Top Banner
TEKNOLOGI, DEMOKRASI, DAN PEMBELAJARAN SOSIAL: ‘Lesson Learned’ dari Kasus Rencana Pembangunan PLTN Muria Sugeng P. Syahrie* Jurusan Sejarah, Universitas Negeri Jakarta Email: [email protected] Abstrak Inovasi teknologi tinggi seperti energi nuklir, teknologi informasi, dan bioteknologi hampir selalu diiringi perdebatan, bahkan konflik, yang meluas di masyarakat mengenai risiko yang dibawanya. Artikel ini menelaah kasus penolakan publik terhadap rencana pemerintah membangun PLTN Muria. Penolakan direspons pemerintah dengan mengintensifkan sosialisasi PLTN agar warga masyarakat yang masih menolak teknologi PLTN dapat memahami manfaatnya dan menerima kehadirannya. Pendekatan pemerintah yang berwatak teknokratik itu justru menjauhkan mereka dari problem yang sebenarnya: ketidakpercayaan para penolak PLTN pada (kebijakan) pemerintah di bidang teknologi. Akibatnya, upaya agar introduksi teknologi PLTN mendapatkan penerimaan secara menyeluruh dari masyarakat malah semakin sulit dicapai. Artikel ini memberi penjelasan yang berbeda dari asumsi pemerintah perihal mengapa publik menolak PLTN, sekaligus menawarkan model tata kelola teknologi sebagai pendekatan yang dianggap lebih baik untuk mengatasi persoalan tersebut. Model atau pendekatan ini mempromosikan demokratisasi sistem teknologi untuk mengendalikan dampak sosial inovasi teknologi agar integrasinya ke dalam masyarakat disertai penerimaan yang baik dan hasil-hasilnya berkelanjutan. Pada bagian akhir artikel dikemukakan juga kesimpulan bahwa dalam kasus ini tidak berlangsung proses pembelajaran sosial yang berhasil. Kata Kunci: Teknologi, sosial, tata kelola, pendekatan teknokratik, demokrasi, pembelajaran sosial. 1. Pendahuluan Dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini berita mengenai adanya penolakan publik terhadap rencana pemerintah membangun pembangkit listrik tenaga nuklir—sebuah teknologi [1] yang sama sekali baru bagi Indonesia—di Semenanjung Muria, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah, yang direncanakan mulai beroperasi pada 2016, gencar mengisi halaman media massa. Meskipun cikal- bakal rencana itu sudah muncul sejak awal 1970- an—dan ditolak kalangan organisasi nonpemerintah (ornop) lingkungan hidup— penolakan publik baru muncul setelah keluarnya Perpres No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menetapkan energi nuklir sebagai salah satu sumber daya energi yang dapat dikembangkan Indonesia. Publik yang kontra- PLTN ini tidak hanya mereka yang tinggal di kawasan calon tapak [2] —yang akan terkena dampak langsung dari rencana tersebut—tetapi juga kalangan yang lebih luas: kiai dan santri sejumlah pondok pesantren, nelayan, petani, dosen, mahasiswa, peneliti, aktivis ornop, dan bahkan sejumlah pengusaha. Menanggapi munculnya penolakan publik tersebut, pemerintah menyimpulkan bahwa penyebab pokoknya semata ‘persoalan teknis’ berupa kurangnya sosialisasi [3] yang dilakukan pemerintah perihal manfaat PLTN. Dengan demikian, solusinya pun sangat jelas, yaitu mengintensifkan sosialisasi PLTN kepada masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di kawasan calon tapak di Semenanjung Muria. Namun, bertolak dari perspektif pendekatan tata kelola teknologi (governance of technology)—sebuah pendekatan yang muncul sejak dasawarsa 1990-an yang mengkaji persoalan sosial yang dipicu oleh kehadiran inovasi [4] teknologi tinggi—artikel ini mengembangkan tesis yang berbeda (baca: suatu antitesis terhadap kesimpulan pemerintah), bahwa Sugeng P. Syahrie—Teknologi, Demokrasi, dan Pembelajaran Sosial—2009. 1
16

Teknologi Demokrasi Dan Pembelajaran Sosial

Jun 25, 2015

Download

Documents

p_syahrie
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Teknologi Demokrasi Dan Pembelajaran Sosial

TEKNOLOGI, DEMOKRASI, DAN PEMBELAJARAN SOSIAL: ‘Lesson Learned’ dari Kasus Rencana Pembangunan PLTN Muria

Sugeng P. Syahrie* Jurusan Sejarah, Universitas Negeri Jakarta

E‐mail: [email protected]

Abstrak

Inovasi teknologi tinggi seperti energi nuklir, teknologi informasi, dan bioteknologi hampir selalu diiringi perdebatan, bahkan konflik, yang meluas di masyarakat mengenai risiko yang dibawanya. Artikel ini menelaah kasus penolakan publik terhadap rencana pemerintah membangun PLTN Muria. Penolakan direspons pemerintah dengan mengintensifkan sosialisasi PLTN agar warga masyarakat yang masih menolak teknologi PLTN dapat memahami manfaatnya dan menerima kehadirannya. Pendekatan pemerintah yang berwatak teknokratik itu justru menjauhkan mereka dari problem yang sebenarnya: ketidakpercayaan para penolak PLTN pada (kebijakan) pemerintah di bidang teknologi. Akibatnya, upaya agar introduksi teknologi PLTN mendapatkan penerimaan secara menyeluruh dari masyarakat malah semakin sulit dicapai. Artikel ini memberi penjelasan yang berbeda dari asumsi pemerintah perihal mengapa publik menolak PLTN, sekaligus menawarkan model tata kelola teknologi sebagai pendekatan yang dianggap lebih baik untuk mengatasi persoalan tersebut. Model atau pendekatan ini mempromosikan demokratisasi sistem teknologi untuk mengendalikan dampak sosial inovasi teknologi agar integrasinya ke dalam masyarakat disertai penerimaan yang baik dan hasil-hasilnya berkelanjutan. Pada bagian akhir artikel dikemukakan juga kesimpulan bahwa dalam kasus ini tidak berlangsung proses pembelajaran sosial yang berhasil.

Kata Kunci: Teknologi, sosial, tata kelola, pendekatan teknokratik, demokrasi, pembelajaran sosial. 1. Pendahuluan

Dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini berita mengenai adanya penolakan publik terhadap rencana pemerintah membangun pembangkit listrik tenaga nuklir—sebuah teknologi[1] yang sama sekali baru bagi Indonesia—di Semenanjung Muria, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah, yang direncanakan mulai beroperasi pada 2016, gencar mengisi halaman media massa. Meskipun cikal-bakal rencana itu sudah muncul sejak awal 1970-an—dan ditolak kalangan organisasi nonpemerintah (ornop) lingkungan hidup—penolakan publik baru muncul setelah keluarnya Perpres No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menetapkan energi nuklir sebagai salah satu sumber daya energi yang dapat dikembangkan Indonesia. Publik yang kontra-PLTN ini tidak hanya mereka yang tinggal di kawasan calon tapak[2]—yang akan terkena dampak langsung dari rencana tersebut—tetapi juga

kalangan yang lebih luas: kiai dan santri sejumlah pondok pesantren, nelayan, petani, dosen, mahasiswa, peneliti, aktivis ornop, dan bahkan sejumlah pengusaha.

Menanggapi munculnya penolakan publik tersebut, pemerintah menyimpulkan bahwa penyebab pokoknya semata ‘persoalan teknis’ berupa kurangnya sosialisasi[3] yang dilakukan pemerintah perihal manfaat PLTN. Dengan demikian, solusinya pun sangat jelas, yaitu mengintensifkan sosialisasi PLTN kepada masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di kawasan calon tapak di Semenanjung Muria. Namun, bertolak dari perspektif pendekatan tata kelola teknologi (governance of technology)—sebuah pendekatan yang muncul sejak dasawarsa 1990-an yang mengkaji persoalan sosial yang dipicu oleh kehadiran inovasi[4] teknologi tinggi—artikel ini mengembangkan tesis yang berbeda (baca: suatu antitesis terhadap kesimpulan pemerintah), bahwa

Sugeng P. Syahrie—Teknologi, Demokrasi, dan Pembelajaran Sosial—2009. 1

Page 2: Teknologi Demokrasi Dan Pembelajaran Sosial

penyebab penolakan terhadap PLTN adalah ketidakpercayaan sebagian anggota masyarakat pada (kebijakan) pemerintah di bidang teknologi—bukan soal kurangnya sosialisasi PLTN.

Tata kelola teknologi itu sendiri, yang deskripsi teoretiknya akan dipaparkan kemudian dalam subjudul tersendiri dari artikel ini, adalah suatu pendekatan yang banyak digunakan dalam kajian perencanaan dan implemetasi teknologi di masyarakat, setidaknya sejak pertengahan dasawarsa 1990-an. Pendekatan ini tidak bisa dipisahkan keberadaannya dari bidang studi interdisipliner yang disebut Science, Technology, and Society (STS) yang kajian rintisannya muncul sejak pertengahan dasawarsa 1960-an dan kini berkembang sangat pesat[5] dan mendapatkan kedudukan mandiri sebagai departemen atau program studi, atau pusat kajian (center), atau sebagai mata kuliah pada jenjang sarjana dan pascasarjana di banyak universitas di negara maju[6]. Tidak kurang jumlahnya adalah jurnal, buletin, maupun asosiasi profesional yang terkait dengan bidang studi STS ini. Fokus studi ini adalah:

… on the analysis and explication of specific sciences and technologies as complex societal influences and social constructs entailing a host of political, ethical, and general theoretical questions. … STS presents science and technology as neither wholly autonomous juggernauts nor simply as neutral tools ready for any utilization whatsoever. Instead, sciences and technologies are seen as value-laden social processes taking place in specific contexts—interactively shaped by, and in turn shaping, the human values reflected in cultural, political, and economic institutions (Cutcliffe dan Mitcham, 2001, hlm. 3).

Para eksponen studi STS tersebut telah mengamati banyak kegiatan pengembangan teknologi di negara-negara maju sejak dasawarsa 1960-an. Mereka menemukan terjadinya banyak persoalan, bahkan konflik, sosial yang dipicu kehadiran inovasi teknologi tinggi seperti energi nuklir, teknologi informasi, dan bioteknologi. Kajian-kajian historis atas perkembangan teknologi, sebagaimana yang ditilik Yuliar (2008) dari karya-karyanya sejarawan teknologi Carl Mitcham dan Thomas P. Hughes, juga memperlihatkan hal serupa itu—bahwa upaya-upaya untuk mempromosikan teknologi baru sering berbenturan dengan upaya-upaya untuk mengendalikan dampak-dampak dari kehadirannya. Dari sini mereka menyimpulkan bahwa pengenalan teknologi baru hampir selalu

diiringi perdebatan yang meluas di kalangan masyarakat mengenai risiko yang dibawanya. Teknologi memang menjadi daya penggerak dan faktor penting dalam upaya manusia mencapai kemajuan dan kesejahteraannya, tetapi teknologi juga menimbulkan efek-efek yang berisiko, terlebih pada inovasi teknologi tinggi yang belum dikenal luas. Respons terhadap persoalan inilah yang melahirkan pendekatan tata kelola teknologi yang kasus-kasus maupun isu-isunya sangat kontekstual dengan kegiatan riset dan pengembangan teknologi di negara-negara maju.

