TEOLOGI MISI ALKITABIAH YANG KONTEKSTUAL (TUGAS TUTORIAL MANDIRI PROGRAM DOKTORAL) DISUSUN OLEH: YOHANES RATU EDA NIM: 0831518 1
TEOLOGI MISI ALKITABIAH YANG KONTEKSTUAL
(TUGAS TUTORIAL MANDIRI PROGRAM DOKTORAL)
DISUSUN OLEH:
YOHANES RATU EDA
NIM: 0831518
1
SEKOLAH TINGGI THEOLOGI JAFFRAY
JAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab pendahuluan ini akan dipaparkan hal-hal
seputar latar belakang masalah; isu dan inti pokok
masalah; metodologi penulisan; tujuan penulisan; batasan
penulisan dan kegunaan penulisan. Semua bagian tersebut
akan diuraikan secara lengkap di bawah ini.
A. Latar Belakang Masalah
Sejak awal abad ke-20 banyak orang (Kristen dan non
Kristen, agamis dan non agamis) memperlihatkan sikap
menolak misi sebagai karya penyebaran iman Kristen.
Bayangan akan sisi gelap sejarah misi – sejak masa
penemuan benua-benua baru – membuat banyak orang
(pribadi, golongan, aliran) menjadi alergi mendengar
istilah misi. Selama masa ini – yang dari sudut pandang
tertentu dilihat sebagai zaman keemasan karya misi.
Gereja secara arogan bertindak selaku lembaga
2
indoktrinasi bidang keagamaan dan peraturan moral, baik
bagi umat Allah di gereja asal (Eropa dan Amerika Utara)
maupun bagi gereja dan masyarakat di tanah jajahan
bangsa-bangsa barat. Tindakan seperti ini, memberi kesan
bahwa gereja berperan serta dalam memajukan ideologi
kolonial apalagi sikap gereja pada masa itu sangat
terpengaruh oleh arogansi barat dan superioritas Kristen.
B. Isu dan Inti Pokok Masalah
Muatan history karya misi pada masa lampau tidak
hanya menjadi halangan bagi karya pewartaan Injil dan
pembangunan umat, tetapi juga mengganggu pergaulan umum
(sehari-hari) antara umat Kristen dengan masyarakat
berbagai bangsa, kebudayaan dan agama-agama di dunia.
Agama Kristen dilihat sebagai milik orang barat – yang
disamakan dengan kaum penjajah – yang diwariskan kepada
segelintir bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin,
sehingga gereja yang mereka dirikan dituding sebagai
sarana kolonialisme.
Sementara itu gereja sepanjang masa, tetap melihat
misi sebagai dimensinya yang esensial, karena melalui
3
karya misi gereja hadir dengan sepenuhnya sebagai gereja.
Gereja tanpa misi bukanlah gereja seperti yang
dimaksudkan oleh Kristus.1 Tema pokok dan yang sebenarnya
dari Konsili Vatikan II adalah gereja. Misi gereja yang
universal dan penyebarannya yang tak pernah usai … adalah
bobot yang menentukan dalam diri gereja. Jikalau kita
berbicara tentang misi, maka yang kita maksudkan adalah
inti terdalam dari gereja serta pertumbuhannya yang
pesat.2
Dalam situasi seperti dihadapi gereja dan karya
misionernya sekarang ini, penjelasan tetang misi seperti
yang dikehendaki oleh Yesus Kristus, sangat penting,
perlu dan berguna. Untuk itu, dibutuhkan suatu penjabaran
tentang misi Alkitabiah yang kontekstual, yang mendasar
mengenai perutusan seperti yang diimani dan dijalankan
dalam gereja. Misi yang ikut menjadi dasar keberadaan
gereja perlu dimengerti sesuai dengan hakikat, makna dan
tujuannya yang sebenarnya. Pengertian yang benar tentang
1 T. Jacobs, Konstitusi Dogmatis (Lumen Gentium) MengenaiGereja, Yogyakarta: 1970, hlm. 335; 338.
2 J. Schutte, Fragen der Mission an das Konzil, dalam J.Schutte, ed., Mission Nach dem Konzil, Mainz: 1967, hlm. 11-12.
4
misi menjamin plausabilitas penilaian terhadap misi dan
menjadi dasar yang legitim untuk perencanaan karya misi
Alkitabiah yang kontekstual serta harapan-harapan untuk
pertumbuhan gereja selanjutnya.
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini difokuskan pada pokok
misi Alkitabiah yang kontekstual. Ada pun tujuan
penulisan ini dibagi dalam dua bagian utama yaitu tujuan
umum dan tujuan khusus.
1. Tujuan umum
Penulisan makalah ini dilaksanakan dengan tujuan
untuk mencari korelasi antara misi Alkitabiah sebagai
dasar teologis yang kontekstual dengan pertumbuhan
gereja. Di sini, Alkitab menjadi sumber utama ajaran misi
gereja dan konteks sebagai sasaran pelaksanaan misi
gereja.
2. Tujuan khusus
Tujuan khusus yang diharapkan akan dicapai dalam
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
5
a. Dapat memenuhi salah satu syarat tugas akademik
dalam penyelesaian studi Program Doctoral di Sekolah
Tinggi Theologi Jaffray Jakarta.
b. Menyediakan gagasan teoretis yang relevan dengan
topik yang digarap dalam hal ini berkaitan dengan
misi Alkitabiah yang kontekstual dalam kaitannya
dengan pertumbuhan gereja.
c. Memberikan dukungan dan motivasi agar setiap gereja
lokal dapat meningkatkan kinerja misionernya dalam
memenangkan jiwa bagi Kerajaan Allah yang pada
akhirnya terjadi pertumbuhan gereja.
D. Metodologi Penulisan
Metode penulisan makalah ini ialah metode
pengumpulan data dari hasil penelitian dengan ragam
sumber, baik melalui penelitian kepustakaan (library
research) maupun melalui media elektronik yaitu internet.
Selanjutnya semua hasil penelitian yang dikumpulkan
disajikan dan memberi kesimpulan sesuai dengan tujuan
penulisan makalah ini.
6
E. Batasan Penulisan
Penulisan makalah ini dibatasi pada “Misi Alkitabiah
yang Kontekstual”, dengan gambaran, yaitu: pertama,
batasan pemahaman pengertian kata secara etimologi; kedua,
landasan teoretis baik landasan teologis maupun pandangan
para ahli tentang misi Alkitabiah yang kontekstual; ketiga,
korelasi antara misi Alkitabiah yang kontekstual dengan
pertumbuhan gereja.
F. Hipotesis Penulisan
Telah ditegaskan bahwa ada korelasi yang sangat
signifikan antara misi Alkitabiah yang kontekstual dengan
pertumbuhan gereja. Karena itu diduga bahwa jika misi
dilaksanakan sesuai dengan ajaran Alkitab yang
kontekstual, maka akan terjadi pertumbuhan gereja.
7
BAB II
PEMAHAMAN TENTANG
TEOLOGI MISI ALKITABIAH YANG KONTEKSTUAL
A. Pengertian Teologi Misi Alkitabiah yang Kontekstual
1. Pengertian teologi
Teologi (bahasa Yunani θεος, theos, "Allah, Tuhan",
dan λογια, logia, "kata-kata," "ucapan," atau "wacana")
adalah wacana yang berdasarkan nalar mengenai agama,
spiritualitas dan Tuhan. Dengan
demikian, teologi adalah ilmu yang mempelajari segala
sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama. Teologi
meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan.
8
Para teolog berupaya menggunakan analisis dan argumen-
argumen rasional untuk mendiskusikan, menafsirkan dan
mengajar dalam salah satu bidang dari topik-topik agama.
Teologi memampukan seseorang untuk lebih memahami
tradisi keagamaannya sendiri ataupun tradisi keagamaan
lainnya, menolong membuat perbandingan antara berbagai
tradisi, melestarikan, memperbaharui suatu tradisi
tertentu, menolong penyebaran suatu tradisi, menerapkan
sumber-sumber dari suatu tradisi dalam suatu situasi atau
kebutuhan masa kini, atau untuk berbagai alasan lainnya.
Kata 'teologi' berasal dari bahasa Yunani koine,
tetapi lambat laun memperoleh makna yang baru ketika kata
itu diambil dalam bentuk Yunani maupun Latinnya oleh para
penulis Kristen. Karena itu, penggunaan kata ini,
khususnya di Barat, mempunyai latar belakang Kristen.
Namun, pada masa kini istilah tersebut dapat digunakan
untuk wacana yang berdasarkan nalar di lingkungan ataupun
tentang berbagai agama. Di lingkungan agama Kristen
sendiri, disiplin 'teologi' melahirkan banyak sekali sub-
divisinya. Dalam gereja Kristen, teologi mula-mula hanya
9
membahas ajaran mengenai Allah, kemudian artinya menjadi
lebih luas, yaitu membahas keseluruhan ajaran dan praktik
Kristen. Dalam upaya merumuskan apa itu ilmu teologi,
maka ada beberapa unsur yang perlu diperhatikan, yaitu
tidak akan ada teologi Kristen tanpa keyakinan bahwa
Allah bertindak atau berfirman secara khusus dalam Yesus
Kristus yang menggenapi perjanjian dengan
umat Israel. Pada Abad Pertengahan, teologi merupakan
subyek utama di sekolah-sekolah universitas dan biasa
disebut sebagai "The Queen of the Sciences". Sumber:
Wikipedia.
Kata Teologi sudah tidak asing lagi di telinga kita
orang-orang Kristen, entah dimengerti atau sekedar ucapan
belaka. Saya ingin memberi pengertian singkat bagi
pembaca, yang saya rasa mudah dimengerti oleh pembaca
awam atau pengkaji teologi dalam kekristenan.
Arti Etimologis
Istilah "Teologia" berasal dari 2 kata Yunani,
yaitu: theos artinya "Allah"; dan logos artinya "perkataan,
uraian, pikiran, ilmu". Sedangkan "Sistematika" berasal
10
dari kata sustematikos, artinya penempatan/penyusunan
secara tepat. Jadi teologi dapat diartikan sebagai suatu
ilmu yang menguraikan tentang Tuhan dengan cara yang
sistematis, sehingga semua pembaca dapat mengerti. Jadi
jika pembaca kurang paham dengan apa yang diuraikan oleh
teologi, itu berarti penyampaiannya kurang sistematis.
Definisi Istilah
"Teologia" dapat dimengerti dalam arti sempit atau
arti luas. Arti luas: mencakup seluruh pokok studi
(disiplin ilmu) dalam pendidikan teologia. Arti sempit:
usaha meneliti iman Kristen dari aspek doktrinnya saja
yang sering disebut sebagai Teologia
Sistematika. Definisi umum: Teologia ialah pengetahuan
yang rasional tentang Allah dan hubungannya dengan
karya/ciptaan-Nya seperti yang dipaparkan oleh Alkitab.
Definisi khusus: Teologia Sistematika ialah bagian dari
divisi Teologia, yang mengatur secara terperinci dan
berurutan tema-tema dari ajaran doktrin dalam Alkitab.
Pengertian Teologia sebagai Ilmu Teologia meskipun tidak
memiliki fakta-fakta yang dapat diukur secara empiris
11
(seperti ilmu-ilmu modern sekarang ini) tetap dapat
disebut sebagai ilmu karena, sesuai dengan salah satu
definisi "ilmu", teologia adalah suatu usaha untuk
memberikan penjelasan tentang Allah, yang diperoleh dari
Alkitab (sebagai penyataan Allah yang tidak berubah),
dengan cara yang sistematis.
Menurut Yakob Tomatala dalam buku Teologi Misi,
“Kata “theology” dapat dijelaskan sebagai ilmu
pengetahuan tentang Allah”.3 Jadi, “theology” itu ialah
ilmu yang berbicara tentang Allah dan karya-Nya di masa
lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Dengan demikian Teologia Kristen memenuhi unsur-
unsur ilmu:
Pertama, Dapat dimengerti oleh pikiran manusia dengan
cara teratur dan rasional. Teologi bukanlah suatu ilmu
yang "mistik" sehingga hanya orang-orang yang dianggap
suci saja yang dapat mengerti teologi.
Kedua, Menuntut adanya penjelasan secara metodologis.
Teologi dijabarkan dalam metode sistematis tertentu.
3 Yakob Tomatala, Teologi Misi, Jakarta: YT LeadershipFoundation, 2003, hlm. 23.
12
Ketiga, Menyajikan kebenaran, bukan sebuah rekayasa
fakta, sehingga dunia teologi Kristen dapat dikorelasikan
dengan sejarah dan juga sastra.
Keempat, Mempunyai nilai yang universal, yang artinya
dikaji semua orang secara umum di segala tempat, waktu
dan keadaan di seluruh dunia.
