Page 1
1
Bahasa Alay dan Bahasa Prokem: Tinjauan Budaya dan
Tahap Perkembangan Bahasa di Masa Remaja
Oleh
Idat Muqodas*
Departement of Educational Psychology and Guidance, Graduate School of Guidance and Counseling,
Universitas Pendidikan Indonesia, Jln. Dr. Setiabudhi No 229 Bandung, Jawa Barat - Indonesia
Abstrak, Perkembangan bahasa di masa remaja memunculkan bahasa
prokem atau yang lebih kini disebut bahasa alay. Kajian ini berangkat
dari perkembangan bahasa yang terjadi di kalangan remaja. Remaja
disatu sisi memasuki masa pencarian dan pembetukan identitas diri,
namun di sisi lain terjadi perkembangan identitas bahasa yang
mengarah pada kemerosotan identitas budaya. Berangkat dari
permasalahan tersebut, layanan bimbingan dan konseling perlu
memberikan sebuah bantuan kepada remaja agar tidak melupakan
identitas budaya mereka dalam seting bimbingan dan konseling lintas
budaya.
Key word: bahasa alay, budaya, tahapan perkembangan, bimbingan
dan konseling lintas budaya
A. Pendahuluan
Bila dalam kajian ilmiah membicarakan tentang perkembangan bahasa, maka
kajian tersebut merupakan kajian yang sangat menarik bagi para ahli pasikologi,
psikolinguistik, dan konselor. Hal ini dikarenakan dengan melalui bahasa, seorang
konselor atau psikolog dapat mengkaji perilaku konselinya, dan bahasa merupakan
sarana utama untuk berkomunikasi dengan orang lain. Bahasa juga merupakan sarana
utama manusia untuk mewariskan budaya untuk generasi berikutnya. Oleh sebab itu,
untuk mengetahui perkembangan budaya, seorang konselor perlu perhatian khusus
dalam perkembangan bahasa yang tersirat dalam pola komunikasi manusia.
Sebagai bangsa yang terdiri atas ratusan suku bangsa dengan ratusan bahasa
dan aneka ragam kebudayaan yang tersebar luas di atas untaian belasan ribu pulau,
bangsa Indonesia patut berbangga hati atas bahasa Melayu yang secara alami telah
menyebar ke seluruh Nusantara dan secara perlahan-lahan tetapi mantap tumbuh
subur dan berkembang sampai akhirnya menjadi Bahasa Indonesia. Namun sayang,
rasa kebanggaan itu ternyata tidak diikuti dengan penguasaan akan bahasa Indonesia
yang baik dan benar. Di era globalisasi seperti ini, kemajuan dan perkembangan
teknologi sangatlah pesat. Kemajuan dan perkembangan tersebut tentunya sangat
* Corresponding author: Tel: +62 856 230 9523
E-mail address: [email protected] (I. Muqodas), NIM 1201319 E-mail address: [email protected] (I. Muqodas), NIM 1201319
Page 2
2
berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari. Apalagi dengan masuknya budaya asing
yang akan semakin mempengaruhi kehidupan dan pergaulan, terutama pada remaja.
Dengan semakin majunya teknologi dan ditambah dengan pengaruh budaya asing
tersebut, maka akan mengubah sikap, perilaku serta kebiasaan mereka. Hal tersebut
tidak hanya mengubah gaya hidup, seperti cara berpakaian, tetapi juga dapat
mengubah cara seseorang (dalam hal ini remaja) dalam berinteraksi serta
berkomunikasi dengan orang lain. Hal ini tentunya berkaitan erat dengan penggunaan
bahasa.
Semua manusia yang normal dapat menguasai bahasa, sebab sejak lahir
manusia telah memilikki kemampuan dan kesiapan untuk mempelajari bahasa
dengan sendirinya dalam teori Vygotsky ini disebut language development device
(LAD). Orang yang dalam jangka waktu cukup lama terus-menerus mendengarkan
pengucapan suatu bahasa, biasanya ia akan mampu mengucapkan bahasa tersebut
tanpa instruksi khusus atau direncanakan.
Seiring perkembangan jaman, penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan
benar pada masyarakat terutama pada kalangan remaja secara perlahan mulai tidak
nampak. Hal itu terjadi karena munculnya modifikasi bahasa, yang sering disebut
dengan ‘bahasa alay’. Bahasa alay mulai muncul sekitar tahun 2008 dan berkembang
seiring dengan pesatnya penggunaan jejaring sosial seperti facebook, twitter, dan lain
sebagainya. Bahkan bukan hanya dalam dunia maya (seperti facebook dan twitter),
bahasa alay juga banyak ditemukan di televisi, radio, majalah, bahkan koran.
Terutama pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan remaja, misalnya acara-acara
ditelevisi yang menjadi totonan utama dan memang ditujukan kepada para remaja.
Hal tersebut membuat penyebaran bahasa alay di kalangan remaja menjadi semakin
pesat.
Kajian ini difokuskan pada hubungan antara budaya dan bahasa dengan
mengangkat isu perkembangan penggunaan bahasa alay atau bahasa prokem terhadap
pergeseran budaya dan perkembangan bahasa pada masa remaja. Kemudian, kajian
budaya yang mempengaruhi penggunaan struktur dan fungsional bahasa, dan bahasa
dapat dianggap sebagai hasil dari manifestasi budaya. Bahasa juga mempengaruhi dan
memperkuat nilai-nilai budaya dan pandangan dunia, sehingga ada feeding back
diantara keduanya. Siklus hubungan antara budaya dan bahasa menunjukkan sifat
bahwa budaya tidak dapat sepenuhnya dipahami tanpa memahami bahasanya, dan
sebaliknya. Oleh sebab itu, bahasa mempengaruhi pemikiran kita dan pandangan
Page 3
3
dunia kita, pemahaman pengaruh budaya pada bahasa memiliki implikasi penting
untuk memahami perbedaan budaya dalam perspektif pandangan dunia.
B. Gagasan Utama
Bahasa merupakan kapasitas khusus yang ada pada manusia untuk
memperoleh dan menggunakan sistem komunikasi yang kompleks, dan sebuah bahasa
adalah contoh spesifik dari sistem tersebut. Berangkat dari sebuah ekspresi bahasa
para kaum muda di era tahun 1928 yang kemudian menjadi cikal bakal perkembangan
bahasa Indonesia yang menjadi identitas budaya bangsa Indonesia. Melalui
penggunaan bahasa, seseorang individu dapat berubah menjadi agen budaya tertentu.
Bahasa dan budaya mempunyai keterkaitan yang sangat dekat, budaya dan bahasa
saling mempengaruhi satu sama lain. Hal ini penting dalam penelitian lintas budaya
bahasa karena masing-masing budaya terkait dengan bahasa yang diberikan sebagai
kendaraan untuk berekspresi.
Bahasa sebagai alat vital dalam penyampaian pesan, maksud, dan tujuan
menjadi wadah paling mudah untuk menyebarluaskan segala unsur-unsur populer
dalam lingkungan masyarakat. Dalam pengertian ilmiah, bahasa dimaknai sebagai
sebuah sistem lambang bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan
manunisiawi. Secara tradisional, bahasa merupakan alat untuk berinteraksi atau
berkomunikasi, dalam arti sebagai alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan,
konsep, dan perasaan. Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi manusia baik dalam
bentuk lisan maupun tulisan, pada hakikatnya merupakan sebuah sistem yang terdiri
atas beberapa unsur yang saling mendukung. Fungsi tersebut mencakup lima fungsi
dasar yang disebut expretion, information, exploration, persuation, dan entertaiment.
Dalam komunikasi, peranan bahasa sungguh sangat penting. Segala informasi
yang disampaikan memerlukan bahasa. Bahasa Indonesia sebagai media komunikasi
utama di Indonesia semakin menunjukkan kedewasaan dan kematangannya. Makna
yang disampaikan dalam sebuah bahasa tidak hanya terkait dengan pilihan kata, tetapi
juga cara penyampaiannya. Ragam bahasa merupakan “variasi bahasa menurut
pemakaiannya yang dibedakan menurut topik, hubungan pelaku, dan medium
pembicaraan.” Remaja masa kini lebih sering dan senang menggunakan bahasa gaul
dari pada bahasa resmi. Menurut mereka bahasa gaul lebih nyaman, dan cocok
digunakan dalam kehidupan sehari-hari, remaja masa kini menganggap penggunaan
Page 4
4
bahasa resmi terlalu kaku dan monoton, serta tidak menampakkan kebaruan yang
mencolok.
Bahasa berperan meliputi segala aspek kehidupan manusia, salah satunya
adalah untuk memperlancar proses sosial manusia. Sehingga bahasa merupakan
bagian dari kebudayaan, dan bahasalah yang memungkinkan pengembangan
kebudayaan sebagaimana yang kita kenal sekarang ini. Bahasa tidak hanya berperan
sebagai alat integrasi sosial, tetapi juga sebagai alat adaptasi sosial di mana Indonesia
memiliki bahasa yang majemuk. Kemajemukan ini membutuhkan satu alat sebagai
pemersatu keberseragaman tersebut yaitu bahasa Indonesia.
