-
26 | Al-Munawwarah: Jurnal Pendidikan Islam
POLA ASUH ORANG TUA DAN GURU DALAM PERKEMBANGAN
MORAL PADA ANAK USIA DINI
Susanti
Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Wathan Samawa
[email protected]
Abstrak
Perkembangan anak akan efektif, jika pengasuhan yang diterapkan
oleh orang tua dan guru
dapat dilakukan bersama-sama. Sehingga apa yang diharapkan oleh
orang tua dan guru dapat
terlaksana dengan baik, terutama pengasuhan dalam perkembangan
moral pada anak usia dini.
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif
deskriptif dengan menggunakan
dua sumber data, yaitu data primer dan data sekunder. Adapun
teknik dalam pengumpulan
data, yaitu: 1). Metode observasi, 2). Metode wawancara, dan 3)
Metode dokumentasi.
Berdasarkan pembahasan yang dipaparkan, maka hasil penelitian
dapat diketahui bahwa: 1).
Pola asuh orang tua di rumah dalam perkembangan moral anak
cenderung kepada pola asuh
demokratis. Namun, selain pola asuh demokratis, ada juga yang
menggunakan pola asuh
otoriter dan pola asuh permisif.Di samping itu, terlihat jelas
bahwa bentuk pola asuh
demokratislah yang paling dominan diterapkan oleh orang tua di
rumah. Sedangkan pola asuh
guru di sekolah, yaitu guru menggunakan beberapa pendekatan
pembelajaran dan metode
pembelajaran dalam proses belajar mengajar di kelas yang di
sesuaikan dengan usia dan
tingkat perkembangan anak. Kerjasama orang tua dan guru sangat
diperlukan dalam
pengasuhan anak, terutama dalam perkembangan moral anak baik di
rumah maupun di
sekolah.Hal itu dilakukan, agar terjadi kesinambungan antara
pola asuh guru di sekolah dan
orang tua di rumah.Adapun bentuk kerjasama yang dilakukan yaitu,
dengan membentuk HKO
(Hari Konsultasi Orang Tua), KPO (Kelompok Pertemuan Orang Tua),
dan kunjungan rumah.
Kata Kunci : Pola Asuh, Perkembangan Moral, Pendidikan Anak Usia
Dini.
PENDAHULUAN
-
P-ISSN: 2088-8503; E-ISSN: Proses
Volume 9, Nomor 2, September 2017 | 27
Pandangan al-Qur’an tentang anak secara global dapat
diformulasikan dalam prinsip-
prinsip: Pertama, anak adalah amanah yang diberikan oleh Allah
SWT kepada para orang tua
untuk dijaga dan diperhatikan, sehingga orang tua berkewajiban
untuk memelihara anaknya agar
anak tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara wajar, baik
jasmani maupun rohaninya.
Anak sebagai amanah dari Allah yang diberikan kepada orang tua
harus dijaga dan dididik
dengan sebaik-baiknya, sehingga setelah dewasa tingkah laku dan
sikap anak tersebut sesuai
dengan harapan kedua orang tuanya yaitu menjalankan perintah
Allah SWT dan berbakti kepada
kedua orang tuanya. Dengan demikian, orang tua pantang
mengkhianati amanat Allah yang
berupa berupa dikaruniakannya anak kepada mereka.
ُُ الَّيَْعُصىَن هللاَ َمآأََمَسهُْم َويَْفَعلُىَن
َمبيُْؤَمُسوَن }ِغالَظ ِشدَ يَبأَيُّهَب الَِّريَه َءاَمىُىا قُىا
أَوفَُسُكْم َوأَْهلِيُكْم وَبًزا َوقُىُدهَب الىَّبُس َواْلِحَجبَزةُ
َعلَْيهَب َمآلئَِكة {٦اُد
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kamu
dan keluarga kamu dari api yang
bahan bakarnya adalah manusia-manusia dan batu-batu, diatasnya
malaikat-malaikat
yang kasar-kasar, yang keras-keras, yang tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang Dia
perintahkan kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan”Q.S.
At Tahrim (66) : 6.
Ayat di atas memberi tuntunan kepada kaum beriman bahwa: Hai
orang-orang yang
beriman, peliharalah diri kamu antara lain dengan meneladani
Nabi SAW yakni istri, anak-anak
dan pelihara juga keluarga kamu seluruhnya yang berada di bawah
tanggungjawab kamu dengan
membimbing dan mendidik yang bahan bakarnya neraka, agar kamu
semua terhindar dari api
neraka yang bahan bakarnya manusia-manusia yang kafir dan juga
batu-batu yang dijadikan
berhala-berhala. Di atasnya yakni yang menangani neraka itu dan
bertugas menyiksa penghuni-
penghuni adalah malaikat-malaikat yang kasar-kasar hati dan
perlakuannya, yang keras-keras
perlakuannya dalam melaksanakan tugas penyiksaan, yang tidak
mendurhakai Allah menyangkut
apa yang Dia perintahkan kepada mereka sehingga siksa yang
mereka jatuhkan-kendati mereka
kasar-tidak kurang dan tidak juga berlebih dari apa yang
diperintahkan Allah, yakni sesuai
dengan dosa dan kesalahan masing-masing penghuni neraka dan
mereka juga senantiasa dan dari
saat ke saat mengerjakan dengan mudah apa yang diperintahkan
Allah kepada mereka.1
Kedua, orang tua dalam memberikan pendidikan kepada anak-anaknya
harus berhati-hati
dalam memberikan pendidikan tersebut. Apabila perkembangan anak
itu tidak dibarengi dengan
pendidikan secara umum dan pendidikan agama secara khusus, maka
ketika dewasa anak itu
dapat menjerumuskan orang tuanya. Di samping anak sebagai
amanah, Allah juga
mengintroduksi bahwa anak-anak itu sebagai cobaan bagi orang
tua. Sehubungan dengan hal
1M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati,
2003), 326-327.
-
28 | Al-Munawwarah: Jurnal Pendidikan Islam
tersebut, al-Qur’an telah memberi sinyal kepada orang tua bahwa
ada dua kemungkinan yang
dapat terjadi kepada anaknya.Kemungkinan pertama adalah anak itu
sebagai qurrata a‟yun
(permata hati), anak sebagai perhiasan hidup di dunia, anak
sebagai kabar gembira.Anak
memang benar-benar merupakan sumber kebahagiaan keluarga, buah
hati yang memperkuat
kehangatan tali kasih kedua orang tuanya dan mampu membahagiakan
keluarganya.Dapat
dikatakan bahwa anak laksana wewangian surga yang menyemarakkan
suasana kebahagiaan
sebuah keluarga.Anak yang memiliki ciri-ciri tersebut itulah
yang menjadi dambaan setiap orang
tua. Hal tersebut berdasarkan firman Allah SWT:
ةَ أَْعيٍُه َواْجَعْلىَب لِْلُمتَّقِيَه إِ يَّبتِىَب قُسَّ
َمبًمب َوالَِّريَه يَقُىلُىَن َزبَّىَب هَْب لَىَب ِمْه أَْشَواِجىَب
َوُذزِّ
Artinya: Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami,
anugerahkanlah kepada kami
pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami,
dan jadikanlah kami
pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” Q.S. Al Furqan (25):
74.
