-
1
TASAWUF DAN
PENDIDIKAN KARAKTER
Implementasi Nilai-Nilai Sufistik
Kitab Tanwĩrul Qulûb di MA Matholi’ul Huda Bugel Jepara
Penulis:
Dr. H. Subaidi, M.Pd
Dr. H. Barowi, M.Ag
Pengantar:
Prof. Dr. H. Muhtarom
(Direktur Pascasarjana Universitas
Wahid Hasyim Semarang)
Editor :
Dr. Samidi Khalim, M.S.I
-
3
TASAWUF DAN
PENDIDIKAN KARAKTER
Implementasi Nilai-Nilai Sufistik
Kitab Tanwĩrul Qulûb di MA Matholi’ul Huda Bugel Jepara
Penulis:
Dr. H. Subaidi, M.Pd
Dr. H. Barowi, M.Ag
Pengantar:
Prof. Dr. H. Muhtarom
(Direktur Pascasarjana Universitas
Wahid Hasyim Semarang)
Editor :
Dr. Samidi Khalim, M.S.I
-
TASAWUF DAN PENDIDIKAN KARAKTER
Implementasi Nilai-Nilai Sufistik Kitab Tanwĩrul Qulûb di MA
Matholi’ul Huda
Bugel Jepara
Hak cipta dilindungi undang-undang
Penulis : Subaidi, Barowi
Editor : Samidi Khalim
Pengantar : Muhtarom
Layout : ……………….
Desain Cover : ………………..
TASAWUF DAN PENDIDIKAN KARAKTER
Implementasi Nilai-Nilai Sufistik Kitab Tanwĩrul Qulûb di MA
Matholi’ul Huda
Bugel Jepara
Diterbitkan oleh……………..
Cetakan I, Desember 2018
viii + 111 hlm., 17 x 24 cm.
ISBN : 978-602-364-585-5
Pencetak:
…………………….
Jl…………………..
Telp.:……………………….
Email:………………………..
Dilarang keras memfotokopi atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini
tanpa seizin tertulis dari penulis
-
5
PRAKATA
َّرِحْي ِبْسم هللا الّرْْحِن ال
نَْيا َوادّليْنِ ،َالَْحْمُد لِِلِ َرّبِ الَْعا لَِمْيَ تَِعْيُ
عَََل ُاُمْوِر ادلُّ اَلم ،َوِبِه نَس ْ اَلُة َوالسَّ ِدََن ََل َ َ
عَ َوالصَّ يِّ
ٍد ـِلْيَ ُمَحمَّ ََ ِد اََلنِْبـَياِء َوِاَماِم ْاملُـْر يِّ ا
بَْعدُ َ َ ، أَمَّ ِبِه َاْْجَِعْيَ َوعَََل اَِِلِ َوََصْ
Teriring puji dan syukur ke hadirat Allah SWT. Shalawat dan
salam
senantiasa dihaturkan ke pangkuan Nabi Muhammad Saw., keluarga,
para
sahabat dan umatnya. Semoga Allah senantiasa melimpahkan
rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kita, Amin.
Syukur Alhamdulillah, buku berjudul:TASAWUF DAN PENDIDIKAN
KARAKTER Implementasi Nilai-Nilai Sufistik Kitab Tanwĩrul Qulûb
di MA
Matholi’ul Huda Bugel Jepara ini telah selesai penulisannya.
Penulis berharap
semoga buku ini banyak manfaat bagi pembaca secara umum,
khususnya
santri, pelajar dan mahasiswa, Amin….
Kritik dan saran dari semua pihak selalu diharapkan demi
perbaikan
buku ini, dan disampaikan banyak terimakasih.
Jepara, Desember 2018
`al-Faqir,
Dr. H. Subaidi, M.Pd.
-
KATA PENGANTAR
-
7
PENGANTAR EDITOR
Buku yang ditulis Dr. H. Subaidi, M.Pd ini merupakan hasil riset
di
Madrasah Aliyah Matholi’ul Huda Bugel Jepara. Sebuah upaya
untuk
menganalisis ajaran tasawuf antara teks dan konteks. Teks yang
termaktub
dalam kitab Tanwĩrul Qulûb karya Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi
(sufi
dari Irak yang hidup pada abad ke-13) dijadikan sebagai pijakan
untuk
melihat praktik pendidikan karakter yang diaplikasikan oleh MA
Matholi’ul
Huda Bugel Jepara.
Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi merupakan Ulama Besar dan
guru Thariqat al Qadiriyah, thariqat yang dinisbatkan kepada
Syaikh Abdul
Qadir Al-Jaelani dari Irak (1077-1166 M). Amin Al-Kurdi dalam
fikihnya
bermadzab Syafi’i, dan juga menguasai berbagai disiplin ilmu
agama yang
lain, seperti ilmu hadis dan tafsir. Pada dasarnya pemikiran
Amin Al-Kurdi
memadukan tiga prinsip keislaman, yaitu: akidah, fikih dan
tasawuf. Dalam
kitab Tanwĩrul Qulûb, Syaikh Amin Al-Kurdi membagi kajiannya
menjadi
tiga bagian besar yaitu; bidang akidah diniyyah (akidah
keagamaan); bidang
fikih yang mengikuti ajaran Madzhab Imam as-Syafi’i; dan bidang
tasawuf
yang berdasarkan kepada ajaran akidah Ahlussunah wal Jama’ah
al-
Asy’ariyah dan Maturidiyah dengan menyertakan dalil-dalilnya,
baik itu dalil
aqli maupun dalil naqli.
MA Matholi’ul Huda yang berada di Jl. Raya Desa Bugel,
Kecamatan
Kedung, Kabupaten Jepara ini berdiri sejak tahun 1943, namun
secara riil
beroperasi menerima murid pada tahun 1965. Sebagai lembaga
pendidikan
Islam telah menerapkan pendidikan akhlak kepada anak didiknya
dalam
setiap mata pelajaran dan aktivitas. Pendidikan akhlak yang
identik dengan
pendidikan karakter menjadi salah satu misi yang diemban oleh
MA
Matholi’ul Huda. Karakter atau akhlak merupakan tabiat, watak,
atau sifat-
sifat kejiwaan seseorang yang membedakannya dengan orang lain.
Oleh
sebab itu MA Matholiul Huda Bugel Jepara ini bertujuan
meningkatkan
mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang menagrah pada
mencapai
pembentukan karakter (akhlak) anak-anak didiknya secara utuh,
terpadu dan
seimbang.
Sistem pendidikan yang diterapkan di MA Matholi’ul Huda
Bugel
inilah yang kemudian dikaji oleh Saudara Dr. Subaidi, M.Pd.
Melalui
kacamata tasawuf, khususnya ajaran Tasawuf Syaikh Muhammad Amin
Al-
Kurdi dalam Kitab Tanwĩrul Qulûb. Berdasarkan penelitian Dr.
Subaidi,
M.Pd, setidaknya ada 34 ajaran tasawuf Syaikh Muhammad Amin
Al-Kurdi
yang telah diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) di
MA
Matholi’ul Huda Bugel Jepara.
Adapun nilai-nilai sufistik dalam kitab Tanwĩrul Qulûb yang
sudah
diaplikasikan dalam KBM di MA Matholi’ul Huda Bugel Jepara
melalui
model pembiasaan membaca kalimat thayyibah, melantunkan tilawah
ayat-
-
ayat al-Quran, do’a dan dzikir. Pembentukan karakter kepribadian
diri
melalui pembiasaan disiplin, jujur, dan tanggungjawab dalam
semua aktivitas
pembelajaran. Pembentukan karakter sosial di MA Matholi’ul Huda
ini
melalui budaya sikap toleransi, peduli pada lingkungan dan
sesama, sikap
demokratis.
Masih banyak lagi nilai-nilai sufistik Kitab Tanwĩrul Qulûb
karya
Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi yang sudah diterapkan sebagai
pendidikan karakter di MA Matholi’ul Huda Bugel Jepara. Maka
untuk lebih
jelasnya bagaimana praktik pendidikan karakter tersebut,
silahkan pembaca
menikmati sajian buku ini; “Tasawuf dan Pendidikan
Karakter”.
Semarang, 10 Desember 2018
Editor,
Samidi Khalim
-
9
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
...................................................................................
v
Daftar Isi
.............................................................................................
vi
BAB I
Pendahuluan ………………………………………………………...
1
BAB II
Sufisme dan Pendidikan Karakter …………………………………..
7
BAB III
Mengenal Syaikh Amin al-Kurdi dan Kitab Tanwĩrul Qulûb ………
15
BAB IV
Ajaran Tasawuf Dan Pengembangan Pendidikan Karakter ………...
19
BAB V
Implementasi Nilai-Nilai Sufistik Dalam Pendidikan Karakter
di
MA Matholi’ul Huda Bugel Jepara ………………………................
88
BAB VI
Penutup ……………………………………………………………...
93
Daftar Pustaka ……………………………………………................ 95
Biografi Penulis …………………………………………………….. 101
-
BAB I
PENDAHULUAN
emajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak dibarengi
oleh
kematangan jiwa adalah bagaikan granat hidup di tangan
anak-anak
yang akan membahayakan kelangsungan hidup (Madjid, 2000: 582).
Disisi
lain diungkapkan, kemajuan dan kemakmuran pada masyarakat
industri,
ternyata menimbulkan kemiskinan baru, yaitu kemiskinan akhlak
Islam dan
spiritualitas. Hal demikian merupakan gejala menarik, bukan saja
yang
menimpa pada masyarakat maju dan rasional, namun manakala
ketenangan
batin sudah lenyap, maka siapa pun akan tertarik dan rindu untuk
mencari
ketenangan yang tak sebatas kesenangan hedonism (Umar, 2000: 5).
Oleh
karena itu, akhlak Islami berfungsi sebagai alat pengendali dan
pengontrol
manusia, agar dimensi kemanusiaan tidak ternodai oleh
modernisasi yang
mengarah kepada dekadensi moral, sehingga ia akan menghantarkan
manusia
pada tercapainya keunggulan moral (Ulfah & Istiyani, 2016:
95-96).
Pendidikan akhlak Islami dalam konteks pendidikan Islam adalah
upaya
pendewasaan jiwa peserta didik dalam perjalanan menuju kedekatan
dengan
Allah SWT. Dalam berbagai referensi ilmiah, pendidikan akhlak
Islam adalah
merubah peserta didik dari jiwa yang kotor menuju jiwa yang
bersih, dari nalar
yang belum tunduk kepada Allah menuju nalar yang patuh kepada
syari’at, dari
hati yang keras dan berkarat menuju hati yang lembut dan jernih.
Merubah
dari rohani yang jauh dari kesadaran kepada Allah lalai dalam
beribadah
dan kurang ikhlas melakukannya menuju rohani yang ma’rifat
kepada Allah
dan senantiasa berbakti kepada-Nya dengan tulus, dari tubuh yang
kurang
mentaati aturan syari’at menuju menjadi tubuh yang senantiasa
memegang
aturan-aturan syariat Allah (Hawwa, 2006: 69). Dengan demikian
peserta
didik akan terus meningkat kecerdasannya, sehingga secara
berangsur-angsur
akan terbentuk ahlak al-karimah pada jiwa mereka (Mufid, 2016:
255).
Untuk memberikan gambaran jawaban persoalan diatas maka
keberadaan pendidikan Islami sangat diperlukan dalam upaya
mengembangkan potensi individu dan membentuk generasi yang
berakhlak
mulia sebagaimana ajaran Islam. Dharma Kesuma mengatakan bahwa
tujuan
pendidikan haruslah mengarah kepada busemata (Kesuma, 2011:
8).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka buku ini berupaya
K
-
11
membahas pemikiran Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi dalam kitab
Tanwĩrul Qulûb. Kitab tersebut berisi tentang ajaran sufisme
yang
dipengaruhi oleh para guru mursyid tariqah. Ajarannya menekankan
pada
pentingnya pembersihan hati (tashfiyatul qalb) dan perilaku
terpuji (al-
akhlaq al-mahmudah). Pendidikan sufistik yang berupaya
membentuk
perilaku terpuji ini sejalan dengan konsep pendidikan karakter
yang sedang
digalakkan oleh pemerintah Indonesia.
