1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas lebih dari 28 juta hektar yang kini menghadapi ancaman dan persoalan pengelolaan yang sangat berat. Ancaman tersebut dapat berupa ancaman langsung maupun tidak langsung. Ancaman langsung meliputi praktik penebangan liar, penyerobotan dan konversi lahan, penangkapan hewan langka, pengeboman ikan, maupun yang disebabkan oleh faktor-faktor alam seperti kebakaran hutan dan fenomena pemanasan global yang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Ancaman tidak langsung meliputi hal-hal yang disebabkan oleh adanya kebijakan yang berkonotasi dua (ambiguity), ketidakjelasan akan hak-hak dan akses masyarakat, peraturan perundang-undangan yang kurang memadai dan tumpang tindih, serta penegakan hukum yang lemah sehingga pengelolaan kawasan konservasi termasuk yang berkategori taman wisata alam laut tidak efektif. Pengelolaan terumbu karang di kawasan Teluk Kupang merupakan salah satu kawasan konservasi di Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) juga menghadapi pemasalahan seperti yang dipaparkan sebelumnya. Hal tersebut bahkan diperburuk dengan minimnya pendanaan untuk operasional konservasi dan kurangnya kesadaran dari masyarakat akan arti penting sumberdaya terumbu karang baik dari segi ekonomi, sosial maupun budaya. Penangkapan ikan dengan cara-cara tidak ramah lingkungan, seperti penangkapan ikan dengan bom telah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas
lebih dari 28 juta hektar yang kini menghadapi ancaman dan persoalan
pengelolaan yang sangat berat. Ancaman tersebut dapat berupa ancaman langsung
maupun tidak langsung. Ancaman langsung meliputi praktik penebangan liar,
penyerobotan dan konversi lahan, penangkapan hewan langka, pengeboman ikan,
maupun yang disebabkan oleh faktor-faktor alam seperti kebakaran hutan dan
fenomena pemanasan global yang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim.
Ancaman tidak langsung meliputi hal-hal yang disebabkan oleh adanya kebijakan
yang berkonotasi dua (ambiguity), ketidakjelasan akan hak-hak dan akses
masyarakat, peraturan perundang-undangan yang kurang memadai dan tumpang
tindih, serta penegakan hukum yang lemah sehingga pengelolaan kawasan
konservasi termasuk yang berkategori taman wisata alam laut tidak efektif.
Pengelolaan terumbu karang di kawasan Teluk Kupang merupakan salah
satu kawasan konservasi di Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) juga
menghadapi pemasalahan seperti yang dipaparkan sebelumnya. Hal tersebut
bahkan diperburuk dengan minimnya pendanaan untuk operasional konservasi
dan kurangnya kesadaran dari masyarakat akan arti penting sumberdaya terumbu
karang baik dari segi ekonomi, sosial maupun budaya. Penangkapan ikan dengan
cara-cara tidak ramah lingkungan, seperti penangkapan ikan dengan bom telah
2
menghancurkan ekosistem terumbu karang di beberapa kawasan Teluk Kupang,
demikian pula aktivitas pariwisata sering menimbulkan dampak terhadap
kehidupan karang. Rusaknya ekosistem terumbu karang merupakan indikator
yang sangat nyata. Pada saat ini terdapat suatu program untuk memperbaiki
kondisi terumbu karang sedang dilaksanakan. Program tersebut, tampaknya dapat
diimplementasikan dengan mempertimbangkan perilaku masyarakat, pihak swasta
dan instansi pemerintah (pusat dan daerah) yang memiliki kewenangan terhadap
akses dan pemanfaatan sumber daya alam pesisir di Taman Wisata Alam Laut
Teluk Kupang.
Sejak ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam pada tahun 1993,
berbagai upaya pelestarian Kawasan TWAL Teluk Kupang telah dilakukan oleh
berbagai pihak (Departemen Kehutanan 1997). Namun sejumlah penelitian
menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang di kawasan TWAL Teluk Kupang
telah mengalami kerusakan (Bappeda Provinsi NTT 2003, Dewi 2009, Salean
2004). Berbagai kerusakan ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang kurang dari
pengelolaan kawasan TWAL Teluk Kupang tersebut. Pengelolaan TWAL Teluk
Kupang, sebagaimana halnya pengelolaan kawasan konservasi pada umumnya,
seyogianya melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Dalam berbagai kasus,
sering terjadi bahwa masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan sering
kurang mendapat perhatian (Mudita & Natonis, 2008) telah menyatakan bahwa
dalam pengelolaan ketahanan hayati (biosecurity), suatu rencana pengelolaan
betapapun sempurnanya rencana tersebut, tidak akan menghasilkan apapun bila
masyarakat sebagai pemangku kepentingan utama tidak dilibatkan.
3
Kenyataan yang terjadi adalah laju kerusakan lingkungan semakin
meningkat, yang ditandai dengan kerusakan semakin parah pada beberapa
ekosistem pesisir di sekitar kawasan. Kerusakan ekosistem terumbu karang di
Teluk Kupang, mengacu pada hasil penelitian Ninef, dkk (2002), mencapai
30,6%. Kegiatan memulihkan kondisi terumbu karang juga dilakukan melalui
program transplantasi karang. Meskipun kegiatan ini relatif berhasil, namun daya
pulih terumbu karang relatif lebih lama, sementara penambangan karang dan
penangkapan secara destruktif di daerah di dalam kawasan masih berlangsung
(Angwarmasse 2009).
