Top Banner
TEOLOGI MISI ALKITABIAH YANG KONTEKSTUAL (TUGAS TUTORIAL MANDIRI PROGRAM DOKTORAL) DISUSUN OLEH: YOHANES RATU EDA NIM: 0831518 1
89

TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

Apr 24, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

TEOLOGI MISI ALKITABIAH YANG KONTEKSTUAL

(TUGAS TUTORIAL MANDIRI PROGRAM DOKTORAL)

DISUSUN OLEH:

YOHANES RATU EDA

NIM: 0831518

1

Page 2: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

SEKOLAH TINGGI THEOLOGI JAFFRAY

JAKARTA

2014

BAB I

PENDAHULUAN

Pada bab pendahuluan ini akan dipaparkan hal-hal

seputar latar belakang masalah; isu dan inti pokok

masalah; metodologi penulisan; tujuan penulisan; batasan

penulisan dan kegunaan penulisan. Semua bagian tersebut

akan diuraikan secara lengkap di bawah ini.

A. Latar Belakang Masalah

Sejak awal abad ke-20 banyak orang (Kristen dan non

Kristen, agamis dan non agamis) memperlihatkan sikap

menolak misi sebagai karya penyebaran iman Kristen.

Bayangan akan sisi gelap sejarah misi – sejak masa

penemuan benua-benua baru – membuat banyak orang

(pribadi, golongan, aliran) menjadi alergi mendengar

istilah misi. Selama masa ini – yang dari sudut pandang

tertentu dilihat sebagai zaman keemasan karya misi.

Gereja secara arogan bertindak selaku lembaga

2

Page 3: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

indoktrinasi bidang keagamaan dan peraturan moral, baik

bagi umat Allah di gereja asal (Eropa dan Amerika Utara)

maupun bagi gereja dan masyarakat di tanah jajahan

bangsa-bangsa barat. Tindakan seperti ini, memberi kesan

bahwa gereja berperan serta dalam memajukan ideologi

kolonial apalagi sikap gereja pada masa itu sangat

terpengaruh oleh arogansi barat dan superioritas Kristen.

B. Isu dan Inti Pokok Masalah

Muatan history karya misi pada masa lampau tidak

hanya menjadi halangan bagi karya pewartaan Injil dan

pembangunan umat, tetapi juga mengganggu pergaulan umum

(sehari-hari) antara umat Kristen dengan masyarakat

berbagai bangsa, kebudayaan dan agama-agama di dunia.

Agama Kristen dilihat sebagai milik orang barat – yang

disamakan dengan kaum penjajah – yang diwariskan kepada

segelintir bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin,

sehingga gereja yang mereka dirikan dituding sebagai

sarana kolonialisme.

Sementara itu gereja sepanjang masa, tetap melihat

misi sebagai dimensinya yang esensial, karena melalui

3

Page 4: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

karya misi gereja hadir dengan sepenuhnya sebagai gereja.

Gereja tanpa misi bukanlah gereja seperti yang

dimaksudkan oleh Kristus.1 Tema pokok dan yang sebenarnya

dari Konsili Vatikan II adalah gereja. Misi gereja yang

universal dan penyebarannya yang tak pernah usai … adalah

bobot yang menentukan dalam diri gereja. Jikalau kita

berbicara tentang misi, maka yang kita maksudkan adalah

inti terdalam dari gereja serta pertumbuhannya yang

pesat.2

Dalam situasi seperti dihadapi gereja dan karya

misionernya sekarang ini, penjelasan tetang misi seperti

yang dikehendaki oleh Yesus Kristus, sangat penting,

perlu dan berguna. Untuk itu, dibutuhkan suatu penjabaran

tentang misi Alkitabiah yang kontekstual, yang mendasar

mengenai perutusan seperti yang diimani dan dijalankan

dalam gereja. Misi yang ikut menjadi dasar keberadaan

gereja perlu dimengerti sesuai dengan hakikat, makna dan

tujuannya yang sebenarnya. Pengertian yang benar tentang

1 T. Jacobs, Konstitusi Dogmatis (Lumen Gentium) MengenaiGereja, Yogyakarta: 1970, hlm. 335; 338.

2 J. Schutte, Fragen der Mission an das Konzil, dalam J.Schutte, ed., Mission Nach dem Konzil, Mainz: 1967, hlm. 11-12.

4

Page 5: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

misi menjamin plausabilitas penilaian terhadap misi dan

menjadi dasar yang legitim untuk perencanaan karya misi

Alkitabiah yang kontekstual serta harapan-harapan untuk

pertumbuhan gereja selanjutnya.

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini difokuskan pada pokok

misi Alkitabiah yang kontekstual. Ada pun tujuan

penulisan ini dibagi dalam dua bagian utama yaitu tujuan

umum dan tujuan khusus.

1. Tujuan umum

Penulisan makalah ini dilaksanakan dengan tujuan

untuk mencari korelasi antara misi Alkitabiah sebagai

dasar teologis yang kontekstual dengan pertumbuhan

gereja. Di sini, Alkitab menjadi sumber utama ajaran misi

gereja dan konteks sebagai sasaran pelaksanaan misi

gereja.

2. Tujuan khusus

Tujuan khusus yang diharapkan akan dicapai dalam

penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

5

Page 6: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

a. Dapat memenuhi salah satu syarat tugas akademik

dalam penyelesaian studi Program Doctoral di Sekolah

Tinggi Theologi Jaffray Jakarta.

b. Menyediakan gagasan teoretis yang relevan dengan

topik yang digarap dalam hal ini berkaitan dengan

misi Alkitabiah yang kontekstual dalam kaitannya

dengan pertumbuhan gereja.

c. Memberikan dukungan dan motivasi agar setiap gereja

lokal dapat meningkatkan kinerja misionernya dalam

memenangkan jiwa bagi Kerajaan Allah yang pada

akhirnya terjadi pertumbuhan gereja.

D. Metodologi Penulisan

Metode penulisan makalah ini ialah metode

pengumpulan data dari hasil penelitian dengan ragam

sumber, baik melalui penelitian kepustakaan (library

research) maupun melalui media elektronik yaitu internet.

Selanjutnya semua hasil penelitian yang dikumpulkan

disajikan dan memberi kesimpulan sesuai dengan tujuan

penulisan makalah ini.

6

Page 7: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

E. Batasan Penulisan

Penulisan makalah ini dibatasi pada “Misi Alkitabiah

yang Kontekstual”, dengan gambaran, yaitu: pertama,

batasan pemahaman pengertian kata secara etimologi; kedua,

landasan teoretis baik landasan teologis maupun pandangan

para ahli tentang misi Alkitabiah yang kontekstual; ketiga,

korelasi antara misi Alkitabiah yang kontekstual dengan

pertumbuhan gereja.

F. Hipotesis Penulisan

Telah ditegaskan bahwa ada korelasi yang sangat

signifikan antara misi Alkitabiah yang kontekstual dengan

pertumbuhan gereja. Karena itu diduga bahwa jika misi

dilaksanakan sesuai dengan ajaran Alkitab yang

kontekstual, maka akan terjadi pertumbuhan gereja.

7

Page 8: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

BAB II

PEMAHAMAN TENTANG

TEOLOGI MISI ALKITABIAH YANG KONTEKSTUAL

A. Pengertian Teologi Misi Alkitabiah yang Kontekstual

1. Pengertian teologi

Teologi (bahasa Yunani θεος, theos, "Allah, Tuhan",

dan λογια, logia, "kata-kata," "ucapan," atau "wacana")

adalah  wacana  yang berdasarkan nalar mengenai  agama, 

spiritualitas  dan  Tuhan. Dengan

demikian, teologi adalah ilmu yang mempelajari segala

sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama. Teologi

meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan.

8

Page 9: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

Para teolog berupaya menggunakan analisis dan argumen-

argumen rasional untuk mendiskusikan, menafsirkan dan

mengajar dalam salah satu bidang dari topik-topik agama.

Teologi memampukan seseorang untuk lebih memahami

tradisi  keagamaannya sendiri ataupun tradisi keagamaan

lainnya, menolong membuat perbandingan antara berbagai

tradisi, melestarikan, memperbaharui suatu tradisi

tertentu, menolong penyebaran suatu tradisi, menerapkan

sumber-sumber dari suatu tradisi dalam suatu situasi atau

kebutuhan masa kini, atau untuk berbagai alasan lainnya.

Kata 'teologi' berasal dari bahasa Yunani koine,

tetapi lambat laun memperoleh makna yang baru ketika kata

itu diambil dalam bentuk Yunani maupun Latinnya oleh para

penulis Kristen. Karena itu, penggunaan kata ini,

khususnya di Barat, mempunyai latar belakang Kristen.

Namun, pada masa kini istilah tersebut dapat digunakan

untuk wacana yang berdasarkan nalar di lingkungan ataupun

tentang berbagai agama. Di lingkungan agama Kristen

sendiri, disiplin 'teologi' melahirkan banyak sekali sub-

divisinya. Dalam gereja Kristen, teologi mula-mula hanya

9

Page 10: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

membahas ajaran mengenai Allah, kemudian artinya menjadi

lebih luas, yaitu membahas keseluruhan ajaran dan praktik

Kristen. Dalam upaya merumuskan apa itu ilmu teologi,

maka ada beberapa unsur yang perlu diperhatikan, yaitu

tidak akan ada teologi Kristen tanpa keyakinan bahwa

Allah bertindak atau berfirman secara khusus dalam  Yesus

Kristus  yang menggenapi  perjanjian  dengan

umat Israel. Pada Abad Pertengahan, teologi merupakan

subyek utama di sekolah-sekolah universitas dan biasa

disebut sebagai "The Queen of the Sciences". Sumber:

Wikipedia.

Kata Teologi sudah tidak asing lagi di telinga kita

orang-orang Kristen, entah dimengerti atau sekedar ucapan

belaka. Saya ingin memberi pengertian singkat bagi

pembaca, yang saya rasa mudah dimengerti oleh pembaca

awam atau pengkaji teologi dalam kekristenan.

Arti Etimologis

Istilah "Teologia" berasal dari 2 kata Yunani,

yaitu: theos artinya "Allah"; dan logos artinya "perkataan,

uraian, pikiran, ilmu". Sedangkan "Sistematika" berasal

10

Page 11: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

dari kata sustematikos, artinya penempatan/penyusunan

secara tepat. Jadi teologi dapat diartikan sebagai suatu

ilmu yang menguraikan tentang Tuhan dengan cara yang

sistematis, sehingga semua pembaca dapat mengerti. Jadi

jika pembaca kurang paham dengan apa yang diuraikan oleh

teologi, itu berarti penyampaiannya kurang sistematis.

Definisi Istilah

"Teologia" dapat dimengerti dalam arti sempit atau

arti luas. Arti luas: mencakup seluruh pokok studi

(disiplin ilmu) dalam pendidikan teologia. Arti sempit:

usaha meneliti iman Kristen dari aspek doktrinnya saja

yang sering disebut sebagai Teologia

Sistematika. Definisi umum: Teologia ialah pengetahuan

yang rasional tentang Allah dan hubungannya dengan

karya/ciptaan-Nya seperti yang dipaparkan oleh Alkitab.

Definisi khusus: Teologia Sistematika ialah bagian dari

divisi Teologia, yang mengatur secara terperinci dan

berurutan tema-tema dari ajaran doktrin dalam Alkitab.

Pengertian Teologia sebagai Ilmu Teologia meskipun tidak

memiliki fakta-fakta yang dapat diukur secara empiris

11

Page 12: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

(seperti ilmu-ilmu modern sekarang ini) tetap dapat

disebut sebagai ilmu karena, sesuai dengan salah satu

definisi "ilmu", teologia adalah suatu usaha untuk

memberikan penjelasan tentang Allah, yang diperoleh dari

Alkitab (sebagai penyataan Allah yang tidak berubah),

dengan cara yang sistematis.

Menurut Yakob Tomatala dalam buku Teologi Misi,

“Kata “theology” dapat dijelaskan sebagai ilmu

pengetahuan tentang Allah”.3 Jadi, “theology” itu ialah

ilmu yang berbicara tentang Allah dan karya-Nya di masa

lalu, masa kini dan masa yang akan datang.

Dengan demikian Teologia Kristen memenuhi unsur-

unsur ilmu:

Pertama, Dapat dimengerti oleh pikiran manusia dengan

cara teratur dan rasional. Teologi bukanlah suatu ilmu

yang "mistik" sehingga hanya orang-orang yang dianggap

suci saja yang dapat mengerti teologi.

Kedua, Menuntut adanya penjelasan secara metodologis.

Teologi dijabarkan dalam metode sistematis tertentu.

3 Yakob Tomatala, Teologi Misi, Jakarta: YT LeadershipFoundation, 2003, hlm. 23.

12

Page 13: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

Ketiga, Menyajikan kebenaran, bukan sebuah rekayasa

fakta, sehingga dunia teologi Kristen dapat dikorelasikan

dengan sejarah dan juga sastra.

Keempat, Mempunyai nilai yang universal, yang artinya

dikaji semua orang secara umum di segala tempat, waktu

dan keadaan di seluruh dunia.