Ayat ini membuktikan bahwa sifat hamba-hamba Allah SWT yang
terpuji itu tidak hanya
terbatas pada upaya menghiasi diri dengan amal-amal terpuji,
tetapi juga memberi perhatian kepada
keluarga dan anak keturunan, bahkan masyarakat umum.Do’a mereka
itu, tentu saja dibarengi
dengan usaha mendidik anak dan keluarga agar menjadi
manusia-manusia terhormat, karena anak
dan pasangan tidak dapat menjadi penyejuk mata tanpa
keberagamaan yang baik, budi pekerti yang
luhur serta pengetahuan yang memadai.2
Kemungkinan kedua, anak sebagai ‘aduwun (musuh) bagi orang tua.
sebagai orang tua
haruslah menyadari bahwa di samping anak sebagai permata hati,
anak juga akan menjadi musuh
bagi kedua orang tuanya jika kedua orang tuanya tidak mampu
menjaga dan mendidiknya dengan
baik. Ketika anak sudah menjadi musuh bagi orang tuanya maka
akan menyulitkan orang tua, hal
ini akan dapat terjadi apabila pendidikan anak tidak benar-benar
diperhatikan dalam pengasuhan
kepada anak sehingga kemungkinan anak itu pada saat dewasa akan
menjadi „aduwun (musuh).
Oleh karena itu, sebagai orang tua hendaklah mendidik anak
dengan sebaik-baiknya agar anak
tersebut tidak menjadi musuh bagi kedua orang tuanya. Banyak
kita lihat sekarang, anak-anak yang
menjadi musuh bagi kedua orang tuanya disebabkan karena
pengasuhan yang kurang tepat yang
diterapkan oleh orang tuanya. Hal tersebut berdasarkan firman
Allah SWT:
ا لَُّكْم فَبْحَرُزوهُْم َوإِن تَْعفُىا َوتُْصفُِحىا يَبأَيُّ
ِحيم }هَب الَِّريَه َءاَمىُىا إِنَّ ِمْه أَْشَواِجُكْم
َوأَْوالَِدُكْم َعُدّوً ُُ زَّ {۱٤َوتَْغفُِسوا فَئِنَّ هللاَ
َغفُىُز
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara
istri-istrimu dan anak-anakmu
ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu
terhadap mereka; dan jika
kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka
sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.Q.S. At-Tagabun (64):
14.
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian
pasangan-pasangan kamu yakni
istri atau suami kamu walau mereka menampakkan kecintaan yang
luar biasa dan juga sebagian dari
2Ibid, 545.
-
P-ISSN: 2088-8503; E-ISSN: Proses
Volume 9, Nomor 2, September 2017 | 29
anak-anak kamu kendati mereka menunjukkan kasih sayang dan
kebutuhan kepada kamu sebagian
dari mereka itu adalah musuh bagi kamu atau sebagian musuh. Ini
karena mereka dapat
memalingkan kamu dari tuntunan agama atau menuntut sesuatu yang
berada di luar kemampuan
kamu sehingga kamu melakukan pelanggaran, maka berhati-hatilah
terhadap mereka jangan
sampai mereka menjerumuskan kamu dalam bencana, dan jika kamu
memaafkan kesalahan mereka
yang dapat ditoleransi dan berpaling tidak mengecam atau marah
atas kesalahan mereka serta
mengampuni kesalahan mereka dengan tidak menyampaikan kepada
pihak lain, maka Allah akan
menutupi juga aib dan kesalahan kamu karena sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.3
Sebagian anak merupakan musuh dapat dipahami dalam arti musuh
yang sebenarnya, yang
menaruh kebencian disebabkan oleh sesuatu yang tidak bisa
diperolehnya dan bisa saja terjadi
kapan dan dimanapun. Ini karena dampak dari tuntunan mereka
menjerumuskan orang tuanya
dalam kesulitan bahkan bahaya, layaknya perlakuan musuh terhadap
musuhnya. Misalnya seorang
anak menginginkan sesuatu yang berupa materi dari orang tuanya
tetapi orang tuanya tidak dapat
memenuhinya dan terpaksa mereka harus korupsi atau mencuri untuk
dapat memenuhi keinginan
anaknya tersebut. Hal tersebut dapat dipahami bahwa musuh tidak
hanya berada di luar lingkungan
keluarga, tetapi musuh juga dapat ditemukan di dalam lingkungan
keluarga sendiri.
Dalam Islam, telah dijelaskan bahwa orang dewasa yang paling
dekat dan bertanggung
jawab terhadap pemenuhan kebutuhan dasar anak adalah orang
tuanya. Keinginan setiap orang tua
adalah agar anak-anaknya dapat tumbuh dan berkembang menjadi
individu yang berakhlaqul
qarimah, saling menghormati, saling menghargai, bertanggung
jawab, dan mandiri tanpa
menghilangkan keunikannya sebagai individu.4
Pengalaman telah menunjukkan bahwa perkembangan jiwa seorang
anak dipengaruhi
suasana dalam keluarga.Di tengah-tengah lingkaran
keluarga,seorang anak dapat belajar menyimak,
memperhatikan, merekam makna kehidupan dari hari ke hari.
Pengalaman pencarian makna hidup
ini sekaligus membangun citra dirinya sesuai dengan teladan
orang tua, karena sang anak sangat
bergantung pada kedua orang tua dalam perkembangan batiniah dan
lahiriah bagi anak.
Kebutuhan pendidikan yang diberikan orang tua terhadap anaknya
haruslah berhati-hati,
sebab pendidikan itu sudah dicerna oleh anak semenjak masih
dalam kandungan (sudah merespon
segala pikiran ibunya).Jasmani dan ruhani anak dapat tumbuh dan
berkembang apabila kebutuhan
dasarnya terpenuhi. Dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan
jasmani dan ruhani tersebut,
sangat dibutuhkan bantuan dari orang-orang yang lebih dewasa,
dalam hal ini adalah orang tua yang
3Ibid..., 278.
4Dian Ibung, Mengembangkan Nilai Moral Pada Anak (Jakarta: Elex
Media Komputindo Kelompok
Gramedia, 2009), 9.