Kesenjangan antara upaya pelestarian dan upaya pengelolaan kawasan
yang tidak ramah lingkungan, perlu dipersempit. Dengan demikian, terdapat
keterpaduan antara pemahaman masyarakat dan program kegiatan tepat guna dan
tujuan pemberian status kawasan pelestarian alam Teluk Kupang. Secara
sederhana, sejak ditetapkan sebagai kawasan konservasi dalam bentuk taman
wisata alam laut, seyogianya kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan di
dalam kawasan berada pada nilai minimal sama dengan pada saat ditetapkan, se-
hingga tidak terjadi penurunan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan.
Kerusakan yang masih terus terjadi di kawasan TWAL Teluk Kupang
tersebut mengancam keberlanjutan TWAL Teluk Kupang. Mengingat lokasi
TWAL Teluk Kupang yang sangat strategis sebagai etalase pelestarian (karena
terletak tepat di depan Kota Kupang), maka ancaman kerusakan tersebut perlu
ditemukan akar permasalahannya guna menghasilkan suatu strategi pengelolaan
yang dapat mengakomodasi kepentingan berbagai pihak pemangku. Seiring
dengan perkembangan paradigma pengelolaan kawasan konservasi yang mutak-
4
hir, maka bukan tidak mungkin bahwa untuk mengatasi berbagai kerusakan yang
masih terus terjadi tersebut diperlukan perubahan paradigma pengelolaan dari
pengelolaan yang bersifat top-down menjadi pengelolaan bersifat bottom up.
Pengelola Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Kupang, tampaknya
sangat memahami bahwa pembangunan yang terkait dengan sumber daya alam
adalah tanggung jawab penuh yang tantangan dan perlu dilaksanakan, dengan
mempertimbangkan kebutuhan para pihak yang kehidupannya sangat tergantung
pada sumber daya alam tersebut, baik di masa sekarang maupun di masa depan.
Upaya untuk mencari suatu strategi pengelolaan dengan menggunakan pendekatan
struktural perlu diinisiasi oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Dengan
demikian diharapkan dapat terselenggara efektivitas pengelolaan.
1.2 Rumusan Masalah
Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Kupang memiliki sejumlah eko-
sistem penting sebagai obyek wisata alam, diantaranya ekosistem terumbu karang.
Kondisi ekosistem terumbu karang di dalam kawasan TWAL Teluk Kupang dapat
menentukan nilai ekologi dan ekonomi dari kawasan TWAL Teluk Kupang. Te-
rumbu karang yang kondisinya baik akan memberikan maanfaat secara ekologi
bagi ketersediaan sumberdaya hayati dan pada akhirnya akan memberikan man-
faat secara ekonomi bagi masyarakat sekitarnya dan pengelola. Pengelolaan yang
efektif dari TWAL Teluk Kupang akan memberikan dampak terhadap kondisi
biofisik kawasan termasuk kondisi terumbu karang dan kondisi sosial ekonomi
masyarakat sekitarnya. Untuk itu yang menjadi indikator penting dalam peneli-
5
tian ini adalah tata kelola kawasan, kondisi biofisik terumbu karang dan kondisi
sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan TWAL Teluk Kupang
Berdasarkan uraian tersebut di atas, adapun rumusan masalahnya adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah tingkat capaian pelaksanaan pengelolaan di TWAL Teluk
Kupang?
2. Bagaimanakah kondisi terumbu karang terutama tutupan karang hidup (live
coral coverage) di kawasan TWAL Teluk Kupang setelah pengelolaan
berjalan?
3. Bagaimanakah kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir sekitar kawasan
TWAL Teluk Kupang setelah pengelolaan berjalan?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tingkat efektivitas pelaksanaan pengelolaan kawasan
TWAL Teluk Kupang.
2. Untuk mengetahui kondisi tutupan terumbu karang hidup kawasan TWAL
Teluk Kupang setelah pengelolaan.
3. Untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan
TWAL Teluk Kupang setelah pengelolaan berjalan.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Diperolehnya informasi tingkat efektivitas pelaksanaan pengelolaan di
kawasan TWAL Teluk Kupang ini, nantinya dapat digunakan sebagai acuan
6
oleh pengelola kawasan untuk mempertahankan atau meningkatkan capaian
pengelolaan.
2. Diperolehnya data mengenai kondisi terumbu karang di kawasan TWAL
Teluk Kupang dan kondisi beberapa aspek sosial ekonomi masyarakat di
sekitar kawasan TWAL Teluk Kupang setelah adanya inisiasi pengelolaan.
3. Diperolehnya informasi mengenai keterkaitan antara capaian pengelolaan
dengan kondisi ekosistem terumbu karang maupun indikator sosial ekonomi,
yang selanjutnya bisa dipakai acuan untuk mempertahankan atau
meningkatkan salah satu (atau lebih) indikator dimaksud.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sumber daya Wilayah Pesisir
Fakta menunjukkan bahwa kawasan perlindungan laut telah dikenali
secara luas sebagai alat penting untuk konservasi, namun hanya 0,5% dari
lingkungan laut dunia benar-benar diperuntukkan sebagai kawasan yang
dilindungi,bila dibandingkan dengan hampir 13% lingkungan darat sebagai
kawasan perlindungan. Di perkirakan ±75% dari kawasan perlindungan laut
mengalami pengelolaan yang terbatas atau tidak ada pengelolaan sama sekali
(WWF, 2000)
Upaya konservasi di alam Indonesia telah dikenal sejak 287 tahun yang
lalu (tahun 1714), saat seorang peranakan Belanda-Perancis bernama Cornelis
Castelein mewariskan 2 bidang tanah persil seluas 6 ha di Depok kepada para
pengikutnya untuk digunakan sebagai Cagar Alam (Natuur Reservaat) (Wiratno
dkk., 2004).
