Top Banner
p-ISSN: 2550-0058 e-ISSN: 2615-1642 Latif Abdullah 43 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019) TARI SAMA’ MAULAWIYYAH DAN MAKNA SUFISTIKNYA Latif Abdullah Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto d.a Kedungbanteng, Kab. Banyumas 53152 Email: [email protected] Abstrak Tasawuf telah menjadi istilah bagi masyarakat yang tumbuh berdasar perkembangan situasi dan kondisi yang terjadi. Sehingga kita menemukan makna tasawuf yang berbeda dalam setiap kurun waktu, bahkan hal itu bisa jadi dari setiap orang sufi juga mengalami perbedaan. Lebih dari itu, sangat mungkin terjadi seorang sufi yang satu dengan yang lain dalam satu kurun juga mempunyai definisi yang tak sama. Sebab, masing-masing sufi itu menuturkan definisinya sesuai apa yang dirasakan dalam eksperimennya, maupun intuisi ( dzauq) yang diterima. Perkembangan tasawuf dimulai setelah abad pertama Islam sebagai sebuah perlawanan terhadap semakin meningkatnya penyelewengan-penyelewengan dan perwujudan-perwujudan yang keliru dari ajaran-ajaran Islam, terutama yang dilakukan oleh penguasa saat itu. Para penguasa dan raja-raja sering kali menggunakan nama Islam untuk melegitimasi tujuan-tujuan mereka. Atau mengesampingkan aspek-aspek ajaran-ajarannya yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan atau gaya hidup mewah mereka. Sejak itu dan seterusnya, sejarah mencatat adanya kebangkitan kembali, pembaharuan, dan militansi yang semakin berkembang diantara kelompok-kelompok muslim yang tulus diseluruh wilayah Islam yang luas. Bangsa Arab pra Islam melakukan ritual kepercayaan mereka dengan melakukan gerakan berputar disela-sela ritual mengelilingi Ka’bah. Gerakan ini dibarengi dengan tarian, nyayian, teriakan-teriakan dan seruan-seruan yang membentuk sebuah festifal. Setelah kedatangan Islam maka Thawaf disekeliling Ka’bah ditetapkan dan dibuanglah tradisi menari, menyanyi, dan berteriak, bahkan mengharamkannya. Dan diganti dengan doa-doa yang baru yang sesuai dengan kedudukan dan tempat simbol yang disucikan orang-orang Islam ini. Tarekat Maulawiyah adalah tarekat yang dikenal baik dibarat maupun ditimur, karena kekhasan tarian Darwis berputarnya yang biasa dilakukan dengan durasi yang panjang. Syaikh Muhammad Kamal Al-Din Al-Hariri Zadah dalam Tibyan Wasail Al-Haqaiq Fi Bayani Salasil Al- Tharaiq menjelaskan tentang pondasi dasar tarekat Maulawiyya. Gerakan tari yang dilakukan para sufi Maulawi tidak lain adalah ekspresi kondisi ruhani para Darwisy/ sufi maulawi. Adakalanya juga gerakan tubuh ini bersifat spontanitas efek dari bersentuhan langsung dengan objek tertentu. Sebagi contoh tatkala membaca Al-Qur’an kadang seseorang bergoyang kekanan-kiri secara berulang- ulang ini adalah hasil dari peresapan dan hadirnya hati tatkala membacanya. Kata Kunci: Tasawuf, Tarekat Maulaiyah, Sufi, Tari Sama’ A. Pendahuluan Secara teminologis, tasawuf telah didefinisikan secara beragam, hingga timbul kesan bahwa satu definisi dengan definisi yang lain saling bertentangan. Namun, pada umumnya, kata tasawuf beserta sejumlah derifatnya didefinisikan sebagai berikut: 1 1 Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, Irfan, dan Kebatinan (Jakarta: Lentera, 2004), hlm. 26.
31

TARI SAMA’ MAULAWIYYAH DAN MAKNA SUFISTIKNYA

Oct 03, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
TARI SAMA’ MAULAWIYYAH DAN MAKNA SUFISTIKNYA
Latif Abdullah
d.a Kedungbanteng, Kab. Banyumas 53152
Email: [email protected]
Abstrak Tasawuf telah menjadi istilah bagi masyarakat yang tumbuh berdasar perkembangan situasi
dan kondisi yang terjadi. Sehingga kita menemukan makna tasawuf yang berbeda dalam setiap
kurun waktu, bahkan hal itu bisa jadi dari setiap orang sufi juga mengalami perbedaan. Lebih dari
itu, sangat mungkin terjadi seorang sufi yang satu dengan yang lain dalam satu kurun juga
mempunyai definisi yang tak sama. Sebab, masing-masing sufi itu menuturkan definisinya sesuai
apa yang dirasakan dalam eksperimennya, maupun intuisi (dzauq) yang diterima.
Perkembangan tasawuf dimulai setelah abad pertama Islam sebagai sebuah perlawanan
terhadap semakin meningkatnya penyelewengan-penyelewengan dan perwujudan-perwujudan yang
keliru dari ajaran-ajaran Islam, terutama yang dilakukan oleh penguasa saat itu. Para penguasa dan
raja-raja sering kali menggunakan nama Islam untuk melegitimasi tujuan-tujuan mereka. Atau
mengesampingkan aspek-aspek ajaran-ajarannya yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan atau gaya
hidup mewah mereka. Sejak itu dan seterusnya, sejarah mencatat adanya kebangkitan kembali,
pembaharuan, dan militansi yang semakin berkembang diantara kelompok-kelompok muslim yang
tulus diseluruh wilayah Islam yang luas. Bangsa Arab pra Islam melakukan ritual kepercayaan
mereka dengan melakukan gerakan berputar disela-sela ritual mengelilingi Ka’bah. Gerakan ini
dibarengi dengan tarian, nyayian, teriakan-teriakan dan seruan-seruan yang membentuk sebuah
festifal. Setelah kedatangan Islam maka Thawaf disekeliling Ka’bah ditetapkan dan dibuanglah
tradisi menari, menyanyi, dan berteriak, bahkan mengharamkannya. Dan diganti dengan doa-doa
yang baru yang sesuai dengan kedudukan dan tempat simbol yang disucikan orang-orang Islam ini.
Tarekat Maulawiyah adalah tarekat yang dikenal baik dibarat maupun ditimur, karena
kekhasan tarian Darwis berputarnya yang biasa dilakukan dengan durasi yang panjang. Syaikh
Muhammad Kamal Al-Din Al-Hariri Zadah dalam Tibyan Wasail Al-Haqaiq Fi Bayani Salasil Al-
Tharaiq menjelaskan tentang pondasi dasar tarekat Maulawiyya. Gerakan tari yang dilakukan para
sufi Maulawi tidak lain adalah ekspresi kondisi ruhani para Darwisy/ sufi maulawi. Adakalanya juga
gerakan tubuh ini bersifat spontanitas efek dari bersentuhan langsung dengan objek tertentu. Sebagi
contoh tatkala membaca Al-Qur’an kadang seseorang bergoyang kekanan-kiri secara berulang-
ulang ini adalah hasil dari peresapan dan hadirnya hati tatkala membacanya.
Kata Kunci: Tasawuf, Tarekat Maulaiyah, Sufi, Tari Sama’
A. Pendahuluan
Secara teminologis, tasawuf telah didefinisikan secara beragam, hingga timbul kesan
bahwa satu definisi dengan definisi yang lain saling bertentangan. Namun, pada umumnya, kata
tasawuf beserta sejumlah derifatnya didefinisikan sebagai berikut: 1
1 Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, Irfan, dan Kebatinan (Jakarta: Lentera, 2004), hlm. 26.
44 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)
1. Shafa’ yang bererti kejernihan atau kesucian. Sufi adalah orang yang suci atau jernih.
Memang kaum sufi berusaha menyucikan diri melalui ibadah dan riyadhah, terutama
melalui shalat dan puasa.
2. Shaf (baris), yaitu barisan dalam shalat berjamaah, shaf pertama ditempati orang-orang
yang lebih awal datang ke masjid dan lebih banyak membaca Al- Qur’an serta berdzikir
sebelum tiba waktu shalat.
3. Ahl Al-Shufah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi Muhammad SAW ke madinah
dengan meninggalkan hata kekayaan mereka di mekah. Di madinah mereka hidup
layaknya orang-orang miskin, tinggal di beranda masjid Nabi dan tidur diatas batu dengan
memakai shuffah (pelana) sebagai bantal. Ahl Al-Shufah meski tuna wisma dan miskin,
berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia.
4. Shufi adalah kata jamid (yang tidak memilki asal kata atau derivat) dalam bahasa Arab. Ia
hanyalah gelar yang disandangkan kepada seseorang yang berperilaku zuhud.
5. Ma’ruf Al-Karkhi mendefinisikan tasawuf sebagai berikut:
“mengambil hakikat-hakikat sesuatu dan memutuskan dari apa-apa yang ada pada
makhluk”
6. Sari As-Saqati mendefinisikannya sebagai:
“Tasawuf adalah akhlak yang luhur yang dimunculkan oleh dzat yang maha mulia bagi
kaum yang mulia pula.”
.7 “Tasawuf adalah meninggalkan sepenuhnya kenikmatan-kenikmatan nafsu agar Al-Haqq
menjadi kenikmatannya.”
Sedang tarekat ialah:
.
Beraneka ragamnya definisi tersebut, karena tasawuf telah menjadi istilah bagi
masyarakat yang tumbuh berdasar perkembangan situasi dan kondisi yang terjadi. Sehingga
kita menemukan makna tasawuf yang berbeda dalam setiap kurun waktu, bahkan hal itu bisa
2 Syaikh Ahmad Al-Kamasykanawi Al-Naqsyabandi¸ Jami’ Al-Ushul Fi Al-Auliya’ (Surabaya, Indonesia: Al-
Haramain, tt.), hlm.1
45 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)
jadi dari setiap orang sufi juga mengalami perbedaan. Lebih dari itu, sangat mungkin terjadi
seorang sufi yang satu dengan yang lain dalam satu kurun juga mempunyai definisi yang tak
sama. Sebab, masing-masing sufi itu menuturkan definisinya sesuai apa yang dirasakan dalam
eksperimennya, maupun intuisi (dzauq) yang diterima.
Menurut Ibn Khaldun, kebanyakan orang telah berupaya untuk membuat ungkapan
tentang makna tasawuf dengan lafadz yang komprehensif dengan memberikan penjelasan
makna tersebut. Namun sayang pendapat tersebut belum mencukupi. Sebagian diantara mereka
mengungkapkan definisi tasawuf dengan keadaan permulaanya saja, sebagian lagi
mengungkapkan definisi tasawuf dengan keaadaan puncaknya saja, sebagian lagi
mengungkapkan definisi tasawuf dengan tanda-tandanya saja, sebagian mengungkapkan
tasawuf dengan prinsip-prinsipnya saja atau konstruksinya saja, sebagian menyatukan prinsip
dan konstruksinya. Masing-masing dari mereka mengungkapkan definisi sesuai apa yang
ditemukan dan menuturkan sesuai maqamnya dalam tasawuf. Masing-masing mengungkapkan
sesuai realitas yang terjadi. Mereka juga mengungkapkan berdasarkan ilmu, amal. haal, dzauq
dan lainnya. Semua itu-menurut Ibn Khaldun- disebut tasawuf. 3
Oleh sebab itu, studi dan tulisan hasil penelitian tasawuf baik yang menyangkut aspek
luarnya, keyakinan-keyakinanya, pengikut-pengikutnya dan metode-metodenya adalah sebuah
ulasan sederhana yang tidak bisa mengungkapkan keseluruhan aspek tasawuf. Karena inti dari
prektek tasawuf adalah untuk mencapai pengetahuan yang hakiki tentang Allah dengan segala
pengalaman ruhaniahnya seperti fana. Al-Wijd, Al-Hiyam, Al-Wushul tidak mungkin dicapai
seorang sufi kecuali dengan amal ibadah dan ketaatan yang sungguh-sungguh, beserta
penyucian jiwa dan menjauhkan diri dari alam materi yang fana. 4 Hal ini sebagaimana di
ungkapkan oleh syaikh Ahmad Kusaij Al-Tharbazuni dalam kitabnya :
) (

