Top Banner
1 Bahasa Alay dan Bahasa Prokem: Tinjauan Budaya dan Tahap Perkembangan Bahasa di Masa Remaja Oleh Idat Muqodas * Departement of Educational Psychology and Guidance, Graduate School of Guidance and Counseling, Universitas Pendidikan Indonesia, Jln. Dr. Setiabudhi No 229 Bandung, Jawa Barat - Indonesia Abstrak, Perkembangan bahasa di masa remaja memunculkan bahasa prokem atau yang lebih kini disebut bahasa alay. Kajian ini berangkat dari perkembangan bahasa yang terjadi di kalangan remaja. Remaja disatu sisi memasuki masa pencarian dan pembetukan identitas diri, namun di sisi lain terjadi perkembangan identitas bahasa yang mengarah pada kemerosotan identitas budaya. Berangkat dari permasalahan tersebut, layanan bimbingan dan konseling perlu memberikan sebuah bantuan kepada remaja agar tidak melupakan identitas budaya mereka dalam seting bimbingan dan konseling lintas budaya. Key word: bahasa alay, budaya, tahapan perkembangan, bimbingan dan konseling lintas budaya A. Pendahuluan Bila dalam kajian ilmiah membicarakan tentang perkembangan bahasa, maka kajian tersebut merupakan kajian yang sangat menarik bagi para ahli pasikologi, psikolinguistik, dan konselor. Hal ini dikarenakan dengan melalui bahasa, seorang konselor atau psikolog dapat mengkaji perilaku konselinya, dan bahasa merupakan sarana utama untuk berkomunikasi dengan orang lain. Bahasa juga merupakan sarana utama manusia untuk mewariskan budaya untuk generasi berikutnya. Oleh sebab itu, untuk mengetahui perkembangan budaya, seorang konselor perlu perhatian khusus dalam perkembangan bahasa yang tersirat dalam pola komunikasi manusia. Sebagai bangsa yang terdiri atas ratusan suku bangsa dengan ratusan bahasa dan aneka ragam kebudayaan yang tersebar luas di atas untaian belasan ribu pulau, bangsa Indonesia patut berbangga hati atas bahasa Melayu yang secara alami telah menyebar ke seluruh Nusantara dan secara perlahan-lahan tetapi mantap tumbuh subur dan berkembang sampai akhirnya menjadi Bahasa Indonesia. Namun sayang, rasa kebanggaan itu ternyata tidak diikuti dengan penguasaan akan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Di era globalisasi seperti ini, kemajuan dan perkembangan teknologi sangatlah pesat. Kemajuan dan perkembangan tersebut tentunya sangat * Corresponding author: Tel: +62 856 230 9523 E-mail address: [email protected] (I. Muqodas), NIM 1201319 E-mail address: [email protected] (I. Muqodas), NIM 1201319
29

studi kasus

Apr 21, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: studi kasus

Bahasa Alay dan Bahasa Prokem: Tinjauan Budaya dan

Tahap Perkembangan Bahasa di Masa Remaja

Oleh

Idat Muqodas*

Departement of Educational Psychology and Guidance, Graduate School of Guidance and Counseling,

Universitas Pendidikan Indonesia, Jln. Dr. Setiabudhi No 229 Bandung, Jawa Barat - Indonesia

Abstrak, Perkembangan bahasa di masa remaja memunculkan bahasa

prokem atau yang lebih kini disebut bahasa alay. Kajian ini berangkat

dari perkembangan bahasa yang terjadi di kalangan remaja. Remaja

disatu sisi memasuki masa pencarian dan pembetukan identitas diri,

namun di sisi lain terjadi perkembangan identitas bahasa yang

mengarah pada kemerosotan identitas budaya. Berangkat dari

permasalahan tersebut, layanan bimbingan dan konseling perlu

memberikan sebuah bantuan kepada remaja agar tidak melupakan

identitas budaya mereka dalam seting bimbingan dan konseling lintas

budaya.

Key word: bahasa alay, budaya, tahapan perkembangan, bimbingan

dan konseling lintas budaya

A. Pendahuluan

Bila dalam kajian ilmiah membicarakan tentang perkembangan bahasa, maka

kajian tersebut merupakan kajian yang sangat menarik bagi para ahli pasikologi,

psikolinguistik, dan konselor. Hal ini dikarenakan dengan melalui bahasa, seorang

konselor atau psikolog dapat mengkaji perilaku konselinya, dan bahasa merupakan

sarana utama untuk berkomunikasi dengan orang lain. Bahasa juga merupakan sarana

utama manusia untuk mewariskan budaya untuk generasi berikutnya. Oleh sebab itu,

untuk mengetahui perkembangan budaya, seorang konselor perlu perhatian khusus

dalam perkembangan bahasa yang tersirat dalam pola komunikasi manusia.

Sebagai bangsa yang terdiri atas ratusan suku bangsa dengan ratusan bahasa

dan aneka ragam kebudayaan yang tersebar luas di atas untaian belasan ribu pulau,

bangsa Indonesia patut berbangga hati atas bahasa Melayu yang secara alami telah

menyebar ke seluruh Nusantara dan secara perlahan-lahan tetapi mantap tumbuh

subur dan berkembang sampai akhirnya menjadi Bahasa Indonesia. Namun sayang,

rasa kebanggaan itu ternyata tidak diikuti dengan penguasaan akan bahasa Indonesia

yang baik dan benar. Di era globalisasi seperti ini, kemajuan dan perkembangan

teknologi sangatlah pesat. Kemajuan dan perkembangan tersebut tentunya sangat

                                                        * Corresponding author: Tel: +62 856 230 9523

E-mail address: [email protected] (I. Muqodas), NIM 1201319 E-mail address: [email protected] (I. Muqodas), NIM 1201319

Page 2: studi kasus

  2 

berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari. Apalagi dengan masuknya budaya asing

yang akan semakin mempengaruhi kehidupan dan pergaulan, terutama pada remaja.

Dengan semakin majunya teknologi dan ditambah dengan pengaruh budaya asing

tersebut, maka akan mengubah sikap, perilaku serta kebiasaan mereka. Hal tersebut

tidak hanya mengubah gaya hidup, seperti cara berpakaian, tetapi juga dapat

mengubah cara seseorang (dalam hal ini remaja) dalam berinteraksi serta

berkomunikasi dengan orang lain. Hal ini tentunya berkaitan erat dengan penggunaan

bahasa.

Semua manusia yang normal dapat menguasai bahasa, sebab sejak lahir

manusia telah memilikki kemampuan dan kesiapan untuk mempelajari bahasa

dengan sendirinya dalam teori Vygotsky ini disebut language development device

(LAD). Orang yang dalam jangka waktu cukup lama terus-menerus mendengarkan

pengucapan suatu bahasa, biasanya ia akan mampu mengucapkan bahasa tersebut

tanpa instruksi khusus atau direncanakan.

Seiring perkembangan jaman, penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan

benar pada masyarakat terutama pada kalangan remaja secara perlahan mulai tidak

nampak. Hal itu terjadi karena munculnya modifikasi bahasa, yang sering disebut

dengan ‘bahasa alay’. Bahasa alay mulai muncul sekitar tahun 2008 dan berkembang

seiring dengan pesatnya penggunaan jejaring sosial seperti facebook, twitter, dan lain

sebagainya. Bahkan bukan hanya dalam dunia maya (seperti facebook dan twitter),

bahasa alay juga banyak ditemukan di televisi, radio, majalah, bahkan koran.

Terutama pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan remaja, misalnya acara-acara

ditelevisi yang menjadi totonan utama dan memang ditujukan kepada para remaja.

Hal tersebut membuat penyebaran bahasa alay di kalangan remaja menjadi semakin

pesat.

Kajian ini difokuskan pada hubungan antara budaya dan bahasa dengan

mengangkat isu perkembangan penggunaan bahasa alay atau bahasa prokem terhadap

pergeseran budaya dan perkembangan bahasa pada masa remaja. Kemudian, kajian

budaya yang mempengaruhi penggunaan struktur dan fungsional bahasa, dan bahasa

dapat dianggap sebagai hasil dari manifestasi budaya. Bahasa juga mempengaruhi dan

memperkuat nilai-nilai budaya dan pandangan dunia, sehingga ada feeding back

diantara keduanya. Siklus hubungan antara budaya dan bahasa menunjukkan sifat

bahwa budaya tidak dapat sepenuhnya dipahami tanpa memahami bahasanya, dan

sebaliknya. Oleh sebab itu, bahasa mempengaruhi pemikiran kita dan pandangan

Page 3: studi kasus

  3 

dunia kita, pemahaman pengaruh budaya pada bahasa memiliki implikasi penting

untuk memahami perbedaan budaya dalam perspektif pandangan dunia.

B. Gagasan Utama

Bahasa merupakan kapasitas khusus yang ada pada manusia untuk

memperoleh dan menggunakan sistem komunikasi yang kompleks, dan sebuah bahasa

adalah contoh spesifik dari sistem tersebut. Berangkat dari sebuah ekspresi bahasa

para kaum muda di era tahun 1928 yang kemudian menjadi cikal bakal perkembangan

bahasa Indonesia yang menjadi identitas budaya bangsa Indonesia. Melalui

penggunaan bahasa, seseorang individu dapat berubah menjadi agen budaya tertentu.

Bahasa dan budaya mempunyai keterkaitan yang sangat dekat, budaya dan bahasa

saling mempengaruhi satu sama lain. Hal ini penting dalam penelitian lintas budaya

bahasa karena masing-masing budaya terkait dengan bahasa yang diberikan sebagai

kendaraan untuk berekspresi.

