumbuhan nasional.

Tinbergen yakin bahwa teknologi dapat diganti (disubstitusi) oleh

Page 15: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

buruh/pegawai dan modal (capital), sedangkan Harrod percaya

bahwa buruh dan modal bersifat saling melengkapi satu dengan

lainnya (perfectly complementary to each other).

Ahli ekonomi lainnya, Kaldor (1957, 1961, 1962) mengajukan

teori pertumbuhan ekonomi pada negara-negara yang sudah maju,

yang berbeda dari apa yang dikemukakan oleh Tinbergen dan

Harrod. Pada dasarnya model kaldor adalah kombinasi dari teori

Keynes tentang saving, yaitu rate of groth adalah sama dengan

produk rete keuntungan (profit rate) dan kecenderungan untuk

menabung profit tersebut (the propensity to save out of profits),

dan teknologi.

Pada tahun 1954 W.A. Lewis memperkenalkan sebuah teori

tentang pembangunan ekonomi pada kotak jumlah labor yang tidak

terbatas. Lewis beragumentasi bahwa baik teori Keynes ataupun

teori Neo-klasik tentang pertumbuhan ekonomi yang ada pada saat

itu tidak dapat diterapkan pada negara-negara dengan surplus

buruh yang tidak terbatas.

Basis model Lewis adalah bahwa ekonomi nasional negara-

negara yang terbelakang dapat dibagi menjadi dua sektor, yaitu

tradisional (agricultire) dan modern (industrial) sektor.

Pertumbuhan dalam sektor-sektor industri dapat menyerap surplus

tenaga kerja dalam sektor pertanian, sampai terjadi suatu

keseimbangan baru (eqilibrium) dengan asumsi bahwa tingkat upah

pada sektor industri lebih tinggi dari pertanian (Lewis, 1958).

Sampai di sini, dapat dikatakan bahwa teori Neo-klasik

tentang pertumbuhan ekonomi, baik untuk negara yang sudah dan

sedang berkembang, mencoba menjelaskan saling-ketergantungan

antara komponen-komponen pertumbuhan ekonomi, seperti model,

Page 16: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

tabungan, buruh, teknologi dan pertumbuhan penduduk. Menurut

teori-teori ini, mekanisme pasar (eqilibrium mechanism) bekerja

untuk mengoreksi ketidakseimbangan (disequilibirum) masyarakat

yang sedang berkembang adalah faktor penggerak utama bagi

pengembangan masyarakat tersebut (Rimmer dan Forbes, 1982).

Dalam hal ini model-model, teknik-teknik dan ideal-ideal yang telah

dikembangkan di masyarakat yang telah maju dapat digunakan

untuk masyarakat yang sedang berkembang. Kedua, pertumbuhan

ekonomi merupakan tujuan utama, dan ketiga, pengunaan teknik-

teknik statistik dapat memberikan jawaban (Mc Gee, 1978). Dalam

teori neoklasik terdapat:

Terdapat istilah keseimbangan jangka panjang

Campur tangan pemerintah tidak di perlukan, karena seiring

dengan berjalannya waktu pasti akan terjadi keseimbangan

antar wilayah

Teori neoklasik merupakan reaksi dari teori klasik dimana

pertumbuhan ekonomi suatu negara tergantung pada kekuatan

pasar yaitu : modal (Capital), tenaga kerja (labour), teknologi

dengan rumus :

Yt = Kt + Lt+Tt

Keterangan :

Yt = tingkat pertumbuhan ekonomi negara tahun t

Kt = jumlah/stok modal tahun t/tingkat pertumbuhan

modal

Lt = jumlah tenaga kerja tahun t

Tt = tingkat teknologi tahun t

= tingkat produksi yang dihasilkan dengan

penambahan/unit kapital/ kontribusi kapital terhadap output

Page 17: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

= tingkat produksi yang dihasilkan dengan

penambahan satu unit tenaga kerja/kontribusi tenaga kerja

terhadap output

Asumsi + = 1

= 1 - Yt = Kt x L1-

Perbedaan antara klasik dan neo klasik adalah :

1. Klasik dalam hal rasio, modal dan produksi tetap/berbanding

lurus

2. Neo klasik dalam hal rasio, modal dan produksi berubah

tergantung berapa besar kita memberi proporsi modal dan

tenaga kerja

Pertumbuhan wilayah (Regional Growth) bisa dilihat dari :

Output PDRB (satuan yang digunakan untuk menggambarkan

output)

Output /tenaga kerja

Output/penduduk total

Gambar 5Perbandingan Klasik Dan Neo Klasik

Page 18: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

PDRB/nilai tambah dipengaruhi oleh : teknologi (peningkatan

teknologi bisa menekan ongkos produksi), modal (dari dan dalam

wilayah itu sendiri atau dari luar ilayah itu sendiri), dan tenaga

kerja. Dalam konteks wilayah, output/PDRB digambarkan dengan

batasan:

Faktor produksi dalam teori neo klasik terdiri dari tenaga kerja

dan modal. Faktor yang mempengaruhi perpindahan modal adalah :

biaya produksi, pajak, fasilitas, infrastruktur, dan kelengkapan

wilayah yang meliputi :

Perpindahan arus modal

Output(Pertumbuhan Wilayah)

Teknologi Capital Tenaga Kerja

Dalam (Investasi Penduduk dari Dalam)

Luar (Investasi Penduduk dari luar)

Tabungan Tingkat untuk mengembalikan utangPajak, infrastruktur, pemasaran.

Dalam jumlah penduduk yang mau bekerja/usia produktif di wilayah tersebut

LuarPerbedaan upah

Gambar 6Pertumbuhan Wilayah

Page 19: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

Perpindahan arus tenaga kerja

Masalah yang timbul adalah : wilayah tidak selamanya sama

(ada yang maju dan ada yang terbelkang , perbedaan tingkat upah

(ada yang tinggi dan ada yang rendah). Pada negara maju, pasti

terdapat ketidakmerataan pembangunan pada daerahnya sebab

modal dan tenaga kerja terkonsentrasi pada satu wilayah tertentu

saja. Terdapat proses yang alami. Yaitu ada ketidakmerataan arus

modal dan tenaga kerja, serta pada suatu wilayah akan tercpai

kemerataan.

Diversensi pada awal perkembangan wilayah yaitu

konversensi wilayah setelah mencapai tingkat equilibrium pada

suatu titik ( tingkat upah tidak akan naik dan kebijaksanaan

pemerintah). Neo klasik sebagai mobilitas faktor produksi dan

perdagangan antar wilayah.

4. Keynessian Theory (Keseimbangan)

Model negara ditempatkan di wilayah teori pertumbuhan

wilayahnya berbicara mengenai keuntungan aglomerasi,

lokasi dan pola migrasi penduduk

Terdapat campur tangan pemerintah

Teori ini lahir pada tahun 1930 untuk menjawab krisis ekonomi

dunia .

Perusahaan

Negara

Rumah Tangga

Upah/sewa

Pajak Pajak

Gambar 7Sistem Ekonomi Tertutup

Page 20: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

Model keseimbangan yaitu pendapatan = pengeluaran dengan

rumus:

Y = C + i + G + (x-m)

Keterangan :

C = konsumsi I = Investasi G = Government

(APBD/APBN)

X = eksport M = import

5. Commulative Causative (Keynes, Myrdal)

Pengeluaran RT berupa konsumsi

Pengeluaran Pemerintah Gaji

Negara

Perusahaan

Luar Negeri

Rumah Tangga

Ekspor

ImportImport

Import

Gambar 8Sistem Ekonomi Terbuka

Page 21: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

Berbicara tentang interfensi atau interaksi (akan ada

gaya dari inti ke pinggiran) antara wilayah inti dengan wilayah

pinggiran

Verdoorn Effect : suatu wilayah yang telah berkembang akan lebih

berkembang, akumulasi dan terus menerus mengalami

perkembangan yang sangat pesat.

Memperluas wilayah dengan basis keuangan

Meningkatkan sektor pelayanan

Meningkatkan tenaga kerja

Meningkatkan pelayanan lokal

Meningkatkan populasi dan tenaga kerja Memperluas supply

lokal

Pembangunan infrastruktur

Lokasi wilayah ekspor yang baru

Meningkatkan aglomerasi ekonomi

Sumber : resume mata kuliah perencanaan wilayah

Gambar 9Commulative Causative

Page 22: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

Untuk mengetahui seberapa besar ketimpangan suatu

wilayah dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai

berikut.

Vw=V i(Yi−Y ')fi /n

Y '

Keterangan :

Vw = ketimpangan wilayah Yi = pendapatan perkapita daerah Y’ = pendapatan perkapita negara Fi = jumlah penduduk daerah i n = jumlah penduduk nasional

6. Teori Daerah/Wilayah Inti

Friedmann (1964) menganalisis aspek-aspek tata

ruang, lokasi, serta persoalan-persoalan kebijakan dan

perencanaan pengembangan wilayah dalam ruang lingkup

yang lebih general. Pusat-pusat besar pada umumnya

berbentuk kota-kota besar, metropolis atau megapolis,

dikategorisasikan sebagai daerah inti, dan daerah-daerah

yang relatif statis sisanya merupakan, subsistem-subsistem

yang kemajuan pembangunannya ditentukan oleh lembaga-

lembaga di daerah inti dalam arti bahwa daerah-daerah

pinggiran berada dalam suatu hubungan ketergantungan

yang substansial. Daerah inti dan wilayah pinggiran bersama-

sama membentuk sistem spasial yang lengkap.

Page 23: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

Pada umumnya daerah-daerah inti melaksanakan fungsi

pelayanan terhadap daerah-daerah sekitarnya. Beberapa

daerah inti memperlihatkan fungsi yang khusus, misalnya

sebagai pusat perdagangan atau pusat industri, ibu kota

pemerintah, dan sebagainya.

Hubungan dengan peranan daerah inti dalam

pembangunan spasial, Friedmann mengemukakan lima buah

preposisi utama, yaitu sebagai berikut (N.M. Hansen; 1972,

96-99 dalam Adisasmita; 119):

1. Daerah inti mengatur keterhubungan dan ketergantungan

daerah-daerah di sekitarnya melalui sistem supply, pasar dan

daerah administrasi.