Pendidikan Karakter menurut Para Pakar
Sejauh penelusuran penulis telah ditemukan beberapa hasil
penulisan
yang mendeskripsikan tentang pendidikan karakter baik dalam
buku-buku
pendidikan karakter pada umumnya, maupun pendidikan karakter
lainnya.
Namun dalam kajian pustaka ini, penulis akan mendeskripsikan
kajian
pendidikan karakter hanya pada teks-teks keislaman yang terdapat
dalam
kitab Tanwĩrul Qulûb karya Amin al Kurdi. Adapun beberapa
penulisan
dimaksud antara laian:
Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 3 Nomor 2 November 2015
yang ditulis Rangga Sa’adillah S.A.P.,“Pendidikan Karakter
Menurut KH.
Wahid Hasyim”. Penulisan ini mendeskripsikan tentang
nilai-nilai
pendidikan karakter yang diajarkan KH. Abdul Wahid Hasyim
sejalan dengan
tujuan pendidikan karakter yakni membngun kehidupan kebangsaan
yang
multiKultural, membangun peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya
luhur,
dan mampu berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan umat
manusia,
mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikir baik,
dan berlaku
baik serta keteladanan baik, membangun sikap damai, kreatif,
mandiri, dan
mampu hidup berdampingan dengan bangsa lain (Sa’adillah, 2015:
275).
Jurnal Ta’dib Volume 16 No.2 (Desember 2013) yang ditulis
oleh
Deswita, “Konsep Pemikiran Ibnu Sina tentang Pendidikan
Akhlak”.
Penulisan ini menjelaskan tentang pendidikan akhlak yang
mengintegrasikan
nilai-nilai idealitas dengan pandangan pandangan pragmatis.
Seperti
pendidikan anak harus dimulai dengan pendidikan al-Qur’an tetapi
dengan
tidak memberatkan jasmani dan akal pikirannya. Dalam
mengembangkan
pendidikan akhlak, ia menggunakan metode diskusi dan pergaulan
anak,
Karen pendidikan akhlak anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan
dimana ia
berada, pada dsarnya anak memiliki sifat meniru. Menurut Ibnu
Sina sarana
pendidikan akhlak, bisa lewat teks-teks Arab klasik atau syi’ir,
karena lewat
sarana ini banyak nilai kemuliaan yang terkait dengan akhlak
mulia.
-
Penulisan Subaidi, buku berjudul “Abdul Wahab Asy-Sya’rani:
Sufisme
dan Pengembangan Pendidikan Karakter” tahun 2015. Dari penulisan
ini
menjelaskan tentang pemikiran Abdul Wahab Asy-Sya’rani terkait
dengan
pemikiran pendidikan akhlak-tasawuf yang mendorong terhadap
pengembangan pendidikan karakter bangsa.
At-Tarbawi, jurnal kajian kependidikan Islam Volume 1 Nomor
1
Januari - Juni 2016, “Pendidikan Karakter berbasis Keagamaan
(Studi Kasus
di SDIT Nur Hidayah Surakarta)” yang ditulis oleh Fauzi Annur.
Dalam
tulisan ini mendeskripsikan tentang pendidikan karakter
dilaksanakan dalam
jalur proses pembelajaran dan diluar proses pembelajaran. Dalam
jalur diluar
proses pembelajaran, seperti halnya dalam program pembiasaan.
Proram ini
merupakan pembinaan yang didalamnya terdapat berbagai tema
nilai-nilai
karakter Islami. Untuk kelas-kelas tertentu sekali dalam
seminggu dilakukan
halaqah siswa dengan tujuan pengecekan terhadap siswa yang aktif
dalam
kegiatan peningkatan akhlak Islami tersebut.
Berdasarkan kajian pustaka tersebut dapat diketahui bahwa
sebenarnya
penulisan tentang pendidikan karakter sudah banyak dilakukan,
namun
analisanya belum pernah dilakukan untuk mengkaji pemikiran
Syaikh
Muhammad Amin Al- Kurdi dalam kitab Tanwĩrul Qulûb.
Kajian-kajian yang
ada juga belum spesifik menganalis teks salaf dan tema
pendidikan. Oleh
karena itu, maka penulisan ini merupakan sesuatu yang baru
dalam
memperluas kajian pendidikan karakter dalam kitab tersebut.
Alur Pemikiran Buku ini
1. Pendidikan Karakter
Pendidikan dapat diartikan sebagai pembimbingan secara
berkelanjutan (Suhartono, 2008: 15). Makna tersebut menunjukkan
bahwa
manusia sepanjang hidup selalu membutuhkan bimbingan.
Pendidikan
adalah proses secara terus menerus dialami oleh manusia
sepanjang hayatnya
(Wiyani, 2013: 5). Pendidikan merupakan seluruh kegiatan
yang
direncanakan serta dilaksanakan secara teratur dan terarah di
lembaga
pendidikan sekolah (Suhartono, 2008: 46). Sedangkan Ki Hajar
Dewantara
mendifinisikan pendidikan sebagai upaya menumbuhkan budi
pekerti
(karakter) pikiran (intelect) dan tubuh anak. Ketiganya tidak
boleh
dipisahkan, agar anak dapat tumbuh dengan sempurna (Samani &
Hariyanto,
2012: vii).
Oleh karena pendidikan itu merupakan pembimbingan dan upaya
-
13
menumbuhkan budi pekerti maka penulisan ini mengkaji lebih
detail terkait
dengan pendidikan karakter. Secara harfiyah, karakter berarti
kualitas mental
atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi. Dalam Kamus
psikologi
dinyatakan bahwa karakter adalah kepribadian yang ditinjau dari
titik tolak
etis atau moral (Suhartono, 2008: 20). Menurut Kamus Besar
Bahasa
Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau
budi pekerti
yang membedakan seseorang dari yang lain (Kurniawan, 2014: 28).
Karakter
merupakan sesuatu yang dibangaun secara terus menerus secara
berkesinambungan melalui harmoni pikiran dan perbuatan, pikiran
demi
pikiran. Perbuatan demi perbuatan (Samani & Hariyanto, 2012:
41).
Pendidikan karakter merupakan salah satu program prioritas
pembangunan nasional oleh pemerintah. Hal ini secara implisit
telah
ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Tahun
2005-2025 (Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2007). Keberadaan
pendidikan karakter sebagai misi pertama dari sekian misi,
guna
mewujudkan visi pembangunan nasional. Diantaranya adalah
terwujudnya
karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia dan
bermoral
berasarkan Pancasila. Menurut Undang-Undang Sistem
Pendidikan
Nasional No.20 Tahun 2003, pendidikan diartikan sebagai usaha
sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran
agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi
dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, penegndalian
diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketramplan yang
diperlukan
dirinya dan masyarakat. Pendidikan berfungsi untuk
mengembangkan
kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat
manusia.
Karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan,
akhlak,
atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang
lain
(Depdiknas, 2005: 1270). Pendidikan karakter bisa diartikan
sebagai sebuah
bantuan sosial agar individu dapat bertumbuh dalam
menghayati
kebebasannya dalam hidup bersama orang lain di dunia (Kusuma,
2007: 4).
Tujuan dari pendidikan karaker adalah untuk meningkatkan
mutu
penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada
pencapaian
pembentukan karakter dan akhlak anak didik secara utuh, terpadu
dan
seimbang (Muslich, 2014: 81).
Konsep pendidikan karakter prespektif Islam lebih dikenal
dengan
pendidikan akhlak. Secara historis, pendidikan karakter
merupakan misi
utama para Nabi dan Rasul (Tim Direktorat Pendidikan Madrasah,
2010:
-
34). Salah satunya adalah misi pendidikan Karakter yang tertuang
dalam
QS. Al-Ahzab: 21:
رَ َلَقْد َكاَن َلُكْم ِفي َرُسولي اَّللهي ُأْسَوٌة َحَسَنٌة
ليَمْن َكاَن يَ ْرُجو اَّللهَ َواْليَ ْوَم اآلخي َوذََكَر اَّللهَ
َكثيريًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.
Nabi Saw. diutus Allah sebagai suri teladan bagi umat
disetiap
waktu, saat dan tempat (Ulwan, 1981: 634). Pendidikan karakter
dipahami
sebagai upaya penanaman kecerdasan dalam berpikir, penghayatan
dalam
bersikap, dan berperilaku sesuai dengan nlai-nilai luhur
diwujudkan dalam
interaksi dengan Tuhannya, diri sendiri, antar sesama, dan
lingkungannya.
Oleh karenanya, pendidikan karakter tidak bisa hanya sekedar
mentransfer
ilmu pengetahuan tetapi perlu proses, contoh teladan, pembiasaan
atau
pembudayaan dalam lingkungan sekolah, keluarga, dan
masyarakat
(Maksudin, 2013: 17).
Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu
secara
mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji
dan
menginternalisasi, serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter
dan akhlak
muliasehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Untuk
mewujudkan
karakter tersebut, khususnya yang mengacu pada nilai-nilai
sufistik dan
Islam, akan dilakukan kajian secara mendalam dalam kitab
Tanwĩrul Qulûb
karya Syaikh Muhammad Amin al Kurdi terkait dengan pendidikan
karakter
yang memiliki relevansi dengan pengembangan karakter bangsa.
Teori yang Digunakan
Penulisan ini menggunakan jenis library research dengan
metode
deskriptif kualitatif. Tujuannya untuk mendeskripsikan dan
menganalisis
pemikiran orang secara individu maupun kelompok (Sukmadinata,
2012: 60),
dalam konteks penulisan ini adalah Syaikh Muhammad Amin al Kurdi
dalam
kitab Tanwĩrul Qulûb.
Sumber data primernya adalah kitab Tanwĩrul Qulûb (Sugiyono,
2012:
326). Sedangkan data sekunder yang penulis gunakan adalah buku
referensi,
-
15
jurnal ilmiah, serta data lain yang berkaitan dengan pendidikan
karakter.
Selain itu, buku-buku atau penulisan seputar pendidikan karakter
lainnya.
Teknik pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan secara
langsung dengan menggunakan dokumen berbentuk tulisan dan
karya
monumental dari seseorang, yaitu Amin Al-Kurdi sebagai ulama
besar lahir
pada abad ke-13 di kota Irbil dekat kota Moshul di Irak
(Al-Kurdi, t.t.: 3).
Analisis data dalam penulisan ini menggunakan metode
deskriptif
analisis, penulis berusaha untuk mengumpulkan data dan
menyusunnya
kemudian dianalisis dan diinterpretasikan dari data-data
tersebut, guna untuk
membuka pesan yang terkandung dalam kitab Tanwĩrul Qulûb karya
Syaikh
Muhammad Amin Al-Kurdi, dengan menggunakan metode deduksi
(Al-
Kurdi, t.t.: 44), artinya secara umum isi dan kandungan teks
kitab Tanwĩrul
Qulûb yang mendiskusikan soal pendidikan akhlak dan keislaman
secara
umum kemudian ditarik sebuah kesimpulan khusus yaitu
pendidikan
karakter.
-
BAB II
SUFISME DAN PENDIDIKAN KARAKTER
Pengertian Sufisme
ada abad ke-2 hijriah, banyak umat Islam yang memperbincangkan
kata
tasawuf. Mereka memaknai tasawuf banyak dikaitkan dengan
pakaian
kasar yang disebut shuff atau wool kasar. Hal demikian merupakan
simbol
kesederhanaan mereka (Nicholson, 1996: 3).
Tasawuf dalam bahsa inggris di sebut juga sufisme (Sufism).
Sufisme
Islam adalah proses peleburan dan penggabungan semua jala-jala
sistem
berpikir dan merasa yang dianut oleh sebagian umat Islam
hingga
terwujudnya suatu sentrum sebagai identias wujudiah
(eksistensi)
kemanusiaan yang berorientasi kepada ketuhanan (Siregar, 1999:
12).