Dalam kurun waktu yang panjang, banyak kawasan perlindungan telah
dibentuk terutama untuk mengurangi hilangnya keanekaragaman dan variasi
genetiknya, khususnya fokus pada ekosistem yang rentan dan species yang
mempunyai nilai ekonomi penting. Pada saat ini, proses merosotnya mutu dan
fungsi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, khususnya sumberdaya hutan
(termasuk yang berada di dalam Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam) berjalan sangat cepat dalam tingkat yang memprihatinkan, dan telah
meningkatkan intensitas konflik pengguna sumberdaya alam serta berdampak
8
negatif khususnya untuk fungsi kawasan taman nasional sebagai perlindungan
sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam dan ekosistemnya
(Departemen Kehutanan, 2001).
Secara teknis kegiatan konservasi menjadi tanggung jawab pemerintah
dalam menjamin keberlangsungan pemanfaatan dan kelestarian alam, yang
dituangkan dalam bentuk berbagai kegiatan dan proyek pemerintah melalui
instansi-instansi teknis. Dalam perkembangannya hingga sekarang, masih
banyak dijumpai proyek-proyek pemerintah yang kurang memperhatikan
kaidah-kaidah konservasi alam. Hal ini seringkali menimbulkan ketidakpuasan
pihak-pihak pengguna, yang selanjutnya mencoba mendefinisikan dan
mengembangkan program-program konservasi yang sesuai kebutuhannya.
Pergeseran paradigma pendekatan teknis program konservasi, yaitu pendekatan
atas-bawah yang dilakukan oleh pemerintah, seharusnya diganti dengan
pendekatan dari bawah ke atas (pelaksanaannya berawal dan berkembang dari
masyarakat). (Anonim, 2001).
2.2 Efektivitas Pengelolaan Sumber Daya Alam
2.2.1 Pengertian Efektivitas Pengelolaan
Efektivitas pengelolaan adalah indeks yang menunjukkan apakah
kegiatan manajemen telah mencapai tujuan dan sasaran dari kawasan
perlindungan. Hal ini memungkinkan perbaikan manajemen perlindungan
kawasan melalui pembelajaran, adaptasi, dan diagnosa masalah spesifik yang
mempengaruhi baik tujuan maupun sasaran yang telah dicapai. Selain itu juga
9
memberikan jalan untuk menunjukkan akuntabilitas dari pengelolaan sebuah
Kawasan Perlindungan Laut (KPL). Mengevaluasi efektivitas pengelolaan dari
sebuah kawasan perlindungan bukan merupakan pekerjaan mudah. Sebagai
contoh, walaupun usaha pengelolaan terbaik, gangguan alam dapat secara
radikal merusak ekosistem tanpa memperhatikan kualitas baik pengelolaan
kawasan telah dilakukan. Evaluasi harus tepat dan akurat dalam mengkaji derajat
atau ukuran pencapaian secara langsung berkaitan dengan kegiatan manajemen
(Pomeroy et al. 2004).
2.2.2 Manfaat Evaluasi Efektivitas Pengelolaan
Menurut Pomeroy et al, (2004) menyebutkan, bahwa melakukan
evaluasi pengelolaan akan menawarkan jalan yang terstruktur untuk
mempelajari keberhasilan dan kegagalan pengelolaan, serta membantu untuk
mengerti bagaimana dan mengapa latihan-latihan dilakukan dan diperbaiki
selalu sepanjang waktu. Selain itu evaluasi pengelolaan juga untuk identifikasi
langkah dan aktivitas yang jelas, membangun dukungan peraturan baru atau
menegakkan peraturan lama, menata agenda konservasi dan skala waktu yang
realistis, serta membuka peluang untuk mengikat para pemakai kawasan dalam
proses pembuatan keputusan.
Pengelolaan sumber daya pesisir dan kelautan lambat laun berubah
menjadi kegiatan profesional. Ada pengakuan terhadap kebutuhan bagi para
pengelola pesisir dan kelautan untuk lebih sistematik dalam menggunakan KPL,
untuk memperbaiki pembelajaran konservasi kelautan dan membuat contoh
terbaik kegiatan pengelolaan. Untuk mencapai kebutuhan ini, terdapat
10
kesepakatan umum diantara praktisi konservasi bahwa evaluasi efektivitas
pengelolaan akan memperbaiki kegiatan pengelolaan KPL. Efektivitas
pengelolaan dari KPL membutuhkan timbal balik informasi secara terus menerus
untuk mencapai tujuan. Proses pengelolaan mencakup perencanaan, desain,
implementasi, monitoring, evaluasi, komunikasi dan adaptasi. Evaluasi terdiri
dari kajian hasil dari kegiatan yang dilakukan dan apakah kegiatan tersebut
menghasilkan capaian yang diinginkan. Evaluasi adalah bagian rutin dari proses
manajemen. Evaluasi efektivitas pengelolaan dibangun pada rutinitas yang ada.
Manajemen adaptif adalah substansi fundamental yang mendasari siklus
proses pengelolaan, yang secara sistematis menguji asumsi-asumsi,
pembelajaran terus menerus dengan mengevaluasi hasil, dan selanjutnya
memperbaiki dan menyempurnakan kegiatan manajemen. Hasil dari manajemen
adaptif dalam konteks kawasan perlindungan adalah terperbaharuinya efektivitas
dan meningkatkan kemajuan menuju pencapaian hasil dan tujuan (Pomeroy et
al., 2004).
2.2.3 Tahapan Proses Evaluasi Efektivitas Pengelolaan
Menurut Pomeroy et al. (2004), tahapan proses evaluasi efektivitas
pengelolaan meliputi:
1. Memilih kumpulan indikator terukur yang sesuai dengan tujuan dan sasaran
kawasan perlindungan laut.
2. Membangun rencana kerja yang realistis dan batasan waktu yang
dibutuhkan untuk melengkapi evaluasi.
11
3. Mengukur indikator dan mengumpulkan informasi penting untuk
mengadakan evaluasi.