2. Daerah inti meneruskan secara sistematis dorongan-dorongan

inovasi ke daerah-daerah di sekitarnya yang terletak dalam

wilayah pengaruhnya.

3. Sampai pada suatu titik tertentu pertumbuhan daerah inti

cenderung mempunyai pengaruh positif dalam proses

pembangunan sistem spasial, akan tetapi mungkin pula

mempunyai pengaruh negatif jika penyebaran pembangunan

wilayah inti kepada daerah-daerah di sekitarnya tidak berhasil

ditingkatkan, sehingga keterhubungan dan ketergantungan

daerah-daerah di sekitanya terhadap daerah inti menjadi

berkurang.

4. Dalam suatu sistem spasial, hirarki daerah-daerah inti

ditetapkan berdasar pada kedudukan fungsionalnya masing-

masing meliputi karakteristik-karakteristiknya secara

terperinci dan prestasinya.

Page 24: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

5. Kemungkinan inovasi akan ditingkatkan ke seluruh daerah

sistem spasial dengan cara mengembangkan pertukaran

informasi.

Teori ini memiliki kelemahan yaitu :

Teori ini tidak membahas masalah pemilihan lokasi optimum

industri dan tidakpula menentukan jenis investasi apa yang

sebaiknya ditetapkan di pusat-pusat urban, oleh karena itu

mereka di klasifikasikan sebagai tanpa tata ruang.

Dominannya pusat-pusat urban dapat menimbulkan dampak

negatif yaitu munculnya susunan-susunan ketergantungan

dualistik menimbulkan akibat-akibat yang mendalam bagi

pembangunan nasional.

7. Model Gravitasi Sebagai Faktor Penting Penentu Lokasi

Model gravitasi adalah model yang paling banyak

digunakan untuk melihat besarnya daya tarik dari suatu

potensi yang berada pada suatu lokasi. Model ini sering di

gunakan untuk melihat kaitan potensi suatu lokasi dan

besarnya wilayah pengaruh dari potensi tersebut. Dalam

perencanaan wilayah, model ini sering dijadikan alat untuk

melihat apakah lokasi berbagai fasilitas kepentingan umum

telah berada pada tempat yang benar. Selain itu, apabila kita

ingin membangun suatu fasilitas yang baru maka model ini

dapat digunakan untuk menentukan lokasi yang optimal.

Artinya, fasilitas itu akan digunakan sesuai dengan

kapasitasnya. Model gravitasi berfungsi ganda, yaitu sebagai

teori lokasi dan sebagai alat dalam perencanaan.

Page 25: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

Teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang

(spatial order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki

alokasi geografis dari sumber-sumber yang potensial, serta

hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap

keberadaan berbagai macam usaha/kegiatan lain baik

ekonomi maupun sosial (Tarigan, 2006:77).

Terkait dengan lokasi maka salah satu faktor yang

menentukan apakah suatu lokasi menarik untuk dikunjungi

atau tidak adalah tingkat aksesibilitas. Tingkat aksesibilitas

adalah tingkat kemudahan untuk mencapai suatu lokasi

ditinjau dari lokasi lain di sekitarnya (Tarigan, 2006:78).

Menurut Tarigan, tingkat aksesibilitas dipengaruhi oleh jarak,

kondisi prasarana perhubungan, ketersediaan berbagai

sarana penghubung termasuk frekuensinya dan tingkat

keamanan serta kenyamanan untuk melalui jalur tersebut.

Dalam analisis kota yang telah ada atau rencana kota, dikenal

standar lokasi (standard for location requirement) atau

standar jarak (Jayadinata, 1999:160) seperti terlihat pada

Tabel berikut:

Tabel 1Standar Jarak Dalam Kota

No

Prasarana Jarak dari tempat tinggal (berjalan kaki)

1 Pusat tempat kerjaPusat kota (dengan pasar, dan sebagainya)Pasar lokal

20 sampai 30 menit30 sampai 45 menit¾ km atau 10 menit

2 Sekolah Dasar ¾ km atau 10 menit3 Sekolah Menengah Pertama 1 ½ km atau 20 menit4 Sekolah Lanjutan Atas 20 atau 30 menit

5 Tempat bermain anak-anak dan taman lokal

¾ km atau 20 menit

6 Tempat olah raga dan pusat lalita (rekreasi)

1 ½ km atau 20 menit

7 Taman untuk umum atau cagar (seperti kebun binatang, dan

30 sampai 60 menit

Page 26: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

No

Prasarana Jarak dari tempat tinggal (berjalan kaki)

sebagainya Sumber: Chapin dalam Jayadinata (1999:161)

8. Teori Penempatan Lokasi Pusat Pelayanan Kota

Penempatan lokasi suatu pusat pelayanan kota pada

prinsipnya harus mempertimbangkan aspek keruangan dengan

cermat. Hal tersebut berlaku bagi semua hirarki struktur pusat

pelayanan kota, mulai dari tingkat pusat kota, sub pusat kota atau

pusat bagian wilayah kota, sampai kepada pusat lingkungan,

penempatan lokasi yang tepat akan dapat mewujudkan sistem

pelayanan kota yang baik dan efisien. Secara umum, pusat

pelayanan tersebut harus ditempatkan pada lokasi yang sentral.

Terdapat beberapa teori yang berkaitan dengan lokasi pusat

pelayanan kota,yaitu:

Pendapat Christaller (1933) dalam teori tempat pusat:

Konsumen (penduduk pengguna fasilitas) akan berusaha

mencari pusat pelayanan yang terdekat. Hal ini berarti bahwa

pusat pelayanan tersebut harus ditempatkan pada daerah

kosentrasi permukiman penduduk. Setiap pusat pelayanan akan

saling terhubung oleh suatu jaringan heksagonal. Dalam konteks

dunia modern saat ini, pendapat Christaller ini dapat diartikan

bahwa lokasi pusat pelayanan kota harus sedekat mungkin

dengan daerah kosentrasi permukiman penduduk. Sementara

itu, jaringan heksagonal dapat diartikan sebagai jaringan

pergerakan yang menghubungkan antara bagian wilayah kota

Page 27: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

yang satu dengan yang lainnya. Jadi, pusat pelayanan kota

harus berlokasi di simpul-simpul pertemuan jaringan pergerakan

yang satu dengan yang lainnya. Sehingga pusat pelayanan

tersebut dapat dengan mudah dicapai penduduk.

Pendapat Rushton (1979):

Lokasi yang paling optimum untuk sebuah pusat pelayanan kota

adalah lokasi yang paling mudah diakses/dicapai oleh penduduk.

Terdapat beberapa kriteria yang dapat mendefinisikan kaidah

most accecible ini, seperti kriteria minimasi jarak total, kriteria

minimasi jarak rata-rata, kriteria minimasi jarak terjauh, kriteria

pembebanan merata, kriteria batas ambang, serta kriteria batas

kapasitas.

B. Konsep Pertumbuhan Wilayah

Jenis konsep pertumbuhan wilayah terdiri atas :

Develop from above

Develop from below

LED (Local Economic Development)

1. Konsep Development From Above (Top Down),

Berorientasi pada kota besar, berasal dari teori neo klasik

(Capital Factor) mobilitas faktor. Jenis-jenis teori ini terdiri

atas :

1. Intermediate City

2. Sistem Kota-kota

3. Backwash Effect (Penyedotan sumber daya dari desa ke kota)

Page 28: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

4. Growth Pole , didasari oleh adanya unbalance growth.

Balance adalah cenderung membagi investasi yang sama

pada setiap daerah. Unbalance growth difokuskan pada daerah-

daerah yang memiliki linkage yang besar karena perkembangannya

berbeda-beda maka investasi diarahkan pada satu titik saja.

Primate city (kota yang sangat besar) memiliki masalah yaitu kota

menjadi tidak efisien lagi, sehingga penduduk mencari rumah di

pinggiran kota dan akan membutuhkan ongkos transport yang

besar untuk menuju tempat kerja serta waktu yang relatif lama.

Penyelesaian dengan membuat intermediate city (kota kecil dan

kota menengah atau kota baru). Fungsi intermediate city yaitu agar

sebaran aktivitas primate city dapat menyebar ke intermediate city

dan konsep/sistem perkotaan terpadu.

Aktivitas yang dikembangkan adalah ekonomi, sosial dan

budaya, dan lain sebagainya. Akan tetapi tidak mudah

memindahkan aktivitas tersebut. Oleh karena itu dapat melalui

insentif dan disinsentif, kebijakan yang tepat serta rencana yang

komperhensif. Ide dasar intermediate city adalah menciptakan kota

terpadu dan menciptakan keterkaitan antar kota sesuai dengan

fungsinya masing-masing (tercipta sistem koleksi dan distribusi)

Kota Jenjang II

Kota Jenjang I

Primate City

Gambar 10Primate City

Page 29: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

menghasilkan sistem perkotaan yang mencakup sistem

transportasi, termasuk didalamnya jaringan jalan regional.

Ciri utama dari Growth Pole adalah :

a. Konsep Leading Industries (perusahaan skala besar) tercipta

linkage yang sangat kuat dan efektifitas tinggi.

b. Polarisasi yaitu terciptanya aglomerasi dan memperkecil

suatu sektor yang memiliki keterkaitan dengan banyak sektor

untuk mengefisiensikan prasarana.

c. Spreed Effect yaitu terjadinya perkembangan ke daerah

pinggiran karena polarisasi tidak efisiensi lagi, misalnya

penyebaran penduduk ke pinggiran kota.

Dalam growth pole pertumbuhan yang terjadi dalam

suatu wilayah hanya terjadi di titik titik tertentu . kutub-kutub

pertumbuhan dengan asumsi :

a. Perkembangan wilayah tidak terjadi pada setiap tempat,

hanya terjadi pada titik-titik tertentu.

b. Wilayah berkembang karena adanya sistem transportasi

c. Perkembangan antar titik-titik tersebut tidak sama, tegantung

teknologi, komunikasi dan transportasi.

Faktor pendorong mobilitas yaitu transportasi karena

perkembangannya berbeda, maka investasi diarahkan pada

satu titik saja.