Kelima, Memiliki objek yang diteliti yaitu Allah dan

Alkitab. Sekalipun obyek yang diteliti tidak dapat

diteiliti seperti anda meneliti sel darah merah yang

ditempatkan pada lempengan kaca kemudian diteiliti di

laboratorium, namun obyek yang diteliti dalam teologi

sangat berhubungan erat dengan kehidupan manusia itu

sendiri. Sumber: http://sabdaabadi.blogspot.com/2012/02/apa-itu-

teologi.html.

Teologi yang dipahami sebagai sebuah wacana atau

kata-kata tentang Tuhan meliputi segala sesuatu yang

berhubungan dengan Tuhan dan dengan demikian memahami

Tuhan sebagai objek yang dapat diteliti. Pemahaman yang

demikian tentu saja tidak alkitabiah. Tuhan dalam

pandangan Kristen bukanlah sebuah objek yang bisa

13

Page 14: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

diteliti. Manusia tidak bisa meneliti Tuhan karena

manusia tidak bisa melihat Tuhan. Pemahaman orang Kristen

tentang Tuhan tidak diperoleh dengan meneliti tentang

Tuhan, melainkan melalui pengenalan di dalam setiap

karya-Nya dalam kehidupan. Manusia tidak bisa melihat

Tuhan, tetapi karya, ciptaan dan penyertaan-Nya bisa

dilihat dan dirasakan dalam seluruh aspek kehidupan

manusia. Dengan cara inilah manusia mengenal Tuhan dan

mengembangkan pemahamannya tentang Tuhan. Karena Tuhan

sedang dan terus berkarya dalam saluruh aspek kehidupan

manusia, maka pengenalan manusia tentang Tuhan terus

berkembang. Oleh karena itu maka dalam pandangan Kristen,

teologi itu memiliki pengertian yang dinamis,

kontekstual, dan aplikatif. Dinamis artinya pengertian

teologi itu terus berkembang, kontekstual artinya

pengertian teologi itu cocok dengan situasi dan kondisi

yang melatarbelakanginya, dan aplikatif artinya

pengertian teologi itu dapat diterapkan dalam kehidupan.

Dari uraian singkat di atas, maka dapat ditarik

sebuah kesimpulan bahwa definisi teologi Kristen itu

14

Page 15: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

adalah: “Upaya dan cara manusia untuk mengenal Tuhan melalui karya,

ciptaan dan penyertaan-Nya dalam sejarah masa lalu, masa kini dan masa

depan sebagaimana dipaparkan dalam Alkitab yang selalu dilihat dan

dirasakan oleh manusia dalam seluruh aspek kehidupannya”.

2. Pengertian misi

Kata “misi” adalah istilah Indonesia untuk kata

Latin “mission” yang berarti “perutusan”. Kata “mission”

adalah bentuk subtantif dari kata kerja “mittere” (mitto,

missi, missum) yang memiliki beberapa pengertian dasar,

yaitu: pertama, membuang, menembak, membentur; kedua,

mengutus, mengirim; ketiga, membiarkan, membiarkan pergi,

melepaskan pergi; keempat, mengambil/ mengendap,

membiarkan mengalir (darah).4

Di dalam Vulgata, kata “mittere” adalah terjemahan

dari kata Yunani “pempein” dan “apostelein” yang berarti

juga mengutus. Kedua istilah Yunani ini terdapat 206x di

dalam Kitab Suci Perjanjian Baru. “Orang yang diutus”

atau “missionaries” diterjemahkan dari kata Yunani

“apostolos” terdapat 79x di dalam Kitab Suci Perjanjian

4 K. Prent, c.m., dkk., eds., Kamus Latin – Indonesia,Yogyakarta: 1969, hlm. 539-540.

15

Page 16: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

Baru, sedangkan tugas yang mereka laksanakan disebut

“mission”, sebagai terjemahan dari kata Yunani “apostelo”

terdapat 4x dalam Kitab Suci Perjanjian Baru”.5

Dalam penggunaan selanjutnya, istilah “misi” dan

“apostolate” yang pada dasarnya mempunyai arti yang sama

mendapatkan modifikasi pengertian seperti dalam istilah

“missionalis apostolatus” (kerasulan missioner) yang

dipakai oleh Paus Pius XII dalam ensiklik misi Fidei

Donum (1957). Kata “apostolate” atau “kerasulan” dipakai

untuk menunjuk kegiatan pastoral umum sedangkan kata

“misi” atau “perutusan” dipakai untuk kegiatan penyebaran

iman.

Istilah “misi” tidak hanya dipakai dalam lingkup

keagamaan, tetapi juga di dunia profane seperti misi

diplomatis, misi politis, misi ilmu pengetahuan, misi

kebudayaan, misi dalam dunia kemiliteran. Semuanya

berarti pelimpahan tugas dan tanggung jawab.

Di dalam gereja, istilah “misi” digunakan baik untuk

menunjuk kegiatan yang lebih luas dan umum, yakni

5 L. Legrand, Unity and Plurality: Mission in the Bible, NewYork: 1990, hlm. 14.

16

Page 17: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

menyangkut semua kegiatan gereja6 maupun untuk karya

khusus pewartaan dan penyebaran iman Kristen. Pengertian

yang terakhir ini menyangkut pengutusan para misionaris.

Goerge W. Peters menulis, misi adalah “the total

biblical assignment of the church of Jesus Christ. It is

a comprehensive term including the upward, inward and

outward ministries of the church” menurut penulis ini,

“missions” adalah “a specialized term. By it I mean the

sending forth of authorized persons beyond the borders of

the New Testament Church….”.7

Yakob Tomatala, mengatakan: “Misi adalah karya Allah

yang menghimpun bagi diri-Nya suatu umat yang bersekutu

dengan Dia, melayani Dia dan menyembah Dia dalam hubungan

yang harmonis dan utuh untuk kejayaan Kerajaan Allah.

Menurut penulis ini, misi adalah karya Allah. Allah

berkarya dalam pengutusan-Nya, yang menghimpun umat-Nya

untuk bersekutu, menyembah dan melayani-Nya dalam

hubungan yang harmonis bagi kejayaan kerajaan-Nya.

6 J. Moltmann, Gott Kommt und der Mensch wird Frei, Munchen:1975, hlm. 21 dst.

7 George W. Peters, A Biblica Theology of Missions, Chicago:Moody Press, 1972, hlm. 11.

17

Page 18: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

Selanjutnya dikatakan bahwa penginjilan adalah rancangan

dan karya Allah yang menghimpun bagi diri-Nya suatu umat

untuk bersekutu, menyembah serta melayani Dia secara utuh

dan serasi bagi kejayaan Kerajaan Allah”.8

Menurut Dr. Y. Jones Akal misi adalah pengutusan

untuk pelayanan komperhensif. Pelayanan konperhensif

berdiamensi empat yaitu pelayan ke bawah (downward

ministry), pelayanan ke atas (upward ministry), pelayanan

ke dalam (inward ministry), dan pelayanan ke luar

(outward ministry).”9

David J. Bosch merumuskan beragam pengertian

tradisional tentang misi dan mengusahakan suatu synopsis

teologis yang lebih khas sebagai konsep yang telah

dipergunakan secara tradisional. Ia mencatat bahwa kata

ini telah diparafrasekan sebagai: 1) penyebaran iman; 2)

perluasan pemerintahan Allah; 3) pertobatan orang-orang

kafir; 4) pendirian jemaat-jemaat baru”.10

8 Yakob Tomatala, Penginjilan Masa Kini, Jilid 2, Malang:Gandum Mas, 1998, hlm. 27.

9 Yunny Jones Akal, Diktat Strategi Misi, Jakarta: IFTKJaffray, 2005, hlm. 5.

10 D. J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, Jakarta: BPK GunungMulia, 1997, hlm. 1.

18

Page 19: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

Menurut penulis, misi adalah pola, cara dan model

kerja yang digunakan oleh Tuhan dalam rangka

menyelamatkan manusia berdosa yang ada di dalam dunia,

sehingga mereka yang diselamatkan oleh Tuhan beroleh

hidup yang kekal. Mereka yang diselamatkan oleh Tuhan

dihimpun dalam suatu persekutuan dengan tujuan untuk

menyembah dan melayani Allah serta menjadi alat anugerah

Allah untuk memberitakan Injil kepada dunia.

3. Pengertian kontekstual

Istilah “Kontekstualisasi” baru ditambahkan pada bidang

misi dan teologi oleh Theological Education Fund (TEF) pada

tahun 1972. Namun, para Misionaris menyadari bahwa ide

“Kontekstualisasi” sudah ada jauh sebelunya yaitu terdapat di

dalam Alkitab.11 Yakob Tomatala mendefinisikan kata

“Kontekstualisasi” sebagai berikut: Kata “Kontekstualisasi”

(Contextualisation) berasal dari kata ‘konteks’ (Context) yang

diangkat dari kata Latin “Contextere” yang berarti menenun

atau menghubungkan bersama (menjadikan satu). Kata benda

11 Rahmiati, Kontekstualisasi sebagai Sebuah Strategi,(http//www.tripoid.members.org).

19

Page 20: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

“Contextus” menunjuk kepada apa yang telah ditenun

(tertenun), di mana semuanya telah dihubung-hubungkan

secara keseluruhan menjadi satu.12

Pengertian ini menjelaskan bahwa berbicara

tentang Kontekstualisasi  perhatian ditujukan kepada dua atau

lebih komponen yang disatukan atau dengan kata lain

“Kontekstualisasi” berbicata tentang penyatuan beberapa

komponen. Untuk memahami istilah ini perlu memahami juga

dua istilah yang saling berhubungan yaitu TEKS (Arti Teks

dalam KBBI adalah n 1 a naskah yang berupa kata-kata asli

dari pengarang, b kutipan dari kitab suci berupa pangkal

ajaran atau alasan; c bahan tertulis untuk dasar

memberikan ajaran. 2 wacana tertulis)13 dan KONTEKS

(Konteks artinya bagian suatu uraian atau kalimat yang

dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; 2 situasi

yang ada hubungannya dengan suatu kejadian).14 Secara

sederhana konteks adalah suatu kesatuan atau kumpulan

kalimat dimana di dalamnya terdapat teks.15 Untuk12 Yakob Tomatala, Penginjilan Masa Kini Jilid 1, Malang: Gandum

Mas, 1998, hlm. 63.13 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai

Pustaka, 2005, hlm. 1159.14 Ibid. 15 Yakob Tomatala, Penginjilan Masa Kini Jilid 1, Log. Cit.

20

Page 21: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

pengertian ini, setiap teks dapat dimengerti secara tepat

dalam hubungan dengan konteksnya. Di samping itu,

penggunaan istilah konteks juga menjelaskan tentang sejarah

suatu situasi sehingga untuk pemahaman yang jelas,

penggunaan istilah konteks haruslah ditempatkan pada arti

yang tepat untuk menjelaskan maksud secara tepat pula.16

Untuk menghubungkan istilah  kontekstualisasi dengan

pemberitaan Injil, Yakob Tomatala menggunakan sebuah

istilah yang lain yaitu kontekstualitas (Contextuality) yang

artinya menjelaskan “suatu penafsiran yang bersifat

kritis” atas apa yang memberi arti kepada konteks yang

dilihat dari sudut rancangan Misi Allah yang utuh.17 

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

“Kontekstualisasi” adalah konsep usaha memahami konteks

kehidupan manusia secara luas dalam dimensi budaya,

agama, sosial, ekonomi, dan politik dalam hubungannya

dengan situasi menyeluruh dengan tujuan agar pemberitaan

Injil dapat dilakukan dengan baik dan dipahami secara

tepat oleh setiap orang yang hidup dalam konteks tersebut.

16 Ibid. 17 Ibid.

21

Page 22: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

Sebuah pemahaman yang sederhana mengenai “Kontekstualisasi”

yang dikemukakan oleh Th. Kobong adalah sebagai berikut:

“Kalau kita mendengarkan injil Yesus Kristus yang

diberitakan kepada kita, lalu kita berusaha mengertinya

dengan cara kita merasa, berpikir dan bertindak yang

dibentuk dan ditentukan oleh adat istiadat dan kebudayaan

kita, lalu hasil penghayatan itu kemudian kita tuangkan

dalam bentuk-bentuk yang dapat kita pahami dan hayati,

maka kita sudah terlibat dalam usaha kontekstualisasi.18

Apa yang dinyatakan oleh Kobong pada kutipan di atas

memberi penekanan pada usaha penghayatan Injil yang

bersentuhan dengan kondisi penerima Injil tetapi juga

dipengaruhi oleh siapa yang memberitakannya. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa sadar atau tidak seseorang

dalam menghayati Injil dapat dikategorikan dalam

usaha kontekstualisasi. Teologi hanya dapat disebut sebagai

teologi apabila ia benar-benar kontekstual. Alasannya

adalah karena teologi tidak lain dan tidak bukan adalah

upaya untuk mempertemukan secara dialektik, kreatif dan

18 Th. Kobong, Iman dan Kebudayaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia,hlm. 24.

22

Page 23: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

esensial antara “teks dengan konteks” antara pernyataan

injil yang universal dengan kenyataan hidup yang

kontekstual.