Bahasa sebagai alat vital dalam penyampaian pesan, maksud, dan tujuan

menjadi wadah paling mudah untuk menyebarluaskan segala unsur-unsur populer

dalam lingkungan masyarakat. Dalam pengertian ilmiah, bahasa dimaknai sebagai

sebuah sistem lambang bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan

manunisiawi. Secara tradisional, bahasa merupakan alat untuk berinteraksi atau

berkomunikasi, dalam arti sebagai alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan,

konsep, dan perasaan. Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi manusia baik dalam

bentuk lisan maupun tulisan, pada hakikatnya merupakan sebuah sistem yang terdiri

atas beberapa unsur yang saling mendukung. Fungsi tersebut mencakup lima fungsi

dasar yang disebut expretion, information, exploration, persuation, dan entertaiment.

Dalam komunikasi, peranan bahasa sungguh sangat penting. Segala informasi

yang disampaikan memerlukan bahasa. Bahasa Indonesia sebagai media komunikasi

utama di Indonesia semakin menunjukkan kedewasaan dan kematangannya. Makna

yang disampaikan dalam sebuah bahasa tidak hanya terkait dengan pilihan kata, tetapi

juga cara penyampaiannya. Ragam bahasa merupakan “variasi bahasa menurut

pemakaiannya yang dibedakan menurut topik, hubungan pelaku, dan medium

pembicaraan.” Remaja masa kini lebih sering dan senang menggunakan bahasa gaul

dari pada bahasa resmi. Menurut mereka bahasa gaul lebih nyaman, dan cocok

digunakan dalam kehidupan sehari-hari, remaja masa kini menganggap penggunaan

Page 4: studi kasus

  4 

bahasa resmi terlalu kaku dan monoton, serta tidak menampakkan kebaruan yang

mencolok.

Bahasa berperan meliputi segala aspek kehidupan manusia, salah satunya

adalah untuk memperlancar proses sosial manusia. Sehingga bahasa merupakan

bagian dari kebudayaan, dan bahasalah yang memungkinkan pengembangan

kebudayaan sebagaimana yang kita kenal sekarang ini. Bahasa tidak hanya berperan

sebagai alat integrasi sosial, tetapi juga sebagai alat adaptasi sosial di mana Indonesia

memiliki bahasa yang majemuk. Kemajemukan ini membutuhkan satu alat sebagai

pemersatu keberseragaman tersebut yaitu bahasa Indonesia.

Seiring dengan perkembangan zaman, penggunaan bahasa Indonesia baik

dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam lingkup media secara luas, mulai

menampakkan adanya pergeseran ke arah arus modernitas yang ditandai dengan

maraknya penggunaan bahasa remaja, atau sering pula diartikan sebagai bahasa gaul.

Kehadiran bahasa gaul berjalan beriringan dengan konsep kebudayaan populer di

Indonesia. Fenomena bahasa gaul diserap dengan begitu sempurna oleh remaja secara

meluas tanpa melalui filter yang berarti. Dunia modern dan pesatnya kemajuan

teknologi informasi, dengan serta merta membawa Indonesia menjadi salah satu

negara yang tidak bisa melepaskan diri dari kebudayaan modern atau populer.

Masyarakat Indonesia secara luas dan remaja pada khususnya menyerap dengan

begitu saja segala bentuk-bentuk modernisasi kehidupan.

1. Komponen-komponen budaya dan pemerolehan bahasa

a. Fitur Bahasa

Sebelum meneliti hubungan antara bahasa budaya, sangat penting untuk

mengidentifikasi fitur dasar bahasa. Memahami berbagai komponen bahasa akan

memungkinkan kita untuk mempertimbangkan bagaimana budaya mempengaruhi

bahasa.

Ahli linguistik biasanya mencoba untuk menggambarkan bahasa

menggunakan lima fitur penting berikut, yang tampaknya berlaku untuk semua bahasa

di semua budaya:

1) Leksikon, atau kosa kata, yaitu kata-kata yang terkandung dalam suatu

bahasa. Misalnya, pohon, makan, bagaimana dan perlahan-lahan masing-

masing bagian dari leksikon bahasa Indonesia.

Page 5: studi kasus

  5 

2) Sintaks dan tata bahasa (grammar) dari bahasa mengacu pada sistem aturan

yang mengatur bentuk kata dan bagaimana kata harus dirangkai untuk

membentuk ucapan bermakna. Misalnya, bahasa Inggris memiliki aturan tata

bahasa yang mengatakan kita menambahkan ‘s’ ke akhir banyak kata untuk

menunjukkan pluralitas (cat menjadi cats). Bahasa Inggris juga memiliki

aturan sintaksis yang kita umumnya menempatkan kata sifat sebelum kata

benda, tidak setelahnya (misalnya, small dog, bukan dog small).

3) Fonologi, yaitu sistem aturan yang mengatur bagaimana kata-kata harus

berbunyi (pronounciation) dalam bahasa tertentu.

4) Semantik mengacu pada arti kata-kata itu. Misalnya, meja mengacu pada

obyek fisik yang memiliki empat kaki dan permukaan horizontal datar.

5) Pragmatik mengacu pada sistem aturan yang mengatur bagaimana bahasa

digunakan dan dipahami dalam konteks sosial tertentu. Sebagai contoh,

pernyataan "itu dingin" bisa diartikan sebagai permintaan untuk menutup

jendela atau sebagai pernyataan fakta tentang suhu. Bagaimana itu ditafsirkan

mungkin tergantung pada konteks sosial dan lingkungan.

Ahli linguistik menggunakan dua konsep lainnya untuk membantu menjelaskan

struktur bahasa. Fonem adalah unit terkecil dan paling dasar dari suara dalam bahasa,

dan morfem adalah unit terkecil dan paling dasar dari makna dalam bahasa. Dengan

demikian, Fonem membentuk dasar dari hirarki bahasa, yang pada gilirannya

menghasilkan kata-kata, yang dirangkai dalam frase-frase dan, akhirnya kalimat.

b. Pemerolehan Bahasa

Sampai tingkat apa proses pemerolehan bahasa, bawaan atau dipelajari? Jawabannya

adalah tidak sepenuhnya jelas. Bukti sampai saat ini menunjukkan bahwa beberapa

aspek pemerolehan bahasa adalah dipelajari, sementara yang lain bawaan. Bagaimana

kita belajar bahasa? Sebuah mitos umum di banyak kebudayaan adalah bahwa anak-

anak belajar bahasa ibu mereka dengan imitatif suara yang mereka dengar dalam

lingkungan alam mereka, dan dengan diperkuat dalam upaya mereka pada

memproduksi bahasa (Skinner, 1957). Kita sekarang tahu bahwa imitasi bukan

merupakan strategi penting dalam belajar bahasa. Bahkan, anak-anak jauh lebih

canggih dalam strategi belajar mereka daripada yang biasa kita percaya.

Page 6: studi kasus

  6 

Dalam studi sekarang terkenal pada 1950-an, Jean Berko (Berko, 1958, Berko

Gleason, 1989) dengan yakin menunjukkan bahwa, bukan hanya meniru apa yang

mereka dengar, anak-anak menghasilkan generasi hipotesis dan pengujian tampaknya

menjadi strategi universal dimana anak-anak sekitar dunia belajar bahasa ibu mereka.

Berko (1958) menunjukkan anak-anak Amerika gambar makhluk imajiner. Dia

mengatakan kepada mereka bahwa gambar itu dari "wug" (makhluk imajiner dia

diciptakan untuk percobaan ini). Dia kemudian menunjukkan anak-anak yang sama

gambar dua makhluk khayalan tersebut dan meminta mereka apa yang mereka lihat:

"Sekarang ada dua-----!" Sebagian besar anak-anak mengatakan "wugs". Karena wugs

kata bukanlah bahasa Inggris atau salah satu yang mereka pernah pelajari

sebelumnya, jelas anak-anak ini tidak bisa menggunakan imitasi untuk menghasilkan

kata wugs. Untuk menjawab "wugs", mereka harus memiliki pengetahuan

sebelumnya tentang aturan tata bahasa Inggris yang biasa kita tambahkan kepada

nomina untuk menunjukkan pluralitas.

Kadang-kadang pengetahuan anak-anak tentang aturan gramatikal

menyebabkan "kemunduran" dalam perkembangan bahasa mereka. Banyak orang tua

telah kecewa ketika anak-anak mereka, yang sebelumnya menggunakan bentuk yang

tepat dari kata kerja to go, mulai menggunakan bentuk yang salah mereka mungkin

tidak pernah digunakan sebelumnya. Misalnya, setelah menggunakan standar past

tensewent dalam kalimat seperti "i went to school," orang tua mungkin cemas

menganggap regresi jelas seperti bukti ketidakmampuan belajar "I goed to school."

Anak-anak pertama kali belajar bentuk went melalui imitasi sederhana tanpa belajar

apa-apa tentang aturan tata bahasa Inggris. Kemudian, ketika pemahaman linguistik

mereka menjadi lebih bagus, mereka belajar aturan tata bahasa Inggris menambahkan

ed ke akhir verba untuk membuat mereka past tense. Menggunakan bentuk goed

bukannya went menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dari perkembangan linguistik

karena anak-anak menerapkan aturan tata bahasa bukan sekadar meniru sebuah kata

yang mereka dengar. Selanjutnya pada perkembangan anak, mereka akan mempelajari

pengecualian untuk aturan dipelajari sebelumnya, seperti bentuk tidak teratur past

tense went. Intinya adalah bahwa mengetahui aturan gramatikal dan menerapkannya

secara kreatif dalam situasi baru menunjukkan kecanggihan jauh lebih besar daripada

kognitif imitasi belaka, dan itu adalah strategi belajar bahasa universal.