3 Said Aqil Siradj, Shilatu Allah Bi Al-Kauni Fi Al-Tashawuf Al-Falsafawi, Jurnal Khas Tasawuf No. 8 Tahun
2002, hlm. 45-46. 4 Ayyad Muhammad Husain dan ‘Amir Muhammad Husain, Al-Raqsh Al-Sufi Wa Ramziah Al-Harakat Al-
Raqashah, Journal Of Babylon Center For Humanities Studies, Vol. 4. No. 3, hlm. 73.
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Latif Abdullah
46 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)
.
B. Sejarah Singkat Tasawuf Islam
Perkembangan tasawuf dimulai setelah abad pertama Islam sebagai sebuah perlawanan
terhadap semakin meningkatnya penyelewengan-penyelewengan dan perwujudan-perwujudan
yang keliru dari ajaran-ajaran Islam, terutama yang dilakukan oleh penguasa saat itu. Para
penguasa dan raja-raja sering kali menggunakan nama Islam untuk melegitimasi tujuan-tujuan
mereka. Atau mengesampingkan aspek-aspek ajaran-ajarannya yang tidak sesuai dengan
tujuan-tujuan atau gaya hidup mewah mereka. Sejak itu dan seterusnya, sejarah mencatat
adanya kebangkitan kembali, pembaharuan, dan militansi yang semakin berkembang diantara
kelompok-kelompok muslim yang tulus diseluruh wilayah Islam yang luas. Mereka bertekad
mengembalikan ajaran murni dan sejati yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Realitas sufi
adalah kesadaran akan kehidupan asketik murni dan nilai-nilai kebahagiaan dalam hati
masyarakat, serta penerimaan terhadap huku-hukum syariah. 6
Dari sudut sejarah, fenomena sufisme dapat dibagi dalam beberapa fase. Pada fase awal
Islam, terutama priode Mekkah, begitu jelas bahwa Al-Qur’an menekankan pentingnya
spiritualitas. Tetapi, spiritualitas saat itu tidaklah terpisah dari ajaran-ajran Islam lainnya. Pada
fase ini spiritualitas diterima sebagai bagian integral dari seluruh ajaran Nabi Muhammad SAW
yang berfungsi sebagai landasan moral dalam membangun hubungan horizontal dan vertikal.
Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari Nabi Muhammad berkhalwat dalam gua Hira
terutama dalam bulan Ramadhan. Disana Nabi banyak melakukan dzikir dan bertafakur dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Khalwat Nabi SAW inilah yang kerap dijadikan
alasan sebagian orang untuk menirunya. Pada abad pertama, kezuhudan mencul sebagai gaya
hidup yang khas di saat umat Islam menikmati kemewahan dan eforia terciptanya emperium
yang luas, dan sebagai reaksi terhadap gaya hidup hedonistik yang sekular dan sikap-sikap
pengusa dinasti Umayah dan Abasiah yang bertentangan dengan pedoman religius. Kesalehan
dan kesederhanaan yang direpresentasikan oleh Khalifa keempat , Imam Ali Ibn Abi Thalib.
Pada masa itu kata zuhud lebih popular ketimbang kata tasawuf. Ada yang memandang zuhud
5 As-Syaikh Muhammad Kamal Al-Din Al-Hariri Zadah, Tibyan Wasail Al-Haqaiq Fi Bayani Salasil Al-
Tharaiq, Al-Maktabah Al-Sulaimaniyyah, Qism : Ibrahim Afandi, Jilid III. Hlm.150 6 Syekh Fadhlalla Haeri, Dasar-Dasar Tasawuf (Jogjakarta: Pustaka Sufi, 2003), hlm. xx.
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Latif Abdullah
47 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)
sebagai bagian dari tasawuf. Ada pula yang menganggap zuhud sebagai bagian akhlak dan
gerakan protes.
Pada abad- 2 hijriah mulai terbentuklah ilmu tasawuf. Menjelang akhir abad ke-2
hijriah, sebagian zahid mulai mengemukakan pandangan zuhudnya secara filosofis. Abd ke-3
dan ke-4 dianggap sebagai fase kematangan mistisme Islam. Kini dalam tasawuf, zuhud
merupakan salah satu maqam yang sangat penting. Tokoh zahid yang paling menonjol abad- 2
hijriah adalah Al-Laits Ibn Sa’ad (w.175 H) yang dikenal dengan kezuhudan dan kehidupannya
yang sederhana, Menurut Ibn Khalikan, dia seorang zahid yang hartawan dan dermawan. 7
Setelah itu, ketika cara hidup sufi dikenal sebagai gerakan politik silent opposition
(perlawanan moral) terhadap status quo, istilah sufi secara pelan-pelan menggantikan zuhhad,
nussak, dan sebaginya. Kelak kata sufi menjadi popular pada paruh abad ke 2 hijriah. Konon,
Abu Hasyim dari Kuffah adalah orang pertama yang digelari dengan sebutan itu. Tokoh-tokoh
sufi generasi pertama cukup banyak antara lain Malik Bin Dinar (w.135 H), Ibrahim Ibn
Adham (w.174 H) Hisyam Bin Hakkam dan Sufyan Al-Tsauri dan beberapa murid Imam Ja’far
Shadiq.
Pada masa-masa berikutnya, pola hidup sufi yang individual bergeser menjadi
institusional, meski baru secara informal dan longgar. Dengan terbentuknya kelompok-
kelompok sufi eksklusif yang beranggotakan sejumlah orang dan memilih upacara tertentu
dalam latihan spiritual berupa lingkaran khusus (halaqah). Pada masa ini muncul orang-orang
yang dikenal sebagai sufi, seperti Sahl Al-Tustari (w. 283 H atau 869 H) dan Al-Junaid Al-
Baghdadi (w. 297 atau 910 H).
Sejak abad- 6 Hijriah atau 12- Masehi, gaya hidup ini berkembang menjadi konsep
spiritual yang terelaborasi dan terorganisasi dalam bentuk tarekat (thariqah), yang berarti aliran
atau metode. Organisasi ini memiliki hirarki kepemimpinan, inisiasi atau baiat, format zikir
(wirid, hizib) dan silsilah yang diyakini sampai kepada sahabat, menantu dan saudara misan
Nabi SAW, Ali Ibn Abi Thalib dan Imam-Imam keturunannya.
Setelah abad ke-6 H atau 12 M, pengaruh tarekat makin luas dan memainkan peran
besar dalam kehidupan sosial politik. Tarekat-tarekat ini kemudian menjadi jaringan
internasional yang pengikutnya bebas berlalu-lalang melintasi batas-batas kekuasaan dinasti.
Dipenghujung abad abad itu, muncul beberapa tarekat, salah satunya adalah Ahmadiyyah yang
didirikan oleh Syaikh Ahmad Badawi (536-64 M), kemudian muncul pula tarekat Qadiriyyah
7 Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf,… hlm. 40-41.
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Latif Abdullah
48 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)
yang didirikan oleh Syaikh Abd Al-Qadir Al-Jilani (w. 561 H), muncul pula tarekat Chistiyyah
yang didirikan oleh Syaikh Abu Ishaq Shami Chisti (w. 966 H). Tarekat Suhrawardiyyah yang
didirikan oleh Syaikh Umar Al-Suhrawardi (w. 632 H). Tarekat Naqsyabandiyyah yang
didirikan oleh Syaikh Baha’ Al-din Al-Naqsyabandi Al-Bukhari (w. 791 H), tarekat
Maulawiyyah yang didirikan oleh Maulana jalal Al-din Al-Balkhi Al-Rumi (1273 M). 8
C. Tarian (Al-Raqsh) Dalam Tradisi Sufi
Bangsa Arab pra Islam melakukan ritual kepercayaan mereka dengan melakukan
gerakan berputar disela-sela ritual mengelilingi Ka’bah. Gerakan ini dibarengi dengan tarian,
nyayian, teriakan-teriakan dan seruan-seruan yang membentuk sebuah festifal. Allah
menggambarkan kejadian ini dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal ayat 35. Setelah kedatangan
Islam maka Thawaf disekeliling Ka’bah ditetapkan dan dibuanglah tradisi menari, menyanyi,
dan berteriak, bahkan mengharamkannya. Dan diganti dengan doa-doa yang baru yang sesuai
dengan kedudukan dan tempat simbol yang disucikan orang-orang Islam ini.
Hal ini juga yang menimpa tarian sufi, sebagian golong Islam keberatan atas tarian sufi
ini yang dipandang sebagai salah satu bentuk permainan, dan ini ditolak dalam syari’at Islam.
Ada banyak cara agar manusia sampai pada Allah tanpa menggunakan tarian dan nyayian.
Madrasah-madrasah sufi berbeda faham dalam memahami makna tarian dan gerakan-gerakan
tubuh yang terjadi disela-sela majelis sama’ sufi. Sebagian mereka ada yang melarangnya, dan
menilainya sebagai bi’dah untuk kemudian mengharamkannya.
Berbeda dengan itu kebanyakan para sufi dan madrasah-madarash sufi salah satunya
Syaikh Jalal Al-Din Al-Rumi dan tarekatnya, Maulawiyyah, yang memandang bolehnya tarian
sufi sebagai sarana mengekspresikan kecintaan seorang manusia kepada Tuhan Yang
dicintainya yang Esa yang Abadi, karena ia tidak lagi menemukan jalan pengungkapan cinta
kecuali dengan menari, untuk meneguhkan tujuan luhurnya yaitu fana’ dan penyatuan dengan
yang dicintainya, Allah.
Berangkat dari itu perlu kiranya memahami secara bahasa fi’il/kata kerja Raqsh agar
dapat menemukan makna majazinya. Al-Raqsh secara bahasa, sebagaiman diungkapkan Ibn
Mandzur, adalah: Al-raqshu wa al-raqashaanu yang artinya kecepatan, dan dalam Al-Tahdzib
adalah bentuk dari kecepatan. Menurut Imam Sibawaih berasal dari masdar raqasha, yarqushu,
raqshan, wa arqashahu : aku menggerakkannya. Rajulun mirqashun: banyak bergerak. Secara
8 Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf…., hlm. 43-45.
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Latif Abdullah
49 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)
bahasa al-raqsh berarti menjadi naik dan turun. Qad arqasha al-qaum fi sairihim: rombongan
itu menjadi naik turun dalam perjalanannya. Ada yang berpendapat bahwa al-raqsh adalah
permainan murni.
Adapun al-raqsh dalam pemahaman sufi tergambar dalam kalimat ini : “Sesungguhnya
tarian adalah dicela/jelek menurut syari’at serta akal, dan orang yang melakukannya adalah
sebodoh-bodohnya manusia, tak mungkin orang yang terhormat melakukannya. Tetapi tatkala
muncul kelembutan dalam hati dan akal mengalami goncangan hebat, rasa itu menguasainya
semakin kuat, maka ia akan terlempar dalam sebuah keadaan rohani, panorama Ilahi, yang
membuatnya bertingkah diluar kewajaran. Keadaan rohani yang muncul ini tidaklah dinamai
tarian, tidak juga permainan kaki, maupun latihan alami/ olah raga akan tetapi adalah ruh yang
meleleh, yang terbakar oleh cinta Ilahi, dan anggapan orang yang menganggap bahwa ini
sebuah permainan tari adalah sangat jauh dari kebenaran . Sangat berbeda, mereka yang
dihampiri keadaan rohani dari Al-Haqq akan tertarik secara spontan untuk melakukan gerakan-
gerakan tubuh, Keaadan rohani ini disebut al-haal dalam tradisi sufi, sesuatu yang Allah
munculkan dalam haal seorang sufi tak dapat dijelaskan dengan kata-kata.” Siapa yang tak
menyecap citarasa spiritual maka ia takan mengerti."” Tarian sufi adalah hidangan/ santapan
yang menjaga raga dari materi-materi yang mengungkung jiwa. 9
Syaikh Muhammad Al-Manali menerangkan bahwa : “Diriwayatkan dari Malik ra.
bahwa ia pernah ditanya tentang kaum yang banyak berdzikir dan banyak menari. Ia menjawab:
“Ini adalah pertolongan bagi seorang hamba dalam perkara itu.” Kemudian penaya barkata:
“Dzikrullah seharusnya dilakukan dengan penuh ketenangan dan pengagungan. Ia menjawab:
”Itu berlaku jika tidak muncul wijd, tetapi jika wijd muncul, maka hukum itu tidak berlaku.”
Dapat disimpulkan dari riwayat ini bahwa sebab adanya tarian adalah karena adanya al-wijd,
al-wijd diperoleh dengan dzikr, jika tidak ada wijd itu hanyalah permainan dan tergolong
bid’ah…. 10
Kemudian beliau melanjutkan: “Sebagian Ahli Ma’rifat berkata: “Dzikir adalah
surat edaran kewalian dan tanda kewalian, senjata orang mukmin dan sanjata para faqir (sufi).
Dzikir adalah jalan tersingkat menuju Allah…” 11
Sedang al-wijdu adalah:
9 Ayyad Muhammad Husain dan ‘Amir Muhammad Husain. Al-Raqsh Al-Sufi…… hlm. 75-76.
10 Abi ‘Abd Allah Muhammad Al-Manali Al-Zabadi Al-Fasi. Suluk Al-Thariq Al-Wariyyah Fi Al-Syaikh Wa
Al-Murid Wa Al-Zawiyah (Tathwan: Mathba’a Al-Halij Al-‘Arabi. 2012), hlm.84-85. 11
Abi ‘Abd Allah Muhammad Al-Manali Al-Zabadi Al-fasi. Suluk Al-Thariq Al-Wariyyah…., hlm. 86.
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Latif Abdullah
50 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)
.
“Wijd adalah sesuatu yang dijumpai hati, yang memantul padanya tanpa usaha dan dibuat-
buat.”
Berbeda dengan pendapat diatas Syaikh Abd Al-Ghani Al-Nabilsi Al-Naqsyabandi
dalam kitabnya, Al-‘Uqud Al-Lu’luiyyah Fi Al-Thariqah Al-Maulawiyyah, berpendapat:
: ... ...
.
Beliau menambahkan bahwa:
...