Kelima, Memiliki objek yang diteliti yaitu Allah dan
Alkitab. Sekalipun obyek yang diteliti tidak dapat
diteiliti seperti anda meneliti sel darah merah yang
ditempatkan pada lempengan kaca kemudian diteiliti di
laboratorium, namun obyek yang diteliti dalam teologi
sangat berhubungan erat dengan kehidupan manusia itu
sendiri. Sumber: http://sabdaabadi.blogspot.com/2012/02/apa-itu-
teologi.html.
Teologi yang dipahami sebagai sebuah wacana atau
kata-kata tentang Tuhan meliputi segala sesuatu yang
berhubungan dengan Tuhan dan dengan demikian memahami
Tuhan sebagai objek yang dapat diteliti. Pemahaman yang
demikian tentu saja tidak alkitabiah. Tuhan dalam
pandangan Kristen bukanlah sebuah objek yang bisa
13
diteliti. Manusia tidak bisa meneliti Tuhan karena
manusia tidak bisa melihat Tuhan. Pemahaman orang Kristen
tentang Tuhan tidak diperoleh dengan meneliti tentang
Tuhan, melainkan melalui pengenalan di dalam setiap
karya-Nya dalam kehidupan. Manusia tidak bisa melihat
Tuhan, tetapi karya, ciptaan dan penyertaan-Nya bisa
dilihat dan dirasakan dalam seluruh aspek kehidupan
manusia. Dengan cara inilah manusia mengenal Tuhan dan
mengembangkan pemahamannya tentang Tuhan. Karena Tuhan
sedang dan terus berkarya dalam saluruh aspek kehidupan
manusia, maka pengenalan manusia tentang Tuhan terus
berkembang. Oleh karena itu maka dalam pandangan Kristen,
teologi itu memiliki pengertian yang dinamis,
kontekstual, dan aplikatif. Dinamis artinya pengertian
teologi itu terus berkembang, kontekstual artinya
pengertian teologi itu cocok dengan situasi dan kondisi
yang melatarbelakanginya, dan aplikatif artinya
pengertian teologi itu dapat diterapkan dalam kehidupan.
Dari uraian singkat di atas, maka dapat ditarik
sebuah kesimpulan bahwa definisi teologi Kristen itu
14
adalah: “Upaya dan cara manusia untuk mengenal Tuhan melalui karya,
ciptaan dan penyertaan-Nya dalam sejarah masa lalu, masa kini dan masa
depan sebagaimana dipaparkan dalam Alkitab yang selalu dilihat dan
dirasakan oleh manusia dalam seluruh aspek kehidupannya”.
2. Pengertian misi
Kata “misi” adalah istilah Indonesia untuk kata
Latin “mission” yang berarti “perutusan”. Kata “mission”
adalah bentuk subtantif dari kata kerja “mittere” (mitto,
missi, missum) yang memiliki beberapa pengertian dasar,
yaitu: pertama, membuang, menembak, membentur; kedua,
mengutus, mengirim; ketiga, membiarkan, membiarkan pergi,
melepaskan pergi; keempat, mengambil/ mengendap,
membiarkan mengalir (darah).4
Di dalam Vulgata, kata “mittere” adalah terjemahan
dari kata Yunani “pempein” dan “apostelein” yang berarti
juga mengutus. Kedua istilah Yunani ini terdapat 206x di
dalam Kitab Suci Perjanjian Baru. “Orang yang diutus”
atau “missionaries” diterjemahkan dari kata Yunani
“apostolos” terdapat 79x di dalam Kitab Suci Perjanjian
4 K. Prent, c.m., dkk., eds., Kamus Latin – Indonesia,Yogyakarta: 1969, hlm. 539-540.
15
Baru, sedangkan tugas yang mereka laksanakan disebut
“mission”, sebagai terjemahan dari kata Yunani “apostelo”
terdapat 4x dalam Kitab Suci Perjanjian Baru”.5
Dalam penggunaan selanjutnya, istilah “misi” dan
“apostolate” yang pada dasarnya mempunyai arti yang sama
mendapatkan modifikasi pengertian seperti dalam istilah
“missionalis apostolatus” (kerasulan missioner) yang
dipakai oleh Paus Pius XII dalam ensiklik misi Fidei
Donum (1957). Kata “apostolate” atau “kerasulan” dipakai
untuk menunjuk kegiatan pastoral umum sedangkan kata
“misi” atau “perutusan” dipakai untuk kegiatan penyebaran
iman.
Istilah “misi” tidak hanya dipakai dalam lingkup
keagamaan, tetapi juga di dunia profane seperti misi
diplomatis, misi politis, misi ilmu pengetahuan, misi
kebudayaan, misi dalam dunia kemiliteran. Semuanya
berarti pelimpahan tugas dan tanggung jawab.
Di dalam gereja, istilah “misi” digunakan baik untuk
menunjuk kegiatan yang lebih luas dan umum, yakni
5 L. Legrand, Unity and Plurality: Mission in the Bible, NewYork: 1990, hlm. 14.
16
menyangkut semua kegiatan gereja6 maupun untuk karya
khusus pewartaan dan penyebaran iman Kristen. Pengertian
yang terakhir ini menyangkut pengutusan para misionaris.
Goerge W. Peters menulis, misi adalah “the total
biblical assignment of the church of Jesus Christ. It is
a comprehensive term including the upward, inward and
outward ministries of the church” menurut penulis ini,
“missions” adalah “a specialized term. By it I mean the
sending forth of authorized persons beyond the borders of
the New Testament Church….”.7
Yakob Tomatala, mengatakan: “Misi adalah karya Allah
yang menghimpun bagi diri-Nya suatu umat yang bersekutu
dengan Dia, melayani Dia dan menyembah Dia dalam hubungan
yang harmonis dan utuh untuk kejayaan Kerajaan Allah.
Menurut penulis ini, misi adalah karya Allah. Allah
berkarya dalam pengutusan-Nya, yang menghimpun umat-Nya
untuk bersekutu, menyembah dan melayani-Nya dalam
hubungan yang harmonis bagi kejayaan kerajaan-Nya.
6 J. Moltmann, Gott Kommt und der Mensch wird Frei, Munchen:1975, hlm. 21 dst.
7 George W. Peters, A Biblica Theology of Missions, Chicago:Moody Press, 1972, hlm. 11.
17
Selanjutnya dikatakan bahwa penginjilan adalah rancangan
dan karya Allah yang menghimpun bagi diri-Nya suatu umat
untuk bersekutu, menyembah serta melayani Dia secara utuh
dan serasi bagi kejayaan Kerajaan Allah”.8
Menurut Dr. Y. Jones Akal misi adalah pengutusan
untuk pelayanan komperhensif. Pelayanan konperhensif
berdiamensi empat yaitu pelayan ke bawah (downward
ministry), pelayanan ke atas (upward ministry), pelayanan
ke dalam (inward ministry), dan pelayanan ke luar
(outward ministry).”9
David J. Bosch merumuskan beragam pengertian
tradisional tentang misi dan mengusahakan suatu synopsis
teologis yang lebih khas sebagai konsep yang telah
dipergunakan secara tradisional. Ia mencatat bahwa kata
ini telah diparafrasekan sebagai: 1) penyebaran iman; 2)
perluasan pemerintahan Allah; 3) pertobatan orang-orang
kafir; 4) pendirian jemaat-jemaat baru”.10
8 Yakob Tomatala, Penginjilan Masa Kini, Jilid 2, Malang:Gandum Mas, 1998, hlm. 27.
9 Yunny Jones Akal, Diktat Strategi Misi, Jakarta: IFTKJaffray, 2005, hlm. 5.
10 D. J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, Jakarta: BPK GunungMulia, 1997, hlm. 1.
18
Menurut penulis, misi adalah pola, cara dan model
kerja yang digunakan oleh Tuhan dalam rangka
menyelamatkan manusia berdosa yang ada di dalam dunia,
sehingga mereka yang diselamatkan oleh Tuhan beroleh
hidup yang kekal. Mereka yang diselamatkan oleh Tuhan
dihimpun dalam suatu persekutuan dengan tujuan untuk
menyembah dan melayani Allah serta menjadi alat anugerah
Allah untuk memberitakan Injil kepada dunia.
3. Pengertian kontekstual
Istilah “Kontekstualisasi” baru ditambahkan pada bidang
misi dan teologi oleh Theological Education Fund (TEF) pada
tahun 1972. Namun, para Misionaris menyadari bahwa ide
“Kontekstualisasi” sudah ada jauh sebelunya yaitu terdapat di
dalam Alkitab.11 Yakob Tomatala mendefinisikan kata
“Kontekstualisasi” sebagai berikut: Kata “Kontekstualisasi”
(Contextualisation) berasal dari kata ‘konteks’ (Context) yang
diangkat dari kata Latin “Contextere” yang berarti menenun
atau menghubungkan bersama (menjadikan satu). Kata benda
11 Rahmiati, Kontekstualisasi sebagai Sebuah Strategi,(http//www.tripoid.members.org).
19
“Contextus” menunjuk kepada apa yang telah ditenun
(tertenun), di mana semuanya telah dihubung-hubungkan
secara keseluruhan menjadi satu.12
Pengertian ini menjelaskan bahwa berbicara
tentang Kontekstualisasi perhatian ditujukan kepada dua atau
lebih komponen yang disatukan atau dengan kata lain
“Kontekstualisasi” berbicata tentang penyatuan beberapa
komponen. Untuk memahami istilah ini perlu memahami juga
dua istilah yang saling berhubungan yaitu TEKS (Arti Teks
dalam KBBI adalah n 1 a naskah yang berupa kata-kata asli
dari pengarang, b kutipan dari kitab suci berupa pangkal
ajaran atau alasan; c bahan tertulis untuk dasar
memberikan ajaran. 2 wacana tertulis)13 dan KONTEKS
(Konteks artinya bagian suatu uraian atau kalimat yang
dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; 2 situasi
yang ada hubungannya dengan suatu kejadian).14 Secara
sederhana konteks adalah suatu kesatuan atau kumpulan
kalimat dimana di dalamnya terdapat teks.15 Untuk12 Yakob Tomatala, Penginjilan Masa Kini Jilid 1, Malang: Gandum
Mas, 1998, hlm. 63.13 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2005, hlm. 1159.14 Ibid. 15 Yakob Tomatala, Penginjilan Masa Kini Jilid 1, Log. Cit.
20
pengertian ini, setiap teks dapat dimengerti secara tepat
dalam hubungan dengan konteksnya. Di samping itu,
penggunaan istilah konteks juga menjelaskan tentang sejarah
suatu situasi sehingga untuk pemahaman yang jelas,
penggunaan istilah konteks haruslah ditempatkan pada arti
yang tepat untuk menjelaskan maksud secara tepat pula.16
Untuk menghubungkan istilah kontekstualisasi dengan
pemberitaan Injil, Yakob Tomatala menggunakan sebuah
istilah yang lain yaitu kontekstualitas (Contextuality) yang
artinya menjelaskan “suatu penafsiran yang bersifat
kritis” atas apa yang memberi arti kepada konteks yang
dilihat dari sudut rancangan Misi Allah yang utuh.17
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
“Kontekstualisasi” adalah konsep usaha memahami konteks
kehidupan manusia secara luas dalam dimensi budaya,
agama, sosial, ekonomi, dan politik dalam hubungannya
dengan situasi menyeluruh dengan tujuan agar pemberitaan
Injil dapat dilakukan dengan baik dan dipahami secara
tepat oleh setiap orang yang hidup dalam konteks tersebut.
16 Ibid. 17 Ibid.
21
Sebuah pemahaman yang sederhana mengenai “Kontekstualisasi”
yang dikemukakan oleh Th. Kobong adalah sebagai berikut:
“Kalau kita mendengarkan injil Yesus Kristus yang
diberitakan kepada kita, lalu kita berusaha mengertinya
dengan cara kita merasa, berpikir dan bertindak yang
dibentuk dan ditentukan oleh adat istiadat dan kebudayaan
kita, lalu hasil penghayatan itu kemudian kita tuangkan
dalam bentuk-bentuk yang dapat kita pahami dan hayati,
maka kita sudah terlibat dalam usaha kontekstualisasi.18
Apa yang dinyatakan oleh Kobong pada kutipan di atas
memberi penekanan pada usaha penghayatan Injil yang
bersentuhan dengan kondisi penerima Injil tetapi juga
dipengaruhi oleh siapa yang memberitakannya. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa sadar atau tidak seseorang
dalam menghayati Injil dapat dikategorikan dalam
usaha kontekstualisasi. Teologi hanya dapat disebut sebagai
teologi apabila ia benar-benar kontekstual. Alasannya
adalah karena teologi tidak lain dan tidak bukan adalah
upaya untuk mempertemukan secara dialektik, kreatif dan
18 Th. Kobong, Iman dan Kebudayaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia,hlm. 24.
22
esensial antara “teks dengan konteks” antara pernyataan
injil yang universal dengan kenyataan hidup yang
kontekstual.