4. Mengkomunikasikan hasil ke pengambil keputusan dan para pihak terkait
untuk menyesuaikan pengelolaan KPL.
2.2.4 Indikator Efektifitas Pengelolaan
Indikator efektivitas pengelolaan kawasan perlindungan laut menurut
Pomeroy et al. (2004) terdiri dari tiga kategori yaitu:
1. Indikator biofisik
a. Kelimpahan species penting
b. Struktur populasi species penting
c. Distribusi habitat dan kompleksitasnya
d. Komposisi dan struktur komunitas
e. Keberhasilan merekrut dalam komunitas
f. Kesatuan jaring makanan
g. Tipe, level, dan kembalinya usaha perikanan
h. Kualitas air
i. Daerah yang menunjukkan tanda kepulihan
j. Daerah minim atau tanpa dampak manusia
2. Indikator sosio-ekonomi:
a. Pola penggunaan Sumber Daya Kelautan (SDK)
b. Nilai lokal dan kepercayaan tentang SDK
c. Tingkat pengetahuan dampak manusia terhadap SDK
d. Persepsi terhadap ketersediaan sumber makanan dari laut (seafood)
e. Persepsi terhadap hasil sumber lokal
12
f. Persepsi terhadap nilai bukan pasar dan nilai tidak termanfaatkan
g. Material gaya hidup
h. Distribusi sumber pendapatan rumah tangga
i. Kualitas kesehatan manusia
j. Struktur matapencaharian rumah tangga
k. Infrastruktur masyarakat dan usaha
l. Jumlah dan sifat pasar
m. Pengetahuan para pihak terhadap sejarah alam
n. Distribusi pengetahuan formal masyarakat
o. Persentase kelompok pihak dalam posisi kepemimpinan
p. Perubahan kondisi dari gsaris keturunan/leluhur dan sejarah lokasi
3. Indikator pengaturan (governance)
a. Tingkat konflik terhadap sumber
b. Keberadaan lembaga pengelolaan dan pengambilan keputusan
c. Keberadaan dan adopsi terhadap rencana pengelolaan
d. Pemahaman lokal terhadap aturan dan peraturan KPL
e. Keberadaan dan kecukupan kebijakan yang mendukung
f. Ketersediaan dan alokasi dari sumber-sumber untuk administrasi KPL
g. Keberadaan dan aplikasi masukan dan penelitian ilmiah
h. Keberadaan dan tingkat aktivitas dari organisasi masyarakat
i. Derajat interaksi antara pengelola dan para pihak
j. Proporsi pelatihan para pihak dalam pemanfaatan berkelanjutan
k. Tingkat pelatihan yang tersedia untuk para pihak dalam berpartisipasi
l. Tingkat partisipasi dan kepuasan para pihak dalam pengelolaan
13
m. Tingkat keterlibatan para pihak dalam pemantauan
n. Prosedur penegakan ditentukan dengan jelas
o. Cakupan penegakan
p. Diseminasi informasi
2.2.5 Indikator dan Cara Menggunakannya
Sebuah indikator adalah sebuah unit informasi terukur dalam periode
waktu yang akan mengijinkan untuk mendokumentasikan perubahan yang
bersifat spesifik dari KPL. Sebuah indikator mengijinkan untuk mengukur aspek
yang tidak secara langsung dapat diukur atau sangat sulit untuk diukur, seperti
efektivitas. Efektivitas sulit diukur karena efektivitas adalah konsep
multidimensi, sejumlah indikator yang berbeda harus digunakan untuk
menentukan bagaimana perkembangan KPL. Indikator-indikator ini dapat
menyediakan bukti apakah tujuan dan sasaran dari KPL tercapai atau tidak
(Pomeroy et al. 2004).
Terdapat 42 indikator seperti yang tercantum diatas, yang terdiri dari 10
indikator biofisik, 16 indikator sosio-ekonomi dan 16 indikator pengaturan. Agar
bermanfaat dan praktis, indikator tersebut dikembangkan dengan memenuhi
beberapa kriteria yang sesuai dengan lokasi KPL, misalnya tujuan pengelolaan
suatu kawasan bisa membutuhkan satu atau lebih indikator. Berdasarkan hasil
terbaik (best practices) dilapangan, indikator yang baik memenuhi lima kriteria:
1. Terukur: dapat dicatat dan dianalisis baik secara kuantitatif maupun
kualitatif.
2. Tepat (precise): ditentukan dengan cara yang sama oleh semua orang.
14
3. Konsisten: tidak berubah sepanjang waktu sehingga selalu mengukur hal
yang sama.
4. Sensitif: berubah secara proposional dalam merespon perubahan aktual
dalam komponen ukur.
5. Sederhana: indikator sederhana umumnya dipilih dibanding indikator yang
kompleks (Pomeroy et al. 2004).
Indikator menyediakan hasil untuk beberapa tujuan:
1. Indikator memberikan masukan ke dalam evaluasi KPL untuk mengukur
dan mendemonstrasikan efektivitas pengelolaan.
2. Pengukuran, analisa dan mengkomunikasikan indikator dapat mendorong
pembelajaran, pertukaran pengetahuan, dan pemahaman yang baik terhadap
kekuatan dan kelemahan dari pengelolaan KPL.
3. Pengelola dan praktisi KPL dapat menggunakan hasil indikator untuk
menggarisbawahi perubahan yang dibutuhkan dalam rencana pengelolaan
dan kegiatan untuk menyesuaikan dan memperbaiki KPL.