Masih dikitab yang sama beliau melanjutkan:
: ... ...
.
Syaikh Abu Sa’id Abi Al-Khair suatu hari pernah ditanya seseorang tentang kebolehan
Sama’ dan raqsh (tarian) bagi sufi-sufi muda, ia berkata:

12
Syaikh Ahmad Al-Kamasykanawi Al-Naqsyabandi, Jami’ Al-Ushul Fi Al-Auliy…., hlm. 159. 13
Syaikh Abd Al-Ghani Al-Nabilsi. Al-Naqsyabandi, Al-‘Uqud Al-Lu’luiyyah Fi Al-Thariqah Al-Maulawiyyah
(Palestina: Jami’ah Al-Najah Al-Wathaniyyah, 1423 H/2002 M), hlm. 149-150. 14
Syaikh Abd Al-Ghani Al-Nabilsi. Al-Naqsyabandi, Al-‘Uqud Al-Lu’luiyyah…, hlm. 153. 15
Syaikh Abd Al-Ghani Al-Nabilsi. Al-Naqsyabandi, Al-‘Uqud Al-Lu’luiyyah…, hlm. 154.
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Latif Abdullah
51 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)
.
Gerak tari yang dilakukan para sufi dalam majelis-majelis mereka adalah salah satu
elemen penting dalam metode spiritual mereka. Gerakan-gerakan tarian ini tiada lain adalah
percakapan mesra antara ruh sang salik dengan Tuhannya. Percakapan mesra ini disimbolkan
dengan gerakan tari dan ekspresi jiwa manusia yang membuncah yang melemparkan sang salik
dalam alam hakikat yang selama ini ia cari. 17
Syaikh Abu Sa’id Abi Al-khair berpendapat:
. .
Kebanyakan tarian ini diiringi dengan instrument musik, ada yang menggunakan
gendang, adapula yang menggunakan Nay/ seruling, karena dapat lebih cepat memberikan
pengaruh dan memasuki wijd bagi sufi.
Syaikh Abd Al-Ghani Al-Nabilsi Al-Naqsyabandi dalam kitabnya, Al-‘Uqud Al-
Lu’luiyyah Fi Al-Thariqah Al-Maulawiyyah, berpendapat:
,
. Adapula sufi yang hanya dengan mendengar suara-suara alam mereka langsung
bingung, terperanjat dan masuk kedalam panorama Ilahi (haal/wijd) ini yang dialami oleh Dzun
Nun Al-Misri, yang menyaksikan keEsaan Sang Pencipta di sela-sela setiap suara alam atau
hewan yang ia dengar, ia berkata: “Wahai Tuhanku! Tiada aku mendengar suara-suara hewan,
gesekan pohon, gemriciknya air, kicauan burung, teduhnya bayangan, sumilirnya angin,
gelegarnya halilintar, kecuali aku menemukannya sebagai kesaksian atas keEsaanMu, yang
menunjukkan bahwa tiada yang serupa dengan-Mu.”
16
Muhammad Ibn Munawwar, Asrar Al-Tauhid Fi Maqamat Al- Syaikh Abi Sa’id (Mesir: Daar Al-Mishriyah,
tt.), hlm. 223. 17
Ayyad Muhammad Husain dan ‘Amir Muhammad Husain, Al-Raqsh Al-Sufi…, hlm. 76. 18
Muhammad ibn Munawwar. Asrar Al-Tauhid ……, hlm. 383. 19
Syaikh Abd Al-Ghani Al-Nabilsi. Al-Naqsyabandi, Al-‘Uqud Al-Lu’luiyyah…, hlm. 631
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Latif Abdullah
D. Kehidupan Maulana Jalal Al-Din Al-Rumi
Maulana lahir di Balkh (Afganistan sekarang) pada tanggal 6 Rabi’ul Awal 604 H atau
30 September 1207. Dari pihak ayahnya ia adalah keturunan dari khalifah pertama Abu Bakar
Shidiq, silsilah lengkapnya adalah: Muhammad ibn Muhammad Baha’ Al-din Ibn Husain Ibn
Ahmad Ibn Maudud Ibn Tsabit Ibn Musayyab Ibn Muthahhar Ibn Hammad Ibn Abd Al-
Rahman Ibn Abu Bakar Al-Shidiq Al-Shahabi Al-Ajal ra. Sedang dari pihak ibu, dari Ali Ibn
Abi Thalib, khalifah ke empat 20
Dinamai juga dengan nama Jalal Al-Din yang merupakan
nama laqab yang membuat ia dikenal luas. Seperti diketahuai bahwa ayahnya, Baha’ Al-Din
adalah seorang ulama’ dan sufi , salah satu karyanya adalah kitab berbahasa Persia Ma’arif
Baha’ walad yang mengupas tentang tasawuf Islam.
Pada kira-kira uisa 12 tahun, ia beserta seluruh anggota keluarganya diam-diam
meninggalkan kampung halamannya, untuk beribadah haji. Namun untuk tidak kembali karena
ayah Rumi, Baha’Al-Din Walad telah mendengar tentang invasi mongol kearah kota kelahiran
Rumi, Balkh. Kota pertama yang dikunjungi adalah Nisyapur, dimana Rumi, yang masih kecil
dikatakan berjumpa dengan Farid Al-din ‘Atthar seorang sufi penyair yang terkenal, yang
menyerahkan tulisan bukunya yang berjudul Asrar Nameh (buku tentang rahasia-rahasia).
Dari Nisyapur, keluarga Rumi pergi ke Baghdad, dimana mereka mendengar berita
penyergapan kota Balkh oleh Jengis Khan , sehingga kota tersebut luluh lantah. Pada tahun
1220 Baha Al-Din Walad, ayah Rumi, berangkat ke Baghdad menuju Makkah, untuk
menunaikan ibadah haji. Dari Makkah perjalanan diteruskan ke Damaskus, Siria, kemudian ke
Malatiya. Dari Malatiya keluarga Rumi pergi ke Armenia, kemudian ke Zaranda, sebelah
tenggara Konya. Di sini, Rumi dalam usianya yang ke 18 menikah dengan Jauhar Khatun, putri
Lala Syarif Al-Din. Kota Zaranda pada waktu itu masuk kekuasaan dinasti Saljuk, dan
penguasa saat itu Sultan ‘Ala Al-Din Kayqabad mengundang keluarga Rumi ke kotanya , ibu
kota kekaisaran Saljuk barat. Segera setelah mengetahui keberadaan kota tersebut Baha Al-Din
Walad menerima undangan tersebut, dan pada tahun 1228 ia dan keluarganya pindah ke Konya.
Dilaporkan bahwa ayah Rumi, Baha’Al-Din Walad, sangat dihormati oleh sultan dan menjadi
pembimbing spiritualnya. Bahkan penguasa memberinya kehormatan sebagai “Sultan Al-
‘Ulama’” ia tenar dan memperoleh posisi yang terhormat hingga wafat pada tahun 1230.
Setelah kematian ayahnya, Rumi, yang sekarang sudah berumur duapuluh tahunan
mengambil posisi ayahnya sebagai penasehat para ulama’ Konya dan murid-murid. Terkesan
20
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Latif Abdullah
oleh kedalaman pengetahuan dan keluasan pengalamannya, guru sultan, Badr Al-Din Goratsh,
mendirikan sebuah perguruan tinggi yang di kenal sebagai Madrasah-I Khudavandagar,
dimana Rumi mengajar dan berdakwah kepada orang-orang.
Kemudian kurang lebih satu tahun dari kematian Baha’ Al-Din Walad, Burhan Al-Din
Muhaqqiq dari Tirmidz, salah seorang murid ayah Rumi, tiba di Konya dan memberikan
pendidikan lanjutan untuknya. Atas anjuran Burhan Al-Din, Rumi meneruskan pendidikannya
di Aleppo. Di sini ian mengunjungi beberapa madrasah yang telah dibangun Al-Malik Al-
Zhahir, yang telah membuat kota tersebut dikenal sebagai pusat pendidikan di Damaskus.