Menurut Budiman R. L.: “Kontekstualisasi merupakan
satu cara menyampaikan dan meneladani Injil supaya kita
dapat memenangkan sebanyak mungkin orang. Kita
menyesuaikan diri dengan adat setempat supaya Injil
menjadi relevan. Kita juga hidup di bawah hukum Kristus
supaya Injil yang disampaikan itu tetap murni”.19
Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat diketahui bahwa
kontekstualisasi memiliki tujuan operasional. Tujuan
operasional dimaksud ialah:
Pertama, pemberitaan Injil menjadi lebih efektif,
efisien dan produktif. Artinya, penginjilan semakin lebih
berhasil-guna dan berdaya-guna.
Kedua, pemberitaan Injil semakin lebih cocok dan
lebih relevan. Artinya, pemberitaan Injil semakin membumi
atau mendarat dengan benar di dalam konteks sebagai
sasaran, objek dan penerima Injil. Konteks dalam hal ini
19 Budiman R. L., Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi,hlm. 9.
23
budaya menjadi semakin terbuka terhadap pemberitaan
Injil.
Ketiga, pemberitaan Injil tetap dalam kemurnian
sesuai dengan firman Allah dan hukum Kristus. Artinya,
firman Allah, hukum Kristus merupakan standar utama.
Firman Allah tetap menjadi otoritas tertinggi di dalam
melaksanakan kontekstualisasi. Segala sesuatu harus diuji
dengan firman Allah, agar Injil yang diberitakan tetap
murni. Injil itu bersumber dari Allah. Tetapi di sisi
lain Injil itu “asing” bagi segala suku. Kebudayaan
biasanya bercampur dengan agama lokal. Tidak ada suatu
kebudayaan yang murni. Semua budaya sudah berdosa dan
terkontaminasi oleh dosa. Karena itu, setiap kebudayaan
harus dikoreksi, dibersihkan dan diperbaiki melalui
firman Allah. Hanya firman Allah yang menjadi standard
atau tolok ukur untuk menilai segala sesuatu. Oleh sebab
itu, sekalipun kontekstualisasi sebagai upaya untuk
menyesuaikan diri dengan kebudayaan, namun acuannya ialah
pada firman Allah. Meskipun kontekstualisasi sebagai cara
untuk fleksibel terhadap kebudayaan, namun hal itu tetap
24
berada di bawah hukum Kristus. Kontekstualisasi tidak
bisa terlepas dari firman Allah dan hukum Kristus. Lebih
dari itu kontekstualisasi harus tunduk kepada otoritas
atau kedaulatan hukum Allah dan hukum Kristus.
B. Landasan Alkitabiah tentang Teologi Misi yang
Kontekstual
1. Perjanjian Lama
Kontekstualisasi dalam Perjanjian Lama merupakan
dasar penting bagi kontekstualisasi Alkitab secara
menyeluruh. Untuk memahami kontekstualisasi dalam Alkitab
perlu disadari bahwa dasar utama kontekstualisasi adalah
dalam Perjanjian Lama. Perjanjian Baru hanya merupakan
kelanjutan saja dari sebuah kontekstualisasi yang
alkitabiah. Untuk pemahaman yang lebih lengkap tentang
kontekstualisasi dalam Perjanjian Lama, perlu untuk
melihatnya dalam 3 pokok penting:
a. Dasar Kontekstualisasi adalah Pernyataan Diri
Allah dalam Penciptaan
Kejadian 1 dimulai dengan Allah menyatakan diri-Nya
sebagai Pencipta. Dapat dilihat bahwa Allah mengambil
25
inisiatif pertama dalam penyataan diri-Nya kepada dunia.
Di sini terdapat tekanan utama yaitu bahwa Allah sebagai
penggerak utama kontekstualisasi.20 Sehingga dapat
dikatakan bahwa teologi kontekstualisasi yang benar
adalah dimulai dari diri Allah sendiri. Selanjutnya,
Allah sebagai Pencipta telah menciptakan manusia dengan
kreatifitas untuk berbudaya yang dalam kerangka budayanya
manusia balik memandang kepada Allah. Di sini terdapat
suatu dialektik unik yang menghubungkan Allah sebagai
Pencipta di satu pihak dan manusia pada pihak yang lain,
yang menerima pernyataan diri Allah melalui filter
budaya.21 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam
“kontekstualisasi”, budaya berfungsi sebagai sentral
perjumpaan (komunikasi) antara Allah dan manusia. Allah
menggunakan kemampuan yang diberikan kepada manusia
(budaya) untuk menyatakan maksud-Nya dan manusia dapat
memahami serta berinteraksi dengan Allah melalui sesuatu
yang ada pada dirinya. Untuk pemahaman yang lebih jelas
lagi bisa melihat melalui beberapa fakta dalam Alkitab;
20 Yakob Tomatala, Teologi Kontekstualisasi, Malang: Gandum Mas,1993, hlm. 12.
21 Ibid., hlm. 13.
26
Kel. 20:1: “Lalu Allah mengucapkan segala firman ini”: …;
Yes. 45:3-6: “Aku akan memberikan kepadamu harta benda
yang terpendam dan harta kekayaan yang tersembunyi,
supaya engkau tahu, bahwa Akulah TUHAN, Allah Israel,
yang memanggil engkau dengan namamu. Oleh karena hamba-Ku
Yakub dan Israel, pilihan-Ku, maka Aku memanggil engkau
dengan namamu, menggelari engkau, sekalipun engkau tidak
mengenal Aku. Akulah TUHAN dan tidak ada yang lain;
kecuali Aku tidak ada Allah. Aku telah mempersenjatai
engkau, sekalipun engkau tidak mengenal Aku, supaya orang
tahu dari terbitnya matahari sampai terbenamnya, bahwa
tidak ada yang lain di luar Aku. Akulah TUHAN dan tidak
ada yang lain. Firman ini dapat dimengerti dan terus
menjadi penghayatan sepanjang sejarah bangsa Israel. Hal
ini dapat disimpulkan bahwa proses kontekstualisasi itu
terjadi melalui inkarnasi Firman dalam budaya dan
interaksi manusia dalam budaya terhadap Firman.
b. Perwujudan Kontekstualisasi adalah Mandat Budaya
27
Mandat budaya terdapat dalam Kejadian 1:28-30. Dalam
mandat ini terdapat wewenang yang manusia terima dari
Allah untuk berbudaya, memenuhi dan menguasai dunia.
Untuk menjalankan mandat ini manusia mempergunakan segala
kemampuannya. Sekalipun demikian sebagai pemberi mandat,
Allah memiliki kewenangan mutlak untuk mengontrol
sehingga di luar kontrol ini tidak akan ada berteologi
dalam konteks yang absah alktabiah. Yakob Tomatala
memberi penegasan bahwa, “Berteologi dalam konteks hanya
terjadi bila ada hubungan intim Allah dan manusia (dalam
pengertian sekarang manusia yang telah
ditebus)”.22 Persoalan serius yang dialami oleh manusia
adalah kebudayaan saat ini dihasilkan oleh manusia yang
telah berdosa, sehingga ada unsur-unsur budaya yang telah
berkontaminasi dengan dosa. Karena itu untuk membangun
teologi yang benar-benar alkitabiah harus didasarkan pada
pewahyuan Allah dalam firman-Nya.
Yakob Tomatala memberi gambaran yang tegas mengenai
hal ini dengan menyatakkan bahwa: “Kreativitas manusia
tetap ada, walaupun sudah berdosa. Pada sisi ini jelas22 Ibid., hlm. 15.
28
terlihat bahwa kreativitas manusia itu bertanggung jawab
atas pengembangan budaya pada umumnya. Sedangkan secara
moral, kreatif dan hasil kreasi dapat melayani tujuan
dosa (bagi mereka yang belum menerima pernyataan diri
Allah) dan melayani tujuan kebenaran (bagi mereka yang di
dalam Tuhan).23 Hal ini membuktikan bahwa tidak semua
unsur-unsur budaya dipakai untuk menyatakan maksud Allah.
Ada beberapa unsur-unsur budaya yang perlu
ditransformasikan oleh Injil (bandingkan dengan
pernyataan David J. Hesselgrave pada penjelasan
indigenesasi). Dapat dikatakan bahwa, sekalipun perwujudan
kontekstualisasi adalah melalui “Mandat Budaya” tetapi
perlu diingat bahwa perwujudan kontekstualisasi melalui
budaya sering kali hanya berlaku secara temporal.
Penekanannya adalah kebenaran Firman Tuhan tetap relevan
dan berlaku secara universal (mutlak untuk semua pada
situasi dan kondisi apapun), tetapi ekspresi kontekstual
hanya dapat dimengerti oleh mereka yang hidup dalam
konteks dimaksud.
23 Ibid.
29
c. Dinamika Kontekstualisasi adalah Perjanjian Berkat
Allah
Setelah Allah menciptakan segala sesuatu, Allah
mengadakan sebuah perjanjian. Isi dari perjanjian itu
adalah perjanjian tentang berkat Allah – Kejadian 1:28;
2:3. Untuk menikmati berkat Allah sesuai dengan isi
perjanjian itu, ada syarat yang harus dipenuhi oleh
manusia yaitu TAAT secara mutlak kepada ketetapan Allah.
Jadi, untuk menikmati berkat Allah sesuai isi perjanjian
Allah dan manusia, manusia dituntut untuk taat. Artinya,
jika manusia TAAT kepada Allah, ia akan diberkati, tetapi
sebaliknya jika tidak TAAT, ia akan dihukum. Fakta
membuktikan bahwa manusia tidak dapat memenuhi syarat
dalam perjanjian itu. Namun demikian, semua ciptaan Allah
melukiskan tentang kemuliaan-Nya – Mazmur 8:2-10. Yakob
Tomatala menjelaskannya bahwa, “Segala ciptaan Allah
dalam setiap konteks sejarah-budaya suatu masyarakat
dapat merupakan jalan masuk bagi proses kontekstualisasi
karena ‘berkat Allah’ kepada ciptaannya secara umum tetap
berlaku – Matius 5:45”.24 Allah tidak pernah membatalkan24 Ibid., hlm. 16.
30
perjanjian-Nya dengan manusia tetapi ketidaktaatan
manusia mengaburkan perjanjian tersebut. Di sini Allah
mengambil inisiatif untuk mengadakan sebuah perjanjian
yang baru (new covenant) yang khusus bagi jalan masuk
kontekstualisasi yang benar. Kejadian 3:15, sebagai
PROTOEVANGELIUM (janji keselamatan Allah yang pertama),
memberikan jaminan bahwa Allah sendiri secara khusus yang
menyiapkan pernyataan diri-Nya yang baru, yang olehnya
manusia dapat memahami Allah secara baru di tengah-tengah
dominasi dosa.25 Inilah yang disebutkan dengan dinamika
kontekstualisasi yang terlihat dari rencana progresifitas
Allah dalam memelihara karya-Nya di tengah-tengah
pergumulan yang dihadapi manusia berdosa yakni dengan
menggenapi setiap rencana Allah yang sejak semula telah
diberitakan kepada manusia di Taman Eden, (band.
dengan Protoevangelium). Semuanya ini jelas merujuk kepada
pelaksanaan kontekstualisasi yang seharusnya terus
berkelanjutan untuk mewujudkan misi Kristus dalam
melintasi segala jaman (dari waktu ke waktu).
2. Perjanjian Baru25 Ibid.
31
Perjanjian Baru merupakan kelanjutan dari
kontekstualisasi dalam Perjanjian Lama. Ada 2 pokok utama
yang mewakili kontekstualisasi secara umum dalam
Perjanjian Baru yaitu:
a. Inkarnasi Yesus Kristus dalam Konteks Budaya
Yahudi
Inkarnasi Yesus Kristus dalam konteks budaya Yahudi
merupakan puncak perwujudan kontekstualisasi Allah ke
dalam budaya manusia. Dalam inkarnasi-Nya, manusia dapat
melihat Allah – Yohanes 1:14,18. Topik ini akan
dijelaskan lebih mendetail melalui 2 bagian yaitu:
1) Hakekat inkarnasi
Inkarnasi artinya menjadi daging atau menjadi
manusia – Yohanes 1:14. Logos yang menjadi daging
implikasinya mencakup “lahir ke dunia sebagai manusia”,
“hidup dalam sejarah manusia”, “merasakan apa yang
dirasakan manusia” dan “mengalami keadaan manusia”
menjadi bagian dari konteks budaya manusia. Hal ini
berarti berpadu dengan hakekat manusia secara utuh. Pun
demikian, inkarnasi Yesus dalam budaya manusia bertujuan
32
untuk menyatakan Allah kepada dunia – Yohanes 1;18.