Orang-orang dalam budaya yang berbeda memiliki keyakinan berbeda tentang

bagaimana anak-anak belajar bahasa. Budaya juga berbeda dalam cara mereka

Page 7: studi kasus

  7 

berperilaku terhadap anak-anak belajar bahasa. Suku Kaluli Papua Nugini, misalnya,

percaya bahwa anak-anak harus hati-hati dikendalikan, instruksi eksplisit dalam

kedua bentuk bahasa dan keterampilan berbicara (Matsumoto, 2000). Mereka percaya

anak-anak tidak akan belajar bahasa dan keterampilan berbicara kecuali mereka

diajarkan secara eksplisit. Orang Kaluli bertindak atas keyakinan dan mengajar anak-

anak mereka bagaimana melakukan percakapan.

Samoan dewasa biasanya percaya bahwa upaya awal anak-anak di bahasa

tidak memiliki makna dan, dalam kasus apapun, anak-anak tidak mempunyai apapun

untuk dikatakan yang penting bagi orang dewasa. Karena keyakinan ini. Samoa

dewasa tidak melibatkan anak-anak mereka dalam pelatihan bahasa formal, juga tidak

biasanya terlibat dalam percakapan dengan anak-anak. Bahkan, anak-anak Samoa

sebagian besar terpengaruh bahasa saudara yang lebih tua daripada bahasa orang

dewasa (Matsumoto, 2000)

Perbedaan-perbedaan dalam keyakinan dan praktik budaya yang berkaitan

dengan pembelajaran bahasa sangat menarik. Yang bahkan lebih menarik adalah

bahwa dalam semua budaya, apa pun kepercayaan mereka atau praktik, anak-anak

belajar bahasa ibu mereka dengan baik dengan atau tanpa bantuan dari orang dewasa.

Ini hasil umum menunjukkan bahwa manusia memiliki beberapa kemampuan

universal dan bawaan untuk belajar bahasa. Menurut Chomsky (dalam Matsumoto,

2000), seorang ahli bahasa ternama, manusia memiliki perangkat pemerolehan bahasa

(language aquisition device/LAD) yang berisi kemampuan bawaan mengenai sintaks,

tata bahasa dan pragmatik. Ini adalah LAD yang memungkinkan semua anak normal

semua budaya untuk belajar dan menggunakan bahasa fasih.

Meskipun tidak ada bukti langsung adanya LAD Chomsky, ada bukti yang

cukup sugestif. Beberapa dari bukti ini berasal dari penelitian tentang pidgin dan

penutur Kreol. Biskerton (dalam Matsumoto, 2000), misalnya, di University of

Hawaii, mempelajari sejumlah pembicara pidgin dan pengembangan mereka ke

penutur Kreol. Banyak fitur linguistik ditemukan dalam beberapa yang tidak terkait

bahasa Kreol tidak ada dalam salah satu bahasa sumber pidgin aslinya. Dar mana fitur

tersebut berasal? Bickerton menyarankan bahwa satu-satunya penjelasan yang masuk

akal untuk penggunaan fitur tersebut oleh penutur bahasa Kreol berhubungan adalah

bahwa fitur tersebut diprogram atau tertanam pada manusia sebagai bagian dari LAD.

Sementara cukup banyak bukti sugestif tampaknya mendukung teori Chomsky, tidak

ada bukti yang tampaknya membantahnya. Dengan demikian, hal itu tetap menjadi

Page 8: studi kasus

  8 

salah satu penjelasan terbaik yang kita miliki untuk fakta bahwa semua anak normal

belajar bahasa asli mereka fasih tanpa memandang perbedaan luas di lingkungan di

mana mereka melakukannya.

2. Perbedaan Bahasa Lintas Budaya

a. Budaya dan Bahasa leksikon

Bahasa dapat dianggap sebagai manifestasi, produk budaya. Bahasa Inggris

Amerika misalnya, kata-kata dan bagaimana kita menggunakannya, merupakan

cerminan dari budaya Amerika. Tentunya, jika kita memeriksa struktur dan fungsi

bahasa Inggris Amerika, kita akan melihat banyak kesamaan aspek penting dari

budaya Amerika. Hal yang sama berlaku untuk setiap bahasa dan budaya yang kita

kaji. Salah satu cara untuk mengamati hubungan ini adalah dengan tidak ada

hubungan antara perbedaan budaya, bahasa dan leksikon mereka, atau kosa kata.

Kata-kata yang ada dalam beberapa bahasa, tetapi tidak pada yang lain.

Banyak dari kita telah mendengar bahwa bahasa Eskimo berisi kata-kata lebih untuk

salju selain bahasa Inggris tidak. Whorf (dalam Matsumoto, 2000) adalah orang

pertama yang menunjukkan bahwa bahasa Eskimo sebenarnya memiliki tiga kata

untuk salju, sedangkan bahasa Inggris menggunakan satu kata untuk menggambarkan

ketiga jenis. Banyak budaya lain dan bahasa mengandung kata-kata yang tidak ada

dalam bahasa Inggris. Ketika kita menerjemahkan kata dalam bahasa Inggris ke

dalam wujud literal dalam bahasa lain, kita sering berpikir bahwa kata-kata berarti

sama. Sementara banyak kata memiliki makna umumnya sama dalam bahasa yang

berbeda, mereka sering memiliki nuansa yang berbeda dan konotasi berbeda. Bahkan

kata umum untuk melanggar, memotong, makan dan minum dapat memiliki konotasi

yang sama sekali berbeda apabila digunakan dalam konteks yang berbeda, dalam

budaya lain (Matsumoto, 2000). Ketika mempertimbangkan hubungan antara kata-

kata dalam bahasa kita sendiri dan diterjemahkan dalam bahasa yang lain secara

setara, kita tidak harus mempertimbangkan mereka sebagai terjemahan setara yang

tepat. Jika kita memperhitungkan semua arti dari sebuah kata, akan sangat sulit untuk

menemukan kata-kata dalam bahasa yang berbeda yang memiliki arti yang sama

persis, nuansa, konotasi dan asosiasi.

Page 9: studi kasus

  9 

b. Diri / referen lainnya.

Dalam bahasa Inggris Amerika, umumnya menggunakan salah satu dari dua

kata, dan turunannya, untuk menggambarkan diri ketika berbicara atau apa yang

sedang dibicarakan. Jika berbicara dengan seorang profesor universitas, menggunakan

kata I untuk menyebut diri sendiri. Jika berbicara dengan orang tua, menggunakan

kata yang sama I. Dan menggunakan kata yang sama I ketika mengacu pada diri

sendiri dengan teman-teman, keluarga, tetangga, kenalan, bos atau bawahan. Dengan

demikian, umumnya digunakan satu kata dalam bahasa Inggris untuk merujuk kepada

orang lain atau sekelompok orang: you. Dalam percakapan dengan orang tua, bos,

teman, kekasih, orang asing, anak-anak dan hanya tentang siapa pun, menggunakan

you atau salah satu turunannya untuk merujuk kepada orang lain atau orang.

Banyak bahasa di dunia, bagaimanapun, memiliki sistem rumit tergantung

pada sifat hubungan dengan oranglain. Bahasa Jepang memberikan salah satu contoh

yang paling ekstrim. Bahasa jepang memang memiliki terjemahan: setara dari kata-

kata bahasa Inggris I, we, dan you, tetapi kata-kata ini digunakan lebih jarang dalam

bahasa Jepang daripada di Inggris. Dalam bahasa Jepang, apa yang Anda sebut diri

Anda dan orang lain benar-benar tergantung pada hubungan antara Anda dan orang

lain. Seringkali, untuk menyebut diri dan orang lain tergantung pada diferensial status

antara dua orang. Misalnya, jika Anda dari status yang lebih tinggi daripada orang

lain, di Jepang Anda akan merujuk kepada diri sendiri dengan posisi atau peran bukan

seperti dalam bahasa Inggris setara dengan I. Di Jepang, para guru menggunakan guru

kata untuk menyebut diri mereka ketika berbicara dengan siswa. Dokter mungkin

menggunakan istilah dokter, dan orang tua menggunakan kata ibu atau ayah saat

berbicara dengan anak-anak mereka.

Bahasa jepang menggunakan kata ganti setara dengan I, seperti watashi,

watakushi, boku, atau ore. Penggunaan berbeda untuk saya tergantung dari seks Anda

(wanita tidak bisa mengatakan boku atau ore), tingkat kesopanan, dan tingkat

keakraban dengan orang lain. Ketika berbicara dengan seseorang dari status yang

lebih tinggi, misalnya, orang umumnya menggunakan watashi untuk menyebut diri

mereka. Ketika berbicara kepada teman-teman atau rekan kerja, orang-orang biasanya

menyebut diri mereka. Ketika berbicara kepada seseorang dari status yang lebih

rendah, biasanya Anda akan menggunakan kata ganti pribadi atau nama sebenarnya

orang tersebut. Seperti kata ganti pribadi untuk saya, bahasa Jepang mengandung kata

ganti beberapa Anda-di antara mereka, anata, omae, dan kimi. Sekali lagi,

Page 10: studi kasus

  10 

penggunaan yang tepat dari masing-masing tergantung pada hubungan, pada

umumnya, omae dan kimi digunakan ketika berbicara dengan seseorang dari status

yang lebih rendah dari Anda atau seseorang yang sangat akrab dan intim dengan

Anda. Memang, sistem bahasa Jepang referen diri dan lainnya sangat rumit, terutama

bila dibandingkan dengan bahasa Inggris Amerika.

Perbedaan-perbedaan antara bahasa Inggris dan Jepang mencerminkan

perbedaan budaya yang penting. Dalam aspek budaya Jepang, bahasa, tingkah laku,

dan perilaku harus diubah sesuai dengan hubungan dan konteks di mana komunikasi

tersebut terjadi. Dimensi yang paling penting sepanjang perilaku dan bahasa

dibedakan di Jepang adalah status dan orientasi kelompok. Semua aspek perilaku dan

bahasa dibedakan di Jepang menurut status dan orientasi kelompok. Semua aspek

perilaku berbeda tergantung pada apakah seseorang lebih tinggi atau lebih rendah

dalam status daripada orang lain dalam percakapan. Juga, perilaku dan bahasa

berbeda-beda tergantung pada apakah orang lain dalam anggota ingroup Anda atau

tidak. Dengan demikian, pilihan diri dan sesuai lainnya-referen dalam bahasa Jepang

mencerminkan aspek penting dari budaya Jepang.

c. Sistem Menghitung.