Namun, kasus PLTN Muria ini memperlihatkan bahwa persoalan tersebut kini juga dihadapi oleh negara berkembang seperti Indonesia. Kasus ini menunjukkan masih terhambatnya pertimbangan-pertimbangan sosial untuk masuk ke dalam perencanaan kegiatan pengembangan teknologi yang dikelola pemerintah. Secara tipikal, kasus ini memperlihatkan masalah tata kelola teknologi di negara berkembang.

Artikel diharapkan dapat memberi penjelasan yang lebih baik ihwal mengapa rencana pembangunan PLTN Muria tersebut tidak mendapatkan penerimaan secara menyeluruh dari masyarakat. Lebih jauh, artikel ini juga menyarankan dilakukannya upaya-upaya mendemokratisasi sistem teknologi[7] agar dampak sosial dari kehadiran teknologi (baru) dapat dikendalikan. Dengan cara itu, integrasi teknologi ke dalam masyarakat dapat berlangsung tanpa disertai munculnya banyak resistensi, terutama dari warga masyarakat yang menjadi sasaran implementasi teknologi tersebut. Semoga artikel ini dapat turut meretas jalan bagi, meminjam kata-kata Yuliar (2008), “pengembangan sains dan teknologi secara indigeneous dan kreatif”, dan berimplikasi pada tumbuhnya kemandirian teknologis bangsa-bangsa berkembang.

Bagian selanjutnya tulisan ini akan memaparkan kasus rencana pembangunan PLTN Muria mulai dari sejarahnya, pro-kontra yang mengiringinya, penolakan publik terhadapnya sejak 2007, hingga strategi yang ditempuh pemerintah untuk mengatasinya. Kasus kemudian ditelaah dengan menggunakan perspektif pendekatan tata kelola teknologi dengan terlebih dahulu diberikan paparan teoretik pendekatan ini secara ringkas dan diakhiri dengan sebuah kritik terhadap pendekatan lama dalam perencanaan dan implementasi teknologi yang disebut sebagai ‘pendekatan teknokratik’.

Sugeng P. Syahrie—Teknologi, Demokrasi, dan Pembelajaran Sosial—2009. 2

Page 3: Teknologi Demokrasi Dan Pembelajaran Sosial

2. Jalan Panjang Rencana Pembangunan PLTN

Gagasan pendirian PLTN sudah ada sejak 1972 ketika Badan Tenaga Atom Nasional membentuk Komisi Persiapan Pembangunan PLTN. Tiga tahun kemudian BATAN mengidentifakai 14 calon tapak, 5 di antaranya di Jateng dan lainnya termasuk di Madura, Banyuwangi, dan Bali. Dari 14 calon tapak itu, 11 terletak di pantai utara Jawa dan 3 di pantai selatan. Pada 1982 BATAN mengkaji rencana tapak dan menghimpun pandangan masyarakat tentang PLTN. Muncul pro dan kontra perihal manfaat dan bahayanya, tetapi pemerintah meredamnya melalui pernyataan Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) B.J. Habibie bahwa PLTN baru akan dibangun jika sumber-sumber energi alternatif di luar nuklir dinilai tidak layak dikembangkan. Pada 1989, pemerintah melalui koordinasi BATAN melakukan studi kelayakan yang komprehensif terhadap 14 calon tapak tersebut. Pelaksananya adalah NewJEC, anak perusahaan Mitsubishi, bersama sejumlah instansi pemerintah Indonesia. Akhir 1993 NewJEC melaporkannya ke BATAN dan merekomendasikan 4 calon tapak yang dianggap layak, salah satunya di Semenanjung Muria. Hasil studi BATAN pada 1990-an sampai 2004 kemudian merekomendasikan kawasan Muria sebagai yang paling cocok untuk tapak PLTN. Dusun Ujung Lemah Abang di Desa Balong, Semenanjung Muria, disebut sebagai titik paling aman dari ancaman guncangan gempa bumi.

Sebenarnya, jauh sebelum adanya rekomendasi bahwa Ujung Lemah Abang adalah calon tapak terbaik untuk PLTN, survei lokasi sudah berulang kali dilakukan di situ. Penelitian yang dilakukan Yuliati (2008) menunjukkan bahwa sebenarnya sejak kira-kira 1975 masyarakat setempat sudah mengetahui ada penelitian yang dilakukan BATAN di desanya. Sejak itu masyarakat menyaksikan ada beberapa kali penelitian lanjutan yang dilakukan BATAN untuk survei tempat dan pengambilan sampel tanah. Pada 1990 warga menyaksikan di sekitar areal Ujung Lemah Abang yang menjadi milik PTPN XVIII dilakukan pengeboran untuk diambil sampel tanah dan sisi tebing dibuat gua yang dalam dan lebarnya kurang lebih 10 meter. Belakangan adalah pembangunan tower BATAN di Balong pada 2004. Sebelumnya juga didirikan tower serupa di Ujung

Watu, di desa sebelah Balong. Akhirnya, keluarlah Perpres No. 5/2006 tersebut.

Menyusul adanya perpres tersebut, sejak Juni 2007 sejumlah kelompok masyarakat di Jepara dan Kudus melakukan unjuk rasa untuk menolak PLTN. Pada 23 Juli 2007 dua anggota Komisi VII DPR yang datang ke Balong disambut 1.000-an warga setempat yang meminta mereka menandatangani pernyataan menolak PLTN. Sebulan berselang, 1 September 2007, tokoh Partai Kebangkitan Bangsa Abdurrahman Wahid mendeklarasikan pembentukan Garda Muria yang tugas pokoknya adalah mengawal gerakan penolakan tersebut. Sehari kemudian, Nahdlatul Ulama Kabupaten Jepara mengeluarkan fatwa bahwa PLTN Muria haram hukumnya.

Mengapa pemerintah kemudian bersikeras hendak membangun PLTN? Menurut Kuswardono (2007), ini terkait dengan krisis multidimensi yang mendera Indonesia pada 1998. Kondisi krisis dipandang cukup menjadi alasan untuk melakukan evaluasi tentang kebutuhan dan penyediaan energi, khususnya energi listrik di Indonesia. Dilakukanlah sebuah studi yang dikoordinasi BATAN dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi pada akhir 1998, bertajuk Comprehensive Assessment of Different Energy Resources for Electricity Generation in Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa kebutuhan energi di Indonesia diproyeksikan meningkat sebesar 3,4% per tahun, yang berarti akan mencapai jumlah sekitar dua kali lipat pada 2025 dibandingkan kebutuhan energi pada saat dilakukannya studi itu. Sebab itu, Menristek menyatakan (Kompas, 27 Maret 2008) bahwa PLTN merupakan solusi jangka panjang yang dibutuhkan untuk menghadapi krisis energi listrik di Jawa pada tahun 2025.

Patut dikutip di sini pernyataan seorang pejabat BATAN dalam wawancaranya dengan Antara News (20 Juni 2007), bahwa kehadiran PLTN Muria dianggap penting oleh pemerintah untuk mengantisipasi kebutuhan listrik yang diperkirakan tumbuh sebesar 7,1 persen hingga 2026. PLTN juga dapat mengurangi konsumsi BBM untuk pembangkit listrik dan lebih ramah lingkungan daripada pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan minyak bumi karena emisi CO2-nya lebih rendah—ini berarti mengurangi efek rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Selain itu, juga ada argumentasi ekonomik, bahwa harga listrik yang dihasilkan PLTN lebih murah karena biaya produksi bisa ditekan (Tempo Interaktif, 10 April 2008).

Sugeng P. Syahrie—Teknologi, Demokrasi, dan Pembelajaran Sosial—2009. 3

Page 4: Teknologi Demokrasi Dan Pembelajaran Sosial

3. Mereka yang Menolak PLTN

Rencana pemerintah membangun PLTN di Semenanjung Muria mendapat reaksi penolakan dari kalangan ahli nuklir dan pemerhati lingkungan hidup (Kompas, 31 Januari 2007; Suara Pembaruan, 1 Maret 2007). Menurut ahli fisika nuklir yang pernah 9 tahun bekerja di BATAN, banyak kasus kecelakaan di Indonesia disebabkan terutama oleh faktor kelalaian manusia. Kasus semburan lumpur Lapindo, tabrakan kereta api, kapal tenggelam dan terbakar, meledaknya pesawat terbang, semua itu menunjukkan ketidaksiapan bangsa Indonesia dalam mengelola teknologi tinggi. ''Jadi, stop pembangunan PLTN. Masih banyak energi alternatif lainnya,'' tegasnya. Sedangkan dari sisi teknis, seorang guru besar ekologi di Semarang menyatakan bahwa pengoperasian sebuah PLTN berpotensi menghasilkan aneka limbah padat dan cair sejak dari penambangan uranium, fabrikasi bahan bakar, operasi reaktor, hingga pemrosesan ulang bahan bakar. Pada sisi sosial, seorang pejabat di Kementerian Lingkungan Hidup mengingatkan soal masih rendahnya kedisiplinan kita dalam menggunakan teknologi dan, dalam kondisi seperti ini, kepadatan penduduk di kawasan calon tapak dapat menjadi masalah tersendiri.

Sejumlah ornop lingkungan hidup telah dengan tegas menolak PLTN. Walhi (2007) menolak karena kontribusi energi terbarukan di dalam kebijakan energi nasional masih sangat kecil dan ”nuklir bukanlah solusi yang tepat untuk menjawab persoalan tersebut” mengingat dampaknya terhadap lingkungan yang sangat panjang dan ongkosnya yang amat mahal. Greenpeace giat menentang karena "PLTN itu memiliki risiko jauh lebih berat daripada mengoptimalkan sumber energi alternatif yang didesentralisasikan ke berbagai wilayah". Masyarakat Rekso Bumi (Marem), ornop lokal, juga menolak PLTN karena menilai pemerintah tidak jujur dalam menjelaskan bahaya PLTN. Pemaparan hanya dari sisi positif sembari menjanjikan perbaikan hidup kepada warga setempat. Walhi maupun Marem yakin bahwa masyarakat sebenarnya cukup pintar untuk menilai asal informasi tentang positif dan negatifnya PLTN disampaikan secara jujur (Kompas, 11 Desember 2006).

Kaum petani, buruh, dan nelayan di kawasan Semenanjung Muria juga banyak yang menolak kehadiran PLTN karena pembangkit itu mengancam kehidupan mereka secara langsung jika terjadi kebocoran reaktor (Hanggoro, 2007). Jika pabrik-pabrik lari dari kawasan itu dan Semarang (kota besar

terdekat dengan bakal lokasi PLTN), mereka terancam menjadi pengangguran. Kalaupun tidak terjadi kebocoran, sebagian dari nelayan pun kehilangan peluang usaha untuk budidaya bandeng dan udang, karena peningkatan suhu perairan yang digunakan untuk mendinginkan reaktor. Mereka juga menyatakan (Suara Merdeka, 10 Mei 2007) masih ada alternatif sumber energi yang lebih aman ketimbang nuklir. Pembangunan PLTN juga mereka anggap dapat menjatuhkan produk pertanian di sekitarnya karena hembusan isu radiasi dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab

Kalangan yang tidak pernah menyuarakan penolakannya secara terbuka, tetapi terlibat aktif dalam barisan kontra-PLTN, adalah pengusaha lokal. Sikap mereka ini dapat dijelaskan dengan argumen bahwa aspek keamanan produk sangatlah penting di dalam persaingan bisnis (Hanggoro, 2007). Industri pangan dan rokok yang berada di sekitar Jepara sangat rentan terhadap isu itu. Jika PLTN jadi dibangun di situ, dan kemudian terjadi sedikit saja persoalan kebocoran reaktor, dapat dipastikan pasar mereka anjlok. Bahkan, jika udah ada kepastian bahwa PLTN jadi dibangun di situ, sebelum pembangunan itu terjadi industri pangan dan tembakau yang bermodal kuat sudah akan memindahkan modal dan usahanya ke luar Jateng, Itu berarti pengangguran dan angka kemiskinan di provinsi ini akan meningkat.