Seiring dengan perkembangan zaman, penggunaan bahasa Indonesia baik
dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam lingkup media secara luas, mulai
menampakkan adanya pergeseran ke arah arus modernitas yang ditandai dengan
maraknya penggunaan bahasa remaja, atau sering pula diartikan sebagai bahasa gaul.
Kehadiran bahasa gaul berjalan beriringan dengan konsep kebudayaan populer di
Indonesia. Fenomena bahasa gaul diserap dengan begitu sempurna oleh remaja secara
meluas tanpa melalui filter yang berarti. Dunia modern dan pesatnya kemajuan
teknologi informasi, dengan serta merta membawa Indonesia menjadi salah satu
negara yang tidak bisa melepaskan diri dari kebudayaan modern atau populer.
Masyarakat Indonesia secara luas dan remaja pada khususnya menyerap dengan
begitu saja segala bentuk-bentuk modernisasi kehidupan.
1. Komponen-komponen budaya dan pemerolehan bahasa
a. Fitur Bahasa
Sebelum meneliti hubungan antara bahasa budaya, sangat penting untuk
mengidentifikasi fitur dasar bahasa. Memahami berbagai komponen bahasa akan
memungkinkan kita untuk mempertimbangkan bagaimana budaya mempengaruhi
bahasa.
Ahli linguistik biasanya mencoba untuk menggambarkan bahasa
menggunakan lima fitur penting berikut, yang tampaknya berlaku untuk semua bahasa
di semua budaya:
1) Leksikon, atau kosa kata, yaitu kata-kata yang terkandung dalam suatu
bahasa. Misalnya, pohon, makan, bagaimana dan perlahan-lahan masing-
masing bagian dari leksikon bahasa Indonesia.
Page 5
5
2) Sintaks dan tata bahasa (grammar) dari bahasa mengacu pada sistem aturan
yang mengatur bentuk kata dan bagaimana kata harus dirangkai untuk
membentuk ucapan bermakna. Misalnya, bahasa Inggris memiliki aturan tata
bahasa yang mengatakan kita menambahkan ‘s’ ke akhir banyak kata untuk
menunjukkan pluralitas (cat menjadi cats). Bahasa Inggris juga memiliki
aturan sintaksis yang kita umumnya menempatkan kata sifat sebelum kata
benda, tidak setelahnya (misalnya, small dog, bukan dog small).
3) Fonologi, yaitu sistem aturan yang mengatur bagaimana kata-kata harus
berbunyi (pronounciation) dalam bahasa tertentu.
4) Semantik mengacu pada arti kata-kata itu. Misalnya, meja mengacu pada
obyek fisik yang memiliki empat kaki dan permukaan horizontal datar.
5) Pragmatik mengacu pada sistem aturan yang mengatur bagaimana bahasa
digunakan dan dipahami dalam konteks sosial tertentu. Sebagai contoh,
pernyataan "itu dingin" bisa diartikan sebagai permintaan untuk menutup
jendela atau sebagai pernyataan fakta tentang suhu. Bagaimana itu ditafsirkan
mungkin tergantung pada konteks sosial dan lingkungan.
Ahli linguistik menggunakan dua konsep lainnya untuk membantu menjelaskan
struktur bahasa. Fonem adalah unit terkecil dan paling dasar dari suara dalam bahasa,
dan morfem adalah unit terkecil dan paling dasar dari makna dalam bahasa. Dengan
demikian, Fonem membentuk dasar dari hirarki bahasa, yang pada gilirannya
menghasilkan kata-kata, yang dirangkai dalam frase-frase dan, akhirnya kalimat.
b. Pemerolehan Bahasa
Sampai tingkat apa proses pemerolehan bahasa, bawaan atau dipelajari? Jawabannya
adalah tidak sepenuhnya jelas. Bukti sampai saat ini menunjukkan bahwa beberapa
aspek pemerolehan bahasa adalah dipelajari, sementara yang lain bawaan. Bagaimana
kita belajar bahasa? Sebuah mitos umum di banyak kebudayaan adalah bahwa anak-
anak belajar bahasa ibu mereka dengan imitatif suara yang mereka dengar dalam
lingkungan alam mereka, dan dengan diperkuat dalam upaya mereka pada
memproduksi bahasa (Skinner, 1957). Kita sekarang tahu bahwa imitasi bukan
merupakan strategi penting dalam belajar bahasa. Bahkan, anak-anak jauh lebih
canggih dalam strategi belajar mereka daripada yang biasa kita percaya.
Page 6
6
Dalam studi sekarang terkenal pada 1950-an, Jean Berko (Berko, 1958, Berko
Gleason, 1989) dengan yakin menunjukkan bahwa, bukan hanya meniru apa yang
mereka dengar, anak-anak menghasilkan generasi hipotesis dan pengujian tampaknya
menjadi strategi universal dimana anak-anak sekitar dunia belajar bahasa ibu mereka.
Berko (1958) menunjukkan anak-anak Amerika gambar makhluk imajiner. Dia
mengatakan kepada mereka bahwa gambar itu dari "wug" (makhluk imajiner dia
diciptakan untuk percobaan ini). Dia kemudian menunjukkan anak-anak yang sama
gambar dua makhluk khayalan tersebut dan meminta mereka apa yang mereka lihat:
"Sekarang ada dua-----!" Sebagian besar anak-anak mengatakan "wugs". Karena wugs
kata bukanlah bahasa Inggris atau salah satu yang mereka pernah pelajari
sebelumnya, jelas anak-anak ini tidak bisa menggunakan imitasi untuk menghasilkan
kata wugs. Untuk menjawab "wugs", mereka harus memiliki pengetahuan
sebelumnya tentang aturan tata bahasa Inggris yang biasa kita tambahkan kepada
nomina untuk menunjukkan pluralitas.
Kadang-kadang pengetahuan anak-anak tentang aturan gramatikal
menyebabkan "kemunduran" dalam perkembangan bahasa mereka. Banyak orang tua
telah kecewa ketika anak-anak mereka, yang sebelumnya menggunakan bentuk yang
tepat dari kata kerja to go, mulai menggunakan bentuk yang salah mereka mungkin
tidak pernah digunakan sebelumnya. Misalnya, setelah menggunakan standar past
tensewent dalam kalimat seperti "i went to school," orang tua mungkin cemas
menganggap regresi jelas seperti bukti ketidakmampuan belajar "I goed to school."
Anak-anak pertama kali belajar bentuk went melalui imitasi sederhana tanpa belajar
apa-apa tentang aturan tata bahasa Inggris. Kemudian, ketika pemahaman linguistik
mereka menjadi lebih bagus, mereka belajar aturan tata bahasa Inggris menambahkan
ed ke akhir verba untuk membuat mereka past tense. Menggunakan bentuk goed
bukannya went menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dari perkembangan linguistik
karena anak-anak menerapkan aturan tata bahasa bukan sekadar meniru sebuah kata
yang mereka dengar. Selanjutnya pada perkembangan anak, mereka akan mempelajari
pengecualian untuk aturan dipelajari sebelumnya, seperti bentuk tidak teratur past
tense went. Intinya adalah bahwa mengetahui aturan gramatikal dan menerapkannya
secara kreatif dalam situasi baru menunjukkan kecanggihan jauh lebih besar daripada
kognitif imitasi belaka, dan itu adalah strategi belajar bahasa universal.
Orang-orang dalam budaya yang berbeda memiliki keyakinan berbeda tentang
bagaimana anak-anak belajar bahasa. Budaya juga berbeda dalam cara mereka
Page 7
7
berperilaku terhadap anak-anak belajar bahasa. Suku Kaluli Papua Nugini, misalnya,
percaya bahwa anak-anak harus hati-hati dikendalikan, instruksi eksplisit dalam
kedua bentuk bahasa dan keterampilan berbicara (Matsumoto, 2000). Mereka percaya
anak-anak tidak akan belajar bahasa dan keterampilan berbicara kecuali mereka
diajarkan secara eksplisit. Orang Kaluli bertindak atas keyakinan dan mengajar anak-
anak mereka bagaimana melakukan percakapan.
Samoan dewasa biasanya percaya bahwa upaya awal anak-anak di bahasa
tidak memiliki makna dan, dalam kasus apapun, anak-anak tidak mempunyai apapun
untuk dikatakan yang penting bagi orang dewasa. Karena keyakinan ini. Samoa
dewasa tidak melibatkan anak-anak mereka dalam pelatihan bahasa formal, juga tidak
biasanya terlibat dalam percakapan dengan anak-anak. Bahkan, anak-anak Samoa
sebagian besar terpengaruh bahasa saudara yang lebih tua daripada bahasa orang
dewasa (Matsumoto, 2000)
Perbedaan-perbedaan dalam keyakinan dan praktik budaya yang berkaitan
dengan pembelajaran bahasa sangat menarik. Yang bahkan lebih menarik adalah
bahwa dalam semua budaya, apa pun kepercayaan mereka atau praktik, anak-anak
belajar bahasa ibu mereka dengan baik dengan atau tanpa bantuan dari orang dewasa.
