Page 1
WEBSITE PENDUKUNG
http://beritaterkini-update.blogspot.com
http://trendshairstylesformen.blogspot.com
http://beritaterkini-update.blogspot.com/2014/08/diet-dengan-cara-minum-air-putih.html
http://beritaterkini-update.blogspot.com/2014/07/cara-menginstall-wordpress-untuk-bisnisOnline-Paid-To-Review.html
http://trendshairstylesformen.blogspot.com/2014/08/very-best-male-haircuts-for-men-withPear-Formed-Facial-Looks.html
1
Page 2
A. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ajaran Islam yang kristalnya berupa al qur’an dan as
Sunnah diyakini pemeluknya dapat mengantisipasi
segala kemungkinan yang timbul pada suatu zaman.
Islam itu satu, tapi realitas mengatakan bahwa Islam itu
beragam. Misalnya, ada komunitas yang menampilkan
Islam dengan pemerintahan kerajaan, adapula yang
senang pemerintahan republik, bahkan ada juga yang
ingin kembali menggunakan sistem kekhalifahan. Ada
yang sangat terikat dengan teks al Qur’an dan al Hadits
dalam memahami hukum Islam, ada pula yang longgar
melihat konteks nash tersebut.
Hukum Islam dari masa ke masa mulai zaman
Rasulullah SAW sampai periode sekarang telah
mengalami perkembangan yang begitu signifikan. Lihat
saja, pada masa Rasul, dalam menyelesaikan masalah
hukum, para umat bisa langsung menanyakannya kepada
beliau dan dalam menjawabnya beliau langsung
mendapatkan wahyu dari Allah SWT. Setelah beliau
wafat, selain menggunakan al Qur’an dan al Hadits
2
Page 3
sebagai dasar penyelesaian masalah hukum, juga
berijma’ jika tidak menemukannya dalam kedua sumber
tersebut. Pada masa tabi’in, kesepakatan dari sahabat
dalam masalah hukum juga menjadi salah satu sumber
hukum dalam menjawab persoalan umat. Begitu juga
masa tabi’it tabi’in ijma’ yang terjadi pada kurun waktu
sebelumnya menjadi pertimbangan dan dasar hukum
dalam member solusi atas problem-problem baru yang
muncul.
Pada bahasan kali ini, penulis akan mencoba membahas
keadaan dan perkembangan hukum Islam pada masa
tabi’in khususnya pada masa dinasti umayyah yang
mempunyai masa pemerintahan lebih kurang 91 tahun.
Mengenai sumber-sumber hukum serta pemikiran-
pemikiran yang timbul dari sekte-sekte yang timbul pada
masa ini dan yang terkait di dalamnya.
3
Page 4
B. RUMUSAN MASALAH
Agar pembahasan tidak melebar terlalu jauh, maka pada
makalah ini penulis akan membatasi bahasan sebagai
berikut:
a. Kondisi hukum islam dan perkembangannya pada masa
tabi’in / dinasti Umayyah
b. Sumber-sumber Islam pada waktu itu
c. Pengaruh ahlul Hadits dan ahlur Ra’y, dan
d. Pemikiran hukum Islam Khawarij, Syi’ah dan Jumhur
4
Page 5
C. PEMBAHASAN
1. Kondisi hukum Islam dan
perkembangannya pada masa tabi’in / dinasti
Umayyah
Klasifikasi perkembangan hukum islam (fiqh) pada era
tabi’in sebenarnya masih membingungkan banyak
pengamat. Kebingungan itu dapat dipahami dengan
munculnya pergolakan-pergolakan yang muncul berasal
pada masa kekhalifahan Utsman dan Ali dan akhirnya
memuncak pada pemerintahan daulah Umayyah yang
melahirkan agitasi teologis cukup tajam. Pergolakan-
pergolakan tersebut justru membawa pengaruh besar
terhadap perkembangan hukum Islam sendiri, sehingga
mengantarkan pada era kodifikasi dan munculnya para
imam madzhab[1].
Secara umum para tabi’in pada masa ini mengikuti
manhaj (metode, kaidah istidlal) sahabat dalam mencari
hukum. Mereka merujuk pada al Qur’an dan al Hadits
dan apabila tidak mendapatkan dari keduanya, merreka
merujuk pada ijtihad sahabat dan baru setelah itu mereka
5
Page 6
sendiri berijtiahad sesuai dengan kaidah-kaidah ijtihad
para sahabat.