Sedangkan warga Balong yang wilayahnya menjadi calon tapak PLTN, mereka punya referensi sendiri dalam menetapkan sikapnya (Hartiningsih dan Arif, 2008a). Mereka melihat semacam contoh pada apa yang dialami warga Desa Bondo yang tinggal dekat Pembangkit Listrik Tenaga Uap Tanjungjati B. Sebelum PLTU dibangun, masyarakat di situ diiming-imingi pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik. Namun, sejak PLTU itu beroperasi, penghasilan nelayan Bondo justru jatuh. Kalau mau dapat ikan seperti dulu, mereka harus pergi jauh ke tengah laut karena jalur lalu-lintas kapal tanker pengangkut batu bara persis di jalur tangkapan ikan mereka. Kapal yang lewat dua kali seminggu itu sering membuat jaring yang mereka tebar putus. Jalur kapal itu juga merupakan kawasan terumbu karang terkaya di perairan Jepara. Sekitar setahun sebelum PLTU beroperasi, terumbu karang itu dikeruk secara berkala sehingga kerusakannya permanen. Sejak itu, pola sebaran ikan tidak lagi merata, tetapi bergerombol karena terumbu karang hilang. Proses pendinginan PLTU juga

Sugeng P. Syahrie—Teknologi, Demokrasi, dan Pembelajaran Sosial—2009. 4

Page 5: Teknologi Demokrasi Dan Pembelajaran Sosial

membuat suhu air laut meningkat sehingga bisa mematikan plankton yang menjadi makanan ikan dan udang kecil. Ikan dan udang kecil adalah makanan ikan yang lebih besar; jadi rantai makanan terputus.

Pengalaman itu membuat nelayan Bondo merasa diabaikan dan dikhianati oleh janji pemerintah akan kehidupan yang lebih baik. Dari sini rakyat Bondo menyimpulkan bahwa, pada akhirnya, merekalah pihak yang justru paling dirugikan dari kahadiran sebuah teknologi. Kini rakyat Balong mencoba belajar dari pengalaman pahit mereka agar itu tidak harus mereka alami. 4. Tanggapan Berbagai Kalangan dan Respons Pemerintah

Munculnya penolakan sejumlah kalangan terhadap rencana pembangunan PLTN menimbulkan silang pendapat di kalangan politikus (Suara Merdeka, 14 Juni 2007). Seorang anggota DPR dari partai politik utama pendukung pemerintah, sebut, menganggap kurangnya sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya fungsi PLTN menjadi sebab timbulnya penolakan,. ''Yang ada selama ini mereka cenderung ditakut-takuti mengenai dampak negatif PLTN seperti kasus Chernobyl,'' katanya. Manfaatnya malah hanya dipaparkan di kalangan terbatas seperti di seminar-seminar. Namun, anggota DPR dari partai lain menolak rencana tersebut karena banyak hal yang belum dijelaskan kepada DPR. Secara kelembagaan, kajian dan blue-print pembangunan PLTN tersebut belum diketahui DPR, berarti DPR juga belum memutuskan. ''Jadi kita sayangkan karena kebijakan pemerintah pusat soal PLTN ini kesannya sangat top down,” simpulnya.

Sementara, beberapa ilmuwan menyoroti pentingnya penjelasan yang benar dan terbuka mengenai informasi teknis PLTN. Menurut seorang peneliti utama BPPT, ”baik manfaat maupun risikonya harus disampaikan secara terbuka supaya masyarakat terdidik untuk memutuskan secara cerdas” (Hartiningsih dan Arif, 2008b). Karenanya, ujung tombak sosialisasi harus mereka yang tahu persis masalah PLTN, teknis dan risikonya. Selain itu, juga harus dijelaskan ketersediaan uranium karena cadangan nasional—di Kalan, Kalimantan Barat—hanya untuk 11 tahun. Mereka juga menggarisbawahi pentingnya pemerintah membagi data mengenai struktur pembiayaan dan keekonomian PLTN kepada publik Tetapi, seorang fisikawan di Salatiga tegas menolak PLTN—kecuali jika pemerintah menggunakan teknologi reaktor

penggabungan (fusi) yang jauh lebih aman daripada reaktor fissi yang rencananya digunakan pemerintah (Hartiningsih dan Arif, 2008c; lihat juga Suara Merdeka, 22 Juni 2007). Ia mengingatkan kita dengan mengutip pandangan Alvin Weinberg, penganjur penerapan nuklir untuk maksud damai, bahwa seberapa pun upaya pemerintah untuk memperkecil risiko teknologi PLTN, tetap saja risiko itu ada dan masyarakatlah yang pada akhirnya harus menanggung risiko itu

Belakangan, sejumlah politikus mendesak pemerintah untuk segera membatalkan rencana pembangunan PLTN (Kompas, 26 Maret 2008). Mereka tidak meragukan kemampuan pemerintah membangun PLTN, tetapi mempersoalkan ketidakseriusan pemerintah mengoptimalkan sumber energi berkelanjutan yang risikonya jauh lebih kecil dan lebih diterima masyarakat—buktinya, pemanfaatan panas bumi untuk memproduksi listrik saat ini baru 4%. Mereka menghendaki adanya ketegasan kebijakan pemerintah untuk memproduksi sumber energi berkelanjutan seperti bioenergi, panas bumi, dan tenaga surya. Seorang ahli rekayasa dari Universitas Indonesia sependapat dengan sikap politikus itu (Kompas, 27 Maret 2008). Menurutnya, krisis energi listrik sekarang ini lebih disebabkan pemerintah yang tak serius memperhitungkan pengembangan teknologi yang memanfaatkan potensi sumber energi alternatif yang melimpah. ”Saat ini perdebatan harus dibawa kembali pada pertanyaan, negara ini membutuhkan PLTN atau tidak,” katanya. Ia berpendapat, hingga 50 tahun ke depan Indonesia belum membutuhkan PLTN.

Tuntutan pembatalan PLTN Muria juga disuarakan Kontak Tani Nelayan Andalan Nasional (Suara Merdeka, 7 April 2008). Organisasi ini meminta pemerintah memindahkan calon tapak PLTN ke tempat yang lebih aman untuk menghindari kemungkinan dampak negatif PLTN terhadap produksi pangan akibat konversi lahan pertanian produktif untuk pembangunan PLTN tersebut. Padahal, pemerintah telah menetapkan kebijakan bahwa lahan pertanian produktif di Pulau Jawa akan dijadikan lahan pertanian pangan abadi dan tidak akan dikonversi untuk kepentingan lain. Mereka juga menilai bahwa PLTN tidak memberikan dampak positif secara langsung terhadap kehidupan petani di sekitar Jepara, Kudus, dan Pati; dan di sisi lain juga tidak menguntungkan iklim investasi jangka panjang bagi sektor agribisnis.

Sugeng P. Syahrie—Teknologi, Demokrasi, dan Pembelajaran Sosial—2009. 5

Page 6: Teknologi Demokrasi Dan Pembelajaran Sosial

Bagimana dengan respons pemerintah sendiri? Menanggapi munculnya pro-kontra PLTN tersebut, pemerintah mengambil kesimpulan bahwa penyebab pokok penolakan terhadap PLTN adalah karena sosialisasi yang dilakukan BATAN selama ini dirasakan sangat lemah sehingga pemahaman masyarakat terhadap PLTN lebih banyak informasi mudharatnya daripada manfaatnya. Sosialisasi khusus tentang keamanan teknologi PLTN juga masih kurang (Kompas, 30 Juli 2007). Jadi, mengintensifkan sosialisasi adalah frase kunci agar rencana pembangunan PLTN dapat diterima masyarakat, khususnya masyarakat di sekitar calon tapak PLTN. Menristek berharap, melalui sosialisasi masyarakat bisa paham sekaligus menyadari pentingnya PLTN bagi program energi nasional dan menerima sepenuhnya sebelum reaktor PLTN dibangun (Tejo, 2007). Sependapat dengan koleganya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengatakan bahwa dalam proses pembangunan PLTN hal yang paling diperlukan adalah pengertian masyarakat (Widiyanarko, 2008).

Memang, sejak Maret 2008 Kementerian Ristek bekerja sama dengan dinas pendidikan setempat melakukan sosialisasi kepada para guru beserta murid tingkat SD, SMP, hingga SMA (termasuk pesantren) di Kabupaten Kudus, Pati, dan Jepara untuk mendukung pembangunan PLTN (Kompas, 1 April 2008). Kegiatannya mulai dari pembagian cuma-cuma buku suplemen PLTN Manfaat dan Potensi Bahayanya hingga sarasehan pengenalan PLTN. Menurut seorang guru SMP setempat, isi buku itu cenderung lebih mengedepankan ’cerita sukses’ PLTN dan tidak menjelaskan secara mendalam sumber energi alternatif di luar PLTN yang bisa dimanfaatkan dan potensinya ada di Indonesia. “Jelas isi buku mengajak para guru dan siswa mendukung PLTN,” ujarnya (Sinar Harapan, 9 April 2008). Kementerian Ristek bersama Departemen ESDM dan BATAN juga mensosialisasikan keuntungan PLTN untuk pembangunan kepada masyarakat sekitar calon tapak melalui kaum perempuan dan anak sekolah (Suara Pembaruan, 26 Maret 2008). Strategi sosialisasi seperti ini mereka anggap lebih tepat karena kaum perempuan merupakan pusat informasi di rumah dan dapat mengkomunikasikan pemahaman secara informal. Kementerian Ristek juga melakukan pelatihan terhadap guru-guru sekolah, membuat buku untuk modul pembelajaran, serta berbagai seminar

untuk memperkenalkan nuklir dan radiasi kepada masyarakat. 5. Pendekatan Tata Kelola Teknologi

Paparan kasus di atas menegaskan satu hal: itulah hakikat teknologi, ketika dicoba diterapkan di masyarakat, isunya tak lagi cuma menyangkut soal teknis. Berikut adalah paparan teoretik perihal pendekatan tata kelola teknologi yang akan digunakan untuk menelaah kasus ini.