Ini hasil umum menunjukkan bahwa manusia memiliki beberapa kemampuan
universal dan bawaan untuk belajar bahasa. Menurut Chomsky (dalam Matsumoto,
2000), seorang ahli bahasa ternama, manusia memiliki perangkat pemerolehan bahasa
(language aquisition device/LAD) yang berisi kemampuan bawaan mengenai sintaks,
tata bahasa dan pragmatik. Ini adalah LAD yang memungkinkan semua anak normal
semua budaya untuk belajar dan menggunakan bahasa fasih.
Meskipun tidak ada bukti langsung adanya LAD Chomsky, ada bukti yang
cukup sugestif. Beberapa dari bukti ini berasal dari penelitian tentang pidgin dan
penutur Kreol. Biskerton (dalam Matsumoto, 2000), misalnya, di University of
Hawaii, mempelajari sejumlah pembicara pidgin dan pengembangan mereka ke
penutur Kreol. Banyak fitur linguistik ditemukan dalam beberapa yang tidak terkait
bahasa Kreol tidak ada dalam salah satu bahasa sumber pidgin aslinya. Dar mana fitur
tersebut berasal? Bickerton menyarankan bahwa satu-satunya penjelasan yang masuk
akal untuk penggunaan fitur tersebut oleh penutur bahasa Kreol berhubungan adalah
bahwa fitur tersebut diprogram atau tertanam pada manusia sebagai bagian dari LAD.
Sementara cukup banyak bukti sugestif tampaknya mendukung teori Chomsky, tidak
ada bukti yang tampaknya membantahnya. Dengan demikian, hal itu tetap menjadi
Page 8
8
salah satu penjelasan terbaik yang kita miliki untuk fakta bahwa semua anak normal
belajar bahasa asli mereka fasih tanpa memandang perbedaan luas di lingkungan di
mana mereka melakukannya.
2. Perbedaan Bahasa Lintas Budaya
a. Budaya dan Bahasa leksikon
Bahasa dapat dianggap sebagai manifestasi, produk budaya. Bahasa Inggris
Amerika misalnya, kata-kata dan bagaimana kita menggunakannya, merupakan
cerminan dari budaya Amerika. Tentunya, jika kita memeriksa struktur dan fungsi
bahasa Inggris Amerika, kita akan melihat banyak kesamaan aspek penting dari
budaya Amerika. Hal yang sama berlaku untuk setiap bahasa dan budaya yang kita
kaji. Salah satu cara untuk mengamati hubungan ini adalah dengan tidak ada
hubungan antara perbedaan budaya, bahasa dan leksikon mereka, atau kosa kata.
Kata-kata yang ada dalam beberapa bahasa, tetapi tidak pada yang lain.
Banyak dari kita telah mendengar bahwa bahasa Eskimo berisi kata-kata lebih untuk
salju selain bahasa Inggris tidak. Whorf (dalam Matsumoto, 2000) adalah orang
pertama yang menunjukkan bahwa bahasa Eskimo sebenarnya memiliki tiga kata
untuk salju, sedangkan bahasa Inggris menggunakan satu kata untuk menggambarkan
ketiga jenis. Banyak budaya lain dan bahasa mengandung kata-kata yang tidak ada
dalam bahasa Inggris. Ketika kita menerjemahkan kata dalam bahasa Inggris ke
dalam wujud literal dalam bahasa lain, kita sering berpikir bahwa kata-kata berarti
sama. Sementara banyak kata memiliki makna umumnya sama dalam bahasa yang
berbeda, mereka sering memiliki nuansa yang berbeda dan konotasi berbeda. Bahkan
kata umum untuk melanggar, memotong, makan dan minum dapat memiliki konotasi
yang sama sekali berbeda apabila digunakan dalam konteks yang berbeda, dalam
budaya lain (Matsumoto, 2000). Ketika mempertimbangkan hubungan antara kata-
kata dalam bahasa kita sendiri dan diterjemahkan dalam bahasa yang lain secara
setara, kita tidak harus mempertimbangkan mereka sebagai terjemahan setara yang
tepat. Jika kita memperhitungkan semua arti dari sebuah kata, akan sangat sulit untuk
menemukan kata-kata dalam bahasa yang berbeda yang memiliki arti yang sama
persis, nuansa, konotasi dan asosiasi.
Page 9
9
b. Diri / referen lainnya.
Dalam bahasa Inggris Amerika, umumnya menggunakan salah satu dari dua
kata, dan turunannya, untuk menggambarkan diri ketika berbicara atau apa yang
sedang dibicarakan. Jika berbicara dengan seorang profesor universitas, menggunakan
kata I untuk menyebut diri sendiri. Jika berbicara dengan orang tua, menggunakan
kata yang sama I. Dan menggunakan kata yang sama I ketika mengacu pada diri
sendiri dengan teman-teman, keluarga, tetangga, kenalan, bos atau bawahan. Dengan
demikian, umumnya digunakan satu kata dalam bahasa Inggris untuk merujuk kepada
orang lain atau sekelompok orang: you. Dalam percakapan dengan orang tua, bos,
teman, kekasih, orang asing, anak-anak dan hanya tentang siapa pun, menggunakan
you atau salah satu turunannya untuk merujuk kepada orang lain atau orang.
Banyak bahasa di dunia, bagaimanapun, memiliki sistem rumit tergantung
pada sifat hubungan dengan oranglain. Bahasa Jepang memberikan salah satu contoh
yang paling ekstrim. Bahasa jepang memang memiliki terjemahan: setara dari kata-
kata bahasa Inggris I, we, dan you, tetapi kata-kata ini digunakan lebih jarang dalam
bahasa Jepang daripada di Inggris. Dalam bahasa Jepang, apa yang Anda sebut diri
Anda dan orang lain benar-benar tergantung pada hubungan antara Anda dan orang
lain. Seringkali, untuk menyebut diri dan orang lain tergantung pada diferensial status
antara dua orang. Misalnya, jika Anda dari status yang lebih tinggi daripada orang
lain, di Jepang Anda akan merujuk kepada diri sendiri dengan posisi atau peran bukan
seperti dalam bahasa Inggris setara dengan I. Di Jepang, para guru menggunakan guru
kata untuk menyebut diri mereka ketika berbicara dengan siswa. Dokter mungkin
menggunakan istilah dokter, dan orang tua menggunakan kata ibu atau ayah saat
berbicara dengan anak-anak mereka.
Bahasa jepang menggunakan kata ganti setara dengan I, seperti watashi,
watakushi, boku, atau ore. Penggunaan berbeda untuk saya tergantung dari seks Anda
(wanita tidak bisa mengatakan boku atau ore), tingkat kesopanan, dan tingkat
keakraban dengan orang lain. Ketika berbicara dengan seseorang dari status yang
lebih tinggi, misalnya, orang umumnya menggunakan watashi untuk menyebut diri
mereka. Ketika berbicara kepada teman-teman atau rekan kerja, orang-orang biasanya
menyebut diri mereka. Ketika berbicara kepada seseorang dari status yang lebih
rendah, biasanya Anda akan menggunakan kata ganti pribadi atau nama sebenarnya
orang tersebut. Seperti kata ganti pribadi untuk saya, bahasa Jepang mengandung kata
ganti beberapa Anda-di antara mereka, anata, omae, dan kimi. Sekali lagi,
Page 10
10
penggunaan yang tepat dari masing-masing tergantung pada hubungan, pada
umumnya, omae dan kimi digunakan ketika berbicara dengan seseorang dari status
yang lebih rendah dari Anda atau seseorang yang sangat akrab dan intim dengan
Anda. Memang, sistem bahasa Jepang referen diri dan lainnya sangat rumit, terutama
bila dibandingkan dengan bahasa Inggris Amerika.
Perbedaan-perbedaan antara bahasa Inggris dan Jepang mencerminkan
perbedaan budaya yang penting. Dalam aspek budaya Jepang, bahasa, tingkah laku,
dan perilaku harus diubah sesuai dengan hubungan dan konteks di mana komunikasi
tersebut terjadi. Dimensi yang paling penting sepanjang perilaku dan bahasa
dibedakan di Jepang adalah status dan orientasi kelompok. Semua aspek perilaku dan
bahasa dibedakan di Jepang menurut status dan orientasi kelompok. Semua aspek
perilaku berbeda tergantung pada apakah seseorang lebih tinggi atau lebih rendah
dalam status daripada orang lain dalam percakapan. Juga, perilaku dan bahasa
berbeda-beda tergantung pada apakah orang lain dalam anggota ingroup Anda atau
tidak. Dengan demikian, pilihan diri dan sesuai lainnya-referen dalam bahasa Jepang
mencerminkan aspek penting dari budaya Jepang.
c. Sistem Menghitung.
Sistem Menghitung memberikan contoh lain tentang bagaimana budaya
mempengaruhi struktur bahasa. Dalam bahasa Jepang, misalnya, kata-kata yang
berbeda digunakan untuk menunjukkan hal yang berbeda. Putaran, dihitung oleh
akhiran hon (ippon, nihon, Sanbon, dan sebagainya); benda datar yang dihitung oleh
mai (ichimai, Nimai, sanmai, dan sebagainya). Dalam bahasa Inggris, bagaimanapun,
semua benda hanya terhitung banyaknya, tanpa awalan atau akhiran untuk
menunjukkan jenis objek yang dihitung.
