xii STUDY ON COMMUNITY EMPOWERMENT WITH STRUCTURAL EQUATION MODEL APPROACH AROUND PALIYAN WILDLIFE RESERVE Eko Pranoto 1 , Djoko Marsono 2 , Sahid Susanto 23 ABSTRACT The high dependence of local communities on Paliyan Wildlife Reserve is a major problem in the management area. The objective of this study is: (1) determine and analyze the factors that affect the level of empowerment of peasent land in Paliyan Wildlife Reserve, (2) determine and analyze the factors that affect the level of participation of peasent land in Paliyan Wildlife Reserve, ( 3 ) to formulate an effective strategy efforts to increase the empowerment and participation of peasent land community development programs around the Paliyan Wildlife Reserve. Sites is the Paliyan Wildlife Reserve and surrounding villages namely Karangduwet, Karangasem, Jetis and Kepek Gunung Kidul Regency , Yogyakarta Special Region. Data collection was conducted in April 2013 to July 2013 . The study design was a survey, and research studies are explanations ( explanatory survey ) which describes causal relationship between the study variables through hypothesis testing . Sampling was done in stages (multistage random sampling). Collection of secondary data and primary data using questionnaires, interviews and observations of the 165 respondents. Processing and analysis of data using descriptive and inferential statistics. Inferential statistical analysis using Structural Equation Model (SEM) AMOS program. The results showed that the level of empowerment and participation of smallholder farmers in Paliyan Wildlife Reserve being classified in the category with the average score of 59 to level the score 57 for the empowerment and participation levels. SEM analysis showed that the factors that predominantly affect the level of empowerment of smallholder farmers is the opportunity or opportunities, the process of counseling and social environmental characteristics. While the level of participation of smallholder farmers directly affected by the level of factor empowerment, opportunity or opportunities, social and environmental characteristics of individual characteristics. Effective strategies and efforts to increase the participation of smallholder empowerment to community development programs around the area is Paliyan Wildlife Reserve (1) the increase in the chance/ opportunity so that farmers can be more empowered and able to participate, (2) increasing the empowerment and participation of farmers through the support of social environmental characteristics, (3) increasing the role of forestry extension in increasing farmers' empowerment and participation. Keywords : empowerment , participation, paliyan wildlife reserve, SEM. 1 Student of Forest Science Graduate School, Gadjah Mada University 2 Lecturer of Forest Science Graduate School, Gadjah Mada University
28
Embed
STUDY ON COMMUNITY EMPOWERMENT WITH …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66244/potongan/S2-2013... · berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
xii
STUDY ON COMMUNITY EMPOWERMENT WITH
STRUCTURAL EQUATION MODEL APPROACH
AROUND PALIYAN WILDLIFE RESERVE
Eko Pranoto1, Djoko Marsono
2, Sahid Susanto
23
ABSTRACT
The high dependence of local communities on Paliyan Wildlife Reserve is
a major problem in the management area. The objective of this study is: (1)
determine and analyze the factors that affect the level of empowerment of peasent
land in Paliyan Wildlife Reserve, (2) determine and analyze the factors that affect
the level of participation of peasent land in Paliyan Wildlife Reserve, ( 3 ) to
formulate an effective strategy efforts to increase the empowerment and
participation of peasent land community development programs around the
Paliyan Wildlife Reserve.
Sites is the Paliyan Wildlife Reserve and surrounding villages namely
Karangduwet, Karangasem, Jetis and Kepek Gunung Kidul Regency , Yogyakarta
Special Region. Data collection was conducted in April 2013 to July 2013 . The
study design was a survey, and research studies are explanations ( explanatory
survey ) which describes causal relationship between the study variables through
hypothesis testing . Sampling was done in stages (multistage random sampling).
Collection of secondary data and primary data using questionnaires, interviews
and observations of the 165 respondents. Processing and analysis of data using
descriptive and inferential statistics. Inferential statistical analysis using
Structural Equation Model (SEM) AMOS program.
The results showed that the level of empowerment and participation of
smallholder farmers in Paliyan Wildlife Reserve being classified in the category
with the average score of 59 to level the score 57 for the empowerment and
participation levels. SEM analysis showed that the factors that predominantly
affect the level of empowerment of smallholder farmers is the opportunity or
opportunities, the process of counseling and social environmental characteristics.
While the level of participation of smallholder farmers directly affected by the
level of factor empowerment, opportunity or opportunities, social and
environmental characteristics of individual characteristics. Effective strategies
and efforts to increase the participation of smallholder empowerment to
community development programs around the area is Paliyan Wildlife Reserve (1)
the increase in the chance/ opportunity so that farmers can be more empowered
and able to participate, (2) increasing the empowerment and participation of
farmers through the support of social environmental characteristics, (3)
increasing the role of forestry extension in increasing farmers' empowerment and
participation.
Keywords : empowerment , participation, paliyan wildlife reserve, SEM.