Pendekatan ini, merujuk Yuliar (2008), mempostulasikan bahwa teknologi tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial, etis, dan politis. Jika hubungan antara teknologi dan berbagai aspek nonteknis yang terpaut dengannya ditata dan dikelola dengan baik, integrasi teknologi ke dalam masyarakat dapat berlangsung dengan disertai penerimaan yang baik oleh masyarakat dan hasil-hasilnya menjadi berkelanjutan. Tata kelola yang baik dan efektif hanya bisa dicapai melalui kemitraan, konsultasi, dan proses-proses pengambilan keputusan yang bersifat partisipatif terhadap warga masyarakat, terlebih bila keputusan yang diambil dapat mempengaruhi kehidupan orang banyak. Oleh sebab itu, diskusi tentang tata kelola sering dikaitkan dengan isu-isu demokratisasi kebijakan publik. Demokrasi di sini dimaknai sebagai pemberian hak-hak pada berbagai pihak untuk berpartisipasi dalam proses keputusan. Tata kelola dan demokrasi, dengan demikian, tidak bisa dipisahkan. Bila ini semua terjadi, tujuan pengembangan sains dan teknologi, yaitu mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kualitas hidup manusia, dapat tercapai tanpa disertai dampak negatif yang tidak terkendalikan.

Di negara demokratis, persetujuan masyarakat terhadap pilihan teknologi adalah syarat mutlak dalam tata kelola teknologi. Adanya hak publik untuk dimintai persetujuan sebelum sebuah keputusan ditetapkan pemerintah, itulah yang menjadi inti dari konsep partisipasi. Demokratisasi sistem teknologi akan memperluas kesempatan bagi warga awam (ordinary citizens) untuk terlibat dalam pengambilan keputusan tentang perencanaan dan implementasi suatu teknologi di tengah masyarakat yang mencakup tujuan, struktur, dan pengelolaan teknologi itu. Menurut Zimmerman (1995), persetujuan masyarakat—sebagai pihak yang diperintah (the governed)—merupakan sumber utama legitimasi politik pemerintah—selaku pihak yang memerintah. Adanya asas demokrasi dalam tata kelola teknologi inilah yang menjelaskan mengapa

Sugeng P. Syahrie—Teknologi, Demokrasi, dan Pembelajaran Sosial—2009. 6

Page 7: Teknologi Demokrasi Dan Pembelajaran Sosial

inovasi teknologi di negara-negara yang demokratis biasanya dapat berlangsung terus-menerus secara berkelanjutan dan memberi kemanfaatan sosial bagi masyarakat umum tanpa adanya pihak yang hanya dirugikan.

Secara rinci, Kass (2000) merumuskan lima tujuan partisipasi dalam tata kelola teknologi: 1) memberikan informasi agar isu dapat dikaji dengan lebih baik; 2) memberi kesempatan kepada para pihak untuk menyampaikan padangan masing-masing dan mendiskusikannya (konsultasi); 3) memantau dan mengawasi kegiatan; 4) mengidentifikasi pilihan yang ada untuk pemecahan masalah; dan 5) membangun solusi. Prosedur partisipasi ini diharapkan dapat membangkitkan motivasi publik awam untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan, memperluas pengetahuan berikut nilai-nilai yang ada, mengikuti proses pembelajaran bersama, memperoleh peluang baru dalam pemecahan konflik, menyadari keinginan/ kepentingan umum, dan pada akhirnya dapat meningkatkan penerimaan dan legitimasi dari keputusan yang dibuat (Bora, 2009). Dari sini dapat dicapai apa yang disebut Herbold (1995) sebagai partisipasi yang demokratis (democratic participation) dalam perencanaan dan implementasi teknologi. Selanjutnya, kata Zimmerman (1995), dari situ dapat dibangun ’kewargaan teknologis’ (technological citizenship).

Salah satu manfaat penting dari kaidah partisipasi dalam tata kelola teknologi ini ialah terbukanya ruang bagi proses pembelajaran sosial dalam inovasi teknologi di masyarakat. Filosofi tentang tata kelola itu sendiri, sebagaimana dikonsepsikan Zsaga (dikutip dalam Yuliar 2008), memang menyatakan bahwa tata kelola dikembangkan melalui proses belajar bersama antara pemerintah dan masyarakat untuk membuat keputusan yang sesuai dalam situasi-situasi yang spesifik.

Dalam hal ini, Jelsma (1995) dan Herbold (1995) telah merumuskan prasyarat agar proses pembelajaran sosial itu berhasil. Hal terpenting adalah keterbukaan informasi dan akses bagi publik untuk terlibat dalam proses perencanaan teknologi sehingga memungkinkan terjadinya partisipasi aktif publik. Di sini ahli-ahli teknik tetap berperan sentral, tapi mereka harus sungguh-sungguh mempertimbangkan persepsi publik mengenai risiko yang dibawa teknologi bersangkutan. Jika terjadi penolakan publik, perumusan solusinya harus merupakan hasil dari

negosiasi di antara kedua pihak. Tercapainya pembuatan keputusan yang kolaboratif ini menuntut tersedianya ruang bagi terciptanya dialog yang setara di antara publik, pemerintah, ahli-ahli teknik, dan pihak-pihak terlibat lainnya―bukan sekadar ’edukasi publik’ oleh para pakar atau pihak pemerintah yang bersifat searah. Ini berarti bahwa dialog itu harus substansial—bukan sekadar prosedural—di mana pandangan setiap pihak dipertimbangkan dan diikutsertakan dalam setiap proses pengambilan keputusan. Hal lain adalah pentingnya ada pihak yang mengkoordinasi proses pembelajaran sosial itu. Koordinasi ini penting untuk menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan dari interaksi para pihak itu, yang barangkali sudah disisipi oleh bias-bias atau stigma tertentu yang dilekatkan oleh satu pihak kepada lainnya. Oleh karena itu, yang bertindak sebagai koordinator mestilah pihak yang memiliki reputasi baik dan diterima oleh semua pihak lainnya—jadi, tidak harus pemerintah.

6. Di Balik Penolakan: Ketidakpercayaan Publik

Alasan pihak-pihak yang menolak rencana pembangunan PLTN Muria banyak dilatarbelakangi oleh keraguan akan keamanan PLTN—terutama menyangkut reaktor—dan limbah radioaktifnya. Pada titik ini, faktor alam semisal potensi gempa tektonik dan vulkanik serta kemampuan pengelola PLTN dalam menangani limbah nuklir agar tidak membahayakan lingkungan menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat Indonesia. Akan tetapi, jika ditilik lebih dalam, keraguan ihwal keamanan PLTN itu sebenarnya juga terkait erat dengan bermacam-macam aspek sosiokultural, yang boleh jadi tidak ada kaitannya secara langsung dengan keandalan PLTN secara teknologis. Aspek-aspek sosiokultural ini sering merujuk pada banyaknya kasus korupsi petinggi negeri dan pejabat birokrasi serta faktor-faktor kelalaian manusia dalam berbagai musibah di ranah publik seperti kecelakaan kereta api, pesawat terbang, kapal laut, ambruknya gedung sekolah, semburan lumpur Lapindo. Bahkan, ihwal keraguan publik ini dapat menjalar lebih jauh hingga ke pertanyaan mengenai kebenaran logika yang menjadi landasan pembangunan PLTN itu.

Ada pula keraguan publik mengenai keharusan Indonesia membangun PLTN pada saat ini. Benarkah tidak ada sumber energi alternaif yang dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan

Sugeng P. Syahrie—Teknologi, Demokrasi, dan Pembelajaran Sosial—2009. 7

Page 8: Teknologi Demokrasi Dan Pembelajaran Sosial

energi listrik Indonesia hingga beberapa dasawarsa ke depan yang dampak ekologis, sosial, dan ekonomiknya lebih rendah ketimbang energi nuklir? Seorang ilmuwan rekayasa nuklir yang pernah bekerja di BATAN mengatakan (Kompas, 28 Maret 2008), krisis energi terjadi sejak 2004 ketika Indonesia menjadi pengimpor minyak karena apa yang Indonesia punyai justru dijual. Kontrak-kontrak migas jangka panjang dengan berbagai perusahaan minyak asing menyebabkan Indonesia tidak mendapat untung dari kenaikan harga minyak dunia. Keterangannya ini seperti menegaskan apa yang disinyalir para penolak PLTN bahwa ‘krisis energi’ di Indonesia sebenarnya terkait dengan soal salah urus pemerintah di sektor energi

Dari situ mengemuka suatu kesimpulan bahwa apa yang ada di balik ungkapan verbal ‘tolak PLTN’ dalam banyak unjuk rasa itu sesungguhnya adalah endapan persoalan psikososial berupa ketidakpercayaan sebagian anggota masyarakat kepada pemerintah yang dipicu banyaknya kasus kecelakaan dan salah urus di sektor publik yang terkait dengan teknologi. Ketidakpercayaan itu semakin tinggi derajatnya ketika menyangkut teknologi nuklir. Jadi, argumentasi-argumentasi itu dipengaruhi secara kuat oleh hal-hal di luar teknologi nuklir itu sendiri, tetapi yang mereka anggap memiliki asosiasi yang dekat dengan teknologi tersebut. Itu sebabnya, keilmiahan argumentasi penolakan barangkali menjadi tidak cukup relevan untuk menjelaskan kekerasan sikap mereka dalam menolak PLTN. Masalah inilah yang menjadi faktor kunci mengapa banyak kalangan masyarakat, dari tingkat lokal hingga nasional, menolak pembangunan PLTN.

Pada tataran masyarakat Balong, mereka memiliki logikanya sendiri dalam menolak PLTN. Penolakan mereka lebih didasarkan pada kekhawatiran akan keberlangsungan kehidupan mereka pascapembangunan PLTN. Mereka mempertanyakan kebijakan pemerintah dalam menjamin masa depan (ekonomik) mereka untuk mengantisipasi dampak yang akan ditimbulkan PLTN. Mereka, seperti diberitakan Suara Merdeka (14 Juni 2007), juga menyesalkan sikap pemerintah yang tidak mengajak bertukar pendapat menyangkut rencana proyek tersebut, terutama perihal dampaknya bagi mereka. Pihak BATAN hanya datang melakukan survei tempat, membawa contoh tanah, lalu pergi lagi—dan warga dibiarkan menduga-duga sendiri. Toh, meski alasan mereka ini berbeda dengan alasan berbagai pihak di luar

mereka dalam menolak PLTN, tapi keduanya sesungguhnya merefleksikan hal yang lebih kurang serupa: ketidakpercayaan terhadap pemerintah dalam menangani urusan publik. 7. Sosialisasi, ’Partisipasi’, dan Pendekatan Teknokratik

Bagaimana perspektif tata kelola teknologi dalam melihat berbagai kekhawatiran yang muncul di masyarakat seiring rencana pembangunan PLTN itu—dan berujung pada sikap penolakan? Perspektif pendekatan ini akan menyarankan solusi yang berbasis pada kaidah partisipasi publik. Dalam kaidah ini, masyarakat yang tinggal di kawasan Semenanjung Muria, misalnya, dapat menyampaikan kekhawatiran mereka soal risiko kebocoran radiasi kepada pemerintah melalui media atau forum konsultasi; di sisi lain pemerintah perlu menyiapkan penjelasan kepada masyarakat mengenai bagaimana mereka akan mengatasi masalah itu seandainya benar-benar terjadi. Pemerintah juga dapat menjelaskan teknologi PLTN mana yang mempunyai dampak lingkungan paling minimal. Dengan begini, masyarakat memperoleh ruang untuk melakukan konsultasi dan menyampaikan pandangan mereka kepada pemerintah. Pendekatan ini juga dapat mendorong masyarakat dan pemerintah untuk duduk bersama untuk mendiskusikan pilihan-pilihan yang ada dalam rangka mendapatkan solusi atas masalah selama proses perencanaan dan implementasi teknologi PLTN, termasuk akses bagi masyarakat untuk ikut memantau kegiatan yang dilakukan pemerintah selama proses itu.