Sistem Menghitung memberikan contoh lain tentang bagaimana budaya

mempengaruhi struktur bahasa. Dalam bahasa Jepang, misalnya, kata-kata yang

berbeda digunakan untuk menunjukkan hal yang berbeda. Putaran, dihitung oleh

akhiran hon (ippon, nihon, Sanbon, dan sebagainya); benda datar yang dihitung oleh

mai (ichimai, Nimai, sanmai, dan sebagainya). Dalam bahasa Inggris, bagaimanapun,

semua benda hanya terhitung banyaknya, tanpa awalan atau akhiran untuk

menunjukkan jenis objek yang dihitung.

Selain itu, bahasa Jepang, seperti banyak bahasa lainnya, mendasarkan semua

nomor pada kata-kata untuk satu sampai sepuluh. Eleven adalah harfiah sepuluh satu

(ju-ichi), 12 adalah sepuluh-dua (ju-ni). Dalam bahasa Inggris, bagaimanapun, angka

1 sampai 19 unik, dan sistem aditif yang mirip dengan nomor Jepang dimulai pada 20.

Perbedaan linguistik diperkirakan berkontribusi terhadap perbedaan prestasi

matematika antara Amerika Serikat dan Jepang.

Page 11: studi kasus

  11 

Gambar 1.1 kata dalam bahasa jepang untuk diri dan konsep

Sumber: Word in context by Takao Suzuki, published by Kondansha International Ltd.

Copyright ©1973 by Takao Suzuki. English tranlation Copyright ©1978 by

Kondansha International Ltd. Reprinted by permission. All rights reserved.

d. Kebudayaan dan Pragmatik

Budaya tidak hanya mempengaruhi leksikon bahasa, tetapi juga pragmatik –

yang merupakan peraturan yang mengatur bagaimana bahasa digunakan dan dipahami

dalam konteks sosial yang berbeda. Kashima dan Kashima (1998), misalnya, meneliti

39 bahasa yang digunakan di 71 negara, memperoleh data baik budaya dan bahasa

dari masing-masing negara. Nilai budaya termasuk milik Hofstede (1980, 1983)

empat dimensi - individualisme, jarak kekuasaan, penghindaran ketidakpastian, dan

maskulinitas - dan 15 lainnya dimensi yang berhubungan dengan budaya. Data

linguistik mencakup analisis penggunaan kata ganti pertama dan kedua, dan apakah

bahasa yang diizinkan tidak menggunakan kata ganti dalam percakapan. Korelasi

antara kedua set data dianalisis dalam dua cara terpisah untuk meneliti hubungan

antara budaya dan penggunaan kata ganti. Kashima dan Kashima (1998) menemukan

bahwa budaya yang memungkinkan kata ganti bahasa untuk dibuang cenderung

menjadi kurang individualistis, dimana mereka menafsirkan seperti budaya yang

berbeda mencerminkan konseptualisasi diri dan orang lain.

Principal

Father

Neighbor’s Son

Son Student

Page 12: studi kasus

  12 

3. Perkembangan Bahasa Menurut Vygotsky

a. Bahasa dan Perkembangan

Bahasa mempunyai peran utama menurut teori Vygotsky, bahasa memainkan

tiga peran yang berbeda dalam perkembangan. Pertama, bahasa memberikan akses

pada individu atau para pembelajar untuk pengetahuan yang lain yang telah mereka

milikki sebelumnya. Kedua, bahasa menyediakan alat-alat kognitif yang

membolehkan individu atau para pembelajar untuk berpikir luas dan pemecahan

masalah. Ketiga, bahasa memberikan cara-cara untuk mengatur dan merefleksikan

proses berpikir.

Terkadang kita mendapati anak berkata kepada diri sendiri. Dengarkan ketika

anak sedang bermain bebas, mereka sering “berkomat-kamit” ketika bermain sendiri

tanpa kelihatan adanya pendengar. Vygotsky percaya free floating external speech ini

adalah awal dari internalisasi. Private speech ini dapat diartikan berbicara pada diri

sendiri yang akan membimbing proses berpikir dan beraksi. Dalam teori

perkembangan Piaget (1926), kita akan menemukan bahwa anak mengalami empat

masa. Salah satunya menyebutkan bahwa anak pada usia 0-2 tahun sedang mengalami

masa egosentrisme termasuk “egocentris speech”. Vygotsky (1986) menentangnya,

ia percaya bahwa saat itu individu sedang memulai masa “self regulation” atau

proses untuk mengatur diri. Private speech ini adalah bentuk dari fondasi untuk

keterampilan berpikir yang lebih kompleks seperti mengingat dan menyelesaikan

masalah.

b. Zone of Proximal Development

Ketika individu mendapat manfaat dari pengalaman dari berinteraksi dengan

banyak orang yang lebih mempunyai pengetahuan, mereka sedang berada dalam zone

of proximal development yakni jarak dari tugas yang mana seorang individu belum

bisa menyelesaikannya sendiri tetapi ia akan dapat menyelesaikan ketika mendapat

bantuan oleh orang yang mempunyai keterampilan. Vygotsky (1978) menjelaskan

bahwa zona ini adalah jarak antara tingkat perkembangan aktual seperti ditentukan

oleh kemandirian menyelesaikan masalah dan tingkat perkembangan potensi seperti

ditentukan melalui menyelesaikan masalah dibawah bimbingan orang dewasa atau

berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih cakap atau sanggup. Para pembelajar

atau individu berada di zona proximal development untuk tiap tugas mereka yang

diharapkan oleh guru, dan mereka harus berada di zona itu untuk mendapat manfaat

dari bantuan.

Page 13: studi kasus

  13 

c. Scaffolding

Scaffolding adalah bantuan yang diberikan kepada anak untuk melengkapi

tugas-tugas mereka yang mana mereka belum dapat untuk melengkapinya secara

mandiri. Guru menyediakan scaffolding individu untuk para pembelajar melalui

interaksi sosial yang banyak selama proses pembelajaran berlangsung. Berikut adalah

ilustrasinya:

Ada seorang anak kecil yang sedang belajar berjalan, orang tuanya sering

berjalan di belakangnya, memegang kedua tangan anak dari atas sambil

membimbing untuk melangkahkan kaki. Setelah anak merasa percaya,

orang tua hanya memegang satu tangan anak, kemudian membiarkan anak

untuk belajar semampunya, tapi orang tua harus siap untuk menangkap

anak sebelum mereka terjatuh. Secepatnya anak akan berjalan dengan

nyaman sesuai kemampuannya.

Scaffolding efektif untuk mengatur kebutuhan bagi para pembelajar untuk

tingkat kemampuan dan hasilnya, sehingga kita dapat memberikan instruksi yang

berbeda bagi tiap siswa. Tanpa scaffolding perkembangan akan lemah. Penting untuk

diingat bagaimanapun efektifnya scaffolding hanya untuk menyediakan dukungan

mengikuti para pembelajar untuk meningkatkan kemampuannya. Guru memberikan

dukungan, dan para pembelajarlah yang menyelesaikan masalahnya.

Tabel 1. Tipe instruksi scaffolding:

No Tipe Scaffolding Contoh

1. Modeling atau memberi

contoh

Seorang guru seni memberi contoh

menggambar dengan dua sudut pandang

sebelum meminta siswa untuk mencoba

menggambar sesuai kemampuannya.

2. Berpikir keras Seorang guru fisika mengungkapkan secara

lisan pikirannya untuk menyelesaikan

masalah momentum dengan kapur tulis.

3. Pertanyaan Setelah member contoh dan berpikir keras,

guru fisika “mengantarkan” siswa melalui

beberapa masalah, memberi pertanyaan

dengan kritis.

Page 14: studi kasus

  14 

4. Mengadaptasi materi

instruksional

Guru pendidikan jasmani SD mengajarkan

teknik “shoot” dengan menurunkan keranjang

basket, dan menaikkannya untuk membuat

mereka pandai.

5. Prompts and Cues Guru prasekolah mengajar “kelinci pergi di

sekitar lubang dan melompat-lompat

kedalamnya” seperti juga mereka belajar

mengikat tali sepatunya.

Prinsip Instruksi dalam Teori Vygotsky:

a Menanamkan bahwa aktivitas belajar adalah menghubungkan kata-kata

dengan kebudayaan asli.

b Menciptakan bahwa aktivitas belajar adalah termasuk berinteraksi dengan

siswa.

c Mendorong siswa untuk menggunakan bahasa untuk menggambarkan

perkembangan pemahaman mereka.

d Menciptakan bahwa aktivitas belajar adalah “zones of proximal development”

e Menyediakan instruksi untuk membantu memajukan proses mengajar dan

perkembangan siswa.

4. Teori Perkembangan Bahasa Acquisition

Keterampilan anak dalam berbahasa sangatlah beragam karena dipandang dari

pemerolehan bahasa itu sendiri. Kita akan mendiskusikan empat teori yakni

pandangan behaviorist, social cognitive, nativist, dan sociocultural dari bahasa yang

diperoleh.

a. Pandangan Behaviorist

Tingkah laku menjelaskan perkembangan bahasa dengan mengusulkan bahwa

penguatan untuk member contoh suara dan kata-kata (Skinner, 1953,1957).

Memberikan penguatan yang lebih atas usaha anak mengembangkan bahasanya.