Disini rumi tinggal di madrasah Halawiyah dan menerima pendidikan berikutnya dari Kamal
Al-Din Ibn Al-Adhim.
Dari Aleppo Rumi pindah di Damaskus dan tinggal di madrasah Maqdisiyah. Di tempat
ini, ia mempunyai kesempatan emas untuk bercakap-cakap dengan tokoh-tokoh besar seperti
Muhy Al-Din Ibn ‘Arabi, Sa’ad Al-Din Al-Hamawi, Utsman Al-Rumi, Awhad Al-Din Al-
Kirmani dan Shadr Al-Din Al-Qunawi.
Pada tahun 1236 Rumi kembali ke Konya dan menyibukkan dirinya dengan menuntut
ilmu dan memberikan bimbingan spiritual, sampai gurunya, Burhan Al-Din meninggal dunia
pada tahun 1241. Rumi terus mengajar di Madrasa-I Khudavandagar dimana ia “menarik
murid-murid yang penuh rasa ingin tahu dari tiap penjuru kehadapannya.” Dilaporkan bahwa
sekitar 400 mahasiswa menghadiri kuliah-kuliahnya. Kegiatannya ini juga tak urung menarik
minat yang khusus dari para raja, pangeran-pangeran juga para menteri.
Selama bertahun-tahun Rumi menikmati popularitasnya yang tinggi. Dan menempati
posisi yang sangat dihormati sebagai seorang pemimpin dan sarjan Islam di Konya sampai pada
saat ketika peristiwa yang sangat menentukan hidupnya terjadi, yaitu, berjumpannya Rumi
dengan seorang darwisy misterius , Syams Al-Din Tabrizi, yang datang ke kota Konya pada
tahun 1244. Perjumpaan ini ternyata telah mengubah Rumi, dari seorang teolog terkemuka
menjadi penyair mistik yang sangat terkenal.
Begitu kuat pesona kepribadian Syams, sehingga Rumi memilih meninggalkan
kegiatan-kegiatannya sebagai guru dan da’i professional, untuk mengabdikan diri sepenuhnya
kepada Syams, yang kini telah menjadi guru spiritualnya. Dan untuk memperkuat ikatannya
dengan Sang Darwisy. Untuk beberapa saat mereka tak pernah terpisah. Tetapi hubungan erat
keduanya ini justru telah menimbulkan kemarahan dan rasa cemburu dari pihak murid-murid
Rumi, yang betul-betul telah terputus dari bimbingan spiritual dan percakapan dengannya.
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Latif Abdullah
Akibatnya, mereka menyerang pendatang iu dengan kekerasan dan ancaman. Suasana tak
bersahabat ini segera tercium oleh Syams, sehingga ia meninggalkan Rumi, setelah tinggal di
Konya selama 16 tahun., menuju Damaskus.
Perpisahan ini dirasa begitu menyakitkan oleh Rumi dan menghujam perasaan begitu
dalam. Karena itu ia mengutus anaknya Sultan Walad untuk memohon Syams kembali ke
Konya. Rumi begitu bahagia bisa berjumpa lagi dengan Sang Guru. Kedua orang tersebut kini
begitu asyik tenggelam dalam percakapan spiritual mereka, sehingga cinta Rumi padanya
bertambah secara dramatik. Akibatnya, apa yang telah terjadi sebelumnya kini terualan lagi,
tentu saja murid-murid Rumi pun menjadi marah karena cemburu dan membenci sekali lagi
Syams dengan lebih hebat lagi dari sebelumnya. Situasi yang berbahaya ini mendorong Syams
mencari perlindungan sekali lagi di Damaskus. Tetapi kali ini tidak untuk kembali. Setelah
lama mencari dan menunggu , akhrinya Rumi memutuskan untuk pergi sendiri mencari Sang
Guru tercinta ke Damaskus. Tetapi tak behasil. Akhirnya Rumi kembali ke Konya dengan
tangan hampa.
Segera setelah ia kembali ke Konya, Rumi mendirikan tarekatnya sendiri, tarekat
Maulawwiyah. Sekarang Rumi telah kembali menjadi guru mereka. Kira-kira 15 tahunan
setelah itu, kesehatan Rumi terus menurun dan tak lama kemudian ia jatuh sakit. Dikatakan,
selama masa sakit ini Shadr Al-Din Al-Qunawi, murid Ibn ‘Arabi menjenguk Rumi dan sempat
mendoakan bagi keselamatan Sang Maulana, tetapi yang didoakan justru telah tak sabar untuk
berjumpa dengan Sang Kekasih. Akhrinya, pada hari Minggu, tanggal 5 Jumad Al-Akhir 672 H
atau 16 Desember 1273 Maulana Rumi, menghembuskan napasnya yang terakhir di kota
Konya. 21
dimakamnya:
# “Setelah kematianku tanah ini takan pernah menjadi kuburanku # sesungguhnya
kuburanku ada disetiap hati para pecinta.”
Syaikh Ahmad Al-Kamasykanawi Al-Naqsyabandi, menerangkan dalam kitabnya,
Jami’ Al-Ushul Fi Al-Auliya’ bahwa:
21
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Latif Abdullah
55 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)
. ...
Maulana Jalal Al-Din Al-Rumi banyak meninggalkan karya yang menjadi rujukan para
pengikutnya dalam tarekat Maulawiyyah. Karyanya yang paling besar adalah kitab Matsanawi
Al-Man’nawi yang mendapat julukan dari Syaikh Abd Al-Rahman Al-Jami, sufi besar dari
tarekat Naqsyabandiyyah, sebagai “Al-qur’an berbahasa Persia”. Kitab ini merupakan syair
panjang sekitar 25.000 untaian bait bersajak, yang terbagi dalam enam kitab. Karya ini ditulis
selama lima belas tahun terakhir hidup Rumi. Syaikh Abd Al-Ghani Al-Nabilsi Al-
Naqsyabandi dalam kitabnya, Al-‘Uqud Al-Lu’luiyyah Fi Al-Thariqah Al-Maulawiyyah,
menerangkan:
, ....
Selain Matsnawi Rumi juga menulis kitab Diwan-I Syams-iTabriz yang berisi sajak-
sajak yang ditujukan untuk gurunya. Selain itu ada juga kitab Fihi Ma Fihi merupakan karya
prosa yang mencakup ucapan-ucapan Rumi yang ditulis oleh putra sulungnya, Sultan Walad.
Selain itu masih ada karya-karya lain seperti Ruba’iyat berisi 1600 kuatren orisinal, dan Al-
Maktubat 145 surat yang ditujukan kepada para keluarga raja dan bangsawan di Konya. 24
E. Tari Sama’ Dalam Tradisi Tarekat Maulawiyyah
Tarekat Maulawiyah adalah tarekat yang yang dikenal baik dibarat maupun ditimur,
karena kekhasan tarian Darwis berputarnya yang biasa dilakukan dengan durasi yang panjang.
Syaikh Muhammad Kamal Al-Din Al-Hariri Zadah dalam Tibyan Wasail Al-Haqaiq Fi Bayani
Salasil Al-Tharaiq menjelaskan tentang pondasi dasar tarekat Maulawiyyah:
22
Syaikh Ahmad Al-Kamasykanawi Al-Naqsyabandi, Jami’ Al-Ushul Fi Al-Auliya’..., hlm. 7. 23
Syaikh Abd Al-Ghani Al-Nabilsi. Al-Naqsyabandi, Al-‘Uqud Al-Lu’luiyyah … hlm. 130. 24
Sri Mulyati (et.al), Tarekat-tarekat maktabarah …, hlm. 325.
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Latif Abdullah
56 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)