Untuk mengatasi kekhawatiran masyarakat dalam aspek ekonomik dan sosial—terkait pekerjaan atau mata pencaharian, kesehatan, pendidikan, dan berbagai infrastruktur yang penting bagi masyarakat—pemerintah dapat mencobanya dengan cara memberi gambaran kepada masyarakat mengenai hal-hal yang akan terjadi bila PLTN jadi dibangun dan penjelasan perihal solusi apa yang dapat pemerintah tawarkan. Ancaman hilangnya mata pencaharian petani dan nelayan lokal, misalnya, bisa dicari solusinya dengan menemukan mata pencaharian pengganti melalui proses dialog antara pemerintah dan masyarakat. Atau, pemerintah juga dapat menjabarkan rencana pemberdayaan masyarakat setempat sehingga masyarakat tidak kehilangan sumber penghidupannya walaupun ada PLTN. Melalui kaidah partisipasi yang demokratis ini, terbukalah ruang bagi proses belajar bersama antara pemerintah dan masyarakat sehingga upaya inovasi teknologi dapat berlangsung tanpa

Sugeng P. Syahrie—Teknologi, Demokrasi, dan Pembelajaran Sosial—2009. 8

Page 9: Teknologi Demokrasi Dan Pembelajaran Sosial

diiringi sikap resisten masyarakat dan memberi kemanfaatan sosial secara berkelanjutan.

Dengan analisis seperti itu, dapat dikatakan bahwa langkah yang ditempuh pemerintah dalam merespons penolakan publik terhadap rencana pembangunan PLTN Muria ini, yaitu mengintensifkan sosialisasi PLTN kepada masyarakat melalui beragam cara, bukanlah cara yang tepat untuk mencapai tujuan memperoleh penerimaan masyarakat terhadap rencana tersebut. Secara praktik, strategi menggalakkan sosialisasi ini sulit dibayangkan akan dapat mengatasi persoalan ketidakpercayaan publik, misalnya ketidakpercayaan warga Balong bahwa masa depan kehidupan mereka tetap terjamin kesejahteraannya bila PLTN jadi dibangun. Strategi ini juga diragukan akan bisa membuat para penolak PLTN menjadi yakin bahwa alasan-alasan di balik rencana pembangunan PLTN oleh pemerintah adalah dapat dipercaya—benarkah pembangunan PLTN adalah suatu keharusan bagi Indonesia saat ini?

Secara teoretik, strategi tersebut juga bukan cara yang tepat untuk mengatasi persoalan. Dari apa yang telah dipaparkan tentang cara-cara yang dilakukan pemerintah dalam melakukan sosialisasi PLTN, tampak cukup jelas bahwa strategi ini sangat berwatak teknokratik sehingga akan tetap memunculkan resistensi sosial terhadap rencana pembangunan PLTN Muria itu. Pendekatan teknokratik ditandai oleh adanya struktur hierarkis yang mengandung makna bahwa ada satu pihak yang berotoritas dan ada pihak lain yang tidak tak berotoritas. Dalam konteks sosialiasi PLTN ini, tersirat makna bahwa pemerintah punya otoritas eksklusif untuk membuat keputusan mengenai pembangunan PLTN Muria, sementara masyarakat cukup hanya diberitahu mengenai keputusan itu, tanpa berhak terlibat dalam proses pembuatan keputusan, pun untuk menolak keputusan itu. Jelas di sini bahwa sosialisasi tidak selaras dengan kaidah partisipasi dalam tata kelola teknologi, karena partisipasi menuntut adanya kesetaraan relasi, sementara sosialisasi selalu menyiratkan adanya hierarki dalam pembuatan keputusan dan implementasinya. Strategi sosialiasi yang berwatak teknokratik ini tidak memberi ruang bagi warga awam untuk dapat berpartisipasi secara demokratis dalam proses-proses perencanaan dan implementasi teknologi.

Jika cara-cara sosialisasi yang berwatak teknokratik itu tetap dijalankan pemerintah untuk mengatasi persoalan penolakan publik terhadap PLTN, besar kemungkinan bahwa yang akan dituai pemerintah bukanlah penerimaan masyarakat, tetapi justru aksi-aksi penolakan yang lebih keras yang dapat memicu

timbulnya konflik sosial. Kecuali, jika pemerintah memang bermaksud menerapkan otoritarianisme teknologis―sesuatu yang jelas-jelas tidak selaras dengan cita-cita membangun Indonesia yang demokratis.

Dengan maksud mengkritik model kebijakan berwatak teknokratik itu, Zsaga (dikutip dalam Yuliar, 2008) menyatakan bahwa model ini mempersepsikan makna ’tata kelola’ (governance) sebagai penyelenggaraan kekuasaan atau kewenangan untuk mengatur, mengarahkan, atau mengendalikan. Diasumsikan di sini bahwa keteraturan atau keterarahan memerlukan adanya agen-agen pemerintah yang cukup memiliki kewenangan politis untuk bisa mengemban peran sebagai pengatur atau pengendali urusan publik. Dengan demikian, dalam pengelolaan teknologi ada agen-agen pemerintah yang memiliki otoritas untuk mengatur, mengarahkan, atau mengendalikan urusan publik—dan ’publik’ adalah mereka yang harus bersedia diatur, diarahkan, dan dikendalikan—di bidang teknologi.

Praktik tata kelola teknologi yang dipersepsikan seperti itu banyak terjadi dalam sejarah pembangunan di Indonesia selama Pemerintahan Orde Baru. Pada masa itu yang dilakukan pemerintah kepada masyarakat pada tahap perencanaan teknologi adalah kegiatan ’sosialisasi’. Kritik Antlov (2004) tentang praktik ’partisipasi’ publik dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi kebijakan publik di Indonesia menjadi sangat relevan. Ia mengatakan:

”Strangerly for democratizing country such as Indonesia with a lot of rhetoric about ‘participation’, ‘consultation’, and ‘partnership’, there is no legal framework for the substantial inclusion of citizens in deciding, implementing, or evaluating public policies. … Line officers might try to include ‘stakeholders’ in various ‘consultation’ but this often amounts to little less than sosialisasi, that word made so infamous in Indonesia, utterly distorted by the authoritarian regime.

In practice, participation, as far as the government goes, is nothing but mobilization, the forced partaking in government programs. And sosialisasi, sorry consultations, seldom amount to anything more than presenting, in monologue form, with a brief Q and A session, the latest government blueprint” (hlm. 169).

Inilah bentuk partisipasi publik yang dilihat dari perspektif yang teknokratik. Tentu, dalam perspektif tata kelola teknologi, apa yang disebut partisipasi publik bermakna lebih dari sekedar sosialisasi. Pendekatan ini lahir—boleh dikata—justru untuk mengkritik cara lama dalam perencanaan dan implementasi teknologi yang berwatak teknokratik itu, yang menutup kesempatan bagi publik awam

Sugeng P. Syahrie—Teknologi, Demokrasi, dan Pembelajaran Sosial—2009. 9

Page 10: Teknologi Demokrasi Dan Pembelajaran Sosial

untuk dapat memperoleh pengetahuan yang lengkap dan akurat, berpartisipasi dalam proses-proses perencanaan dan implementasi, dan memberikan persetujuan (atau menolak) sebelum diambil sebuah keputusan. 8. Kesimpulan

Dengan menggunakan perspektif tata kelola teknologi, artikel ini mengetengahkan kesimpulan bahwa persoalan penolakan publik terhadap rencana pembangunan PLTN Muria tidak berpangkal sekadar pada kurangnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah perihal manfaat PLTN, tetapi berakar pada sumber yang lebih mendalam, yaitu persoalan keraguan dan bahkan ketidakpercayaan publik kepada pemerintah. Sebab itu, penolakan atau penerimaan masyarakat terhadap rencana tersebut tidak lagi terletak hanya pada upaya pemerintah meyakinkan masyarakat ihwal keamanan teknologi yang digunakan serta ketersediaan ahli-ahli yang mengoperasikannya, tetapi lebih pada kemampuan pemerintah meraih kembali kepercayaan publik luas bahwa informasi dan logika yang dijadikan landasan pembangunan PLTN itu benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Secara khusus, harus pula ditambahkan adanya keharusan bagi pemerintah untuk dapat memberikan jaminan kesejahteraan (ekonomik) terhadap masa depan kehidupan para petani, nelayan, dan kaum buruh di kawasan Semenanjung Muria dan sekitarnya, terlebih bagi warga Balong sendiri.

Jalan keluar dari persoalan ini adalah pemerintah kembali ke titik awal di mana belum ada keputusan tentang pembangunan PLTN Muria. Dari titik itu, pihak yang pro dan kontra bersama-sama menguji berbagai aspek terkaitnya. Mengingat bahwa masyarakat di lokasi calon tapak adalah pihak yang akan terkena dampak langsung bila PLTN dibangun, mereka pula yang harus dilibatkan dalam setiap proses keputusan yang menyangkut masa depan kehidupan mereka. Setelah itu, barulah keputusan untuk membangun atau menolak PLTN ditetapkan. Saran ini mendukung saran serupa yang pernah dikemukakan Hanggoro (2007). Tentu, dengan cara ini akan ada kemungkinan bahwa rencana pembangunan PLTN Muria akan menjadi batal sama sekali. Tetapi, bukankah dengan demikian kita sudah selangkah lebih maju karena membuka ruang yang lebih besar bagi berlangsungnya proses pembelajaran sosial dalam perencanaan dan implementasi suatu teknologi baru di masyarakat? Bahwa pada saat ini pemerintah tidak

menempuh strategi ‘kembali ke titik awal’, tetapi bertahan dengan asumsi bahwa PLTN adalah sebuah keniscayaan dengan sejumlah nilai positif—sebuah asumsi yang selayaknya ditinjau ulang—itu sekadar menunjukkan bahwa dalam perencanaan pembangunan PLTN Muria ini tidak berlangsung proses pembelajaran sosial yang berhasil. Ucapan Terima Kasih: Saya mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada Sonny Yuliar, Ph.D. dan Asep Suryana, M.Si., masing-masing untuk komentar yang berharga terhadap versi awal artikel ini dan saran yang telah membuat artikel ini punya relevansi dengan tema besar ’sosial-kependidikan’. Catatan

1. MacKenzie dan Wajcman (dikutip dalam Bijker dkk., 1987), menyatakan bahwa istilah ‘teknologi’ dapat dibedakan ke dalam tiga lapis makna. Pertama, teknologi sebagai objek fisik atau artifak, seperti sepeda, komputer, atau reaktor nuklir; kedua, teknologi sebagai aktivitas atau proses, seperti pembuatan atau pencetakan baja, atau pengolahan limbah radioaktif yang berasal dari PLTN; ketiga, teknologi sebagai pengetahuan untuk membuat atau melakukan sesuatu, seperti pengetahuan dalam membuat sepeda motor atau mobil, atau mengoperasikan peralatan USG (ultrasonography) dalam klinik kebidanan.

