1 Studi tentang hubungan persepsi dan sikap guru dengan perilaku guru dalam menangani anak berkesulitan belajar siswa sekolah dasar di kecamatan Jebres Surakarta tahun 2003 Oleh : Iis Setiyaningrum K.5199014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan di Indonesia sekarang ini sudah lebih maju bila dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu. Kemajuan tersebut dapat dilihat dari jumlah Sekolah Dasar yang semula berjumlah 69.910 menjadi 171.455 dengan jumlah murid 13.069.000 menjadi 29.598.790 (Balitbang dikbud,1994). Apalagi sejak dicanangkannya wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, maka sudah sebagian besar penduduk Indonesia pernah mengenyam pendidikan sampai pada tingkatan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama Salah satu sasaran pembangunan di bidang pendidikan sebagaimana disebutkan dalam GBHN Tahun 1999 adalah melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara profesional. Oleh karena itu sistem pendidikan perlu
110
Embed
Studi tentang hubungan persepsi dan sikap guru dengan .../Studi... · sebagian besar penduduk Indonesia pernah mengenyam pendidikan sampai pada tingkatan Sekolah Dasar dan Sekolah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
Studi tentang hubungan persepsi dan sikap guru dengan perilaku guru dalam menangani anak berkesulitan belajar siswa sekolah dasar
di kecamatan Jebres Surakarta
tahun 2003
Oleh :
Iis Setiyaningrum
K.5199014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan di Indonesia sekarang ini sudah lebih maju bila dibandingkan
dengan beberapa tahun yang lalu. Kemajuan tersebut dapat dilihat dari jumlah
Sekolah Dasar yang semula berjumlah 69.910 menjadi 171.455 dengan jumlah
murid 13.069.000 menjadi 29.598.790 (Balitbang dikbud,1994). Apalagi sejak
dicanangkannya wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, maka sudah
sebagian besar penduduk Indonesia pernah mengenyam pendidikan sampai pada
tingkatan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama
Salah satu sasaran pembangunan di bidang pendidikan sebagaimana
disebutkan dalam GBHN Tahun 1999 adalah melakukan pembaharuan sistem
pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum
untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku
nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis
pendidikan secara profesional. Oleh karena itu sistem pendidikan perlu
2
ditingkatkan terutama hal-hal yang berkaitan dengan kesesuaian pendidikan yang
dibutuhkan oleh masing-masing anak didik.
Kurikulum dalam suatu pendidikan merupakan komponen yang sangat
penting. Hal ini dikarenakan kurikulum merupakan panutan dalam
penyelenggaraan proses belajar mengajar di sekolah. Komponen kurikulum yang
lengkap terdiri dari : tujuan instruksional umum dan khusus, struktur program,
garis-garis program pengajaran, dan satuan acara pengajaran atau satuan
pelajaran. Mengingat begitu pentingnya kurikulum, maka penyusunannya harus
disesuaikan dengan kebutuhan serta ciri khas satuan pendidikan yang
bersangkutan.
Untuk menunjang pelaksanaan pendidikan sangat diperlukan fasilitas
pendukung yang sesuai dengan materi pelajaran. Kegiatan belajar mengajar akan
berjalan baik apabila antara teori dengan praktek dapat seimbang. Sebab menurut
penelitian siswa akan lebih mudah dalam memahami isi materi bila disertai
dengan praktek. Harus diakui bahwa perkembangan pendidikan di Indonesia
sangat lamban dan hal tersebut salah satunya dikarenakan kurangnya sarana dan
prasarana yang diperlukan dalam proses belajar mengajar.
Kemampuan guru khususnya guru SD dalam menangani siswanya masih
terbatas. Kebanyakan dari mereka cenderung hanya memberikan pelajaran sesuai
dengan isi kurikulum tanpa memperhatikan kebutuhan anak didiknya, apakah
anak tersebut sudah menguasai materi, mampu memahami atau bahkan
mengalami suatu masalah selama mengikuti proses belajar mengajar. Padahal
problem yang dialami oleh anak didik tidaklah sesederhana seperti apa yang orang
bayangkan.
Dalam proses belajar mengajar kemampuan dasar atau kemampuan awal
peserta didik juga perlu diperhatikan. Suatu sekolah akan mampu mencetak
lulusan yang baik apabila murid yang diterimanya mempunyai kualitas. Murid
yang mempunyai kemampuan dasar yang baik atau paling tidak berkondisi normal
maka akan mudah menguasai materi. Sebaliknya bila suatu sekolah banyak
terdapat anak yang mengalami suatu problem, misalnya kesulitan belajar, maka
3
akan susah untuk menghasilkan lulusan yang bermutu apabila penanganannya
tidak tepat.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar
Biasa, tidak memasukkan anak berkesulitan belajar sebagai salah satu jenis anak
luar biasa. Karenanya anak yang berkesulitan belajar dimasukkan ke dalam
sekolah-sekolah umum. Mereka terpaksa harus mengikuti proses belajar mengajar
yang bersifat klasikal, padahal metode tersebut kurang memperhatikan perbedaan
individual murid. Anak berkesulitan belajar di Indonesia belum mendapatkan
layanan yang semestinya, tidak seperti halnya yang terjadi di negara-negara maju.
Harus diakui bahwa sampai sekarang ini belum setiap orang termasuk guru
khususnya guru sekolah dasar mengetahui hal yang berkaitan dengan kesulitan
belajar atau dalam bahasa asing Learning Disability. Istilah tersebut masih awam
dan jarang digunakan ataupun bila ada mereka belum tahu makna sebenarnya. Hal
itu berakibat persepsi mereka terhadap anak berkesulitan belajar juga berbeda-
beda. Bagi yang belum mengerti benar siapa dan bagaimana anak berkesulitan
belajar, mereka dimungkinkan akan mempunyai persepsi yang negatif.
Seseorang yang mengartikan anak berkesulitan belajar sebagai anak yang
bodoh dalam segala hal adalah sangat keliru. Karena sebenarnya anak berkesulitan
belajar rata-rata mempunyai intelegensi normal dan hanya mempunyai kesulitan
dalam beberapa bidang saja. Jadi masih ada kemungkinan untuk diperbaiki. Anak
yang mengalami keterbelakangan mental atau mentally retarded mempunyai
intelegensi yang rendah, sehingga dalam segala hal mereka pun tidak bisa
mengerjakan sesuatu dengan baik. Walaupun penanganannya juga intensif, anak
yang mengalami keterbelakangan mental tetap saja tidak sanggup sejajar dengan
anak normal dalam hal kemampuan akademiknya.
Dalam menanggapi suatu permasalahan atau suatu keadaan yang sedang
dihadapi seseorang akan mempunyai persepsi yang berbeda-beda dengan yang
lainnya. Hal tersebut terjadi dikarenakan adanya pengetahuan dan pengertian yang
berbeda antara satu sama lain. Dengan perbedaan persepsi tersebut, akan
berpengaruh pula pada sikap serta perilaku yang akan diberikan terhadap suatu
permasalahan yang terjadi di lingkungan sekelilingnya. Sama halnya dengan
4
masalah yang berkaitan dengan anak berkesulitan belajar, guru akan mempunyai
persepsi yang berbeda apalagi masyarakat umum yang belum mengetahui dengan
benar tentang anak berkesulitan belajar.
Persepsi mempunyai kaitan erat dengan kehidupan bermasyarakat, karena
dapat mempengaruhi pembentukan sikap dan perilaku. Seorang guru yang
mempunyai persepsi yang salah terhadap anak didiknya, maka akan
menumbuhkan atau menghasilkan sikap dan perilaku yang tidak baik. Hal ini
tentu saja bisa membuat kondisi belajar mengajar tidak menyenangkan.
Sedangkan persepsi yang positip seorang guru terhadap anak didiknya
sangat dibutuhkan dalam kegiatan belajar mengajar. Guru yang mengerti kondisi
anak didik akan bersikap bijaksana sehingga dapat membuat perasaan anak
menjadi lebih percaya diri. Dengan persepsi yang baik terhadap anak berkesulitan
belajar diharapkan akan dapat menumbuhkan dan membentuk sikap yang baik
pula dan juga dalam perilaku dapat diwujudkan dalam bentuk pemberian
pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan
Predikat sebagai anak berkesulitan belajar merupakan suatu hal yang
sangat tidak diinginkan oleh setiap anak. Mereka tentu saja ingin hidup seperti
anak lainnya bisa dengan mudah mengerjakan apa saja yang mereka inginkan.
Sebutan anak berkesulitan belajar akan berdampak negatif bagi dirinya sendiri
maupun lingkungan sosial. Perasaan tidak berguna bagi orang lain, rendah diri,
tidak percaya diri, dan bersalah yang menyebabkan mereka merasakan adanya
jarak dengan lingkungan. Salah satu dampak serius yang mereka alami adalah
tekanan batin sehingga menimbulkan perasaan yang merusak diri mereka sendiri.
Bila mereka kurang mendapat perhatian dan penanganan secara tepat, maka
mereka akan semakin terperosok dan jarak yang memisahkan mereka dengan
lingkungan sosial akan semakin bertambah lebar.
Perlunya perhatian dan penanganan khusus terhadap anak yang
berkesulitan belajar semakin terasa penting, karena ternyata jumlah mereka cukup
besar. Prevalensi anak berkesulitan belajar menurut beberapa literatur
rentangannya berkisar 1% - 30 %. Di negara-negara industri seperti Amerika dan
Eropa Barat diperkirakan mereka mencapai 15% dari populasi anak-anak SD
5
(Wiyono, 1999 : 27). Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, prevalensi
anak berkesulitan belajar diperkirakan lebih besar.
Dengan adanya fenomena tersebut, maka upaya yang penting dilakukan
terhadap anak berkesulitan belajar di sekolah umum khususnya sekolah dasar
adalah pemberian perhatian dan perlakuan yang lebih khusus dari para guru
sekolah dasar. Atas dasar latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik
untuk mengadakan penelitian dengan judul : “STUDI TENTANG HUBUNGAN
PERSEPSI DAN SIKAP GURU DENGAN PERILAKU GURU DALAM
MENANGANI ANAK BERKESULITAN BELAJAR SISWA SEKOLAH
DASAR DI KECAMATAN JEBRES SURAKARTA TAHUN 2003”.
B. Identifikasi Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah sebagaimana diuraikan diatas, maka
permasalahan yang timbul dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Istilah sekaligus makna dari kesulitan belajar belum banyak dikenal oleh
masyarakat termasuk guru sehingga dapat menimbulkan perbedaan persepsi.
2. Persepsi yang negatif kepada anak berkesulitan belajar dapat menumbuhkan
dan membentuk sikap serta perilaku yang negatif pula. Hal tersebut dapat
mempengaruhi proses kegiatan belajar mengajar dan prestasi belajar peserta
didik.
3. Pemberian layanan terhadap anak berkesulitan belajar di sekolah-sekolah
umum belum optimal.
C. Pembatasan Masalah
Untuk mempertegas ruang lingkup penelitian agar tidak menyimpang dari
pokok permasalahan dan untuk mempertegas inti permasalahan, maka di dalam
suatu penelitian perlu adanya pembatasan masalah. Adapun dalam penelitian ini
penulis membatasi masalah sebagai berikut :
1. Persepsi dan sikap guru terhadap perilaku dalam menangani anak berkesulitan
belajar siswa sekolah dasar di Kecamatan Jebres Surakarta
6
2. Persepsi yang penulis maksud adalah tanggapan atau respon terhadap
sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan siswa berkesulitan belajar yang
tergambar dalam skor tertentu.