.
Gerakan tari yang dilakukan para sufi Maulawi tidak lain adalah ekspresi kondisi ruhani
para Darwisy/ sufi maulawi. Adakalanya juga gerakan tubuh ini bersifat spontanitas efek dari
bersentuhan langsung dengan objek tertentu. Sebagi contoh tatkala membaca Al-Qur’an kadang
seseorang bergoyang kekanan-kiri secara berulang-ulang ini adalah hasil dari peresapan dan
hadirnya hati tatkala membacanya. 26
Untuk melangsungkan ritual tari sama’ ini, perlu dipersiapkan beberapa elemen dasar
agar tarian ini terselenggara dalam majelis sama’ dan dzikir. Elemen-elemen terpenting
meliputi:
1. Darwisy
Darwisy/ faqir/ zahid/ sufi adalah mereka yang memiliki pikiran yang jernih yang
mampu mengakeses rahasia-rahasia yang tersembunyi . Rumi adalah salah satu orang yang
telah sampai pada derajat ini dibawah bimbingan syaikhnya , Syaikh Syams Al-Din
Tabrizi. Syaikh yang telah sempurna dalam tarekat Maulawiyyah dinamakan Darwisy.
Syaikh Abu Hasan Al-Harqani mengungkapkan:
.
Setelah Rumi mengalami transformasi besar dalam hidupnya dari seorang da’i dan
ulama’ menjadi sufi pecinta dibawah arahan dan bimbingan spiritual dari gurunya Syaikh
Syams Al-Din Tabrizi. Rumi menjadi tidak melihat apa yang wujud ini kecuali wujud itu
adalah syaikhnya juga, hidupnya menjadi tidak tenang tanpa syaikhnya, keinginannya
hanya ingin terus bersamanya, menari bersamanya, sebagimana dua orang pecinta yang
sedang kasmaran.
Ma’iyyah Fi Dustur Thariqah Al-Naqsyabandiyyah menerangkan:
25 As-Syaikh Muhammad Kamal Al-Din Al-Hariri Zadah, Tibyan Wasail Al-Haqaiq Fi Bayani Salasil Al-
Tharaiq, Al-Maktabah Al-Sulaimaniyyah, Qism : Ibrahim Afandi, Jilid III. Hlm.148 26
Ayyad Muhammad Husain dan ‘Amir Muhammad Husain, Al-Raqsh Al-Sufi…, hlm. 82. 27
Syaikh Abd Al-Majid Ibn Muhammad Al-Khani, Al-Hadaiq Al-Wardiyyah Fi Haqa’iq Al-Ajila’ Al-
Naqsyabandiyyah (Irbil, Irak: Daar Araas, 2002), hlm. 152.
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Latif Abdullah
57 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)
...
, ..
.
Syaikh Ahmad Kusaij At-Tharbazuni menggambarkan dengan apik hubungan
Syaikh Syams Al-Din Tabriz dan Mulana Rumi dalam kitabnya, Al-Tuhfah Al-Bahiyyah Fi
Al-Thariq Al-Maulawiyyah. Beliau menerangkan ;




.
Masih dalam kitab yang sama beliau mengisahkan pertemuan dan perkenalan
Maulana Rumi dengan Syaikh Syams Al-Din Tabrizi;
28
Syaikh Abd Al-Ghani Al-Nabilsi Al-Naqsyabandi, Miftah Al-Ma’iyyah Fi Dustur Al-Thariqah Al-
Naqsyabandiyyah (Mesir: Al-Daar Al-Judiyyah, 2008), hlm. 42-43. 29
Syaikh Ahmad Kusaij Al-Tharbazuni.Al- Tuhfah Al-Bahiyyah Fi Al-Thariq Al-Maulawiyyah. Dalam Tibyan
Wasail Al-Haqaiq Fi Bayani Salasil Al-Tharaiq, Al-Maktabah Al-Sulaimaniyyah, Qism : Ibrahim Afandi, Jilid III.
Hlm.158
58 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)








.


p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Latif Abdullah
59 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)


.
Rumi adalah pemilik pikiran yang jernih yang mampu mengetahui rahasia-rahasia
dan membagikan rahasia-rahasia itu pada murid-muridnya agar terbuka dihadapannya
pintu-pintu kehidupan hakiki. Rahasia-rahasia itu adalah al-wijd, al-liqa’, al-wushul dan
al-fana’ yang kesemuanya itu tidak dapat diraih kecuali dengan takhalli (pengosongan)
indra dari pengaruh buruk jazad, dan pengosongan ruh dari pengaruh buruk indra, maka
yang dicinta akan langgeng dalam keseluruhan. Wijd adalah puncak tujuan darwisy dalam
majelis sama’, wijd adalah bertemunya Sang Pecinta dengan yang dicintai sehingga sampai
pada ketenangan di sela-sela pertemuan itu. Niwaya memberikan istilah keadaan ini
dengan instase (penyaksian batin) menggantikan istilah ekstase (wijd). Karena sufi tak
keluar dari dirinya tetapi tenggelam dalam kedalaman jiwanya, menyelami lautan ruh,
sebagaiman digambarkan penyair: “al-wijd adalah api yang membara dikedalaman
rahasia yang menjelaskan tentang makna cinta, tubuh yang tersambar api ini akan dibawa
dalam kegembiraan dan kesedihan.”
membebaskan jiwa manusia dari kungkungan materi, keadaan ini tidak tercapai (menurut
sebagaian golongan sufi) kecuali di tengah-tengah nyanyian dan tarian. Karena para sufi
berkeyakinan bahwa mereka sedang berpindah dari ilm al-yaqin menuju ‘ain al-yaqin, dan
mereka melihat tanpa hijab, dan membenarkan apa yang mereka alami, sampai akhirnya
mereka menjadi hamba yang total untuk Allah, dan muncullah hikmah kebijaksaan dari
hati dan ucapan mereka. Ilmu yang mereka ajarkan kepada murid dan pengikut tarekatnya
akan menambah banyak hikmah dan pengetahuan bagi mereka. Mereka bagaikan qutub
(poros) yang segala sesuatu mengitarinya, dan ia mengitari dzatnya, yang dengannya
30
Hlm.159.
menjadi sebab penyatuan. Rumi barkata: “Sesungguhnya qutub (poros) adalah cermin dari
hakikat manusia, maka wajib bagi manusia untuk mencarinya didalam kedalaman
dzatnya.”.
2. Al-Sama’
Sama’ adalah sarana yang digunakan bagi kaum sufi diantaranya para sufi tarekat
Maulawiyyah untuk mencapai al-wijd. Dalam tarekat Maulawiyyah sama’ dan raqsh
(tarian) adalah elemen terpenting dalam tarekat, ia merupakan satu kesatuan yang tak
terpisah yang telah ditetapkan kaidah-kaidah dasar pelaksanaanya.
Sama’ dalam pengertian tarekat Maulawiyyah adalah seperti yang dituturkan oleh
Syaikh Ahmad Kusaij At-Tharbazuni sebagai berikut :