Kritik yang timbul dari top down : tidak memperhatikan

keunikan antar daerah, cenderung tidak dapat mendorong

partisipasi masyarakat, masyarakat seringkali hanya dapat

menerima, dan cenderung mengakibatkan polarisasi

dibandingkan spreed effect.

Page 30: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

2. Konsep Development from below (Bottom Up)

Muncul dari pendekatan development from below,

sangat memperhatikan keunikan antar daerah (sumber daya

manusia, sumber daya alam, institusi/kelembagaan, budaya

dan ekonomi), masyarakat ikut berpartisipasid alam proses

perencanaan. Prosesnya adalah sebagai berikut:

1. Masalah akses masyarakat terhadap tanah (harus ada

pembahasan kepemilikan tanah)

2. Pendekatan basic need, ada interaksi pemeritnah untuk

memberikan pelayanan kepada masyarakat yang ada di

daearah pinggiran

3. Menentukan nilai tambah komoditi pertanian

4. Pemilihan teknologi, mencari bentuk-bentuk teknologi yang

sesuai dengan keunikan tiap daerah, dan bsia digunakan oleh

masyarakat.

5. Infrastruktur pedesaan (jaringan jalan, listrik, dll)

6. Sektor unggulan yang akan dikembangkan

7. Keterlibatan tokoh-tokoh masyarakat untuk berpartisipasi dalam

proses pembangunan

Development from below terdiri atas konsep agropolitan

yang merupakan respon atas kegagalan dari industrialisasi

konsepnya mengembangkan sektor-sektor pertanian dengan

mengembangkan konsep daya lahan dan adanya partisipasi

dari masyarakat. dengan ciri agropolitan dengan ciri

Page 31: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

agropolitan yaitu : ekpor bahan baku, investasi dari luar

negeri dan pinjaman dari luar negeri (subtitusi import) serta

investasi sektor pertanian. Pada tahun 1970-an terdapat

kebijakan orientasi ekspor, beberapa karakteristik yang

dikembangkan adalah impor teknologi, low cost labour,

capital insentif, high production standard. Indikasi dari

dualisme adalah:

Urbanisasi di kota-kota

Konsentrasi populasi di beberapa tempat (spasial)

Ketidakmerataan pendapatan, pengangguran tinggi dan

kemiskinan

Ketergantungan dari luar negeri

3. Konsep LED (Local Economic Development)

Konsep pengembangan Local Economic Development (LED),

merupakan konsep pengembangan wilayah yaitu pembuatan Networking

(jaringan) antara aktor (Stakeholder) yang ada di pusat (Centre) dengan aktor

yang ada di pinggiran atau pedesaan (Hinterland).

Adapun untuk definisi Pembangunan Ekonomi Lokal (Local

Economic Development) lain dari para pakar/ahli sebagai berikut:

Menurut World Bank :

Pembangunan Ekonomi Lokal adalah proses dimana pemerintah lokal dan

organsisasi masyarakat terlibat untuk mendorong, merangsang, memelihara,

aktivitas usaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan

Menurut International Labour Organization (ILO):

Pembangunan Ekonomi Lokal adalah proses partisipatif yang mendorong

kemitraan antara dunia usaha dan pemerintah dan masyarakat pada wilayah

tertentu, yang memungkinkan kerjasama dalam perancangan dan pelaksanaan

strategi pembangunan secara umum, dengan menggunakan sumber daya local

Page 32: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

dan keuntungan kompetitif dalam konteks global, dengan tujuan akhir

menciptakan lapangan pekerjaan yang layak dan merangsang kegiatan ekonomi.

Menurut A. H. J. Helming :

Pembangunan Ekonomi Lokal adalah suatu proses dimana kemitraan yang

mapan antara pemerintah daerah, kelompok berbasis masyarakat, dan dunia

usaha mengelola sumber daya yang ada untuk menciptakan lapangan pekerjaan

dan merangsang (pertumbuhan) ekonomi pada suatu wilayah tertentu.

Menekankan pada kontrol lokal, dan penggunaan potensi sumber daya manusia,

kelembagaan dan sumber daya fisik.

Menurut Bank Dunia, ILO, Blakely & Bradshaw

Pembangunan Ekonomi Lokal adalah usaha mengoptimalkan sumber daya lokal

yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal dan organisasi

masyarakat untuk mengembangkan ekonomi pada suatu wilayah.

Dari sisi masyarakat, Pengembangan Ekonomi Lokal diartikan sebagai

upaya untuk membebaskan masyarakat dari semua keterbatasan yang

menghambat usahanya guna membangun kesejahteraannya. Kesejahteraan

tersebut dapat diartikan secara khusus sebagai jaminan keselamatan bagi adat

istiadat dan agamanya, bagi usahanya, dan bagi harga dirinya sebagai mausia.

Semua jaminan tersebut tidak dapat diperoleh dari luar sistem masyarakat

karena tidak berkelanjutan, dan oleh karena itu harus diupayakan dari sistem

masarakat itu sendiri yang kerap kali disebut kemandirian.

Dengan demikian, pembangunan ekonomi lokal merupakan upaya

pemberdayaan masyarakat ekonomi dalam suatu wilayah dengan

bertumpukan kepada kekuatan lokal, baik itu kekuatan nilai lokasi, sumber

daya alam, sumber daya manusia, teknologi, kemampuan manajemen

kelembagaan (capacity of institutions) maupun asset pengalaman

(Haeruman, 2001).

Adapun definisi Pembangunan Ekonomi Lokal tersebut memfokuskan

kepada:

Page 33: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

Peningkatan kandungan lokal

Pelibatan stakeholders secara substansial dalam suatu kemitraan strategis

Peningkatan ketahanan dan kemandirian ekonomi

Pembangunan bekeberlanjutan

Pemanfaatan hasil pembangunan oleh sebagian besar masyarakat lokal

Pengembangan usaha kecil dan menengah

Pertumbuhan ekonomi yang dicapai secara inklusif

Penguatan kapasitas dan peningkatan kualitas sumber daya manusia

Pengurangan kesenjangan antar golongan masyarakat, antar sektor dan antar

daerah

Pengurangan dampak negatif dari kegiatan ekonomi terhadap lingkungan.

Dalam konteks mikro, Local Development Economic

merupakan kritik terhadap pendekatan growth pole dan ide

dasarnya yaitu pemberdayaan masyarakat (pengembangan

wirausaha pada masyarakat lokal). Inti dari teori ini adalah

bagaimana cara menumbuhkan wiraswasta lokal,

menumbuhkan/pendayagunaan lembaga-lembaga pada

tingkat lokal dan institusi lokal, yang harus diberdayakan

adalah :

lembaga keuangan (dapat memberikan kredit/pinjaman pada

masyarakat lokal)

lembaga pelatihan /balai pelatihan (memebrikan

keterampilan-keterampilan yang potensial untuk membangun

daerah tersebut)

penelitian (hasil dari penelitian harus dikoordinasikan dengan

lembaga lainnya)

Page 34: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

Quality Control

Industri Proses Produksi Hasil Produsi Market

Petani Komoditas

Hasil Panen

lembaga pemasaran

Gambar 11Ilustrasi Konsep Pengembangan Ekonomi Lokal

Page 35: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

Tabel 2Kelebihan Dan Kelemahan Pengertian Local Economic Development

No.

Pembuat Definisi Fokus Kelebihan Kelemahan

1. The World Bank Meningkatkan daya saing Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan

Meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomiBerorientasi kepada pemerataan

Berorientasi bukan hanya kepada tujuan yaitu pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja akan tetapi juga kepada proses

Tidak dijelaskan: aspek kelokalannya Kelayakan lapangan kerja

bagaimana proses pelibatan stakeholder tersebut apakah harus partisipatif atau tidak.aspek lokasi dimana PEL tersebut dilaksanakan atau terjadi.

2. Blakely dan Bradshaw

Menciptakan lapangan pekerjaan

Berorientasi bukan hanya kepada tujuan akan tetapi juga kepada proses

Tidak dijelaskan: Kelayakan lapangan kerja keberlanjutan dari penciptaan

lapangan pekerjaan tersebut. Aspek pemerataan aspek

kelokalannya bagaimana proses pelibatan stakeholder tersebut apakah harus partisipatif atau tidak

Tidak menjelaskan aspek lokasi3. ILO Proses harus partisipatif

Lokasi PEL pada wilayah tertentu

Menciptakan lapangan

Berorientasi kepada output dan proses.

Pelibatan stakeholder harus partisipastif

Tidak menjelaskan keberlanjutan pembangunan

aspek pemerataan aspek lokasi dimana PEL

Keterangan:

Penghasil Bahan Baku

Pengumpul Bahan Baku serta Sentra Produksi Lokal

Kota Kecil/Pusat Kegiatan Lokal

Kota Sedang/Besar (market)

Jalan & Dukungan Sapras

Batas Kws Lindung, budidaya, dll

Page 36: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

No.

Pembuat Definisi Fokus Kelebihan Kelemahan

pekerjaan yang layak Merangsang kegiatan

ekonomi

Sifat kelokalan ditunjukkan dari penggunaan sumber daya lokalAspek lokasi ditunjukkan bahwa PEL dilakukan pada wilayah tertentu.

tersebut dilaksanakan atau terjadi.

4. A. H. J. Helming Kemitraan antar stakeholder

Kontrol lokal Merangsang

pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan

Berorientasi kepada output dan proses.

Aspek lokasi ditunjukkan bahwa PEL dilakukan pada wilayah tertentu.

Sifat kelokalan ditunjukkan dari penggunaan sumber daya lokal

Tidak mencantumkan keberlanjutan pembangunan

Tidak menjelaskan aspek pemerataan bagaimana proses pelibatan stakeholder tersebut apakah harus partisipatif atau tidak

Kelayakan lapangan kerja tersebut

4. Konsep Pengembangan Wilayah Dari Sudut Pandang

Agropolitan Dan Selective Spatial Closure

Latar Belakang Strategi Pengembangan Wilayah dalam

perspektif Development from Below

Pendekatan konsep pengembangan wilayah yang

berbasis pada kekuatan ekonomi dan sumber daya lokal,

merupakan suatu respon terhadap pendekatan yang bersifat

top-down. Mekanisme pola ketergantungan (dependency)

serta struktur hubungan produksi dan distribusi yang berbeda

antara core dan periphery, yang sangat kontras dengan

pemikiran sistem integrasi pusat-pusat dalam suatu lingkup

sistem jaringan, tidak memungkinkan terjadinya proses

‘penjalaran’ atau yang dikenal dengan trickling down effects.