Selain itu, bahasa Jepang, seperti banyak bahasa lainnya, mendasarkan semua
nomor pada kata-kata untuk satu sampai sepuluh. Eleven adalah harfiah sepuluh satu
(ju-ichi), 12 adalah sepuluh-dua (ju-ni). Dalam bahasa Inggris, bagaimanapun, angka
1 sampai 19 unik, dan sistem aditif yang mirip dengan nomor Jepang dimulai pada 20.
Perbedaan linguistik diperkirakan berkontribusi terhadap perbedaan prestasi
matematika antara Amerika Serikat dan Jepang.
Page 11
11
Gambar 1.1 kata dalam bahasa jepang untuk diri dan konsep
Sumber: Word in context by Takao Suzuki, published by Kondansha International Ltd.
Copyright ©1973 by Takao Suzuki. English tranlation Copyright ©1978 by
Kondansha International Ltd. Reprinted by permission. All rights reserved.
d. Kebudayaan dan Pragmatik
Budaya tidak hanya mempengaruhi leksikon bahasa, tetapi juga pragmatik –
yang merupakan peraturan yang mengatur bagaimana bahasa digunakan dan dipahami
dalam konteks sosial yang berbeda. Kashima dan Kashima (1998), misalnya, meneliti
39 bahasa yang digunakan di 71 negara, memperoleh data baik budaya dan bahasa
dari masing-masing negara. Nilai budaya termasuk milik Hofstede (1980, 1983)
empat dimensi - individualisme, jarak kekuasaan, penghindaran ketidakpastian, dan
maskulinitas - dan 15 lainnya dimensi yang berhubungan dengan budaya. Data
linguistik mencakup analisis penggunaan kata ganti pertama dan kedua, dan apakah
bahasa yang diizinkan tidak menggunakan kata ganti dalam percakapan. Korelasi
antara kedua set data dianalisis dalam dua cara terpisah untuk meneliti hubungan
antara budaya dan penggunaan kata ganti. Kashima dan Kashima (1998) menemukan
bahwa budaya yang memungkinkan kata ganti bahasa untuk dibuang cenderung
menjadi kurang individualistis, dimana mereka menafsirkan seperti budaya yang
berbeda mencerminkan konseptualisasi diri dan orang lain.
Principal
Father
Neighbor’s Son
Son Student
Page 12
12
3. Perkembangan Bahasa Menurut Vygotsky
a. Bahasa dan Perkembangan
Bahasa mempunyai peran utama menurut teori Vygotsky, bahasa memainkan
tiga peran yang berbeda dalam perkembangan. Pertama, bahasa memberikan akses
pada individu atau para pembelajar untuk pengetahuan yang lain yang telah mereka
milikki sebelumnya. Kedua, bahasa menyediakan alat-alat kognitif yang
membolehkan individu atau para pembelajar untuk berpikir luas dan pemecahan
masalah. Ketiga, bahasa memberikan cara-cara untuk mengatur dan merefleksikan
proses berpikir.
Terkadang kita mendapati anak berkata kepada diri sendiri. Dengarkan ketika
anak sedang bermain bebas, mereka sering “berkomat-kamit” ketika bermain sendiri
tanpa kelihatan adanya pendengar. Vygotsky percaya free floating external speech ini
adalah awal dari internalisasi. Private speech ini dapat diartikan berbicara pada diri
sendiri yang akan membimbing proses berpikir dan beraksi. Dalam teori
perkembangan Piaget (1926), kita akan menemukan bahwa anak mengalami empat
masa. Salah satunya menyebutkan bahwa anak pada usia 0-2 tahun sedang mengalami
masa egosentrisme termasuk “egocentris speech”. Vygotsky (1986) menentangnya,
ia percaya bahwa saat itu individu sedang memulai masa “self regulation” atau
proses untuk mengatur diri. Private speech ini adalah bentuk dari fondasi untuk
keterampilan berpikir yang lebih kompleks seperti mengingat dan menyelesaikan
masalah.
b. Zone of Proximal Development
Ketika individu mendapat manfaat dari pengalaman dari berinteraksi dengan
banyak orang yang lebih mempunyai pengetahuan, mereka sedang berada dalam zone
of proximal development yakni jarak dari tugas yang mana seorang individu belum
bisa menyelesaikannya sendiri tetapi ia akan dapat menyelesaikan ketika mendapat
bantuan oleh orang yang mempunyai keterampilan. Vygotsky (1978) menjelaskan
bahwa zona ini adalah jarak antara tingkat perkembangan aktual seperti ditentukan
oleh kemandirian menyelesaikan masalah dan tingkat perkembangan potensi seperti
ditentukan melalui menyelesaikan masalah dibawah bimbingan orang dewasa atau
berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih cakap atau sanggup. Para pembelajar
atau individu berada di zona proximal development untuk tiap tugas mereka yang
diharapkan oleh guru, dan mereka harus berada di zona itu untuk mendapat manfaat
dari bantuan.
Page 13
13
c. Scaffolding
Scaffolding adalah bantuan yang diberikan kepada anak untuk melengkapi
tugas-tugas mereka yang mana mereka belum dapat untuk melengkapinya secara
mandiri. Guru menyediakan scaffolding individu untuk para pembelajar melalui
interaksi sosial yang banyak selama proses pembelajaran berlangsung. Berikut adalah
ilustrasinya:
Ada seorang anak kecil yang sedang belajar berjalan, orang tuanya sering
berjalan di belakangnya, memegang kedua tangan anak dari atas sambil
membimbing untuk melangkahkan kaki. Setelah anak merasa percaya,
orang tua hanya memegang satu tangan anak, kemudian membiarkan anak
untuk belajar semampunya, tapi orang tua harus siap untuk menangkap
anak sebelum mereka terjatuh. Secepatnya anak akan berjalan dengan
nyaman sesuai kemampuannya.
Scaffolding efektif untuk mengatur kebutuhan bagi para pembelajar untuk
tingkat kemampuan dan hasilnya, sehingga kita dapat memberikan instruksi yang
berbeda bagi tiap siswa. Tanpa scaffolding perkembangan akan lemah. Penting untuk
diingat bagaimanapun efektifnya scaffolding hanya untuk menyediakan dukungan
mengikuti para pembelajar untuk meningkatkan kemampuannya. Guru memberikan
dukungan, dan para pembelajarlah yang menyelesaikan masalahnya.
Tabel 1. Tipe instruksi scaffolding:
No Tipe Scaffolding Contoh
1. Modeling atau memberi
contoh
Seorang guru seni memberi contoh
menggambar dengan dua sudut pandang
sebelum meminta siswa untuk mencoba
menggambar sesuai kemampuannya.
2. Berpikir keras Seorang guru fisika mengungkapkan secara
lisan pikirannya untuk menyelesaikan
masalah momentum dengan kapur tulis.
3. Pertanyaan Setelah member contoh dan berpikir keras,
guru fisika “mengantarkan” siswa melalui
beberapa masalah, memberi pertanyaan
dengan kritis.
Page 14
14
4. Mengadaptasi materi
instruksional
Guru pendidikan jasmani SD mengajarkan
teknik “shoot” dengan menurunkan keranjang
basket, dan menaikkannya untuk membuat
mereka pandai.
5. Prompts and Cues Guru prasekolah mengajar “kelinci pergi di
sekitar lubang dan melompat-lompat
kedalamnya” seperti juga mereka belajar
mengikat tali sepatunya.
Prinsip Instruksi dalam Teori Vygotsky:
a Menanamkan bahwa aktivitas belajar adalah menghubungkan kata-kata
dengan kebudayaan asli.
b Menciptakan bahwa aktivitas belajar adalah termasuk berinteraksi dengan
siswa.
c Mendorong siswa untuk menggunakan bahasa untuk menggambarkan
perkembangan pemahaman mereka.
d Menciptakan bahwa aktivitas belajar adalah “zones of proximal development”
e Menyediakan instruksi untuk membantu memajukan proses mengajar dan
perkembangan siswa.
4. Teori Perkembangan Bahasa Acquisition
Keterampilan anak dalam berbahasa sangatlah beragam karena dipandang dari
pemerolehan bahasa itu sendiri. Kita akan mendiskusikan empat teori yakni
pandangan behaviorist, social cognitive, nativist, dan sociocultural dari bahasa yang
diperoleh.
a. Pandangan Behaviorist
Tingkah laku menjelaskan perkembangan bahasa dengan mengusulkan bahwa
penguatan untuk member contoh suara dan kata-kata (Skinner, 1953,1957).
Memberikan penguatan yang lebih atas usaha anak mengembangkan bahasanya.
Sebagai contoh :
Seorang anak berusia 2 tahun mengambil bola dan berkata “boya”, Ibunya
tersenyum dengan lebar dan berkata “anak pintar! Bola”. Anak kecil itu
Page 15
15
kemudian mengulang dengan menyebut “Boya”, Sang Ibu memberi respon
dengan berkata “sangat pintar”.
b. Pandangan Sosial Kognitif
Teori pendekatan sosial kognitif menekankan pada peran modeling atau
contoh, yang akan anak tiru untuk kedewasaan bahasanya, penguatan, dan umpan
balik yang memperbaiki (Bandura, 1986, 2001). Sebagai contoh percakapan antara
Ayah dan seorang anak:
“Tolong berikan Ayah roti”, anak menjawab “roti, Ayah”. Ayah memberi
respon dengan berkata “pintar” “Adek memberikan Ayah Roti”.