Sebagai contoh :

Seorang anak berusia 2 tahun mengambil bola dan berkata “boya”, Ibunya

tersenyum dengan lebar dan berkata “anak pintar! Bola”. Anak kecil itu

Page 15: studi kasus

  15 

kemudian mengulang dengan menyebut “Boya”, Sang Ibu memberi respon

dengan berkata “sangat pintar”.

b. Pandangan Sosial Kognitif

Teori pendekatan sosial kognitif menekankan pada peran modeling atau

contoh, yang akan anak tiru untuk kedewasaan bahasanya, penguatan, dan umpan

balik yang memperbaiki (Bandura, 1986, 2001). Sebagai contoh percakapan antara

Ayah dan seorang anak:

“Tolong berikan Ayah roti”, anak menjawab “roti, Ayah”. Ayah memberi

respon dengan berkata “pintar” “Adek memberikan Ayah Roti”.

Kedua pandangan ini (behavioris dan sosial kognitif) membuat rasa intuisi.

Kemungkinan anak akan melakukan proses pembelajaran beberapa aspek bahasa

dengan mengamati dan mendengarkan dari orang lain, mencoba sendiri, dan dapat

memperkuat (Owens, 2005).

c. Teori Nativist

Nativist theory assert that human all are genetically “wired’ to learn

language and exposure to language triggers this development. Noam Chomsky

(1972, 1976) yang kemudian disebut sebagai “bapak” teori nativis, memberikan

hipotesis bahwa keahlian bahasa bawaan menyediakan kecenderungan anak untuk

belajar bahasa. Menurut Chomsky language acquisition device (LAD) adalah set

genetic dari proses keterampilan berbahasa yang berguna bagi anak untuk memahami

dan menggunakan kebiasaan mengatur logat bahasa. Sebagai contoh berikut adalah

percakapan antara seorang anak usia 6 tahun (kakak), dan anak usia 3 tahun (adik)

yang sedang membahas tentang lebih bahaya atau jelek mana antara lupa untuk

memberi makan pada atau terlalu banyak memberi makan pada ikan Arwana:

Kakak : Lebih jelek lupa memberi makan pada ikan.

Adik : Tidak, jelek memberi makan terlalu banyak.

Kakak : Kamu harusnya tidak berkata jelek, tapi berkata lebih jelek.

Adik : Tapi itu jelek memberi makan terlalu banyak pada ikan.

Kakak : Tidak seperti itu, yang benar lebih jelek lupa memberi makan.

d. Teori Sosial Budaya

Anak belajar berbahasa dengan berlatih dari interaksi rutin sehari-hari, dan

terlihat bahwa perkembangan bahasa tidak terlihat sukar karna itu merupakan

aktivitas harian. Dalam membantu anak kecil mengembangkan bahasa, orang dewasa

membiasakan anak untuk mengoperasikan bahasanya ketika mereka berada dalam

Page 16: studi kasus

  16 

zona proximal development. Bayi berkata dan Ibu menggunakan kata sederhana,

kalimat singkat, dan perubahan suara serta menyederhanakan isi pesan. Perubahan ini

menyediakan bentuk scaffolding bahasa yang memfasilitasi komunikasi dan

perkembangan bahasa. Seorang anak mengembangkan keterampilan bahasa, mereka

menggunakan lebih banyak kata, dan kalimat yang lebih kompleks. Dengan ini, maka

anak sedang berproses dalam zona proximal development.

e. Tingkat Language Acquisition.

1) Permulaan Bahasa atau Early Language

Tingkat bahasa dimulai dari interaksi yang dilakukan orang tua dengan bayi

ketika bayi mulai mendengkur, berdeguk, dalam buaian. Interaksi ini merupakan

fondasi untuk perkembangan bahasa anak di masa yang akan datang.

Kata pertama yang diucapkan anak antara usia 1-2 tahun disebut holophrases,

yakni mengungkapkan satu- dua kata yang membawa banyak makna untuk

melengkapi kalimat anak. Sebagai contoh:

“Mobil Mama”. “Itu mobil mama”

“Pisang”. “Aku ingin pisang”

“Jangan pergi”. “Jangan tinggalkan aku sendiri dengan

babysitter yang menyeramkan ini”.

Selama masa ini anak juga belajar untuk membedakan intonasi

misalnya:

“Roti”. “Itu Roti”

“Roti!”. “Aku ingin roti”

Overgeneralization terjadi ketika seorang anak menggunakan sebuah kata

untuk menunjuk lebih luas dari objek yang tepat. Contohnya ketika ia mengunakan

kata mobil, ia juga menunjuk bus, truk, dan kereta api (Berk, 2006).

Undergeneralization lebih berusaha untuk mendeteksi, terjadi ketika mengunakan

kata terlalu sedikit atau sempit, seperti menggunakan “kitty” untuk kucing khusus tapi

tidak untuk kucing secara umum.

Early Language Development dapat kita lihat lebih jelas dalam table dibawah

ini:

Tabel 2. Perkembangan Bahasa Selama Masa Bayi

Usia Pencapaian Vokal

4 minggu Tangisan ketidaksenangan.

12 minggu Mendengkur pulas, memekik, mendeguk,

kadang-kadang bunyi vokal.

20 minggu Menyatakan ocehan pertama, bunyi vokal lebih

Page 17: studi kasus

  17 

banyak, tapi kadang-kadang hanya huruf mati.

6 bulan Memperlihatkan ocehan yang lebih baik, bunyi

vokal mulai penuh dan banyak huruf mati.

12 bulan Ocehan meliputi nyanyian atau intonasi bahasa,

mengungkapkan isyarat emosi, memproduksi

kata-kata pertama, anak memahami beberapa

kata dan perintah sederhana.

18 bulan Mengucapkan kosakata antara 3 sampai dengan

50 kata, ocehan diselingi dengan kata-kata yang

riil, kadang-kadang kalimat terdiri dari 2 dan 3

kata.

24 bulan Mengucapkan kosakata antara 50 sampai dengan

300 kata, walaupun tidak semua digunakan

dengan teliti, ocehan menghilang, banyak

kalimat yang terdiri dari 2 kata atau lebih

panjang, tata bahasa belum benar, anak

memahami secara sangat sederhana bahasa yang

dibutuhkannya.

(Mar’at,S, 2008)

2) Fine- Tuning Language

Anak berusaha untuk memperluas dan menemukan “fine-tune” pada awal

berbicara (Berk, 2004, 2006). Anak berusaha untuk menggunakan kata kerja sesuai

dengan waktu kejadiannya, seperti:

“aku sedang makan”

“Dia melihat”

“Jimmy berangkat”

“Dia melakukannya”

Seperti diungkap oleh Piaget (1970-1977) bahwa aktivitas membantu

menerangkan ungkapan. “He goed home” dalam skema sebelumnya hanya kata “He

go Home” sekarang ditambah imbuhan –ed untuk kejadian yang telah terjadi atau

masa lampau.

3) Increasing Language Complexity

Sekitar usia 3 tahun, seorang anak mulai menggunakan kalimat secara

strategis. Anak mulai membalik subjek dan kata kerja untuk membuat bentuk

pertanyaan, dan memodifikasi pernyataan untuk kalimat negatif.

4) Mempromosikan Perkembangan Bahasa Acquisition di Ruang Kelas

Ada tiga masukan yang dapat dilakukan seorang pendidik yakni:

a. Mendorong siswa untuk menggunakan bahasa untuk mendeskripsikan

pemahaman mereka pada topik- topik pelajaran di sekolah.

Page 18: studi kasus

  18 

b. Mengingatkan siswa untuk selalu berjuang atau berusaha mengatakan

dan memahami kedalam bagian yang umum sesuai dengan tahap

perkembangan belajar.

c. Menyediakan Scaffolding untuk siswa dengan memberikan latihan

berbahasa.

5. Remaja dan Dunia Populer

Masa remaja merupakan masa-masa dimana seseorang sedang mencari

identitas, ingin mendapat pengakuan, dan masih sangat labil sehingga remaja sering

memiliki hasrat untuk meniru segala sesuatu yang dianggapnya menarik tanpa melihat

sisi negatif yang akan ditimbulkan. Menurut Erikson (1968), “Remaja memasuki

tahapan psikososial yang disebut sebagai identity versus role confusion. Hal yang

dominan terjadi pada tahapan ini adalah pencarian dan pembentukan identitas.

Remaja ingin diakui sebagai individu unik yang memiliki identitas sendiri yang

terlepas dari dunia anak-anak maupun dewasa. Penggunaan bahasa baru ini

merupakan bagian dari proses perkembangan mereka sebagai identitas independensi

mereka dari dunia orang dewasa dan anak-anak”. Hal itulah yang mendorong remaja

untuk menggunakan bahasa alay. Mereka menganggap bahwa bahasa alay itu sangat

menarik. Pada awalnya mungkin mereka hanya mendengar bahasa alay dari orang

lain dan tidak mengerti apa maksud dari bahasa alay yang orang lain katakan tersebut,

namun karena mereka merasa bahasa alay tersebut sangat menarik, maka mereka

berusaha untuk mencari tahu dan mempelajarinya. Setelah itu mereka akan

merealisasikan bahasa alay tersebut dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Selain itu, remaja tidak ingin selalu terpaku dalam bahasa baku, yang harus

digunakan dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah yang dianjurkan. Seperti yang

diketahui bahwa remaja tidak begitu suka dengan adanya aturan-aturan. Itulah

sebabnya mengapa mereka lebih banyak memilih menggunakan bahasa alay daripada

bahasa Indonesia. Apalagi beberapa dari mereka beranggapan bahwa bahasa alay

adalah bahasa gaul, sehingga seseorang yang tidak menggunakannya akan dianggap

kuno, ketinggalan jaman, bahkan ‘ndeso’ yang berarti kampungan. Dengan adanya

pernyataan tersebut, maka remaja akan semakin tertantang dan berlomba-lomba untuk

mencari tahu bahkan menciptakan sendiri bahasa-bahasa yang menurut mereka pantas

untuk disebut sebagai bahasa alay dan dapat digunakan oleh remaja-remaja lainnya.