3. Sikap yang penulis maksud adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan
guru dengan adanya anak berkesulitan belajar, apakah mendukung/ memihak
ataukah sebaliknya melalui kuesioner khusus yang disiapkan untuk itu.
4. Perilaku yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pelayanan yang diberikan
oleh guru terhadap anak berkesulitan belajar baik yang dilaksanakan di dalam
kelas maupun di luar kelas.
D. Perumusan Masalah
Untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang penulis
angkat dan untuk mempermudah pembahasan agar lebih terarah dan mendalam
sesuai sasaran yang ditentukan, maka penulis merumuskan masalah sebagai
berikut :
1. Adakah hubungan antara persepsi guru dengan perilaku guru dalam
menangani Anak Berkesulitan Belajar ?
2. Adakah hubungan antara sikap guru dengan perilaku guru dalam menangani
Anak Berkesulitan Belajar ?
3. Adakah hubungan antara persepsi dan sikap guru dengan perilku guru dalam
menangani Anak Berkesulitan Belajar ?
E. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui ada dan tidaknya hubungan antara persepsi guru dengan
perilaku dalam menangani Anak Berkesulitan Belajar.
2. Untuk mengetahui ada dan tidaknya hubungan antara sikap guru dengan
perilaku guru dalam menangani Anak Berkesulitan Belajar.
7
3. Untuk mengetahui ada dan tidaknya hubungan antara persepsi dan sikap guru
terhadap perilaku guru dalam menangani Anak Berkesulitan Belajar.
F. Manfaat Penelitian
Selain mempunyai suatu tujuan, suatu penelitian juga diharapkan
mempunyai manfaat, baik manfaat praktis maupun manfaat teoritis. Adapun
manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Praktis
a. Dapat mengetahui hubungan antara persepsi guru dengan perilaku dalam
menangani Anak Berkesulitan Belajar.
b. Dapat mengetahui hubungan antara sikap guru dengan perilaku dalam
menangani Anak Berkesulitan Belajar.
c. Dapat mengetahui hubungan antara persepsi dan sikap guru terhadap
perilaku dalam menangani Anak Berkesulitan Belajar.
2. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan bagi penelitian sejenis.
b. Menambah khasanah kepustakaan, khususnya tentang persepsi, sikap dan
perilaku guru terhadap anak berkesulitan belajar siswa siswa sekolah
dasar.
BAB II
LANDASAN TEORI
Tinjauan Pustaka
Persepsi
Pengertian Persepsi
8
Sejak individu dilahirkan, maka sejak itu pula individu secara langsung
berhubungan dengan dunia luarnya. Mulai saat itu individu secara langsung
menerima stimulus atau rangsangan dari luar di samping dari dalam diri sendiri.
Individu mengenali dunia luarnya dengan menggunakan alat inderanya.
Bagaimana individu dapat mengenali dirinya sendiri maupun dunia sekitarnya, hal
ini berkaitan dengan persepsi.
Menurut Daviddoff sebagaimana dikutip Bimo Walgito (1997 : 53)
“Persepsi adalah stimulus yang diindera oleh individu, diorganisasikan, kemudian
diintepretasikan, sehingga individu menyadari, mengerti apa yang diindera itu”.
Sedangkan Slameto (1995 : 102) berpendapat bahwa :
Persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia. Melalui persepsi manusia terus menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat inderanya yaitu indera penglihat, pendengar, peraba, perasa dan pencium. Persepsi adalah proses kognitif yang dipergunakan oleh seseorang untuk
menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya. (James L. Gibson, John M.
Ivancevich, James H. Donnelly, 1995 : 56 )
Sedangkan Dimyati Mahmud (1990 : 34) berpendapat bahwa persepsi
adalah “Menafsirkan stimulus yang telah ada di dalam otak”
Kartini Kartono (1990 : 61) mendefinisikan bahwa persepsi adalah
“Pengamatan secara global, belum disertai kesadaran, sedang subjek dan
objeknya belum terbedakan satu dari lainnya (baru ada proses “memilih”
tanggapan)”.
Persepsi adalah penelitian bagaimana kita mengintegrasikan sensasi ke
dalam percepts objek dan bagaimana kita selanjutnya menggunakan percepts itu
untuk mengenali dunia (Percepts adalah hasil dari proses perseptual). (Rita L.
Atkinson, Richard L. Atkinson, Edward E. Smith, Daryl J. Bem, Edisi Kedua Jilid
Satu)
Yusmar Yusuf, (1991 : 108) mengemukakan bahwa “Persepsi merupakan
“Pemaknaan hasil pengamatan”, termasuk persepsi tentang lingkungan yang
9
menyeluruh, lingkungan dimana individu berada dan dibesarkan, dan kondisi
merupakan stimuli untuk suatu persepsi”.
Miftah Thoha (1983 : 138) berpendapat bahwa “Pada hakekatnya persepsi
adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami
informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran,
penghayatan, perasaan dan penciuman”.
Persepsi atau tanggapan adalah proses mental yang terjadi pada diri
manusia bagaimana kita melihat, mendengar, merasakan, memberi, serta meraba
(kerja indera) di sekitar kita. (Tri Rusmi Widayatun, 1999 : 110).
Sedangkan William James seperti yang dikutip oleh Tri Rusmi Widayatun
(1999 : 110) mengemukakan bahwa “Persepsi adalah suatu pengalaman yang
terbentuk berupa data-data yang didapat melalui indera, hasil pengolahan otot dan
ingatan”.
Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-
hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan
pesan. (Jalaluddin Rakhmat, 2001 : 51).
Sondang P. Siagian (1989 : 100) mengemukakan bahwa “Persepsi dapat
dipahami dengan melihatnya sebagai suatu proses melalui mana seseorang
mengorganisasikan dan menginterpretasikan kesan-kesan sensorinya dalam
usahanya memberikan sesuatu makna tertentu kepada lingkungannya”.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu
proses yang memungkinkan seseorang sadar dan mengerti akan objek atau
peristiwa di sekelilingnya sehingga ia mampu mengkategorisasikan atau
membedakan antara objek yang satu dengan yang lain berdasarkan rangsang yang
diterima.
Unsur-unsur Persepsi
Persepsi merupakan keadaan yang integrated dari individu terhadap
stimulus yang diterimanya. Karena persepsi merupakan keadaan yang integrated
dari individu yang bersangkutan, maka apa yang ada dalam diri individu,
pengalaman-pengalaman individu akan ikut aktif dalam persepsi. Agar individu
10
menyadari dapat mengadakan persepsi maka ada beberapa syarat yang perlu
diketahui, yaitu :
Adanya objek yang dipersepsi
Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor.
Stimulus dapat datang dari luar langsung mengenai alat indera (reseptor),
dapat datang dari dalam yang langsung mengenai saraf penerima (sensoris),
yang bekerja sebagai reseptor.
Adanya alat indera atau reseptor
Yaitu merupakan alat untuk menerima stimulus. Di samping itu harus ada
pula saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima
reseptor ke pusat susunan saraf yaitu otak sebagai pusat kesadaran dan
sebagai alat untuk mengadakan respons yang diperlukan saraf motoris.
Adanya perhatian
Adanya perhatian merupakan langkah pertama sebagai persiapan dalam
mengadakan persepsi, tanpa perhatian tidak terjadi persepsi.
Prinsip-prinsip Dasar Persepsi
Prinsip itu relatif bukannya absolut
Manusia bukanlah instrumen ilmiah yang mampu menyerap segala sesuatu
persis seperti keadaan sebenarnya. Dalam hubungannya dengan kerelatifan
persepsi ini, dampak pertama dari suatu perubahan rangsangan dirasakan
lebih besar daripada rangsangan yang datang kemudian.
Persepsi itu selektif
Seseorang hanya memperhatikan beberapa rangsangan saja dari banyak
rangsangan yang ada di sekelilingnya pada saat-saat tertentu.
Persepsi itu mempunyai tatanan
Orang menerima rangsangan tidak dengan cara sembarangan. Ia akan
menerimanya dalam bentuk hubungan-hubungan/ kelompok-kelompok.
Jika rangsangan yang datang tidak lengkap, ia akan melengkapinya sendiri
sehingga hubungan itu menjadi jelas.
11
Persepsi dipengaruhi oleh harapan dan kesiapan (penerima rangsangan)
Harapan dan kesiapan penerima pesan akan menentukan pesan mana yang
akan dipilih untuk diterima, selanjutnya bagaimana pesan yang dipilih itu
akan ditata dan demikian pula bagaimana pesan tersebut akan diinterpretasi.
Persepsi seseorang/ kelompok dapat jauh berbeda dengan persepsi orang/
kelompok lain sekalipun situasinya sama.
Perbedaan persepsi ini dapat ditelusuri pada adanya perbedaan-perbedaan
individual, perbedaan-perbedaan dalam kepribadian, perbedaan dalam
sikap/ perbedaan dalam motivasi. (Slameto, 1995 : 103).
Proses Terjadinya Persepsi
Bimo Walgito (1997 : 54) dalam bukunya “Pengantar Psikologi Umum”
mengemukakan bahwa :
Proses terjadinya persepsi adalah objek minimbulkan stimulus dan stimulus mengenai alat indera atau reseptor. Proses ini dinamakan proses kealaman (fisik). Stimulus yang diterima oleh alat indera dilanjutkan oleh syaraf sensoris ke otak. Proses ini dinamakan proses fisiologis. Kemudian terjadilah suatu proses di otak, sehingga individu dapat menyadari apa yang ia terima dengan reseptor itu sebagai suatu akibat dari stimulus yang diterimanya. Proses yang terjadi di dalam otak atau pusat kesadaran itulah yang dinamakan proses psikologis. Dengan demikian taraf terakhir dari proses persepsi adalah individu yang menyadari tentang apa yang diterima melalui alat indera atau reseptor.
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa proses terjadinya persepsi
melalui tiga tahapan, yaitu : tahap pertama, yang dinamakan tahap fisik atau
kealaman, tahap kedua, yang disebut sebagai tahap fisiologis, dan
tahap ketiga yaitu tahap psikologis yang merupakan proses terakhir yang
menyadari apa yang individu terima melalui otak.
Sedangkan Tri Rusmi Widayatun (1999 : 111) mengemukakan bahwa :
Proses terjadinya persepsi karena adanya objek/ stimulus yang merangsang untuk ditangkap oleh panca indera (objek tersebut menjadi perhatian panca indera), stimulus/ objek perhatian tadi dibawa ke otak. Dari otak terjadi adanya “Kesan” atau jawaban (response) adanya stimulus, berupa kesan atau response dibalikan ke indra kembali berupa “Tanggapan” atau persepsi atau hasil kerja indra berupa pengalaman hasil pengolahan otak.
12
Karakteristik Persepsi Sosial
Hubungan langsung.
Antara individu dan objek terdapat hubungan langsung melalui indera
penglihatan tanpa indera pendengaran ditutup dan tidak ada gangguan
terdapatnya interpretasi dan pikiran.
Memiliki struktur
Manusia mempersepsikan objek sebagai suatu kesatuan yang memiliki
organisasi tersendiri dan melihat objek ini sebagai keseluruhan (bukan
melihat objek sebagai gabungan dari elemen-elemen yang lepas).