1.1. Penggunaan Rasio
Ada kecendrungan baru dari beberapa ahli hukum Islam
(fuqoha) untuk memandang hukum sebagai
pertimbangan rasionalitas. Mereka tidak saja banyak
menggunakan rasio dalam memahami hukum dan
menyikapi persoalan yang muncul, tetapi juga
memprediksikan suatu peristiwa yang belum terjadi dan
memberi hukumnya.
Aliran pemikiran ini dipelopori oleh Ibrahim bin yazid
an Nakha’I,seorang ahli fiqh irak guru Hammad bin
Sulaiman yang banyak mewariskan pemikiran fiqh
rasionalis kepada Abu Hanifah.
Aliran ini tidaklah berjalan mulus, tetapi banyak
mendapatkan tanggapan dan tantangan. Reaksi paling
keras berasal dari ulama Hijaz (Madinah) yang
menganggap aliran ini telah menyeleweng dari manhaj
sahabat, bahkan berpaling dari ajaran Rasulullah SAW.
Dengan munculnya aliran ini, dianggap telah membuka
pintu untuk memasuki suatu krisis pemahaman
6
Page 7
keagamaan sebagaimana yang telah menimpa orang-
orang Yahudi dan Nasrani. Ibnu Syihab Zuhri, seorang
ahli Hadits pada waktu itu pernah
mengatakan, “sesungguhnya orang-orang Yahudi dan
Nasrani kehilangan ilmu yang mereka miliki ketika
mulai disibukkan dengan pendapat rasio dan
pemikiran”[2].
Sufyan bin Uyainah, Ayyub Sahtayani, Abu Umar,
Auza’I dan Sya’bi adalah ulama terkemuka yang paling
vokal menolak gagasan Ibrahim. “Pendapat mereka itu
sebenarnya lebih patut dibuang di toilet”, kata
Sya’bi[3].
Namun tidak berarti fragmentasi fiqhiyyah pada periode
ini memasung perkembangan fiqh. Sebab, meskipun
muncul beberapa reaksi agak keras, namun apresiasi
terhadap gagasan Ibrahim dan ulama Irak, pro maupun
kontra, sangat terasa.
Dalam beberapa pertemuan dan dialog yang mereka
adakan untuk mendiskusikan berbagai persoalan yang
muncul dan di munculkan, di irak dan Hijaz dapat
ditangkap beberapa isyarat yang memungkinkan kedua
belah pihak saling melengkapi, saling mengisi antara
7
Page 8
satu dengan lainnya. Ulama Hijaz yang kaya akan Hadits
dan fatwa-fatwa sahabat dipaksa menjawab persoalan
yang belum timbul pada masa Nabi SAW dan sahabat.
Demikianlah kebiasaan ulama Irak memprediksikan
suatu peristiwa yang belum muncul itu menuntut ulama
Hijaz untuk menggali tujuan moral, illah dan hikmah
yang menjadi tujuan disyariatkan suatu hukum.
Sebaliknya ulama Irak juga sering kali mencabut
pendapatkan yang diketahui, setelah melalui berdialog
dengan ulama HIjaz, bertentangan dengan sunnah Nabi
SAW[4].
Pada perkembangan berikutnya terjadilah pembaharuan,
pluralisme dan heterogenitas pemikiran baik di Irak
ataupun Hijaz sendiri yang sangat membantu
memperkaya tsarwah fiqhiyyah.
1.2. Meluasnya Ruang Ikhtilaf
Konsekuensi lain dari kontroversialisme pemahaman
fiqh tadi adalah meluasnya ruang ikhtilaf pada periode
ini. Dr. Thaha Jabir dalam bukunya”Adabul Ikhtilaf Fil
Islam” menyebutkan bahwa benih-benih meluasnya
ikhtilaf itu sebanarnya telah tumbuh pada masa
8
Page 9
pemerintahan khalifah Utsman bin Affan. Utsman adalah
khalifah pertama yang mengizinkan para sahabat untuk
meninggalkan madinah dan menyebar ke berbagai
daerah. Lebih dari 300 sahabat pergi ke Basrah dan
kufah, sebagian lagi ke Mesir dan syam[5].
Penyebaran sahabat ke berbagai daerah tersebut punya
pengaruh tersendiri terhadap perkembangan fiqh, paling
tidak perluasan ikhlilaf di kalangan tabi’in. itu dapat
dipahami karena masing-masing daerah memiliki
perbedaan situasi, kebiasaan dan kebudayaan, disamping
perbedaan kapasitas pemahaman para ahli fikih dalam
mengantisipasi masalah-masalah yang muncul.