Page 37: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

Berkaitan dengan dependency serta distorsi yang terjadi

antara wilayah core dan periphery (kesenjangan wilayah),

Myrdall (1957), Hirschman (1958), dan Friedmann (1966),

mengatakan bahwa ekonomi wilayah yang terintregasi dan

terkait dengan basis ekonomi dunia yang tidak seimbang

akan menimbulkan dua kecenderungan fenomena. Pertama,

aktivitas pembangunan yang mengarah pada gejala polarisasi

atau backwash effect. Dan kedua, leakage atas pemanfaatan

sumber daya vital suatu wilayah untuk kepentingan

metropolis (core atau leading region) maupun negara lain.

Permasalahan juga ditekankan pada kesulitan untuk

menstimulate keterkaitan ekonomi antara industri-industri di

pusat dengan daerah belakangnya, serta ketimpangan

opurtunitas yang dimiliki dalam segi skala ekonomi, potensi

perubahan struktur sumber daya manusia dan teknologi oleh

core dan periphery. Sehingga gejala yang umum terjadi

adalah mobilitas kapital, tenaga kerja dan sumber daya

terakumulasi di kutub-kutub pertumbuhan ( growth pole )

sementara akibat pengaruh leakages eksternal maupun

internal yang terjadi, wilayah periphery makin tertinggal.

Bertolak dari konsepsi pemikiran bahwa leakages atas

proses produksi lokal akan meminimisasi pertumbuhan

ekonomi wilayah tersebut, teori Development From Below

mensyaratkan adanya suatu tahapan dalam internalisasi

sumber daya untuk menghasilkan produk bagi pemenuhan

konsumsi masyarakat lokal, misalnya melalui cara

Page 38: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

pengembangan industri padat karya skala kecil. Atau secara

ekstrem dapat dikatakan melakukan perubahan di dalam

institusi dan keterkaitan hubungan struktur ekonomi. Hal ini

didukung pendapat Hirschman (1957), bahwa

pengembangan wilayah atas suatu periphery hanya dapat

dilakukan dengan melindunginya dari pengaruh polarisasi

wilayah. Ditinjau dari sudut pandang ekonomi wilayah, usaha

internalisasi yang dilakukan dalam bentuk komponen elemen-

elemen produksi (sumber daya maupun investasi)

dimaksudkan untuk memaksimalkan efek mulitiplier lokal

terhadap sektor-sektor perekonomian wilayah melalui kontrol

backwash effects yang terjadi dengan bertumpu pada

karakter dasar wilayah tersebut.

Konsep Pemikiran Development from Below

Proses internalisasi potensi lokal wilayah merupakan awal

bagaimana suatu wilayah dapat berkembang. Menurut perspektif

teori ini, terdapat berbagai strategi pendekatan pengembangan

wilayah, yaitu pendekatan pengembangan territorial, fungsional,

dan pendekatan agropolitan. Secara umum pendekatan-

pendekatan tersebut memfokuskan pada upaya melepaskan diri

dari ketergantungan terhadap wilayah pusat.

Perbandingan pendekatan pengembangan wilayah berdasarkan

konsep Development from Below :

1. Hubungan (linkage) dengan Wilayah Lain

Pengembangan territorial memiliki keterkaitan terbesar terhadap

wilayah lain, dalam hal ini wilayah yang secara fungsional

hirarkhinya lebih tinggi dari wilayah tersebut, sehingga setiap

Page 39: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

perubahan yang terjadi di wilayah luar akan turut mempengaruhi

perkembangan internal region. Sedangkan pendekatan

pengembangan Agropolitan meniadakan sama sekali linkage

dengan region lain. Dalam hal ini berarti wilayah tersebut

berkembang secara independen tanpa mempengaruhi dan

dipengaruhi oleh region lain.

2. Kemungkinan Wilayah Penerapan

Pengembangan territorial dan fungsional tidak mensyaratkan

secara tegas potensi tertentu yang harus dimiliki oleh suatu

wilayah. Sementara itu pendekatan pengembangan agropolitan

secara tegas mensyarakatkan potensi sumber daya alam yang

tinggi, terutama bagi negara-negara yang tertinggal

pembangunannya (negara dunia ketiga).

3. Perhatian atas Aspek Penunjang

Teritorial dan fungsional terlampau fokus kepada upaya

mengembangkan wilayah tanpa mempersiapkan infrastruktur

lain yang mendukung sektor tertentu yang akan dikembangkan.

Agropolitan mempersiapkan secara matang aspek-aspek lain

yang akan menunjang sektor yang dikembangkan. Misalnya

untuk suatu distrik agropolitan yang berbasis sektor pertanian,

maka akan ditunjang pula dengan sektor industri yang

menghasilkan alat-alat pertanian, perdagangan yaitu

perdagangan yang memasarkan hasil-hasil industri dan

pertanian itu; dan sektor jasa lainnya yang secara keseluruhan

menunjang berkembanganya sektor pertanian.

4. Sistem Manajemen

Dalam pengembangan teritorial, keterkaitan antara pusat dan

pinggiran dimanifestasikan dengan sistem birokrasi

Page 40: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

desentralisasi dan dekonsentrasi yang masih memungkinkan

adanya interaksi kontrol-pertanggungjawaban antara pusat

dengan daerah. Sementara itu agropolitan distrik mempunyai

wewenang penuh untuk mengontrol pemanfaatan sumber daya

alamnya. Pada bagian lain, pendekatan pengembangan

fungsional lebih mengalami proses birokrasi yang kompleks.

5. Tuntutan Adanya Leading Core

Pada konsepsi pengembangan agropolitan tidak dituntut adanya

leading core, dalam artian jika semua wilayah memiliki

homogenitas dalam struktur perekonomian, konsepsi ini dapat

dikembangkan. Namun, dalam pengembangan teritorial dan

fungsional, mekanisme pengembangan wilayah dapat terjadi jika

sudah terdapat leading core dalam sistem perwilayahannya.

Agropolitan dan Selecive Spatial Closure Sebagai Konsep

Pengembangan Wilayah

Agropolitan District Growth merupakan suatu kebijakan

“tertutup” dalam strategi pengembangan wilayah. Pada

dasarnya konsep pengembangan wilayah Agropolitan

(Friedmann dan Douglass, 1976) berawal dari tingkat

perkembangan yang berbeda dan keterkaitan yang tidak

simetris yang mengarah pada terjadinya leakage sehingga

menyebabkan terjadinya distorsi antara rural dan urban.

Pengembangan rural yang berkelanjutan dengan basis

pemenuhan kebutuhan dasar merupakan salah satu saran

dari pendekatan Agropolitan.

Oleh karena itu dibentuk unit- unit rural- urban yang

independen di dalam satu “Agropolitan District”. Hubungan

Page 41: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

rural- urban dalam district tersebut didasarkan pada

keterkaitan yang saling menguntungkan, serta kesamaan

peran dalam interaksi skala territorial yang terkecil. Persepsi

ini didukung oleh Taylor (1979) yang mengatakan bahwa

dalam konteks ini ukuran kota yang kecil akan mengurangi

terjadinya leakage dari wilayah agraris yang muncul akibat

adanya keterkaitan antar wilayah. Karakteristik- karakteristik

dari unit- unit Agropolitan (prasyarat) yang dapat dijadikan

sebagai dasar asumsi pengembangan teori ini adalah :

1. Ukuran wilayah yang relatif kecil

2. Lokasi; terletak di hinterland negara- negara dunia ketiga

3. Kedaan sosial-budaya, politik, dan ekonomi relatif identik

secara keruangan.

4. Tingkat kemandirian tinggi yang didasarkan pada partisipasi

aktif masyarakat serta kerjasama di tingkat lokal termasuk di

dalamnya pemenuhan kebutuhan dan pengambilan keputusan

oleh masyarakat lokal.

5. Diversifikasi lapangan pekerjaan baik pertanian maupun non-

pertanian dengan penekanan pada pertumbuhan industrialisasi

rural area

6. Adanya fungsi industri di wilayah urban-rural yang terkait pada

sumber daya dan struktur ekonomi lokal

7. Adanya teknologi yang mengacu pada pemanfaatan sumber

daya lokal.

8. Jumlah penduduk berkisar antara 50.000 – 150.000

9. Pembatasan jarak antar unit yang memungkinkan terjadinya

kecenderungan commuting.

Page 42: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

Upaya menghindari ketergantungan (berupa impor faktor

produksi ataupun barang-barang kebutuhan dasar – basic needs)

antara periphery dengan core region diwujudkan melalui tindakan

atau strategi pengembangan dalam menutup peluang terjadinya

interaksi dengan hal-hal sbb :

Adanya pengendalian ketat terhadap pemanfaatan sumber daya

alam. Hal ini dilakukan dengan memberikan kesempatan

sebesar-besarnya terhadap sektor yang dapat meningkatkan

kualitas lokal secara kontinyu, dan menjadi basis ekonomi yang

permanen, yang dimungkinkan untuk sektor yang

memanfaatkan sumber daya yang dapat diperbarui (renewable

resources). Bentuk perhatian lebihnya adalah dengan

menyediakan fasilitas training bagi tenaga kerjanya, pemberian

subsidi, dan akses perkreditan. Sementara itu bagi sektor

lainnya akan dikembangkan ke arah yang mendukung sektor

utama di atas.

Meminimasi hubungan fisik antara core region dan periphery

region. Dalam hal ini berarti pembangunan jaringan infrastruktur

yang menghubungkan kedua region tersebut tidak diperhatikan

dan titik berat pembangunan infrastruktur jaringan jalan

difokuskan di dalam wilayah itu sendiri.

Adanya kebersediaan pelaku ekonomi, dalam hal ini pemilik

modal untuk selalu menginvestasikan modalnya di wilayah

sendiri meskipun rate of return wilayah lain nilainya lebih besar.