Memiliki stabilitas
Manusia mempersepsikan objek dengan posisi yang menetap sehingga objek
yang dipersepsikan selalu sama dan stabil dalam posisinya.
Memiliki arti
Objek yang dilihat mempunyai arti bagi pengamat berdasarkan pengalaman.
Selektif
Dalam melihat objek tersebut sifatnya selektif berarti individu menaruh
perhatian secara aktif. (Mar’at, 1981 : 33).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Persepsi :
Miftah Thoha (1983 : 143) berpendapat bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi pengembangan persepsi seseorang, antara lain :
Psikologi
Persepsi seseorang mengenai segala sesuatu di dalam dunia sangat
dipengaruhi oleh keadaan psikologi. Sebagai contoh, terbenamnya matahari
diwaktu senja yang indah temaram, akan dirasakan sebagai bayang-bayang
yang kelabu bagi seseorang yang buta warna.
Objek Stimulasi
Sensoris Deproses Indra (input)
Output Indra di otak (pusat syaraf)
Berupa persepsi Rangsangan Pengalaman/ respon
13
Famili
Pengaruh yang paling besar terhadap anak-anak adalah familinya. Orang tua
yang telah mengembangkan suatu cara yang khusus di dalam memahami dan
melihat kenyataan di dunia ini, banyak sikap dan persepsi-persepsi mereka
yang diturunkan kepada anak-anaknya. Oleh sebab itu tidak ayal lagi kalau
orang tuanya memilih suatu partai maka anak-anaknya juga akan memilih
partai yang sama.
Kebudayaan
Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan salah satu
faktor yang kuat di dalam mempengaruhi sikap, nilai dan cara seseorang
memandang dan memahami keadaan di dunia ini.
Sedangkan menurut Sondang P. Siagian (1989 : 100), persepsi dipengaruhi
oleh tiga faktor yaitu :
1) Orang yang bersangkutan sendiri
Apabila seseorang melihat sesuatu dan berusaha memberikan
interpretasi tentang apa yang dilihatnya itu, ia dipengaruhi oleh
karakteristik individual yang turut berpengaruh seperti sikap, motif,
kepentingan, minat, pengalaman dan harapannya.
2) Sasaran persepsi tersebut
Sasaran itu mungkin berupa benda, orang atau peristiwa. Sifat-sifat
sasaran itu biasanya berpengaruh terhadap persepsi orang yang
melihatnya. Misalnya seseorang yang suka berbicara banyak akan lebih
menarik perhatian meskipun tidak selalu dalam arti positif.
3) Faktor situasi
Persepsi harus dilihat secara kontekstual yang berarti dalam situasi
mana persepsi itu timbul perlu pula mendapat perhatian. Situasi
merupakan faktor yang turut berperan dalam penumbuhan persepsi
seseorang. Misalnya, kehadiran orang berpakaian renang di tepian
pantai karena persepsi orang tentang orang yang berada di tepi pantai
adalah untuk berenang.
14
Sikap
Pengertian Sikap
Menurut Thurstone yang dikutip oleh Daniel J. Mueller (1997 : 4) “Sikap
adalah pengaruh atau penolakan, penilaian suka atau tidak suka atau kepositifan
atau kenegatifan terhadap suatu objek psikologis”. Berdasarkan pengertian
tersebut, sikap merupakan derajat afek positif/ afek negatif yang dikaitkan dengan
suatu objek psikologis.
Berkowitz, sebagaimana dikutip oleh Saifuddin Azwar (1988 : 4)
mengemukakan bahwa “Sikap merupakan suatu bentuk evaluatif atau reaksi
perasaan. Sikap terhadap objek adalah perasaan mendukung atau memihak
(favorabel) ataupun perasaan tidak mendukung (tak favorabel) objek tersebut”.
Sedangkan W.S. Winkel (1991 : 77) berpendapat bahwa “Sikap adalah
menerima atau menolak suatu objek berdasarkan penilaian terhadap objek itu,
berguna/ berharga baginya atau tidak”.
Menurut Petrus Sardjonoprijo (1982 : 147) “Sikap adalah disposisi
perasaan yang tertuju kepada objek tertentu”.
W.J Thomas, sebagaimana dikutip oleh Abu Ahmadi (1991 : 162),
memberi batasan “Sikap adalah suatu kesadaran individu yang menentukan
perbuatan-perbuatan yang nyata ataupun yang mungkin akan terjadi di dalam
kegiatan-kegiatan sosial”.
Menurut Newcomb, sebagaimana dikutip oleh Mar’at (1981 : 11) “Sikap
merupakan satu kesatuan kognisi yang mempunyai valensi dan akhirnya
berintegrasi ke dalam pola yang lebih luas”.
Gerungan (1996 : 149), berpendapat bahwa :
Pengertian attitude itu dapat kita terjemahkan dengan sikap objek tertentu, yang dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut disertai oleh kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan objek tadi itu. Jadi attitude tepat diterjemahkan sebagai sikap dan kesediaan beraksi terhadap suatu hal.
Sedangkan M. Ngalim Purwanto (1990 : 141), berpendapat bahwa :
Sikap atau dalam bahasa Inggris disebut attitude adalah suatu cara bereaksi terhadap suatu perangsang. Suatu kecendrungan untuk bereaksi
15
dengan cara tertentu terhadap sesuatu perangsang atau situasi yang dihadapi. Bagaimana reaksi seseorang jika ia terkena sesuatu rangsangan baik mengenai orang, benda-benda ataupun situasi-situasi yang mengenai dirinya.
Menurut Bruno seperti yang dikutip oleh Muhibbin Syah (1995 : 120)
“Sikap (attitude) adalah kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi
dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu”.
Mar’at, (1984 : 12) berpendapat bahwa “Sikap merupakan kesiapan untuk
bereaksi terhadap objek ini di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan
terhadap objek tersebut”.
Sedangkan Krech dan Cruthfield seperti yang dikutip oleh David O. Sears,
Jonatahan L. Freedman, L. Anne Peplau (1999 : 137) mengemukakan bahwa
“Sikap sebagai organisasi yang bersifat menetap dari proses motivasional,
emosional, perceptual, dan kognitif mengenai beberapa aspek dunia individu”.
Sikap adalah keadaan mental dan saraf dari kesiapan, yang diatur melalui
pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon
individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya (Tri Rusmi
Widayatun, 1999 : 218).
Zimbardo dan Ebbesen dalam Abu Ahmadi (1991: 163) mendefinisikan
bahwa “Sikap adalah suatu predisposisi (keadaan mudah terpengaruh) terhadap
seseorang, ide atau objek yang berisi komponen-komponen cognitie, affective dan
behaviour”.
Louis Thurstone mendefinisikan sikap sebagai jumlah seluruh
kecenderungan dan perasaan, kecurigaan, dan prasangka, prapemahaman yang
mendetail, ide-ide, rasa takut, ancaman dan keyakinan tentang sesuatu hal yang
khusus. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996 : 7)
Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
sikap adalah predisposisi yang dipelajari yang mempengaruhi tingkah laku,
berubah dalam hal intensitasnya, biasanya konsisten sepanjang waktu dalam
situasi yang sama dan komposisinya hampir selalu kompleks terhadap orang
maupun barang.
16
Komponen-komponen Sikap
Dilihat dari strukturnya, sikap terdiri atas tiga komponen yang saling
menunjang yaitu :
Komponen kognitif
Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai objek
sikap. Kepercayaan datang dari apa yang telah kita lihat atau apakah
yang telah kita ketahui dan juga dari pengalaman pribadi. Sekali
kepercayaan itu terbentuk, maka ia akan menjadi dasar pengetahuan
mengenai apa yang dapat diharapkan dan mengenai apa yang tidak
diharapkan dari objek tersebut. Tentu saja kepercayaan sebagai
komponen kognitif tidak selalu akurat, kadang-kadang kepercayaan itu
terbentuk justru dikarenakan tidak adanya informasi yang tepat
mengenai objek yang dihadapi.
Komponen afektif
Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif seseorang
terhadap suatu objek sikap. Pada umumnya reaksi emosional yang
merupakan komponen afektif ini banyak ditentukan oleh kepercayaan
atau apa yang kita percayai sebagai benar bagi objek tersebut.
Komponen konatif (perilaku)
Komponen konatif atau perilaku dalam sikap menunjukkan bagaimana
perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang
berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. Asumsi dasar adalah
bahwa kepercayaan dan perasaan mempengaruhi perilaku karena itu
adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang akan
cenderung dicerminkan dalam bentuk perilaku terhadap objek.
(Saifuddin Azwar, 1988 : 24).
Sedangkan Mar’at (1984 :13) menerangkan bahwa komponen sikap
adalah :
1. Komponen Kognisi yang hubungannya dengan beliefs, ide dan konsep;
2. Komponen Afeksi yang menyangkut kehidupan emosional seseorang;
3. Komponen Konasi yang merupakan kecenderungan bertingkah laku.
17
Karakteristik dan Ciri-ciri Sikap
Suatu sikap mempunyai karakteristik dan ciri-ciri tertentu. Adapun
karakteristik tersebut adalah :
Suatu sikap mempunyai arah
Artinya sikap akan menunjukkan apakah seseorang menyetujui atau
tidak menyetujui, apakah mendukung atau tidak mendukung, apakah
memihak atau tidak memihak terhadap suatu objek sikap.
Suatu sikap mempunyai intensitas
Intensitas atau kekuatan sikap pada setiap orang belum tentu sama. Dua
orang yang sama-sama mempunyai sikap positif terhadap sesuatu
mungkin tidak sama intensitasnya, dalam arti yang satu bersikap positif
tapi yang lain bersikap lebih positif dari pada yang lainnya.
Suatu sikap mempunyai keluasan
Keluasan sikap menunjuk kepada luas tidaknya cakupan aspek objek
sikap yang disetujui atau tidak disetujui oleh seseorang. Seseorang
dapat mempunyai sikap favorabel terhadap objek sikap secara
menyeluruh.
Sikap mempunyai konsistensi
Konsistensi sikap ditunjukkan oleh kesesuaian antara pernyataan sikap
yng dikemukakan oleh subjek dengan responnya terhadapp objek sikap.
Konsistensi sikap juga ditunjukkan oleh tidak adanya kebimbangan
dalam bersikap.
Suatu sikap mempunyai spontanitas
Yaitu sejauh mana kesiapan subjek untuk menyatakan sikapnya secara
spontan. Suatu sikap dikatakan mempunyai spontanitas yang tinggi
apabila sikap dinyatakan tanpa perlu mengadakan pengungkapan atau
desakan agar subjek menyertakan sikapnya. (Abu Ahmadi, 1991 : 176).
Menurut Saifuddin Azwar (1995 : 87) sikap mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut :
1) Sikap bukan dibawa sejak lahir
18
Sikap seseorang tidak dibawa sejak lahir, melainkan dibentuk dan
dipelajari sepanjang perkembangan orang tersebut dalam hubungannya
dengan objek. Sikap berbeda dengan sifat manusia yang berupa sifat
biogenetis yang dibawa sejak lahir, seperti lapar, haus, kebutuhan
istirahat serta penggerak kegiatan manusia yang menjadi pembawaan
baginya sejak ia dilahirkan.
Sikap dapat berubah-ubah
Perubahan sikap seseorang dikarenakan sifat tersebut dapat dipelajari.