4. Indikator-indikator yang muncul akan membantu untuk mempelajari lebih
dalam tentang KPL dan masyarakatnya serta sumber-sumber yang
dipengaruhinya (Pomeroy et al. 2004)
2.2.6 Kondisi Sosial Ekonomi
Menurut Bunce dan Bob (2003) disebutkan bahwa pengelola Sumber
Daya Alam (SDA) pesisir menyadari bahwa SDA pesisir tidak lagi dapat
dikelola hanya dari segi biofisik saja. Perilaku masyarakat ke depan dan
pemanfaatan SDA pesisir mempunyai implikasi serius pada kondisi/kesehatan
15
biofisik dari ekosistem pesisir dan laut. Pengelolaan SDA pesisir juga
mempunyai implikasi serius terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Informasi sosial ekonomi sangat penting untuk pengelolaan pesisir yang efektif.
Sebagai contoh:
Daerah larangan tangkap diusulkan sebagai bagian dari perikanan yang
besar untuk melindungi lokasi ikan memijah dan daerah yang terancam.
Masyarakat pesisir menolaknya karena khawatir akan kehilangan mata
pencaharian mereka. Informasi pola penangkapan yang dikumpulkan secara
sistematis, jumlah nelayan dan persepsi nelayan akan membantu pengelola
menentukan secara akurat siapa yang menerima dampak dan
mengidentifikasi pilihan mata pencaharian yang dapat diterima.
Pembuat kebijakan dan masyarakat umum ingin mengetahui “apakah daerah
perlindungan laut sudah berjalan efektif?” Informasi perubahan persepsi
masyarakat dalam memenuhi dan menegakkan peraturan dapat
mengindikasikan kesuksesan atau kegagalan dari aktivitas pengelolaanjuga
penerimaan terhadap kawasan perlindungan laut.
Monitoring sosial ekonomi (sosek) adalah seperangkat panduan untuk
program monitoring sosek di wilayah pesisir. Panduan ini menyediakan daftar
yang sudah diprioritaskan sesuai dengan indikator sosek yang bermanfaat untuk
pengelola pesisir, juga pertanyaan-pertanyaan untuk pengumpulan data dan tabel
untuk analisis data. Diharapkan panduan ini akan menjalin kebutuhan-kebutuhan
di tiap-tiap site/lokasi. Monitoring sosial ekonomi diharapkan berguna untuk:
16
Menyediakan metodologi untuk mengumpulkan data dasar sosial ekonomi
secara rutin yang berguna untuk pengelolaan pesisir di tingkat lapangan/level
site
Menyediakan dasar untuk sistem regional dimana data di tingkat lapangan
dapat mendukung/sesuai dengan data dasar (database) nasional,regional dan
internasional untuk perbandingan.
Monitoring sosial ekonomi juga diharapkan mampu menyediakan
wawasan/pengetahuan kepada pengelola, yang kebanyakan datang dari latar
belakang pendidikan biologi, menjadi mengerti maksud sosial ekonomi,
bagaimana informasi sosial ekonomi bermanfaat untuk pengelolaan di lokasinya
(Bunce dan Bob, 2003).
2.3 Posisi Masyarakat Lokal
Roe (2004) menyatakan bahwa kini konservasi berbasis masyarakat
menjadi wawasan kebijakan lingkungan global setelah puluhan tahun
diperdebatkan. Dalam World Park Congress pada tahun 2003 di Durban,
diluncurkan suatu prinsip bahwa biodiversitas sebaiknya dilindungi demi
nilainya sebagai sumber daya masyarakat lokal dan sekaligus sebagai sumber
daya publik di tingkat nasional dan global, dan bahwa pembagian yang setara
antara biaya dan manfaat dari kawasan dilindungi harus terjamin terdistribusi di
tingkat lokal, nasional dan global.
Dalam pengelolaan KPL dukungan dan penghargaan masyarakat sangat
penting. Ketika masyarakat melihat KPL sebagai beban tanpa mendatangkan
dukungan yang positif maka dapat dikatakan pengelolaanitu menjadi tidak
17
efektif. Banyak cara masyarakat setempat mendapatkan keuntungan dari KPL
meliputi keuntungan ekonomi dari pemanfaatan sumber daya alam (SDA),
pelestarian hak-hak adat dan kegiatan-kegiatan budaya hingga pemanfaatan
khusus buat masyarakat setempat (Jeanrenaud, 1997).
2.4 Pengaturan Yang Baik di Era Otonomi Daerah
Konservasi di Indonesia akan gagal, apabila tidak berhasil mendapatkan
dukungan yang konsisten dari pemerintah daerah. Sementara itu, kecenderungan
pemerintah daerah era otonomi ini adalah mengejar pendapatan asli daerah
(PAD). Selama arah politik pembangunan belum dirubah, maka kabupaten yang
bukan penghasil (baik tambang maupun kayu) sulit mendapatkan porsi dana
alokasi khusus (DAK) yang memadai. Pola ini mendorong kabupaten untuk
mendapatkan hak eksploitasi sumber daya alam. Kabupaten dengan berbagai
macam peraturan daerah (perda) yang ditetapkannya dapat melakukan apa saja.
Hal ini sangat mengkhawatirkan, kaitannya dengan bagaimana kawasan-
kawasan konservasi di daerah itu akan bertahan. Dengan dinamika perubahan
yang sangat cepat ini, tentu masyarakat tidak bisa berharap banyak akan good
governance di daerah-daerah (Wiratno, 2005).
Pengelolaan/konservasi keanekaragaman hayati merupakan tanggung
jawab pemerintah serta semua pihak terkait seperti organisasi nonpemerintah,
kalangan akademisi, lembaga penelitian serta masyarakat yang diwujudkan
melalui konsep pengelolaan SDA secara terpadu dengan memasukkan prinsip
18
pendekatan ekosistem. Taman Nasional sebagai salah satu kawasan konservasi
mengembangkan model kerja sama kemitraan melalui pembentukan
kelembagaan kerja sama kemitraan (Kementrian Lingkungan Hidup, 2005).