Menurut Budiman R. L.: “Kontekstualisasi merupakan

satu cara menyampaikan dan meneladani Injil supaya kita

dapat memenangkan sebanyak mungkin orang. Kita

menyesuaikan diri dengan adat setempat supaya Injil

menjadi relevan. Kita juga hidup di bawah hukum Kristus

supaya Injil yang disampaikan itu tetap murni”.19

Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat diketahui bahwa

kontekstualisasi memiliki tujuan operasional. Tujuan

operasional dimaksud ialah:

Pertama, pemberitaan Injil menjadi lebih efektif,

efisien dan produktif. Artinya, penginjilan semakin lebih

berhasil-guna dan berdaya-guna.

Kedua, pemberitaan Injil semakin lebih cocok dan

lebih relevan. Artinya, pemberitaan Injil semakin membumi

atau mendarat dengan benar di dalam konteks sebagai

sasaran, objek dan penerima Injil. Konteks dalam hal ini

19 Budiman R. L., Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi,hlm. 9.

23

Page 24: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

budaya menjadi semakin terbuka terhadap pemberitaan

Injil.

Ketiga, pemberitaan Injil tetap dalam kemurnian

sesuai dengan firman Allah dan hukum Kristus. Artinya,

firman Allah, hukum Kristus merupakan standar utama.

Firman Allah tetap menjadi otoritas tertinggi di dalam

melaksanakan kontekstualisasi. Segala sesuatu harus diuji

dengan firman Allah, agar Injil yang diberitakan tetap

murni. Injil itu bersumber dari Allah. Tetapi di sisi

lain Injil itu “asing” bagi segala suku. Kebudayaan

biasanya bercampur dengan agama lokal. Tidak ada suatu

kebudayaan yang murni. Semua budaya sudah berdosa dan

terkontaminasi oleh dosa. Karena itu, setiap kebudayaan

harus dikoreksi, dibersihkan dan diperbaiki melalui

firman Allah. Hanya firman Allah yang menjadi standard

atau tolok ukur untuk menilai segala sesuatu. Oleh sebab

itu, sekalipun kontekstualisasi sebagai upaya untuk

menyesuaikan diri dengan kebudayaan, namun acuannya ialah

pada firman Allah. Meskipun kontekstualisasi sebagai cara

untuk fleksibel terhadap kebudayaan, namun hal itu tetap

24

Page 25: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

berada di bawah hukum Kristus. Kontekstualisasi tidak

bisa terlepas dari firman Allah dan hukum Kristus. Lebih

dari itu kontekstualisasi harus tunduk kepada otoritas

atau kedaulatan hukum Allah dan hukum Kristus.

B. Landasan Alkitabiah tentang Teologi Misi yang

Kontekstual

1. Perjanjian Lama

Kontekstualisasi dalam Perjanjian Lama merupakan

dasar penting bagi kontekstualisasi Alkitab secara

menyeluruh. Untuk memahami kontekstualisasi dalam Alkitab

perlu disadari bahwa dasar utama kontekstualisasi adalah

dalam Perjanjian Lama. Perjanjian Baru hanya merupakan

kelanjutan saja dari sebuah kontekstualisasi yang

alkitabiah. Untuk pemahaman yang lebih lengkap tentang

kontekstualisasi dalam Perjanjian Lama, perlu untuk

melihatnya dalam 3 pokok penting:

a. Dasar Kontekstualisasi adalah Pernyataan Diri

Allah dalam Penciptaan

Kejadian 1 dimulai dengan Allah menyatakan diri-Nya

sebagai Pencipta. Dapat dilihat bahwa Allah mengambil

25

Page 26: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

inisiatif pertama dalam penyataan diri-Nya kepada dunia.

Di sini terdapat tekanan utama yaitu bahwa Allah sebagai

penggerak utama kontekstualisasi.20 Sehingga dapat

dikatakan bahwa teologi kontekstualisasi yang benar

adalah dimulai dari diri Allah sendiri. Selanjutnya,

Allah sebagai Pencipta telah menciptakan manusia dengan

kreatifitas untuk berbudaya yang dalam kerangka budayanya

manusia balik memandang kepada Allah. Di sini terdapat

suatu dialektik unik yang menghubungkan Allah sebagai

Pencipta di satu pihak dan manusia pada pihak yang lain,

yang menerima pernyataan diri Allah melalui filter

budaya.21 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam

“kontekstualisasi”, budaya berfungsi sebagai sentral

perjumpaan (komunikasi) antara Allah dan manusia. Allah

menggunakan kemampuan yang diberikan kepada manusia

(budaya) untuk menyatakan maksud-Nya dan manusia dapat

memahami serta berinteraksi dengan Allah melalui sesuatu

yang ada pada dirinya. Untuk pemahaman yang lebih jelas

lagi bisa melihat melalui beberapa fakta dalam Alkitab;

20 Yakob Tomatala, Teologi Kontekstualisasi, Malang: Gandum Mas,1993, hlm. 12.

21 Ibid., hlm. 13.

26

Page 27: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

Kel. 20:1: “Lalu Allah mengucapkan segala firman ini”: …;

Yes. 45:3-6: “Aku akan memberikan kepadamu harta benda

yang terpendam dan harta kekayaan yang tersembunyi,

supaya engkau tahu, bahwa Akulah TUHAN, Allah Israel,

yang memanggil engkau dengan namamu. Oleh karena hamba-Ku

Yakub dan Israel, pilihan-Ku, maka Aku memanggil engkau

dengan namamu, menggelari engkau, sekalipun engkau tidak

mengenal Aku. Akulah TUHAN dan tidak ada yang lain;

kecuali Aku tidak ada Allah. Aku telah mempersenjatai

engkau, sekalipun engkau tidak mengenal Aku, supaya orang

tahu dari terbitnya matahari sampai terbenamnya, bahwa

tidak ada yang lain di luar Aku. Akulah TUHAN dan tidak

ada yang lain. Firman ini dapat dimengerti dan terus

menjadi penghayatan sepanjang sejarah bangsa Israel. Hal

ini dapat disimpulkan bahwa proses kontekstualisasi itu

terjadi melalui inkarnasi Firman dalam budaya dan

interaksi manusia dalam budaya terhadap Firman.

b. Perwujudan Kontekstualisasi adalah Mandat Budaya

27

Page 28: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

Mandat budaya terdapat dalam Kejadian 1:28-30. Dalam

mandat ini terdapat wewenang yang manusia terima dari

Allah untuk berbudaya, memenuhi dan menguasai dunia.

Untuk menjalankan mandat ini manusia mempergunakan segala

kemampuannya. Sekalipun demikian sebagai pemberi mandat,

Allah memiliki kewenangan mutlak untuk mengontrol

sehingga di luar kontrol ini tidak akan ada berteologi

dalam konteks yang absah alktabiah. Yakob Tomatala

memberi penegasan bahwa, “Berteologi dalam konteks hanya

terjadi bila ada hubungan intim Allah dan manusia (dalam

pengertian sekarang manusia yang telah

ditebus)”.22 Persoalan serius yang dialami oleh manusia

adalah kebudayaan saat ini  dihasilkan oleh manusia yang

telah berdosa, sehingga ada unsur-unsur budaya yang telah

berkontaminasi dengan dosa. Karena itu untuk membangun

teologi yang benar-benar alkitabiah harus didasarkan pada

pewahyuan Allah dalam firman-Nya.

Yakob Tomatala memberi gambaran yang tegas mengenai

hal ini dengan menyatakkan bahwa: “Kreativitas manusia

tetap ada, walaupun sudah berdosa. Pada sisi ini jelas22 Ibid., hlm. 15.

28

Page 29: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

terlihat bahwa kreativitas manusia itu bertanggung jawab

atas pengembangan budaya pada umumnya. Sedangkan secara

moral, kreatif dan hasil kreasi dapat melayani tujuan

dosa (bagi mereka yang belum menerima pernyataan diri

Allah) dan melayani tujuan kebenaran (bagi mereka yang di

dalam Tuhan).23 Hal ini membuktikan bahwa tidak semua

unsur-unsur budaya dipakai untuk menyatakan maksud Allah.

Ada beberapa unsur-unsur budaya yang perlu

ditransformasikan oleh Injil (bandingkan dengan

pernyataan David J. Hesselgrave pada penjelasan

indigenesasi). Dapat dikatakan bahwa, sekalipun perwujudan

kontekstualisasi adalah melalui “Mandat Budaya” tetapi

perlu diingat bahwa perwujudan kontekstualisasi melalui

budaya sering kali hanya berlaku secara temporal.

Penekanannya adalah kebenaran Firman Tuhan tetap relevan

dan berlaku secara universal (mutlak untuk semua pada

situasi dan kondisi apapun), tetapi ekspresi kontekstual

hanya dapat dimengerti oleh mereka yang hidup dalam

konteks dimaksud.

23 Ibid.

29

Page 30: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

c. Dinamika Kontekstualisasi adalah Perjanjian Berkat

Allah

Setelah Allah menciptakan segala sesuatu, Allah

mengadakan sebuah perjanjian. Isi dari perjanjian itu

adalah perjanjian tentang berkat Allah – Kejadian 1:28;

2:3. Untuk menikmati berkat Allah sesuai dengan isi

perjanjian itu, ada syarat yang harus dipenuhi oleh

manusia yaitu TAAT secara mutlak kepada ketetapan Allah.

Jadi, untuk menikmati berkat Allah sesuai isi perjanjian

Allah dan manusia, manusia dituntut untuk taat. Artinya,

jika manusia TAAT kepada Allah, ia akan diberkati, tetapi

sebaliknya jika tidak TAAT, ia akan dihukum. Fakta

membuktikan bahwa manusia tidak dapat memenuhi syarat

dalam perjanjian itu. Namun demikian, semua ciptaan Allah

melukiskan tentang kemuliaan-Nya – Mazmur 8:2-10. Yakob

Tomatala menjelaskannya bahwa, “Segala ciptaan Allah

dalam setiap konteks sejarah-budaya suatu masyarakat

dapat merupakan jalan masuk bagi proses kontekstualisasi

karena ‘berkat Allah’ kepada ciptaannya secara umum tetap

berlaku – Matius 5:45”.24 Allah tidak pernah membatalkan24 Ibid., hlm. 16.

30

Page 31: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

perjanjian-Nya dengan manusia tetapi ketidaktaatan

manusia mengaburkan perjanjian tersebut. Di sini Allah

mengambil inisiatif untuk mengadakan sebuah perjanjian

yang baru (new covenant) yang khusus bagi jalan masuk

kontekstualisasi yang benar. Kejadian 3:15, sebagai

PROTOEVANGELIUM  (janji keselamatan Allah yang pertama),

memberikan jaminan bahwa Allah sendiri secara khusus yang

menyiapkan pernyataan diri-Nya yang baru, yang olehnya

manusia dapat memahami Allah secara baru di tengah-tengah

dominasi dosa.25 Inilah yang disebutkan dengan dinamika

kontekstualisasi yang terlihat dari rencana progresifitas

Allah dalam memelihara karya-Nya di tengah-tengah

pergumulan yang dihadapi manusia berdosa yakni dengan

menggenapi setiap rencana Allah yang sejak semula telah

diberitakan kepada manusia di Taman Eden, (band.

dengan Protoevangelium). Semuanya ini jelas merujuk kepada

pelaksanaan kontekstualisasi yang seharusnya terus

berkelanjutan untuk mewujudkan misi Kristus dalam

melintasi segala jaman (dari waktu ke waktu).

2. Perjanjian Baru25 Ibid.

31

Page 32: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

Perjanjian Baru merupakan kelanjutan dari

kontekstualisasi dalam Perjanjian Lama. Ada 2 pokok utama

yang mewakili kontekstualisasi secara umum dalam

Perjanjian Baru yaitu:

a. Inkarnasi Yesus Kristus dalam Konteks Budaya

Yahudi

Inkarnasi Yesus Kristus dalam konteks budaya Yahudi

merupakan puncak perwujudan kontekstualisasi Allah ke

dalam budaya manusia. Dalam inkarnasi-Nya, manusia dapat

melihat Allah – Yohanes 1:14,18. Topik ini akan

dijelaskan lebih mendetail melalui 2 bagian yaitu:

1) Hakekat inkarnasi

Inkarnasi artinya menjadi daging atau menjadi

manusia – Yohanes 1:14. Logos yang menjadi daging

implikasinya mencakup “lahir ke dunia sebagai manusia”,

“hidup dalam sejarah manusia”, “merasakan apa yang

dirasakan manusia” dan “mengalami keadaan manusia”

menjadi bagian dari konteks budaya manusia. Hal ini

berarti berpadu dengan hakekat manusia secara utuh. Pun

demikian, inkarnasi Yesus dalam budaya manusia bertujuan

32

Page 33: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

untuk menyatakan Allah kepada dunia – Yohanes 1;18.