Ajaran Islam sufistik adalah ajaran yang lebih mengedepankan
aspek
hakikat dan substansi ajaran legal-formal.Islam corak seperti
ini lebih
menekankan titik temu nilai-nilai kemanusiaan. Ajaran ini
menekankan
pandangan bahwa manusia sebagai makhluk Allah yang diciptakan
dengan
tujuan tertentu. Ketidakmampuan seseorang menunaikan ajaran
agama yang
dianutnya itu wilayah merupakan keterbatasan sebagai manusia.
Allah SWT.
yang berhak menghitung dan mengukur penyimpangan perbuatan
dan
perilaku hamba-Nya
(Umar/Net/https://www.rmol.co/read/Pengaruh-Ajaran-
Sufisme/diakses tanggal 17 Oktober 2018, pukul 10.22 WIB).
Artinya,
komunikasi dan hubungan langsung dengan Allah berlaku
taraf-taraf yang
berbeda hingga mencapai “kesatuan paripurna”, yaitu tidak ada
yang terasa
kecuali Yang Maha Esa. Hal demikian dikatakan tangga
transcendental yang
tingkatan-tingkatannya berakhir oada dzat yang transenden
(Sihab, 2001: 29).
Tujuan yang mendasar dari ajaran tasawuf adalah membersihkan
hati
(tasfiyatul qalb), maka perlu berganti pakaian mewah menjadi
pakaian
kesederhanaan dan tawadhu’. Orientasi ajaran tasawuf hanya
kepada Tuhan,
ia tidak merosot kepada derajat umat manusia pada umumnya,
hingga
kejadian-kejadian dunia tidaklah mempengaruhinya (Sholikhin,
2004: 6).
Sebagaimana terminologi tasawuf yang dijelaskan oleh para ahli,
seperti
Imam Junaidi al-Baghdai, bahwa tasawuf adalah membersihkan hati
dari apa
yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang
meninggikan
P
-
17
budi pekerti, memadamkan sifat-sifat kelemahan manusia, menjauhi
segala
seruan dari hawa nafsu, menghendaki sifat-sifat suci keruhanian,
dan
bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang terlebih
penting
dan terlebih kekal, menaburkan nasehat kepada sesame umat,
memegang
teguh janji dengan Allah dalam segala hakikat, dan mengikuti
contoh
Rasulullah dalam segala syari’at (Kurniawan, 2013: 11-12).
Sementara
makna tasawuf menurut Imam Ghazali adalah akhlak atau karakter.
Orang
yang memberikan bekal akhlak atasmu, berarti ia memberikan atas
dirimu
dalam tasawuf, maka jiwanya adalah menerima (perintah) untuk
beramal
karena mereka sesungguhnya melakukan suluk kepada sebagian
akhlak
karena keadaan mereka yang ber suluk dengan nur (cahaya)
iman
(Kurniawan, 2013: 11-12).
Sedangkan tasawuf menurut Hamka adalah akhlak yang luhur
(ihsan)
yang merupakan refleksi penghayatan keagamaan esoteric yang
mendalam,
tetapi tidak dengan serta merta melakukan pengasingan diri
(uzlah). Tasawuf
ini menekankan perlunya keterlibatan diri dalam masyarakat
dan
menanamkan kembali sikap positif terhadap kehidupan (Kurniawan,
2013:
11-12).
Menurut Junaidy al-Baghdadi dalam Abdullah sebagaimana
dikutip
Asep Kurniawan bahwa tasawuf adalah membesihkan hati dariapa
yang
mengganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang meninggikan
budi
pekerti, memadamkan sifat-sifat kelemahan manusia, menjauhi
segala seruan
hawa nafsu, menghendaki sifat-sifat suci keruhanian, dan
bergantung pada
ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang terlebih penting dan
terlebih kekal,
menaburkan nasehat kepada sesama umat, memegang teguh janji
dengan Allah
dalam segala hakikat, dan mengikuti contoh Rasulullah dalam
segala syari’at
(Abdullah, 2007: 11-12).
Amin Al-Kurdi (t.t.: 406) memberikan pengertian tasawuf adalah
ilmu
yang bisa mengetahui kondisi baik dan buruknya jiwa, cara
menyucikan dari
karakter tercela dan menghiasi dengan sifat-sifat terpuji, cara
suluk dan
menuju kepada Allah. Adapun obyeknya adalah merupakan pekerjaan
hati
dan indra dari aspek pembersihan dan membeningkannya. Sedangkan
buah
dari tasawuh adalah hati menjadi bersih, mengetahui alam ghaib
dari segi
perasaan dan eksistensi, selamat di akhirat, beruntung dengan
ridha Allah,
memperoleh kebahagiaan abadi, menyinari hati dan
membeningkannya, agar
tersingkap hal-hal yang agung dan memperjelas sesuatu, dimana
penglihatan
hati tidak bisa melihat.
-
Dari pengertian tasawuf diatas, menurut Amin Al-Kurdi intinya
adalah
bahwa ajaran tasawuf itu tashfiyatul qalb (pembersihan hati)
melalui berbagai
jalan dan cara sesuai dengan ajaran yang telah diperoleh dari
guru mereka
masing-masing, dan diselaraskan dengan ajaran al-Qur’an dan
sunnah
Rasulullah Saw. dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah..
Dengan kata
lain ajaran tasawuf perlu merujuk pada pedoman syari’at yang
telah
digariskan kemudian melandasi perilaku tariqah, menuju
hakikat.
Memahami Arti Karakter
Pendidikan karakater belakangan ini menjadi terending topik
utama
pendidikan. Ia menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak
anak bangsa.
Pendidikan karakater diharapkan mampu menjadi basic utama
dalam
mensuksekan Indonesia Emas 2025. Studi tentang karakter, sudah
lama
menjadi pokok perhatian para tokoh muslim dunia, para
ulama-kyia, para
psikolog, para pendidik. Apa pengertian karakter tersebut, bisa
dipahami
secara berbeda-beda oleh para ahli sesuai dengan penekanan dan
pendekatan
mereka masing-masing.
Makna penting pendidikan karakter adalah optimalisasi
berbaagai
muatan karaketr yang baik dan positif yang menjadi modal
dasar
pengembangan individu dan bangsa. Aktualisasi pendidikan
karakter
sebenarnya dapat melalui cita-cita dan tujuan nasional yang
mencakup usaha
mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan membangun manusia
Indoesia
yang cerdas dan berbudaya. Dalam konteks cerdas dan berbudaya
dan
kepribadian dimaknai memilki kecerdasan emosional, dengan kata
lain
berkarakter mulia atau berbudi luhur, dan berakhlakul
karimah.
Sedangkan berbudaya memiliki arti sebagai kemampuan dan
kapasitas
untuk menangkap dan mengembangkan nilai-nilai moral dan nilai
kemanusiaan
yang beradab dalam sikap dan tindakan berbangsa dan bernegara
dengan penuh
tanggung jawab. Lebih lanjut Philips (2000) menyebutkan bahwa
pendidikan
karakter harus melibatkan semua pihak, antara lain; rumah
tangga, sekolah, dan
lingkungan sekolah lebih luas (masyarakat). Oleh karenanya
langkah-langkah
yang perlu dilakukan adalah menyambung kembali hubungan dan
jaringan
pendidikan yang terputus antara ketiga hubungan tersebut.
Charakter building
tidak akan berhasil selama antara ketiga komponen tersebut
kurang ada
keseimbangan dan harmonisasi (Yuliana, 2010: 94-95).
Terminologi karakter memiliki banyak pengertian. Dalam KBBI
karakter
diartikan sebagai tabiat, watak, sefiat-sifat kejiwaan, akhlak
atau budi pekerti
-
19
yang membedakan seseorang dari pada yang lain (Pusat Bahasa,
2005: 1270).
Watak dapat dimaknai sifat batin manusia yang mempengaruhi
segenap pikiran
dan tingkah laku, budi pekerti serta tabiat dasar. Musfiroh
(2008: 27) mengatakan
bahwa karakter mengacu pada serangkaian sikap perilaku
(behavior), motivasi
(motivation), dan ketrampilan (skill) yang meliputi keinginan
untuk melakukan
hal yang terbaik. Sedangkan Semiawan (Sudarsono, 1999:17)
mendeskripsikan
bahwa karakter adalah keseluruhan kehidupan psikis seseorang
yang merupakan
hasil interaksi antara faktor endogen dan eksogin atau
pengalaman dari seluruh
pengaruh lingkungan (Suhardi, 2012: 318-319). Mohammad Fakhry
Gaffar
(2010: 4) mendefinisikan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah
proses
tranformasi nilai-nilai kehidupan kehidupan untuk di
tumbuhkembangkan
dalam keperibadian seseorang sehingga menjadi satu dalam
perilaku
kehidupan orang itu. Dalam definisi tersebut ada tiga ide
pikiran penting,
yaitu: 1) proses transformasi nilai-nilai, 2) ditumbuh
kembangkan dalam
kepribadian, dan 3) menjadi satu dalam perilaku (Gaffar, 2010:
4).
Pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter identik
dengan
akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia
yang
universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam
rangka
berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama
manusia,
maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran,
sikap,
perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma
agama,
hukum, tata karma, budaya, dan adat istiadat. Dari konsep
karakter ini
muncul konsep pendidikan karakter (character education). Ahmad
Amin
menjadikan kehendak (niat) sebagai awal terjadinya akhlak
(karakter) pada
diri seseorang, jika kehendak itu diwujudkan dalam bentuk
pembiasaan
sikap dan perilaku (Amin, 1995: 62).
Pendidikan karakter dalam prespektif Islam diartikan dengan
pendidikan akhlak. Kata akhlak dari bahsa Arab khuluqun artinya
budi
pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat, tata karma, sopan
santun, adab
dan tindakan. Kata akhlak Kata akhlak juga terambil dari kata
khalaqa atau
khalqun artinya kejadian, serta erat kaitannya dengan khaliq
artinya
menciptakan, tindakan atau perbuatan, sebagaimana terdapat kata
al-khaliq
yang mempunyai arti mencipta, dan makhluq yang artinya
diciptakan
(Hamid dan Saebani, 2013: 43). Islami dalam Hasan Alwi (2010:
328)
artinya bersifat keislaman, atau mengandung unsur-unsur serta
nilai-nilai
Islam.
-
Strategi Pendidikan Karakter
Pendidikan Karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai
karakter
kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan,
kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut,
baik terhadap
Tuhan, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan
sehingga
menjadi manusia insan kamil (Nugroho, 2011: 138). Pendidikan
Karakter
menurut Ratna Megawangi adalah sebuah usaha untuk mendidik
anak-anak
agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mengaplikasikan
hal
tersebut dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat
memberikan
sumbangsih positif kepada lingkungan sekitar. Nilai-nilai
karakter yang perlu
ditanamkan kepada anak-anak adalah nilai-nilai universal yang
mana seluruh
agama, tradisi, dan budaya pasti menjunjung tinggi nila-nilai
tersebut. Nilai-
nilai universal ini harus dapat menjadi perekat bagi seluruh
anggota
masyarakat walaupun berbeda latar belakang budaya, suku, dan
agama
(Megawangi, 2007: 93).
Menurut Majid dan Andayani (2012: 186) bahwa dalam proses
pembentukan dan pendidikan karakter, setidaknya ada tiga
strategi yang
perlu dialui, yaitu: 1) Moral Knowing/ Learning to Know. Tahapan
ini
merupakan langkah awal dalam pendidikan karakter. Dalam langkah
ini
tujuan diorientasikan pada penguasaan pengetahuan tentang
nilai-nilai.
Murid diharapkan harus mampu membedakan nilai-nilai akhlak mulia
atau
terpuji dan akhlak buruk atau tercela serta nilai-nilai
universal; memahami
secara logis dan rasional atas makna penting akhlak mulia dan
bahaya
akhlak buruk atau tercela dalam kehidupan, mengenal kepribadian
Nabi
Muhammad Saw. sebagai figur teladan akhlak mulia, sebagaimana
ajaran
Islam; 2) Moral Loving/ Moral Feeling. Langkah ini dimaksudkan
untuk
menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap nilai-nilai
akhlak mulia.