.
Selanjutnya beliau mengisahkan:
: "
, "

.
Dalam pandangan Syaikh Jalal Al-Din Al-Rumi sama’ adalah amalan wajib bagi
para murid tarekatnya, sama’ adalah santapan para pecinta darinya ketersambungan
31
hlm.155 32
Hlm.154-155.
menjelma menjadi nada-nada lagu. Rumi dalam salah salah kitabnya menjelaskan tentang
pemahaman sama’ dan musik. Pada suatu hari ada seseorang yang keberatan atas perhatian
syaikh terhadap musik, karena musik tidak diterima dalam syariat Islam. Maka syaikh
menjawabnya : “Suara pintu itu adalah suara pintu surga yang kami dengar. ”Orang itu
menjawab: “Kami juga mendengar suara pintu itu, tetapi kami tidak melakukan apa yang
maulana lakukan? (menari, maksudnya). Kemudian maulana menjawab: “Apa yang kami
dengar itu adalah suara pintu surga yang terbuka, sementara yang kamu dengar adalah
suara pintu yang menutup.”
Syaikh Ahmad Kusaij At-Tharbazuni menerangkan :
, ,
.
: , , "( )"
"(. : )"
Dalam melakukan ritual sama’ terdapat adab-adab yang harus di jaga oleh para
darwisy Maulawi. Adab-adab ini di terangkan oleh syaikh Ahmad Kusaij Al-Tharbazuni
dalam kitabnya Tuhfah Al-Bahiyyah Fi Al-Thariq Al-Maulawiyyah sebagai berikut:



33 Syaikh Ahmad Kusaij Al-Tharbazuni.Al- Tuhfah Al-Bahiyyah Fi Al-Thariq Al-Maulawiyyah. Dalam Tibyan
Wasail Al-Haqaiq Fi Bayani Salasil Al-Tharaiq, Al-Maktabah Al-Sulaimaniyyah, Qism : Ibrahim Afandi, Jilid III.
Hlm.155
62 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)



.
Majelis sama’ tarekat Maulawiyyah diawali dengan pembukaan yang terkenal dari
kitab Matsnawi dan Nay mulai ditiup. Suara Nay melambangkan ruh para sufi yang
menangis karena terpisah dari alam ruh. Mukadimah Matsnawi diawali dengan bait-bait
berikut:
Dengarlah seruling ini bagaimana ia berkisah tentang sebuah hikayat, ia adukan luka
perpisahan
Katanya,”Sejak aku terpisah dari rumpun bambuku, laki-perempuan merintih dalam
jeritku
Ku ingin dada yang terkoyak-koyak perceraian biar ku ungkapkan semua derita
kerinduan
Siapa saja yang terlempar dari asalnya mencari saat kembali ia bergabung dengannya
Suara seruling ini bukanlah angin tapi api yang menyala, mereka yang tak memiliki api
ini tak pernah hidup
Api cinta ada dalam seruling ini, dan cinta yang membara ada dalam khamr
Seruling adalah teman bagi mereka yang jauh dari sang kekasih, dan nyanyiannya
merobek tirai yang menghalangi pandangan
Adakah yang melihat racun dan obat layaknya seruling ini? Adakah yang melihat
teman dan pecinta layaknya seruling ini?
Nay berkisah tentang perjalanan spiritual yang penuh derita berdarah, Nay
menuturkan hikayat-hikayat percintaanya Al-Majnun. Hikayat-hikayat ini tak bisa
dipahami bagi mereka yang kering dari citarasa spiritual, bagi mereka yang banyak
berbicara tapi sedikit mendengar. 35
34
Hlm.156. 35
Ayyad Muhammad Husain dan ‘Amir Muhammad Husain, Al-Raqsh Al-Sufi…, hlm. 83-84.
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Latif Abdullah
Syaikh Abd Al-Ghani Al-Nabilsi Al-Naqsyabandi dalam kitabnya Al-‘Uqud Al-
Lu’luiyyah Fi Al-Thariqah Al-Maulawiyyah, menerangkan:
:" "
,
( . ) :
Sama’ dalam pandangan Syaikh Jalal Al-Din Al-Rumi adalah sesuatu yang dapat
menggerakan wijd yang ada didalam ruh para salik dan murid yang mendorong pada
pemurnia hati mereka. Bait-bait mukadimah diatas sangat berpengaruh bagi sufi maulawi,
hati mereka menjadi condong dan wijd membekas dihati para salik. 37
Syaikh Abu Sa’id Abi Al-khair mengatakan:
: . .
Nay dalam pandang para sufi maulawi melambangkan insan kamil/ manusia
sempurna, yang dengannya tarian sama’ dimulai. Nay berkisah tentang hikayat-hikayat
para pecinta, terbakarnya hati mereka oleh cinta, dan menjelaskan kepada salik jalan cinta.
Bait-bait mukadimah ini banyak memuat hal-hal penting bagi perambah jalan cinta,
diantarnya: derita perpisahan dari rumpunnya, yang menjadi tamsil atas derita perpisahan
dengan Sang Kekasih. Ini adalah gambaran dari terpisahnya ruh dari jasad, walaupun dekat
tetapi ruh tak mampu melihat jazad. Angin yang ditiupkan ke Nay adalah gambaran dari
api cinta yang membara, yang membakar, segala sesuatu akan hilang dan lenyap kecuali
Allah. Allah Sang Kekasih Abadi. Akal perlu dimerdekakan dari segala macam belenggu-
belenggu duniawi yang menyebabkannya jauh dari Sang Kekasih. Cintalah yang
menggerakkan manusia, dengan isyarat cinta para pecinta membuka jubbah hitamnya
36
Syaikh Abd Al-Ghani Al-Nabilsi. Al-Naqsyabandi, Al-‘Uqud Al-Lu’luiyyah…, hlm. 141. 37
Ayyad Muhammad Husain dan ‘Amir Muhammad Husain, Al-Raqsh Al-Sufi…, hlm. 84. 38
Muhammad ibn Munawwar, Asrar Al-Tauhid ……hlm..312.
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Latif Abdullah
64 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)
(hijab) karena yang hidup adalah Sang Kekasih. Adapun pecinta, mereka hilang lenyap
dalam rengkuhan Sang Kekasih. Dengan cinta hidup dan mati setara (racun dan obat
penawar), dengan cinta, sang pecinta berjumpa dengan Kekasih (teman dan pecinta) dan
akhirnya penyatuan dengan Kekasih abadi pun terjadi. Hikayat ini ditutup dengan pertalian
erat antara rintihan Nay dan api cinta.
Penggunaan Nay dalam tarekat Maulawiyyah sangat berbeda dengan pengguanaan
seruling pada umumnya. Karena Nay adalah lambang dari kesempurnaan manusia.
Gambaran kesempurnaan dan manusia sempurna menurut Maulana tidak sah kecuali
dengan adanya cinta. Cinta ini yang menghantarkan seorang salik dalam perjalanan
spiritualnya menuju fana (peleburan diri) dan akhirnya baqa’(langgeng) menyatu dengan
Sang Kekasih abadi. Oleh sebab itu, Maulana Rumi mengambil Nay dan menjadikannya
sebagai pembuka kitabnya (Matsnawi), yang menjadi pegangan para murid dan
pengikutnya. 39
pemilihan Nay oleh Syaikh Jalal Al-Din Al-Rumi:


.
3. Gerak Tari
Maulana Syaikh Jalal Al-Din Al-Rumi menaruh perhatian yang besar pada gerakan
dan suara-suara alam raya, ini tergambar dalam banyak puisinya di kitab Matsnawi. Oleh
sebab itu, gerakan tubuh para darwisy adalah ekspresi dari mendengarkan suara-suara alam
raya yang terserap melalui indra disertai dengan dzikrullah. Ini adalah keadaan dimana
seseorang selalu merasakan kehadiran Allah ditengah-tengah limpahan nikmat-Nya. 41
39
Ayyad Muhammad Husain dan ‘Amir Muhammad Husain, Al-Raqsh Al-Sufi…, hlm. 84. 40
Syaikh Ahmad Kusaij Al-Tharbazuni.Al- Tuhfah Al-Bahiyyah Fi Al-Thariq Al-Maulawiyyah. Dalam Tibyan
Wasail Al-Haqaiq Fi Bayani Salasil Al-Tharaiq, Al-Maktabah Al-Sulaimaniyyah, Qism : Ibrahim Afandi, Jilid III.
Hlm.155 41
Ayyad Muhammad Husain dan ‘Amir Muhammad Husain, Al-Raqsh Al-Sufi…, hlm. 84.
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Latif Abdullah
sama’ sebagai berikut :

