ii
IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2017
TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK
(Penelitian Deskriptif Kualitatif Di Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Kota
Yogyakarta)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Kesarjaan
Program Sudi Ilmu Pemerintahan
Disusun Oleh :
GUNAWAN
NIM : 14520103
JENJANG PENDIDIKAN SARJANA
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD“
YOGYAKARTA
2019
v
MOTTO
“Tidak semua orang baik itu jujur, tetapi orang jujur
pasti orang yang baik.“
(Samson satunimus)
“Akulah terang dunia; barang siapa mengikut Aku, ia
tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia
akan mempunyai terang hidup.”
(Yohanes 8:12)
Jika kamu menginginkan untuk hidup dalam kehidupan
yang bahagia maka gantungkan itu pada sebuah tujuan,
bukan pada orang lain atau benda benda.
(Albert Einstein)
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Dengan penuh kerendahan hati dan segenap jiwa raga,
kebahagiaan serta perjuangan mempersembahkan skripsi ini
kepada :
Tuhan Yesus Kristus, Allah Bapa, dan Bunda Maria yang
telah menjaga aku siang dan malam, dan yang selalu
memberikan hikmat dalam mengerjakan skripsi ini.
Kedua orangku tua yang sangat aku cintai yaitu
CENDRA (Ayah), AYUNG (Ibu), yang telah
membesarkanku dan menyayangiku sampai saat ini.
Ayah, Ibu terima kasih atas doa dan dukungannya. Tanpa
doa dan dukungan dari Ayah dan Ibu saya pasti tidak
akan seperti ini.
Saudara dan Saudari aku yang sangat aku cinta, Hendy
(Kakak) Delly (Kakak),Vani Afriani (Adik), Welly Saputra
(Adik), Meicen (Adik), Rafael (Adik), Agus Marilin (Kakak
Ipar) dan Keponakan tercinta tersayang Vintia Keylin
Gracia.
Keluarga besarku yang ada di Tarakan, Sekatak dan
Betayau yang selalu mendukung dan memberi aku
semangat sehingga aku bisa menyelesaikan studiku ini.
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang
telah memberikan rahmat dan karunianya kepada penyusun, sehingga penyusun
dapat melaksanakan kewajiban sebagai seorang mahasiswa melengkapi salah
satu syarat menyelesaikan Program S1, melalui skripsi dengan judul
“Implementasi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Kawasan
Tanpa Rokok”.
Sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan tentunya penyusun
menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki, baik berupa pengalaman maupun
teori dan ilmu. Sehingga penyusun sangat berterima kasih atas setiap masukan dan
kritik yang disampaikan.
Dalam kesempatan ini, penyusun ingin menyampaikan ucapan terima
kasih yang sebesar- besarnya kepada :
1. Bapak Sutoro Eko Yinanto, M.Si. selaku Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan
Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta.
2. Bapak Drs. Triyanto Purnomo Raharjo, BE, M.Si Selaku Ketua Program Studi
Ilmu Pemerintahan Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “ APMD”
Yogyakarta.
3. Bapak Dr. Supardal, M.Si, selaku Dosen Pembimbing yang telah
mencurahkan pikiran serta meluangkan waktu guna membimbing penyusun
dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan (S-1) Sekolah Tinggi
Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta.
5. Gubenur Daerah Istimewa Yogyakarta c.q. Kepala Biro Administrasi
Pembangunan Setda Propinsi DIY.
6. Badan Kesatuan Bangsa Dan Politik (KASBANGPOL) daerah Istimewa
Yogyakarta.
7. Walikota Yogyakarta c.q Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan.
8. Almamater kebesaran, terima kasih atas jasa mu dalam setiap perjalanan
selama menempuh teori dan penyelesaian kuliah.
viii
9. Bapak/ibu dosen, yang telah banyak memberikan materi kuliah khususnya
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat
Desa “APMD” Yogyakarta.
10. Seluruh staf dan karyawan-karyawati Sekolah Tinggi Pembangunan
Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta.
11. Teman-teman seperjuangan angkatan 2014, dan juga orang- orang yang telah
mendukung penulis. Ricky (Ambon), Henry (Kalbar), Erwin (Kalbar),
Yovensius (Kalbar) ,Bung Engel , Theo, Piter, dan masih banyak lagi yang
tidak mungkin saya sebut satu persatu terima kasih atas doa dan dukungannya.
12. Temen-Temen Kos, Romi (Si Roker), Wijaya, Rolan, dan Sandy (Anak Pak
Kos)
Yogyakarta , 12 Maret 2019
Penulis
Gunawan
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... ii
HALAMAN MOTTO .................................................................................. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................. v
DAFTAR ISI ................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xi
SINOPSIS..................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 10
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 10
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 11
E. Kerangka Teori ........................................................................ 12
1. Kebijakan .......................................................................... 12
2. Implementasi kebijakan ...................................................... 16
3. Kawasan Tanpa Rokok ....................................................... 19
F. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................ 26
G. Metode Penelitian ..................................................................... 28
1. Jenis Penelitian .................................................................. 28
2. Unit Analisis ...................................................................... 28
3. Teknik Penentuan Informan ............................................... 29
4. Teknik Pengumpulan Data ................................................. 30
5. Teknik Analisa Data .......................................................... 32
BAB II PROFIL DINAS PENANAMAN MODAL DAN PERIZINAN
KOTA YOGYAKARTA .............................................................. 33
A. Selayang Pandang Tentang Sejarah Berdirinya Dinas
Penanaman Modal Dan Perizinan Kota Yogyakarta .................. 33
B. Visi dan Misi ............................................................................ 35
C. Kedudukan dan Tugas Pokok .................................................... 36
x
D. Tugas, Fungsi dan Unsur Organisasi ......................................... 36
E. Sumber Daya Manusia .............................................................. 42
F. Sarana Prasarana pendukung ..................................................... 44
G. Implementasi Tentang Kawasan Tanpa Rokok .......................... 49
BAB III ANALISIS PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH
NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG KAWASAN TANPA
ROKOK ........................................................................................ 52
A. Analisis Data ............................................................................ 53
1. Komunikasi ........................................................................ 53
2. Sumberdaya ........................................................................ 59
3. Disposisi ............................................................................. 62
4. Sturktur Birokrasi ............................................................... 65
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .............................................................................. 68
B. Saran ........................................................................................ 69
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Sumber Daya Manusia ................................................................. 42
Tabel 2.2 Sumber Daya Manusia ................................................................. 43
xii
SINOPSIS
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) merupakan upaya perlindungan dan
penjaminan hak bagi masyarakat untuk menghirup udara bersih tanpa ada asap
rokok. Dalam penerapannya ada banyak tanggapan dari masyarakat Kota
Yogyakarta terkait peraturan tersebut, baik yang pro maupun yang kontra. Hal ini
merupakan sesuatu yang bisa dikatakan wajar, sebab setiap masyarakat memiliki
pandangan dan kepentingan yang berbeda-beda. Bagi mereka yang pro, tentu akan
sangat mendukung diberlakukannya Peraturan Daerah tersebut, namun sikap
berbeda akan ditunjukkan oleh mereka yang kontra. Sehingga mereka akan
berusaha mencari alasan untuk tidak mendukung Peraturan Daerah tersebut.