-
30 | Al-Munawwarah: Jurnal Pendidikan Islam
merupakan orang terdekat dan orang yang pertama kali akan
memberikan pendidikan kepada anak-
anak mereka.5
Ketika penilaian berkisar pada kepribadian anak dan pada
kemampuan anak untuk
menghormati orang lain, bertanggung jawab pada perbuatannya, dan
aspek-aspek moralitas lainnya,
kepandaian akademis bukan lagi syarat mutlak keberhasilan
seorang anak. Karena, pada
kenyataannya untuk dapat bertahan hidup, diterima masyarakat,
serta tetap berkembang sebagai
pribadi yang dapat dibanggakan.Kepandaian akademis menjadi
syarat kesekian, bukan syarat
tunggal yang utama.Akan lebih berarti jika anak tersebut
mengembangkan moral yang baik, untuk
kemudian dipadukan dengan kecerdasan akademis.
Keterlibatan harian, tatap muka, dan pernyataan kasih sayang
yang terus menerus tidak akan
pernah dapat digantikan dengan pendidikan yang bagaimanapun.
Keterlibatan anak ini membuat
mereka merasa memiliki tumpuan harapan, menciptakan rasa aman,
memiliki rasa pemilik, karena
mereka termasuk dalam bagian keluarga itu sendiri. Anak-anak
yang memperoleh kesempatan
seperti ini akan bertumbuh secara alamiah menuju keremajaan dan
kedewasaan mereka, serta tentu
selalu menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang berlaku dalam
keluarga. Selain itu, tanggungjawab
orang tua terhadap anak-anaknya yang berwenang memberikan
pengarahan, pengajaran, dan
pendidikan.6
Dalam mengasuh anak-anaknya, orang tua harus mengetahui terlebih
dahulu, bagaimana dan
seperti apa pola pengasuhan yang baik itu, agar orang tua tidak
salah langkah dalam mengasuh
anak-anaknya. Akan tetapi, banyak orang tua yang melepas
pengasuhan anaknya pada pengasuh
tanpa kontrol yang tepat.Padahal, pengasuhan yang tidak tepat
berdampak ketegangan pada anak
atau stres pada anak, masalah pekerjaan yang menumpuk dan
ketegangan hidup yang dijadikan
alasan orang tua kurang waktu untuk bersama
anak-anaknya.Pengasuhan anak dilepaskan pada
pengasuh, yang jelas-jelas memiliki kualitas berbeda dengan
kualitas dari orang tua.Akibatnya,
dampak bagi anak pun berbeda, dan kesempatan anak untuk belajar
aspek moralitas dari sumber
yang diandalkan (orang tua) juga berkurang.
Selain dari peran orang tua di rumah, peran guru juga sangat
penting di sekolah. Sebagai
penanggung jawab penuh di dalam proses pembelajaran, tentunya
guru memiliki banyak peran baik
di dalam kelas maupun di luar kelas sekalipun. Bagaimanapun
hebatnya kemajuan teknologi, peran
guru akantetap diperlukan. Peran guru sebagai fasilitator dalam
proses pembelajaran di kelas,
dituntut agar memiliki kemampuan dalam berkomunikasi dan
berinteraksi dengan siswa.
Selain berperan sebagai sumber belajar dan fasilitator, guru
juga berperan sebagai pengelola
dalam menciptakan iklim belajar yang memungkinkan siswa dapat
belajar secara nyaman. Melalui
5Maftuchah Yusuf, Kewajiban Bertanggungjawab Terhadap
Ketentraman Anak (Yogyakarta: UGM, 1982), 2.
6Hasan Basri, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia,
2010), 75.
-
P-ISSN: 2088-8503; E-ISSN: Proses
Volume 9, Nomor 2, September 2017 | 31
pengelolaan kelas yang baik, guru dapat menjaga kelas agar tetap
kondusif untuk terjadinya proses
belajar bagi siswa. Peran guru yang lain adalah sebagai
demonstrator, pembimbing, motivator, dan
evaluator.7
Oleh karena itu, orang tua dan guru sangat berperan dalam
perkembangan moral pada anak
usia dini. Mereka memiliki peran masing-masing sesuai dengan
tempatnya, di mana orang tua
berperan di rumah dalam mengasuh anak-anaknya dan guru berperan
di sekolah dalam mengasuh
anak didiknya di sekolah. Sehingga, pengasuhan dalam
perkembangan moral pada anak usia dini
dapat dilakukan secara optimal dan hasilnya diharapkan akan
lebih baik.
METODE PENELITIAN
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan karya
ilmiah ini adalah
metode kualitatif dengan melakukan pendekatan diskriptif dan
observasi ke lapangan juga
penelaahan tehadap buku-buku yang relevan.Penelitian ini
menggunakan metode penelitian
kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian ini hendak
mengeksplor atau menggambarkan tentang
bagaimana pola asuh orang tua dan guru dalam perkembangan moral
pada anak usia dini. Penelitian
kualitatif dipandang cocok dalam penelitian ini,karena bersifat
alamiah dan menghendaki keutuhan sesuai dengan
masalah penelitian ini, yaitu pola asuh orang tua dan guru dalam
perkembangan moral pada anak usia dini.
Sumber data dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua,
yaitu sumber data primer dan
sekunder.Sumber data primer penelitian ini adalah data-data
pokok yang dikumpulkan dari orang tua, guru,
pengelola, dokumen-dokumen, hasil pengamatan (observasi)
peneliti tentang kegiatan sehari-hari.Adapun data
sekunder penelitian ini adalah data pendukung yang dikumpulkan
dari pendapat dan atau pandangan, teori-teori
yang dikemukakan oleh para ahli pada bidangnya.
Berangkat dari pendekatan data yang digunakan dalam penelitian
ini, maka metode yang digunakan
dalam pengumpulan data penelitian ini adalah wawancara,
dokumentasi, dan observasi.
KAJIAN TEORI
A. Pola Asuh dan Moral
1. Pengertian pola asuh dan moral
Anak adalah amanat yang diberikan oleh Allah SWT kepada orang
tuanya, hatinya
masih suci bagaikan tambang asli yang masih bersih dari segala
corak dan warna, ia siap
dibentuk untuk dijadikan apa saja tergantung keinginan
pembentuknya. Jika anak dididik
untuk menjadi baik maka ia akan menjadi baik, begitu juga
sebaliknya jika anak tidak
dididik dengan baik maka ia akan bertingkahlaku yang tidak
sesuai dengan ajaran agama.
7Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008),
290.
-
32 | Al-Munawwarah: Jurnal Pendidikan Islam
Pola asuh adalah suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang
tua dalam mendidik anak-
anaknya sebagai perwujudan dari rasa tanggungjawab kepada
anak-anaknya.8
Pengasuhan merupakan arahan kepada anak agar memiliki
keterampilan hidup. Pengertian
arahan sama dengan pengertian disiplin, yaitu bagaimana cara
orang dewasa (orang tua, guru, atau
masyarakat) mengajarkan tingkah laku moral kepada anak yang
dapat diterima kelompoknya.9
Dengan demikian dapat diketahui bahwa pengasuhan adalah cara
yang dilakukan oleh orang tua
dan guru dalam mengajarkan tingkah laku moral sebagai rasa
tanggung jawab kepada anak.