2.5 Pengelolaan Kawasan Pesisir di Teluk Kupang
2.5.1 Taman Wisata Alam Laut di kawasan pesisir Teluk Kupang
Taman Wisata Alam Laut (TWAL) adalah suatu kawasan pelestarian
alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan
rekreasi alam. Dalam beberapa kasus, manajemen KPL yang efektif akan
membutuhkan gambaran hubungan sebab-akibat antara kelautan dan lingkungan
darat dengan pemanfaatan manusia. Menurut Pomeroy et al (2004) Kriteria
Kawasan Perlindungan Laut (KPL):
1. Melindungi keanekaragaman laut dunia yang sangat penting dan spesies-
spesies langka
2. Menurunkan kemiskinan
3. Menyediakan masyarakat pesisir yang lebih sehat dengan dasar yang kuat
untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Teluk Kupang adalah teluk terbesar di ujung Barat Pulau Timor, Provinsi
Nusa Tenggara Timur, dan merupakan pintu gerbang pelayaran terpenting ke
Provinsi NTT. Teluk Kupang merupakan kawasan taman wisata alam laut, dan
menurut administrasi pemerintahan berbatasan dengan Kecamatan Kupang
Barat, Semau, Kupang Tengah, Kupang Timur, dan Sulamu di Kabupaten
Kupang, dan berbatasan dengan Kecamatan Alak, Kelapa Lima, Maulafa, serts
Oebobo di Kabupaten Kupang. Menurut administrasi kehutanan, TWAL Teluk
19
Kupang berada dalam wilayah kerja Sub Seksi KSDA Timor Barat, Sub Balai
KSDA Nusa Tenggara Timur, BKSDA VII Kupang (Departemen Kehutanan,
1997).
Berdasarkan letak geografisnya, TWAL Teluk Kupang terletak bada
posisi 9,19o-10,57
o LS dan 121,30
o-124,11
o BT. Luas kawasan TWAL Teluk
Kupang, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 18/KPTS-
II/93 tanggal 28 Januari 1993 adalah 50.000 ha yang terbentang sepanjang pantai
Teluk Kupang, Pulau Burung, Pulau Kera, Pulau Tikus, Pulau Kambing, Pulau
Tabui, dan Pulau Semau. Topografi daerah di sekitar kawasan TWAL Teluk
Kupang pada umumnya datar sampai bergelombang dengan titik tertinggi
mencapai 250 meter dpl (Departemen Kehutanan, 1997). Keanekaragaman
hayati, dan budaya masyarakat di daratan di dalam kawasan dan/atau di daratan
di sekitar kawasan adalah modal dasar pembangunan daerah.
Kawasan perlindungan laut didirikan untuk tujuan skala besar, termasuk
melindungi spesies laut dan habitatnya, menjaga keanekaragaman hayati laut,
mengembalikan cadangan perikanan, mengelola aktivitas pariwisata, dan
meminimalkan konflik diantara berbagai pengguna. Untuk mencapai tujuan ini,
sasaran yang spesifik dan terukur harus ditentukan dalam konteks keluaran dan
hasil yang dicari. Pada gilirannya membutuhkan pengembangan rencana
pengelolaan yang ditentukan dengan baik, identifikasi ukuran keberhasilan dari
kawasan perlindungan laut, monitoring dan evaluasi dampak pengelolaan,
danpada akhirnya aktivitas tersebut menjadi masukan ke dalam proses
perencanaan untuk memperbaiki tujuan, rencana dan capaian. Dengan kata lain,
kawasan perlindungan laut harus di kelola secara adaptif. Pemerintah, agen
20
donor dan para pihak yang berkentingan (stakeholders) yang mendapat
keuntungan dari kawasan perlindungan laut membutuhkan informasi mengenai
efektivitas pengelolaan yang akan mengijinkan mereka untuk mengkaji apakah
hasilnya sesuai dengan usaha dan sumber daya yang telah dikeluarkan serta
apakah sesuai dengan kebijakan dan tujuan pengelolaan (Pomeroy et al, 2004).
Pengelolaan dengan menggunakan pendekatan struktural yang
dilaksanakan di kawasan TWAL Teluk Kupang, dirancang untuk meningkatkan
efektivitas pengelolaan kawasan TWAL Teluk Kupang dengan tujuan akhir
meningkatkan kesehatan terumbu karang untuk menghadapi perubahan iklim
seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir di sekitar kawasan,
melalui pemanfaatan yang berkelanjutan. Kriteria dasar pengelolaan terpadu
dilakukan dengan membangun proses pengelolaan secara partisipatif, melalui
pelibatan masyarakat lokal, pihak swasta dan pemerintah daerah dalam
membangun konsep perencanaan kolaboratif. Kebutuhan yang sangat mendesak
untuk menggunakan indikator-indikator dalam menilai atau mengevaluasi
keluaran dari proses yang telah dibangun (WWF, 2003).
2.5.2 Degradasi ekosistem terumbu karang
Terumbu karang merupakan keunikan di antara asosiasi atau komunitas
lautan yang seluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologis. Kenyataan bahwa
terumbu karang adalah mantap, terdiri dari bermacam-macam jenis, merupakan
ekosistem yang baik adaptasinya dengan tingkat simbiosis ke dalam sangat
tinggi, namun tetap tidak membuatnya tahan dari gangguan manusia. Kunzmann
(2001) mengatakan, meskipun terumbu karang penting bagi aktivitas perikanan
21
dan pariwisata, namun lebih dari 60% terumbu karang dunia terancam akibat
aktivitas manusia tersebut. Berdasarkan survey line intercept transect yang
dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dari luas tutupan karang
hidup di Indonesia, hanya sekitar 6,2% dalam kondisi sangat baik, 23,72%
dalam kondisi baik, 28,3% dalam kondisi rusak dan 41,78% dalam kondisi rusak
berat. Hasil pengamatan oleh juga menunjukkan bahwa terumbu karang di
Indonesia memiliki kondisi lebih buruk dari pada terumbu karang di perairan
kawasan tengah dan timur Indonesia (Idris,2001).