Rumusan masalah adalah “Bagaimana Implementasi Peraturan Daerah Nomor 2
tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa Rokok”.
Jenis Penelitian ini menggunakan Analisis Deskriptif kualitatif, yakni
dengan mendeskripsikan dan menganalisa bagaimana Implementasi Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok di Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Kota
Yogyakarta. Selanjutnya, yang menjadi objek penelitian ini adalah Implementasi
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Dinas penanaman Modal dan Perizinan Kota
Yogyakarta dan yang menjadi subjek penelitian dengan jumlah 12 orang antara
lain: Kepala Bagian Umum dan Kepegawaian, Kepala Seksi Promosi dan
Pemberdayaan masyarakat (Dinas kesehatan), Staf Bagian Umum dan
Kepegawaian, Bidang regulasi dan informasi,, Bidang seksi Data dan Informasi,
Bidang seksi Verifikasi dan Penerbitan Izin dan 6 orang dari Masyarakat yang
berprofesi sebagai: arsitek, Driver, Pamong Praja, Mahasiswa dan Mahasiswi.
Teknik pengumpulan data meliputi Observasi, dokumentasi, dan wawancara. Dan
teknik analisis data antara lain: mencatat, mengumpulkan, dan berpikir.
Hasil penelitian ini menujukkan bahwa Implementasi Kebijakan Kawasan
Tanpa Rokok, sudah bejalan khususnya di Dinas penanaman Modal dan Perizinan
Kota Yogyakarta. Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di tinjau dari
empat komponen, yaitu dilihat dari komunikasi yang dilakukan oleh Dinas
penanaman Modal dan Perizinan Kota Yogyakarta sudah dilakukan menggunakan
Media cetak seperti poster dan Pamflet larangan merokok, dari sisi sumber daya
dinas Penanaman Modal dan Perizinan memiliki tim untuk melakukan
penyerbarluaskan informasi tentang kawasan tanpa rokok dan melakukan
pengawasan, Disposisi di Dinas Penanaman Modal dan Perizinan ataupun
masyarakat mempunyai komitmen tidak merokok sembarang tampat di
lingkungan Dinas Penanaman Modal dan Perizinan dan jika Dinas Penanaman
Modal dan Perizinan atau masyarakat melihat masyarakat yang merokok di
sembarang tempat maka akan menegur jika menemukan masyarkat merokok di
sembarang tempat. Dari sisi Struktur Birokrasi Dinas Penanaman Modal dan
Perizinan memiliki perwakilan dari Tim KTR untuk menyebarluaskan inforamsi
tentang KTR, melakukan pengawasan, dan melakukan evaluasi KTR.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesehatan merupakan investasi untuk mendukung pembangunan
dengan upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pembangunan
nasional merupakan usaha meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat
Indonesia yang dilakukan secara berkesinambungan. Upaya besar bangsa
Indonesia dalam meluruskan kembali arah pembangunan nasional yang telah
dilakukan menuntut reformasi total kebijakan pembangunan disegala bidang.
Pembangunan pada hakekatnya adalah perubahan secara terus-menerus yang
merupakan kemajuan dan perbaikan ke arah tujuan yang ingin dicapai.
Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan masyarakat yang optimal melalui terciptanya masyarakat, bangsa,
dan Negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam
lingkungan dengan perilaku hidup sehat. Seperti yang kita ketahui, rokok
merupakan salah satu yang membuat lingkungan sekitar kita menjadi tidak
sehat, karena asap yang dihasilkan mengandung banyak zat berbahaya yang
dapat mengakibatkan tercemarnya lingkungan serta mengganggu kesehatan
penikmatnya maupun orang sekitarnya. Sebagian besar orang dapat meninggal
dikarenakan mengkonsumsi rokok secara berlebihan. Awalnya memang tidak
terasa sakit, tetapi semakin lama seseorang mengonsumsi rokok, maka akan
2
banyak timbul berbagai penyakit dalam tubuhnya.
Rokok merupakan Zat adiktif yang mengandung kurang lebih 4000
bahan kimia dimana 400 diantaranya beracun dan 40 jenis lainnya dapat
menyebabkan kanker bagi tubuh sehingga apabila digunakan dapat
mengakibatkan bahaya kesehatan bagi perokok itu sendiri dan orang lain
sekitarnya yang bukan perokok. Komite Nasional yang bergerak dalam
penanganan masalah rokok, udara yang mengandung asap rokok dapat
menganggu kesehatan orang yang ada diruangan atau lingkungan terdekat.
Walaupun merokok merupakan hak dari setiap orang namun hak ini juga
mengandung kewajiban adanya penghormatan terhadap hak orang lain untuk
memperoleh udara yang sehat dan bersih.
Tingginya konsumsi rokok di masyarakat Indonesia dipercaya
menimbulkan implikasi negatif yang sangat luas, tidak saja terhadap kualitas
kesehatan tetapi juga menyangkut kehidupan sosial dan ekonomi di Indonesia.
Perlu diketahui bahwa berdasarkan yang disampaikan oleh Dirjen
Pengendalian Penyakit (P2PL) kementrian kesehatan (sindonius.com 3 mei
2013) bahwa tahun 2013 Indonesia menjadi negara ketiga dengan jumlah
perokok aktif terbanyak di dunia yaitu sebanyak 61,4 juta dengan rincian 60 %
pria dan 4,55 % wanita. Sementara itu perokok pada anak dan remaja juga
terus meningkat 43 juta dari 97 juta warga Indonesia adalah perokok pasif.
Dasar Hukum kawasan tanpa rokok di Indonesia yaitu Undang Undang
Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan
dalam upaya menciptakan lingkungan yang sehat, maka setiap orang
3
berkewajiban menghormati hak orang lain dalam memperoleh lingkungan
yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial, dan setiap orang berkewajiban
untuk berprilaku hidup sehat dalam mewujudkan, mempertahankan, serta
memajukan kesehatan yang setinggi-tingginya. Lingkungan yang sehat dapat
terwujud antara lain dengan menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di
fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak
bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja dan tempat umum serta
tempat-tempat lain yang ditetapkan.
Kawasan Tanpa Rokok adalah tempat atau ruangan yang dinyatakan
dilarang untuk merokok, memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau
mempromosikan rokok. Tujuan penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
secara khusus adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat rokok,
sedangkan secara umum penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dapat
membantu terwujudnya lingkungan yang bersih, sehat, aman dan nyaman;
memberikan perlindungan bagi masyarakat bukan perokok; menurunkan
angka perokok; mencegah perokok pemula dan melindungi generasi muda
dari penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA).
Tindak lanjut dari adanya dampak rokok bagi kesehatan manusia dan
lingkungan maka pemerintah daerah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 2
Tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa Rokok. Peraturan ini tidak lepas dari
sejumlah pertimbangan, diantaranya bahwa guna meningkatkan kesehatan
masyarakat untuk senantiasa membiasakan pola hidup sehat dan juga merokok
dapat menyebabkan terganggunya atau menurunnya kesehatan bagi perokok
4
maupun masyarakat yang bukan perokok namun ikut menghisap rokok orang
lain. Tempat kerja merupakan salah satu dari tujuh tempat yang menjadi
prioritas Kawasan Tanpa Rokok, seperti Kantor Pemerintah Di Dinas
Penanaman Modal Dan Perizinan Kota Yogyakarta. Rokok merupakan salah
satu produk tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar dan dihisap asapnya
seperti rokok kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk lainnnya yang dihasilkan
dari tanaman nicotiana rustica, nicotiana tabacumda spesies lainnya yang
asapnya mengandung nikotin dan tar dengan atau bahan tambahan.