.
Syaikh Abu Sa’id Abi Al-khair berdendang dalam syairnya:
# 43. #
“Saat sama’ hati mengenal kekasih # membawa kita terbang menuju selubung rahasia
Sungguh gemuruh tarian ini mengangkat ruhmu # mengantar kebahagiaan ke alam Sang
Kekasih”
Muhammad SAW. Yang digubah oleh Maulana Rumi sendiri (anta habibullah,
warasulluhu al-khaliq al-ahad….) tanpa iringan tetabuhan. Kemudian peniup Nay mulai
memainkan Nay dengan nada yang khas yang menceritakan kisah Nay, agar para pecinta
terpantik wijd-nya. “Cinta adalah anggur yang memabukkan yang mengajak mereka
menari, api cinta melekat dalam Nay, dan cinta yang membara mengalir dalam anggur.”
“Karena kemuliaan dzat-Nya dan kesesucian sifat-Nya, maka Cinta adalah penyebab
bergeraknya cakrawala dan semua yang ada.”
Alunan-alunan Nay memanggil syaikh untuk bangkit dari duduknya dan memberi
aba-aba kepada pemain musik untuk memainkan musik. Kemudian para darwisy
memasuki arena untuk berputar dan menari. Para darwisy menari berputar berlawanan arah
jarum jam sebanyak tiga kali putaran, hal ini melambangkan tentang kelahiran manusia
setelah kebinasaan total, adapun putarannya yang berlawanan arah jarum jam
melambangkan kebebasan manusia dari kungkungan zaman, dan dengan ini ia akan terlahir
untuk kembali pada tempat asalnya. Adapun putaran ketiga melambangkan tentang
perjalanan menuju Allah yaitu jalan ilmu dan ma’rifat, jalan melihat, serta jalan
42
Hlm.155 43
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Latif Abdullah
perjumpaan dan penyaksiaan. Dan diujung putaran ketiga, syaikh duduk diatas karpet
merah dan para darwisy duduk ditempat yang khusus untuk mereka. Disaat musik berhenti
para darwisy melemparkan jubah hitamnya yang melambangkan pemutusan hubungan
dengan dunia, kemudian nampaklah pakaian putih yang mereka kenakan yang
melambangkan kebebasan mereka dari materi-materi kebendaan/duniawi, serta permulaan
kehidupan yang baru yaitu menghampiri penciptanya dan kekasih abadinya.
Dari makna-makna perlambang ini Maulana ingin menyampaikan bahwa:
“Sesungguhnya jika ruh terbebas dari kungkungan air dan tanah ia akan menemukan
kebahagiaan, maka jadilah tarian ini sebagai penyemai cinta ilahi, tubuhmu berputar tetapi
ruh dan yang ada disekelilingmu tidak meniggalkanmu.”
Setelah itu syaikh bangkit, kemudian pemimpin tari dan para darwisy
menghadapnya untuk mencium tangannya agar mendapat keberkahannya dan memohon
izin untuk memulai tari. Setelah itu syaikh mencium surban-surban mereka. Kemudian
mulailah para darwisy menari dengan menyilangkan tangan mereka ke dada masing-
masing. Kemudian mereka berputar pelan dan membuka tangan mereka seperti sayap.
Tangan kanan menengadah ke langit menerima kucuran nikmat Ilahi dan tangan kiri
menelungkup kebumi membagi nikmat Ilahi yang masuk ke hati mereka, agar cinta Ilahi
memancar ke segala penjuru alam. Rumi menggambarkan ini sebagai “ Gunung Tsur yang
menari karena pancaran cahaya Nabi Musa as., yang menjadikannya sebagai sufi yang
murni tanpa cela.”
Putaran para darwisy disekitar arena dan diri mereka sendiri melambangkan adanya
tarik-menarik/gaya maghnet diantara mereka, sebagaimana perputaran planet-planet yang
mengelilingi dirinya dan mengelilingi matahari.
Syaikh Abd Al-Ghani Al-Nabilsi Al-Naqsyabandi dalam kitabnya Al-‘Uqud Al-
Lu’luiyyah Fi Al-Thariqah Al-Maulawiyyah, menerangkan:
: , ( ) : ,
: , ( : ) . , ( : )
44
Syaikh Abd Al-Ghani Al-Nabilsi. Al-Naqsyabandi, Al-‘Uqud Al-Lu’luiyyah…, hlm.149.
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Latif Abdullah
67 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)
Pada akhir majelis para darwisy saling memberi salam sebanyak tiga kali yang
melambangkan perjalanan keimanan yang dilalui para sufi Salam tiga kali ini mengandung
makna salam pertama tertuju kepada Nabi Muhammad SAW, salam kedua kepada Syaikh
Farid Ad-Din Al-Athar dan salam yang ke tiga kepada Syaikh Sana’i seperti yang
digambarkan Syaikh Ahmad Kusaij At-Tharbazuni sebagai berikut :

.
Adapun pukulan gendang dan tiupan seruling melambangkan perjalanan hidup
manusia dan akhir kehidupannya.
Perlambang-perlambang ini tidak hanya ada dalam gerak tubuh dan tarian saja,
tetapi juga ada dalam pakaian yang mereka kenakan bahkan juga warnanya.
Tatkala para darwisy memasuki arena, mereka mengenakan pakaian putih yang
dibalut jubah berwarna hitam dan mengenakan topi yang tinggi. Pakaian yang dikenakan
darwisy selama sama’ ini melambangkan keadaan para salik, pakaian putih yang seperti
kain kafan yang membungkus mereka setelah kematian ini melambangkan kesucian,
kemurnian, cahaya, dan kebebasan ruh dari jazad. Jubah hitam melambangkan jazad yang
menghalangi ruh memandang cahayanya Allah, juga melambangkan kegelapan kubur.
Topi tinggi melambangkan batu nisan. Syaikh Ismail Haqqi Al-Burusawi menerangkan
tentang makna warna dan topi tinggi khas Darwisy Maulawi dalam kitabnya Tamam Al-
Faidh Fi Bab Al-Rijal sebagai berikut :
. : . .
45
Hlm.156
68 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)
. . ) : . (( : )
Sedang makna topi panjang Darwisy Maulawiyah beliau menerangkan ;
( )
.
Dalam mengenakan topi panjang pun ada beberapa adab yang perlu diperhatikan
Darwisy Maulawiyah seperti diterangkan oleh Syaikh Ahmad Kusaij At-Tharbazuni
sebagai berikut :

,
.
Dalam majelis sama’ juga terdapat kerpet merah, tempat duduk khusus untuk
syaikh. Warna merah ini melambangkan warna mega merah selama matahari tenggelam,
waktu dimana Maulana Syaikh Jalal Al-Din Al-Rumi wafat. Dalam majelis sama’ juga ada
garis simbol yang membentang antara karpet tempat duduk syaikh sampai masuk arena
penari. Garis ini melambangkan garis pemisah tiap-tiap siklus kehidupan manusia (lahir,
46
Syaikh Ismail Haqqi Al-Burusawi, Tamam Al-Faidh Fi Bab Al-Rijal, Beirut, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah,cet I
2010.hlm.112 47
Syaikh Ismail Haqqi Al-Burusawi, Tamam Al-Faidh Fi Bab Al-Rijal, Beirut, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, cet I
2010.hlm.116 48
Hlm.152
tumbuh dewasa, dan kematian), para darwisy dilarang berjalan diatasnya, karena mereka
belum sampai pada maqam jadzbah (ketetarikan) yang menjadikan mereka sebagai qutub
spiritual yang dikelilingi para murid, bukan yang menglilingi dirinya sendiri.
Para darwisy dan tariannya mengisyaratkan kepada manusia agar menjauhi
gemerlapnya dunia/ tipu muslihat dunia, dan agar beramal shalih dan beribadah agar
mendaptkan pengetahuan yang menyampaikan manusia kepada kekasih abadinya Allah
SWT, hal ini tidak bisa diraih kecuali dengan mengikuti metode dan cara-cara yang benar
yaitu salah satunya tarekat Maulawiyyah ini. 49
Syaikh Ahmad Kusaij Al-Tharbazuni menggambarkan secara singkat ritual sama’
maulawiyyah dari awal sampai akhir di bab pertama pasal ke tiga dalam kitabnya ;