Tahap ini menjadi sasaran pendidik dari demensi emosional murid,
hati,
atau jiwa, bukan lagi akal, rasio dan logika. Seorang guru
menyentuh emosi
murid sehingga tumbuh kesadaran, keinginan, dan kebutuhan
terhadap nilai-
nilai akhlak mulia dam dirinya. Guna mencapai langkah ini
seorang guru
bisa memasukkan kisah-kisah yang menyentuh hati, modelling,
atau
kontemplasi. Dalam hal ini, murid diharapkan juga mampu menilai
diri
sendiri (muhasabah) atas beberapa kekurangan yang ada; 3) Moral
Doing/
Learning to do. Pada tahap ini diharapkan para murid telah
mempraktikkan
nilai-nilai akhlak terpuji dalam pola kehidupan mereka. Jika
selama
perubahan tingkah laku terpuji belum terlihat walaupun sedikit,
maka
-
21
selama itu pula seseorang memiliki beberapa pertanyaan yang
sesegera
mungkin dicari jawabannya. Teladan merupakan guru yang
paling
baikdalam internalisasi nilai, sedangkan langkah berikutnya
adalah
pembiasaan dan motivasi (Lickona, 1991: 21).
Sumber dan Nilai Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter dikembangkan dari sumber-sumber sebagai
berikut: 1) Agama. Untuk menjaga tatanan masyarakat Indonesia
selalu
berdasar pada norma ketuhanan yang tercermin dalam ajaran agama;
2)
Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila telah
tertanam kuat
sejak nenek moyang bangsa memulai membangun peradaban bangsa
Indonesia. Ia menjadi sumber nilai pendidikan karakter yang
teruji dari
bebrabagai tantangan zaman. Nilai ini diwujudkan dalam setiap
tutur kata,
berpikir, dan perilaku sehari-hari; 3) Budaya. Nilai ini menjadi
dasar dalam
memaknai suatu peristiwa, fenomena, dan kejadian yang
berlangsung dalam
setiap interaksi antar anggota masyarakat; 4) Tujuan Pendidikan
Nasional.
Tujuan ini terdiri dari berbagai nilai kemanusiaan yang harus
dimiliki waga
Negara Indonesia. Hal ini dilakukan agara secara nyata bisa
dilaksanakan
pendidikan karakter di berbagai lembaga pendidikan.
Berpijk dari sumber-sumber diatas, maka dihasilkan sejumlah
nilai-
nilai pendidikan karakter untuk pendidikan karakter bangsa,
yaitu:
1) Religius: Merupakan sikap yang memegang teguh perintah
agamanya dan menjauhi larangan agamanya, seraya saling
menjaga
kerukunan dan kesatuan antar berbeda pemeluk agama dan
keyakinan; 2)
Jujur: Merupakan sikap yang selalu berpegang teguh untuk
menghindari
keburukan dengan menjaga perkataan, perasaan dan perbuatan untuk
selalu
berkata dengan benar dan dapat dipercaya; 3) Toleransi: Perilaku
yang
cenderung menghargai perbedaan dengan mengurangi mempertajam
perselisihan karena perbedaan. Perilaku ini diwujudkan dengan
penerimaan
atas perbedaan, dan keragaman sebagai suatu kekayaan bangsa
Indonesia
untuk mewujudkan fungsi toleransi dalam kehidupan berbangsa
dan
bernegara; 4) Disiplin: Tindakan yang menjaga dan mematuhi
anjuran yang
baik dan menghindari dan menjauhi segala larangan yang buruk
secara
konsisten dan berkomitmen; 5) Kerja keras: Mencurahkan segala
kemampuan
dan kemauan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan sesuai hasil
yang
diharapkan dengan tepat waktu dan berorientasi lebih pada proses
dan
perkembangan daripada berorientasi pada hasil; 6) Kreatif:
Selalu mencari
https://guruppkn.com/fungsi-toleransi-dalam-kehidupan
-
alternatif penyelesaian suatu permasalahan dari berbagai sudut
pandang. Ini
dilakukan untuk mengembangkan tata cara atau pemahaman terhadap
suatu
masalah yang sudah ada terlebih dahulu melalui pendekatan sudut
pandang
yang baru; 7) Mandiri: Meyakini potensi diri dan melakukan
tanggung jawab
yang diembannya dengan penuh percaya diri dan berkomitmen;
8)
Demokratis: sikap dan tindakan yang menilai tinggi hak dan
kewajiban
dirinya dan orang lain dalam kedudukan yang sama. Ini dilakukan
untuk
memberikan pengakuan secara setara dalam hak berbangsa seraya
merawat
kemajemukan bangsa indonesia; 9) Rasa ingin tahu: suatu sikap
dan tindakan
yang selalu berupaya untuk mengetahui apa yang dipelajarinya
secara lebih
mendalam dan meluas dalam berbagai aspek terkait; 10)
Semangat
kebangsaan: Suatu sudut pandang yang memandang dirinya sebagai
bagian
dari bangsa dan negaranya. Sudut pandang yang mewujudkan sikap
dan
perilaku yang akan mempertahankan bangsa dari berbagai ancaman,
serta
memahami berbagai faktor penyebab konflik sosial baik yang
berasal dari
luar maupun dari dalam;11) Cinta tanah air: tekad yang terwujud
dalam
perasaan, perilaku dan perkataan yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian,
dan penghargaan yang tinggi terhadap aspek sosial, fisik budaya,
ekonomi,
dan politik dari bangsa dan negaranya; 12) Menghargai prestasi:
perasaan
bangga terhadap kelebihan dan keunggulan yang dimiliki dirinya
sebagai
individu maupun dirinya sebagai anggota masyarakat. Perasaan
bangsa ini
akan mendorong untuk memperoleh pencapaian-pencapaian yang
positif bagi
kemajuan bangsa dan Negara; 13) Bersahabat/komunikatif: Perilaku
yang
ditunjukan dengan senantiasa menjaga hubungan baik dengan
interaksi yang
positif antar individu dalam suatu kelompok dalam kehidupan
berbangsa dan
bernegara; 14) Cinta damai: Perilaku yang selalu mengutamakan
kesatuan
rasa dan perwujudan harmoni dalam lingkungan yang majemuk
dan
multicultural; 15) Senang membaca: Rasa ingin meningkatkan
pengetahuan
dan pemahaman melalui gemar mencari informasi baru lewat bahan
bacaan
maupun mengajak masyarakat di lingkungan sekitarnya untuk
memupuk
perasaan gemar membaca ini; 16) Peduli sosial: Kepekaan akan
segala
kesulitan yang dihadapi oleh lingkungannya dan masyarakatnya.
Kepekaan
ini kemudian terwujud dalam tindakan, perasaan, dan perbuatan
yang
berulang-ulang dan menjadi kebiasaan dalam mengatasi berbagai
kesulitan
yang dihadapi oleh orang-orang di sekitarnya, yang mana individu
tidak
terfokus pada dirinya sendiri dan bekerja sama dalam
mengatasi
permasalahan yang dihadapi; 17) Peduli lingkungan: Menjadikan
pelestarian
https://guruppkn.com/cara-merawat-kemajemukan-bangsa-indonesiahttps://guruppkn.com/cara-merawat-kemajemukan-bangsa-indonesiahttps://guruppkn.com/faktor-penyebab-konflik-sosial
-
23
alam sebagai salah satu dasar perilaku dan kebiasaan yang
dicerminkan di
lingkungannya agar terus terjadi siklus pembaharuan di alam
yang
berkesinambungan secara alami. Ini dilakukan agar alam yang
ditempatinya
tetap lestari dan abadi; 18) Tanggung Jawab : Menyadari bahwa
segala hal
yang diperbuat oleh dirinya bukan hanya merupakan tugas dan
kewajiban
bagi dirinya sendiri, namun juga keluarga, lingkungan,
masyarakat, negara,
dan Tuhan Yang Maha Esa (Maunah, 2015: 92).
-
BAB III
MENGENAL SYAIKH AMIN AL-KURDI DAN KITAB
TANWĩRUL QULŪB
Biografi Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi
min Al-Kurdi, nama lengkapnya Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi,
juga dipanggil Syaikh Sulaiman Al- Kurdi. Ia dilahirkan pada
abad ke-
13 di kota Irbil dekat kota Moshul di Irak (Al-Kurdi,t.t.: 3),
sebuah kota yang
cukup populer terutama setelah serangan dan pendudukan Amerika
Serikat
atas negeri itu. Ayah Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi adalah
seorang
Ulama Besar, pemuka dalam Thariqat al Qadiriyah, sebuah thariqat
yang
telah dirintis oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani. Guru Syaikh
Muhammad
Amin Al-Kurdi yang terkenal adalah Syaikh Al-Quthub, Maulana
Umar,
seorang wali Allah yang tinggal di Irbil, Irak. Ia banyak banyak
memperoleh
gemblengan dengan berbagai ilmu syari’at dan thariqat,
sehingga
membuatnya memiliki dasar yang kuat dalam ilmu lahir maupun
batin (Al-
Kurdi,t.t.: 4).
Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi adalah seorang pelajar yang
gigih, di mana masa mudanya dihabiskan untuk belajar berbagai
disiplin ilmu
agama dari guru-guru besar yang masyhur kala itu. Setelah
menamatkan
pelajaran di Irbil, ia memulai perjalanan spiritual mengunjungi
orang-orang
shalih dan makam orang-orang shalih. Kemudian dengan bekal
tawakal
kepada Allah dan do’a dari para guru, ia memulai perjalanan ke
Hijaz dengan
menumpang kapal laut dari kota Basrah, Irak. Ia tinggal di
Mekkah belajar
dari guru-guru terkemuka di Mekkah dan tenggelam dalam berbagai
amal
shalih. Pada tahun 1300 H. ia berangkat ke Madinah dan menetap
di sana,
belajar dan menempa rohani di Baqi’ dan jabal Uhud. Sepanjang
berada di
kota Madinah, Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi selalu menunaikan
ibadah
haji setiap tahun (Al-Kurdi,t.t.: 11).
Pada akhir usianya, ia pindah ke Mesir karena didorong rasa
rindu dan
cinta kepada para Ahlul Bait Rasulullah Saw., dimana pada saat
itu sangat
banyak menetap di Mesir, ketimbang di Mekkah dan Madinah. Saat
menetap
di Mesir inilah ia meneguk habis pelajaran-pelajaran berharga
dari kitab fiqih
as-Syafi’i dan kitab-kitab hadis yang utama. Guru-guru Syaikh
Muhammad
A
-
25
Amin Al-Kurdi dalam ilmu fiqih antara lain: Syaikh Asymuni dan
Syaikh
Musthafa ‘Izz as-Syafi’i, dua orang ulama Universitas Al-Azhar
paling
terkemuka di zaman itu di Mesir. Dalam ilmu hadis dan tafsir, ia
belajar dari
Syaikh Salim al-Bisyri, serta para Masyaikh di al Azhar dengan
menamatkan
kitab Shahih Bukhari dan Muslim, Musnad as-Syafii, al Muwatha’
Imam
Malik, serta Tafsir Baidhawi (Al-Kurdi,t.t.: 13). Ia diangkat
sebagai Syaikh
besar pada thariqat al-Khalidiyah dan Naqsyabandiyah di
Mesir.
Kemasyhurannya menyinari seluruh Mesir sebagai Ulama ahli
Fiqih
madzhab Syafi’i dan Syaikh Besar Thariqat Naqsyabandi. Dan
Syaikh
Muhammad Amin Al-Kurdi wafat pada tahun 1332 H. dan dimakamkan
di
sebelah makam dua Imam besar dunia, Imam Jalaluddin al Mahali
dan Imam
Tajuddin as-Subki (Al-Kurdi,t.t.: 55).
Corak pemikiran Syaik Muhammad Amin Al-Kurdi
Amin al-Kurdi adalah seorang Ulama Besar, sekaligus guru
Thariqat
al Qadiriyah, sebuah thariqat yang telah dirintis oleh Syaikh
Abdul Qadir Al-
Jaelani. Corak pemikirannya banyak dipengaruhi oleh gemblengan
guru-
gurunya, dengan ilmu-ilmu syari’at dan tasawuf (thariqat),
sehingga
membuatnya memiliki dasar yang kuat dalam ilmu lahir maupun
batin (Al-
Kurdi,t.t.: 4). Perjalanan spiritualnya dengan cara mengunjungi
orang-orang
shalih dan makam orang-orang shalih guna memperoleh bimbingan
khusus
dari merka.
