DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ----------- BAGIAN KEDUA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN … TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN JAKARTA 2014
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
-----------
BAGIAN KEDUA
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN …
TENTANG
PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN
JAKARTA
2014
1
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa negara melindungi segenap bangsa Indonesia
dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, serta mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia;
b. bahwa untuk menjamn masyarakat adil dan makmur
serta untuk memnuhi hak dan kebutuhan dasar
seluruh rakyat Indonesia, negara menyelenggarakan
perlindungan dan pmeberdayaan masyarakat,
khususnya nelayan secara terencana, terarah, dan
berkelanjutan;
c. bahwa kerusakan lingkungan pada kawasan
perikanan tangkap, munculnya konflik antar
kelompok masyarakat nelayan, serta permasalahan
lainnya, memerlukan upaya perlindungan dan
pemberdayaan nelayan sebagai tanggung jawab
pemerintah yang memiliki landasan pengaturan
hukum tersendiri;
d. bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku
saat ini belum mengatur perlindungan dan
pemberdayaan nelayan secara komprehensif, sistemik,
dan holistic;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d
perlu membentuk Undang-Undang tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan;
2
Mengingat : Pasal 20, Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat
(4) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN DAN
PEMBERDAYAAN NELAYAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Perlindungan Nelayan adalah segala upaya Nelayan dalam
melakukan aktifitas mata pencahariannya serta dalam menghadapi
permasalahan kesulitan memperoleh prasarana dan sarana
produksi, kepastian usaha, risiko harga, praktik ekonomi biaya
tinggi, dan bencana.
2. Pemberdayaan Nelayan adalah segala upaya untuk meningkatkan
peran dan kemampuan Nelayan dalam meningkatkan kesejahteraan
dan taraf hidupnya melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan
dan pendampingan, kemudahan Akses ilmu pengetahuan, teknologi
dan informasi, serta penguatan Kelembagaan Nelayan.
3. Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan
penangkapan Ikan.
4. Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan
penangkapan Ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,
menggunakan teknologi penangkapan Ikan sederhana, dan
3
menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (lima) gross
ton.
5. Nelayan Komersial adalah orang yang mata pencahariannya
melakukan penangkapan Ikan untuk tujuan komersial atau
dipasarkan baik untuk pasar domestik maupun pasar ekspor,
menggunakan teknologi maju, dan menggunakan kapal perikanan
berukuran lebih besar dari 5 (lima) gross ton.
6. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari
siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.
7. Akses adalah kemudahan untuk memperoleh, masuk, atau
menggunakan.
8. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya Ikan dan lingkungannya
mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan
pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
9. Diversifikasi Usaha adalah perluasan jenis usaha di luar usaha
pokok yang masih terkait dengan usaha perikanan.
10. Kelembagaan Nelayan adalah lembaga yang ditumbuhkembangkan
dari, oleh dan untuk Nelayan guna memperkuat dan
memperjuangkan kepentingan Nelayan.
11. Kelompok Usaha Bersama yang selanjutnya disingkat KUB adalah
badan usaha non badan hukum yang berupa kelompok yang
dibentuk oleh Nelayan berdasarkan hasil kesepakatan/ musyawarah
seluruh anggota yang dilandasi oleh keinginan bersama untuk
berusaha bersama dan dipertanggungjawabkan secara bersama guna
meningkatkan pendapatan anggota.
12. Koperasi Nelayan adalah badan usaha Nelayan yang beranggotakan
orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan
kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan
ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
13. Kredit Mikro adalah kredit yang disalurkan melalui lembaga
keuangan mikro dengan mekanisme bunga dan/atau bagi hasil.
4
14. Kredit Lainnya adalah kredit yang disalurkan kepada Nelayan Kecil,
KUB dan koperasi Nelayan yang dapat berupa kredit investasi
dan/atau modal kerja yang diberikan bank pelaksana.
15. Dana Bantuan Langsung adalah dana bantuan untuk kebutuhan
investasi dan modal kerja tanpa kewajiban bagi penerima untuk
mengembalikan kepada pemberi.
16. Asuransi Nelayan adalah perjanjian antara Nelayan dengan
perusahaan asuransi untuk mengikatkan diri dalam pertanggungan
risiko usaha perikanan.
17. Kemitraan Usaha adalah jalinan kerja antara pengusaha perikanan
menengah/besar dengan kelompok Nelayan kecil, kelompok
pengolah dan pemasar Ikan kecil, dan/atau koperasi peran dalam
kegiatan usaha perikanan disertai dengan pembinaan dan
pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan
memperhatikan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat,
dan saling membutuhkan.
18. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
19. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah.
20. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang maritim, kelautan dan Perikanan.
5
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN LINGKUP PENGATURAN
Bagian Kesatu
Asas
Pasal 2
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dilakukan berdasarkan asas:
a. kedaulatan;
b. pengayoman;
c. kemandirian;
d. keadilan;
e. kesejahteraan;
f. keterpaduan;
g. keterbukaan;
h. efisiensi;
i. kemitraan;
j. partisipatif; dan
k. keberlanjutan.
Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 3
Tujuan Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan adalah:
a. mewujudkan kemandirian Nelayan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan, kualitas, dan kehidupan yang lebih baik;
b. meningkatkan usaha Nelayan yang produktif, efisien, bernilai
tambah, dan berkelanjutan;
c. meningkatkan kemampuan dan kapasitas Nelayan;
6
d. menjamin Akses Nelayan terhadap sumber daya Ikan dan
lingkungannya, teknologi, permodalan, sarana prasarana produksi,
dan pemasaran; dan
e. memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada Nelayan.
Bagian Ketiga
Ruang Lingkup
Pasal 4
Ruang lingkup pengaturan Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan
meliputi:
a. wewenang dan tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
b. perencanaan;
c. perlindungan Nelayan;
d. pemberdayaan Nelayan;
e. hubungan kerja;
f. pembiayaan dan pendanaan;
g. peran serta masyarakat dan kemitraan;
h. pengawasan;
i. penyelesaian sengketa; dan
j. larangan dan sanksi.
BAB III
WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB
PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH
Bagian Kesatu
Wewenang dan Tanggung Jawab Pemerintah
Paragraf 1
Wewenang Pemerintah
Pasal 5
Dalam rangka Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pemerintah
berwenang:
7
a. merumuskan kebijakan dan strategi nasional dalam perencanaan,
penyelenggaraan, pengawasan, dan pembinaan dalam Perlindungan
dan Pemberdayaan Nelayan;
b. merumuskan kebijakan nasional dalam pengelolaan sumber daya
perikanan di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil; dan
c. merumuskan kebijakan perizinan, pengelolaan terpadu dan
pemanfaatan sumber daya Ikan nasional dan antardaerah.