Kedua pandangan ini (behavioris dan sosial kognitif) membuat rasa intuisi.
Kemungkinan anak akan melakukan proses pembelajaran beberapa aspek bahasa
dengan mengamati dan mendengarkan dari orang lain, mencoba sendiri, dan dapat
memperkuat (Owens, 2005).
c. Teori Nativist
Nativist theory assert that human all are genetically “wired’ to learn
language and exposure to language triggers this development. Noam Chomsky
(1972, 1976) yang kemudian disebut sebagai “bapak” teori nativis, memberikan
hipotesis bahwa keahlian bahasa bawaan menyediakan kecenderungan anak untuk
belajar bahasa. Menurut Chomsky language acquisition device (LAD) adalah set
genetic dari proses keterampilan berbahasa yang berguna bagi anak untuk memahami
dan menggunakan kebiasaan mengatur logat bahasa. Sebagai contoh berikut adalah
percakapan antara seorang anak usia 6 tahun (kakak), dan anak usia 3 tahun (adik)
yang sedang membahas tentang lebih bahaya atau jelek mana antara lupa untuk
memberi makan pada atau terlalu banyak memberi makan pada ikan Arwana:
Kakak : Lebih jelek lupa memberi makan pada ikan.
Adik : Tidak, jelek memberi makan terlalu banyak.
Kakak : Kamu harusnya tidak berkata jelek, tapi berkata lebih jelek.
Adik : Tapi itu jelek memberi makan terlalu banyak pada ikan.
Kakak : Tidak seperti itu, yang benar lebih jelek lupa memberi makan.
d. Teori Sosial Budaya
Anak belajar berbahasa dengan berlatih dari interaksi rutin sehari-hari, dan
terlihat bahwa perkembangan bahasa tidak terlihat sukar karna itu merupakan
aktivitas harian. Dalam membantu anak kecil mengembangkan bahasa, orang dewasa
membiasakan anak untuk mengoperasikan bahasanya ketika mereka berada dalam
Page 16
16
zona proximal development. Bayi berkata dan Ibu menggunakan kata sederhana,
kalimat singkat, dan perubahan suara serta menyederhanakan isi pesan. Perubahan ini
menyediakan bentuk scaffolding bahasa yang memfasilitasi komunikasi dan
perkembangan bahasa. Seorang anak mengembangkan keterampilan bahasa, mereka
menggunakan lebih banyak kata, dan kalimat yang lebih kompleks. Dengan ini, maka
anak sedang berproses dalam zona proximal development.
e. Tingkat Language Acquisition.
1) Permulaan Bahasa atau Early Language
Tingkat bahasa dimulai dari interaksi yang dilakukan orang tua dengan bayi
ketika bayi mulai mendengkur, berdeguk, dalam buaian. Interaksi ini merupakan
fondasi untuk perkembangan bahasa anak di masa yang akan datang.
Kata pertama yang diucapkan anak antara usia 1-2 tahun disebut holophrases,
yakni mengungkapkan satu- dua kata yang membawa banyak makna untuk
melengkapi kalimat anak. Sebagai contoh:
“Mobil Mama”. “Itu mobil mama”
“Pisang”. “Aku ingin pisang”
“Jangan pergi”. “Jangan tinggalkan aku sendiri dengan
babysitter yang menyeramkan ini”.
Selama masa ini anak juga belajar untuk membedakan intonasi
misalnya:
“Roti”. “Itu Roti”
“Roti!”. “Aku ingin roti”
Overgeneralization terjadi ketika seorang anak menggunakan sebuah kata
untuk menunjuk lebih luas dari objek yang tepat. Contohnya ketika ia mengunakan
kata mobil, ia juga menunjuk bus, truk, dan kereta api (Berk, 2006).
Undergeneralization lebih berusaha untuk mendeteksi, terjadi ketika mengunakan
kata terlalu sedikit atau sempit, seperti menggunakan “kitty” untuk kucing khusus tapi
tidak untuk kucing secara umum.
Early Language Development dapat kita lihat lebih jelas dalam table dibawah
ini:
Tabel 2. Perkembangan Bahasa Selama Masa Bayi
Usia Pencapaian Vokal
4 minggu Tangisan ketidaksenangan.
12 minggu Mendengkur pulas, memekik, mendeguk,
kadang-kadang bunyi vokal.
20 minggu Menyatakan ocehan pertama, bunyi vokal lebih
Page 17
17
banyak, tapi kadang-kadang hanya huruf mati.
6 bulan Memperlihatkan ocehan yang lebih baik, bunyi
vokal mulai penuh dan banyak huruf mati.
12 bulan Ocehan meliputi nyanyian atau intonasi bahasa,
mengungkapkan isyarat emosi, memproduksi
kata-kata pertama, anak memahami beberapa
kata dan perintah sederhana.
18 bulan Mengucapkan kosakata antara 3 sampai dengan
50 kata, ocehan diselingi dengan kata-kata yang
riil, kadang-kadang kalimat terdiri dari 2 dan 3
kata.
24 bulan Mengucapkan kosakata antara 50 sampai dengan
300 kata, walaupun tidak semua digunakan
dengan teliti, ocehan menghilang, banyak
kalimat yang terdiri dari 2 kata atau lebih
panjang, tata bahasa belum benar, anak
memahami secara sangat sederhana bahasa yang
dibutuhkannya.
(Mar’at,S, 2008)
2) Fine- Tuning Language
Anak berusaha untuk memperluas dan menemukan “fine-tune” pada awal
berbicara (Berk, 2004, 2006). Anak berusaha untuk menggunakan kata kerja sesuai
dengan waktu kejadiannya, seperti:
“aku sedang makan”
“Dia melihat”
“Jimmy berangkat”
“Dia melakukannya”
Seperti diungkap oleh Piaget (1970-1977) bahwa aktivitas membantu
menerangkan ungkapan. “He goed home” dalam skema sebelumnya hanya kata “He
go Home” sekarang ditambah imbuhan –ed untuk kejadian yang telah terjadi atau
masa lampau.
3) Increasing Language Complexity
Sekitar usia 3 tahun, seorang anak mulai menggunakan kalimat secara
strategis. Anak mulai membalik subjek dan kata kerja untuk membuat bentuk
pertanyaan, dan memodifikasi pernyataan untuk kalimat negatif.
4) Mempromosikan Perkembangan Bahasa Acquisition di Ruang Kelas
Ada tiga masukan yang dapat dilakukan seorang pendidik yakni:
a. Mendorong siswa untuk menggunakan bahasa untuk mendeskripsikan
pemahaman mereka pada topik- topik pelajaran di sekolah.
Page 18
18
b. Mengingatkan siswa untuk selalu berjuang atau berusaha mengatakan
dan memahami kedalam bagian yang umum sesuai dengan tahap
perkembangan belajar.
c. Menyediakan Scaffolding untuk siswa dengan memberikan latihan
berbahasa.
5. Remaja dan Dunia Populer
Masa remaja merupakan masa-masa dimana seseorang sedang mencari
identitas, ingin mendapat pengakuan, dan masih sangat labil sehingga remaja sering
memiliki hasrat untuk meniru segala sesuatu yang dianggapnya menarik tanpa melihat
sisi negatif yang akan ditimbulkan. Menurut Erikson (1968), “Remaja memasuki
tahapan psikososial yang disebut sebagai identity versus role confusion. Hal yang
dominan terjadi pada tahapan ini adalah pencarian dan pembentukan identitas.
Remaja ingin diakui sebagai individu unik yang memiliki identitas sendiri yang
terlepas dari dunia anak-anak maupun dewasa. Penggunaan bahasa baru ini
merupakan bagian dari proses perkembangan mereka sebagai identitas independensi
mereka dari dunia orang dewasa dan anak-anak”. Hal itulah yang mendorong remaja
untuk menggunakan bahasa alay. Mereka menganggap bahwa bahasa alay itu sangat
menarik. Pada awalnya mungkin mereka hanya mendengar bahasa alay dari orang
lain dan tidak mengerti apa maksud dari bahasa alay yang orang lain katakan tersebut,
namun karena mereka merasa bahasa alay tersebut sangat menarik, maka mereka
berusaha untuk mencari tahu dan mempelajarinya. Setelah itu mereka akan
merealisasikan bahasa alay tersebut dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Selain itu, remaja tidak ingin selalu terpaku dalam bahasa baku, yang harus
digunakan dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah yang dianjurkan. Seperti yang
diketahui bahwa remaja tidak begitu suka dengan adanya aturan-aturan. Itulah
sebabnya mengapa mereka lebih banyak memilih menggunakan bahasa alay daripada
bahasa Indonesia. Apalagi beberapa dari mereka beranggapan bahwa bahasa alay
adalah bahasa gaul, sehingga seseorang yang tidak menggunakannya akan dianggap
kuno, ketinggalan jaman, bahkan ‘ndeso’ yang berarti kampungan. Dengan adanya
pernyataan tersebut, maka remaja akan semakin tertantang dan berlomba-lomba untuk
mencari tahu bahkan menciptakan sendiri bahasa-bahasa yang menurut mereka pantas
untuk disebut sebagai bahasa alay dan dapat digunakan oleh remaja-remaja lainnya.