1Student of Forest Science Graduate School, Gadjah Mada University
2 Lecturer of Forest Science Graduate School, Gadjah Mada University
1
HALAMAN JUDULAB I. PENDAHULUAN BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Meningkatnya laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial
politik sekarang, menjadikan tuntutan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya
alam juga semakin besar, termasuk kekayaan alam yang ada dalam kawasan
konservasi. Seperti pada kawasan hutan umumnya kawasan hutan konservasi
merupakan salah satu sumberdaya alam yang mampu menyediakan kebutuhan
dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan lain bagi
masyarakat, sehingga hutan tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat yang
tinggal disekitarnya sebagai satu kesatuan.
Ketergantungan masyarakat terhadap hutan cukup tinggi dengan
memanfaatkan berbagai sumberdaya yang ada, mulai dari lahan hutan, hasil hutan
kayu, non kayu dan jasa lingkungan lainnya. Jika hal ini dibiarkan tentunya
dikhawatirkan ekosistem hutan konservasi akan terganggu oleh adanya aktivitas
masyarakat khususnya masyarakat yang tinggal disekitar kawasan hutan. Kondisi
ini sejalan dengan ungkapan bahwa perubahan sosial ekonomi budaya sangat
berpengaruh terhadap hutan dengan adanya tekanan sosial terhadap hutan
(Marsono, 2004).
Sesuai dengan UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, Suaka Margasatwa adalah kawasan suaka alam yang
mempunyai ciri khas tertentu berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis
satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap
2
habitatnya. Suaka margasatwa selain memiliki fungsi pokok sebagai kawasan
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, juga
berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Sebagaimana dijelaskan
dalam UU No 5 tahun 1990, bahwa fungsi suaka margasatwa antara lain:
melindungi dan melestarikan kelangsungan hidup satwa tertentu agar tidak punah,
untuk keperluan pengembangan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
Keberadaan kawasan suaka margasatwa ini tentunya tidak terlepas dari
keberadaan masyarakat di sekitar kawasan. Ditjen Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan mencatat bahwa pada tahun 2010
terdapat lebih dari 3.800 desa terdapat di dalam dan di sekitar kawasan hutan
konservasi. Pada umumnya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan konservasi
termasuk dalam kategori miskin karena terbatasnya akses terhadap kegiatan
pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati. Namun keberadaan mereka
tidak bisa diabaikan bahkan menjadi kewajiban pemerintah untuk mengentaskannya.
Untuk itu diperlukan strategi jalan keluar terhadap berkurangnya/
tertutupnya akses masyarakat terhadap kawasan hutan konservasi, sebab masyarakat
telah hidup di sekitar kawasan tersebut jauh sebelum kawasan ini dijadikan kawasan
konservasi. Pemahaman terhadap kepentingan masyarakat secara sosial ekonomi
perlu diperhatikan oleh pengelola kawasan, sebab masyarakat berpotensi sebagai
pendukung upaya konservasi sekaligus ancaman terhadap upaya konservasi.
Salah satu upaya untuk menjembatani kepentingan konservasi dan
kepentingan masyarakat sekitar hutan, sejalan dengan kebijakan social forestry
pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.01/Menhut-II/2004
3
tanggal 12 Juli 2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam Dan
Atau Sekitar Hutan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
setempat dan terwujudnya pengelolaan hutan yang lestari. Dalam Permenhut
tersebut disebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau
di sekitar hutan dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian
masyarakat dalam pemanfaatan hutan dalam rangka social forestry.
Program-program pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan
konservasi Suaka Margasatwa Paliyan seyogyanya mampu meningkatkan
keberdayaan dan peran serta masyarakat khususnya masyarakat yang berinteraksi
langsung dengan kawasan untuk ikut serta menjaga kelestarian keanekaragaman
hayati dan ekosistemnya dengan tetap memperhatikan kesejahteraan masyarakat
sekitar kawasan.
1.2. Rumusan Masalah
Suaka Margasatwa Paliyan merupakan salah satu kawasan konservasi yang
dikelilingi oleh pemukiman masyarakat dan sangat mudah diakses. Kondisi ini
memberi konsekuensi adanya tekanan masyarakat terhadap kawasan berupa
pemanfaatan lahan dalam kawasan dan pemanfaatan sumberdaya hutan lainnya
oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Aktivitas
masyarakat dalam kawasan ini tentunya akan memberikan dampak terhadap
menurunnya kualitas sumberdaya alam dan ekosistem yang ada dalam kawasan
SM Paliyan.
4
Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan konservasi bertujuan
untuk menjamin keseimbangan ekologis, ekonomi, maupun sosial budaya dan
kelestarian kawasan hutan konservasi serta meningkatkan kemandirian
masyarakat sebagai pendukung utama dalam pembangunan kehutanan melalui
peningkatan ekonomi kerakyatan di sekitar kawasan hutan konservasi dan
mengaktualisasikan akses timbal balik peran masyarakat dan fungsi kawasan
hutan konservasi terhadap kesejahteraan masyarakat (Dephut, 2008).