Page 19: studi kasus

  19 

Populer atau tidaknya bahasa itu tidak dilihat dari pelaku-pelaku populer,

tetapi dipandang dari sudut pandang orang yang berada di luar dunia populer sehingga

memungkinkan lahirnya tawaran keanekaragaman dan perbedaan ketika diinterpretasi

ulang oleh masyarakat di luar dunia populer itu sendiri. Meskipun demikian, budaya

populer bukan diidentifikasi oleh rakyat secara keseluruhan, melainkan oleh orang

lain yang berada di luar dunia populer dan masih menyandang dua makna kuno, yaitu

jenis karya inferior dan karya yang secara sengaja dibuat agar disukai orang

(Williams, 1985: 237). Terkait dengan penjelasan Williams, Strinati (2009: 25-26)

mengungkapkan tiga pendapat yang menjadi inti teori budaya populer pada abad

kedua puluh yaitu; pertama, apa atau siapa yang menentukan budaya populer, kedua,

berkenaan dengan pengaruh komersialisasi dan industrialisasi terhadap budaya

populer, dan ketiga, menyangkut peran ideologis budaya populer itu sendiri.

Gaya hidup populer erat kaitannya dengan remaja. Pada umumnya, gaya hidup

populer biasanya melekat pada remaja yang memiliki kebiasaan hidup glamour, dan

hura-hura. Gaya hidup pada remaja juga merupakan sebuah identitas kelompok

dengan tipologi gaya hidup tertentu, hal ini dikarenakan gaya hidup dapat dipahami

sebagai pola atau bentuk kehidupan sehari-hari dari seseorang atau sekolompok

remaja untuk mengekspresikan dirinya yang terkadang disertai pula dengan harapan

untuk bisa menjadi bagian dari kelompok tertentu. Gaya hidup ini dapat diketahui

melalui kegiatan atau aktivitas, minat dan opini ataupun dari sikap remaja itu sendiri

terhadap sesuatu hal.

Remaja dicitrakan sebagai konsumen utama dalam penyebar luasan produk-

produk populer. Gaya hidup remaja yang cenderung mengikuti arus perkembangan

zaman menjadi penanda utama akan hadirnya persepsi demikian. Pemasaran produk-

produk populer untuk remaja, sebagai kategori yang berbeda dengan orang dewasa

dan anak-anak telah ada sejak kata remaja ditemukan oleh industri periklanan

Amerika pada tahun 1941, hingga tingkat pemasarannya menjadi berubah dramatis

ketika kehidupan remaja menjadi komersial (Quart, 2008: xx).

Saat ini, remaja adalah korban produksi barang-barang mewah. Remaja masa

kini tumbuh dan berkembang pada masa dimana merek dan popularitas merajalela.

Mereka adalah kelompok yang mudah dieksploitasi oleh dunia populer. Kehidupan

remaja dipengaruhi oleh pemasaran dan promosi, sebagai konsumen produk-produk

populer dan sebagai anak-anak yang memperhatikan identitas diri dan menampilkan

citra diri melalui apa yang mereka gunakan.

Page 20: studi kasus

  20 

Iklan, dan televisi, yang menampilkan remaja sebagai model-model mereka

selalu menambahkan citra populer dan sukses dengan penggunaan merek-merek

terkenal ataupun bentuk tubuh dan tampilan wajah layaknya seorang bintang.

Terciptanya konsep kecantikan ala putri-putri dalam dongeng bagi remaja putri,

semakin menjadikan mereka sebagai penggila style. Tak jarang kemudian ditemukan

remaja yang begitu tergila-gila dengan merek tertentu hanya karena merek-merek

tersebut dipakai oleh artis idola mereka, hingga menjadikan mereka sebagai

‘penjiplak’.

Persoalan yang tidak jauh berbeda juga tampak dalam bacaan-bacaan populer

masa kini seperti majalah dan novel remaja yang menggambarkan konsep berbahasa

yang ebih modern. Perbincangan seputar bacaan-bacaan populer, pada akhirnya

menghadirkan wacana baru tentang bagaimana memaknai bahasa gaul dalam

kontestasi medan budaya populer, dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari

budaya populer yang cenderung dekat dengan remaja. Artinya, remaja dibayangkan

sebagai subjek aktif yang juga bisa mencitrakan dirinya dalam tradisi media kapitalis

dan dekat dengan gaya hidup. Hal tersebut pada dasarnya berasal dari satu

pemahaman bahwa untuk melawan hegemoni populer, para remaja tidak harus

menghindari dunia kapitalis mainstream, tetapi bagaimana sebisa mungkin

menegosiasikan dan mengartikulasikan kepentingan mereka dalam representasi-

representasi populer, baik berupa musik, iklan tv, maupun bacaan-bacaan populer.

Siregar (2004) mengungkapkan hal yang juga tidak terpisahkan dari bacaan-

bacaan populer adalah penggunaan gaya bahasa dialek remaja Jakarta. Penggunaan

dialek tersebut tidak hanya dalam dialog yang fungsinya menciptakan suasana dan

mengacaukan lingkungan budaya. Dengan kata lain, terdapat kecenderungan

penggunaan bahasa yang keluar dari tujuan komunikasi dimana bahasa tidak hanya

untuk menampung cerita ataupun menghidarkan keindahan, tetapi untuk menyiratkan

simbol bahwa bacaan populer merupakan produk kelas tertentu. Keterampilan

berbahasa semacam itu mencerminkan adanya “pendekatan” dengan suasana Jakarta.

Budaya populer tidak lain dari formulasi impian massanya, gambaran remaja dalam

majalah, film, dan bacaan popular seperti novel semata-mata dimaksudkan untuk

terjual di pasaran yang selamanya akan menjual mimpi-mimpi indah dan kesenangan

sesaat mampu mengurangi beban dan memberikan hiburan. Kodrat budaya populer

selamanya hanya sampai pada titik penyampaian impian dan hiburan, impian yang

ditawarkan akan berfungsi sebagai eskapisme bagi massanya yang muncul dari

Page 21: studi kasus

  21 

kenyataan yang ada. Berawal dari menampilkan gaya berbahasa remaja Jakarta,

bahasa anak muda, atau dikenal pula sebagai bahasa gaul dalam iklan, televisi, dan

bacaan populer membentuk adanya ragam bahasa non formal yang kemudian hadir

dan dekat dengan dunia remaja.

Pada dasarnya, ada dua hal utama yang menjadi perhatian remaja, yaitu

identitas dan pengakuan. Penggunaan dan penulisan bahasa dengan ciri khasnya bisa

menjadi pembentukan kedua hal tersebut di atas. Terdapat dua alasan utama mengapa

remaja menggunakan bahasa tulis dengan ciri tersendiri, pertama, mereka

mengukuhkan diri sebagai kelompok sosial tertentu, yaitu remaja. Kedua, merupakan

sebuah bentuk perlawanan terhadap dominasi bahasa baku atau kaidah bahasa yang

telah mapan. Yang berarti bahwa remaja merasa menciptakan identitas dari bahasa

yang mereka ciptakan sendiri pula. Remaja sebagai kelompok usia yang sedang

mencari identitas diri memiliki kekhasan dalam menggunakan bahasa lisan maupu

tulis. Terdapat semacam keseragaman gaya yang kemudian menjadi gaya hidup

mereka. Remaja yang masih labil dan gemar meniru sangat mudah tertular dan

memilih menggunakan bahasa semacam ini dibanding menggunakan bahasa

Indonesia yang baik dan benar. Terlebih hadirnya anggapan bahwa bentuk-bentuk

bahasa tersebut adalah bahasa gaul, sehingga mereka yang tidak menggunakannya

akan dianggap ketinggalan jaman atau kuno.

C. Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam

menggali sumber-sumber penelitian dilakukan dengan melakukan wawancara dan

studi kasus mengenai karakteristik perkembangan bahasa pada masa remaja dan

perkembangan bahasa prokem atau bahasa alay. Objek penelitian ini adalah

mahasiswa UPI Fakultas Ilmu Pendidikan dan mahasiswa UPI kampus Purwakarta,

dengan jumlah objek penelitian kurang dari 10% dari populasi.

Studi kasus dilakukan untuk mengetahui karakteristik perkembangan bahasa

pada masa remaja dan juga perkembangan bahasa prokem. Pada akhirnya dilakukan

analisis mengenai dampak perkembangan bahasa prokem terhadap perkembangan

bahasa dan implikasinya bagi layanan bimbingan dan konseling. Studi wawancara

dilakukan untuk menggali lebih dalam mengenai dampak dari penggunaan bahasa

prokem atau bahasa alay tersebut.

Page 22: studi kasus

  22 

D. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Tata bahasa Indonesia pada saat ini sudah banyak mengalami perubahan.

Masyarakat Indonesia khususnya para remaja, sudah banyak kesulitan dalam

berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Perubahan tersebut terjadi dikarenakan adanya penggunaan bahasa baru yang mereka

anggap sebagai kreativitas. Jika mereka tidak menggunakannya, mereka takut

dibilang ketinggalan zaman atau tidak gaul. Salah satu dari penyimpangan bahasa

tersebut diantaranya adalah digunakannya bahasa Alay.