Dalam asap rokok sudah menjadi isu penting dalam beberapa tahun
terakhir. Banyak penelitian mempublikasikan bahaya asap rokok bagi si
perokok maupun bagi orang yang berada disekitarnya. Kebiasaan merokok
merupakan perilaku yang sulit untuk diubah karena efek kecanduan yang
ditimbulkan dari nikotin, namun disadari untuk dapat mengurangi dampak
negatifnya terutama terhadap lingkungan, demi kesehatan masyarakat, harus
ada kebijakan efektif yang diambil, salah satunya dengan penerapan kawasan
tanpa rokok. Sanksi yang dijatuhkan terhadap pelanggaran kawasan tanpa
rokok yaitu sangsi administratif seperti teguran dan denda administratif.
Rokok merupakan salah satu masalah publik yang mengemuka di
masyarakat. Bagi perokok aktif tentu paparan asap rokok sama sekali tidak
menjadi masalah dalam kehidupannya. Asap rokok sangat merugikan perokok
pasif seperti penyebab berbagai penyakit seperti kanker paru-paru, penyakit
jantung, asma dan juga akan menganggu masyarakat lainnya yang ingin
menjalani kehidupan dengan pola hidup sehat. Seharusnya kebebasan kita
5
akan sesuatu hal dibatasi dengan kebebasan orang lain. Untuk mengatasi
permasalahan bahaya rokok bagi masyarakat tidak hanya menjadi tugas Dinas
Kesehatan saja tetapi juga memerlukan campur tangan dari Lembaga
Pendidikan, Penegak Hukum, LSM Dan Kelompok Kepentingan Lainnnya.
Pemerintah saat ini sudah melakukan upaya-upaya untuk mengurangi
minat konsumsi rokok masyarakat. Beberapa upaya yang dilakukan
pemerintah untuk mengurangi minat konsumsi masyarakat terhadap rokok
tersebut adalah dengan memberi gambar menyeramkan pada bungkus rokok.
Hal tersebut tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012
dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2013. Dikatakan “mulai
selasa (24 juni 2014), semua produk rokok di tanah air wajib mencantumkan
peringatan bahaya rokok bagi kesehatan disetiap bungkusan rokok, dengan
adanya peringatan tersebut diharapkan masyarakat mulai berpikir akan bahaya
yang mereka dapatkan ketika mengkonsumsi rokok. Bahaya yang dimaksud
adalah kerugian terhadap diri sendiri dan juga orang lain. Kerugian terhadap
diri sendiri dan orang lain akan dirasakan pada aspek kesehatan dan juga
materi.
Selain upaya pelarangan diatas, saat ini pemerintah juga sedang
gencar-gencarnya peringatan akan bahaya merokok melalui iklan dan
spanduk-spanduk yang bertebaran dibanyak tempat. Salah satu contoh iklan
yang pernah kita lihat di telivisi adalah bagaimana seorang perempuan akan
kehilangan suaranya dikarenakan menghirup asap rokok. Asap rokok yang
dimaksud adalah bahwa ia berada dalam lingkungan orang yang merokok,
6
karena sebenarnya orang yang menghirup asap rokok lebih mengalami bahaya
daripada orang yang merokok itu sendiri. Iklan lain yang menyinggung
tentang rokok adalah bagaimana seorang ibu yang akan kehilangan anaknya
dikarenakan mengalami kanker pada tenggorakannya, yang hal itu terjadi
akibat mengkonsumsi rokok. Selain iklan televisi tersebut, spanduk yang
bertuliskan “merokok membunuhmu” juga sangat mudah kita jumpai disetiap
ujung jalan atau persimpangan-persimpangan di kota-kota besar, termasuk
kota Yogyakarta.
Kota Yogyakarta yang mendapat julukan sebagai kota pelajar pun tak
luput dari peredaran rokok dengan jumlah yang sangat tinggi, pada tahun 2014
penerimaan pajak rokok yang beredar bagi Provinsi dan Kabupaten di DIY
seluruhnya diperkirakan sekitar Rp 130 Miliar. Jumlah tersebut tidak lepas
dari tingginya peredaran di Kota Yogyakarta ini. Menurut Kepala Bidang
Promosi Dan Pengembangan Sistem Informasi Kesehatan Dinas Kesehatan
Kota Yogyakarta Tri Mardaya, DIY menempati rangking 4 perokok pemula
terbesar di Indonesia, dimana 16% diantaranya masih sekitar 9-16 tahun.
selain penduduk asli Kota Yogyakarta, konsumen rokok di Yogyakarta juga
merupakan para mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di perguruan tinggi
yang ada di kota ini. Walaupun sebenarnya tidak semua mahasiswa
mengkonsumsi rokok, namun keberadaan mahasiswa tetap mempengaruhi
jumlah peredaran rokok di Kota Yogyakarta.
Kota Yogyakarta saat ini juga sedang gencar mensosialisasikan tentang
bahaya merokok. Dalam Perda Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa
7
Rokok, ada 7 tempat penerapan Kawasan Tanpa Rokok meliputi: a. Fasilitas
pelayanan kesehatan, b. Tempat proses belejar-mengajar, c. Tempat anak
bermain, d.tempat ibadah, e. Angkutan umum, f. Tempat kerja dan g. Tempat
umum dan tempat lain yang ditetapkan.
Dalam Perda Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa Rokok
pasal 10 menjelaskan tempat kerja meliputi: a. Kantor Pemerintah, b. kantor
milik pribadi/swasta, dan c. industri/pabrik. Dari penjabaran diatas, Peneliti
menfokuskan penelitan ini di tempat kerja (Kantor Pemerintah) di Dinas
Perizinan Kota Yogyakarta,
Dalam Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa
Rokok pasal 16 mengatakan Perangkat Daerah yang menyelenggarakan
urusan di bidang kesehatan bertanggung jawab untuk melaksanakan penetapan
KTR.. Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud adalah berkewajiban
menindaklanjuti penetapan KTR, dengan: a. mengumpulkan data dan
informasi tentang KTR di Daerah, b. melakukan pendidikan tentang bahaya
rokok bagi masyarakat, c. melakukan sosialisasi peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan KTR, d. melakukan pemantauan dan
evaluasi terhadap pelaksanaan KTR, dan e. melaksanakan pembinaan dan
pengawasan pelaksanaan ketentuan KTR.