Dengan demikian inkarnasi Yesus memiliki

tujuan misional yang di dalamnya membuktikan bahwa Allah

Yang Mahasempurna menyatakan kasih-Nya yang tak

terbayangkan. Di sini terlihat bahwa Kristus, dalam

inkarnasi-Nya mengambil seluruh aspek budaya manusia dan

menggunakannya sebagai sarana misi untuk menyatakan

maksud Allah. Tuhan Yesus juga menggunakan metode

pendekatan yang kontekstual dalam menjawab kebutuhan

manusia di sekitar-Nya (perhatikan seluruh perumpamaan

Tuhan Yesus). Tuhan Yesus menggunakan terminologi

pertanian (penabur, bibit, penuai, ladang, dsb.) untuk

menjelaskan kebenaran Allah kepada para petani. Ketika Ia

berhadapan dengan nelayan, Ia menggunakan bahasa yang

dimengerti oleh para nelayan seperti; pukat/jala, ikan,

perahu, dsb. dari semua yang Tuhan Yesus lakukan dalam

dunia ini menandabuktikan bahwa inkarnasi mengacu kepada

pernyataan diri Allah yang dikenal dalam pola budaya dan

terlihat melalui interaksi dan refleksi peserta budaya

yang terkait kepada inkarnasi itu sendiri.26 26 Ibid., hlm. 24.

33

Page 34: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

2) Inkarnasi dan transformasi

Inkarnasi Tuhan Yesus dalam konteks budaya manusia

hanyalah sebatas mempergunakan budaya sebagai instrumen dan

kemudian kekuatan/kuasa/power/otority, Ia

mentrasformasikan budaya di mana Ia berada. Ajaran-ajaran

Tuhan Yesus mengandung dinamika transformasi yang pasti

(Khotbah di bukit, Luk. 6:20-38; 11:2-4; 12:22-31; dll.).

Ajaran Tuhan Yesus juga memberi transformasi kepada semua

lapisan masyarakat, mis.: (cendekiawan Nikodemus –

Yohanes 3), wanita tunasusila dari Samaria – Yohanes 4,

kuasa salib memberi transformasi hidup kepada seorang

penjahat ‘kelas kakap’ – Lukas 23:34, 39-43). Jadi,

inkarnasi bertujuan untuk mentrasformasikan konteks

budaya manusia yang rusak, dan transformasi adalah isi

inkarnasi. Dengan kata lain, tidak ada inkarnasi Kristus

tanpa transformasi yang secara dinamis membarui manusia

dalam setiap konteks budaya kepada Allah – bandingkan 2

Kor. 5:17.27 Sekalipun Injil menggunakan budaya sebagai

wahana/sarana/instrument, tetapi tanpa transformasi

27 Ibid., hlm. 25.

34

Page 35: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

budaya maka hakekat Injil tidak dapat terserap oleh

mereka yang berkecimpung dalam budaya tersebut.

Inkarnasi Yesus Kristus berisi transformasi dan

kontekstualisasi yang benar ditandai oleh transformasi

Kristus dalam budaya. Tanpa transformasi akan muncul

sinkritisme dan sinkristisme tidak dapat membarui hidup

orang yang di dalam konteks budaya tersebut. Hal ini

ditegaskan oleh Yakob Tomatala bahwa, “Kontekstualisasi

yang benar terjadi dalam dua arah, ‘inkarnasi’ dan

‘refleksi’, yang dihubungkan dengan transformasi Kristus,

dan ini akan membawa dampak perubahan seimbang”.28

b. Kontekstualisasi Injil oleh Rasul Paulus

Kontekstualisasi Injil oleh Rasul Paulus dinyatakan

dalam ajaran kenotis (pengosongan diri) Kristus, sikap

hidup, serta pendekatan kontekstualnya kepada setiap

masyarakat yang didatanginya. Rasul Paulus mengemukakan

tentang kenotis Kristus dalam Filipi 2:5-11 yakni Yesus

Krsitus mengambil rupa manusia, menjadi hamba dan solider

utuh dengan manusia untuk menanggung dosa-dosa manusia.

Dasar penting untuk proses terjadinya kontekstualisasi28 Ibid.

35

Page 36: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

melalui pengosongan diri. Untuk masuk dalam budaya orang

lain seseorang harus meninggalkan jati dirinya untuk

manunggal dengan orang lain. Perlu disadari bahwa

identitas diri yang menjadi latar belakang tidak dapat

disangkal. Dasar  kenotis  Kristus menjadi pijakkan utama

Rasul Paulus dalam  determinasi (ketetapan hati dalam

menentukan untuk memenangkan sebanyak mungkin orang bagi

Kristus. Rasul Paulus memastikan dirinya untuk tidak

kompromi tetapi memiliki tujuan yang jelas terlihat dalam

sikap seperti ini yang kontekstual) kontekstual yang

dituangkan dalam 1 Korintus 9:16-27.  Dari sisi ini dapat

ditemukan 2 makna yang berhubungan yaitu:

1) Kontekstual Etis

Sikap etis menyangkut bagaimana seorang pelayan

antar budaya dapat menempatkan diri untuk menghargai

budaya orang lain, sehingga tercipta refleksi teologi

yang positif. Sikap tersebut antara lain:

a) Tidak menghakimi orang dengan semena-mena – 1

Korintus 4:1-5.

b) Rendah hati – 1 Korintus 4:6-21.

36

Page 37: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

c) Mengembangkan sikap untuk tidak diperhamba

oleh apapun juga – 1 Korintus 6:12b.

d) Mengembangkan sikap peka terhadap orang lain

– 1 Korintus 8:1-13.

e) Mengembangkan pergaulan yang baik sebagai

orang yang mengenal Allah – 1 Korintus 15:33-

34.

f) Mengembangkan hubungan kerja jemaat antar

gereja lokal dan antar etnis – 1 Korintus

16:1-9.

2) Kontekstual Prakmatis

Sikap kontekstual  prakmatis  menyangkut sikap terhadap

diri sendiri yang membawa kegunaan bagi pengembangan

Injil dalam konteks. Sikap ini dikembangkan oleh Rasul

Paulus dengan cara:

a) Melihat tugas pemberitaan Injil sebagai tugas

yang wajib tanpa ditawar-tawar – 1 Korintus

9:16.

37

Page 38: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

b) Menetapkan sikap inkarnasi-kenotis terhadap

semua kelompok orang, dengan menjadi seperti

orang dalam, pada setiap konteks – 1 Korintus

9:19-24. Sikap inkarnasi dimulai dengan sikap

hamba untuk menjadi segala-galanya bagi semua

orang. Menjadi hamba untuk melayani adalah

dasar inkarnasi.

c) Mengembangkan disiplin faedah ganda – bagi

diri dan orang lain – 1 Korintus 9:24-27.29

Dengan memperhatikan setiap uraian di atas maka

dapat dikatakan bahwa kontekstualisasi yang berdampak

adalah menempatkan Kristus yang terutama dalam setiap

pengajaran yang tidak bisa dikompromikan tetapi dalam

praksisnya, fleksibelitas terhadap budaya perlu

diperhatikan. Prinsip-prinsip ajaran Alkitab tidak dapat

dikompromikan tetapi dalam kontekstualisasi fleksibilitas

pengajaran perlu diperhatikan. Ini dilakukan dengan

sebuah tujuan yang jelas bukan sekedar fleksibel tanpa

arah.

C. Dinamika Misi yang Kontekstual29 Op.cit., hlm. 28.

38

Page 39: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

Yakob Tomtala berkaitan dengan dinamika misi

menegaskan bahwa: “Dinamika (kekuatan/ kuasa/otoritas)

misi Allah adalah KUASA-Nya yang dahsyat dan agung, yang

ada pada diri-Nya yang berdaulat”.30 Dengan demikian,

sumber dinamika misi yang kontekstual ialah Allah

Tritunggal.

1. Allah Bapa: sumber misi

Dari perspektif misi, Allah Bapa adalah sumber utama

misi. Misi menjadi isi hati Allah. Hal itu dikenal dengan

istilah “Missio Dei” (Pengutusan Allah). Ini berarti

Allah sebagai pengambil inisiatif untuk mengutus Yesus

Kristus ke dalam dunia ini untuk melaksanakan kehendak-

Nya, karena Allah menghendaki supaya manusia yang berdosa

di selamatkan dan memiliki hidup yang kekal yang

disediakan Allah bagi mereka yang percaya kepada-Nya – 2

Petrus 3:9; Yohanes 3:16; Kejadian 3:15. Artinya,

Allahlah yang menjadi subjek, sumber, inisiator,

dinamisator dan pelaksana serta penggenap misi-Nya.

Dialah Pengutus Agung. Dialah juga alfa (yang awal) dan

30 Yakob Tomatala, Teologi Misi, Jakarta: YT LeadershipFoundation, 2003, hlm. 54.

39

Page 40: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

omega (yang akhir) dari misi-Nya. Dengan demikian, misi

dikandung oleh Allah, lahir oleh Allah, dipelihara oleh

Allah, dilaksanakan oleh Allah dan digenapi oleh Allah.

Sasaran misi Allah ialah manusia berdosa. Motif misi

Allah adalah kasih karena Allah itu kasih – 1 Yohanes

4:8, 16. Bukti kasih Allah ialah dengan mengutus Anak-Nya

yang Tunggal, yaitu Yesus Kristus sebagai Penebus dan

Penyelamat Tunggal serta Pembebas Sempurna bagi manusia

berdosa – Yohanes 3:16. Secara singkat ada sembilan

langkah bagaimana Allah Bapa berperan untuk menyelamatkan

manusia yang berdosa.

“1) Allah Bapa ada sebelum segala sesuatu ada.

Langit dan bumi termasuk manusia diciptakan untuk

menghormati Allah. 2) Allah Bapa menciptakan segala

sesuatu dalam keadaan amat baik adanya. Sebagai pencipta,

Dia tidak ingin ada orang yang hidup di luar hubungan

dengan Dia. 3) Allah Bapa menyediakan kerajaan surga bagi

manusia sejak dunia dijadikan. Sebelum manusia lahir,

Allah sudah merancangkan damai sejahtera bagi umat

manusia. 4) Allah Bapa langsung mencari hubungan dengan

40

Page 41: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

manusia yang baru jatuh dalam dosa (Kejadian 3). 5) Allah

Bapa langsung menolong manusia yang telah berdosa.

Sesudah Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, Tuhan mencari

mereka dan memberi pakaian kepada mereka. 6) Allah Bapa

langsung menjanjikan keselamatan kepada manusia yang

berdosa (Kejadian 3:15). 7) Allah Bapa memilih suatu

bangsa, supaya mereka menjadi saluran keselamatan bagi

manusia. Allah memanggil Abraham dan bangsa Israel untuk

menjadi berkat bagi semua bangsa di seluruh dunia

(Kejadian 12:1-3). 8) Allah Bapa yang adil dan suci

menghukum manusia dengan jujur. Mulai dari Adam yang

harus diusir dari Firdaus, manusia tidak bisa lagi

berhubungan langsung dengan Tuhan. 9) Allah Bapa mengutus

Anak-Nya yang Tunggal sebagai Juru Selamat manusia.

(Yohanes 3:19) Ini merupakan pengorbanan yang terbesar

Allah Bapa bagi manusia”.31

Kedua, Missio Christie (Pengutusan Kristus) ini

berarti Yesus Kristus sebagai pengambil inisiatif

untuk mengutus murid-murid-Nya agar menjadikan orang

31 ----. Peran Allah Bapa Dalam Misi, Sidoarjo: Terang LintasBudaya, 2006, hlm. 6.

41

Page 42: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

lain murid-Nya. (Matius 28 : 18 – 20; Yohanes 20 :

21 – 23).

Ketiga, Missio Ecclesiae (Pengutusan Gereja) ini

berarti gereja sebagai pengembil inisitif untuk

mengutusatau mengirim para utusan Injil yang lebih

dikenal dengan Penginjil untuk memberitakan Injil

Yesus Kristus. (Kisah Para Rasul . 13 : 1 – 3).

2. Yesus Kristus: teladan misi

“Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam

dunia, demikian pula Aku mengutus mereka ke dalam dunia”

– Yohanes 17:18. David Livingstone dalam memberikan

perspektifnya tentang stagmen Yesus dalam ayat di atas

dan dikutip oleh Yakob Tomatala, mengatakan: “Allah hanya

memiliki seorang Putra dan Ia menjadikan Putra-Nya itu

seorang Misionari”.32 Tentang pandangan Livingstone

tersebut, Yakob Tomatala member argumentasi demikian:

“Dari pernyataan ini, tersirat kebenaran bahwa “Allah

32 Yakob Tomatala, Teologi Misi, Jakarta: YT LeadershipFoundation, 2003, hlm. 15.

42

Page 43: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

hanya memiliki satu rencana untuk membawa shalom bagi

manusia serta segenap ciptaan-Nya”. Kehadiran TUHAN Yesus

Kristus di bumi adalah bukti kesetiaan Allah memenuhi

janji-Nya (Kejadian 3:15; Banding: I Timotius 2:5;

Galatia 4:4; I Yohanes 2:1-2)”.33

Menganalisa dan mendalami pernyataan Tuhan Yesus

dalam Injil Yohane 17:18, di atas menurut penulis, secara

tersurat, Tuhan Yesus Kristus melihat diri-Nya sebagai

seorang Pribadi yang menjadi pelaksana misi. Kepada-Nya

diberi otoritas untuk melaksanakan misi yang dimandatkan

kepada-Nya oleh Allah Bapa. Yakob Tomatala juga member

komentar demikian: “Melihat dari sudut lain, pernyataan

TUHAN Yesus juga menegaskan Ia sendiri adalah Misionari

yang diutus oleh Allah Bapa dengan tugas missioner, yaitu

membawa shalom kepada manusia berdosa dan segenap

ciptaan-Nya (Banding: Yohanes 14:6, 27; 8:29). Kebenaran

lain yang tersirat dalam pernyataan TUHAN Yesus di atas

ialah, bahwa Ia menunjuk kepada diri-Nya sebagai

Pengutus, dan para murid-Nya (Umat-Nya – Banding Matius

1:21; I Petrus 2:9-10) adalah misionari-misionari-Nya33 Ibid.