Dalam batas-batas tertentu, karena perbedaan teori,
formulasi, keadaan dan kondisi masyarakat, mereka
sering berbeda dalam satu masalah yang sama. Namun
persoalannya tidak sampai di situ, pergolakan-pergolakn
politik sejak terbunuhnya Utsman, pindahnya markas
kakhalifahan ke Kufah kemudian ke Syam dan berbagai
konfrontasi yang banyak memakan korban jiwa, juga
faktor yang harus disebut dari meluasnya ikhtilaf pada
periode ini. Ikhtilaf ini semakin melebar sekaligus
meruncing ketika konfrontasi politik antara Ali dan
9
Page 10
Muawiyyah dan penyelewengan daulah Umayyah
menimbulkan berbagai aliran dan sekte. Pada saat itu
muncul aliran Syi’ah, Khawarij, Jahmiyyah, Mu’tazilah
dan lain sebagainya.
2. Sumber-sumber hukum Islam
Sumber-sumber tasyri’ pada masa ini ada empat, yaitu
Al Qur’an, As Sunnah, Al ijma’ dan Al Ijtihad dengan
jalan Al Qiyas atau dengan salah satu metode untuk
Istimbat hukum. Seorang mufti bila dimintai fatwa
terhadap suatu permasalahan dan dia menemukan nash
dalam Al Qur’an atau As Sunnnah yang menunjukan
hukum atas persoalan tersebut, maka ia akan berpegang
terhadap nash tersebut dan tidak akan menggunakan
dasar yang lain. Bila dalam suatu kasus, dia tidak
menemukan nash untuk mengatasinya tetapi mendapati
ijma’ dari para mujtahid salaf mengenai kasus tersebut,
maka ia pun memeganginya untuk memberikan hukum.
Sedang bila dia tidak menemukan nash tentang kasus itu
dan tidak menemukan ijma’ dari hukum yang dimaksud,
maka ia pun berijtihad dan mengistimbatkan hukum
dengan jalan yang telah ditunjukan oleh syara’[6].
10
Page 11
3. Pengaruh ahlul Hadits dan ahlur Ra’y
Dalam catatan sejarah, pusat kekuasaan politik Islam
berpindah-pindah. Madinah di masa Nabi SAW. dan
Khulafa al Rasyidun, Damaskus dimasa dinasti
Umayyah, dan Baghdad dimasa dinasti Abbasiyyah.
Penguasa dinasti Umayyah kecuali Umar bin Abdul Aziz,
kelihatannya kurang memperhatikan perkembangan
pemikiran keagamaan. Mereka lebih memusatkan
perhatian di bidang politik. Sehingga ketika itu
pemikiran politik dan pemikiran keagamaan berjalan
sendiri-sendiri. Penguasa dinasti Abbasiyyah melihat
sikap semacam itu tidaklah tepat. Karena mereka
berupaya agar pemikiran keagamaan dikembangkan
bersamaan dengan perkembangan politik dan filsafat.
Para imam madzhab yang tidak mau terlibat dalam
urusan pemerintahan akan dihukum[7].
Dimasa Kulafa al Rasyidun, penguasa adalah juga alim,
menyatu dalam diri khalifah ilmu agama dan kekuasaan.
Penguasa dinasti umayyah kecuali Umar bin Abdul
aziz dan penguasa dinasti Abbasiyyah tidak tahu banyak
tentang syari’at Islam dan metode-metode berijtihad.
11
Page 12
Urusan agama diserahkan kepada ulama, sedangkan
urusan pemerintahan dan politik dipegang oleh khalifah.
Setelah Islam berdialog dengan masyarakat luar Arab
lebih jauh, peranan akal menjadi penting dalam
menjembatani kesenjangan teks keagamaan dengan
persoalan baru. Dalam perkebangan selanjutnya, dalam
pemikiran hukum Islam dikenal kelompok “ahlur Ra’y”,
kelompok yang berani menggunakan akal, yang
berkembang di Irak, dan kelompok “ahlul Hadits”,
kelompok yang terikat sekali dengan teks harfiyah Al
qur’an dan Al Hadits, yang berkembang di Hijaz.
Keduanya ini muncul bukan karena rekasa pemerintah,
tetapi muncul dari ketulusan hati mereka untuk
memberlakukan syari’at Allah SWT di muka bumi.
Perkembangan pemikiran ini berada di luar kontrol
pemerintahan, karena seperti disebutkan di muka bahwa
para penguasa pemerintahan bukanlah orang-orang yang
menguasai pengetahuan Agama[8].