2. Tahap perkembangan moral pada anak usia dini
Perkembangan moral pada awal masa kanak-kanak masih dalam
tingkat yang rendah.
Hal ini disebabkan perkembangan intelektual anak-anak belum
mencapai titik di mana ia
dapat mempelajari atau menerapkan prinsip-prinsip abstrak
tentang yang benar dan salah.
Selain itu, ada beberapa teori tentang perkembangan moral yang
dikemukakan oleh beberapa
tokoh, tetapi peneliti mengemukakan teori Kohlerberg tentang
perkembangan moral.
B. Konsep Dasar Pengasuhan Orang Tua dan Guru pada Anak Usia
Dini
Pada hakikatnya, keluarga merupakan tempat pertama bagi anak
untuk memperoleh
pembinaan mental dan pembentukan kepribadian yang kemudian akan
ditambah dan
disempurnakan oleh sekolah. Pelayanan terbesar yang dapat
diberikan orang tua kepada anak-
anaknya adalah ketika orang tua mendidik mereka untuk
berperilaku baik, murah hati,
bersahabat, setia, patuh dan lain sebagainya.Orang tua pasti
membentuk anak-anak mereka
sedemikian rupa, sehingga mereka dapat berhasil menjalani hidup
di dunia dan di akhirat.
Anak adalah amanah yang dititipkan oleh Allah SWT kepada orang
tua untuk dididik agar
menjadi anak yang berguna bagi orang tua dan selalu bertakwa
kepada Allah SWT. Seorang
anak dilahirkan dalam keadaan tidak mengetahui apapun, karena
kemampuan insting pada bayi
yang baru lahir masih sedikit sekali dan ia hanya bisa
menggerakkan kaki dan tangannya,
menangis dan menetek. Oleh karena itu, orang tualah yang
berkewajiban mengasuh dan
mendidik anak tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, sesuai dengan firman Allah SWT:
هَبتُِكْم ه بُطُىِن أُمَّ ْمَع َوْاألَْبَصبَز َوْاألَْفئَِدةَ
لََعلَُّكْم تَْشُكُسونَ َوهللاُ أَْخَسَجُكم مِّ الَتَْعلَُمىَن
َشْيئًب َوَجَعَل لَُكُم السَّ
Artinya:“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui
sesuatupun”. (Q.S. An-Nahl (16): 78)
Berdasarkan ayat tersebut, orang tua dan guru memiliki dasar
yang kuat untuk mendidik
anak-anaknya.Orang tua hanya berkewajiban untuk berusaha agar
anak tersebut tumbuh
dewasa menjadi pribadi yang sholeh dengan mengasuh dan
memberikan pendidikan yang
8Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), 105.
9Euis Sunarti, Mengasuh dengan Hati (Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo, 2004), 116.
-
P-ISSN: 2088-8503; E-ISSN: Proses
Volume 9, Nomor 2, September 2017 | 33
baik.Pendidikan bertujuan untuk mendidik, membimbing manusia kea
rah kedewasaan agar
anak dapat memperoleh keseimbangan antara perasaan dan akal
budinya serta dapat
diwujudkan dalam perbuatan nyata. Anak adalah titipan Allah yang
harus dijaga dan dididik
dengan sebaik-baiknya pendidikan, karena anak laksana sehelai
kertas putih bersih, sehingga
apa yang digoreskan itulah hasil yang akan diterima.
Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW yang berbunyi:
اه يهودانو, اوينصرانو, اويمجسانو.حد يث ابي ىريرة رضي اهلل
عنو.قال النبي صل اهلل عليو وسلم : مامنمولودااليولدعل الفطرةفابو
Artinya : Diriwayatkan dari Abu Hurairah R.A, bahwa Nabi
Muhammad SAW bersabda, “Tidak
ada yang terlahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka
kedua orang tuanyalah
yang menjadikannya yahudi, nasrani, atau majusi.” (HR.
Bukhari).10
Sementara itu, ibu memiliki peran yang lebih penting dalam
mengasuh anak-anaknya.
Bahkan dalam masa kehamilan, kebiasaan makan dan perilakunya
akan berpengaruh pada kualitas
dan perkembangan anak dikemudian hari. Seorang ibu pada umumnya
mengemban tanggungjawab
lebih besar dalam mengasuh anak, pada umumnya anak-anak
menghabiskan sebagian besar waktu
kanak-kanak mereka bersama ibu, karena fondasi dari masa depan
mereka terletak di sana. Oleh
karena itu, kunci dari sikap buruk atau baik seseorang dan
kemajuan ataupun kemunduran
masyarakat terletak pada ibu.11
Sedangkan tugas hakiki seorang ibu dimulai sejak masa awal
kehamilannya dan berakhir ketika anak mulai memasuki pendidikan
dasar.Tanggungjawab seorang
ibu pada masa seperti itu berkisar pada pendidikan fisik dan
akal, baru setelah itu mengarah pada
pembentukan manusia yang berbudi pekerti luhur.12
Keluarga merupakan basis segala segi yang berhubungan dengan
pendidikan, baik
pendidikan rohani, sosial, fisik, dan mental. Keluarga itu bisa
menentukan masa depan seorang
anak, di sanalah anak memperoleh dasar-dasar hidup yang akan
dikembangkan di sekolah dan di
lingkungan pergaulan anak dengan orang lain. Artinya sekolah
juga memiliki peran yang cukup
signifikan dalam membentuk watak dan karakter anak. Pada
hakikatnya, keluarga atau orang tua
merupakan tempat pertama bagi anak untuk memperoleh pembinaan
mental dan pembentukan
kepribadian yang kemudian akan ditambah dan disempurnakan oleh
sekolah.
Pada dasarnya, tujuan utama pengasuhan orang tua adalah
mempertahankan kehidupan fisik anak
dan meningkatkan kesehatannya, memfasilitasi anak untuk
mengembangkan kemampuan sejalan dengan
10
Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Al-Lu‟lu wal Marjan Fima Ittafaqa
„Alaihi Asy-Syaikhani al-Bukhari Wa
Muslim, diterjemahkan oleh Arif Rahman Hakim (kumpulan hadits
shahih Bukhari Muslim) (Jawa Tengah: Insan
Kamil, 2011), 781. 11
Ibrahim Amini, Anakmu Amanatnya (Jakarta: Al-Huda, 2006), 8.
12
Ali Qaimi, Buaian Ibu Antara Surga dan Neraka (Bogor: Cahaya,
2002), 19-20.
-
34 | Al-Munawwarah: Jurnal Pendidikan Islam
tahapan perkembangannya dan mendorong peningkatan kemampuan
berperilaku sesuai dengan nilai
agama dan budaya yang diyakininya.13
Pola asuh orang tua dan guru memiliki peran masing-masing, di
mana orang tua memiliki
peran di rumah dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya.Orang
tua harus menjadi orang yang
terdekat dengan anak, apabila orang tua dekat dengan anak maka
otomatis mereka dapat melihat
kemungkinan kesulitan yang dialami anak.Dalam hal ini, orang tua
harus mampu menjadi konsultan
bagi anak.Sedangkan guru memiliki peran di sekolah sebagai
pengganti orang tua mereka di
sekolah. Sehingga ketika anak-anak mengalami kesulitan dalam
belajar, maka mereka akan
meminta tolong kepada gurunya di sekolah.
