Bagaimana Seorang Anak Beradab dengan Orang Tuanya? (Seri 1) 03
Maret, 2010 Kategori: Akhlaq Dilihat: 12316 Saudaraku ... Sudahkah
kita berbakti kepada orang tua dengan benar? Mungkin kita katakan
diri kita telah berbakti. Ternyata masih amat jauh dari dikatakan
berbakti. Risalah ini kami sarikan dari pembahasan Syaikh Musthofa
Al Adawi hafizhohullah dalam kitab beliau yang sangat bermanfaat
"Fiqh At Taamul Maal Walidain". Semoga bermanfaat. Pertama:
Menghormati keduanya dengan tidak memandang keduanya dengan
pandangan yang tajam dan tidak meninggikan suara di hadapan
merekaDalam Shohih Bukhari no. 2731, 2732, dari Miswar bin
Makhromah dan Marwan , di dalamnya disebutkan bahwa jika para
shahabat berbicara kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
sambil merendahkan suara dan mereka tidak memandang tajam
kepadanya.Inilah yang dilakukan oleh para shahabat di hadapan Nabi
shallallahu alaihi wa sallam yang mereka hormati seperti orang tua
mereka. Sehingga beradab kepada kedua orang tua dimisalkan dengan
cara seperti ini pula.Kedua: Tidak mendahulukan untuk berbicara
kepada kedua orang tuaAdab ini dapat dilihat dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu
anhuma, beliau berkata, - - . - - Dulu kami berada di sisi Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, kemudian didatangkanlah bagian dalam
pohon kurma. Lalu beliau mengatakan, Sesungguhnya di antara pohon
adalah pohon yang menjadi permisalan bagi seorang muslim. Aku (Ibnu
Umar) sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu adalah pohon kurma.
Namun, karena masih kecil, aku lantas diam. Lalu Nabi shallallahu
alaihi wa sallam mengatakan, Itu adalah pohon kurma. (HR. Bukhari
no. 72 dan Muslim no. 2811)Inilah sikap shahabat Ibnu Umar
radhiyallahu anhuma. Di mana beliau tidak mau mendahulukan
pembicaraan jika ada yang lebih tua umurnya di hadapannya. Padahal
sebenarnya Ibnu Umar mampu menjawab ketika itu. Dari sini, tidak
ragu lagi, demikian pula seharusnya beradab di hadapan orang
tua.Ketiga: Tidak duduk di hadapan kedua orang tua yang sedang
berdiriLarangan ini dapat dilihat dalam hadits dari Jabir. Beliau
mengatakan, - - Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sedang
sakit. Lalu kami shalat di belakang beliau, sedang beliau shalat
sambil duduk dan Abu Bakar mengeraskan bacaan takbirnya. Lalu
beliau shallallahu alaihi wa sallam menoleh kepada kami. Beliau
melihat kami shalat sambil berdiri. Lalu beliau berisyarat,
kemudian kami shalat sambil duduk. Tatkala salam, beliau
shallallahu alaihi wa sallam mengatakan, Jika kalian baru saja
bermaksud buruk, tentu kalian melakukan seperti yang dilakukan oleh
orang Persia dan Romawi. Mereka selalu berdiri untuk memuliakan
raja-raja mereka, sedangkan mereka dalam keadaan duduk. Ikutilah
imam-iman kalian. Jika imam tersebut shalat sambil berdiri, maka
shalatlah kalian sambil berdiri. Dan jika imam tersebut shalat
sambil duduk, maka shalatlah kalian sambil duduk. (HR. Muslim no.
413)Syaikh Mushtofa Al Adawy mengatakan, Dalam hadits ini
disebutkan mengenai hukum shalat sambil berdiri sedangkan imam
shalat sambil duduk dan perinciannya bukan di sini tempatnya.
Namun, dapat diambil pelajaran bahwa kita dilarang duduk ketika
orang tua kita berdiri di hadapan kita. Maka adab ini tetap bisa
diambil sebagai pelajaran dari hadits ini.Keempat: Tidak
mendahulukan dirinya sendiri sebelum kedua orang tua Hal ini dapat
dilihat dalam kisah tiga orang yang tertutup dalam goa dan tidak
bisa keluar. Salah seorang di antara mereka bertawasul dengan
amalan berbakti kepada kedua orang tuanya. Yaitu dia selalu
memberikan susu kepada kedua orang tuanya sebelum memberikan kepada
anak-anaknya bahkan dia bersabar menunggu untuk memberikan susu
tersebut kepada orang tuanya sampai terbit fajar. (HR. Bukhari no.
5974 dan Muslim no. 2743)Kelima: Meminta maaf kepada kedua orang
tuaSeyogyanya seorang anak meminta maaf atas kesalahan dirinya
kepada kedua orang tuanya karena setiap orang yang berbakti kepada
kedua orang tua belum tentu bisa menunaikan seluruh hak mereka.
Sungguh Allah Taala telah berfirman, Sekali-kali jangan; manusia
itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya. (QS.
Abasa [80] : 23). Maksudnya adalah manusia tidaklah dapat
melaksanakan seluruh perintah Rabbnya.Lihatlah saudara-saudara
Yusuf, mereka meminta maaf untuk diri mereka kepada orang tuanya
karena kesalahan yang telah mereka perbuat. Mereka berkata, "Wahai
ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)". (QS.
Yusuf [12] : 97)Keenam: Janganlah seorang anak membalas orang tua
yang mencelanyaKarena Allah Taala berfirman, Maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah". (QS. Al
Isro [17] : 23)Ibnu Katsir mengatakan, Janganlah engkau
memperdengarkan pada keduanya kata-kata yang buruk. Bahkan jangan
pula mendengarkan kepada mereka kata uf (menggerutu) padahal kata
tersebut adalah sepaling rendah dari kata-kata yang jelek.Lihatlah
kisah Bilal bin Abdullah bin Umar dengan ayahnya berikut.Dalam
Shohih Muslim no. 442 dari jalan Salim bin Abdullah bin Umar
bahwasanya Abdullah bin Umar berkata, Aku mendengar Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Janganlah kalian menghalangi
istri-istri kalian untuk ke masjid. Jika mereka meminta izin pada
kalian, maka izinkanlah mereka.Kemudian Bilal bin Abdullah bin Umar
mengatakan, Demi Allah, sungguh kami akan menghalangi mereka.Lalu
Abdullah bin Umar mencaci Bilal dengan cacian yang jelek yang aku
belum pernah mendengar sama sekali cacian seperti itu dari beliau.
Kemudian Ibnu Umar mengatakan, Aku mengabarkan padamu hadits
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu engkau katakan Demi
Allah, kami akan mengahalangi mereka!!Lihatlah bagaimana Bilal sama
sekali tidak membalas cacian ayahnya. Semoga kita bisa meneladani
hal ini.Ketujuh: Seorang anak harus betul-betul menginginkan
kebaikan pada orang tuanyaAnak yang sholih haruslah selalu
mengharapkan kebaikan kepada kedua orang tuanya. Walaupun kedua
orang tuanya tersebut adalah kafir, anak sholih hendaklah selalu
berharap orang tuanya mendapatkan hidayah dan terlepas dari adzab.
Hendaklah dia selalu menasehati dan memberi peringatan kepada orang
tuanya sampai dia meninggal dunia.Lihatlah kekasih Allah yaitu Nabi
Ibrahim alaihis salam. Beliau tidak henti-hentinya menasehati orang
tuanya dengan perkataan yang lembut. Dia mencoba menasehati ayahnya
dengan panggilan lembut yang dikenal oleh orang Arab yaitu Yaa
Abati. Perhatikanlah kisah beliau dalam ayat berikut ini, (41) (42)
(43) (44) (45)Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al
Kitab (Al Quraan) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat
membenarkan lagi seorang Nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada
bapaknya; "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak
mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?
Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu
pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya
aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku,
janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka
kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku
khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah,
maka kamu menjadi kawan bagi syaitan". (QS. Maryam [19] :
41-45)Nabi Ibrahim alaihis salam juga meminta ampunan Allah kepada
orang tuanya setelah kematiannya. Namun, hal ini telah dilarang
oleh Allah Taala sebagaimana firman-Nya, Dan permintaan ampun dari
Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena
suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka,
tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah,
maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim
adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (QS. At
Taubah [9] : 114)