3.1. Ahlul Hadits
Dalam masyarakat Islam terdapat kelompok yang
metode pemahamannya terhadap ajaran wahyu amat
12
Page 13
terikat oleh informasi dari Nabi SAW. Dengan kata lain
ajaran islam itu diperoleh dari al Qur’an dan petunjuk
dari Nabi SAW saja, bukan yang lain. Disamping disebut
as Sunnah, petunjuk dari Nabi SAW juga disebut al
Hadits. Karena itu kelompok ini disebut ahlul Hadits.
Mulanya aliran ini timbul di Hijaz, utamanya di
Madinah. Karrena penduduk hijaz lebih banyak
mengetahui hadits dan tradisi Rasul disbanding dengan
penduduk di luar Hijaz. Di Madinah sebagai ibukota
Islam, beredar Hadits Nabi SAW yang jauh lebih banyak
dan lengkap disbanding dengan daerah lain mana pun.
Semua persoalan hukum dan dan budaya sudah terjawab
oleh teks wahyu (al Qur’an dan al Hadits). Sehingga
pada masa itu Hijaz dikenal sebagai pusat Hadits[9].
Pada masa khulafa al Rasyidun, sumber hukum Islam
adalah apa yang diriwayatkan oleh Nabi (al Qur’an dan
al Hadits). Di masa tabi’in, sumber itu ditambah dengan
fatwa sahabat. Ketika dalam menentukan suatu hukum,
tidak ditemukan keduanya, maka ijtihad atau tidak
memberikan fatwa adalah jalannya. Mereka membenci
ra’y serta menghindari fatwa dan istimbat kecuali bila
terpaksa dan tidak ada kesempatan untuk mengelak.
13
Page 14
Program utama mereka adalah meriwayatkan hadits Nabi
Muhammad SAW. di masa tabi’it tabi’in, sumber hukum
islam bertambah lagi, fatwa tabi’in, demikian seterusnya,
generasi mendatang menjadikan fatwa generasi
sebelumnya sebagai sumber hukum Islam.
Masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz dikenal masa
permulaan pembukuan Hadits. Kekhawatiran khalifah
akan semakin tidak terurusnya hadits-hadits Nabi SAW
dalam tulisan menggerakkan hatinya untuk
memerintahkan ulama Hadits, seperti Ibn Syihad al
Zuhri agar membukukan hadits. Prestasi penghimpuna
Hadits, semenjak dari asal himpun hingga pemilahan
hadits-hadits sahih dari yang tidak sahih, adalah
kebanggan tersendiri dalam menyelamatkan syari’at
Islam. Dalam menetapka hukum Islam mereka
mempunyai langkah-langkah sebagai berikut:
1. Bila suatu masalah sudah disebut dalam al Qur’an maka
seorang ulama tidak boleh beranjak kepada yang lain.
2. Bila kandungan ayat al Qur’an itu menunjukan berbagai
kemungkinan maka mereka merujuk hadits yang
berbicara hal yang sama dalam ayat tersebut.
14
Page 15
3. Bila ayat al Qur’an tidak menerangkannya, barulah
mereka mencari petunjuk dalam al Hadits, baik yang
telah masyhur dipakai oleh ulama sebelumnya atau yang
diriwayatkan oleh penduduk suatu daerah tertentu.
4. Bila hadits sudah ditemukan maka tidak boleh mengambil
keputusan hukum berdasarkan yurisprudensi/ pemikiran
mujtahid.
5. Bila hadits tersebut tidak ditemukan, keputusan diambil
berdasarkan pendapat umum (konsensus). Hasil
consensus harus dippatuhi. Bila masih juga terdapat
perbedaan pendapat dalam upaya consensus, maka
keputusan diambil dari pendapat ulama yang paling
wara’dan alim[10].
Dengan demikian, sebenarnya aliran ahlul hadits
bukanlah aliran yang sama sekali menghindari
penggunaan akal. Ketawadluan mereka malahirkan sikap
kehati-hatian, sangat mengakui kelemahan akal kendati
berkesan tidak berani menggunakan akal dan sangat
mengutamakan penggunaan ajaran wahyu.
3.2. Ahlur Ra’y
15
Page 16
Istilah ahlur ra’y digunakan untuk menyebut kelompok
pemikir hukum Islam yang memberi porsi akal lebih
banyak dibanding dengan pemikir lainnya. Bila
kelompok lain dalam menjawab persoalan hukum
tampak terikat oleh teks nash (al Qur’an dan al Hadits)
maka kelompok ahlur ra’y tampak tidak terikat,
sebaliknya leluasa menggunakan pendapat akal.
