TBC Paru Multiple Drug ResistanceCristomi Thenager (102011449) /
E1Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna
Utara No.6 Jakarta Barat Telp: (021) 569 42061
Email: [email protected]
KasusSeorang laki-laki berusia 35 tahun datang untuk mengetahui
kondisi penyakit TB paru nya. Pasien mempunya riwayat pengobatan TB
2x. Pertama kali berobat pasien hanya minum obat selama sekitar 3
bulan kemudian tidak melanjutkan pengobatannya lagi. Saat ini
pasien menjalani pengobatan TB yang ke-2 kalinya. Pasien mengatakan
ia mendapatkan obat suntik kali ini, dan sudah berjalan selama 6
bulan. PF: ku: tampak sakit ringan, kesadaran: compos mentis, TD:
120/70, N: 78x/menit, RR: 20x/menit, suhu: 37,5C, mata: konjungtiva
tidak anemis, sklera tidak ikterik, leher: tidak teraba KGB yang
membesar, JVP 5-2cm H20, tiroid tidak teraba membesar, thorax:
pulmo: SN: bronkovesikuler, Rh-/-, Wh-/-, cor: BJ I-II murni
reguler, murmur -, gallop -, abdomen: perut datar, NT -, bu +
normal, ekstremitas: sianosis -, clubbing finger -, akral hangat,
perfusi < 3 detik, oedema -. Laboratorium 7 bulan yang lalu: Hb:
10g/dL, Ht: 30%, Leukosit: 9900/uL, Trombosit: 160.000/uL, LED: 70
mm/jam, BTA +++I. PENDAHULUANTuberkulosis (TBC) adalah suatu
penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis (MTB). Kuman batang aerob dan tahan asam ini,
merupakan organisme patogen maupun saprofit. Sebagian besar infeksi
TB menyebar lewat udara, melalui terhirupnya nukleus droplet yang
berisikan organisme basil tuberkel dari seseorang yang terinfeksi.
Sebagian besar akan menyerang organ paru disebut dengan TB paru,
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh yang lain disebut dengan TB
ekstraparu seperti pleura, kelenjar getah bening (mediastinum
dan/atau hilus), abdomen, traktus genito urinarius, kulit, sendi,
dan selaput otak. Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit infeksi
yang terbesar di seluruh dunia. Kuman Mycobacterium tuberculosis
ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882.1Upaya pemberantasan
penyakit tuberculosis terus ditingkatkan, namun angka penderita
baru di dunia diperkirakan 90 juta per tahun dan angka kematian di
dunia 30 juta per tahun pada akhir dekade ini. Angka kematian tiap
minggu 52,000 orang atau tiap hari lebih dari 7000 orang yang
meninggal. Pengobatan dan kontrol terhadap penyakit TBC telah
dilakukan, tetapi akhir - akhir ini dilaporkan timbulnya resistensi
kuman TBC terhadap obat anti tuberkulosis (OAT).1Pengobatan TB yang
tidak optimal dapat menimbulkan resisten obat anti tuberculosis.
Terdapatnya resistensi OAT terhadap Mycobacterium tuberculosis,
tercermin pada meningkatnya angka kasus baru dan angka kematian
serta kurang berhasilnya pengobatan terhadap penyakit TBC.
Pengobatan terhadap penyakit TBC dan TBC yang resisten obat
memerlukan waktu yang lama dan adekuat, hal ini merupakan masalah
kesehatan masyarakat di seluruh dunia. 1
II. PEMBAHASAN AnamnesisAnamnesis dilakukan untuk mengetahui
identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, anamnesis susunan
sistem dan anamnesis pribadi (meliputi keadaan sosial ekonomi,
budaya, kebiasaan, obat-obatan, dan lingkungan).a.
IdentitasIdentitas meliputi nama lengkap pasien, umur dan tanggal
lahir, jenis kelamin, nama orang tua atau suami atau isteri atau
yang bertanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa
dan agama. Identitas perlu ditanyakan untuk memastikan bahwa pasien
yang dihadapi adalah memang pasien yang dimaksud. Selain itu,
identitas ini juga perlu untuk data penelitian, asuransi dan lain
sebagainya. Seorang Laki-laki berusia 35 tahun
b. Keluhan Utama (Chief Complaint)Keluhan utama adalah keluhan
yang dirasakan pasien yang membawa pasien pergi ke dokter atau
mencari pertolongan. Dalam menuliskan keluhan utama, harus disertai
dengan indikator waktu, berapa lama pasien mengalami hal tersebut.
Mengetahui kondisi penyakit TB parunyac. Riwayat Penyakit
SekarangRiwayat perjalanan penyakit merupakan cerita yang
kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien
sejak sebelum keluhan utama sampai pada pasien datang berobat.d.
Riwayat Penyakit DahuluBertujuan untuk mengetahui
kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang pernah
diderita dengan penyakit sekarang. Riwayat pengobatan TB
sebelumnya. Pertama kali berobat pasien hanya minum obat selama
sekitar 3 bulan kemudian tidak melanjutkan pengobatannya lagi.e.
Riwayat Penyakit KeluargaPenting untuk mengetahui kemungkinan
penyakit herediter, familial atau penyakit infeksi. Pada penyakit
yang bersifat kongenital, perlu juga ditanyakan riwayat kehamilan
dan kelahiran.f. Riwayat Pribadi Riwayat pribadi meliputi data-data
sosial, ekonomi, pendidikan dan kebiasaan. Perlu ditanyakan pula
apakah pasien mengalami kesulitan dalam kehidupan sehari-hari
seperti masalah keuangan, pekerjaan dan sebagainya.4Pemeriksaan
fisik Konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu
demam (subfebris), badan kurus, berat badan menurun. Secara
anamnesis dan pemeriksaan fisik, TB paru sulit dibedakan dengan
pneumonia biasa. Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak
menunjukkan kelainan apapun terutama pada kasus kasus dini atau
yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Demikian pula bila
sarang penyakit terletak di dalam, akan sulit ditemukan kelainan,
karena hantaran getaran atau suara yang lebih dari 4 cm ke dalam
paru sulit dinilai secara palpasi, perkusi dan auskultasi.3Tempat
kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks
(puncak) paru. Bila dicurigai ada infiltrat yang luas, maka
didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara nafas bronkial.
Akan didapatkan juga suara nafas tambahan seperti ronki basah,
kasar dan nyaring. Tetapi apabila infiltrat ini ditutupi oleh
penebalan pleura, suara nafasnya menjadi vesikuler melemah. Bila
terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi dapat memberikan suara
hipersonor atau tympani dan auskultasi suara nafas amforik.3Pada TB
paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi
dan retraksi otot otot interkostal. Bagian paru yang sakit menjadi
mengecil dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang
sehat akan menjadi lebih hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik amat
luas, yakni > . jumlah jaringan paru, akan terjadi pengecilan
daerah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan
arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikuti terjadinya
korpulmonale dan gagal jantung kanan. Disini akan timbul tanda
tanda takipnea, takikardia, sianosis, right ventricular lift, right
atrial gallop, murmur Graham Steel, Bunyi P2 yang mengeras, JVP
meningkat, hepatomegali, asites dan edema. Bila mengenai pleura,
dapat terjadi efusi pleura. Pada inspeksi, paru yang sakit terlihat
tertinggal dalam pernapasan, pada perkusi pekak, pada auskultasi
bunyi nafas melemah sampai tidak ada. Pada penampilan klinis TB
paru sering asimtomatik dan penyakit baru dapat dipastikan dengan
adanya pemeriksaan penunjang lainnya.3Pemeriksaan penunjangA.