Page 19
19
Populer atau tidaknya bahasa itu tidak dilihat dari pelaku-pelaku populer,
tetapi dipandang dari sudut pandang orang yang berada di luar dunia populer sehingga
memungkinkan lahirnya tawaran keanekaragaman dan perbedaan ketika diinterpretasi
ulang oleh masyarakat di luar dunia populer itu sendiri. Meskipun demikian, budaya
populer bukan diidentifikasi oleh rakyat secara keseluruhan, melainkan oleh orang
lain yang berada di luar dunia populer dan masih menyandang dua makna kuno, yaitu
jenis karya inferior dan karya yang secara sengaja dibuat agar disukai orang
(Williams, 1985: 237). Terkait dengan penjelasan Williams, Strinati (2009: 25-26)
mengungkapkan tiga pendapat yang menjadi inti teori budaya populer pada abad
kedua puluh yaitu; pertama, apa atau siapa yang menentukan budaya populer, kedua,
berkenaan dengan pengaruh komersialisasi dan industrialisasi terhadap budaya
populer, dan ketiga, menyangkut peran ideologis budaya populer itu sendiri.
Gaya hidup populer erat kaitannya dengan remaja. Pada umumnya, gaya hidup
populer biasanya melekat pada remaja yang memiliki kebiasaan hidup glamour, dan
hura-hura. Gaya hidup pada remaja juga merupakan sebuah identitas kelompok
dengan tipologi gaya hidup tertentu, hal ini dikarenakan gaya hidup dapat dipahami
sebagai pola atau bentuk kehidupan sehari-hari dari seseorang atau sekolompok
remaja untuk mengekspresikan dirinya yang terkadang disertai pula dengan harapan
untuk bisa menjadi bagian dari kelompok tertentu. Gaya hidup ini dapat diketahui
melalui kegiatan atau aktivitas, minat dan opini ataupun dari sikap remaja itu sendiri
terhadap sesuatu hal.
Remaja dicitrakan sebagai konsumen utama dalam penyebar luasan produk-
produk populer. Gaya hidup remaja yang cenderung mengikuti arus perkembangan
zaman menjadi penanda utama akan hadirnya persepsi demikian. Pemasaran produk-
produk populer untuk remaja, sebagai kategori yang berbeda dengan orang dewasa
dan anak-anak telah ada sejak kata remaja ditemukan oleh industri periklanan
Amerika pada tahun 1941, hingga tingkat pemasarannya menjadi berubah dramatis
ketika kehidupan remaja menjadi komersial (Quart, 2008: xx).
Saat ini, remaja adalah korban produksi barang-barang mewah. Remaja masa
kini tumbuh dan berkembang pada masa dimana merek dan popularitas merajalela.
Mereka adalah kelompok yang mudah dieksploitasi oleh dunia populer. Kehidupan
remaja dipengaruhi oleh pemasaran dan promosi, sebagai konsumen produk-produk
populer dan sebagai anak-anak yang memperhatikan identitas diri dan menampilkan
citra diri melalui apa yang mereka gunakan.
Page 20
20
Iklan, dan televisi, yang menampilkan remaja sebagai model-model mereka
selalu menambahkan citra populer dan sukses dengan penggunaan merek-merek
terkenal ataupun bentuk tubuh dan tampilan wajah layaknya seorang bintang.
Terciptanya konsep kecantikan ala putri-putri dalam dongeng bagi remaja putri,
semakin menjadikan mereka sebagai penggila style. Tak jarang kemudian ditemukan
remaja yang begitu tergila-gila dengan merek tertentu hanya karena merek-merek
tersebut dipakai oleh artis idola mereka, hingga menjadikan mereka sebagai
‘penjiplak’.
Persoalan yang tidak jauh berbeda juga tampak dalam bacaan-bacaan populer
masa kini seperti majalah dan novel remaja yang menggambarkan konsep berbahasa
yang ebih modern. Perbincangan seputar bacaan-bacaan populer, pada akhirnya
menghadirkan wacana baru tentang bagaimana memaknai bahasa gaul dalam
kontestasi medan budaya populer, dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
budaya populer yang cenderung dekat dengan remaja. Artinya, remaja dibayangkan
sebagai subjek aktif yang juga bisa mencitrakan dirinya dalam tradisi media kapitalis
dan dekat dengan gaya hidup. Hal tersebut pada dasarnya berasal dari satu
pemahaman bahwa untuk melawan hegemoni populer, para remaja tidak harus
menghindari dunia kapitalis mainstream, tetapi bagaimana sebisa mungkin
menegosiasikan dan mengartikulasikan kepentingan mereka dalam representasi-
representasi populer, baik berupa musik, iklan tv, maupun bacaan-bacaan populer.
Siregar (2004) mengungkapkan hal yang juga tidak terpisahkan dari bacaan-
bacaan populer adalah penggunaan gaya bahasa dialek remaja Jakarta. Penggunaan
dialek tersebut tidak hanya dalam dialog yang fungsinya menciptakan suasana dan
mengacaukan lingkungan budaya. Dengan kata lain, terdapat kecenderungan
penggunaan bahasa yang keluar dari tujuan komunikasi dimana bahasa tidak hanya
untuk menampung cerita ataupun menghidarkan keindahan, tetapi untuk menyiratkan
simbol bahwa bacaan populer merupakan produk kelas tertentu. Keterampilan
berbahasa semacam itu mencerminkan adanya “pendekatan” dengan suasana Jakarta.
Budaya populer tidak lain dari formulasi impian massanya, gambaran remaja dalam
majalah, film, dan bacaan popular seperti novel semata-mata dimaksudkan untuk
terjual di pasaran yang selamanya akan menjual mimpi-mimpi indah dan kesenangan
sesaat mampu mengurangi beban dan memberikan hiburan. Kodrat budaya populer
selamanya hanya sampai pada titik penyampaian impian dan hiburan, impian yang
ditawarkan akan berfungsi sebagai eskapisme bagi massanya yang muncul dari
Page 21
21
kenyataan yang ada. Berawal dari menampilkan gaya berbahasa remaja Jakarta,
bahasa anak muda, atau dikenal pula sebagai bahasa gaul dalam iklan, televisi, dan
bacaan populer membentuk adanya ragam bahasa non formal yang kemudian hadir
dan dekat dengan dunia remaja.
Pada dasarnya, ada dua hal utama yang menjadi perhatian remaja, yaitu
identitas dan pengakuan. Penggunaan dan penulisan bahasa dengan ciri khasnya bisa
menjadi pembentukan kedua hal tersebut di atas. Terdapat dua alasan utama mengapa
remaja menggunakan bahasa tulis dengan ciri tersendiri, pertama, mereka
mengukuhkan diri sebagai kelompok sosial tertentu, yaitu remaja. Kedua, merupakan
sebuah bentuk perlawanan terhadap dominasi bahasa baku atau kaidah bahasa yang
telah mapan. Yang berarti bahwa remaja merasa menciptakan identitas dari bahasa
yang mereka ciptakan sendiri pula. Remaja sebagai kelompok usia yang sedang
mencari identitas diri memiliki kekhasan dalam menggunakan bahasa lisan maupu
tulis. Terdapat semacam keseragaman gaya yang kemudian menjadi gaya hidup
mereka. Remaja yang masih labil dan gemar meniru sangat mudah tertular dan
memilih menggunakan bahasa semacam ini dibanding menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Terlebih hadirnya anggapan bahwa bentuk-bentuk
bahasa tersebut adalah bahasa gaul, sehingga mereka yang tidak menggunakannya
akan dianggap ketinggalan jaman atau kuno.
C. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam
menggali sumber-sumber penelitian dilakukan dengan melakukan wawancara dan
studi kasus mengenai karakteristik perkembangan bahasa pada masa remaja dan
perkembangan bahasa prokem atau bahasa alay. Objek penelitian ini adalah
mahasiswa UPI Fakultas Ilmu Pendidikan dan mahasiswa UPI kampus Purwakarta,
dengan jumlah objek penelitian kurang dari 10% dari populasi.
Studi kasus dilakukan untuk mengetahui karakteristik perkembangan bahasa
pada masa remaja dan juga perkembangan bahasa prokem. Pada akhirnya dilakukan
analisis mengenai dampak perkembangan bahasa prokem terhadap perkembangan
bahasa dan implikasinya bagi layanan bimbingan dan konseling. Studi wawancara
dilakukan untuk menggali lebih dalam mengenai dampak dari penggunaan bahasa
prokem atau bahasa alay tersebut.
Page 22
22
D. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Tata bahasa Indonesia pada saat ini sudah banyak mengalami perubahan.
Masyarakat Indonesia khususnya para remaja, sudah banyak kesulitan dalam
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Perubahan tersebut terjadi dikarenakan adanya penggunaan bahasa baru yang mereka
anggap sebagai kreativitas. Jika mereka tidak menggunakannya, mereka takut
dibilang ketinggalan zaman atau tidak gaul. Salah satu dari penyimpangan bahasa
tersebut diantaranya adalah digunakannya bahasa Alay.