2. Dalam terminologi ilmu rekayasa nuklir, istilah ‘tapak’ telah dibakukan penggunaanya sebagai padanan kata dari istilah Inggris ‘site’. Pada pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘tapak’ adalah lokasi di daratan yang dipergunakan untuk pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning, satu atau lebih reaktor nuklir beserta sistem terkait lainnya.

3. Istilah ‘sosialisasi’ yang dimaksud pemerintah ini kurang lebih bermakna ‘pemberian informasi kepada masyarakat agar mereka paham maksud pemerintah’. Makna ini tersimpul dari, misalnya, pernyataan Menristek bahwa sosialiasi diperlukan agar masyarakat bisa paham sekaligus menyadari pentingnya PLTN bagi program energi nasional (Tempo, 24-30 September 2007); atau pernyataan BATAN bahwa mereka meningkatkan sosialisasi tentang teknologi nuklir agar masyarakat paham bahwa teknologi PLTN itu aman dan tidak perlu ditolak kehadirannya (Kompas, 30 Juli 2007); atau pernyataan Menteri ESDM bahwa dalam proses pembangunan PLTN hal yang paling diperlukan adalah pengertian masyarakat, karena itu Departemen ESDM menggencarkan sosialisasi PLTN kepada masyarakat agar mereka paham (Widiyanarko, 2008). Makna tersebut berbeda dengan makna sosialisasi dalam studi sosiologi. Macionis (1992: 79), misalnya, memaknai sosialisasi sebagai ”the lifelong social experience by which individuals develop their human potential and learn culture”. Makna ini serupa dengan pengertian sosialisasi dalam studi

Sugeng P. Syahrie—Teknologi, Demokrasi, dan Pembelajaran Sosial—2009. 10

Page 11: Teknologi Demokrasi Dan Pembelajaran Sosial

antropologi, yaitu proses belajar sepanjang hayat seorang individu mengenai pola-pola tindakan dalam interaksinya dengan berbagai individu lainnya di sekelilingnya yang menduduki bermacam peranan sosial dalam kehidupan sehari-hari (Koentjaraningrat (1979: 229).

4. Inovasi, merujuk Koentjaraningrat (1979: 256), dapat dimaknai sebagai proses pembaruan dalam penggunaan sumber-sumber alam, energi, modal, pengaturan baru dari tenaga kerja, dan penggunaan teknologi baru yang semua itu akan menyebabkan adanya sistem produksi dan dibuatnya produk-produk baru. Di sini inovasi dikonsepsikannya sebagai bagian integral dari perkembangan teknologis dan ekonomik suatu masyarakat. Menurut de Bruijn dkk. (2004), inovasi diperlukan ketika cara-cara lama dianggap tidak lagi dapat menyelesaikan problem-problem sosial yang muncul kemudian. Di balik proses pembaruan yang kasat mata itu, sesungguhnya terdapat proses pembaruan nilai-nilai, yang tak kasat mata. Sebagai contoh, argumentasi yang sering dilontarkan oleh mereka yang mempromosikan PLTN adalah bahwa ia lebih ramah lingkungan karena emisi CO2-nya lebih rendah daripada pembangkit listrik berbasis bahan bakar batu bara dan minyak bumi. Juga ada nilai ekonomik, bahwa harga listrik yang dihasilkan PLTN lebih murah karena biaya produksinya yang lebih rendah daripada yang dihasilkan pembangkit listrik berbasis bahan bakar lainnya. Dari contoh itu tersimpul pengertian bahwa sesuatu memiliki nilai (valuable) bagi seseorang atau sekelompok orang bila sesuatu itu membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi orang atau kelompok orang tersebut (lihat Yuliar, 2008). Dengan demikian, konteks nilai-nilai adalah faktor yang esensial dalam suatu inovasi.

5. Apa yang sekarang disebut sebagai STS ini mula-mula muncul dalam buku bertajuk The Technological Society karya Jacques Ellul (1964) dan kemudian dua jilid karya Lewis Munford (1967 dan 1970), The Myth of the Machine. Studi ini kemudian berkembang pesat sejak dasawarsa 1980-an yang ditandai oleh serangkaian publikasi akademis oleh, antara lain, Winner (1977, 1986, 1992), Collingridge (1982), Hughes (1983, 2004), Ziman (1984), Bijker dkk. (1987), Bijker dan Law (1992), Bijker (1995), Latour (1987, 1988, 2005), Callon (1987), Callon dkk. (1986), Law (1991), McGinn (1991), Wajcman (1991), Webster (1991), Westrum (1991), Durbin (1992), Fuller (1993), Mitcham (1994), Rip dkk. (1995), Akrich (1992, 1995), Herbold (1995), Jelsma (1995), Simon dkk. (1995), Volti (1995), Zimmerman (1995), Sarewitz (1996), Yager (1996), Bridgstock dkk. (1998), Mowery (1998), MacKenzie dan Wajcman (1999), Pacey (1999), Cutcliffe (2000), Teich (2000), Cutcliffe dan Mitcham (2001), dan Schroeder (2007). Lihat subjudul ‘BIBLIOGRAFI’ di bawah untuk deskripsi bibliografis buku dan artikel yang ditulis para eksponen STS ini.

6. Berikut adalah universitas-universitas di Amerika Utara, Eropa, Australia, dan Selandia Baru yang memiliki departemen/program/center terkait STS (termasuk sejarah, filsafat, sosiologi, dan antropologi mengenai sains, teknologi, dan medisin). Daftar ini dimaksudkan

sebagai panduan awal untuk penelusuran lebih jauh mengenai keberadaan dan perkembangan studi STS di berbagai universitas di negara-negara maju.

Amerika Serikat: Harvard University (program in Science, Technology, and Public Policy; Science; Technology, and Human Values journal; Department of History of Science), Yale University (program in the History of Science and Medicine), MIT (program in History, Anthropology, and STS), California Institute of Technology (courses in History and Philosophy of Science), University of Chicago (Fishbein Center for the History of Science and Medicine), Northwestern University (History of Science and Technology and program in Science and Human Culture in Department of History; doctoral program in Media, Technology, and Society), Princeton University (program in History of Science), Stanford University (program in History and Philosophy of Science and Technology; science and technology studies in Department of Anthropology), University of California- Berkeley (Science, Technology, and Society Center; research area in science and technology studies in Medical Anthropology program), Columbia University (History of Science and Technology in Department of History; Ph.D. in Sociomedical Sciences), University of Pennsylvania (Department of History and Sociology of Science), Duke University (History of Science and Technology in Department of History), University of California-Los Angeles (group in History of Science and Medicine), Cornell University (Department of Science & Technology Studies), University of Michigan-Ann Arbor (research area in history of science and the human sciences; anthropology of science; History of technology; material culture, science and technology; science and technology studies in Doctoral Program in Anthropology and History), University of California-San Diego (Science Studies Program), Johns Hopkins University (Department of History of Science and Technology), University of Southern California (research field in history of medicine and science in Department of History), University of California-San Francisco (program in History of Health Sciences and Medical Anthropology), Washington University-St. Louise (research area in history of science and print culture and knowledge technology), University of Wisconsin-Madison (program in History of Science, Medicine, and Technology; STS Center), University of Texas-Austin (Graduate Portfolio Program in Societal Impact of Science and Technology; research area in Science, Technology and Society in Department of Anthropology), Carnegie Mellon University (Science, Technology, Medicine, and Environment in Department of History), University of Washington-Seattle (research area in science and technology in Department of Anthropology), University of North Carolina-Chapel Hill (research area in history and anthropology of science and tehcnology in Department of Anthropology), Georgia Institute of Technology (School of History, Technology & Society), University of Minnesota (program in History of Science and Technology and History of Medicine), University of Illinois at Urbana-Champaign (program in Science, Technology, Information and Medical Studies), University of Pittsburgh (Department of History and

Sugeng P. Syahrie—Teknologi, Demokrasi, dan Pembelajaran Sosial—2009. 11

Page 12: Teknologi Demokrasi Dan Pembelajaran Sosial

Philosophy of Science ), University of California-Irvine (field study in History and Philosophy of Science in Department of History), University of California- Santa Cruz (research field in world history of science), University of Virginia (Department of Science, Technology, and Society), Rensselaer Polytechnic Institute (Science and Technology Studies Department), Case Western Reserve University (program in the History of Science, Technology, Environment, and Medicine), Indiana University-Bloomington (program in History and Philosophy of Science), University of Notre Dame (program in History and Philosophy of Science), University of California-Santa Barbara (Anthropology of Technology prize in Department of Anthropology), Lehigh University (program in STS and History of Technology in Department of History), Michigan State University (research field in science, technology and medicine in Department of History), University of Utah (research area in history of medicine and science in Department of History), University of Delaware (The Hagley Graduate Program—a group of the study of technology, business, consumerism and material culture), University of Oklahoma (program in History of Science), Virginia Polytechnic Institute and State University (Department of Science and Technology in Society), University of Florida (program in History of Science, Technology, and Medicine), University of Kentucky (research area in ethnography of science and technology in Department of Anthropology), Auburn University (research area in history of technoloy in Department of History), University of Nevada-Reno (research areas in history of science and history of medicine), University of Miami (research field in History of Science and Medicine in Department of History), Michigan Technological University (PhD in Industrial Heritage and Archeology), University of Puget Sound (program in Science, Technology, & Society), Northeastern University (research area in environmental and biological history in Department of History), Oregon State University (program in History of Science through Department of History), Iowa State University (program in History of Technology and Science), NJIT (Science, Technology, and Society program).

Kanada: McGill Univerity (History of Science in Department of History), University of Toronto (Institute for the History and Philosophy of Science and Technology), University of British Columbia (thematic cluster in History of Science, Technology, and Medicine in Department of History), University of Alberta (Science, Medicine, and Technology in Department of History), University of Guelph/University of Waterloo/Wilfrid Laurier University (History of Science & Medicine), University of Saskatchewan (research area in Science, Medicine and the Environment in Department of History), University of Manitoba (research field in history of science and archival studies in Department of History), Dalhousie University (program in History of Science and Technology), Carleton University (Sociology of Science and Technology course in Department of Sociology; program in Technology, Society and Environment), Trent University (culture and technology areas of study in Cultural Studies program; themes in culture, nature and

technology (including media) and science as discourse and knowledge in Centre for the Study of Theory, Culture and Politics), University of King's College (History of Science and Technology Program).

Britania: University of Cambridge (program in the History and Philosophy of Science), University of Oxford (one-year graduate course in 'History of Science: Instruments, Museums, Science, Technology'), Imperial College London (Centre for the History of Science, Technology and Medicine), University College London (Department of Science and Technology Studies), University of Manchester (program & centre for the History of Science, Technology and Medicine), University of Edinburgh (program in Science and Technology Studies), University of Bristol (program in Philosophy and History of Science), King’s College London (School of Social Science & Public Policy, MSc in Philosophy & History of Science), University of Warwick (MA in the Social History of Medicine), University of Nottingham (Institute for Science and Society), Cardiff University (research area in Knowledge, Science and Technology; MSc. In Science and Technology Studies), (research area in History of Science, Technology, and Medicine), University of Birmingham (PhD/MPhil in History of Medicine), University of Aberdeen (program in History & Philosophy of Science), University of Sussex (SPRU-Science and Technology Policy Research), University of Leeds (program in History and Philosophy of Science in Department of Philosophy), Lancaster University (Science Studies Centre in Department of Sociology; program in Science, Technology and Nature), University of Durham (History of Science module in the Philosophy Department), University of Bradford (research area in History and Philosophy of Science), University of Keele (Centre for Technological and Organisational Practice).