Paragraf 2
Tanggung Jawab Pemerintah
Pasal 6
Dalam rangka Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pemerintah
bertanggungjawab:
a. melaksanakan kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan di
wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil;
b. melaksanakan koordinasi dengan provinsi, kabupaten/kota terkait
kebijakan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
c. melaksanakan kebijakan perizinan, pengelolaan terpadu dan
pemanfaatan sumber daya Ikan nasional dan antarprovinsi;
d. melaksanakan kebijakan dan koordinasi pengelolaan lingkungan dan
ekosistem pesisir dan laut sebagai bentuk perlindungan terhadap
area konservasi guna perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan
plasma nutfah sumber daya Ikan bagi Nelayan;
e. melakukan sosialisasi berkesinambungan kebijakan Perlindungan
dan Pemberdayaan Nelayan;
f. memfasilitasi penyelesaian sengketa yang terjadi pada masyarakat
Nelayan; dan
g. mendukung pembuatan dan penyebarluasan peta pola migrasi dan
penyebaran Ikan di perairan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
8
Bagian Kedua
Wewenang dan Tanggung Jawab Pemerintah Daerah
Paragraf 1
Wewenang Pemerintah Daerah
Pasal 7
Dalam rangka Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pemerintah
Daerah berwenang:
a. merumuskan kebijakan dan strategi daerah dalam perencanaan,
penyelenggaraan, pengawasan, dan pembinaan dalam Perlindungan
dan Pemberdayaan Nelayan berdasarkan strategi Nasional.
b. merumuskan kebijakan daerah dalam pengelolaan sumber daya
Perikanan di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil; dan
c. merumuskan kebijakan perizinan, pengelolaan terpadu dan
pemanfaatan sumber daya Ikan daerah.
Paragraf 2
Tanggung Jawab Pemerintah Daerah
Pasal 8
Dalam rangka Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pemerintah
Daerah bertanggungjawab:
a. melaksanakan kebijakan pengelolaan sumber daya Perikanan di
wilayah pesisir, laut, pulau-pulau kecil dan perairan umum daratan;
b. melaksanakan koordinasi dengan provinsi dan kabupaten/kota yang
berbatasan terkait kebijakan penataan ruang perairan umum
daratan serta rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
c. melaksanakan kebijakan dan koordinasi pengelolaan lingkungan dan
ekosistem pesisir dan laut sebagai bentuk perlindungan terhadap
area konservasi guna perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan
plasma nutfah sumber daya Ikan bagi Nelayan;
d. mengembangkan sentra aktivitas perikanan;
9
e. memfasilitasi penyelesaian sengketa yang terjadi pada masyarakat
Nelayan; dan
f. melakukan sosialisasi berkesinambungan kebijakan Perlindungan
dan Pemberdayaan Nelayan di daerah.
BAB IV
PERENCANAAN
Pasal 9
(1) Perencanaan Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dilakukan
secara sistematis, terpadu, terarah, dan berkelanjutan.
(2) Perencanaan strategi dan kebijakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan berdasarkan pada:
a. daya dukung lingkungan hidup;
b. rencana tata ruang wilayah;
c. zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
d. perkembangan ilmu pengetahuan;
e. tingkat pertumbuhan ekonomi; dan
f. kesesuaian dengan kelembagaan dan budaya setempat.
(3) Perencanaan Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan memperhatikan:
a. rencana pembangunan nasional;
b. rencana pembangunan daerah;
c. anggaran pendapatan dan belanja negara; dan
d. anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Pasal 10
(1) Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 memuat strategi
dan kebijakan perlindungan dan pemberdayaan Nelayan.
10
(2) Strategi dan kebijakan perlindungan dan pemberdayaan Nelayan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah
dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan
kebijakan dan strategi perlindungan Nelayan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf a dan Pasal 7 huruf a.
BAB V
PERLINDUNGAN NELAYAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 11
(1) Perlindungan Nelayan dilakukan melalui strategi dan kebijakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
(2) Ruang lingkup Perlindungan Nelayan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. prasarana dan sarana produksi Perikanan;
b. identifikasi khusus Nelayan;
c. kepastian usaha;
d. harga komoditas Perikanan;
e. penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi;
f. perlindungan akibat kejadian luar biasa;
g. mitigasi bencana;
h. asuransi Nelayan; dan
i. bentuk perlindungan lain.
11
Bagian Kedua
Prasarana dan Sarana Produksi Perikanan
Pasal 12
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
bertanggungjawab menyediakan dan mengelola prasarana dan
sarana produksi Perikanan.
(2) Prasarana dan sarana produksi Perikanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. sumber daya Ikan;
b. pelabuhan;
c. prasarana penangkapan Ikan; dan
d. bahan bakar.
Pasal 13
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan Akses bagi
Nelayan terhadap sumber daya Ikan di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara Republik Indonesia.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin Akses Nelayan Kecil
terhadap sumber daya Ikan pada zona Perikanan berkelanjutan di
kawasan konservasi perairan.
(3) Pemanfaatan Akses terhadap sumber daya Ikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilakukan dengan menaati ketentuan
zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, tata ruang perairan
umum daratan, serta ketentuan konservasi.
Pasal 14
(1) Nelayan Kecil dalam melakukan kegiatan penangkapan Ikan dapat
memanfaatkan pelabuhan Perikanan yang berada di seluruh wilayah
Indonesia sebagai sentra aktivitasnya.
(2) Pemerintah Daerah menyediakan Akses dan fasilitas pelabuhan
Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
12
(3) Pemanfaatan pelabuhan Perikanan bagi Nelayan Komersial
dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang Perikanan.
Pasal 15
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan Akses bagi
Nelayan Kecil terhadap sarana penangkapan Ikan meliputi:
a. kapal penangkap Ikan;
b. alat penangkapan Ikan; dan
c. alat bantu penangkapan Ikan.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengembangkan prasarana
penangkapan Ikan untuk menjamin Akses sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Pengembangan prasarana penangkapan Ikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diselenggarakan dengan:
a. mewujudkan tempat pemasaran Ikan yang memenuhi jaminan
mutu dan keamanan hasil Perikanan;
b. mewujudkan fasilitas pendukung tempat pemasaran Ikan;
c. menyediakan informasi tempat pemasaran Ikan;
d. menyediakan sarana bahan pembeku Ikan pada sentra
Perikanan; dan
e. mengembangkan sistem pemasaran dan promosi hasil
Perikanan.
(4) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan fasilitas dan
kemudahan bagi Nelayan Kecil untuk mendapatkan sarana
penangkapan Ikan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
Nelayan.
Pasal 16
(1) Penyediaan bahan bakar minyak dengan harga subsidi khusus bagi
Nelayan Kecil dilakukan melalui pendirian stasiun pengisian bahan
bakar nelayan di kabupaten/kota.
13
(2) Harga bahan bakar minyak subsidi khusus bagi Nelayan Kecil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri yang
membidangi sumber daya mineral sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Bahan bakar minyak dengan harga subsidi khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diperuntukkan bagi Nelayan Kecil yang
memiliki identitas khusus Nelayan.
Bagian Ketiga
Identitas Khusus Nelayan
Pasal 17
(1) Dalam rangka Perlindungan Nelayan, Pemerintah memberikan
identitas khusus pada Nelayan.
(2) Identitas khusus Nelayan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan identitas resmi yang menunjukkan bahwa seseorang
melakukan aktivitas penangkapan Ikan sebagai mata
pencahariannya.
(3) Identitas khusus Nelayan diberikan kepada Nelayan guna
memudahkan proses identifikasi dalam pemberian bantuan,
pembinaan, atau perlindungan terhadap kepentingan nelayan.
(4) Identitas khusus Nelayan berlaku untuk 5 (lima) tahun dan
selanjutnya dapat diperpanjang kembali.