Pemeriksaan radiologisSaat ini pemeriksaan radiologis dada
merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis.
Pemeriksaan ini terutama memberikan keuntungan seperti pada kasus
tuberkulosis anak anak dan tuberkulosis milier. Pada keadaan
tersebut, diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis
dada, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif.3Lokasi
lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal lobus
atas atau segmen apikal lobus bawah ), tetapi dapat juga mengenai
lobus bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor
paru (misalnya pada tuberkulosis endobronkial). Pada awal penyakit
saat lesi masih merupakan sarang sarang pneumonia, gambaran
radiologis berupa bercak bercak seperti awan dan dengan batas batas
yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka
bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini
dikenal sebagai tuberkuloma.3Pada kavitas, bayangannya berupa
cincin yang mula mula berdinding tipis, lama kelamaan dinding
menjadi sklerotik dan tampak menebal. Bila terjadi fibrosis, akan
tampak bayangan yang bergaris garis. Pada kalsifikasi, bayangannya
tampak sebagai bercak bercak padat dengan densitas tinggi. Pada
atelektasis tampak seperti fibrosis yang luas disertai penciutan
yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu
bagian paru. TB milier memberikan gambaran berupa bercak bercak
halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan
paru.3Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis
paru adalah penebalan pleura (pleuritis), massa cairan di bagian
bawah paru (efusi pleura atau empiema), bayangan hitam radiolusen
di pinggir paru atau pleura (pneumothoraks). Biasanya pada TB yang
sudah lanjut, dalam satu foto dada seringkali didapatkan bermacam
macam bayangan sekaligus, seperi infiltrat, garis garis fibrotik,
kalsifikasi, kavitas (nonsklerotik atau sklerotik) maupun
atelektasis dan emfisema.3Karena TB sering memberikan gambaran yang
berbeda beda, terutama pada gambaran radiologisnya, sehingga
tuberkulosis sering disebut sebagai the greatest imitator. Gambaran
infiltrasi dan tuberkuloma sering diartikan sebagai pneumonia,
mikosis paru, karsinoma bronkus atau karsinoma metastasis. Gambaran
kavitas sering diartikan sebagai abses paru. Pemeriksaan khusus
yang kadang kadang diperlukan adalah bronkografi, yakni untuk
melihat kerusakan bronkus atau paru yang disebabkan oleh
tuberkulosis. Pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila pasien akan
menjalani pembedahan paru. Pemeriksaan lain yang dapat digunakan
adalah CT scan dan MRI. Pemeriksaan MRI tidak sebaik CT scan,
tetapi dapat mengevaluasi proses proses dekat apeks paru, tulang
belakang, perbatasan dada perut. Sayatan bisa dibuat transversal,
sagital dan koronal.3
B. Pemeriksaan Laboratorium Darah 3Pemeriksaan ini hasilnya
tidak sensitif dan tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis baru
mulai (aktif), akan didapatkan jumlah lekosit yang sedikit meninggi
dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih
dibawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit
mulai sembuh, jumlah lekosit kembali normal dan jumlah limfosit
masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal. Hasil
pemeriksaan lain dari darah didapatkan : anemia ringan dengan
gambaran normokrom normositer, gamma globulin meningkat, kadar
natrium darah menurun. Namun, pemeriksaan ini juga tidak spesifik.
Pemeriksaan serologis yang pernah dipakai adalah reaksi takahashi.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan proses tuberkulosis masih aktif
atau tidak. Kriteria positif yang dipakai di Indonesia adalah titer
1/128. Positif palsu dan negative palsu dari pemeriksaan ini masih
besar.Akhir akhir ini terdapat pemeriksaan serologis yang banyak
dipakai adalah Peroksidase Anti-Peroksida (PAP-TB) yang nilai
sensitivitas dan spesifisitasnya cukup tinggi ( 85-95% ), tapi di
lain pihak ada pula yang meragukannya. Walaupun demikian, PAP-TB
masih dapat dipakai, tetapi kurang bermanfaat bila dimanfaatkan
sebagai sarana tunggal diagnosis TB. Prinsip dasar uji PAP-TB
adalah menentukan ada antibodi IgG yang spesifik terhadap antigen
tuberkulosis. Hasil uji PAP-TB dinyatakan patologis bila pada titer
1:10.000 didapatkan uji PAP-TB positif. Hasil positif palsu
didapatkan pada pasien reumatik, kehamilan, dan masa 3 bulan
revaksinasi BCG. Uji serologis lain terhadap TB yang hampir sama
nilai dan caranya dengan uji PAP-TB adalah uji Mycodot. Disini
dipakai antigen Lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada alat
berbentuk sisir plastik, kemudian dicelupkan dalam serum pasien.
Bila terdapat antibodi spesifik dalam jumlah memadai maka warna
sisir akan berubah . Sputum 3Pemeriksaan sputum penting karena
dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat
dipastikan. Selain itu, pemeriksaan sputum juga dapat memberikan
evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Tidak mudah
untuk mendapatkan sputum terutama pada pasien yang tidak batuk atau
batuk yang nonproduktif. Dalam hal ini dianjurkan 1 hari sebelum
pemeriksaan, pasien dianjurkan minum air sebanyak 2 liter dan
diajarkan melakukan refleks batuk. Dan juga dengan memberikan
tambahan obat obat mukolitik, ekspektoran atau dengan inhalasi
larutan garam hipertonik selama 20 30 menit. Bila masih sulit,
sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi, diambil dengan
brushing atau bronchial washing atau Broncho Alveolar Lavage (BAL).
Basil tahan asam dari sputum juga dapat diperoleh dengan cara
bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak anak karena
mereka sulit mengeluarkan dahaknya.Kuman baru dapat ditemukan
apabila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka keluar
sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah keluar.
Diperkirakan di Indonesia terdapat 50 % pasien BTA + tetapi kuman
tersebut tidak ditemukan dalam sputum. Kriteria sputum BTA positif
adalah bila sekurang kurangnya ditemukan ditemukan 3 kuman dalam 1
sediaan, atau dengan kata lain diperlukan 5000 kuman dalam 1 ml
sputum. Cara pemeriksaan sediaan sputum yaitu , 1) pemeriksaan
sediaan langsung dengan mikroskop biasa, 2) pemeriksaan sediaan
langsung dengan mikroskop fluoresens (pewarnaan khusus ),
3)pemeriksaan dengan biakan (kultur). Setelah 4 6 minggu penanaman,
koloni kuman mulai tampak. Bila setelah 8 minggu tidak tampak,
biakan dinyatakan negatif. 4)Pemeriksaan terhadap resistensi obat.