Dengan demikian salah satu cara atau faktor pembentukan sikap adalah
melalui pendidikan, baik pendidikan dalam lingkungan keluarga,
sekolah maupun masyarakat.
Sikap itu tidak berdiri sendiri
Sikap adalah selalu ada hubungan antara individu dan objek. Berarti
sikap tidak dapat berdiri sendiri tetapi senantiasa mengandung relasi
tertentu terhadap suatu objek.Objek berupa suatu hal tertentu, tetapi
dapat juga berupa perkumpulan dari hal-hal tersebut
4) Sikap mempunyai segi motivasi dan segi perasaan
Sikap atau ciri inilah yang membedakan sikap dengan kecakapan
ataupun pengetahuan. Pengetahuan suatu objek tidak sama dengan
sikap terhadap objek. Pengetahuan saja belum menjadi penggerak
seperti halnya sikap.
Sedangkan Abu Ahmadi (1991 : 178) mengemukakan bahwa ciri-ciri
sikap adalah :
1) Sikap itu dipelajari (learnability)
Sikap merupakan hasil dari belajar sehingga perlu dibedakan dengan
motif-motif psikologi yang lain. Lapar dan haus adalah contoh dari
motif psikologis yang tidak dipelajari, sedangkan memilih jenis
makanan adalah sikap.
19
2) Memiliki kestabilan (stability)
Sikap berawal dari dipelajari, kemudian melalui pengalaman sehingga
sikap menjadi lebih kuat, tetap dan stabil.
3) Personal – societal significance
Sikap tidak berdiri sendiri akan tetapi melibatkan pihak lain misalnya
antara seseorang dengan orang lain, antara seseorang dengan barang
atau situasi.
4) Berisi kognisi dan afeksi
Komponen kognisi dari sikap adalah informasi yang faktual atau nyata
misalnya sesuatu tersebut menyenangkan atau tidak menyenangkan.
5) Aproach – avoidance directionality
Jika seseorang bersikap favorabel kepada objek, maka dia akan
mendekati dan sebaliknya apabila orang tersebut tak favorabel maka dia
akan menghindarinya.
Onong Uchjana Effendy (1989 : 124) mengemukakan bahwa ciri-ciri sikap
adalah :
1. Sikap bukan merupakan pembawaan manusia sejak dilahirkan, melainkan terbentuk selama perkembangannya, sebagai akibat hubungannya dengan objek-objek di lingkungannya. Sikap tersebut berbeda dengan sifat motif biogenetis yang merupakan pembawaan sejak manusia dilahirkan.
2. Sikap dapat berubah sebagai hasil interaksi antara seseorang dengan orang lain. Karena itu, sikap adalah hasil pelajaran dari lingkungan dan dapat dipelajari oleh lingkungan.
3. Sikap tidak berdiri sendiri, melainkan senantiasa mengandung relasi dengan suatu objek. Objek ini tidak hanya satu jenis, melainkan bermacam-macam sesuai dengan banyaknya objek yang menjadi perhatian orang yang bersangkutan.
4. Sikap bersangkutan dengan dimensi waktu, yang berarti sikap hanya cocok untuk situasi pada waktu tertentu, yang belum tentu sesuai dengan waktu lain. Karena itu sikap dapat berubah menurut situasi.
5. Sikap tidak menghilang walupun kebutuhan sudah dipenuhi. Hal ini berbeda dengan motif boigenetis seperti motif lapar, motif dahaga, dan sebagainya.
6. Sikap mengandung faktor-faktor motivasi dan emosi. Sifat inilah yang membedakan sikap dengan pengetahuannya yang terdapat pada seseorang.
20
Fungsi Sikap
Menurut Samsi Haryanto (1993 : 21), sikap mempunyai fungsi sebagai
berikut :
Fungsi pengetahuan (a knowledge function)
Sebagai fungsi pengetahuan sikap membantu mengorganisasikan dan
menggolongkan dunia dalam suatu ragam atau bentuk yang penuh arti
dan konsisten, mengandung tata, kejelasan, dan stabilitas dalam
kerangka referensi seseorang.
Fungsi penyesuaian diri (adjustive function)
Sebagai fungsi penyesuaian diri sikap dapat menjembatani hubungan
antar individu.
Fungsi manfaat (utilitarian function)
Sebagai fungsi manfaat sikap juga membantu memaksimalkan
ganjaran atau penghargaan dan menimbulkan hukuman dari
lingkungan.
Fungsi pengekspresian nilai (value ex-pressive function)
Sebagai fungsi pengekspresian nilai, sikap dapat mengekspresikan
nilai yang penting bagi konsep diri seseorang.
Sedangkan menurut Theodore M. Newcomb, Ralph H.Turner, Philip E.
Converse (1978 : 66) fungsi dari sikap adalah :
1) Fungsi penyesuaian
Secara esensiil fungsi ini merupakan pengakuan atas kenyataan bahwa
orang-orang berusaha untuk menaikkan sebanyak mungkin hadiah-
hadiah di lingkungan luar mereka dan mengurangi sampai sekecil
mungkin hukuman-hukuman. Sikap-sikap yang diperoleh guna
keperluan fungsi keperluan merupakan alat untuk mencapai tujuan yang
diinginkan atau menghindarkan tujuan yang tidak diinginkan maupun
berupa asosiasi-asosiasi afektif yang didasarkan atas pengalaman-
pengalaman dalam mencapai kepuasan-kepuasan motif.
2) Fungsi pertahanan ego
21
Mekanisme-mekanisme yang dipakai individu untuk melindungi
egonya terhadap impuls-impulsnya yang tidak dapat diterima dan
terhadap pengetahuan tentang kekuatan-kekuatan yang mengancam dari
luar dan cara-cara yang dipakainya untuk mengurangi kecemasan-
kecemasannya yang ditimbulkan oleh persoalan-persoalan yang
demikian, dikenal sebagai mekanisme-mekanisme pertahanan ego.
3) Fungsi menyatakan nilai
Dimana banyak sikap-sikap mempunyai fungsi untuk menghalangi
subjek mengungkapkan sifat yang sebenarnya pada diri sendiri dan
kepada orang lain, sikap-sikap lain mempunyai fungsi memberikan
ekspresi yang positif kepada nilai-nilai sentralnya dan kepada tipe orang
sebagai mana ia menanggapi dirinya.
4) Fungsi pengetahuan
Individu-individu tidak saja memperoleh kepercayaan-kepercayaan
guna kepentingan memuaskan pelbagai kebutuhan tertentu, mereka juga
mencari pelbagai kebutuhan tertentu, mereka juga mencari pengetahuan
untuk memberi makna kepada hal-hal yang kalau tidak, akan
merupakan suatu alam semesta yang tidak terorganisir dan kacau.
Tri Rusmi Widayatun (1999 : 223) berpendapat bahwa fungsi sikap
adalah :
1. sebagai instrumental 2. pertahanan diri 3. penerima objek, ilmu, serta memberi arti 4. nilai ekspresif 5. social adjustment 6. eksternalisasi 7. aktifitas adaptif dalam memperoleh informasi 8. reflek kehidupan Sedangkan menurut Abu Ahmadi (1991 : 179) fungsi (tugas) sikap dapat
dibagi menjadi empat golongan, yaitu :
1) Sikap berfungsi sebagai alat untuk menyesuaikan diri.
Bahwa sikap adalah sesuatu yang bersifat comminicabel, artinya
sesuatu yang menjalar, sehingga mudah pula menjadi milik bersama.
2) Sikap berfungsi sebagai alat pengatur tingkah laku.
22
Kita tahu bahwa tingkah laku anak kecil dan binatang pada umumnya
merupakan aksi-aksi yang spontan terhadap sekitarnya.
3) Sikap berfungsi sebagai alat pengatur pengalaman-pengalaman.
Manusia di dalam menerima pengalaman-pengalaman dari dunia luar
sikapnya tidak pasif, tetapi diterima secara aktif, artinya semua
pengalaman yang berasal dari dunia luar itu tidak semuanya dilayani
oleh manusia, tetapi manusia memilih mana-mana yang perlu dan
mana-mana yang tidak perlu dilayanai. Jadi semua pengalaman ini
diberi penilaian, lalu dipilih.
4) Sikap berfungsi sebagai pernyataan kepribadian.
Sikap sering mencerminkan pribadi seseorang, karena sikap tidak
pernah terpisah dari pribadi yang mendukungnya. Oleh karena itu
dengan melihat sikap-sikap pada objek-objek tertentu, sedikit banyak
orang bisa mengetahui pribadi orang tersebut.
Sedangkan Smith, Bruner dan White sebagaimana yang dikutip oleh
Mar’at (1984 : 49) mengemukakan bahwa fungsi sikap adalah :
1. Social adjustment yang diarahkan pada social relationship (penyesuaian diri pada lingkungan).
2. Externalization, reaksi-reaksi yang menuju pada objek-objek luar. 3. Object appraisal, aktivitas adaptif dalam memperoleh informasi dari
hari ke hari. 4. Quality of expression – reflect the deeperlying patern of his or her life
(kedalaman refleksi kehidupan)
Pembentukan dan Perubahan Sikap
Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi membentuk pola sikap
tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Adapun faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan sikap adalah :
Pengalaman pribadi
23
Untuk dapat mempunyai tanggapan daan penghayatan seseorang harus
mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologis. Tidak
adanya pengalaman sama sekali dengan sesuatu objek psikologis
cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut. Agar
dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi harus
melalui kesan yang kuat. Karena itu sikap akan lebih mudah terbentuk
apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang
melibatkan faktor emosional.
Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang
konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting.
Pada masa remaja dan anak-anak, orang tua biasanya menjadi figur
yang paling berarti bagi anak. Namun biasanya apabila dibandingkan
dengan pengaruh teman sebaya, maka pengaruh sikap orang tua jarang
menang. Bila terjadi pertentangan antara sikap orang tua dan sikap
orang sebaya dalam kelompok, maka anak cenderung untuk mengambil
sikap yang sesuai dengan sikap kelompok.
Pengaruh kebudayaan
Kebudaayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh
besar terhadap pembentukan sikap kita. Kebudayaan telah menanamkan
garis pengarah sikap terhadap berbagai masalah. Hanya kepribadian
individu yang kuat dapaat memudarkan dominasi kebudayaan dalam
pembentukan sikap.
Media masa
Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan
kognitif bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan
sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan
memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah
arah sikap tertentu. Dalam pemberitaan di surat kabar maupun di radio
atau media komunikasi lainnya, berita-berita faktual yang seharusnya
disampaikan secara objektif seringkali dimasuki unsur subjektifitas. Hal
24
ini sering kali berpengaruh terhadap sikap pembaca atau pendengarnya
sehingga dengan hanya menerima berita yang sudah dimasuki unsur
subjektif itu terbentuklah sikap tertentu.
Lembaga pendidikan dan lembaga agama
Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai sistem mempunyai
pengaruh dalam pembentukan sikap. Hal tersebut dikarenakan
keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri
individu. Apabila terdapat suatu hal yang bersifat kontroversial, pada
umumnya orang akan mencari informasi lain untuk memperkuat posisi
sikapnya atau mungkin juga orang tersebut tidak mengambil sikap
memihak. Dikarenakan konsep moral dan ajaran agama sangat
menentukan sistem kepercayaan maka tidaklah mengherankan kalau
pada gilirannya kemudian konsep tersebut ikut berperan dalam
pembentukan sikap individu.