Prancis: Ecole Normale Supériéure des Mines (Centre de Sociologie de l’Innovation).

Jerman: Technische Universität Berlin (Program in History of Science and Technology).

Belanda: Utrecht University (program in History and Philosophy of Science dan Historical and Comparative Studies of the Sciences and the Humanities), Twente University of Technology (program in Philosophy of Science, Technology and Society), TU Delft (Philosophy of Science, Technology and Society), University of Amsterdam (Department of Science Dynamics), Maastricht University (MSc in Cultures of Arts, Science, and Technology).

Swiss: University of Bern (program in History and Philosophy of Science), ETH Zurich (MA in History and Philosophy of Knowledge).

Belgia: Katholieke Universiteit Leuven (Center for Science, Technology and Ethics).

Swedia: Linköpings Universitet (Science, Technology, and Society Program).

Norwegia: Lund University (master program in Society, Science, and Technology).

Australia: Australian National University (research area in modern history of health in Department of History), University of Melbourne (program in History and Philosophy of Science—research area in History of Science, Philosophy of Science, Science and Technology

Sugeng P. Syahrie—Teknologi, Demokrasi, dan Pembelajaran Sosial—2009. 12

Page 13: Teknologi Demokrasi Dan Pembelajaran Sosial

Studies, Environmental History, History of Medicine), University of New South Wales (School of History and Philosophy of Science in School of History and Philosophy), University of Sydney (Unit for the History and Philosophy of Science).

Selandia Baru: University of Auckland (research area in science and technology in Department of History).

7. Istilah ‘sistem teknologi’ di sini mengandung pengertian bahwa teknologi tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial, ekonomik, etis, dan politis. Terdapat proses mutual shaping antara teknologi dan masyarakat, antara entitas teknis dan entitas sosial, yang membuat

hakikat teknologi, ketika diterapkan di masyarakat, isunya tidak semata-mata soal teknis. Teknologi, mulai dari tahap riset, konsepsi, difusi, dan adopsinya di masyarakat dipengaruhi oleh cara-cara bagaimana berbagai komponen sosial diorganisasikan. Sebaliknya, banyak perubahan sosial yang dipengaruhi, bahkan dipicu dan digerakkan, oleh teknologi. Oleh ebab itu, para eksponen studi STS mendalilkan bahwa perubahan sosial dan perubahan teknis terjadi secara serentak dan saling mempengaruhi, membentuk proses ko-evolusioner. Lihat Stirling (2005) dan Yuliar dan Anggorowati (2006); lihat juga Bijker (1992) dan Rip (1995).

Daftar Pustaka

1. Antlov, Hans (2004), “Civic Engagement in Local Government Renewal in Indonesia”, dalam Citizen Participation in Local Governance: Experiences from Thailand, Indonesia and Philippines. Manila: Institute for Popular Democracy.

2. Bijker, Wiebe E., Thomas P. Hughes, dan Trevor Pinch (eds.). 1987. The Social Construction of Technological Systems: New Directions of the Sociology and History of Technology. Massachusetts: MIT Press.

3. Bora, Alfons. 2009. “Science and Technology Governance”. Institut für Wissenschafts- und Technikforschung (IWT), Universität Bielefeld. Melalui:http://www.unibielefeld.de/iwt/forschung/Schwerpunkte/sience_and_technology_governance.html (diakses 11 April 2009).

4. Cutcliffe, Stephen H. dan Carl Mitcham (eds.). 2001. Visions of STS: Counterpoints in Science, Technology, and Society Studies. Albany, NY: State University of New York Press.

5. de Bruijn, Hans, Haiko van der Voort, Willemijn Dicke, Martin de Jong, dan Wijnand Veeneman. 2004. Creating System Innovation. Leiden: AA Balkema Publishers.

6. Hanggoro, Wisnu Tri. 2007. ”PLTN, Pembelajaran bagi Publik”. Suara Merdeka, 20 Juni 2007 hlm. 6 & 15

7. Hartiningsih, M. dan A. Arif. 2008a. “PLTN-Antara Balong dan Bondo”, Kompas , 28 Maret 2008, hlm. 50.

8. Hartiningsih, M. dan A. Arif. 2008b. ”Sangat Penting, Akses Informasi”, Kompas, 28 Maret 2008, hlm. 51.

9. Hartiningsih, M. dan A. Arif. 2008c. ”PLTN-Kontrak Faust”, Kompas, 28 Maret 2008, hlm. 50.

10. Herbold, Ralf. 1995. “Technologies as social experiments: the construction and implementation of a high-tech waste disposal site”, dalam Arie Rip, Thomas J.Misa, dan Johan Schot (ed.) Managing Technology in Society. London and New York: Pinter Publisher, hlm. 185-193.

11. Jelsma, Jaap. 1995. “Learning abaout learning in the development of technology”, dalam Arie Rip, Thomas J.Misa, dan Johan Schot (ed.) Managing Technology in Society. London and New York: Pinter Publisher, hlm. 141-165.

12. Kass, Gary. 2000. “Recent Development in Public Participation in the United Kingdom”. TA-Datenbank-Nachrichten. Melalui: http://www.itas.

fzk.de/deu/tadn/tadn003/kass00a.htm (diakses 11 April 2009).

13. Kuswardono, Torry. 2007. “Ribuan Warga Jawa Tengah Tolak PLTN”. Melalui: http://www.walhi. or.id/kampanye/energi/pltn/070723_pltn_jateng_cu/ (diak-ses 8 November 2007)

14. Kuswardono, Torry. 2007. ”Alim Ulama Putuskan: PLTN Muria Hukumnya Haram”. Melalui: http://www.walhi.or.id/kampanye/energi/pltn/070904_pltn_batan_cu/ (diakses 8 November 2007).

15. Koentjaraningrat. 1979. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

16. Macionis, John J. 1992. Society: The Basics (3rd Ed.). Ne Jersey: Prentice-Hall.

17. Stirling, Andy. 2005. “Participation, Power and Progress in the Social Appraisal of Technology”. Paper for submission to Science, Technology and Human Values (Submission Draft, July 2005), 34 hlm.

18. Tejo, Amir. 2007. “Sosialisasi Proyek PLTN Muria Terus Berlanjut”. Melalui: http://news.okezone. com/read/2007/11/11/1/59972/1/sosialisasi-proyek-pltn-muria-terus-berlanjut (diakses 11 April 2009).

19. Widiyanarko, Dian. 2008. ”Purnomo Sosialisasikan PLTN dari Hati ke Hati”. Melalui: http://economy.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/04/14/19/100334/purnomo-sosialisasikan-pltn-dari-hati-ke-hati (diakses 11 April 2009).

20. Yuliar, Sonny. 2008. Tata Kelola Teknologi: Sebuah Pendekatan Teori Jaringan-Aktor. Modul perkuliahan Kebijakan Teknologi dan Sistem Inovasi Nasional. Program Magister Studi Pembangunan, Institut Teknologi Bandung.

21. Yuliar, Sonny, dan M.A. Anggorowati. 2006. ”Governance Teknologi di Masyarakat: Sebuah Pendekatan Jejaring-Aktor”. Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5 (April 2006): 3-14.

22. Yuliati, Evin. 2008. ”Tata Kelola Teknologi PLTN Muria: Studi Kasus Penolakan Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan PLTN di Ujung Lemah Abang, Desa Balong, Kabupaten Jepara”. Tesis Magister. Program Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Padjadjaran, Bandung.

23. Zimmerman, Andrew D. 1995. “Toward a More Democratic Ethic of Technological Governance”. Technology & Human Values, Vol. 20 (1): 86-107.

Sugeng P. Syahrie—Teknologi, Demokrasi, dan Pembelajaran Sosial—2009. 13

Page 14: Teknologi Demokrasi Dan Pembelajaran Sosial

Artikel Surat Kabar & Majalah (Tanpa Pengarang) 24. Kompas. 11 Desember 2006. “Operasi PLTN Harus

Ditolak: Sumber Energi Alternatif Belum Digarap Optimal”. Melalui: http://www.pelangi.or.id/other news.php?nid=2136 (diak-ses 11 April 2009)

25. Kompas. 27 Maret 2008. “PLTN Solusi yang Keliru: Perbaiki Definisi Krisis Energi”. Melalui: http://library.pelangi.or.id/?pilih=arsip&topik=7&nid=3805 (diakses 11 April 2009).

26. Kompas. 31 Januari 2007. ”Aspek Sosial & Penduduk Jadi Pertimbangan”. Hlm. 13. Melalui: http://www. batan.go.id/view_news.php?id_berita=228&db_tbl=Berita (diakses 11 April 2009).

27. Kompas. 26 Maret 2008. “Optimalkan Sumber Lain: Pemerintah Didesak Batalkan Pembangunan PLTN”. Hlm. 13. Melalui: http://monitoring media.wordpress.com/2008/03/26/optimalkan-sumber-lain/ (diakses 11 April 2009).

28. Kompas. 30 Juli 2007. “BATAN Akan Tingkatkan Sosialisasi Energi Nuklir”. Hlm. 22 Melalui: http://www.batan.go.id/view_news.php?id_berita=354&db_tbl=Berita (diakses 11 April 2009).

29. Kompas. 1 April 2008. “Guru dan Murid ‘Digiring’ Dukung PLTN”. Melalui: http://www.tekmira. esdm.go.id/currentissues/?p=157 (diakses 11 April 2009).

30. Sinar Harapan. 9 April 2008. “Sekolah Jangan Dilibatkan Polemik PLTN”. Melalui: http://www. sinarharapan.co.id/berita/0804/09/kesra03.html (diakses 11 April 2009).

31. Suara Merdeka. 10 Mei 2007. ”Petani Tetap Menolak PLTN”. Melalui: http://www.batan. go.id/view_ news.php?id_berita=296&db_tbl=Berita (diakses 11 April 2009).

32. Suara Merdeka. 14 Juni 2007. ”Dari Calon Tapak PLTN Ujung Lemah Abang (1): Penduduk Inginkan Sosialisasi Seutuhnya”. Hlm. 1 & 15. Melalui: http://www.batan.go.id/view_news.php?id_berita= 314&db_tbl=Berita (di-akses 11 April 2008).

33. Suara Merdeka. 14 Juni 2007. ”Pemerintah-Masyarakat Perlu Duduk Bersama”. Hlm. 1 & 15. Melalui: http://www.batan.go.id/view_news. php? id_berita=313&db_tbl=Berita (diak-ses 11 April 2009).

34. Suara Merdeka. 22 Juni 2007. ”Pro-Kontra Pembangunan PLTN Jepara (2): Kalau Nuklir Hanya untuk Listrik”. Melalui: http://www.batan. go.id/view_news.php?id_berita=325&db_tbl=Berita (diakses 11 April 2009).

35. Suara Merdeka. 7 April 2008. ”KTNA Minta Lokasi PLTN Muria Dipindah”. Melalui: http:// monitoringmedia.wordpress.com/2008/04/09/ktna-minta-lokasi-pltn-muria-dipindah/ (diakses 11 April 2009).

36. Suara Pembaruan. 1 Maret 2007. hal 5 “Rencana Pembangunan Reaktor Nuklir Ditolak”. Melalui: http://www.batan.go.id/view_news.php?id_berita=263&db_tbl=Berita (diakses 11 April 2009).