Kadang kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat
kuman BTA ( + ), tetapi pada biakan hasilnya negatif. Ini terjadi
pada fenomena Death bacilli atau nonculturable bacilli yang
disebabkan keampuhan panduan obat antituberkulosis jangka pendek
yang cepat mematikan kuman BTA dalam waktu singkat. Tes Tuberkulin
3Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk diagnosis tuberkulosis
pada anak. Biasanya yang dipakai adalah tes Mantoux yaitu
menyuntikan 0,1 cc tuberkulin PPD (Purified Protein Derivative)
intrakutan 5 TU. Tes ini menyatakan apakah pasien sedang atau
pernah mengalami infeksi M tuberkulosa, M bovis, vaksinasi BCG dan
Mycobacterium patogen lain. Dasar tes ini adalah reaksi alergi tipe
lambat. Pada penularan dengan kuman patogen baik yang virulen atau
tidak (Mycobacterium tuberculosa atau BCG) tubuh manusia akan
mengadakan reaksi imunologi dengan dibentuknya antibodi selular
pada permulaan dan kemudin ikuti oleh pembentukan antibodi humoral
yang dalam perannya akan menekankan antibodi selular. Bila
pembentukan antibodi selular cukup maka akan mudah terjadi penyakit
sesudah penularan. Setelah 48-72jam tuberkulin disuntikkan maka
akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari
infiltrat limfosit yaitu reaksi persenyawaan antara antibodi
selular dan antigen tuberkulin. Banyak sedikitnya reaksi
dipengaruhi oleh antibodi humoral, makin besar pengaruh antibodi
humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkan. Berdasarkan hal
tersebut, maka tes Mantoux dibagi:3 Indurasi 0-5 mm, Mantoux
negatif yaitu golongan non sensitivity, yang berperan antibodi
humoral masih menonjol Indurasi 6-9 mm, hasil meragukan yaitu
golongan low grade sensitiviy, peran kedua antibodi seimbang
Indurasi 10-15 mm, Mantoux positif yaitu golongan normal
sensitivity, yang berperan kedua antibodi yang seimbang Indurasi
>15 mm, Mantoux positif kuat, golongan hypersensitivity,
antibodi selular berperan penting. Biasanya hampir seluruh pasien
tuberkulosis memberikan reaksi Mantoux positif (99,8%). Kelemahan
test ini adalah terdapat positif palsu yaitu pemberian BCG atau
infeksi dengan Mycobacterium lain. Negatif palsu lebih banyak
ditemukan daripada positif palsu, pada pasien yang baru 2-10 minggu
terpajan tuberkulosis; anergi, penyakit sistemik berat
(Sarkoidosis, LE); penyakit eksantematous dengan demam yang akut,
morbili, cacar air, poliomielitis; reaksi hipersensitivitas menurun
pada penyakit limforetikular; pemberian kortikosteroid yang lama,
pemberian obat imunosupresi lain; usia tua, malnutrisi, uremia dan
penyakit keganasan. Untuk pasien HIV positif, test Mantoux 5mm
(positif).3 Polymerase Chain Reaction (PCR)Deteksi DNA kuman secara
spesifik melalui amplifikasi dalam berbagai tahap sehingga dapat
mendeteksi meskipun hanya ada 1 mikroorganisme dalam spesimen.
Dapat mendeteksi DNA kuman TB dalam waktu yang lebih cepat atau
untuk mendeteksi MTB yang tidak tumbuh pada sediaan biakan. Juga
dapat mendeteksi resistensi obat.4 Becton Dickinson Diagnostic
Instrument System (BACTEC = Bactec 400 Radiometric System)Dimana
kuman dapat dideteksi dalam 7 10 hari. Deteksi growth index
berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak oleh
MTB. 4 Enzyme Linked Immunosorbent AssayDeteksi respons humoral,
berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Pelaksanaannya rumit
dan antibodi dapat menetap dalam waktu lama.4Working Diagnosis
(WD)Sebenarnya TB paru cukup mudah dikenali dari gejala gejala,
kelainan fisik, kelainan radiologis sampai dengan kelainan
bakteriologis. Tetapi dalam prakteknya tidak selalu mudah
menegakkan diagnosanya. Diagnosis pasti tuberkulosis paru adalah
dengan menemukan kuman MTB dalam sputum atau jaringan paru secara
biakan. Tidak semua pasien memberikan sediaan atau biakan yang
positif karena kelainan paru yang belum berhubungan dengan bronkus
atau pasien tidak bisa membatukkan sputumnya dengan baik.3Di
Indonesia sulit menerapkan diagnosis diatas karena fasilitas
laboratorium yang sangat terbatas untuk pemeriksaan biakan.
Sebenarnya dengan menemukan kuman BTA dalam sediaan sputum secara
mikroskopis biasa, sudah cukup untuk memastikan diagnosis
tuberkulosis paru, karena kekerapan M. atipic di Indonesia sangat
rendah. Meskipun demikian, hanya 30-70 % dari seluruh kasus
tuberculosis yang dapat didiagnosis secara bakteriologis.3Diagnosis
TB paru masih banyak yang ditegakkan berdasarkan kelainan klinis
dan radiologis saja. Kesalahan diagnosis dengan cara ini masih
besar sehingga memberikan efek kepada pengobatan yang sebenarnya
tidak diperlukan. Oleh karena itu, sebaiknya dicantumkan status
klinis, status radiologis dan status kemoterapi. World Health
Organization memberikan kriteria pasien tuberkulosis paru:3 Pasien
dengan sputum BTA positif : Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya
secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang kurangnya pada 2x
pemeriksaan atau satu sediaan sputumnya positif disertai kelainan
radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif atau Satu sediaan
sputumnya positif disertai biakan yang positif Pasien dengan sputum
BTA negatif : Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara
mikroskopis tidak ditemukan BTA sedikitnya pada 2x pemeriksaan
tetapi gambaran radiologis sesuai dengan TB aktif atau Pasien yang
pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA
sama sekali, tetapi pada biakannya positifDisamping TB paru,
terdapat pula TB ekstra-paru, yakni pasien dengan kelainan
histologis atau dengan gambaran klinis sesuai TB aktif atau pasien
dengan satu sediaan dari organ ekstra-parunya menunjukkan hasil
bakteri MTB. 3Diluar pembagian tersebut di atas, pasien digolongkan
lagi berdasarkan riwayat penyakitnya: Kasus baru, yakni pasien yang
tidak mendapat OAT lebih dari 1 bulan Kasus kambuh, yakni pasien
yang pernah dinyatakan sembuh dari TB tapi kemudian timbul lagi TB
aktifnya. Kasus gagal ( smear positive failure ), yakni : Pasien
yang sputum BTA-nya tetap positif setelah mendapat OAT lebih dari 5
bulan atau Pasien yang menghentikan pengobatannya setelah mendapat
obat anti-TB 1-5 bulan dan sputum BTA-nya masih positif. Kasus
kronik, yakni pasien yang sputum BTA-nya tetap positif setelah
mendapatkan pengobatan ulang ( retreatment ) lengkap yang
disupervisi dengan baik.