Corak ilmu syariat atau ilmu fiqih yang ia tekuni adalah fiqih
as-Syafi’i
secara khusus, dan ajarn fiqih dari madzhab selain Syafi’i pada
umumnya.
Dalam ilmu hadis dan tafsir seperti hadis-hadis dalam shahih
bukhari dan
muslim, musnad as-Syafii, al-Muwatha’ Imam Malik, serta Tafsir
Baidhawi
(Al-Kurdi,t.t.: 13).
Pemikiran Amin Al-Kurdi berdasarkan atas tiga prinsip keislaman
yang
sangat kuat, yaitu akidah, fiqih dan tasawuf. Ketiganya tidak
keluar dari nash
al-Qur’an dan sunnah Nabi Saw., juga diperkuat dengan ijma’,
sehingga ia
mengatakan dengan tegas bahwa telah menjadi keharusan atas umat
Islam
yang hidup di akhir zaman untuk taqlid (mengikuti) kepada ajaran
para imam
mujtahid dari faham ahlussunnah dan imam madzhab empat.
Dengan
mengikuti mereka berarti akan selamat dalam kehidupan
beragama.
Sebaliknya, ia menegaskan bahwa barangsiapa yang tidak ikut
salah seorang
dari para Imam ini, (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), dan
mengucapkan
bahwa ia terlepas dari Madzhab yang empat serta hanya menggali
langsung
-
dari kitab al-Qur’an dan sunnah saja, maka orang tersebut tidak
akan selamat,
dan termasuk orang yang sesat lagi menyesatkan.
Amin al Kurdi diangkat sebagai Syaikh Besar pada thariqat
al-
Khalidiyah dan Naqsyabandiyah di Mesir. Karena
kemasyhurannya
menyinari seluruh Mesir sebagai Ulama ahli Fiqih madzhab Syafi’i
dan
Syaikh Besar Thariqat Naqsyabandi.
Kitab Tanwĩrul Qulûb
Kitab Tanwĩrul Qulûb terbagi atas tiga bagian besar yaitu; 1)
bagian
akidah diniyyah (akidah keagamaan) yang terdiri atas 3 bab
(Al-Kurdi, t.t.:
9). 2) bagian fiqih mengukuti ajaran Madzhab Imam as-Syafi’i
yang terdiri
atas 11 bab yang dibagi menjadi 94 pasal (Al-Kurdi,t.t.: 93),
dan 3) bagian
tasawuf dibagi atas 22 pasal (Al-Kurdi,t.t.: 401). Terkait
dengan pembahasan
akidah dengan jelas, Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi mengatakan
bahwa
pembahasan isi kitab hanya berdasarkan kepada ajaran akidah
Ahlussunah
wal Jama’ah al-Asy’ariyah dan Maturidiyah dengan menyertakan
dalil-dalil
aqli dan naqli serta menolak syubhat yang dimunculkan oleh
ajaran sesat di
luar Ahlussunah wal Jama’ah (Al-Kurdi,t.t.: 42).
Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi mengatakan bahwa Allah
memiliki
20 sifat yang wajib atas Allah antara lain: Wujud, Qidam,
Baqa’,
Mukhalafatu Lilhawadits, Qiyamuhu Binafsih, Wahdaniyah, Qudrat,
Iradat,
Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar, Kalam, Qadiran, Muridan Aliman,
Hayyan,
Sami’an, Bashiran, Mutakaliman. Dan 20 sifat yang Mustahil atas
Allah
antara lain: Adam, Huduts, Fana’, Mumatsalutu Lilhawadits,
Qiyamuhu
Bighayrih, Ta’addud, Ajzu, Karahah, Jahil, Maut, Samamu, Umyu,
Bukmu,
Kaunuhu ‘Ajizan, Kaunuhu Karihan, Kaunuhu Jahilan, Kaunuhu
Mayyitan,
Kaunuhu Asama, Kaunuhu A’ma, Kaunuhu Abkama (Al-Kurdi,t.t.:
11).
Adapun sifat Jaiz yaitu melakukan segala sesuatu yang mungkin
atau
meninggalkannya (Al-Kurdi,t.t.: 25). Dalil atas sifat ini adalah
surat Al-
Qashash ayat: 68 “dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki
dan
memilihnya.”
Dalam bab Fiqih, ia menjelaskan secara lengkap hampir
seluruh
permasalahan merujuk pada fiqih Imam Syafi’i. Meskipun
pembahasannya
tidak dilakukan secara panjang lebar namun mencukupi untuk bekal
para
pelajar pesantren memahami ilmu fiqih dalam mazhab Syafi’i,
karena di
samping cukup lengkap dalam berbagai permasalahan yang
diperlukan, juga
disertai dengan dalil-dalil pendukung dari ayat-ayat al-Qur’an
dan hadis-
-
27
hadis Nabi. Dalam kitab ini juga terdapat pembahasan bab
Farã’idh (warisan)
dengan cukup luas.
Sedangkan dalam pembahasan tasawuf, ia memulai dengan
pembahasan lima pokok yang menjadi sifat tasawuf, yaitu: 1).
Taqwa kepada
Allah, wara’ dan istiqamah, 2). Mengikuti sunnah Nabi perkataan
dan
perbuatannya, 3). Memalingkan diri dari makhluk, bersabar dan
bertawakal
kepada Allah, 4). Ridha 5). Taubat dan Syukur kepada Allah.
Demikian
pemahaman Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi atas tiga prinsip
dasar
akidah, fiqih dan tasawuf, sehingga ia mengatakan dengan tegas
bahwa telah
menjadi keharusan atas umat yang hidup di akhir zaman ini untuk
bertaqlid
kepada Imam-Imam Mujtahid dari faham Ahlussunnah dan Imam
madzhab
yang Empat. Dengan mengikuti mereka berarti akan selamat
dalam
kehidupan beragama. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa barangsiapa
yang
tidak ikut salah seorang dari para Imam ini, (Hanafi, Maliki,
Syafi’i, dan
Hambali), dan mengucapkan bahwa ia terlepas dari Madzhab yang
empat
serta hanya menggali langsung dari kitab al Qur’an dan Sunnah
saja, maka
orang tersebut tidak akan selamat, dan termasuk orang yang sesat
lagi
menyesatkan. Menurutnya, hal itu terjadi adalah karena
keterbatasan waktu
orang-orang sekarang dalam memahamkan agama, serta banyaknya
pengaruh
rusak akibat lemahnya moralitas, kedurhakaan yang meluas, dan
tingginya
kecintaan pada hal-hal yang bersifat kebendaan duniawi. Di
samping tidak
tersusun rapinya buku-buku pembahasan masalah agama di luar
Madzhab
yang Empat ini. Apalagi dilihat tentang kedalaman ilmu, jelas
orang sekarang
tertinggal jauh jika dibandingkan dengan ilmu para Imam Madzhab
yang
Empat.
-
BAB IV
AJARAN TASAWUF
DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER
Tasawuf dan Pengembangan Karakter
emperbincangkan ajaran tasawuf erat sekali dengan
mendiskusikan
soal akhlak atau karakter Islam. Akhlak menjadi pondasi dan
dasar
dari pelaksanaan ajaran tasawuf, sehingga dalam praktik, tasawuf
sudah
seharusnya mementingkan akhlak atau karakter.
1. Prinsip Takhalli: Menjauhkan Diri Dari Karakter Tercela
Menurut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi bahwa akhlak atau
karakter itu ada dua bagian, yaitu ruang lingkup karakter
tercela (akhlak adz-
dzamĩmah) dan ruang lingkup karakter terpuji (akhlak
al-hamĩdah). Akhlak
atau karakter tercela, merutnya termasuk najis ma’nawiyah dimana
dengan
akhlak atau karakter ini seseorang tidak mungkin bisa taqarrub
kepada Tuhan
yang Maha Suci. Akhlak atau karakter tercela mengantarkan
manusia menuju
kehancuran, karena Allah melarang pribadi seorang yang beriman
dan
beragama Islam memiliki sifat tercela.
Diantara karakter tercela yang perlu dihindari adalah; setiap
ucapan dan
perbuatan yang dilarang al-Qur’an, setiap sesuatu yang
diharamkan Allah,
jika direnungkan ternyata merupakan perbuatan yang keji, buruk
dan maksiat
yang menimbulkan kerugian, setiap cerita mengenahi orang-orang
yang
menantang Allah dan Rasul-Nya yang disampaikan al-Qur’an
bertujuan agar
umat Islam menjauhinya, dan setiap ancaman yang diancamkan
Allah.
Adapun jenis-jenis sifat akhlak atau karakter tercela, menurut
Syaikh
Muhammad Amin Al-Kurdi adalah digambarkan seperti; hasad,
al-hiqd, al-
kibr, al-‘ujub, al-bahil, riya’, cinta jabatan dan kedudukan,
pemarah,
menggunjing, adu domba, pembohong, banyak omong, dan lainnya
(Al-
Kurdi, t.t.: 429).
Adapun penjelasan secara rinci tentang karakter tercela yang
harus
dijauhi oleh para pelaku ajaran tasawuf adalah sebagai
berikut:
M
-
29
1) Al-Hasad.
Hakikat al-hasad, menurut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi (t.t
:
429-430) adalah sikap tidak senang terhadap ni’mat Allah atas
saudaranya
(orang lain) kemudian ia merasa senang atas hilangnya ni’mat
dari saudara
tersebut. Sikap dan perilaku hasad tersebut tergolong perilaku
dan sikap yang
buruk dan juga merupakan penyakit hati yang harus dihindari.
Cara memutus
perilaku tercela seperti itu dari diri seseorang adalah melalui
jalan tasawuf.
Perilaku tercela seperti hasad ini sebagaimana sabda Rasulullah
Saw.:
َاْْلََسُد َيَُْكُل ْاْلََسَناتي َكَما ََتُْكُل النهاُر
ْاْلََطبَ “Dengki itu memakan kebaikan-kebaikan seperti api memakan
kayu bakar”.
(HR. Ibnu Majah).
2) Al-Hikdu atau dengki
Al-Hikdu, adalah sikap dengki. Artinya, sikap yang
didalamnya
terdapat rasa memusuhi, benci dan memutus kebahagiaan orang
lain. Sifat ini
adalah sifat yang tercela yang timbul akibat perilaku hasud,
meninggalkan
hubungan kekrabatan dan mencari keburukan orang lain. Sifat ini
juga sangat
berbahaya dalam kehidupan, baik kehidupan rumah tangga
maupun
kemasyarakatan, karena tidak ada orang yang suka dengan
seseorang yang
berkarakter seperti ini (Al-Kurdi, t.t.: 431).
3) Al-Kibr
Al-Kibr, adalah diri merasa besar dan menganggap orang lain
dibawahnya. Padahal dalam ajaran Islam sikap dan perilaku
sombong itu
termasuk perbuatan iblis, sebagaimana Syaikh Muhammad Amin
Al-Kurdi
(t.t., 431) bahwa sesungguhnya sombong itu awal dari perbuatan
maksiat
kepada Allah. Sedangkan kata al-kibr terambil dari kata takabur,
berasal dari
bahasa Arab takabbara-yatakabbaru artinya sombong atau
membanggakan
diri. Banyak hal yang menyebabkan orang menjadi sombong akibat
takabur
di antaranya dalam ilmu pengetahuan, amal dan ibadah, nasab,
kecantikan,
dan kekayaan. Takabur termasuk termasuk sifat yang tercela yang
harus di
hindari (Samarqandi, 1986: 501). Lebih lanjut Syaikh Muhammad
Amin Al-
Kurdi (t.t.: 431) mengatakan bahwa al-kibr semakna dengan
ta`azum, yakni
menumbuhkan keagungan dan kebesaran dirinya atas orang lain.
Sehubugan
-
dengan perilaku tercela, secara tegas Syaikh Muhammad Amin
Al-Kurdi
merujuk terhadap sabda Nabi Saw.:
ْن كيْبٍ ثْ َقاُل َذرهٍة مي ال َيْدُخُل اْْلَنهَة َمْن َكاَن ِفي
قَ ْلبيهي مي“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya
terdapat
kesombongan sebesar biji sawi.”