Dalam implementasi dilapangan, program pemberdayaan yang
dilaksanakan oleh pengelola kawasan nampaknya belum berjalan efektif karena
karena masih terdapat kegiatan pemanfaatan lahan dalam kawasan. Berdasarkan
data yang diperoleh dari BKSDA Yogyakarta tahun 2011 masih terdapat 826
petani penggarap lahan dalam kawasan SM Paliyan yang berasal dari desa-desa
sekitar. Hal ini meruapakan indikasi bahwa masih tingginya ketergantungan
masyarakat disekitar kawasan. Kegiatan pemanfaatan lahan dalam kawasan ini
masih menjadi kendala utama dalam pengelolaan kawasan SM Paliyan saat ini.
Keberhasilan program pemberdayaan masyarakat tentunya tidak terlepas
dari partisipasi masyarakat. Proses pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan SM
Paliyan dianggap belum berhasil karena keterlibatan masyarakat hanya terbatas pada
saat pelaksanaan kegiatan walaupun tingkat keberhasilan tanaman rehabilitasi
mencapai 90% (Kurniawati, 2009).
Ketergantungan masyarakat terutama petani penggarap di sekitar SM
Paliyan terhadap kawasan yang masih tinggi dan tingkat partisipasi terhadap
program-program pemberdayaan yang masih terbatas pada tahap pelaksanaan
5
sehingga tujuan utama pemberdayaan masyarakat yang menjadikan masyarakat
menjadi lebih berdaya dan mandiri belum tercapai.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penelitian ini dilakukan untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana tingkat keberdayaan dan tingkat partisipasi petani penggarap saat
ini pada program-program pemberdayaan di Suaka Margasatwa Paliyan dan
faktor-faktor apa saja yang dominan berpengaruh dan yang tidak?
2. Bagaimana dinamika hubungan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
tingkat keberdayaan dan tingkat partisipasi petani penggarap?
3. Bagaimana strategi yang efektif untuk meningkatkan keberdayaan petani
penggarap sehingga dapat mendorong partisipasi dan meningkatkan
kesejahteraan mereka?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
keberdayaan petani penggarap di sekitar kawasan konservasi Suaka
Margasatawa Paliyan;
2. Mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
partisipasi petani penggarap di sekitar kawasan konservasi Suaka Margasatawa
Paliyan;
6
3. Merumuskan strategi yang efektif dalam upaya peningkatan keberdayaan dan
partisipasi petani penggarap terhadap program-program pemberdayaan
disekitar kawasan konservasi Suaka Margasatawa Paliyan.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pemerintah,
masyarakat dan para pengembang ilmu pengetahuan. Konsep pemberdayaan dan
partisipasi masyarakat sesungguhnya sudah banyak dikaji namun dalam konteks
pengelolaan kawasan konservasi khususnya yang bersentuhan dengan suaka
margasatwa masih relatif jarang. Penelitian tentang keberdayaan dan partisipasi
dalam pengelolaan kawasan konservasi khususnya kawasan suaka alam pasca
perubahan paradigma relative belum banyak. Berlandaskan hal-hal tersebut perlu
diketahui bagaimana dinamika yang terjadi dalam pelaksanaan program-program
pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan Suaka Margasatwa Paliyan, yang mana
hal ini berguna untuk kepentingan penyusunan strategi ke dalam rencana
pengelolaann untuk mencapai pengelolaan ke arah yang lebih efektif, efesien,
komprehensif sesuai dengan visi misi dan fungsi SM Paliyan sebagai kawasan
konservasi yang didukung sepenuhnya oleh masyarakat.
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi
pengembangan program pemberdayaan masyarakat, khususnya yang berkaitan
dengan keberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam implementasi program-
program pemberdayaan masyarakat di kawasan konservasi.
7
2. Memberikan informasi faktor-faktor berpengaruh dominan terhadap tingkat
keberdayaan dan tingkat partisipasi masyarakat khususnya petani
penggarap/pesanggem di desa-desa penyangga kawasan SM Paliyan.
3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pemikiran
bagi pengambil kebijakan dalam merumuskan strategi pemberdayaan
masyarakat yang tepat untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam
mendukung kegiatan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari terutama
yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi sebagai berikut:
1. Lokasi penelitian ini adalah desa-desa yang berbatasan langsung dengan
kawasan SM Paliyan di wilayah Kecamatan Paliyan dan Saptosari, Kabupaten
Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Fokus penelitian ini adalah pada data-data hasil kuisioner dan observasi
lapangan.
RI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Suaka Margasatwa
Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan
bahwa kawasan hutan menurut fungsinya dibagi menjadi tiga kawasan hutan yaitu
hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Hutan konservasi adalah
kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan
konservasi terdiri dari kawasan Hutan Suaka Alam, kawasan Hutan Pelestarian
Alam, dan Taman Buru.
Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah undang-undang yang mengatur tentang
perlindungan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam
(KPA). Pengertian tentang kawasan konservasi di Indonesia sesuai dengan
Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, disebutkan sebagai berikut.
1. Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di
daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang
juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan Suaka
Alam terdiri dari:
a. Cagar Alam, adalah kawasan suaka alam karena keadaan alamnya
mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem
9
tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara
alami.
b. Suaka Margasatwa, adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas
berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk
kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
2. Kawasan Pelestarian Alam adalah hutan yang mempunyai fungsi pokok
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya. Termasuk ke dalam kategori kawasan ini adalah
Taman Nasional, Taman Wisata Alam, dan Taman Hutan Raya.
