KURSUS KESETIMBANGAN AIR (METODE NRECA) Untuk mengetahui potensi sumber daya air pada suatu wilayah perlu dilakukan analisis ketersediaan debit. Analisis ini pada prinsipnya adalah untuk mendapatkan data turut waktu (time series) yang andal yang cukup panjang pada setiap simpul aliran (pada sub-DPS yang terletak dibagian hulu). Permasalahannya terletak pada data debit yang sangat terbatas jumlah ketersediaannya, sehingga perlu dilakukan analisis pembangkitan data debit atas dasar data-data hujan dan iklim. Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada Gambar 1. D ata h uja n A realR ainfall M od elR ainfall-R uno ff D a ta Iklim E va po tran spirasi D a ta D ebit K ete rse d ia n air: tim e se ries ru n off u ntu k se tia p S W S /S ub-SW S K lasifikas i& V erifikas i Gambar 1 Skema pembangkitan debit aliran sintesis dalam bentuk time-series. Secara garis besar langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah: 1. Analisis data hujan dan iklim, 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KURSUS KESETIMBANGAN AIR (METODE NRECA)
Untuk mengetahui potensi sumber daya air pada suatu wilayah
perlu dilakukan analisis ketersediaan debit. Analisis ini pada
prinsipnya adalah untuk mendapatkan data turut waktu (time
series) yang andal yang cukup panjang pada setiap simpul aliran
(pada sub-DPS yang terletak dibagian hulu). Permasalahannya
terletak pada data debit yang sangat terbatas jumlah
ketersediaannya, sehingga perlu dilakukan analisis pembangkitan
data debit atas dasar data-data hujan dan iklim. Sebagai ilustrasi
dapat dilihat pada Gambar 1.
Data hujan
Areal Rain fall
Model Rainfall-Runof f
Data Iklim
Evapotranspirasi
Data Debit
Ketersedian air:tim e series runoffuntuk setiap SW S/Sub-SW S
Klasifikasi & Verifikas i
Gambar 1 Skema pembangkitan debit aliran sintesis dalam bentuk
time-series.
Secara garis besar langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah:
1. Analisis data hujan dan iklim,
2. Analisis data debit aliran
3. Pembangkitan data debit,dan
4. Analisis frekwensi mengenai debit aliran rendah.
1
Model rainfall-runoff merupakan model hidrologi analisis hubungan
curah hujan dan debit aliran sungai yang dikembangkan sesuai
dengan kebutuhan yang bersifat hidrologis.
Model yang dipakai pada studi ini adalah model parametrik atau
model yang mencoba mensimulasikan kondisi fisik dengan
deskripsi matematik yang deterministik yang mengikut-sertakan
sebanyak mungkin perkiraan hukum fisika yang berkaitan dengan
hidrologi permukaan. Interprestasi fisik diekspresikan dalam
bentuk parameter dari model.
Dalam model ini tidak dilakukan simulasi stokastik yang
menggambarkan rekaman hidrologi dalam cara statistik dan
menggunakan deskripsi statistik untuk membentuk rekaman
sintentik yang hampir mirip. Setiap model punya kelebihan dan
kekurangan dalam mencapai suatu kepentingan tertentu.
Kumpulan parameter yang mewakili prilaku hidrologi di daerah
aliran sungai haruslah diturunkan dari data. Data yang diperlukan
untuk model parametrik adalah curah hujan, debit dan data
hidrologi lainnya. Bila ada data lain yang dapat memperjelas
informasi data aliran debit disungai atau aerah pengaliran sungai,
hal ini sangat mebantu mempercepat pengumpulan data dalam
usaha mencapai tingkat ketetapan perkiraan yang tinggi.
Model-model curah hujan-debit aliran menggunakan anggapan dari
runtut waktu yang stasioner, untuk periode kalibrasi. Dengan
demikian , parameter model tidak berubah karena waktu.
Anggapan lain yang digunakan adalah, bila terjadi perubahan
parameter, perubahan tersebut dapat dikaitkan dengan terjadinya
perubahan fisik di DPS, yang terjadi oleh adanya kegiatan manusia.