Kawasan pesisir Teluk Kupang memiliki kondisi ekosistem terumbu
karang tidak jauh berbeda dengan kondisi secara keseluruhan di Indonesia.
Berdasarkan hasil monitoring terumbu karang yang dilakukan oleh BAPPEDA
Propinsi NTT, didapatkan berupa Peta Sebaran Terumbu Karang di kawasan
Teluk Kupang (Gambar 2.1).
22
PETA SEBARAN TERUMBARANG DI KAWASAN TELUK KUPANG
Gambar 2.1 Peta Sebaran Terumbu Karang di kawasan Teluk Kupang
(Bappeda, 2004)
23
BAB III
KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep penelitian adalah sebagai berikut :
ISU KUNCI
TUJUAN PENELITIAN
Gambar 3.1 Diagram Alir Kerangka Konsep Penelitian
Paradigma Pengelolaan Kawasan Pesisir TWAL
Pelibatan para pihak dan
pemberdayaan masyarakat
di kawasan pesisir TWAL
Terjaganya kelestarian dan
pemanfaatan berkelanjutan
sumberdaya pesisir TWAL
Efektivitas Pengelolaan
Kawasan Pesisir TWAL
Status tutupan
karang hidup di
kawasan pesisir
TWAL
Kondisi sosial
ekonomi
masyarakat
Pengaturan
Pengelolaan
Monitoring
terumbu karang
Angket
(Kuesioner)
Analisa data
Hasil Evaluasi Efektivitas
Pengelolaan
METODE
HASIL PENELITIAN
24
Pengelolaan yang dilakukan di kawasan TWAL Teluk Kupang dilakukan
sesuai visi dan tujuan dari pengelolaan, yaitu melindungi keanekaragaman hayati dan
pemanfaatan secara lestari untuk kesejahteraan masyarakat. Untuk mengukur
efektifitas (berkaitan dengan tujuan dan sasaran) pengelolaan WWF memberikan
panduan untuk melakukan proses evaluasi dengan indikator-indikator efektivitas
yang terdiri dari 1) Indikator biofisik, 2) Indikator sosio-ekonomi dan 3) Indikator
pengaturan (governance).
Indikator biofisik, yang dipakai adalah distribusi habitat dan kompleksitas
(habitat distribution and complexity), dalam bentuk jumlah (persentase) tutupan
karang hidup di kawasan TWAL Teluk Kupang sebagai ekosistem perairan yang
mendapatkan prioritas dalam pengelolaan.
Indikator sosio-ekonomi yang dipakai adalah pola penggunaan sumber daya
kelautan (local marine resource use pattern) yang meliputi alat tangkap dan
frekuensi penangkapan, nilai lokal dan kepercayaan tentang sumber daya kelautan
(local values and belief about marine resources) dan tingkat pengetahuan dampak
manusia terhadap sumber daya kelautan (level of understanding of human impact on
resources).
Indikator pengaturan (governance) yang dipakai adalah pemahaman lokal
terhadap aturan dan peraturan kawasan perlindungan laut (local understanding of
MPA rules and regulations), keberadaan dan tingkat aktivitas dari organisasi
masyarakat (existence and activity level of community organization), tingkat
pelatihan yang tersedia untuk para pihak dalam berpartisipasi (level of training
provided to stakeholders in participation) dan tingkat partisipasi masyarakat (level of
training provided to stakeholders in participation).
25
Penelitian ini pada dasarnya model survei dan bersifat eksploratoris-deskriptif
sehingga tidak ada hipotesis yang muncul dalam penelitian ini. Eksploratoris berarti
penelitian ini mengungkap atau menjajagi sesuatu yang belum dikenal atau hanya
sedikit dikenal. Deskriptif artinya penelitian ini akan mengadakan deskripsi atau
pencandraan untuk memberi gambaran yang lebih jelas tentang situasi tertentu,
dalam hal ini adalah prosentase tutupan karang hidup dan situasi sosial ekonomi
serta mencari keterkaitan antara pengelolaan dengan pendekatan struktural,
presentase tutupan karang hidup dengan situasi sosial masyarakat.
26
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian telah dilakukan di kawasan pesisir Teluk Kupang Provinsi Nusa
Tenggara Timur khususnya lokasi-lokasi yang menjadi kawasan pemanfaatan
paling intensif (zona pemanfaatan intensif). Lokasi-lokasi yang di fokuskan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Desa Sulamu Kecamatan Sulamu
2. Desa Uiasa Kecamatan Pulau Semau
3. Desa Pulau Kera Kecamatan Pulau Semau
4. Desa Oesapa Kecamatan Kelapa Lima
Penelitian telah dilakukan selama lima bulan (Maret - Juni) dengan jadwal
kegiatan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1
Jadwal Kegiatan
Urutan Kegiatan
Tahun 2010
Maret April Mei Juni
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Pengumpulan data
Penyusunan Proposal,
Kuesioner dan Bimbingan
Seminar Proposal
Perbaikan Proposal
Uji Kuesioner
Kelapangan
Penyusunan Laporan
Seminar Hasil Penelitian
27
4.2 Ruang Lingkup dan Sampel Penelitian
Batasan-batasan dalam penelitian ini adalah:
1. Pengambilan data biofisik dilakukan dengan melakukan monitoring terumbu
karang terhadap persentase tutupan karang hidup di kawasan pesisir Desa
Sulamu Kecamatan Sulamu, Desa Uiasa Kecamatan Pulau Semau, Desa
Pulau Kera Kecamatan Pulau Semau dan Desa Oesapa Kecamatan Kelapa
Lima(Gambar 4.1). Daerah tersebut berada pada zona pemanfaatan intensif
kawasan pesisir TWALTeluk Kupang.