(5) Identitas khusus Nelayan dapat dicabut oleh Menteri apabila seorang
Nelayan tidak melakukan aktivitas penangkapan Ikan selama 6
(enam) bulan berturut-turut.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai identitas khusus Nelayan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan
Menteri.
14
Bagian Keempat
Kepastian Usaha
Pasal 18
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin kepastian usaha bagi
Nelayan.
(2) Jaminan kepastian usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pemberian izin usaha kepada Nelayan Kecil;
b. pemberian perlindungan terhadap Nelayan;
c. penyediaan sistem logistik Perikanan;
d. penyediaan jaminan informasi harga komoditas Perikanan; dan
e. pelaksanaan perlindungan harga, tarif bea masuk komoditi
Nelayan dan mutu produk.
(3) Pemberian izin usaha perikanan tradisional sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a tanpa dikenakan biaya.
Pasal 19
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pengembangan
usaha Perikanan yang meliputi:
a. usaha penangkapan;
b. usaha pengolahan; dan
c. usaha pemasaran Ikan.
(2) Pengembangan usaha Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan paling sedikit melalui kegiatan:
a. peningkatan skala usaha penangkapan Ikan;
b. penyediaan modal usaha;
c. peningkatan produktivitas;
d. peningkatan efisiensi; dan
15
e. peningkatan nilai tambah dengan mempertimbangkan
ketersediaan sumber daya Ikan dan lingkungannya.
Pasal 20
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi diversifikasi jenis
dalam usaha penangkapan Ikan.
(2) Diversifikasi Usaha sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. usaha pengolahan Ikan;
b. pembudidayaan Ikan;
c. produksi garam;
d. perbengkelan dan galangan kapal Perikanan; dan
e. wisata bahari.
(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat mengembangkan
Diversifikasi Usaha lain sesuai karakteristik dan potensi daerah
selain Diversifikasi Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Bagian Kelima
Harga Komoditas Perikanan
Pasal 21
(1) Pemerintah menetapkan jenis dan harga dasar komoditas Perikanan
tertentu nasional dan lokal.
(2) Penetapan harga dasar komoditas Perikanan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prinsip menguntungkan
bagi Nelayan.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penetapan jenis dan harga
dasar komoditas Perikanan diatur dengan Peraturan Menteri.
16
Bagian Keenam
Penghapusan Praktik Ekonomi Biaya Tinggi
Pasal 22
(1) Pemerintah menetapkan dan melaksanakan strategi dan kebijakan
Penghapusan Praktik Ekonomi Biaya Tinggi dengan menghapuskan
berbagai pungutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dalam usaha perikanan.
(2) Pelaksanaan strategi dan kebijakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diselenggarakan secara terpadu antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan aparat penegak hukum.
Bagian Ketujuh
Perlindungan Akibat Kejadian Luar Biasa
Pasal 23
(1) Perlindungan Nelayan sebagai akibat kejadian luar biasa berupa
ganti rugi yang diberikan kepada Nelayan Kecil.
(2) Kejadian luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. bencana alam;
b. bencana non-alam; dan
c. bencana sosial.
(3) Perlindungan Nelayan akibat kejadian luar biasa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dilakukan dalam bentuk
fasilitasi pemberian bantuan/santunan dan/atau penyelesaian ganti
rugi oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
(4) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan bantuan/santunan
dan/atau upaya pemulihan akibat bencana alam sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dengan mempertimbangkan
kemampuan keuangan Negara.
17
Bagian Kedelapan
Mitigasi Bencana dan Sistem Peringatan Dini
Pasal 24
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
menetapkan dan melaksanakan mitigasi bencana untuk mengurangi
risiko kejadian bencana dalam usaha perikanan.
(2) Pemerintah menyediakan sistem informasi peringatan dini tentang
risiko dan bahaya dalam melakukan aktivitas Perikanan.
(3) Pemerintah Daerah menyelenggarakan sistem informasi peringatan
dini secara terpadu dengan memperhatikan kekhasan geografis
setempat.
(4) Sistem informasi peringatan dini tentang risiko dan bahaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
a. informasi iklim dan cuaca; dan
b. informasi oseanografi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi peringatan dini
tentang risiko dan bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Kesembilan
Bentuk Perlindungan Lain
Pasal 25
Bentuk perlindungan lain yang difasilitasi oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah meliputi:
a. advokasi dan bantuan hukum;
b. bantuan yang bersifat teknis; dan
c. santunan dalam hal kecelakaan di laut pada saat kegiatan
penangkapan Ikan.
18
BAB VI
PEMBERDAYAAN NELAYAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 26
Pemberdayaan Nelayan diselenggarakan dengan mengutamakan
pelaksanaan program yang berbasis pada peningkatan kesejahteraan
terkait dengan penangkapan Ikan dan kegiatan Perikanan maupun
kegiatan non Perikanan lainnya.
Pasal 27
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan koordinasi dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pemberdayaan Nelayan.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk
melaksanakan strategi pemberdayaan Nelayan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26.
Bagian Kedua
Pendidikan dan Pelatihan
Pasal 28
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggungjawab
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kepada nelayan.
(2) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pengembangan program pelatihan dan pemagangan;
b. pemberian beasiswa bagi Nelayan untuk mendapatkan
pendidikan di bidang Perikanan; dan
c. pengembangan pelatihan kewirausahaan di bidang Perikanan.
19
(3) Nelayan yang telah mendapatkan pendidikan dan pelatihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta telah memenuhi kriteria
berhak memperoleh bantuan modal dari Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendidikan dan pelatihan Nelayan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan
Menteri.
Pasal 29
(1) Pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan keahlian dan
keterampilan Nelayan diselenggarakan secara berkelanjutan.
(2) Selain Pemerintah dan Pemerintah Daerah, badan dan/atau lembaga
yang terakreditasi dapat melaksanakan pendidikan dan pelatihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Penyuluhan dan Pendampingan
Pasal 30
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
memberi fasilitas penyuluhan dan pendampingan kepada Nelayan
dengan memperhatikan kekhasan daerah.
(2) Penyuluhan Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan dalam rangka Pemberdayaan Nelayan sebagai
pelaku utama, meliputi:
a. tata cara penangkapan Ikan yang bertanggung jawab;
b. tata cara pengolahan dan pemasaran yang baik;
c. analisis kelayakan usaha yang menguntungkan;
d. kemitraan dengan pelaku usaha Perikanan; dan
e. pengelolaan Dana Bantuan Langsung dengan baik.
20
(3) Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan
pembinaan teknis melalui penyiapan dan penyediaan tenaga sarjana
pendamping dan menambah tenaga penyuluh lapang di tiap
kecamatan.
Pasal 31
(1) Penyuluhan Perikanan untuk Nelayan dilakukan dengan
menggunakan pendekatan partisipatif dan memperhatikan kondisi
lingkungan setempat.
(2) Materi penyuluhan meliputi unsur ilmu pengetahuan, teknologi,
informasi, ekonomi, manajemen, hukum, pelestarian lingkungan,
dan materi lain sesuai kebutuhan.
(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong pemenuhan sarana
dan prasarana penyuluhan serta penyediaan tenaga penyuluh paling
sedikit 1 (satu) tenaga penyuluh dalam 1 (satu) desa Nelayan untuk
mendukung kelestarian fungsi lingkungan.