43

Page 44: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

yang terutus ke dalam dunia dengan tugas shalom yang sama

dari Allah (Banding: Yohanes 20:21)”.34 Jadi, dari apa

yang dipaparkan tersebut, dapat disimpulkan bahwa:

pertama, Tuhan Yesus Kristus adalah Seorang misionari

yang diutus oleh Allah Bapa; kedua, Tuhan Yesus Kristus

adalah Misionari sempurna; ketiga, Tuhan Yesus Kristus

adalah Pelaksana Misi yang utuh, holistik dan sempurna;

keempat, Tuhan Yesus Kristus adalah Seorang Misionari

dengan tugas pokok yaitu membawa shalom bagi manusia

berdosa dan seluruh ciptaan-Nya; keempat, Tuhan Yesus

Kristus adalah Teladan Sempurna dalam menjalankan misi

Allah Bapa.

3. Roh Kudus: kuasa misi

Jika kita memikirkan misi, sering kita mengaitkan

misi dengan kasih Allah yang begitu besar, sehingga dia

mengutus Putra-Nya untuk menyelamatkan dunia ini. Hal ini

memang benar, tetapi kita sering kurang memerhatikan

karya Roh Kudus dalam misi sedunia.

Roh Kudus adalah Penggerak Misi

34 Ibid.

44

Page 45: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

Dalam Kisah Para Rasul 1:8 dikatakan: "Tetapi kamu

akan memerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu,

dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di

seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." Roh

Kudus dijanjikan Tuhan Yesus sebelum naik ke surga supaya

murid-murid-Nya menjadi saksi-Nya.

Tanpa digerakkan dan dipimpin oleh Roh Kudus, murid-

murid-Nya tidak bisa menyaksikan kasih dan kemuliaan

Allah di seluruh dunia. Roh Kudus menentukan strategi dan

cepatnya pemberitaan Injil. Roh Kudus menggerakkan

manusia untuk menunggu hingga saat yang paling cocok

(kairos dalam PB) dan Ia juga memimpin murid-murid-Nya

untuk pergi dan memberitakan Injil. Kapan menunggu dan

kapan pergi tidak ada di tangan manusia. Roh Kudus akan

mengatur. Itu sebabnya para murid tidak langsung disuruh

pergi sesudah Tuhan Yesus naik ke surga, melainkan

diminta menunggu sampai Roh Kudus turun dan memimpin

mereka.

Roh Kudus adalah Pelaksana Misi

45

Page 46: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

Setiap orang Kristen yang sudah menerima Roh Kudus

dan dipenuhi oleh-Nya, tidak mungkin tidak berbicara

tentang Injil. Roh Kudus akan membuka mata rohani dunia

dan orang yang belum percaya agar mereka mengerti dan

diinsafkan akan dosa mereka – Kisah Para Rasul 2:4-11,

41.

Selain itu, Roh Kudus selalu memperlengkapi pelaku

misi dengan apa yang dibutuhkan pada waktu berhadapan

dengan kenyataan kesulitan di lapangan. “... tetapi

mereka tidak sanggup melawan hikmatnya dan roh yang

mendorong dia (Stefanus) berbicara” – Kisah Para Rasul

6:10. Seperti Roh Kudus mengurapi Tuhan Yesus, Dia juga

memampukan murid-murid-Nya untuk setiap jenis pelayanan

misi, seperti diungkapkan dalam Lukas 4:18: “Roh Tuhan

ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk

menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia

telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada

orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang

buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk

memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang”.

46

Page 47: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

Pelayanan misi yang holistik mencakup semua aspek

kehidupan umat manusia. Pemulihan dan transformasi bukan

hanya di bidang rohani, tetapi juga mencakup kehidupan

jasmani (sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain). Yesus

menunjukkan itu dalam hidup pelayanan-Nya. Roh Allah

mengurapi-Nya, menyatakan jenis pelayanan apa yang

dilakukan terhadap bagian masyarakat yang memiliki

kebutuhan berbeda. Itu berarti Injil adalah jawaban bagi

kehidupan manusia, bukan hanya di bidang agama, melainkan

dalam semua aspek kehidupan manusia. Pelayanan yang

sejati bukan hanya berbicara tentang Tuhan Yesus dan

memberikan kesaksian, melainkan berbuat dan hidup seperti

Dia.

Roh Kudus adalah Pengutus Misionaris

Roh Kudus juga mengetahui orang Kristen yang mana

yang cocok untuk diutus “keluar” dari zona kenyamanan

mereka kepada bangsa yang lain, apakah itu ke dalam atau

ke luar negeri. Seperti Dia dulu mengutus Paulus dan

Barnabas, Roh Kudus masih mengutus para misionaris masa

kini. Paulus dan Barnabas adalah orang-orang terbaik,

47

Page 48: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

pemimpin-pemimpin gereja Antiokhia yang direlakan,

diutus, dan dipersembahkan bagi pelayanan di luar tembok

gereja untuk menjadi berkat bagi bangsa-bangsa – Kisah

Para Rasul 13:2-3. Waktu doa puasa, gereja Antiokhia

bersedia mendengarkan dan menaati suara Roh Kudus untuk

mengutus kedua sosok gereja mereka. Mereka tidak merasa

dirugikan kalau harus mengizinkan Paulus dan Barnabas

melakukan misi Tuhan, melainkan mereka terlibat secara

aktif sebagai pengutus kedua hamba itu. Antiokhia,

sebagai gereja misioner, menjadi teladan dalam sejarah

misi untuk tidak mempertahankan tenaga dan pemimpin

mereka yang baik, melainkan rela mengutus mereka dan taat

kepada Roh Kudus. Gereja masa kini sering tidak seperti

gereja Antiokhia. Mereka sering banyak perhitungan dan

merasa dirugikan jika taat kepada suara Tuhan. Bagaimana

dengan kita? Apakah kita bersedia mengutus misionaris dan

mendukung mereka lewat doa, dana, dukungan moral, dan

komunikasi? Taat kepada Tuhan berarti tidak dirugikan,

melainkan diberi kesempatan untuk mengambil bagian dalam

48

Page 49: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

kemenangan Tuhan dan memberi sukacita kepada gereja

sendiri.35

BAB III

CARA PENERAPAN

MISI ALKITABIAH YANG KONTEKSTUAL

Kontekstualisasi tidak terbatas hanya kepada tataran

konsep atau teori semata. Kontekstualisasi yang benar dan

Alkitabiah ialah kontekstualisasi yang dibangun di atas

konsep dan teori yang benar. Tetapi juga harus aplikatif

atau dapat diterapkan atau dapat menjawa kebutuhan

konteks yang sangat kompleks dan beragam.

Petrus Octavianus (Octavianus 1985: 109-110)

berkaitan dengan kontekstualisasi yang dikutip oleh

Budiman R. L., dalam buku Pelayanan Lintas Budaya dan

Kontekstualisasi, mengatakan: “Banyak gereja di Asia

mengikuti suatu pola yang sebenarnya merupakan pola Barat

… orang-orang Kristen Indonesia telah begitu terbiasa

dengan pola-pola kebaktian yang diimpornya … dalam

keadaan demikian, pola tata kebaktian itu menjadi asing

35 -----., Peranan Roh Kudus Dalam Misi, Malang: Terang Lintas Budaya, 2007.

49

Page 50: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

bagi masyarakat sekitarnya dan hal itu bisa menghambat

perluasan kegerakan Injil. Dengan demikian, gereja-gereja

di Asia harus berusaha menemukan suatu pola tata

kebaktian (soma) yang memungkinkan pemberitaan Injil

(kerygma) dapat menerobos masyarakat seluruhnya”.36 Di

sini Petrus Octavianus memotivasi gereja-gereja di Asia

agar jangan hanya mengadopsi model tata ibadah yang

dilakukan oleh misionaris-misionaris dari Eropa atau

Barat, tetapi juga berupaya untuk menggali model tata

ibadah yang kontekstual atau yang cocok dengan budaya

Asia. Artinya di Asia pun ada cara yang tepat dalam

menatalayani ibadah bagi orang Asia sendiri yang pasti

relevan dengan konteks hidup dan budaya manusia Asia.

Oleh karena itu, pemimpin gereja atau para teolog atau

para misionari yang melayani di Asia harus berupaya keras

menemukan cara akurat dalam upaya pemberitaan Injil bagi

orang Asia, supaya Injil itu tidak menjadi asing atau

tidak diterima atau tidak dikenal oleh orang Asia atau

menjadi kabur upaya kerygma bagi orang Asia.

36 Budiman R. L., Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi,hlm. 41.

50

Page 51: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

Yakob Tomatala dalam buku Teologi Kontekstualisasi

(Suatu Pengantar), mengatakan: “Proses kontekstualisasi

adalah usaha integrative yang memadukan segala upaya

pemahaman kognitif tentang pandangan Alkitab terhadap

kontekstualisasi; pemahaman terhadap budaya dan manusia

dalam konteks budaya tersebut serta usaha pendekatan

Injil dalam mekanisme budaya pada setiap konteks.”37 Di

sini, Yakob Tomatala melihat bahwa kontekstualisasi

merupakan suatu proses yang holistik dan terintegrasi

berbasiskan Alkitab. Tidak hanya pada upaya kognitif saja

atau pada tataran pengetahuan manusiawi saja.

Kontekstualisasi harus merupakan suatu proses dan upaya

yang memadukan dan menyatukan pola trialektika, yaitu

Alkitab, budaya manusia sebagai konteks dan pengetahuan

misionari.

Yakob Tomatala menegaskan bahwa: “Alkitab

menempatkan Allah di atas budaya dan bekerja melalui

budaya. Alkitab selalu memberi batas yang tegas antara

Allah, Sang Pencipta, dengan manusia sebagai makhluk, dan

37 Yakob Tomatala, Teologi Kontekstualisasi (Suatu Pengantar),Malang: Gandum Mas, hlm. 73.

51

Page 52: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

alam ciptaan-Nya. Allah Alkitab adalah Allah yang

mahatinggi, namun juga menaruh perhatian pada manusia dan

seluruh ciptaan-Nya. Itulah sebabnya, Alkitab juga

melukiskan Allah yang menyatakan diri ke dalam dan

melalui budaya manusia”.38 Supremasi Allah adalah segala-

galanya atas budaya. Dalam kuasa dan kedaulatan-Nya,

Allah berkarya, menaruh kepedulian sempurna dan

mengungkapkan diri-Nya melalui budaya manusia. Tuhan

Yesus menyatakan dalam Yohanes 20:21b “Seperti Bapa

mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus

kamu”.  Pernyataan ini membuktikan bahwa Tuhan Yesus

adalah seorang Misionaris yang Misioner (Utusan yang

mengutus). Pernyataan itu juga memberikan teladan bahwa

Tuhan Yesus menginginkan tugas pemberitaan Injil terus

dilakukan secara berkesinambungan. Karena itu, seorang

Pemimpin dituntut sebagai seorang misionaris yang dalam

menjalankan tugasnya mengutamakan pemberitaan

Injil. Pemimpin dalam lingkup gerejawi bertanggung jawab

terhadap seluruh kegiatan dalam gereja tersebut. Sebagai

Pemimpin jemaat, seorang Pendeta mempunyai tugas untuk38 Ibid.

52

Page 53: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

menggerakkan seluruh komponen dalam gereja (Pengerja,

Majelis Jemaat, seluruh Jemaat) untuk menjalankan visi

pemberitaan Injil disamping tugas-tugas yang lain. Young

G. Chai menulis dalam bukunya Jemaat Rumah; Penggembalaan

Bersama dengan Orang Awam sebagai berikut: “Semangat

Penginjilan yang berkobar-kobar bukan berarti Pendeta

harus menjadi orang yang mengedarkan traktat penginjilan

kepada semua orang. Bukan berarti dia juga harus

mendorong orang-orang supaya datang ke gereja dengan cara

kunjungan ke setiap rumah. Memang hal seperti ini bisa

menjadi pernyataan bahwa dia mempunyai semangat

penginjilan. Tetapi bukan hanya itu saja yang merupakan

semangat penginjilan”.39

Apa yang dinyatakan Chai pada kutipan di atas

menunjukkan bahwa pemimpin jemaat tidak secara langsung

menangani semua kegiatan pemberitaan Injil tetapi

memberikan wewenang kepada jemaat untuk menjalankannya.