Dalam Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa
Rokok pasal 17 mengatakan Tanggungjawab dan Kewajiban Pengelola atau
Penanggungjawab KTR, (1) Pengelola atau penanggungjawab KTR wajib: a.
memasang papan pengumuman KTR dengan memuat tanda larangan
8
merokok, larangan mengiklankan produk rokok dan larangan menjual produk
rokok; b. tidak menyediakan asbak di KTR; c. melakukan pemantauan dan
evaluasi terhadap pelaksanaan KTR; d. memasang tanda, tulisan dan/atau
gambar tentang bahaya rokok; dan e. melakukan pengawasan pada tempat
dan/atau lokasi yang menjadi tanggung jawabnya serta melaporkan hasil
pengawasan kepada perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan setiap 6 (enam) bulan. (2) Pengelola atau
penanggungjawab KTR pada tempat kerja dan tempat umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf f dan huruf g wajib menyediakan tempat
khusus merokok. (3) Tempat khusus merokok sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. merupakan ruang
terbuka yang berhubungan langsung dengan udara luar sehingga udara dapat
bersirkulasi dengan baik; b. terpisah dari gedung utama atau ruang lain yang
digunakan untuk beraktifitas dan dalam persil yang sama; c. jauh dari pintu
masuk dan keluar; dan d. jauh dari tempat orang berlalu-lalang. (4) Contoh
tanda larangan merokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.
Dalam Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa
Rokok pasal 18 mengatakan (1) Pengelola atau penanggung jawab KTR yang
tidak melaksanakan ketentuan sebagimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa : a. peringatan lisan; b.
peringatan tertulis; dan/atau c. dipublikasikan. (2) Ketentuan lebih lanjut
9
mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Walikota.
Dalam Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa
Rokok, ada banyak tanggapan dari masyarakat Kota Yogyakarta terkait
peraturan tersebut, baik yang pro maupun yang kontra. Hal ini merupakan
sesuatu yang bisa dikatakan wajar, sebab setiap masyarakat memiliki
pandangan dan kepentingan yang berbeda-beda. Bagi mereka yang pro, tentu
akan sangat mendukung diberlakukannya Peraturan Daerah tersebut. Namun
sikap berbeda akan ditunjukkan oleh mereka yang kontra. Sehingga mereka
akan berusaha mencari alasan untuk tidak mendukung Peraturan Daerah
tersebut. Pada tahun 2015 masih ditemukan masyarakat yang merokok di
Balai Kota Yogyakarta, dan tugas dari Dinas Kesehatan adalah
mensosialisasikan kepada masyarakat tentang Peraturan Kawasan Tanpa
Rokok, tidak hanya kepada masyarakat saja tetapi Dinas Kesehatan juga
mensosialisasi Kepada instasi Pemerintahan (Perwakilan tim KTR) sehingga
Tim KTR dapat menyebarkan Informasi tentang Kawasan Tanpa Rokok di
Instansinya Masing-masing.
Diterbitkan Peraturan Daerah tersebut dinilai sebagai upaya konkrit
Pemerintahan Daerah untuk menciptakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di
Kota Yogyakarta, terkhususnya di tempat penelitian ini yang fokusnya
mengambil tempat di Dinas Penanaman Modal dan Perizinan. Alasan
mengapa peneliti menetapkan tempat penelitian di Dinas Penanaman Modal
dan Perizinan adalah Peraturan Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa
Rokok ini dibuat pada tahun 2017 namun pelaksaan Kawasan Tanpa Rokok di
10
Dinas Penanaman Modal dan Perizinan telah dilaksanakan mulai tahun 2015
dengan dasar hukumnya Adalah Peraturan Walikota Nomor 12 Tahun 2015
Pada Tahun Selanjutnya Di Tahun 2016 Ada Perubahan Peraturan Menjadi
Peraturan Walikota Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Kawasan Tanpa Tokok,
Sehingga Pada Saat Dikeluarkannya Peraturan Nomor 2 Tahun 2017 Tentang
Kawasan Tanpa Rokok Dinas Penanaman Modal Dan Perizinan Kota
Yogyakarta sebagai salah satu aktor yang akan mengimplementasikan
peraturan tersebut. Peneliti ingin melihat sejauhmana implementasi Kebijakan
Peraturan Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa Rokok yang berlaku
di Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Kota Yogyakarta. Melihat dan
mencermati kondisi Pro dan Kontra dalam menyikapi Kebijakan pemerintah
daerah di atas, membuat penyususn tertarik untuk melakukan penelitian
terhadap Implementasi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2017 Tentang
Kawasan Tanpa Rokok.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana Implementasi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2017
tentang Kawasan Tanpa Rokok di Dinas Penanaman Modal dan Perizinan
Kota Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang
Implementasi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa
Rokok di Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Kota Yogyakarta.
11
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dalam penelitian ini adalah untuk memperkaya
kajian tentang Implementasi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2017
Tentang Kawasan Tanpa Rokok. Kajian tentang implementasi kebijakan
adalah kajian keilmuan yang sangat menarik untuk diteliti dan dikuasai.
Hasil kajian ini diharapkan mampu menjadi referensi bagi kajian-kajian
lainnya yang berfokus tentang Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Pemerintah. Hasil kajian ini bisa dijadikan sebagai rujukan oleh
pemerintah baik dari tingkat daerah sampai dengan nasional, baik di
dalam dinas apapun, sebagai bahan pedoman dalam Implementasi
Kawasan Tanpa Rokok.
b. Bagi Dinas Penananaman Modal dan Perizinan, Dinas Kesehatan dan
Masyarakat. Hasil kajian ini bisa dijadikan rujukan untuk
impelementasi kebijakan kawasan tanpa rokok yang sedang dihadapi.
c. Bagi akademisi dan aktivis. Hasil kajian ini diharapkan mampu
memperkaya pengetahuan dan menambah pengalaman para akademisi
dan aktivis sehingga lebih mampu memahami Pengimplementasian
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok.
12
E. KerangkaTeori
1. Kebijakan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebijakan adalah rangkaian
konsep untuk menyelesaikan beberapa permasalahan. Menurut Carl
Friedrich, kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan
yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu
lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan
tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau
mewujudkan sasaran yang diinginkan. Philipus M. Hadjon mengatakan
bahwa kebijakan merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang
bertujuan menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis. Kebijkan
berfungsi sebagai bagian dari operasional penyelenggaraan tugas-tugas
pemerintahan, karenanya tidak dapat mengubah atau menyimpangi
peraturan perundang-undangan. (Ridwan HR, 2013: 174-175).
Menurut P.J.P Tak, kebijakan merupakan peraturan umum yang
dikeluarkan oleh instansi pemerintahan berkenaan dengan pelaksaanaan
wewenang pemerintahan terhadap warga negara atau terhadap instansi
pemerintah lainnya dan pembuatan peraturan tersebut tidak memiliki dasar
yang tegas dalam Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang formal baik
langsung maupun tidak langsung. Artinya kebijakan tidak didasarkan
kewenangan pembuatan Undang-Undang dan oleh karena itu, termasuk
peraturan perundang-undangan yang mengikat umum tetapi diletakkan
pada wewenang pemerintahan suatu organ administrasi negara dan terikat
13
dengan pelaksanaan kewenangannya. (Juniarso Ridwan dan Achmad
Sodik Sudrajat, 2014: 156).
Kebijakan menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada
masalah dan berorientasi kepada tindakan. Dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip
untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan
konsisten dalam mencapai tujuan tertentu. (Edi Suharto, 2006: 7).