Pasal 32
Penyuluhan dan pendampingan secara khusus dalam pemberdayaan
perempuan di kawasan pemukiman Nelayan dilaksanakan melalui:
a. bimbingan teknis pengembangan Diversifikasi Usaha bagi
perempuan;
b. pengumpulan dan pertukaran data dalam rangka pengembangan
Diversifikasi Usaha bagi perempuan;
c. sosialisasi dan diseminasi program pengarusutamaan gender; dan
d. peningkatan peranan aktif perempuan dalam perencanaan,
pelaksanaan, pengambilan keputusan, dan pengawasan.
21
Bagian Keempat
Akses Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Informasi
Pasal 33
(1) Kemudahan Akses teknologi penangkapan Ikan meliputi:
a. penyerbarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. kerjasama alih teknologi; dan
c. penyediaan fasilitas bagi Nelayan untuk mengakses ilmu
pengetahuan, teknologi, dan informasi.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit
memuat:
a. sarana produksi penangkapan Ikan dan pembudidayaan Ikan;
b. harga komoditas Perikanan;
c. peluang dan tantangan pasar;
d. prakiraan iklim, dan wabah penyakit Ikan;
e. pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan;
f. pemberian subsidi dan bantuan modal; dan
g. ketersediaan sumber daya Ikan.
(3) Penyediaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dalam media informasi yang memungkinkan Akses
informasi yang mudah dan cepat bagi Nelayan.
Bagian Kelima
Penguatan Kelembagaan
Pasal 34
(4) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan penguatan
Kelembagaan Nelayan sesuai dengan potensi dan karakteristik lokal.
(5) Kelembagaan Nelayan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. KUB;
b. koperasi;
22
c. forum KUB;
d. badan usaha; dan
e. badan hukum.
Pasal 35
Ketentuan lebih lanjut mengenai penguatan Kelembagaan Nelayan diatur
dalam Peraturan Menteri.
BAB VII
HUBUNGAN KERJA
Pasal 36
(1) Masyarakat Nelayan sesuai dengan aktivitasnya dapat
dikelompokkan menjadi:
a. Nelayan tangkap;
b. Nelayan pengumpul/bakul;
c. Nelayan buruh; dan
d. Nelayan tambak dan pengolah sumber daya Ikan.
(2) Kelompok Nelayan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dapat
melakukan hubungan kerja yang dibuat dalam perjanjian kerja.
Pasal 37
Hubungan kerja Nelayan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2)
dilakukan berdasarkan:
a. kesepakatan para pihak;
b. sistem bagi hasil yang adil; dan
c. tidak bersifat eksploitatif.
23
Pasal 38
(1) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2)
dibuat atas dasar:
a. kesepakatan para pihak;
b. kecakapan;
c. adanya pekerjaan yang dijanjikan; dan
d. pekerjaan yang dijanjikan tidak bertentangan dengan
kesusilaan, ketertiban umum, dan peraturan perundang-
undangan.
(2) Perjanjian kerja yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dimintakan pembatalan
kepada Pengadilan.
(3) Perjanjian kerja yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d batal demi hukum.
Pasal 39
Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali atau dicabut kecuali atas
persetujuan para pihak.
Pasal 40
Segala hal/biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan
perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab dari para
pihak.
BAB VIII
PEMBIAYAAN DAN PERMODALAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 41
Pembiayaan penyelenggaraan dari pelaksanaan Undang-Undang ini
dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau
24
anggaran pendapatan dan belanja daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Pembiayaan Nelayan
Pasal 42
(1) Badan Usaha Milik Negara bidang perbankan dan Badan Usaha Milik
Daerah bidang perbankan memberi fasilitas pembiayaan dan
permodalan usaha Nelayan.
(2) Dalam rangka memberikan fasilitas pembiayaan dan permodalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan usaha milik negara
bidang perbankan dan badan usaha milik daerah bidang perbankan
membentuk unit khusus Perikanan dengan skim pembiayaan
khusus.
Pasal 43
(1) Pemerintah bekerjasama dengan Bank Indonesia menyusun dan
menetapkan skim pembiayaan khusus untuk Nelayan Kecil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2).
(2) Pembiayaan dan permodalan usaha Nelayan dapat dilakukan oleh
bank swasta dan/atau lembaga keuangan lainnya dengan
membentuk unit khusus Perikanan.
(3) Pengaturan lebih lanjut tentang unit khusus Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Bank
Indonesia.
Pasal 44
Pembiayaan dan permodalan Perlindungan dan Pemberdayaan untuk
Nelayan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) meliputi:
a. Kredit Mikro;
b. Kredit Lainnya; dan
25
c. Dana Bantuan Langsung.
Pasal 45
(1) Kredit Mikro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf a
diperuntukkan bagi Nelayan, KUB Nelayan, dan Koperasi Nelayan
yang tergolong memiliki kelayakan usaha dan memenuhi persyaratan
perbankan.
(2) Kredit Mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disalurkan
melalui lembaga keuangan mikro yang ditunjuk oleh Pemerintah
Daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan peruntukan Kredit
Mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Menteri.
Pasal 46
(1) Kredit Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf b
diperuntukkan bagi Nelayan, KUB Nelayan, dan Koperasi Nelayan
yang tergolong memiliki kelayakan usaha dan belum memenuhi
persyaratan perbankan.
(2) Kredit Lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disalurkan
melalui bank pelaksana yang ditunjuk oleh Pemerintah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tata Cara dan peruntukan Kredit
Lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Menteri.
Pasal 47
(1) Dana Bantuan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
huruf c diperuntukkan bagi Nelayan, KUB Nelayan, dan Koperasi
Perikanan yang tergolong tidak memiliki kelayakan usaha dan/atau
tidak memenuhi persyaratan perbankan.
26
(2) Dana Bantuan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disalurkan melalui Pemerintah atau lembaga yang ditunjuk oleh
Pemerintah.
(3) Pelaksanaan Dana Bantuan Langsung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan pendampingan oleh Pemerintah Daerah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Dana Bantuan Langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Menteri.
Pasal 48
(1) Pembiayaan usaha Nelayan dilakukan dengan menjamin adanya
kemudahan Akses permodalan bagi Nelayan.
(2) Kemudahan Akses permodalan bagi Nelayan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan dalam bentuk:
a. sertifikasi hak atas tanah Nelayan;
b. identitas khusus Nelayan;
c. penghipotikkan kapal 10 GT sampai dengan 30 GT;
d. peningkatan kapasitas manajemen usaha dan kelembagaan;
e. penumbuhkembangan, pengembangan dan perluasan
jangkauan lembaga penjamin kredit daerah;
f. pembentukan klaster usaha Perikanan;
g. pembentukan Kemitraan Usaha; dan
h. penumbuhkembangan, pengembangan dan perluasan jaringan
lembaga keuangan bukan bank.
(3) Pemberian Akses permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan menerapkan prinsip:
a. cara yang mudah;
b. bunga pinjaman yang rendah; dan
c. mempertimbangkan kemampuan Nelayan.
27
Bagian Ketiga
Asuransi Nelayan
Pasal 49
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
bertanggung jawab melindungi usaha Perikanan dalam bentuk
Asuransi Nelayan.