Agama Islam mengajarkan agar manusia berakhlak mulia atau
berkarakter luhur. Salah satu akhlak atau karakter tercela yang
harus dijauhi
oleh umat Islam adalah sikap takabur atau sombong. Orang yang
sombong
merasa dirinya sempurna dan memandang dirinya di atas orang
lain.
4) Al-‘Ujub
Al-‘Ujub, menurut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi (t.t.: 432)
adalah
kesombongan dalam diri dengan rasa paling sempurna dalam segi
ilmu dan
amal. Sedangkan menurut Bisyr Al-Hafi mendefenisikan pengertian
‘ujub
adalah “menganggap hanya amalanku saja yang banyak dan
memandang
remeh amalan orang lain.”
Pada era sekarang barangkali gejala paling dominan yang tampak
pada
orang yang terkena penyakit ‘ujub adalah sikap suka melanggar
hak dan
menyepelekan orang lain. Sedangkan menurut Sufyan
Ats-Tsauri,
mengatakan bahwa ‘ujub adalah perasaan takjub terhadap diri
sendiri hingga
seolah-olah dirinyalah yang paling utama daripada yang lain.
Padahal boleh
jadi ia tidak dapat beramal sebaik amal saudaranya itu dan boleh
jadi
saudaranya itu lebih wira’i dari perkara haram dan lebih suci
jiwanya
ketimbang dirinya”.
5) Al-Bakhil
Al-Bakhil, menurut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi adalah
enggan
memberi kepada orang lain khawatir hartanya berkurang (Al-Kurdi,
t.t.: 432).
Untuk memperkuat penjelasan tentang al-bakhil ini, Syaikh
Muhammad
Amin Al-Kurdi mengutip firman Allah dalam QS. Ali Imron:
180;
ْن َفْضليهي ُهَو َخرْيًا ََلُْم َبْل ُهَو شَ ُ مي َا َآََتُهُم
اَّلله يَن يَ ْبَخُلوَن ِبي ر ٌّ ََلُْم َواَل ََيَْسََبه الهذيُلوا
بيهي يَ ْوَم اْلقيَياَمة ُقوَن َما َبَي َسُيَطوه
-
31
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang
Allah
berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa
kebakhilan itu
baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi
mereka.
Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di
lehernya di hari
kiamat”.
Kata al-bahil banyak diterjemahkan banyak orang dengan istilah
kikir,
artinya menahan untuk memberi sesuatu yang semestinya diberikan.
Seperti
pernyataan Al-Jurjani (1988: 42) mendefinisikan bahwa bakhil
dengan
menahan hartanya sendiri, yakni menahan memberikan sesuatu pada
diri
orang lain yang sebenarnya tidak berhak untuk ditahan atau
dicegah, mislanya
uang, makanan, minuman, dan lain-lain. Sifat ini merupakan sifat
seseorang
yang amat tercela dan hina, karenan ia tidak akan mengeluarkan
harta yang
wajib dikeluarkan baik dalam ketentuan agama seperti zakat,
nafkah keluarga
atau menurut ketentuan perikemanusiaan seperti sedekah, infaq,
dan hadiah.
6) Ar-Riya’
Riya’ secara bahasa adalah melihat karena ketika berbuat,
selalu
berusaha agar dilihat dan perhatikan orang lain untuk memperoleh
pujian.
Sedangkan secara istilah adalah sikap atau tindakan
seseorang
memperlihatkan amal perbuatan serta ibadah kepada orang lain.
Denga arti
lain bahwa riya’ adalah melakukan amal ibadah dengan niat karena
selain
Allah, ingin memperoleh pujian orang lain. Dalam konteks ini,
seseorang
dalam melakukan amal ibadah diperlukan niat karena Allah bukan
karena
orang atau manusia. Niat yang hanya karena Allah adalah sangat
menentukan
kadar iman seseorang dalam melakukan amal ibadah atau pekerjaan,
agar
amalnya memperoleh ridla Allah. Sebagaimana sabda Nabi Saw.
yang
artinya; "Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya
dan
seseorang akan memperoleh balasan sesuai dengan apa yang
diniatkan.
" (HR. Bukhari dan Muslim). Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi (t.t.:
434)
memperkuat pernyataan ini dengan mengutip hadits riwayat Ibnu
Jurairin at-
Thabari bahwa “Allah tidak menerima amal seseorang dimana dalam
amal
tersebut terdapat riya’ walaupun sebutir dzarrah”. Artinya sikap
dan perilaku
seseorang yang mengedepankan sifat riya’ merupakan suatu amal
yang dicela
oleh agama, karena ia merupakan akhlak atau karakter yang harus
dijauhi oleh
umat Islam.
-
Riya’ telah dikategorikan perbuatan syirik kecil; demikian ini
ungkapan
yang dikemukakan Rasulullah Saw.:
ْركُ َعَلْيُكمْ افُ َأخَ َما َأْخَوفَ إينه رْ َوَما قَاُلْوا
ْاأَلْصَغُر، الشيِّ َرُسْولَ يَ ْاأَلْصَغرُ كُ الشيِّيْ إيَل
اْذَهبُ ْوا اْلقيَياَمةي يَ ْومَ َوَجله َعزه هللاُ يَ ُقْولُ
الريَِّيُء، قَالَ هللاي؟ نْ َيا ِفي اُءْونَ تُ رَ الهذي الدُّ
ْنَدُهمُ َتَيُدْونَ َهلْ أمحد( اه)رو اْْلََزاءَ عي
“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada
kalian adalah
syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil
wahai Rasulullah
SAW?”, Beliau menjawab, “Riya.! Dan Allah akan berkata pada hari
kiamat,
terhadap mereka-meeka yang riya, ‘pergilah kalian kepada
orang-orang
yang dahulu di dunia kalian riya’, apakah kalian mendapatkan
ganjaran dari
mereka?” (HR. Ahmad).
Oleh karenanya, ada tiga sebab yang memotori timbulnya riya:
Pertama
karena ingin mendapatkan pujian dan nama baik di masyarakat,
Kedua,
kekhawatiran mendapat celaan manusia, dan ketiga, menginginkan
sesuatu
yang dimiliki orang lain (tamak). Ketiga hal ini didasari dari
hadits riwayat
Imam Bukhari:
ه َصلهى هللاٌ َعَلْيهي َوَسلهمَ فَ َقالَ يَ هللاُ َعْنُه، َأنه
َأْعَرابييًّا َسَألَ النهبي ْ ُمْوَسى َرضي َعنْ َأبييهًة،
َوالرهُجلُ يُ َقاتيلُ ليرُيَى َمكَ انُُه، َوالرهُجلُ يُ َقاتيلُ يَ
َرُسْولَ هللاي، الرهُجلُ يُ َقاتيلُ محَي
يَ اْلُعْلَيا ُّ َصلهى هللاُ َعَلْيهي َوَسلهمَ َمنْ قَاَتلَ
ليَتُكوْ نَ َكليَمةَ هللاي هي ليلذيِّْكري، فَ َقالَ النه بيْ
َسبيْيلي هللاي .فَ ُهوَ ِفي
“Dari Abu Musa al-Asyari ra, mengatakan bahwa seorang Badui
bertanya
kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah SAW, seseorang
berperang
karena kekesatriaaan, seseorang berperang supaya posisinya
dilihat oleh
orang, dan seseorang berperang karena ingin mendapatkan
pujian?
Rasulullah Saw. menjawab “Barang siapa yang berperang karena
ingin
menegakkan kalimatullah, maka dia fi sabilillah.” (HR.
Bukhari).
-
33
Agar seseorang bisa menghindari sifat dan perilaku yang
mengandung
riya’ maka diharapakan mengikuti petunjuk Ali bin Abi Thalib.
Ali bin Abi
Thalib tentang ciri-ciri riya’ yang terdapat dalam jiwa
seseorang:
قَالَ َعليي ٌّ َكرهمَ هللاُ َوْجَهُه، ليْلُمَرائييْ َعاَلَماٌت،
َيْكُسلُ إيَذا َكانَ َوحْ َدُه، َويَ ْنَشطُ إيَذا ُقصُ إيَذا ُذمه ،
َويَزيْيدُ ِفي اْلَعَملي إيَذا أُْثََن، َويَ ن ْ َكانَ ِفي
النهاسي
“Orang yang riya, terdapat beberapa ciri, (1) malas, jika
seorang diri, (2)
giat jika di tengah-tengah orang banyak, (3) bertambah semangat
beramal
jika mendapatkan pujian, (4) berkurang frekwensi amalnya jika
mendapatkan
celaan.”
7) Al-Ghadlab
Ghadhab secara harfiah berarti “marah” atau “pemarah”. Sifat
pemarah
dapat membakar jiwa dan menghanguskan akal. sifat ini dilarang
oleh Allah
dan Rasul-Nya. Rasulallah bersabda: “Sesungguhnya ada seorang
laki-laki
berkata: Si Fulan marah kepada si Fulanah berilah saya wasiat.
Nabi Saw.
bersabda: Janganlah kamu marah, (kemudian) orang itu
mengulangi
perkataannya beberapa kali. Nabi Saw. bersabda: Janganlah kamu
marah”.
Islam memberikan rambu-rambu cara menghindari sifat ghadhab,
antara lain: merenungkan dan memahami ayat Al-Qur’an dan hadis
yang
menjelaskan keutamaan orang yang dapat menahan amarah; munculkan
tekad
untuk menahan amarah guna memperoleh keutamaan dan pahala dari
Allah;
takut akan murka Allah; merenungkan dan memahami dampak
negatif
ghadhab yang dapat menimbulkan permusuhan dan balas dendam;
membayangkan dan merenungkan paras buruk orang lain yang sedang
marah.
Selanjutnya membayangkan hal tersebut terjadi pada diri sendiri;
dan
memahami bahwa marah merupakan buah dari perilaku ‘ujub.
Oleh karena itu, orang yang beriman hendaknya bisa menghindari
sifat-
sifat ghadlab, antara lain:
a) Merenungkan dan memahami ayat al-Qur’an dan hadis yang
menjelaskan
keutamaan orang yang dapat menahan amarah.
b) Munculkan tekad untuk menahan amarah guna memperoleh
keutamaan
dan pahala dari Allah.
c) Takut akan balasan dan murka Allah.
-
d) Merenungkan dan memahami dampak negatif gadab yang dapat
menimbulkan permusuhan dan balas dendam.
e) Membayangkan paras buruk orang lain yang sedang marah dan
selanjutny
membayangkan hal tersebut terjadi pada diri sendiri.
f) Memahami bahwa marah merupakan buah dari perilaku ‘ujub.
Rasulullah Saw. mengajarkan agar seseorang melakukan hal-hal
berikut:
a) Mohon perlindungan kepada Allah dari gadlab.
b) Duduklah bila kemarahan belum reda.
c) Apabila belum merasa reda, berbaringlah. Berbaring di
tanah
dimaksudkan agar manusia merasakan bahwa dirinya adalah
makhluk
yang tidak memiliki daya upaya kecuali atas kehendak-Nya.
d) Apabila belum reda, berwudu atau mandilah. Hal ini
dikarenakan emosi
berasal dari api dan api akan padam jika disiram dengan air atau
tanah
(Zubaidi, 2016: 2001).
8) Al-Ghibah
Dalam bahasa Indonesia ghibah diartikan menggunjing. Secara
bahasa
ghibah artinya tidak ada. Artinya, menyebutkan orang lain yang
tidak hadir
dihadapan penyebutnya dengan sesuatu yang tidak senang oleh
yang
bersangkutan, namun jika keburukan yang disebut itu tidak
tebukti atau tidak
ada pada orang yang bersangkutan itu disebut dengan istilah
buhtan atau
kebohongan besar. Dengan demikian walaupun keburukan yang
diungkap
oleh si penggunjing memang disandang oleh yang di pergunjingkan
maka
tetaplah dilarang (Sanusi, 2012: 58-59).