Diagnosis banding (DD)TB resisten obatTB resisten obat adalah
masalah dunia. TB resisten obat muncul sebagai akibat pengobatan TB
yang tidak optimal. TB resisten obat disebarkan dengan cara yang
sama dengan TB sensitive obat. Secara umum resistensi terhadap OAT
dibagi menjadi: resistensi primer, resistensi sekunder dan
resitensi inisial. Resistensi primer adalah resistensi yang terjadi
M. tuberculosis terhadap OAT, dimana penderita tidak memiliki
riwayat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT, namun
kurang dari 1 (satu) bulan. Sedangkan resistensi sekunder, pasien
telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1 (satu) bulan. Pada
resistensi inisial, bila tidak diketahui pasti apakah pasien sudah
ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah.1,4
Resistensi primer (PDR) dan sekunderResistensi primer adalah
keadaan resistensi terhadap OAT pada penderita yang belum pernah
mendapat pengobatan dengan OAT sebelumnya. Faktor risiko terjadinya
resistensi primer OAT adalah kasus infeksi oleh kuman tbc yang
resistensi OAT. Keadaan PDR ini dijumpai secara geografis pada
tempat yang mempunyai risiko tinggi untuk resis-tensi OAT, atau
secara etnis pada orang bukan kulit putih, pada orang muda, pada
infeksi HIV, atau pada pemakaian berbagai obat-obat suntik.
Resistensi sekunder adalah resistensi yang terjadi pada penderita
yang pernah mendapat OAT sebelumnya.5Resistensi Obat Anti
Tubekulosis Didapat (ADR=Acquired Drug Resistance)Epidemi
resistensi multipel OAT adalah produk akhir dari resistensi OAT
didapat. Proses terjadinya ADR pada individu yang terinfeksi kuman
TBC, sesuai dengan proporsi dari populasi kuman tersebut. Melalui
episode ADR terjadi resistensi multipel OAT (multiple drug
resistance = MDR). Secara epidemiologis, biologis dan klinis, ADR
sangat berbeda dengan PDR. Manifestasi klinik timbulnya resistensi
OAT terjadi melalui tiga tahapan. Proses dimulai dengan mutasi
genetik, diikuti perkembangbiakan populasi yang resisten, kemudian
menimbulkan bakteri yang menjadi resisten terhadap OAT.5Pemberian
OAT tunggal terhadap populasi kuman mutan dapat menimbulkan
organisme resistensi yang resisten berkembang biak dan menjadi
dominan dalam populasi kuman. Timbulnya situasi ini akibat
penggunaan obat tunggal dimana bakteri mutan sudah resisten
terhadapnya, atau pada terapi yang menggunakan obat-obat yang
fungsinya mirip dengan penggunaan obat tunggal (misalnya penderita
tidak patuh melaksanakan pengobatan, penulisan resep paket
pengobatan yang tidak tepat atau terjadi malabsorbsi selektif
obat-obatan). Untuk mengurangi dan meminimalkan resistensi OAT
perlu diterapkan strategi pengobatan DOT (Directly Observed
Therapy) dan ketaatan pemantauan terhadap paket pengobatan. Pada
penderita yang mudah kena penyakit tbc dapat terjadi resistensi
OAT. Menurut perkiraan, separuh dari penderita terdiagnosis tbc
gagal dalam pengobatan awal dan separuh dari penderita terdiagnosis
tbc relaps setelah pengobatan. Studi terakhir tentang kasus
resistensi OAT di San Francisco mengidentifikasikan 3 faktor risiko
yaitu: ketidaKtaatan terhadap pengobatan, infeksi HIV dan gangguan
gastro-intestinal. Pada penderita infeksi HIV dalam studi ini dan
studi lainnya, ternyata resistensi obat tinggi dan terjadi
monoresistensi terhadap rifampisin yang tidak lazim. Perbedaan
penderita tuberkulosis dengan HIV dan tanpa HIV terletak pada
sistem imunitasnya. Mengenai gangguan intestinal belum diketahui
dengan jelas, kemungkinan ada hubungan dengan malabsorbsi obat.
Faktor-faktor risiko resistensi obat antituberkulosis adalah
sebagai berikut: 5 Ketidaktaatan penderita menggunakan paket OAT
Kegagalan menggunakan paket OAT Pemberian tunggal OAT Penggunaan
tunggal OAT yang tidak tepat Penggunaan paket OAT yang tidak tepat
Jumlah kuman yang besar Penderita dengan infeksi HIV Absorbsi obat
yang kurang baik.
Resistensi RifampisinRifampisin adalah semisintetik derivat dari
Streptomyces mediterranei, merupakan obat antituberkulosis yang
paling kuat dan penting. Memiliki sifat bakterisida intraseluler
dan ekstraseluler. Rifampisin sangat baik diabsobsi melalui per
oral. Ekskresi melaui hati kemudian ke empedu dan mengalami
resirkulasi enterohepatik. In vitro aktif terhadap gram +, gram -,
bakteri enterik, mikobakterium, dan klamidia. Secara khusus
menghentikan sintesis RNA dengan cara mengikat dan menghambat
polymerase RNA yang tergantung DNA (RNA polymerase DNA- dependent)
pada sel-sel mikobakterium yang masih sensitif. Resistensi
rifampisin yang didapat merupakan hasil dari mutasi yang spontan
mengubah sub unit gen RNA polymerase (rpoB), sub unit gen -RNA
polymerase. RNA polimerase manusia tidak mengikat Rifampisin
ataupun dihambatnya. Beberapa studi menunjukkan bahwa 96% strain
yang resisten rifampisin telah memiliki mutasi pada daerah inti gen
91-bp. Resistensi muncul segera pada pemakaian obat tunggal.4
Resistensi Isoniasid 4INH adalah obat yang paling terbaik
sebagai antituberkulosis setelah Rifampisin. Isoniasid harus
diberikan pada setiap terapi TB kecuali organisme telah mengalami
resistensi. Obat ini murah, dapat mudah diperoleh, memiliki
selektifitas yang tinggi untuk mycobacterium dan hanya 5% yang
menunjukkan efek samping. INH merupakan molekul yang kecil, larut
dan bebas dalam air, mudah penetrasi ke dalam sel, aktif terhadap
mikroorganisme intrasel maupun ekstrasel. Mekanisme kerja INH
adalah menghambat sintesis asam mikolat dinding sel melalui jalur
yang tergantung dengan oksigen seperti reaksi katalase-peroksidase.
INH adalah obat bakteriostatik pada bakteri yang istirahat dan
baktersida pada organism yang bermultiplikasi cepat, baik pada
ekstraseluler dan intraseluler.Lokasi molekul dari resistensi INH
telah terungkap. Sebagian besar galur yang resisten INH memiliki
perubahan asam amino pada gen katalase-peroksidase (katG) atau
promoter lokus dua gen yang dikenal dengan inhA. Produksi berlebih
dari gen inhA menimbulkan resistensi INH tingkat rendah dan
resistensi silang Etionamida. Sedangkan mutan gen katG menimbulkan
resistensi INH tingkat tinggi dan sering tidak menimbulkan
resistensi silang dengan Etionamida. Mutasi missense atau delesi
katG juga dihubungkan dengan penurunan aktifitas katalase dan
peroksidase. Resistensi Etambutol 4Etambutol merupakan derivat
etilendiamin yang dapat larut dalam air aktif melawan M.
tuberculosis, dan stabil terhadap panas. Dalam dosis standart
sebagai bakteriostatik aktif melawan M. tuberculosis. Mekanisme
kerja etambutol yang utama menunjukkan penghambatan pada enzim
arabinosiltransferase sebagai media polimerasi dari arabinosa
menjadi arabinogalaktan di dinding sel. Etambutol diabsobsi di
saluran pencernaan sebesar 7080% dari dosis yang diberikan.