2. Pengambilan data sosial ekonomi dilakukan dengan menggunakan metode
angket dengan instrumen kuesioner. Kuesioner diberikan kepada anggota
masyarakat yang memenuhi kriteria sebagai responden. Adapun peta lokasi
pengambilan sampel seperti yang terlihat pada Gambar 4.1.
28
1
2
3
4
Gambar 4.1 Peta lokasi pengambilan sampel terumbu karang dan sosial ekonomi(1)Desa Sulamu,(2) Desa Uiasa, (3) Desa Pulau Kera dan
(4) Desa Oesapa, Taman Wisata Alam Laut Teluk Kupang (Sumber : Indoprima, 2002)
2a
A
3a
1a
4a
29
4.3 Penentuan Sumber Data
4.3.1 Jenis Data
Menurut cara mendapatkannya jenis data pada penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder yaitu sebagai berikut :
1. Data primer diperoleh secara langsung dari sumber data berupa persentase
tutupan karang hidup yang diperoleh dengan metode Line Intercept Transect
(LIT), data berupa kondisi aspek sosial ekonomi masyarakat dan data
pengaturan (governance).
2. Data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung meliputi
data-data dari pemerintah dan non pemerintah. Data dari pemerintah meliputi
dokumen rencana pengelolaan, rencana zonasi, program kerja serta
pendanaan dari BBKSDA dan instansi terkait. Data non pemeritah didapatkan
dari LSM, swasta, media dll.
4.3.2 Metode dan teknik penentuan Sampel
Dalam mendapatkan informasi sosial ekonomi serta data awal untuk
analisis tingkat capaian pengelolaan, maka dilakukan penentuan sampel yang
nantinya dapat menjawab tujuan penelitian. Metode yang digunakan untuk
penentuan sampel adalah metode Non Random (Non Probability). Menurut
Burhan (2005) pada metode non random tidak semua unit populasi memiliki
kesempatan untuk dijadikan sampel penelitian, hal ini dikarenakan sifat populasi
yang heterogen.
30
Teknik Non Random yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik
Purposive Sampling. Menurut Notoatmodjo (2005) pengambilan sampel secara
purposive didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat peneliti
berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi. Menurut Burhan (2005) teknik purposive
sampling digunakan pada penelitian-penelitian yang lebih mengutamakan tujuan
penelitian daripada sifat populasi.
Kriteria populasi yang digunakan sebagai calon responden dalam
penelitian ini adalah orang yang memenuhi syarat berikut :
1. Bersedia menjadi responden
2. Memiliki profesi sebagai nelayan dan/atau sebagai tokoh masyarakat (ketua
adat dan/atau tokoh agama)
4.3.3 Penentuan Besar Sampel
Menurut Notoatmodjo (2005), penentuan besar sampel/responden untuk
populasi kecil atau lebih kecil dari 10.000 dapat di hitung menggunakan rumus
berikut :
2Ne 1
Nn
………………………………....……….…………………….. (1)
Keterangan :
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
e = Nilai kritis yang diinginkan (dalam penelitian ini digunakan nilai e = 10%)
Total seluruh populasi pada kawasan penelitian berjumlah 773 maka
setelah dilakukan perhitungan didapatkan jumlah sampel sebesar 88 sampel. Ber-
31
dasarkan sampel yang diperoleh maka masing – masing desa diambil 22 respon-
den yang dilakukan secara acak (random) dan terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh
agama dan masyarakat nelayan.
4.4 Instrumen Penelitian
4.4.1 Pengamatan Kondisi Tutupan Terumbu Karang
Pengamatan kondisi tutupan terumbu karang dilakukan untuk mengetahui
besaran tutupan per satuan luas areal pengamatan. Kegiatan pengamatan kondisi
tutupan terumbu karang telah dilakukan dengan dua teknik pengamatan yaitu
Line Intercept Transect (LIT). Pada penelitian ini, pemantauan kondisi tutupan
terumbu karang dilakukan dengan menggunakan LIT.
Pengamatan kondisi terumbu karang dengan metode LIT dilakukan
dengan membuat garis tegak lurus pantai menuju laut yang ditarik pada sejajar
dengan garis pantai/kontur kedalaman (3 dab 10 meter), selanjutnya pengamatan
dilakukan disepanjang garis tersebut. Pembuatan garis dilakukan dengan
menggunakan meter rol plastik sepanjang 50 meter dengan ketelitian 1 cm.
Tahapan selanjutnya adalah melakukan pengamatan dengan mencatat data tutupan
terumbu karang dengan pencatatan data menggunakan underwater pastic slate
yang dilengkapi dengan pensil HB. Sebagai alat transportasi ke dan selama
kegiatan lapangan digunakan perahu motor dengan mesin tempel (outboard
engine) merk Yamaha 40HP. Penentuan posisi peletakan garis transek
menggunakan GPS (Global Positioning System). Semua koloni karang dan semua
biota yang berasosiasi dengan karang serta komponen abiotik lainnya yang dilalui
32
oleh garis transek diukur dan dicatat panjangnya pada data sheet (English et al.,
1994).
Instrumen yang digunakan dalam pengamatan kondisi ekosistem terumbu
karang yaitu :
1. Seperangkat alat selam (masker, bouyancy control device), baju selam (wet
suit), regulator, pemberat (weighbelt), sepatu selam (booties) dan fin.