(2) Asuransi Nelayan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan untuk melindungi Nelayan dari risiko yang timbul
dalam aktivitas Perikanan.
(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menugaskan badan usaha milik
negara dan/atau badan usaha milik daerah di bidang asuransi
untuk melaksanakan Asuransi Nelayan.
(4) Pelaksanaan Asuransi Nelayan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
Pasal 50
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi kemudahan
pengadaan Asuransi Jiwa untuk Nelayan untuk dapat menjadi
peserta asuransi jiwa.
(2) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kemudahan prosedur dan proses pendaftaran sebagai peserta;
b. Akses informasi serta komunikasi terhadap dan dari penyedia
jasa asuransi;
c. sosialisasi asuransi jiwa; dan/atau
d. bantuan pembayaran premi.
(3) Pelaksanaan fasilitasi asuransi jiwa diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri.
28
BAB IX
PERAN SERTA MASYARAKAT DAN KEMITRAAN
Pasal 51
(1) Nelayan dan para pemangku kepentingan di dalam masyarakat ikut
berperan aktif membantu Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam
perlindungan terhadap area konservasi dalam rangka pelestarian
dan pemanfaatan plasma nutfah sumber daya Ikan.
(2) Masyarakat dapat berperanserta dalam penyelenggaraan
Pemberdayaan dan Perlindungan Nelayan melalui kegiatan fasilitasi
sumber pembiayaan atau permodalan, program kemitraan dan bina
lingkungan, dan tanggung jawab sosial perusahaan.
Pasal 52
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(2) dapat dilakukan secara perseorangan dan/atau berkelompok.
(2) Peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan
dengan melakukan koordinasi bersama Pemerintah dan Pemerintah
Daerah dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan Nelayan.
Pasal 53
(1) Partisipasi Nelayan dalam bentuk KUB, secara berkala
menyampaikan laporan kegiatan kepada instansi kelautan dan
Perikanan di daerah.
(2) Laporan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisikan
perkembangan dari pelaksanaan program yang diadakan Pemerintah
Daerah dan/atau pihak lainnya.
Pasal 54
(1) Dalam rangka mengembangkan usaha Perikanan, Pemerintah dan
Pemerintah Daerah bertanggung jawab memfasilitasi Kemitraan
Usaha penangkapan Ikan.
29
(2) Pola kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. antarnelayan;
b. antara Nelayan dengan koperasi Perikanan;
c. antara Nelayan dengan pelaku usaha Perikanan;
d. antara Nelayan dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah; dan
e. antara Nelayan dengan lembaga perbankan atau lembaga
pembiayaan.
Pasal 55
(1) Kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dapat dilakukan
dalam bidang meliputi:
a. proses alih keterampilan bidang produksi dan pengolahan;
b. pemasaran;
c. permodalan;
d. sumber daya manusia; dan/atau
e. teknologi sesuai dengan pola kemitraan.
(2) Pola kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berbentuk inti plasma, subkontrak, dagang umum, keagenan atau
waralaba;
(3) Kemitraan dilakukan dengan menghormati asas kebebasan
berkontrak.
BAB X
PENGAWASAN
Pasal 56
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
bertanggung jawab melaksanakan pengawasan terhadap Nelayan
30
dalam memanfaatkan usaha Perikanan di wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil serta perairan umum daratan.
(2) Pengawasan Nelayan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pemantauan, pelaporan, dan evaluasi.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan Nelayan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat melibatkan
masyarakat dalam pemantauan dan pelaporan dengan
memberdayakan potensi yang ada.
(4) Keterlibatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
difungsikan untuk menjaga dan melestarikan sumber daya
Perikanan serta membantu aparat dalam mencegah terjadinya
pelanggaran pemanfaatan sumber daya Perikanan melalui
pembentukan kelompok masyarakat pengawas.
(5) Kelompok masyarakat pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dikoordinasikan oleh lembaga lokal dan bersinergi dengan aparat
penegak hukum.
BAB XI
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 57
(1) Sengketa antar Nelayan diselesaikan dengan mengedepankan
alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik.
(2) Penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan
langsung antara para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan
tertulis.
(3) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) tidak dapat diselesaikan, atas kesepakatan tertulis para pihak
sengketa diselesaikan melalui bantuan mediator.
(4) Penyelesaian sengketa melalui bantuan mediator sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
31
hari harus mencapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang
ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.
(5) Kesepakatan penyelesaian sengketa secara tertulis adalah final dan
mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik.
Pasal 58
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya memfasilitasi penyelesaian sengketa Nelayan
melalui:
a. pemberian Akses atas informasi terkait sengketa;
b. penyediaan mediator; dan/atau
c. pemberian advokasi dan bantuan hukum bagi Nelayan Kecil.
(2) Sengketa Nelayan yang terjadi dalam aspek administratif
diselesaikan melalui mekanisme administratif yang ada pada
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan tingkat
kewenangannya.
Pasal 59
Dalam hal penyelesaian sengketa alternatif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 58 tidak dapat dicapai, penyelesaian sengketa dilakukan melalui
jalur pengadilan.
BAB XII
LARANGAN DAN SANKSI
Pasal 60
(1) Nelayan dilarang menyalahgunakan dan/atau menggunakan
bantuan fasilitas dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang
tidak sesuai dengan peruntukannya.
(2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkaitan dengan
prasarana dan sarana penangkapan Ikan dan yang terkait dengan
kegiatan Perikanan.
32
(3) Petugas yang membantu peningkatan kesejahteraan Nelayan baik
karena bencana maupun dalam rangka pelaksanaan program
peningkatan ekonomi dilarang memungut dan/atau meminta
sesuatu imbalan dalam bentuk apapun kepada Nelayan.
Pasal 61
(1) Nelayan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60 ayat (1) dikenakan sanksi administrasi berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. pencabutan izin.
(2) Petugas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60 ayat (3) dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 62
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, semua peraturan pelaksanaan
yang bersifat teknis dinyatakan tetap berlaku selama tidak bertentangan
dengan Undang-Undang ini.
Pasal 63
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
33
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal ...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
tanda tangan
.....................................
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal ...
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan
.....................................
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ...
34
PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN …
TENTANG
PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN
I. UMUM
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 tanggung jawab untuk meleindungi segenap bangsa
Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa serta mewujudkan keadila sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia, Sejalan dengan hal tersebut, salah satu tujuan
pembangunan harus diarahkan pada pemberdayaan dan
perlindungan Nelayan.
Selama ini Nelayan memiliki konstilasi yang nyata dalam
pembangunan neasional. Sebagai pelaku pembangunan, Nelayan
perlu diberi perlindungan dan pemberdayaan untuk mendukung
kemandirian nasional dibidang perikanan, kelautan, dan maritim.
Saat ini Indonesia telah memiliki tiga Undang-Undang (UU) yang
terkait langsung dengan pembangunan kelautan dan perikanan yaitu
UU Nomor 31 Tahun 2004 jo. UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perikanan; serta UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan telah diamandemen serta
disahkan kembali menjadi UU baru oleh DPR pada tanggal 18
Desember 2013. Namun demikian, ketiga UU di bidang kelautan dan
perikanan tersebut belum memberikan perhatian secara khusus pada
perlindungan dan pemberdayaan masyarakat nelayan yang
menggantungkan hidupnya pada sumberdaya kelautan dan
perikanan. UU Nomor 31 Tahun 2004 maupun UU Nomor 45 tahun
2009 tidak memposisikan nelayan sebagai pihak yang mendapat
35
perlindungan dan pemberdayaan dalam menjalankan usaha di bidang
penangkapan.