Pengaruh faktor emosional
Suatu bentuk sikap kadang-kadang merupakan pernyataan yang didasari
oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau
pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat
merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustasi
telah hilang. Akan tetapi dapat pula hal tersebut merupakan sikap yang
lebih tahan lama. (Saifuddin Azwar, 1995 : 30).
Sedangkan Tri Rusmi Widayatun (1999 : 220) berpendapat bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sikap adalah :
1) Kepribadian
2) Inteligensia
3) Minat
Menurut Slameto (1995 : 189), pembentukan sikap terjadi sebagai
berikut :
1) Melalui pengalaman yang berulang-ulang, atau dapat pula melalui suatu
pengalaman yang disertai perasaan yang mendalam (pengalaman
traumatik).
25
2) Melalui imitasi
Peniruan dapat terjadi tanpa disengaja, dapat pula dengan sengaja.
3) Melalui sugesti
Seseorang membentuk suatu sikap terhadap objek tanpa suatu alasan
dan pemikiran yang jelas, tapi semata-mata karena pengaruh yang
datang dari seseorang/sesuatu yang mempunyai wibawa dalam
pandangannya.
4) Melalui identifikasi
Seseorang meniru orang lain atau suatu organisasi atau badan tertentu
didasari suatu keterikatan emosional sifatnya meniru dalam hal ini lebih
banyak dalam arti berusaha menyamai.
Gerungan (1996 : 155) berpendapat bahwa “Pembentukan attitude tidak
terjadi dengan sendirinya atau dengan sembarangan saja. Pembentukannya
senantiasa berlangsung dalam interaksi manusia, dan berkenaan dengan objek
tertentu”.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap antara lain :
1) Faktor intern
Yang dimaksud dengan faktor intern adalah faktor dari dalam diri pribadi
manusia itu yakni selektifitasnya sendiri, daya pilihnya sendiri, atau minat
perhatiannya untuk menerima dan mengolah pengaruh-pengaruh yang
datang dari luar dirinya itu.
2) Faktor ekstern
Faktor ekstern adalah hasil buah kebudayaan manusia yang sampai
kepadanya melalui alat-alat komunikasi seperti surat kabar, radio, televisi,
buku, risalah, dan lain-lain.
Menurut Kelman, sebagaimana diuraikan oleh Saifudin Azwar (1984 : 64),
ada tiga hal yang dapat mempengaruhi perubahan sikap yaitu :
1) Kesediaan (compliance)
Terjadinya proses yang disebut dengan kesediaan adalah ketika individu
bersedia menerima pengaruh dari orang lain atau dari kelompok lain
26
dikarenakan ia berharap untuk memperoleh reaksi atau tanggapan
positif dari pihak lain itu.
2) Identifikasi (identification)
Proses identifikasi terjadi apabila individu meniru perilaku atau sikap
seseorang atau sikap kelompok lain dikarenakan sikap tersebut sesuai
dengan apa yang dianggapnya sebagai hubungan yang menyenangkan
antara dia dengan pihak lain tersebut.
3) Internalisasi (internalization)
Internalisasi terjadi apabila individu menerima pengaruh dan bersedia
bersikap menuruti pengaruh itu dikarenakan sikap tersebut sesuai
dengan apa yang ia percayai dan sesuai dengan sistem nilai yang
dianutnya.
Sedangkan Slameto (1995 : 190) berpendapat bahwa hal-hal yang
mempengaruhi perubahan sikap adalah :
1) Adanya dukungan dari lingkungan terhadap sikap yang bersangkutan
2) Adanya peranan tertentu dari suatu sikap dalam kepribadian seseorang
5) Adanya kecenderungan seseorang untuk menghindari kontak dengan
dasar yang bertentangan dengan sikap-sikapnya yang telah ada
6) Adanya sikap yang tidak kaku pada sementara orang untuk
mempertahankan pendapat-pendapatnya sendiri.
Adapun mengenai faktor-faktor yang menunjang dan menghambat
perubahan sikap menurut Mar’at (1984 : 28) adalah :
1. Faktor-faktor yang menunjang : a. dasar utama terjadinya perubahan sikap adalah adanya imbalan dan
hukuman, dimana individu mengasosiasikan reaksinya yang disertai dengan imbalan dan hukuman;
b. stimulus mengandung harapan bagi individu sehingga dapat terjadi perubahan dalam sikap;
27
c. stimulus mengandung prasangka bagi individu yang mengubah sikap semula.
2. Faktor-faktor yang menghambat : a. stimulus bersifat indeferent, sehingga faktor perhatian kurang
berperan terhadap stimulus yang diberikan; b. tidak memberikan harapan untuk masa depan (arti psikologik); c. adanya penolakan terhadap stimulus tersebut, sehingga tidak ada
pengertian terhadap stimulus tersebut (menentang). Sedangkan menurut Saifudin Azwar (1995 : 72) perubahan sikap
disebabkan oleh adanya faktor-faktor eksternal atau faktor-faktor dari luar yaitu :
1) Komunikator sebagai sumber komunikasi
Penelitian menunjukkan bahwa efektifitas komunikator dalam
menyampaikan pesannya (dalam hal ini pesan yang bertujuan untuk
pengubahan sikap) akan tergantung pada beberapa hal antara lain
kredibilitas komunikator, daya tarik, dan kekuatan komunikator itu.
2) Efektifitas komunikasi
Efektifitas komunikasi dan pengaruhnya terhadap perubahan sikap
dapat dilihat dari paling tidak dua aspek, yaitu organisasi komunikasi
dan isi komunikasi atau pesan yang disampaikan. Seorang komunikator
yang bermaksud menyampaikan pesan persuasif guna mengarahkan
sikap tertentu, harus mempertimbangkan apakah suatu komunikasi yang
emosional akan lebih efektif daripada suatu komunikasi rasional,
ataukah sebaliknya.
3) Model komunikasi persuasif
Dalam proses persuasif terdapat dua langkah lanjutan, yaitu retensi atau
pengendapan posisi yang disetujui dan tindakan yang sesuai dengan
posisi tersebut. Dengan demikian, persuasi dapat dianggap melibatkan
langkah-langkah perhatian, pemahaman, penerimaan, pengendapan, dan
tindakan .
Pengukuran Sikap
28
Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu secara
langsung dan tidak langsung.
Secara langsung
Dalam teknik pengukuran langsung ini, subjek mengetahui bahwa dirinya
sedang diukur.
Secara tidak langsung
Dalam teknik tidak langsung ini subjek tidak mengetahui kalau dirinya
sedang diteliti.
Beberapa metode yang digunakan untuk mengukur sikap menurut Tien
Supartinah (1996 : 92) adalah :
1) Metode perbandingan pasangan (method of paired comparisons)
Metode perbandingan pasangan adalah suatu cara untuk memperoleh
frekuensi empiris seringnya stimulus atau pernyataan a diperkirakan
sebagai lebih favorabel daripada pernyataan b. Jadi suatu lambang fab
berarti frekuensi seringnya pernyataan a lebih favorabel daripada
pernyataan b.
2) Metode interval tampak setara (method of equal appearing intervals)
Penggunaan metode interval tampak setara sering disebut juga Metode
Penskalaan Thurstone disebut juga Skala Thurstone. Perkiraan yang
dilakukan bagi setiap pernyataan hanya dilakukan satu kali, yaitu
mereka diminta untuk memperkirakan derajad favorabel atau tak
favorabelnya masing-masing pernyataan, dan bukan menyatakan
kesetujuan dan ketidaksetujuan mereka terhadap pernyataan-pernyataan
itu.
3) Metode interval berurutan (method of successive intervals)
Metode ini dilakukan dengan memaksa dispersi pada ujung-ujung
kontinum agar lebih menyebar jarak skalanya, sehingga penskalaannya
mempunyai hubungan linear dengan penskalaan perbandingan
29
pasangan. Hanya akibatnya adalah tidak samanya jarak skala atau
interval-interval yang ada pada kontinum psikologis tersebut.
4) Metode rating yang dijumlahkan (method of summated ratings)
Metode rating yang dijumlahkan lebih populer dengan nama Skala
Model Likert atau disingkat dengan nama Skala Likert. Dalam metode
ini tidak diperlukan kelompok pengira, karena nilai skala setiap
pernyataan tidak ditentukan oleh derajat favorabelnya masing-masing,
tetapi ditentukan oleh distribusi jawaban setuju atau tidak setuju dari
kelompok yang hendak diukur sikapnya.
5) Teknik diskriminasi skala (scale discrimination technique)
Teknik diskriminasi skala dikembangkan oleh Edwards dan Kilpatrick
tahun 1948, merupakan contoh pengembangan skala sikap yang
menggunakan pendekatan kombinasi metode judgment dan metode
respon. Menurut mereka suatu kombinasi cara penskalaan dan cara
analisis item akan memungkinkan kita memilih suatu kumpulan
pernyataan terbaik yang jumlahnya tidak perlu banyak akan tetapi
masih memenuhi persyaratan.
6) Teknik beda semantik (semantic differential technique)
Teknik beda semantik dikembangkan oleh Osgood, Suci dan
Tannenbaum pada tahun 1975, dalam studi mereka mengenai
pengukuran arti atau makna kata. Menurut mereka teknik beda semantik
dapat juga digunakan sebagai salah satu sarana pengukuran psikologis
dalam berbagai aspek, seperti kepribadian, komunikasi, sikap dan lain-
lain.
Perilaku
a. Pengertian Perilaku
30
Skinner sebagaimana dikutip oleh A. Suhaenah Suparno (2000 : 65)
mengemukakan bahwa “Perilaku adalah gerakan dari suatu organisme yang
kerangkanya diatur oleh dirinya atau oleh kekuatan-kekuatan dari luar”. Ia
menyimpulkan dari analisis hasil-hasil eksperimennya tentang perilaku, terbanyak
merupakan hasil proses penguatan (reinforcement). Perilaku dapat dibentuk oleh
usaha penguatan yang sesuai.
Mengenai tingkah laku manusia J.B. Watson, sebagaimana dikutip oleh
Sanapiah Faisal dan Andi Mappiare (1978 : 218) berpendapat bahwa :
Tingkah laku manusia tidak lain dari refleks-refleks yang tersusun. Setiap tingkah laku manusia adalah susunan refleks-refleks belaka dan merupakan reaksi terhadap perangsang. Perbuatan yang kompleks ini termasuk reaksi terhadap perangsang; sedangkan gerakan yang sederhana merupakan reaksi dari perangsang dan berlangsung secara reflekstif, otomatis . Saefudin Azwar (1995 : 9) mengemukakan bahwa “Psikologi memandang
manusia (human behavior) sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun
bersifat kompleks”.
Tingkah laku dibagi menjadi dua yaitu :
1) Tingkah laku yang refleksi
Tingkah laku refleksi merupakan tingkah laku yang terjadi atas reaksi
secara spontan terhadap stimulus yang mengenai organisme tersebut.
Misalnya reaksi gerak lutut bila terkena palu. Stimulus yang diterima oleh
organisme atau individu tidak sampai ke pusat susunan saraf/ otak sebagai
pusat kesadaran dan sebagai pusat pengendali dari tingkah laku manusia.