Adanya populasi yang homogen, mengingat fondasi dari

agropolitan development adalah kebudayaan asli masyarakat

setempat maka wilayah tersebut mungkin akan menerapkan

kebijakan ketat atas arus migrasi masuk.

Page 43: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

Pembangunan infrastruktur lain dan pengembangan sektor lain

yang menunjang pertumbuhan sektor utama. Dengan syarat,

keterkaitan antar sektor- sektor tersebut berada pada satu

wilayah agropolitan district.

Pengembangan perencanaan pengembangan wilayah

Agropolitan diarahkan pada strategi yang pada dasarnya

bertujuan untuk mencapai kondisi tertentu dan keuntungan

dari ‘penutupan’ wilayah, yaitu:

1. Menginternalkan efek multiplier dan pengaruh- pengaruh

eksternal melalui penekanan pada keterkaitan lokal dan fungsi

yang saling melengkapi antara pertanian dan industri sehingga

akan meningkatkan pendapatan masyarakat lokal.

2. Kebijaksanaan penyamarataan kepemilikan aset produktif

diantaranya, lahan, modal, dan public goods, serta

kebijaksanaan redistribusi pendapatan.

Regional leakage dan ‘Bottom-Up Strategies’: Menuju

Strategi Selective Spatial Closure. Konsepsi pengembangan

wilayah selective spatial closure ( Stohr dan Todtling, Some

Anti-Thesis to Current Regional Development Doctrine,1979)

merupakan aplikasi pendekatan yang bersifat teritorial dan

fungsional dari Development From Below yang secara

essensial didasarkan pada pemanfaatan sumber daya wilayah

yang terintegrasi pada skala keruangan yang berbeda dan

merupakan aplikasi bentuk pengembangan yang ditujukan

umumnya pada wilayah yang terbelakang ( periphery ) akibat

implementasi serta pengaruh dari polarisasi wilayah ( Lo dan

Salih, 1981). Inti dari konsep, yang pada dasarnya harus

disesuaikan dengan latar belakang dan kondisi wilayah

Page 44: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

tersebut, adalah adanya kontrol aliran faktor produksi atau

kontrol hubungan eksternal yang bersifat merugikan terhadap

pengembangan wilayah. Pengembangan yang berbasiskan

teritorial ini, tetap akan memenuhi eksternal demand dan

memanfaatkan sumber daya ekternal (dari luar wilayahnya),

dengan pertimbangan bahwa tingkat pemenuhan dan

pemanfaatan tersebut tidak mengurangi tingkat utilitas dari

kebutuhan dasar masyarakat lokal serta mobilisasi sumber

daya wilayah yang tersedia.

Pengendalian tersebut berkaitan dengan adanya

fenomena ketergantungan (dependensi) antara wilayah

periphery dengan core, maupun bentuk dependency yang

berakar dari hierarki sistem perekonomian dunia.

Ketergantungan ini terwujudkan dengan adanya beberapa

sektor impor maupun ekspor yang secara langsung

mempengaruhi laju pertumbuhan wilayah tersebut.

Konkritnya, semakin banyak sektor impor maka semakin

besar ketergantungan wilayah periphery terhadap wilayah

core ataupun terhadap ruang lingkup linkage skala ekonomi

yang lebih luas. Sedangkan kinerja sektor ekspor yang

berlebihan berpengaruh secara langsung pada ketersediaan

sumber daya bagi pemenuhan kebutuhan lokal, dan hal ini

dapat dikatakan sebagai suatu bentuk dari backwash effect

akibat pengaruh pola dependency ekonomi.

Selective spatial closure berusaha memilah dengan

mempertimbangkan tingkat kemampuan atau kontribusi

masing-masing sektor tersebut terhadap perkembangan

wilayah itu (periphery). Dalam artian, meskipun sektor yang

Page 45: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

terpilih untuk dikembangkan tersebut memiliki

kecenderungan untuk meningkatkan terjadinya proporsi

leakages ( dengan pertimbangan tidak besar pengaruhnya

terhadap mobilitas lokal sumber daya wilayah ), tetapi secara

fungsional memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap

pertumbuhan ekonomi wilayah dan membangkitkan efek

mulitiplier lokal karena keterkaitannya yang tinggi, sektor

tersebut dapat dimungkinkan menjadi sektor utama yang

menumpu perkembangan wilayah. Seleksi lainnya dilakukan

dengan cara melihat potensi lokal yang mungkin

dikembangkan dalam hal ini dengan menilai kemungkinan

pemanfaatan faktor produksi lokal yang dapat mensubstitusi

faktor produksi yang semula menjadi input bagi salah satu

sektor di periphery dan input itu berasal dari luar (core

region).

Pada perspektif dependensi, ketergantungan wilayah

periphery terhadap wilayah core dapat dihilangkan dengan

memutuskan sama sekali hubungan antar kedua wilayah tersebut.

Artinya jika suatu wilayah periphery ingin berkembang, wilayah

tersebut harus memutuskan semua hubungan dengan wilayah core.

Perspektif ini berbeda dengan selective spatial closure, dimana

pada perspektif ini terjadi pemilihan hubungan, input maupun

output faktor produksi.

Sebagai gambaran aplikasi konsep selective spatial closure,

misalnya suatu wilayah periphery memiliki tiga sektor

pengembangan, yaitu pertanian, tekstil, dan sepatu. Ketiga sektor

tersebut memiliki hubungan dengan wilayah core. Dalam perspektif

dependensi, jika wilayah periphery ingin berkembang, maka

Page 46: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

wilayah tersebut harus memutuskan hubungan terhadap wilayah

core. Namun, teori selective spatial closure memilah- milah sektor

yang paling besar memberi kontribusi dan dapat membangkitkan

pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut, misalnya sektor tekstil;

dengan keterkaitan sektor tersebut terhadap industri hulu dan hilir

maka sektor ini menjadi sektor utama pengembangan wilayah

tersebut, walaupun terjadi leakage dengan wilayah core.

Proses seleksi lainnya diilustrasikan melalui adanya suatu

‘pre-condition’. Misalnya, sektor tekstil yang menjadi andalan

perkembangan wilayah namun input produksinya berupa kapital

intensif yang berasal dari core region. Tindakan pemutusan

hubungan dengan wilayah pusat dapat dilakukan apabila terdapat

faktor produksi yang mensubstitusi input produksi, misalnya kapital

intensif disubstitusi dengan labor intensif apabila wilayah ini

mempunyai tenaga kerja yang murah. Proses seleksi di atas

kemudian ditindaklanjuti dengan membandingkan tingkat

kemampuan masing-masing sektor untuk men-generate

perkembangan wilayah.

Pada dasarnya, implementasi program di dalam

kebijaksanaan selective spatial closure didasarkan atas upaya

meningkatkan taraf tingkat self sufficiency suatu wilayah, dengan

memandang peran dan posisinya di dalam kontelasi serta hierarki

sistem perwilayahan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka

diperlukan adanya perkembangan ataupun perubahan bentuk pada

sistem fiskal dan transfer sumber daya (Lo dan Salih, 1981),

dengan fokus utama dimana wilayah tersebut dapat menerima

beberapa pengaruh dorongan pertumbuhan dari basis ekspor

melalui ‘filter’ strategi small open model economy guna

Page 47: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

menghindari ketergantungan terhadap sistem perekonomian

nasional maupun internasional (Fei dan Ranis, 1973).

Integrasi keruangan nasional kerap dinilai sebagai suatu

langkah pengembangan yang positif. Namun dari sudut pandang

penganut paham selective spatial closure, hal ini akan men-create

bentuk-bentuk linkages proses produksi yang pada akhirnya akan

merugikan wilayah yang ‘terisap’. Karena itu langkah awal yang

perlu dipersiapkan di dalam membentuk pondasi wilayah yang kuat

adalah perbaikan struktur keterkaitan hubungan perekonomian,

yang dilandasi ‘interrelasi yang seimbang’ antara core dan

periphery serta perbaikan struktur perekonomian wilayahnya.

Hubungan struktural dalam lingkup internasional secara

langsung maupun tidak akan mempengaruhi pemilihan kebijakan di

wilayah yang lingkupnya lebih kecil. (Lo dan Salih, Blaikie).

Dengan berdasarkan pemahaman tersebut berarti perbaikan

struktur internal wilayah (dalam skala nasional) untuk mencapai

tingkat self-sufficient tidak akan efektif jika tidak disertai dengan

perbaikan hubungan eksternalnya dalam lingkup perekonomian

internasional.

Langkah strategi pengembangan selanjutnya terletak pada

faktor struktur kelembagaan, yang mengarah pada tuntutan azas

desentralisasi dimana fungsi pengambilan keputusan lokal sangat

essensial sifatnya. Tiga prasyarat keberhasilan strategi

pengembangan selective spatial closure menurut Boisier, adalah :

1. Pembentukan kelembagaan baru; hal ini mensyaratkan adanya

sumber daya manusia yang baru yang belum tentu ada di

wilayah periphery sehingga jika pelaksanaan pembentukan

institusi ini berhasil, diperlukan pendekatan metodologi dan teori

Page 48: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

baru yang diperoleh melalui penambahan kuantitas sumber

dayanya dan pelatihan tertentu.

2. Pemahaman yang meluas di tengah msyarakat setempat,

mengenai tujuan dari setiap aktivitas pembangunan, guna

terciptanya tingkat kreativitas yang ditinggi di tengah

masyarakat. Untuk itu biasanya diperlukan suatu proyek

perangsang kreativitas dari pemerintah yang masih bernuansa

top-down.

3. Membangkitkan hasil nyata dalam waktu yang sesingkat-

singkatnya. Hal ini sebenarnya cukup berat untuk dipenuhi

sebab strategi ini memerlukan transformasi struktural yang

besar, seperti land reform, yang seringkali menimbulkan efek

terhambatnya proses produksi.

Beberapa Kritik Terhadap Konsep Agropolitan dan Selective

Spatial Closure

Kritik dan Evaluasi Perspektif Agropolitan

Secara umum, konsep pengembangan agropolitan dinilai terlalu

utopian. Hal ini terlihat dalam asumsi- asumsi yang mendasarinya.