Kemudian didistribusikan ke seluruh tubuh secara adekuat. Etambutol
pada kadar yang tinggi dapat melintasi sawar otak.Resistensi
Etambutol pada M. tuberculosis umumnya dikaitkan dengan mutasi pada
gen embB yang merupakan gen yang mengkodekan untuk enzim
arabinosiltransferase. Arabinosiltransferase terlibat dalam reaksi
polimerasi arabinoglikan (komponen esensial dinding sel M.
tuberculosis). Resistensi terjadi akibat mutasi yang menyebabkan
ekspresi berlebih produksi dari gen emb atau gen embB. Mutasi gen
embB telah ditemukan pada 70% galur yang resisten dan melibatkan
pergantian posisi (replacements ) asam amino 306 atau 406 pada 90 %
kasus. Resistensi segera timbul bila obat diberika secara
tunggal.
Resistensi Pirazinamid 4Pirazinamid merupakan derivat asam
nikotinik, obat penting yang digunakan terapi TB jangka pendek.
Sebagai bakterisida pada organisme metabolisme lambat dalam suasana
lingkungan asam diantara sel fagosit dan granuloma kaseosa.
Pirazinamid hanya aktif pada suasana pH yang lebih rendah dari enam
(pH 5 mm dan 10 % diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena
kuman yang dormant. Berkomplikasi dan menyebar secara :
Perkontinuitatum ( ke sekitarnya ) Secara bronkogen pada paru yang
bersangkutan ataupun pada paru disebelahnya. Kuman juga dapat
tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus. Secara
limfogen ke organ organ lainnya Secara hematogen ke organ organ
tubuh lainnya.
B. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis sekunder)Kuman yang
dormant pada TB primer akan muncul bertahun tahun kemudian sebagai
infeksi endogen menjadi TB dewasa ( tuberkulosis post primer = TB
sekunder ). Mayoritas reinfeksi menjadi 90 %. TB sekunder terjadi
karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, keganasan,
diabetes, AIDS, gagal ginjal. TB pasca-primer ini dimulai dengan
sarang dini yang berlokasi terutama di regio atas paru ( segmen
apikal-poterior lobus superior atau lobus inferior ). Invasinya
adalah ke daerah parenkim paru dan tidak ke lobus hiler paru.
Sarang dini mula mula tampak seperti sarang pneumonia kecil dan
dalam 3 10 minggu sarang ini berubah menjadi tuberkel, yakni suatu
granuloma yang terdiri dari sel sel histiosit dan sel Datia
Langhans. 3Tuberkulosis pasca-primer dapat menjadi : Direabsorpsi
kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat, sarang yang mula mula
meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan fibrosis.
Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran.
Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan
jaringan ikat di sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis
menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju
dibatukkan keluar akan terjadi kavitas. Kavitas ini mula mula
berdinding tipis, lama lama dindingnya menebal karena infiltrasi
jaringan fibroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas
sklerotik ( kronik ). Terjadinya perkejuan dan kavitas adalah
akibat hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang
diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan
TNF-nya. Bentuk perkejuan lain yang jarang adalah cryptic
disseminate TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut.
3,6Kavitas dapat mengalami , meluas kembali dan menimbulkan sarang
pneumonia baru. Bila isi kavitas masuk dalam pembuluh darah arteri
akan terjadi TB millier. Memadat dan membungkus diri sehingga
menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh atau
dapat aktif kembali menjadi cair dan menjadi kavitas lagi.
Komplikasi kronik kavitas adalah kolonisasi oleh jamur (contohnya
Aspergillus ) sehingga membentuk misetoma. Menyembuh dan bersih (
open healed cavity ). Kadang kadang berakhir sebagai kavitas yang
terbungkus, menciut dan berbentuk sebagai bintang ( stellate shape
). Secara keseluruhan terdapat 3 macam sarang : 3 Sarang yang sudah
sembuh. ( tidak perlu pengobatan ) Sarang aktif eksudatif. ( perlu
pengobatan lengkap dan sempurna ) Sarang yang berada antara aktif
dan sembuh. Sarang ini dapat sembuh spontan, tapi mengingat risiko
terjadi eksaserbasi, maka sebaiknya diberikan pengobatan
sempurnaPenatalaksanaanA. Prinsip Pengobatan Tuberkulosis Terdapat
2 macam sifat/ aktivitas obat terhadap tuberculosis yakni:
Aktivitas bakterisid. Obat bersifat membunuh kuman-kuman yang
sedang tumbuh (metabolismenya masih aktif). Aktivitas bakterisid
biasanya diukur dari kecepatan obat tersebut membunuh atau
melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan hasil
yang negative (2 bulan dari permulaan pengobatan). 3 Aktivitas
sterilisasi. Obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya
lambat (metabolisme kuran aktif). Aktivitas sterilisasi diukur dari
angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan. Dari hasil
percobaan pada binatang dan pengobatan pada manusia ternyata:
Hampir semua obat anti tuberculosis (OAT) mempunyai sifat
bakterisid kecuali etambutol dan tiasetazon yang hanya bersifat
bakteriostatik dan masih berperan untuk mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap obat. Rifampisin dan pirazinamid
mempunyai aktivitas strelisasi yang baik, sedangkan INH dan
streptomisin menempati urutan yang lebih bawah. Dalam aktivitas
bakterisid : 3 Rifampisin dan INH disebut bakterisid yang lengkap
(complete bactericidal drug) oleh karena kedua obat ini dapat masuk
ke seluruh populasi kuman. Kedua obat ini masing-masing mendapat
nilai satu. Pirazinamid dan streptomisin masing-masing hanya
mendapat nilai setengah, karena pieazinamid hanya bekerja dalam
lingkungan asam sedangkan sterptomisin dalam lingkungan basa.
Etambutol dan tiasetazon tidak mendapat nilai.
B. Faktor kuman tuberkulosis 3Penelitian Mitchison telah membagi
kuman M. tuberculosae dalam beberapa populasi dalam hubungan antara
pertumbuhannya dengan aktivitas obat yang membunuhnya yakni:
Populasi A. Dalam kelompok ini kuman tumbuh berkembang biak terus
menerus dengan cepat. Kuman-kuman ini banyak terdapat pada dinding
kavitas atau dalam lesi yang pH-nya netral. INH bekerja sangat baik
pada populasi ini karena aktivitas bakterisid segera kerjanya
adalah tertinggi. Rifampisin dan streptomisin juga dapat bekerja
pada populasi ini tetapi efeknya lebih kecil daripada INH Populasi
B. Dalam kelompok ini kuman tumbuh sangat lambat dan berada dalam
lingkungan asam (pH rendah). Lingkungan asam ini melindungi kuman
terhadap obat antituberculosis tertentu. Hanya pirazinamid yang
dapat bekerja disini. Populasi C. Pada kelompok ini kuman berada
dalam keadaan dormant (tidak ada aktivitas metabolisme) hampir
sepanjang waktu. Hanya kadang-kadang saja kuman ini mengadakan
metabolisme secara aktif dalam waktu singkat. Kuman jenis ini
banyak terdapat pada dinding kavitas. Disini hanya rifampisin yang
dapat bekerja karena obat ini dapat segera bekerja bila kontak
dengan kuman selama 20 menit. Populasi D. Dalam kelompok ini
terdapat kuman-kuman yang sepenuhnya bersifat dormant (complete
dormant), sehingga sama sekali tidak bisa dipengaruhi oleh obat
anti tuberculosis. Jumlah populasi ini tidak jelas dan hanya dapat
dimusnahkan oleh mekanisme pertahanan tubuh manusia itu
sendiri.