Menurut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi, bahwa ghibah adalah
membicarakan orang lain dengan hal yang tidak disenanginya bila
ia
mengetahuinya baik yang disebut-sebut itu kekurangan yang ada
pada badan,
ucapan, perbuatan, agama, keduniaan, hingga pada pakaian, rumah
atau
kendaraannya (Al-Kurdi, t.t.: 436).
Ghibah tidak terbatas dengan lisan saja, namun juga bisa terjadi
dengan
tulisan atau isyarat seperti kerdipan mata, gerakan tangan,
cibiran bibir dan
sebagainya. Sebab intinya adalah memberitahukan kekurangan
seseorang
kepada orang lain. Suatu ketika ada seorang wanita datang kepada
‘Aisyah
ra. Ketika wanita itu sudah pergi ‘Aisyah mengisyaratkan dengan
tangannya
-
35
yang menunjukkan bahwa wanita itu berbadan pendek. Rasulullah
Saw.
lantas bersabda “Engkau telah melakukan ghibah”
Termasuk contoh ghibah adalah gerakan memperagakan orang
lain
seperti menirukan cara jalan seseorang, cara berbicaranya dan
lain-lain.
Bahkan yang demikian ini lebih parah daripada ghibah karena di
samping
mengandung unsur memberitahu kekurangan orang, juga mengandung
tujuan
mengejek atau meremehkan. Larangan perilaku tercela ini merujuk
pad
firman Allah dalam QS. al-Hujurat; 12;
ًتا َفَكريْهُتُموه يهي َمي ْ َواَل يَ ْغَتْب بَ ْعُضُكْم بَ
ْعًضا َأَيُيبُّ َأَحدُُكْم َأْن َيَُْكَل َْلَْم َأخي“Dan janganlah
sebagian kamu menggunjingkan sebagian yang lain.
Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya
yang
sudah mati? Maka tentulah kamu merasajijik kepadanya.”
9) An-Namĩmah atau adu domba
Pengertian an-namĩmah menurut para ahli, diantaranya adalah:
Imam
al-Baghawi, namimah adalah mengutip suatu perkataan dengan
tujuan untuk
mengadu domba antara seseorang dengan si pembicara. Sedangkan
menurut
Imam Ibnu Hajar al-Asqalaani mengatakan bahwa namimah adalah
membeberkan sesuatu yang tidak suka untuk dibeberkan. Baik yang
tidak
suka adalah pihak yang dibicarakan atau pihak yang menerima
berita,
maupun pihak lainnya. Baik yang disebarkan itu berupa perkataan
maupun
perbuatan. Baik berupa ‘aib ataupun bukan.
Adapun terminologi namimah menurut Syaikh Muhammad Amin Al-
Kurdi (t.t.: 437) adalah memindahkan perkataan sebagian orang
kepada orang
lain dengan tujuan merusak antara mereka. Syaikh Muhammad Amin
Al-
Kurdi, lebih lanjut mengatakan bahwa kaum muslimin ber-ijma’
(sepakat)
bahwa namimah hukumnya haram, karena ia tergolong perilaku yang
bernilai
dosa besar. Dalil keharaman namimah dari Al Qur’an, As Sunnah
dan Ijma’,
yaitu dalam QS.al-Qalam:10-11:
نٍي ) ٍف َمهي يٍم )01َواَل ُتطيْع ُكله َحاله اٍء بيَنمي (00(
ََههاٍز َمشه “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak
bersumpah lagi hina
yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah.”
Lebih lanjut Amin Al-Kurdi memperkuat terkait dengan
larangan
namimah dengan mengutip hadits nabi Saw.:
-
الََيْدُخُل ْاْلَنهَة َنَهام
“Tidak akan masuk surga orang yang mengumbar fitnah”
Islam mengajarkan agar seseorangan bisa menjauhi karakter
tercela
seperti namimah, karena pelaku namimah diancam dengan adzab di
alam
kubur, sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Abbas meriwayatkan,
“(suatu
hari) Rasulullah Saw. melewati dua kuburan, lalu bersabda,
“Sesungguhnya
penghuni kedua kubur ini sedang diadzab. Dan keduanya bukanlah
diadzab
karena perkara yang berat untuk ditinggalkan. Yang pertama,
tidak
membersihkan diri dari air kencingnya. Sedang yang kedua,
berjalan kesana
kemari menyebarkan namimah.” (HR. Al-Bukhari). Hal tersebut
juga
diperkuat dengan sabda nabi Saw. berikut:
ََبني ُ َعَلْيهي َوَسلهَم َعني الَرُجَلنْيي اَلَلَذْيني رَآَُهَا
يُ َعذه ُ َصلهى اَّلله ِفي فَ َقْد َأْخَبَ النهبيَن البَ وْ
ْستيْبَاَء مي ، َوَيْْتُك اآلَخُر االي ْيَمةي َبنْيَ النهاسي لنهمي
ي َأَحُدَُهَا َبي َا، ََيْشي .قُ بُ ْوريَهي لي
“Nabi memberi khabar tentang dua laki-laki yang disiksa dalam
kubur; salah
satunya berjalan dengan mengumbar namimah anatara manusia, yang
lainya
tidak bersih setelah kencing”.
10) Al-Kidzb atau Pendusta.
Pendusta merupakan sifat seseorang yang berkata tidak sesuai
dengan
fakta-fakta yang ada. Dalam berkata, seseorang tidak
diperbolehkan
berdasarkan kejahilan, tetapi seharusnya berdasarkan informasi
yang akurat.
Sebagaimana ungkapan Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi bahwa
dikatakan
pendusta atau al-kidzb adalah orang yang menginformasikan
sesuatu tetapi
tidak sesuai dengan kenyataan fakta-faktanya. Dan sifat demikian
termasuk
karakter yang tercela dan termasuk perbuatan dosa. Agar sesorang
menjauhi
sifat pendusta ini,lebih lanjut Syaikh Muhammad Amin
Al-Kurdi
mempertegas dengan mengutip sabda nabi Saw.;
َي هللاُ َعْنُه قَاَل: قَاَل َرُسْوُل هللاي َصلهى هللاُ َعَلْيهي
عْن َعْبدي هللاي بني َمْسُعْود َرضيْي إيَل اْلَْ ه يَ ْهدي
ِّي،َوإينه اْلبي ْي إيَل اْلبي ْدَق يَ ْهدي نه الصِّي ،فَإي ْدقي
لصِّي نهةي، َوَسلهَم : َعَلْيُكْم َبي
-
37
يْ ًقا،َوَما يَ َزاُل الرهُجُل َيْصُدُق وَ دِّي ْنَد هللاي صي
ْدَق َحَّته ُيْكَتَب عي ُكْم يَ َتَحرهى الصِّي َوإييهْي إيَل
النهار، َوَما ْي إيَل اْلُفُجْوري، َوإينه اْلُفُج ْوَر َيه ْدي َب
يَ ْهدي نه اْلَكذي َب،فَإي َواْلَكذي
َب َحَّته ُيْك تَ َب عي ُب َويَ َتَحرهى اْلَكذي اَبً ْن َد هللاي
َك ذه يَ َزاُل الرهُجُل َيْكذي “Dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd ra, ia
berkata:“Rasûlullâh Saw. bersabda,
‘Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa
kepada
kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga. Dan
apabila
seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan
dicatat di
sisi Allâh sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian
berbuat dusta,
karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan
kejahatan
mengantarkan seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa
berdusta
dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai
pendusta
(pembohong)”.
2. Prinsip Tahalli: Menghiasi Diri Dengan karakter Terpuji
Beberapa ajaran tasawuf yang relevan dengan nilai-nilai
karakter
terpuji prespektif Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi adalah:
al-aqĩdah as-
shahĩhah (akidah yang benar), taubat, al-I’rădh ‘anil ma’siyat
(berpaling dari
maksiat) dan wa an-nadm ‘ala fi’liha (menyesal atas
melakukannya), al-
hayă’ minallah (malu kepada Allah), taat, sabar, wara’, zuhud,
qanaah, ridla,
syukur, memuji kepada Allah, sidqul hadĩts (jujur dalam
berbicara), al-wafa’
(menepati janji), adăul amănah (menjalankan amanah), tarkul
khiyănat
(meninggalkan berkhiyanat), menjaga hak bertetangga,
pemurah,
ifsyăussalam (menebar kedamaian), berperilaku baik, cinta
akhirat, tidak
cinta dunia, tidak membuat sakit terhadap orang lain, khauf,
roja’, tawakal,
menjaga harga diri, mahabatullah (cinta Allah), mengharap wushul
kepada
Allah, al-adab (berbudi pekerti), muhăsabatun nafs (evaluasi
diri),
husnudzan (berperasangka baik), al-mujăhadah (mujahadah),
meninggalkan
riya’ dan perdebatan, dzikrul maut (ingat mati), tafaquh
filqur’an
(memperdalam al-Qur’an), ikhlash. Dan apabila seorang murid
melakukan
berbagai akhlak atau karakter terpuji seperti ini dalam
mendekatkan diri
kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan menjadi orang yang
berbahagia
dunia dan akhirat (Al-Kurdi, t.t.: 440-441).
-
Untuk memperjelas nilai-nilai karakter terpuji tersebut adalah
sebagai
berikut:
1) al-Aqĩdah as-Shahĩhah (akidah yang benar)
Akidah merupakan pokok-pokok keimanan yang telah ditetapkan
oleh
Allah. Penanaman keimanan seseorang bukan secara dogmatis,
melainkan
melalui dalil baik naqli maupun aqli. Akan tetapi akal manusia
terbatas maka
tidak semua hal yang harus diimani dapat diindra dan dijangkau
oleh akal
manusia. Para ulama sepakat bahwa dalil-dalil aqli yang benar
dapat
menghasilkan keyakinan dan keimanan yang kokoh. Sedangkan
dalil-dalil
naqli yang dapat memberikan keimanan yang bisa diharapkan
hanyalah dalil-
dalil yang bersifat qath’i.
Akidah seperti yang diisyaratkan al-Qur’an adalah sebagai wadah
acuan
Allah, dimana umat manusia diminta supaya membentuk dirinya
dalam
perjalanan hidupnya mengikuti bentuk dan corak seperti yang
ditetapkan oleh
Allah tersebut. Akidah yang benar adalah akidah yang berdasar
al-Qur’an dan
as-Sunnah dengan dasar dan dalil yang pasti. Kaum muslimin
wajib
mempelajari dan mendalami ajaran akidah agar dapar terhindar
dari ajaran
yang sesat. Aqaid adalah beberapa perkara yang wajib diyakini
kebenarannya
oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang
tidak
bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan (al-banna, 1963:
465).
Sedangkan akidah menurut Abu Bakar Jabir Al-Jazairi (1978:
21):
ْن َقَضاَي ْاْلَقه َي ََمُْمْوَعٌة مي يهةي ْاملَُسلهَمةي َبيْ
اَْلَعقيْيَدُة هي ْطَرةي ْالَبَدهي لَعْقلي َوالهسْمعي َوْالفيتيَها
قَا حه َها َصْدرَُه َجازيًما بيصي ْنَسُان قَ ْلبَ َها َويُ ْثِني
َعَلي ْ َها ْاالي َها يَ ْعقيُد َعَلي ْ ًعا بيُوُجْودي طي
حُّ َاْن َيُكْوَن أَبَ اَلفُ َها أَنهُه ُيصي َا الَ يُ َري خي
داً.َوثُ بُ ْوِتي ‘Aqîdah adalah sejumlah kebenaran yang dapat
diterima secara umum
(axioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu, fitrah.
(Kebenaran) itu
dipatrikan (oleh manusia) di dalam hati (serta) diyakini
kesahihan dan
keberadaannya (secara pasti) dan ditolak segala sesuatu yang
berten-tangan
dengan kebenaran itu.
Akidah hampir semakna dengan iman. Ada sedikit perbedaan
antara
akidah dan iman. Iman adalah sesuatu yang diyakini di dalam
hati, diucapkan
dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan. Iman
mengandung tiga
aspek yaitu: 1) keyakinan dalam hati, 2) diucapkan dengan lisan,
3)
-
39
diamalkan melalui anggota badan. Sedangkan akidah berupa
keyakinan. Jadi,
jika akidah terkait dengan aspek dalam (aspek hati) dari iman,
iman tidak
hanya menangkut aspek hati, tetapi juga aspek luar. Aspek dalam
iman adalah
keyakinan dan aspek luarnya berupa pengakuan lisan dan
pembuktiannya
dengan amal perbuatan (Ghufran dan Zubaidi, 2016: 3).