Commissie Wetgevingsvraagstukken merumuskan kebijakan
sebagai suatu peraturan umum tentang pelaksanaan wewenang
pemerintahan terhadap warga negara (warga negara, juga organ
pemerintahan lainnya) ditetapkan berdasarkan kekuasaan sendiri oleh
instansi pemerintahan yang berwenang atau instansi pemerintahan yang
secara hirarki lebih tinggi. Kebijakan secara esensial berkenaan dengan
organ pemerintahan dalam hal ini semata-mata menggunakan kewenangan
untuk menjalankan tindakan-tindakan pemerintahan, kewenangan
pemerintahan itu tidak terikat secara tegas, dan ketentuan umum
digunakan pada pelaksanaan kewenangan. (Ridwan HR, 2013: 176-177).
Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang
kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus
dikaji. Oleh karena itu, beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk
mengkaji kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan
publik kedalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk
memudahkan kita dalam mengkaji kebijkan publik. Namun demikian,
14
beberapa ahli mungkin membagi tahap-tahap ini dengan urutan yang
berbeda. Tahap-tahap kebijkan publik menurut William Dunn adalah
sebagai berikut:
a. Tahap penyusunan agenda
Para penjabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah
pada agenda publik. Sebelumnya masalah ini berkompetensi terlebih
dahulu untuk dapat masuk dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya,
beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan.
Pada tahap ini mungkin suatu masalah tidak disentuh sama sekali,
sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan,
atau ada pula masalah karena alasan-alasan tertentu ditunda untuk
waktu yang lama.
b. Tahap formulasi kebijakan
Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian
dibahas oleh para pembuat kebijkan. Masalah-masalah tadi
didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik.
Pemecahan masalah tersebut berasal dari alternatif atau pilihan
kebijakan (policy alternatives/policy options) yang ada. Dalam
perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat
dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.
Dalam tahap ini masing-masing aktor akan bersaing dan berusaha
untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.
15
c. Tahap adopsi kebijakan
Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh
para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif
kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif,
konsensus antara direktur lembaga atau putusan peradilan.
d. Tahap implementasi kebijakan
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan
elit jika program tersebut tidak diimplementasikan, yakni dilaksanakan
oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di
tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-
unit administrasikan yang memobilisasikan sumber daya finansial dan
manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan
bersaing. Beberapa implementasi kebijkan mendapat dukungan para
pelaksana (implementors), namun beberapa yang lain mungkin akan
ditentang oleh para pelaksana.
e. Tahap evaluasi kebijakan
Dalam tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai
atau dievaluasi, untuk melihat sejauhmana kebijakan yang dibuat
untuk meraih dampak yang diinginkan, yaitu memecahkan masalah
yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, ditentukan ukuran-ukuran
atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah
kebijakan publik yang telah dilaksanakan sudah mencapai dampak atau
tujuan yang diinginkan atau belum. (William Dunn; Winarno, 2012:
16
32-34)
Jadi berdasarkan pandangan-pandagan diatas dapat disimpulkan
bahwa secara lebih luas atau secara umum makna dari kebijakan adalah
sebagai alat atau pedoman untuk bertindak. Pedoman ini bisa saja
sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit,
kabur atau jelas, longgar atau terperinci bersifat kualitatif atau kuantitatif,
publik atau privat. Kebijakan dalam maknanya seperti ini mungkin berupa
suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah
tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu, atau
suatu rencana.(Solichin Abdul Wahab, 2014: 9).
Menurut peneliti kebijakan merupakan suatu rangkaian konsep
atau peraturan yang di usulkan seseorang, kelompok, atau instansi
pemerintahan untuk mencapai tujuan atau meweujudkan sasaran yang
ingin dicapai.
2. Impelentasi Kebijakan
Pengertian implementasi menurut Van Meter dan Van Horn dalam
Herabudin (2016: 114) bahwa implementasi adalah “tindakan yang
dilakukan oleh individu/pejabat atau kelompok pemerintah atau swasta
yang diarahkan pada tercapainya tujuan yang telah digariskan dalam
keputusan kebijakan” (Herabudin, 2016: 114).
Implemantasi adalah memahami hal-hal yang seharusnya terjadi
setelah suatu program dinyatakan untuk diberlakukan ke masyarakat atau
sudah dirumuskan oleh pemerintah. Dalam hal ini pemahaman itu
17
mencakup usaha-usaha untuk mengadministrasikannya dan menimbulkan
dampak nyata pada masyarakat.
Ada beberapa pendekatan implementasi kebijakan pemerintah,
salah satunya adalah pendekatan George Charles Edwards III (1980).
Implementasi menurut Edward adalah sebagai tahapan dalam proses
kebijaksanaan yang berada di antara tahapan penyusunan kebijaksanaan
dan hasil konsekuensi yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan itu
(output,outcome) (Herabudin, 2016: 127).
Implementasi atau penerapan yang menjadi salah satu bagian
proses dalam sebuah kebijkan. Pelaksanaan inilah yang nantinya akan
menentukan apakah sebuah kebijakan dapat benar-benar diterima dan
menjadi penentu tujuan dibuatnya kebijakan tersebut.
George C Edward III mengemukakan empat variabel yang
memiliki peran penting sebagai indikator dalam keberhasilan
impelementasi suatu kebijakan. Empat variabel rersebut adalah:
a. Komunikasi
Menunjuk bahwa setiap kebijakan akan dapat dilaksanakan
dengan baik jika terjadi komunikasi efektif antara pelaksana program
(kebijakan) dengan para kelompok sasaran (target group). Tujuan dan
sasaran dari program/kebijakan dapat disosialisasikan secara baik
sehingga dapat menghindari adanya distorsi atas kebijakan ini.
18
b. Sumber daya
Menujuk kebijakan harus didukung oleh sumber daya yang
memadai, baik sumber daya manusia maupun sumber daya finansial.
Sumber daya manusia adalah kecukupan kualitas maupun kuantitas
implementator yang dapat melingkupi seluruh kelompok sasaran.
Sumber daya finansial adalah kecukupan modal investasi sebuah
program/kebijkan.
c. Disposisi
Menunjuk karakteristik yang menempel erat kepada
implementator kebijakan/program. Karakter yang penting dimiliki oleh
pelaksana adalah kejujuran, komitmen, dan demokratis. Implementator
yang memiliki komitmen tinggi dan jujur akan senantiasa bertahan
diantara hambatan yang ditemui dalam program/kebijakan.
d. Struktur birokrasi
Menunjuk bahwa struktur birokrasi menjadi penting dalam
implementasi kebijkan. Aspek struktur birokrasi ini mencakup dua hal
penting antara lain mekanisme dan struktur birokrasi pelaksana sendiri.
Mekanisme implementasi program biasanya sudah ditetapkan melalui
standar operating procedur (SOP) yang dicantumkan dalam guideline
program/kebijkan. Sedangkan struktur organisasi pelaksana sejauh
mungkin menghindari hal yang berbelit, panjang dan kompleks.
Struktur organisasi pelaksana harus dapat menjamin adanya
19
pengambilan keputusan atas kejadian luar biasa dalam
program/kebijkan secara cepat.
Keempat variabel yang diungkapkan oleh Edward memiliki
keterkatian satu dengan yang lainnya dalam mencapai tujuan suatu
program/kebijakan seperti model yang telah digambarkan Edward
sebagai berikut:
Sumber: Edward III, 1980:48
Model implementasi dari Edward ini dapat digunakan sebagai
alat pencitra implementasi program/kebijakan diberbagai tempat dan
waktu. Artinya empat variabel yang terdapat di dalam model dapat
digunakan untuk mencitra fenomena implementasi kebijakan publik.