Masih dalam PP no 28 tahun 2011 pada pasal 4 disebutkan bahwa
kriteria suatu wilayah ditunjuk atau ditetapkan sebagai kawasan suaka
margasatwa meliputi :
a. Merupakan tempat hidup dan berkembang biak satu atau beberapa jenis satwa
langka dan/atau hampir punah;
b. Memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi;
c. Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migrasi tertentu; dan/atau
d. Mempunyai luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa.
Menurut Sembiring dan Husbani dalam Indrawan (2012) kegiatan yang
dapat dilakukan di kawasan suaka alam menurut UU no 5 tahun 1990 adalah
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata terbatas dan
kegiatan lainnnya yang menunjang budidaya. Sedangkan kegiatan yang dilarang
adalah yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka
10
margasatwa; larangan tersebut tidak termasuk di dalamnya kegiatan pembinaan
untuk kepentingan satwa dalam suaka margasatwa.
Menurut Indrawan dkk (2012) suaka margasatwa berfungsi untuk
melestarikan keanekaragaman atau keunikan jenis satwa, sehingga dimungkinkan
dilakukan kegiatan pembinaan habitatnya untuk tujuan penelitian, pendidikan dan
juga wisata terbatas. Sementara menurut Sulthoni (1977) suaka margasatwa
adalah suatu daerah yang dilindungi tetapi tujuan yang pokok ialah untuk
melindungi binatang-binatang liar yang besar. Dari definisi dan penjelasan diatas
dapat diambil kesimpulan bahwa suaka margasatwa adalah suatu kawasan untuk
memberikan perlindungan kepada jenis-jenis satwa tertentu beserta habitatnya
sehingga tidak terjadi kepunahan.
2.2. Konsep Pemberdayaan
Pemberdayaan yang diadaptasikan dari istilah empowerment berkembang
di eropa mulai abad pertengahan, terus berkembang hingga diawal 90-an. Menurut
Pranarka (1996) pemberdayaan adalah upaya menjadikan suasana kemanusiaan
yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik di dalam
kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional, maupun bidang
politik, ekonomi dan lain-lain.
Lahirnya konsep pemberdayaan sebagai antitesa terhadap model
pembangunan yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun
dari kerangka logik sebagai berikut : (1) bahwa proses pemusatan kekuasaan
terbangun dari pemusatan kekuasaan faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan
faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha
11
pinggiran; (3) kekuasaan akan membangun bangunan atas atau system
pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan sistem ideologi yang manipulative
untuk memperkuat legitimasi; dan (4) pelaksanaan sistem pengetahuan, system
politik, sistem hukum dan ideologi secara sistematik akan menciptakan dua
kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya
(Prijono dan Pranarka, 1996). Akhirnya yang terjadi ialah dikotomi, yaitu
masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untuk membebaskan
situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses
pemberdayaan bagi yang lemah (empowerment of the powerless).
Dalam konsep pemberdayaan, menurut Prijono dan Pranarka (1996),
manusia adalah subyek dari dirinya sendiri. Proses pemberdayaan yang
menekankan pada proses memberikan kemampuan kepada masyarakat agar
menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai
kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Lebih lanjut
dikatakan bahwa pemberdayaan harus ditujukan pada kelompok atau lapisan
masyarakat yang tertinggal. Rappaport (1987) mengatakan bahwa pemberdayaan
diartikan sebagai pemahaman secara psikologis pengaruh kontrol individu
terhadap keadaan sosial, kekuatan politik dan hak-haknya.
Sulistiyani (2004) menjelaskan lebih rinci bahwa secara etimologis
pemberdayaan berasal dari kata dasar "daya" yang berarti kekuatan atau
kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dimaknai
sebagai proses untuk memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan, dan atau
12
proses pemberian daya, kekuatan atau kemampuan dari pihak yang memiliki daya
kepada pihak yang kurang atau belum berdaya.
Sidu (2006) menjelaskan bahwa pada hakekatnya pemberdayaan adalah
suatu proses dan upaya untuk memperoleh atau memberikan daya, kekuatan atau
kemampuan kepada individu dan masyarakat lemah agar dapat mengidentifikasi,
menganalisis, menetapkan kebutuhan dan potensi serta masalah yang dihadapi dan
sekaligus memilih alternatif pemecahnya dengan mengoptimalkan sumberdaya
dan potensi yang dimiliki secara mandiri.
Menurut Marsono (2004) konsep dasar pemberdayaan masyarakat harus
memperhatikan (1). Variable waktu (sekarang dan akan datang), (2). Tingkatan
kemampuan masyarakat, dan (3). Tipe intervensi atau input yang diberikan.