Nelayan sebagai aktor utama dalam pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya kelautan dan perikanan perlu mendapat perhatian,
karena, pertama menurut konvensi ILO Nomor 188 Tahun 2007
tentang Pengaturan Bekerja di Bidang Perikanan (the Work in Fishing
Convention) menyatakan bahwa pekerjaan di bidang perikanan
khususnya penangkapan sebagai jenis pekerjaan yang berbahaya
dibandingkan dengan jenis pekerjaan lainnya.
Berbahaya karena pekerjaan tersebut memiliki resiko terjadinya
pelanggaran hak-hak pekerja di atas kapal perikanan dan tindak
pidana yang mengancam kelestarian sumberdaya kelautan dan
perikanan seperti illegal fishing dan penangkapan biota-biota laut
yang dilindungi. Bahkan menurut penelitian United Nation Office on
Drugs and Crime (UNODC) tahun 2011, kegiatan industri perikanan
rentan pula disalahgunakan untuk melakukan tindakan kriminal
yang bersifat transnasional seperti penyelundupan barang dan tenaga
kerja (smuggling of goods and migrant workers), perdagangan manusia
(human trafficking), peredaran narkotika dan obat-obat terlarang (illicit
traffic in drugs and psychotrophic substances), serta tindakan kriminal
lainnya yang berlangsung di tengah laut.
Kedua, nelayan merupakan pihak yang berkontribusi sebagai
penyedia produk hayati kelautan dan perikanan baik untuk
kebutuhan konsumsi maupun industri pengolahan. Dari data
produksi tahunan yang dirilis oleh Kementerian Kelautan dan
Perikanan, kegiatan penangkapan menyumbang lebih dari 67%
produksi perikanan nasional (Kementerian Kelautan dan Perikanan,
2012). Hal ini menunjukkan bahwa nelayan memiliki peran strategis
dalam memproduksi dan menyediakan produk perikanan baik secara
kuantitas maupun kualitas. Akan tetapi, isu kualitas dan keamanan
pangan produk perikanan Indonesia masih menjadi persoalan. Hal ini
disebabkan faktor sumberdaya manusia nelayan, dan teknologi
penangkapan serta penanganan (handling) pasca penangkapan.
Perlindungan dan pemberdayaan nelayan tentu dapat memperbaiki
kualitas produk perikanan Indonesia sesuai dengan standar
36
keamanan pangan yang dikembangkan oleh pemerintah maupun
organisasi internasional seperti the International Organization for
Standardization (ISO), the Agreement on the Application of Sanitary and
Phytosanitary Measures (SPS Agreement), the Agreement on Technical
Barriers to Trade (TBT Agreement), dan the Codex Alimentarius
Commission (Codex/CAC).
Perlindungan dan pemberdayaan terhadap nelayan memiliki makna
strategis sebab pertama, Indonesia merupakan negara kepulauan
dengan 2/3 luas berupa wilayah lautan. Kemampuan nelayan bekerja
melakukan penangkapan ikan di perairan teritorial dan ZEE, serta
berinteraksi dengan pihak asing di wilayah perbatasan dan perairan
laut yang cenderung terbuka dapat menjadi modal sosial dalam
menjaga keamanan wilayah perairan laut dan memperkuat posisi
Indonesia secara geopolitik. Kedua, peranan nelayan sebagai penyedia
produk kelautan dan perikanan dari hasil penangkapan secara
ekonomi sangat signifikan. Total nilai produksi perikanan dan hasil
penangkapan pada tahun 2010 mencapai Rp 59,6 trilyun, sedangkan
nilai total ekspornya mencapai US$ 2,9 milyar (Kementerian Kelautan
dan Perikanan, 2012).
Perlindungan dan pemberdayaan nelayan secara ekonomi dapat
memperkuat posisi Indonesia sebagai salah satu penghasil produk
kelautan dan perikanan terbesar di dunia. Ketiga, keberadaan nelayan
yang tersebar di seantero wilayah nusantara dengan berbagai ragam
suku dan budaya dapat menjadi faktor untuk mempererat dan
memperkokoh integrasi sosial di wilayah NKRI. Keempat, nelayan
memiliki peran dan tanggung jawab menjaga dan melestarikan
sumberdaya kelautan dan perikanan serta ekosistemnya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
37
Yang dimaksud dengan asas kedaulatan adalah
penyelenggaraan Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan
harus dilaksanakan dengan menjunjung tinggi kedaulatan
Nelayan yang memiliki hak-hak dan kebebasan dalam rangka
mengembangkan diri.
Huruf b
Yang dimaksud dengan asas pengayoman adalah bahwa
perlindungan dan pemberdayaan nelayan diselenggarakan
dengan tujuan utama mengayomi dan memberikan jaminan
perlindungan kepada nelayan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan asas kemandirian adalah bahwa agar
dalam setiap penyelenggaraan perlindungan dan
pemberdayaan nelayan harus memberikan peluang dan
kesempatan yang sama.
Huruf d
Yang dimaksud dengan asas keadilan adalah bahwa agar
dalam setiap penyelenggaraan perlindungan dan
pemberdayaan nelayan harus memberikan peluang dan
kesempatan yang sama.
Huruf e
Yang dimaksud dengan asas kesejahteraan bahwa
penyelenggaraan perlindungan dan pemberdayaan nelayan
harus dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat nelayan.
Huruf f
Yang dimaksud dengan asas keterpaduan adalah bahwa
penyelenggaraan perlindungan dan pemberdayaan nelayan
harus dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan antar
sektor.
Huruf g
Yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah
penyelenggaraan pemberdayaan nelayan dilakukan dengan
38
memperhatikan aspirasi masyarakat dan didukung dengan
pelayanan informasi yang dapat diakses oleh masyarakat.
Huruf h
Yang dimaksud dengan asas efisiensi adalah Perlindungan dan
Pemberdayaan Nelayan dilakukan dengan tepat, cermat, dan
berdaya guna untuk memperoleh hasil yang maksimal.
Huruf i
Yang dimaksud dengan asas kemitraan adalah bahwa agar
dalam setiap penyelenggaraan pemberdayaan nelayan
menerapkan kemitraan secara terbuka sehingga terjalin saling
keterkaitan dan saling ketergantungan secara sinergis antar
pemangku kepentingan.
Huruf j
Yang dimaksud dengan asas partisipatif adalah bahwa
penyelenggaraan perlindungan dan pemberdayaan harus
dilakukan dengan menjamin adanya kesempatan masyarakat
untuk berperan serta menghormati nilai-nilai kearifan
tradisional yang ada di dalam masyarakat.
Huruf k
Yang dimaksud dengan berkelanjutan adalah bahwa
penyelenggaraan perlindungan dan pemberdayaan harus dapat
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan nelayan
dengan mengupayakan kelestarian fungsi lingkungan hidup
dan memperhatikan kondisi sosial budaya.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
39
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Perencanaan dimaksudkan sebagai acuan dalam penetapan
upaya-upaya Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan yang
selaras dengan program Pemberdayaan masyarakat yang
telah ada serta dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, Pelaku Usaha, dan masyarakat.