C. Kronologis Program Pengobatan 3Program nasional pemberantasan
TB di Indonesia sudah dilaksanakan sejak tahun 1950-an. Ada 6 macam
obat esensial yang telah dipakai sbb; Isoniazid(H), para amino
salisilik acid (PAS), Streptomisin (S), Etambutol (E), Rifampisin
(R), dan pirazinamid (P).Sejak tahun 1994 program pengobatan TB di
Indonesia sudah mengacu pada program Directly Observed Treatment
Short Course Strategy (DOTS) yang didasarkan pada rekomendasi WHO,
strategi ini memasukkan pendidikan kesehatan, penyediaan obat anti
TB gratis dan pencarian secara aktif kasus TB.
D. Dasar teori pengobatan Terapi yang berhasil memerlukan
minimal dua macam obat yang basilnya peka terhadap obat tersebut,
dan salah satu daripadanya harus bakterisidik. Karena suatu
resistensi obat dapat terjadi spontan pada sejulah kecil basil,
monoterapi memakai obat bekterisidik yang terkuat pun dapat
menimbulkan kegagalan pengobatan dengan terjadinya pertumbuhan
basil yang resisten. Keadaan ini lebih banyak dijumpai pada pasien
dengan populasi basil yang besar, misalnya pada tuberkolosis paru
dengan kavitas, oleh karena dapat terjadinya mutasi 1 basil
resisten dari 10 basil yang ada. Kemungkinan terjadinya resistensi
spontan terhadap 2 macam obat merupakan hasil probabilitas masing
masing obat sehingga penggunaan 2 macam obat yang aktif umumnya
dapat mencegah perkembangan resistensi sekunder terhadap obat
lainnya. obat H dan R merupakan obat yang paling efektif, E dan S
dengan kemampuan menengah, sedangkan Z adalah yang terkecil
efektivitasnya. 3Penyembuhan penyakit membutuhkan pengobatan yang
baik setelah perbaikan gejala klinisnya, perpanjangan lama
pengobatan diperlukan untuk mengeliminasi basil yang persisten.
Basil persisten ini merupakan suatu populasi kecil yang
metabolismenya inaktif. Pengobatan yang tidak memadai akan
mengakibatkan bertambahnya kemungkinan kekambuhan, beberapa
bulan-tahun mendatang setelah seolah tampak sembuh. Resimen pada
pengobatan sekitar tahun 1950-1960 memerlukan waktu 18-24 bulan
untuk jaminan menjadi sembuh. Dengan adanya cara pengobatan pada
masa kini (metode DOTS) yang menggunakan paduan beberapa obat, pada
umumnya pasien tubekulosis berhasil disembuhkan secara baik dalam
waktu 6 bulan. Kegagalan menyelesaikan program masa pengobatan
suatu kategori merupakan penyebab dari kekambuhan. 3 Berdasarkan
prinsip tersebut, program pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi 2
fase: Fase bakterisdal awal (inisial) Fase sterilisasi
(lanjutan)Obat yang bersifat bakterisidal aktif belum tentu
merupakan obat sterilitator terbaik dan obat yang efektif pada fase
sterilisasi belum tentu obat bakterisidal yang paling aktif. Telah
diketahui bahwa obat H merupakan bakterisidal yang paling poten,
sedangkan obat R dan Z merupakan sterilitator yang paling efektif.
Pada binatang percobaan, obat H dapat menghambat aktivitas
sterilisasi dari obat R dan Z. 3Daftar efek obat yang digunakan
untuk terapi jangka pendek berdasarkan data dari laboratorium dan
penelitian klinis. Populasi basil yang terbesar terdiri dari:a.
Basil yang metabolismenya aktif yang cepat terbunuh oleh obat
berkemampuan bakreisidal terutama obat Hb. Obat R terutama paling
efektif terhadap basil yang dorman dan yang muncul berlipat ganda
secara periodikc. Populasi lain, yang terdiri dari basil yang
terdapat dilingkungan asam (basil intrasel dan basil yang terdapat
didalam lokasi perkijauan) yang terutama peka terhadap efek obat
Zd. Mungkin suatu populasi basil yang metabolismenya inaktif yang
tidak dapat dipengaruhi oleh obat apapun, dan hanya dapat di
eliminasi oleh respons imun pejamu. Obat obatan TB dapat
diklasifikasikan menjadi 2 jenis resimen yaitu obat lapis pertama
dan lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarahkan ke penghentian
pertumbuhan basil, pengurangan basil dorman dan pencegahan
terjadinya resistensi. Obat-obatan lapis pertama terdiri dari
Isoniazid (INH), Rifampisin, Pyraziamide, Ethambutol dan
Streptomycin. Obat-obatan lapis kedua mencakup Rifabutin,
Ethionamide, Cycloserinem Para-amino salicylic acid, Clofazimin,
Aminoglycosides diluar Streptomycin dan Quinolones. 3Isoniazid
(INH) mempunyai kemampuan bakterisidal TB yang terkuat. Mekanisme
kerjanya adalah menghambat cell-wall biosynthesis pathway. INH
dianggap sejenis obat yang aman; efek samping utamanya antara lain
hepatitis dan neuropati perifer karena interferensi fungsi biologi
vitamin B6 atau piridoksin. 3Rifampisin juga merupakan obat anti TB
yang ampuh, dia menghambat polimerase DNA-dependent ribonucleic
acid (RNA) M. Tuberkulosis. Efek samping yang sering diakibatkannya
antara lain hepatitis, flu-like syndromes dan trombositopenia.