C. Perkembangan Agama pada Anak
Perkembangan keagamaan yang baik akan berpengaruh pada perilaku
sosial yang baik
pula. Oleh karena itu, pola pendidikan agama pada anak tidak
boleh dipisahkan dari nilai-nilai
moral yang berlaku di masyarakat setempat.Atas dasar ini,
pendidikan agama pada anak perlu
diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti berbakti
kepada orang tua, suka
menolong, rela berbagi mainan, menghormati yang lebih tua, dan
lain sebagainya. Menurut
para ahli, perkembangan agama anak dapat melalui beberapa fase
(tingkatan), yaitu:
1. The fairy tale stage (tingkat dongeng)
Pada tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun,
pada anak dalam tingkatan
ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi
dan emosi.Pada tingkatan ini
anak menghayati konsep ketuhanan sesuai dengan tingkat
perkembangan
intelektualnya.Kehidupan pada masa ini masih banyak dipengaruhi
kehidupan fantasi hingga
dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan konsep
fantastis yang diliputi oleh
dongeng yang kurang masuk akal.
2. The realistic stage (tingkat kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk sekolah dasar, pada masa
ini ide ketuhanan anak
sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada
kenyataan (realis).Konsep ini
timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama
dari orang dewasa
lainnya.Pada masa ini, ide keagamaan anak didasarkan atas
dorongan emosional hingga mereka
dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis.
3. The individual stage (tingkat individu)
Anak pada tingkat ini memiliki kepaekaan emosi yang paling
tinggi sejalan dengan
perkembangan usia mereka. Ada beberapa alasan mengenalkan
nilai-nilai agama kepada anak
usia dini, yaitu anak mulai punyaminat, semua perilaku anak
membentuk suatu pola perilaku,
13
Yupi Supartini, Konsep Dasar Keperawatan Anak (Jakarta: Buku
Kedokteran EGC, 2002), 35.
-
P-ISSN: 2088-8503; E-ISSN: Proses
Volume 9, Nomor 2, September 2017 | 35
mengasah potensi positif diri sebagai individu,makhluk sosial
dan hamba Allah. Agar minat
anak tumbuh subur, harus dilatih dengan cara yang menyenangkan
agar anak tidak merasa
terpaksa dalam melakukan kegiatan.14
Selain teori di atas, para ahli juga menyimpulkan beberapa tahap
tentang perkembangan
beragama pada anak, yaitu:
a. Tahap firetale (usia 3-6 tahun). Pada tahap ini anak
merepresentasikan keadaan Tuhan
yang menyerupai raksasa, hantu, malaikat bersayap, dan lain
sebagainya.
b. Tahap realistis (7-12 tahun). Pada tahap ini anak cenderung
mengkonkritkan beragama,
Tuhan dan malaikat dipersepsikan sebagai penampakan yang nyata.
Mereka bagaikan
“manusia” yang luar biasa dan berpengaruh bagi kehidupan di
bumi.15
Demikianlah tahap-tahap perkembangan agama pada anak, di mana
tahap-tahap tersebut
dapat diketahui oleh orangtua dan guru.Sehingga, dalam
menanamkan nilai-nilai agama pada
anak sesuai dengan tahap perkembangan anak.Dalam realitasnya,
ada beberapa anak yang lebih
cepat dalam memahami arti agama, tetapi ada pula yang terlalu
lambat menangkap pesan
agama. Tentu, sebagai orang tua atau guru tidak akan membiarkan
anak mengalami
keterlambatan dalam perkembangan keagamaannya. Selain itu, peran
orang tua dengan
memberikan contoh yang baik bagi anak.Misalnya, mengajak anak
untuk sholat berjamaah jika
sudah waktunya sholat dan selesai sholat anak diajak untuk
berdo’a dan membaca surat-surat
pendek dalam al-Qur’an.Sedangkan dalam mengajarkan nilai-nilai
agama pada anak diperlukan
kesabaran, karena tidak semua yang dilakukan berhasil pada saat
itu juga dan adakalanya
memerlukan waktu yang lama.
PEMBAHASAN
1. Tahap perkembangan moral pada anak usia dini
Perkembangan moral pada awal masa kanak-kanak masih dalam
tingkat yang rendah. Hal
ini disebabkan perkembangan intelektual anak-anak belum mencapai
titik di mana ia dapat
mempelajari atau menerapkan prinsip-prinsip abstrak tentang yang
benar dan salah. Selain itu,
ada beberapa teori tentang perkembangan moral yang dikemukakan
oleh beberapa tokoh, tetapi
peneliti mengemukakan teori Kohlerberg tentang perkembangan
moral.Teoriperkembangan
moral Kohlerberg adalah suatu perbaikan dan perluasan dari teori
Piaget dengan memberi tiga
tingkatan perkembangan moral yang dibagi dalam dua tahap.
14
Sugeng Haryadi, Anak Kecil Harus Dilatih Bagaimana Menyayangi
Orang Lain (Dalam Bulletin PAUD,
Dinas P dan K Jawa Tengah, 2003), 66-67. 15
Suyadi, Psikologi Belajar PAUD (Yogyakarta: PT. Pustaka Insan
Madani, 2010), 131.
-
36 | Al-Munawwarah: Jurnal Pendidikan Islam
a. Pada tingkat pertama, yaitu moralitas pra-konvensional
(preconventional level): penekanan
pada kontrol eksternal.
Orientasi pada hukuman dan kepatuhan. Salah dan benar ditentukan
oleh apakah ia
mendapat hukuman atau mematuhi aturan. Pada tahap ini, anak-anak
umumnya beranggapan
bahwa akibat-akibat dari suatu tindakan akan sangat menentukan
baik buruknya suatu tindakan
yang dapat dilakukan tanpa melihat unsur manusianya. Si Ali
menganggap bahwa perbuatan
mencuri mangga tetangga tidak baik karena konsekuensi dari
perbuatan itu akan kena
hukuman. Jadi, suatu perbuatan disebut baik bukan karena
substansi perbuatan itu, tetapi
karena hukuman atau hadiah yang bakal diterima sebagai akibat
dari perbuatan itu.Pengelakan
dari suatu hukuman ataupun pemberian rasa hormat yang tidak
beralasan semuanya diukur dari
dirinya sendiri.Jadi, tahap ini orientasi kepada kepatuhan lebih
disebabkan oleh konsekuensi
yang mendatangkan kesenangan apabila seseorang dapat mematuhi
aturan-aturan moral yang
berlaku.