3. Kawasan Tanpa Rokok
Kaitan teori yang digunakan oleh peneliti diatas adalah sebagai
sumber pengertian atau definisi dari impelmentasi yang digunakan dalam
penelitian implementasi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Kawasan Tanpa Rokok yang selanjutnya disingkat KTR adalah ruangan
atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan
Komunikasi
Struktur
Birokrasi
Sumber daya
disposisi
Implementasi
20
memproduksi, menjual, mengiklankan, dan atau mempromosikan produk
tembakau. Kawasan tanpa rokok adalah tempat yang bebas dari kegiatan
merokok, mereka yang merokok akan ditempatkan di ruangan khusus,
tempat itu diperuntukan untuk orang yang melakukan kegiatan merokok.
Tempat Khusus Merokok adalah ruangan yang diperuntukkan khusus
untuk kegiatan merokok yang berada dalam Kawasan Tanpa Rokok
(KTR). Peraturan yang mengatur larangan ditempat umum sudah di
terapkan sejak tahun 1999, dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan, pemerintah melarang orang
merokok di tempat yang sudah ditetapkan.
Penetapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
Kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai tempat bebas
dari kegiatan merokok yaitu: fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses
belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum,
tempat kerja, tempat umum dan tempat lainnya yang ditetapkan. Hal
tersebut sesuai dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003
Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan dalam Pasal 22 dan
Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor
7 Tahun 2011 dalam Pasal 3 Ayat 1) dan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009.
21
1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Fasilitas pelayanan kesehatan adalah alat atau tempat yang
digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan apapun itu
bentuknya yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan
masyarakat. Contohnya rumah sakit swasta, puskesmas, klinik dan lain
sebagainya. Sasaran di fasilitas pelayanan kesehatan yakni
pimpinan/penanggung jawab/pengelola fasilitas pelayanan kesehatan,
pasien, pengunjung, tenaga medis dan non medis.
2) Tempat Proses Belajar Mengajar
Tempat yang dimaksud adalah sarana yang digunakan untuk
kegiatan belajar, mengajar, pendidikan atau pelatihan. Contohnya
sekolah dasar, universitas, sekolah menengah atas atau kejuruan.
Sasaran di tempat ini adalah penanggung jawab/pemimpin/pengelola
tempat proses belajar mengajar, peserta didik/siswa, tenaga
kependidikan/guru, unsur sekolah lainnya (tenaga administrasi,
pegawai di sekolah).
3) Tempat Bermain Anak
Area yang digunakan anak-anak untuk kegiatan bermain, baik
area tertutup maupun terbuka. Contohnya tempat bermain anak yang
ada di taman, taman pintar, kids fun dan tempat sejenis lainnya.
Sasaran dari tempat bermain anak yaitu pimpinan/ penanggungjawab/
pengelola tempat anak bermain, pengguna/pengunjung tempat anak
bermain.
22
4) Tempat Ibadah
Tempat ibadah adalah bangunan atau ruang tertutup yang
memiliki ciri khusus yang dipergunakan untuk kegiatan beribadah bagi
pemeluk agama masing-masing. Tempat ibadah ini tidak termasuk
tempat ibadah keluarga. Contohnya masjid, gereja, pura dan lain
sebagainya. Tempat ibadah sasaran implementasi kawasan tanpa rokok
yaitu pimpinan/penanggung jawab/pengelola tempat ibadah, jama’ah
dan masyarakat di sekitar tempat ibadah. Setiap pimpinan/pengelola
wajib memberikan tindakan kepada sasaran KTR yang sudah
dijelaskan diatas apabila melanggar peraturan.
5) Angkutan Umum
Transportasi yang dipergunakan masyarakat secara umum yang
dapat berupa kendaraan darat, air dan udara, biasanya dengan
kompensasi. Bus kota, kereta api, kapal fery, pesawat terbang dan lain-
lain. Sasaran di angkutan umum adalah pengelola sarana penunjang di
angkutan umum (kantin, hiburan, dan sebagainya), karyawan,
pengemudi dan awak angkutan kemudian penumpang. Setiap
pengemudi atau kondektur pada angkutan umum wajib melarang
penumpang atau setiap orang yang berada di dalam kendaraannya
untuk tidak melakukan kegiatan merokok.
6) Tempat Kerja
Tempat kerja adalah ruangan atau lapangan terbuka atau
tertutup, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja melakukan kegiatan
23
untuk keperluan usaha. Contohnya instansi pemerintah atau kedinasan,
lembaga dan badan pemerintahan. Di tempat kerja sasaran kawasan
tanpa rokok yaitu pimpinan/penanggung jawab/penunjang di tempat
kerja (kantin, toko, dan lain sebagainya), staf/pegawai/karyawan dan
tamu.
7) Tempat Umum dan Tempat Lainnya yang Ditetapkan
Semua tempat tertutup yang dapat diakses oleh masyarakat
umum atau tempat yang dapat dimanfaatkan bersama-sama untuk
kegiatan masyarakat yang dikelola pemerintah, swasta dan masyarakat.
Contohnya stasiun, halte bus, bandara dan terminal angkutan umum.
Sasaran kawasan tanpa rokok di tempat umum yaitu
pimpinan/penanggung jawab/pengelola sarana penunjang di tempat
umum, karyawan dan pengunjung/pengguna tempat umum. Sedangkan
tempat lainnya adalah Tempat terbuka yang disetujui bersama oleh
masyarakat untuk kegiatan oleh masyarakat. Pemerintah mewajibkan
bagi setiap daerah untuk mewujudkan kawasan tanpa rokok. Kebijakan
ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
109 Tahun 2012 pasal 52, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 2003 pasal 25. Tempat khusus untuk merokok harus
memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam
Peraturan Bersama Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam
Negeri Nomor 7 Tahun 2011 Pasal 5 ayat 2, tempat khusus untuk
merokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat;
24
a. Merupakan ruang terbuka atau ruang yang berhubungan langsung
dengan udara luar sehingga udara dapat bersirkulasi dengan baik.
b. Terpisah dari gedung/tempat/ruang utama dan ruang lain yang
digunakan untuk beraktivitas.
c. Jauh dari pintu masuk dan keluar.
d. Jauh dari tempat orang berlalu-lalang.
Tujuan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
Penetapan kawasan tanpa rokok dirasa penting, langkah ini
merupakan upaya perlindungan untuk masyarakat terhadap risiko ancaman
gangguan kesehatan karena lingkungan yang tercemar asap rokok dari
pemerintah sebagai bentuk rasa tanggung jawab atas kesehatan
masyarakat. Melindungi kelompok masyarakat yang rentan terhadap risiko
ancaman gangguan kesehatan akibat asap rokok seperti bayi, balita, ibu
hamil dan lansia (Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 2).
Tujuan dengan diciptakannya kawasan tanpa rokok dijelaskan
dalam Pedoman Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok Tahun 2011 Dari
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Peraturan Gubernur
Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 3) yaitu;
a. Mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih: dan
b. Mewujudkan masyarakat yang sehat.