Dengan demikian inkarnasi Yesus memiliki
tujuan misional yang di dalamnya membuktikan bahwa Allah
Yang Mahasempurna menyatakan kasih-Nya yang tak
terbayangkan. Di sini terlihat bahwa Kristus, dalam
inkarnasi-Nya mengambil seluruh aspek budaya manusia dan
menggunakannya sebagai sarana misi untuk menyatakan
maksud Allah. Tuhan Yesus juga menggunakan metode
pendekatan yang kontekstual dalam menjawab kebutuhan
manusia di sekitar-Nya (perhatikan seluruh perumpamaan
Tuhan Yesus). Tuhan Yesus menggunakan terminologi
pertanian (penabur, bibit, penuai, ladang, dsb.) untuk
menjelaskan kebenaran Allah kepada para petani. Ketika Ia
berhadapan dengan nelayan, Ia menggunakan bahasa yang
dimengerti oleh para nelayan seperti; pukat/jala, ikan,
perahu, dsb. dari semua yang Tuhan Yesus lakukan dalam
dunia ini menandabuktikan bahwa inkarnasi mengacu kepada
pernyataan diri Allah yang dikenal dalam pola budaya dan
terlihat melalui interaksi dan refleksi peserta budaya
yang terkait kepada inkarnasi itu sendiri.26 26 Ibid., hlm. 24.
33
2) Inkarnasi dan transformasi
Inkarnasi Tuhan Yesus dalam konteks budaya manusia
hanyalah sebatas mempergunakan budaya sebagai instrumen dan
kemudian kekuatan/kuasa/power/otority, Ia
mentrasformasikan budaya di mana Ia berada. Ajaran-ajaran
Tuhan Yesus mengandung dinamika transformasi yang pasti
(Khotbah di bukit, Luk. 6:20-38; 11:2-4; 12:22-31; dll.).
Ajaran Tuhan Yesus juga memberi transformasi kepada semua
lapisan masyarakat, mis.: (cendekiawan Nikodemus –
Yohanes 3), wanita tunasusila dari Samaria – Yohanes 4,
kuasa salib memberi transformasi hidup kepada seorang
penjahat ‘kelas kakap’ – Lukas 23:34, 39-43). Jadi,
inkarnasi bertujuan untuk mentrasformasikan konteks
budaya manusia yang rusak, dan transformasi adalah isi
inkarnasi. Dengan kata lain, tidak ada inkarnasi Kristus
tanpa transformasi yang secara dinamis membarui manusia
dalam setiap konteks budaya kepada Allah – bandingkan 2
Kor. 5:17.27 Sekalipun Injil menggunakan budaya sebagai
wahana/sarana/instrument, tetapi tanpa transformasi
27 Ibid., hlm. 25.
34
budaya maka hakekat Injil tidak dapat terserap oleh
mereka yang berkecimpung dalam budaya tersebut.
Inkarnasi Yesus Kristus berisi transformasi dan
kontekstualisasi yang benar ditandai oleh transformasi
Kristus dalam budaya. Tanpa transformasi akan muncul
sinkritisme dan sinkristisme tidak dapat membarui hidup
orang yang di dalam konteks budaya tersebut. Hal ini
ditegaskan oleh Yakob Tomatala bahwa, “Kontekstualisasi
yang benar terjadi dalam dua arah, ‘inkarnasi’ dan
‘refleksi’, yang dihubungkan dengan transformasi Kristus,
dan ini akan membawa dampak perubahan seimbang”.28
b. Kontekstualisasi Injil oleh Rasul Paulus
Kontekstualisasi Injil oleh Rasul Paulus dinyatakan
dalam ajaran kenotis (pengosongan diri) Kristus, sikap
hidup, serta pendekatan kontekstualnya kepada setiap
masyarakat yang didatanginya. Rasul Paulus mengemukakan
tentang kenotis Kristus dalam Filipi 2:5-11 yakni Yesus
Krsitus mengambil rupa manusia, menjadi hamba dan solider
utuh dengan manusia untuk menanggung dosa-dosa manusia.
Dasar penting untuk proses terjadinya kontekstualisasi28 Ibid.
35
melalui pengosongan diri. Untuk masuk dalam budaya orang
lain seseorang harus meninggalkan jati dirinya untuk
manunggal dengan orang lain. Perlu disadari bahwa
identitas diri yang menjadi latar belakang tidak dapat
disangkal. Dasar kenotis Kristus menjadi pijakkan utama
Rasul Paulus dalam determinasi (ketetapan hati dalam
menentukan untuk memenangkan sebanyak mungkin orang bagi
Kristus. Rasul Paulus memastikan dirinya untuk tidak
kompromi tetapi memiliki tujuan yang jelas terlihat dalam
sikap seperti ini yang kontekstual) kontekstual yang
dituangkan dalam 1 Korintus 9:16-27. Dari sisi ini dapat
ditemukan 2 makna yang berhubungan yaitu:
1) Kontekstual Etis
Sikap etis menyangkut bagaimana seorang pelayan
antar budaya dapat menempatkan diri untuk menghargai
budaya orang lain, sehingga tercipta refleksi teologi
yang positif. Sikap tersebut antara lain:
a) Tidak menghakimi orang dengan semena-mena – 1
Korintus 4:1-5.
b) Rendah hati – 1 Korintus 4:6-21.
36
c) Mengembangkan sikap untuk tidak diperhamba
oleh apapun juga – 1 Korintus 6:12b.
d) Mengembangkan sikap peka terhadap orang lain
– 1 Korintus 8:1-13.
e) Mengembangkan pergaulan yang baik sebagai
orang yang mengenal Allah – 1 Korintus 15:33-
34.
f) Mengembangkan hubungan kerja jemaat antar
gereja lokal dan antar etnis – 1 Korintus
16:1-9.
2) Kontekstual Prakmatis
Sikap kontekstual prakmatis menyangkut sikap terhadap
diri sendiri yang membawa kegunaan bagi pengembangan
Injil dalam konteks. Sikap ini dikembangkan oleh Rasul
Paulus dengan cara:
a) Melihat tugas pemberitaan Injil sebagai tugas
yang wajib tanpa ditawar-tawar – 1 Korintus
9:16.
37
b) Menetapkan sikap inkarnasi-kenotis terhadap
semua kelompok orang, dengan menjadi seperti
orang dalam, pada setiap konteks – 1 Korintus
9:19-24. Sikap inkarnasi dimulai dengan sikap
hamba untuk menjadi segala-galanya bagi semua
orang. Menjadi hamba untuk melayani adalah
dasar inkarnasi.
c) Mengembangkan disiplin faedah ganda – bagi
diri dan orang lain – 1 Korintus 9:24-27.29
Dengan memperhatikan setiap uraian di atas maka
dapat dikatakan bahwa kontekstualisasi yang berdampak
adalah menempatkan Kristus yang terutama dalam setiap
pengajaran yang tidak bisa dikompromikan tetapi dalam
praksisnya, fleksibelitas terhadap budaya perlu
diperhatikan. Prinsip-prinsip ajaran Alkitab tidak dapat
dikompromikan tetapi dalam kontekstualisasi fleksibilitas
pengajaran perlu diperhatikan. Ini dilakukan dengan
sebuah tujuan yang jelas bukan sekedar fleksibel tanpa
arah.
C. Dinamika Misi yang Kontekstual29 Op.cit., hlm. 28.
38
Yakob Tomtala berkaitan dengan dinamika misi
menegaskan bahwa: “Dinamika (kekuatan/ kuasa/otoritas)
misi Allah adalah KUASA-Nya yang dahsyat dan agung, yang
ada pada diri-Nya yang berdaulat”.30 Dengan demikian,
sumber dinamika misi yang kontekstual ialah Allah
Tritunggal.
1. Allah Bapa: sumber misi
Dari perspektif misi, Allah Bapa adalah sumber utama
misi. Misi menjadi isi hati Allah. Hal itu dikenal dengan
istilah “Missio Dei” (Pengutusan Allah). Ini berarti
Allah sebagai pengambil inisiatif untuk mengutus Yesus
Kristus ke dalam dunia ini untuk melaksanakan kehendak-
Nya, karena Allah menghendaki supaya manusia yang berdosa
di selamatkan dan memiliki hidup yang kekal yang
disediakan Allah bagi mereka yang percaya kepada-Nya – 2
Petrus 3:9; Yohanes 3:16; Kejadian 3:15. Artinya,
Allahlah yang menjadi subjek, sumber, inisiator,
dinamisator dan pelaksana serta penggenap misi-Nya.
Dialah Pengutus Agung. Dialah juga alfa (yang awal) dan
30 Yakob Tomatala, Teologi Misi, Jakarta: YT LeadershipFoundation, 2003, hlm. 54.
39
omega (yang akhir) dari misi-Nya. Dengan demikian, misi
dikandung oleh Allah, lahir oleh Allah, dipelihara oleh
Allah, dilaksanakan oleh Allah dan digenapi oleh Allah.
Sasaran misi Allah ialah manusia berdosa. Motif misi
Allah adalah kasih karena Allah itu kasih – 1 Yohanes
4:8, 16. Bukti kasih Allah ialah dengan mengutus Anak-Nya
yang Tunggal, yaitu Yesus Kristus sebagai Penebus dan
Penyelamat Tunggal serta Pembebas Sempurna bagi manusia
berdosa – Yohanes 3:16. Secara singkat ada sembilan
langkah bagaimana Allah Bapa berperan untuk menyelamatkan
manusia yang berdosa.
“1) Allah Bapa ada sebelum segala sesuatu ada.
Langit dan bumi termasuk manusia diciptakan untuk
menghormati Allah. 2) Allah Bapa menciptakan segala
sesuatu dalam keadaan amat baik adanya. Sebagai pencipta,
Dia tidak ingin ada orang yang hidup di luar hubungan
dengan Dia. 3) Allah Bapa menyediakan kerajaan surga bagi
manusia sejak dunia dijadikan. Sebelum manusia lahir,
Allah sudah merancangkan damai sejahtera bagi umat
manusia. 4) Allah Bapa langsung mencari hubungan dengan
40
manusia yang baru jatuh dalam dosa (Kejadian 3). 5) Allah
Bapa langsung menolong manusia yang telah berdosa.
Sesudah Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, Tuhan mencari
mereka dan memberi pakaian kepada mereka. 6) Allah Bapa
langsung menjanjikan keselamatan kepada manusia yang
berdosa (Kejadian 3:15). 7) Allah Bapa memilih suatu
bangsa, supaya mereka menjadi saluran keselamatan bagi
manusia. Allah memanggil Abraham dan bangsa Israel untuk
menjadi berkat bagi semua bangsa di seluruh dunia
(Kejadian 12:1-3). 8) Allah Bapa yang adil dan suci
menghukum manusia dengan jujur. Mulai dari Adam yang
harus diusir dari Firdaus, manusia tidak bisa lagi
berhubungan langsung dengan Tuhan. 9) Allah Bapa mengutus
Anak-Nya yang Tunggal sebagai Juru Selamat manusia.
(Yohanes 3:19) Ini merupakan pengorbanan yang terbesar
Allah Bapa bagi manusia”.31
Kedua, Missio Christie (Pengutusan Kristus) ini
berarti Yesus Kristus sebagai pengambil inisiatif
untuk mengutus murid-murid-Nya agar menjadikan orang
31 ----. Peran Allah Bapa Dalam Misi, Sidoarjo: Terang LintasBudaya, 2006, hlm. 6.
41
lain murid-Nya. (Matius 28 : 18 – 20; Yohanes 20 :
21 – 23).
Ketiga, Missio Ecclesiae (Pengutusan Gereja) ini
berarti gereja sebagai pengembil inisitif untuk
mengutusatau mengirim para utusan Injil yang lebih
dikenal dengan Penginjil untuk memberitakan Injil
Yesus Kristus. (Kisah Para Rasul . 13 : 1 – 3).
2. Yesus Kristus: teladan misi
“Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam
dunia, demikian pula Aku mengutus mereka ke dalam dunia”
– Yohanes 17:18. David Livingstone dalam memberikan
perspektifnya tentang stagmen Yesus dalam ayat di atas
dan dikutip oleh Yakob Tomatala, mengatakan: “Allah hanya
memiliki seorang Putra dan Ia menjadikan Putra-Nya itu
seorang Misionari”.32 Tentang pandangan Livingstone
tersebut, Yakob Tomatala member argumentasi demikian:
“Dari pernyataan ini, tersirat kebenaran bahwa “Allah
32 Yakob Tomatala, Teologi Misi, Jakarta: YT LeadershipFoundation, 2003, hlm. 15.
42
hanya memiliki satu rencana untuk membawa shalom bagi
manusia serta segenap ciptaan-Nya”. Kehadiran TUHAN Yesus
Kristus di bumi adalah bukti kesetiaan Allah memenuhi
janji-Nya (Kejadian 3:15; Banding: I Timotius 2:5;
Galatia 4:4; I Yohanes 2:1-2)”.33
Menganalisa dan mendalami pernyataan Tuhan Yesus
dalam Injil Yohane 17:18, di atas menurut penulis, secara
tersurat, Tuhan Yesus Kristus melihat diri-Nya sebagai
seorang Pribadi yang menjadi pelaksana misi. Kepada-Nya
diberi otoritas untuk melaksanakan misi yang dimandatkan
kepada-Nya oleh Allah Bapa. Yakob Tomatala juga member
komentar demikian: “Melihat dari sudut lain, pernyataan
TUHAN Yesus juga menegaskan Ia sendiri adalah Misionari
yang diutus oleh Allah Bapa dengan tugas missioner, yaitu
membawa shalom kepada manusia berdosa dan segenap
ciptaan-Nya (Banding: Yohanes 14:6, 27; 8:29). Kebenaran
lain yang tersirat dalam pernyataan TUHAN Yesus di atas
ialah, bahwa Ia menunjuk kepada diri-Nya sebagai
Pengutus, dan para murid-Nya (Umat-Nya – Banding Matius
1:21; I Petrus 2:9-10) adalah misionari-misionari-Nya33 Ibid.