Berikut ini dijabarkan beberapa kritik terhadap asumsi- asumsi

tersebut :

Salah satu asumsi konsep pengembangan Agropolitan adalah

keberadaan penduduk yang homogen/ identik. Aplikasinya

berarti wilayah tersebut berhak memilah- milah penduduk yang

tinggal di region tersebut. Dalam lingkup yang sesungguhnya,

proses pemilahan itu sulit, bahkan hampir tidak mungkin, untuk

dapat diwujudkan.

Page 49: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

Kritik lainnya adalah adanya asumsi bahwa terdapat

kebersediaan individu (pelaku investasi) wilayah lokal untuk

selalu menginvestasikan modalnya di lokal wilayah tersebut. Hal

ini tidak mungkin terjadi dalam pengembangan wilayah yang

sesungguhnya, dimana setiap investor akan mempertimbangkan

aspek skala ekonomi yaitu menempatkan investasi di wilayah

yang memiliki rate of return lebih tinggi dibandingkan wilayah

lain, dalam hal ini berarti tidak selalu wilayah lokal yang menjadi

pilihan investasi jika wilayah lokal tersebut tidak memiliki rate of

return yang menunjang perhitungan aspek skala ekonomi.

Kritik lain diajukan oleh sependuduk ahli, Forkenbrock, yang

berpendapat bahwa wilayah Agropolitan akan sulit berkembang

karena tingkat aksesibilitas yang rendah. Wilayah Agropolitan

pada konsepnya memang tidak mengembangkan infrastruktur

ekternal, hal ini akan mengurangi tingkat aksesibilitasnya

terhadap wilayah lain, sehingga wilayah ini akan sulit

berkembang.

Adanya asumsi kontrol terhadap sumber daya, yaitu sumber

daya yang memiliki kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan

wilayah akan difasilitasi dengan berbagai insentif sedangkan

sebaliknya, sumber daya yang lain dibiarkan tidak berkembang.

Sedangkan dalam pertimbangan pemilihan investasi ditinjau

keterkaitan antar sektor, dalam hal ini berarti sependuduk

investor akan menanamkan modalnya dengan melihat

keterkaitan dengan sumber daya lain yang mungkin terdapat di

wilayah lain. Jika demikian berarti telah terjadi leakage,

sedangkan hal ini tidak diperbolehkan dalam konsep

pengembangan wilayah Agropolitan.

Page 50: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

Terkait dengan teori dependensi, timbul argumen bahwa proses

internalisasi, peningkatan akses menuju pengembangan sumber

daya, dan keuntungan tidak mungkin dapat dicapai dalam

kondisi terjadinya proses polarisasi dalam skala nasional dan

internasional.

Argumentasi kedua, maksimasi keuntungan spread effect tidak

mungkin dapat dicapai seluruhnya hanya dengan melalui

kegiatan ekonomi lokal dikarenakan adanya keterbatasan

kekuatan dan daya saing ekonomi lokal tersebut.

Beberapa kendala yang timbul dalam implementasi kebijakan

perkembangan wilayah Agropolitan diantaranya : (Lo dan Salih,

1981)

1. Adanya penetrasi kekuatan internasional dan antar wilayah

terhadap ekonomi wilayah yang melemahkan posisi dan daya

saing dari produsen lokal.

2. Tidak adanya keinginan untuk mendesentralisasikan proses

pengambilan keputusan di tingkat pemerintah lokal.

3. Keterbatasan kualitas sumber daya pengambil keputusan di

tingkat lokal.

4. Tidak adanya keseimbangan aset dan distribusi pendapatan

5. Adanya berbagai kelas dalam masyarakat lokal yang

kemudian mengacu pada perbedaan akses secara sosial dan

politik.

Kritik dan Evaluasi Perspektif Selective Spatial Closure

Selective Spatial Closure pada pendekatan tertentu

serupa dengan konsep Agropolitan. Hal yang membedakan

dan menjadi karakteristik perspektif ini bahwa wilayah masih

Page 51: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

membuka diri untuk melayani permintaan luar serta di dalam

memanfaatkan sumber daya dari luar (small open economy).

Kritik yang muncul sehubungan dengan hal tersebut adalah :

1. Berkaitan dengan teori dependensi bahwa suatu wilayah,

dalam konstelasinya yang lebih luas jika sudah membuka diri

terhadap sistem perekonomian dunia luar pada kenyataannya

akan sulit untuk melepaskan diri dari pola keterkaitan tersebut,

sehingga tahapan proses penyeleksian sebenarnya tidak rasional

karena wilayah lokal akan terus bergantung pada wilayah lain

yang tingkat pertumbuhannya relatif lebih cepat. Satu- satunya

kemungkinan untuk melepaskan diri adalah dengan

memutuskan hubungan dengan wilayah luar.

2. Proses small open economy akan membuka kemungkinan

berpindahnya sumber daya manusia lokal ke wilayah lain yang

tingkat pertumbuhannya lebih cepat, hal ini dikarenakan adanya

daya tarik yang lebih tinggi (tingkat upah, penyediaan fasilitas,

dll), sehingga pengembangan ekonomi lokal tidak dapat dicapai

karena kurangnya sumber daya lokal yang merupakan prasyarat

berlangsungnya selective spatial closure.

3. Dalam tataran konsep pengembangan selective spatial closure

proses pengendalian input- output dan proses substitusi faktor

produksi digambarkan sangat mudah. Dalam tataran praktisnya,

terdapat faktor lain yang dapat menghambat proses

pengendalian tersebut, misalnya adanya intervensi pemerintah

berupa kontrol terhadap faktor produksi atau penentuan alokasi

faktor produksi.

4. Wilayah dikondisikan dengan situasi tertentu sehingga kondisi

pasar persaingan sempurna, dalam hal ini antara local market

Page 52: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

dan national and international market diabaikan, dengan

demikian berarti mekanisme pasar tidak berjalan.

Konsep Agropolitan

Agropolitan dapat didefinisikan sebagai kota pertanian

atau kota di daerah lahan pertanian atau pertanian di daerah

kota. Sedang yang dimaksud dengan agropolitan adalah kota

pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya

sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani,

mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan

pertanian (Agribisnis) diwilayah sekitarnya. Kota agropolitan

berada dalan kawasan sentra produksi pertanian (selanjutnya

kawasan tersebut disebut sebagai kawasan Agropolitan. Kota

pertanian dapat merupakan Kota Menengah, Kota Kecil, Kota

Kecamatan, Kota Perdesaan atau kota nagari berfungsi

sebagi pusat pertumbuhan ekonomi yang mendorong

pertumbuhan pembangunan pedesaan dan desa-desa

hinterland di wilayah sekitarnya. Kawasan agropolitan yang

telah berkembang memliki ciri-ciri sebagai berikut .:

Mayoritas masyarakatnya memperoleh pendapat dari

kegiatan agribisnis

Didominasi oleh kegiatan pertanian, termasuk didalamnya

usaha industry (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-

hasil pertanian, perdagangan agrobisnis hulu(sarana

pertanian dan permodalan), agrowisata dan jasa pelayanan.

Relasi antara kota dan daerah-daerah hinterlandnya bersifat

interpendensi yang harmonis dan saling membutuhkan.

Kawasan pertanian mengembangkan usaha budidaya(on

Page 53: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

farm) dan produk olahan skala rumah tangga(off farm) dan

kota menyediakan penyediaan sarana pertanian, modal,

teknologi, informasi pengolahan hasildan pemasaran hasil

produksi pertanian.

Pola kehidupan masyarakatnya sama dengan kehidupan kota

karena prasarana dan sarana yang dimilikinya tidak berbeda

dengan di kota. Batasan kawasan agropolitan ditentukan oleh

skala ekonomi dan ruang lingkup ekonomi bukan oleh

batasan administratif. Penetapan kawasan agropolitan

hendaknya dirancang secara lokal dengan memperhatikan

realitas perkembangan agrobisnis yang ada disetiap daerah.

Persyaratan Kawasan Agropolitan

Wilayah yang akan dikembangkan menjadi kawasan

agropolitan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

Memiliki sumberdaya lahan dengan agroklimat yang sesuai

untuk mengembangkan komoditi unggulan.

Memiliki prasarana dan sarana yang memadai untuk

mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis

yaitu:

o Pasar (pasar untuk hasil pertanian, sarana pertanian,

pasar jasa pelayanan, dan gudang

o Lembaga keuangan (perbankan dan non perbankan)

o Kelembagaan petani (kelompok tani, koperasi dan

asosiasi) yang berfungsi sebagai Sentra Pembelajaran

dan Pengembangan Agribisnis (SPPA)

o Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang berfungsi

sebagai Klinik Konsultasi Agribisnis (KKA)

o Pengkajian teknologi agribisnis

Page 54: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

o Prasarana transportasi, irigasi dan semua yang

mendukung usaha pertanian

Memiliki prasarana dan sarana umum yang memadai

Memiliki prasarana dan sarana kesejahteraan sosial

(kesehatan, pendidikan, rekreasi dan sebagainya)

Kelestarian lingkungan hidup (sumber daya alam, sosial

budaya dan keharmonisan relasi kota dan desa)

Konsep Struktur Tata Ruang Agropolitan

Secara umum struktur hirarki sistem kota-kota

agropolitan dapat digambarkan sebagai berikut :

Orde yang paling tinggi (kota tani utama) dalam lingkup wilayah

agropolitan skala besar sebagai :

Kota perdagangan yang berorientasi ekspor ke luar daerah

Pusat berbagai kegiatan final manufacturing industri

pertanian (packing),stok pergudangan dan perdagangan

bursa komoditas.

Pusat berbagai kegiatan tertier agro-bisnis, jasa perdagangan,

asuransi pertanian, perbankan dan keuangan.