Penggunaan bahasa EYD biasanya dipergunakan dalam kontek yang formal

seperti pada institusi yang bersifat kelembagaan, sekolah, bahasa baku yang dikaitkan

dengan pendidikan. Namun dalam pelaksanaannya, remaja membuat pertentangan

antara standar dan vernakular bahasa sebagai komponen utama untuk menunjukan

gaya remaja. Fitur bahasa standar dan vernakular menampakkan diri dalam

penggunaannya sehari hari tidak hanya sebagai elemen yang siap pakai berbicara

tetapi sebagai sumber daya untuk pembangunan gaya yang lebih kompleks. Fitur

linguistik tertentu mungkin pada kesempatan indeks kategori sosial secara langsung

berbeda, tetapi lebih sering pada indeks sikap tertentu (seperti ketangguhan atau

keunggulan intelektual) yang konstitutif kategori tersebut (Ochs, 1991). Pada fitur

linguistik tunggal, daripada menyampaikan makna sendiri, dapat digunakan untuk

beberapa tujuan dan dikombinasikan dengan orang lain untuk menciptakan gaya kaya

makna sosial melalui penggunaan pilihan linguistik luas di alam kualitas suara dan

prosodi; fonologi segmental, morfologi, sintaksis, wacana, leksikon, dan tindak tutur,

kegiatan, dan acara. Gaya pidato pada gilirannya berhubungan dengan aspek-aspek

lain seperti gaya seperti pakaian (Eckert, 1980, 2000), cermin (Mendoza-Denton,

1996), teman sebaya, selera musik, wilayah, kegiatan, dan gerakan (Eckert, 1989)

untuk membuat identitas yang lebih unik.

Perkembangan bahasa alay muncul beriringan dengan perkembangan sosial

media seperti friendsters, yahoo masanger, miRC, facebook, bahkan sms. Objek

menggunakan bahasa alay karena mereka menganggap bahasa alay merupakan bahasa

gaul yang digandrungi oleh para remaja. Dari objek penelitian diketahui bahwa

remaja yang menggunakan bahasa alay mayoritas adalah perempuan, sangat sedikit

sekali ditemukan remaja laki-laki. Hal ini dikarenakan pengaruh kohesifitas diantara

remaja tersebut.

Page 23: studi kasus

  23 

Meskipun komunikasi remaja telah lama dipandang sebagai bermasalah,

sedikit yang diketahui tentang bagaimana remaja mengalami dan mendamaikan

beberapa aspek yang muncul dari diri dalam pengembangan komunikasi dan

keterampilan sosial, atau tepatnya bahasa apa memainkan peran dalam proses

tersebut. Selain itu, pendekatan teoretis perlu dipergunakan untuk memudahkan

pemahaman kita tentang masalah yang berkaitan dengan bahasa dan proses

komunikasi dan praktek "normal" remaja. Terlalu sering, remaja diberi label atau

stereotip menurut sebuah atribut tunggal atau karakteristik (misalnya, "alay",

“prokem” atau "kutu buku") yang menentukan keanggotaan kelompok dengan sedikit

pertimbangan diberikan kepada aspek alternatif individu yang memprediksi afiliasi

kelompok lain mampu mempengaruhi anggota penting dikaitkan (Giles & Coupland,

1991).

Bahasa Alay secara langsung maupun tidak telah mengubah masyarakat

Indonesia untuk tidak mempergunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Sebaiknya bahasa Alay dipergunakan pada situasi yang tidak formal seperti ketika

kita sedang berbicara dengan teman. Atau pada komunitas yang mengerti dengan

sandi bahasa Alay tersebut. Kita boleh menggunakannya, akan tetapi jangan sampai

menghilangkan budaya berbahasa Indonesia. Namun dengan demikian keberadaan

Bahasa Indonesia juga bisa teruji dengan hal-hal yang baru sehingga bisa lebih

menguatkan Bahasa Indonesia itu sendiri.

Kebanyakan dari remaja yang menggunakan bahasa alay tidak begitu mengerti

dan memahami pentingnya berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Jika hal itu

dibiarkan, maka akan berdampak buruk bagi pertumbuhan dan perkembangan bahasa

Indonesia di negara ini. Antara lain, remaja akan sulit untuk berbahasa Indonesia

dengan baik dan benar. Padahal disekolah maupun ditempat kerja nanti kita

diharuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Tidak

mungkin jika ulangan atau tugas dikerjakan menggunakan bahasa alay. Selain itu,

penggunaan bahasa alay dapat mengganggu siapapun yang membaca dan mendengar

kata-kata yang dimaksud. Bahkan bisa terjadi kesalahpahaman antar orang yang

berkomunikasi atau bisa saja terjadi salah persepsi, karena sulit dipahami saat bahasa

tersebut digunakan sebagai pengucapan dan sulit dibaca saat digunakan sebagai

penulisan. Karena tidak semua orang mengerti akan maksud dari kata-kata alay

tersebut. Hal itu sangat memusingkan dan membutuhkan waktu yang lama untuk

sekedar memahaminya.

Page 24: studi kasus

  24 

Dengan penggunaan bahasa alay oleh remaja yang semakin berkembang ini,

bisa jadi suatu saat nanti anak cucu kita (masyarakat) sudah tidak lagi mengenal

bahasa baku dan tidak lagi memakai EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) sebagai

pedoman dalam berbahasa, kemudian menganggap remeh bahasa Indonesia. Jika hal

ini terus berlangsung, dikahawatirkan akan menghilangkan budaya berbahasa

Indonesia dikalangan remaja bahkan dikalangan anak-anak. Padahal bahasa Indonesia

merupakan bahasa resmi negara kita dan juga sebagai identitas bangsa. Oleh karena

itu, kita sebagai generasi penerus bangsa, harusnya mampu menjadi tonggak dalam

mempertahankan bangsa Indonesia ini. Salah satu yang bisa kita lakukan adalah

dengan menjaga, melestarikan, dan menjunjung tinggi bahasa Indonesia. Seperti

dalam ikrar ketiga Sumpah Pemuda yang berbunyi, “Kami putra-putri Indonesia

menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.

Dari temuan data mengenai komunikasi remaja yang telah diungkapkan, jelas

bahwa bahasa memainkan peran penting dalam mendefinisikan identitas sosial

remaja. Dengan menggunakan bahasa yang Idio-syncratic dan unik untuk kelompok

usia tertentu, tampak bahwa kaum remaja belajar untuk mendefinisikan diri mereka

sendiri, setidaknya sebagian, melalui interaksi verbal dengan orang lain. Namun,

meskipun kekhasan kosakata, ada penelitian yang menunjukkan bahwa hasil dari

interaksi sering bergantung banyak pada situasi atau konteks interaksi seperti pada

keterampilan komunikasi individu yang bersangkutan (Drury, Catan, Dennison, &

Brody , 1998). Misalnya, keluarga dan kelompok sebaya menyediakan remaja dengan

konteks di mana untuk mengembangkan keterampilan sosial seperti memulai

interaksi, menetapkan norma-norma dan nilai-nilai, dan mendapatkan dukungan untuk

pengungkapan diri (Brown, 1990). Bahkan, ada banyak penelitian untuk

menunjukkan bahwa perilaku kelompok memiliki tujuan mendasar bagi remaja,

terutama dalam hal pembangunan sosial dan harga diri (Buhrmester, 1992; Cotterell,

1996; Heaven, 1994; Palmonari, Pombeni, & Kirchler, 1990 ). Karena setiap individu

memiliki beberapa keanggotaan kelompok, salah satu yang mungkin menjadi lebih

atau kurang menonjol dalam situasi tertentu, pemahaman teoritis yang konsisten

tentang bagaimana arti remaja diri mendorong keterampilan komunikasi mereka dan

sebaliknya akan tampak menguntungkan. Akibatnya, penulis mengusulkan bahwa

pertimbangan teori antarkelompok menawarkan perspektif yang unik dari fungsi dan

dampak dari keanggotaan kelompok pada remaja.

Page 25: studi kasus

  25 

Kurangnya kesadaran untuk mencintai bahasa di negeri sendiri berdampak

pada tergilasnya atau lunturnya bahasa Indonesia dalam pemakaiannya dalam

masyarakat. Salah satu kebijakan untuk tetap melestarikan bahasa nasional adalah

pemerintah bersama segenap lapisan masyarakat menjunjung tinggi bahasa Indonesia

agar tetap menjadi bahasa yang dapat dibanggakan dan sejajar dengan bahasa-bahasa

di seluruh dunia. Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi negara kita dan juga

sebagai identitas bangsa. Untuk itulah, kita sebagai generasi muda, harus cermat

dalam memilih serta mengikuti trend yang ada. Jangan sampai merusak budaya

bahasa kita sendiri.

Selain itu, kurangnya kesadaran para remaja akan kecintaannya terhadap

bahasa Indonesia yang baik dan benar berdampak pada pergeseran budaya bahkan

lunturnya identitas budaya. Sapir-Whorf (Matsumoto, 2000: 3230 memandang bahwa

bahasa yang kita gunakan akan berhubungan dengan proses berpikir yang kita miliki.

Hipotesis Sapir-Whorf khususnya penting bagi para ahli psikologi lintas budaya yang

meneliti bahasa karena setiap budaya biasanya diasosiasikan dengan satu bahasa

tertentu sebagai alat ekspresinya, dan setiap bahasa biasanya diasosiasikan dengan

sebuah budaya tertentu. Hal ini cukup jelas bahwa bahasa mempunyai keterkaitan

yang sangat erat dengan budaya. Bagaikan dua sisi mata uang, bahasa dan budaya

merupakan dua hal dalam satu sistem yang tidak daapat dipisahkan. Sapir,

memandang bahwa perjalan sejarah bahasa berjalan beriringan dengan sejarah

budaya. Pertanyaan terkait dengan mana yang lebih dulu muncul sebagai sebab,

apakah budaya atau bahasa, tentunya merupakan pertanyaan yang sangat filosofis,

namun satu hal yang harus kita perhatikan adalah penekanan bahwa sejarah kedua

variabel ini berjalan secara beriringan. Dengan kata lain, bahasa dan budya

merupakan hal yang saling mempengaruhi.

Dari hasil studi lapangan, ditemukan sebuah permasalahan bahwa objek

penelitian yang menggunakan bahasa alay atau prokem terjadi karena mereka kurang

memiliki rasa kecintaan terhadap budaya lokal mereka sendiri. Bahkan ada diantara

objek penelitian yang kurang memiliki rasa kebanggaan terhadap bahasa ibu mereka.