Rifampisin meningkatkan metabolisme hepatik kontrasepsi oral
sehingga dosis kontrasepsi oral harus ditingkatkan. 3Pirazinamid
merupakan obat bakterisidal untuk organisme intraselular dan agen
antituberkulos ketiga yang juga ampuh cukup ampuh. Pirazinamid
hanya diberikan untuk 2 bulan pertama pengobatan. Efek samping yang
sering ditimbulkan adalah hepatotoksisitas dan hiperurisemia. 3
Etambutol satu-satunya obat lapis pertama yang mempunyai efek
bakteriostatis, tetapi bila dikombinasikan dengan INH dan
Rifampisin terbukti dapat mencegah terjadinya resistensi obat. 3
Streptomisin merupakan salah satu obat anti tuberkulosis yang
pertama ditemukan. Streptomisin ini merupakan suatu jenis
antibiotik golongan aminoglikosida yang harus diberikan secara
pareenteral dan bekerja mencegah pertumbuhan organisme
ekstraseluler. Kekurangan obat ini adalah efek sampingnya toksik
pada saraf kranial kedelapan yang dapat menyebabkan disfungsi
vestibular dan atau hilangnya pendengaran. 3Obat tuberkulosis yang
aman diberikan pada perempuan hamil adalah isoniazid, rifampisin,
dan etambutol. Obat lapisan kedua dicadangkan untuk pengobatan
kasus-kasus resisten multi obat. Pengobatan TB memerlukan waktu
sekurang-kurangnya 6 bulan agar dapat mencegah perkemangan resisten
obat. Oleh karena itu, WHO telah menerapkan strategi DOTS dimana
terdapat petugas kesehatan tambahan yang berfungsi secara ketat
mengawasi pasien minum obat untuk memastikan kepatuhannya. 3
E. Resimen pengobatan saat ini (metode DOTS) 3 Kategori 1.
Pasien tuberkolosis paru (TBP) dengan sputum BTA positif dan kasus
baru, TBP lainnya dalam keadaan TB berat, seperti meningitis
tuberkolosis, mliaris, perikarditis, peritonitis, pleuritis masif
atau bilateral, spondilitis dengan gangguan neurologik, sputum BTA
negatif tetapi kelainan diparu luasm tuberkolosis usus dan saluran
kemih. Pengobatan fasel inisial resimennya terdiri dari 2 HRZS (E),
setiap hari selama 2 bulan obat H,R,Z dan S atau E. Sputum BTA awal
yang positif setelah 2 bulan diharapkan menjadi negatif dan
kemudian dilanjutkan ke fase lanjutan 4HR atau 4H3R3 atau 6HE.
Apabila sputum BTA masih tetap positif setelah 2 bulan, fase
intensif diperpanjang dengan 4 minggu lagi, tanpa melihat apakah
spuntum sudah negatif atau tidak. Kategori 2. Pasien kasus kambuh
atau gagal dengan sputum BTA positif. Pengobatan fase insial
terdiri dan 2HRZES/1HRZE, yaitu R dengan H,Z,E setiap hari selama 3
bulan, ditambahn dengan S selama 2 bulan pertama. Apabila sputum
BTA menjadi negatif, fase selanjutnya bisa segera dimulai. Apabila
sputum BTA masih positif pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4
obat di lanjutkan 1 bulan lagi. Bila akhir bulan ke-4 sputum BTA
masih positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hari dan dilakukan
kultur sputum untuk uji kepekaan. Obat dilanjutkan memakai resimen
fase lanjutan, yaitu 5H3R3E3 atau 5HRE. Kategori 3. Pasien TBP
dengan sputum BTA negatif tetapi kelainan paru tidak luas dan kasus
ekstra-pulmonal (selain dari kategori I). Pengobatan fase inisial
terdiri dari 2HRZ atau 2H3R3E3Z3 yang diteruskan dengan fase
lanjutan 2HR atau H3R3. Kategori 4. Tuberkolosis kronik. Pada
pasien ini mungkin mengalamu resistensi gandam sputumnya harus
dikultur dan uji kepekaan obat, untuk seumur hidup diberi H saja
(WHO) atau sesuai rekomendasi WHO untuk pengobatan TB resistensi
ganda (MDR-TB). Kortikosteroid diberikan untuk tuberkolosis yang
mengenai sistem syaraf pusat (meningitis) dan perikarditis namun
tidak di anjurkan untuk diberikan sebagai tambahan terapi pada
tuberkolosis jenis lainnya. Pengobatan tuberkulosis pada pasien
dengan HIV positif pada dasarnya tidak berbeda dengan pasien
biasanya. Hal yang perlu diperhatikan adalah rifampisin tidak
diberikan pada pasien HIV positif yang mengunakan obat protease
inhibitor (kecuali obat ritonavir) atau obat non nucleaside reverse
transcriptase inhibitor/NNRTI (kecuali obat efavirenz). Untuk
mengatasinya dengan menggunakan rifabutin sebagai pengganti
rifampisin. Rifabutin dapat diberikan bersamaan dengan protease
inhibitor (kecuali obat saquinavir) dan NNRTI (kecuali obat
delavirin) dengan penyesuaian dosis. Sebaiknya tatalaksana
tuberkolosis pada pasien HIV dilakukan oleh ahlinya. Pasien HIV
yang mendapat obat tuberkulosis dan antiretroviral dapat menunjukan
gejala dan tanda eksaserbasi tuberkulosis (reaksi paradoks).
Keadaan ini disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas lambat dan
meningkatnya antigen kuman setelah pemberian antituberkulosis
bakterisidal. Pasien HIV dengan CD4 < 100 tidak boleh diberikan
pengobatan dengan resimen 2x seminggu. 3Pengobatan tuberkulosis
pada anak-anak tidak mengikutsertakan etambutol (kecuali resisten
INH atau anak tersebut menunjukan gejala tuberkulosis dewasa
seperti infiltrat pada lobus atas dan kavitas). Pemberian obat pada
fase lanjutan akan diperpanjang menjadi 7 bulan (total pengobatan 9
bulan) jika tidak diberikan pirazinamid pada fase inisial.3Salah 1
masalah utama pengobatan TB adalah munculnya strain M.tuberculosis
yang bersifat resistensi ganda terhadap obat primer. Resistensi
ganda dapat bekembang dengan salah satu dari 2 cara berikut ini
yaitu resistensi obat primer dan resistensi obat sekunder.
3Resistensi obat primer berkembang pada seseorang yang belum
menerima pengobatan TB sebelumnya, yaitu mereka yang terinfeksi
dengan strain resisten, sedangkan resisten sekunder atau yang
diperoleh (acquired resistance) merujuk ke resisten yang berkembang
selama periode pengobatan. Jenis resistensi sekunder khususnya
merupakan akibat resimen atau lama pengobatan yang kurang memadai.
Agar dapat dicegah, penemuan atau penambahan modus pengobatan lain
yang lebih ampuh sangat dibutuhkan dengan salah 1 tujuannya dapat
mengurangi jangka waktu pengobatan. Pada akhirnyam mungkin beberapa
obat yang berperan sebagai imunomodulator berpotensi untuk
memperbaiki hal ini. Tujuan jenis terapi ini adalah meningkatkan
respons imun pejamu menuju proteksi optimal.3
F. Panduan obatDalam riwayat kemoterapi terhadap tuberkolosis
dahulu dipakai 1 macam obat saja. Kenyatannya dengan pemakaian obat
tunggal ini banyak terjadi resistensi karena sebagian besar kuman
tuberkolosis memang dapat dibinasakan tetapi sebagian kecil tidak,
kelopok kecil yang resisten ini malah berkembang biak dengan
leluasa. Untuk mencegah terjadinya resistensi ini, terapi
tuberkolosis dilakukan dengan memakai paduan obat, sedikitnya
diberikan 2 macam obat yang bersifat bakterisid. 3Dengan memakai
paduan obat ini, kemungkinan resistensi awal dapat diabaikan
karena: jarang ditemukan resistensi terhadap 2 macam obat atau
lebih, pola resistensi yang terbanyak ditemukan ialah terhadap INH.