Chai mempertegas dengan menyatakan bahwa “Saya sendiri

menggembalakan dengan tujuan menyelamatkan jiwa. Saya

39 Young G. Chai, Jemaat Rumah: Penggembalaan Bersama denganOrang Awam, Jakarta: Gloria Cipta Grafika, 2005, hlm. 150.

53

Page 54: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

menekankan pentingnya penginjilan kepada jemaat secara

terus menerus”.40 Hal ini menunjukkan bahwa seorang

Pemimpin disamping sebagai seorang pemberita Injil juga

menggerakkan orang lain untuk melakukannya sehingga

efektif dan melibatkan banyak orang dalam pelaksanaannya.

A. Ragam Pola Pendekatan Kontekstualisasi

Pendekatan kontekstualisasi memiliki pola yang

beragam. Pola yang beragam ini tentu dibangun di atas

fondasi teologi kontekstualisasi yang Alkitabiah. Di sisi

lain, ada proses penafsiran holistik tentang esensi suatu

pengajaran tertentu. Yakob Tomatala menegaskan bahwa:

Model-model pendekatan teologi kontekstualisasi ialah

beberapa model penafsiran tentang berteologi dalam

konteks yang didasarkan atas prinsip dogmatic tertentu.

Model-model pendekatan ini memberikan gambaran umum

tentang usaha berteologi dalam konteks yang pernah

dibuat. Di samping itu, model-model tersebut menolong

kita mengadakan evaluasi tentang sejauh mana suatu

pendekatan teologi kontekstualisasi yang alkitabiah dapat

40 Ibid., hlm. 152.

54

Page 55: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

dibuat. Ini juga akan menghindarkan kita dari kesalahan-

kesalahan yang pernah dan akan timbul nanti”.41

Menurut Yakob Tomatala, ada beberapa model

berkontekstualisasi, yaitu:

1. Model akomodasi (Kisah Para Rasul 17:28)

“Akomodasi adalah sikap menghargai dan terbuka

terhadap kebudayaan asli yang dilakukan dalam sikap,

kelakuan, dan pendekatan praktis dalam tugas misionaris

baik secara teologi maupun secara ilmiah. Obyek akomodasi

adalah kehidupan budaya yang menyeluruh dari suatu bangsa

baik dari segi fisik, sosial, maupun ideal”.42 Di sini

dapat dilihat bahwa secara holistik keberhasilan model

akomodasi ini, sangat ditentukan oleh peran aktif seorang

misionaris dalam upaya pendekatan kontekstualisasi Injil.

“Dalam proses ini terjadi perpaduan nilai hidup kristiani

di mana Kristus menjadi penyempurna dan pelengkap

aspirasi budaya. Dengan demikian akan terdapat sikap

positif terhadap Injil yang didasarkan atas pandangan

41 Yakob Tomatala, Log Cit., hlm. 77. 42 Ibid.

55

Page 56: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

bahwa anugrah Allah (Injil) tidak menghancurkan budaya

manusia, tetapi justru melengkapi dan menyempurnakan”.43

2. Model adaptasi

Ada perbedaan antara model akomodasi dengan model

adaptasi ini. Perbedaannya ada pada cara melakukan

pendekatan. “Model adaptasi tidak mengasimilasi unsure

budaya dalam mengeskpresikan Injil, tetapi menggunakan

bentuk dan ide budaya yang dikenal. Contoh yang jelas,

Yohanes menggunakan ide logos untuk menjelaskan kebenaran

penjelmaan/inkarnasi (Yohanes 1) dan Paulus menggunakan

konsep rahasia (II Korintus 3:18). Tujuan adaptasi ialah

mengekspresikan dan menerjemahkan Injil dalam istilah

setempat (indigenous terms) sehingga menjadi relevan dalam

situasi budaya tersebut”.44 Model adaptasi adalah upaya

untuk memaparkan kebenaran tentang Injil dengan memakai

bentuk dan gagasan budaya setempat yang dikenal,

dipahami, dan dimengerti oleh pendengar Injil.

3. Model prossesio

43 Ibid., hlm. 78. 44 Ibid.

56

Page 57: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

“Prossesio adalah sikap yang menanggapi kebudayaan

secara negative. Proses prossesio terjadi melalui

seleksi, penolakan, reinterpretasi dan rededikasi.

Kelompok prossesio melihat kebudayaan sebagai sesuatu

yang sudah rusak oleh dosa dan tidak ada kebaikan yang

muncul dari dalamnya”.45 Pendapat ini tidak melihat

pernyataan Alkitab secara holistik. Memang manusia sudah

berdosa. Namun belum tentu semua budaya yang dihasilkan

oleh manusia juga berdosa. Sebab budaya memiliki sisi

positif, tidak melulu negatif. Perspektif yang salah

terhadap budaya akan menjadi perintang dalam pelaksanaan

misi Allah. Oleh sebab itu, model prossesio harus

diletakkan di bawah terang firman Allah.

4. Model transformasi

Berkaitan dengan model di atas, Yakob Tomatala

mengatakan: “Allah itu di atas budaya, dan melalui budaya

itu pula Allah menggunakan elemen-elemen kebudayaan untuk

berinteraksi dengan manusia. Bila seseorang dibaharui

oleh Allah, maka inti kebudayaannya juga dibaharui (II

45 Ibid.

57

Page 58: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

Korintus 5:17)”.46 Pemegang otoritas dan kekuasaan

tertinggi ialah Allah. Budaya manusia harus tunduk kepada

supremasi Allah. Kendati demikian, dalam otoritas dan

kedaulatan-Nya, Allah memakai kebudayaan untuk menyatakan

kehendak dan kuasa-Nya kepada manusia. Setiap manusia

yang mengalami perjumpaan pribadi dengan Allah melalui

kebudayaannya, akan mengalami transformasi hidup yang

juga meliputi dirinya dan juga budayanya.

5. Model dialektik

Dalam mengulas model di atas, Yakob Tomatala

menegaskan: “Ini adalah interaksi dinamis antara teks

dengan konteks. Konsep ini didukung oleh perkiraan yang

kuat bahwa perubahan pasti ada dalam kebudayaan. Untuk

setiap kurun waktu perubahan itu terjadi secara dinamis.

Dengan demikian Gereja harus menggunakan peran

kenabiannya untuk menganalisis, menginterpretasi, dan

menilai setiap keadaan”.47 Model dialektik menunjukkan

bahwa ada komunikasi yang relevan antara teks (Berita

Injil atau Kabar Baik) dengan konteks (Manusia Budaya).

46 Ibdi., hlm. 79. 47 Ibid.

58

Page 59: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

Di sisi lain, kebudayaan manusia di dalam dirinya punya

potensi untuk terbuka terhadap perubahan. Injil yang utuh

dan sempurna mampu membaharui kebudayaan yang terbuka

terhadap Injil.

B. Unsur-unsur Kontekstualisasi

Dalam berkontekstualisasi, ada unsur-unsur penting

yang harus diperhatikan. Bila unsur-unsur tersebut

diabaikan, maka proses kontekstualisasi akan mengalami

jalan buntu. Berikut unsur-unsur kontekstualisasi.

1. Tiga bidang kontekstualisasi

Budiman R. L., berkaitan dengan tiga bidang

kontekstualisasi mengatakan: “Yang dimaksud oleh tiga

bidang kontekstualisasi ialah penginjil, Injil dan jemaat yang

didirikan harus kontekstual. Misalnya, jika seorang

penginjil ingin menjangkau orang Sunda, ia harus bisa

berbahasa Sunda, mengikuti adat istiadat Sunda, dan

mengerti pola pikir orang Sunda. Sebagai komunikator

kabar baik, penginjil ini harus berusaha semaksimal

mungkin untuk menjadi seperti orang Sunda”.48

48 Budiman R. L., Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi,hlm. 40.

59

Page 60: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

Mencermati apa yang dipaparkan di atas, kita melihat

bahwa tekanan utamanya ialah kepada penginjil. Artinya,

betapa pentingnya skill yang harus dimiliki oleh seorang

penginjil. Lebih daripada itu, penginjil juga harus

memiliki wawasan dan pengetahuan yang komprehensif

tentang suatu kebudayaan seperti contoh di atas yaitu

tentang kebudayaan suku Sunda. Penginjil dituntut untuk

memahami secara utuh word view suku Sunda, supaya berita

Injil yang disampaikannya dapat diterima atau disambut

positif oleh suku Sunda.

Selain penginjil, teks dalam hal ini berita Injil

harus disampaikan sesuai dengan elemen-elemen kebudayaan

setempat. Artinya, ada kontekstualisasi Injil yang

dilakukan oleh penginjil. “Dengan kontekstualisasi kita

harapkan berita yang disampaikan tidak asing bagi

pendengarnya; agar komunikasi itu relevan; agar berita

itu menjawab kebutuhan dan agar teologi yang dipikirkan

menjawab masalah-masalah kontemporer”.49

49 B. S. Sidjabat, Kebudayaan dan Misi, Bandung: SahabatGembala, Mei 1986, hlm. 10.

60

Page 61: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

Jemaat yang didirikan dalam suatu kebudayaan

seyogianya disesuaikan dengan dan menjawab kebutuhan dari

masyarakat setempat. Misalnya, tata acara kebaktian,

busana yang dikenakan ketika beribadah, bangunan fisik

tempat beribadah, tempat kitab suci diletakkan, posisi

duduk dari jemaat yang menghadiri kebaktian, bahasa yang

digunakan untuk berkomunikasi pada waktu ibadah dilakukan

dan lain sebagainya, harus dikontekstualkan agar sungguh-

sungguh hal-hal itu menyatu dan menjawab kebutuhan

masyarakat setempat.

2. Dua prinsip kontekstualisasi

Dalam berkontekstualisasi, ada prinsip-prinsip yang

sangat esensi yang harus dipegang teguh oleh penginjil

dan para misionari. Prinsip kontekstualisasi ini telah

dilakukan baik oleh Tuhan Yesus Kristus maupun oleh rasul

Paulus.

a. Hidup sebagai hamba

Berkaitan dengan hidup sebagai hamba dalam prinsip

kontektualisasi, rasul Paulus menulis kepada jemaat di

Filipi demikian: “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama,

61

Page 62: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam

Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak

menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang

harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-

Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan

menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai

manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai

mati, bahkan sampai mati di kayu salib” – Filipi 2:5-8.

“Ini berarti lahir ke dunia sebagai manusia, hidup dalam

sejarah manusia, menjadi bagian dari konteks budaya

manusia, dst. – singkatnya, berpadu dengan hakikat

manusia secara utuh. Dengan demikian, inkarnasi

melambangkan solidaritas Yesus Kristus dengan manusia

secara utuh dalam lingkup sosial budaya manusia. Namun,

perlu disadari bahwa inkarnasi Kristus terjadi bukan

untuk tujuan inkarnasi itu sendiri, melainkan untuk

menyatakan Allah kepada dunia (Yohanes 1:18). Di sini

perlu ditegaskan bahwa inkarnasi Kristus memiliki tujuan

misional, untuk membuktikan kasih Allah kepada dunia

62

Page 63: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

(Yohanes 3:16), bagi pembebasan dunia itu sendiri

(Yohanes 1:29)”.50

Kontekstualisasi Injil oleh Rasul Paulus dinyatakan

dalam ajaran  kenotis  (pengosongan diri) Kristus, sikap

hidup, serta pendekatan kontekstualnya kepada setiap

masyarakat yang didatanginya. Rasul Paulus mengemukakan

tentang  kenotis  Kristus dalam Filp. 2:5-11 yakni Yesus

Krsitus mengambil rupa manusia, menjadi hamba dan solider

utuh dengan manusia untuk menanggung dosa-dosa manusia.

Dasar penting untuk proses terjadinya kontekstualisasi

melalui pengosongan diri. Untuk masuk dalam budaya orang

lain seseorang harus meninggalkan jati dirinya untuk

manunggal dengan orang lain. Perlu disadari bahwa

identitas diri yang menjadi latar belakang tidak dapat

disangkal. Dasar kenotis Kristus menjadi pijakkan utama

Rasul Paulus dalam determinasi kontekstual yang dituangkan

dalam 1 Kor. 9:16-27.  Dari sisi ini dapat ditemukan 2

makna yang berhubungan yaitu:

1) Kontekstual Etis

50 Yakob Tomatala, Teologi Kontekstualisasi (Suatu Pengantar), Malang: Gandum Mas, hlm. 22-23.

63

Page 64: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

Sikap etis menyangkut bagaimana seorang pelayan

antar budaya dapat menempatkan diri untuk menghargai

budaya orang lain sehingga tercipta refleksi teologi yang

positif. Sikap tersebut antara lain: pertama, Tidak

menghakimi orang dengan semena-mena (1 Kor. 4:1-5);

kedua, Rendah hati (1 Kor. 4:6-21); ketiga, Mengembangkan

sikap untuk tidak diperhamba oleh apapun juga (1 Kor.

6:12b); keempat, Mengembangkan sikap peka terhadap orang

lain (1 Kor. 8:1-13); kelima, Mengembangkan pergaulan

yang baik sebagai orang yang mengenal Allah (1 Kor.