1. INVENTARISASI DATA HIDROLOGI
2
Adapun lingkup pekerjaan inventarisasi pekerjaan hidrologi adalah
sebagai berikut :
1. Pengumpulan data curah hujan
2. Pengumpulan data iklim, yang meliputi :
Data mengenai temperatur / suhu
Data mengenai kelembaban udara
Data mengenai lama penyinaran matahari
Data mengenai kecepatan angin
1.1 Pengumpulan Data Curah Hujan
Pekerjaan pengumpulan data curah hujan adalah untuk
mendapatkan data curah hujan, minimal untuk 10 tahun
pengamatan agar analisa dengan prosedur yang benar ataupun
mendekati kebenaran dapat dilakukan.
Untuk data curah hujan yang kurang lengkap, yang mungkin
disebabkan oleh berbagai hal seperti kerusakan alat ataupun hal
lainnya akan dilengkapi dengan menggunakan metode rata-rata
aljabar (rasio normal).
1.2 Pengumpulan Data Iklim
Untuk inventarisasi atau pengumpulan data iklim tidak disyaratkan
jumlah minimal dari data iklim yang dibutuhkan. Selanjutnya dari
Badan Meteorologi dan Geofisika didapat data iklim dari wilayah
yang dianggap mewakili wilayah yang ditinjau. Data iklim tersebut
dapat dilihat pada perhitungan debit andalan dengan
menggunakan model NRECA.
2 ANALISA DATA HIDROLOGI
2.1 Analisa Curah Hujan Rencana
Berdasarkan data hidrologi yang dikumpulkan, dilakukan analisa
data curah hujan untuk mendapatkan debit rencana. Data hujan
yang dikumpulkan adalah data hujan harian maksimum (RH max).
Dari data hujan harian maksimum tersebut dilakukan analisa curah
3
hujan rencana, dimana curah hujan rencana diambil untuk periode
ulang 5, 10, 25, 50 dan 100 tahun. Perhitungan atau analisa curah
hujan harian maksimum ini dapat dilakukan dengan berbagai
macam analisa frekuensi. Untuk analisa ini digunakan Metode
Gumbel.
Menurut Gumbel, curah hujan untuk suatu periode tertentu dapat
diperoleh dari persamaan berikut :
XT = X + KT SX
SX =
KT = ( YT – Yn ) / Sn
Dimana :
XT : Curah hujan rencana dalam periode T tahun
X : Curah hujan rata-rata
KT : Faktor frekuensi Gumbel
SX : Standar deviasi
T : Periode ulang
N : Jumlah tahun pengamatan
YT : Reduced variated ( tabel )
Yn : Reduced mean ( tabel )
Sn : Reduced standard deviation ( tabel )
Tabel 3 Koefisien Faktor Frekwensi.
4
Perhitungan untuk mendapatkan hujan rencana dengan
menggunakan metode Gumbel dilakukan dalam bentuk tabel, yaitu
sebagai berikut :
Curah Hujan Rata-rata
5
Kedalaman hujan rata-rata pada daerah tertentu, ditinjau
berdasarkan satu kali hujan musiman atau tahunan yang
dibutuhkan dalam berbagai jenis masalah hidrologi. Bila suatu
daerah tangkapan memiliki stasiun pengamatan hujan lebih dari
satu, maka akan terdapat hujan maksimum tahunan yang juga
lebih dari satu.
Metode Aritmatik
Metode yang paling sederhana untuk memperoleh kedalaman rata-
rata adalah dengan menghitung rata-rata jumlah yang terukur
dalam daerah tersebut secara aritmatik. Metode ini menghasilkan
perkiraan yang baik di daerah datar, bila alat-alat ukurnya
ditempatkan tersebar merata dan masing-masing tangkapannya
tidak bervariasi banyak dari nilai rata-ratanya. Kendala ini dapat
diatasi bila pengaruh-pengaruh topografi dan derajat keterwakilan
daerahnya dipertimbangkan pada waktu pemilihan lokasi-lokasi
alat ukur. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
di mana
d = Tinggi curah hujan rata-rata areal
dI = Tinggi curah hujan pada pos penakar.