Orientasi instrumental relatif.Benar dan salah ditentukan oleh
ganjaran atau hadiah atas
perjuangannya. Dalam tahap ini, tindakan yang benar atau baik
dibatasi sebagai tindakan yang
mampu memberikan kepuasan terhadap kebutuhan-kebutuhannya atau
dalam beberapa hal juga
adalah kebutuhan orang lain. Tindakan ini masih tergolong moral
kanak-kanak, meskipun
sudah lebih rasional, tidak terlalu mekanis, dan masih
sembarangan.Anak sudah mulai
menghitung dan memilih walaupun masih lebih bersifat
instrumental.Motivasi utama tindakan
moral pada tahap kedua ini adalah bagaimana mencapai kenikmatan
sebanyak-banyaknya dan
mengurangi kesakitan sedapat-dapatnya.Tindakan moral seseorang
adalah alat atau instrument
untuk mencapai tujuan di atas.Prinsip dari tindakan moral yang
bersifat instrumental ini dapat
dilukiskan dengan pernyataan “Saya melakukan sesuatu supaya saya
memperoleh sesuatu.”
b. Tingkat kedua, disebut moralitas konvensional (convencional
level): menekankan pada
kesenangan orang lain. (1) Orientasi hubungan manusia. Benar dan
salah ditentukan oleh
perbuatan seseorang di lingkungan sekitar. (2) Orientasi pada
pemeliharaan sistem sosial.
Benar dan salah ditentukan oleh pemeliharaan tatanan sosial.
c. Tingkat ketiga, disebut moralitas pasca-konvensional
(postconventional level): penekanannya
pada pengakuan terhadap konflik dan alternatif pilihan internal.
(1) Orientasi kontrak sosial.
Benar dan salah ditentukan oleh kesepakatan sosial. (2)
Orientasi prinsip etis. Benar dan salah
ditentukan oleh adat istiadat internal. Kohlberg menyimpulkan
bahwa moralitas yang
berkembang pada tahap pertama dan kedua pasca-konvensional
biasanya dicapai seseorang
-
P-ISSN: 2088-8503; E-ISSN: Proses
Volume 9, Nomor 2, September 2017 | 37
yang sudah dewasa, yang memerlukan pengalaman-pengalaman dalam
hal tanggungjawab
moral atau dalam hal menentukan pilihannya secara mandiri.16
Pada anak usia dini, penanaman nilai-nilai moral dapat dilakukan
dengan melihat tahap
perkembangan anak. Selain itu, anak belum mampu mengerti masalah
standar moral, sehingga
anak harus belajar berperilaku moral dalam berbagai situasi yang
khusus. Anak hanya belajar
bagaimana bertindak tanpa mengetahui mengapa, maka belajar
bagaimana berperilaku sosial
yang baik merupakan proses yang panjang dan sulit. Sehingga,
peran orang-orang terdekat anak
sangat diperlukan untuk perkembangan moral pada anak usia
dini.
A. Pola Asuh Orang Tua Dalam Perkembangan Moral Pada Anak Usia
Dini.
Pendidikan bagi seorang anak merupakan salah satu kebutuhan
untuk masa
depannya.Pendidikan pertama yang diperoleh anak diawal
kehidupannya berasal dari keluarga
khususnya orang tua, di mana pendidikan yang diberikan itu dalam
bentuk pola asuh, sikap atau
tingkah laku yang ditampilkan oleh orang tua terhadap anak dalam
kehidupan sehari-hari.Pola asuh
mempunyai peranan yang sangat penting bagi perkembangan perilaku
moral anak, karena dasar
perilaku moral pertama diperoleh oleh anak dari dalam rumah
yaitu orang tuanya.Orang tua
diharapkan mampu menerapkan pola asuh yang bisa mengembangkan
anak usia dini baik kognitif,
fisik motorik, bahasa, seni maupun moral anak sedini
mungkin.
Setiap orang tua menerapkan pola asuh yang menurut mereka sudah
tepat, meskipun bentuk
pola asuh yang mereka terapkan tidak sesuai dengan tahap
perkembangan anak. Namun pada
hakikatnya, sebagian besar para orang tua tidak hanya menerapkan
satu macam pola asuh tetapi
beberapa bentuk pola asuh terutama dalam perkembangan moral pada
anak usia dini. Adapun pola
asuh yang diterapkan orang tua sebagai berikut:
1. Pola asuh otoriter
Anak-anak dari keluarga pola asuh yang cenderung otoriter
menunjukkan beberapa
kesulitan tertentu dalam berperilaku, mereka kurang
memperlihatkan rasa ingin tahu dan emosi-
emosi positif. Hal ini disebabkan oleh sikap orang tua yang
terlalu keras dan membatasi rasa
ingin tahu anak dengan menerapkan berbagai aturan yang apabila
dilanggar akan mendapatkan
hukuman.
Bentuk dari pola asuh otoriter yaitu orang tua menerapkan
batasan-batasan dan kontrol
yang tegas pada anak, sangat menekankan pada kepatuhan, dan
mengharapkan aturan-aturan
mereka dipatuhi tanpa adanya penjelasan.Biasanya, mereka hanya
sedikit terlibat dalam
komunikasi dengan anak, tidak ada kompromi maupun negosiasi,
serta tidak banyak memberikan
penjelasan mengenai aturan ataupun tindakan orang tua.Selain
itu, orang tua yang menerapkan
16
Suyadi, Psikologi Belajar PAUD…, 131-132.
-
38 | Al-Munawwarah: Jurnal Pendidikan Islam
pola asuh otoriter, biasanya menyediakan lingkungan yang telah
terstruktur dan disertai tata
tertib.Ciri utama dari pola asuh ini adalah arahan dan tuntutan
yang tinggi serta harapan yang
tidak fleksibel dan tidak responsif.
2. Pola asuh permisif
Pola asuh permisifadalah memberikan kebebasan untuk anak agar
memilih apa yang
menurutnya baik, tidak memakai kekerasan ketika mengajarkan anak
tentang sesuatu dan selalu
memberikan apa yang diinginkan oleh anak, agar anak merasa
seperti tidak diperdulikan oleh orang
tuanya.
Bentuk dari pola asuh permisif yang berdampak pada anak yaitu
anak terlihat tampak
kurang baik dan menunjukkan sikap suka menang sendiri dan kurang
peduli dengan keadaan
disekitarnya.Anak yang seperti ini biasanya anak yang diberikan
kasih sayang yang berlebihan
dan dimanjakan tanpa mengontrol perilaku anak, sehingga anak
tersebut kurang mendapat
perhatian dalam hal perilakunya dari kedua orang tuanya. Hasil
dari pola asuh permisif ini
biasanya anak akan menjadi tidak patuh, manja, kurang mandiri,
mau menang sendiri, kurang
percaya diri, dan kurang matang secara sosial, akibatnya anak
akan terjebak kepada gaya hidup
yang serba boleh.