Sebenarnya kelompok ini bukanlah berarti kelompok
yang meninggalkan hadits. Mereka juga menggunakan
hadits untuk menetapkan hukum. Hanya mereka dalam
melihat kasus penetapan hukum berpendapat bahwa nash
syar’I itu mempunyai tujuan tertentu. Serta nash syar’i
secara kumulatif bertujuan mendatangkan maslahat bagi
manusia. Karena banyaknya persoalan yang merreka
hadapi dan terbatasnya jumlah nash, maka mereka
berupaya memikirkan rahasia yang terkandung dibalik
nash yang dikenal dengan ta’lil al ahkam. Sedang
kelompok ahlul Hadits lebih memperhatikan penguasaan
hafalan nash dan mengamalkan sesuai dengan bunyi
nash tersebut. Pada beberapa hadits, seperti :
16
Page 17
1 . Setiap 40 ekor kambing zakatnya adalah seekor
kambing.
2 . Zakat fitrah itu satu gantang kurma atau gandum.
Ulama ahlur ra’y memahami nash tersebut berdasarkan
tujuan tasyr’, bukan redaksinya. Sehingga pemilik 40
ekor kambing tidak harus mengeluarkan zakat berupa
seekor kambing, tetapi boleh mengeluarkan zakat berupa
apa saja yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat
minimal seharga satu ekor kambing. Begitu juga dengan
zakat fitrah. Bagi mereka zakat fitrah boleh dibayar
dengan kurma atau gandum atau apa saja yang senilai
dengannya. Jadi penyebutan “satu ekor kambing” pada
zakat ternak dan “segantang kurma atau gandum” pada
zakat fitrah adalah bukan tujuan tasyri’, tetapi contoh
sarana mewujudkan kesejahtraan umat manusia sebagai
tujuan tasyri’. Menurut ulama ahlul Hadits, pengeluaran
zakat hewan ternak berupa satu ekor kambing dan zakat
fitrah berupa segantang kurma atau gandum tidak perlu
diganti, takut tidak sah[11].
4. Pemikiran hukum Islam Syi’ah, Khawarij,
dan Jumhur
17
Page 18
Aliran-aliran ini tidak hanya dalam bidang teologis,
tetapi juga berpengaruh dalam sejarah perkembangan
Fiqh. Misalnya menurut Syi’ah, ijma’ dan qiyas bukan
sumber hukum dalam Islam. Sebab ijma’ berarti
kesepakatan semua mujtahid dari umat Muhammad
SAW. setelah kewafatannya dalam satu masa dan
tentang hukum syar’i. padahal mereka tidak mau
menerima pendapat selain dari orang Syi’ah sendiri.
Demikian qiyas, sebab hukum hanya dapat diambil dari
al Qur’an, as Sunnah dan para imam-imam mereka yang
ma’sum[12].
Diantara pendapat mereka tentang hukum islam adalah
sebagai berikut[13]:
1. Nikah mut’ah adalah termasuk sysri’at Islam.
Tidak termasuk golongan mereka jika tidak
menghalalkannya.
2. Wanita hanya dapat mewaris benda bergerak
dari mayyit.
3. Waktu shalat hanya ada tiga, yaitu pertama,
Zhuhur dan Ashar (dikerjakan sekaligus pada waktu
18
Page 19
salah satunya), kedua maghrib dan Isya’ (dikerjakan
sekaligus pada waktu salah satunya), ketiga shubuh.
Sedangkan khawarij berpendapat bahwa pemimpin itu
untuk umat dan umatlah yang berhak memilih dan
memberhentikannya. Diantara pendapat mereka adalah
bahwa perbuatan merupakan bagian dari iman, sehingga
iman saja tidak cukup kalau tidak diamalkan dalam
perbuatan[14].
Dalam babakan hukum Islam, kaum ini mempunyai
beberapa pendapat diantaranya:
1. Tidak ada hukuman rajam bagi wanita pezina
mukhsan. Menurut mereka tidak ada dalil dalam al
Qur’an tentang hukman rajam tersebut.
2. Boleh berwasiat untuk ahli waris dan menolak
hadits “tidak ada wasiat untuk ahli waris”. Sebab hadits
ini dipandang bertentangan dengan ayat al Qur’an
“diwajibkan atas kamu wasiat bagi kedua orang tua dan
sanak kerabat apabila kamu hendak meninggal”.