Penggunaan bahasa EYD biasanya dipergunakan dalam kontek yang formal
seperti pada institusi yang bersifat kelembagaan, sekolah, bahasa baku yang dikaitkan
dengan pendidikan. Namun dalam pelaksanaannya, remaja membuat pertentangan
antara standar dan vernakular bahasa sebagai komponen utama untuk menunjukan
gaya remaja. Fitur bahasa standar dan vernakular menampakkan diri dalam
penggunaannya sehari hari tidak hanya sebagai elemen yang siap pakai berbicara
tetapi sebagai sumber daya untuk pembangunan gaya yang lebih kompleks. Fitur
linguistik tertentu mungkin pada kesempatan indeks kategori sosial secara langsung
berbeda, tetapi lebih sering pada indeks sikap tertentu (seperti ketangguhan atau
keunggulan intelektual) yang konstitutif kategori tersebut (Ochs, 1991). Pada fitur
linguistik tunggal, daripada menyampaikan makna sendiri, dapat digunakan untuk
beberapa tujuan dan dikombinasikan dengan orang lain untuk menciptakan gaya kaya
makna sosial melalui penggunaan pilihan linguistik luas di alam kualitas suara dan
prosodi; fonologi segmental, morfologi, sintaksis, wacana, leksikon, dan tindak tutur,
kegiatan, dan acara. Gaya pidato pada gilirannya berhubungan dengan aspek-aspek
lain seperti gaya seperti pakaian (Eckert, 1980, 2000), cermin (Mendoza-Denton,
1996), teman sebaya, selera musik, wilayah, kegiatan, dan gerakan (Eckert, 1989)
untuk membuat identitas yang lebih unik.
Perkembangan bahasa alay muncul beriringan dengan perkembangan sosial
media seperti friendsters, yahoo masanger, miRC, facebook, bahkan sms. Objek
menggunakan bahasa alay karena mereka menganggap bahasa alay merupakan bahasa
gaul yang digandrungi oleh para remaja. Dari objek penelitian diketahui bahwa
remaja yang menggunakan bahasa alay mayoritas adalah perempuan, sangat sedikit
sekali ditemukan remaja laki-laki. Hal ini dikarenakan pengaruh kohesifitas diantara
remaja tersebut.
Page 23
23
Meskipun komunikasi remaja telah lama dipandang sebagai bermasalah,
sedikit yang diketahui tentang bagaimana remaja mengalami dan mendamaikan
beberapa aspek yang muncul dari diri dalam pengembangan komunikasi dan
keterampilan sosial, atau tepatnya bahasa apa memainkan peran dalam proses
tersebut. Selain itu, pendekatan teoretis perlu dipergunakan untuk memudahkan
pemahaman kita tentang masalah yang berkaitan dengan bahasa dan proses
komunikasi dan praktek "normal" remaja. Terlalu sering, remaja diberi label atau
stereotip menurut sebuah atribut tunggal atau karakteristik (misalnya, "alay",
“prokem” atau "kutu buku") yang menentukan keanggotaan kelompok dengan sedikit
pertimbangan diberikan kepada aspek alternatif individu yang memprediksi afiliasi
kelompok lain mampu mempengaruhi anggota penting dikaitkan (Giles & Coupland,
1991).
Bahasa Alay secara langsung maupun tidak telah mengubah masyarakat
Indonesia untuk tidak mempergunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Sebaiknya bahasa Alay dipergunakan pada situasi yang tidak formal seperti ketika
kita sedang berbicara dengan teman. Atau pada komunitas yang mengerti dengan
sandi bahasa Alay tersebut. Kita boleh menggunakannya, akan tetapi jangan sampai
menghilangkan budaya berbahasa Indonesia. Namun dengan demikian keberadaan
Bahasa Indonesia juga bisa teruji dengan hal-hal yang baru sehingga bisa lebih
menguatkan Bahasa Indonesia itu sendiri.
Kebanyakan dari remaja yang menggunakan bahasa alay tidak begitu mengerti
dan memahami pentingnya berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Jika hal itu
dibiarkan, maka akan berdampak buruk bagi pertumbuhan dan perkembangan bahasa
Indonesia di negara ini. Antara lain, remaja akan sulit untuk berbahasa Indonesia
dengan baik dan benar. Padahal disekolah maupun ditempat kerja nanti kita
diharuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Tidak
mungkin jika ulangan atau tugas dikerjakan menggunakan bahasa alay. Selain itu,
penggunaan bahasa alay dapat mengganggu siapapun yang membaca dan mendengar
kata-kata yang dimaksud. Bahkan bisa terjadi kesalahpahaman antar orang yang
berkomunikasi atau bisa saja terjadi salah persepsi, karena sulit dipahami saat bahasa
tersebut digunakan sebagai pengucapan dan sulit dibaca saat digunakan sebagai
penulisan. Karena tidak semua orang mengerti akan maksud dari kata-kata alay
tersebut. Hal itu sangat memusingkan dan membutuhkan waktu yang lama untuk
sekedar memahaminya.
Page 24
24
Dengan penggunaan bahasa alay oleh remaja yang semakin berkembang ini,
bisa jadi suatu saat nanti anak cucu kita (masyarakat) sudah tidak lagi mengenal
bahasa baku dan tidak lagi memakai EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) sebagai
pedoman dalam berbahasa, kemudian menganggap remeh bahasa Indonesia. Jika hal
ini terus berlangsung, dikahawatirkan akan menghilangkan budaya berbahasa
Indonesia dikalangan remaja bahkan dikalangan anak-anak. Padahal bahasa Indonesia
merupakan bahasa resmi negara kita dan juga sebagai identitas bangsa. Oleh karena
itu, kita sebagai generasi penerus bangsa, harusnya mampu menjadi tonggak dalam
mempertahankan bangsa Indonesia ini. Salah satu yang bisa kita lakukan adalah
dengan menjaga, melestarikan, dan menjunjung tinggi bahasa Indonesia. Seperti
dalam ikrar ketiga Sumpah Pemuda yang berbunyi, “Kami putra-putri Indonesia
menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.
Dari temuan data mengenai komunikasi remaja yang telah diungkapkan, jelas
bahwa bahasa memainkan peran penting dalam mendefinisikan identitas sosial
remaja. Dengan menggunakan bahasa yang Idio-syncratic dan unik untuk kelompok
usia tertentu, tampak bahwa kaum remaja belajar untuk mendefinisikan diri mereka
sendiri, setidaknya sebagian, melalui interaksi verbal dengan orang lain. Namun,
meskipun kekhasan kosakata, ada penelitian yang menunjukkan bahwa hasil dari
interaksi sering bergantung banyak pada situasi atau konteks interaksi seperti pada
keterampilan komunikasi individu yang bersangkutan (Drury, Catan, Dennison, &
Brody , 1998). Misalnya, keluarga dan kelompok sebaya menyediakan remaja dengan
konteks di mana untuk mengembangkan keterampilan sosial seperti memulai
interaksi, menetapkan norma-norma dan nilai-nilai, dan mendapatkan dukungan untuk
pengungkapan diri (Brown, 1990). Bahkan, ada banyak penelitian untuk
menunjukkan bahwa perilaku kelompok memiliki tujuan mendasar bagi remaja,
terutama dalam hal pembangunan sosial dan harga diri (Buhrmester, 1992; Cotterell,
1996; Heaven, 1994; Palmonari, Pombeni, & Kirchler, 1990 ). Karena setiap individu
memiliki beberapa keanggotaan kelompok, salah satu yang mungkin menjadi lebih
atau kurang menonjol dalam situasi tertentu, pemahaman teoritis yang konsisten
tentang bagaimana arti remaja diri mendorong keterampilan komunikasi mereka dan
sebaliknya akan tampak menguntungkan. Akibatnya, penulis mengusulkan bahwa
pertimbangan teori antarkelompok menawarkan perspektif yang unik dari fungsi dan
dampak dari keanggotaan kelompok pada remaja.
Page 25
25
Kurangnya kesadaran untuk mencintai bahasa di negeri sendiri berdampak
pada tergilasnya atau lunturnya bahasa Indonesia dalam pemakaiannya dalam
masyarakat. Salah satu kebijakan untuk tetap melestarikan bahasa nasional adalah
pemerintah bersama segenap lapisan masyarakat menjunjung tinggi bahasa Indonesia
agar tetap menjadi bahasa yang dapat dibanggakan dan sejajar dengan bahasa-bahasa
di seluruh dunia. Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi negara kita dan juga
sebagai identitas bangsa. Untuk itulah, kita sebagai generasi muda, harus cermat
dalam memilih serta mengikuti trend yang ada. Jangan sampai merusak budaya
bahasa kita sendiri.
Selain itu, kurangnya kesadaran para remaja akan kecintaannya terhadap
bahasa Indonesia yang baik dan benar berdampak pada pergeseran budaya bahkan
lunturnya identitas budaya. Sapir-Whorf (Matsumoto, 2000: 3230 memandang bahwa
bahasa yang kita gunakan akan berhubungan dengan proses berpikir yang kita miliki.