37. Suara Pembaruan. 26 Maret 2008. “Wanita dan Anak-anak Jadi Objek Sosialisasi PLTN”. Melalui: http://monitoringmedia.wordpress.com/2008/02/13/wanita-dan-anak-anak-jadi-objek-sosiali sasi-pltn/ (diak-ses 11 April 2009).

38. Tempo. 24-30 September 2007. ”Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini”. Melalui:http://www.migasindonesia.com/files/article/(Energi_Alt)Kusmayanto_KadimanKeputusan_PLTN_harus_tahun_ini.doc (diakses 11 April 2009).

Artikel Website (Tanpa Pengarang) 39. Antara News. 20 Juni 2007. ”PLTN Muria Masih

Dapat Keberatan Masyarakat”. Melalui: http:// www.antara.co.id/arc/2007/6/20/pltn-muria-masih-dapat-keberatan-masyarakat/ (diakses 11 April 2009).

40. E-Magazine. No 02 Tahun I/23 Oktober 2007. ”PLTN Sekilas”. Melalui: www.technology indonesia.com/ download.php?file=emag02.pdf (diakses 11 April 2009).

41. Tempo Interaktif. 10 April 2008. ”Anggota DPR Tolak PLTN Muria”. Melalui Melalui: http://www.tempo interaktif.com/hg/nasional/2008/04/10/brk,20080410-120883,id.html (diakses 11 April 2009).

42. Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia). 2007. ”Nuklir Bukan Solusi Bagi Persoalan Energi dan Lingkungan”. Melalui: http://www.walhi. or.id/kampanye/energi/pltn/070824_nuklir_cu/ (diakses 8 November 2007).

Bibliografi STS

Daftar berikut berisi judul buku, ensiklopedia, handbook, artikel dalam buku, dan artikel jurnal yang terkait dengan bidang studi Science, Technology, and Society (STS); termasuk sejarah, filsafat, dan sosiologi mengenai sains, teknologi, dan medisin (medicine). Bibliografi ini dimaksudkan sebagai panduan awal untuk penelusuran lebih jauh terhadap bahan bacaan mengenai studi STS.

1. Akrich, Medeleine. 1992. “The De-Scription of technical Objects”, dalam Bijker, Wiebe E. dan John Law (eds.).

2. Akrich, Medeleine. 1995. “User representations: Practices, methods, and sociology”, dalam Arie Rip, Thomas J.Misa, dan Johan Schot (ed.)

3. Apple, Rima. 1990. Women, Health, and Medicine in America: an Historical Handbook. New York: Garland.

4. Becker, Ernest. 1968). The Structure of Evil; An Essay on the Unification of the Science of Man. New York: G. Braziller.

5. Bijker, Wiebe E. 1995. Of Bicycles, Bakelites, and Bulbs: Toward a Theory of Sociotechnical Change. Massachusetts: MIT Press.

6. Bijker, Wiebe E., Thomas P. Hughes, dan Trevor Pinch (eds.). 1987. The Social Construction of Technological Systems: New Directions of the Sociology and History of Technology. Massachusetts: MIT Press.

7. Bijker, Wiebe E. dan John Law (eds.). 1992. Shaping Technology, Building Society: Studies in Sociotechnical Change. Massachusetts: MIT Press.

8. Bridgstock, Martin, David Burch, John Forge, John Laurent, dan Ian Lowe. 1998. Science, Technology, and

Sugeng P. Syahrie—Teknologi, Demokrasi, dan Pembelajaran Sosial—2009. 14

Page 15: Teknologi Demokrasi Dan Pembelajaran Sosial

Society: An Introduction. New York: Cambridge University Press.

9. Callon, Michel. 1987. “Society in the making: The study of technology as a tool for sociological analysis”, dalam Bijker, W.E., T.P. Hughes, dan T. Pinch (eds.).

10. Callon, Michel, John Law, dan Arie Rip. 1986. Mapping the Dynamics of Science and Technology. London: Macmillan.

11. Collingridge, David. 1982. The Social Control of Technology. New York: St. Martin’s Press.

12. Cutcliffe, Stephen H. 2000. Ideas, Machines, and Values: An Introduction to Science, Technology, and Society Studies. Lanham, MD: Rowman and Littlefield.

13. Cutcliffe, Stephen H. dan Carl Mitcham (eds.). 2001. Visions of STS: Counterpoints in Science, Technology, and Society Studies. New York: State University of New York Press.

14. Day, Lance dan Ian McNeil (eds.). 1996. Biographical Dictionary of the History of Technology. London and New York: Routledge,

15. Durbin, Paul T. 1992. Social Responsibility in Science, Technology, and Medicine. Bethlehem, PA: Lehigh University Press.

16. Ellul, Jacques. 1964. The Technological Society. Terjemahan: John Wilkinson. New York: Knopf

17. Ewen, Stuart. 2008). Typecasting: On the Arts and Sciences of Human Inequality. New York, NY: Seven Stories Press.

18. Fuller, Steve. 1993. Philosophy, Rhetoric, and the End of Knowledge: The Coming Science and Technology Studies. Madison, WI: University of Wisconsin Press.

19. Herbold, Ralf. 1995. “Technologies as social experiments. The construction and implementation of a high-tech waste disposal site”, dalam Arie Rip, Thomas J.Misa, dan Johan Schot (ed.).

20. Hughes, Thomas P. 1983. Networks of Power: Electric Suply Systems in the US, England, and Germany, 1980-1930. Baltimore, MD: John Hopkins University Press.

21. Hughes, Thomas P. 2004. Human-Built World: How to think about Technology and Culture. Chicago: University of Chicago Press.

22. Jelsma, Jaap. 1995. “Learning abaout learning in the development of technology”, dalam Arie Rip, Thomas J.Misa, dan Johan Schot (ed.).

23. Latour, Bruno. 1987. Science in Action: How to Follow Scientists and Engineers through Society. Massachusetts: Harvard University Press.

24. Latour, Bruno. 1988. The Pasteurization of France. Massachusetts: Harvard University Press.

25. Latour, Bruno. 2005. Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network-Theory. New York: Oxford University Press.

26. Law, Jon (ed.). 1991. A Sociology of Monsters: Essays on Power, Technology, and Domination. Sociological Review Monograph 38. London: Routledge.

27. MacKenzie, Donald dan Judy Wajcman (eds.). 1999. The Social Shaping of Technology (2nd ed.). Philadelphia: Open University Press.

28. McGinn, Robert E. 1991. Science, Technology, and Society. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

29. McNeil, Ian (ed.). 1990. An Encyclopaedia of the History of Technology. London: Routledge.

30. Mitcham, Carl. 1994. Thinking Throuhg Technology: The Path Between Engineering and Philosophy. Chicago: Chicago University Press.

31. Mowery, David C. dan Nathan Rosenberg. 1998. Paths of Innovation: Technological Change in 20th-Century America. Cambridge: Cambridge University Press.

32. Munford, Lewis. 1967 dan 1970. The Myth of the Machine. Vol. 1: Technics and Human Development. Vol. 2: The Pentagon of Power. New York: Harcourt Brace Jovanovich.

33. Needham, Joseph (ed.). 1954. Science and Civilization in China. New York: Cambridge University Press,.

34. Pacey, Arnold. 1999. Meaning in Technology. Massachusetts: MIT Press.

35. Rip, Arie, Thomas J.Misa, dan Johan Schot (ed.). Managing Technology in Society: The Approach of Constructive Technology Assessment. London: Pinter Publisher.

36. Sarewitz, Daniel. 1996. Frontiers of Illuision: Science, Technology, and Politics of Progress. Philadelphia: Temple University Press.

37. Schroeder, Ralph. 2007. Rethinking Science, Technology, and Social Change. California: Stanford University Press.

38. Selin, Helaine (ed.). c1997. Encyclopaedia of the History of Science, Technology, and Medicine in Non-Western Cultures. Dordrecht; Boston: Kluwer Academic,

39. Simon, Julian L., E. Calvin Beisner, dan John Phelps (eds.). 1995. The State of Humanity. Cambridge, MA: Blackwell.

40. Stanley, Autumn. 1993. Mothers and Daughters of Invention: Notes for a Revised History of Technology. Metuchen, N. J.: Scarecrow.

41. Teich, Albert H. 2000. Technology and the Future. 8th ed. New York: St Martin’s Press.

42. Volti, Rudi. 1995. Society and Technological Change. 3rd ed. New York: St Martin’s Press.

43. Wajcman, Judy. 1991. Feminism Confronts Technology. Univerity Park, PA: Penn State University Press.

44. Webster, Andrew. 1991. Science, Technology, and Society. New Jersey: Rutger University Press.

45. Weisbord, Phyllis Holman (ed.). 1993. The History of Women and Science, Health, and Technology: a Bibliographic Guide to the Professions and the Disciplines. 2d ed. Madison: University of Wisconsin System Women’s Studies Librarian.

46. Westrum, Ron. 1991. Technologies and Society: The Shaping of People and Things. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Co.

47. Winner, Langdon. 1977. Autonomous Technology: Technics-out-of-control as a Theme in Political Thought. Massachusetts: MIT Press.

48. Winner, Langdon. 1986. The Whale and the Reactor: A Search for Limits in an Age of High Technology. Chicago: University of Chicago Press.

49. Winner, Langdon (ed.). 1992. Democracy in Technological Society. Boston, MA: Kluwer.

50. Yager, Robert E. (ed.). 1996. Science / Technology / Society as Reform in Science Education. Albany, NY: State University of New York Press.

Sugeng P. Syahrie—Teknologi, Demokrasi, dan Pembelajaran Sosial—2009. 15

Page 16: Teknologi Demokrasi Dan Pembelajaran Sosial

51. Ziman, John. 1984. An Introduction to Science Studies: The Philosophical and Social Aspects of Science and Technology. New York: Cambridge University Press.

52. Zimmerman, Andrew D. 1995. “Toward a More Democratic Ethic of Technological Governance”,

Technology & Human Values, Vol. 20, No. 1, hlm. 86-107.

Biografi Singkat

Sugeng P. Syahrie mengajar di Jurusan Sejarah UNJ dalam mata kuliah sejarah Indonesia masa prasejarah hingga klasik, arkeologi sejarah, sejarah intelektual, dan sejarah teknologi. Sarjana arkeologi—spesialisasi arkeologi Neolitik dan teori arkeologi—dari UI ini tengah mengembangkan minatnya pada studi historis dan sosiologis tentang sains & teknologi dan studi kepariwisataan dan pembangunan di Program Magister Studi Pembangunan ITB. Publikasinya, antara lain, adalah “Dari ‘exotic theory’ hingga neo-Marxis: jalan panjang pencarian model asal-mula produksi pangan” (Cakrawala Arkeologi, FIB UI, 2003). Ia menyunting buku Peradaban Jawa: Dinamika Pranata Politik, Agama, Ekonomi Jawa Kuna (Komunitas Bambu, 2002), Impian dari Tepi Kali Cibogo: Otobiografi Hadi Soebadio (Pramita Press, 2007), dan, bersama Adi Nusferadi, The Holocaust Industry (Ufuk, 2006).

Sugeng P. Syahrie—Teknologi, Demokrasi, dan Pembelajaran Sosial—2009. 16