Selanjutnya konsep pemberdayaan juga dapat diterapkan dengan mengacu pada
konsep pembangunan ekonomi berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
(Knowledge Based Economy) dengan upaya-upaya antara lain:
1. menggali keunggulan komparatif dan kompetitif (SDM dan SDA);
2. menggali potensi local dan peningkatan daya saing;
3. SDM (sumber daya manusia) yang terdidik, kreatif dan terampil;
4. infrastruktur informasi yang dinamis;
5. arah kebijakan dan kelembagaan yang memberikan insentif untuk pemanfaatan
dan kewirausahaan.
Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses pengembangan pola pikir
dan pola sikap yang mendorong timbulnya kesadaran anggota masyarakat agar
13
mau memperbaiki kehidupannya dengan menggunakan potensi yang dimilikinya
(Dephut, 2007)
2.3. Proses Pemberdayaan
Kartasasmita (1996) menjelaskan bahwa proses pemberdayaan dapat
dilakukan melalui 3 (tiga) proses yaitu pertama menciptakan suasana atau iklim
yang memungkinkan potensi masyrakat berkembang/enabling. Kedua
memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering)
sehingga diperlukan langkah yang positif selain dari iklim atau suasana, ketiga
memberdayakan juga berarti melindungi. Proses pemberdayaan masyarakat
diharapkan menjadikan masyarakat lebih berdaya, berkekuatan dan
berkemampuan. Adapun ciri-ciri masyarakat berdaya adalah (1) memahami diri
dan potensinya, mampu merencanakan/mengantisipasi perubahan masa depan (2)
mampu mengarahkan dirinya (3) memiliki kekuatan untuk berunding (4) memiliki
bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yag saling
menguntungkan (5) bertanggung jawab atas tindakannya.
Salah satu bentuk tingkat keberdayaan petani yaitu kemampuan dan
kemandirian petani. Keberdayaan merupakan hasil proses pemberdayaan terhadap
subyek individu, kelompok atau masyarakat. Menurut Sumardjo (1999) tingkat
kemandirian petani yaitu kualitas sumber daya manusia petani berupa tingkat
kesiapan petani dalam menghadapi dan mendukung pembangunan pertanian
berkelanjutan atau dengan kata lain tingkat kemandirian petani menghadapi era
globalisasi. Kemandirian petani diukur melalui aspek kognitif, afektif dan
psikomotorik terhadap modernitas petani, efisiensi, dan daya saing petani. Hasil
14
penelitian Sumardjo menunjukkan bahwa faktor-faktor eksternal petani
selengkapnya yang terbukti secara nyata berpengaruh terhadap tingkat
kemandirian petani secara berturut-turut dari yang paling nyata : (1) aksesibilitas
petani terhadap input usaha tani; (2) aksesibilitas petani terhadap pasar; (3)
kualitas penyuluhan; (4) aksesibilitas petani terhadap sumberdaya informasi /
inovasi; (5) lingkungan fisik sumber daya alam; (6) penetrasi produk lain ke
dalam kebutuhan rumah tangga petani; (7) desakan perkembangan sektor di luar
pertanian terhadap sektor pertanian dan pedesaan; dan (8) implementasi kebijakan
pembangunan pertanian setempat. Sejumlah faktor internal juga terbukti secara
nyata berpengaruh terhadap tingkat kemandirian petani, secara berturut-turut dari
yang paling nyata : (1) ciri-ciri perilaku komunikasi petani yang relatif terbuka;
(2) kualitas kepribadian petani; (3) status sosial ekonomi petani; (4) motivasi
ekstrinsik yang ada pada petani; dan (5) motivasi intrinsik petani yang
bersangkutan.
Proses pemberdayaan warga masyarakat diharapkan dapat menjadikan
masyarakat menjadi lebih berdaya berkekuatan dan berkemampuan. Kaitannya
dengan indikator masyarakat berdaya, Sumardjo (1999) menyebutkan ciri-ciri
warga masyarakat berdaya yaitu: (1) mampu memahami diri dan potensinya,
mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan), (2) mampu
mengarahkan dirinya sendiri, (3) memiliki kekuatan untuk berunding, (4)
memiliki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang
saling menguntungkan, dan (5) bertanggungjawab atas tindakannya.
15
Menurut Suharto (2005) keberhasilan pemberdayaan masyarakat dapat
dilihat dari keberdayaan mereka yang menyangkut kemampuan ekonomi,
kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan, dan kemampuan kultural dan
politis. Ketiga aspek tersebut dikaitkan dengan empat dimensi kekuasaan
(keberdayaan), yaitu kekuasaan di dalam (power within), kekuasaan untuk (power
to), kekuasaan atas (power over) dan kekuasaan dengan (power with). Indikator-
indikator dari keberdayaan dengan demikian yaitu : (1) kebebasan melakukan
mobilitas, (2) kemampuan membeli komoditas kecil, (3) kemampuan membeli
komoditas besar, (4) kemampuan dalam pembuatan keputusan-keputusan rumah
tangga, (5) kebebasan relatif dari dominasi keluarga, (6) kesadaran hukum dan
politik, (7) keterlibatan dalam kampanye dan protes, dan (8) kepemilikan atas
jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga.