Anak yang diasuh dan didik dengan pola asuh permisif biasanya
dapat proteksi yang
berlebihan, kontrol yang diberikan orang tua kepada anak sangat
lemah, sehingga apapun yang
dilakukan anak dibiarkan oleh orang tuanya dan anak dapat
berbuat sekehendak hatinya. Dengan
demikian, perhatian serta hubungan orang tua dengan anak akan
terganggu, karena tidak ada
pengarahan atau informasi dari orang tua. Anak tidak akan
mengerti apa yang sebaiknya
dikerjakan dan apa yang seharusnya ditinggalkan, hal tersebut
membuat anak kurang mempunyai
tanggung jawab dan biasanya sulit dikendalikan serta melakukan
hal-hal yang sebenarnya tidak
dibenarkan. Selain itu, anak-anak yang dibesarkan dengan pola
asuh ini akan memiliki
kemampuan yang sangat rendah untuk mengontrol diri dan cenderung
menuntut setiap
keinginannya.
3. Pola asuh demokratis
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memberikan kebebasan
dan disertai dengan aturan
dalam melakukan segala kegiatannya dengan harapan anak bisa
lebih mandiri dan
bertanggungjawab.
Pola asuh demokratis juga memberikan aturan kepada anaknya dan
menuntut anak untuk
mematuhinya.Namun dalam menerapkan aturan, orang tua
menyertainya dengan penjelasan yang
menggunakan kata-kata yang baik dan mudah dipahami oleh
anak.Sehingga, anak tidak merasa
keberatan untuk mematuhi dan menjalankan aturan atau larangan
yang diterapkan itu.Dalam
-
P-ISSN: 2088-8503; E-ISSN: Proses
Volume 9, Nomor 2, September 2017 | 39
memberikan larangan atau menerapkan aturan, ada juga orang tua
yang menggunakan pilihan
untuk memberi penjelasan dan pengertian kepada anaknya.Sehingga
anak merasakan larangan
atau aturan itu bukan lagi larangan peraturan yang terpaksa anak
ikuti melainkan tanggung jawab
bagi dirinya sendiri.Jika larangan atau aturan itu dilanggar
oleh anak, maka hukuman harus siap
diterima oleh anak.
B. Pola Asuh Guru dalam Perkembangan Moral pada Anak Usia
Dini
Proses belajar mengajar tidak terlepas dari metode pembelajaran,
materi pembelajaran,
media pembelajaran/APE, dan evaluasi pembelajaran, semuanya itu
saling melengkapi dalam
proses pembelajaran. Berdasarkan hal tersebutakandimaparkan
tentang metode, materi, media, dan
evaluasi pembelajaran yang digunakan sebagai berikut:
1. Metode pembelajaran
Ada beberapa metode pembelajaran yang digunakan yaitu: metode
pembiasaan, metode
bercerita, metode bernyanyi, metode demonstrasi, dan metode
percakapan. Semua metode
tersebut, disesuaikan dengan tahap perkembangan dan tingkat usia
anak.
2. Media pembelajaran
Alat permainan edukatif yang digunakan sangat bervariasi sesuai
dengan tema dan sentra yang
digunakan, seperti sentra persiapan, sentra peran, sentra ibadah
dan sebagainya.Setiap
penggunaan alat permainan edukatif, guru selalu melihat semua
aspek perkembangan
kecerdasan pada anak.
3. Materi pembelajaran
Ada beberapa tingkat ketercapaian perkembangan yang digunakan
dalam perkembangan
nilai-nilai moral keagamaan pada anak usia dini sebagai
berikut:
a. Usia 2-3 tahun, mulai meniru gerakan berdo’a sesuai dengan
agamanya, mulai meniru do’a
pendek sesuai dengan agamanya, mulai memahami kapan mengucapkan
(salam, terima
kasih, maaf, dan sebagainya).
b. Usia 3-4 tahun, mulai memahami pengertian perilaku yang
berlawanan meskipun belum
selalu dilakukan seperti pemahaman perilaku (baik-buruk, benar
salah, sopan-tidak sopan).
c. Usia 4-5 tahun, mengenal Tuhan melalui agama yang dianutnya,
meniru gerakan
beribadah, mengucapkan do’a sebelum atau sesudah melakukan
sesuatu, mengenal
perilaku baik/sopan dan buruk, membiasakan diri berperilaku
baik, mengucapkan salam
dan membalas salam.
-
40 | Al-Munawwarah: Jurnal Pendidikan Islam
d. Usia 5-6 tahun, mengenal agama yang dianut, membiasakan diri
beribadah, memahami
perilaku mulia (jujur, penolong, sopan, hormat, dan sebagainya),
membedakan perilaku
baik dan buruk, mengenal ritual dan hari besar agama,
menghormati agama orang lain.17
4. Bentuk evaluasi
Bentuk penilaian yang digunakan yaitu penugasan, pengamatan,
portofolio, unjuk kerja, dan
catatan anekdot. Adapun penugasan dilakukan dengan cara
menugaskan anak mewarnai
(tempat-tempat ibadah, ciptaan Tuhan misalnya buah-buahan,
hewan, dan lain sebagainya),
pengamatan dilakukan untuk mengamati sikap dan tingkahlaku anak,
portofolio digunakan
untuk mengetahui hasil karya anak, unjuk kerja digunakan untuk
melihat keberanian anak
dalam melakukan tugas yang berikan guru, catatan anekdot
digunakan untuk mencatat semua
proses pembelajaran dari awal sampai akhir, baik sikap dan
tingkah laku anak.
C. Bentuk-bentuk Kerjasama Orang Tua dan Guru dalam Perkembangan
Moral pada Anak Usia
Dini.
Kerjasama antara sekolah (guru) dan orang tua merupakan suatu
hal yang penting dalam
dunia pendidikan, karena pendidikan juga merupakan tanggung
jawab para orang tua.Selain di
sekolah, anak juga menghabiskan waktu di rumah bersama
keluarga.Jadi, orang tua harus
mengetahui tentang program-program yang dilaksanakan di sekolah
agar orang tua dapat
mengontrol anak-anaknya terutama dalam perkembangan moral anak.
Untuk mencapai keberhasilan
dari program sekolah tersebut, harus mendapat dukungan dari
orang tua mengenai kegiatan yang
akan dilaksanakan oleh pihak sekolah. Adapun bentuk kerjasama
orang tua dan guru dalam
perkembangan moral yaitu Bentuk kerjasama yang dilakukan yaitu,
dengan membentuk KPO
(Kelompok Pertemuan Orang tua), HKO (Hari Konsultasi Orang tua),
melakukan kunjungan rumah.