Kelemahannya dari metode ini adalah bila dalam suatu luasan, pos
perhitungan tidak menyebar secara merata.
Metode Thiessen
Cara ini dibuat untuk mengimbangi tidak meratanya distribusi alat
ukur dengan menyediakan faktor pembobot bagi masing-masing
stasiun. Stasiun-stasiunnya diplot pada suatu peta dan garis-garis
yang menghubungkannya digambar. Garis-garis bagi tegak lurus
dari garis-garis penghubung ini membentuk poligon-poligon di
6
sekitar masing-masing stasiun. Sisi-sisi setiap poligon merupakan
batas luas efektif yang diasumsikan untuk stasiun terserbut.
Curah hujan rata-rata untuk seluruh luas dihitung dengan
mengalikan hujan pada masing-masing stasiun dengan presentasi
luas yang ada dan kemudian menjumlahkannya. Metode ini
menganggap variasi hujan adalah linier antar stasiun-stasiun dan
menyerahkan masing-masing segmen pada segmen terdekat. Hasil
perhitungan dengan metode ini lebih teliti dibandingkan dengan
menggunakan metode aritmatik.
Rumusnya adalah sebagai berikut
dimana :
AI = Luas areal ke-i
i = 1,2,3,...,n
d = Tinggi curah hujan rata-rata areal
dI = Tinggi curah hujan dipos ke-i
2.2 Analisa Debit Banjir Rencana
Dari hasil yang didapat melalui analisa curah hujan, kemudian
dilanjutkan dengan menganalisa atau menghitung debit banjir
rencana. Metode yang akan digunakan adalah metode Weduwen
(untuk luas daerah pengaliran yang kurang dari 100 km2), metode
Haspers dan metode Hidrograf Satuan (untuk luas daerah
pengaliran yang tidak ditentukan. Ketiga metode tersebut
memungkinkan jika digunakan untuk luas DAS dari daerah yang
ditinjau lebih kecil dari 100 km2.
2.2.1 Metode Hidrograf Satuan
Metode ini dapat dipakai untuk luas daerah pengaliran sembarang.
Hidrograf satuan yang akan dipergunakan dalam perhitungan
7
adalah Hidrograf Satuan Sintetik Snyder. Unsur-unsur yang
dipergunakan dalam hidrograf ini antara lain :
A = Luas daerah pengaliran ( km2 )
L = Panjang aliran utama ( km )
Lc = Panjang antara titik berat daerah pengaliran dengan outlet
Koefisien-koefisien Ct dan Cp sebenarnya harus ditentukan secara
empirik karena besarnya berubah-ubah antara daerah yang satu
dengan daerah yang lainnya. Dalam satuan metrik besar Ct antara
0.75 dan 3.00 sedangkan Cp berada antara 0.9 hingga 1.4.
Belakangan banyak digunakan rumus Snyder yang telah diubah.
Perubahan rumus Snyder yang telah banyak digunakan di
Indonesia adalah sebagai berikut :
- tp = Ct*( L*Lc )0,3
- tc = tp/5,5 ; tr = 1 jam
Jika :
tc > tr, maka : t'p = tp + 0,25 ( tr - tc ) sehingga ;
Tp = t'p + 0,5
tc < tr, maka : Tp = t'p + 0,5
- qp = 0,278 ( Cp / Tp )
- Qp = qp*A untuk hujan 1 mm/jam
Dimana :
qp = Puncak hidrograf
Qp = Debit puncak ( m3/s/mm )
tp = Waktu antara titik berat curah hujan hingga puncak
(time lag) dalam jam
Tp = Waktu yang diperlukan antara permulaan hujan hingga
puncak hidrograf.