15:33-34); keenam, Mengembangkan hubungan kerja jemaat

antargereja lokal dan antaretnis (1 Kor. 16:1-9).

2) Kontekstual Prakmatis

Sikap kontekstual prakmatis menyangkut sikap terhadap

diri sendiri yang membawa kegunaan bagi pengembangan

Injil dalam konteks. Sikap ini dikembangkan oleh Rasul

Paulus dengan cara: pertama, Melihat tugas pemberitaan

Injil sebagai tugas yang wajib tanpa ditawar-tawar (1

Kor. 9:16); kedua, Menetapkan sikap inkarnasi-kenotis

terhadap semua kelompok orang, dengan menjadi seperti

64

Page 65: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

orang dalam, pada setiap konteks (1 Kor. 9:19-24). Sikap

inkarnasi dimulai dengan sikap hamba untuk menjadi

segala-galanya bagi semua orang. Menjadi hamba untuk

melayani adalah dasar inkarnasi; ketiga, Mengembangkan

disiplin faedah ganda – bagi diri dan orang lain, (1 Kor.

9:24-27).

Dengan memperhatikan setiap uraian di atas maka

dapat dikatakan bahwa kontekstualisasi yang berdampak

adalah menempatkan Kristus yang terutama dalam setiap

pengajaran yang tidak bisa dikompromikan tetapi dalam

praksisnya, fleksibelitas terhadap budaya perlu

diperhatikan. Prinsi-prinsip ajaran Alkitab tidak dapat

dikompromikan tetapi dalam kontekstualisasi fleksibilitas

pengajaran perlu diperhatikan. Ini dilakukan dengan

sebuah tujuan yang jelas bukan sekedar fleksibel tanpa

arah.

b. Hidup di bawah hukum Kristus

“Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum

Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di

bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup diluar

65

Page 66: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus,

supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di

bawah hukum Taurat” – 1 Korintus 9:21. “Walaupun

pendekatan Paulus luwes sekali, namun ia memiliki suatu

tolok ukur. Ia peka terhadap kebudayaan, tetapi tunduk

kepada firman Allah … sekalipun ia menyesuaikan diri

dengan kebudayaan setempat, ia tetap hidup di bawah hukum

Kristus. Hukum Kristus, firman Allah, merupakan tolok

ukur baginya. Firman Allah adalah wewenang tertingginya.

Meskipun ia harus menyesuaikan diri, ia juga menguji

segala sesuatu dengan firman Allah supaya Injil yang

disampaikan itu tetap murni. Paulus menyadari bahwa Injil

itu asal dari Tuhan. Dari satu segi Injil itu “asing”

bagi segala suku. Kebudayaan biasanya bercampur dengan

agama lokal. Tidak ada suatu kebudayaan yang murni.

Karena itu setiap kebudayaan harus dikoreksi dan

diperbaiki melalui firman Allah. Hanya firman Allah yang

menjadi ukuran Rasul Paulus untuk menilai segala sesuatu.

Oleh sebab itu, sekalipun Paulus menyesuaikan diri, ia

66

Page 67: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

tetap berpegang teguh pada firman Allah. Meskipun ia

bersikap luwes, ia selalu hidup di bawah hukum Kristus”.51

3. Tiga cara kontekstualisasi

Almarhum J. H. Bavinck, ahli misiologi mengatakan

dan dikutip oleh Budiman R. L., mengatakan: “Orang-orang

Kristen haru mengambil pemilihan sah dari adat istiadat

dan kebudayaan-kebudayaan yang memberi kepadanya

pengertian-pengertian serta isi baru dan yang mengarahkan

mereka untuk pelayanan bagi Kristus … Adalah tidak pernah

mudah untuk memutuskan apakah suatu adat/kebiasaan boleh

dipertahankan atau harus ditolak” (Bavinck 1960:175-179,

190).52 Sedangkan menurut Dr. Dean Gilliland dari Fuller

Theological Seminary School of World Mission dan dikutip

oleh Budiman R. L., mengatakan: “Tugas kontekstualisasi

ialah mengetahui apa yang dapat dipergunakan [dari

kebudayaan], apa yang harus ditolak dan oleh kasih

karunia Allah, apa yang dapat ditransformasikan”

(Gilliland 1989:25)”.53

51 Budiman R. L., Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi,hlm. 8-9.

52 Ibid., hlm. 42. 53 Ibid.

67

Page 68: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

Berdasarkan pendapat atau argumentasi pakar

misiologi dunia seperti dikemukakan di atas, maka dapat

ditemukan bahwa sesungguhnya ada cara yang dapat

dipergunakan dalam rangka untuk menyampaikan Kabar Baik

atau Injil ke dalam suatu kontek budaya. Upaya

kontekstulisasi dimaksud harus diletakkan atas kasih

karunia Allah. Dikatakan demikian, karena Allah adalah

segala-galanya dalam misi kontekstualisasi. Oleh karena

itu, tiga cara kontekstualisasi dapat dijabarkan sebagai

berikut.

a. Memanfaatkan unsur kebudayaan

Dalam setiap suku, bahasa dan bangsa, ada unsur-

unsur budaya yang positif. Unsur-unsur budaya yang

positif ini berhubungan dengan etika, moralitas, sopan-

santun dan norma sosial. Nilai-nilai buday yang memiliki

muatan positif tersebut bisa dimanfaatkan untuk

mensukseskan proses kontekstualisasi. “Memakai berarti

semua atau beberapa unsur kebudayaan yang netral tetap

dipertahankan. Setiap kebudayaan mempunyai beberapa unsur

yang netral”.54 Jadi, dalam setiap kebudayaan dipastikan54 Ibid.

68

Page 69: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

ada elemen-elemen budaya yang bisa dipergunakan dalam

kaitannya dengan kontekstualisasi. Dr. P. Octavianus yang

dikutip oleh Budiman R. L. memberi banyak contoh

berhubungan dengan kontekstualisasi, yaitu: “Penggunaan

kopiah, pemakaian sarung dan kain kebaya, duduk di lantai

atau tikar, cara bersalam-salaman, penggunaan alat-alat

music tradisional, penggunaan bahasa Arab dalam

pemberitaan Injil, dan lain-lain” (Octavianus 1985:52-

53).”55

b. Mengubah unsur kebudayaan

Pasca kejatuhan manusia ke dalam dosa, maka semua

kebudayaan yang dihasilakannya tidak ada lagi yang murni.

Itu sebabnya, harus dikoreksi, diperbaiki dan dibaharui

melalui firman Allah. “Yang dimaksudkan dengan mengubah

ialah memurnikan unsur-unsur kebudayaan yang dapat

ditransformasikan supaya berkenan kepada Allah dan sesuai

dengan firman-Nya. Seperti yang dicanangkan oleh Ikrar

Lausanne pasal 10: “Gereja-gereja harus berusaha untuk

mengubah dan memperkaya kebudayaan, dan semuanya itu bagi

55 Ibid., hlm. 42-43.

69

Page 70: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

kemuliaan Allah”.56 Jadi, semua proses dan upaya mengubah

kebudayaan yang dilakukan oleh gereja memiliki tujuan

utopi yaitu bagi kemuliaan Allah.

Dr. Paul Hiebert dari Trinity Evangelical Divinity

School, yang dikutip oleh Budiman R. L. mengatakan bahwa

untuk mengubah unsur kebudayaan dapat dilakukan melalui

lima cara, yaitu: “pertama, menambah unsur pada

kepercayaan dan upacara tradisional; kedua, mengurangi,

yaitu membuang semua unsur yang mempunyai konotasi dosa

tanpa membuang aspek tradisi tersebut; ketiga, mengganti,

yaitu mengembangkan bentuk atau cara baru yang mempunyai

fungsi yang sama seperti membaca Alkitab sebagai

pengganti untuk membaca kitab suci lain; keempat, memberi

tafsiran baru pada cara atau bentuk kebudayaan; kelima

menciptakan unsur baru, asal mereka mempunyai banyak

kesamaan dengan adat setempat” (Hiebert 1985:171-192)”.57

c. Membuang unsur kebudayaan

Elemen-elemen kebudayaan yang bertentangan dengan

Allah dan firman-Nya harus dibuang. “Kita harus membuang

56 Ibid., hlm 43. 57 Ibid., hlm. 45.

70

Page 71: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

beberapa unsur yang tidak cocok dengan firman Allah dan

yang tidak mungkin dimurnikan. Misalnya, poligami,

upacara-upacara sembahyang pada waktu kematian, bentuk-

bentuk lain yang berhubungan dengan kuasa kegelapan,

seperti praktek-praktek spiritisme dan animism”

(Octavianus 1985:54).

Kepentingan membuang unsur-unsur budaya yang

bertentangan dengan firman Allah ialah untuk

menghindarkan kontekstualisasi dari terjadinya

percampuran antara unsur kebudayaan dengan Injil,

sehingga pengertian Injil menjadi kabur. Percampuran

unsur penting dalam Injil dengan adat-istiadat inilah

yang disebut sinkritisme.

4. Satu tujuan kontekstualisasi

Tujuan tertinggi dalam upaya melakukan

kontekstualisasi hanya satu. Tidak ada tujuan ganda dalam

pemberitaan Injil. Tujuan tunggal ini ialah memenangkan

sebanyak mungkin orang bagi Kristus. Rasul Paulus menulis

berkaitan dengan tujuan kontekstualisasi sebagai berikut:

71

Page 72: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

“Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan

diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan

sebanyak mungkin orang. Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi

seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi.

Bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti

orang yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup

di bawah hukum Taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka yang

hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang tidak hidup di

bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah

hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku

hidup di bawah hukum Kristus, supaya aku dapat memenangkan mereka

yang tidak hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang lemah

aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan

mereka yang lemah. Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya,

supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari

antara mereka. Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil, supaya aku

mendapat bagian dalamnya” – 1 Korintus 9:19-23.

Berdasarkan bagian dari tulisan Paulus di atas,

dapat dilihat bahwa hanya ada satu goal dan beragam

target. Ada enam kali Paulus mengulang pernyataan yang

72

Page 73: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

sama, “supaya aku dapat memenangkan sebanyak mungki

orang”. Dengan pengulangan pernyataan tersebut,

menunjukkan bahwa Paulus memiliki satu-satunya tujuan.

Bagi Paulus sangat penting memiliki tujuan yang jelas

dalam pemberitaan Injil. Tujuan yang jelas merupakan

motor penggerak untuk memberitakan Injil. Goal Paulus

ialah memenangkan sebanyak mungkin orang. Ini tujuan

tertinggi dalam melaksanakan kontekstualisasi. Target

pemberitaan Injil bisa menjangkau berbagai lapisan

masyarakat. Baik dari kalangan terpelajar sampai kepada

kalangan professional. Dari kalangan masyarakat biasa

sampai kepada kalangan masyarkat elit. Secara singkat

target pemberitaan Injil menjangkau semua level manusia

dengan berbagai budayanya. Namun, tujuan yang hendak

dicapai hanya satu, yaitu memenangkan sebanyak mungkin

orang bagi Kristus.

C. Langkah-langkah Kontekstualisasi

Proses kontekstualisasi tidak langsung bisa

diterapkan. Ada langkah-langkah taktis, strategis dan

73

Page 74: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

aplikatif yang harus ditempuh supaya berita Injil dapat

diterima oleh konteks budaya dimana Injil diwartakan.

1. Komunikasi Injil dalam berkontekstualisasi

Quentin J. Schultze berkaitan dengan komunikasi

mengutip pendapat James W. Carey menulis demikian: “Kata

komunikasi berasal dari bahasa Latin communis, yang

artinya berbagi, menjadikan umum, atau bahkan memiliki

sebuha kepercayaan yang sama”.58 Quentin melanjutkan

bahwa: “Ketika kita berkomunikasi, kita menciptakan,

memelihara dan mengubah gaya hidup yang kita miliki.

Komunikasi memampukan kita mengembangkan pendidikan,

teknik, bisnis, media, dan setiap aspek dari budaya

manusia”.59

Dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa dampak

komunikasi itu begitu signifikan terhadap kebudayaan.

Komunikasi bisa beroperasi secara leluasa dalam semua

area dan menembus batas-batas territorial.

58 Quentin J. Schultze, Communicating for Life, Malang:Literatur SAAT, 2004, hlm. 16.

59 Ibid.

74

Page 75: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

Menurut Yakob Tomatala dalam mengulas pokok

komunikasi Injil dalam berkontekstualisasi, ada tiga

pokok penting yang harus diperhatikan, yaitu:

a. Bentuk interaksi komunikasi Injil

Langkah konkret yang harus ditempuh oleh setiap

komunikator menurut Yakob Tomatala, adalah sebagai

berikut:

1) Komunikator harus hidup dalam kesadaran bahwa

ia adalah makhluk budaya dan ia harus

mengosongkan pengaruh budayanya sendiri sebagai

langkah awal untuk memahami berita dalam

konteks Alkitab yang asli dan konteks budaya

penerima berita.

2) Orientasi pelayanan haruslah pada si penerima

berita dengan konteks hidupnya secara

menyeluruh.