Dari pemaparan teori mengenai Implementasi kebijakan maka
peneliti menyimpulkan bahwa di dalam sebuah implementasi kebijakan
25
dibutuhkan indikator keberhasilan sebuah implementasi kebijakan. Berikut
beberapa indikator menurut peneliti:
a. Komunikasi
Komunikasi menjadi faktor penting antar pelaksana dan
kelompok sasaran jika terjadi komunikasi yang baik. Tujuan dari
kebijakan itu sendiri juga dapat disosialisasikan dengan baik sehingga
kemungkinan distorsi atas kebijakan ini menjadi lebih kecil. Dalam
penelitian ini bekerja sama dengan dinas Penanaman Modal dan
Perizinan sebagai aktor pelaksana kebijakan dan kelompok sasaran
(masyarakat) harus terjadi hubungan komunikasi yang baik.
b. Sumberdaya
Menurut peneliti Sumberdaya menjadi salah satu indikator
penting dalam sebuah implementasi, karena dibutuhkan kemampuan
SDM yang memadai sebagai pelaksana.
c. Disposisi
Disposisi merupakan karakteristik pelaksana kebijakan. Ini
terkait dengan karakter serta komitmen dari impelentator sebagai
pelaksana dilapangan. Implementator dituntut memiliki komitmen
yang kuat guna tetap melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
ini meski di dalam pelaksanaannya nanti akan menemui hambatan.
Memiliki visi dan misi dalam dalam pelaksanaannya serta menyiapkan
alternatif pemecahan masalah jika ditemui hambatan.
26
d. Struktur birokrasi
Ada dua hal penting yang menjadi hal penting antara lain
mekanisme dan struktur birokrasi pelaksana sendiri. Mekanisme
pelaksanaan kebijakan biasanya sudah ditetapkan Standar Operating
Prosedure (SOP) yang dicantumkan dalam guildeline
program/kebijakan. Sedangkan struktur birokrasi pelaksana sejauh
mungkin menghindari hal yang berbelit-belit, panjang, dan kompleks.
F. Ruang Lingkup
Ruang Lingkup dalam penelitian tentang “Implementasi Kebijakan
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa Rokok Di
Dinas Perizinan Kota Yogyakarta” pengukuran atau indikator keberhasilan
Implementasi kebijakan sebagai berikut:
a. Komunikasi
Komunikasi menjadi Faktor penting antar pelaksana dengan
kelompok sasaran, jika terjadi komunikasi yang baik. Tujuan dari
kebijakan itu sendiri juga dapat disosialisasikan dengan baik sehinga
kemungkinan distorsi atas kebijakan ini menjadi lebih kecil. Dalam
penelitian ini kerja sama antara pelaksana dan kelompok sasaran harus
terjalin hubungan komunikasi yang baik, dalam Pelaksanaan kebijakan di
Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Kota Yogyakarta.
27
b. Sumberdaya
Menurut penulis atau peneliti sumberdaya menjadi salah satu
indikator penting dalam sebuah pelaksanaan kebijakan (aktor) yaitu Dinas
Penanaman Modal Perizinan, karena dibutuhkan dana dan kemampuan
Sumber Daya Manusia yang memadai sebagai pelaksana.
c. Disposisi
Disposisi merupakan karakteristik pelaksana kebijakan. Ini terkait
erat dengan karakter serta komitmen dari implementator sebagai pelaksana
dilapangan. Implementator dituntut memiliki komitmen yang kuat guna
tetap melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok ini meski di dalam
pelaksanaannya nanti akan menemui hambatan, serta menyiapkan
alternatif pemecahan masalah jika ditemui hambatan.
d. Sturktur birokrasi
Struktur birokrasi menjadi penting dalam implementasi sebuah
kebijakan. Struktur birokrasi ada dua hal penting yang menjadi hal penting
antara lain mekanisme dan struktur birokrasi pelaksana sendiri.
Mekanisme pelaksanaan kebijakan biasanya sudah ditetapkan Standar
Operating Prosedure (SOP) yang dicantumkan dalam guildeline
program/kebijakan. Sedangkan struktur birokrasi pelaksana sejauh
mungkin menghindari hal yang berbelit-belit, panjang, dan kompleks.
28
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah deskriptif kualitatif,
penulisan deskriptif yaitu data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata,
gambar, dan bukan angka-angka. Penelitian deskriptif bertujuan untuk
mengetahui atau menginginkan hasil data empiris yang sebenar-benarnya.
Analisis kualitatif pada dasarnya mempergunakan pemikiran logis, analisis
dengan logika induksi dan deduksi, analogi komparasi dan sejenisnya
(Lexy J. Moleong, 2007:11).
Penelitian ini akan melihat dan menjelaskan lebih dalam tentang
Implementasi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Kawasan
Tanpa Rokok (KTR) Di Dinas Penanaman Modal Dan Perizinan Kota
Yogyakarta.
2. Unit Analisis
Unit analisis atau yang disebut subyek penelitian adalah satuan
tertentu yang diperhitungkan sebagai subyek penelitian. Objek Penelitian
ini adalah Implementasi kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di kantor Dinas
Perizinan Kota Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan
demikian yang menjadi Subjek penelitian adalah:
a. Kepala Bagian Umum dan Kepegawaian
b. Kepala Seksi Promosi dan Pemberdayaan masyarakat (Dinas
kesehatan)
c. Staf Bagian Umum dan Kepegawaian
29
d. Bidang regulasi dan informasi,
e. Bidang seksi Data dan Informasi
f. Bidang seksi Verifikasi dan Penerbitan Izin
g. Masyarakat.
3. Teknik Penentuan Informan
Objek kajian penelitian kualitatif sering bersifat kasuistik. Peneliti
tidak mementingkan generalisasi. Oleh karena itu, sampel ditentukan
secara purposif (sengaja/dengan pertimbangan) sehingga sampel penelitian
tidak perlu mewakili populasi. Pertimbangannya lebih pada kemampuan
sampel (informan) untuk memasok informasi selengkap mungkin kepada
peneliti. Penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tetapi
dinamakan situasi sosial yang terdiri dari tiga elemen, yaitu tempat (place),
pelaku (actor), dan aktivitas (activity).
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan teknik purposive,
Purposive adalah teknik pengambilan data yang didasarkan kepada
peneliti. Peneliti harus menentukan siapa yang harus dijadikan sample.
Penentuan sample ini dengan memperhatikan beberapa aspek seperti
kelompok yang dipertimbangkan secara cermat (intuisi) dan kelompok
terbaik (yang dinilai akan memberikan informasi yang cukup), untuk
dipilih menjadi responden penelitian. Karena itu purposive dikenal juga
dengan sebutan judgemental sampling. Dikatakan demikian karena perlu
adanya pertimbangan yang cermat dalam memilih kelompok kunci sebagai
sampel.