Memang ada tiga unsur pokok dalam akidah Islam yang tidak
bisa
dipisahkan satu dengan yang lainnya. Artinya, jika sesorang
mengaku
berakidah Islam atau lebih mudahnya ia mengaku sebagai muslim,
maka
harus ada tiga unsur pokok ini didalam dirinya, yaitu Islam,
Iman, dan Ihsan.
Ketiganya mempunyai hubungan yang sangat erat (Zubaidi, 2018:
2-3).
Akidah Islam adalah sesuatu yang dipercayai dan diyakini
kebenarannya oleh hati manusia, sesuai ajaran Islam dengan
berpedoman
kepada al-Quran dan hadits. Aqidah Islam meliputi:
a) percaya adanya Allah dan segala sifat-sifat-Nya
b) percaya adanya malaikat-malaikat Allah
c) percaya kepada Kitab-kitab Allah
d) percaya kepada nabi dan rasul Allah
e) percaya keapda hari akhir dan sesuatu yang terjadi pada saat
itu
f) percaya kepada qadha’ dan qadar (Zubaidi, 2018: 3).
Dengan demikian akidah Islam adalah sesuatu yang dipercayai
dan
diyakini kebenarannya oleh hati manusia, sesuai ajaran Islam
dengan
berpedoman kepada al-Quran dan hadits. Aqidah Islam meliputi:
percaya
adanya Allah dan segala sifat-sifat-Nya (al-ĩman billăhi wa
sifătihi); percaya
adanya malaikat-malaikat Allah (al-ĩman bi malăikatillăhi);
percaya kepada
kitab-kitab Allah (al-ĩman bikităbillahi); percaya kepada nabi
dan rasul Allah
(al-ĩman binnabiyyihi wa rasûlihi; percaya keapda hari akhir
(al-ĩman
biyaumil Ãkhir) dan sesuatu yang terjadi pada saat itu; dan
percaya kepada
qadha’ dan qadar (al-ĩman bil qdlăi walqadari). Akidah
mempunyai
beberapa fungsi sebagai dasar dari akhlak atau karakter terpuji,
antara lain:
dasar bagi setiap tindakan manusia (akhlak atau karakter);
mendasari
terlaksananya akhlak terpuji atau karakter mulia; dan
membentengi diri
timbulnya akhlak atau karakter tercela (Zubaidi, 2018: 3).
Sikap mental yang menunjukkan karakter terpuji dari nilai
al-aqidah as-
shahihah relevansinya dengan pengembangan karakter bangsa
adalah:
a) Nilai religius, yaitu sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan
ajaran agama yang dianutnya. Artinya, sebagai umat Islam akan
patuh
-
dalam melaksanakan ajaran yaitu keyakinan dan akidah mereka
selalu
berpedoman pada al-Qur’an dan Hadits.
b) Nilai Damai, yaitu sikap, perkataan, dan tindakan yang
menyebabkan
orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran. Artinya,
ketenangan
dalam amal ibadah bagi kaum muslimin, dimana mereka yakin
benar
bahwa apa yang mereka dikerjakan sudah sesuai dengan nilai-nilai
ajaran
al-Qur’an, dan sunnah, dengan demikian hati mereka akan merasa
senang,
dan tentram sehingga dapat mendorong pada ketentram jiwa
mereka
dalamkehidupan sehari-hari.
c) Nilai Disiplin, yaitu, tindakan yang menunjukkan perilaku
tertib dan patuh
pada berbagai ketentuan dan peraturan. Artinya, kepatuhan
terhadap
ketentuan dan aturan yang dilegalkan oleh guru dan pendidik
mereka
semua bisa dikerjakan dengan baik dan benar serta tepat sesuai
dengan
ketentuan.
Bisa dipahami bahwa, akidah atau iman merupakn ruh dalam
ajaran
agama Islam karena manusia bisa diukur tinggi rendah derajatnya
atas dasar
keimanan dan taqwanya. Iman seseorang memiliki dampak sosial
yang tinggi
terhadap kehidupan bermasyarakat. Jika akidah atau keimanannya
baik maka
realisasi kehidupannya akan menjadi baik pula. Semua
aktifitasnya merujuk
atas dasar qudrah dan iradah Allah. Artinya, aktifitasnya
diorientasikan pada
pengabdian kepada Allah, tidak untuk kepentingan kesenangan
duniawi.
Mengenalkan seseorang dengan nilai-nilai ilahiyah (ketuhanan),
sikap
taqarrub kepada Allah, menumbuhkan rasa mahabah (cinta) kepada
Allah,
sikap tafwidh al-amr (pasrah urusan) kepada Allah, merupakan
bagian dari
pendidikan karakter mulia. Ajaran inilah yang akan membawa
manusia
berkarakter terpuji dan berkpribadian (Nugroho, 2017:
376-377).
Melalui ajaran al-aqĩdah as-shahĩhah tersebut, nilai-nilai utama
yang
ditekankan adalah karakter religius, karakter cinta damai,
karakter keteguhan
hati, karakter disiplin dan kemandirian. Disamping itu, ada sisi
rasionalitas
agama, karakter yang tampil kuat ini berasal dari rasio agama
(Nugroho,
2017: 370)
2) At-Taubat
Menurut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi, bahwa taubat
merupakan
tingkatan pertama yang harus dilalui seseorang yang sedang
menempuh jalan
tasawuf guna untuk mendekatkan diri kepada Allah. Taubat adalah
kembali
-
41
dari sifat-sifat tercela menuju sifat-sifat yang terpuji. Lebih
lanjut Amin Al-
Kurdi menyatakan bahwa orang yang kembali dari sesuatu yang
berselisih
dari ketentuan dengan merasa takut akan adzab atau siksa Allah
maka ia
dinamakan tăib. Dan orang yang kembali Allah karena malu atas
perbuatan
tersebut dilihat oleh-Nya, maka ia dinamakan munĩb. Sedangkan
orang yang
kembali kepada Allah atas dasar mengagungkan kebesaran Allah
maka ia
dinamakan awwăb. Maka wajib bagi seorang hamba sesegera mungkin
untuk
bertaubat agar bisa keluar dari murka Allah dan selamat dari
kerusakan yang
abadi (Al-Kurdi, t.t.: 418). Dalam memperkuat pentingnya taubat
bagi
seseorang untuk menuju kepada Allah, Amin Al-Kurdi mengutip QS.
An-
Nur: 31;
ُنوَن َلَعلهُكْم تُ ْفليُحون يًعا أَي َُّها اْلُمْؤمي َوتُ وبُوا
إيَل اَّللهي َجَي“Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai
orang-orang yang beriman
supaya kamu beruntung.”
Artinya, sebagai orang yang beriman setelah melakukan taubat
atas
semua kesaalah yang ia lakukan, kemudian melakukan tazkiyath
an-nafs
(pembersihan jiwa) dalam melaksanakan perintah Allah SWT.
sebagai bentuk
kepatuah kepada-Nya. Dalam merealisasikan pertaubatan kepada
Allah,
seseorang harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya adalah;
menyesal
atas beberapa dosa yang telah lewat; berniat tidak akan megulang
kembali
perbuatan yang ia lakukan; minta halal kepada orang dimusuhi
atas
kesalahan, kemudian berbuat baik kepada mereka (Al-Kurdi, t.t.:
421).
Tasawuf bertujuan agar manusia membangun poros hubungan
langsung
dengan Allah SWT. sehingga manusia menyadari benar bahwa
dirinya
berada sedekat mungkin dengan Allah. Ia (salik) harus menapaki
jalan
panjang berupa terminal-terminal spiritual yang mesti dilalui
dan penuh
dengan rintangan. Terminal atau maqam tersebut salah satunya
adalah taubat.
Nilai-nilai karakter yang dapat dibangun melalui pengamalan
ajaran
tasawuf seperti taubat ini adalah pengembangan karakter
religius, jujur, dan
tanggung jawab. Religius dapat dideskripsikan sebagai sikap dan
perilaku
yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama terkait dengan
penyesalan atas
kesalahan-kesalahan yang telah dikerjakan, untuk kembali
melakukakan
kebaikan, dan tidak akan mengulang lagi (Zubaidi, 2015: 151).
Karena dalam
literatur tasawuf, dosa dan kesalahan dimaknai sebagai
penghalanag (hijab)
-
dari al-Mahbub (Kekasih) yaitu Allah SWT. Oleh kareannya
menjauhkan diri
dari perilaku dosa dan kesalahan tersebut sangat-sangat
diharuskan,
mengingat hal tersebut tidak disukai oleh-Nya.
Sebagai orang yang ingin taqarrub kepada Allah, jika
melakukan
sebuah kesalahan hendaknya segera bertaubat dan sadar apabila
suatu ketika
karena kekhilafan ia berbuat dosa. Ia akan segera memohon ampun
dan
bertaubat kepada Allah SWT. dan berjanji tidak akan mengulangi
perbuatan
dosa tersebut.
Sebagai mana diterangkan dalam QS. An-Nisa’: 110;
يًما َ َيَيدي اَّللهَ َغُفورًا رَحي َوَمْن يَ ْعَمْل ُسوًءا َأْو
َيْظليْم نَ ْفَسُه ُثُه َيْستَ ْغفيري اَّلله“Dan barangsiapa yang
mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya,
kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah
Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang” (Zubaidi, 2018: 137).
Lebih lanjut Amin Al-Kurdi (t.t.: 420) mempertegas urgennya
taubat
dalam perjalanan orang yang mendaki jalan tasawuf guna
mendekatkan diri
kepada Allah. Sebagaimana hadits:
ُتْم لََتاَب َعَلْيُكْم – رواه ابن ماجه َماَء ُثُه تُ ب ْ
َلْوَعليْمُتْم َاْْلَطَاَيَحَّته تَ ب ْ ُلَغ السه Apabila kamu
sekalian mengetahaui beberapa kesalahan sampai menembus
langit, kemudian kamu sekalian bertaubat, maka Allah akan
menerima taubat
kamu sekalain.
Bisa dipahami bahwa, orang yang bertaubat itu sebagai kekasih
Allah,
dan orang yang bertaubat dari dosa dan kesalahan sebagaimana
orang yang
tidak mempunyai dosa sama sekali (Al-Kurdi, t.t.: 420).
Salah satu tujuan pendidikan sufistik adalah bagaimana seseorang
bisa
menata hati yang merupakan inti ajaran tasawuf sebagai penguatan
karakter
spiritual seperti perilaku taubat. Lewat ajaran taubat inilah
seseorang mampu
memahami dan mengenal Allah sebagai basic utama membentuk
karakter
terpuji.
3) al-I’rădh ‘anil ma’siyat (berpaling dari maksiat)
Dalam literatur Islam, maksiat bisa memasukkan kata yang
berdekatan
seperti sayyiah, khatiah, dan itsmun. Setiap orang beriman wajib
hukumnya
-
43
untuk menjauhi. Mewaspadai dan menghindari semua perbuatan
atau
karakter tercela tersebut sangat dianjurkan oleh agama, karena
semua itu
dilarang Allah.
Allah memberikan peringatan bahwa besuk dihari qiyamat
manusia
akan diminta sebuah pertanggungjawaban atas perbuatan yang
mereka
lakukan di dunia, disaat itu mulut mereka terkunci, tetapi
tangan, dan kaki
bisa berbicara untuk memberi kesaksian atas perbuatan mereka
sehari-hari.
Sebagaimana dalam QS. Yasin: 65:
بُ ونَ َا َكانُوا َيْكسي ْم َوَتْشَهُد َأْرُجُلُهْم ِبي يهي ْم
َوُتَكلِّيُمَنا أَْيدي هي َواهي اْليَ ْوَم ََنْتيُم َعَلى َأف
ْ“Pada hari ini (Kiamat) Kami tutup mulut-mulut mereka; dan
berkatalah
kepada Kami