Pusat berbagai pelayanan (general agro-industry services)

Orde kedua (pusat distrik agropolitan) yang berfungsi sebagai

:

o Pusat perdagangan wilayah yang ditandai dengan

adanya pasar-pasar grosir dan pergudangan komoditas

Page 55: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

sejenis

o Pusat kegiatan agro-industri berupa pengolahan barang

pertanian jadi dan setengah jadi serta kegiatan agro-

bisnis.

o Pusat pelayanan agro-industri khusus (special agro-

industry services), pendidikan, pelatihan dan pemuliaan

tanaman unggulan. Orde ketiga (pusat satuan kawasan

pertanian)

Pusat perdagangan lokal yang ditandai dengan adanya pasar

harian

Pusat koleksi komoditas pertanian yang dihasilkan sebagai

bahan mentah industry

Pusat penelitian, pembibitan dan percontohan komoditas

Pusat pemenuhan pelayanan kebutuhan permukiman

pertanian

Koperasi dan informasi pasar barang perdagangan

Dilihat dari sektor transportasi, adanya konsep

agropolitan dapat memberikan arahan pengembangan

pembangunan jaringan jalan sesuai hirarki perkotaan, dimulai

dari pedesaan menuju kota kecil dihubungkan oleh jalan lokal.

Kota kecil ini dapat berfungsi sebagai pengumpul hasil

pertanian dari pedesaan, merupakan kota orde ketiga dalam

sistem kota-kota agropolitan.

Berikutnya adalah dari kota kecil menuju kota

menengah, dihubungkan oleh jalan kolektor. Di sini kota

menengah sudah berfungsi sebagai pusat grosir, yang

mengumpulkan hasil pertanian bersumber dari kota kecil,

serta menjadi pusat pelayanan kegiatan agro industri.

Page 56: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

Terakhir dari kota menengah menuju kota besar yang

dihubungkan oleh jaringan jalan arteri. Sebagai kota orde

tertinggi barang yang diangkut dari kota-kota menengah

semakin banyak, sehingga dibutuhkan prasarana jalan dan

jenis kendaraan yang lebih besar. Oleh karena itu penyediaan

jaringan jalan arteri sangat diperlukan. Dengan hirarki kota

dan hirarki jalan yang jelas, akan dapat mengurangi risiko

kerusakan jalan akibat penggunaan jalan yang tidak sesuai

ukuran kendaraan maupun volume kendaraan.

5. Konsep Growth Pole

Sejarah Konsep Growth Pole

Menurut Miyoshi (1997) sejarah konsep growth pole

dapat dibagi dalam beberapa tahap. Tahap pertama adalah

kelahiran konsep growth pole, tahap kedua penerapan konsep

growth pole secara geografis, tahap ketiga konsep growth

pole sebagai penyebab ketidakseimbangan wilayah, dan

tahap keempat, menuju perbaikan konsep growth pole. Di

Indonesia konsep growth pole juga memberikan dampak,

akan diulas pada bagian akhir sub bab ini.

Konsep ‘growth pole’ atau dikenal sebagai konsep

‘kutub pertumbuhan’ dibangun oleh Perroux pada tahun

1955. Konsep ini bersumber dari faktor-faktor aglomerasi dan

teori-teori lokasi terdahulu (Glasson-Sitohang, 1977 : 153).

Konsep ini mempunyai dasar dari ekonomi makro, oleh

karenanya dasar utama adalah konsentrasi pertumbuhan

ekonomi pada ruang tertentu (yang sebelumnya digambarkan

oleh Perroux pada ruang abstrak). Model struktur ruang yang

Page 57: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

muncul sebelumnya adalah teori tempat sentral (central place

theory). Model ini banyak dikritik, dan konsep growth pole

merupakan jawaban atas kritik terhadap teori tempat sentral

tersebut. Dalam praktek konsep growth pole cenderung lebih

jauh daripada dasar teoritiknya sendiri. Disebabkan karena

adanya beberapa ketidakselarasan kecil dalam karya Perroux

semula, maka telah terjadi banyak kekaburan dalam literatur

yang muncul kemudian. Dalam perkembangannya terdapat

banyak definisi sebanyak pengarang yang menulis teori ini.

Konsep growth pole berkembang pesat dan digunakan

sebagai dasar pengambilan kebijakan (disebut strategi growth

pole) baik pada negara-negara sedang berkembang pada

tahun 1960an maupun negara maju, yang menerapkan dan

mendiskusikannya dengan serius pada tahun 1970an.

(Miyoshi 1997 : 2)

Pada tahap kedua, penekanan konsep growth pole

adalah pada penerapan konsep growth pole dalam

“perencanaan wilayah” yang dibahas dalam berbagai artikel.

Ahli-ahli ekonomi yang banyak membahas tentang growth

pole dan mengaitkannya dengan perencanaan wilayah antara

lain Boudeville dan Hirschman dan lain-lain. Menurut

Boudeville (Miyoshi 1997 : 4) definisi growth pole adalah

“satu set perluasan industri-industri yang berlokasi di suatu

wilayah urban dan menyebabkan pembangunan kegiatan

ekonomi lebih jauh melalui pengaruh zonanya”. Friedmann

(1966) menyatakan bahwa pola pembangunan wilayah di

Amerika seyogyanya diterapkan pada semua negara sedang

berkembang. Ini berarti konsep growth pole juga diikuti oleh

Page 58: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

banyak negara berkembang di dunia pada masa tersebut.

Gore (1984) menyimpulkan bahwa ahli ekonomi wilayah

pada tahun 1960an berkaitan dengan konsep growth pole

mempunyai pandangan yang sama , antara lain pertumbuhan

terjadi secara bertahap, mereka percaya strategi growth pole

dapat mencapai berbagai tujuan kebijakan wilayah dan

hubungan antar wilayah secara empiris dapat dibuktikan

kebenarannya.

Pada tahap ketiga, beberapa ahli ekonomi wilayah

menjelaskan bahwa konsep growth pole menjadi penyebab

ketidakseimbangan wilayah. Seperti Stohr dan Todtling

(1977) menyusun suatu studi kasus dan menyimpulkan

bahwa strategi growth pole tidak dapat membawa

pembangunan ke wilayah belakangnya (hinterland). Strategi

ini mungkin sukses dalam mengurangi disparitas

interregional, tetapi spread effect terhadap wilayah

sekitarnya sangat lemah, bahkan menyebabkan terjadinya

disparitas intra-regional. Pendapat Stohr dan Todtling

didukung oleh Polenske (1988) yang menjelaskan dua

pemikiran pada teoris growth pole yang menyatakan bahwa

dominasi perusahaan-perusahaan tertentu adalah faktor

positif dalam proses pembangunan, karena dibutuhkan untuk

menolong sejumlah besar penduduk, maka para teoris

dependency menyatakan bahwa dominasi membawa

pengambilalihan produk surplus di suatu wilayah tidak

digunakan oleh penduduk setempat, tetapi untuk para

kapitalis.

Page 59: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

Pada tahap keempat, setelah banyak kritik dilontarkan

terhadap konsep growth pole, maka beberapa ahli ekonomi

wilayah melakukan berbagai perbaikan dan dukungan

tedrhadap konsep ini. Richardson dan Richardson (1974)

menyatakan bahwa kekecewaan terhadap kebijakan pusat

pertumbuhan (growth pole) pada banyak negara bukan

merupakan bukti bahwa prinsip polarisasi salah, hal ini karena

adanya optimisme yang berlebihan dan waktu yang singkat

dalam menerapkan konsep ini. Bahkan Higgins (1988)

menyatakan bahwa strategi growth pole bukan kesalahan

teori Perroux, tetapi kesalahan suatu versi yang

memutarbalikkan penerapan teori ini melalui disiplin ilmu

para ilmuwan tersebut.

Konsep Growth Pole

Perroux berpendapat bahwa fakta dasar dari

perkembangan spasial,sebagaimana halnya dengan

perkembangan industri adalah bahwa “pertumbuhan tidak

terjadi di sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara

serentak; pertumbuhan itu terjadi pada titik-titik atau kutub-

kutub perkembangan, dengan intensitas yang berubah-ubah;

perkembangan ini menyebar sepanjang saluransaluran yang

beraneka ragam dan dengan efek yang beraneka-ragam

terhadap keseluruhan perekonomian”. (Glasson – Sitohang,

1977 : 153).

Perroux juga mengindikasikan bahwa pembangunan

harus disebabkan/ditimbulkan oleh suatu konsentrasi

(aglomerasi) tertentu bagi kegiatan ekonomi dalam suatu

Page 60: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

ruang yang abstrak. (Miyoshi, 1997 : 3). Boudeville

mendefinisikan kutub pertumbuhan (growth pole) sebagai

“sekelompok industri yang mengalami ekspansi yang

berlokasi di suatu daerah perkotaan dan mendorong

perkembangan kegiatan ekonomi lebih lanjut ke seluruh

daerah pengaruhnya”. (Glasson – Sitohang, 1977 : 108).

Ia juga membangun konsep growth pole sebagai suatu model

perencanaan yang bersifat operasional, yang menerangkan

suatu kondisi dimana pertumbuhan akan tercipta pada

wilayah yang menimbulkan adanya kutub (polarized region).

Menurut Glasson (Glasson – Sitohang, 1977 : 155) konsep-

konsep ekonomi dasar dan perkembangan geografik

berkaitan dengan teori growth pole, didefinisikan sebagai

berikut :

Konsep “leading industries” dan perusahaan-perusahaan

propulsip, menyatakan pada pusat kutub pertumbuhan

terdapat perusahaan-perusahan propulsip yang besar, yang

termasuk dalam “leading industries” yang mendominasi unit-

unit ekonomi lainnya.

Konsep polarisasi, menyatakan bahwa pertumbuhan yang

cepat dari leading industries mendorong polarisasi dari unit-

unit ekonomi lainnya ke dalam kutub pertumbuhan.

Konsep “spread effect” atau “trickling down effect”

menyatakan bahwa pada waktunya, kualitas propulsip

dinamik dari kutub pertumbuhan akan memencar keluar dan

memasuki ruang di sekitarnya.