Slamet (2003) menjelaskan lebih rinci bahwa yang dimaksud dengan
masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, faham termotivasi,
berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu
berbagai alternative, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko,
mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengan
situasi. Proses pemberdayaan yang melahirkan masyarakat yang memiliki sifat
seperti yang diharapkan harus dilakukan secara berkesinambungan dengan
mengoptimalkan partisipasi masyarakat secara bertanggungjawab.
Kurniawati (2009) menjelaskan bahwa pemberdayaan sebagai suatu
proses mempunyai tiga tahapan: penyadaran, pengkapasitasan dan pemberdayaan.
Dalam pemberdayaan masyarakat sekitar hutan konservasi dapat direfleksikan
16
yang dari variabel sikap, komunikasi (kesepahamanan), peningkatan kapasitas
masyarakat, pengembangan ekonomi produktif, penguatan kelembagaan dan
keterlibatan masyarakat. Sedangkan tingkat keberhasilan pemberdayaan
masyarakat dapat ditinjau dari 3 sudut pandang yaitu masyarakat, pemerintah dan
swasta.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Keberdayaan
Pengetahuan
Kibler et al. (Zahid, 1997) mendefinisikan pengetahuan sebagai ingatan
mengenai sesuatu yang bersifat spesifik atau umum; ingatan mengenai metode
atau proses; ingatan mengenai pola, susunan atau keadaan. Pengetahuan juga
dapat dipandang sebagai sekumpulan informasi yang dipahami, yang diperoleh
melalui proses belajar selama hidup dan dapat digunakan sewaktuwaktu sebagai
alat penyesuaian diri sendiri maupun lingkungannya. Individu mendapatkan
pengetahuan baik melalui proses belajar, pengalaman atau melalui media yang
kemudian disimpan dalam memori individu.
Menurut Soekanto (2002), pengetahuan adalah kesan didalam pikiran
seseorang sebagai hasil penggunaan pancaindera, yang berbeda sekali dengan
kepercayaan (beliefs), takhayul (supertition) dan penerangan yang keliru
(misinformation). Walgito (2002) menyatakan bahwa pengetahuan adalah
mengenal suatu obyek baru selanjutnya menjadi sikap terhadap obyek tersebut
dan dapat bertindak sesuai dengan pengetahuan tentang obyek itu. Meskipun tidak
selalu linier, umumnya bila seseorang bersikap tertentu terhadap suatu obyek,
berarti orang tersebut telah mengetahui dengan benar tentang obyek dimaksud.
17
Sikap
Sikap dapat didefinisikan sebagai perasaan, pikiran dan kecenderungan
seseorang yang kurang lebih bersifat permanent mengenai aspek-aspek tertentu
dalam lingkungannya (Van den Ban dan Hawkins, 1999). Sikap adalah
kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa dalam menghadapi
obyek, ide, situasi atau nilai. Sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi.
Sikap timbul dari pengalaman, tidak dibawa sejak lahir tetapi merupakan hasil
belajar sehingga dapat diperteguh atau diubah (Rakhmat, 2001).
Walgito (2002) menjelaskan bahwa sikap terbentuk dalam
perkembangan individu dan faktor pengalaman individu mempunyai peranan
sangat penting dalam rangka pembentukan sikap. Selanjutnya dikemukan bahwa
untuk mengukur sikap dapatlah digunakan pernyataan dan subjek yang diteliti
akan memilih salah satu jawaban yang disediakan, misalkan: sangat setuju, setuju,
tidak mempunyai pendapat, tidak setuju, sangat tidak setuju, dan seseorang
menanggapai sesuatu pernyataan hanya dapat memilih satu dari lima jawaban
tersebut.
Menurut Sarwono (2002) bahwa sikap adalah suatu reaksi evaluasi yang
menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap sesuatu atau seseorang, yang
ditunjukan dalam kepercayaan, perasaan atau perilaku seseorang.
Ketrampilan
Padmowihardjo (2001) mendefinisikan keterampilan sebagai aspek
perilaku yang berhubungan dengan kemampuan menggerakkan otot-otot tubuh.
Namun, ahli lain mengemukakan bahwa ketrampilan tidak dibatasi pada aspek
18
fisik semata. Dalam tulisan Yukl (1994) ketrampilan dibagi atas tiga kategori
sebagai berikut: (1) Teknis (teknical skill), lebih bersifat fisik dan berkait dengan
peralatan; (2) Hubungan antar pribadi (interpersonal skill), berupa empati,
persuasi dll.; dan (3) ketrampilan konseptual (conceptual skill), bersifat nalar dan
analitis.