Terjalinnya hubungan yang harmonis antara anak dengan orang tua
dan guru, maka semakin
cepat terwujudnya aspek-aspek perkembangan yang sesuai dengan
tingkat usia anak termasuk
perkembangan moral pada anak. Karena, dengan dukungan orang tua
ini, anak mampu
mengembangkan nilai-nilai moral yang mereka dapatkan di sekolah
dan di aplikasikan di
lingkungan keluarga serta masyarakat. Oleh karena itu, dukungan
orang tua sangat penting sekali
dalam perkembangan moral pada anak, terutama dalam memotivasi,
memberikan kebebasan untuk
mengaplikasikan nilai-nilai moral tersebut dalam keluarga, dan
alangkah baiknya juga jika orang
tua mampu membimbing anaknya dalam mengamalkan nilai-nilai moral
dan menjadikan dirinya
sebagai teladan bagi anak-anaknya.
17
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 58 Tahun 2009
Tanggal 17 September 2009 tentang Standar
Pendidikan Anak Usia Dini.
-
P-ISSN: 2088-8503; E-ISSN: Proses
Volume 9, Nomor 2, September 2017 | 41
Kerjasama sangat diperlukan dalam proses pendidikan, kerjasama
tersebut antara lain dari
pihak sekolah (guru), orang tua (keluarga) dan juga tidak
terlepas dari lingkungan (masyarakat),
karena pendidikan merupakan tanggung jawab bersama. Selain itu,
para orang tua juga sangat
mendukung sekali dengan adanya program tersebut.Karena, para
orang tua dapat terbantu dalam
pendidikan anak-anaknya.Selain sebagai sebuah program yang
dilakukan oleh PAUD Biso Keris
kecamatan Utan kabupaten Sumbawa, hal tersebut juga sebagai
wadah untuk memperkuat tali
silaturrahmi antara para orang tua dan guru.Sehingga, para orang
tua tidak malu lagi untuk
berkonsultasi kepada guru jika anak-anak mereka bermasalah
terutama dalam mengembangkan
moral anak dan bersama-sama mencari solusi yang terbaik untuk
anak. Dengan adanya kerjasama
tersebut, pihak sekolah (guru) dan orang tua dapat bersama-sama
dalam mengembangkan nilai-nilai
moral pada anak sejak usia dini.
SIMPULAN
Tulisan ini ditujukan untuk membuktikan bahwa pola asuh orang
tua dalam perkembangan
moral pada anak usia dini di PAUD Biso Keris kecamatan Utan
kabupaten Sumbawa dapat
dilakukan sebagai berikut:
1. Bentuk pola asuh yang terapkan oleh orang tua pada anak yaitu
bentuk pola asuh otoriter,
bentuk pola asuh demokratis, dan bentuk pola asuh permisif.
Namun, pola asuh yang lebih
dominan diterapkan oleh orang tua adalah bentuk pola asuh
demokratis. Selain itu, hal tersebut
dapat dilihat bahwa dalam pola asuh ini terdapat segala aspek
yang dapat mengembangkan
perilaku moral yang baik bagi anak. Misalnya, orang tua yang
demokratis akan membiarkan
anak untuk memilih apa yang menurutnya baik, mendorong anak
untuk bertanggungjawab atas
pilihannya, tetapi masih menetapkan standar dan batasan yang
jelas pada anak serta selalu
mengawasinya. Orang tua juga terlibat dalam komunikasi yang
intensif dan hangat serta
responsif terhadap kebutuhan anak, karena itulah dalam pola asuh
demokratis setiap aturan dan
tindakan orang tua selalu disertai penjelasan dan respons yang
baik terhadap pendapat anak.
Selain pola asuh orang tua di rumah, pola asuh guru di sekolah
juga diperlukan dalam
pengasuhan anak usia dini. Adapun bentuk pengasuhan yang
diterapkan oleh guru di sekolah
berupa cara guru mendidik, materi yang diajarkan, metode
pembelajaran yang digunakan dan
lain sebagainya.
2. Pola asuh orang tua dan guru akan lebih sempurna jika
terjadinya hubungan kerjasama antara
orang tua dan guru. Kerjasama orang tua dan guru terhadap
perkembangan moral pada anak
usia dini dapat dilakukan dengan melalui pembentukan KPO
(Kelompok Pertemuan Orang
Tua), HKO (Hari Konsultasi Orang Tua), dan kunjungan rumah (Home
Visit). Dengan adanya
-
42 | Al-Munawwarah: Jurnal Pendidikan Islam
kerjasama tersebut, orang tua dan guru dapat bersama-sama
khususnya dalam mengembangkan
nilai-nilai moral pada anak sejak usia dini. Selain itu, program
kerjasama tersebut dilakukan
dengan maksud bahwa orang tua dan guru dapat bersama-sama dalam
menerapkan pengasuhan
dengan tujuan agar terjadinya keseimbangan dalam pengasuhan
untuk mencapai tujuan yang
sama.
DAFTAR PUATAKA
Ali,Muhammad,Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi.
Bandung: Angkasa, 1987.
Amini, Ibrahim. Anakmu Amanatnya. Jakarta: Al-Huda, 2006.
Basri, Hasan, Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia,
2010.
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Bandung: PT
Syamil Cipta Media, 2005.
Djuwita, Warni, Parenting Berbasis Pendidikan Karakter: Konsep,
Program, Dan Evaluasi.
Tangerang: Impressa Publishing, 2012.
Fahmi, Mustofa, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan
Masyarakat. Jakarta: Bulan
Bintang, 1977.
Graha, Chairinniza, Keberhasilan Anak di Tangan Orang Tua.
Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo, 2004.
Haricahyono, Cheppy, Dimensi-Dimensi Pendidikan Moral. Semarang:
IKIP Semarang Press, 1995.
Ibung, Dian, Mengembangkan Nilai Moral Pada Anak. Jakarta: Elex
Media Komputindo Kelompok
Gramedia, 2009.
Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam Cet. IV.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Michele, Borba, Membangun Kecerdasan Moral. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Moleong,Lexi J.,Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet.22.
Bandung: Rosdakarya, 2006.
Mursi, Syaikh Muhammad Sa’id, Seni Mendidik Anak. Jakarta:
PUSTAKA AL-KAUTSAR, 2001.
Nasution S., Metode Penelitian Naturalistic Kualitatif. Bandung:
Tarsito, 2003.
Rimm, Syilvia, Mendidik dan Menerapkan Disiplin Pada Anak
Prasekolah. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2003.
-
P-ISSN: 2088-8503; E-ISSN: Proses
Volume 9, Nomor 2, September 2017 | 43
Ronald, PeranOrang Tua dalam Meningkatkan Kualitas Hidup,
Mendidik dan Mengembangkan
Moral Anak. Bandung: YRAMA WIDYA, 2006.
Schohib, Moch, Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu Anak Dalam
Mengembangkan Disiplin
Diri. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010.
Shapiro, Laurence, Mengajar Emosional Intelegensi Pada Anak.
Jakarta: Gramedia, 1999.
Suyadi, Psikologi Belajar PAUD. Yogyakarta: PT. Pustaka Insan
Madani, 2010.
Syarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak. Jakarta: Gramedia,
2007.