2) Tingkah laku non refleksi
Tingkah laku non refleksi merupakan tingkah laku yang dikendalikan atau
diatur oleh pusat kesadaran/ otak. Stimulus diterima oleh reseptor kemudian
diteruskan ke otak sebagai pusat saraf, pusat kesadaran, baru kemudian
terjadi respon melalui afektor.
b. Konsep Tingkah Laku
Rotter sebagaimana yang dikutip oleh Sanapiah Faisal dan Andi Mappiare
(1978 : 226) berpendapat bahwa konsep-konsep tingkah laku individu adalah :
31
1) Tingkah laku merupakan suatu peristiwa dalam mana organisme
individu yang hidup itu sebagai subjeknya.
Individu sebagai subjek tingkah laku mengandung pengertian bahwa
individulah yang menentukan apakah lingkungannya memberi arti bagi
individu atau social. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di setiap individu
dinilainya berdasarkan ukuran keberartian lingkungan tersebut bagi
individu.
2) Tingkah laku sebagai satu fungsi bagi system kepribadian itu
berlangsung dalam ruang dan waktu
Ruang dan waktu sebagai tempat berlangsungnya tingkah laku dapat
diartikan bahwa antara waktu satu dengan waktu lainnya, antara situasi
satu dengan situasi lainnya, individu sebagai subjek itu dapat bereaksi
yang berbeda terhadap lingkungan sosialnya.
3) Tingkah laku selalu mempunyai aspek arah tujuan dan tujuan ini
mendapatkan pengaruh besar dari kondisi-kondisi reinforcement
Tingkah laku selalu mempunyai arah dan tujuan dan tujuan ini
mendapatkan pengaruh besar dari kondisi-kondisi reinforcement.
Reinforcement merupakan situasi yang menyenangkan yang diterima
individu dari lingkungan soaialnya ataupun dari hasil yang dicapai
melalui kegiatannya.
4) Tingkah laku ditentukan pula oleh adanya harapan-harapan
(expectancy) berdasarkan pengalaman-pengalaman di samping
pentingnya motif, tujuan dan besarnya reinforcement
Tingkah laku ditentukan pula oleh adanya harapan-harapan
(expectancy) yang diperoleh individu berdasarkan pengalaman-
pengalamannya. Seseorang mau melakukan suatu kegiatan tertentu,
walaupun saat itu nampaknya belum mempunyai hasil-hasil/ perasaan
senang dan sebagainya akan tetap dikerjakannya juga berdasarkan
adanya harapan-harapan.
Anak Berkesulitan Belajar
Pengertian Anak Berkesulitan Belajar
32
Kesulitan belajar merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris
learning disability. Terjemahan tersebut sesungguhnya kurang tepat karena
learning artinya belajar dan disability artinya ketidakmampuan, sehingga
terjemahan yang benar seharusnya adalah ketidakmampuan belajar.
Anak berkesulitan belajar adalah anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus maupun umum, baik disebabkan oleh adanya disfungsi neurologis, proses psikologis dasar maupun sebab-sebab lain sehingga prestasi belajarnya rendah dan anak tersebut beresiko tinggi tinggal kelas”. Tentang Definisi kesulitan belajar The United States Office of Education
(USOE) seperti yang dikutip oleh Mulyono Abdurrahman (1996 : 5)
mengemukakan bahwa :
Kesulitan belajar khusus adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih dari proses psikologis dasar yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja, atau berhitung. Batasan tersebut mencakup kondisi-kondisi seperti gangguan perseptual, luka pada otak, disleksia dan afasia perkembangan. Batasan tersebut tidak mencakup anak-anak yang memiliki problema belajar yang penyebab utamanya berasal dari adanya hambatan dalam penglihatan, pendengaran, atau motorik, hambatan karena tuna grahita, karena gangguan emosional, atau karena kemiskinan lingkungan, budaya, atau ekonomi.
Sedangkan The National Joint Committee for Learning Disabilities
(NJCLD) sebagaimana dikutip oleh Mulyono Abdurrahman (1996 : 6)
mengemukakan bahwa :
Kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar, atau kemampuan dalam bidang studi matematika. Gangguan tersebut intrinsik dan diduga disebabkan oleh adanya disfungsi sistem syaraf pusat. Meskipun suatu kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan dengan adanya kondisi lain yang mengganggu (misalnya gangguan sensoris, tuna grahita, hambatan sosial dan emosional) atau berbagai pengaruh lingkungan (misalnya perbedaan budaya, pembelajaran
33
yang tidak tepat, faktor-faktor psikogenik), berbagai hambatan tersebut bukan penyebab atau pengaruh langsung.
Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kesulitan belajar
tidak dikaitkan secara eksklusif dengan anak-anak, menghindari ungkapan proses
psikologi dasar, memisahkan gangguan mengeja dengan kesulitan
mengekspresikan bahasa tertulis dan kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan
dengan kondisi-kondisi lain.
Sedangkan The Board of the Association for Children and Adulth with
Learning Disabilities (ACALD), seperti yang dikutip oleh Mulyono
Abdurrahman (1996 : 7), memberi batasan kesulitan belajar sebagai berikut :
Kesulitan belajar khusus adalah suatu kondisi kronis yang diduga bersumber neurologis yang secara selektif mengganggu perkembangan, integrasi, dan atau kemempuan verbal dan atau non verbal. Kesulitan belajar khusus tampil sebagai suatu kondisi ketidakmampuan yang nyata pada orang-orang yang memiliki intelegensia rata-rata hingga superior, yang memiliki sistem sensoris yang cukup, dan kesempatan untuk belajar yang cukup pula.berbagai kondisi tersebut bervariasi dalam perwujudan dan derajatnya. Kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap harga diri, pendidikan, pekerjaan, sosialisasi, dan atau aktivitas kehidupan sehari-hari sepanjang kehidupan.
Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kesulitan belajar
disebabkan karena adanya disfungsi neurologis dan anak tersebut mengalami
kesulitan tugas-tugas akademik serta adanya kesenjangan antara prestasi belajar
dengan potensi.
Prevalensi Anak Berkesulitan Belajar
Prevalensi anak berkesulitan belajar terkait erat dengan definisi yang
digunakan karena alat identifikasi dan asesmen untuk menentukan prevalensi
didasarkan atas definisi tertentu.
Menurut Lerner, Hallahan, Kauffman dan Lloyd sebagaimana dikutip oleh
Mulyono Abdurrahman (1996 : 8) “Prevalensi anak usia sekolah yang
berkesulitan belajar membentuk suatu rentangan dari 1% hingga 30%”.
Hasil penelitian terhadap 3.125 murid kelas satu hingga kelas enam SD di
DKI Jakarta menunjukkan bahwa terdapat 16,52% yang oleh guru dinyatakan
34
sebagai murid berkesulitan belajar. (Mulyono Abdurrahman dan Nafsiah Ibrahim,
1994)
Menurut Kazuhito dalam Takeshi Fuji Shima et al sebagaimana yang
dikutip oleh Mulyono Aburrahman (1996 : 8) “Estimasi prevalensi anak
berkesulitan belajar adalah 1 % hingga 4 %, dengan perbandingan anak laki-laki
dan anak perempuan antara 4 berbanding 1 hingga 7 berbanding 1”.
Klasifikasi Anak Berkesulitan Belajar
Secara garis besar kesulitan belajar dapat diklasifikasikan ke dalam 2 (dua)
kelompok yaitu :
Kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan (developmental
learning disabilities)
Kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan mencakup
gangguan motorik dan persepsi, kesulitan belajar bahasa dan komunikasi,
dan kesulitan belajar dalam penyesuaian perilaku sosial.
Kesulitan belajar akademik (academic learning disabilities)
Kesulitan belajar akademik menunjuk pada adanya kegagalan-kegagalan
pencapaian prestasi akademik yang sesuai dengan kapasitas yang
diharapkan. Kegagalan-kegagalan tersebut mencakup penguasaan
keterampilan dalam membaca, menulis, dan atau matematika.
Penyebab Kesulitan Belajar
Penyebab utama kesulitan belajar adalah faktor internal yaitu kemungkinan
adanya disfungsi neurologis. Disfungsi neurologis sering tidak hanya
menyebabkan kesulitan belajar tetapi juga dapat menyebabkan tuna grahita dan
gangguan emosional.
Faktor yang dapat menyebabkan disfungsi neurologis yang pada gilirannya
dapat menyebabkan kesulitan belajar antara lain adalah :
1. Faktor genetik 2. Luka pada otak karena trauma fisik atau karena kekurangan oksigen
35
3. Biokimia yang hilang (misalnya biokimia yang diperlukan untuk memfungsikan saraf pusat).
4. Biokimia yang dapat merusak otak (misalnya zat pewarna dalam makanan)
5. Pencemaran lingkungan (misalnya pencemaran timah hitam) 6. Gizi yang tidak memadai 7. Pengaruh-pengaruh psikologis dan sosial yang merugikan
perkembangan anak (deprivasi lingkungan). Mulyono Aburrahman (1996 : 10)
Faktor-faktor penyebab kesulitan belajar, menurut Abu Ahmadi dan
Widodo Supriyono (1991 : 75) dapat digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu :
1. Faktor Intern (faktor dari dalam diri manusia itu sendiri) yang meliputi : a. Faktor Fisiologi b. Faktor Psikologi
2. Faktor Ekstern (faktor dari luar manusia) meliputi : a. Faktor-faktor non sosial b. Faktor-faktor sosial
Peranan Guru terhadap Anak Berkesulitan Belajar
Menurut Lerner yang dikutip oleh Mulyono Abdurrahman (1996 : 87),
ada 9 (sembilan) peranan guru khusus bagi anak berkesulitan belajar yaitu :
Menyusun rancangan program identifikasi, asesmen dan pembelajaran
anak berkesulitan belajar.
Berpartisipasi dalam penjaringan, asesmen, dan evaluasi anak berkesulitan
belajar
Berkonsultasi dengan para ahli yang terkait dan mengintepretasikan
laporan mereka
Melaksanakan tes, baik tes formal maupun informal
Berpartisipasi dalam penyusunan program pendidikan yang
diindividualkan
Mengimplementasikan program pendidikan yang diindividualkan
Menyelenggarakan pertemuan dan wawancara dengan orang tua
36
Bekerja sama dengan guru reguler atau guru kelas untuk memahami anak
dan menyediakaan pembelajaran yang efektif
Membantu anak dalam mengembangkan pemahaman diri dan memperoleh
harapan untuk berhasil serta berkeyakinan kesanggupan mengatasi
kesulitan belajar.
Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran merupakan pola pikir yang melandasi konsep peneliti
dalam upaya mengacu pengkajian hipotesis. Adapun kerangka pemikiran yang
penulis kemukakan adalah :
Bahwa semakin positif persepsi guru terhadap anak berkesulitan belajar, maka
akan semakin baik perilaku guru terhadap anak berkesulitan belajar.
Sebaliknya, semakin negatif persepsi guru terhadap anak berkesulitan belajar,
maka akan semakin buruk perilaku guru terhadap anak berkesulitan belajar.
Bahwa semakin positif sikap guru terhadap anak berkesulitan belajar, maka akan
semakin baik pula perilaku guru terhadap anak berkesulitan belajar.
Sebaliknya, semakin negatif sikap guru terhadap anak berkesulitan belajar,
maka akan semakin buruk perilaku guru terhadap anak berkesulitan belajar.
Bahwa persepsi dan sikap guru berpengaruh terhadap perilaku guru dalam
menangani anak berkesulitan belajar.