Tetapi belakangan ini di beberapa negara banyak terdapat resistensi
terhadap lebih dari satu obat (Multi drug resistance) terutama
terhadap INH dan rifampisin. Jenis obat yang dipakai: Obat primer:
Isoniazin, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, etambutol. Obat
sekunder: kanamisin, pas, tiazetason, etionamid, protionamid,
sikloserin, viomisin, kapreomisin, amikasin, oflokasi,
siprofloksasin, norfloksasin, levofloksasin, klofazimin.Sebelum
ditemukan rifampisin, metode terapi tuberkolosis paru adalah dengan
sistem jangka panjang (terapi standar) yakni: INH (H) +
Streptomisin (S) + PAS atau etambutol (E) tiap hari dengan fase
initial selama 1-3 bulan dan dilanjutkan dengan INH + etambutol
atau PAS selama 12-18 bulan. Setelah rifampisin ditemukan, paduan
obat menjadi: INH (H) + Rifampisin + Streptomisin atau etambutol
setiap hari (fase initial) dan diteruskan dengan INH + rifampisin
atau etambutol (fase lanjut) 3Paduan ini selanjutnya berkemang
menjadi terapi jangka pendek, dengan memberikan INH + Rifampisin +
Streptomisin atau etambutol atau pirazinamid (Z) setiap hari
sebagai fase initial selama 1-2 bulan dilanjutkan dengan INH +
Rifampisin atau etambutol atau streptomisin 2-3 kali seminggu
selama 4-7 bulan, sehingga lama pengobatan keseluruhan menjadi 6-9
bulan. 3Paduan obat yang dipakai di indonesia dan dianjurkan juga
oleh WHO adalah: 2 RHZ/4 RH dengan variasi 2 RHS/4RH, 2 RHZ/4R3H3,
2 RHS/4R2H2 Untuk tuberkolosis paru yang berat (milier) dan
tuberkolosis ekstraparu, terapi tahap lanjutan diperpanjang menjadi
7 bulan sehingga paduannya menjadi 2 RHZ/7 RH, dll. Dengan
pemberian terapi jangka pendek akan didapat beberapa keuntungan
seperti waktu pengobatan lebih singkat, biaya keseluruhan untuk
pengobatan menjadi lebih rendah, jumlah pasien yang membangkang
menjadi berkurang, dan tenaga pengawas pengobatan menjadi lebih
hemat/efisien. 3Oleh karena itu, departemen kesehatan RI dalam
rangka progran pemberantasan penyakit tuberkulosis paru lebih
menganjurkan terapi jangka pendek dengan paduan obat HRE/5 HaRa
(Isoniazid + rifampisin + etambutol setiap hari selama satu bulan
dan dilanjutkan dengan isoniazid + rifampisin 2 kali seminggu
selama 5 bulan), daripada terapi jangka panjang HSZ/11 H2Z2 (INH +
streptomisin + pirazinamid 2 kali seminggu 11 bulan). 3Di
negara-negara yang sedang berkembang, pengobatan jangka pendek ini
banyak yang gagal mencapai kesembuhan yang ditargetkan (cure rate)
yakni 85% karena program pengobatan yang kurang baik, kepatuhan
baerobat pasien yang buruk sehingga menimbulkan populasi
tuberkulosis makin meluas, resistensi obat makin banyak.3
G. Dosis obat 3Nama obatDosis harianBB < 50 kg BB > 50
kgDosis berkala 3x seminggu
Isoniazid300 mg400 mg600 mg
Rifampisin450 mg600 mg600 mg
Pirazinamid1000 mg2000 mg2-3 g
Streptomisin750 mg1000 mg1000 mg
Etambutol750 mg1000 mg1-1,5 g
Etionamid500 mg750 mg
PAS9910 g
H. Efek samping obat 3INHNeuropati perifer dapat dicegah dengan
pembeian vitamin B 6, hepatotoksik
RifampisinSindrom flu, hepatotoksik
StreptomisinNefrotoksik, gangguan nervus VII kranial
EtambutolNeuritis optikam nefrotoksikm skin rash/dermatitis
EtionamidHepatotoksik, gangguan pencernaan
PASHepatoksik, gangguan pencernaan
CycloserinSeizure/kejang, depresi, psikosis
I. Kegagalan pengobatan 3Sebab-sebab kegagalan pengobatan antara
lain: paduan obat yang tidak adekuat, dosis obat tidak cukup, minum
obat yang tidak teratur/tidak sesuai dengan petunjuk yang
diberikan, jangka waktu pengobatan kurang dari semestinya, terjadi
resistensi obat, resistensi obat sudah harus diwaspadai yakni bila
dalam 1-2 bulan pengobatan tahap intensif, tidak terlihat
perbaikan. Drop out : kekurangan biaya pengobatan, merasa sudah
sembuh, malas berobat/ kurang motivasi.Untuk mencegah kegagalan
pengobatan ini perlu kerjasama yang baik dari dokter dan paramedic
lainnya serta motivasi pengobatan tersebut terhadap pasien.
Penaggulangan terhadap kasus-kasus yang gagal ini adalah : Terhadap
pasien yang sudah berobat secara teratur Menilai kembali apakah
paduan obat sudah adekuat mengenai dosis dan cara pemberiannya.
Lakukan pemeriksaan uji kepekaan / tes resistensi kuman terhadap
obat. Bila sudah dicoba dengan obat-obat yang masih peka, tetapi
ternyata gagal juga, maka pertimbangkan terapi dengan pembedahan
terutama pasien dengan kavitas atau destroyed lung. Terhadap pasien
dengan riwayat pengobatan tidak teratur Teruskan pengobatan lama
selama 3 bulan dengan evaluasi bakteriologis tiap-tiap bulan. Nilai
kembali tes resistensi kuman terhadap obat Bila ternyata terdapat
resistensi obat, ganti dengan paduan obat yang masih sensitifIII.
PENUTUP
Kesimpulan :Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang harus
dicegah. Diagnosis awal dan pengobatan yang tepat dengan dosis yang
tepat dan adekuat dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas. Serta
perlu memberikan edukasi kepada pasien agar dapat lebih teratur
dalam menkonsumsi obat anti tuberkulosis.
DAFTAR PUSTAKA1. Price S, Wilson L. Patofisiologi : konsep
klinis proses-proses penyakit. Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC: 2003.h.852-4.2. Sloane E. Anatomi dan fisiologi
untuk pemula. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2003. h.
269-70.3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati
S. Buku ajar penyakit dalam.Jilid III. Edisi 5. Jakarta: Interna
Publishing: 2009. h. 2232-45.4. Mansjoer.A, dkk. Tuberkulosis Paru.
Dalam : Kapita selekta kedokteran, cetakan ke-7, Jakarta : Media
Aesculapius: 2005. h. 427-476.5. Aditama TY, Chairil AS, Herry BW.
Resistensi primer dan sekunder mikobakterium tuberkulosis. Jakarta:
Cermin Dunia Kedokteran: 1996. h.48-9.6. Pedoman diagnosis
tuberkulosis dan penatalaksanaan di Indonesia: Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia : 2006. h.1-5.
27