3) Dalam praktek pelayanan, komunikator harus

menempatkan diri dalam matriks budaya Alkitab

dan pendengar dengan menggunakan bentuk dan

75

Page 76: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

alat budaya setempat untuk menjelaskan suatu

kebenaran.

4) Dalam pelaksanaannya perlu terus-menerus

diadakan penilaian untuk menjaga kedinamisan

kerja, efek kerja, dan menghindari sinkretisme.

Injil yang murni perlu diberitakan, dan cara

penerapannya perlu memperhatikan pola berpikir

yang tepat.

b. Prinsip dasar komunikasi Injil

1) Tujuan komunikasi ialah membuat pendengar

mengerti suatu berita yang disampaikan oleh

pembicara dan selanjutnya mendorong si

pendengar agar bertindak sesuai dengan

keinginan si pembicara.

2) Pembicara menyampaikan berita melalui lambing

budaya yang memberi rangsangan kepada pikiran

pendengar sesuai dengan tanggapan atau

pengertian pendengar terhadap lambing/symbol

budaya itu.

76

Page 77: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

3) Agar pembicara dapat mengkomunikasikan berita

secara efektif, maka ia harus berorientasi pada

pendengar.

4) Impak komunikasi yang luar biasa akan terjadi

dalam interaksi antar pribadi.

5) Komunikasi akan sangat efektif bila pembicara,

berita-berita, dan pendengar berinteraksi dalam

konteks yang sama dalam situasi dan pemahaman

yang sama terhadap bentuk/arti budaya.

c. Prinsip komunikasi Injil yang efektif

Dalam penjelasan berikut ini akan diuraikan sembilan

prinsip komunikasi Injil yang efektif:

1) Perlu adanya kesamaan keadaan persepsi budaya

antara komunikator dan pendengar, antara lain

bahasa, kebiasaan, bentuk budaya, pandangan

hidup, dsb.

2) Perlu disadari bahwa komunikasi yang efektif

menyentuh “kenyataan hidup” si penerima. Jadi,

setiap informasi intelektual perlu dicerna

77

Page 78: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

baik-baik untuk menemukan maksud inti yang

sebenarnya.

3) Komunikator harus mempelajari maksud berita

dalam situasi aslinya dan mempelajari keadaan

penerima berita dalam situasi kini untuk

menghasilkan kesamaan pengertian bagi

penempatan berita yang proporsional untuk

menghasilkan komunikasi yang mulus.

4) Komunikator harus menyadari bahwa ia memiliki

hak dan tanggung jawab untuk didengar, jadi ia

harus menyampaikan berita sedemikian rupa

sehingga dapat dipahami oleh pendengar.

5) Penerima aktif dalam proses komunikasi apabila

komunikator menggunakan bahan/elemen sesuai

dengan apa yang telah ia ketahui dalam lingkup

sosio-budayanya.

6) Bangunlah berita dan sampaikanlah melalui

pandangan hidup pendengar.

78

Page 79: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

7) Komunikator perlu mengontrol berita Injil yang

disampaikan agar tidak ditunggangi atau

menunggangi pandangan hidup sendiri.

8) Gunakan bentuk-bentuk komunikasi lokal,

termasuk bahasa dan alat yang ada pada setiap

lokasi dan situasi budaya.

9) Setiap ibadah gereja perlu diungkapkan dari

pandangan hidup terhadap Allah dan Yesus

Kristus yang kontekstual untuk mencipta impak

komunikasi yang memadai.60

2. Sikap dalam berkontekstualisasi

Ada beragam sikap yang mengemuka terhadap teologi

kontekstualisasi atau kontekstualisasi yang alkitabiah.

Ada kelompok yang pro atau setuju atau mempertimbangkan

teologi kontekstualisasi untuk diterapkan dalam pelayanan

pemberitaan Injil. Ada pula kelompok yang bersikap

menolak atau kontra atau alergi dengan teologi

kontekstualisasi. Reaksi ini tergambar dalam pelayanan

pemberitaan Injil yang tidak menerap model teologi

60 Yakob Tomatala, Teologi Kontekstual (Suatu Pengantar),Malang: Gandum Mas, hlm. 81-87.

79

Page 80: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

kontekstualisasi. Selain itu, ada pula yang dengan begitu

saja menerima teologi kontekstualisasi tanpa dipelajari.

Akibatnya terjadi sinkretisme di mana Injil dan adat-

istiadat dicampur, sehingga Injil menjadi tidak murni.

Untuk lebih jelas dapat dilihat sikap dalam

berkontekstualisasi sebagai berikut ini.

a. Menolak kontekstualisasi

Sikap menolak kontekstulisasi menunjuk kepada sikap

tetap mempertahankan kepercayaan lama, seperti upacara-

upacara adat, seni, musik dan isu-isu penting.

Pemberitaan Injil tetap dilaksanakan, namun Injil menjadi

asing bagi budaya dalam konteksnya secara keseluruhan.

Kebiasaan lama tetap dipertahankan dan dilaksanakan

tetapi secara tersembunyi atau terselubung.

b. Mempertimbangkan kontekstulisasi

Mepertimbangkan kontekstuliasi merupakan sikap yang

lebih maju dan terbuka. Kepercayaan lama seperti upacara-

upacara adat, musik, seni dan isu-isu penting lainnya

dianalisa, digali maknanya, dan semua informasi tentang

kepercayaan lama dengan semua permasalahannya

80

Page 81: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

dikumpulkan. Semua itu diletakan dan diterangi oleh

firman Tuhan. Apa kata Alkitab tentang kepercayaan lama

tersebut. Lalu dilakukan evaluasi secara menyeluruh

terhadap kepercayaan lama dari perspektif Alkitab dan

memberi diri dibimbing oleh kuasa Roh Kudus. Dari hasil

inilah, maka akan diperoleh kesimpulan akhir atau

keputusan final terhadap kepercayaan lama setelah

diterangi oleh firman Tuhan dan dibimbing kuasa Roh

Kudus, apakah memakai unsur kepercayaan lama?, atau

apakah mengubah kepercayaan lama?, atau apakah membuang

kepercayaan lama? Melalui proses filterisasi budaya

inilah akan menghasilkan kontekstualisasi yang Alkitabiah

atau teologi kontekstualisasi yang akurat. Injil menjadi

relevan dan tidak asing bagi budaya. Kemurnian Injil

tetap dipertahankan.

c. Menerima saja kontekstualisasi

Sikap menerima saja kontekstulisasi merupakan sikap

yang sangat berseberangan dengan kedua sikap seperti yang

dijelaskan di atas. Menerima saja kontekstualisasi sangat

81

Page 82: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

berbahaya. Dikatakan demikian, karena akan menghasilkan

sinkretisme.

BAB IV

PENUTUP

Setelah memaparkan dan menguraikan pokok seputar

misi kontekstual yang alkitabiah, tibalah penulis pada

klimaks dari penulisan makalah ini. Pada bagian penutup

ini akan disajikan dua pokok utama, yaitu:

A. Kesimpulan

“Teologi kontekstulisasi menekankan bagaimana

seharusmya setiap orang Kristen berteologi dalam konteks,

yaitu konteks budaya, sosial, ekonomi, politik, geografi

dan sebagainya di mana ia seorang individu serta gereja

sebagai komunitas mikro berada dalam komunitas makro”.61

Berdasarkan pernyataan di atas, maka setiap orang

Kristen adalah misionaris. Sebagai misionaris memiliki

tanggung jawab spiritual dalam semua level dan bidang

61 Yakob Tomatala, Teologi Kontekstulisasi (Suatu Pengantar),Malang: Gandum Mas, hlm. 92.

82

Page 83: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

kehidupan. Ia harus menghadirkan nilai atau value

Kerajaan Allah dalam totalitas hidup dan pelayanannya di

tengah dunia yang luas.

Setiap hari orang Kristen bertemu dengan orang-orang

dari berbagai latar belakang budaya, geografi, demografi,

sosial, ekonomi, pendidikan dan juga pemeluk agama yang

berbeda. Pemeluk beragama lain ini juga menjalankan misi

mereka. Dan kelihatannya mereka lebih gigih menjalankan

misinya jika dibandingkan dengan orang Kristen.

Dalam situasi dan kondisi semacam itulah

kontekstualisasi menjadi penting untuk dilaksanakan.

Dikatakan penting karena itulah salah satu cara yang

Tuhan gunakan untuk menyatakan diri-Nya kepada manusia

dalam konteks budayanya. Dan inilah cara yang seharusnya

digunakan oleh gereja dalam menjalankan misinya di dunia

ini, supaya dapat memenangkan sebanyak mungkin orang bagi

Kerajaan Allah.

“Teologi kontekstualisasi alkitabiah yang absah

menempatkan Allah sebagai the prime cause, the prime mover dari

proses berteologi dalam konteks. Pada sisi ini, “Alkitab”

83

Page 84: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

berperan utama sebagai “penyataan Allah” karena Allah

sendiri memilih untuk menyatakan diri kepada manusia dan

penyataan-Nya tertulis dalam Alkitab. Ini berarti Allah

sendiri telah memilih “kebudayaan manusia” sebagai wahana

penyataan-Nya. Manusia pada sisi lain (sebagai

penerima/partisipan) menerima penyataan Allah dalam

koteks hidupnya (secara utuh) dari filter budaya

(individu/kelompok)”.62

Dengan demikian, Allah sendiri dalam otoritas dan

kedaulatan-Nya tanpa dipengaruhi oleh apa dan siapapun

mengambil sikap untuk menyingkapkan diri-Nya kepada

manusia dalam budaya yang dibuat oleh manusia. Allah

memberi diri-Nya dikenal oleh manusia dalam konteks

budayanya.

Oleh karena itu, di pundak orang Kristen dan Gereja

Kristen ada tanggung jawab misional yang harus dilakukan

dalam konteks di mana orang Kristen dan Gereja Kristen

berada sebagai yang diutus oleh Tuhannya untuk

melaksanakan misi shalom-Nya bagi manusia berdosa yang

hidup dalam konteks budaya yang berdosa. Dalam rangka62 Ibid.

84

Page 85: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

melaksanakan misinya, orang Kristen dan Gereja Kristen

harus mampu berteologi dalam konteks. Berteologi dalam

konteks ini perlu dihidupi dan dijawab secara terus-

menerus dalam rangkan memberitakan Injil kasih karunia

Allah kepada dunia dalam konteks di mana ia dan mereka

berada serta hidup.

B. Saran-saran

Beberapa saran yang dapat disampaikan melalui

makalah ini, khususnya seputar teologi kontekstualisasi

dan misi gereja.

Pertama, dalam menjalankan teologi misi kontekstual

yang alkitabiah, gereja harus tetap menempatkan Allah,

Yesus Kristus, Roh Kudus dan Alkitab sebagai otoritas

tertinggi dalam bermisi dan berteologi.

Kedua, dalam menjalankan teologi misi kontekstual

yang alkitabiah, tetap memperhatikan akan mekanisme

trialektis “Allah, orang Kristen (manusia) dan konteks

(manusia lain, budaya, sosial, dsb)”.

85

Page 86: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

KEPUSTAKAAN

Alkitab

1974 Terjemahan Baru, Jakarta: Lembaga Alkitab

Indonesia.

86

Page 87: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

1994 Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, Malang: Gandum

Mas.

Akal, Yunny Jones

2005 Diktat Strategi Misi, Jakarta: IFTK Jaffray.

Bosch, D. J.,

2006 Transformasi Misi Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

---

2006 Peran Allah dalam Misi, Sidoarjo: Terang Lintas

Budaya.

2007 Peran Roh Kudus dalam Misi, Malang: Terang Lintas

Budaya.

Chai, Young G.

2005 Jemaat Rumah: Penggembalaan Bersama dengan Orang

Awam, Jakarta: Gloria Cipta Grafika.

Jacobs, T.,

1970 Konstitusi Dogmatis (Lumen Gentium) Mengenai Gereja,

Yogyakarta.

Kobong, Th.,

--- Iman dan Kebudayaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

L. Budiman R.

87

Page 88: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

--- Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi.

Legrand, L.,

1990 Unity and Plurality: Mission in the Bible, New York.

Moltmann, J.,

1975 Gott Kommt und der Mensch wird Frei, Munchen.

Peters, George W.

1972 A Biblica Theology of Mission, Chicago: Moody Press.

Prent, K., dkk.

1969 Kamus Latin – Indonesia, Yogyakarta.

Rahmiati

--- Kontekstualisasi Sebagai Sebuah Strategi.

Sidjabat, B. S.

1986 Kebudayaan dan Misi, Bandung: Sahabat Gembala.

Schutte, J.,

1967 Fragen der Mission an das Konzil, Main.

Schultze, Quentin J.

2004 Communicating for Life, Malang: Literatur SAAT.

Tim Penyusun

2005 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai

Pustaka.

88

Page 89: TEOLOGI MISI YANG KONTEKSTUAL

Tomatala, Yakob

2003 Teologi Misi, Jakarta: YT Leadership Foundation.

1998 Penginjilan Masa Kini Jilid 1-2, Malang: Gandum Mas.

1993 Teologi Kontekstualisasi, Malang: Gandum Mas.

89