30
Responden tersebut adalah Berdasarkan kebutuhan untuk
memperoleh akurasi data, maka penulis menentukan responden ada 3
(tiga), yaitu: Dinas Penanaman Modal Dan Perizinan, Dinas Kesehatan
Dan Masyarakat.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, teknik pengumpulan dan pengelolaan data yang
penyusun gunakan adalah melalui :
a. Observasi
Obsevasi adalah metode pengumpulan data dimana peneliti
mengadakan pengamatan terhadap gejala subyek yang diselidiki baik
pengamatan itu dilakukan didalam situasi buatan yang khusus
diadakan data yang diobservasi merupakan data yang dibutuhkan
dalam penelitian sesuai dengan tujuan penelitian (Winarno Surachmad,
1990: 162). Dalam obsevasi ini, dilakukan pengamatan yang intensif
dan pencatatan yang sistematis terhadap fenomena-fenomena dan
gejala-gejala yang di teliti yaitu mengenai Implementasi Peraturan
Daerah Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Di
Dinas Penanaman Modal Dan Perizinan Kota Yogyakarta.
b. Wawancara
Wawancara adalah penelitian yang dilakukan dengan cara
mengadakan Tanya jawab secara langsung baik lisan maupun tulisan
tentang masalah yang dibahas (Winarno Surachmad, 1990: 163).
Metode ini dilakukan dengan wawancara langsung dengan informan
31
yang dilakukan guna mengetahui Implementasi Peraturan Daerah
Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Di Dinas
Penanaman Modal Dan Perizinan Kota Yogyakarta.
c. Dokumentasi
Menurut Moleong, Dokumentasi adalah metode pengumpulan
data didasarkan pada dokumen-dokumen atau catatan-catatan yang ada
di daerah penelitian. Menurutnya, ada dua bentuk dokumentasi yaitu,
record and document. Record adalah setiap pernyataan tertulis yang
disusun oleh seseorang atau lembaga untuk keperluan pengujian suatu
peristiwa atau mengajukan akunting. Sedangkan document adalah,
setiap bahan tertulis ataupun film.
1) Document dan record digunakan karena merupakan sumber yang
stabil, kaya dan mendorong.
2) Berguna sebagai bukti untuk suatu pengujian.
3) Keduanya berguna dan sesuai dengan penelitian kualitatif karena
sifatnya yang alamiah, sesuai dengan konteks, lahir dan berada
dalam konteks.
4) Record relatif lebih murah dan mudah diperoleh, tetapi document
harus dicari dan ditemukan.
Dengan demikian, dokumentasi merupakan proses
menghimpun data, mencatat dan mengarsipkan setiap data yang
diperoleh sehingga mampu memberi bukti yang kuat atas hasil
penelitian.
32
5. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif.
Dimana, analisis data kualitatif menurut Bogdan dan Biklen adalah upaya
yang dilakukan dengan cara bekerja dengan data, mengorganisasikan data,
memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,
mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang
penting dan apa yang dicari, dan memutuskan apa yang akan diceritakan
kepada orang lain. Dipihak lain, analisis data kualitatif prosesnya berjalan
sebagai berikut:
a. Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi
kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri.
b. Mengumpulkan, Memilah-milah, mengklasifikasikan, membuat
ikhtisar, dan membuat indeks.
c. Berpikir, dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai
makna, mencari dan menemukan pola hubungan-hubungan dan
membuat temuan-temuan umum.
Dari definisi tersebut dapat kita pahami bahwa, ada yang
mengemukakan proses, ada pula yang menjelaskan tentang komponen-
komponen yang perlu ada dalam suatu analisis data (Lexy J. Moleong,
2005:248.)
33
BAB II
PROFIL DINAS PENANAMAN MODAL DAN PERIZINAN
A. Selayang Pandang Tentang Sejarah Berdirinya Dinas Penanaman Modal
Dan Perizinan Kota Yogyakarta
Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Kota Yogyakarta terbentuk
pada tahun 2016 tepatnya 21 oktober 2016 dengan Peraturan Daerah Kota
Yogyakarta Nomor 5 tahun 2016 tentang Pembentukan Dan Susunan
Perangkat Daerah Kota Yogyakarta, yang secara efektif baru berlaku pada 3
januari 2017.
Keberadaan Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Kota Yogyakarta
sebenarnya sudah cukup umur/dewasa yang sebelumnya bernomenklatur
Dinas Perizinan Kota Yogyakarta yang dibentuk dengan Peraturan Daerah
Kota Yogyakarta Nomor 17 tahun 2005 tentang Pembentukan, Organisasi dan
Tata Kerja Dinas Perizinan Kota Yogyakarta dan disempurnakan dengan
Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 10 tahun 2008 tentang
Pembentukan, Susunan, Kedudukan dan Tugas Pokok Dinas Daerah.
Sebelum Dinas Perizinan Kota Yogyakarta terbentuk pelayanan
perizinan diselenggarakan oleh Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA)
yang mendasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor
503/125/POUD Tahun 1997 perihal Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu
Perizinan di Daerah, Pemerintah Kota Yogyakarta membentuk Unit Pelayanan
Terpadu Satu Atap dengan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 01 tahun
34
2000 tentang Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) Kota
Yogyakarta, yang dipimpin oleh seorang Koordinator dengan jabatan non
esselon dengan tunjangan jabatan disetarakan dengan esselon IV.
Pembentukan Lembaga UPTSA waktu itu sebagai upaya untuk
menjawab tuntutan dari masyarakat umum dan dunia usaha terhadap
pelayanan yang diberikan oleh pemerintah Kota Yogyakarta dalam
pengurusan perizinan tidak berbelit-belit, tidak berbiaya tinggi dan lebih
transparan dalam memproses perizinan. Jenis pelayanan yang dilayani UPTSA
ada 12 (dua belas) jenis izin.
Lembaga UPTSA masih terdapat banyak kelemahan, diantaranya:
waktu proses perizinan masih dirasa terlalu lama dan UPTSA hanya sebagai
kantor administrasi (front office), sedangkan untuk proses perizinan lainnya
tetap di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) teknis, untuk proses pengiriman
berkas permohonan perizinan dari UPTSA ke OPD teknis memakan waktu
lama, dan proses semakin panjang apabila dalam penelitian berkas di OPD
ditemukan kekurangan persyaratan.
Sehingga agar pelayanan perizinan di Kota Yogyakarta menjadi lebih
efektif, maka dibentuk lembaga pelayanan perizinan yang definitif berupa
Dinas dengan diterapkannya Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 17
tahun 2005 tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perizinan
yang dipimpin oleh seorang Kepala Dinas dengan jabatan struktural esselon II
b.
35
Dinas Penanaman Modal dam Perizinan Kota Yogyakarta berdasarkan
Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 14 Tahun 2016 menerima pelimpahan
Kewenangan Perizinan sejumlah 27 jenis perizinan dalam perkembangannya
sekarang ini menjadi 29 jenis perizinan dan 6 non perizinan, dikarenakan ada
penembahan 3 jenis perizinan yaitu Izin Reklame, Izin Prinsip dan Izin Usaha
Penanaman Modal, serta pengurangan 1 jenis izin yaitu Izin Gangguan (HO).
Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Kota Yogyakarta Mempunyai
Kewenangan Cukup Luas (Mutlak) yaitu meliputi:
- Pemberian Izin dan non izin;
- Penolakan Permohonan izin dan non izin;
- Pembatalan izin dan non izin;
- Pencabutan izin dan non izin;
- Legalilasi dan Duplikat izin dan non izin; serta
- Pengawasan izin dan non izin
B. Visi dan misi
Visi
Terwujudnya Pelayanan Penanaman Modal dan Perizinan yang Adil,
Transparan dan Akuntabel
Misi
Mewujudnya Pelayanan Penanaman Modal dan Perizinan yang Adil,
Transparan dan Akuntabel, melakukan pengawasan, pengaduan dan advokasi