49
Ayyad Muhammad Husain dan ‘Amir Muhammad Husain, Al-Raqsh Al-Sufi…, hlm. 85-87.
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Latif Abdullah
70 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)
.
Adapun silsilah tarekat Maulawiyyah, yang penulis temukan dari beberapa sumber
kitab yaitu: kitab Al-Buhuts Al-saniyyah ‘An ba’di Rijal Asanid Al-Thariqah Al-
Khalwatiyyah karya Syaikh Muhammad zahid Al-Kautsari, kitab Al-Hadaiq Al-Wardiyyah
Fi Haqa’iq Al-Ajila’ Al-Naqsyabandiyyah karya syaikh Abd Al-Majid Ibn Muhammad
Al-Khani, kitab Al-Silsilah Al-Dzahabiyyah Fi Tarjim Masyayikh Al-Khalwatiyyah karya
Al-Sayyid Ibn Ibrahim Al-Gharizi Al-Khalwati, kitab Al-Tuhfah Al-Bahiyyah Fi Al-Thariq
Al-Maulawiyyah karya Syaikh Ahmad Kusaij Al-Tharbazuni dan kitab Tibyan Wasail Al-
Haqaiq Fi Bayani Salasil Al-Tharaiq karya As-Syaikh Muhammad Kamal Al-Din Al-
Hariri Zadah sebagai berikut: 51
a. Silsilah dari Syaikh Burhan Al-Din Muhaqqiq Al-Tirmidzi :
Syaikh Jalal-Al-Din Al-Rumi dari Syaikh Burhan Al-Din Muhaqiq Al-Tirmidzi
dari Syaikh Sulthan Al-Ulama’Muhammad Baha’ Al-Din Husain dari Syaikh Najm
Al-Din Al-Kubra Al-Khawarizmi dari Syaikh ‘Amar Ibn Yasir dari Syaikh Abi Najib
Al-Suhruwardi dari Syaikh Abi Bakr Al-Khair Al-Nasaj dari Syaikh Abi Al-Qasim
Al-Kurkani dari Syaikh Abi ‘Usman Al-Maghrabi dari Syaikh Abi ‘Ali Al-Katib dari
Syaikh Abi ‘Ali Al-Rudabari dari Syaikh Al-Junaid Al-Baghdadi dari Syaikh Sirri Al-
Saqati dari Syaikh Ma’ruf Al-Karkhi dari Al-Imam ‘Ali Al-Ridha dari Al-Imam Musa
Al-Kadzim dari Al-Imam Ja’far Al-Shadiq dari Sayyidina Qasim Ibn Muhammad dari
Sayyidina Salman Al-Farisi dari Sayyidina Abi Bakr Al-Shidiq dari Rasulillah SAW.
Di sisi lain Sulthan Al-Ulama’Muhammad Baha’ Al-Din Husain (ayah Mulana
Rumi) juga mengambil tarekat dari Syams Al-Aimmah Al-Ridha yang silsilahnya
sampai kepada syaikh Ahmad Al-Ghazali (adik dari Hujjah Al-Islam Imam Abu
Hamid Al-Ghazali) yang menyambung pada syaikh Abu Bakr Nasaj. Syaikh Abu Bakr
Nasaj disamping mengambil tarekat dari syaikh Al-Kurkani beliau juga mengambil
tarekat dari syaikh Muhammad Al-Zujaj yang menyambungkannya kepada Imam
50
Wasail Al-Haqaiq Fi Bayani Salasil Al-Tharaiq, Al-Maktabah Al-Sulaimaniyyah, Qism : Ibrahim Afandi, Jilid III.
Hlm.156 51
Syaikh Muhammad Zahid Al-Kautsari.Al-Buhuts Al-saniyyah ‘An ba’di Rijal Asanid Al-Thariqah Al-
Khalwatiyyah. (Mesir: Maktabah Al-Azhariah,tt.).hlm. 26. Dan Syaikh Abd Al-Majid Ibn Muhammad Al-Khani, Al-
Hadaiq Al-Wardiyyah Fi Haqa’iq Al-Ajila’ Al-Naqsyabandiyyah (Irbil, Irak: Daar Araas, 2002), hlm.310.
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Latif Abdullah
71 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)
Junaid Al-Baghdadi. Silsilah Imam Junaid sampai kepada Syaikh Ma’ruf Al-Karkhi.
Syaikh Ma’ruf Al-Karkhi disamping mengambi tarekat dari Imam Ali Ridha yang
menyambungkannya dengan sahabat Abu Bakr dan berujung pada Nabi SAW, beliau
juga mengambil tarekat dari Syaikh Dawud Al-Thai yang menyambungkannya kepada
sahabat Ali KW dan berujung pada Nabi SAW, seperti yang di cantumkan oleh Syaikh
Ahmad Kusaij Al-Tharbazuni didalam kitabnya Al-Tuhfah Al-Bahiyyah Fi Al-Thariq
Al-Maulawiyyah seperti berikut ini :

.
b. Silsilah dari Syaikh Syams Al-Din Al-Tabrizi
Syaikh Jalal-Al-Din Al-Rumi dari Syaikh Syams Al-Din Al-Tabrizi dari Syaikh
Rukun Al-Din Al-Sanjasi dari Syaikh Qutub Al-Din Al-Abhari dari Syaikh Abu Najib
Al-Suhruwardi dari Syaikh ‘Umar Ibn Abd Allah Al-Bakri dari Syaikh ‘Umar Ibn
Muhammad Ibn ‘Amuwiyyah dari Syaikh Muhammad ‘Amuwiyyah Al-Bakri dari
Syaikh Muhammad Ibn ‘Abd Al-Khaliq Al-Dinawari dari Syaikh Mimsyad Ibn Ali
Al-Dinawari dari Syaikh Junaid Ibn Muhammad Al-Baghdadi dari Syaikh Sarri Ibn
Mughalis Al-Saqati dari Syaikh Ma’ruf Ibn Fairuz Al-Karkhi dari Syaikh Dawud Ibn
Nashir Al-Tha’i dari Syaikh Habib Ibn Muhammad Al-‘Ajami dari Al-Imam Hasan
Ibn Yasar Al-Bashri dari Al-Imam Ali Ibn Abi Thalib dari Sayyidina Muhammad
SAW. 53
Wasail Al-Haqaiq Fi Bayani Salasil Al-Tharaiq, Al-Maktabah Al-Sulaimaniyyah, Qism : Ibrahim Afandi, Jilid III.
Hlm.151 53
Khalwatiyyah.(tt.Rabi’ Al-Awal 1426/April 2005).hlm.19 dan 107.
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Latif Abdullah
72 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)
Syaikh Syams Al-Din Al-Tabrizi juga mengambil tarekat dari Baba Kamal Al-
Jandi dari Syaikh Najmudin Kubra. 54
F. Kesimpulan
Tasawuf adalah ilmu tentang penyucian batin/ hati dari noda-noda hati, yang
menghalangi manusia dekat dengan Allah. Tasawuf mengajarkan manusia untuk selalu
waspada akan 4 musuh manusia yaitu: hawa, nafsu, syaitan dan dunia. Tarekat adalah lelaku
praktis dalam tasawuf, yang pengamalannnya dibawah bimbingan ketat seorang Syaikh-
Mursyid. Salah satu tarekat sufi adalah tarekat Maulawiyyah yang didirikan oleh Maulana Jalal-
Al-Din Al-Rumi. Tarekat ini menjadikan musik dan tari sebagai sarana Dzikrullah, tarian sufi
ini dikenal dengan sama’. Dalam sama’ ini banyak terdapat simbol-simbol yang mengingatkan
manusia pada penciptanya.
Topi panjang melambangkan batu nisan, jubah hitam melambangkan dunia, pakaian putih
melambangkan kain kafan dan terbebasnya manusia dari ikatan duniawi, gerakan beputar
melambangkan perputaran seluruh alam raya dalam sukacita cinta Ilahi, Nay melambangkan
jeritan ruh yang jauh dari alam ruh dan dari Allah, dsb.
DAFTAR PUSTAKA
Abi ‘Abd Allah Muhammad Al-Manali Al-Zabadi Al-Fasi. Suluk Al-Thariq Al-Wariyyah Fi Al-
Syaikh Wa Al-Murid Wa Al-Zawiyah. Tathwan: Mathba’a Al-Halij Al-‘Arabi. 2012
As-Syaikh Muhammad Kamal Al-Din Al-Hariri Zadah, Tibyan Wasail Al-Haqaiq Fi Bayani Salasil
Al-Tharaiq, Al-Maktabah Al-Sulaimaniyyah, Qism : Ibrahim Afandi, Jilid III.
Ayyad Muhammad Husain dan ‘Amir Muhammad Husain. Al-Raqsh Al-Sufi Wa Ramziah Al-
Harakat Al-Raqashah, Journal Of Babylon Center For Humanities Studies., vol. 4. No. 3.
Muhammad Ibn Munawwar. Asrar Al-Tauhid Fi Maqamat Al- Syaikh Abi Sa’id.(Mesir: Daar Al-
Mishriyah. tt
Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, Irfan, dan Kebatinan.Jakarta:Lentera 2004
Said Aqil Siradj. Shilatu Allah Bi Al-Kauni Fi Al-Tashawuf Al-Falsafawi. Jurnal Khas Tasawuf, No.
8 Tahun 2002.
54
As-Syaikh Muhammad Kamal Al-Din Al-Hariri Zadah, Tibyan Wasail Al-Haqaiq Fi Bayani Salasil Al-
Tharaiq, Al-Maktabah Al-Sulaimaniyyah, Qism : Ibrahim Afandi, Jilid III. Hlm.150
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642
Latif Abdullah
Syaikh Abd Al-Ghani Al-Nabilsi Al-Naqsyabandi. 2008. Miftah Al-Ma’iyyah Fi Dustur Al-
Thariqah Al-Naqsyabandiyyah. Mesir: Al-Daar Al-Judiyyah
Syaikh Abd Al-Ghani Al-Nabilsi. Al-Naqsyabandi. Al-‘Uqud Al-Lu’luiyyah Fi Al-Thariqah Al-
Maulawiyyah.Palestina: Jami’ah Al-Najah Al-Wathaniyyah, 1423 H/2002 M.
Syaikh Abd Al-Majid Ibn Muhammad Al-Khani. 2002. Al-Hadaiq Al-Wardiyyah Fi Haqa’iq Al-
Ajila’ Al-Naqsyabandiyyah. Irbil, Irak: Daar Araas.
Syaikh Ahmad Al-Kamasykanawi Al-Naqsyabandi. tt. Jami’ Al-Ushul Fi Al-Auliya’. Surabaya,
Indonesia: Al-Haramain.
Tibyan Wasail Al-Haqaiq Fi Bayani Salasil Al-Tharaiq, Al-Maktabah Al-Sulaimaniyyah,
Qism : Ibrahim Afandi, Jilid III.
Syaikh Ismail Haqqi Al-Burusawi, Tamam Al-Faidh Fi Bab Al-Rijal, Beirut, Dar Al-Kutub Al-
Ilmiyah,cet I 2010