43
yang terutus ke dalam dunia dengan tugas shalom yang sama
dari Allah (Banding: Yohanes 20:21)”.34 Jadi, dari apa
yang dipaparkan tersebut, dapat disimpulkan bahwa:
pertama, Tuhan Yesus Kristus adalah Seorang misionari
yang diutus oleh Allah Bapa; kedua, Tuhan Yesus Kristus
adalah Misionari sempurna; ketiga, Tuhan Yesus Kristus
adalah Pelaksana Misi yang utuh, holistik dan sempurna;
keempat, Tuhan Yesus Kristus adalah Seorang Misionari
dengan tugas pokok yaitu membawa shalom bagi manusia
berdosa dan seluruh ciptaan-Nya; keempat, Tuhan Yesus
Kristus adalah Teladan Sempurna dalam menjalankan misi
Allah Bapa.
3. Roh Kudus: kuasa misi
Jika kita memikirkan misi, sering kita mengaitkan
misi dengan kasih Allah yang begitu besar, sehingga dia
mengutus Putra-Nya untuk menyelamatkan dunia ini. Hal ini
memang benar, tetapi kita sering kurang memerhatikan
karya Roh Kudus dalam misi sedunia.
Roh Kudus adalah Penggerak Misi
34 Ibid.
44
Dalam Kisah Para Rasul 1:8 dikatakan: "Tetapi kamu
akan memerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu,
dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di
seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." Roh
Kudus dijanjikan Tuhan Yesus sebelum naik ke surga supaya
murid-murid-Nya menjadi saksi-Nya.
Tanpa digerakkan dan dipimpin oleh Roh Kudus, murid-
murid-Nya tidak bisa menyaksikan kasih dan kemuliaan
Allah di seluruh dunia. Roh Kudus menentukan strategi dan
cepatnya pemberitaan Injil. Roh Kudus menggerakkan
manusia untuk menunggu hingga saat yang paling cocok
(kairos dalam PB) dan Ia juga memimpin murid-murid-Nya
untuk pergi dan memberitakan Injil. Kapan menunggu dan
kapan pergi tidak ada di tangan manusia. Roh Kudus akan
mengatur. Itu sebabnya para murid tidak langsung disuruh
pergi sesudah Tuhan Yesus naik ke surga, melainkan
diminta menunggu sampai Roh Kudus turun dan memimpin
mereka.
Roh Kudus adalah Pelaksana Misi
45
Setiap orang Kristen yang sudah menerima Roh Kudus
dan dipenuhi oleh-Nya, tidak mungkin tidak berbicara
tentang Injil. Roh Kudus akan membuka mata rohani dunia
dan orang yang belum percaya agar mereka mengerti dan
diinsafkan akan dosa mereka – Kisah Para Rasul 2:4-11,
41.
Selain itu, Roh Kudus selalu memperlengkapi pelaku
misi dengan apa yang dibutuhkan pada waktu berhadapan
dengan kenyataan kesulitan di lapangan. “... tetapi
mereka tidak sanggup melawan hikmatnya dan roh yang
mendorong dia (Stefanus) berbicara” – Kisah Para Rasul
6:10. Seperti Roh Kudus mengurapi Tuhan Yesus, Dia juga
memampukan murid-murid-Nya untuk setiap jenis pelayanan
misi, seperti diungkapkan dalam Lukas 4:18: “Roh Tuhan
ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk
menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia
telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada
orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang
buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk
memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang”.
46
Pelayanan misi yang holistik mencakup semua aspek
kehidupan umat manusia. Pemulihan dan transformasi bukan
hanya di bidang rohani, tetapi juga mencakup kehidupan
jasmani (sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain). Yesus
menunjukkan itu dalam hidup pelayanan-Nya. Roh Allah
mengurapi-Nya, menyatakan jenis pelayanan apa yang
dilakukan terhadap bagian masyarakat yang memiliki
kebutuhan berbeda. Itu berarti Injil adalah jawaban bagi
kehidupan manusia, bukan hanya di bidang agama, melainkan
dalam semua aspek kehidupan manusia. Pelayanan yang
sejati bukan hanya berbicara tentang Tuhan Yesus dan
memberikan kesaksian, melainkan berbuat dan hidup seperti
Dia.
Roh Kudus adalah Pengutus Misionaris
Roh Kudus juga mengetahui orang Kristen yang mana
yang cocok untuk diutus “keluar” dari zona kenyamanan
mereka kepada bangsa yang lain, apakah itu ke dalam atau
ke luar negeri. Seperti Dia dulu mengutus Paulus dan
Barnabas, Roh Kudus masih mengutus para misionaris masa
kini. Paulus dan Barnabas adalah orang-orang terbaik,
47
pemimpin-pemimpin gereja Antiokhia yang direlakan,
diutus, dan dipersembahkan bagi pelayanan di luar tembok
gereja untuk menjadi berkat bagi bangsa-bangsa – Kisah
Para Rasul 13:2-3. Waktu doa puasa, gereja Antiokhia
bersedia mendengarkan dan menaati suara Roh Kudus untuk
mengutus kedua sosok gereja mereka. Mereka tidak merasa
dirugikan kalau harus mengizinkan Paulus dan Barnabas
melakukan misi Tuhan, melainkan mereka terlibat secara
aktif sebagai pengutus kedua hamba itu. Antiokhia,
sebagai gereja misioner, menjadi teladan dalam sejarah
misi untuk tidak mempertahankan tenaga dan pemimpin
mereka yang baik, melainkan rela mengutus mereka dan taat
kepada Roh Kudus. Gereja masa kini sering tidak seperti
gereja Antiokhia. Mereka sering banyak perhitungan dan
merasa dirugikan jika taat kepada suara Tuhan. Bagaimana
dengan kita? Apakah kita bersedia mengutus misionaris dan
mendukung mereka lewat doa, dana, dukungan moral, dan
komunikasi? Taat kepada Tuhan berarti tidak dirugikan,
melainkan diberi kesempatan untuk mengambil bagian dalam
48
kemenangan Tuhan dan memberi sukacita kepada gereja
sendiri.35
BAB III
CARA PENERAPAN
MISI ALKITABIAH YANG KONTEKSTUAL
Kontekstualisasi tidak terbatas hanya kepada tataran
konsep atau teori semata. Kontekstualisasi yang benar dan
Alkitabiah ialah kontekstualisasi yang dibangun di atas
konsep dan teori yang benar. Tetapi juga harus aplikatif
atau dapat diterapkan atau dapat menjawa kebutuhan
konteks yang sangat kompleks dan beragam.
Petrus Octavianus (Octavianus 1985: 109-110)
berkaitan dengan kontekstualisasi yang dikutip oleh
Budiman R. L., dalam buku Pelayanan Lintas Budaya dan
Kontekstualisasi, mengatakan: “Banyak gereja di Asia
mengikuti suatu pola yang sebenarnya merupakan pola Barat
… orang-orang Kristen Indonesia telah begitu terbiasa
dengan pola-pola kebaktian yang diimpornya … dalam
keadaan demikian, pola tata kebaktian itu menjadi asing
35 -----., Peranan Roh Kudus Dalam Misi, Malang: Terang Lintas Budaya, 2007.
49
bagi masyarakat sekitarnya dan hal itu bisa menghambat
perluasan kegerakan Injil. Dengan demikian, gereja-gereja
di Asia harus berusaha menemukan suatu pola tata
kebaktian (soma) yang memungkinkan pemberitaan Injil
(kerygma) dapat menerobos masyarakat seluruhnya”.36 Di
sini Petrus Octavianus memotivasi gereja-gereja di Asia
agar jangan hanya mengadopsi model tata ibadah yang
dilakukan oleh misionaris-misionaris dari Eropa atau
Barat, tetapi juga berupaya untuk menggali model tata
ibadah yang kontekstual atau yang cocok dengan budaya
Asia. Artinya di Asia pun ada cara yang tepat dalam
menatalayani ibadah bagi orang Asia sendiri yang pasti
relevan dengan konteks hidup dan budaya manusia Asia.
Oleh karena itu, pemimpin gereja atau para teolog atau
para misionari yang melayani di Asia harus berupaya keras
menemukan cara akurat dalam upaya pemberitaan Injil bagi
orang Asia, supaya Injil itu tidak menjadi asing atau
tidak diterima atau tidak dikenal oleh orang Asia atau
menjadi kabur upaya kerygma bagi orang Asia.
36 Budiman R. L., Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi,hlm. 41.
50
Yakob Tomatala dalam buku Teologi Kontekstualisasi
(Suatu Pengantar), mengatakan: “Proses kontekstualisasi
adalah usaha integrative yang memadukan segala upaya
pemahaman kognitif tentang pandangan Alkitab terhadap
kontekstualisasi; pemahaman terhadap budaya dan manusia
dalam konteks budaya tersebut serta usaha pendekatan
Injil dalam mekanisme budaya pada setiap konteks.”37 Di
sini, Yakob Tomatala melihat bahwa kontekstualisasi
merupakan suatu proses yang holistik dan terintegrasi
berbasiskan Alkitab. Tidak hanya pada upaya kognitif saja
atau pada tataran pengetahuan manusiawi saja.
Kontekstualisasi harus merupakan suatu proses dan upaya
yang memadukan dan menyatukan pola trialektika, yaitu
Alkitab, budaya manusia sebagai konteks dan pengetahuan
misionari.
Yakob Tomatala menegaskan bahwa: “Alkitab
menempatkan Allah di atas budaya dan bekerja melalui
budaya. Alkitab selalu memberi batas yang tegas antara
Allah, Sang Pencipta, dengan manusia sebagai makhluk, dan
37 Yakob Tomatala, Teologi Kontekstualisasi (Suatu Pengantar),Malang: Gandum Mas, hlm. 73.
51
alam ciptaan-Nya. Allah Alkitab adalah Allah yang
mahatinggi, namun juga menaruh perhatian pada manusia dan
seluruh ciptaan-Nya. Itulah sebabnya, Alkitab juga
melukiskan Allah yang menyatakan diri ke dalam dan
melalui budaya manusia”.38 Supremasi Allah adalah segala-
galanya atas budaya. Dalam kuasa dan kedaulatan-Nya,
Allah berkarya, menaruh kepedulian sempurna dan
mengungkapkan diri-Nya melalui budaya manusia. Tuhan
Yesus menyatakan dalam Yohanes 20:21b “Seperti Bapa
mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus
kamu”. Pernyataan ini membuktikan bahwa Tuhan Yesus
adalah seorang Misionaris yang Misioner (Utusan yang
mengutus). Pernyataan itu juga memberikan teladan bahwa
Tuhan Yesus menginginkan tugas pemberitaan Injil terus
dilakukan secara berkesinambungan. Karena itu, seorang
Pemimpin dituntut sebagai seorang misionaris yang dalam
menjalankan tugasnya mengutamakan pemberitaan
Injil. Pemimpin dalam lingkup gerejawi bertanggung jawab
terhadap seluruh kegiatan dalam gereja tersebut. Sebagai
Pemimpin jemaat, seorang Pendeta mempunyai tugas untuk38 Ibid.
52
menggerakkan seluruh komponen dalam gereja (Pengerja,
Majelis Jemaat, seluruh Jemaat) untuk menjalankan visi
pemberitaan Injil disamping tugas-tugas yang lain. Young
G. Chai menulis dalam bukunya Jemaat Rumah; Penggembalaan
Bersama dengan Orang Awam sebagai berikut: “Semangat
Penginjilan yang berkobar-kobar bukan berarti Pendeta
harus menjadi orang yang mengedarkan traktat penginjilan
kepada semua orang. Bukan berarti dia juga harus
mendorong orang-orang supaya datang ke gereja dengan cara
kunjungan ke setiap rumah. Memang hal seperti ini bisa
menjadi pernyataan bahwa dia mempunyai semangat
penginjilan. Tetapi bukan hanya itu saja yang merupakan
semangat penginjilan”.39
Apa yang dinyatakan Chai pada kutipan di atas
menunjukkan bahwa pemimpin jemaat tidak secara langsung
menangani semua kegiatan pemberitaan Injil tetapi
memberikan wewenang kepada jemaat untuk menjalankannya.