Spencer et al, (1993) mengemukakan bahwa ketrampilan adalah
kecakapan menyelesaikan tugas baik fisik maupun mental. Winkel (1987)
menjelaskan bahwa ranah instruksional di bidang psikomotorik ada tujuh, yakni:
(1) persepsi: kemampuan mengadakan diskriminasi antara dua perangsang atau
lebih, berdasarkan perbedaan ciri fisik yang khas; (2) kesiapan: kemampuan
menempatkan dirinya dan akan memulai suatu rangkaian gerakan; (3) gerakan
terbimbing mencakup kemampuan melakukan suatu rangkaian gerak, sesuai
dengan contoh yang diberikan; (4) gerakan yang terbiasa; kemampuan untuk
melakukan suatu rangkaian gerak dengan lancar karena sudah dilatih secukupnya;
(5) gerakan komplek; kemampuan melakukan keterampilan atas beberapa
komponen, dengan lancar, tepat dan efisien; (6) penyesuaian pola gerakan;
kemampuan mengadakan perubahan dan menyesuaikan pola gerak dengan kondisi
setempat; dan (7) kreativitas: kemampuan melahirkan pola gerak baru, seluruhnya
atas dasar prakarsa dan inisiatif sendiri.
Kesetaraan
Menurut Tadjudin (2000), bahwa kesetaraan atau kesederajatan dalam
pengelolaan sumber daya alam, memandang bahwa semua orang memiliki derajat
yang sama, diimplementasi melalui pengakuan terhadap hak-hak setiap
19
stakeholder. Hak tersebut dapat berupa hak milik (individu dan ulayat), hak
kultivasi (guna usaha), hak akses (memanfaatkan atau memungut hasil), dan hak
pengelolaan.
Kesetaraan atau kesederajatan atau persamaan adalah merupakan salah
satu azas atau prasyarat yang sangat esensial dalam proses pemberdayaan,
partisipasi dan kemitraan. Kesetaraan berasal dari kata setara atau sederajat. Jadi,
kesetaraan juga dapat disebut kesederajatan. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), sederajat artinya sama tingkatan (kedudukan, pangkat).
Dengan demikian, kesetaraan atau kesederajatan menunjukkan adanya tingkatan
yang sama, kedudukan yang sama, tidak lebih tinggi atau tidak lebih rendah antara
satu sama lain.
Kesetaraan manusia bermakna bahwa manusia sebagai mahkluk Tuhan
memiliki tingkat atau kedudukan yang sama. Tingkatan atau kedudukan yang
sama itu bersumber dari pandangan bahwa semua manusia tanpa dibedakan
adalah diciptakan dengan kedudukan yang sama yaitu sebagai mahkluk mulia dan
tinggi derajatnya dibanding makhluk lain. Dihadapan Tuhan, semua manusia
adalah sama derajat, kedudukan atau tingkatannya. Yang membedakan nantinya
adalah tingkatan ketakwaan manusia tersebut terhadap Tuhan.
2.4. Pemberdayaan Masyarakat Di Kawasan Konservasi
Dalam Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan
konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai
fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri dari hutan suaka alam (suaka margasatwa,
20
cagar alam) dan hutan pelestarian alam (taman nasional, taman wisata alam,
tahura) serta taman buru. Pengelolaan hutan konservasi diarahkan kepada
pemanfaatan yang bersifat multifungsi dengan memperhatikan aspek ekologis,
ekonomi, sosial dan budaya serta melibatkan dan mengutamakan kesejahteraan
masyarakat sekitar kawasan konservasi.
Dalam Pedoman Kriterian dan Indikator Pemberdayaan Masyarakat Di
Sekitar Kawasan Konservasi yang dikeluarkan Direktorat Pemanfaatan Jasa
Lingkungan dan Wisata Alam Ditjen PHKA (2007), pemberdayaan masyarakat
didefinisikan sebagai segala upaya yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat,
dengan atau tanpa dukungan pihak luar, agar mampu terus mengembangkan daya
atau potensi yang dimiliki, demi perbaikan mutu-hidupnya, secara mandiri dan
berkelanjutan. Sedangkan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan
konservasi adalah segala segala upaya yang bertujuan untuk terus meningkatkan
keberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi, untuk memperbaiki
kesejahteraannya dan meningkatkan partisipasi mereka dalam segala kegiatan
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, secara berkelanjutan.
Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan konservasi bertujuan
untuk menjamin keseimbangan ekologis, ekonomi, maupaun sosial budaya dan
kelestarian kawasan hutan konservasi. Selain itu juga untuk meningkatkan
kemandirian masyarakat sebagai pendukung utama dalam pembangunan
kehutanan melalui peningkatan ekonomi kerakyatan di sekitar kawasan hutan
konservasi dan mengaktualisasikan akses timbal balik peran masyarakat dan
fungsi kawasan hutan konservasi terhadap kesejahteraan masyarakat. Karena itu,
21
pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan konservasi harus ditujukan
bukan sekedar untuk mengamankan kawasan hutan konservasi dari kerusakan,
melainkan bertujuan untuk terus menerus menumbuhkembangkan kesadaran dan
kemampuan ekonomi masyarakat, agar berpartisipasi dalam pembangunan
kawasan hutan konservasi secara lestari (Departemen Kehutanan, 2008).