Dari pemikiran di atas dapat disederhanakan menjadi kerangka pemikiran
dengan skema kerangka berpikir sebagai berikut :
Persepsi Guru terhadap Anak Berkesulitan Belajar
Sikap Guru terhadap Anak Berkesulitan Belajar
Perilaku Guru dalam Menangani
Anak Berkesulitan Belajar
37
Perumusan Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara dari suatu masalah yang sedang
diselidiki. Dengan demikian kebenarannya perlu diuji terlebih dahulu melalui
langkah-langkah penelitian.
Hal ini selaras dengan pendapat Sutrisno Hadi (1997 : 14) yang
mengemukakan bahwa “Hipotesis adalah pernyataan yang lemah kebenarannya
dan masih perlu dibuktikan kebenarannya”.
Bertitik tolak dari landasan teori dan kerangka pemikiran yang telah
diuraikan di atas, maka penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut :
Ada hubungan antara persepsi guru dengan perilaku guru dalam menangani anak
berkesulitan belajar di SD wilayah Kecamatan Jebres Surakarta.
Ada hubungan antara sikap guru dengan perilaku guru dalam menangani anak
berkesulitan belajar di SD wilayah Kecamatan Jebres Surakarta.
Ada hubungan antara persepsi dan sikap guru dengan perilaku dalam menangani
anak berkesulitan belajar di SD wilayah Kecamatan Jebres Surakarta.
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data
Penelitian ini menyajikan data dari tiga variabel yaitu (1) persepsi guru,
(2) sikap guru dan (3) perilaku guru dalam menangani anak berkesulitan belajar
siswa Sekolah Dasar di Kecamatan Jebres Surakarta tahun 2003, yang penulis
sajikan sebagai berikut :
1. Persepsi Guru dalam Menangani Anak Berkesulitan Belajar
Dari hasil pengumpulan data tentang variabel persepsi guru diperoleh hasil
sebagai berikut : (1) skor tertinggi 85; (2) skor terendah 60; (3) mean sebesar
38
72,460; (4) standar deviasi sebesar 5,672. Adapun sebaran frekuesi skor persepsi
guru seperti pada tabel berikut:
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Skor Persepsi Guru dalam Menangani Anak
Daniel J. Mueller. 1996. Mengukur Sikap Sosial. Pegangan Untuk Peneliti dan Praktisi. Alih Bahasa Eddy Soewardi Kartawidjaja. Bandung : Bumi Akasara.
David O. Sears, Jonathan L. Freedman, L. Anne Peplau. 1999. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996. Sikap Menghargai Waktu di Kalangan Pelajar dan Mahasiswa di Kota Jakarta. Jakarta :
Dimyati Mahmud. 1990. Psikologi Suatu Pengantar. Yogyakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Yogyakarta.
Gerungan. 1996. Psikologi Sosial. Bandung : PT. Eresco.
Hadari Nawawi. 1993. Metodologi Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Irawan Soehartono. 2000. Metodologi Penelitian Sosial. Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
49
Jalaluddin Rakhmad. 2001. Psikologi Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
James L. Gibson, John M. Ivancevich, James H. Donnelly Jr. 1995. Organisasi Perilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Erlangga.
Kartini Kartono. 1990. Pengantar Metodologi Research Sosial. Bandung : Mandar Maju
……………….. 1990. Psikologi Umum. Bandung : Mandar Maju.
Mar’at. 1984. Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Miftah Thoha. 1983. Perilaku Organisasi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Moh. Nazir. 1988. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Muhammad Ali. 1982. Penelitian Deskriptif. Surabaya : Usaha Nasional.
Muhibbin Syah. 1995. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyono Abdurrahman. 1994. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan .
Ngalim Purwanto M. 1990. Psikologi Pendidikan. Bandung : CV. Remaja Rosdakarya.
Munawir Yusuf, Sunardi, Mulyono Abdurrahman. 2003. Pendidikan Bagi Anak dengan Problema Belajar. Solo : PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Onong Uchjana Effendy. 1989. Psikologi Manajemen dan Administrasi. Bandung : PT. Mandar Maju Petrus Sardjonoprijo. 1982. Psikologi Kepribadian. Solo : FAPERTA UNS.
Rita L. Alkinson, Richard L. Alkinson, Edward E. Smith, Daryl J. Bem. 1997. Pengantar Psikologi. Jakarta : Erlangga.
Saifudin Azwar. 1988. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta : Liberty.
Samsi Haryanto. 1993. Pengantar Teori Pengukuran Kepribadian. Surakarta : Sebelas Maret University Press.
Sanafiah Faisal. 1981. Dasar dan Teknik Menyusun Angket. Surabaya : Usaha Nasional.
Slameto. 1995. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta : Rineka Cipta.
Sondang P. Siagian. 1989. Managemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara Sugiyono. 2002. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : CV. Alpabeta
50
Suharsimi Arikunto. 1991. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
Sumardi Suryabrata. 1983. Metode Penelitian. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Sutrisno Hadi. 1997. Metodologi Research. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gajahmada (UGM).
Theodore M. Newcomb, Ralph H. Turner, Philip E. Converse. 1978. Psikologi Sosial. Bandung : CV. Diponegoro.
Tien Supartinah. 1996. Evaluasi Psikologi II. Surakarta : Universitas Sebelas Maret (UNS) Press
Tri Rusmi Widayatun. 1999. Ilmu Perilaku. Jakarta : Sagung Seto.
Winarno Surakhmad. 1994. Metodologi Research. Edisi Ketujuh. Bandung : Jemers.
Wiyono. 1999. Jurnal : Rehabilitasi dan Remidiasi. Surakarta : UNS Press.
W.S. Winkel. 1991. Psikologi Pengajaran. Jakarta : PT. Grasindo.
Yusmar Yusuf. 1991. Psikologi Antar Budaya. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Lampiran 1
Kepada :
Yth. Bapak/ Ibu Guru Sekolah Dasar Negeri
Di Kecamatan Jebres
Dengan hormat,
Bahwa dalam rangka mencari data guna penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di FKIP UNS, Saya sebagai salah satu mahasiswa Jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) FKIP UNS bermaksud mengadakan penelitian.
Untuk itu, pada kesempatan ini perkenankanlah kami mohon pengorbanan sedikit waktu dalam kesibukan Bapak/ Ibu Guru sekalian untuk berkenan mengisi daftar pertanyaan yang saya sampaikan ini.
Daftar pertanyaan ini saya sampaikan dengan maksud untuk memperoleh
data-data yang berhubungan dengan persepsi, sikap dan perilaku Bapak/ Ibu Guru
dalam menangani anak berkesulitan belajar.
51
Saya berharap Bapak/ Ibu Guru bersedia memberikan jawaban atas
semua pertanyaan yang saya sampaikan ini dengan sejujur-jujurnya dan sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya. Perlu Bapak/ Ibu Guru ketahui, bahwa dari
hasil penelitian ini tidak akan berpengaruh terhadap nama baik atau reputasi
Bapak/ Ibu sebagai seorang guru.
Akhirnya, atas partisipasi dan kesediaan Bapak/ Ibu Guru sekalian saya
mengucapkan terima kasih.
Hormat Saya
IIS SETIYANINGRUM
ANGKET PERSEPSI GURU TERHADAP
ANAK BERKESULITAN BELAJAR
Petunjuk Pengisian :
1. Sebelum menjawab perntanyaan, Bapak/ Ibu diharapkan mengisi daftar/
identitas sebagaimana tertulis di bawah ini.
2. Berilah tanda chek ( √ ) pada jawaban yang sesuai dengan persepsi, sikap
dan perilaku Bapak/ Ibu Guru.
3. Keterangan jawaban :
SS = Sangat Setuju
S = Setuju
TS = Tidak Setuju
STS = Sangat Tidak Setuju
IDENTITAS PRIBADI :
Nama : ……………………………………….
NIP : ……………………………………….
Jenis Kelamin : ……………………………………….
Instansi : ……………………………………….
52
A. PERSEPSI PERNYATAAN
PERSEPSI NO. DAFTAR PERTANYAAN SS S TS STS
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Anak berkesulitan belajar adalah anak yang
mempunyai IQ rendah.
Anak berkesulitan belajar selalu mengalami
kesulitan dalam semua bidang mata pelajaran.
Anak berkesulitan belajar hanya mengalami
kesulitan dalam bidang akademiknya saja
Anak berkesulitan belajar mempunyai prestasi
jauh di bawah kemampuan yang sebenarnya.
Anak yang bodoh biasanya disamakan dengan
anak yang berkesulitan belajar
Gangguan pemusatan perhatian biasanya dialami
oleh anak yang berkesulitan belajar.
Anak berkesulitan belajar biasanya juga
mengalami gangguan bicara dan impulsif.
Pada Anak Berkedulitan Belajar dijumpai
kesulitan belajar spesifik terutama keterampilan
akademik dasar..
Hiperaktif sering terjadi pada anak berkesulitan
belajar.
Kesulitan belajar di sebabkan karena adanya
kerusakan otak.
Faktor genetik tidak menjadi salah satu penyebab
kesulitan belajar.
Lingkungan tidak berpengaruh terhadap kesulitan
belajar seorang anak.
Guru yang tidak memadai dapat menyebabkan
kesulitan belajar.
Program Pengajaran Individual (PPI) merupakan
rencana pendidikan untuk seorang anak luar biasa.
PPI disusun oleh satu tim dari berbagai profesi
dan keahlian.
53
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
PPI mempunyai arti yang sama dengan satuan
pelajaran.
Guru sekolah dasar umum tidak memerlukan
adanya PPI.
Sekolah khusus memberikan kesempatan bagi
anak berkebutuhan khusus untuk mengikuti
pendidikan
Kurikulum untuk sekolah khusus tidak harus
dibedakan dengan sekolah umum.
Kelas khusus merupakan suatu bentuk layanan
pedidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang
berada di sekolah umum.
Semua anak yang bodoh sebaiknya dimasukkan ke
dalam kelas khusus.
Guru khusus merupakan guru yang khusus
bertugas di sekolah umum untuk membantu
memberikan bimbingan dan pelajaran kepada
ALB.
Guru khusus tidak harus berasal dari lulusan
Pendidikan Luar Biasa.
Guru khusus juga dapat mengajar kelas umum
lainnya.
Pelaksanaan program layanan khusus dilakukan
oleh guru pendidikan khusus.
Dalam mengajar kelas yang heterogen hanya
cukup dilakukan satu orang guru yang mengajar.
B. SIKAP GURU
PERNYATAAN SIKAP NO. DAFTAR PERTANYAAN
SS S TS STS
1.
Anak yang mengalami kesulitan belajar
memerlukan program penanganan secara
54
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
individual
Anak berkesulitan belajar tidak perlu penanganan
secara individual meskipun merasa bosan
menyelesaikan sesuai dengan waktu yang
ditentukan.
Guru tidak perlu memahami keadaan pada diri
anak yang mengalami kelainan sangat individual.
Seorang guru tidak sepantasnya untuk membeda-
bedakan dalam memperlakukan anak didiknya.
Untuk mengetahui perkembangan pemahaman
siswa terhadap materi pelajaran, maka seorang
guru harus memperhatikan prestasi belajar siswa
secara individual.
Seorang guru tidak perlu memperhatikan
perbedaan individual siswa.
Apabila hasil test di bawah standar maka perlu
diadakan remidiasi.
Remidiasi dilaksanakan setelah guru mengetahui
hasil belajar siswa.