Selanjutnya perhitungan dilakukan secara tabelaris sehingga
didapatkan besarnya debit banjir rencana ( Qn ) untuk beberapa
periode ulang, yaitu sebagai berikut :
8
2.2.2 Metode Der Weduwen
Untuk metode Der Weduwen rumus yang akan digunakan adalah :
Qn = mn . a. b .A . q . ( R70 / 240 )
Dimana :
Qn = Debit maksimum untuk periode ulang n tahun
mn = Koefisien yang tergantung pada periode ulang yang
ditetapkan
A = Luas DAS dalam km2
a = Koefisien aliran
b = Koefisien reduksi
q = Intensitas hujan maksimum untuk periode ulang
tertentu
periode
ulang
2 5 10 25 50 100
Mn
0.49
2
0.602 0.705 0.845 0.940 1.050
Selanjutnya perhitungan dilakukan secara tabelaris sehingga
didapatkan besarnya debit banjir rencana ( Qn ) untuk beberapa
periode ulang
2.2.3 Metode Haspers
Untuk cara Haspers rumus yang digunakan adalah :
Qn = a.b.q. A
9
a = ( 1 + 0,012 A 0,7 ) / ( 1 + 0,075 A 0,7 )
t = 0,1 L 0,8 I –0,3
Untuk t < 2 jam, maka :
Untuk 2 jam < t < 19 jam, maka :
Untuk 19 jam < t < 30 hari, maka :
q = r / 3,6 t ---------------- untuk t dalam jam
q = r / 86,4 t --------------- untuk t dalam hari
Dimana :
Qn = Debit maksimum untuk periode ulang n tahun
mn = Koefisien yang tergantung pada periode ulang yang
ditetapkan
A = Luas DAS dalam km2
a = Koefisien aliran
b = Koefisien reduksi
q = Intensitas hujan maksimum untuk periode ulang
tertentu
Selanjutnya perhitungan dilakukan secara tabelaris sehingga
didapatkan besarnya debit banjir rencana ( Qn ) untuk beberapa
periode ulang
10
2.2.4 Metode Rasional
Metode ini adalah tertua untuk menghitung debit banjir dari curah
hujan. Rumus ini banyak digunakan untuk perencanaan drainase
daerah pengaliran yang relatif sempit. Metode rasional hanya
digunakan untuk menentukan banjir maksimum bagi saluran-
saluran kecil, kira-kira 100 – 200 acres atau 40 – 80 hektar.
Metode ini pertama kali digunakan di Irlandia oleh Mulvaney pada
tahun 1847. Bentuk umum rumus yang digunakan adalah sebagai
berikut :
Q = 0,278 . C . I . A
Dimana :
Q = Debit banjir maksimum, m3 / dtk
C = Koefisien pengaliran
I = Intensitas curah hujan, mm / jam
A = Luas DAS, km2
3. KETERSEDIAAN AIR
Untuk mengetahui potensi air pada suatu daerah aliran sungai baik
untuk tujuan khusus seperti untuk pembuatan bendungan untuk
keperluan pembangkit listrik atau untuk keperluan irigasi maupun
untuk tujuan yang lebih umum seperti pembuatan master plan
konservasi sumber daya air, perkiraan tentang ketersediaan air
adalah penting. Tujuan tersebut tidak akan pernah terwujud jika air
yang diperlukan tidak tersedia ataupun tidak mencukupi.
Oleh karena itu masalah siklus hidrologi , dimana air berada pada
suatu mata rantai yang terus berputar tanpa henti harus dipahami
terlebih dahulu. Perputaran yang terus-menerus ini mengakibatkan
air di bumi secara kuantitas tidak berubah. Berkurang atau
11
bertambahnya komponen-komponen yang mempengaruhi siklus
akan mengakibatkan terganggunya kesetimbangan yang ada.
3.1 Siklus Hidrologi
Panas matahari akan menyebabkan terjadinya evapotranspirasi.
Uap air hasil dari penguapan ini pada ketinggian tertentu akan
berubah menjadi awan, yang kemudian akan mengalami proses
kondensasi yang akhirnya akan menjadi presipitasi. Adapun
presipitasi di Indonesia hanya dalam bentuk embun atau air hujan.