Chai mempertegas dengan menyatakan bahwa “Saya sendiri
menggembalakan dengan tujuan menyelamatkan jiwa. Saya
39 Young G. Chai, Jemaat Rumah: Penggembalaan Bersama denganOrang Awam, Jakarta: Gloria Cipta Grafika, 2005, hlm. 150.
53
menekankan pentingnya penginjilan kepada jemaat secara
terus menerus”.40 Hal ini menunjukkan bahwa seorang
Pemimpin disamping sebagai seorang pemberita Injil juga
menggerakkan orang lain untuk melakukannya sehingga
efektif dan melibatkan banyak orang dalam pelaksanaannya.
A. Ragam Pola Pendekatan Kontekstualisasi
Pendekatan kontekstualisasi memiliki pola yang
beragam. Pola yang beragam ini tentu dibangun di atas
fondasi teologi kontekstualisasi yang Alkitabiah. Di sisi
lain, ada proses penafsiran holistik tentang esensi suatu
pengajaran tertentu. Yakob Tomatala menegaskan bahwa:
Model-model pendekatan teologi kontekstualisasi ialah
beberapa model penafsiran tentang berteologi dalam
konteks yang didasarkan atas prinsip dogmatic tertentu.
Model-model pendekatan ini memberikan gambaran umum
tentang usaha berteologi dalam konteks yang pernah
dibuat. Di samping itu, model-model tersebut menolong
kita mengadakan evaluasi tentang sejauh mana suatu
pendekatan teologi kontekstualisasi yang alkitabiah dapat
40 Ibid., hlm. 152.
54
dibuat. Ini juga akan menghindarkan kita dari kesalahan-
kesalahan yang pernah dan akan timbul nanti”.41
Menurut Yakob Tomatala, ada beberapa model
berkontekstualisasi, yaitu:
1. Model akomodasi (Kisah Para Rasul 17:28)
“Akomodasi adalah sikap menghargai dan terbuka
terhadap kebudayaan asli yang dilakukan dalam sikap,
kelakuan, dan pendekatan praktis dalam tugas misionaris
baik secara teologi maupun secara ilmiah. Obyek akomodasi
adalah kehidupan budaya yang menyeluruh dari suatu bangsa
baik dari segi fisik, sosial, maupun ideal”.42 Di sini
dapat dilihat bahwa secara holistik keberhasilan model
akomodasi ini, sangat ditentukan oleh peran aktif seorang
misionaris dalam upaya pendekatan kontekstualisasi Injil.
“Dalam proses ini terjadi perpaduan nilai hidup kristiani
di mana Kristus menjadi penyempurna dan pelengkap
aspirasi budaya. Dengan demikian akan terdapat sikap
positif terhadap Injil yang didasarkan atas pandangan
41 Yakob Tomatala, Log Cit., hlm. 77. 42 Ibid.
55
bahwa anugrah Allah (Injil) tidak menghancurkan budaya
manusia, tetapi justru melengkapi dan menyempurnakan”.43
2. Model adaptasi
Ada perbedaan antara model akomodasi dengan model
adaptasi ini. Perbedaannya ada pada cara melakukan
pendekatan. “Model adaptasi tidak mengasimilasi unsure
budaya dalam mengeskpresikan Injil, tetapi menggunakan
bentuk dan ide budaya yang dikenal. Contoh yang jelas,
Yohanes menggunakan ide logos untuk menjelaskan kebenaran
penjelmaan/inkarnasi (Yohanes 1) dan Paulus menggunakan
konsep rahasia (II Korintus 3:18). Tujuan adaptasi ialah
mengekspresikan dan menerjemahkan Injil dalam istilah
setempat (indigenous terms) sehingga menjadi relevan dalam
situasi budaya tersebut”.44 Model adaptasi adalah upaya
untuk memaparkan kebenaran tentang Injil dengan memakai
bentuk dan gagasan budaya setempat yang dikenal,
dipahami, dan dimengerti oleh pendengar Injil.
3. Model prossesio
43 Ibid., hlm. 78. 44 Ibid.
56
“Prossesio adalah sikap yang menanggapi kebudayaan
secara negative. Proses prossesio terjadi melalui
seleksi, penolakan, reinterpretasi dan rededikasi.
Kelompok prossesio melihat kebudayaan sebagai sesuatu
yang sudah rusak oleh dosa dan tidak ada kebaikan yang
muncul dari dalamnya”.45 Pendapat ini tidak melihat
pernyataan Alkitab secara holistik. Memang manusia sudah
berdosa. Namun belum tentu semua budaya yang dihasilkan
oleh manusia juga berdosa. Sebab budaya memiliki sisi
positif, tidak melulu negatif. Perspektif yang salah
terhadap budaya akan menjadi perintang dalam pelaksanaan
misi Allah. Oleh sebab itu, model prossesio harus
diletakkan di bawah terang firman Allah.
4. Model transformasi
Berkaitan dengan model di atas, Yakob Tomatala
mengatakan: “Allah itu di atas budaya, dan melalui budaya
itu pula Allah menggunakan elemen-elemen kebudayaan untuk
berinteraksi dengan manusia. Bila seseorang dibaharui
oleh Allah, maka inti kebudayaannya juga dibaharui (II
45 Ibid.
57
Korintus 5:17)”.46 Pemegang otoritas dan kekuasaan
tertinggi ialah Allah. Budaya manusia harus tunduk kepada
supremasi Allah. Kendati demikian, dalam otoritas dan
kedaulatan-Nya, Allah memakai kebudayaan untuk menyatakan
kehendak dan kuasa-Nya kepada manusia. Setiap manusia
yang mengalami perjumpaan pribadi dengan Allah melalui
kebudayaannya, akan mengalami transformasi hidup yang
juga meliputi dirinya dan juga budayanya.
5. Model dialektik
Dalam mengulas model di atas, Yakob Tomatala
menegaskan: “Ini adalah interaksi dinamis antara teks
dengan konteks. Konsep ini didukung oleh perkiraan yang
kuat bahwa perubahan pasti ada dalam kebudayaan. Untuk
setiap kurun waktu perubahan itu terjadi secara dinamis.
Dengan demikian Gereja harus menggunakan peran
kenabiannya untuk menganalisis, menginterpretasi, dan
menilai setiap keadaan”.47 Model dialektik menunjukkan
bahwa ada komunikasi yang relevan antara teks (Berita
Injil atau Kabar Baik) dengan konteks (Manusia Budaya).
46 Ibdi., hlm. 79. 47 Ibid.
58
Di sisi lain, kebudayaan manusia di dalam dirinya punya
potensi untuk terbuka terhadap perubahan. Injil yang utuh
dan sempurna mampu membaharui kebudayaan yang terbuka
terhadap Injil.
B. Unsur-unsur Kontekstualisasi
Dalam berkontekstualisasi, ada unsur-unsur penting
yang harus diperhatikan. Bila unsur-unsur tersebut
diabaikan, maka proses kontekstualisasi akan mengalami
jalan buntu. Berikut unsur-unsur kontekstualisasi.
1. Tiga bidang kontekstualisasi
Budiman R. L., berkaitan dengan tiga bidang
kontekstualisasi mengatakan: “Yang dimaksud oleh tiga
bidang kontekstualisasi ialah penginjil, Injil dan jemaat yang
didirikan harus kontekstual. Misalnya, jika seorang
penginjil ingin menjangkau orang Sunda, ia harus bisa
berbahasa Sunda, mengikuti adat istiadat Sunda, dan
mengerti pola pikir orang Sunda. Sebagai komunikator
kabar baik, penginjil ini harus berusaha semaksimal
mungkin untuk menjadi seperti orang Sunda”.48
48 Budiman R. L., Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi,hlm. 40.
59
Mencermati apa yang dipaparkan di atas, kita melihat
bahwa tekanan utamanya ialah kepada penginjil. Artinya,
betapa pentingnya skill yang harus dimiliki oleh seorang
penginjil. Lebih daripada itu, penginjil juga harus
memiliki wawasan dan pengetahuan yang komprehensif
tentang suatu kebudayaan seperti contoh di atas yaitu
tentang kebudayaan suku Sunda. Penginjil dituntut untuk
memahami secara utuh word view suku Sunda, supaya berita
Injil yang disampaikannya dapat diterima atau disambut
positif oleh suku Sunda.
Selain penginjil, teks dalam hal ini berita Injil
harus disampaikan sesuai dengan elemen-elemen kebudayaan
setempat. Artinya, ada kontekstualisasi Injil yang
dilakukan oleh penginjil. “Dengan kontekstualisasi kita
harapkan berita yang disampaikan tidak asing bagi
pendengarnya; agar komunikasi itu relevan; agar berita
itu menjawab kebutuhan dan agar teologi yang dipikirkan
menjawab masalah-masalah kontemporer”.49
49 B. S. Sidjabat, Kebudayaan dan Misi, Bandung: SahabatGembala, Mei 1986, hlm. 10.
60
Jemaat yang didirikan dalam suatu kebudayaan
seyogianya disesuaikan dengan dan menjawab kebutuhan dari
masyarakat setempat. Misalnya, tata acara kebaktian,
busana yang dikenakan ketika beribadah, bangunan fisik
tempat beribadah, tempat kitab suci diletakkan, posisi
duduk dari jemaat yang menghadiri kebaktian, bahasa yang
digunakan untuk berkomunikasi pada waktu ibadah dilakukan
dan lain sebagainya, harus dikontekstualkan agar sungguh-
sungguh hal-hal itu menyatu dan menjawab kebutuhan
masyarakat setempat.
2. Dua prinsip kontekstualisasi
Dalam berkontekstualisasi, ada prinsip-prinsip yang
sangat esensi yang harus dipegang teguh oleh penginjil
dan para misionari. Prinsip kontekstualisasi ini telah
dilakukan baik oleh Tuhan Yesus Kristus maupun oleh rasul
Paulus.
a. Hidup sebagai hamba
Berkaitan dengan hidup sebagai hamba dalam prinsip
kontektualisasi, rasul Paulus menulis kepada jemaat di
Filipi demikian: “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama,
61
menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam
Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak
menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang
harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-
Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan
menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai
manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai
mati, bahkan sampai mati di kayu salib” – Filipi 2:5-8.
“Ini berarti lahir ke dunia sebagai manusia, hidup dalam
sejarah manusia, menjadi bagian dari konteks budaya
manusia, dst. – singkatnya, berpadu dengan hakikat
manusia secara utuh. Dengan demikian, inkarnasi
melambangkan solidaritas Yesus Kristus dengan manusia
secara utuh dalam lingkup sosial budaya manusia. Namun,
perlu disadari bahwa inkarnasi Kristus terjadi bukan
untuk tujuan inkarnasi itu sendiri, melainkan untuk
menyatakan Allah kepada dunia (Yohanes 1:18). Di sini
perlu ditegaskan bahwa inkarnasi Kristus memiliki tujuan
misional, untuk membuktikan kasih Allah kepada dunia
62
(Yohanes 3:16), bagi pembebasan dunia itu sendiri
(Yohanes 1:29)”.50
Kontekstualisasi Injil oleh Rasul Paulus dinyatakan
dalam ajaran kenotis (pengosongan diri) Kristus, sikap
hidup, serta pendekatan kontekstualnya kepada setiap
masyarakat yang didatanginya. Rasul Paulus mengemukakan
tentang kenotis Kristus dalam Filp. 2:5-11 yakni Yesus
Krsitus mengambil rupa manusia, menjadi hamba dan solider
utuh dengan manusia untuk menanggung dosa-dosa manusia.
Dasar penting untuk proses terjadinya kontekstualisasi
melalui pengosongan diri. Untuk masuk dalam budaya orang
lain seseorang harus meninggalkan jati dirinya untuk
manunggal dengan orang lain. Perlu disadari bahwa
identitas diri yang menjadi latar belakang tidak dapat
disangkal. Dasar kenotis Kristus menjadi pijakkan utama
Rasul Paulus dalam determinasi kontekstual yang dituangkan
dalam 1 Kor. 9:16-27. Dari sisi ini dapat ditemukan 2
makna yang berhubungan yaitu:
1) Kontekstual Etis
50 Yakob Tomatala, Teologi Kontekstualisasi (Suatu Pengantar), Malang: Gandum Mas, hlm. 22-23.
63
Sikap etis menyangkut bagaimana seorang pelayan
antar budaya dapat menempatkan diri untuk menghargai
budaya orang lain sehingga tercipta refleksi teologi yang
positif. Sikap tersebut antara lain: pertama, Tidak
menghakimi orang dengan semena-mena (1 Kor. 4:1-5);
kedua, Rendah hati (1 Kor. 4:6-21); ketiga, Mengembangkan
sikap untuk tidak diperhamba oleh apapun juga (1 Kor.