3. Thaharah untuk ibadah shalat adalah suci lahir
batin. Kata-kata bohong, kotor, permusuhan dan lain-lain
19
Page 20
merupakan prilaku kotor (ma’nawi) yang dapat merusah
thaharah.
Pada poin kedua, nampak perbedaan pendapat dengan
jumhur yang menyatakan bahwa ayat tersebut turun
sebelum turunnya ayat-ayat mawaris. Dengan kata lain,
menurut jumhur ayat ini tidak berlaku sebagai legitimasi
wasiat untuk ahli waris[15].
D. KESIMPULAN
Dari uraian yang dapat penulis sampaikan diatas, dapat
disimpulkan bahwa secara umum pada era tabi’in
mereka lebih mengikuti manhaj (metode, kaidah istidlal)
sahabat dalam mencari hukum. Mereka merujuk pada al
Qur’an dan al Hadits dan apabila tidak mendapatkan dari
keduanya, mereka merujuk pada ijtihad sahabat dan baru
setelah itu mereka sendiri berijtiahad sesuai dengan
kaidah-kaidah ijtihad para sahabat.
Pada masa ini pula rasio (ra’y) mulai marak digunakan
dalam memahami hukum islam. Ini bermulai ketika
seorang Irak Ibrahim bin Yazid an Nakha’I yang hidup
pada waktu itu memandang sulit kiranya jika memahami
hukum Islam sesuai dengan teks harfiyah Qur’an dan
20
Page 21
Sunnah. Karena Irak adalah daerah yang mempunyai
budaya, adat dan suasana kehidupan yang jauh berbeda
dengan HIjaz yang merupakan bumi Nabi dan
Hadits.Meski awalnya mendapatkan tentangan yang
cukup keras dari kaum Hijaz, tapi pada periode
berikutnya aliran ini akhirnya mendapatkan apresiasi
dari banyak kalangan.
Pada masa dinasti Umayyah, para penguasanya, kecuali
Umar bin Abdul Aziz, lebih memfokuskan pada bidang
politik serta masalah keagamaan diserahkan pada ulama
setempat. Makanya masa ini lebih terkesan Negara
adalah urusan penguasa dan Agama adalah urusan non
penguasa. Dalam istilah lain dikatakan zakat bukanlah
urusan pemerintah, tapi urusan agama. Zakat yang ada
ikut campur Negara dianggap tidak sah.
E. PENUTUP
“Tiada gading yang tak retak”, mungkin itulah kata-kata
yang pas jika tulisan ini dibaca. Maka saran dan kritik
yang konstruktif sangat penulis harapkan dari pembaca.
Semoga manfaat dan berkah “always” tercurahkan
21
Page 22
kepada siapapun yang telah meluangkan waktunya untuk
membaca tulisan ini. Amin.
22
Page 23
F. DAFTAR PUSTAKA
A. Sirry ,Mun’im, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah
Pengantar,1995, Surabaya: Risalah Gusti.
Jabir Fayyadh, Thaha, ‘Ulwani, Adabul Ikhtilaf Fil
Islam,
Khallaf, Abdul Wahhab, Ikhtisar Sejarah Hukum
Islam, 1985, Yogyakarta: Dua Dimensi.
Qoyyim, Ibnul,al Jauziy, I’lamul Muqi’in, Jilid 1,
Zuhri, Muh, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, 1996,
Jakarta: PT RajaGrafindo persada.
[1] Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah
Pengantar, Risalah Gusti:Surabaya, hlm. 49.
[2] Ibnul Qoyyim al Jauziy, I’lamul Muqi’in, Jilid 1,
hlm. 74.
[3] Mun’im A. Sirry, op.cit. hlm.50.
[4] Mun’im A. Sirry, Ibid, hlm. 51
[5] Dr. Thaha Jabir Fayyadh ‘Ulwani, Adabul Ikhtilaf Fil
Islam, hlm.21.
23
Page 24
[6] Abdul Wahhab Khallaf, Ikhtisar sejarah Hukum
Islam, hlm. 51.
[7] Dr. Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintatasan
Sejarah, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, hlm.65.
[8] Ibid, hlm.66.
[9] Ibid, hlm.67
[10] Ibid, hlm.68.
[11] Ibid, hlm.70.
[12] Mun’im A. Sirry, op.cit, hlm. 54
[13] Dr. Muh. Zuhri, Op.cit. hlm.62
[14] Op.Cit, hlm. 54
[15] Ibid, hlm. 57.
24