Remidiasi hendaknya dilakukan secepat mungkin
dan dilaksanakan di luar jam pelajaran sekolah.
Bagi anak berkesulitan belajar, remidiasi
memerlukan perhatian guru yang lebih cermat.
Untuk memacu kemampuan anak yang
mengalami kesulitan belajar, remidiasi tidak
perlu diberikan.
Remidiasi tidak perlu diberikan karena hanya
membuang waktu proses belajar mengajar.
Dalam kelas yang heterogen hanya cukup satu
guru yang mengajar tanpa guru bantu.
Dalam mengajar kelas antara anak normal dengan
anak berkesulitan belajar, guru umum
sebelumnya perlu mendapatkan penataran dan
pelatihan.
Antara guru sekolah umum dan guru khusus tidak
55
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
perlu adanya hubungan kerja.
Guru sekolah umum ditugaskan mengajar di
kelas antara anak normal dengan anak
berkesulitan belajar.
Guru khusus tidak harus berasal dari lulusan
sekolah guru pendidikan luar biasa.
Untuk anak berkesulitan belajar yang berada di
kelas biasa, pada mata pelajaran tertentu
sebaiknya dipindahkan ke kelas khusus.
Dalam kelas khusus anak berkesulitan akan
terisolir dari anak normal.
Pada saat proses belajar mengajar anak normal
duduk satu bangku dengan anak berkesulitan
belajar adalah hal yang biasa.
Pendidikan bagi anak normal sebaiknya
dipisahkan dari anak berkesulitan belajar
Dibutuhkan tenaga yang terampil dan kreatif
untuk penyelenggaraan kelas khusus, khususnya
untuk memodifikasi kurikulum.
Bagi anak berkesulitan belajar, sekolah khusus
akan lebih efektif daripada sekolah umum
Sekolah khusus banyak merugikan siswa,
terutama bagi siswa yang mempunyai tingkat
intelektual yang cukup tinggi
Sekolah khusus tidak harus mempunyai fasilitas
yang memadai bagi anak berkesulitan belajar
Antara guru umum dengan guru khusus tidak
perlu adanya jalinan kerja sama
C. PERILAKU GURU
Untuk pernyataan-pernyataan berikut, berilah tanda chek ( √ ) pada
kolom yang sesuai !
S = Selalu
56
K = Kadang-Kadang
P = Pernah
TP = Tidak Pernah
PERNYATAAN PERILAKU NO DAFTAR PERNYATAAN
S K P TP
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Saya melakukan pengamatan terhadap anak
yang memerlukan perhatian khusus
Saya membuat alat identifikasi untuk
menjaring anak berkesulitan belajar
Saya melakukan penjaringan sendiri terhadap
anak berkesulitan belajar di kelas
Pada saat setiap evaluasi , saya mengolah data
untuk mengetahui masing- masing kesulitan
anak
Saya mempunyai buku catatan khusus untuk
anak tentang kasus-kasus kesulitan belajar
Untuk mengetahui kedudukan masing-masing
anak di kelas, saya menganalisis hasil belajar
Saya membuat program penanganan secara
individual bagi siswa baru yang mengalami
kesulitan belajar
Bila ada perkembangan baru pada anak
berkesulitan belajar saya selalu memberi
perlakuan
Dalam memberikan materi pelajaran saya
membedakan antara anak berkesulitan belajar
dengan yang tidak
Saya memberikan layananan yang khusus
terhadap anak berkesulitan belajar
Saya memberi pekerjaan rumah tersendiri
bagi anak berkesulitan belajar
Dalam menangani anak berkesulitan belajar
saya menggunakan tutor sebaya
57
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
Jika hasil tes di bawah standar maka saya
mngadakan remidiasi
Dalam memberikan remidi terhadap anak
berkesulitan belajar saya memperhatikan
dengan lebih cermat
Apabila materi yang diberikan belum bisa
dimengerti anak maka saya akan
mengulanginya lagi
Dalam rangka membantu siswa yang
mengalami kesulitan belajar saya
mengadakan kerja sama dengan guru lain
Saya melibatkan seorang dokter dalam
menangani anak berkesulitan belajar
Setiap ada anak yang menunjukkan tanda-
tanda bermasalah akan saya rujuk ke tim PLB
Saya mendiskusikan dengan guru lain tentang
anak berkesulitan belajar
Saya biasa mengikuti seminar atau diskusi
tentang masalah anak berkesulitan belajar
Saya membaca buku-buku tentang anak
berkesulitan belajar untuk menambah
wawasan tentang anak berkesulitan belajar
Untuk membantu anak berkesulitan belajar
maka saya melakukan home visit dan
berbicara dengan orang tuanya
Untuk mengetahui kelemahan dan
kemampuan serta bidang-bidang yang belum
dikuasai anak maka saya melakukan tes
akademik
Untuk mengetahui gambaran tentang
kelemahan dan kemampuan umum saya
bekerja sama dengan seorang psikolog
mengadakan tes inteligensi
Saya melakukan observasi baik langsung
58
26.
maupun tidak lansung untuk mengetahui
perilaku sosial dan adaptif
Saya melakukan evalusi di setiap akhir bab
mata pelajaran.
Lampiran 2
DATA TRY OUT ANGKET PERSEPSI GURU DALAM MENANGANI
ANAK BERKESULITAN BELAJAR
Butir Nomor Nomor
Subjek 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1 2 3 3 3 2 3 3 3 2 2 3 4 3
2 2 3 3 3 2 3 3 3 2 2 3 4 3
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3
4 2 3 3 3 2 3 3 3 2 2 3 4 3
5 2 3 3 3 2 3 3 3 2 2 3 3 3
6 2 2 2 3 2 2 2 2 2 2 2 3 2
7 3 4 3 3 2 4 4 3 3 2 3 4 4
8 3 4 3 3 2 4 4 3 3 2 3 4 4
59
9 3 4 3 3 3 4 4 3 3 3 3 4 4
10 2 3 2 3 2 3 3 3 2 2 2 3 3
11 4 4 2 2 3 4 4 3 4 3 2 3 4
12 4 4 2 2 3 4 4 3 4 3 2 3 4
13 3 4 4 2 3 4 4 4 3 3 4 4 4
14 3 3 4 1 3 3 3 4 3 3 4 4 3
15 4 3 4 3 3 3 3 4 4 3 4 4 3
16 2 3 2 3 2 3 3 3 2 2 2 3 3
17 4 4 3 3 3 4 4 3 4 3 3 4 4
18 2 3 2 3 2 3 3 2 2 2 2 2 3
19 4 4 2 3 4 4 4 3 4 4 2 3 4
20 4 3 2 3 2 3 3 3 4 2 2 3 3
Butir Nomor Nomor
Subjek 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
1 3 2 4 3 3 3 2 4 2 3 3 3 2
2 3 2 4 3 3 3 2 4 2 3 3 3 2
3 3 3 4 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3
4 3 2 4 3 3 3 2 4 2 3 3 3 2
5 3 2 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 2
6 2 2 3 2 2 2 2 3 3 2 2 2 2
7 4 2 4 3 3 3 2 4 3 4 3 3 3
8 4 2 4 3 3 3 2 4 3 4 3 3 3
9 4 3 4 3 3 3 3 4 3 4 3 3 3
10 3 2 3 3 3 2 2 3 3 3 3 2 2
11 4 3 3 4 3 2 3 3 2 4 3 2 4
12 4 3 3 4 3 2 3 3 2 4 3 2 4
60
13 4 3 4 4 4 4 3 4 1 4 4 4 3
14 3 3 4 3 4 4 3 4 3 3 4 4 3
15 3 3 4 3 4 4 3 4 3 3 4 4 4
16 3 2 3 3 3 2 2 3 2 3 3 2 2
17 4 3 4 4 3 3 3 4 3 4 3 3 4
18 3 2 2 3 2 2 2 2 2 3 2 2 2
19 4 4 3 4 3 2 4 3 3 4 3 2 4
20 3 2 3 3 3 2 2 3 3 3 3 2 4
Lampiran 3
UJI VALIDITAS ANGKET PERSEPSI GURU DALAM MENANGANI
ANAK BERKESULITAN BELAJAR
Tabel Persiapan Uji Validitas Butir Nomor 1
Nomor X1 Y X12 Y2 X1Y
1 2 73 4 5329 146
2 2 73 4 5329 146
3 3 81 9 6561 243
4 2 73 4 5329 146
5 2 71 4 5041 142
6 2 57 4 3249 114
7 3 84 9 7056 252
61
8 3 84 9 7056 252
9 3 88 9 7744 264
10 2 67 4 4489 134
11 4 82 16 6724 328
12 4 82 16 6724 328
13 3 93 9 8649 279
14 3 84 9 7056 252
15 4 91 16 8281 364
16 2 67 4 4489 134
17 4 90 16 8100 360
18 2 61 4 3721 122
19 4 87 16 7569 348
20 4 73 16 5329 292
Total 58 1561 182 123825 4646
Langkah-langkah perhitungan :
1. Penyajian Data
N = 20
∑X1 = 58
∑Y = 1561
∑X12 = 182
∑Y2 = 123825
∑X1Y = 4646
2. Menghitung besarnya korelasi antara skor butir 1 (X1) dan total skor (Y)
dengan rumus korelasi product moment sebagai berikut :
rX1Y = ( ) ( )( )
( ) ( ){ }( ) ( ){ }2221
21
11
YYN.XXN.
YXYXN.
∑−∑∑−∑
∑∑−∑
62
= ( ) ( )( )
( ) ( ){ }( ) ( ){ }22 1561123825.2058182.20
1561584646.20
−−
−
= 0,719
3. Konsultasi dengan tabel
Dengan N = 20 dan taraf signifikansi 5% didapat harga rtabel sebesar 0,433.
Karena rX1Y = 0,719 > rt 5% maka soal nomor 1 valid.
4. Membuat rangkuman hasil perhitungan
Dengan cara yang sama seperti tersebut di atas, maka dapat dibuat rangkuman
hasil perhitungan sebagai berikut :
Tabel Rangkuman Hasil Uji Validitas Angket Persepsi Guru
Butir Nomor ro rt 5% Keterangan
1. 0,716 0,433 Valid
2. 0,751 0,433 Valid
3. 0,559 0,433 Valid
4. -0,325 0,433 Tidak Valid
5. 0,732 0,433 Valid
6. 0,751 0,433 Valid
7. 0,751 0,433 Valid
8. 0,746 0,433 Valid
9. 0,716 0,433 Valid
10. 0,732 0,433 Valid
63
11. 0,599 0,433 Valid
12. 0,610 0,433 Valid
13. 0,751 0,433 Valid
14. 0,751 0,433 Valid
15. 0,732 0,433 Valid
16. 0,610 0,433 Valid
17. 0,751 0,433 Valid
18. 0,746 0,433 Valid
19. 0,599 0,433 Valid
20. 0,732 0,433 Valid
21. 0,610 0,433 Valid
22. 0,716 0,433 Valid
23. 0,751 0,433 Valid
24. 0,746 0,433 Valid
25. 0,599 0,433 Valid
26. 0,716 0,433 Valid
Lampiran 4 UJI RELIABILITAS ANGKET PERSEPSI GURU DALAM MENANGA NI
ANAK BERKESULITAN BELAJAR
Tabel Data Try Out Belahan 1
Butir Nomor Nomor Subjek 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13