Yuliarsa (2006) mengkaji bahwa pemberdayaan masyarakat di sekitar
hutan konservasi adalah upaya peningkatan kemandirian masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pengelolaan hutan, perbaikan kesejahteraan mereka dengan
tetap memperhatikan pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Sasaran pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan konservasi adalah kelompok
masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi, mempunyai interaksi
langsung dengan kawasan hutan konservasi, yang kehidupannya kurang layak dan
atau kelompok masyarakat miskin yang berpotensi mendukung kelestarian
kawasan hutan konservasi dan atau masyarakat yang kehidupannya mempunyai
ketergantungan tinggi terhadap kawasan hutan. Selanjunya Yuliarsa (2006) juga
menjelaskan bahwa strategi pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan dilakukan
secara serasi dan simultan mencakup:
1. Pengelolaan usaha berbasis sumber daya hutan yang efisien dalam arti mampu
menghasilkan keuntngan untuk kemakmuran masyarakat yang tinggal di sekitar
kawasan konservasi
2. Pemanfaatan, konservasi, dan rehabilitasi sumber daya hutan demi menjaga
kelestarian sumber daya hutan dan lingkungan hidup.
22
3. Pelestrarian nilai-nilai sosial budaya dan kearifannya tradisional kaitannya
dengan pemanfaatan dan pelestarain sumber daya hutan.
4. Memberikan akses kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan
kawasan konservasi
5. Melaksanakan pemberdayaan masyarakat melalui beberapa tahapan dari
membangun kesepahaman sampai pengembangan kegiatan.
Kondisi sampai saat ini pengelolaan kawasan konservasi masih
dihadapkan pada permasalahan klasik yang berkaitan dengan eksploitasi sumber
daya hutan. Hal tersebut dikarenakan tingginya ketergantunang masyarakat
terhadap sumber daya hutan. Menurut Usman (1998) ketergantungan masyarakat
sekitar hutan terutama sekali di hutan konservasi dipengaruhi oleh faktor pola
pemilikan dan penguasan lahan mempengaruhi kondisi sosial ekonomi
masyarakat yang cenderng miskin. Kondisi seperti ini akan terus berlangsung
bilamana tingkat kesejahteraan tidak berubah ke tingkat yang lebih baik lagi.
Dukungan dan partisapasi aktif masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan juga
akan sulit terwujud jika tidak diimbangi upaya nyata pemerintah dalam
meningkatkan kesejahteraannya. Upaya tersebut dilakukan dalam rangka
meningkatkan ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan melalui
pendayagunaan potensi yang ada serta melestarikan nilai-nilai sosial budaya yang
mendukung upaya-upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
(Departemen Kehutanan, 2008).
23
Menurut Simon (2006) dalam merumuskan strategi pengelolaan kawasan
konservasi diperlukan rencana yang komprehensif yang disusun berdasarkan
pendekatan perencanaan bottom up atau perencanaan artikulatif. Dalam
pendekatan perencanaan itu, model pengelolaan didasarkan pada hasil rekayasa
ekosistem hutan yang dipadu serasikan dengan hasil rekayasa sosial yang
memperhatikan faktor-faktor jumlah dan kepadatan penduduk, lapangan
pekerjaan, pendapatan perkapita dan kemiskinan, pendidikan, transportasi dan
sebagainya. Dengan demikian setiap kawasan konservasi akan memiliki model
pengelolaan yang berbeda-beda dan akan berubah dengan adanya perubahan di
sektor sosial ekonomi masyarakat.
2.5. Konsep Partisipasi
Menurut definisi World Bank (Colfer & Wadley, 1996) partisipasi adalah
proses melalui mana para pihak terkait (stakeholders) mempengaruhi dan berbagi
kontrol terhadap inisiatif pembangunan dan pengambilan keputusan dan sumber-
sumberdaya yang berpengaruh terhadap mereka. Slamet (2003) memberikan
makna dari partisipasi sebagai ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut
dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan
menikmati hasil-hasil pembangunan.
Menurut Van den Ban dan Hawkins (1999), partisipasi petani dalam
penyuluhan diartikan sebagai keikutsertaan petani atau para wakilnya dalam
pengambilan keputusan mengenai tujuan, kelompok sasaran, pesan-pesan dan
metode serta evaluasi kegiatan. Singh (2000) dalam kajiannya terhadap kehutanan
masyarakat memberikan makna partisipasi sebagai derajat keikutsertaan dari
24
stakeholder lokal dalam proses pengambilan keputusan di dalam seluruh tahapan
proyek. Keterlibatan masyarakat bisa dalam bentuk kontribusi tenaga kerja, uang
atau keduanya untuk tujuan bersama dan keikutsertaan dalam pertemuan yang
membicarakan berbagai hal untuk keperluan bersama.
Syahyuti (2006) mendefinisi-kan partisipasi sebagai proses di mana
seluruh pihak dapat membentuk dan terlibat dalam seluruh inisiatif pembangunan.
Maka pembangunan yang partisipatif adalah proses yang melibatkan masyarakat
secara aktif dalam seluruh keputusan substansial yang berkenaan dengan
kehidupan mereka.
Partisipasi menurut para ahli diklasifikasikan kedalam beberapa tipologi
atau tingkatan. Terdapat tujuh tipologi partisipasi yang menggambarkan
bagaimana masyarakat berpartisipasi dalam program dan proyek pembangunan.
Adapun tujuh tipologi tersebut berturut-turut semakin dekat kepada bentuk yang