Ayat (2)
Pelaksanaan Pemberdayaan Nelayan wajib didasari adanya
rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang
integral dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah baik pada
skala nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
40
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Prasarana dan sarana yang dimaksudkan di dalam Undang-
Undang ini tidaklah limitatif, sehingga jaminan Perlindungan
Nelayan yang diberikan oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah dapat berkembang pada macam prasarana dan sarana
lainnya dengan mempertimbangkan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pasal 13
Ayat (1)
Akses merupakan peluang atau kesempatan untuk melakukan
kegiatan yang berhubungan dengan penangkapan Ikan.
Akses terhadap Nelayan wajib diberikan tanpa adanya
pembatasan secara administratif mengenai status penduduk
seorang Nelayan. Sehingga tidak akan ada permasalahan
dikarenakan seorang Nelayan menangkap Ikan di
Kabupaten/Kota yang tidak sesuai dengan status domisili
hukumnya asalkan sesuai dengan zonasi kawasan konservasi
perairan.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
41
Pasal 14
Ayat (1)
Sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 13, dengan pemberian
Akses kepada Nelayan tanpa pembatasan secara administratif,
maka Nelayan wajib memanfaatkan pelabuhan Perikanan di
seluruh wilayah Indonesia sebagai sentra aktivitasnya.
Sehingga dalam hal terjadi keadaan tidak dapat berlabuh ke
pelabuhan Perikanan asal, maka Nelayan wajib memanfaatkan
pelabuhan Perikanan yang terdekat sebagai sentra aktivitas
untuk melabuhkan hasil tangkapannya.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Alat penangkapan Ikan seperti misalnya: alat pancing
dan jaring.
Huruf c
Alat bantu penangkapan Ikan dapat bervariasi
macamnya disesuaikan dengan kebutuhan nelayan,
kemampuan pendanaan yang dimiliki oleh Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah serta perkembangan
teknologi yang ada.
Alat bantu penangkapan Ikan tersebut misalnya: alat
pengumpul Ikan (rumpon dan lampu), alat komunikasi,
sonar, fish finder, dan winch.
42
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Fasilitas sesuai peruntukan yang dimaksud pada ayat ini
berkaitan dengan sarana dan prasarana penangkapan Ikan
dan lainnya yang terkait dengan kegiatan perikanan.
Pasal 16
Ayat (1)
Jaminan Perlindungan bagi Nelayan dalam Akses terhadap
bahan bakar wajib difasilitasi dengan stasiun pengisian bahan
bakar yang terjangkau jaraknya dengan sentra kegiatan
perikanan. Pemerintah bertanggung jawab menyiapkan sistem
Perlindungan Akses bahan bakar ini dengan penguatan sistem
identitas Nelayan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
43
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Penerbitan serta pengawasan penggunaan kartu identitas
khusus Nelayan dilakukan oleh Menteri. Dalam hal seorang
nelayan didapati tidak melakukan aktivitas apapun terkait
kegiatan penangkapan Ikan selama 6 (enam) bulan, identitas
khusus Nelayan akan dicabut lagi sampai dengan nelayan
tersebut kembali beraktivitas seperti semula.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Izin usaha kepada Nelayan Kecil diberikan tanpa ada
pembebanan persyaratan khusus. Pemberian izin
usaha ini dilakukan sebagai bentuk legalitas usaha dan
Perlindungan profesi yang diberikan bersamaan dengan
pemberian kartu identitas Nelayan.
Huruf b
Perlindungan yang diantaranya melalui sistem identitas
Nelayan dan izin usaha bagi Nelayan Kecil secara
keseluruhan ditujukan untuk meningkatkan taraf
hidup, kesejahteraan, serta martabat Nelayan.
Huruf c
Sistem logistik perikanan dibentuk dan dilaksanakan
oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah guna
menjamin adanya stabilitas harga dan pasokan produk
perikanan. Hal ini diperlukan dalam hal antisipasi
44
kondisi iklim yang mempengaruhi produktivitas
Nelayan pada satu periode musim. Pelaksanaan sistem
logistik perikanan ini dapat dilakukan juga melalui
diversifikasi produk perikanan, sebagai salah satu cara
untuk mengatasi persoalan keawetan dari produk
perikanan tersebut.
Huruf d
Informasi harga aktual dan mutakhir terutama
diperuntukkan bagi produk perikanan yang menjadi
komoditas ekspor. Sedangkan untuk komoditas
perikanan lokal, Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah dapat menetapkan harga rujukan/patokan
(referrence price) untuk menjamin adanya stabilitasi
pasar.
Huruf e
Dengan adanya informasi harga maupun stabilitasi
pasar komoditas perikanan diharapkan dapat
meningkatkan perekonomian sekaligus mutu produk
perikanan. Hal ini harus ditunjang dengan standar
mutu produk perikanan yang sistematis dan terpantau
dengan baik.
Ayat (3)
Selain tanpa perlu adanya persyaratan khusus, pemberian izin
usaha kepada Nelayan Kecil diberikan tanpa adanya
pembebanan biaya administrasi maupun biaya lainnya.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
45
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Pungutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan harus diberantas karena selain menjadi beban yang
selama ini merugikan Nelayan juga menjadi penghalang dalam
terciptanya kondisi pasar dan iklim ekonomi yang kondusif
dalam usaha perikanan.
Ayat (2)
Dalam melakukan koordinasi keamanan laut, Pemerintah
harus dapat melakukan pengawasan terhadap peluang-
peluang terjadinya pungutan yang tidak sesuai peraturan
perundang-undangan dalam kaitannya dengan usaha
perikanan. Adapun Pemerintah Daerah dengan berkoordinasi
dan bersinergi dengan aparat penegak hukum maupun
Pengawas dan PPNS dari Kementerian bidang perikanan atau
Instansi terkait, harus mampu memberantas pungutan-
pungutan tidak sah yang terjadi pada pelabuhan perikanan
maupun alur usaha perikanan yang lainnya.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
a. Perlindungan akibat bencana alam diberikan secara
langsung antara lain dalam bentuk pembebasan nelayan
dari segala biaya pengobatan dan perawatan akibat bencana
alam, pemberian bantuan bahan pangan, bantuan
pemukiman atau perumahan, serta penataan ulang
pemukiman nelayan yang rusak akibat bencana.
46
b. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam yang antara
lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan
wabah penyakit. Contohnya adalah bencana yang
ditimbulkan karena tumpahan minyak di laut.
c. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh
manusia, yang meliputi konflik sosial antar kelompok, antar
komunitas masyarakat, dan teror.
Sebagaimana bencana non-alam, bentuk
perlindunganterhadap bencana sosial diberikan tidak
secara langsung tetapi melalui proses pembuktian atas
kepastian penyebab dari bencana non-alam dan bencana
sosial tersebut.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Mitigasi bencana dan sistem peringatan dini dalam ayat ini
merupakan bagian tidak terpisahkan dalam upaya mitigasi
atau pencegahan terhadap dampak perubahan iklim.
Ayat (2)
Pemerintah berwenang dan bertanggungjawab dalam
menyiapkan sistem terpadu dalam mitigasi bencana dan
sistem peringatan dini dalam kegiatan perikanan.