Ada satu persepsi dan asumsi diantara remaja yang menjadi sampel yaitu bila mereka

tidak menggunakan bahasa alay dan bahasa prokem maka mereka dianggap tidak gaul

atau tidak mengikuti perkembangan jaman. Temuan ini ternyata menjadi sebuah

budaya dikalangan para remaja ketika mereka masih berada di lingkungan sekolah

baik setingkat SMP maupun SMA. Namun ketika objek penelitian memasuki

Page 26: studi kasus

  26 

Perguruan Tinggi, objek penelitian dengan kesadaran sendiri meninggalkan bahasa

alay tersebut.

Dampak yang terjadi yaitu objek mengalami kesulitan dalam menulis karya

ilmuah yang membutuhkan penggunaan bahasa yang bersifat EYD. Bahkan ketika

objek melakukan praktek mengajar di lapangan, mereka menemukan kesulitan dalam

mengutarakan pikiran dan menyampaikan bahasa yang baik kepada peserta didiknya.

Hal ini dikhawatirkan dapat menjadi sebuah dampak yang dapat ditiru oleh peserta

diidiknya dan menjadi sebuah budaya yang tidak layak.

Bahasa merupakan sebuah kemampuan yang diwarisi secara kultural, bukan

secara biologis dengan landasan instingtif. Ketika suatu hal diwarisi secara kultural,

maka dapat dikatakan bahwa hal terebut tentu melibatkan interaksi sosial sebagai

salah satu elemen utama dalam sebuah sistem kebudayaan.

E. Rekomendasi Untuk Penelitian Berikutnya dan Layanan Bimbingan dan

Konseling berbasis Budaya

Berdasarkan temuan dan analisis di lapangan tampak jelas bahwa salah satu

faktor penentu yang paling penting dari kualitas komunikasi remaja adalah situasi

atau lingkungan di mana itu terjadi. Namun, sedikit yang mengerti tentang cara-cara

di mana konteks mempengaruhi interaksi, meskipun ada indikasi bahwa interaksi

merupakan faktor penting. Sebagai contoh, konflik tampaknya memiliki dampak yang

berbeda tergantung pada interaksi antara remaja dan interaksi lainnya, dan konflik

dalam interaksi yang berkelanjutan melayani tujuan yang berbeda dibandingkan

konflik dalam situasi yang lebih formal atau sementara. Penelitian masa depan harus

mempertimbangkan pentingnya konteks komunikasi remaja.

Hal ini juga jelas bahwa remaja menggunakan bahasa dan proses komunikatif

lainnya untuk memasukkan remaja lain dan untuk mengecualikan anggota luar

kelompok. Identitas kelompok bagi remaja memiliki arti yang sangat penting.

Penerimaan oleh teman sebaya sangat penting dan isolasi harus ditakuti. Dengan

demikian, perilaku hubungan dengan kelompok menjadi penting. Bahasa adalah salah

satu penanda kelompok tersebut memiliki peran yang sangat signifikan dan

penggunaan fitur linguistik tertentu merupakan hasil yang tidak dapat dipisahkan.

Meskipun deskripsi dari perilaku komunikatif remaja sangat luas, tidak selalu jelas

siapa mengakomodasi siapa dan faktor apa yang menentukan akomodasi itu.

Misalnya, orang dewasa (out-group) menggunakan bahasa remaja kadang-kadang

Page 27: studi kasus

  27 

dipandang sebagai masalah bagi pendengar remaja. Platt dan Weber (1984)

berpendapat bahwa upaya konvergensi pidato mungkin meremehkan karena gangguan

dari strategi budaya atau gaya asing, tetapi juga, mungkin lebih penting, karena

keanggotaan out-group. Mengapa hal ini harus terjadi belum sepenuhnya diperiksa.

Mungkin itu dipandang sebagai pelanggaran privasi atau menyerang wilayah remaja.

Namun, di lain waktu mungkin berguna untuk menjembatani kesenjangan antara

generasi atau kelompok. Hal ini menyebabkan beberapa pertanyaan tentang isu-isu

kepemilikan: Kapan diterima untuk orang dewasa, guru, orang tua, dan sebagainya,

menggunakan bahasa remaja dan kapan tidak? Mengingat bahwa ada banyak bentuk

bahasa remaja, bagaimana perbedaan yang dibuat antara kelompok remaja dari segi

bahasa? Misalnya, Dalam situasi di mana beberapa grup yang menonjol, apa faktor

menentukan keanggotaan mendominasi?

Ini hanya beberapa pertanyaan yang muncul dari pertimbangan penggunaan

bahasa remaja dari perspektif antarkelompok. Jelas, ada banyak link penelitian

potensi lain yang dapat dikembangkan dari usulan ini tentatif.

Khusus mengenai upaya penanganan dalam kontek bimbingan dan konseling

berbasis budaya, penguasaan bahasa Indonesia yang dimaksud disini adalah upaya-

upaya yang dilakukan oleh setiap individu dalam meningkatkan penguasaan bahasa

Indonesia guna meninggalkan bahasa alay.

Pertama, tanamkan kesadaran (motivasi) bahwa penguasaan bahasa Indonesia

dengan baik merupakan modal dasar untuk sukses di segala bidang.

Kedua, usahakan sebanyak mungkin untuk membaca, baik surat kabar,

majalah, buku-buku pelajaran, terlebih lagi buku-buku tentang kebahasaan.

Biasakanlah dalam kegiatan sehari-hari selalu ada waktu untuk membaca, walaupun

hanya beberapa menit, sebab dengan banyak membaca wawasan kita akan semakin

bertambah, termasuk dalam hal kebahasaan.

Ketiga, usahakan agar bersikap kritis dalam membaca, artinya jangan hanya

asal membaca, tapi juga harus diperhatikan dan dimengerti dengan baik bentuk

bahasa yang dibaca, struktur kalimatnya,bentuk kata-katanya, ejaannya, tata tulisnya,

dan sebagainya.

Keempat, hal lain yang harus diperhatikan oleh penutur bahasa Indonesia

adalah berpegang teguh peda prinsip “berbeda bentuk berbeda arti”. Dengan prinsip

ini, orang akan selalu sadar dalam memilih penggunaan kata-kata, apakah akan

Page 28: studi kasus

  28 

menggunakan kata-kata baku yang sesuai ejaan atau kata nonbaku yang tidak sesuai

dengan ejaan.

Selain keempat hal yang telah dipaparkan, layanan bimbingan dan konseling

perlu mempertegas posisi budaya lokal agar para remaja memiliki kebanggaan diri

dan mencintai budayanya sendiri.

F. Reverensi Buku

Cotterell, J. (1996). Social networks and social influences in adolescence. London:

Routledge.

Eckert, P. (1989). Jocks and burnouts: Social categories and identity in the high

school. New York: Teachers College Press.

Erikson, E. H. (1968). Identity: Youth and Crisis. New York: Norton.

Matsumoto, D. (2000). Culture and Psychology: People Around The World. Belmont,

CA: Thomson Learning Inc.

Siregar, A. (2004). Popularisasi Gaya Hidup: Sisi Remaja dalam Komunikasi Massa.

Lifestyle Ecstasy. Idi Subandi Ibrahim (ed). Yogyakarta: Jalasutra.

Strinati, D. (2009). Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer.

Penerjemah Abdul Muchid.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Safriandi. (2009). Pemerolehan Bahasa Pertama. [Online].

Tersedia:http://nahulinguistik.wordpress.com/2009/04/14/pemerolehan-

bahasa-pertama/ [22 oktober 2012]

Widhhiarso, W. (2005). Pengaruh Bahasa terhadap Pikiran : kajian hipotesis

Benyamin Whorf dan Edward Sapir. Fakultas Psikologi UGM.

Wijaya, M. (2011). Hubungan Berbahasa, Berpikir dan Berbudaya. Makalah pada

Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Baturaja: Tidak Diterbitkan.

Williams, R. (1960). Cultural and Society. New York: Anchor Book

Jurnal dan Hasil Penelitian

Brown, B. B. (1990). Peer groups and peer cultures. In S. Feldman & G. R. Elliott

(Eds.), At the threshold: The developing adolescent (pp. 171-196). Cambridge,

MA: Harvard University Press.

Bucholtz, M. (1999). “Why be normal?”: Language and identity practices in a

community of nerd girls. Language in Society, 28, 203-223.

Page 29: studi kasus

  29 

Buhrmester, D. (1992). The developmental courses of sibling and peer relationships.

In F. Boer & J. Dunn (Eds.), Children’s sibling relationships: Developmental

and clinical issues (pp. 19-40). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum.

Drury, J., Catan, L., Dennison, C., & Brody, R. (1998). Exploring teenagers’ accounts

of bad communication: A new basis for intervention. Journal of Adolescence,

21, 177-196.

Eckert, P. (1980). Clothing and geography in a suburban high school. In Conrad

Kottak (Ed.), Researching American culture (pp. 139-145). Ann Arbor:

University of Michigan Press.

Eckert, P. (2000). Adolescent language. In E. Finegan & J. Rickford (Eds.), Language

in the USA. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Heaven, P.C.L. (1994). Family of origin, personality and self-reported delinquency.

Journal of Adolescence, 17, 445-459.

Mendoza-Denton, N. (1996). Muy macha: Gender and ideology in gang girls’

discourse about makeup. Ethnos, 6, 91-92.

Ochs, E. (1991). Indexing gender. In A. Duranti & C. Goodwin (Eds.), Rethinking

context (pp. 335-358). Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Palmonari, A., Pombeni, M. L., & Kirchler, E. (1990). Adolescents and their peer

groups: A study on the significance of peers, social categorization processes

and coping with developmental tasks. Social Behavior, 5, 33-48.

Platt, J., & Weber, H. (1984). Speech convergence miscarried: An investigation into

inappropriate accommodation strategies. International Journal of the

Sociology of Language, 46, 131-146.