6:12b); keempat, Mengembangkan sikap peka terhadap orang
lain (1 Kor. 8:1-13); kelima, Mengembangkan pergaulan
yang baik sebagai orang yang mengenal Allah (1 Kor.
15:33-34); keenam, Mengembangkan hubungan kerja jemaat
antargereja lokal dan antaretnis (1 Kor. 16:1-9).
2) Kontekstual Prakmatis
Sikap kontekstual prakmatis menyangkut sikap terhadap
diri sendiri yang membawa kegunaan bagi pengembangan
Injil dalam konteks. Sikap ini dikembangkan oleh Rasul
Paulus dengan cara: pertama, Melihat tugas pemberitaan
Injil sebagai tugas yang wajib tanpa ditawar-tawar (1
Kor. 9:16); kedua, Menetapkan sikap inkarnasi-kenotis
terhadap semua kelompok orang, dengan menjadi seperti
64
orang dalam, pada setiap konteks (1 Kor. 9:19-24). Sikap
inkarnasi dimulai dengan sikap hamba untuk menjadi
segala-galanya bagi semua orang. Menjadi hamba untuk
melayani adalah dasar inkarnasi; ketiga, Mengembangkan
disiplin faedah ganda – bagi diri dan orang lain, (1 Kor.
9:24-27).
Dengan memperhatikan setiap uraian di atas maka
dapat dikatakan bahwa kontekstualisasi yang berdampak
adalah menempatkan Kristus yang terutama dalam setiap
pengajaran yang tidak bisa dikompromikan tetapi dalam
praksisnya, fleksibelitas terhadap budaya perlu
diperhatikan. Prinsi-prinsip ajaran Alkitab tidak dapat
dikompromikan tetapi dalam kontekstualisasi fleksibilitas
pengajaran perlu diperhatikan. Ini dilakukan dengan
sebuah tujuan yang jelas bukan sekedar fleksibel tanpa
arah.
b. Hidup di bawah hukum Kristus
“Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum
Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di
bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup diluar
65
hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus,
supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di
bawah hukum Taurat” – 1 Korintus 9:21. “Walaupun
pendekatan Paulus luwes sekali, namun ia memiliki suatu
tolok ukur. Ia peka terhadap kebudayaan, tetapi tunduk
kepada firman Allah … sekalipun ia menyesuaikan diri
dengan kebudayaan setempat, ia tetap hidup di bawah hukum
Kristus. Hukum Kristus, firman Allah, merupakan tolok
ukur baginya. Firman Allah adalah wewenang tertingginya.
Meskipun ia harus menyesuaikan diri, ia juga menguji
segala sesuatu dengan firman Allah supaya Injil yang
disampaikan itu tetap murni. Paulus menyadari bahwa Injil
itu asal dari Tuhan. Dari satu segi Injil itu “asing”
bagi segala suku. Kebudayaan biasanya bercampur dengan
agama lokal. Tidak ada suatu kebudayaan yang murni.
Karena itu setiap kebudayaan harus dikoreksi dan
diperbaiki melalui firman Allah. Hanya firman Allah yang
menjadi ukuran Rasul Paulus untuk menilai segala sesuatu.
Oleh sebab itu, sekalipun Paulus menyesuaikan diri, ia
66
tetap berpegang teguh pada firman Allah. Meskipun ia
bersikap luwes, ia selalu hidup di bawah hukum Kristus”.51
3. Tiga cara kontekstualisasi
Almarhum J. H. Bavinck, ahli misiologi mengatakan
dan dikutip oleh Budiman R. L., mengatakan: “Orang-orang
Kristen haru mengambil pemilihan sah dari adat istiadat
dan kebudayaan-kebudayaan yang memberi kepadanya
pengertian-pengertian serta isi baru dan yang mengarahkan
mereka untuk pelayanan bagi Kristus … Adalah tidak pernah
mudah untuk memutuskan apakah suatu adat/kebiasaan boleh
dipertahankan atau harus ditolak” (Bavinck 1960:175-179,
190).52 Sedangkan menurut Dr. Dean Gilliland dari Fuller
Theological Seminary School of World Mission dan dikutip
oleh Budiman R. L., mengatakan: “Tugas kontekstualisasi
ialah mengetahui apa yang dapat dipergunakan [dari
kebudayaan], apa yang harus ditolak dan oleh kasih
karunia Allah, apa yang dapat ditransformasikan”
(Gilliland 1989:25)”.53
51 Budiman R. L., Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi,hlm. 8-9.
52 Ibid., hlm. 42. 53 Ibid.
67
Berdasarkan pendapat atau argumentasi pakar
misiologi dunia seperti dikemukakan di atas, maka dapat
ditemukan bahwa sesungguhnya ada cara yang dapat
dipergunakan dalam rangka untuk menyampaikan Kabar Baik
atau Injil ke dalam suatu kontek budaya. Upaya
kontekstulisasi dimaksud harus diletakkan atas kasih
karunia Allah. Dikatakan demikian, karena Allah adalah
segala-galanya dalam misi kontekstualisasi. Oleh karena
itu, tiga cara kontekstualisasi dapat dijabarkan sebagai
berikut.
a. Memanfaatkan unsur kebudayaan
Dalam setiap suku, bahasa dan bangsa, ada unsur-
unsur budaya yang positif. Unsur-unsur budaya yang
positif ini berhubungan dengan etika, moralitas, sopan-
santun dan norma sosial. Nilai-nilai buday yang memiliki
muatan positif tersebut bisa dimanfaatkan untuk
mensukseskan proses kontekstualisasi. “Memakai berarti
semua atau beberapa unsur kebudayaan yang netral tetap
dipertahankan. Setiap kebudayaan mempunyai beberapa unsur
yang netral”.54 Jadi, dalam setiap kebudayaan dipastikan54 Ibid.
68
ada elemen-elemen budaya yang bisa dipergunakan dalam
kaitannya dengan kontekstualisasi. Dr. P. Octavianus yang
dikutip oleh Budiman R. L. memberi banyak contoh
berhubungan dengan kontekstualisasi, yaitu: “Penggunaan
kopiah, pemakaian sarung dan kain kebaya, duduk di lantai
atau tikar, cara bersalam-salaman, penggunaan alat-alat
music tradisional, penggunaan bahasa Arab dalam
pemberitaan Injil, dan lain-lain” (Octavianus 1985:52-
53).”55
b. Mengubah unsur kebudayaan
Pasca kejatuhan manusia ke dalam dosa, maka semua
kebudayaan yang dihasilakannya tidak ada lagi yang murni.
Itu sebabnya, harus dikoreksi, diperbaiki dan dibaharui
melalui firman Allah. “Yang dimaksudkan dengan mengubah
ialah memurnikan unsur-unsur kebudayaan yang dapat
ditransformasikan supaya berkenan kepada Allah dan sesuai
dengan firman-Nya. Seperti yang dicanangkan oleh Ikrar
Lausanne pasal 10: “Gereja-gereja harus berusaha untuk
mengubah dan memperkaya kebudayaan, dan semuanya itu bagi
55 Ibid., hlm. 42-43.
69
kemuliaan Allah”.56 Jadi, semua proses dan upaya mengubah
kebudayaan yang dilakukan oleh gereja memiliki tujuan
utopi yaitu bagi kemuliaan Allah.
Dr. Paul Hiebert dari Trinity Evangelical Divinity
School, yang dikutip oleh Budiman R. L. mengatakan bahwa
untuk mengubah unsur kebudayaan dapat dilakukan melalui
lima cara, yaitu: “pertama, menambah unsur pada
kepercayaan dan upacara tradisional; kedua, mengurangi,
yaitu membuang semua unsur yang mempunyai konotasi dosa
tanpa membuang aspek tradisi tersebut; ketiga, mengganti,
yaitu mengembangkan bentuk atau cara baru yang mempunyai
fungsi yang sama seperti membaca Alkitab sebagai
pengganti untuk membaca kitab suci lain; keempat, memberi
tafsiran baru pada cara atau bentuk kebudayaan; kelima
menciptakan unsur baru, asal mereka mempunyai banyak
kesamaan dengan adat setempat” (Hiebert 1985:171-192)”.57
c. Membuang unsur kebudayaan
Elemen-elemen kebudayaan yang bertentangan dengan
Allah dan firman-Nya harus dibuang. “Kita harus membuang
56 Ibid., hlm 43. 57 Ibid., hlm. 45.
70
beberapa unsur yang tidak cocok dengan firman Allah dan
yang tidak mungkin dimurnikan. Misalnya, poligami,
upacara-upacara sembahyang pada waktu kematian, bentuk-
bentuk lain yang berhubungan dengan kuasa kegelapan,
seperti praktek-praktek spiritisme dan animism”
(Octavianus 1985:54).
Kepentingan membuang unsur-unsur budaya yang
bertentangan dengan firman Allah ialah untuk
menghindarkan kontekstualisasi dari terjadinya
percampuran antara unsur kebudayaan dengan Injil,
sehingga pengertian Injil menjadi kabur. Percampuran
unsur penting dalam Injil dengan adat-istiadat inilah
yang disebut sinkritisme.
4. Satu tujuan kontekstualisasi
Tujuan tertinggi dalam upaya melakukan
kontekstualisasi hanya satu. Tidak ada tujuan ganda dalam
pemberitaan Injil. Tujuan tunggal ini ialah memenangkan
sebanyak mungkin orang bagi Kristus. Rasul Paulus menulis
berkaitan dengan tujuan kontekstualisasi sebagai berikut:
71
“Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan
diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan
sebanyak mungkin orang. Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi
seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi.
Bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti
orang yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup
di bawah hukum Taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka yang
hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang tidak hidup di
bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah
hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku
hidup di bawah hukum Kristus, supaya aku dapat memenangkan mereka
yang tidak hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang lemah
aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan
mereka yang lemah. Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya,
supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari
antara mereka. Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil, supaya aku
mendapat bagian dalamnya” – 1 Korintus 9:19-23.
Berdasarkan bagian dari tulisan Paulus di atas,
dapat dilihat bahwa hanya ada satu goal dan beragam
target. Ada enam kali Paulus mengulang pernyataan yang
72
sama, “supaya aku dapat memenangkan sebanyak mungki
orang”. Dengan pengulangan pernyataan tersebut,
menunjukkan bahwa Paulus memiliki satu-satunya tujuan.
Bagi Paulus sangat penting memiliki tujuan yang jelas
dalam pemberitaan Injil. Tujuan yang jelas merupakan
motor penggerak untuk memberitakan Injil. Goal Paulus
ialah memenangkan sebanyak mungkin orang. Ini tujuan
tertinggi dalam melaksanakan kontekstualisasi. Target
pemberitaan Injil bisa menjangkau berbagai lapisan
masyarakat. Baik dari kalangan terpelajar sampai kepada
kalangan professional. Dari kalangan masyarakat biasa
sampai kepada kalangan masyarkat elit. Secara singkat
target pemberitaan Injil menjangkau semua level manusia
dengan berbagai budayanya. Namun, tujuan yang hendak
dicapai hanya satu, yaitu memenangkan sebanyak mungkin
orang bagi Kristus.
C. Langkah-langkah Kontekstualisasi
Proses kontekstualisasi tidak langsung bisa
diterapkan. Ada langkah-langkah taktis, strategis dan
73
aplikatif yang harus ditempuh supaya berita Injil dapat
diterima oleh konteks budaya dimana Injil diwartakan.
1. Komunikasi Injil dalam berkontekstualisasi
Quentin J. Schultze berkaitan dengan komunikasi
mengutip pendapat James W. Carey menulis demikian: “Kata
komunikasi berasal dari bahasa Latin communis, yang
artinya berbagi, menjadikan umum, atau bahkan memiliki
sebuha kepercayaan yang sama”.58 Quentin melanjutkan
bahwa: “Ketika kita berkomunikasi, kita menciptakan,
memelihara dan mengubah gaya hidup yang kita miliki.
Komunikasi memampukan kita mengembangkan pendidikan,
teknik, bisnis, media, dan setiap aspek dari budaya
manusia”.59
Dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa dampak
komunikasi itu begitu signifikan terhadap kebudayaan.
Komunikasi bisa beroperasi secara leluasa dalam semua
area dan menembus batas-batas territorial.
58 Quentin J. Schultze, Communicating for Life, Malang:Literatur SAAT, 2004, hlm. 16.
59 Ibid.
74
Menurut Yakob Tomatala dalam mengulas pokok
komunikasi Injil dalam berkontekstualisasi, ada tiga
pokok penting yang harus diperhatikan, yaitu:
a. Bentuk interaksi komunikasi Injil
Langkah konkret yang harus ditempuh oleh setiap
komunikator menurut Yakob Tomatala, adalah sebagai
berikut:
1) Komunikator harus hidup dalam kesadaran bahwa
ia adalah makhluk budaya dan ia harus
mengosongkan pengaruh budayanya sendiri sebagai
langkah awal untuk memahami berita dalam
konteks Alkitab yang asli dan konteks budaya
penerima berita.