Sebagian air hujan yang sampai ke permukaan tanah dikenal
dengan water surplus akan wasuk ke dalam tanah atau mengalami
proses infiltrasi. Bagian yang lain merupakan kelebihan dan kan
mengisi lekuk-lekuk permukaan tanah, mengalir ke daerah yang
lebih rendah, masuk ke sungai dan akhirnya akan menuju ke laut.
Air ini dikenal sebagai surfase run water (direct run off) .
Tidak semua butir air yang mengalir di permukaan tanah akan
sampai di laut, dalam perjalanannya sebagian akan menguap
kembali ke atmosfir. Sebagian air yang masuk ke dalam tanah akan
mengalir ke sungai yang disebut dengan aliran intra (interflow)
atau sering juga disebut base flow. Namun sebagian besar akan
tersimpan sebagai air tanah . Air tanah ini juga menyumbang base
flow, tetapi karena letaknya yang dalam, air tanah ini hanya akan
keluar di daerah rendah seperti pantai dan akhirnya ke laut dan di
laut terjadi juga proses penguapan. Begitu seterusnya dan siklus
kembali berputar.
3.2 Model NRECA
Salah satu model yang dipakai dalam menghitung ketersediaan air
adalah model NRECA. Model NRECA menstimulasikan
kesetimbangan air bulanan pada suatu daerah tangkapan yang
ditujukan untuk menghitung total run off dari nilai curah hujan
12
bulanan, evapotranspirasi, kelembaban tanah dan tersediaan air
tanah. Model kesetimbangan air dari NRECA ini didasarkan pada
proses kesetimbangan air yang telah umum yaitu hujan yang jatuh
di atas permukaan tanah dan tumbuhan penutup lahan sebagian
akan menguap, sebagian akan menjadi aliran permukaan dan
sebagian lagi akan meresap masuk ke dalam tanah. Infiltrasi air
akan menjenuhkan tanah permukaan dan kemudian air merambat
menjadi perkolasi dan keluar menuju sungai sebagai aliran dasar.
Perbedaan model NRECA dengan model kesetimbangan air yang
lain hanyalah pada jumlah parameter yang diambil.
3.2.1 Data Masukan
Data masukan yang diperlukan untuk model NRECA ini antara
lain ;
Hujan bulanan
Evapotranspirasi
Temperatur rata-rata bulanan
Sinar matahari
Kelembaban relatif
Kecepatan angin
Kondisi awal kadar kelembapan tanah
Tampungan awal air tanah
Index soil moisture storage capacity pada daerah
tangkapan
Persentase run off yang mengalir pada jalur subsurface
Persentase air yang masuk menjadi aliran air tanah
3.2.2 Hujan Bulanan
Hujan bulanan yang dipakai dalam perhitungan NRECA adalah
hujan bulanan hasil pengukuran.Berdasarkan curah hujan yang
turun, bulan hujan dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu :
13
Kelompok bulan kering : Jumlah curah hujan kurang dari
60 mm setiap bulannya.
Kelompok bulan lembab : Jumlah curah hujan antara 60-
100 mm setiap bulannya.
Kelompok bulan basah : Jumlah curah hujan lebih dari
100 mm setiap bulannya.
3.2.3 Evapotranspirasi
Faktor penentu yang lain pada tersedianya air permukaan setelah
hujan adalah evapotranspirasi. Evapotranspirasi merupakan
banyaknya air yang dilepaskan ke udara dalam bentuk uap air yang
dihasilkan dari proses evaporasi dan transpirasi. Evaporasi /
penguapan adalah suatu proses perubahan dari molekul air dalam
wujud cair ke dalam wujud gas. Evaporasi terjadi apabila terdapat
perbedaan tekanan uap air antara permukaan dan udara di
atasnya. Evaporasi terjadi pada permukaan badan-badan air,
misalnya danau, sungai dan genangan air.