6. Konsep Central Place Theori

Page 61: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

Konsep ini dikembangkan oleh Christaller yang

mengungkapkan bahwa dengan adanya investasi industri

yang terdapat di wilayah pusat kota. dia melakukan studi di

Jerman mengenai hirarki pusat pelayanan kegiatan jasa pada

tujuh tingkat hirarki pelayanan, mulai dari desa kecil hingga

kota metropolitan. Hasil dari studi ini merupakan suatu

kemajuan yang berarti bagi teori lokasi, dan bagi teori

penyediaan pusat pelayanan penduduk dimana teori ini

mengungkapkan suatu titik pada suatu kota yang memiliki

peran sebagai pusat dari segala kegiatan kota. teori ini

mengungkapkan beberapa asumsi dasar tentang wilayah

yaitu (Tarigan, 2005 : 79):

a. wilayah tersebut datar dan juga memiliki sumber daya alam

yang merata

b. pergerakkan dimungkinkan dapat dilakukan kesegala arah

c. penduduk tersebar secara merata diseluruh wilayah dan

mempunyai daya beli yang sama

d. konsumen bertindak rasional (minimasi jarak dan minimasi

biaya)

Untuk menggambarkan wilayah-wilayah yang saling

bersambungan atau saling meluaskan, Christaller memakai

bentuk heksagon, lingkaran-lingkaran yang mencerminkan

wilayah-wilayah pemasaran yang saling tumpah tindih

kemudian dibelah dua dengan garis lurus. Maksudnya agar

penduduk dapat berbelanja dapat memilih tempat (kota) yang

paling dekat dengan lokasi tempat tinggalnya. Dalam teorinya

, Christaller mengemukakan tiga jenis struktur heksagonal

yaitu:

Page 62: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

a. didaerah yang pusatnya ada sebuah tempat yang dikelilingi

oleh enam tempat terletak disudut-sudutnya, semuanya

masing-masing sepertiganya termasuk daerah. Jadi

keseluruhannya ada 1 + 6 x 1/3 = 3. Struktur ini sesuai

dengan apa yang disebut , Christaller sebagai asas K=3.

b. Didaerah yang pusatnya ada sebuah tempat yang dikelilingi

oleh enam tempat,tetapi tidak terletak disudut-sudutnya.

Setiap beban tempat ini sepenuhnya termasuk daerah sendiri

yang sepenuhnya lagi termasuk daerah tetangga. Jadi X

adalah 1 + 6 x 1/2 =4, ini disebut sebagai asas pengangkutan

K=4.

c. Didaerah yang sama, tetapi didalamnya ada tujuh tempat.

Nilai

K = 6 + 1 x 1 =7, nilai ini disebut asas pemerintahan (K=7).

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa

pembentukkan sistem tata ruang yang jelas ke dalam tingkat

hirarki pusat-pusat, merupakan suatu keharusan mutlak

dalam wilayah bersangkutan dapat berkembang dengan

cepat. Ketidak jelasan tata ruang, terutama di wilayah yang

relatif terbelakang merupakan penyebab ketimpangan laju

pertumbuhan ekonomi. Keadaan ini dapat mendorong

pertumbuhan yang tidak mengarah kepada penciptaan sistem

ekonomi regional secara terpadu, terdiri atas kota pasar yang

menghubungkan pusat-pusat perdesaan dan perkotaan.

7. Konsep Integral Fungsional Ruang

Konsep ini beranggapan bahwa sistem terpadu

bergantung pada pusat pertumbuhan yang mempunyai fungsi

Page 63: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

yang berbeda, mempunyai peranan penting dalam

memfasilitasi pengembangan penyebaran wilayah. Hal ini

didasarkan bahwa di beberapa negara berkembang pasangan

utama pertumbuhan ekonomi adalah sektor pertanian bukan

sektor industri. Elemen penting dalam pengkomersilan sektor

pertanian adalah sistem permukiman yang terpadu serta

berkesinambungan yang baik, dimana lokasi-lokasi yang

berhubungan dengan kepentingan umum dapat dijangkau

secara efektif dan efisien, sehingga penduduk desa

mempunyai akses yang kuat.

Johnson berpendapat, bahwa penempatan pusat kota

secarta sistematik tidak menjamin keberhasilan

komersialisasi sektor pertanian tetapi lebih mendukung

terhadap penyatuang ruang secara menyeluruh pada tempat-

tempat yang terkait dengan proses industri. Brian Berry

mengungkapkan bahwa pada ekonomi pasar, sistem

penyatuan pusat-pusat kota biasanya muncul dan sering

dengan pertumbuhan ekonomi karena hal ini sangat

diperlukan tetapi bukan merupakan keadaan yang suffisien

bagi tercapainya pemerataan pembangunan (Terjemahan

Buku Applied Methods Of Regional Analisis Oleh Rondinelli,

1985 :4).

Fisher dan Rushton menyatakan berdasarkan atas

penelitian mereka di indonesia dan india bahwa

pembangunan sistem terpadu dari pelaksanaan perdagangan

dan produksi sangat menguntungkan bagi pemerintah yang

berusaha untuk meningkatkan pembangunan wilayah serta

penduduk wilayah tersebut. Seperti halnya uraian dibawah ini

Page 64: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

tentang pentingnya hirarki terpadu pusat-pusat pelayanan,

yaitu:

a. Pelayanan yang nyaman dan efisien (adalah menggunakan

dan mengefisienkan untuk para pembeli karena itu digunakan

untuk kepuasan dari beberapa kebutuhan yang berbeda

dalam tingkat yang sama disebuah desa).

b. Mengurangi jumlah kendaraan (hal itu mengurangi jumlah

transportasi yang dibutuhkan untuk menghubungkan desa

dengan fasilitas karena dari jumlah tingkat angkutan yang

memadai antara lokasi pusat pelayanan mereka dan tingkat

pelayanannya penting dimana transportasi umum harus

memadai).

c. Mengurangi panjang jalan yang harus diperbaiki ( hal ini

mengurangi jarak yang dibutuhkan dalam pengembangan

sebelum semua desa dihubungkan dengan tempat yang

memiliki fasilitas untuk akses yang mereka butuhkan).

d. Ongkos murah (mengurangi harga dalam penyediaan layanan

untuk fasilitas mereka karena harga ini dapat dibagi kedalam

beberapa fasilitas untuk akses yang dialikasikan di tempat

yang sama).

e. Lebih mudah memonitor kegiatan yang terpusat di tempat-

tempat tertentu (memberikan kesempatan yang lebih

ekonomis dan efektif dalam memonitor aktifitas yang

diregulasikan dalam pasar dan pusat pelayanan).

f. Informasi menjadi lebih lengkap (memfasilitasi perubahan

informasi dan dipilih anggota diantara aktifitas yang

memadai)

Page 65: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

g. Pembangunan lebih difokuskan pada tempat-tempat tertentu

yang mendukung terhadap peningkatan pertumbuhan

ekonominya (hal ini memfokuskan usaha pada perkembangan

region dalam beberapa tempat dengan lokasi yang strategis

sumberdaya dan ini meningkatkan kemungkinan dibeberapa

wilayah secara spontan penambahan aktifitas umum untuk

kebutuhan wilayah mereka sendiri).

Hal lain (Bromley) yang perlu dicatat juga dari sistem

integrasi penggabungan untuk pengembangan regional

adalah bahwa daerah pusat adalah sebuah elemen dalam

fungsi rural dan ekonomi regional, berbagai bentuk yang

dispesialisasikan dari produksi dan konsumsi. Bentuk fasilitas

dari interaksi dan perubahan. Roy dan Partial mencatat

bahwa dalam analisis mereka tentang daerah pusat di india

bahwa pengembangan jasa dan pengembangan area jasa di

sekitar mereka.

Desentralisasi memusat investasi dalam penggabungan

dengan ukuran berbeda dan karakteristik yang integrasi

fungsional mencatat bahwa:

a. Membuka skala ekonomi spilover dan efek yang menyebar

tertiggal disekitar daerah pedesaan.

b. Membantu mengorganisasikan ekonomi diwilayah pedesaan

mengenai supply, pemasaran, administrasi dan sistem jasa

pengiriman. Hal itu memungkinkan peningkatan dan

mengubah kesempatan pekerjaan.

c. Bantuan dan kreatifitas yang menarik dan inovasi

perpendudukan dan enterpreneur dan nilainya, sikap dan

Page 66: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

perilaku mencerminkan dapat membuat lingkungan yang

kondusif untuk inovasi yang lebih baik.

d. Penyediaan kembali dari sistem investasi dapat digunakan

untuk pengembangan yang akan datang dan untuk membuat

perbandingan keuntungan suatu lokasi dan kesempatan yang

lebih baik untuk pertumbuhan yang akan datang mengenai

efek penyebabnya.

e. Membuat penekanan dan permintaan untuk memperluas

layanan baru fasilitas infrastruktur termasuk membuat

sebuah aliran yang terus-menerus dari pertumbuhan dan

ekspansi.

f. Membuat fisik dan lingkungan ekonomi menjadi

penggabungan dan meningkatkan sistem akses ke daerah

pusat.

g. Menarik sistem ekonomi dan aktivitas sosial dan komoditi

baru.

8. Konsep Pendekatan Desentralisasi Wilayah

Dengan didasarkan pada asumsi bahwa pusat

pertumbuhan kota adalah parasit yang disebabkan karena

mereka mengeksploitasi potensi desa, sehingga para

penanam modal tidak langsungmenanamkan modalnya di

Page 67: TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

daerah penghasil tetapi lebih terpusat pada pusat kota. akan

tetapi kemudian ada yang berpendapat bahwa kota kecil

bukan merupakan parasit, sebab banyak hal-hal yang

bermanfaat yang berfungsi bagi pengembangan wilayah yang

juga dihasilkan diwilayah tersebut.

Ketika urbanisasi terjadi, terpusatnya penduduk di kota

didasarkan pada prinsip pertukaran interaksi, maka secara

teori, otonomi, penutupan wilayah dan pembatasan wilayah

sulit dilaksanakan. Preston berpendapat bahwa pengaruh

negatif di desa sangat kecil sekali sehingga memungkinkan

ditawarkannya kesempatan ekonomi terbaru bagi

masyarakat. hal yang paling penting yang berpengaruh

terhadap pengembangan sektor pertanian adalah adanya

kontak pribadi diantara para petani tersebut. Penelitian

lainnya menyebutkan bahwa penduduk desa dapat bersaing

secara sehat dengan penduduk kota dan jaringan antara kota

dan desa merupakan suatu kesempatan utama bagi

pendapatan penduduk desa. Richardson berpendapat bahwa

kota kecil merupakan penopang perekonomian daerah

sangatlah besar, sebabkemajuan sangat tergantung pada

fungsi desa. Desa dapat berfungsi dengan baik jika

kebijaksanaan terhadap desa diformulasikan dan di

implementasikan secara tepat.