2) Orientasi pelayanan haruslah pada si penerima
berita dengan konteks hidupnya secara
menyeluruh.
3) Dalam praktek pelayanan, komunikator harus
menempatkan diri dalam matriks budaya Alkitab
dan pendengar dengan menggunakan bentuk dan
75
alat budaya setempat untuk menjelaskan suatu
kebenaran.
4) Dalam pelaksanaannya perlu terus-menerus
diadakan penilaian untuk menjaga kedinamisan
kerja, efek kerja, dan menghindari sinkretisme.
Injil yang murni perlu diberitakan, dan cara
penerapannya perlu memperhatikan pola berpikir
yang tepat.
b. Prinsip dasar komunikasi Injil
1) Tujuan komunikasi ialah membuat pendengar
mengerti suatu berita yang disampaikan oleh
pembicara dan selanjutnya mendorong si
pendengar agar bertindak sesuai dengan
keinginan si pembicara.
2) Pembicara menyampaikan berita melalui lambing
budaya yang memberi rangsangan kepada pikiran
pendengar sesuai dengan tanggapan atau
pengertian pendengar terhadap lambing/symbol
budaya itu.
76
3) Agar pembicara dapat mengkomunikasikan berita
secara efektif, maka ia harus berorientasi pada
pendengar.
4) Impak komunikasi yang luar biasa akan terjadi
dalam interaksi antar pribadi.
5) Komunikasi akan sangat efektif bila pembicara,
berita-berita, dan pendengar berinteraksi dalam
konteks yang sama dalam situasi dan pemahaman
yang sama terhadap bentuk/arti budaya.
c. Prinsip komunikasi Injil yang efektif
Dalam penjelasan berikut ini akan diuraikan sembilan
prinsip komunikasi Injil yang efektif:
1) Perlu adanya kesamaan keadaan persepsi budaya
antara komunikator dan pendengar, antara lain
bahasa, kebiasaan, bentuk budaya, pandangan
hidup, dsb.
2) Perlu disadari bahwa komunikasi yang efektif
menyentuh “kenyataan hidup” si penerima. Jadi,
setiap informasi intelektual perlu dicerna
77
baik-baik untuk menemukan maksud inti yang
sebenarnya.
3) Komunikator harus mempelajari maksud berita
dalam situasi aslinya dan mempelajari keadaan
penerima berita dalam situasi kini untuk
menghasilkan kesamaan pengertian bagi
penempatan berita yang proporsional untuk
menghasilkan komunikasi yang mulus.
4) Komunikator harus menyadari bahwa ia memiliki
hak dan tanggung jawab untuk didengar, jadi ia
harus menyampaikan berita sedemikian rupa
sehingga dapat dipahami oleh pendengar.
5) Penerima aktif dalam proses komunikasi apabila
komunikator menggunakan bahan/elemen sesuai
dengan apa yang telah ia ketahui dalam lingkup
sosio-budayanya.
6) Bangunlah berita dan sampaikanlah melalui
pandangan hidup pendengar.
78
7) Komunikator perlu mengontrol berita Injil yang
disampaikan agar tidak ditunggangi atau
menunggangi pandangan hidup sendiri.
8) Gunakan bentuk-bentuk komunikasi lokal,
termasuk bahasa dan alat yang ada pada setiap
lokasi dan situasi budaya.
9) Setiap ibadah gereja perlu diungkapkan dari
pandangan hidup terhadap Allah dan Yesus
Kristus yang kontekstual untuk mencipta impak
komunikasi yang memadai.60
2. Sikap dalam berkontekstualisasi
Ada beragam sikap yang mengemuka terhadap teologi
kontekstualisasi atau kontekstualisasi yang alkitabiah.
Ada kelompok yang pro atau setuju atau mempertimbangkan
teologi kontekstualisasi untuk diterapkan dalam pelayanan
pemberitaan Injil. Ada pula kelompok yang bersikap
menolak atau kontra atau alergi dengan teologi
kontekstualisasi. Reaksi ini tergambar dalam pelayanan
pemberitaan Injil yang tidak menerap model teologi
60 Yakob Tomatala, Teologi Kontekstual (Suatu Pengantar),Malang: Gandum Mas, hlm. 81-87.
79
kontekstualisasi. Selain itu, ada pula yang dengan begitu
saja menerima teologi kontekstualisasi tanpa dipelajari.
Akibatnya terjadi sinkretisme di mana Injil dan adat-
istiadat dicampur, sehingga Injil menjadi tidak murni.
Untuk lebih jelas dapat dilihat sikap dalam
berkontekstualisasi sebagai berikut ini.
a. Menolak kontekstualisasi
Sikap menolak kontekstulisasi menunjuk kepada sikap
tetap mempertahankan kepercayaan lama, seperti upacara-
upacara adat, seni, musik dan isu-isu penting.
Pemberitaan Injil tetap dilaksanakan, namun Injil menjadi
asing bagi budaya dalam konteksnya secara keseluruhan.
Kebiasaan lama tetap dipertahankan dan dilaksanakan
tetapi secara tersembunyi atau terselubung.
b. Mempertimbangkan kontekstulisasi
Mepertimbangkan kontekstuliasi merupakan sikap yang
lebih maju dan terbuka. Kepercayaan lama seperti upacara-
upacara adat, musik, seni dan isu-isu penting lainnya
dianalisa, digali maknanya, dan semua informasi tentang
kepercayaan lama dengan semua permasalahannya
80
dikumpulkan. Semua itu diletakan dan diterangi oleh
firman Tuhan. Apa kata Alkitab tentang kepercayaan lama
tersebut. Lalu dilakukan evaluasi secara menyeluruh
terhadap kepercayaan lama dari perspektif Alkitab dan
memberi diri dibimbing oleh kuasa Roh Kudus. Dari hasil
inilah, maka akan diperoleh kesimpulan akhir atau
keputusan final terhadap kepercayaan lama setelah
diterangi oleh firman Tuhan dan dibimbing kuasa Roh
Kudus, apakah memakai unsur kepercayaan lama?, atau
apakah mengubah kepercayaan lama?, atau apakah membuang
kepercayaan lama? Melalui proses filterisasi budaya
inilah akan menghasilkan kontekstualisasi yang Alkitabiah
atau teologi kontekstualisasi yang akurat. Injil menjadi
relevan dan tidak asing bagi budaya. Kemurnian Injil
tetap dipertahankan.
c. Menerima saja kontekstualisasi
Sikap menerima saja kontekstulisasi merupakan sikap
yang sangat berseberangan dengan kedua sikap seperti yang
dijelaskan di atas. Menerima saja kontekstualisasi sangat
81
berbahaya. Dikatakan demikian, karena akan menghasilkan
sinkretisme.
BAB IV
PENUTUP
Setelah memaparkan dan menguraikan pokok seputar
misi kontekstual yang alkitabiah, tibalah penulis pada
klimaks dari penulisan makalah ini. Pada bagian penutup
ini akan disajikan dua pokok utama, yaitu:
A. Kesimpulan
“Teologi kontekstulisasi menekankan bagaimana
seharusmya setiap orang Kristen berteologi dalam konteks,
yaitu konteks budaya, sosial, ekonomi, politik, geografi
dan sebagainya di mana ia seorang individu serta gereja
sebagai komunitas mikro berada dalam komunitas makro”.61
Berdasarkan pernyataan di atas, maka setiap orang
Kristen adalah misionaris. Sebagai misionaris memiliki
tanggung jawab spiritual dalam semua level dan bidang
61 Yakob Tomatala, Teologi Kontekstulisasi (Suatu Pengantar),Malang: Gandum Mas, hlm. 92.
82
kehidupan. Ia harus menghadirkan nilai atau value
Kerajaan Allah dalam totalitas hidup dan pelayanannya di
tengah dunia yang luas.
Setiap hari orang Kristen bertemu dengan orang-orang
dari berbagai latar belakang budaya, geografi, demografi,
sosial, ekonomi, pendidikan dan juga pemeluk agama yang
berbeda. Pemeluk beragama lain ini juga menjalankan misi
mereka. Dan kelihatannya mereka lebih gigih menjalankan
misinya jika dibandingkan dengan orang Kristen.
Dalam situasi dan kondisi semacam itulah
kontekstualisasi menjadi penting untuk dilaksanakan.
Dikatakan penting karena itulah salah satu cara yang
Tuhan gunakan untuk menyatakan diri-Nya kepada manusia
dalam konteks budayanya. Dan inilah cara yang seharusnya
digunakan oleh gereja dalam menjalankan misinya di dunia
ini, supaya dapat memenangkan sebanyak mungkin orang bagi
Kerajaan Allah.
“Teologi kontekstualisasi alkitabiah yang absah
menempatkan Allah sebagai the prime cause, the prime mover dari
proses berteologi dalam konteks. Pada sisi ini, “Alkitab”
83
berperan utama sebagai “penyataan Allah” karena Allah
sendiri memilih untuk menyatakan diri kepada manusia dan
penyataan-Nya tertulis dalam Alkitab. Ini berarti Allah
sendiri telah memilih “kebudayaan manusia” sebagai wahana
penyataan-Nya. Manusia pada sisi lain (sebagai
penerima/partisipan) menerima penyataan Allah dalam
koteks hidupnya (secara utuh) dari filter budaya
(individu/kelompok)”.62
Dengan demikian, Allah sendiri dalam otoritas dan
kedaulatan-Nya tanpa dipengaruhi oleh apa dan siapapun
mengambil sikap untuk menyingkapkan diri-Nya kepada
manusia dalam budaya yang dibuat oleh manusia. Allah
memberi diri-Nya dikenal oleh manusia dalam konteks
budayanya.
Oleh karena itu, di pundak orang Kristen dan Gereja
Kristen ada tanggung jawab misional yang harus dilakukan
dalam konteks di mana orang Kristen dan Gereja Kristen
berada sebagai yang diutus oleh Tuhannya untuk
melaksanakan misi shalom-Nya bagi manusia berdosa yang
hidup dalam konteks budaya yang berdosa. Dalam rangka62 Ibid.
84
melaksanakan misinya, orang Kristen dan Gereja Kristen
harus mampu berteologi dalam konteks. Berteologi dalam
konteks ini perlu dihidupi dan dijawab secara terus-
menerus dalam rangkan memberitakan Injil kasih karunia
Allah kepada dunia dalam konteks di mana ia dan mereka
berada serta hidup.
B. Saran-saran
Beberapa saran yang dapat disampaikan melalui
makalah ini, khususnya seputar teologi kontekstualisasi
dan misi gereja.
Pertama, dalam menjalankan teologi misi kontekstual
yang alkitabiah, gereja harus tetap menempatkan Allah,
Yesus Kristus, Roh Kudus dan Alkitab sebagai otoritas
tertinggi dalam bermisi dan berteologi.
Kedua, dalam menjalankan teologi misi kontekstual
yang alkitabiah, tetap memperhatikan akan mekanisme
trialektis “Allah, orang Kristen (manusia) dan konteks
(manusia lain, budaya, sosial, dsb)”.
85
1994 Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, Malang: Gandum
Mas.
Akal, Yunny Jones
2005 Diktat Strategi Misi, Jakarta: IFTK Jaffray.
Bosch, D. J.,
2006 Transformasi Misi Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
---
2006 Peran Allah dalam Misi, Sidoarjo: Terang Lintas
Budaya.
2007 Peran Roh Kudus dalam Misi, Malang: Terang Lintas
Budaya.
Chai, Young G.
2005 Jemaat Rumah: Penggembalaan Bersama dengan Orang
Awam, Jakarta: Gloria Cipta Grafika.
Jacobs, T.,
1970 Konstitusi Dogmatis (Lumen Gentium) Mengenai Gereja,
Yogyakarta.
Kobong, Th.,
--- Iman dan Kebudayaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
L. Budiman R.
87
--- Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi.
Legrand, L.,
1990 Unity and Plurality: Mission in the Bible, New York.
Moltmann, J.,
1975 Gott Kommt und der Mensch wird Frei, Munchen.
Peters, George W.
1972 A Biblica Theology of Mission, Chicago: Moody Press.
Prent, K., dkk.
1969 Kamus Latin – Indonesia, Yogyakarta.
Rahmiati
--- Kontekstualisasi Sebagai Sebuah Strategi.
Sidjabat, B. S.
1986 Kebudayaan dan Misi, Bandung: Sahabat Gembala.
Schutte, J.,
1967 Fragen der Mission an das Konzil, Main.
Schultze, Quentin J.
2004 Communicating for Life, Malang: Literatur SAAT.
Tim Penyusun
2005 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka.
88