Transpirasi adalah suatu proses ketika air di dalam tumbuhan
dilimpahkan ke atmosfir dalam wujud uap air. Pada saat transpirasi
berlangsung, tanah tempat tumbuhan berada juga mengalami
kehilangan kelembaban akibat evaporasi. Transpirasi dapat terjadi
jika tekanan uap air di dalam sel daun lebih tinggi daripada
tekanan uap air di udara. Dalam beberapa penerapan hidrologi,
proses evaporasi dan transpirasi dapat dianggap sebagai satu
kesatuan sebagai evapotranspirasi.
Besarnya limpasan atau run off dapat diperkirakan dari selisih
antara hujan evapotranspirasi. Cara ini memberikan pendekatan
yang lebih memuaskan dari pada pemakaian koefisien run off
terutama untuk daerah tropis seperti Indonesia, dimana daerah
tersebut mempunyai curah hujan dan kelembaban dalam tanah
14
sehingga air tidak membatasi evapotranspirasi sepanjang tahun
kecuali untuk beberapa wilayah di Indonesia.
Pada kondisi atmosfir tertentu evapotranspirasi tergantung pada
keberadaan air. Jika kandungan air dalam tanah selalu dapat
memenuhi kelembaban yang dibutuhkan oleh tanaman, digunakan
istilah evapotranspirasi potensial. Evapotranspirasi yang
sebenarnya terjadi pada kondisi spesifik tertentu, dan disebut
evapotranspirasi aktual. Faktor-faktor yang mempengaruhi
evapotranspirasi antara lain adalah temperatur, kecepatan angin,
kelembapan udara dan penyinaran matahari.
Temperatur
Jika faktor lain dibiarkan konstan, tingkat evaporasi meningkat
seiring dengan peningkatan temperatur air. Walaupun secara
umum terdapat peningkatan evaporasi seiring dengan peningkatan
temperatur udara, ternyata tidak terdapat korelasi yang tinggi
antara tingkat evaporasi dengan temperatur udara.
Kecepatan angin
Angin berperan dalam proses pemindahan lapisan udara jenuh dan
menggantikannya dengan lapisan udara lain sehingga evaporasi
dapat berjalan terus. Jika kecepatan angin cukup tinggi untuk
memindahkan seluruh udara jenuh, peningkatan kecepatan angin
lebih lanjut tidak berpengaruh terhadap evaporasi. Maka tingkat
evaporasi meningkat seiring dengan kecepatan angin hingga suatu
kecepatan kritis, dimana kecepatan angin tidak lagi mempengaruhi
tingkat evaporasi.
Kelembaban udara
Jika kelembaban naik, kemampuannya untuk menyerap uap air
akan berkurang sehingga laju evaporasi akan menurun.
Penggantian lapisan udara pada batas tanah dan udara dengan
15
udara yang sama kelembaban relatifnya tidak akan menolong untuk
memperbesar laju evaporasi.
Penyinaran matahari
Evporasi merupakan konversi air ke dalam uap air. Proses ini
terjadi hampir tanpa berhenti di siang hari dan kadangkala di
malam hari. Perubahan dari keadaan cair menjadi gas ini
memerlukan input energi yaitu berupa panas untuk evaporasi.
Proses tersebut akan sangat aktif jika ada penyinaran langsung dai
matahari. Awan merupakan penghalang radiasi matahari dan akan
mengurangi input energi.
Banyak metode telah dikembangkan untuk memperkirakan
besarnya evapotranpirasi dengan menggunakan data klimatologi.
Hal ini disebabkan karena kurangnya data lapangan dan sulitnya
untuk mendapatkan data evapotranspirasi yang akurat.
Ada beberapa metode dalam penentuan evapotranspirasi potensial
diantaranya yaitu metode Thornwaite, Blaney Criddle dan Penman
modifikasi. Ketiga metode tersebut berbeda dalam macam data
yang digunakan untuk perhitungan. Metode Thornwaite
memerlukan data temperatur dan letak geografis. Metode Blaney
Criddle memerlukan data temperatur dan data prosentase
penyinaran matahari. Metode Penman modifikasi memerlukan data