Ayat (3)
Pemerintah Daerah berwenang dan bertanggungjawab untuk
melaksanakan sistem terpadu mitigasi bencana dan sistem
peringatan dini dalam kegiatan perikanan tersebut dengan
47
pendekatan partisipatif sehingga Nelayan ikut memahami dan
melaksanakan aktivitas menangkap Ikan dengan kehati-hatian
dan pemahaman tentang mitigasi bencana yang cukup. Selain
itu penerapan sistem terpadu mitigasi bencana dan sistem
peringatan dini ini harus memperhatikan kekhasan geografis
maupun kearifan lokal yang ada.
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Pasal 25
Huruf a
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat menyediakan
bantuan advokasi hukum melalui instansi yang
bertanggungjawab di bidang kelautan dan perikanan maupun
bekerjasama dengan lembaga penyedia bantuan hukum lokal
guna menyediakan advokasi dan bantuan hukum yang pro
bono.
Huruf b
Bantuan teknis adalah bantuan yang bersifat keahlian teknis
dalam kaitannya dengan kegiatan penangkapan Ikan. Sebagai
contoh pemberian bantuan untuk perbaikan sarana dan
prasarana penangkapan Ikan milik Nelayan.
Huruf c
Bentuk dan jumlah santunan ditentukan lebih lanjut sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah Daerah
dapat menentukan secara khusus besaran dan mekanisme
pemberian santunan disesuaikan dengan APBD dan
karakteristik daerah.
48
Pasal 26
Dalam melakukan Pemberdayaan Nelayan, Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan pemangku kepentingan lainnya dapat mengarahkan
pada pengembangan mata pencaharian alternatif bukan saja dalam
bidang perikanan, tetapi juga ke kegiatan non-perikanan.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Penyelenggaraan penyuluhan perikanan wajib memperhatikan
keunikan maupun karakteristik khas suatu masyarakat
Nelayan sesuai dengan kondisi sosial-budaya serta posisi dan
wilayah geografisnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
49
Materi lain yang dibutuhkan semisal tentang kode etik
perikanan yang bertanggungjawab yang dikeluarkan oleh FAO
(Code of Conduct on Sustainable Fisheries)
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Penguatan kelembagaan pada prinsipnya ditujukan untuk
dapat meningkatkan kesejahteraan Nelayan. Dalam
penerapannya dapat diterapkan mekanisme seperti misalnya
bagi hasil yang dapat menggunakan dua metode, yaitu: (a) bagi
untung (Profit Sharing) adalah bagi hasil yang dihitung dari
pendapatan setelah dikurangi biaya pengelolaan dana, atau (b)
bagi hasil (Revenue Sharing) adalah bagi hasil yang dihitung
dari total pendapatan pengelolaan dana.
Pasal 35
Cukup jelas.
50
Pasal 36
Ayat (1)
a. Nelayan tangkap adalah kelompok masyarakat Nelayan yang
mata pencaharian utamanya adalah menangkap Ikan di laut
dan perairan umum.
b. Nelayan pengumpul/bakul adalah kelompok masyarakat
Nelayan yang bekerja dan/atau berusaha di sekitar tempat
pendaratan dan pelelangan Ikan.
c. Nelayan ini biasanya mengumpulkan ikan-ikan hasil
tangkapan baik melalui pelelangan maupun dari sisa Ikan
yang tidak terlelang yang selanjutnya dijual ke masyarakat
sekitarnya atau dibawa ke pasar-pasar lokal;
d. Nelayan buruh adalah mereka yang tidak memiliki modal
atau peralatan yang memadai untuk usaha produktif.
e. Nelayan ini umumnya bekerja sebagai buruh/anak buah
kapal (ABK) pada kapal-kapal juragan dengan penghasilan
yang terbatas.
f. Nelayan tambak dan pengolah Ikan adalah kelompok
masyarakat yang mendayagunakan sumber daya Ikan untuk
meningkatkan nilai tambah.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 37
Cukup Jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
51
Ayat (2)
Suatu perjanjian kerja yang tidak sah syarat subyektifnya
dapat dimintakan pembatalan yang ditetapkan oleh Pengadilan
setempat.
Ayat (3)
Suatu perjanjian kerja yang tidak sah syarat obyektifnya
secara langsung menjadi batal demi hukum.
Pasal 39
Pembuatan perjanjian kerja tunduk pada ketentuan keperdataan
maupun peraturan perundang-undangan tentang ketenaga-kerjaan.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Skim pembiayaan khusus adalah skema pembiayaan yang
diperuntukkan secara spesifik bagi Nelayan sesuai persyaratan
yang ditentukan di dalam Undang-Undang ini dan
mempertimbangkan faktor risiko dan ketidakpastian atas
kegiatan utama dari profesi Nelayan
52
Pasal 43
Ayat (1)
Kerjasama dengan Bank Indonesia wajib dilakukan segera
untuk memungkinkan pembentukan unit khusus Nelayan
pada Bank BUMN maupun Bank BUMD dan skim pembiayaan
khusus Nelayan
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
53
Ayat (3)
a. Prinsip cara yang mudah adalah tata cara mendapatkan
kredit dan/atau pembiayaan yang dilakukan dengan
persyaratan sederhanadan prosedur cepat;
b. Prinsip bunga pinjaman yang rendah adalah sesuai dengan
suku bunga Bank Indonesia (BI)rate;dan
c. Prinsip mempertimbangkan kemampuan Nelayan adalah
mempertimbang-kan karakteristik dan siklus produksi.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemberdayaan Nelayan melalui program kemitraan dan bina
lingkungan maupun dalam rangka tanggung jawab sosial dan
lingkungan oleh suatu perusahaan dibiayai melalui dana
Corporate Sosial Responsibility (CSR) dalam bentuk bantuan
modal usaha bersama, pendampingan usaha (sarjana
pendamping/penyuluh perikanan swakarsa), perbaikan
lingkungan perairan, dan lain-lain.
Pasal 52
Cukup jelas.
54
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1)
Fasilitasi oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah harus
dilakukan secara aktif. Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah dapat membentuk badan atau unit kerja khusus pada
daerah yang rawan konflik Nelayan, maupun dengan
penyiapan mediator yang tidak hanya cakap dalam mediasi
sengketa namun juga memahami isu dalam bidang perikanan.
Ayat (2)
Sengketa terkait administratif meliputi setiap bentuk sengketa
maupun permasalahan yang timbul sebagai akibat dari
penyelenggaraan ataupun penerapan produk lembaga
administratif Negara. Permasalahan yang mungkin timbul
adalah penerapan regulasi daerah yang memberikan
pembatasan bagi Nelayan lintas daerah untuk dapat
menyandarkan kapal maupun melabuhkan hasil
55
tangkapannya. Untuk mengatasi hal ini, koordinasi dan
pemahaman antar daerah yang berbatasan maupun daerah
yang memiliki wilayah laut menjadi keharusan. Pemerintah
harus dapat memfasilitasi secara aktif forum koordinasi antar
daerah tersebut.
Pasal 59
Penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi dapat dilakukan melalui
mekanisme acara dalam peradilan umum maupun peradilan
perikanan apabila memenuhi unsur-unsur yang dipersyaratkan
oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR ...