Top Banner
i
170

suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Mar 14, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

i

Page 2: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

ii

Page 3: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

iii

suara-suara yang terbungkamOlenka dalam Perspektif Dialogis

Page 4: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

iv

Sanksi Pelanggaran Pasal 44:Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6Tahun 1982 tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memper-banyak suatuciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7(tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp100. 000.000,00 (seratus juta rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, meng-edarkan, atau menjualkepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Page 5: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

v

Tirto Suwondo

suara-suarayang

terbungkamOlenka dalam Perspektif Dialogis

Page 6: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

vi

SUARA-SUARA YANG TERBUNGKAMOLENKA DALAM PERSPEKTIF DIALOGIS

Pengantar Dr. Faruk

©Hak Cipta pada penulis dilindungi undang-undangHak Penerbitan pada Gama Media

Penulis : Tirto SuwondoPenyunting : Agustina PurwantiniDesain Sampul : Arif PrabowoTata Letak : SunartoKode Penerbitan : GM. 006.9193.01Tebal Buku : 354 + xxii hlm.Ukuran Buku : 14 x 20,5 cm.

Penerbit Gama MediaJalan Menteri Supeno 110AYogyakarta, Telepon (0274) 375561Email: [email protected]

Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Gama Mediaatas kerja sama dengan Yayasan Adi Karya IKAPIdan The Ford FoundationYogyakarta, 2001

ISBN: 979-9193-94-X

Page 7: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

vii

PENGANTAR PENERBIT

Sebagai sebuah penerbit yang berkomitmen kuat terhadapperkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak terkecualibidang ilmu sosial dan kemanusiaan (humaniora), GAMAMEDIA memandang perlu hasil penelitian ini dipublikasikankepada khalayak luas. Sebagai suatu hasil penelitian yang semulaberupa tesis S-2 yang diajukan oleh penulisnya kepada ProgramPascasarjana Universitas Gadjah Mada, daripada disimpan rapi diper-pustakaan --yang pada akhirnya hanya akan menjadi sangateksklusif-- lebih baik diterbitkan dan dipublikasikan ke tengahmasyarakat sehingga penelitian ini dapat dinikmati oleh pembacaumum.

Ada beberapa alasan yang menarik dan masuk akalmengapa hasil penelitian ini dianggap perlu untuk diterbitkan.Beberapa alasan itu di antaranya sebagai berikut. Pertama,penelitian ini tentu akan sangat berharga, teru-tama untuk bidangkritik sastra Indonesia modern, karena sejauh pengamatan yangdapat kami lakukan, baru penelitian inilah (satu-satunya diIndonesia) yang mencoba melihat dan memper-lakukan karyasastra dengan cara pandang dialogis-polifonik, sebuah carapandang yang relatif “baru” dalam khazanah studi sastraIndonesia. Oleh karena itu, penelitian semacam ini pentingartinya bagi kancah ilmu sastra khususnya dan ilmu kemanusiaan(humaniora) pada umumnya. Kedua, dengan menggunakanancangan teori dia-logis (polifonik) --teori hasil perkawinanantara Marxisme dan Formalisme--, di dalam penelitian inipenulis mencoba menemu-kan “prinsip-prinsip demokrasi” didalam karya sastra. Apakah suara-suara (gagasan, ideologi) dalamkarya sastra Indonesia dapat terepresentasikan secara bebas (dia-logis) sesuai dengan prinsip seperti yang berlaku di dalam sistem

Page 8: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

viii

demokrasi? Ataukah suara-suara yang mencoba hadir kepermukaan itu justru “ter-bungkam” oleh sistem yang “otoriter”sehingga yang muncul hanya suara tunggal (monologis), suarayang berkuasa? Upaya inilah yang perlu dihargai sehinggapenelitian ini perlu disosialisasikan. Ketiga, dilihat dalam konteksyang lebih luas, yakni Indonesia, di dalam penelitian initercermin adanya hubungan analogis antara “apa yang terjadi didunia fiksi-imajinatif” dengan “apa yang terjadi di dunia empirik-faktual”. Itulah sebabnya, melalui “dunia fiksi Olenka”--salahsatu novel terkemuka Indo-nesia yang terbit pada masa OrdeBaru-- sebagaimana dibahas di dalam penelitian ini, dapatdibayangkan bagaimana “kebebasan” atau “kea-nekaragaman”sebagai inti demokrasi itu ditegakkan.

Beberapa alasan itulah yang menjadi pertimbangan utamakami sehingga kami menganggap perlu penelitian ini diterbitkan.Kami berharap, buku ini menjadi karya yang bermanfaat, tidakhanya bagi mereka yang bergulat di bidang ilmu sastra, tetapijuga di bidang ilmu sosial dan kemanusiaan pada umumnya.Karena itu, GAMA MEDIA yang merasa turut bertanggungjawab atas kemajuan anak-anak bangsa, mengucapkan terimakasih kepada Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundationyang memungkinkan buku ini hadir ke hadapan pembaca.

Gama Media

Page 9: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

ix

PENGANTAR PENULIS

Buku ini semula berupa hasil penelitian (tesis) yang sayatulis dan saya ajukan kepada Program Studi Sastra, ProgramPascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogya-karta, untukmemenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana S-2(Magister Humaniora) tahun 2000. Ken-dati kemudian dikemasdalam bentuk buku, tidak ada perubahan yang prinsipiil, kecualihal-hal yang bersifat teknis-ilmiah. Bahkan, hal-hal yang bersifatteknis-ilmiah itu (abstrak, sistematika penyajian, dan ejaan yangdigu-nakan) sengaja dihilangkan. Alasannya, tentu saja, sebagaisebuah bacaan umum, agar buku ini tidak tampil sebagai bacaanyang eksklusif.

Dalam buku ini saya mencoba membahas (memahami,mengapresiasi) salah satu novel Indonesia berjudul Olenka yangpada era 1980-an, yakni era merebaknya post-modernism, sempatmencuat ke permukaan sebagai sebuah karya “baru” yang“disegani” oleh para ahli sastra Indo-nesia. Hal itu terbukti, novelkarya Budi Darma, seorang Guru Besar Sastra Inggris di IKIP(sekarang Universitas) Negeri Surabaya itu, begitu memenangkansayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta (1980) danditer-bitkan oleh Balai Pustaka (1983), publik sastra Indonesiaterhenyak dibuatnya. Karena itulah, berbagai pujian kemudiandatang bertubi-tubi. Bahkan, tidak hanya itu, berkat novel yangdinobatkan sebagai peraih Hadiah Sastra 1983, juga sebagaipemenang Hadiah Sirikit, Budi Darma kemudian memperolehpenghargaan SEA Write Award dari Kerajaan Thailand (1984).Kendati demi-kian, bukan itulah yang menjadi po-kok persoalanyang dikupas di dalam buku ini. Melalui aspek-aspek carnivalyang secara dominan terdapat di dalam Olenka, saya mencobamelihat suara-suara (sudut pandang, gagasan, atau ideologi) yang

Page 10: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

x

ditampilkan untuk membangun “dunia fiksi (simbol)” dalamnovel. Ancangan teori yang saya gunakan adalah dialogis, suatuteori yang men-junjung tinggi prinsip-prinsip kesetaraan, yaituprinsip hubungan yang tidak saling meniadakan, tetapi salingmenghargai perbe-daan, yang agaknya hal ini sesuai denganprinsip dasar di dalam alam (sistem) demokrasi.

Dengan kacamata teori dialogis --teori yang pada akhirtahun 1920-an sebenarnya telah membuka peluang bagi mun-culnya postmodernism tetapi dilupakan banyak orang danpostmodernism itu sendiri baru ramai dibicarakan pada era 1970dan 1980-an-- tampak dengan jelas bahwa suara-suara ataugagasan yang tampil di dalam novel Indonesia, salah satunyanovel Olenka karya Budi Darma, “terbungkam” oleh suara“penguasa”, yakni suara penga-rang. Jadi, dalam hal ini, tidak adasuara lain yang eksis (dialogis, polifonik), yang ada hanyalahsuara tunggal (monologis, monofonik) karena suara-suara lainyang muncul terkooptasi oleh suara pengarang. Dan, suara penga-rang ini pun dapat dipahami sebagai suara sistem (sosial-politik)yang menguasai pengarang. Andaikata saya boleh berpendapat,inilah barangkali salah satu bentuk otori-tarianisme dalam sastra.Apakah kecenderungan semacam ini dapat dibayangkan memilikirelevansi analogis dengan apa yang terjadi di Indonesia padamasa atau era novel itu ditulis? Jawaban atas pertanyaan ini tentu-lah hanya ada pada pikiran Anda (pembaca) masing-masing.

Perlu diketahui bahwa judul buku ini tidak sama denganjudul awal naskah hasil penelitian (tesis). Semula judul naskahhasil penelitian itu adalah Olenka: Tinjauan Dialogis. Denganpertimbangan teknis dan pragmatis, di samping pertimbanganseperti yang telah diutarakan di atas, kemudian judul tersebutsaya ubah menjadi Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka da-lam Perspektif Dialogis. Mengapa “suara-suara yang terbung-kam?” Memang begi-tulah --jika saya boleh menilai dan menaf-sirkan secara bebas-- yang pada umumnya terjadi dalam suatumasya-rakat atau komunitas yang belum sepenuhnya paham akan

Page 11: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

xi

arti “kebebasan, keberbedaan, dan keberagaman” sesuai denganapa yang diharapkan di dalam sistem demokrasi.

Demikian pengantar ringkas saya selaku penulis buku ini.Saya sadar sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak,buku ini tentu tidak akan terwujud. Untuk itu, dengan hati yangtulus dan ikhlas, saya me-nyampaikan penghargaan dan ucapanterima kasih kepada Kepala Pusat Bahasa di Jakarta, Kepala danrekan-rekan kerja di Balai Bahasa Yogyakarta, Pengelola danpara dosen Program Studi Sastra (Program Pascasarjana Univer-sitas Gadjah Mada), dan Direktur Penerbit GAMA MEDIAYogyakarta, karena berkat mereka semua buku ini dapat hadir(lagi) ke hadapan pembaca. Ucapan terima kasih dan penghar-gaan yang istimewa saya sampaikan kepada Budi Darma karenaberkat karyanya saya terilhami untuk mela-kukan penelitian danmenulis buku ini. Tidak lupa pula saya ucapkan terima kasihkepada Dr. Faruk H.T. yang telah bersedia memberikan katapengantar untuk buku ini.

Di samping itu, penghargaan khusus saya sampaikankepada keluarga, terutama ibu terkasih Mangi W.K., istri tercintaRina Ratih Sri Sudaryani, dan anak-anak tersa-yang Nila IswaraPoetry, Andrian Ahmada Gandawida, dan Nasrilia Rahmadina,karena mereka semua-lah yang mem-buat saya merasa “berarti”di dunia ini. Saya berharap dan berdoa semoga kebaikan merekasemua memperoleh balas-an kebaikan pula.

Saya merasa yakin bahwa buku ini masih banyak keku-rangannya. Karena itu, dengan lapang dada, dengan tanganterbuka, saya mengharapkan kritik dan saran yang konstruktifagar buku ini tidak tampil sebagai bacaan (mitra pustaka) yangsia-sia. Mudah-mudahan buku ini memancing kegairahan parapembaca umumnya dan peneliti khususnya untuk melakukankerja sejenis. Amin.

Tirto Suwondo

Page 12: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

xii

PENGANTAR DR. FARUK, H.T.

Teori, Kebenaran, Kebijakan

Karya atau mungkin karya seni pada umumnya selaluproblematis. Ia selalu mungkin dan bahkan sah untuk dilihat dariberbagai macam sudut pandang. Oleh karena itu, di lingkungandunia sastra, berbicara mengenai kebenaran yang tunggal, sejati,mutlak, sering terkesan amat naif. Kebenaran sastra, sejak semu-la, selalu plural.

Mungkin semua warga dunia sastra sudah menge-nalpaham tersebut. Sifat polisemik dan multiinterpretabel karyasastra dapat dikatakan sudah melembaga di lidah semua orang.Seribu kepala, seribu arti, sudah menjadi hapalan semua orang.Namun, sebenarnya tidaklah mudah untuk membuat sudut pan-dang itu sendiri menjadi plural. Orang lebih banyak terperangkapdalam satu sudut pandang belaka, tidak hanya dalam melihat danmema-hami karya sastra, melainkan bahkan kehidupan itu sen-diri. Mungkin, banyak orang yang mengenal beberapa pilihansudut pandang: Rawamangun, Ganzeit, atau sejenisnya. Tapipilihan itu pun cenderung terbakukan dan orang mengalamikesulitan untuk menemukan pilihan lain di luar seperangkatpilihan yang sudah tersedia.

Salah satu cara memperoleh pilihan sudut pandang yangbaru adalah dengan melihat cara orang lain, di luar diri dankomunitas kita, memandang kehidupan komunitas dan juga karyasastra. Teori-teori baru, termasuk yang datang dari Barat, merupa-kan salah satu cara orang lain dalam melakukan hal tersebut.Tetapi, penerimaan terha-dap teori-teori itu pun tidak mudah. Adasemacam keeng-ganan orang untuk melihat sesuatu dengan sudut

Page 13: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

xiii

pandang baru karena sudah merasa aman, mudah, murah, meng-gunakan sudut pandang yang ada. Oleh karena itu, berbagaialasan dikemukakan untuk menolak hal itu: misalnya teori sastraasli Indonesia, teori Barat, yang kebarat-baratan, tidak berkepri-badian, dan sebagainya. Ada yang meneri-ma, tetapi membaca-nya dengan sudut pandang yang lama. Maka, misalnya, semiotikamenjadi tidak berbeda dari ilmu katuranggan Jawa atau sudutpandang yang sudah biasa digunakan. Hanya namanya saja yangberubah.

Maka, usaha memperoleh, menangkap, menerima, danmenyerap suatu teori baru, pada dasarnya adalah usaha mem-peroleh, menangkap, menerima, dan menyerap suatu cara barudalam memandang sastra dan bahkan kehidupan. Apakah cara ituakan membawa kita pada suatu kebenaran, tidaklah menjadipersoalan yang utama. Yang terpenting darinya adalah bahwakita, dengan demikian, barusaha mencoba keluar dari belenggucara pandang yang biasa kita gunakan, yang mungkin sudahterlalu melekat pada diri kita, dan mencoba melihat segalasesuatu dengan cara yang berbeda. Hanya dengan cara demikiankita dapat menjadi bijak, tidak mudah meng-hukum dan mengha-kimi orang lain, cara hidup yang lain, hanya karena hal itu diang-gap negatif oleh cara pandang tertentu. Membiasakan menggu-nakan teori-teori baru berarti membiasakan diri untuk beralihsudut pandang. Bukankah yang dinamakan empati adalah jugausaha dan kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandangorang lain, pikiran, dan perasaan orang lain?

Saya kira, dalam hal yang demikianlah buku ini berharga.Ia menunjukkan suatu upaya yang cukup serius untuk melihatsegala sesuatu dengan cara orang lain, yang di luar kebiasaanpenulisnya sendiri. Dan, itu tidak mudah. ***

FARUK H.T.

Page 14: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

xiv

DAFTAR ISI

PENGANTAR PENERBIT viiPENGANTAR PENULIS ixPENGANTAR DR. FARUK xiiDAFTAR ISI xiv

BAB I PENDAHULUAN 11.1 Latar Belakang 11.2 Olenka dalam Kancah Studi Sastra Indonesia 51.3 Ancangan Dialogis 12

BAB II GENRE NOVEL POLIFONIK 192.1 Novel Polifonik sebagai Genre 192.2 Karakteristik Novel Polifonik 212.3 Tradisi Sastra Karnival 25

BAB III OLENKA: KRITIK DIALOGIS 323.1 Karnivalisasi dan Komposisi 323.1.1 Karnivalisasi 333.1.1.1 Karnivalisasi Eksternal 343.1.1.2 Karnivalisasi Internal 403.1.2 Komposisi 553.1.2.1 Komposisi Antar-Bagian 593.1.2.2 Komposisi Antar-Subbagian 673.2 Tokoh dan Posisi Pengarang 833.2.1 Dialog Antartokoh 873.2.2 Posisi Pengarang 963.3 Representasi Gagasan 105

Page 15: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

xv

3.4 Dialog Intertekstual 1133.4.1 Olenka dan Chairil Anwar 1153.4.2 Olenka dan Sartre 127

BAB IV PENUTUP 140

DAFTAR PUSTAKA 145

BIODATA PENULIS 152

LAMPIRAN: (tidak disertakan)

Page 16: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

xvi

Page 17: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 1

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangOlenka adalah novel karya Budi Darma. Olenka ditulis di

Bloomington akhir tahun 1979 ketika Budi Darma sedang dalamproses menyelesaikan disertasi berjudul Character and MoralJudgment in Jane Austin’s Novel di Indiana University, AmerikaSerikat. Ketika diikutsertakan dalam sayembara penulisan naskahroman (novel) Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 1980, olehdewan juri naskah novel tersebut ditetapkan sebagai pemenangutama. Tiga tahun kemudian (1983), setelah diterbitkan olehBalai Pustaka, novel yang ditulis dalam waktu kurang dari tigaminggu tersebut (Darma, 1983:217) oleh DKJ dinyatakan pulasebagai pemenang Hadiah Sastra 1983. Setahun kemudian(1984), novel dengan ketebalan 232 halaman itu juga mengan-tarkan pe-ngarangnya (Budi Darma) menerima penghargaan SEAWrite Award dari Kerajaan Thailand. Lebih dari itu, Olenka jugapernah memperoleh Hadiah Sirikit.

Diraihnya beberapa penghargaan dalam waktu relatifsingkat tersebut membuktikan bahwa novel Olenka memiliki“kelebihan” tertentu. Akan tetapi, “kelebihan” tertentu yang dimi-liki oleh Olenka itu ternyata tidak secara otomatis membawadampak pada meluapnya minat masyarakat terhadapnya. Pernya-taan ini memang sulit dibuktikan, tetapi karena selama 17 tahun(1983--2000) Olenka belum pernah dicetak ulang, dapat diduga

Page 18: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 2

bahwa novel tersebut kurang diminati masyarakat.1 Hal demikianberbeda, misalnya, jika dibandingkan dengan novel Saman karyaAyu Utami yang--sama-sama menjadi pemenang sayembara--dalam waktu kurang dari tiga tahun (1998--2000) telah dicetakulang 14 kali. Menurut Sumardjo (1991:294), kurangnya minatmasyarakat terhadap novel tersebut antara lain disebabkan olehOlenka bukan merupakan karya yang mudah dipahami sehinggapembaca yang tidak terbiasa menyelidiki rahasia hidup ini secaralebih intens dan serius akan cepat bosan membacanya, danbahkan akan menghentikan bacaannya pada halaman-halamanawal.

Kenyataan demikian mengindikasikan bahwa novelOlenka sesungguhnya berada dalam suatu dilema. Di satu pihak,novel karya pengarang kelahiran Rembang (25 April 1937)tersebut dianggap sebagai salah satu novel “puncak” dalam sastraIndonesia, tetapi di lain pihak, kehadirannya kurang mendapatsambutan luas dari masyarakat. Oleh sebab itu, agar dilematersebut sedikit teratasi, atau setidaknya terkurangi, tanggapandan atau pembicaraan terhadapnya perlu digiatkan. Hal itu perludilakukan karena melalui pembicaraan semacam itu barangkalipembaca akan sedikit terbantu dalam memahami Olenka, ataupaling tidak, pembaca akan tergugah minatnya untuk membaca.Demikian pula kiranya--tanpa berpretensi untuk membuat segala-nya berhasil dengan baik--salah satu alasan praktis mengapapembicaraan ini dilakukan.

Alasan yang diungkapkan di atas bukanlah alasan subs-tantif karena ada beberapa alasan lain yang lebih substansial yang

1 Hal yang sama terjadi juga pada sebagian besar novel (sastra)Indonesia. Barangkali ini erat berhubungan dengan rendahnya minat bacasastra masyarakat yang di antaranya disebabkan oleh terpuruknya pengajaransastra di Indonesia selama ini (Ismail, 2000:115--123). Namun, hal ini dapatdipahami karena tidak dicetak-ulangnya Olenka barangkali merupakan suatustrategi Balai Pustaka yang memang tidak berorientasi pasar.

Page 19: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 3

melatarbelakangi pembicaraan ini. Alasan yang dimak-sudkan ituialah bahwa di dalam novel Olenka terdapat berbagai macamunsur, dan kalau diamati dengan cermat, unsur-unsur tersebutmencerminkan suatu perilaku yang--menurut istilah Bakhtin(1973:88, 100, 133)--disebut perilaku karnival (carnival atti-tude).2 Unsur-unsur (perilaku) karnival yang ada di dalam noveltersebut di antaranya adalah (1) petualangan yang fantastik; (2)“manusia” abnormal, aneh, dan eksentrik; (3) berbagai adeganskandal; (4) utopia sosial dalam bentuk mimpi; (5) dialogfilosofis tentang pertanyaan-pertanyaan akhir; (6) komikal,misalnya adanya peristiwa pelecehan terhadap pendeta; (7)campuran berbagai genre seperti puisi, cerpen, novel, drama,syair lagu, surat, kitab suci, dan lain-lain; dan (8) adanya sifatjurnalistis atau publisistis, misalnya disebutkannya nama-namatokoh populer yang sekarang telah surut dan disertakannyagambar, berita, atau iklan yang diambil dari berbagai koran danmajalah.

Menurut Bakhtin (1973:100, 133), karnival merupakansuatu perilaku yang akar-akarnya tertanam dalam tatanan dancara berpikir primordial dan berkembang dalam kondisimasyarakat kelas. Di dalam kondisi masyarakat semacam ituperilaku karnival mencoba memperlakukan dunia sebagai miliksemua orang sehingga mereka (siapa pun yang menghuni dunia

2 Dalam buku ini istilah karnival tetap (sengaja) dipertahankandengan pertimbangan bahwa kata karnaval, kirab, pawai, atau pesta sebagaiterjemahan dari kata carnival (Inggris) memiliki arti yang relatif berbeda-beda.Karnaval artinya pawai dalam rangka pesta perayaan (biasanya mengete-ngahkan bermacam corak dari hal-hal yang menarik atas yang dirayakan itu);kirab artinya perjalanan bersama-sama atau beriring-iringan secara teratur danberurutan dari muka ke belakang dalam suatu rangkaian upacara (adat,keagamaan, dsb.); pawai artinya iring-iringan orang, kendaraan, dsb.; per-arakan; dan pesta artinya perjamuan makan minum (bersuka ria dsb.) (periksaAli, 1997:447, 504, 738, 762).

Page 20: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 4

itu) dapat menjalin kontak (dialog) secara bebas, akrab, tanpadihalangi oleh tatanan, dogma, atau hierarki sosial. Perilakutersebut semula berkembang dalam kisah-kisah (lisan) rakyatkarnivalistik (carnivalistic folklore), kemudian berpengaruh padakarya-karya sastra klasik genre serio-komik (serio-comic genre),di antaranya Socratic Dialog dan Menippean Satire (abad ke-3SM), dan jauh sesudah itu (abad ke-18) berkembang pula didalam tradisi novel-novel Eropa. Menurut Bakhtin (1973:88--100), perkem-bangan itu mencapai puncak pada novel-novelkarya Dostoevsky yang olehnya disebut sebagai novel polifonik(polyphonic novel).

Bakhtin (1973:100) berkeyakinan bahwa karnival meru-pakan perilaku yang membuka jalan atau memberikan kondisi-kondisi tertentu bagi lahirnya sebuah genre (sastra) baru, yaitugenre novel polifonik (polyphonic novel). Novel polifonik adalahnovel yang ditandai oleh adanya pluralitas suara atau kesadarandan suara-suara atau kesadaran itu secara keseluruhan bersifatdialogis (Bakhtin, 1973:4, 34).3 Menurut Bakhtin (1973:101),perilaku karnival tidak hanya terbatas memberikan kondisitertentu bagi lahirnya novel polifonik dan akan berhenti setelahmencapai puncak pada karya-karya Dostoevsky, tetapi juga akanterus hidup sampai sekarang, bahkan akan dilahirkan kembali dimasa-masa yang akan datang. Dalam kaitan inilah, karena Olenkamenampilkan berbagai unsur atau perilaku karnival seperti yangtelah disebutkan, diasumsikan bahwa novel tersebut merupakan

3Yang dimaksud “suara” (voice) ialah “sudut pandang terhadapdunia” (Lunacharsky dalam Bakhtin, 1973:27). Sementara itu, yang dimaksud“dialogis” (dialogical) ialah “hubungan yang tidak menguasai orang (suara,tuturan) lain, tetapi menghargai orang lain”, atau menurut Bakhtin (Todorov,1984:60--61, Faruk 1994:134), hubungan dialogis merupakan tipe khusus darihubungan semantik yang bagian-bagiannya dibentuk oleh keseluruhan tuturanyang di balik tuturan itu berdiri subjek-subjek aktual atau potensial, parapencipta tuturan yang bersangkutan.

Page 21: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 5

novel (karya) karnivalis (carnivalized literature) yang cenderungpolifonik (banyak suara, banyak pandangan, banyak gagasan).Karena sifat dasar novel polifonik adalah dialogis (Bakhtin, 1973:14, 34), diasumsikan pula bahwa novel Olenka memiliki karak-teristik dialogis.

Berangkat dari asumsi demikianlah, di dalam buku inihendak dipaparkan jawaban atas tiga pertanyaan (1) sampaiseberapa jauh Olenka terkarnivalisasi, (2) sampai di mana tingkatkepolifonikannya, dan (3) bagaimana kedialogisannya. Namun,perlu diketahui bahwa tiga pertanyaan itu sebenarnya tidak dapatdipisah-pisahkan karena semuanya mengacu pada sebuah tesisyang diajukan oleh Bakhtin (1973) dalam upaya mendefinisikanciri-ciri mendasar genre novel polifonik. Oleh karena itu, tigapertanyaan tersebut akan dicoba dijawab melalui pembahasanterhadap tiga aspek dari tesis tersebut (Bakhtin, 1973:38), yaitukomposisi dan karnivalisasi, tokoh dan posisi pengarang, danrepresentasi gagasan (ideologi). Kendati demikian, ada persoalanlain yang tidak mungkin dikesampingkan. Karena kedialogisannovel polifonik itu ditandai oleh adanya upaya mendialogisasiatau menghimpun heteroglosia (berbagai teks, bahasa, wacana,atau genre) ke dalam dirinya, satu hal yang juga harus diper-hatikan adalah unsur-unsur (genre/teks) lain yang dihimpun didalamnya itu. Oleh karena itu, di dalam buku ini, selain dikupastiga aspek yang telah disebutkan di atas, dikupas pula hubunganOlenka dengan genre atau teks-teks lain yang dihimpun didalamnya (dialog intertekstual).

1.2 Olenka dalam Kancah Studi Sastra IndonesiaSejauh pengamatan yang dapat dilakukan, dalam khasa-

nah studi (penelitian) sastra Indonesia novel karya pengarangangkatan tahun 70-an (Eneste, 1988:157--158) yang hinggasekarang masih menjabat sebagai Guru Besar Sastra Inggris diUniversitas Negeri Surabaya itu telah dibicarakan beberapa ahli,di antaranya oleh Hoerip (1986), Setijowati (1986), Junus (1988,

Page 22: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 6

1990), Faruk (1988), Hutomo (1988), Dewanto (1990, 1996),Indriati (1991), Sumardjo (1991), Prijanto (1993), Pradopo(1995), Mujiningsih dkk. (1996), Indraningsih (1996), danMujianto (1997). Di dalam beberapa pembicaraan itu Olenka adayang disoroti secara khusus dalam bentuk artikel, makalah,skripsi, dan tesis; ada pula yang hanya dibahas secara selintas didalam artikel atau esai umum tentang sastra.

Dalam artikel “Beberapa Catatan Mengenai OLENKAKarya Budi Darma” (Horison, Juni 1986), misalnya, Hoerip per-tama-tama menyoroti Olenka dari segi penggunaan bahasa.Menurutnya, bahasa yang digunakan di dalam Olenka betul-betulbebas, spontan, lincah, cekatan, dan seolah mengocor seperti airpancuran di sawah. Akan tetapi, bahasa itu tetap terjaga efek-tivitasnya sehingga terasa pas untuk mewadahi tokoh-tokohnya.Selain itu, Hoerip juga menyoroti perihal pembagian bab yangeksentrik, terutama mengenai bagian (bab) yang dibagi-bagi lagike dalam sub-subbagian. Bagi Hoerip, novel Olenka menun-jukkan suatu kebaruan, dan kebaruan itu tampak pada penggu-naan sudut pandang yang tiba-tiba berubah, yaitu “saya” FantonDrummond dalam bagian V tiba-tiba berubah menjadi “saya”Budi Darma dalam bagian VI.

Persoalan serupa juga menjadi sorotan Setijowati dalammakalahnya “Beberapa Kecenderungan Gaya Budi Darma dalamOlenka” yang dipresentasikan dalam Pertemuan Ilmiah Bahasadan Sastra Indonesia (PIBSI) VIII di Universitas MuhammadiyahSurakarta pada tanggal 13--14 Oktober 1986. Setelah menga-nalisis novel tersebut, Setijowati menyimpulkan bahwa gaya BudiDarma di dalam Olenka cenderung spontan, lincah, tanpa dibuat-buat dan terus terang, yang semua itu terlihat dalam penggunaankalimat yang pendek-pendek dan sederhana. Menurutnya, gaya“saya” ternyata tepat untuk mewadahi novel yang bertema “semi-absurd” sehingga penghayatan Budi Darma yang intens terhadapsesuatu yang kumlebat ‘berkelebat’ dalam batin manusia terlihat

Page 23: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 7

jelas. Selain itu, Setijowati juga menyimpulkan bahwa di dalamnovel Olenka pengarang cenderung mengajari pembaca.

Sementara itu, dalam sebuah seminar di Universitas BungHatta, Padang, tanggal 23--26 Maret 1988, Junus membicarakannovel Olenka dalam hubungannya dengan persoalan pengem-bangan teori. Dalam makalah berjudul “Teori Sastra dan Feno-mena Sastra” yang kemudian dimuat dalam buku suntingan Esten(1988), Junus mengatakan bahwa meskipun memper-lihatkanhakikat yang lebih ruwet, novel Olenka menampilkan fenomenabaru yang dapat dijadikan sebagai titik tolak pengem-bangan teoripembacaan. Dikatakan demikian karena daftar isi, bagian V(Coda), bagian VI (Asal-Usul Olenka), dan bagian VII (Catatan)yang sesungguhnya merupakan unsur tak-cerita itu mampumemaksa pembaca untuk memasukkannya sebagai unsur ceritayang harus dibaca. Hal serupa diungkapkan lagi dalam makalahberjudul “Unsur Tak-Cerita dalam Novel: Teks dan Cerita” yangdipresentasikan dalam Pertemuan Ilmiah Nasional III HISKI(Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia) di Malang, 26--28November 1990.

Kajian lain tentang Olenka dilakukan oleh Sumardjo.Dalam karangannya yang kemudian dimuat di dalam bukuPengantar Novel Indonesia (1991:294--296), Sumardjo menilaibahwa Olenka merupakan produk corak sastra baru, yaitu sastraintelektual, karena novel tersebut terlalu mementingkan pena-laran, terlalu ingin menjelaskan, dan ingin menjangkau ke dalamdengan segenap akal-pikiran, keluasan pengetahuan, sekaligusingin merasuk ke kedalaman batin (lubuk hati) manusia. Kecen-derungan serupa itulah, menurutnya, yang menyebabkan Olenkahanya digemari oleh sebagian kecil pembaca yang sudah majudalam bidang pembacaan sastra yang selalu haus akan sesuatuyang baru dan unik. Hanya saja, menurut Sumardjo, sebagaisebuah novel, Olenka nyaris tidak ada “cerita”-nya karena plotdasarnya sangat sederhana. Namun, katanya, kesederhanaan itutidak mengurangi Olenka sebagai sebuah novel yang--kendati

Page 24: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 8

agak sulit dipahami--selalu menarik, bahkan akan tetap menarikwalaupun dibaca secara tidak urut.

Sementara itu, di dalam makalah berjudul “Novel Indo-nesia Mutakhir: Menuju Teori yang Relevan” yang diajukandalam sebuah seminar (bersama Umar Junus) di Universitas BungHatta, Padang, Sumatra Barat (1988), Faruk mengemukakanadanya empat kecenderungan umum novel Indonesia mutakhir.Empat kecenderungan itu ialah (1) novel tak terintegrasi denganalternatif, (2) novel tak terintegrasi tanpa alternatif, (3) novelterintegrasi dengan dasar agama, dan (4) novel terintegrasidengan dasar budaya. Menurut Faruk, Olenka termasuk ke dalamkategori novel yang “tak terintegrasi tanpa alternatif” karenanovel tersebut cenderung menggambarkan dunia batin manusiamodern yang tidak pernah mendapat wadah penampungan.Gambaran semacam itu, menurutnya, dengan mengutip GeorgeLucacs, merupakan kecenderungan khas manusia yang beradadalam peradaban yang mengalami disintegrasi. Oleh karena itu,Olenka menjadi semacam mimpi buruk atau teror bagi manusia.

Hal senada dikatakan Mujianto dalam makalah “SastraPosmo: Sepercik Pemikiran Embrional” yang dipresentasikandalam kegiatan PIBSI II, Putaran Kedua, di Universitas Dipo-negoro, Semarang, September 1997. Dalam makalah tersebutMujianto menegaskan bahwa Olenka, dan hampir semua karyaBudi Darma, dapat dikategorikan sebagai karya sastra posmo.Dikatakan demikian karena di dalam novel Olenka, seperti halnyakarya-karya sastra posmo lainnya, tercermin nilai-nilai yangmengandung suatu pembebasan, penyadaran, pencerahan spi-ritual, dan perenungan futuristik. Oleh karena itu, Olenka memi-liki substansi dan esensi yang cenderung mengkritisi adanyadominasi dan pengkultusan modernisme yang memarginalisasisegala sesuatu yang ada di luar wilayah modernisme.

Berbeda dengan beberapa kajian di atas, Hutomo menyo-roti Olenka dari sisi pembaurannya. Di dalam artikel berjudul“Unsur Silat dalam Olenka” (Horison, Juni 1988), Hutomo

Page 25: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 9

menyatakan bahwa kehebatan novel Olenka antara lain terletakpada aspek pembaurannya, yaitu pembauran dengan sastra ataucerita silat Cina. Setelah mengamati dan mendeskripsikan kata-kata “berkelebat” yang terdapat di dalam novel itu, Hutomomenafsirkan bahwa apabila kata-kata itu dianggap sebagai suatusimbol, Olenka merupakan novel yang sangat berhasil dalamupaya mengungkap makna pembauran, yaitu pembauran antarapribumi dan nonpribumi, pembauran antara sastra elit dan sastrapopuler. Itulah sebabnya, menurut Hutomo, novel Olenka memi-liki fungsi yang penting dalam masyarakat Indonesia dewasa ini.

Sementara itu, di dalam artikel “Pusat Pengisahan MetodeOrang Pertama dan Perkembangannya dalam Roman dan NovelIndonesia Modern” (Basis, Mei 1993) yang kemudian dimuat didalam buku Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerap-annya (1995:87--88), Pradopo mengkaji pusat pengisahan Olenkadi samping pusat pengisahan novel-novel Indonesia lainnya.Menurutnya, Olenka merupakan salah satu novel yang menun-jukkan metode pusat pengisahan baru, khususnya metode pusatpengisahan orang pertama, dan metode pusat pengisahan baru itumerupakan perkembangan teknik pusat pengisahan novel-novelsebelumnya. Pusat pengisahan novel Olenka, kata Pradopo, miripdengan pusat pengisahan bagian akhir novel Gairah untuk Hidupdan untuk Mati (1976) karya Nasjah Djamin.

Hal yang hampir sama dinyatakan Prijanto dalam artikel“Teknik Kolase dalam Novel Olenka” (Bahasa dan Sastra,Nomor 3, 1993). Dalam artikel tersebut ia menyoroti teknikpenceritaan, khususnya teknik kolase,4 dan fungsinya di dalam

4 Istilah kolase (collage) diartikan sebagai (1) komposisi artistik yangdibuat dari bahan kain, kertas, atau kayu yang ditempelkan pada permukaangambar atau lukisan, (2) teknik penyusunan karya sastra dengan caramenempelkan bahan-bahan seperti ungkapan asing dan kutipan yang biasanyadi-anggap tidak berhubungan satu dengan yang lain, (3) cara menentukannaskah yang dianggap asli dengan membanding-bandingkan naskah yang ada(Ali, 1997:512; bdk. Zaidan, 1994:105).

Page 26: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 10

novel. Di dalam penelitian kecil tersebut Prijanto berkesimpulanbahwa di dalam novel Olenka teknik kolase diterapkan denganmeng-gunakan guntingan artikel koran atau majalah dan iklanfilm yang dipadukan dengan deskripsi guntingan-guntingan itu didalam penceritaan. Menurutnya, penggunaan teknik kolase dapatmemperjelas jalinan cerita dan penampilan para tokoh. Pemikirandan perbuatan tokoh menjadi wajar dan masuk akal dengandisisipkannya kolase. Teknik ini digunakan oleh pengarangdengan maksud agar pembaca lebih berpikir kritis karena selamaini, menurutnya, pembaca cenderung digurui oleh pengarang.

Di samping beberapa kajian di atas, ada dua buah kajianyang memfokuskan perhatian pada struktur. Pertama, kajianIndriati yang berjudul “Struktur Novel Olenka: Sebuah TinjauanIntertekstual” (1991). Kajian tersebut berupa skripsi yang diaju-kan kepada Fakultas Sastra UGM. Dalam skripsi tersebut Indriatimembahas/meninjau aspek alur, penokohan, teknik penceritaan,dan pusat pengisahan. Setelah unsur-unsur tersebut dibahassecara intertekstual (hubungan antarteks), ia berkesimpulanbahwa novel Olenka berhubungan dengan novel Anak Perawandi Sarang Penyamun karya Sutan Takdir Alisjahbana sebagaihipogramnya. Kedua, kajian Mujiningsih yang hasilnya kemudiandibukukan dalam Analisis Struktur Novel Indonesia Modern1980--1990 (1996:124--139). Di dalam buku tersebut ia tidakmemberikan penilaian atau interpretasi apa pun tentang novelOlenka kecuali hanya mendeskripsikan urutan peristiwa, tema,tokoh, latar, dan alur.

Kajian yang agak mendalam dilakukan Indraningsihdalam sebuah tesis berjudul “Eksistensi Manusia dalam Rafilusdan Olenka Karya Budi Darma: Sebuah Kajian Semiotik” (1996).Di dalam tesis yang diajukan kepada Program Pascasarjana UGMtersebut ia mengkaji dua novel, yakni Olenka dan Rafilus. Setelahmenganalisis struktur berdasarkan teori semiotik yang dikom-

Page 27: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 11

binasikan dengan konsep filsafat eksistensialisme, ia menyim-pulkan bahwa novel Olenka mengedepankan (1) kebebasanmanusia berdasarkan pilihan-pilihan dan tindakannya, (2) hu-bungan antarmanusia bukan sebagai subjek-objek, melainkansama-sama sebagai subjek yang saling menghapus eksistensiorang lain, (3) anak sebagai pernyataan eksistensi, dan (4)kehadiran Tuhan sebagai tempat mengadu manusia.

Di antara sekian banyak kajian yang ada, tampaknyahanya kajian Dewanto yang mengarah pada substansi yanghendak dibahas di dalam buku (penelitian) ini. Dalam kajianpendek berjudul “Pengalaman dan Penciptaan: Kasus BudiDarma dan Gabriel Garcia Marquez” (Berita Buana, 5 Februari1985) yang kemudian dimuat dalam Senjakala Kebudayaan(1996:126--136) tersebut Dewanto menyatakan bahwa Olenkamerupakan novel yang mengandung banyak suara, dan suara-suara tersebut tidak sekedar datang satu demi satu, tetapiserempak, saling men-dahului, dan bahkan berlapis-lapis. Itulahsebabnya, novel Olenka dikatakan memiliki hubungan analogisdengan novel Cien Anos de Soledad (Seratus Tahun Kesunyian)karya Marques.

Kendati demikian, apa yang dikatakan oleh Dewantotentang “banyak suara” tersebut tidak dibicarakan lebih lanjut,tetapi hanya digunakan untuk menunjukkan bahwa dunia novelmemiliki perbedaan yang mendasar jika dibandingkan dengandunia reportase surat kabar. Kalau reportase surat kabar cen-derung hanya memiliki satu suara, novel cenderung membukajalan untuk banyak suara. Sementara itu, di dalam artikelnya yanglain ia tidak mengupas hal yang sama. Dalam artikel “Mem-pertanyakan Budi Darma: Tentang Solilokui, Bawah Sadar, danKeterlibatan” (Horison, Februari 1990), Dewanto hanya menun-jukkan kelebihan Budi Darma dalam hal keterlibatan pengalamanbawah-sadar atau solilokui-nya dalam proses penciptaan Olenka.

Beberapa kajian dan pembahasan di atas membuktikanbahwa sejak terbitnya hingga sekarang novel Olenka tetap

Page 28: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 12

menarik perhatian. Dilihat dari berbagai aspek yang telahdibicarakan, seolah-olah novel tersebut tidak pernah kering untukdibaca, diteliti, dan diapresiasi kembali. Akan tetapi, sayangsekali, di dalam berbagai pembicaraan tersebut, permasalahanmendasar mengenai sejauh mana Olenka tampil sebagai novelkarnivalis, sampai di mana kepolifonikannya, dan bagaimanapula kedialogisannya, sama sekali tidak terungkapkan. Itulahsebabnya, buku ini mencoba untuk mengungkap dan memba-hasnya.

1.3 Ancangan DialogisSebagaimana telah diutarakan di depan, di dalam buku ini

perhatian dipusatkan pada karakteristik polifonik dan dialogisnovel Olenka. Perhatian dipusatkan pada masalah itu karena didalamnya banyak ditemukan unsur karnival yang menandaibahwa novel tersebut memiliki kecenderungan polifonik dandialogis. Oleh karena itu, pendekatan atau ancangan yangdigunakan sebagai landasan analisis adalah teori dialogis sepertiyang dikemukakan oleh aliran Bakhtin. Aliran Bakhtin adalahaliran yang dibangun oleh sekelompok sarjana Soviet yangbergerak pada masa akhir Formalisme Rusia awal tahun 1920-an.Di bidang kajian sastra, pada awalnya aliran Bakhtin berusahamensintesiskan pandangan Marxisme dan Formalisme (Selden,1991:12; Jefferson and Robey, 1991:191) dengan menawarkanapa yang disebut sebagai poetika sosiologis (sociological poetics)(Bakhtin and Medvedev, 1985:30--31).

Marxisme berpandangan bahwa studi sastra tidak lainmerupakan studi ideologis atau studi superstruktur yang diper-tentangkan dengan studi sistem produksi ekonomik yang bersifatmaterial (Bakhtin and Medvedev, 1985:3). Oleh sebab itu, Mar-xisme menempatkan teks sastra ke dalam wilayah ideologis yangsepenuhnya ditentukan oleh struktur ekonomi masyarakat. Dalamhal ini, perkembangan sastra dipandang sebagai cermin pasif atasperkembangan struktur ekonomi yang digerakkan oleh konflik

Page 29: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 13

antarkelas. Sementara itu, Formalisme, yang dipengaruhi olehlinguistik Saussure, berpandangan bahwa karya sastra merupakankonstruksi bahasa yang dipahami hanya sebagai konstruksi, ataudengan kata lain, karya sastra hanya merupakan sebuah kons-truksi bahasa yang bersifat dinamik (Segers, 1978:36). Olehkarena itu, Formalisme memperlakukan teks sastra sebagai objekstudi yang otonom yang keberadaannya lepas dari faktor-faktor diluar dirinya sehingga sastra dipahami sebagai sistem yangtertutup, abstrak, formal, dan memenuhi dirinya sendiri.

Dua pandangan yang berbeda tersebut kemudian disatu-kan oleh aliran Bakhtin dengan alasan bahwa setiap wilayahideologis mempunyai “bahasa” sendiri, bentuk dan peralatanteknis sendiri, dan hukum-hukum sendiri bagi refleksi danpembiasan ideologis terhadap realitas yang umum (Bakhtin andMedvedev, 1985:3). Atau, bagaimanapun ideologi tidak mungkindipisahkan dari mediumnya, yaitu bahasa (Selden, 1991:13).Hubungan yang erat antara bahasa dan ideologi akhirnyamembawa kesusastraan ke dalam lingkaran sosial-ekonomi yangmenjadi tanah air ideologi. Akan tetapi, aliran Bakhtin menolakmemperlakukan ideologi sebagai fenomena mental yang murnikarena, menurutnya, fenomena itu merupakan bagian dari realitasmaterial manusia sehingga ia pun bersifat formal. Di samping itu,aliran Bakhtin juga menolak konsep ilmu bahasa yang objektifdan abstrak karena--sebagai sistem tanda yang dibangun secarasosial--bahasa merupakan realitas material itu sendiri (Volosinov,1986:9--11). Oleh karena itu, bahasa dipahami sebagai fenomenasosial dan karya sastra dipahami sebagai fenomena ideologis.

Berdasarkan alasan di ataslah aliran Bakhtin akhirnyamenawarkan sebuah konsep yang selanjutnya dikenal sebagaiteori dialogis (Faruk, 1994:129--141). Teori itu tidak sekedardibangun atas dasar gabungan antara pandangan Marxisme danFormalisme, tetapi dibangun berdasarkan sebuah gagasan yanglebih mendasar yang berkaitan dengan konsep filsafat antropo-logis khususnya mengenai otherness ‘orang lain’ (Bakhtin dalam

Page 30: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 14

Todorov, 1984:94). Menurut konsep tersebut, pada dasarnyamanusia tidak dapat dipisahkan dari orang lain. Dikatakan demi-kian karena manusia pada umumnya mengagumi dirinya darisudut pandang orang lain, manusia memahami dan memper-hitungkan kesadarannya lewat orang lain, dan manusia secaraintens juga meramal dan memahami kehidupannya di datarankesadaran orang lain. Itulah sebabnya, lahir sebuah anggapanbahwa segala sesuatu di dalam hidup pada dasarnya merupakandialog (Bakhtin dalam Todorov, 1984:94--97).

Bertolak dari konsep di atas, aliran Bakhtin kemudianberkeyakinan bahwa pada dasarnya ada perbedaan yang esensialantara objek ilmu alam dan ilmu kemanusiaan atau humaniora(Bakhtin dalam Todorov, 1984:15). Objek ilmu alam adalahbenda mati yang tidak mengungkapkan diri dalam wacana dantidak mengkomunikasikan apa-apa, sedangkan objek ilmu kema-nusiaan atau humaniora adalah “roh” yang mengungkapkandirinya dalam wacana sehingga tidak terlepas dari masalahresepsi, transmisi, dan interpretasi wacana (orang) lain. Olehkarena objek ilmu kemanusiaan atau humaniora bersifat demi-kian, pema-haman atas objek tersebut tentu hanya dapat dila-kukan melalui pemahaman dialogis yang mencakupi penilaiandan respon (Bakhtin dalam Todorov, 1984:16).

Kekhasan ilmu kemanusiaan atau humaniora adalahorientasinya pada pikiran-pikiran, makna-makna, dan atausignifikasi-signifikasi yang datang dari orang lain (Bakhtin dalamTodorov, 1984:17). Oleh sebab itu, ilmu humaniora dapat di-masuki atau dapat dipelajari hanya melalui teks karena teksmerupakan realitas langsung yang di dalamnya pikiran-pikirandapat membentuk dirinya. Karena pikiran-pikiran di dalam teksdapat membentuk dirinya, jelas bahwa objek ilmu humaniorabukan sekedar manusia, melainkan juga manusia selaku penghasilteks. Selaku penghasil teks, objek tersebut tentu tidak lagisekedar berperan sebagai objek, tetapi juga sebagai subjek. Oleh

Page 31: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 15

sebab itu, di dalam humaniora subjek berhadapan dengan subjek(lain) sehingga terbangun sebuah dialog.

Karena di dalam humaniora objek sekaligus berperansebagai subjek, objek tersebut tentu tidak dapat direduksi menjadisesuatu yang bersifat fisik semata sehingga pemahaman terha-dapnya selalu bersifat dialogis. Dikatakan demikian karenapemahaman mengenai suatu objek selalu mengimplikasikanadanya jawaban terhadap objek (tuturan) lain (Bakhtin dalamTodorov, 1984:19--20). Akan tetapi, persoalan pemahaman initidak dapat dianggap berada di atas teks (metateks), tetapi sejajardengan teks (interteks). Prinsip inilah yang kemudian melahirkansebuah gagasan bahwa kriteria atau tolok ukur suatu pemahamanadalah kedalaman, yaitu upaya menembus ketidakterbatasanmakna-makna simbolik (Bakhtin dalam Todorov, 1984:22--23).

Telah dikatakan bahwa objek ilmu humaniora adalahmanusia yang mengekspresikan dirinya dalam wacana. Namun,karena ilmu humaniora terdiri atas bermacam-macam, akhirnyamuncul cara pandang yang bermacam-macam pula. Atas dasaritulah, khusus di bidang linguistik (ilmu bahasa), aliran Bakhtinmenawarkan ilmu atau cara pandang lain yang disebut trans-linguistik (Bakhtin dalam Todorov, 1984:24). Apabila objeklinguistik adalah bahasa dengan berbagai unsurnya (fonem,morfem, proposisi), objek translinguistik adalah wacana yangpada tahap selanjutnya direpresentasikan dalam tuturan-tururanindividual (bdk. Holquist dalam Morson, 1986:59--70). Jikaobjek linguistik bersifat objektif dan abstrak, objek translinguistikbersifat unik, konkret, dan selalu terikat oleh konteks sosial(Bakhtin dalam Todorov, 1984:25--26).

Karena sifat objeknya demikian, pemahaman maknawacana atau tuturan barulah dimungkinkan apabila ia diletakkandalam kerangka interaksi berbagai organisme. Dikatakan demi-kian karena makna selalu terikat oleh komunitas; dalam artibahwa tuturan tidak lahir secara eksklusif khusus bagi pembicara,tetapi selalu merupakan hasil interaksi dari seluruh peserta dialog.

Page 32: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 16

Pendek kata, tuturan hanya dapat hidup dalam hubungan dialogisbagi para penuturnya (Bakhtin, 1973:151; bdk. Volosinov, 1986:86). Artinya, tuturan baru bermakna apabila ia masuk ke dalamhubungan (dialogis) yang bagian-bagiannya dibentuk oleh kese-luruhan tuturan yang di balik tuturan itu berdiri subjek-subjekatau para pembuat tuturan yang bersangkutan (Bakhtin dalamTodorov, 1984:61).

Telah dikatakan bahwa--sebagai objek translinguistik--tuturan selalu terikat oleh konteks sosial. Itulah sebabnya, maknadan atau tema tuturan tidak hanya ditentukan oleh berbagai kom-ponen linguistiknya, tetapi juga oleh aspek situasi yang berupasejumlah interaksi yang terjadi antara pembicara dan pendengar(Bakhtin dalam Todorov, 1984:47). Hal itulah yang menyebab-kan tuturan tidak terlepas dari sifat intertekstual (relasi dialogis)karena di balik seluruh interaksi tersebut (yang tidak pernahnetral) terdapat makna yang selalu merupakan jawaban ataspertanyaan-pertanyaan (Bakhtin dalam Todorov, 1984:48--54).Akan tetapi, harus dicatat bahwa kadar intertekstualitas suatututuran berbeda-beda sehingga dari berbagai jenis tuturan(wacana) dapat ditentukan adanya tuturan monologis dan tuturandialogis. Tuturan dikatakan monologis apabila di dalamnya tidakterdapat suara lain selain suara pengarang; sedangkan tuturandikatakan dialogis apabila di dalamnya selain ditemukan suarapengarang juga ditemukan suara lain, atau, di dalamnya terdapatkombinasi suara-suara (Bakhtin dalam Todorov, 1984:63--64).

Menurut Bakhtin (Todorov, 1984:63--66), tuturan mono-logis tampak jelas di dalam genre puisi karena pada umumnya didalam puisi tidak ditemukan suara lain kecuali suara penyair.Sementara itu, tuturan dialogis tampak jelas di dalam genre prosa,terutama novel, karena novel memiliki kadar intertekstual palingtinggi dan intens. Di dalam novel, relasi dialogis menjadi suatuperistiwa wacana itu sendiri, yaitu menghidupkan dan mendra-matisasikannya dari dalam ke seluruh aspeknya. Di dalam novel,objek yang paling fundamental adalah “manusia” yang berbicara

Page 33: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 17

(bertutur) dan wacananya. Hanya saja, yang terpenting bukancitra manusia itu sendiri, melainkan citra bahasa, sehingga yangtampak adalah interaksi dialogis bahasa-bahasa atau wacana-wacana.

Berdasarkan pemikiran itulah, Bakhtin (Todorov, 1984:86--89) kemudian memberikan perhatian khusus pada genrenovel. Sebagai sebuah wacana, katanya, novel tidak hanyamerepre-sentasikan objek, tetapi sekaligus menjadi objekrepresentasi. Dikatakan demikian karena di dalam novel adakecenderungan untuk mereproduksi berbagai macam wacana,bahasa, atau suara-suara. Hanya saja, kadar wacana-wacana ituberbeda-beda. Ada wacana yang membuat garis bentuk yangtegas terhadap wacana lain (linear), ada pula wacana yangmencairkan atau mende-konstruksi ketertutupan wacana lain(pictural) (Bakhtin dalam Todorov, 1984:69--73). Di dalamwacana linear, heterologi sosial tetap berada di luar novelsehingga wacana tersebut cenderung monologis (monofonik),serius, dan hierarkis; sedangkan di dalam wacana picturalheterologi masuk dan tinggal di dalamnya sehingga wacana itucenderung dialogis (polifonik), akrab, tanpa tatanan dan hierarki,siapa pun dapat menjalin kontak secara bebas, sehingga semua itutampak bagaikan pesta rakyat (carnival) (Bakhtin dalamTodorov, 1984:77--78).

Kenyataan demikian yang menyebabkan Bakhtin (1973:83--109) berani berkesimpulan bahwa novel-novel Dostoevskysangat berbeda jika dibandingkan dengan novel-novel karyaTolstoy dan lain-lainnya. Kalau novel-novel karya Tolstoy danyang lain dikatakan monologis (monofonik), hanya menyuarakansatu suara (otoriter), novel-novel karya Dostoevsky dikatakandialogis (polifonik), menyuarakan banyak suara (demokratis).Kalau dunia yang tergambar di dalam novel Tolstoy dan yanglain cenderung ketat, serius, hierarkis, dan resmi; dunia yangtergambar dalam novel-novel Dostoevsky cenderung bebas,komikal, dan karni-valistis.

Page 34: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 18

Telah dikatakan bahwa objek ilmu humaniora bukanlahsekedar objek, melainkan juga subjek. Oleh karena itu, di dalamhumaniora subjek berhadapan dengan subjek (lain) sehinggaterbangun suatu dialog. Karena kodrat objeknya demikian,humaniora tidak akan menjadi suatu aktivitas ilmiah, tetapi hanyaakan menjadi suatu aktivitas pemahaman. Pamahaman (under-standing) adalah suatu transposisi yang tetap mempertahankandua kesadaran atau lebih yang tidak dapat tersatukan (Bakhtindalam Todorov, 1984:22). Oleh karenanya, seluruh pemahamanadalah (bersifat) dialogis (all understanding is dialogical) karenapemahaman itu selalu mengimplikasikan adanya suatu jawabanterhadap objek atau tuturan lain.

Sejalan dengan hal tersebut, dalam upaya mangupaspokok persoalan yang telah diutarakan di awal bab pendahuluanini, di dalam buku (penelitian) ini digunakan metode yang didalam teori alteritas5 (Bakhtin dalam Todorov, 1984:107--108)disebut sebagai metode interpretasi dialogis. Interpretasi dialogisadalah model interpretasi yang di dalamnya dua (atau lebih)identitas tetap hidup dan diakui. Hanya saja, khususnya di dalampem-bahasan ini, metode tersebut tidak dipahami dalampengertian strukturalisme (structuralism), tetapi dalam pengertianpasca-strukturalisme (post-structuralism). Artinya, metode initetap bekerja dengan cara pemahaman relasi unsur-unsur, tetapirelasi itu tidak dilihat dalam kerangka kesatuan atau totalitas,tetapi dalam kerangka keberagaman dan atau ketersebarannya.

5 Teori alteritas (alterity) adalah teori yang menganggap bahwaproduksi itu sekaligus berarti pemahaman (Bakhtin dalam Todorov, 1984:107).

Page 35: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 19

BAB IIGENRE NOVEL POLIFONIK

Sebelum sampai pada pembahasan terhadap beberapamasalah sebagaimana diungkapkan dalam bab pertama, di dalambab kedua ini dipaparkan terlebih dahulu gambaran umummengenai genre novel polifonik. Gambaran umum mengenai halini perlu dikemukakan terlebih dahulu dengan pertimbanganbahwa berdasarkan gambaran inilah--pada tahap selanjutnya--karakteristik atau ciri-ciri (kekarnivalan, kepolifonikan, dankedialogisan) novel Olenka dapat dipahami dan diidentifikasikan.

2.1 Novel Polifonik sebagai GenreSejarah telah mencatat bahwa--khusus dalam studi sastra--

istilah novel polifonik (polyphonic novel) tidak dapat dipisahkandari Mikhail Bakhtin, seorang ahli sastra di Rusia yang aktifbergerak pada awal tahun 1920-an (lihat Fowler, 1987:58--60;Jefferson and Robey, 1991:191). Dikatakan demikian karenaistilah tersebut--yang sering juga disebut poliglosia (Kristevadalam Junus, 1996:118) atau polivalen (Todorov, 1985:21--22)--diper-kenalkan oleh Bakhtin ketika ia melakukan serangkaianpenelitian terhadap karya-karya (prosa) Dostoevsky6 yang

6 Dostoevsky (lengkapnya Fiodor Mikaelovich Dostoevsky) adalahanak seorang dokter tentara, lahir di Rusia pada 11 November 1821. Ia tamatpendidikan menengah di St. Petersburg jurusan teknik mesin. Ia aktif sebagaianggota golongan sosialis utopia dan ditangkap pada tahun 1949. Semula

Page 36: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 20

hasilnya kemudian dituangkan di dalam buku berjudul Problemsof Dostoevsky’s Poetics (1973).7 Di dalam buku tersebut Bakhtin(1973:4) menyatakan bahwa Dostoevsky telah menciptakansebuah genre sastra yang pada hakikatnya baru, yaitu novelpolifonik. Setelah itu, istilah novel polifonik menjadi sangatpopuler terutama berkat jasa para ahli seperti Medvedev, Volo-sinov, Morson, Emerson, dan Todorov.

Perlu diketahui bahwa sebutan novel polifonik sebagaisebuah genre (sastra) sesungguhnya tidak berhubungan dengantema, bentuk, isi, atau sesuatu yang memberitahukan tentangrealitas, tetapi hanya berhubungan dengan pengertian “sosial”yang dimiliki oleh teknik wacana (Forgacs dalam Jefferson andRobey, 1991:195--196). Oleh karena itu, ketika memperkenalkannovel polifonik sebagai sebuah genre (sastra) baru, Bakhtin tidakmelihat genre semata-mata sebagai suatu kategori yangdigunakan untuk membedakan jenis-jenis sastra lain sepertitragedi, komedi, lirik, atau novel. Bagi Bakhtin, pengertian yangbenar mengenai genre dapat ditemukan dalam dua hal.

Pertama, pada dasarnya genre semata-mata hanyamerupakan sebuah cara “pengkonsepsian” realitas. Karena genre

hendak dijatuhi hukuman mati, tetapi kemudian dihukum kerja keras di penjaraSiberia. Pengarang besar Rusia yang menurut istri keduanya, Anna Grigo-rievna Snitkin, memiliki tiga kelemahan (suka main judi rolet, ber-penyakitepilepsi, dan suka hutang dan menggadaikan barang) ini meninggal pada 9Februari 1881. Karangannya yang telah terbit antara lain Poor Folk (1846),Notes from the Underground (1864), Crime and Punishment (1866), TheGambler (1866), The Idiot (1869), The Devils (1872), “Bobok” (1873), “TheDream of Ridiculous Man” (1877), dan The Brothers Karamasov (1880).Kebiasaan dan sebagian kisah kehidupannya antara lain dapat dibaca padacatatan harian Anna Grigorievna Snitkin (Sudiarja, 1992).

7 Edisi aslinya diterbitkan pada tahun 1929 dalam bahasa Rusiaberjudul Problemy Tvorchestva Dostoevkogo (Problems of Dostoevsky’s Art).Edisi terjemahan yang terbit pada tahun 1973 telah mengalami revisi danperluasan.

Page 37: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 21

hanya sebagai cara untuk mengkonsepsikan realitas, jelas bahwagenre tidak hanya berkaitan dengan teks sastra, tetapi jugaberkaitan dengan cara bagaimana kita (manusia) menggambarkandunia melalui bahasa. Hal demikian sesuai dengan kenyataanbahwa setiap kesadaran manusia pada dasarnya mempunyaiserangkaian “genre dalaman” untuk melihat dan mengkonsep-sikan realitas. Itulah sebabnya, genre sastra memberikan carakepada manusia (kita) untuk mengkonsepsikan sesuatu dalambahasa yang sebelumnya tidak dimilikinya sehingga--dalampengertian ini--kehidupan dapat dianggap meniru sastra. Pendekkata, genre sastra pada dasarnya memperkaya “peng-ucapandalaman” manusia dengan alat baru bagi pengkonsepsian realitas(Forgacs dalam Jefferson and Robey, 1991:196).

Kedua, pengertian yang benar mengenai genre jugaberkaitan dengan cara genre itu menghubungkan diri dengangenre-genre lainnya. Berbeda dengan Lukacs, Bakhtin tidakmelihat novel sebagai suatu percobaan modern untuk meng-hidupkan epik, tetapi hanya sebagai sesuatu (genre) yang bersifatsangat terbuka dan bebas; dalam arti bahwa sesuatu (genre) itudipenuhi oleh berbagai macam genre yang terus-menerus, tidakputus-putus, tetapi diselang-seling--secara parodik--oleh wacanaatau genre baru lainnya. Oleh sebab itu, menurut Bakhtin,polifonik sebagai sebuah genre hanya merupakan cara untukmeng-konsepsikan realitas yang memberikan kebebasan kepadawatak-watak individu dengan melemahkan wacana lain yangserba berwibawa, otomatis, dan monologis (Forgacs dalamJefferson and Robey, 1991:196).

2.2 Karakteristik Novel PolifonikBerdasarkan pengertian mengenai genre di atas, Bakhtin

(1973:4) kemudian mengatakan bahwa novel polifonik memilikiperbedaan yang mendasar apabila dibandingkan dengan genre-genre sastra lainnya. Kalau di dalam genre-genre sastra lain padaumumnya suara-suara tokoh cenderung terobjektivikasi dan

Page 38: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 22

senantiasa berada di bawah wibawa pengarang, di dalam novelpolifonik suara-suara tokoh justru bebas, merdeka, mampu berdiridi samping, mampu tidak sependapat, bahkan mampu mem-berontak si pengarang. Itulah sebabnya, novel polifonik disebutsebagai novel yang mengandung pluralitas suara atau kesadaranyang bebas dan penuh makna (Bakhtin, 1973:4).

Pluralitas suara dan atau kesadaran yang dimaksudkan diatas bukan berarti banyak karakter yang berada dalam duniaobjektif yang menyatu (tunggal), melainkan suara-suara dan ataukesadaran-kesadaran itu memiliki kedudukan setara dengan duniamereka --yang tergabung dalam suatu kesatuan peristiwa tertentu-- dan pada saat yang sama suara-suara dan atau kesadaran-kesadaran itu mampu mempertahankan ketidakter-batasannya.Oleh sebab itu, tokoh-tokoh di dalam novel polifonik tidakmenjadi objek perkataan pengarang, tetapi menjadi subjek bagidirinya (perkataannya) sendiri. Dalam hal ini kesadaranpengarang berdiri menjadi sebuah kesadaran lain, tetapi pada saatyang sama kesadaran itu juga tidak terobjektivikasi, tidaktertutup, dan tidak menjadi objek kesadarannya sendiri (Bakhtin,1973:4).

Telah dikatakan bahwa suara-suara tokoh di dalam novelpolifonik cenderung bebas dan independen. Seakan-akan suaratokoh berdiri di samping atau di sepanjang suara pengarang, dandengan cara yang unik suara itu bergabung dengan suara-suaratokoh lain. Kadang-kadang suara tokoh dibentuk dengan carayang sama seperti suara pengarang sehingga suara tokoh menge-nai diri dan dunianya sama dengan suara pengarang. Akan tetapi,suara-suara tokoh tersebut tidak lalu terobjektivikasi oleh suarapengarang, atau oleh suara tokoh-tokoh lain, tetapi mampumempertahan diri dan mampu berdialog dengan suara-suara lain.Oleh sebab itu, mulut tokoh bukanlah corong suara pengarang,melainkan corong suaranya sendiri (Bakhtin, 1973:4--5).

Kecenderungan demikianlah yang kemudian menuntutadanya suatu cara tertentu bagi sebuah novel untuk menyusun

Page 39: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 23

atau mengorganisasikan dirinya. Untuk mempertahankan plu-ralitas suara dan kesadaran di dalam dirinya, misalnya, sebuahnovel memerlukan materi-materi atau berbagai ikatan psikologisbagi kepentingan pengembangan plot. Materi-materi tersebutadalah objektivisasi dan materialisasi sebagai sesuatu yangterpadu untuk menggabungkan citra yang lengkap dalam kesa-tuan dunia yang dialami dan dipahami (Bakhtin, 1973:5). Itulahsebabnya, plot hanya memiliki fungsi khusus, yaitu untukmenciptakan kesatuan dunia novel yang memiliki ikatan-ikatanakhir yang khusus pula. Bentuk-bentuk narasinya, baik yangdibangun oleh pengarang, narator, maupun tokoh, juga memilikifungsi dan orientasi khusus. Posisi awal kisah, pembentukancitra, dan informasi yang disampaikan juga berorientasi pada carabaru bagi dunia yang baru, yaitu dunia subjek, bukan dunia objek.Suara narasional, suara representasional, dan suara informasionaljuga memiliki beberapa jenis hubungan baru dengan objeknya.Oleh karena itu, seluruh unsur yang ada di dalam novel memilikitugas baru untuk membentuk dunia baru, yaitu dunia polifonik(Bakhtin, 1973:5).

Bakhtin (1973:5) menyatakan bahwa dilihat dari sudutpandang monologis, konstruksi (komposisi, struktur) novelpolifonik memang terkesan kacau dan tidak teratur. Dapat terjadidemikian karena novel pada dasarnya dibangun oleh--ataumenghimpun--berbagai macam genre atau unsur asing danprinsip-prinsip artistik yang tidak sesuai (Bakhtin, 1973:5). Akantetapi, justru karena adanya ketidakteraturan itulah, menurutBakhtin (1973:12), sebuah novel mampu melahirkan pluralitasgaya, aksen, dan suara yang seluruhnya tersaji dalam berbagaibidang yang memiliki kedudukan setara. Berbagai materi yangberupa kesadaran itu tergabung di dalam sebuah kesatuan tatanandunia baru yang lebih tinggi, yaitu dunia polifonik. Dalam duniabaru itulah, setiap unsur mampu mengembangkan keunikantertentu tanpa harus menginterupsi kesatuan kese-luruhannya(Bakhtin, 1973:12).

Page 40: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 24

Dalam kaitannya dengan hal di atas, Bakhtin (1973:14)menyatakan bahwa ciri atau karakteristik dasar novel polifonikadalah dialogis. Posisi “aku” yang berkedudukan sebagai oranglain (wacana lain) di dalam novel polifonik bukan merupakanobjek, melainkan merupakan subjek lain yang mampu berdialog.Namun, bentuk hubungan dialogis itu tidak tercipta dari dialogdalam batas-batas konsep monologis terhadap dunia yangmenyatu, tetapi dialog dalam totalitas karya. Dikatakan demikiankarena novel tidak dibentuk sebagai suatu keseluruhan interaksiberbagai kesadaran yang masing-masing tidak saling menjadiobjek bagi yang lain. Sementara itu, pihak ketiga (pengarang ataupembaca) tidak pula dapat mengobjektivikasi berbagai peristiwa,tetapi justru menjadi peserta dialog sehingga oposisi dialogistidak mengenal kata akhir (abadi, perpetual) (Bakhtin, 1973:14).

Prinsip dasar konstruksi novel polifonik bukan evolusi,melainkan koeksistensi (hadir bersama, berdampingan) daninteraksi (Bakhtin, 1973:23). Oleh karena itu, dunia terutamadipandang dalam ruang (space), bukan dalam waktu (time),sehingga ada kecenderungan yang kuat pada bentuk-bentukdramatik. Secara ekstensif seluruh materi (perasaan dan realitas)diungkap dan disusun ke dalam suatu titik waktu dalam bentukpenjajaran dramatik. Dalam pemikiran tunggal, misalnya, dite-mukan pemikiran ganda, dan dalam kualitas tunggal ditemukanpula kualitas lain yang kontradiktif. Di dalam setiap suaradidengar suara lain, di dalam setiap ekspresi ditemukan ekspresilain, dan di dalam setiap isyarat ditemukan pula isyarat lain yangkontradiktif. Karena dunia dipandang secara spasial, bukan secaratemporal, dalam berbagai kontradiksi tersebut masing-masingsubjek berdiri berdampingan dan berdialog pada sebuah bidangatau peristiwa tunggal (Bakhtin, 1973:25).

Sehubungan dengan hal tersebut, Bakhtin (1973:26)menyatakan bahwa dialog diawali pada titik yang sama, yaknipada awal kesadaran. Akan tetapi, kesadaran tersebut tidak tersajidi dalam proses evolusi, tidak pula di dalam proses pertumbuhan

Page 41: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 25

(historis), tetapi berdampingan atau beriringan dengan kesadaran-kesadaran lain. Oleh karena itu, kesadaran tidak terkonsentrasipada diri dan gagasannya sendiri, tetapi tertarik ke dalaminteraksi dengan kesadaran lain. Kesadaran selalu mendapatidirinya dalam sebuah hubungan dengan kesadaran lain. Dengandemikian, pengalaman dan pemikiran tokoh secara internal bersi-fat dialogis, diwarnai polemik yang bertentangan, dan sebaliknya,mereka juga terbuka bagi setiap inspirasi dari luar dirinya(Bakhtin, 1973:26).

2.3 Tradisi Sastra KarnivalSebagai pendukung konsepnya mengenai genre novel

polifonik di atas, Bakhtin (1973:87) menegaskan bahwa padadasarnya karya sastra hidup di masa kini (ketika karya sastraditulis), tetapi bagaimanapun juga tetap mengingat masa lalu. Haldemikian dilandasi oleh kenyataan bahwa karya sastra padahakikatnya merupakan representasi memori kreatif dari prosesperkembangan sastra. Itulah sebabnya, kehadiran novel polifoniksebagai sebuah genre (sastra) baru juga tidak terlepas dari genre-genre yang mendahuluinya. Berkenaan dengan ini, Bakhtin(1973:88) kemudian menempatkan apa yang disebut tradisi sastrakarnival sebagai sesuatu yang penting dalam sejarah sastra.Dikatakan penting karena tradisi sastra karnival telah membe-rikan pengaruh yang signifikan bagi lahirnya novel polifonik,yaitu melalui proses transformasi berbagai unsur, terutama unsurkomikal (comical) dan perilaku karnival (carnival attitude).

Karya-karya yang berasal dari tradisi sastra karnival yangmemberikan pengaruh terhadap lahirnya novel polifonik seti-daknya memiliki tiga karakteristik dasar berikut. Pertama, titikpijak (titik awal) untuk memahami, mengevaluasi, dan mem-formulasikan realitas adalah masa kini sehingga terjadi perubahanradikal dalam penyusunan waktu dan nilai dalam pelukisanartistik. Kedua, meskipun berhubungan dengan legenda, karyadari tradisi sastra karnival tidak menjelaskan dirinya berdasarkan

Page 42: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 26

sarana-sarana legenda, tetapi berdasarkan penga-laman danimajinasi yang bebas. Ketiga, adanya kemultivariasian dan mul-tiplisitas nada sehingga karya-karya tersebut menolak kesatuanstilistik (gaya tunggal) seperti yang ada di dalam epos, tragedi,retorik, lirik, dan sebaliknya, mereka menerima campuran ber-bagai-bagi unsur (tinggi-rendah, serius-lucu, baik-buruk, sakral-profan, dan lainnya) dan menggunakan berbagai ragam (surat,naskah, kutipan, dialek, slang, dan sebagainya) sehingga, bagai-manapun juga, suara ganda menduduki peran utama (Bakhtin,1973:88--89).

Tiga karakteristik dasar semacam itulah yang memilikisignifikansi bagi perkembangan karya-karya prosa Eropa yangkemudian disebut sebagai karya sastra dialogis. Sebelumperkembangan itu mencapai puncak, yakni pada novel-novelpolifonik karya Dostoevsky, beberapa karakteristik dialogis ituterlihat jelas di dalam dua karya sastra genre serio-komik, yakniSocratic Dialog dan Menippean Satire.8 Itulah sebabnya, menurutBakhtin (1973:113), karakteristik dua karya tersebut sangatberpengaruh dan bahkan menentukan nada (tone) novel-novelpolifonik karya Dostoevsky.

Setidaknya terdapat 5 (lima) karakteristik Socratic Dialogyang memberikan pengaruh bagi munculnya novel polifonik(Bakhtin, 1973:90--92). Pertama, kebenaran dialogis diletakkan

8 Socratic Dialog ditulis oleh Plato, Xenophon, Antisthenes,Aeschines, Phaedo, Euclid, Alexamenos, Glaucon, Simias, Criton, dansebagainya. Namun, hanya karya Plato dan Xenophon yang tetap bertahan.Karya tersebut muncul dari dasar-dasar karnivalistik tradisional, dan perilakukarnival yang tetap bertahan terutama adalah adegan lisan Socrates. Sementaraitu, Menippean Satire ditulis oleh Heracleides Ponticus pada abad ke-3 SM,dan karya satire itu memperoleh nama pertama dari filsuf Menippos of Gadara.Karya yang me-miliki banyak varian itu memberi pengaruh yang kuat mulaidari kesusastraan Kristen Kuna, kesusastraan Bizantium, kesusastraan AbadPertengahan, masa Rennai-sance, sampai pada kesusastraan zaman modern(Bakhtin, 1973:89, 92--93).

Page 43: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 27

sebagai dasar bagi karya sastra. Untuk mencapai kebenarandialogis tersebut, suatu kebenaran (gagasan) harus diperten-tangkan dengan kebenaran lain sehingga lahir kebenaran baru.Dikatakan demikian karena sesungguhnya kebenaran tidakberasal dari dan tidak tinggal di dalam individu, tetapi dalamhubungan dialogis antarindividu secara kolektif. Kedua, adanyadua perangkat dasar, yaitu sinkrisis dan anakrisis. Sinkrisisdipahami sebagai bentuk penjajaran dramatis berbagai sudutpandang terhadap objek tertentu, dan dalam teknik penjajaran ituberbagai pendapat disesuaikan dengan suatu kepentingan yanglebih besar. Anakrisis dipahami sebagai provokasi, yaitu saranayang berupa kata, ungkapan, atau situasi yang berfungsi untukmendesak interlokutor (lawan bicara) agar mengekspresikanpendapat dan pikirannya sehingga kebenaran-kebenaran (baru)dapat ditarik darinya. Sinkrisis dan anakrisis mendialogisasi,membawa keluar, dan mengubah pemikiran menjadi suatuungkapan di dalam dialog, dan akhirnya mengubah pemikiran-pemikiran itu menjadi hubungan dialogis antarindividu. Ketiga,tokoh-tokoh yang berdialog (tokoh utama dan interlokutornya)adalah para ideolog, yaitu manusia-manusia (pencipta) gagasan.Oleh sebab itu, seluruh peristiwa yang terjadi atau yang dire-produksi merupakan peristiwa ideologis pencarian dan pengujiansuatu kebenaran. Keempat, sebagai tambahan anakrisis, provo-kasi-provokasi tersebut berfungsi sebagai pencipta situasi yangluar biasa, sebagai pencair atas otomatisme dan objektivikasi, dansebagai pendesak pihak lain agar terlibat secara penuh (total).Kelima, gagasan secara organik melekat pada pelukisan seorangpribadi (penyampai). Jadi, pengujian dialogis tentang suatugagasan secara simultan merupakan sebuah pengujian atas pribadiyang mewakilinya.

Sementara itu, di dalam Menippean Satire terdapat 14(empat belas) karakteristik yang juga memberikan pengaruh yangcukup signifikan bagi lahirnya novel polifonik (Bakhtin, 1973:93--97). Empat belas karakteristik tersebut sebagai berikut. (1)

Page 44: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 28

Mengandung unsur komikal (lucu), bahkan bobot komikalMenippean Satire lebih besar daripada Socratic Dialog. (2) Wa-laupun tokoh-tokoh rekaannya berasal dari sejarah dan legenda,mereka tidaklah statis, tetapi mempunyai kebebasan dan fantasiyang luar biasa. (3) Fantasi-fantasi dan petualangan yang palingberani dan bebas dimotivasi, dibenarkan, dan dijelaskan secarainternal oleh tujuan ideologis dan filosofis yang semuanyadigunakan untuk menciptakan situasi yang luar biasa sebagaisarana untuk menguji kebenaran (gagasan filosofis). Untukmencapai tujuan tersebut, para tokoh naik ke atas (surga), laluturun ke bawah (dunia), menjelajahi tanah-tanah fantasi yangtidak dikenal, dan akhirnya masuk ke dalam situasi yang luarbiasa. Pendek kata, Menippean Satire penuh dengan petualangangagasan dan kebenaran. (4) Adanya kombinasi fantasi dansimbolisme organik yang bebas. Misalnya, unsur religius dikom-binasikan dengan naturalisme dunia bawah (kasar) seperti jalanraya, rumah bordil, sarang pencuri, kedai minum, pasar, ataupenjara. Oleh sebab itu, ekspresi kebijakan seringkali dikon-frontasikan dengan ekspresi kejahatan, kehinaan, vulgaritas, dansejenisnya. (5) Secara berani fantasi digabung dengan univer-salisme filosofis dan ideologis. Menippean Satire adalah karyatentang “pertanyaan-pertanyaan akhir” sehingga di dalamnyaterdapat pro dan kontra tentang berbagai “pertanyaan akhirkehidupan (kematian)”. (6) Dalam hubungannya dengan univer-salisme filosofis tampak ada suatu konstruksi tiga tingkat, yaitusinkrisis tindakan ditransfer dari bumi, lalu ke Olympus, danakhirnya ke dunia bawah. (7) Terdapat berbagai eksperimen yangfantastik dan aneh; misalnya melihat kehidupan sebuah kota darisuatu ketinggian. (8) Muncul berbagai eksperimen moral psi-kologis, misalnya manusia abnormal, pribadi yang terbelah,mimpi di siang hari, atau bunuh diri. Dalam hal ini, unsurkomikal dan tragikal muncul bersamaan, dan dari proseseksperimen itulah kehidupan lain dapat diungkapkan. (9) Munculberbagai adegan skandal, perilaku eksentrik, tindakan yang tidak

Page 45: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 29

sesuai, pelanggaran yang diterima umum, pemprofanan hal-halyang sakral, pelanggaran etika, dan sebagainya. (10) Terdapatbanyak kontras tajam dan berbagai kombinasi oksimoronik(kaisar-budak, bangsawan-bandit, kaya-miskin); dan kontras-kontras itu muncul secara simultan dan tidak terduga. (11) Adaunsur utopia sosial dalam bentuk mimpi atau perjalanan ke antah-berantah. Unsur utopia itu secara organik bergabung denganunsur-unsur lain. (12) Banyak digunakan genre atau teks lain(surat, pidato, prosa, puisi, dan sebagainya); karya-karya itudisajikan dengan berbagai jarak dan posisi, dengan berbagaiderajat parodi dan objektivikasi. (13) Kehadiran karya-karya laintersebut mengintensifkan keragaman gaya dan nada; dan dari siniterbentuklah suatu perilaku baru, yaitu perilaku dialogis. (14)Terdapat unsur publisistis atau jurnalistis yang berhubungandengan berbagai persoalan ideologis yang bersifat kontemporer(kekinian). Oleh karena itu, banyak ditampilkan tokoh-tokohpublik terkemuka yang (kini) telah surut untuk mengungkapberbagai peristiwa besar dan atau perubahan-perubahan baru yangmungkin muncul (Bakhtin, 1973:93--97).

Di samping itu, Bakhtin (1973:100) menunjukkan pulabeberapa persoalan karnival (carnival) dan karnivalisasi kesu-sastraan (carnivalization of literature). Menurutnya, akar-akarkarnival tertanam dalam tatanan dan cara berpikir primordial,berkembang dalam kondisi-kondisi masyarakat kelas, dankeunikannya tidak pernah mati di sepanjang sejarah kultural.Karnival bukan merupakan fenomena sastra, melainkan meru-pakan bentuk “pertunjukan indah” dari sebuah ciri ritual(syncretic pageant form of a ritual nature). Karnival sangat unik,kompleks, dan mempunyai banyak variasi dan nuansa. Karnivalmengembangkan suatu bahasa simbolik yang dimulai dari suatupenampilan massa yang besar. Kendati tidak dapat diterjemahkansecara memadai ke dalam sebuah bahasa verbal--karena memanghanya berupa konsep-konsep abstrak--, bahasa simbolik tersebuttunduk pada suatu transposisi tertentu ke dalam karya sastra.

Page 46: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 30

Transposisi karnival itulah yang disebut sebagai karnivalisasikesusastraan.

Selanjutnya, Bakhtin (1973:101) menyatakan bahwa peri-laku karnival setidaknya dapat dipahami melalui empat kategoriberikut. Pertama, adanya pertunjukan indah tanpa panggung,tanpa ada pembagian peran sebagai pemain atau penonton. Dalampertunjukan tersebut setiap orang dapat bergabung dan menjadipeserta aktif. Pertunjukan karnival tidak terkontemplasi, bahkantidak dimainkan, dan di dalamnya peserta hidup sesuai denganhukum-hukum yang berlaku di dalam kehidupan karnivalistik(kehidupan yang tidak biasa). Semua hukum atau larangan yangmenentukan tatanan kehidupan normal ditang-guhkan; sistemhierarki dan semua bentuk ketakutan, rasa malu, kesalehan, danetika ditunda; dan jarak antarorang pun ditiadakan. Dengandemikian, dalam suatu pertunjukan karnival terjadi kontak bebas,apa saja dimungkinkan. Kedua, di dalam pertunjukan separuhdrama itu berkembang modus baru hubungan antarmanusia yangberbeda dengan hubungan manusia dalam kehidupan normal(non-karnival). Dari sini akan muncul eksentrisitas, yaitu perilakuyang terbebas dari segala otoritas dan hierarki. Secara organikperilaku eksentrik berkaitan dengan kategori kontak-kontakfamilier; dan melalui perilaku eksentrik itu sisi sifat manusiayang mungkin tersembunyi akan dapat diungkapkan. Ketiga,segala perilaku familier (nilai, pemikiran, fenomena, benda-benda, dan sejenisnya) yang ter-isolasi oleh perilaku hierarkisdibawa masuk ke dalam suatu kontak dan kombinasi-kombinasikarnivalistik. Karnival memba-wa mereka secara bersama-sama,menyatukan dan atau mengga-bungkan dua oposisi berpasangan(suci-profan, angkuh-rendah hati, besar-kecil, bijak-bodoh, dansebagainya). Keempat, dari berbagai kontak dan kombinasikarnivalistik tersebut akhirnya terjadilah profanasi (penghujatankarnivalistik) yang berfungsi menerangi atau memperjelassimbol-simbol otoritas yang ada.

Page 47: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 31

Menurut Bakhtin (1973:101), berbagai kategori karnivaldi atas bukan merupakan suatu pemikiran abstrak tentang kese-taraan atau kebebasan, atau keberkaitan segala hal, atau kesatuanhal-hal yang berlawanan, melainkan merupakan suatu perilakudalam bentuk “pertunjukan indah” yang dialami dalam suatukehidupan. Perilaku dalam bentuk pertunjukan indah tersebut,menurutnya, akan terus hidup dan bertahan dalam kurun waktuyang sangat panjang. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabilaberbagai perilaku karnival mampu menembus ke segala segikehidupan, termasuk menembus dan memberikan pengaruh yangkuat terhadap karya sastra.

Khusus di dalam karya sastra, terutama novel, unsur-unsur yang mencerminkan perilaku karnival tersebut antara lainterda-pat (melekat) di dalam komposisi (struktur) dan situasi-situasi plot (Bakhtin, 1973:101--102). Selain itu, unsur-unsur(perilaku karnival) itu juga menentukan familiaritas posisipengarang dalam kaitannya dengan para tokoh, dan semua itu,akhirnya berpengaruh pula pada gaya verbal karya itu sendiri.Bahkan, menurut Bakhtin (1973:108), berbagai unsur carnival-istik itulah yang memberikan konteks dan dasar bagi karya sastra.Oleh sebab itu, sangat masuk akal apabila peristiwa “karnivalisasikesusas-traan” menjadi bagian dari tradisi sastra yang terusbertahan hidup hingga zaman modern (sekarang). Hanya saja,sesuai dengan berbagai perubahan yang terus terjadi di dalamsuatu kehidupan, peristiwa karnivalisasi kesusastraan di zamanmodern ini tentu juga mengalami berbagai perubahan bentuk danmakna (Bakhtin, 1973:108, 112).

Page 48: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 32

BAB IIIOLENKA: KRITIK DIALOGIS

Karakteristik dasar novel polifonik adalah dialogis (Bakh-tin, 1973: 14, 34). Oleh karena itu, pemahaman terhadap novelOlenka yang diasumsikan sebagai karya karnivalis yang memilikikecenderungan polifonik dilakukan dengan tinjauan atau pers-pektif dialogis. Sesuai dengan apa yang dikemukakan di dalambab pendahuluan, pembahasan berikut difokuskan pada masalahkarnivalisasi dan komposisi, tokoh dan posisi pengarang, repre-sentasi gagasan (ideologi), dan dialog intertekstual.

3.1 Karnivalisasi dan KomposisiTelah dikatakan di depan (lihat bab 2) bahwa karnival

bukan merupakan suatu pemikiran abstrak tentang kesetaraanatau kebebasan, bukan keberkaitan segala hal, bukan pula kesa-tuan berbagai hal yang berlawanan atau konfrontatif, melainkanmerupakan perilaku dalam suatu “pertunjukan indah” yangdialami di dalam kehidupan. Perilaku karnival itu akan terusbertahan hidup dalam kurun waktu yang sangat panjang danmenembus ke segala aspek kehidupan, termasuk menembus danmemberikan pengaruh yang kuat--dalam pengertian positif--terhadap karya sasra (Bakhtin, 1973: 101).

Sementara itu, khusus di dalam karya sastra (novel),

Page 49: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 33

perilaku karnival antara lain tercermin (melekat) di dalamkomposisi dan situasi-situasi plot. Oleh sebab itu, sebelumdisajikan bahasan mengenai komposisi (struktur), terlebih dahuludisajikan bahasan mengenai unsur-unsur karnival yang meng-karnivalisasi Olenka. Unsur-unsur karnival yang mengkarnival-isasi novel tersebut --sejauh dapat dilakukan-- diiden-tifikasikanberdasarkan karakteristik Socratic Dialog dan Menippean Satireseperti yang telah dipaparkan di dalam bab sebelumnya.

3.1.1 KarnivalisasiOlenka bukanlah karya sastra klasik, melainkan karya

sastra modern. Karya yang lahir pada akhir tahun 1979 danditerbitkan pada tahun 1983 itu ditulis dalam bahasa Indonesiaoleh pengarang Indonesia etnis Jawa yang jika digolongkan kedalam pembagian kelas sosial --menurut Geertz dan Young(Putra, 1993:388--389)-- termasuk ke dalam kelompok metro-politan super-culture atau kelas menengah kota urban middleclass dan a state-dependent middle class. Oleh sebab itu, tidaklahaneh jika beberapa unsur atau perilaku yang mengkarnivalisasinovel Olenka telah mengalami perubahan bentuk dan makna. Haldemikian terjadi karena jarak atau rentang waktu kehadiran novelOlenka dengan kisah-kisah rakyat karnivalistik, dua di antaranyaSocratic Dialog dan Menippean Satire, sangat jauh; dan dalamrentang waktu tersebut dipastikan telah terjadi berbagai peru-bahan dan pergantian dari masa klasik ke masa modern.

Fakta membuktikan bahwa Olenka memperlihatkanunsur-unsur atau perilaku karnival yang cukup dominan. Bahkandapat dikatakan bahwa sejak awal ke hadapan kita (pembaca)novel tersebut telah memperlihatkan diri sebagai sebuah “dunia”atau “kehidupan” karnivalistik. Kehidupan karnivalistik adalahsuatu kehidupan yang tidak biasa, yang drawn out of its usual rutatau life turned inside out (Bakhtin, 1973:101). Dikatakan demi-kian karena beberapa unsur yang mencerminkan perilaku karnivaldi dalam novel tersebut tidak hanya tampak pada aspek-aspek

Page 50: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 34

internal (tersirat), tetapi juga tampak pada aspek eksternal(tersurat). Berikut pembahasan karnivalisasi eksternal dan inter-nal dalam Olenka.

3.1.1.1 Karnivalisasi EksternalSeperti diketahui bahwa novel Olenka terdiri atas tujuh

bagian. Bagian I terdiri atas 23 subbagian, bagian II terdiri atas 6subbagian, bagian III terdiri atas 4 subbagian, bagian IV terdiriatas 12 subbagian, dan bagian V, VI, dan VII masing-masingtidak dibagi lagi ke dalam sub-subbagian. Dengan dicantum-kannya angka Romawi secara berurutan pada setiap bagianmenunjukkan bahwa ketujuh bagian yang disajikan di dalamOlenka merupakan sebuah rangkaian yang membentuk kesatuanyang utuh. Atau, dengan diterakannya nomor urut (angkaRomawi) tersebut berarti bahwa kesatuan dunia fiksi di dalamnovel berawal dari bagian I dan berakhir pada bagian VII. Ken-dati demikian, hasil peng-amatan membuktikan bahwa ketujuhbagian di dalam Olenka ternyata tidak menyatu atau tidakmembentuk suatu rangkaian yang utuh. Ketidakutuhan itu terjadikarena cerita tidak berakhir pada bagian terakhir (bagian VII),tetapi pada bagian V yang diberi judul “Coda”. Dinyatakandemikian karena di akhir bagian V telah dicantumkan namatempat dan waktu yang dimaksudkan sebagai tanda penutup:Tulip Tree, Bloomington, Indiana, 1979 (hlm. 215). Artinya,novel tersebut telah selesai ditulis di Tulip Tree, sebuah apar-temen di kota Bloomington, negara bagian Indiana, AmerikaSerikat, pada tahun 1979.

Tanda berakhirnya cerita tersebut juga diperkuat olehadanya pernyataan narator di bagian V, alinea kedua, sepertiberikut.

“… Karena itu, saya tidak memilih inginberhenti di mana. Saya tidak mempunyai kekuasaan

Page 51: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 35

apa-apa untuk mengikuti ke mana larinya pena saya.Andai-kata pena saya berhenti di sini, saya anggapbagian ini sebagai coda. Mengapa? Karena penasaya sudah menjabarkan seluruh kehidupan sayadalam empat bagian, masing-masing dengan temadan masalah sendiri-sendiri, yang keseluruhannyamerupakan sebuah organisme hidup. Semua sudahcukup. Karena itu, kalau tokh pena saya berhenti disini, bagian ini sebagai sebuah coda akan meng-garisbawahi kodrat saya sebagai organisme hidup.”

(hlm.214).

Dalam kutipan tersebut tampak jelas bahwa kegiatan (menulis,mengarang) yang dilakukan oleh Fanton Drummond--selakunarator dengan sudut pandang orang pertama (icherzahlung)“saya”--telah berhenti meskipun itu bukan keinginannya. Karenapena telah berhenti di bagian ini (bagian V), Fanton Drummondmenganggap bahwa bagian ini merupakan coda (coda artinyabagian akhir, penutup) 9; dan di bagian coda ini ia merasa semuasudah cukup karena seluruh kehidupannya telah dijabarkan dalamempat bagan (maksudnya bagian I sampai dengan bagian IV).Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa bagian V yang diberijudul “Coda” merupakan bagian penutup. Hal demikian berartibahwa cerita telah berakhir.

Indikasi berakhirnya cerita pada bagian V ternyata tidakhanya diperkuat oleh adanya pernyataan narator dan ungkapanatau tanda penutup, tetapi juga oleh keberadaan bagian berikutnya(bagian VI) yang diberi judul “Asal-Usul Olenka”. Tampak jelasbahwa bagian VI bukan merupakan kelanjutan dari bagian I

9 Coda (koda) adalah istilah yang sering digunakan dalam bidangmusik, artinya “bagian terakhir sebuah komposisi musik sebagai penutup;penutup lagu” (Ali, 1997:510; Laksanadjaja, 1975:32).

Page 52: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 36

sampai dengan V karena bagian itu hanya berupa esai yang berisiuraian tentang proses (kreatif) penulisan dan hal-hal yangmemungkinkan lahirnya Olenka. Lagi pula, esai tersebut ditulisoleh Budi Darma di Surabaya pada tanggal 1 Januari 1982,padahal novel Olenka telah selesai ditulis pada akhir tahun1979.10 Pronomina persona “saya” dalam bagian VI pun bukan“saya” Fanton Drummond seperti dalam bagian I--IV, bahkanmungkin juga bukan “saya” seperti di bagian V 11, melainkan“saya” si pengarang yang ditandai oleh adanya nama terang (BudiDarma) yang dicantumkan di akhir bagian VI (hlm. 224).

Di samping itu, di dalam alinea terakhir bagian VI BudiDarma juga menyatakan sebagai berikut.

“ Memang untuk dapat melihat diri kita sendiridengan benar kita tidak selayaknya menjadi nar-kisus. Untuk menjadi lebih agung, kita tidak perlu

10 Selain telah selesai ditulis pada akhir tahun 1979, Olenka juga telahdiikutsertakan dalam sayembara penulisan naskah roman (novel) DKI Jakartatahun 1980. Sebagai naskah sayembara, bahkan menjadi pemenang utama,tentu saja naskah novel itu telah hadir sebagai sebuah naskah yang utuh. Olehkarena itu, tidak mungkin esai yang berjudul “Asal-Usul Olenka” yang ditulispada tanggal 1 Januari 1982 itu menjadi bagian dari novel tersebut. Sayayakin, barulah ketika novel itu diterbitkan pada tahun 1988, esai tersebutdimasukkan ke dalamnya. Hanya persoalannya ialah mengapa esai itu diberinomor bagian (bagian VI) yang seolah-olah merupakan bagian darikeseluruhan dunia fiksi dalam novel. Apakah itu merupakan suatu keteledoranpengarang, atau kecerobohan penerbit, ataukah memang merupakan suatukesengajaan, hingga kini belum ada jawaban yang pasti.

11 Dengan adanya ungkapan “… menulis …” pada alinea pertama,baris pertama (dari atas, di bawah judul “Coda”) dapat ditafsirkan bahwa“saya” (narator) pada bagian V bukan “saya” Fanton Drummond seperti padabagian I—IV, bukan pula “saya” Budi Darma seperti pada bagian VI dan VII,melainkan “saya” yang tidak mempunyai nama yang telah menulis ceritadengan narator “saya” si Fanton Drummond. Atau, mungkin “saya” yangmelihat atau mendengar Fanton Drummond bercerita dan kemudian menulis-kannya.

Page 53: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 37

menonton diri kita sebagai jagoan dalam novel-novel picisan. Seperti yang dikatakan oleh orang-orang Yunani Kuno, kita memerlukan “catharsis”,yaitu rasa mual terhadap diri kita sendiri. Roquentindalam novel Sartre La Nausee juga merasakan“supreme degout de moi,” demikian juga FantonDrummond menjelang akhir novel Olenka. Matamereka menembus tubuh mereka, dan mereka tahuapa yang berkecamuk di dalamnya.”

(hlm. 224)

Ungkapan yang berbunyi “ … menjelang akhir ….” di dalamkalimat keempat kutipan tersebut menunjukkan dengan jelasbahwa cerita berakhir pada bagian V. Dinyatakan demikiankarena “rasa mual terhadap diri sendiri” (nausee) seperti yangdigambarkan di alinea terakhir bagian VI tersebut memangdialami oleh Fanton Drummond sebelum novel ini berakhir(tepatnya di akhir bagian IV, hlm. 211). Hal demikian mem-buktikan bahwa bagian VI tidak memiliki kaitan fiksional denganbagian I sampai dengan V.

Hal serupa tampak pula pada bagian “Catatan” (bagianVII). Dengan dicantumkannya angka Romawi VII menunjukkanbahwa bagian tersebut merupakan kelanjutan dari bagian sebe-lumnya. Akan tetapi, bagian VII ternyata juga tidak memilikihubungan fiksional dengan bagian I sampai dengan V karenabagian tersebut hanya berupa catatan akhir (endnotes) yang berisisumber-sumber rujukan dan keterangan penjelas. Mungkin benarbahwa catatan akhir yang berisi sumber-sumber rujukan danketerangan penjelas tersebut ditulis bersamaam dengan ditulisnyaOlenka. Akan tetapi, “saya” yang berperan sebagai penjelas didalam bagian VII ternyata tidak berhubungan atau tidak terlibat didalam kehidupan tokoh-tokoh, tetapi justru berhubungan atauberpaling ke arah pembaca. Hal demikian berarti bahwa bagianVII bukan merupakan bagian dari keseluruhan dunia fiksi yang

Page 54: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 38

dihuni oleh para tokoh (Fanton Drummond, Olenka, WayneDanton, M.C., dan sebagainya), melainkan merupakan bagianlain yang terpisah.12

Gambaran ringkas di atas menunjukkan bahwa novelOlenka benar-benar memperlihatkan sebuah bangunan ataukonstruksi yang tidak terintegrasi, yang tidak teratur (kacau).Ketidakteraturan itu terjadi karena sebagai sebuah karya fiksiOlenka dibangun oleh berbagai hal yang tidak seluruhnyamemiliki hubungan fiksional. Akan tetapi, justru berkat ketidak-teraturan itulah, Olenka hadir sebagai sebuah dunia ataukehidupan karnivalistik sehingga terbuka kemungkinan bagimunculnya banyak gaya, aksen, atau suara yang bebas yangmasing-masing mampu berdiri dan membangun dialog denganyang lain. Hal demikian terbukti, misalnya, selain muncul dialogantartokoh, di dalam novel tersebut muncul pula suara pengarangyang membangun kontak atau dialog dengan diri sendiri, dengantokoh, dan dengan pembaca.

Kenyataan demikian membuktikan bahwa sebenarnyaOlenka tidak lain adalah sebuah “pertunjukan indah”, sebuah“drama”, atau sebuah “melodrama” seperti yang diakui olehpengarangnya sendiri (Darma, 1995:81--82). Sebagai sebuahmelodrama, atau sebagai sebuah lakon (modern) dramatis denganlakuan yang mendebarkan (Zaidan, 1994:128) dan bergaya“sampakan”,13 novel Olenka membuka peluang bagi keterlibatan

12 Masalah “bagian-bagian” dalam novel ini telah dibicarakan olehJunus (1990). Junus menyatakan bahwa daftar isi, bagian V (Coda), bagian VI(Asal-usul Olenka), dan bagian VII (Catatan) merupakan unsur tak-cerita.Namun, unsur tak-cerita itu harus dibaca sebagai unsur cerita karena diberinomor bagian seperti halnya bagian sebelumnya. Menurut Junus, apa yangdilakukan Budi Darma dalam novel ini –juga dalam novel Rafilus (BalaiPustaka, 1988)—bukanlah merupakan hal baru karena hal yang sama telahdilakukan oleh Eco dalam The Name of the Rose.

13 Sampakan adalah sejenis drama (teater) dengan ilustrasi musik(gamelan) Jawa; dalam pertunjukan ini biasanya para pelaku, penabuh

Page 55: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 39

banyak pihak, termasuk keterlibatan pengarang dan pembaca.Oleh sebab itu, kehadiran pelaku (tokoh) di dalam lakon (novel)tersebut hanyalah menjadi salah satu bagian dari keseluruhankarena penulis lakon (pengarang) dan penonton (pembaca) jugamenjadi bagian lain yang berperan aktif. Hal itulah yang, antaralain, menyebabkan di dalam novel Olenka pengarang bebasmemasukkan (ke dalam cerita) dan menjelaskan (di dalam bagiancatatan) sekian banyak teks sebagai rujukan (bacaan) bagi tokohyang--rujukan-rujukan itu--tidak diketahui sumbernya olehpembaca, bahkan tidak diketahui pula oleh tokoh-tokoh itusendiri.

Setidaknya ada empat belas novel, enam cerpen, sepuluhsajak (paling banyak karya Chairil Anwar), sembilan majalah,lima surat kabar, dua drama, empat film, Kitab Suci Alquran, danbeberapa guntingan berita atau gambar yang diambil dari korandan majalah yang masuk dan disebut-sebut di dalam Olenka.Berbagai macam teks itulah yang membuat Olenka menjadi arenaatau medan laga berbagai-bagai teks (heteroglosia) sehinggadarinya muncul bermacam-macam suara. Oleh sebab itu, tidakaneh kalau di dalam novel Olenka muncul suara yang khas Jawa--karena pengarangnya (Budi Darma) adalah seorang intelektualyang lahir dan dibesarkan di dalam masyarakat dan budaya Jawa--yang ditandai oleh adanya berbagai ungkapan verbal sepertidiancuk, sampean, demenan, aleman, sundel, dan masih banyaklagi.14 Padahal, narator di dalam novel Olenka bukan orangJawa, melainkan orang Bloomington, dan Olenka bukan pulanovel mengenai orang-orang (manusia) Indonesia, melainkan

gamelan, dan penonton bebas berdialog. Gaya semacam ini biasa diper-tunjukkan oleh teater Gandrik atau Jeprik di Yogyakarta pada tahun 1980-an.

14 Dalam bahasa Jawa, diancuk adalah ‘ungkapan yang biasadigunakan untuk mengumpat (kasar, ada unsur seks)’, sampean adalah‘sebutan untuk orang kedua: kamu, anda, ‘demenan adalah ‘berpacaran secaradiam-diam (gelap)’, aleman adalah ‘manja, pujian’, dan sundel adalah ‘sundal,jalang, pelacur’ (lihat Mardiwarsito, L. dkk., 1985).

Page 56: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 40

mengenai orang-orang Bloomington, Indiana, Amerika Serikat(Darma, 1980: xvi; 1995:90).

3.1.1.2 Karnivalisasi InternalBeberapa hal yang telah diuraikan di atas membuktikan

bahwa Olenka merupakan novel karnivalis, novel yang menyerapberbagai perilaku karnival, perilaku yang tercerabut darikehidupan biasa (normal) sebagaimana terdapat di dalam kisah-kisah (ritual) rakyat karnivalistik. Kendati semua itu barumenyentuh persoalan yang bersifat eksternal, persoalan yang dipermukaan, perilaku tersebut cukup signifikan bagi penampilandunia atau kehidupan karnivalistik yang di dalamnya subjek-subjek (dalam hal ini tokoh-tokoh) dapat bertindak, berfantasi,bertualang, bereksperimen, dan atau berkonfrontasi secara bebasdan familier. Hal demikian tampak jelas dalam suatu “pertun-jukan indah” di dalam novel yang memang didukung olehpenampilan lokasi atau latar yang karnivalistis.

Sebagaimana diketahui bahwa sejak awal hingga akhirtokoh-tokoh di dalam novel Olenka bermain di ruang-ruang ataulokasi karnivalistik. Lokasi karnivalistik adalah lokasi yangbersifat umum (terbuka, bebas, dan merupakan simbol miliksemua orang).15 Di dalam novel tersebut, ruang bermain atauruang pertunjukan karnival yang utama adalah Tulip Tree, sebuahgedung raksasa yang memuat ratusan apartemen (hlm. 13). Disamping itu, pertunjukan karnival juga berlangsung di ruang-ruang terbuka lain (tempat umum) seperti di perpustakaan, dikampus, di taman, di hutan, di jalan-jalan, di kelab malam, distasiun bis (terminal), di hotel, di cottage, di rumah sakit, dimuseum, dan sebagainya.

Fanton bertemu pertama kali dengan Olenka, juga dengan

15 Lokasi karnival yang utama adalah “lapangan” karena karnivalmerupakan sesuatu yang universal, yang menunjukkan milik semua orang, danlapangan merupakan simbol dari semua orang (Bakhtin, 1978:105--106).

Page 57: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 41

Wayne dan Steven (suami dan anak Olenka), di apartemen TulipTree karena memang mereka tinggal di apartemen tersebut (hlm.11—18). Setelah Olenka menghilang, Fanton sering melihatkelebat bayangan Olenka di taman, di padang rumput (hlm. 12,67, 71). Untuk mengisi waktu luang Fanton sering membacabuku di perpustakaan (hlm. 19, 35, 78, 88). Fanton bertemukembali dengan Olenka di bukit, di hutan (hlm. 28). SetelahOlenka bekerja di kelab malam, Fanton sering menelusuri jalan-jalan, bolak-balik dari apartemen ke kelab malam (hlm. 40, 101).Ketika pulang dari lawatannya ke Chicago dan berkenalandengan M.C. (Mary Carson), Fanton “tercangkul” di stasiun bus(hlm. 103, 115, 116, 207). Karena Olenka mulai hilang dariingatannya, Fanton meminang M.C. di hotel (hlm. 108, 112).Fanton meminang M.C. untuk kedua kalinya di cottage milikM.C. dan ingin memberinya anak (hlm. 193--198, 202). Daricottage milik M.C., Fanton menuju ke rumah sakit karena darisebuah berita diketahui bahwa Olenka yang diduga telahmemalsu lukisan itu kini dirawat di rumah sakit (hlm. 207—208).Akhirnya, di rumah sakit itu pula Fanton mengalami nausee, rasamual atau jijik pada dirinya sendiri (hlm.209—213).

Di berbagai lokasi karnival (yang menunjukkan sifatuniversal) itulah sesungguhnya Fanton Drummond berada dalamsuatu proses transisi atau proses (perubahan) ritual. Semula iaberada dalam suatu kehidupan biasa, kemudian terpisah danmasuk ke dalam situasi yang luar biasa, ke dalam kehidupanliminal, atau ke dalam dunia ambang (threshold) (Bakhtin,1973:122), sehingga bebas mengembangkan fantasi dan petua-langannya untuk mencari dan menguji gagasan-gagasan-(kebenaran)-nya. Setelah berada dalam keadaan liminal, FantonDrummond berupaya keluar dan ingin masuk ke dalam kehidupanpascaliminal, kehidupan yang baru, komunitas baru, yaitukehidupan di “Dunia Sana”, tempat ia dapat memper-tang-gungjawabkan di hadapan Tuhan (Allah) segala hal yang telahdiperbuat selama berada dalam kehidupan praliminal seperti yang

Page 58: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 42

tersirat pada bagian akhir cerita (bagian V, hlm. 214—215).16

Kendati demikian, segala usaha yang dilakukan FantonDrummond ternyata gagal. Keinginan tetap tinggal hanya sebagaikeinginan seperti tercermin dalam kata-kata sajak Chairil Anwar//Tuhanku, dalam termangu, aku ingin menyebut nama-Mu // Akuingin hilang bentuk, remuk // (hlm. 213, 215). Memang benarbahwa di “Dunia Sini” Fanton Drummond sudah sering berlutut,menengadahkan muka ke langit, menundukkan kepala, danmenempelkan kening ke tanah, ke rerumputan (hlm. 69, 215),dengan harapan akan sampai ke “tahap penyatuan” (“DuniaSana”, dunia pascaliminal). Akan tetapi, ia merasa bahwa semuayang dilakukan belum cukup (kurang), bahkan mungkin tidakakan pernah cukup, tidak akan pernah sampai. Itulah sebabnya,selama hidup ia menjadi “manusia gagal”, yakni gagal mencapai“Dunia Sana”, padahal di “Dunia Sini” yang dijumpai hanyalahkegelisahan dan kesengsaraan yang bertubi-tubi. Akibatnya,sebagai manusia Fanton sering tidak tahu siapa sesungguhnyadirinya dan untuk tujuan apa ia hidup seperti tersurat dalamungkapan berikut.

“… Sering saya tidak tahu siapa saya, dan karena itusaya tidak tahu harus ke mana. Setiap tindakan sayabelum tentu berjalan ke arah tujuan saya, karenatujuan itu sendiri sulit diraba ….”

(hlm. 214)

Kondisi seperti itulah yang pada dasarnya menentukankarakter tokoh (Fanton Drummond) dan berbagai tindakan

16 Dalam proses ritual dikenal tiga tahap peralihan, yaitu (1) tahappemisahan (separation) atau praliminal, (2) tahap liminal (liminal) atau “diantara”, dan (3) tahap penyatuan (integration) atau pascaliminal (Turner dalamBudiman, 1994:29).

Page 59: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 43

simbolis atau eksperimen psikologis yang dilakukan di sepanjangcerita. Sebagai manusia liminal, sejak awal hingga akhir ia tidakmemiliki identitas yang jelas karena dunia karnivalistik yangdihuninya telah terpisah dan tercerabut dari berbagai macamsistem status dan hierarki sosial, tetapi juga belum menyatudengan dunia yang diharapkan. Itulah sebabnya, dalam sepanjangperjalanannya, ia tampil sebagai manusia yang mengaku danmenyebut diri sebagai manusia “abnormal, berpenyakit lepra,berpenyakit jiwa (patologis), berperilaku eksentrik, nausea, dansebagainya.”

Kendati sebagai manusia ia (Fanton Drummond) telahberusaha meraih posisi dan status dalam ruang budaya tertentudan mencoba untuk mempertahankan eksistensi dan jati diridengan cara mengoposisikan dirinya dengan tokoh-tokoh lain,semua usaha yang dilakukan itu tetap gagal karena keterbatasandiri akibat dari sesuatu yang tidak diketahuinya. Hal demikiantampak jelas di dalam relasi oposisi atau kombinasi-kombinasioksimoronik antara Olenka sebagai subjek dan FantonDrummond sebagai objek, atau antara Olenka sebagai subjek danM.C. sebagai objek, atau kombinasi subjek-objek antara FantonDrummond dengan dirinya sendiri. Sebagaimana diketahuibahwa di dalam novel ini oposisi subjek-objek tampak dominan,dan dari relasi oposisi serta kombinasi-kombinasi oksimoroniktersebut perilaku dialogis muncul ke permukaan.

Selama berkenalan dan terlibat dalam skandal cintadengan Olenka, misalnya, Fanton Drummond berusaha kerasuntuk menempatkan Olenka sebagai objek yang dapat dikuasai.Oleh karena itu, Fanton memperlakukan Olenka (istri Wayne) se-enaknya bagaikan bukan seorang manusia. Bahkan, dengan nalurikebinatangannya Fanton ingin menguasai sepenuhnya, tidakpeduli apakah dia itu Olenka di dalam cerpen Wayne yangberjudul “Olenka” ataukah Olenka istri Wayne.

‘… Diam-diam saya dihinggapi nafsu untuk meram-

Page 60: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 44

pok harta karun Wayne, Olenka dalam cerpennyadan Olenka istrinya.’

(hlm.21)

Kendati demikian, ternyata yang terjadi justru sebaliknya.Sebagai subjek Fanton Drummond tidak mampu dan tidak kuasamemperlakukan Olenka menjadi objek, tetapi justru dialah yangmenjadi objek bagi Olenka. Dapat terjadi demikian karena didalam segala gerak-geriknya Fanton selalu terprovokasi olehkemisteriusan Olenka. Bayangan Olenka pun senantiasa berke-lebat dan melintas di depan mata dan otaknya sehingga ia berke-inginan kuat untuk menangkapnya, tetapi manakala bertemudengannya ia tidak kuasa berbuat apa-apa. Hal demikian terlihatjelas, misalnya, ketika di hutan, suatu tempat tertentu di kotaBloomington, Fanton berjumpa dengan Olenka yang saat itusedang melukis.

“Saya tahu sampean akan datang tepat padawaktunya.”

Dia tidak menoleh ke arah saya. Dan saya tidaktahu mengapa saya berjalan mendekatinya.

“Fanton. Duduk sini. Drummond. Awasi gam-bar ini. Saya akan pergi sebentar, Drummond.”katanya, juga tanpa menoleh.

…“Fanton, saya tahu sampean akan datang. Drum-

mond, sekarang duduk di sini, dekat saya. Fanton.”Saya menurut.Sambil meneliti lukisannya, dia berkata, “Fan-

ton, mengapa sampean membuntuti Wayne? Jawab,Drummond!”

…“Fanton, saya tahu kalian omong apa. Drum-

mond. Kalian omong soal cerpennya, bukan?

Page 61: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 45

Fanton.”Saya tidak mungkir.Lalu dia berkata dengan nada mengejek, “Saya

tahu pasti Wayne bercerita mengenai The KenyonReview … hayoh, Drummond, akui, bukankah diaberbuat demikian. Fanton.”

Saya tidak membantah.Dia berkata terus, “Dia pasti ngoceh mengenai

kelahiran Steven. Dengan tidak mempunyai pera-saan malu dia pasti mengobrol mengenai kehancuranperkawinannya. Hayoh, Fanton, berterus teranglah....”

Saya tidak membantah.Kemudian dia menyuruh saya menirukan

perbuat-annya tadi, berdiri, lari ke jembatan, mene-liti jembatan sebentar, lalu ….

Kemudian dia memberi aba-aba, “Hai, Drum-mond, coba berjalan hilir-mudik lagi di atas jem-batan.”

Saya menurut. … .”(hlm. 29—30)

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa di hadapan Olenka, FantonDrummond tidak mampu berbuat apa pun kecuali menurut.Kenapa terjadi demikian, Fanton sendiri tidak mampu menjawab,atau mungkin itulah kehendak nasib (takdir). Oleh sebab itu,adegan skandal antara Fanton Drummond dan Olenka danberbagai perilaku eksentrik yang sering dilakukannya--yangmerupakan suatu pelanggaran yang sah dan diterima dalam duniakarnivalistik--terus berlangsung walaupun ia (Fanton Drummond)sering tergoda untuk menghentikannya karena suara kotbahseorang pendeta pinggir jalanan yang masuk ke telinganyasesungguhnya ada juga benarnya (hlm. 42—43).

Hal serupa tampak pula dalam hubungan segitiga antara

Page 62: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 46

Fanton Drummond, Wayne, dan Olenka. Dalam setiap tinda-kannya Fanton selalu memperlakukan Wayne sebagai bahanejekan dan tertawaan seperti halnya Olenka memperlakukansuaminya itu.

‘… Andaikata dia mentertawakan saya sebagaimanadia mentertawakan Wayne di hadapan saya, sayatidak terlepas dari kesalahannya. Saya tidak pernahmencegah dia membicarakan Wayne. Bahkan sayaikut menikmatinya. Juga tidak jarang saya menam-bahi bumbu-bumbu untuk mengejek Wayne lebihjauh. Saya bukannya hanya menyerobot Olenka dariWayne, akan tetapi juga meneropong tubuh Waynesebagai bahan tertawaan. Saya mencapai kepuasandalam dua kejahatan ini. Karena sikap saya demi-kian, adalah tidak mustahil apabila Olenka jugamemperlakukan saya seperti memperlakukan Waynedi hadapan saya. Adalah dapat diterima akal apabilaWayne juga mempunyai hak untuk meneropongtubuh saya, dan menjadikan tubuh saya sebagaibahan ejekan.’

(hlm.120)

Di satu sisi, Fanton memposisikan Wayne sebagai objek, samaseperti Olenka memposisikan Wayne, suaminya. Akan tetapi, disisi lain, terjadi sebaliknya, Wayne juga memperlakukan Fantonsebagai objek, sama seperti perlakuan Wayne terhadap istrinya.Sebagai contoh, banyak sekali ungkapan verbal yang keluar darimulut Olenka bahwa Wayne adalah dungu, otaknya tumpul,bodoh, dan sebagainya; dan sebaliknya, Wayne juga memper-lakukan istrinya sebagai abdi, sebagai budak, dan sering menye-butnya sebagai perempuan sundel, pengabdi hawa nafsu, bang-kai, baksil penyakit, dan lain-lain (hlm. 32—34, 61—66).

Page 63: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 47

Hal yang sama terjadi juga ketika Fanton menghajarWayne habis-habisan akibat Wayne selalu memamerkan cerpen-cer-pennya yang dimuat di media massa. Ketika dihajar, Waynesama sekali tidak melawan dengan tujuan agar Fanton mengakuikeunggulan Wayne. Bahkan, di hadapan polisi, wartawan, dansemua orang yang hadir, seluruh kesalahan Fanton ditutupi dandiambil alih oleh Wayne dengan maksud agar Fanton tahusiapakah sesungguhnya yang lebih unggul.

“ Selanjutnya dia berkata, “Tentu saja diameninju saya seenaknya. Saya kan memperlakukandia sebagai binatang, bukan sebagai manusia. Pantasdia marah. Mungkin dia tahu bahwa cemoohan sayamenemui sasarannya. Untuk adu kekuatan tentu sajasaya kalah. Mana mungkin manusia beradab bisamenang berhadapan dengan binatang buas? Sayakan bukan binatang, sudah selayaknya saya tidakmem-pergunakan kekuatan jasmani.” Nadanyamelengking, ditujukan kepada polisi, wartawan,juru-rawat, dan semua yang hadir. Rasanya semuakata-katanya sudah dihapalkan beberapa harisebelumnya.

Saya tahu, dia sengaja menghina saya. Kata-kata kotor yang sebetulnya tidak pernahdiucapkannya pada saya adalah manifestasikeinginannya untuk membangkitkan perasaan jijiksaya terhadap diri saya sendiri. Sekaligus dia inginmengutuk istrinya sendiri sebagai “perempuansundel”. Dia menunggu saat yang baik untukmemaksa saya mengakui keung-gulannya.”

(hlm. 99—100).

Beberapa hal di atas menunjukkan bahwa di dunia ataukehidupan karnivalistik subjek-subjek (tokoh-tokoh) hadir ber-

Page 64: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 48

sama, secara simultan, dan mereka membangun relasi dialogisyang masing-masing saling menembus dan ditembus. Jadi,mereka sama-sama memiliki hak untuk bersuara, berpendapat,dan suara dan pendapat itu tidak untuk diringkus begitu saja kedalam suatu konsensus tertentu, tetapi untuk sama-samadimengerti dan didengar. Itulah sebabnya, Fanton Drummonddapat memahami mengapa Wayne asyik dengan dunianya sendiriyang eksklusif, bersikap antisosial, dan bahkan antikomunikasi,padahal ia tidak mungkin terlepas dari semua itu (hlm.18).Sebaliknya, Wayne pun mengerti mengapa Fanton tergila-gilakepada Olenka, padahal Olenka adalah wanita bersuami yangjuga memiliki dunia tersendiri. Demikian juga dengan Olenkaterhadap Fanton dan Wayne, dan sebaliknya, atau M.C. terhadappFanton, dan sebaliknya. Akan tetapi, memang begitulah keme-riahan suatu dunia karnival, dunia polifoni, dunia yang menem-patkan keberagaman dan sekaligus ketakberbedaan sebagai halyang utama.

Di samping fantasi, petualangan, adegan skandal, perilakueksentrik, dan berbagai kombinasi oksimoronik seperti di atas,masih cukup banyak unsur (perilaku) lain yang menandai Olenkasebagai novel karnivalis. Satu hal yang cukup signifikan danbahkan menjiwai novel ini ialah adanya fantasi yang dikom-binasikan dengan aspek filosofis-religius tentang “pertanyaan-pertanyaan akhir” (ultimate questions).

Seperti telah diutarakan di atas bahwa Fanton--sepertihalnya tokoh-tokoh lain--adalah tipe “manusia gagal”. Di “DuniaSini” ia gagal bersatu dengan tokoh-tokoh lain (Olenka, Wayne,dan M.C.), demikian juga dengan usahanya untuk mencapai“Dunia Sana”. Ia menjadi korban pertentangan antara keinginandan ketakberdayaan. Oleh sebab itu, ia kemudian berandai-andaimenjadi seekor burung phoenix, terbakar dengan sendirinya,hangus menjadi abu, dengan harapan dari abu akan lahir kembali

Page 65: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 49

menjadi burung phoenix baru (hlm. 51, 213).17 Namun, andaianitu hanyalah menjadi andaian belaka karena apa yang diharapkantidak pernah tercapai.

Sesungguhnya Fanton Drummond paham benar bahwa diluar dirinya ada sesuatu yang lebih tinggi, lebih agung, dan lebihmurni, tetapi yang menjadi persoalan adalah ia sama sekali tidakmengetahui di mana tempatnya. Terlebih lagi setelah Copernicusmenemukan bahwa sesungguhnya bumi ini tidak datar, tetapibulat dan berputar, sehingga memohon dengan cara mene-ngadahkan muka ke langit pun belum tentu mencapai sasarannya(hlm. 69).

Suatu ketika ia bertanya dan berpikir bahwa “DuniaSana”, dunia tempat “burung phoenix baru” bersemayam,mungkin dapat dicapai melalui jalan “akhir kehidupan”(kematian), misalnya dengan cara bunuh diri. Akan tetapi,pertanyaan dan pikiran itu pun tidak terjawab sehingga--meskipun berani--ia tidak mengakhiri hidupnya dengan carabunuh diri. Apalagi, ia sadar sepenuhnya bahwa bunuh diri atau“meniadakan diri” bukanlah hak manusia, seperti tampak dalamkutipan berikut.

“Memang jiwa saya penyakitan, dan akibatnyamenimpa jasmani saya. Akan tetapi adalah tidakbenar bahwa saya tidak berani bunuh diri. Yangbenar, saya sama sekali tidak pernah memikirkanmasalah bunuh-diri. Dan mungkin juga saya meng-anggap bunuh-diri tidak ada gunanya. SepertiRoquentin, yang dengan terang-terangan berkata, “jen’avais pas le droit d’exister,” saya juga merasabahwa sesungguhnya saya tidak mempunyai hakuntuk ada. Tidak seharusnya alam semesta memiliki

17 Dalam mitologi Yunani, burung phoenix dianggapp sebagai seekorburung raksasa yang usianya bisa mencapai lebih dari 500 tahun.

Page 66: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 50

saya sebagai benda yang berada di dalamnya. Akantetapi seka-ligus saya juga berpendapat, saya tidakmempunyai hak untuk meniadakan diri saya. Sayasudah terlanjur ada tanpa saya minta, dan bukansayalah yang mempunyai hak untuk meniadakan dirisaya.”

(hlm. 212)

Kegagalan demi kegagalan itulah yang menyebabkanFanton bagai seorang Sisipus18 seperti halnya Wayne yangselamanya menjadi pengarang yang gagal (hlm. 85). Oleh sebabitu, tidak ada jalan lain baginya kecuali bertanya kepada hatinurani, berdialog dengan diri sendiri (solilokui), dengan caramenulis lima surat masturbasi.

“Saya sudah siap untuk menulis surat mastur-basi. Surat akan saya tulis untuk M.C., kemudiansaya simpan beberapa hari kira-kira sama denganperjalanan pos. Kemudian surat saya akan saya bacasendiri, seolah-olah saya M.C. Berda-sarkan suratini saya akan bertindak sebagai M.C. dan membalassurat kepada saya sebagai Fanton Drummond. Suratini juga akan saya simpan bebe-rapa hari, sesuaidengan lamanya perjalanan pos. Kemudian surat ini

18 Sisipus adalah nama tokoh dalam mitologi Yunani Kuna yangdipinjam oleh Albert Camus, seorang filsuf eksistensialis dari Algeria (AfrikaUtara), untuk menjelaskan konsepnya tentang ‘absurditas hidup’. Konsepbahwa ‘absurditas merupakan konfrontasi antara dunia irasional dan keinginandahsyat yang terus-menerus bergema dalam hati manusia; keinginan akankejelasan’ ini diuraikan dalam tulisannya Le Mythe de Sisyphe (The Myth ofSisyphus, 1941) (lihat Suhartono, 1993: 163—175; Djokosujatno, 2000: 6—18).

Page 67: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 51

akan saya jawab sendiri. Nama-nya masturbasi. Tapidengan akal semacam ini mungkin saya akan lebihbanyak mempunyai kesempatan untuk mengorekdiri saya sendiri.

…Dengan masturbasi, saya dapat menciptakan

pertanyaan-pertanyaan sendiri, dan mencari jawab-nya. Dengan istilah gagahnya, saya dapat menga-dakan dialog dengan diri sendiri. Atau dengan katalain, saya dapat mengadakan dramatic monologue,berbicara kepada diri sendiri, dengan membayang-kan bahwa saya menghadapi hadirin tertentu.

…Otak saya capai. Bukan karena kurang tidur,

akan tetapi karena terlalu banyak mereka-rekakelima surat tersebut. Jiwa yang tersirat dalamkelima surat tersebut adalah keinginan saya untukmemper-tahankan diri. Andaikata benar saya cepatberubah-ubah, maka dia justru harus mengagumisaya, sebab perubahan-perubahan tersebut terjadikarena saya mempunyai prinsip. Lepas dari apakahpendirian saya benar atau tidak, saya bukannyatanpa pendirian. Inilah yang harus dia hormati. Sayatidak pernah berhenti. Seluruh hidup saya adalahserangkaian proses memikir.”

(hlm. 127—132)

Terungkap bahwa melalui surat masturbasi tersebut Fantonmemiliki kesempatan untuk mengorek apa yang ada di dalamdirinya. Melalui surat itu pula ia dapat mengajukan sekian banyakpertanyaan. Namun, dari seluruh pertanyaan yang diajukan, diantaranya tentang berbagai persoalan yang berada di sekitaroposisi antara sebab dan akibat (hlm. 128), planet bumi danlangit, alam semesta dan sorga (hlm. 131), tidak satu pun dapat

Page 68: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 52

terjawab. Kendati demikian, ia terus bertanya, berpikir, dansenantiasa berusaha mempertahankan diri sehingga sampailah iake dalam keadaan “chatarsis”, yaitu rasa mual terhadap dirisendiri, karena dalam seluruh proses berpikir tersebut padaakhirnya yang ditemukan hanyalah suatu keadaan yang justru“merusak diri.”

Dalam keadaan demikian Fanton kemudian menjadiseorang utopis, penuh khayal dan mimpi-mimpi, walaupun iatidak sampai menjadi seorang narcissus.19 Suatu ketika Fantonbermimpi berjumpa dengan Madame Sosostris, seorang clairvo-yante terkemuka yang dikenal sebagai perempuan paling bijak diEropa (hlm. 136--141). Di dalam mimpi itu Fanton merasa sangatbahagia karena pertanyaan Madame Sosostris tentang “Mau apakita selamanya?” ternyata sesuai dengan praktik kehidupannya,yaitu ingin melihat kebobrokan diri sendiri. Selain itu, Fantonjuga merasa bahagia karena ia tidak memiliki kekuatan sepertiMadame Sosostris yang mempu melihat dunia hanya sebagaibencana. Justru dengan segala kedunguannya itulah, menurutnya,ia dapat menikmati hidupnya.

Demikian beberapa unsur atau perilaku karnival yangdapat disaksikan dan dideskripsikan dari suatu “pertunjukanindah” di dalam novel Olenka. Sesungguhnya masih cukupbanyak unsur lain yang dapat diungkapkan, tetapi paparan di atascukup menjadi bukti bahwa Olenka merupakan novel karnivalis,novel yang mengandung unsur-unsur (perilaku) karnival. Unsurlain itu di antaranya adalah sifat jurnalistis atau publisistis,misalnya di dalam novel ditampilkan beberapa gambar, iklan,atau berita yang diambil dari koran dan majalah (hlm. 23, 43, 58,63, 125, 151, 190, dan 209) atau nama-nama tokoh publik

19 Narcissus adalah nama seorang tokoh (pemuda) –dalam mitologiYunani Klasik—yang sangat tertarik dan mengagumi bayangan sendiri dalamkolam, sedangkan narsisisme adalah sikap kekaguman akan bentuk fisik danwatak diri sendiri secara berlebihan (Zaidan dkk., 1994:135)

Page 69: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 53

(terkemuka) yang sekarang sudah surut seperti John F. Kennedy,George Bush, Elizabeth Taylor, Abraham Loncoln, PangeranTrudeau, dan sebagainya. Sebagai contoh, berikut disajikan beritatentang Balon Trans-Amerika yang dimuat dalam Indiana DailyStudent, edisi 2 Oktober 1979, yang di dalam Olenka ditampilkandi halaman 58; dan gambar serta berita tentang Margaret-Trudeauyang diambil dari majalah Tempo, edisi 1 September 1979, yangdi dalam Olenka ditampilkan di halaman 151.

Page 70: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 54

Page 71: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 55

Ditampilkannya bermacam-macam gambar, berita, iklan,atau nama-nama tokoh publik terkemuka itu bukan merupakansuatu hal yang aneh karena novel yang berkecenderungan poli-fonik memang bersifat menghimpun heteroglosia, yaitu situasi“bahasa” yang mencerminkan suatu kemeriahan karnival, yangmencoba menolak otomatisme dan kebenaran tunggal.20 Hanyasaja, yang menjadi pertanyaan adalah apakah ciri-ciri karnivalsebagaimana diuraikan di atas dapat menjamin novel Olenkasebagai karya (sastra) yang dialogis? Pertanyaan inilah yang akandicoba dijawab di dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya.

3.2 KomposisiSebagaimana dikatakan di bagian depan bahwa unsur-

unsur (perilaku) karnival seluruhnya tercermin di dalam kom-posisi dan atau situasi-situasi plot. Oleh akrena itu, sekarang, didalam subbab ini dibahas perihal komposisi novel yang menjadi“wadah” unsur-unsur karnival seperti yang telah dipaparkansebelumnya. Namun, sebelum komposisi (struktur) Olenka di-bahas, terlebih dahulu diuraikan beberapa konsep dasar mengenaikomposisi itu sendiri, khususnya komposisi novel polifonik.

Telah dikemukakan bahwa plot novel polifonik hanyaberfungsi mensubordinasi, merangkai, atau menyatukan unsur-unsur naratif yang tidak sesuai, saling bertentangan, danperistiwa-peristiwa yang tidak teratur. Oleh karena itu, plot hanyaberperan sekunder dan hanya untuk memenuhi tugas khususmembentuk dunia polifonik (Bakhtin, 1973:5, 11). Hal ini sesuaidengan prinsip bahwa struktur novel polifonik tidak terbangundari proses evolusi, tetapi dari proses koeksistensi (hadir

20 Hal ini berlawanan dngan pendirian kaum yang oleh Kunderadalam bukunya The Art of the Novel (1988) disebut agelaste. Agelaste adalahkata Yunani untuk mengacu kepada orang-orang yang tidak memiliki sense ofhumor. Kaum agelaste berpendirian bahwa kebenaran itu merupakan sesuatuyang jelas sehingga semua orang akan berpikir tentang hal yang sama, tentangkebenaran tunggak (Sahal dalam Nurhan (ed.), 1999:2).

Page 72: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 56

bersama-sama) dan interaksi (Bakhtin, 1973:23). Dalam hal ini,dunia dipandang dalam ruang (space), bukan dalam waktu (time),sehingga muncul kecenderungan yang kuat pada bentuk-bentukdramatis. Secara ekstensif seluruh materi (perasaan dan realitas)diungkap dan disusun ke dalam satu titik waktu dalam bentukpenjajaran dramatis. Jadi, seluruh peristiwa yang terbentuk kedalam berbagai kontradiksi itu tidak dilihat sebagai tahapan yangberkembang, tetapi sebagai simultanitas (serentak), sehinggatidak ada tahap “masa lalu” atau “masa depan” karena keduanyatelah ditarik ke “masa kini”. Oleh sebab itu, hubungan peristiwasatu dan peristiwa lain tidak terjalin secara kausalitas karenasemua hadir bersama, berdampingan, dan berhadap-hadapan(Bakhtin, 1973:24--25).

Prinsip tersebut mengindikasikan bahwa sesungguhnyainti novel polifonik adalah konflik antarkekuatan atau suara-suara(Shklovsky dalam Bakhtin, 1973:32). Kekuatan atau suara-suaraitu datang serempak, saling mendesak, sehingga, akibatnya,konflik tersebut tidak pernah berakhir karena desakan suara satuberarti sekaligus terbuka dialog bagi suara lain. Itulah sebabnya,novel polifonik secara keseluruhan bersifat dialogis. Artinya,hubungan dialogis tidak hanya tercipta dalam dialog-dialogantartokoh, tetapi juga dalam keseluruhan elemennya, yaituelemen-elemen yang contrapuntally counterposed ‘berlawanan(oposisi) dan beriringan’ (Bakhtin, 1973:34).

Berdasarkan konsep di atas, dengan mengutip pendapatGrossman, Bakhtin (1973:35) kemudian menegaskan bahwadasar komposisi novel polifonik --yang semua itu tampak dalamkarya-karya Dostoevsky-- adalah “prinsip dari dua atau beberapakisah yang bertemu (memusat, converging) dan dengan cara yangkontras saling menambah dan berhubungan sesuai dengan prinsippolifoni musikal”. Dengan demikian, sistem struktural novelpolifonik analog dengan teori musikal mengenai modulation

Page 73: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 57

‘modulasi’ atau counterposition ‘konterposisi’.21 Dikatakan demi-kian karena komposisi novel polifonik memang disusun berda-sarkan hukum transisi musikal dan prinsip-prinsip counter-point‘konterpoin’ (Grossman dalam Bakhtin, 1973:36).22

Konsep demikianlah yang akhirnya menyebabkan Bakhtin(1973:83--87) berkeyakinan bahwa komposisi novel polifonikmemiliki perbedaan yang mendasar apabila dibandingkan dengannovel biografis, novel sosial-psikologis, novel keluarga, ataunovel kehidupan sehari-hari lainnya.23 Menurutnya, komposisinovel polifonik bersifat dialogik, sedangkan komposisi novel-novel lainnya bersifat monologik. Apabila novel-novelmonologik cenderung linear, bersuara tunggal, sudut pandang danpemi-kiran serba terbatas, tersubordinasi, dan otoritas tidakterpecah-kan, novel dialogik cenderung non-linear (pictural),

21 Di bidang musik, modulation ‘modulasi’ atau counterposition‘konterposisi’ dipahami sebagai ‘proses pengubahan gelombang pendukunguntuk menyampaikan bunyi’ atau ‘peralihan dari satu dasar nada ke dasar nadalain dengan melepaskan dasar nada pertama secara mutlak.’ Misalnya, darikunci C pindah ke F, dari A minor ke C mayor, dan sebagainya, tetapi masihtetap dalam lagu itu juga (periksa Laksanadjaja, 1975:81).

22 Di bidang musik, istilah counterpoint (sama dengan contrapunt)diartikan sebagai ‘perpaduan nada dalam bentuk dua melodi atau lebih yangdimulai secara serempak tetapi ritme dari tiap-tiap melodi itu berlainan’.Contoh: lagu koor dua suara. Suara 1 dan 2 sama-sama berbentuk melodi,tetapi ritme masing-masing melodi itu berlainan. Pada saat suara 1 menggu-nakan nada panjang, suara 2 menggunakan nada pendek, atau sebaliknya. Disinilah terbentuk suatu contrapunt, nada atau suara yang beriringan (lihatLaksanadjaja, 1975:35--36).

23 Di antara novel-novel lain itu hanya novel petualangan yang miripdengan novel polifonik karena kisah petualangan menawarkan berbagai materiplot yang memungkinkan lahirnya polifoni. Hanya saja, menurut Bakhtin(1973:84--86), tokoh dalam novel petualangan tidak mampu keluar dari plotsehingga di luar plot tokoh itu kosong (hampa). Hal ini berbeda dengan tokoh-tokoh dalam novel polifonik. Dalam novel polifonik, tokoh sanggup keluardari plot sehingga di luar atau di atas plot tercipta berbagai pemikiran,gagasan, atau ideologi yang saling berhadapan, saling berbenturan, dan salingmem-provokasi.

Page 74: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 58

bersuara banyak, sudut pandang dan pemikiran hadir bersama,berdam-pingan (sinkrisis), membangun suatu dialog sehinggasegala bentuk kekompakan dan otoritas terpecahkan oleh adanyaber-bagai desakan atau provokasi (anakrisis).

Dari paparan ringkas di atas akhirnya dapat disimpulkanbahwa sesungguhnya komposisi novel polifonik hanya dibangunoleh dua perangkat dasar, yaitu sinkrisis dan anakrisis (Bakhtin,1973:90--91). Sinkrisis dipahami sebagai suatu penjajaran (dra-matis) berbagai sudut pandang (suara, pemikiran) terhadap objektertentu. Sementara itu, anakrisis dipahami sebagai provokasi,yaitu sarana (ungkapan, situasi) yang berfungsi untuk mendesakinterlokutor (pihak lain) agar mengekspresikan suara atau pikir-annya secara penuh. Sinkrisis (yang mempertemukan kutub-kutub krisis) dan anakrisis (provokasi) mendialogisasi pemikiran,membawa keluar, dan mengubah pemikiran menjadi ungkapan,menjadi suatu dialog, dan akhirnya mengubahnya menjadihubungan dialogis antarindividu (antarsubjek).

Jika dianalogikan sebagai sebuah elemen di dalam kom-posisi musik (lagu), sinkrisis merupakan suatu counterpoint, yaituelemen yang dibangun oleh (atau berupa perpaduan dari) dua(atau lebih) suara (sudut pandang) yang berbeda-beda tetapi hadirbersama-sama (berdampingan). Sementara itu, anakrisis merupa-kan elemen tertentu yang bertugas mendorong terciptanya suatumodulation, yaitu proses peralihan dari suara satu ke suara lain,dari peristiwa satu ke peristiwa lain, atau dari sinkrisis satu kesinkrisis lain di sepanjang teks. Hanya saja, sesuai dengan hukumtransisi musikal dan prinsip-prinsip counterpoint, relasi antar-suara, antarperistiwa, atau antarsinkrisis sebagai konse-kuensidari adanya modulasi itu tidak tercipta berkat hubungan kausal-itas, tetapi berkat hubungan contrapuntal ‘beriringan’. Hal ituterjadi karena antara suara satu dan suara lain pada dasarnyamemiliki kedudukan setara (ekualitas), hanya ritmenya saja yangberlainan.

Page 75: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 59

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, hubungan contra-puntal hanya berfungsi untuk membangun keragaman musikal(polifoni) dalam kerangka pemahaman yang lebih luas mengenaihubungan dialogis (Bakhtin, 1973:36). Oleh sebab itu, beberapakisah tertentu, beberapa sinkrisis tertentu, secara tematik salingberhubungan (beriringan) dengan beberapa kisah lain, denganbeberapa sinkrisis lain. Hal tersebut terjadi terus-menerus sehing-ga susunan atau organisasinya bertingkat-tingkat (multi-leveled-ness). Demikianlah konsep dasar mengenai komposisi novelpolifonik. Berdasarkan konsep tersebut, selanjutnya di dalamuraian berikut hendak dilihat bagaimana sinkrisis dan anakrisisatau counterpoint dan modulation beroperasi dan membangunkomposisi Olenka.

3.2.1 Komposisi Antar-BagianSebagaimana diketahui bahwa Olenka terdiri atas tujuh

bagian. Kendati secara keseluruhan disusun untuk membanguntema tertentu, ketujuh bagian tersebut tidak menunjukkan suatukeutuhan. Dikatakan demikian karena dua di antara tujuah bagiandi dalam novel itu (bagian VI dan VII) bukan merupakan bagiandari dunia fiksi yang dihuni oleh para tokoh, melainkan meru-pakan bagian lain yang terpisah. Oleh karena itu, khusus di dalampembahasan ini, analisis komposisi Olenka hanya akan difokus-kan pada bagian I sampai dengan V, dan untuk sementara bagianVI dan VII dikesampingkan. Hal ini dilakukan dengan pertim-bangan bahwa dua bagian terakhir yang berupa esai dan catatanitu akan lebih relevan jika dianalisis di dalam pembahasan tokohdan posisi pengarang atau representasi gagasan (lihat subbab 3.2dan 3.3).

Fakta menunjukkan bahwa komposisi Olenka terbangundari elemen-elemen tertentu seperti halnya elemen-elemen didalam komposisi musik. Hal itu terjadi karena--sesuai denganhukum transisi musikal--masing-masing bagian mengandungcounterpoint yang berbeda-beda, tetapi secara internal tetap

Page 76: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 60

menyatu. Artinya, walaupun setiap bagian dapat menjadi bagianyang berdiri sendiri-sendiri (Sumardjo, 1991:300), pada dasarnyakelima bagian itu tetap saling berhubungan, dan masing-masingbagian memiliki motif-motif yang tidak serupa tetapi tidakterpisahkan satu sama lain. Hal itulah yang memungkinkan ada-nya suatu perubahan atau transisi organik dari nada satu ke nadalain, dari suara satu ke suara lain, tetapi perubahan itu bukanmerupakan suatu perhentian yang mekanistik. Oleh karena itu,kehadiran bagian yang satu memiliki arti penting bagi bagianyang lain, bagian yang satu mempengaruhi patisari bagian yanglain, tetapi masing-masing bagian tetap memiliki arti pentingtersendiri dan mempertahankan pula patisarinya sendiri.

Tampak jelas bahwa bagian I (hlm. 11--100) merupakansuatu perbincangan yang mandek (idle chatter), suatu episodeyang terhenti. Benar bahwa bagian I mangaktualisasikan temayang sama dengan tema-tema yang diaktualisasikan di bagian-bagian lain dalam kerangka mendukung tema besar mengenai“ketidakberdayaan manusia” yang terabstraksikan dalam kese-luruhan novel. Sebagai contoh konkret, tema bagian I samadengan tema bagian II, dan keduanya mendukung “tema besar”tersebut. Akan tetapi, subjek-subjek yang berperan membanguntema melalui berbagai sinkrisis dan anakrisis di masing-masingbagian itu berbeda-beda.

Di bagian I subjek yang berperan adalah Fanton, Olenka,dan Wayne; sedangkan subjek di bagian II adalah Fanton danM.C. (Mary Carson). Di bagian I suara Fanton, Olenka, danWayne saling berbenturan dan ketiganya menggambarkan tematertentu seperti yang terwakili oleh kata-kata Olenka “hiduphanyalah serangkaian kesengsaraan” (hlm. 60). Tema tersebutterbangun dari berbagai sinkrisis--atau medan semantis--yangantara lain teraktualisasikan ke dalam bentuk oposisi berpasanganantara kuat dan lemah, bawah-sadar dan atas-sadar (hlm. 18),imajinasi/ sugesti dan fakta (hlm. 21), subjek dan objek (hlm. 32),kebebasan dan keterikatan (hlm. 35, 83), jasmani dan rohani

Page 77: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 61

(hlm. 51), dunia dan akhirat (hlm. 51, 82), mati dan lahir kembali(hlm. 51), neraka dan sorga (hlm. 52), keinginan dan ketakber-dayaan (hlm. 75--77), aktif dan pasif (hlm. 89), dan sebagainya.

Sementara itu, di bagian II suara Fanton dan M.C. jugasaling berbenturan, dan keduanya juga menggambarkan temayang sama dengan tema di bagian I. Tema “kesengsaraanmanusia” itu antara lain terungkap melalui suara M. C. yangdikutip dari novel Women in Love karya D.H. Lawrencesebagaimana dituturkan oleh Fanton seperti berikut.

“ ... Saya hanya tahu bahwa suaranya menggeletar.Tidak seperti biasanya kali ini dia berbicara denganperasaan. “Oh ... Memang kita keluarga sial ... Sayatahu kita kelu-arga sial ... Sekali ada kejadian buruk,pasti ada kejadian buruk menyusul ... Oh ... Oh ...Saya tahu ... Sekali ter-jadi peristiwa sial, selamanyasial ... Memang kita kelu-arga sial ... Oh ....”

(hlm. 113)

Berbagai sinkrisis atau medan semantis yang membangun tematersebut pun tidak berbeda, dan semua itu terbentuk melaluioposisi antara atas-sadar dan bawah-sadar, kuat dan lemah (hlm.103--107), subjek dan objek, kekerdilan nyata dan kebesaransemu (hlm. 108--111), prinsip dan bukan prinsip (hlm. 112--113),sehat raga dan sakit jiwa (hlm. 116--123), dan sebagainya. Itulahsebabnya, apabila kedua bagian tersebut (I dan II) dihubungkanatau dijajarkan, keduanya memiliki kedudukan setara. Artinya,masing-masing bagian dapat berdiri sendiri meskipun keduanyasaling berhubungan.

Hal serupa itulah yang--sebagai suatu bagian yang hadirbersama dan beriringan dengan bagian-bagian lain--membuatbagian I menjadi bagian yang mandek, menjadi suatu perbin-cangan yang terhenti. Hal ini terjadi karena bagian I bukan

Page 78: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 62

merupakan “sebab” dan bagian II bukan pula menjadi “akibat”.Masing-masing bagian tidak terpola sebagai elemen tertentudalam suatu rangkaian (plot) “pengenalan-konflik-klimaks-penyelesaian” karena tiap bagian pada dasarnya telah mengan-dung rangkaian itu. Bahkan dapat dikatakan sebaliknya bahwabagian-bagian tersebut pada dasarnya tidak mengenal rangkaiansemacam itu karena yang terdapat di dalamnya hanya konflik-konflik yang tidak pernah selesai. Hanya saja, karena subjek yangmembangun sinkrisis di bagian yang satu berbeda dengan subjekyang membangun sinkrisis di bagian lain, tampak bahwa bagian-bagian itu menjadi bagian yang mandek (terhenti). Lagi pula,kemandekan tersebut juga ditandai oleh adanya ungkapan atausuara yang seolah merupakan suatu denouement di akhir setiapbagian (I dan II). Ungkapan itu ialah “perasaan jijik terhadap dirisendiri” (hlm. 100) dan “berpenyakit jiwa” (hlm. 126) yangkeduanya identik dengan nausee yang dalam novel ini memangdigunakan sebagai nada akhir atau sebagai suatu penyelesaian(denouenment). Itulah sebabnya, bagian-bagian tersebut tampakterhenti, walaupun, sekali lagi, harus dipahami bahwa keter-hentian itu bukan merupakan perhentian yang mekanistik.

Apakah perbincangan yang terhenti di bagian I dan IItersebut akan diteruskan lagi? Apakah bagian yang mandek ituakan memperoleh suatu jawaban atau penyelesaian tertentusehingga menimbulkan perubahan atau transisi organik nada-nadayang membangun keragaman suara? Pertanyaan ini baru dapatdijawab setelah di bagian selanjutnya (III dan IV) ditemukanmotif-motif tertentu (lain) yang berhubungan dengan motif-motifdi bagian sebelumnya (I dan II). Benar bahwa di bagian III (hlm.127--145) dan di sebagian besar bagian IV (hlm. 146--206)terdapat motif-motif tertentu yang membuka kemandekan bagianI dan II.

Bagian III hampir keseluruhan berisi solilokui dan mimpi-mimpi krisis yang terjadi pada diri Fanton. Dalam hal ini Fantonmenulis lima surat masturbasi (hlm. 127--132); surat itu ditulis

Page 79: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 63

sendiri, ditujukan kepada diri sendiri, dan kemudian dijawabsendiri. Surat masturbasi itu ditulis dengan tujuan untuk berdialogdengan diri sendiri (dramatic monologue), untuk mengorekkebobrokan diri sendiri, bahkan untuk menipu diri sendiri. Selainitu, Fanton juga bermimpi bertemu dengan Madame Sosostris,seorang clairvoyante terkemuka yang dikenal sebagai perempuanpaling bijak di Eropa (hlm. 136--141). Fanton kemudian mem-bandingkan dirinya dengan perempuan itu dan usaha tersebutjuga dilakukan dengan tujuan untuk melihat kebobrokan dirisendiri. Oleh sebab itu, subjek yang membangun tema di bagianini adalah Fanton dan dirinya sendiri. Berbagai sinkrisis danmedan-medan semantis yang mengaktual-isasikan tema itu samapula dengan yang terdapat di bagian-bagian sebelumnya, yang diantaranya terbentuk melalui oposisi antara sebab dan akibat, bumidan langit, alam-semesta dan sorga (hlm. 127--132), salah danbenar (hlm. 136--141), dan sebagainya.

Sementara itu, sebagian besar bagian IV (subbagian 4.1--4.11, hlm. 146--206) mengungkapkan berbagai pengakuan dankotbah-kotbah filosofis oleh Fanton, Olenka, dan M.C. Di bagianini Olenka menulis surat panjang kepada Fanton (hlm. 146--165dilanjutkan di hlm. 168--170); dan surat itu berisi pengakuansiapakah sebenarnya Olenka. M.C. juga mengaku terus terangbahwa penolakannya terhadap pinangan Fanton adalah karena iamerasa Fanton hanya berpura-pura, hanya untuk balas budi;padahal, yang diinginkan bukan balas budi semacam itu,melainkan suatu kesungguhan. Sementara itu, Fanton sendiri jugamengaku bahwa pinangan kedua yang dilakukan terhadap M. C.memang hanya karena kasihan (hlm. 188--188). Selain itu, ketikaFanton meninggalkan M. C. pada saat M. C. justru telah menya-takan kesediaannya, juga karena Fanton merasa bahwa dirinyamenderita nausea (hlm. 202--205).

Demikian berbagai sinkrisis yang terbangun di dalamsebagian besar bagian IV, dan sinkrisis ini terbentuk melaluioposisi antara cinta dan kasihan (hlm. 152), sebab dan akibat

Page 80: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 64

(hlm. 153), konkret dan abstrak (hlm. 156--157, 161), pendosadan pendeta (hlm. 167), menghindari kesengsaraan dan mencarikesengsaraan (hlm. 196), mati dan lahir kembali (hlm. 199),dunia dan sorga (hlm. 203), dan sejenisnya. Pada dasarnya, kisahyang disajikan di sebagian besar bagian IV, juga di keseluruhanbagian III, merupakan suatu episode dramatis yang dipersiapkanuntuk mencapai suatu denouement tragis yang disajikan di akhirbagian IV (subbagian 4.12 “Nausea”). Denouement tragis initampak dalam ungkapan berikut.

“Makin mendekati rumah sakit, makin sadarsaya bahwa sebetulnya saya sakit. Yang terasa sakitmemang jasmani saya. Misalnya saja, otak sayasadar bahwa taksi membelok ke kanan, tapi sayamerasa seolah-olah taksi membelok ke kiri. Sayajuga sadar melihat orang-orang berjalan tegakmenyeberangi jalan. Tetapi saya merasa seolah-olahmereka berjalan miring. Apa yang saya lihat menjadikacau, campur-baur, dan jungkir-balik. Hubungansaya dengan dunia luar menjadi patologis dan tidaknormal. “Nausee,” demikianlah istilah Olenka yangdipinjam dari Sartre. ...

... Wayne benar, jiwa saya mengidappenyakit lepra. ... “

(hlm. 210--211)

Proses perubahan atau transisi organik seperti yang dike-mukakan di atas menunjukkan bahwa komposisi Olenka disusunberdasarkan prinsip-prinsip counterpoint. Siksaan psikologis danmimpi-mimpi krisis yang dialami oleh Fanton di bagian III,misalnya, merupakan suatu point yang berhubungan dengan pointlain tentang penghinaan Wayne di bagian I dan penolakan M. C.di bagian II. Akan tetapi, karena Fanton menyadari apa yang

Page 81: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 65

terjadi pada dirinya, juga membenarkan apa yang dikatakan oranglain tentang dirinya, jelas bahwa pada saat yang sama di dalamdirinya terjadi suatu kontradiksi, yaitu pertentangan yang tidakpernah berakhir akibat dari keterbatasan dan ketidak-berdayaandirinya sebagai manusia. Demikian juga dengan pengakuanOlenka kepada Fanton dalam bentuk surat panjang di awal bagianIV. Pengakuan tentang siapa sebenarnya dirinya ini merupakanpoint tertentu yang berhubungan dengan point lain tentangpenghinaan yang terus-menerus dilakukan oleh Wayne terhadapOlenka di depan Fanton di bagian I.

Point versus point (punctum contra punctum) semacamitulah yang terus-menerus terbangun di dalam novel Olenkasehingga masing-masing bagian (bagian I sampai dengan IV)saling berhubungan secara dialogis menjadi sebuah organismeyang hidup. Hal semacam itulah yang oleh Glinka (Bakhtin,1973:36) disebut sebagai “suara-suara yang berbeda yangdinyanyikan dengan cara-cara yang berbeda dalam tema yangsama.” Dika-takan demikian karena pada dasarnya “segalasesuatu di dalam hidup tidak lain merupakan counterpoint, yaituantitesis.” Atau dengan kata lain, menurut Bakhtin (1973:36),“segala sesuatu di dalam hidup merupakan dialog, yaitu antitesisdialogis.” Semen-tara itu, bagian V (hlm. 214--215) yang diberijudul “Coda” hanya merupakan sebuah afirmasi atau penegasanyang menggaris-bawahi dan menggeneralisasi seluruh counter-point yang telah ditampilkan di empat bagian sebelumnya.

Jika Olenka diandaikan sebagai sebuah lagu (musik),sesungguhnya kehadiran bagian V merupakan suatu “nada” atau“melodi” yang justru membuat ritme lagu yang berjudul “Olen-ka” itu tidak mencapai suatu harmoni, tidak mencapai suatukemerduan tertentu seperti yang diharapkan (ini dalam penger-tian romantik yang menempatkan “persatuan, pusat” sebagaisuatu pencapaian estetik). Hal tersebut terjadi karena “melodi”tertentu yang dimaksudkan sebagai nada akhir atau sebagai nadapenutup (coda) sebenarnya telah ditampilkan di akhir bagian IV.

Page 82: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 66

Bunyi “melodi” akhir tersebut antara lain dapat diidentifikasikanatau didengar dalam ungkapan seperti berikut.

“... Hubungan saya dengan dunia luarmenjadi patologis dan tidak normal. “Nausee,”demikianlah istilah Olenka yang dipinjam dariSartre. ...”

(hlm. 210--211).

“ Saya tidak menyesal, tidak kecewa. Yangsaya pendam dalam hati hanyalah kekosongan. BaikOlenka maupun M.C. menyebabkan saya mual. ...Tiba-tiba saya muntah. Andaikata yang saya mun-tahkan adalah selu-ruh jiwa dan raga saya, alangkahbahagianya saya. Demikian juga andaikata sayamenjadi semacam burung phoenix, terbakar dengansendirinya, hangus menjadi abu, dan dari abu lahirkembalilah saya sebagai burung phoenix baru. Sayajuga ingin remuk dan hilang bentuk.”

(hlm. 213).

Akan tetapi, justru dengan ditampilkannya bagian V tersebutkomposisi Olenka menjadi terbuka, menggantung, dan tidakterakhiri (unfinalized). Hal tersebut terjadi karena nada akhir(suara akhir, pernyataan penutup) yang disajikan di akhir bagianIV ternyata dibuka kembali oleh pernyataan atau ungkapan dibagian V (alinea 1 dan 2) seperti berikut.

‘‘Andaikata saya Wayne, maka setelahmenulis “Saya juga ingin remuk dan hilang bentuk,”saya berhenti. Cerita berakhir di sini. Saya harushati-hati, tahu dengan pasti di mana mulai dan di

Page 83: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 67

mana berhenti. Yang bukan-bukan dan tidak berartiharus saya hindari. Tetapi saya bukan Wayne.

Wayne selalu sadar siapa dirinya. Setiapdetik dalam hidupnya, dia tidak pernah melepaskandiri dari kepengarangannya. Sedangkan saya tidakdemikian. Sering saya tidak tahu siapa saya, dankarena itu saya tidak tahu harus ke mana. Setiaptindakan saya belum tentu berjalan ke arah tujuansaya, karena tujuan itu sendiri sulit diraba. Karenaitu, saya tidak memilih ingin berhenti di mana. Sayatidak mempunyai kekuasaan apa-apa untukmengikuti ke mana larinya pena saya. ...”

(hlm. 214).

Dengan adanya ungkapan atau suara yang membuka kembaliketertutupan itu berarti bahwa novel karya Budi Darma inimembuka diri untuk berdialog dengan suara lain, dengan suarayang lebih besar. Hal demikian sekaligus berarti bahwa Olenkaberusaha menolak konvensi, mencoba memecahkan kekompakan(otoritas), bahkan mencoba mendekonstruksi kebenaran tunggal.Hanya persoalannya, apakah dialogikalitas suara-suara yang telahdibangun di dalam novel ini konsisten atau tidak, hal ini barudapat diketahui setelah dilihat bagaimana posisi pengarang diantara para tokoh yang akan dibahas kemudian.

3.2.2 Komposisi Antar-SubbagianSebagaimana dikatakan di depan bahwa plot novel poli-

fonik hanya berfungsi mensubordinasi, menghimpun, ataumenyatukan unsur-unsur naratif yang tidak sesuai, saling berten-tangan, dan peristiwa-peristiwa yang tidak teratur. Oleh sebab itu,plot hanya memiliki peran sekunder dan hanya memenuhi tugaskhusus untuk membangun dunia yang juga memiliki ikatan-ikatan khusus, yaitu dunia polifonik. Hal demikian ini agaknyaterbukti di dalam novel Olenka. Plot dasar novel karya Budi

Page 84: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 68

Darma tersebut memang sangat sederhana. Kesederhanaan ituterlihat dalam urutan peristiwa (kisah) pokok berikut ini.

Kisah diawali dengan pertemuan Fanton Drummonddengan wanita bernama Olenka di sebuah lift. Pertemuan itumembuat Fanton tergila-gila padanya. Walaupun Olenka sudahbersuami dan punya anak, Fanton tidak peduli. Oleh karena itu,ketika Olenka meninggalkannya, juga meninggalkan keluarganya(Wayne dan Steven), Fanton terus mengejarnya. Hanya saja,usaha Fanton tidak pernah berhasil. Lalu bertemulah Fantondengan M.C. dan langsung jatuh cinta. Bahkan Fanton meminangM.C. dua kali dan ingin mempunyai anak darinya walaupun iacacat akibat kecelakaan pesawat terbang. Semula M. C. menolakpinangan Fanton, tetapi ketika M.C. kemudian menyatakankesediaannya, Fanton justru meninggalkannya. Setelah itu Fantonkembali mengejar Olenka ke sebuah rumah sakit karena menurutberita ia dirawat di sana. Namun, sesampai di rumah sakit, justruFanton yang terjangkiti nausee, sementara Olenka keburu pergientah ke mana.

Benar bahwa Olenka memiliki plot dasar yang sederhana.Namun, justru di dalam kesederhanaan itu setiap masalah dapatdirenungkan dan dibahas secara lebih rinci. Jadi, di dalam novelini yang terpenting bukan sekian banyak aksi atau tindakansehingga tata urutan, durasi, dan frekuensinya (Chatman, 1980:63--79) berliku-liku, panjang, dan lama, melainkan sekian banyakpemikiran dan perenungan. Artinya, dalam sekali bertindak dapatdiungkap sekian banyak pemikiran, atau sebaliknya, sejumlahpemikiran dapat diungkap dan dipahami secara serentak dalamsatu kali bertindak. Oleh karena itu, terlihat jelas bahwa setiaptindakan di dalam Olenka dipenuhi atau didukung oleh beberapapemikiran atau perenungan yang berjajaran, berdampingan, danbersilangan. 24

24 Hal semacam itulah yang dalam struktur alur disebut sebagaidegresi atau lanturan, yaitu penempatan unsur-unsur lain yang tidak langsung

Page 85: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 69

Diakui bahwa hal seperti di atas akan menghambat prosesperubahan (modulasi) plot. Akan tetapi, justru keterhambatanitulah yang membuka peluang bagi munculnya banyak suara yangbersamaan dalam bentuk sinkrisis-sinkrisis. Oleh karena itu,hampir di setiap subbagian dua sudut pandang (suara) bertemu,hadir bersama, yaitu antara tokoh utama dan interlokutornya,untuk membahas persoalan atau objek secara bersama-sama.Dalam kebersamaan itu tokoh utama memahami dirinya melaluitokoh-tokoh lain, demikian juga sebaliknya, bahkan juga mem-bandingkan dirinya dengan tokoh-tokoh dalam karya sastra duniaatau tokoh-tokoh publik terkemuka dunia. Oleh sebab itu, didalam Olenka penuh dengan suara-suara yang berjajaran (sinkri-sis), dan berkat adanya ungkapan, situasi, atau suara lain yangmemprovokasinya (anakrisis), suara-suara tersebut kemudianmembangun plot. Sebagai contoh konkret, suara-suara yangmembentuk sinkrisis dan anakrisis tersebut dapat dilihat dalamuraian berikut.

Olenka dibuka dengan sebuah kisah yang diberi judul“Tiga Anak Jembel” (subbagian 1.1, hlm. 11--14). Di dalamsubbagian pertama ini narator (Fanton Drummond) mengaku ataubercerita (kepada pendengar, pembaca, atau kepada dirinyasendiri) bahwa ia pertama kali bertemu dengan Olenka bersamatiga anak jembel di lift sebuah apartemen. Oleh karena tiga anakjembel itu mirip dengan Olenka, Fanton menduga bahwaketiganya adalah anak Olenka. Itulah sebabnya, Fanton tertarikpada kemiripan mereka sehingga Fanton bertanya kepada Olenkauntuk membuktikan kebenarannya. Akan tetapi, setelah Fantonmencoba bertanya kepadanya, ternyata Olenka mengaku bahwamereka bukan anaknya. Bahkan, ketika Fanton terus mende-saknya, Olenka marah. Akan tetapi, kemarahan itu tidak dituju-

berhubungan dengan pokok persoalan yang biasanya digunakan untukmemper-cantik cerita (lihat Nurgiyantoro, 1995:160).

Page 86: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 70

kan kepada Fanton, tetapi justru kepada ibu yang minggat ‘pergitanpa pesan’ meninggalkan ketiga anaknya sehingga mereka tidakterurus.

Dalam peristiwa yang terjadi di lift itulah terbangunsinkrisis (penjajaran sudut pandang) pertama, yaitu antara Fantondan Olenka terhadap objek tertentu (tiga anak jembel). Fantonterprovokasi (anakrisis) oleh kemiripan antara tiga anak jembeldan Olenka, sedangkan Olenka terprovokasi oleh keadaanseorang ibu yang tidak bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Oleh karena itu, Fanton dan Olenka harus beroposisisecara dialogis untuk memahami secara bersama terhadap objekyang sama (ketiga anak jembel).

Bersamaan dengan itu, Olenka menyatakan bahwa “kalausaya mempunyai anak, saya akan merawat anak saya baik-baik”(hlm. 12). Pernyataan inilah yang memprovokasi (anakrisis)Fanton sehingga ia menduga bahwa Olenka tidak mempunyaianak. Akan tetapi, dugaan Fanton terhenti karena merekakemudian berpisah (mereka turun dari lift dan menuju keapartemen masing-masing). Perpisahan itu pula yang membuatOlenka menjadi sebuah misteri bagi Fanton sehingga Fantonkemudian terus-menerus terprovokasi oleh bayangan Olenka.Namun, karena dugaan siapa sebenarnya wanita yang selalumemprovokasi dirinya itu tidak terjawab, sinkrisis lain yangsenada yang mengiringi sinkrisis pertama pun tidak terbangun.Oleh karena itu, Fanton berada pada titik krisis karena sinkrisispertama menjadi sebuah dialog yang mandek.

Di dalam subbagian 1.2 yang berjudul “Wayne danSteven” (hlm. 15--18) sebenarnya muncul lagi sebuah sinkrisis,tetapi yang menjadi subjek di dalam sinkrisis itu bukan lagiFanton dan Olenka, melainkan Fanton dan Wayne. Selain itu,objeknya pun tidak lagi tiga anak jembel, tetapi Olenka. Olehkarena itu, relasi sinkrisis pertama di dalam subbagian 1.1 dansinkrisis berikutnya di dalam subbagian 1.2 tidak tercipta secarakausatif, tetapi secara koeksistensif dan contrapuntal ‘beriringan’.

Page 87: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 71

Sementara itu, transisi atau modulasi dari sinkrisis pertama kesinkrisis berikutnya terjadi karena adanya tindakan Fantonmelihat dan memper-hatikan ketiga anak jembel melalui jendelaapartemen (hlm. 13--14). Tindakan inilah yang memaksa diaharus bertemu dengan Steven dan Wayne (hlm. 15--16).Keharusan bertemu tersebut bukan karena Fanton diprovokasioleh tokoh-tokoh lain, melainkan diprovokasi oleh --dan siapalagi kalau bukan-- pengarang.

Sebagaimana dikatakan bahwa sinkrisis di dalam sub-bagian 1.2 (hlm. 15--18) terbangun dari perpaduan sudut pandangantara Fanton dan Wayne, sementara objeknya adalah Olenka.Sinkrisis yang hanya ditentukan oleh relasi kontrapuntal dengansinkrisis sebelumnya itu terjadi karena, di satu pihak, Fantonterprovokasi oleh kemiripan Olenka-Steven-Wayne (hlm. 16),dan di lain pihak, Wayne terprovokasi oleh Fanton sehinggaWayne bercerita panjang lebar mulai dari keinginannya menjadipengarang sampai pada kehancuran keluarganya bersama Olenka(istrinya). Cerita Wayne tentang diri dan keluarganya itusesungguhnya telah memberikan sedikit jawaban atas dugaanFanton sebelumnya, yaitu bahwa Olenka ternyata mempunyaianak, tetapi keterangan itu belum sepenuhnya menjawabkemisterian Olenka. Hal itu disebabkan oleh cerita Waynetentang sebab-sebab kehancuran keluarganya terhenti akibatkesulitan Wayne berkomunikasi: dia adalah korban bentrokanantara bawah-sadarnya yang lebih kuat dan atas-sadarnya yangjauh lebih lemah (hlm. 17--18).

Hal serupa itulah yang membuat Olenka tetap menjadimisteri bagi Fanton. Oleh karena itu, di subbagian berikutnya (1.3dan 1.4), bayangan Olenka masih terus memprovokasi Fanton.Akan tetapi, karena anakrisis yang mendorong terciptanyasinkrisis antara Fanton dan dirinya sendiri di subbagian 1.3 (hlm.19--21) dan sinkrisis antara Fanton dan Wayne di subbagian 1.4(hlm. 22--27) ternyata bukan kemisterian Olenka, melainkanjustru kesesuaian diri Wayne dengan cerpen “Olenka” yang

Page 88: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 72

ditulis dan diantologikan dalam Cerita Pendek Hadiah O’Henry,jelas bahwa sinkrisis di subbagian 1.3 dan di subbagian 1.4 jugahanya memiliki relasi kontrapuntal dengan sinkrisis yang terjadiantara Fanton dan Wayne di subbagian 1.2. Oleh sebab itu,kedudukan sinkrisis-sinkrisis tersebut setara (ekual), danketiganya berada di samping, di bawah, atau bahkan di dalamsinkrisis lain yang dibangun oleh Fanton sejak pertemuanpertama kalinya di awal kisah (subbagian 1.1) sampai denganpertemuan berikutnya di subbagian 1.5. Sinkrisis yang berada didalam sinkrisis lain (yang lebih besar) itulah yang menandaibahwa Olenka memiliki komposisi yang bertingkat-tingkat(multileveledness).

Sebagaimana diketahui bahwa di subbagian 1.5 (hlm. 28--31) Fanton bertemu kembali dengan Olenka. Hal ini berartibahwa di antara subbagian 1.4 dan subbagian 1.5 terjadi prosesperalihan, yaitu dari “perpisahan” ke “pertemuan”. Akan tetapi,karena subjek yang membangun sinkrisis di subbagian 1.4berbeda dengan subjek yang membangun sinkrisis di subbagian1.5, relasi kedua sinkrisis itu hanyalah tercipta secarakontrapuntal. Lagi pula, objeknya pun berbeda-beda. Kalau objekdi subbagian 1.4 adalah Olenka, objek di subbagian 1.5 adalahWayne dan Fanton sendiri. Oleh karena itu, peralihan darisinkrisis di subbagian 1.4 ke sinkrisis di subbagian 1.5 terjadioleh adanya modulasi tertentu, yaitu tindakan Fanton pada suatupagi berjalan-jalan ke hutan setelah malam sebelumnya terjadibencana hujan-angin di awal subbagian 1.5 (hlm. 28).

Tindakan itulah yang mengharuskan Fanton berjumpadengan Olenka. Namun, perjumpaan itu dapat terjadi bukankarena Fanton diprovokasi oleh kemisteriusan Olenka, Wayne,atau situasi tertentu lain, melainkan diprovokasi oleh pengarang.Dikatakan demikian karena di subbagian 1.4 tidak terdapat motiftertentu yang meng-hubungkannya dengan sinkrisis yang ter-bangun di subbagian 1.5. Itulah sebabnya, subbagian 1.4 menjadisuatu perhentian sementara karena sinkrisis dan anakrisis yang

Page 89: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 73

terbangun di dalamnya berbeda dengan yang terbangun disubbagian 1.5 dan seterusnya. Ini semua terjadi karena peristiwa“perpisahan” telah berubah dan beralih ke peristiwa “perte-muan”.

Pertemuan antara Fanton dan Olenka terus berlangsungsampai ke subbagian 1.12 yang berjudul “Olenka MeninggalkanSaya” (hlm. 55--60). Di dalam beberapa subbagian ini sinkrisisterjadi terus-menerus antara Fanton dan Olenka. Sementara itu,objeknya adalah hakikat mengenai “pertemuan” itu sendiri yangmenurut mereka merupakan suatu realisasi perpaduan antaranasib dan kemauan bebas sebagaimana digambarkan di dalambuku The New England Mind karya Perry Miller (hlm. 35--36).

Sesungguhnya, sebelum Olenka meninggalkan Fantonseperti yang terjadi di akhir subbagian 1.12, Fanton telah berniatuntuk meninggalkan Olenka. Fanton berniat demikian karena, disatu pihak, ia terprovokasi oleh suara lain, yaitu suara daripendeta pinggir jalanan (subbagian 1.7, hlm. 36 dan subbagian1.9, hlm. 42) yang senantiasa berpidato tentang etika “baik” dan“buruk” suatu pergaulan. Akan tetapi, di lain pihak, karenaFanton diprovokasi oleh keinginannya yang kuat untuk bersatudengan Olenka, yang menurutnya persatuan itu merupakan suatuperpaduan jasmani dan rohani sebagaimana tergambar dalamsajak “Kutu” karya John Donne, atau sebagai suatu prosesmetamorfose seekor burung phoenix yang mati, menjadi abusebentar, kemudian menjadi burung phoenix baru (subbagian1.11, hlm. 50--51), jelas bahwa peristiwa “perpisahan” ituakhirnya tertunda. Barulah peristiwa “perpisahan” itu tereali-sasikan di subbagian 1.12 (hlm. 60). Namun, “perpisahan” ituterjadi bukan karena Fanton terprovokasi oleh kata-kata pendetasehingga ia harus meninggalkan Olenka, melainkan justru karenaOlenka-lah yang meninggalkan Fanton (beberapa saat setelahBalon Trans-Amerika da Vinci terbang melewati Tulip Tree).Olenka meninggalkan Fanton karena ia sebelumnya telah

Page 90: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 74

mengucapkan janji bahwa “suatu saat kita harus berpisah” (hlm.54).

Terjadinya peristiwa “perpisahan” yang tidak berasal darikeinginan Fanton tersebut membuat bayangan Olenka terus mem-provokasi Fanton. Oleh karena itu, berbagai sinkrisis yangterbangun di subbagian-subbagian selanjutnya (1.13--1.23, hlm.61--100) beralih dari sinkrisis antara Fanton dan Olenka kesinkrisis antara Fanton dan Wayne atau Fanton dan dirinyasendiri. Di subbagian 1.13 (hlm. 61--66), Fanton dan Waynesama-sama terprovokasi oleh hilangnya Olenka. Oleh sebab itu,antara Fanton dan Wayne terjadi kontradiksi atau pertentangan,yaitu, di satu pihak, Fanton selalu ingin menyatu dengan Olenka,dan di lain pihak, Wayne selalu menghina Olenka. Wayne selalumengatakan bahwa istrinya itu adalah perempuan pengabdi hawanafsu, perempuan bangkai, baksil penyakit, dan lain-lain sehing-ga, menurutnya, pantas diperlakukan sebagai abdi (hlm. 62--65).

Sementara itu, di subbagian 1.14 (hlm. 67--68), antaraFanton dan Wayne masih terjadi pertentangan. Fanton yakinbahwa Olenka hilang untuk selamanya, sedangkan Wayne yakinbahwa Olenka akan kembali. Namun, kenyataan membuktikanbahwa Olenka tidak kembali. Oleh karena itu, di subbagianselanjutnya, keduanya mengalami kegelisahan. Kegelisahan itupula yang membangun sinkrisis antara Fanton dan dirinya sendiri(subbagian 1.15, hlm. 69--70). Fanton menyadari bahwa semuakegagalannya merupakan bukti tentang “kekerdilan manusia.”Oleh sebab itu, apa pun yang diinginkan, termasuk ingin mem-punyai anak (subbagian 1.16, hlm. 71--73), atau ingin mencapaikesatuan afinitas dengan Olenka (subbagian 1.22, hlm. 95--97),tidak pernah tercapai walaupun ia telah berusaha berdoa kepadaTuhan dengan cara berlutut ke rerumputan dan menengadahkanmuka ke langit.

Dalam keadaan krisis demikian itu Fanton kemudianbertanya pada diri sendiri mengapa manusia harus lahir, dewasa,bertemu, kawin, berpisah, dan seterusnya (subbagian 1.21, hlm.

Page 91: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 75

88--91). Dalam keadaan krisis itu pula Fanton mengekspresikankegelisah-annya sehingga ia selalu berkonfrontasi dengan Wayne.Fanton cemburu kepada Wayne (subbagian 1.17, hlm. 74--77)dan berusaha menghajarnya (subbagian 1.23, hlm. 98--100) sertamengibaratkan Wayne sebagai seekor burung Robin yang ganasdan selalu me-mangsa cacing (subbagian 1.22, hlm. 92--97).Sementara itu, karena Olenka tidak kembali, Wayne juga beradadalam keadaan krisis sehingga ia tidak lagi dapat menulis cerpenkarena intuisi dan imajinasinya tumpul. Semua itulah yangmembuat di dalam diri Fanton bangkit perasaan jijik terhadapdirinya sendiri (nausee).

Demikian pola sinkrisis dan anakrisis yang terbangun didalam subbagian 1.1 sampai dengan 1.23. Di subbagian 1.1--1.23berbagai sinkrisis dibangun oleh tiga subjek utama, yaitu Fanton,Olenka, dan Wayne. Hal ini berbeda dengan subjek-subjek yangmembangun sinkrisis di subbagian 2.1 sampai dengan 2.6 (hlm.101--126). Benar bahwa di subbagian 2.1 sampai dengan 2.6Fanton masih berada dalam keadaan krisis, berada dalam keadaan“berpisah” dengan Olenka, tetapi dalam keadaan demikian iakemudian menemukan “persatuan” dengan M.C. Oleh sebab itu,subjek-subjek yang membangun sinkrisis di bagian yang kemu-dian itu adalah Fanton dan M.C. Karena subjek dan objeknyatelah berubah, jelas bahwa hubungan antara bagian pertama danbagian berikutnya hanya tercipta secara kontrapuntal. Lagi pula,terciptanya hubungan kontrapuntal itu tidak hanya didukung olehadanya perubahan subjek, tetapi juga oleh terbangunnya sinkrisisdi subbagian 2.2 sampai dengan 2.6 itu bukan karena Fantondiprovokasi oleh tokoh lain sehingga tercipta modulasi yangberupa tindakan Fanton pergi ke Chicago dan bertemu denganM.C (Mary Carson), melainkan karena ia diprovokasi oleh suaralain, entah suara siapa, yang tidak lain adalah suara pengarang.

Ketika Fanton pergi ke kelab malam tempat Olenkabekerja (subbagian 2.1, hlm. 101--102), sebenarnya Fanton telahmem-peroleh informasi bahwa Olenka pergi ke Chicago. Akan

Page 92: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 76

tetapi, kepergian Fanton ke Chicago untuk mencari Olenka bukankarena ia terprovokasi oleh informasi yang berasal dari Jane,tetapi oleh “sesuatu” yang ia sendiri tidak tahu seperti terungkapdalam kutipan berikut.

‘ Saya heran, mengapa semenjak saya ikuttruck raksasa beroda delapanbelas ke negara bagianKentucky, saya merasa seperti bola-sodok. Tanpaalasan yang jelas, saya menggelinding dari Indianake Kentucky. Begitu melihat Olenka melompat darijendela, saya meng-gelinding lagi ke Indiana. Dansekarang dari Indiana saya akan menggelinding keChicago, jantung negara bagian Illinois, meskipunibu kota Illinois tidak terletak di sana. Andaikatasaya tidak mendengar cerita Jane di kelab malammengenai Olenka, saya tokh akan nglurug keChicago. Saya merasa disodok ke sana, entahdengan kekuatan apa, dan oleh siapa. Cerita Janehanya mem-percepat menggelindingnya saya kesana.’ (hlm. 103)

Kutipan tersebut membuktikan bahwa ternyata kepergian Fantontidak diprovokasi oleh kata-kata Jane (si pengganti Olenka),tetapi oleh kata-kata atau suara lain. Itulah sebabnya, interaksisinkrisis antara Fanton dan Wayne di akhir bagian satu dengansinkrisis antara Fanton dan M.C. di bagian dua bukan terciptaberkat hubungan sebab-akibat, melainkan berkat hubungankontrapuntal sebagaimana biasa terjadi di dalam hukum transisimusikal. Hal demikian berarti bahwa pada tahap ini --untuksementara-- terjadi suatu perhentian nada.

Selanjutnya, setelah berkenalan dengan M.C, di subbagian2.3 (hlm. 108--111) Fanton berusaha untuk menempati posisisebagai “subjek”, tidak selalu berposisi sebagai “objek” sepertidalam hu-bungannya dengan Olenka. Oleh karena itu, Fanton

Page 93: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 77

berusaha meminang M.C. walaupun pinangan itu ditolaknya.Itulah sebabnya, di dalam diri Fanton terjadi kontradiksi sehinggaketika M.C. pulang karena ibunya mendapat musibah (subbagian2.4, hlm. 112--115), dan ketika ia sendiri hendak pulang tetapi“tercangkul” semalam di stasiun bis (terminal) Indianapolis,Fanton menyadari bahwa apa yang dikatakan Wayne tentangdirinya --walaupun dapat berbicara sebenarnya ia berjiwa bisu--ternyata memang benar (hlm. 122). Hal ini ditegaskan lagi didalam subbagian 2.6 (hlm. 124--126).

Sebagaimana dikatakan di atas bahwa bagian tiga meru-pakan episode dramatis yang dipersiapkan untuk mencapaidonouement tragis yang disajikan di akhir bagian empat. Dinya-takan demikian karena sinkrisis yang terbentuk di subbagian 3.1(hlm. 127--132) sampai dengan subbagian 3.4 (hlm. 142--145)dibangun oleh Fanton dengan dirinya sendiri. Fanton menulissurat masturbasi (di subbagian 3.1) adalah karena ia terprovokasioleh kegagalannya untuk “mempersatukan diri” baik denganOlenka maupun dengan M.C. Kegagalan ini semakin diperkuatoleh peristiwa yang menimpa M.C. di subbagian berikutnya (3.2,hlm. 133--135), di samping oleh mimpi Fanton melihat BalonTrans-Amerika terbang yang menandai “keterpisahan” Fantondengan Olenka untuk selamanya (subbagian 3.4, hlm. 142--145).Oleh sebab itu, walaupun Fanton masih dapat merasakan suatukenikmatan di tengah kebodohannya, tidak seperti MadameSosostris yang selalu melihat dunia hanya sebagai bencana (sub-bagian 3.3, hlm. 136--141), Fanton pun tetap saja berada dalamkeadaan krisis.

Hal serupa masih terjadi di sub-subbagian berikutnya(bagian empat). Di subbagian 4.1 (hlm. 146--165) Olenka hadirke hadapan Fanton tetapi hanya dalam bentuk surat. Suratpanjang yang ditulis oleh Olenka itu diteruskan lagi di subbagian4.3 (hlm. 168--170). Seperti halnya yang terdapat di subbagian3.1, yaitu lima surat masturbasi yang ditulis oleh Fanton, suratpanjang Olenka yang ditujukan kepada Fanton juga berisi

Page 94: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 78

pengakuan tentang keadaan dirinya sendiri. Melalui surat ituOlenka mengaku terus terang bahwa ia terpaksa kawin denganWayne karena ia ditinggal oleh kekasihnya yang sama-samaperempuan (Winifred) itu. Namun, karena berbagai pengakuan inihanya disampaikan melalui surat, subjek yang berperanmembentuk sinkrisis pun tidak berubah, tetapi tetap Fantondengan dirinya sendiri, bukan Fanton dengan Olenka. Sementaraitu, objeknya pun tetap mengenai “hakikat hubungan antar-manusia” yang oleh Fanton dirasakan sebagai sesuatu yangmenyengsarakan.

Barulah ketika datang surat kilat khusus (subbagian 4.5,hlm. 176--178) sehingga Fanton harus pergi ke Aliquippa(subbagian 4.6, hlm. 179--181) dan berjumpa dengan M.C. yangternyata sudah cacat akibat kecelakaan pesawat terbang(subbagian 4.7, hlm. 182--186), subjek-subjek yang membangunsinkrisis berikutnya berubah. Kalau di dalam subbagian 4.1sampai dengan 4.3 subjek yang membangun sinkrisis adalahFanton dengan dirinya sendiri, di dalam subbagian 4.7 hingga4.12 subjek yang membangun sinkrisis adalah Fanton denganM.C. Perubahan subjek yang juga berarti perubahan sinkrisis ituterjadi karena adanya modulasi dalam bentuk surat seorangpembaca (subbagian 4.2, hlm. 166--167) dan surat kilat khususdari M.C. (subbagian 4.5, hlm. 176--178). Sementara itu, hubung-an antarsinkrisis itu juga hanya tercipta secara kontrapuntalkarena tindakan M.C. menulis surat bukan karena ia diprovokasioleh tokoh lain atau situasi tertentu, melainkan diprovokasi olehpengarang. Hal ini terjadi karena sebab-sebab mengapa iamenulis surat tidak diketahui atau tidak ada motif tertentu yangmeng-hubungkannya.

Setelah berjumpa kembali dengan M.C. (subbagian 4.7,hlm. 182--186), Fanton kemudian meminang M.C. untuk keduakalinya di cottage milik M.C. dan ingin mempunyai anak darinyawalaupun M.C. sudah cacat (subbagian 4.8--4.9, hlm. 187--197).Akan tetapi, pinangan kedua ini pun ditolak oleh M.C. karena

Page 95: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 79

M.C. merasa bahwa Fanton masih berpaling ke wanita lain, disamping karena ia merasa bahwa niat Fanton hanyalah untukbalas budi. Itulah sebabnya, di dalam diri Fanton kembali terjadikontradiksi karena memang yang dikatakan oleh M.C. tentangdirinya benar. Kontradiksi di dalam diri --sehingga sinkrisis yangterbentuk pun berubah lagi, yaitu antara Fanton dengan dirinyasendiri-- itulah yang pada akhirnya membuat Fanton berke-putusan untuk meninggalkan M.C. walaupun, pada saat yangsama, M.C. justru menyatakan kesediaan untuk dipinang olehFanton (subbagian 4.11, hlm. 202--206).

Beberapa episode dramatis seperti yang dipaparkan di atasmemang dipersiapkan untuk mencapai suatu denouement tragis diakhir bagian empat (subbagian 4.12, hlm. 207--213), yaitukeadaan Fanton yang sakit, tidak normal, atau menurut istilahSartre, seorang filsuf eksistensialis, disebut nausee. Fantonmerasa bahwa hubungannya dengan dunia luar menjadi patologis.Hal ini di-sebabkan oleh baik M.C. maupun Olenka telahmembuat diri Fanton sakit jiwa sehingga ia merasa mual dan jijikterhadap dirinya sendiri. Itulah sebabnya, Fanton berkeinginanuntuk menjadi burung phoenix, terbakar dengan sendirinya,hangus menjadi abu, dan dari abu lahir kembali menjadi burungphoenix baru. Selain itu, Fanton juga berkeinginan untuk menjadiremuk dan hilang bentuk (hlm. 213). Hanya saja, karenakeinginan semacam itu hanya berhenti sebagai sebuah keinginan,jelas bahwa Fanton sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi selan-jutnya.

Demikianlah pola-pola sinkrisis dan anakrisis yang ber-operasi dan membangun komposisi Olenka. Dari seluruh paparandi atas dapat diketahui bahwa sesungguhnya suara-suara yanghadir di dalam Olenka cukup banyak, tetapi dari sekian banyaksuara itu hanya lima suara yang memiliki fungsi penting dalammembangun komposisi novel. Kelima suara itu ialah suaraFanton Drummond (narator sekaligus tokoh), Olenka, WayneDanton, M.C. (Mary Carson), dan suara pengarang. Di antara

Page 96: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 80

lima suara tersebut, hanya suara Fanton, Olenka, Wayne, danM.C. yang sama-sama dapat membentuk sinkrisis dan anakrisis.Sementara itu, suara pengarang hanya berfungsi sebagai anakrisis(provokator) yang memungkinkan terciptanya modulasi sehinggaterjadi perubahan organik atas plot.

Sebenarnya ada beberapa suara lain yang mendudukiperan penting di dalam novel ini, di antaranya suara pendetapinggir jalanan yang selalu berkhotbah mengenai etika “baik” dan“buruk” dalam pergaulan manusia. Dikatakan penting karenakhotbah si pendeta yang --walaupun kehadirannya selalu dile-cehkan banyak orang-- sering terngiang di telinga Fanton itumenjadi pemicu akan terjadinya perubahan tertentu di dalam plot.Mengenai hal ini dapat dicermati dalam kutipan berikut.

‘ Pada waktu berjalan ke apartemennya,kata-kata pendeta pinggir-jalanan melompat kembalike kuping saya. Kalau dia tahu perbuatan saya, tentudengan tegas dia akan mengatakan bahwa tempatsaya yang paling tepat adalah neraka. Akan tetapisaya ingin melihat Olenka mengenakan seribumacam pakaian bergantian. Saya ingin melihat ...

...Mungkin karena diusir dari tempat semula,

pen-deta-pinggir-jalanan berpindah praktek dekatkolam renang Jalan Sepuluh Selatan. Kolam inilahyang paling sering Olenka kunjungi bersama saya.Karena itu saya sering mendengar teriakan-teriakanpendeta-pinggir-jalanan.

Rupanya pendeta-pinggir-jalanan merasakurang puas atas usahanya. Dia mengerahkan duaorang konco untuk aplosan. Kalau jumlah hadirindan hadirat yang mentertawakan mereka terlalubanyak, mereka maju serempak. Bersama-samamereka ber-teriak-teriak sekeras mungkin tanpa lupa

Page 97: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 81

mengacung-acungkan tinju mereka. Makin banyakyang menganggap mereka seba-gai lelucon, makinkeras suara mereka, dan makin jelas jerat-jerit mere-ka dari kolam renang. Ternyata jerat-jerit merekamenelusup ke hati saya, pada waktu berpisah denganOlenka, saya memutuskan untuk tidak mene-muinyalagi.

Dalam ketiga jadwal berikutnya, saya meng-hindari Olenka.... (hlm. 43)

Dalam kutipan tersebut tampak bahwa setelah mendengarkhotbah pendeta pinggir jalanan, Fanton berusaha menghindardari Olenka karena ia merasa bahwa apa yang dilakukan bersamaOlenka selama ini merupakan sebuah dosa. Akan tetapi, karenakeinginan bebas Fanton ternyata lebih kuat daripada suarakhotbah pendeta yang didengarnya, Fanton pun akhirnya tetaptidak menghiraukan khotbah pendeta itu sehingga ia terus“menjadi binatang” bersama Olenka. Walaupun akhirnya Fantonberpisah dengan Olenka, perpisahan tersebut bukanlah karenakeinginan Fanton, melainkan karena Olenka yang mening-galkannya seperti tampak dalam kutipan berikut.

‘ Sekonyong-konyong dia menangis. Sayatidak tahu apa sebabnya dan tidak sampai hati untukmena-nyakannya. Kemudian dia mengatakan bahwahidup-nya adalah serangkaian kesengsaraan. Bukanhanya perka-winannya saja yang hancur, akan tetapijuga seluruh hidupnya. Dia menyesal mengapa diatidak mati ketika dia masih bayi, atau paling tidakketika dia masih kanak-kanak, pada waktu dia masihlebih banyak mempergunakan instinknya daripadaotak-nya. Sekarang sudah terlambat baginya matitanpa merasa takut menghadapinya. Hidupnya bukan

Page 98: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 82

hanya menunda kekalahan, akan tetapi juga kehan-curan, sebelum akhirnya dia menyerah.

Akhirnya dia bertanya apakah saya mencin-tainya.

“Ya,” jawab saya.“Apakah sampean bersedia menyenangkan

hati saya?” tanyanya.“Dengan segala senang hati,” kata saya.Inilah permintaannya, ijin untuk menggigiti

tubuh saya, kemudian menghisap darah saya.Kemudian dia akan meneliti dan menciumi tubuhsaya, inci demi inci, tanpa terlewati. Saya takutjangan-jangan saat perpisah-an sudah hampir tiba.

Memang dia menghilang tanpa meninggal-kan pesan pada waktu saya tertidur.

Di luar ada suara ramai. Saya tidak tahu apasebabnya. Kemudian saya turun.

Orang-orang masih sibuk memperbincang-kan Balon Trans-Amerika da Vinci, yang baru sajamele-wati udara Bloomington.... (hlm. 60)

Oleh karena itu, sebagai sebuah anakrisis, khotbah atau suarapendeta itu akhirnya menjadi tidak berfungsi.

Demikian suara-suara yang hadir bersama dan beriringandi dalam Olenka. Jika diamati di sepanjang perjalanan kisah,masing-masing suara memiliki frekuensi atau ritme yangberbeda-beda. Di antara suara-suara tersebut, yang memiliki ritmepaling panjang (dominan) adalah suara narator (Fanton Drum-mond). Sebagai narator suara Fanton Drummond membangunsinkrisis mulai dari bagian I sampai dengan V. Sementara itu,suara Olenka hanya membangun sinkrisis dalam bagian I dan IV,suara Wayne Danton membangun sinkrisis dalam bagian I, dansuara M. C. membangun sinkrisis dalam bagian II dan IV.

Page 99: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 83

Sesungguhnya, di dalam Olenka suara pengarang jugacukup dominan. Di dalam teks, misalnya, suara pengarangterdengar ketika ia berperan sebagai anakrisis yang mendorongterciptanya modulasi, di samping terdengar melalui bagian-bagian tertentu yang diberi tanda angka Arab. Angka Arab itulahyang “memaksa” pembaca untuk membuka bab VII (hlm. 225--232) yang berisi catatan penjelas dari pengarang. Selain itu, suarapengarang juga dapat didengar di luar teks, misalnya melaluiketerangan yang dicantumkan di bawah gambar, iklan, atau beritayang diambil dari koran dan majalah (hlm. 25, 41, 43, 58, 63,125, 151, 190, dan 209). Hanya saja, suara pengarang yangdisebutkan terakhir ini tidak berfungsi membangun sinkrisis atauanakrisis, tetapi hanya sebagai keterangan yang berisi hal-halyang tidak diketahui oleh pembaca, bahkan tidak diketahui olehtokoh-tokoh itu sendiri. Oleh karena itu, suara tersebut tidakdapat dikate-gorikan sebagai suatu elemen tertentu yang turutmenentukan perubahan atau perkembangan plot.

3.2 Tokoh dan Posisi PengarangTokoh-tokoh dalam novel polifonik bukanlah merupakan

objek perkataan pengarang, melainkan merupakan subjek bagidirinya sendiri (Bakhtin, 1973:4). Dalam hal ini, kesadaranpengarang menjadi kesadaran lain (asing) yang berdiri sendiri,tetapi pada saat yang sama kesadaran itu tidak terobjektivikasi,tidak tertutup, dan tidak menjadi objek kesadarannya sendiri.Oleh karena itu, para tokoh bebas bersuara, dalam arti bahwamereka mampu berdiri di samping, mampu tidak sependapat, danmampu memberontak si pengarang (Bakhtin, 1973:4). Ataudengan kata lain, para tokoh memiliki kebebasan penuh dalambertutur yang seakan-akan mereka hadir di sepanjang tuturanpengarang dan dengan cara yang unik mereka juga bergabungdengan tokoh-tokoh lain (Bakhtin, 1973:4--5).

Bakhtin (1973:38) menjelaskan pula bahwa di dalamnovel polifonik tokoh bukan merupakan perwujudan realitas yang

Page 100: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 84

memiliki ciri sosial yang tetap, ciri-ciri individual yang khusus,bukan pula merupakan figur tertentu yang dibentuk oleh ciri-ciriobjektif sebagai jawaban atas pertanyaan “siapakah dia”,melainkan merupakan sudut pandang tertentu dalam hubungan-nya dengan dunia dan dengan tokoh itu sendiri. Atau, tokohadalah suatu penilaian yang diberikan orang dalam hubungannyadengan diri dan realitas di sekitarnya. Jadi, hal penting yang perludilihat bukan cara yang digunakan tokoh untuk menampakkandiri pada dunia, melainkan bagaimana dunia tampak bagi tokohdan bagaimana tokoh tampak bagi dirinya sendiri (Bakhtin,1973:38). Oleh sebab itu, yang harus dikarakterisasi bukanlahlingkungan tokoh yang khusus atau pelukisan yang tetap, tetapiseluruh kesadarannya.

Hal demikian mengindikasikan bahwa unsur atau elemenyang membentuk pelukisan tokoh bukanlah fakta-fakta empirik(diri dan lingkungannya), melainkan signifikansi fakta-fakta itubagi tokoh untuk kesadarannya sendiri. Itulah sebabnya, semuahal yang bersifat objektif (posisi sosial, kebiasaan, keyakinan,penampilan fisik, dan sebagainya) yang biasa digunakan penga-rang untuk melukiskan “siapakah dia” menjadi objek refleksi diritokoh sendiri, menjadi subjek kesadarannya sendiri (Bakhtin,1973:38-39). Jadi, walaupun kesadaran diri tokoh menjadi subjekvisi dan representasi pengarang, dalam hal ini pengarang tidakmempertahankan visi dirinya sendiri secara eksklusif, tetapimemperkenalkan semua itu ke visi tokoh, ke kesadaran diri tokoh(Bakhtin, 1973:39).

Selain itu, bukan hanya realitas diri tokoh yang dibawamasuk ke dalam proses kesadaran diri dan ditransfer dari visipengarang ke visi tokoh, melainkan juga dunia eksternal dancara-cara hidup di sekitarnya. Dalam hal ini pengarang tidak lagiberada di luar bidang yang sama sebagaimana tokoh, tidak pulaberada di samping atau di luar dirinya dalam suatu dunia yangtidak menyatu dalam diri pengarang. Oleh karena itu, pengarangtidak dapat menjadi faktor kausal (genetis) yang menentukan

Page 101: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 85

tokoh. Kesadaran lain dapat berdiri setara pada bidang yang samadengan seluruh kesadaran tokoh; demikian juga sudut pandanglain dapat berdiri setara dengan sudut pandangnya. Hanya duniaobjektif (dunia kesadaran setara yang lain) yang dapat diposisikansecara berlawanan oleh pengarang menjadi seluruh kesadarantokoh (Bakhtin, 1973:40).

Tokoh dalam novel polifonik tahu segala hal tentangdirinya sendiri (Bakhtin, 1973:42). Dikatakan demikian karenatokoh berpikir banyak tentang apa yang dipikirkan orang laintentang dirinya, sementara pikiran, kesadaran, dan sudut pandangorang lain tentang dirinya tetap dijaga dan diakui di dalampikirannya sendiri. Namun, di samping dijaga dan diakui, pikiran,kesadaran, dan sudut pandang orang lain tentang dirinya jugadiinterupsi dan disangkal dengan catatan-catatan dari orang lain.Jadi, dalam hal ini, tokoh mendengarkan setiap tuturan tentangdirinya oleh orang lain, dia melihat segala sesuatunya melaluikesadaran orang lain, dan dia mempertimbangkan semua itu darisudut pandang orang lain (Bakhtin, 1973:43).

Dalam novel polifonik, posisi pengarang dan tokoh beradadalam hubungan dialogis, dan hubungan itu memperkuat kebe-basan dan independensi tokoh. Bagi pengarang, tokoh bukanlah“dia” atau “aku”, melainkan “kau”, yaitu “aku” lain yang setaradengannya (Bakhtin, 1973:51). Selain itu, tokoh bukan menjadiobjek dunia pengarang yang bisu, dunia yang tidak bersuara,melainkan menjadi pembawa ungkapan yang sarat nilai. Intensipengarang tentang diri tokoh merupakan intensi yangmenyangkut ungkapan (kata) tentang ungkapan (kata). Ungkapanitu diorientasikan pada tokoh seakan sebagai sebuah ungkapansehingga terarah secara dialogis kepada tokoh (Bakhtin, 1973:52). Di samping itu, masing-masing memiliki tatanan dan logikayang inheren tetapi tidak (sepenuhnya) tunduk pada kemauannya(sendiri). Oleh karena itu, kebebasan tokoh menjadi sebuah aspekintensi pengarang. Namun, ungkapan tokoh yang diciptakan olehpengarang disusun sedemikian rupa sehingga bebas mengem-

Page 102: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 86

bangkan logikanya sendiri dan bebas pula sebagai ungkapanpribadi lain, sebagai suatu ungkapan pribadi tokoh sendiri(Bakhtin, 1973:53).

Dalam novel polifonik kesadaran pengarang selalumuncul dan aktif. Namun, kesadaran itu tidak menggeser kesa-daran lain, tetapi dekat dan menyatu dengan kesadaran lain yangtidak terbatas dan tidak terakhiri (Bakhtin, 1973:55). Kesadaranlain tidak dapat dianalisis atau ditentukan seperti objek-objek,tetapi dihubungkan secara dialogis: memikirkan orang lain berartimengkonversi diri dengan mereka. Oleh sebab itu, aktivitas yangbesar dan intens sangat diperlukan pengarang. Pengarang tidakperlu menyatakan kembali diri dan kesadarannya sendiri, tetapiharus memperluas, memperdalam, dan menyusun kembali kesa-darannya sehingga dapat masuk ke kesadaran orang lain.Aktivitas kepengarangan, yang mengintensifkan pikiran oranglain, hanya mungkin atas dasar hubungan dialogis dengankesadaran dan sudut pandang orang lain (Bakhtin, 1973:56).

Tokoh-tokoh dan dunianya dalam novel polifonik jugatidak menutup diri (self-enclosed) satu sama lain, tetapi denganberbagai cara saling berpotongan, saling berhubungan, salingbertukar ke-benaran, saling berdebat, bersepakat, berdialog,bahkan saling mem-bahas masalah secara bersama-sama(Bakhtin, 1973:59). Akan tetapi, di antara mereka tidak salingmensu-bordinasi, yang satu tidak merasa lebih superior daripadayang lain, tetapi berada dalam posisi ekualitas (setara), sehinggakebenaran-kebenaran yang muncul saling berkonfrontasi secaradialogis membentuk sebuah dialog besar yang disusun olehpengarang; sementara pengarang sendiri turut serta di dalamnya.Dengan demikian, setiap kata akan ber-suara ganda: tidak hanyasuara pengarang yang didengar, tetapi juga suara-suara (tokoh)lain. Sebuah konflik pendapat (mikrodialog) dapat didengardalam setiap ungkapan sehingga setiap ungkapan merupakangema dari sebuah dialog besar (great dialog) (Bakhtin, 1973:59).

Page 103: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 87

Demikian selintas konsep tentang tokoh dan posisi penga-rang dalam novel polifonik. Selanjutnya, bagaimanakah hubung-an tokoh satu dengan tokoh lain di dalam Olenka? Apakah diantara mereka terjadi hubungan dialogis ataukah monologis?Bagaimana pula hubungan tokoh-tokoh itu dengan pengarang?Apakah tokoh-tokoh hanya menjadi corong suara pengarang ataumampu berdiri setara sehingga terjadi hubungan dialogis?Jawaban terhadap beberapa pertanyaan tersebut dipaparkan dalampembahasan berikut.

3.2.1 Dialog AntartokohSetidaknya terdapat empat tokoh yang signifikan di dalam

teks Olenka. Dari empat tokoh tersebut dapat dilihat adanyaempat hubungan, yakni hubungan antara Fanton Drummond danOlenka, Fanton Drummond dan Wayne Danton, Olenka danWayne Danton, dan Fanton Drummond dan M.C. (Mary Carson).Di samping itu, dari mereka pada hakikatnya juga dapat dilihatadanya empat dunia atau kehidupan yang digambarkan, yaitukehidupan Fanton, kehidupan Olenka, kehidupan Wayne, dankehidupan M.C. Masing-masing kehidupan itu tidak lainmerupakan suatu rangkuman, gambaran, atau sudut pandangtertentu yang di dalam novel ini digunakan untuk memahami danatau menilai seluruh kehidupan manusia.

Di samping empat kehidupan seperti yang telah dise-butkan, di dalam Olenka sebenarnya masih ada kehidupan lainyang muncul, di antaranya kehidupan tiga anak jembel dankehidupan pendeta pinggir-jalanan. Akan tetapi, di dalam novelini dua kehidupan tersebut hanya hadir sebagai suatu kehidupanyang self-enclosed, kehidupan yang bisu, dalam arti bahwakehadirannya hanya diikat oleh suatu kepentingan pragmatis bagikesatuan struktur dan pengembangan plot. Dinyatakan demikiankarena hubungan antara dua kehidupan tersebut dengankehidupan-kehidupan lainnya tidak ditentukan oleh ikatan yangberasal dari dalam (inner bond), tetapi hanya ditentukan oleh

Page 104: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 88

ikatan dari luar. Dapat terjadi demikian karena di antara merekatidak terdapat suatu ikatan yang menghubungkan kesadaran.

Benar bahwa dunia dan kehidupan tiga anak jembel dapatmasuk ke dalam kesadaran Fanton --juga ke dalam kesadaranOlenka-- ketika keduanya (Fanton dan Olenka) mengetahuibahwa kejembelan dan keliaran mereka tidak lain akibat orangtua mereka yang tidak bertanggung jawab (subbagian 1.1, hlm.11--12). Akan tetapi, hal demikian hanya terjadi sepihak, karenadunia atau kehidupan Fanton dan Olenka sama sekali tidak masukke dalam kesadaran tiga anak jembel. Hal serupa terjadi padahubungan antara Fanton dan pendeta pinggir-jalanan. Suarapendeta yang suka berkhotbah tentang moral dan etika di pinggir-pinggir jalan itu sering terngiang dan masuk ke dalam kesadaranFanton (subbagian 1.7--1.11, hlm. 35--54), tetapi, sebaliknya,dunia dan kehidupan Fanton sama sekali tidak masuk ke dalamkesadaran si pendeta.

Kenyataan itulah yang menyebabkan dunia dan kehidupanFanton (dan Olenka) dan tiga anak jembel, juga kehidupanFanton dan pendeta pinggir-jalanan, hanya hadir secaraberdampingan dalam sebuah dunia yang menyatu (tunggal) danterobjek-tivikasikan (objectified), dan kontak di antara merekapun hanya terjadi secara eksternal, yaitu di dalam kesadaranpengarang. Atau, karakter dan dunia mereka (tiga anak jembeldan pendeta) yang self-enclosed tersebut hanya dapatterhubungkan, tersatukan, tersejajarkan, dan terinterpretasikan didalam kesadaran pengarang. Karena di dalam novel ini kehadirankehidupan tiga anak jembel dan kehidupan pendeta pinggir-jalanan hanya memiliki ikatan eksternal, yaitu di dalam kesadaranpengarang, tidak dapat dielakkan bahwa dalam pembahasandialog atau hubungan antartokoh ini keduanya “terpaksa” dike-sampingkan. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwakeduanya akan lebih relevan apabila dibicarakan dalam hubung-annya dengan posisi pengarang (lihat subbab 3.2.2).

Page 105: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 89

Sebagaimana dikatakan di atas bahwa di dalam Olenkaterdapat empat tokoh yang signifikan. Akan tetapi, dari empattokoh tersebut juga hanya dapat dilihat adanya empat hubungan,yaitu hubungan antara Fanton dan Olenka, Fanton dan Wayne,Fanton dan M.C., dan antara Wayne dan Olenka. Sementara itu,antara Olenka dan M.C. tidak ada hubungan sama sekali,demikian juga antara Wayne dan M.C.

Benar bahwa Olenka hampir saja masuk ke dalamkesadaran M.C., yaitu ketika M.C. meminta agar Fanton meng-akui siapakah sebenarnya perempuan yang ada di hati Fantonpada saat Fanton mendesak M.C. untuk menerima pinangannyaseperti tampak dalam kutipan berikut.

‘ Ketika akan saya angkat, dia menolak.Dengan sikap sombong dia melandrat saya,menuduh saya mem-perlakukannya sebagai gundikdalam hati saya. Dia menitahkan saya untuk meng-aku, siapakah gerangan perempuan yang sebetulnyamenjadi istri saya dalam hati saya.

Saya mengatakan “tidak ada.” Kemudiansaya mendesak dia terus untuk menerima tawaransaya menjadi istri saya.

Dia menjawab, “Setelah saya mengetahuisiapa dia, berbicara dengannya, dan mengetahuisikapnya ter-hadap sampean, baru saya bersediamemper-timbangkan tawaran sampean.’ (hlm. 203)

Akan tetapi, karena Fanton sendiri tidak pernah mengaku dantidak pernah memberitahukan kepada M.C tentang keberadaanOlenka di dalam hatinya, akhirnya dunia dan kehidupan Olenkapun sama sekali tidak masuk ke dalam kesadaran M.C. Halserupa terjadi sebaliknya, kehidupan M.C. juga tidak masuk kedalam kesadaran Olenka. Oleh karena itu, dunia dan kehidupanmereka bersifat tertutup (self-enclosed) sehingga mereka tidak

Page 106: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 90

saling menyapa, tidak saling mencurigai, apalagi saling menja-wab atau memahami berba-gai kemungkinan “kebenaran” yangada di antara mereka. Bahkan, dunia dan kehidupan mereka jugahanya disatukan, disejajarkan, atau diinterpretasikan dalamkesadaran Fanton, bukan langsung di dalam kesadaran penga-rang.

Hal tersebut berbeda apabila dibandingkan denganhubungan antara kehidupan Fanton, Olenka, dan Wayne. Tampakjelas bahwa ketiga bidang kehidupan tokoh-tokoh tersebut salingtercermin dan saling terikat oleh sarana hubungan yang dialogis.Dikatakan demikian karena kenyataan memperlihatkan bahwadunia atau kehidupan Fanton diperkenalkan ke dalam kesadaranOlenka, demikian juga dunia dan kehidupan Olenka diperke-nalkan ke dalam kesadaran Fanton. Dunia dan kehidupan Waynepun diperkenalkan ke dalam kesadaran Fanton, juga ke dalamkesadaran Olenka, dan sebaliknya, baik dunia dan kehidupanFanton maupun Olenka juga diperkenalkan dan masuk ke dalamkesadaran Wayne.

Kenyataan itulah yang menyebabkan masing-masingtokoh saling bertatap muka (face to face), saling berkonfrontasi,dan kontak di antara mereka tidak hanya ditentukan oleh ikatanpragmatis demi kesatuan struktur dan pengembangan plot, tetapijuga oleh ikatan yang berasal dari dalam (inner bond), yaituikatan kesadaran. Oleh karena itu, mereka saling mengetahui satusama lain, bahkan saling bertukar kebenaran, saling berdebat danbersepakat, dan saling memberikan weltanschaung untuk dibahassecara bersama-sama, yang semua itu untuk mendukung sebuah“dialog besar” yang ditampilkan --atau diciptakan oleh penga-rang-- di dalam novel.

Sebagai contoh, kutipan berikut menunjukkan bahwasiapa pun yang hidup di dunia ini, termasuk Fanton, Olenka, danWayne, dapat mengalami dan merasakan hal yang sama,misalnya tentang kesulitan, kelemahan, dan atau kesengsaraandalam berhubungan dengan orang (manusia) lain.

Page 107: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 91

‘ Selanjutnya dia bercerita bahwa Waynememang bodoh. Akan tetapi dia juga mengakuibahwa Wayne mempunyai persepsi yang tinggi.

“Dia adalah korban pertentangan antaraintuisi dan logika, Fanton. Karena itu dia selalubingung, takut, dan merasa rendah diri, Drummond.”

Dia mengaku bahwa dia mencintai Waynekarena Wayne primitif. Sekaligus dia membenci danmenghina-nya karena Wayne dungu. “Adalah sudahselayaknya Wayne sering menabrak-nabrak kesu-litan,” katanya.

Dia sendiri juga tidak lepas dari kelemahan-kelemahan. “Saya sering menemui kesengsaraankarena saya tidak tahu arah tindakan saya,” katanya....’ (hlm. 33)

Dalam kutipan tersebut terlihat jelas bahwa Olenka mengetahuipersis kebodohan Wayne. Wayne merupakan korban perten-tangan antara intuisi dan logika sehingga di dalam hidupnyaselalu merasa rendah diri dan menabrak-nabrak kesulitan. Kesu-litan itulah yang, antara lain, menyebabkan Wayne gagal menjadiseorang pengarang yang benar-benar pengarang, termasuk gagalmembina rumah tangga atau hubungan keluarga yang baikdengan Olenka. Akan tetapi, bagaimanapun juga, Olenka tetapmencintai Wayne--karena ia memang suaminya--dengan alasanbahwa Olenka sendiri juga tidak terlepas dari kesulitan,kelemahan, dan kesengsaraan sebagaimana dialami oleh WayneDanton. Sementara itu, apa yang dialami dan dirasakan olehOlenka juga sama dengan apa yang dialami dan dirasakan olehFanton Drummond selama (ketika) ia menjalin hubungan denganOlenka (istri Wayne).

Pengalaman dan perasaan yang sama itulah yang kemu-dian menjadikan mereka sadar sehingga mereka beranggapan

Page 108: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 92

bahwa setiap orang wajib memahami kesulitan satu sama lain.Berkat kesadaran itu pula kemudian mereka bersepakat untukmengatakan bahwa di dunia fana ini ternyata manusia itu sangatterbatas. Kesepakatan itu diambil berdasarkan suatu kenyataanbahwa di luar diri mereka masih ada “kekuatan lain” yang lebihunggul, lebih murni, walaupun mereka sendiri tidak tahu pasti dimanakah letak kekuatan lain tersebut.

Menurut mereka, manusia itu selalu berada di antara duapilihan yang sulit. Dikatakan demikian karena mereka sadarbahwa manusia itu selalu berada di antara “nasib” dan “kemauanbebas” sebagaimana dikutip dari buku The New England Mind:the 17th Century karya Perry Miller (hlm. 35) seperti berikut.

“... Menurut mereka, baik “nasib” maupun“kemauan bebas” diberikan oleh Tuhan kepadamanusia. Apa yang membedakan keduanya samasekali tidak jelas. Seseorang yang karena “kemauanbebas”-nya menjadi brandal dan imoral, mungkinmemang mempunyai “nasib” untuk menjadidemikian. Sebagai akibat buruknya, sementara orangyang merasa dirinya baik menganggap diberi“nasib” oleh Tuhan untuk mem-bimbing merekayang “tidak mempunyai nasib untuk membimbing.”Lama-kelamaan mereka bersimaha-rajalela terhadaporang-orang yang menurut ang-gapan mereka tidakbaik, dan harus mereka kemba-likan ke jalan yangbenar.”

(hlm. 35--36)

Kenyataan itu pula yang antara lain mempengaruhi FantonDrummond dan Olenka sehingga mereka mengambil suatukeputusan bahwa “suatu saat kita mesti harus berpisah” walau-

Page 109: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 93

pun mereka ragu apakah “jalan perpisahan” itu merupakansesuatu yang diinginkannya.

Mereka sadar pula bahwa “kesatuan jasmani dan rokhani”atau “kesatuan dunia dan akhirat” sebagaimana dikutip dari sajakJohn Donne tentang “Kutu” dan “Burung Phoenix” (subbagian1.11, hlm. 49--54) itu sangat penting, tetapi karena ada “kekuatanlain” yang mengharuskan mereka untuk berpisah, akhirnyamereka pun tidak dapat mengelak untuk berpisah. Oleh karenaitu, ketika Fanton Drummond berusaha terus “mengejar” Olenka--dan tindakan demikian dibenarkan karena di sisi tertentu FantonDrummond memiliki “kemauan bebas”--, hasil yang diperolehFanton Drummond bukanlah suatu keadaan “bersatu” denganOlenka, melainkan justru keadaan sakit jiwa (nausea).

Sementara itu, di dalam kesadaran Fanton Drummond,keberadaan M.C. tidak berbeda dengan keberadaan Olenka.Artinya, kesadaran kedua wanita tersebut sama-sama dipergu-nakan oleh Fanton sebagai “cermin” untuk melihat eksistensidirinya sendiri. Namun, hal yang sama juga terjadi sebaliknya.Seperti halnya Olenka, M.C. juga melihat dirinya sendiri melaluikesadaran dan keberadaan Fanton. Berikut ini kutipan yangmenggambarkan keadaan M.C. melalui mulut (suara) Fanton.

“ Dia mengaku bahwa dia sudah mundurbeberapa langkah. Mula-mula dia berusaha menipudirinya sendiri bahwa dia mencintai saya. Sekarangdia sudah mau terang-terangan kepada dirinyasendiri bahwa dia mencintai saya. Tapi dia jugasakit, karena dia merasa bahwa saya menipunya.

Tiba-tiba saya menderita nausea terhadapdia. Baginya seolah-olah hanya ada satu garis lurus,dan dia maju dan mundur di atas garis ini. Semuasudah jelas baginya. Dia tidak mengenal lingkaranantara telur dan ayam. Andaikata dia tidak tahuapakah dia mencintai saya atau tidak, apakah saya

Page 110: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 94

menipu dia atau tidak, apakah tindakannya menciumsaya didorong oleh cintanya, ataukah rasa kasihan-nya kepada saya, saya lebih menghargainya.

Saya percaya bahwa dalam dirinya telahterjadi pertempuran hebat mengenai saya. Tapi baiksumber pertempuran maupun caranya bertempursendiri adalah daif. Baik dalam dirinya, maupundalam pandangannya terhadap saya, sama sekalitidak ada misteri. Dia sudah tahu bahwa diamencintai saya, kemudian dia berusaha menipudirinya sendiri. Akhirnya dia mengaku bahwa diamencintai saya. Dia juga sudah tahu bahwa hati sayamenyimpan seseorang, dan memaksa saya untukmengaku apa yang sudah diketahuinya. Dengandemikian, dia akan menilai segala sesuatu berdasar-kan apa yang sudah diketahuinya. Dia akan seringberpura-pura, seperti halnya berpura-pura tidakmencintai saya. Kesi-bukannya bukanlah memper-tanyakan mengapa dia mempunyai prinsip, tetapimempertanyakan apakah prinsipnya benar. Sayatidak senang.”

(hlm. 203--204)

Dalam kutipan tersebut tergambar bahwa M.C. memahamiperasaan dan keadaan Fanton Drummond. Karena di dalam hatiFanton tersimpan seseorang, yang tidak lain adalah Olenka yangtidak pernah diceritakan oleh Fanton kepada M.C., M.C. puntetap menjaga dan menghargai laki-laki yang menipunya ituwalaupun M.C. sendiri sebenarnya mencintainya. Itulah sebab-nya, dalam keadaan terus bertanya apakah prinsipnya benar, M.C.merelakan Fanton pergi meninggalkannya (hlm. 206). Jadi, dalamhal ini, ketika ditinggalkan oleh Fanton, perasaan atau keadaanM.C. tidak berbeda dengan perasaan dan keadaan Fanton ketika

Page 111: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 95

ia ditinggalkan oleh Olenka. Oleh sebab itu, sampai pada akhircerita, baik Olenka maupun M.C. sama-sama membuat Fantonterhinggapi nausea (hlm. 213).

Kenyataan demikian menunjukkan bahwa pada hakikat-nya masing-masing tokoh--dalam hubungan antara Fanton,Olenka, dan Wayne, juga antara Fanton dan M.C.--memiliki“kebenaran” tertentu dan “kebenaran” tersebut dipahami satusama lain. Atau dengan kata lain, dengan berbagai cara “kebe-naran” tokoh satu terikat oleh sarana hubungan yang dialogisdengan “kebenaran” tokoh lain. Hanya saja, karena dunia dankehidupan tokoh-tokoh di dalam Olenka semuanya hanyadigambarkan oleh satu mulut, yaitu mulut narator (FantonDrummond) dengan cara monolog dramatik,25 jelas bahwa semua“kebenaran” tersebut juga hanya dapat dipahami sesuai denganapa yang dipahami oleh narator.

Berdasarkan kenyataan tersebut kemudian muncul sebuahpertanyaan mendasar yang perlu dijawab. Apakah berbagaikebenaran yang diungkapkan oleh para tokoh melalui monologdramatik narator tersebut dapat hadir secara eksis sebagai sebuahkebenaran yang berdiri setara dengan kebenaran-kebenaran lain,termasuk kebenaran pengarang? Ataukah semua kebenaran itu

25 Berdasarkan pengamatan seksama dapat dikatakan bahwa sesung-guhnya tokoh-tokoh seperti Olenka, Wayne, dan M. C. tidak pernah hadir kehadapan pembaca. Yang dihadapi pembaca hanyalah seorang narator (Fanton)yang sedang bercerita atau mendongeng (kepada pembaca atau kepada dirinyasendiri) tentang perjalanan hidupnya bersama Olenka, Wayne, M.C., dan lain-lain. Oleh karena itu, pembaca hanya menjadi pendengar, dan pengetahuanpembaca tentang tokoh-tokoh lain itu terbatas pada apa yang diceritakan olehnarator. Itulah sebabnya, novel ini dikatakan sebagai sebuah monolog dra-matik. Namun, justru berkat monolog dramatik itulah, novel ini cocok sebagaisebuah renungan atau mikrodialog; dan di dalam renungan itu dimungkinkanberbagai suara hadir bersama secara kontrapuntal (beriringan) sehingga setiapkata atau ungkapan seakan mengandung suara ganda (polifoni). Dan, menurutBakhtin (1973:58), suara yang hadir bersama secara kontrapuntal itulah yang --antara lain-- menandai kepolifonikan sebuah novel.

Page 112: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 96

justru “dibunuh” oleh pengarang sehingga yang ada hanya tinggalkebenaran pengarang? Pertanyaan demikian ini tentu baru dapatdijawab setelah diketahui bagaimana posisi pengarang.

3.2.2 Posisi PengarangSebagaimana diungkapkan di dalam subbab 3.1.2.2 bahwa

di dalam novel Olenka suara pengarang dapat didengar baik didalam maupun di luar teks. Di dalam teks, suara pengarangterdengar ketika menjadi anakrisis yang mendorong terciptanyamodulasi, di samping terdengar pula melalui bagian-bagiantertentu yang mengharuskan pembaca membuka bagian catatan(bagian VII, hlm. 225--232). Sementara itu, di luar teks, suarapengarang dapat didengar dan diidentifikasi melalui beberapaketerangan yang ditulis di bawah gambar, berita, atau iklan yangdiambil dari koran dan majalah yang ditampilkan di halaman 25,41, 43, 58, 63, 125, 151, 190, dan 209. Berdasarkan kenyataan inidapat dikatakan bahwa di dalam Olenka pengarang mendudukiposisi ganda. Di saat tertentu pengarang berada di dalam danberhubungan dengan tokoh-tokoh, tetapi di saat lain ia berdiri diluar dan bersama-sama dengan pembaca menyaksikan tokoh-tokoh. Ketika berada di dalam dan berhubungan dengan tokoh,pengarang kadang-kadang menjaga jarak dengan tokoh, tetapikadang-kadang juga menyatu dengan tokoh.

Dalam hubungannya dengan kehadiran tiga anak jembel,misalnya, pengarang tidak menjaga jarak, tidak memperluassudut pandangnya, dan tidak mengkonversikan diri ke dalamnya,tetapi menyatu dengannya. Oleh sebab itu, tokoh-tokoh tidakdapat memecahkan kerangka yang telah mantap yang diciptakanoleh pengarang melalui kehadiran tiga anak jembel tersebut. Padaawal kisah (subbagian 1.1), oleh pengarang dunia tiga anakjembel diperkenalkan seperti berikut.

“Pertemuan saya dengan seseorang, yangkemudian saya ketahui bernama Olenka, terjadi

Page 113: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 97

secara kebetulan ketika pada suatu hari saya naik liftke tingkat limabelas. Dia juga berada di lift bersamatiga anak jembel, masing-masing berumur kuranglebih enam, lima, dan empat tahun. Dan sepintaslalu, kecuali kekumalan pakaian dan kekotorantubuhnya, mereka nampak seperti Olenka, masing-masing mempunyai hidung yang seolah-olah dapatdicopot, mata biru laut, dan wajah lancap.”

(hlm. 11)

Dalam kutipan tersebut terlihat bahwa secara kebetulan (ndilalah)“saya” (Fanton Drummond) bertemu dengan Olenka dan secarakebetulan pula wajah Olenka mirip dengan wajah ketiga anakjembel. Dari peristiwa tersebut sebenarnya diharapkan akanmuncul gambaran tiga dunia atau kehidupan sekaligus--yaitudunia Fanton, dunia Olenka, dan dunia tiga anak jembel--yangsaling menyapa satu sama lain. Akan tetapi, kenyataan menun-jukkan bahwa di dalam kisah-kisah selanjutnya yang ditemukanhanya dunia Fanton dan Olenka, sedangkan dunia tiga anakjembel sama sekali tidak tergambarkan. Sampai dengan kisah disubbagian 1.12 (hlm. 61--66), dunia dan kehidupan tiga anakjembel masih terus disebut-sebut, tetapi gambaran tentang “siapamereka sebenarnya dan mengapa kemiripannya memicu FantonDrummond sehingga ia terprovokasi secara terus-menerus olehOlenka” tetap tersembunyi.

Hal demikian membuktikan bahwa dunia tiga anak jembeladalah dunia murni milik pengarang yang di dalam novel inidigunakan untuk menentukan perjalanan hidup tokoh (FantonDrummond dan Olenka). Dengan adanya tiga anak jembel,Fanton Drummond “diharuskan” bertemu dengan Olenka, bahkanjuga dengan Wayne dan Steven, dan keharusan tersebut tidak lainadalah kehendak pengarang. Hal demikian berarti bahwa penga-rang mengobjektivikasi dunia dan kehidupan tokoh-tokoh,sehingga, akibatnya tokoh-tokoh tidak mampu merespon dunia

Page 114: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 98

atau sudut pandang pengarang. Itulah sebabnya, dunia yangtergambar di dalamnya adalah dunia monologis, bukan duniadialogis. Dalam dunia semacam itu tokoh-tokoh tidak diberi hakuntuk menolak dan menyangkal apa pun karena semuanya telah“ditentukan, diberangus” oleh pengarang.

Hal serupa tampak pada gambaran tentang pendetapinggir jalanan yang sering berkhotbah mengenai moral dan etika(religius). Gambaran tentang pendeta tersebut oleh pengarangdiperkenalkan secara tiba-tiba (di subbagian 1.4) ketika Fantonhendak bertemu dengan Olenka untuk kedua kalinya.

“Kadang-kadang di pinggir hutan sayamendengarkan sepintas-lalu pendeta pinggir-jalananberkhotbah. Dia tidak mempergunakan pengerassuara, akan tetapi bernafsu benar untuk menguman-dangkan khotbahnya. Maka melengkinglah suara-nya, bagaikan orang marah menuduh, membentak-bentak, dan menjerit-jerit. Dan memang beberapaanak muda merasa dimarahi. Mereka ganti marah.Ada juga yang menggoda pendeta ini, dan parahadirin dan hadirat tertawa terbahak-bahak. Sebagai-mana halnya seba-gian pendengar, saya menganggapkhotbah pendeta ini sebagai lelucon. Meskipundemikian akhirnya ada juga yang mengesan. “Ja-nganlah menginginkan apa pun yang bukan milik-mu!” serunya. Padahal saya ingin merampokOlenka.”

(hlm. 27)

Dalam kutipan tersebut terlihat bahwa kata-kata pendeta yangberbunyi “Janganlah menginginkan apa pun yang bukanmilikmu!” yang mengesan di hati Fanton sebenarnya merupakansebuah peringatan (dari pengarang) yang ditujukan kepada

Page 115: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 99

Fanton Drummond. Peringatan inilah yang menentukan tindakanFanton selanjutnya dan sekaligus menyadarkan bahwa apa yangdiperbuat oleh Fanton Drummond bersama Olenka adalah suatudosa. Jadi, dengan adanya suara pendeta--yang dalam hal inidapat ditafsirkan mewakili “lembaga formal keagamaantertentu”--, Fanton “diharuskan” untuk berpisah dari Olenka(subbagian 1.12, hlm. 55--60). Hal tersebut berarti bahwa per-jalanan hidup Fanton Drummond telah diatur atau diobjektivikasioleh pengarang dengan menggunakan seperangkat “aturan ataudogma-dogma agama”.

Kendati demikian, dalam kasus ini, di balik kenyataantersebut tercermin adanya kehendak lain, yaitu di satu sisi,pengarang ingin menunjukkan bahwa “aturan atau dogma agama”perlu dijunjung tinggi, tetapi di sisi lain, “kebebasan” sebagai haksetiap orang juga harus dihargai. Kehendak demikian yangmenyebabkan munculnya jarak tertentu antara pengarang dantokoh-tokoh. Di satu pihak, pengarang ingin memaksakankehendaknya dengan menggunakan seperangkat norma agamakepada tokoh, tetapi di lain pihak, tokoh dapat menyangkal yangdi antaranya terwujud dalam perilaku tokoh (Fanton Drummond)yang menganggap pendeta tersebut sebagai lelucon. Karenaterjadi pertentangan inilah akhirnya Fanton “menderita nausea”sebagai kristalisasi dari dua hal (oposisi antara keteraturan dankebebasan) yang tidak pernah dapat disatukan. Itulah sebabnya,seperti tersurat dalam esai “Asal-Usul Olenka,” pengarang jugamengaku--seperti halnya pengakuan Fanton Drummond--bahwamanusia memang bukanlah makhluk yang enak (hlm. 224).

Hal serupa tampak pula pada sikap, perilaku, dan ataupengetahuan Fanton Drummond yang luar biasa. Di sisi tertentupengarang tidak membuka jarak sehingga Fanton identik denganpengarang. Bahkan ada kecenderungan bahwa pengarangmengobjektivikasi sikap dan perilaku Fanton Drummond. Haldemikian, misalnya, terlihat pada peristiwa berikut. Fantonbukanlah tipe orang (manusia) Indonesia, melainkan tipe orang

Page 116: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 100

Bloomington, Indiana, Amerika Serikat, dan ia bukan pulapemeluk Islam (hlm. 143). Akan tetapi, ia digambarkan sangatakrab dengan ayat-ayat suci Alquran, bahkan juga akrab dengansajak-sajak Chairil Anwar, salah seorang penyair terkemukaIndonesia. Kutipan di bawah ini menunjukkan hal tersebut.

“Sudah sering saya berlutut, menengadah kelangit, merundukkan kepala saya, dan menempelkankening saya ke tanah, akan tetapi saya tetap mera-sakan adanya kekurangan. Saya tahu, seperti yangpernah saya lihat sepintas lalu dalam Kitab Suci AlQur’an, bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan penuhatas segalanya. Siapa yang akan dimaafkannya, dansiapa pula yang akan dihukumnya, adalah tergan-tung pada Tuhan sendiri. Akan tetapi saya juga tahu,bahwa “apakah engkau menunjukkan atau menyem-bunyikan apa yang ada dalam pikiranmu, Tuhanakan memintamu untuk mempertanggungjawab-kannya.”53 Dan saya harus mempertanggungjawab-kannya. Maka, dalam usaha saya untuk menjadipemeluk teguh, saya menggumam, “Tuhanku, dalamtermangu, aku ingin menyebut nama-Mu.”54

(hlm. 215)

Angka lima puluh tiga (53) dalam kutipan tersebut merujuk padacatatan bahwa ungkapan itu dikutip oleh pengarang dari KitabSuci Alquran, Surat Al-Baqarah ayat 284, dan angka lima puluhempat (54) merujuk pada catatan bahwa kalimat terakhir itu olehpengarang dikutip dari sajak Chairil Anwar yang berjudul “Doa:Kepada Pemeluk Teguh” (hlm. 232). Kutipan itu menunjukkandengan jelas bahwa ungkapan tersebut murni milik pengarang.Dikatakan demikian karena di dalam teks tidak ditemukanindikasi apa pun yang menunjukkan Fanton pernah ke Indonesiaatau setidak-tidaknya pernah belajar tentang (sastra) Indonesia.

Page 117: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 101

Kendati demikian, kalau dicermati dengan lebih seksama,di dalam kutipan di atas tersirat adanya jarak tertentu antarapengarang dan tokoh (Fanton Drummond). Memang FantonDrummond mengaku bahwa walaupun sudah sering berlutut danmenempelkan kening ke tanah, tetapi masih tetap merasa adayang kurang. Kekurangan itulah yang dilihat oleh pengarangsehingga ia (si pengarang) menawarkan seperangkat dogma yangdiambil dari Kitab Suci Alquran. Akan tetapi, tersirat pula bahwaFanton Drummond belum menerima apa yang ditawarkan olehpengarang karena pernyataan yang berbunyi “Tuhan mempunyaikekuasaan penuh atas segalanya” yang terdapat di dalam KitabSuci Alquran itu hanya merupakan pernyataan yang “pernahdilihat sepintas lalu” saja. Hal demikian berarti bahwa FantonDrummond melakukan suatu perdebatan secara dialogis denganpengarang walaupun, pada akhirnya, ia sepakat dengan pengarangdan akan “mempertanggungjawabkan” segala perbu-atannya.

Di samping kenyataan di atas, diakui bahwa memang didalam Olenka banyak hal yang membuat tokoh tidak dapatberdebat atau bersepakat dengan pengarang. Hal ini terjadi karenamateri-materi yang diberikan kepada tokoh sering tidak dapatdilihat atau dipahami oleh tokoh. Di banyak bagian sebenarnyapengarang telah memberikan keleluasaan bagi tokoh untukmemahami objek-objek yang berada di sekitarnya danmemasukkannya ke dalam kesadaran tokoh sendiri, seperti, antaralain, tampak dalam kutipan berikut.

“Makin sering saya melihat dia, makinmerasuk dia ke dalam otak saya. Saya sering melihatseseorang yang saya sangka dia tapi ternyata bukan.Tidak jarang saya merasa dia duduk di sebelah saya.Tidak jarang pula saya merasa dia bersembunyi dibawah meja, atau berkelebat di belakang pilar. Sayajuga sering merasa dia lari menyeberangi padangrumput, atau melompat dari satu pohon ke pohon

Page 118: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 102

lain. Kadang-kadang saya juga merasa dia menarikbaju saya, menjewer kuping saya, atau mendengus-kan nafas di belakang leher saya. Bahkan, kadang-kadang saya merasa dia menyelinap di bawahselimut saya, sambil menggelitik saya. Kalau sayabangun, dia lari sambil memberi pertanda supayasaya mengejar.1“

(hlm. 12--13)

Akan tetapi, pemahaman akan objek-objek di sekitar diri tokohatau apa saja yang dialami oleh tokoh menjadi tidak berarti samasekali karena ternyata semuanya “dimentahkan” oleh pengarangdengan adanya penjelasan di dalam catatan akhir seperti berikut.26

‘1 Yang membayangi Fanton Drummondbukanlah halusinasi. Pengarang Aldous Huxleydalam Antic Hay (1923) dan E.M. Forster dalam APassage to India (1924), misalnya, membebanibeberapa tokohnya dengan halusinasi. Mereka dike-jar bayangan yang sebetulnya tidak ada, yangmungkin terjadi karena kondisi fisik mereka sedangdalam keadaan tidak memungkinkan mereka berpi-kir terang. Yang dialami oleh Fanton Drummond,sebaliknya, adalah akibat adanya hubungan batinantara dia dengan Olenka. ...”

(hlm. 225)

26 Catatan akhir ini seluruhnya berjumlah 54 buah (bagian VII, hlm.225--232). Catatan ini sebagian besar berupa keterangan sumber rujukan yangdiambil dari karya-karya sastra (novel, cerpen, puisi), surat kabar, majalah,buku teks, mitos, kitab suci, dan sebagainya. Melalui catatan ini pengarangberusaha memberikan penjelasan tentang apa saja yang tidak diketahui olehpembaca, bahkan tidak diketahui pula oleh tokoh-tokoh.

Page 119: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 103

Keterangan atau penjelasan serupa juga dicantumkan di bawahguntingan gambar, berita, iklan, atau artikel yang diambil darisurat kabar dan majalah yang disertakan di dalam Olenkahalaman 25, 41, 43, 58, 63, 125, 151, 190, dan 209.27 Berikutcontoh guntingan gambar (iklan film dan artikel) yang disertaiketerangan penjelas dari pengarang yang terdapat di halaman 125dan 190. Gambar pertama diambil dari Surabaya Post, edisiKamis, 29 Juli 1982, sebuah surat kabar yang terbit di Surabaya;dan yang kedua diambil dari Family Circle 11/20/79.

tempelan gambar iklan film

27 Diyakini pula bahwa seluruh gambar, berita, atau iklan yangditampil-kan di halaman 25, 41, 43, 58, 63, 125, 151, 190, dan 209 itu barudisertakan ke dalam novel menjelang novel tersebut diterbitkan, sama sepertiesai yang berjudul “Asal-Usul Olenka”. Indikasinya ialah ada salah satugambar --seperti yang dikutip di atas-- yang diambil dari sebuah koran(Surabaya Post) yang terbit pada tanggal 29 Juli 1982; padahal Olenka telahselesai ditulis pada akhir tahun 1979 dan telah memenangkan lomba atausayembara pada tahun 1980.

Page 120: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 104

Bahkan, keterangan dan penjelasan yang dicantumkan di bawahgambar, berita, iklan, atau artikel tersebut tidak hanya meng-objektivikasi dunia fiksi, dunia tokoh-tokoh, tetapi juga meng-objektivikasi dunia pembaca. Dalam hal ini pembaca “dipaksa”untuk menerima apa pun yang disuguhkan oleh pengarang.Seolah-olah hanya ada sebuah “kebenaran”, yaitu kebenaranpengarang, walaupun, tentu saja, pembaca dapat pula meno-laknya.

Dari seluruh paparan mengenai posisi pengarang di atasakhirnya dapat dikatakan bahwa di dalam novel Olenka penga-rang (Budi Darma) menduduki posisi yang ambivalen. Di sisi

Page 121: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 105

tertentu, ia mencoba untuk menempatkan tokoh, terutama FantonDrummond, Olenka, dan Wayne Danton, sebagai pribadi-pribadiyang memiliki kesadaran sendiri yang kokoh sehingga merekadapat menjadi lawan dialog dalam membahas berbagai masalahkehidupan. Akan tetapi, di sisi lain, ia terjebak pada sikap yangtidak memberikan peluang apa pun bagi tokoh, bahkan juga bagipembaca, untuk membangun dunia dan kehidupan sendiri yangsejajar dengan dunia dan kehidupan pengarang.

Kendati demikian, ada satu hal penting yang perlu dicatat.Andaikata disepakati--seperti juga telah dikatakan di depan--bahwa semua keterangan yang berada di luar dunia fiksi itudisingkirkan dari konteks novel, niscaya dunia novel akan ter-bangun secara dialogis. Artinya, dunia yang tergambar didalamnya bukan hanya dunia pengarang, melainkan juga duniatokoh-tokoh, dunia pembaca, atau dunia manusia pada umumnya.Kalau demikian halnya, kecenderungan Olenka sebagai sebuahnovel polifonik tidak hanya ditandai oleh adanya heteroglosiayang terhimpun dan masuk ke dalamnya, tetapi juga olehbagaimana teks, bahasa, atau genre itu bersuara secara bersamadi dalamnya.

3.3 Representasi GagasanTokoh dalam novel polifonik bukan hanya merupakan

sebuah ungkapan tentang dirinya sendiri dan lingkungannya,melainkan juga merupakan sebuah ungkapan tentang dunia; iatidak hanya merupakan sebuah kesadaran, tetapi juga merupakansebuah ideologi (Bakhtin, 1973:63). Karena novel Olenka--seperti telah dikatakan di depan--dianggap sebagai sebuah karyayang berkecenderungan polifonik, dapat dikatakan bahwa tokohdi dalam novel tersebut juga bukan hanya merupakan sebuahungkapan tentang dirinya sendiri dan lingkungannya, melainkanjuga merupakan ungkapan tentang dunia. Oleh sebab itu, ia bukanhanya merupakan sebuah kesadaran, melainkan juga sebuah

Page 122: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 106

ideologi.28 Atas dasar inilah, di dalam subbab ini dibahasbagaimana ideologi (gagasan) itu direpresentasikan di dalamOlenka. Namun, perlu dipahami bahwa--sebagaimana dilakukanoleh Bakhtin (1973:63)--analisis ideologi tidak difokuskan padaisi gagasan yang diperkenalkan oleh pengarang di dalam novel,tetapi--sesuai dengan konsep dan atau prinsip polifonik--difokuskan pada fungsi artistiknya di dalam novel.

Bakhtin (1973:63--73) menyatakan pula bahwa gagasanyang direpresentasikan di dalam novel polifonik memilikiperbedaan yang mendasar jika dibandingkan dengan gagasanyang direpresentasikan dalam novel-novel lain. Gagasan di dalamnovel polifonik cenderung dialogis, sedangkan gagasan di dalamnovel-novel lain selalu monologis. Di dalam novel polifonikpengarang dan tokoh memiliki jarak tertentu sehingga gagasanlain yang muncul (dari tokoh) tidak terobjektivikasi olehpengarang. Jadi, gagasan lain tetap eksis sebagai sebuah gagasantersendiri. Tidak demikian halnya di dalam novel-novel lain. Didalam novel lain pengarang dan tokoh tidak memiliki jaraksehingga gagasan lain yang mungkin muncul akan hilang karenamenyatu ke dalam gagasan pengarang. Jadi, pengarang mengu-asai seluruh gagasan yang ada sehingga di dalamnya hanyaterdapat suatu gagasan tunggal, yaitu gagasan pengarang.

28 Pada awalnya, kata ideologi, oleh penemunya, de Tracy, dimak-sudkan sebagai istilah yang menunjuk pada “ilmu tentang gagasan”. Jadi,istilah ideologi mengacu kepada kawasan ideasional dalam suatu budaya yangmencakupi sistem nilai, norma, falsafah, kepercayaan, pengetahuan, pan-dangan dunia, etos, dan sejenisnya (Kaplan dan Manners, 1999:154; Suseno,1995:227--236). Namun, dalam perkembangan selanjutnya, istilah ideologitidak lagi digunakan secara objektif karena telah dimuati oleh misi ataumaksud tertentu, misalnya untuk berjuang, mengatur, merasionalkan, memberiteguran, menjelaskan, bahkan untuk menyerang, dan sebagainya (bdk. Larrain,1996:7). Bagi Bakhtin, istilah ideologi agaknya digunakan dalam pengertianyang netral dan umum, yaitu sebagai sebuah gagasan atau sudut pandang(tertentu) terhadap dunia.

Page 123: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 107

Di samping hal tersebut, Bakhtin (1973:64, 68, 69--72)juga menegaskan bahwa dunia novel monofonik tidak mengenaladanya pemikiran lain sebagai objek representasi. Hal demikianterjadi karena segala bentuk pemikiran yang hadir selaluterobjektivikasi oleh atau selalu berada di bawah kesadaranpengarang. Akibatnya, hanya pemikiran yang sesuai dengannyayang dikonfirmasikan, sedangkan yang tidak sesuai dinegasikan.Itulah sebabnya, gagasan lain tidak memiliki signifikansi apa punsehingga gagasan itu cenderung berubah hanya menjadi elemenkarakterisasi tokoh. Sementara itu, dalam dunia novel polifonikterjadi sebaliknya. Gagasan yang muncul justru menjadi objekrepresentasi sehingga masing-masing gagasan dapat memper-tahankan maknanya yang penuh sebagai sebuah gagasan. Jadi,sebuah gagasan dapat hidup, berkembang, menemukan danmemperbaharui ekspresi verbalnya, dan akhirnya dapat mela-hirkan gagasan baru ketika ia masuk ke dalam hubungan dialogisdengan gagasan lain. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwagagasan tidak bersifat individual, tetapi lebih bersifat inter-indi-vidual dan intersubjektif. Lagipula, lingkup eksistensinya bukandi dalam kesadaran individual, melainkan di dalam sebuahperkawinan dialogis antarkesadaran.

Di dalam pembahasan sebelumnya (lihat subbab 3.2.2)telah dikemukakan bahwa di dalam novel Olenka pengarangmenduduki posisi ambivalen atau mendua. Di sisi tertentu,pengarang memperlakukan tokoh-tokoh, terutama Fanton Drum-mond, sebagai sebuah pribadi yang memiliki kesadaran sendiriyang kokoh. Pengarang dapat pula memperluas sudut pandangdan mengkonversikan diri ke dalam kesadarannya sehinggabersama-sama dengannya pengarang dapat membahas berbagaipersoalan kehidupan. Akan tetapi, di sisi lain, pengarang terjebakpada sikap yang tidak memberikan peluang apa pun bagi tokoh(juga bagi pembaca) untuk membangun dunia sendiri yangposisinya sejajar dengan dunia milik pengarang. Hal tersebut

Page 124: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 108

terjadi karena--baik dari dalam maupun dari luar teks29--pengarang “memaksakan” kehendaknya dengan cara memberi-kan penjelasan tentang tokoh sehingga suara tokoh menjadihilang dan menyatu ke dalam suara pengarang. Dengan demikian,dunia yang terbangun bukan dunia dialogis, melainkan duniamonologis, yaitu dunia yang hanya menyuarakan satu suara, yaitusuara pengarang.

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa novelOlenka sesungguhnya tidak memberikan peluang apa pun bagitampilnya berbagai pemikiran atau gagasan lain sebagai objekrepresentasi. Hal demikian terjadi karena pemikiran dan ataugagasan pengarang demikian kuat dan berkuasa sehingga seluruhpemikiran dan atau gagasan tokoh kehilangan signifikansinya.Oleh sebab itu, tokoh-tokoh tidak mampu memecahkan konteksmonologis pengarang karena kehadiran mereka (tokoh-tokoh)justru hanya menjadi elemen yang melegitimasi atau mengu-kuhkan gagasan pengarang.

Memang tidak salah bahwa tokoh yang satu dapatberhubungan secara dialogis dengan tokoh lain dan kesadarantokoh satu dapat pula masuk ke dalam kesadaran tokoh-tokohlain. Masing-masing tokoh, terutama Fanton Drummond, Olenka,dan Wayne Danton, memiliki gagasan sendiri-sendiri dangagasan-gagasan tersebut memiliki kedudukan yang setara satusama lain (periksa subbab 3.2.1). Akan tetapi, ketika--melaluisuara narator (Fanton Drummond) secara monolog dramatik--

29 Selain direpresentasikan di dalam teks (sastra), gagasan pengarangjuga sering direpresentasikan di luar teks, misalnya di dalam esai-esai atauartikel yang ditulisnya. Namun, gagasan yang dituangkan di luar teks (sastra)biasanya bersifat monologis dan baru menemukan relasi dialogis ketika iadihadapkan dengan gagasan di dalam teks. Hal demikian yang menyebabkangagasan di dalam esai-esai atau artikelnya tidak dapat digunakan sebagai dasaruntuk mengkritik gagasan dalam karya (teks) sastra ciptaannya (Bakhtin,1973:75).

Page 125: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 109

pengarang mencoba bergabung dengan tokoh-tokoh tetapi iatidak memperluas sudut pandang dan atau mengkonversikandirinya, gagasan dan atau pemikiran pengarang akhirnya justru“membunuh” signifikansi gagasan tokoh-tokoh lain.

Tidak salah pula bahwa di dalam novel Olenka pengarangdapat mendengar suara-suara dari berbagai bidang kehidupan,dan suara-suara tersebut dapat dikonversikan ke dalam pemikiranindividual tokoh. Pemikiran individual tersebut kemudian dikem-bangkan lebih lanjut menjadi sebuah sistem tertentu untukmendukung “gagasan besar” yang dikemukakannya. Hal demi-kian tampak, misalnya, dalam usaha pengarang untuk menge-depankan gagasan tentang kesengsaraan manusia yang direflek-sikan dalam relasi oposisi (perbenturan) antara keinginan danketakberdayaan. Gagasan tersebut kemudian diaktualisasikan keberbagai bidang kehidupan sehingga berbagai pemikiran indi-vidual muncul ke permukaan. Di bidang kepengarangan,misalnya, melalui Wayne dapat dilihat bahwa umumnya kega-galan pengarang disebabkan oleh ketidakmampuannya mem-persatukan dua hal, yaitu intuisi dan logika. Pendek kata, mereka,salah seorang di antaranya Wayne, menjadi korban pertentanganantara intuisi dan logika, antara bawah-sadar dan atas-sadar,antara sugesti/imajinasi dan fakta, dan sejenisnya (hlm. 16--18).

Hal serupa tampak di dalam usaha pengarang untuk men-dengar suara dari dunia seni lukis. Melalui Fanton Drummond,pengarang melihat bahwa pada umumnya calon-calon pelukis(para mahasiswa seni lukis) terjebak pada sikap sebagai tukanggambar. Oleh sebab itu, hasil lukisannya bukanlah lukisan,melainkan gambar, bukan perpaduan subjek-objek, melainkanbenda mati, bukan pula dapat berbicara (hidup), melainkan hanyadiam (mati) (hlm. 26). Dengan kata lain, tidak seperti WayneDanton, mereka menjadi korban pertentangan antara keinginanyang besar dan usaha yang lemah. Pemikiran lain yangdigunakan untuk mendukung gagasan tentang keseng-saraanmanusia terlihat pula dalam usaha pengarang untuk mengangkat

Page 126: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 110

suara yang terdengar dari masyarakat orang-orang Puritan padaabad ke-17 di New England (hlm. 35--36). Terlihat jelas bahwaOlenka mengalami kesengsaraan karena dirinya menjadi korbanpertentangan antara nasib dan kemauan bebas seperti yang ditulisoleh Perry Miller dalam buku The New England Mind: the 17thCentury.

Di samping hal di atas, suara-suara lain yang kemudianmenjadi pemikiran individual tokoh tampak pula pada usahaFanton Drummond untuk berhubungan dengan Tuhan (kekuatanyang lebih agung dan lebih murni). Akan tetapi, karena Fantontidak tahu di mana letak-Nya, apakah Dia di langit atau di hatinurani, akhirnya Fanton Drummond mengalami kegagalan,kesengsaraan, dan nausea. Di satu sisi, ia ingin menjadi manusiayang mementingkan rohani agar kelak masuk sorga dan dapatlahir kembali, tetapi di sisi lain, ia terkungkung oleh hal-hal yangpenuh setan yang lebih mementingkan jasmani yang kelak akanmati dan menjadi penghuni neraka.

Itulah beberapa contoh suara yang didengar pengarangdari berbagai bidang kehidupan yang kemudian suara-suaratersebut menjadi pemikiran individual tokoh. Dalam hal inipengarang menjaga jarak dengan tokoh sehingga berbagaigagasan yang saling berpotongan (beroposisi) itu masuk ke dalamkesadaran dialogis tokoh (Fanton Drummond). Hal demikianterlihat pada keadaan akhir Fanton yang menderita nausee.Keadaan ini menandai bahwa di satu sisi ia masih memper-tahankan gagasan bahwa bagaimanapun manusia memilikikebebasan meskipun di sisi lain ia sepakat terhadap gagasanpengarang tentang keterbatasan. Sampai pada tahap ini tampakbahwa gagasan pengarang tidak “mengakhiri” gagasan lainsehingga gagasan lain tetap signifikan bagi gagasan besar yangdirencanakan oleh pengarang.

Kendati demikian, ketika pengarang memberikan catatanpenjelas tentang apa saja yang dialami atau dilakukan oleh tokohtanpa tokoh menyadarinya (bagian VII) dan menjabarkan “Asal-

Page 127: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 111

Usul Olenka” (bagian VI), seluruh gagasan yang “tidak terakhiri”tersebut kemudian (dan akhirnya) berubah menjadi “terakhiri”dan terobjektivikasi (oleh gagasan pengarang). Itulah sebabnya,di mata pembaca, gagasan yang dituangkan di dalam novelOlenka tampak bukan lagi sebagai gagasan dialogis, melainkangagasan monologis, gagasan tunggal, yaitu gagasan pengarang.Tampak pula bahwa tokoh-tokoh hanya menjadi pribadi-pribadiyang terbungkam dan mati karena seluruh pikiran dan suaranyatidak lain adalah pikiran dan suara pengarang.

Sebagai contoh, kutipan suara dan gagasan pengarangyang dikemukakan dalam esai “Asal-Usul Olenka” berikutmembuktikan hal tersebut.

“... Setiap karya sastra yang baik pada hakekatnyaadalah kisah berkecamuknya pikiran dan pandanganorang-orang yang tidak malu-malu mengakui siapamereka sebenarnya. Fanton Drummond, Olenka,Wayne Danton, M.C., dan lain-lain dalam novel iniadalah orang-orang yang tidak mempunyai tedengaling-aling. Dunia mereka sempit dan terbatas.Karena mereka tidak berpura-pura, melalui matamereka kita melihat sekian banyak cakrawala dunia.Mereka semua terbentur-bentur, dan tidak malumengaku bahwa mereka bukan pahlawan.

Mungkin pada suatu saat saya harus mem-pertanggungjawabkan mengapa yang saya angkatjustru perikehidupan orang-orang yang bergele-paran. Jawabnya adalah, saya tidak pernah mengun-dang siapa pun untuk menjadi narkisus. Narkisusselalu melihat dirinya sebagai tampan, tanpa merasamengantongi penyakit. Dalam menulis saya selalumengaku, bahwa manusia adalah makhluk yangpenuh luka, hina-dina, dan sekaligus agung dananggun. Baca jugalah setiap jengkal halaman karya

Page 128: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 112

sastra yang monumental. Kata demi kata adalahpengakuan bahwa manusia bukanlah makhluk yangenak.

Memang untuk dapat melihat diri kita sendiridengan benar kita tidak selayaknya menjadinarkisus. Untuk menjadi lebih agung, kita tidakperlu menonton diri kita sendiri sebagai jagoandalam novel-novel picisan. Seperti yang dikatakanoleh orang-orang Yunani Kuno, kita memerlukan“cha-tarsis,” yaitu rasa mual terhadap diri kitasendiri. Roquentin dalam novel Sartre La Nauseejuga mera-sakan “supreme degout de moi,”demikian juga Fanton Drummond menjelang akhirnovel Olenka. Mata mereka menembus tubuhmereka, dan mereka tahu apa yang berkecamuk didalamnya.”

(hlm. 223--224)

Dalam kutipan tersebut terlihat bahwa baik tokoh maupunpembaca “dipaksa” untuk menerima apa saja yang dikatakan olehpengarang. Atau dengan kata lain, pengarang tidak memberikanpeluang bagi pihak lain untuk mengekspresikan pikiran ataugagasannya. Dalam hal ini, pikiran dan gagasan pengarang samasekali tidak berfungsi mendialogisasi atau berusaha mende-mokratisasi gagasan-gagasan lain, tetapi menguasai, membung-kam, dan bahkan melenyapkannya. Pola representasi gagasansemacam ini agaknya tidak hanya tampak di dalam novel ini,tetapi juga tampak di dalam berbagai esai atau artikel-artikel yangpernah ditulis dan dipublikasikannya. Hal itu akan terlihat jelas,misalnya, kalau kita membaca “gagasan-gagasan Budi Darma”dalam buku antologi esai Solilokui (1983), Sejumlah Esai Sastra(1984), dan Harmonium (1995). Apakah model atau pola repre-sentasi gagasan semacam itu akan dipertahankan terus oleh Budi

Page 129: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 113

Darma? Jawaban atas pertanyaan ini tentulah bergantung padaBudi Darma sendiri.

3.4 Dialog IntertekstualBakhtin (1973:73) menyatakan bahwa gagasan tidak

hanya berkaitan dengan realitas diri sendiri, tetapi juga berkaitandengan gagasan dari suara zaman, suara yang lebih besar.Dikatakan demikian karena realitas pada dasarnya tidak hanyaberkaitan dengan hal-hal yang dikenal saja, tetapi juga berkaitandengan realitas yang lebih besar dari dunia masa lampau, masakini, dan masa depan. Di samping itu, gagasan juga tidak pernahtercipta dari sesuatu yang tidak ada, tetapi selalu tercipta darisesuatu yang telah ada.

Hal tersebut sesuai dengan prinsip bahwa tidak adatuturan tanpa hubungan dengan tuturan lain (Bakhtin dalamTodorov, 1984:60). Oleh karena itu, sebagai sebuah karya verbal,sebagai wujud formal sebuah tuturan, karya sastra juga selaluberhubungan dengan karya sastra lain. Atau, jika diungkapkandengan istilah yang lebih modern, karya sastra selalu berada didalam hubungan intertekstual.30 Hal demikian yang dikatakansebagai tidak ada karya sastra yang lahir dalam situasi kosongbudaya (Teeuw, 1980:11) karena, menurut Kristeva (Culler,1981:105), setiap teks (sastra) pada dasarnya merupakan peng-ungkapan dan transformasi teks-teks (sastra) lain (bdk. Riffaterre,1978:23).

30 Pada mulanya istilah intertekstual dibedakan dengan istilahdialogik. Dialogik tidak mengharuskan atau tidak membawa orang ke luar tekskarena ia hanya dianggap sebagai fenomena teks (intratekstual). Akan tetapi,dalam perkembangan selanjutnya, kedua istilah tersebut tidak lagi dibedakankarena, seperti halnya intertekstual, dalam pemaknaan suatu teks (tertentu),dialogik juga “memaksa” orang untuk mengetahui teks lain yang unsurnyadikutip (dihimpun) di dalam teks (tertentu) itu (periksa Junus, 1996:120--121).

Page 130: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 114

Demikian juga halnya dengan novel Olenka karya BudiDarma. Banyak indikasi memperlihatkan bahwa novel Olenkaberhubungan atau--menurut istilah Bakhtin--berdialog denganteks-teks lain. Hal demikian tampak, misalnya, di dalam novelOlenka banyak ditemukan kata, ungkapan, atau wacana yangberupa ringkasan atau kutipan dari teks karya orang lain.Ringkasan atau kutipan tersebut diambil dari novel, cerpen, puisi,drama, film, syair lagu, buku teks, surat kabar, majalah, KitabSuci, dan sebagainya; dan semua itu dapat diketahui melaluicatatan yang disertakan pada bagian akhir (bagian VII, hlm. 225--232).

Beberapa novel yang “dikutip” atau didialogisasikan kedalam Olenka di antaranya Antic Hay (1923) karya AldousHuxley, A Passage to India (1924) karya E.M. Forster, Jane Eyre(1847) karya Charlotte Bronte, The Rainbow (1915) dan Womenin Love (1919) karya D.H. Lawrence, L ‘Immoraliste (1902)karya Andre Gide, The Sun Also Rises (1926) dan The Old Manand the Sea (1952) karya Hemingwey, The Leather StockingTales karya J. F. Cooper, Vanity Fair karya W. M. Thekeray, Dr.Faustus karya Christopher Marlowe, Raintree Country (1948)karya Lockridge, La Nausee (1938) karya Jean-Paul Sartre, danAnak Perawan di Sarang Penyamun (1940) karya Sutan TakdirAlisjahbana.

Sementara itu, beberapa cerpen yang juga dikutip didalam Olenka adalah “Manu” karya Roop Katthak, antologicerpen O ‘Henry Award, “Young Goodman Brown” karyaNathaniel Hawthorne, “Tuhan Melihat Kebenaran, Akan TetapiMenunggu” karya Leo Tolstoy, dan “The Darling” karya AntonChekov; sedangkan beberapa sajak (puisi) yang dikutip diantaranya “The Flea” karya John Donne, “The Waste Land”karya T.S. Eliot, “Andrea del Sarto” karya Robert Browning,“Derai-Derai Cemara”, “Kesabaran”, “Kerikil Tajam dan YangTerampas dan Terkandas”, “Catetan Th. 1946”, “Doa”, dan“Senja di Pelabuhan Kecil” karya Chairil Anwar. Selain itu, ada

Page 131: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 115

juga beberapa karya drama, di antaranya Julius Caesar karyaShakespeare dan The Barrets of Wimpole Street; karya film, diantaranya Breaking Away karya Peter Yates, The Other Side ofthe Mountain, Goodbye Colombus, dan Ash Wednesday karyaPerce; dan beberapa teks lain yang berisi berita tentang tokoh-tokoh terkenal yang diambil dari koran dan majalah seperti TheFamily Circle, The Saratoga Review, The New Yorker, TheAtlantic Review, dan sebagainya.

Dengan adanya sekian banyak teks (genre) tersebut ter-bukti bahwa novel Olenka merupakan sebuah medan perjumpaanatas berbagai-bagai teks. Oleh karena itu, apabila ingin diperolehpemahaman yang lengkap bagaimana Olenka mendialogisasikanteks-teks lain itu, idealnya semua teks tersebut harus dibaca.Akan tetapi, hal demikian tidak mungkin dilakukan karena jang-kauan buku (penelitian) ini serba terbatas (waktu, biaya, sarana,dan kemampuan). Oleh karena itu, khusus untuk kepentinganbuku ini, teks-teks tersebut sengaja diseleksi, dan hanya beberapateks yang memiliki relevansi yang tinggi yang dipilih dankemudian dibahas. Berikut pembahasan dialog intertekstualantara Olenka dan teks-teks lain tersebut.

3.4.1 Olenka dan Chairil AnwarDi dalam novel Olenka ditemukan beberapa teks sajak,

baik sajak asing maupun Indonesia. Namun, di antara sajak-sajaktersebut, sajak karya Chairil Anwar tampak paling dominan.Sajak-sajak Chairil Anwar itu ialah “Derai-Derai Cemara”(1949), “Kesabaran” (April 1943), “Kerikil Tajam dan YangTerampas dan Terkandas” (1949), “Senja di Pelabuhan Kecil”(1947), “Catetan Th. 1946” (1947), dan “Doa” (1943). Akantetapi, di antara enam sajak tersebut, tidak ada satu pun sajakyang dikutip secara lengkap. Setiap sajak hanya dikutip satu, dua,dan paling banyak tiga baris.

Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa ternyata tidakseluruh sajak (6 judul) Chairil Anwar benar-benar terdialogi-

Page 132: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 116

sasikan ke dalam novel Olenka. Dikatakan demikian karena adabeberapa kata atau ungkapan sajak yang dikutip, tetapi kutipan itutidak memiliki relevansi dengan gambaran peristiwa atau suasanadi dalam novel. Sebagai contoh, di halaman 94 dijumpai ung-kapan yang berbunyi “Ada sebuah kerikil tajam yang terempasdan terkandas di tepinya.” Dari catatan akhir (bab VII, nomor 15,hlm. 228) dapat diketahui bahwa ungkapan tersebut hanya dikutipdari nama salah satu judul kumpulan sajak, yaitu Kerikil Tajamdan Yang Terempas dan Terkandas,31 bukan dari salah satu sajakyang dikumpulkan di dalam buku antologi tersebut. Hal demikianberarti bahwa ungkapan yang dijumpai di dalam novel Olenka itutidak berhubungan dengan sajak-sajak yang dimuat dalam bukukumpulan sajak tersebut.

Seandainya benar ungkapan tersebut dikutip dari sajakyang berjudul “Yang Terampas dan Yang Putus” yang dimuatdalam kumpulan tersebut, hal itu pun sama sekali tidak menun-jukkan adanya suatu hubungan. Dinyatakan demikian karenasajak “Yang Terampas dan Yang Putus” adalah sajak yangmelukiskan perasaan mencekam si aku lirik ketika menghadapikematian yang seolah sudah begitu dekat (Waluyo, 1987:217).Perhatikan kutipan lengkap sajak berikut.

YANG TERAMPAS DAN YANG LUPUT

Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu.

31 Judul kumpulan sajak itu bukan Kerikil Tajam dan Yang Terampasdan Terkandas, melainkan Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus(lihat Jassin, 1996:5; Eneste (ed.), 1986:ix; Hakim, 1996:4). Kumpulantersebut terdiri atas dua bagian, yakni “Kerikil Tajam” (29 sajak) dan “YangTerampas dan Yang Putus (9 sajak).

Page 133: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 117

Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai jugaderu angin

Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kaudatang,

Dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu,Tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwaberlalu beku.

1949

Sementara itu, ungkapan yang berbunyi “Ada sebuah kerikiltajam yang terempas dan terkandas di tepinya” yang terdapat didalam Olenka sama sekali tidak memberikan gambaran yangberhubungan dengan masalah perasaan seorang manusia ketikamenghadapi kematian seperti yang tampak di dalam sajak di atas.Bahkan, kata “kerikil tajam” di dalam ungkapan itu hanyamenunjuk ke suatu benda tertentu, yaitu kerikil yang tajam, dankata itu tidak mengandung makna kias apa pun sehinggafungsinya tidak lebih hanya sebagai sesuatu (alat) yang diper-gunakan oleh seseorang (untuk menghalau seekor kelinci).

Hal tersebut tampak jelas dalam kisah singkat berikut.Ketika itu, dari perpustakaan Fanton Drummond pulang lewatjalan setapak. Sebelum sampai ke rumah (apartemen), Fantonberistirahat dan duduk di sebuah batu karang dekat jembatan(subbagian 1.22, hlm. 92). Pada saat duduk di pinggir sungaikecil itulah Fanton Drummond melihat beberapa ekor binatang,termasuk di antaranya kelinci, yang keluar masuk dari gerumbultanaman liar. Bersamaan dengan itu, Fanton juga melihat sebuahkerikil tajam yang kebetulan terempas ke tepi sungai. Kerikiltajam tersebut kemudian dipungut dan akhirnya digunakan untukmenghalau (dilemparkan ke arah) seekor kelinci. Barulah ketika

Page 134: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 118

kelinci lari terbirit-birit, Fanton membayangkan bahwa kelinci itutidak lain adalah Wayne, laki-laki yang selama ini dibencinya.

Dalam kisah singkat tersebut tampak jelas bahwa tidakada kesan lain atas kata “kerikil tajam” kecuali hanya sebagaisebuah kata yang menunjuk pada benda mati yang secarakebetulan dilemparkan oleh Fanton ke arah seekor kelinci.Dengan demikian, ungkapan “Ada sebuah kerikil tajam yangterempas dan terkandas di tepinya” yang terdapat di dalam novelOlenka tidak merujuk ke sajak “Yang Terempas dan YangLuput” karya Chairil Anwar. Dengan kata lain, sajak ChairilAnwar yang berbicara tentang kesiapan seorang manusia ketikamenghadapi kematian itu sama sekali tidak masuk ke dalamkesadaran Fanton, tetapi hanya merupakan suatu lintasan pikiranpengarang yang kemudian dituangkan ke dalam novel.

Hal serupa tampak pula pada ungkapan yang berbunyi“Hanya karena tenggorokan kering dan sedikit mau basah...”(hlm. 213) yang dikutip dari sajak “Catetan Th. 1946”. Ungkapantersebut seolah juga hanya merupakan lintasan pikiran pengarangyang dituangkan begitu saja ke dalam novel. Dikatakan demikiankarena, dilihat dari konteksnya, sajak Chairil Anwar itu tidakmasuk ke dalam kesadaran tokoh (Fanton Drummond) sehinggamakna keseluruhan sajak pun tidak terdialogisasikan ke dalamnovel. Hal demikian dapat diamati dalam kutipan lengkap sajakberikut.

CATETAN TH. 1946

Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai,Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut,Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai.Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.

Kita - anjing diburu - hanya melihat sebagian darisandiwara sekarang

Page 135: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 119

Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur ataudi ranjang

Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribuKeduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.

Dan kita nanti tiada sawan lagi diburuJika bedil sudah disimpan, cuma kenangan

berdebu,Kita memburu arti atau diserahkan pada anak

lahir sempat,Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu

asah,Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering

sedikit mau basah!!

1947

Dilihat dari judulnya (yang menunjuk pada tahun 1946), sajaktersebut jelas berkaitan erat dengan situasi Indonesia pada saatitu. Ketika itu terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Belandayang ingin menguasai kembali Indonesia (Pradopo, 1993:196).Bertolak dari keadaan itu penyair mengemukakan harapan-harapannya agar dapat mengisi kemerdekaan ini dengan baik.Cara yang dapat dilakukan adalah dengan bekerja keras agar kitadapat memperbaiki hidup setelah sekian lama tercekam keta-kutan. Jadi, intinya, sajak tersebut berisi harapan dan optimismemasa depan agar kita (aku lirik, penyair, dan mungkin juga kitasemua) dapat menjadi manusia yang berarti (Aminuddin,1987:203).

Apabila dihubungkan dengan isi sajak di atas, terasabahwa di dalam novel Olenka ungkapan “hanya karena teng-gorokan kering dan sedikit mau basah ...“ tidak memilikirelevansi apa pun, apalagi jika dihubungkan dengan situasi dankondisi di Indonesia pada tahun 1946. Dinyatakan demikian

Page 136: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 120

karena ung-kapan tersebut hanya digunakan untuk menggam-barkan keadaan tokoh (Fanton Drummond) yang ketika itusedang berjalan-jalan ke Museum of Natural Arts and Sciences.Setelah Fanton Drummond “berpisah” dengan Olenka di rumahsakit, dari rumah sakit itu Fanton berjalan-jalan ke museum, dandi museum itulah ia merasa lelah dan “tenggorokannya terasakering”. Karena tenggorokan kering dan sedikit mau basah,Fanton Drummond kemudian membeli kopi (hlm. 213). Dalamkonteks ini diketahui bahwa sajak Chairil Anwar yang berisiharapan dan optimisme masa depan tidak terlintas di dalamkesadaran Fanton Drummond. Dengan kata lain, sajak ChairilAnwar yang masuk ke dalam kesadaran pengarang tidakterdialogisasikan ke dalam kesadaran tokoh.

Hal di atas berbeda dengan sajak-sajak lainnya. Sajak“Derai-Derai Cemara”, misalnya, betul-betul masuk ke dalamkesadaran tokoh. Sajak tersebut terdiri atas tiga bait, masing-masing bait terdiri atas empat baris. Secara lengkap sajak tersebutseperti berikut.

DERAI-DERAI CEMARA

Cemara menderai sampai jauhTerasa hari jadi akan malamAda beberapa dahan di tingkap merapuhDipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahanSudah lama bukan kanak lagiTapi dulu memang ada suatu bahanYang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda kekalahanTambah jauh dari cinta sekolah rendah

Page 137: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 121

Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkanSebelum pada akhirnya kita menyerah.

1949

Dari sajak tersebut hanya dua baris yang masuk ke dalam novelOlenka, yaitu “Hidup hanya menunda kekalahan” dan “Sebelumpada akhirnya kita menyerah” (bait ketiga). Di dalam novelOlenka ungkapan tersebut ditampilkan untuk mendukung gam-baran suasana ketika Olenka hendak pergi meninggalkan FantonDrummond (subbagian 1.12, hlm. 55--60). Sebelum Olenkameninggalkan Fanton, tergambarlah suasana seperti berikut.

“Sekonyong-konyong dia menangis. Sayatidak tahu apa sebabnya, dan tidak sampai hati untukmenanyakannya. Kemudian dia mengatakan bahwahidupnya adalah serangkaian kesengsaraan. Bukanhanya perkawinannya saja yang hancur, akan tetapijuga seluruh hidupnya. Dia menyesal mengapa diatidak mati ketika dia masih bayi, atau paling tidakketika dia masih kanak-kanak, pada waktu dia masihlebih banyak mempergunakan instinknya daripadaotaknya. Sekarang sudah terlambat baginya matitanpa merasa takut menghadapinya. Hidupnya bukanhanya menunda kekalahan, akan tetapi jugakehancuran, sebelum akhirnya dia menyerah.”

(hlm. 60)

Tampak bahwa dua baris sajak Chairil Anwar tersebut diman-faatkan untuk membangun suasana tertentu agar kesengsaraandan kehancuran hidup Olenka--sebelum dia akhirnya menyerah--terasa lebih dalam. Hanya saja, di dalam gambaran tersebut terasaada semacam “manipulasi” atau “penyelewengan” makna sajak.

Page 138: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 122

Atau, dalam konteks itu terasa ada perbedaan yang mendasarantara apa yang dimaksudkan penyair di dalam sajak dan apayang dimaksudkan oleh pengarang di dalam novel. Akan tetapi,justru karena itulah, hubungan Olenka dengan sajak “Derai-DeraiCemara” karya Chairil Anwar tidak hanya sekedar bersifattransformatif atau hipogramatik, tetapi juga dialektis.

Benar bahwa dua baris sajak tersebut baik oleh penyairdalam sajak maupun oleh novelis dalam novel sama-samadipergunakan untuk menggambarkan betapa dalam “penyerahandiri” manusia kepada Tuhan. Akan tetapi, aku lirik di dalam sajakdigambarkan lebih tenang dan lebih dewasa dalam menghadapisegala hal, termasuk ketika ia harus menghadapi kematian.32

Sementara itu, di dalam novel, Olenka justru digambarkansebagai figur yang penuh rasa sesal. Olenka merasa bahwahidupnya hanyalah serangkaian kesengsaraan sehingga iamenyesal mengapa tidak mati saja ketika dirinya masih bayi.Itulah sebabnya, ia merasa takut dan cemas menghadapikematian. Hal ini berbeda dengan sikap si aku lirik di dalamsajak. Ungkapan “Aku sekarang orangnya bisa tahan” dan“Sudah lama bukan kanak lagi” menunjukkan bahwa aku liriktelah sadar dan siap untuk menghadapi segala hal. Oleh sebab itu,ia sadar pula bahwa “hidup hanya menunda kekalahan”, karenabagaima-napun kita (manusia) pasti kalah, sehingga apa pun yangterjadi harus “diserahkan” sepenuhnya kepada Tuhan. Kalau

32 Sajak tersebut ditulis tidak lama sebelum Chairil meninggal(Budiman, 1976:21--22; Damono, 1986:102--103; Sastrowardoyo, 1980:53--54), yaitu ketika ia sering sakit-sakitan. Sajak itu berkaitan dengan sajak yangditulis sebelumnya berjudul “Buat Nyonya N” dan “Aku Berkisar antaraMereka”. Kalau di dalam sajak-sajak sebelumnya penuh denganketidakpedulian terhadap hidup karena baginya hidup adalah miliknya, bukanhidup yang memilikinya, sehingga hidup harus diperjuangkan sampai kepuncak; di dalam sajak yang kemudian dia menyerah penuh kedewasaansehingga mati pun dia telah siap.

Page 139: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 123

sudah demikian, (kita) tidak perlu takut walaupun kematiansegera menjemput.

Telah dikatakan bahwa di dalam konteks novel telahterjadi “manipulasi” atau “penyelewengan” atas makna sajak.Kalau tindakan “penyerahan diri” di dalam sajak didukung olehsikap penuh optimistik akibat dari penerimaannya terhadapadanya proses perubahan yang tidak terelakkan dalam dirimanusia, tindakan “penyerahan diri” di dalam novel justrudisertai dengan sikap dan rasa pesimistik akibat dari ketidak-sadarannya akan proses perubahan dalam hidup. Dengandemikian, dapat dika-takan bahwa gambaran “penyerahan diri”Olenka (kepada Tuhan) hanya ditampilkan sebagai sebuahgambaran “penyerahan semu”. Kendati demikian, “penyele-wengan” makna sajak di dalam novel (dari optimis menjadipesimis, dari yakin menjadi cemas, dari siap menjadi takut)tidaklah dapat dianggap sebagai suatu kesalahan karena justruitulah suatu kreativitas. Terlebih lagi, jika diamati secarakeseluruhan, perasaan cemas dan takut yang dilukiskan itu justrumemberikan gambaran yang jelas tentang eksistensi tokoh(Olenka) yang di dalam novel ini memang ditampilkan sebagaisosok manusia yang senantiasa berada dalam “jurang” antarahidup dan mati atau--menurut konsep Heideger--antara “ada” dan“tiada” (Dagun, 1990:80--81).

Hal serupa tampak pula pada ungkapan yang dikutip darisajak “Doa”. Tampak bahwa ungkapan sajak “Doa” tidak hanyadihimpun atau didialogisasikan ke dalam novel secara trans-formatif atau hipogramatik, tetapi juga secara dialektis ataudialogis. Sajak tersebut tidak hanya menjadi kerangka dasar,latar, atau sumber inspirasi, tetapi juga “diolah” secara kreatif. Didalam Olenka sajak “Doa” diberi tafsiran makna baru, sementaramakna dan nuansa sajak aslinya tetap tidak terobjektivikasikan.Perha-tikan kutipan lengkap sajak “Doa” berikut.

Page 140: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 124

DOAKepada Pemeluk teguh

TuhankuDalam termanguAku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguhmengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas sucitinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhankuaku hilang bentukremuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhankudi pintuMu aku mengetukaku tidak bisa berpaling

13 Nopember 1943

Di dalam novel Olenka, ungkapan sajak “Doa” tidak hanyadipergunakan untuk melukiskan kondisi akhir tokoh “saya”(Fanton Drummond) yang menderita penyakit nausee (akhirsubbagian 4.12, hlm. 213), tetapi juga kondisi akhir “saya” yangmelihat dan mendengarkan Fanton Drummond bercerita ataumendongeng (akhir bagian V, hlm. 215). Kutipan di bawah inimenunjukkan hal tersebut.

Page 141: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 125

“ Hanya karena tenggorokan kering dan sedi-kit mau basah, saya membeli kopi. Kemudian sayaberjalan-jalan lagi. Tiba-tiba saya muntah. Andai-kata yang saya muntahkan adalah seluruh jiwa danraga saya, alangkah bahagianya saya. Demikian jugaandaikata saya menjadi semacam burung phoenix,terbakar dengan sendirinya, hangus menjadi abu,dan dari abu lahir kembalilah saya sebagai burungphoenix baru. Saya juga ingin remuk dan hilangbentuk.”

(hlm. 213)

“Sudah sering saya berlutut, menengadah kelangit, merundukkan kepala saya, dan menempelkankening saya ke tanah, akan tetapi saya tetap mera-sakan adanya kekurangan. Saya tahu, seperti yangpernah saya lihat sepintas lalu dalam Kitab Suci AlQur’an, bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan penuhatas segalanya. Siapa yang akan dimaafkannya, dansiapa pula yang akan dihukumnya, adalah tergan-tung pada Tuhan sendiri. Akan tetapi saya juga tahu,bahwa “apakah engkau menunjukkan atau menyem-bunyikan apa yang ada dalam pikiranmu, Tuhanakan memintamu untuk mempertanggung-jawab-kannya. Dan saya harus mempertanggungjawab-kannya. Maka, dalam usaha saya untuk menjadipemeluk teguh, saya menggumam, “Tuhanku, dalamtermangu, aku ingin menyebut nama-Mu.”

(hlm. 215)

Di dalam konteks tersebut sangat terasa bahwa makna sajak yangoleh Budiman (1976:29) dikatakan sebagai “si Ahasveros (ChairilAnwar) telah menemukan rumahnya, yaitu di pintu (haribaan)

Page 142: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 126

Tuhan” itu masih tetap terpertahankan. Pada mulanya di hadapanTuhan “aku” merasa ragu, “termangu”, tetapi kini merasa pasti,karena tanpa Tuhan “aku hilang bentuk, remuk”. Itulah sebabnya,“aku masih (terus) menyebut nama-Mu” karena memang “akutidak bisa berpaling”. Di dalam konteks ini tampak jelas bahwa“saya”, baik Fanton maupun orang lain yang mendengarkan ceritaFanton dan menuliskannya, mengindentifikasikan dirinya dengan“aku” si Ahasveros itu.

Kendati demikian, dalam konteks yang sama terasa pulabahwa ada niat atau intensi baru yang muncul. Hal ini tampakterutama pada penambahan kata “ingin” (dari “aku hilang bentuk,remuk” menjadi “Saya juga ingin remuk dan hilang bentuk”) danpenggantian kata “masih” menjadi “ingin” (dari “aku masihmenyebut nama-Mu” menjadi “aku ingin menyebut nama-Mu”).Penambahan dan penggantian kata itu memper-lihatkan bahwaada tafsiran baru atas makna sajak. Kalau di dalam konteks sajaksi “aku” telah yakin akan “menemukan” apa yang diinginkan(yaitu Tuhan) dengan cara “menyerahkan dirinya secara total”, didalam konteks novel “saya” belum menemukan apa-apa karenasemua itu baru sampai pada tahap “keinginan”. Inilah nuansabaru Olenka sebagai hasil dari proses dialognya dengan sajak“Doa”. Terlihat jelas bahwa di dalam novel ini pengarangbermaksud memperlihatkan sosok seorang manusia (“saya”)yang--menurut istilah Faruk (1988:139)--senantiasa berada dalamperadaban yang mengalami disintegrasi.

Demikian antara lain proses dialog Olenka dengan sajak-sajak Chairil Anwar. Sesungguhnya masih ada dua buah sajaklain yang beberapa ungkapannya dikutip di dalam novel, yaitu“Kesabaran” dan “Senja Di Pelabuhan Kecil”. Akan tetapi,tampak jelas bahwa kedua sajak tersebut hanya digunakansebagai sarana afirmasi atau penegasan bagi gambaran suasanayang dialami oleh tokoh dalam novel. Ungkapan “dunia enggandisapa” yang dikutip dari sajak “Kesabaran” hanya digunakanuntuk mene-gaskan kesia-siaan Fanton dalam usahanya memburu

Page 143: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 127

Olenka ke Kentucky (hlm. 80); sedangkan ungkapan “gerimismempercepat kelam” yang dikutip dari sajak “Senja DiPelabuhan Kecil” juga hanya dimanfaatkan untuk mempertegaskesepian hati Fanton ketika mengejar Olenka ke Chicago (hlm.103). Oleh sebab itu, frekuensi kedialogisan kedua sajak tersebutsangat kecil.

Dari paparan ringkas mengenai dialog Olenka dengansajak-sajak Chairil Anwar di atas akhirnya dapat dikatakan bahwadi antara keduanya ada unsur penerimaan dan penolakan. Artinya,ada beberapa unsur sajak yang diterima sekaligus ditolak olehOlenka. Hal tersebut berarti bahwa keduanya mencerminkanadanya persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah baik“aku lirik” di dalam sajak maupun “saya” di dalam novel sama-sama mempersoalkan kehidupan yang dijalaninya. Atau dengankata lain, mereka sama-sama berhadapan dengan sebuah absur-ditas hidup. Sementara itu, perbedaannya tampak ketika kedua-nya dihadapkan pada masalah “kematian/ajal”. Kalau di dalamsajak si “aku lirik” penuh kesiapan, tanpa rasa cemas, di dalamnovel justru terjadi sebaliknya, yakni tokoh “saya” terus beradadalam kebimbangan, penuh ketidakpastian.

Kendati demikian, justru dalam keadaan “bimbang” dan“tidak pasti” itulah tokoh “saya” (Fanton Drummond) terusberusaha mencari identitas dan atau jati dirinya, berusaha mene-mukan eksistensinya, dengan harapan akan menjadi “burungphoenix, terbakar dengan sendirinya, hangus menjadi abu, dandari abu lahir kembali menjadi burung phoenix baru”, tanpaberpikir apakah harapan itu tercapai atau tidak. Demikianlah,lebih jauh lagi, persoalan eksistensi manusia ini dikaji dalampembahasan berikut.

3.4.2 Olenka dan SartreNovel Olenka diakhiri dengan kisah tragis Fanton yang

mengalami nausee, yaitu rasa mual dan jijik terhadap dirinyasendiri. Kisah tragis demikian mengindikasikan bahwa Olenka

Page 144: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 128

berhubungan erat dengan konsep eksistensialisme, terutama yangdikembangkan oleh Jean-Paul Sartre yang sebagian pemikirannyatelah ditulis dalam novel La Nausee ‘Rasa Muak’ (1938). Sepertidikatakan pula oleh Budi Darma dalam esai “Asal-Usul Olenka”(bagian VI, hlm. 216--224) bahwa Fanton Drummond memangmerasakan hal yang sama dengan apa yang dirasakan oleh Roqu-entin, tokoh utama novel La Nausee.

Bertolak dari kenyataan tersebut, dalam pembahasan inihendak dilihat bagaimana hubungan Olenka dengan La Nauseekarya Sartre. Namun, sampai pada tahap ini muncul suatumasalah. Masalahnya adalah--karena adanya kendala tertentu--tidak diperoleh data novel karya Sartre, baik yang asli dalambahasa Perancis maupun terjemahannya dalam bahasa Inggris.Sejauh pengamatan yang dapat dilakukan, terjemahan bahasaIndonesia novel semi-otobiografi tersebut juga belum beredar kepasaran (masyarakat), atau mungkin terjemahan itu memangbelum ada; dan yang ada hanyalah ringkasan atau sinopsis, salahsatu di antaranya dapat dibaca dalam Kamus Karya SastraPerancis.33

33 Dalam Kamus Karya Sastra Perancis, Bouty (1991:313--315) telahmencoba membuat sinopsis dan memberi sedikit komentar. Dikatakan bahwaroman (novel) Sartre merupakan analisis perasaan absurd yang ditulis dalambentuk catatan harian tokoh utamanya, Roquentin, seorang intelektual yangdatang menetap di Bouville, kota pelabuhan yang terdapat di tepi sungai,dengan tujuan menulis biografi seorang duta besar. Ia tidak dapat lagi bekerjakarena manusia dan benda-benda setiap kali membuat ia mabuk. Ia hanyamelihat konvensi-konvensi sosial yang menggelikan dalam kehidupan sehari-hari orang kaya di Bouville itu. Gerakannya bahkan juga eksistensi tubuhnyasendiri terasa asing baginya. Kunjungannya ke museum yang merupakanmonumen kebudayaan yang angkuh, acara makan dengan seorang otodidakyang membela humanisme secara lugu, menimbulkan krisis yang hebat dalamdirinya. Akhirnya akar pohon sarangan yang terdapat di sebuah tamanlah yangmenjadi penyebab perasaannya yang tidak karuan; ia melihat segalanyamenjadi absurd: “Kita ini adalah setumpuk eksistensi yang ragu-ragu, bingungmenghadapi diri kita sendiri, baik kita maupun orang lain bahkan tidak punyaalasan untuk hidup...” Pengalaman Roquentin ini rupanya sejalan dengan apa

Page 145: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 129

Berkenaan dengan adanya kendala itulah, khusus untukkepentingan kajian ini, hanya “teks” yang berupa konsepeksistensialisme Sartre yang dijadikan titik-tolak pembahasan.Cara ini sah adanya karena--sesuai dengan prinsip intertekstual--istilah “budaya” dalam pernyataan “tidak ada karya sastra yanglahir dalam situasi kosong budaya” (Teeuw, 1980:11) tidak hanyamenunjuk pada budaya dalam bentuknya yang konkret sepertiteks-teks kesastraan, tetapi juga pada konvensi, tradisi, ataugagasan tertentu yang berkembang dalam suatu masyarakat. Olehkarena itu, pembahasan hubungan intertekstual Olenka denganSartre berikut hanya ditopang oleh “data” yang berupa pemikirantentang eksistensialisme yang telah ditulis oleh para ahli dalambuku-buku filsafat.

Seperti diketahui bahwa pemikiran Sartre bermuara padakonsep kebebasan (Dagun, 1990:106). Bahkan Sartre mengang-gap bahwa manusia itu tidak lain adalah kebebasan (Berten,1996:96). Bagi Sartre, kebebasan itu mutlak. Tanpa kebebasan,kata Sartre, eksistensi hanya menjadi suatu penjelmaan yangabsurd (Hassan, 1992:139). Oleh sebab itu, dikatakan bahwa padadiri manusia eksistensi itu mendahului esensi. Dalam novel LaNausee (Dagun, 1990:96), Sartre juga menyatakan bahwa sejaklahir manusia itu tidak memiliki apa-apa. Itulah sebabnya--seperti

yang dialami Annie, seorang teman yang pernah singgah dalam kehidupannya.Wanita ini kemudian menyesalkan Roquentin karena keinginannya untukmengatur cinta mereka menjadi sebuah “petualangan” yang diisi dengan“waktu-waktu yang sempurna”. Sekarang gadis itu mengikuti jalan yang samadengan Roquentin yaitu kehilangan ilusi yang sama. Pada saat bersiap-siapmeninggalkan Bouville, Roquentin bertanya pada diri sendiri mengenaikebebasan yang merupakan ketiadaan alasan hidup. Pada hari keberang-katannya itu, sebuah piringan hitam yang sudah acapkali didengar menim-bulkan semacam “rasa gembira” sehingga ia menemukan kebahagiaan dalamkreasi seni itu dalam komposisi sebuah buku.

Page 146: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 130

telah menjadi kodratnya--manusia mempunyai kebebasan untukmenentukan pilihan-pilihan dan tindakannya.

Kebebasan serupa itulah yang memang sedang dijalanioleh Fanton Drummond di dalam novel Olenka. Kebebasan yangdijalaninya itu bukan sekedar akibat dirinya dipengaruhi olehbacaan yang diperoleh dari buku The New England Mind: the 17th Century karya Perry Miller yang memang berbicara tentang“nasib” dan “kemauan bebas” (hlm. 35), melainkan karena sejaksemula, jauh sebelum bertemu dengan Olenka, bahkan sejak kecilketika masih berada di rumah yatim-piatu di kota kecil Brackford,Fanton telah bertekad bulat untuk bebas (merdeka).

“Sementara itu, kasih sayang dalam keluargayang sering saya baca dalam buku-buku tidakpernah menghinggapi kehidupan saya. Saya jugabukannya hasil belas-kasihan, yang dimanjakankarena tidak mempunyai orang-tua. Masa anak-anaksaya diatur oleh jadwal dan kewajiban. Dan sayaingin merdeka.”

(hlm. 83)

Fanton mengharapkan kebebasan demikian juga bukan hanyakarena ia ingin melepaskan diri dari semua tugas dan kewajibanyang diberikan kepadanya, melainkan juga karena memang didalam dirinya ada suatu “kesadaran”. Kesadaran itulah yangmembuat ia sadar-diri, yaitu sadar akan keberadaan ataueksistensi dirinya.

Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan olehSartre (Dagun, 1990:97--105; Berten, 1996:94--96) bahwa padadiri manusia ada dua macam keberada-(etre)-an, yaitu “ada-dalam-diri” (l’etre-en-soi) dan “ada-untuk-diri” (l’etre-pour-soi).“Ada-dalam-diri” adalah ada di dalam dirinya sendiri, artinya ia

Page 147: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 131

ada begitu saja, tanpa dasar, tanpa diciptakan, dan tanpaditurunkan dari sesuatu yang lain. Ada semacam itu tidak aktif,tetapi juga tidak pasif. Ia hanya menaati prinsip identitas, dalamarti tidak mempunyai hubungan dengan keberadaannya. Adasemacam itu tidak memiliki alasan untuk ada seperti yang terjadipada benda-benda. Cara berada seperti itulah yang --menurutSartre-- memuakkan (nauseant).

Sementara itu, “ada-untuk-diri” tidak menaati prinsipidentitas. Ada semacam itu berhubungan dengan keberadaan ataueksistensinya, dan hubungan tersebut ditentukan oleh “kesa-daran”. Kalau benda-benda tidak menyadari bahwa dirinya ada,manusia dengan kesadarannya mengetahui bahwa dirinya ada.Dengan demikian, kesadaran selalu berhubungan dengan sesuatuyang lain (kesadaran akan sesuatu). Kesadaran itulah yang mem-buat manusia tidak hanya menjadi objek, tetapi juga subjek yangmelihat objek, yaitu dirinya. Oleh sebab itu, manusia memilikikebebasan untuk menentukan pilihan-pilihan dan tindakannya.Seperti halnya yang terjadi pada diri Fanton bahwa karena ia“sadar” akan keberadaannya, ia pun bebas memilih bagi dirinya,bertindak untuk dirinya, termasuk apa saja yang dila-kukanbersama Olenka, Wayne, dan M.C..

Menurut Sartre (Hassan, 1992:134), manusia tidak lainadalah rencananya sendiri. Ia meng-ada hanya sejauh iamemenuhi dirinya sendiri. Itulah sebabnya, manusia tidak lainadalah kumpulan tindakannya, ia adalah hidupnya sendiri. Akantetapi, hal demikian mengandung pula pengertian bahwa manusiaharus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Apa punjadinya eksistensinya, apa pun makna yang hendak diberikankepada eksistensinya, tidak lain adalah dirinya sendiri yangbertanggung jawab. Oleh sebab itu, setiap pilihan yang dijatuhkanterhadap alternatif yang dihadapinya adalah pilihannya sendiri.Hal demikian berarti bahwa manusia tidak berhubungan dengankekuatan yang berada di luar dirinya, termasuk kekuatan Tuhan,

Page 148: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 132

karena segalanya dipilih, ditentukan, dan dipertanggungjawab-kan sendiri.

Keyakinan itu pula yang agaknya tergambar pada diriFanton Drummond. Sebenarnya Fanton berkali-kali mengakubahwa di luar dirinya ada kekuatan yang lebih besar, lebih agung,dan lebih murni. Akan tetapi, pengakuan itu hanya sebataspengakuan belaka karena kenyataan menunjukkan bahwa berkali-kali pula ia “menolak” suara-suara khotbah yang terdengar dariseorang pendeta pinggir-jalanan. Perhatikan kutipan berikut.

“Kadang-kadang di pinggir hutan sayamendengarkan sepintas lalu pendeta-pinggir-jalananberkhotbah. Dia tidak mempergunakan pengerassuara, akan tetapi bernafsu besar untuk menguman-dangkan khotbahnya. Maka melengkinglah suara-nya, bagaikan orang marah menuduh, membentak-bentak, dan menjerit-jerit. Dan memang beberapaanak muda merasa dimarahi. Mereka ganti marah.Ada juga yang menggoda pendeta ini, dan parahadirin dan hadirat tertawa terbahak-bahak. Sebagai-mana halnya seba-gian pendengar, saya menganggapkhotbah ini seba-gai lelucon. ...”

(hlm. 27)

Peristiwa pendeta-pinggir-jalanan yang sering diolok-olok olehpara pendengarnya tampak seperti pada berita dan gambarberikut. Berita dan gambar berikut diambil dari Indiana DailyStudent, edisi 4 Oktober 1979, sebuah surat kabar kampusIndiana University.

Page 149: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 133

Gambar Berita Olenka idshlm 25

Hal yang sama, yakni “menolak” apa yang sering dikatakan olehpendeta-pinggir-jalanan, dilakukan pula oleh Olenka. Itulahsebabnya, Fanton Drummond terus memperlihatkan kebebas-annya dan ingin terus “bersatu” dengan Olenka meskipun padaakhirnya gagal.

Selain itu, Fanton juga sering merasa dirinya kecil, tidakberarti, dan tidak berdaya, sehingga tidak jarang ia berlutut danberdoa. Namun, semua yang dilakukannya itu dirasakan masihkurang. Kekurangan itulah yang justru membuat dirinya terusbertanya apakah benar kekuatan di luar dirinya itu ada. Karenayang ada di dalam dirinya hanya serangkaian pertanyaan yangtidak kunjung terjawab, akhirnya ia sendiri seolah “menolak”adanya kekuatan di luar dirinya.

Page 150: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 134

“Entah mengapa, saya merasa yang sayalakukan masih kurang. Saya ingin pasrah danmenyerahkan diri, akan tetapi saya merasa adasesuatu dalam diri saya yang belum siap saya ajak.Rasanya berlutut dan menengadah belum cukup.Terdorong oleh keinginan untuk menunjukkankekecilan saya, untuk pasrah dan menyerahkan diri,setelah berlutut saya membongkok dan menem-pelkan kening saya di rerumputan. Ada perasaansegar menyelinap di lubuk hati saya. Meskipundemikian ada juga perasaan serba salah. Ada sesuatuyang rasanya kurang mengena. ...”

(hlm. 69--70)

Acapkali Fanton Drummond juga menyebut beberapa ayatsuci Alquran (hlm. 143, 215), tetapi ayat-ayat itu hanyalah“sekedar sebagai ayat yang pernah ditengoknya”; dalam artibahwa ayat-ayat itu ternyata tidak pernah diyakini olehnyasebagai hal yang mempengaruhi keberadaannya. Apalagi, setelahia terpengaruh oleh “kekuatan akal dan atau pikiran manusia”, diantaranya melalui suatu peristiwa bahwa Copernicus telahmenemukan teori tentang “dunia itu bulat, dikelilingi bulan, danbersama-sama planet lain mengelilingi matahari,” sehinggakonsep mengenai sorga berada di atas sana sudah luntur, secaradiam-diam Fanton Drummond yakin bahwa hanya diri manusiasendirilah sumber dan pusat kekuatan itu. Oleh karena itu, Fantonkemudian lebih percaya pada dirinya sendiri dengan caramenengok ke hati nurani daripada menengadahkan muka dantangan ke langit atau menempelkan kening ke tanah. Halsemacam ini agaknya diyakini pula oleh Olenka. Perhatikankutipan berikut.

Page 151: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 135

“Olenka berkata, “Sebetulnya dia cukupmenengok ke hati nuraninya sendiri, tanpa berusahamenengadahkan kepalanya ke langit.

Olenka menyatakan sudah sejak lama diamempertimbangkan hubungannya dengan sayadalam hati nuraninya. Bahkan semenjak dahulu, jauhsebelum dia bertemu dengan saya, setiap adapersoalan dia pasti mempertimbangkannya denganhati nuraninya. Karena itu dia menganggap pendetapinggir-jalanan sebagai “gangguan umum.”

(hlm. 53--54).

Benar bahwa sesuai dengan keberadaan-untuk-dirinya,setiap manusia, tidak terkecuali Fanton Drummond, bebas untukbertindak apa pun sesuai dengan pilihannya sendiri. Akan tetapi,menurut Sartre (Berten, 1996:97; Hassan, 1992:136), justrukarena semuanya harus dipilih sendiri, dilakukan sendiri, dandiper-tanggungjawabkan sendiri, manusia pada akhirnya justruselalu berada di dalam keadaan gelisah dan cemas. Perhatikankege-lisahan Fanton Drummond berikut.

“Saya makin sering mempertanyakan dirisaya sendiri. Dan saya sering gelisah. Hubungansaya dengan orang lain juga sering sayapertanyakan. Sebelumnya saya menganggap oranglain sebagai teman sekerja, kenalan, atau orang yangmemerlukan pertolongan atau saya perlukanpertolongannya. Perjalanan saya seperti gerak mobildi jalan raya, ada lampu merah saya berhenti, adalampu hijau saya berjalan, dan pada waktumendekati penyeberangan saya mengurangikecepatan. Andaikata saya ketabrak saya melapor kepolisi, andaikata saya yang menabrak maka sayamengganti kerugian, dan andaikata mesin saya

Page 152: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 136

mogok saya harus bergerak ke pinggir kemudianberhenti. Dan seterusnya.”

(hlm. 88)

Kegelisahan dan kecemasan yang sama juga terjadi pada diriOlenka seperti berikut.

“Sekonyong-konyong dia menangis. Sayatidak tahu apa sebabnya, dan tidak sampai hati untukmenanyakannya. Kemudian dia mengatakan bahwahidupnya adalah serangkaian kesengsaraan. Bukanhanya perkawinannya saja yang hancur, akan tetapijuga seluruh hidupnya. Dia menyesal mengapa diatidak mati ketika dia masih bayi, atau paling tidakketika dia masih kanak-kanak, pada waktu dia masihlebih banyak mempergunakan instinknya daripadaotaknya. Sekarang sudah terlambat baginya matitanpa merasa takut menghadapinya. Hidupnya bukanhanya menunda kekalahan, akan tetapi jugakehancuran, sebelum akhirnya dia menyerah.”

(hlm. 60)

Kegelisahan dan kecemasan semacam itu muncul karena manusia(termasuk Fanton Drummond dan Olenka) terbebani oleh“keharusan” untuk memilih dan atau menentukan tindakannyasendiri. Apakah pilihannya itu tepat atau tidak, pasti atau tidak,semuanya tidak dapat dijawab dengan kepastian. Yang pastihanyalah keputusan menjatuhkan pilihan itu tidak bisa lainkecuali menjadi tanggung jawab sendiri. Hal ini pula yangmenyebabkan manusia takut dan cemas akan kematian karenakematian--yang oleh Sartre dianggap absurd--adalah “akhir darikebebasan.”

Tampak pula di dalam kutipan di atas bahwa seakan-akankehidupan dan pilihan-pilihan manusia telah ditetapkan

Page 153: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 137

sebelumnya oleh berbagai situasi sehingga semuanya menjadibeban yang mencemaskan. Kecemasan serupa itu sebenarnyajarang terjadi, tetapi ketika manusia sadar bahwa perilakunyatergantung pada diri sendiri dan hanya dirinya sendirilah satu-satunya sumber nilai dan makna, maka kecemasan itu punmuncul dalam hidupnya. Dengan munculnya kecemasan tersebutberarti bahwa ia (manusia) tidak lagi bebas, dan kalau dirinyamenjauhi kecemasan, berarti dirinya menjauhi pula kebebasan.

Hal-hal lain yang juga dapat mengurangi kebebasanmanusia adalah kehadiran orang lain. Oleh sebab itu, sepertihalnya Fanton Drummond, untuk menghindari kecemasan yangterus-menerus ia selalu menganggap orang lain sebagai musuh.Hal tersebut terlihat jelas pada sikapnya terhadap Wayne. Dengankehadiran Wayne, kebebasan Fanton untuk menentukan pilihandan tindakannya menjadi berkurang. Dengan demikian, padadasarnya manusia itu mengakui kebebasan tetapi sekaligus jugamenyangkal kebebasan. Inilah suatu kepalsuan.

Sikap yang sesungguhnya palsu itulah yang oleh Sartre(Dagun, 1990:107) disebut sebagai penipuan diri. Namun, dibalik semua itu, sikap menipu diri dilakukan tidak lain juga untukmenghindari tanggung jawab terhadap diri sendiri yang tujuannyauntuk mengurangi kecemasan, kesukaran, dan rasa tidak enakyang menyertai tindakan dan atau pemenuhan tanggungjawabnya. Demikian juga kiranya sikap Fanton Drummond. Iamenulis lima surat masturbasi juga hanya untuk mempertahankandiri, untuk mengorek diri sendiri, dan untuk menipu diri sendiri.

“Otak saya capai. Bukan karena kurangtidur, akan tetapi karena terlalu banyak mereka-rekakelima surat tersebut. Jiwa yang tersirat dalamkelima surat tersebut adalah keinginan saya untukmemper-tahankan diri....”

(hlm. 132)

Page 154: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 138

Fanton Drummond bersikap (menipu diri) demikian karena dalamsepanjang hidupnya ia senantiasa merasa cemas. Kecemasantersebut bukan hanya disebabkan oleh keinginan untuk menikahdan punya anak baik dari Olenka maupun M.C. ditolak, melain-kan juga disebabkan di dalam dirinya muncul pertanyaanmengapa manusia harus lahir, bertemu, kawin, punya anak, tua,dan mengapa pula akhirnya berpisah. Baginya, semua itu tidakdapat dimengerti, dan perubahan-perubahan yang dialaminyaseolah telah ditentukan. Hal semacam itulah yang membuatdirinya muak (nausee).

Demikian antara lain hubungan atau proses dialog Olenkadengan pemikiran Sartre. Dari paparan ringkas di atas akhirnyadapat dikatakan bahwa dunia dan kehidupan yang digambarkan didalam novel Olenka sesungguhnya berpusat pada oposisi(konflik) antara kebebasan dan keterbatasan. Akan tetapi, oposisitersebut tampak tidak tertutup, tidak terakhiri (unfinalized), tetapiterus terbuka, tanpa akhir. Hal demikian mengindikasikan bahwaOlenka merupakan ajang pertarungan dua pemikiran yangberbeda tetapi tidak saling meniadakan. Artinya, satu hal diterimakehadirannya, tetapi hal lain tidak ditolak atau dinegasikan;semuanya dipertahankan dan diakui keberadaannya.

Dilihat dari sikap, perilaku, dan pemikiran tokoh-tokoh-nya pun tampak jelas bahwa novel Olenka diciptakan antara lainuntuk menanggapi pemikiran Sartre. Hal tersebut terlihat padapenam-pilan Fanton Drummond. Di satu pihak, Fanton ditampil-kan sebagai seorang eksistensialis atau sebagai seorang penganut“kebebasan” sebagaimana dikembangkan Sartre yang tidakmengakui adanya “kekuatan di luar dirinya”, tetapi di lain pihak,penampilannya selalu dibayangi oleh kehadiran Tuhan sebagaitanda adanya “kekuatan lain” yang tidak dapat dielakkan. Haltersebut berarti bahwa melalui Olenka pengarang sesungguhnyaingin menunjukkan bahwa sebagai sebuah pemikiran tentangkebenaran, konsep Sartre yang berbunyi “manusia itu tidak lain

Page 155: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 139

adalah suatu kebebasan” tidak harus diterima sebagai suatukebenaran mutlak.

Hal di atas berarti pula bahwa Olenka mendialogisasipemikiran Sartre, atau dengan kata lain, di antara keduanyaterjadi hubungan dialogis. Hanya saja, seperti telah dikatakandalam beberapa pembahasan sebelumnya, akibat dari adanyapenjelasan pengarang dari luar teks fiksi, semua hubungandialogis itu berubah menjadi monologis. Perubahan itulah yangmenyebabkan novel ini hanya menyuarakan satu suara (mono-fonik), yaitu suara pengarang, karena suara-suara lain semuanyaterbungkam. Atau dengan kata lain, di dalam novel setebal 232halaman ini, pengarang adalah segala-galanya. Jadi, pembacatidak diberi hak untuk mengungkapkan suara dan pikirannya;ibaratnya ia menghadapi tembok yang keras, egois, dan angkuh.

Page 156: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 140

BAB IVPENUTUP

Dari pembahasan sebagaimana telah disajikan di dalambab-bab sebelumnya, akhirnya di bagian penutup ini dapatdirangkum beberapa hal berikut. Olenka bukan novel yang tampildengan sekian banyak tokoh, melainkan hanya dengan beberapatokoh. Bahkan, novel karya Budi Darma tersebut termasuk “sepi”akan tokoh. Akan tetapi, kenyataan tersebut tidaklah menghalangipenampilan novel tersebut sebagai sebuah karya karnivalis, karyayang di dalamnya tampil unsur-unsur yang mencerminkan suatuperilaku seperti yang terlihat dalam suatu pesta rakyat (carnival)dengan segala ciri kemeriahannya.

Kemeriahan novel Olenka tampak bukan karena didalamnya sekian banyak tokoh berpesta-pora, melainkan karenasekian banyak pikiran hadir bersama secara beriringan. Sekianbanyak pikiran itu datang dari berbagai penjuru, dari berbagai“genre”, atau dari berbagai “teks”. Dari kenyataan demikiandapat diketahui bahwa Olenka dapat dikategorikan sebagai novelyang berkecenderungan polifonik dan dialogis. Hanya saja, dariseluruh hasil pengamatan yang telah dilakukan, dapat dikatakanbahwa ciri karnival, polifonik, dan dialogis novel Olenka hanyamencapai tingkatan tertentu. Artinya, karakteristik novel Olenkatidak sama dengan karakteristik novel-novel yang berasal daritradisi sastra karnival, terlebih lagi novel-novel karya Dos-toevsky.

Dari pembahasan seluruh unsur yang mencerminkanperilaku karnival dapat dinyatakan bahwa novel Olenka terkar-nivalisasi baik secara eksternal maupun internal. Secara eksternal,karnivalisasi Olenka tampak pada bentuk, yaitu pada susunan

Page 157: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 141

bagian-bagian (bab-bab) yang “tidak biasa” (luar biasa). Adabagian yang berupa bangunan dunia fiksi (bagian I--V), ada pulabagian yang bukan dunia fiksi (bagian VI--VII). Dunia fiksi dandunia nonfiksi digabung menjadi satu sehingga novel Olenkatampak bagaikan sebuah “drama” gaya “sampakan” yang didalamnya pengarang dan pembaca--dapat secara bebas--ikutterlibat dalam dialog.

Sementara itu, secara internal karnivalisasi novel Olenkatampak pada sikap dan perilaku tokoh (Fanton Drummond,Olenka, Wayne Danton, dan Mary Carson) yang “bermain” didalam suatu lokasi atau latar yang karnivalistis, lokasi yangterbuka, bersifat umum, tanpa batas, dan menunjukkan simbolmilik semua orang (apartemen, stasiun, terminal, jalanan, kelabmalam, cottage, rumah sakit, dan sejenisnya). Di lokasi karnivalsemacam itulah, tokoh-tokoh, terutama Fanton Drummond,berpetualang, menjalin hubungan (skandal) dengan Olenka danMary Carson, berperilaku eksentrik, bertanya pada diri sendiri,bermimpi, berkonfrontasi dengan tokoh-tokoh lain, bertanyatentang “akhir kehidupan (kematian)”, dan akhirnya menderitanausee (muak terhadap diri sendiri). Di samping itu, karnivalisasiinternal juga tampak pada adanya berbagai “teks” atau “wacana”atau “genre” lain seperti novel, cerpen, puisi, syair lagu, film,buku teks, kitab suci, gambar, berita, artikel, dan iklan yang“terhimpun” di dalamnya.

Seluruh unsur (perilaku) karnival tersebut ternyata mem-pengaruhi, bahkan menentukan, susunan, struktur, atau kompo-sisinya. Berdasarkan pengamatan terhadap komposisi diketahuibahwa novel Olenka memiliki komposisi yang khas. Kompo-sisinya relatif berbeda dengan komposisi novel-novel konvensi-onal yang unsur-unsur plotnya pada umumnya ditentukan olehrelasi atau hubungan sebab-akibat. Hubungan antarunsur di dalamOlenka tidak ditentukan oleh hubungan sebab-akibat, tetapi olehsebuah hubungan kontrapuntal, yaitu hubungan (yang) beriringan.Itulah sebabnya, dapat dikatakan bahwa Olenka memiliki kompo-

Page 158: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 142

sisi seperti halnya komposisi sebuah musik. Kalau komposisimusik dibangun oleh dua unsur utama yang disebut counterpointdan modulation, komposisi Olenka dibangun oleh dua unsurutama yang disebut sinkrisis dan anakrisis.

Seperti halnya counterpoint di dalam musik, sinkrisis didalam Olenka berfungsi memadukan dua (atau lebih) suara (sudutpandang, pemikiran, atau gagasan) yang berbeda-beda tetapihadir secara bersama. Sementara itu, anakrisis berfungsi mempro-vokasi unsur-unsur tertentu sehingga mendorong terciptanyamodulation, yaitu peralihan dari sinkrisis satu ke sinkrisis lain,dari peristiwa konfrontatif satu ke peristiwa konfrontatif lain, disepanjang teks. Hanya saja, dari seluruh pembahasan ataskomposisi yang telah dilakukan, dapat dinyatakan bahwa kompo-sisi musikal novel Olenka ternyata tidak “merdu” akibat terbukaatau terpecahnya nada akhir. Namun, justru karena hal itu, dariawal sampai pada bagian V (Coda), yakni bagian yang berupabangunan dunia fiksi (simbol), novel Olenka justru menunjukkanciri kepolifonikan dan kedialogisannya.

Sementara itu, diamati dari sisi dialog antartokoh danposisi pengarang, dapat dirangkum beberapa hal berikut. Terlihatbahwa di dalam novel Olenka tokoh satu dapat berhubungandengan tokoh lain. Akan tetapi, hubungan itu tidak terjalin mela-lui peristiwa, situasi, atau dialog-dialog langsung, tetapi terjalinmelalui kesadaran. Artinya, tokoh satu dapat masuk ke dalamkesadaran tokoh lain, khususnya dalam hubungan antara Fantondan Olenka, Fanton dan Wayne, Fanton dan Mary Carson, sertaOlenka dan Wayne. Oleh karena itu, walaupun di dalam novel inimuncul kesan adanya kesulitan hubungan antarmanusia, tokoh-tokoh itu dapat hadir bersama, berdialog bersama, untuk memba-has masalah atau objek (tertentu) secara bersama-sama.

Hanya saja, karena tokoh-tokoh tersebut secara dominandigambarkan hanya melalui satu mulut (suara), yaitu mulut“saya” (narator, Fanton Drummond), akhirnya semua tokohterobjektivikasi oleh “saya”. Itulah sebabnya, hubungan dialogis

Page 159: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 143

atau relasi yang tidak saling meniadakan (hubungan demokratis)yang terjalin di antara mereka menjadi lenyap. Barulah hubungandialogis dapat terjalin kembali ketika pengarang bergabungdengan tokoh. Meskipun “saya” identik dengan pengarang, diakhir cerita (bagian V) pengarang mencoba membuat jaraktertentu dengan tokoh sehingga keduanya tidak saling meng-objektivikasi, tetapi saling menghargai dan mempertahankan diri.

Hal demikian terbukti pula di dalam pembahasan hu-bungan atau dialog intertekstual. Dari pembahasan atas hubunganantara Olenka dengan teks-teks yang dihimpunnya, di antaranyateks sajak Chairil Anwar dan pemikiran Sartre, dapat diketahuibahwa pengarang tidak menyatu dengan “saya”, tetapi membukajarak dengannya. Dalam hal ini tokoh “saya” (Fanton) mencobamengangkat dan mempertahankan suara-suara yang datang dariChairil Anwar, juga dari filsuf eksistensialis Sartre, terutamadalam hubungannya dengan sikap manusia terhadap (absurditas)hidup, sementara pengarang juga mencoba menawarkan alternatiflain. Di satu sisi, tokoh “saya” meng-anggap bahwa manusiamemiliki hak penuh atas kebebasan, tetapi di sisi lain, pengarangmerasa yakin bahwa manusia itu sangat terbatas. Jadi, suarakeduanya berhubungan secara dialogis.

Kendati demikian, hubungan dialogis tersebut kembalihancur, kembali tertutup, dan terobjektivikasi oleh hadirnya suaramurni pengarang yang dituangkan di luar teks artistik. Denganditampilkannya catatan mengenai apa saja yang dilakukan tokohyang tidak diketahui oleh pembaca, bahkan tidak diketahui pulaoleh tokoh-tokoh itu sendiri, ditambah dengan gagasan danpemikiran yang dituangkan di dalam esai “Asal-Usul Olenka”,ditambah lagi dengan keterangan yang diterakan di bawahguntingan gambar, berita, atau iklan, pada akhirnya suara-suara,kesadaran, bahkan dunia dialogis (demokratis) yang terbangun didalamnya berubah menjadi monologis (otoriter).

Dari pengamatan terhadap proses representasi gagasan(ideologi) diperoleh pula hal yang sama. Di dalam novel Olenka

Page 160: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 144

gagasan pengarang tidak berfungsi mendialogisasi pemikiran ataugagasan lain, tetapi justru memonologisasi, membungkam, danmelenyapkan gagasan lain. Dalam novel ini sesungguhnyapengarang telah mencoba mengajukan sesuatu yang mengarahpada upaya demokratisasi (kebebasan berpendapat, kemerdekaanberpikir), yakni dengan cara mengedepankan berbagai gagasandan pemikiran lain, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa betapasulit demokrasi itu ditegakkan. Oleh sebab itu, akhirnya Olenkaseolah hanya merepresentasikan objek (gagasan), tetapi tidaksekaligus menjadi objek representasi.

Dari seluruh pembahasan secara dialogis terhadap relasiberbagai komponen di dalam Olenka, akhirnya, sekali lagi, dapatdikatakan bahwa berbagai unsur karnival yang mengkarnivalisasinovel tersebut ternyata tidak menjamin dirinya sebagai novelyang sepenuhnya polifonik dan dialogis. Kepolifonikan dankedialogisan Olenka hanya terbatas pada bagian tertentu, yaitubagian I sampai dengan V; dan jika dilihat secara keseluruhan(bagian I sampai dengan VII), novel tersebut termasuk ke dalamkategori novel monofonik dan atau monologik, novel yang hanyamenyuarakan satu suara, yakni suara pengarang. Mengapa terjadidemikian, karena suara-suara lain, baik dari tokoh maupun daripembaca, semuanya “dibungkam” oleh suara pengarang.

Perlu diketahui bahwa rangkuman (simpulan) ini bukanmerupakan hasil akhir yang final karena sesungguhnya karak-teristik (kepolifonikan dan kedialogisan) novel polifonik dapatpula dilihat melalui pembahasan terhadap aspek-aspek wacanayang lebih kecil, misalnya melalui aspek tuturan (word) atausarana ekspresi verbalnya. Karena terhalang oleh berbagai hal,masalah yang berhubungan dengan analisis wacana tidakdibicarakan dalam buku ini. Jika dimungkinkan, saya masihberkeinginan untuk mengkaji masalah ini; atau jika berminat,Anda (para pembaca dan calon-calon pembaca) dipersilakanmeneruskan dan mengembangkannya.

Page 161: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 145

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Lukman dkk. (pen.). 1997. (Cetakan Kesembilan). KamusBesar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung:Sinar Baru.

Bakhtin, Mikhail. 1973. Problems of Dostoevsky’s Poetics.Translated by R.W. Rotsel. USA: Ardis.

Bakhtin, M.M. and Medvedev, P.N. 1985. The Formal Method inLiterary Scholarship: A Critical Introduction SociologicalPoetics. Translated by Albert J. Wehrle. Cambridge:Harvard University Press.

Berten, K. 1996. (Edisi Revisi dan Perluasan). Filsafat BaratAbad XX (Jilid II) Prancis. Jakarta: Gramedia.

Bouty, M. 1991. Kamus Karya Sastra Perancis. Jakarta: AMPPublications.

Budiman, Arief. 1976. Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan.Jakarta: Pustaka Jaya.

Budiman, Kris. 1994. Wacana Sastra dan Ideologi. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Page 162: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 146

Chatman, Seymour. 1980 (Second Printing). Story and Dis-course: Narrative Structure in Fiction and Film. Ithacaand London: Cornell University Press.

Culler, Jonathan. 1981. The Pursuit of Signs: Semiotics, Litera-ture, Deconstruction. London, Melbourne, and Henley:Routledge & Kegan Paul.

Dagun, Save M. 1990. Filsafat Eksistensialisme. Jakarta: RinekaCipta.

Damono, Sapardi Djoko. 1986. “Chairil Anwar Kita.” DalamEneste (Ed.). Chairil Anwar: Aku Ini Binatang Jalang.Jakarta: Gramedia.

Darma, Budi. 1980. Orang-Orang Bloomington. Jakarta: SinarHarapan.

----------. 1983. Olenka. Jakarta: Balai Pustaka.

----------. 1995. Harmonium. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Pedoman UmumEjaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta:Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Dewanto, Nirwan. 1996. Senjakala Kebudayaan. Yogyakarta:Bentang Intervisi Utama.

----------. 1990. “Mempertanyakan Budi Darma: TentangSolilokui, Bawah Sadar, dan Keterlibatan.” DalamHorison, Nomor 2, Tahun XXIV, Februari 1990.

Page 163: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 147

Djokosujatno, Apsanti. 2000. “Mite Sisifus, Orang Asing, Sam-par, dan Camus: Posisi dan Interpretasi.” Dalam Horison,Nomor 3, Tahun XXXIV, Maret 2000.

Eneste, Pamusuk. 1988. Ikhtisar Kesusastraan IndonesiaModern. Jakarta: Djambatan.

Eneste, Pamusuk (Ed.). 1986. Chairil Anwar: Aku Ini BinatangJalang. Jakarta: Gramedia.

Faruk. 1988. “Novel Indonesia Mutakhir: Menuju Teori yangRelevan.” Dalam Esten, Mursal (ed.). 1988. MenjelangTeori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan.Bandung: Angkasa.

----------. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: PustakaPelajar.

Fowler, Roger (ed.). 1987. (Revised Edition). A Dictionary ofModern Critical Terms. London and New York:Routledge & Kegan Paul.

Hakim, Zainal. 1996. Edisi Kritis Puisi Chairil Anwar. Jakarta:Dian Rakyat.

Hassan, Fuad. 1992. (Cetakan Kelima). Berkenalan denganEksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya.

Hoerip, Satyagraha. 1986. “Beberapa Catatan Mengenai OlenkaKarya Budi Darma.” Dalam Horison, Nomor 6, TahunXX, Juni 1986.

Hutomo, Suripan Sadi. 1988. “Unsur Silat dalam Olenka.” DalamHorison, Nomor 6, Tahun XXII, Juni 1988.

Page 164: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 148

Indraningsih. 1996. “Eksistensi Manusia dalam Rafilus danOlenka Karya Budi Darma: Sebuah Kajian Semiotik.”Tesis Program Pascasarjana UGM.

Indriati, Sri. 1991. “Struktur Novel Olenka: Sebuah TinjauanIntertekstual.” Skripsi Fakultas Sastra UGM.

Ismail, Taufiq. 2000. “Pengajaran Sastra yang Efektif dan Efisiendi SLTA.” Dalam Widyaparwa, Nomor 54, Maret 2000.

Jassin, H.B. 1996. Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45. Jakarta:Grasindo.

Jefferson, Ann and Robey, David (ed.). 1991 (Second Edition).Modern Literary Theory: A Comparative Introduction.London: Batsford Ltd.

Junus, Umar. 1988. “Teori sastra dan Fenomena Sastra”. DalamEsten, Mursal (ed.). 1988. Menjelang Teori dan KritikSusastra Indonesia yang Relevan. Bandung: Angkasa.

----------. 1990. “Unsur Tak-Cerita dalam Novel: Teks danCerita.” Makalah dalam Pertemuan Ilmiah Nasional IIIHiski, Malang, 26--28 November 1990.

----------. 1996. Teori Moden Sastera dan Permasalahan SasteraMelayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Kaplan, David dan Manners, Albert A. 1999. Teori Budaya.Diterjemahkan oleh Landung Simatupang dari buku TheTheory of Culture. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Page 165: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 149

Laksanadjaja, J.K. 1975. Kamus Musik Kecil. Bandung: Alumni.

Larrain, Jorge. 1996. Konsep Ideologi. Diterjemahkan oleh RyadiGunawan dari buku The Concept of Ideology. Yogyakarta:LKPSM.

Mardiwarsito, L. dkk. 1985. Kamus Praktis Jawa-Indonesia.Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Morson, Gary Saul (ed.). 1986. Bakhtin: Essays and Dialogueson His Work. Chicago and London: The University ofChicago Press.

Mujianto, Yant. 1997. “Sastra Posmo: Sepercik PemikiranEmbrional.” Makalah dalam PIBSI II Putaran II diUniversitas Diponegoro, Semarang, September 1997.

Mujiningsih, Erlis Nur dkk. 1996. Analisis Struktur Novel Indo-nesia Modern 1980--1990. Jakarta: Pusat Pembinaan danPengembangan Bahasa.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogya-karta: Gadjah Mada University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1993 (Cetakan Ketiga). PengkajianPuisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

----------. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Pene-rapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Prijanto, Saksono. 1993. “Teknik Kolase dalam Novel Olenka.”Dalam Bahasa dan Sastra, Tahun X, Nomor 3, 1993.

Page 166: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 150

Putra, Darma. 1993. “Budi Darma.” Dalam Basis, Oktober 1993.

----------. 1995. “Kredo Budi Darma: Konsep Takdir dalamMencipta.” Dalam Basis, April 1995.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington &London: Indiana University Press.

Sahal, Ahmad. 1999. “Sastra, Ambiguitas, dan Tawa Tuhan.”Dalam Nurhan, Kenedi (pen.). Derabat: Cerpen PilihanKompas 1999. Jakarta: Kompas.

Sastrowardoyo, Subagio. 1980. Sosok Pribadi dalam Sajak.Jakarta: Pustaka Jaya.

Segers, Rien T. 1978. The Evaluation of Literary Texts. Lisse:The Peter de Ridder Press.

Selden, Raman. 1991. (Cetakan Kedua). Panduan Pembaca TeoriSastra Masa Kini. Diterjemahkan oleh Rachmat DjokoPradopo dari buku A Reader’s Guide to ContemporaryLiterary Theory. Yogyakarta: Gadjah Mada UniversityPress.

Setijowati, Adi. 1986. “Beberapa Kecenderungan Gaya BudiDarma dalam Olenka.” Makalah dalam PIBSI se-DIY danJateng di Universitas Muhammadiyah Surakarta, Oktober1986.

Sudiarja, A. 1992. “Fiodor Mikaelovich Dostoevski Menurut Ca-tatan Harian Anna Grigorievna Snitkin.” Dalam Horison,Agustus 1992.

Page 167: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 151

Suhartono, Martinus. 1993. “Albert Camus: Dari yang Absurd kePemberontakan.” Dalam Driyarkara (red.). DiskursusKemasyarakatan dan Kemanusiaan. Jakarta: GramediaPustaka Utama.

Sumardjo, Jakob. 1991. Pengantar Novel Indonesia. Bandung:Citra Aditya Bhakti.

Suseno, Frans Magnis. 1995 (Cetakan Keempat). Filsafat sebagaiIlmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius.

Teeuw, A. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.

Todorov, Tzvetan. 1984. Mikhail Bakhtin: The DialogicalPrinciple. Translated by Wlad Godzich. Manchester:Manchester University Press.

----------. 1985. Tata Sastra. Jakarta: Djambatan.

----------. 1996. Puitika Prosa, Prosa, dan Penelitian-PenelitianBaru atas Cerita. Diterjemahkan oleh Apsanti D. dkk.dari buku Poetique de la Prose. Jakarta: Pusat Pembinaandan Pengembangan Bahasa.

Volosinov, V.N. 1986. Marxism and the Philosophy of Language.Translated by Ladislay Matejka and I. R. Titunik.Cambridge, Massachusetts, London: Harvard UniversityPress.

Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta:Erlangga.

Zaidan, Abdul Rozak dkk. 1994. Kamus Istilah Sastra. Jakarta:Balai Pustaka.

Page 168: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 152

BIODATA PENULIS

TIRTO SUWONDO, lahir di Purwodadi,Gro-bogan, Jawa Tengah, pada 1962.Pendidikan S-1 (FPBS IKIP M Yogyakarta,1987), S-2 (Sastra UGM, 2000), S-3 (PBIUNS, 2015). Sejak 1982 bekerja sebagaistaf Tata Usaha di Balai Bahasa dan pada1988 diangkat sebagai tenaga peneliti.Pernah bekerja sebagai wartawan MajalahDetik (1988), Harian Media Indonesia

(1989--1991), dan Majalah Wanita Kartini (1991--1993). Sejak2007 menjabat Kepala Balai Bahasa Daerah IstimewaYogyakarta.

Sejak masih kuliah (diawali saat mendirikan majalahkampus Citra) aktif menulis artikel, resensi, dan feature tentangsastra, budaya, dan pendidikan di Kedaulatan Rakyat, Bernas,Masa Kini, Minggu Pagi, Yogya Pos, Suara Merdeka, Wawasan,Bahari, Merdeka, Pikiran Rakyat, Republika, Solo Pos, JawaPos, Prioritas, Swadesi, Simponi, Media Indonesia, Suara Karya,Detik, Kebudayaan, dan Horison. Pernah menulis puisi dancerpen, dimuat di Masa Kini, tetapi tidak diteruskan. Lima esai-sastranya telah dimuat di Pangsura (Jurnal Pengkajian SasteraAsia Tenggara) Brunei Darussalam. Telah dua belas kalimenjuarai lomba penulisan esai, kritik, dan naskah radio tingkatlokal dan nasional; terakhir masuk 10 besar sayembara kritiksastra tingkat nasional Dewan Kesenian Jakarta (2007). Selainmenjadi dewan redaksi beberapa jurnal ilmiah kebahasaan dankesastraan (Poetika, Bahastra, dan Widyaparwa), pernah pulaaktif menjadi editor buku di beberapa penerbit di Yogyakarta.

Buku karya bersama tim yang telah terbit: (1) Nilai-NilaiBudaya Susastra Jawa (Pusat Bahasa, 1994); (2) Sastra JawaModern Periode 1920 sampai Perang Kemerdekaan (Pusat

Page 169: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 153

Bahasa, 1996); (3) Karya Sastra Indonesia di Luar PenerbitanBalai Pustaka (Pusat Bahasa, 1997); (4) Ikhtisar PerkembanganSastra Jawa Modern Periode Prakemerdekaan (Gama Press,2001); (5) Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern PeriodeKemerdekaan (Kalika, 2001); (6) Sastra Jawa Balai Pustaka1917--1942 (Mitra Gama Widya, 2001); (7) Kritik Sastra Jawa(Pusat Bahasa, 2003); Pengarang Sastra Jawa Modern(Adiwacana, 2006); (8) Pedoman Penyuluhan Sastra Indonesia(Balai Bahasa, 2008), (9) Sastra Yogya Periode 1945—2000(Curvaksara, 2009), (10) Kritik Sastra Indonesia di YogyakartaPeriode 1966--1980 (Elmatera, 2009), dan (11) KeberadaanSastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia Sekolah Dasar(Elmatera, 2010).

Buku karya sendiri yang telah terbit: (1) Suara-Suarayang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis (GamaMedia, 2001), (2) Studi Sastra: Beberapa Alternatif (Hanindita,2003), (3) Muryalelana: Seorang “Pejuang” Sastra Jawa (BalaiBahasa, 2005), (4) Karya Sastra Indonesia dalam MajalahGadjah Mada dan Gama (Jentera Intermedia, 2006); (5)Esai/Kritik Sastra dalam Minggu Pagi, Masa Kini, dan Semangat(Gama Media, 2007); (6) Mencari Jatidiri (Elmatera Publishing,2010); (7) Sastra Jawa dan Sistem Komunikasi Modern (GamaMedia, 2011); (8) Membaca Sastra, Membaca Kehidupan(Hikayat, 2011); dan (9) R. Intojo: Penyair Dua Bahasa(Azzagrafika, 2012).

Buku cerita anak-anak (hasil saduran dari sastra lisan-daerah) yang telah terbit: (1) Sang Pangeran dari Tuban (1996),(2) Gagalnya Sebuah Sayembara (1998), (3) Sepasang Naga diTelaga Sarangan (2004), (4) Tugas Rahasia Si Buruk Rupa(2005), dan (5) Dewi Anggraeni Si Putri Kerandan (2006).Kelima buku ini diterbitkan oleh Pusat Bahasa, DepartemenPendidikan Nasional, dan telah dibagikan ke berbagai sekolah diIndonesia.

Page 170: suARA-suARA yANG tERbuNGkAm - Zenodo

Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka dalam Perspektif Dialogis Page 154