Hipotesis Sapir-Whorf khususnya penting bagi para ahli psikologi lintas budaya yang
meneliti bahasa karena setiap budaya biasanya diasosiasikan dengan satu bahasa
tertentu sebagai alat ekspresinya, dan setiap bahasa biasanya diasosiasikan dengan
sebuah budaya tertentu. Hal ini cukup jelas bahwa bahasa mempunyai keterkaitan
yang sangat erat dengan budaya. Bagaikan dua sisi mata uang, bahasa dan budaya
merupakan dua hal dalam satu sistem yang tidak daapat dipisahkan. Sapir,
memandang bahwa perjalan sejarah bahasa berjalan beriringan dengan sejarah
budaya. Pertanyaan terkait dengan mana yang lebih dulu muncul sebagai sebab,
apakah budaya atau bahasa, tentunya merupakan pertanyaan yang sangat filosofis,
namun satu hal yang harus kita perhatikan adalah penekanan bahwa sejarah kedua
variabel ini berjalan secara beriringan. Dengan kata lain, bahasa dan budya
merupakan hal yang saling mempengaruhi.
Dari hasil studi lapangan, ditemukan sebuah permasalahan bahwa objek
penelitian yang menggunakan bahasa alay atau prokem terjadi karena mereka kurang
memiliki rasa kecintaan terhadap budaya lokal mereka sendiri. Bahkan ada diantara
objek penelitian yang kurang memiliki rasa kebanggaan terhadap bahasa ibu mereka.
Ada satu persepsi dan asumsi diantara remaja yang menjadi sampel yaitu bila mereka
tidak menggunakan bahasa alay dan bahasa prokem maka mereka dianggap tidak gaul
atau tidak mengikuti perkembangan jaman. Temuan ini ternyata menjadi sebuah
budaya dikalangan para remaja ketika mereka masih berada di lingkungan sekolah
baik setingkat SMP maupun SMA. Namun ketika objek penelitian memasuki
Page 26
26
Perguruan Tinggi, objek penelitian dengan kesadaran sendiri meninggalkan bahasa
alay tersebut.
Dampak yang terjadi yaitu objek mengalami kesulitan dalam menulis karya
ilmuah yang membutuhkan penggunaan bahasa yang bersifat EYD. Bahkan ketika
objek melakukan praktek mengajar di lapangan, mereka menemukan kesulitan dalam
mengutarakan pikiran dan menyampaikan bahasa yang baik kepada peserta didiknya.
Hal ini dikhawatirkan dapat menjadi sebuah dampak yang dapat ditiru oleh peserta
diidiknya dan menjadi sebuah budaya yang tidak layak.
Bahasa merupakan sebuah kemampuan yang diwarisi secara kultural, bukan
secara biologis dengan landasan instingtif. Ketika suatu hal diwarisi secara kultural,
maka dapat dikatakan bahwa hal terebut tentu melibatkan interaksi sosial sebagai
salah satu elemen utama dalam sebuah sistem kebudayaan.
E. Rekomendasi Untuk Penelitian Berikutnya dan Layanan Bimbingan dan
Konseling berbasis Budaya
Berdasarkan temuan dan analisis di lapangan tampak jelas bahwa salah satu
faktor penentu yang paling penting dari kualitas komunikasi remaja adalah situasi
atau lingkungan di mana itu terjadi. Namun, sedikit yang mengerti tentang cara-cara
di mana konteks mempengaruhi interaksi, meskipun ada indikasi bahwa interaksi
merupakan faktor penting. Sebagai contoh, konflik tampaknya memiliki dampak yang
berbeda tergantung pada interaksi antara remaja dan interaksi lainnya, dan konflik
dalam interaksi yang berkelanjutan melayani tujuan yang berbeda dibandingkan
konflik dalam situasi yang lebih formal atau sementara. Penelitian masa depan harus
mempertimbangkan pentingnya konteks komunikasi remaja.
Hal ini juga jelas bahwa remaja menggunakan bahasa dan proses komunikatif
lainnya untuk memasukkan remaja lain dan untuk mengecualikan anggota luar
kelompok. Identitas kelompok bagi remaja memiliki arti yang sangat penting.
Penerimaan oleh teman sebaya sangat penting dan isolasi harus ditakuti. Dengan
demikian, perilaku hubungan dengan kelompok menjadi penting. Bahasa adalah salah
satu penanda kelompok tersebut memiliki peran yang sangat signifikan dan
penggunaan fitur linguistik tertentu merupakan hasil yang tidak dapat dipisahkan.
Meskipun deskripsi dari perilaku komunikatif remaja sangat luas, tidak selalu jelas
siapa mengakomodasi siapa dan faktor apa yang menentukan akomodasi itu.
Misalnya, orang dewasa (out-group) menggunakan bahasa remaja kadang-kadang
Page 27
27
dipandang sebagai masalah bagi pendengar remaja. Platt dan Weber (1984)
berpendapat bahwa upaya konvergensi pidato mungkin meremehkan karena gangguan
dari strategi budaya atau gaya asing, tetapi juga, mungkin lebih penting, karena
keanggotaan out-group. Mengapa hal ini harus terjadi belum sepenuhnya diperiksa.
Mungkin itu dipandang sebagai pelanggaran privasi atau menyerang wilayah remaja.
Namun, di lain waktu mungkin berguna untuk menjembatani kesenjangan antara
generasi atau kelompok. Hal ini menyebabkan beberapa pertanyaan tentang isu-isu
kepemilikan: Kapan diterima untuk orang dewasa, guru, orang tua, dan sebagainya,
menggunakan bahasa remaja dan kapan tidak? Mengingat bahwa ada banyak bentuk
bahasa remaja, bagaimana perbedaan yang dibuat antara kelompok remaja dari segi
bahasa? Misalnya, Dalam situasi di mana beberapa grup yang menonjol, apa faktor
menentukan keanggotaan mendominasi?
Ini hanya beberapa pertanyaan yang muncul dari pertimbangan penggunaan
bahasa remaja dari perspektif antarkelompok. Jelas, ada banyak link penelitian
potensi lain yang dapat dikembangkan dari usulan ini tentatif.
Khusus mengenai upaya penanganan dalam kontek bimbingan dan konseling
berbasis budaya, penguasaan bahasa Indonesia yang dimaksud disini adalah upaya-
upaya yang dilakukan oleh setiap individu dalam meningkatkan penguasaan bahasa
Indonesia guna meninggalkan bahasa alay.
Pertama, tanamkan kesadaran (motivasi) bahwa penguasaan bahasa Indonesia
dengan baik merupakan modal dasar untuk sukses di segala bidang.
Kedua, usahakan sebanyak mungkin untuk membaca, baik surat kabar,
majalah, buku-buku pelajaran, terlebih lagi buku-buku tentang kebahasaan.
Biasakanlah dalam kegiatan sehari-hari selalu ada waktu untuk membaca, walaupun
hanya beberapa menit, sebab dengan banyak membaca wawasan kita akan semakin
bertambah, termasuk dalam hal kebahasaan.
Ketiga, usahakan agar bersikap kritis dalam membaca, artinya jangan hanya
asal membaca, tapi juga harus diperhatikan dan dimengerti dengan baik bentuk
bahasa yang dibaca, struktur kalimatnya,bentuk kata-katanya, ejaannya, tata tulisnya,
dan sebagainya.
Keempat, hal lain yang harus diperhatikan oleh penutur bahasa Indonesia
adalah berpegang teguh peda prinsip “berbeda bentuk berbeda arti”. Dengan prinsip
ini, orang akan selalu sadar dalam memilih penggunaan kata-kata, apakah akan
Page 28
28
menggunakan kata-kata baku yang sesuai ejaan atau kata nonbaku yang tidak sesuai
dengan ejaan.
Selain keempat hal yang telah dipaparkan, layanan bimbingan dan konseling
perlu mempertegas posisi budaya lokal agar para remaja memiliki kebanggaan diri
dan mencintai budayanya sendiri.
F. Reverensi Buku
Cotterell, J. (1996). Social networks and social influences in adolescence. London:
Routledge.
Eckert, P. (1989). Jocks and burnouts: Social categories and identity in the high
school. New York: Teachers College Press.
Erikson, E. H. (1968). Identity: Youth and Crisis. New York: Norton.
Matsumoto, D. (2000). Culture and Psychology: People Around The World. Belmont,
CA: Thomson Learning Inc.
Siregar, A. (2004). Popularisasi Gaya Hidup: Sisi Remaja dalam Komunikasi Massa.
Lifestyle Ecstasy. Idi Subandi Ibrahim (ed). Yogyakarta: Jalasutra.
Strinati, D. (2009). Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer.
Penerjemah Abdul Muchid.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Safriandi. (2009). Pemerolehan Bahasa Pertama. [Online].
Tersedia:http://nahulinguistik.wordpress.com/2009/04/14/pemerolehan-
bahasa-pertama/ [22 oktober 2012]
Widhhiarso, W. (2005). Pengaruh Bahasa terhadap Pikiran : kajian hipotesis
Benyamin Whorf dan Edward Sapir. Fakultas Psikologi UGM.
Wijaya, M. (2011). Hubungan Berbahasa, Berpikir dan Berbudaya. Makalah pada
Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Baturaja: Tidak Diterbitkan.
Williams, R. (1960). Cultural and Society. New York: Anchor Book
Jurnal dan Hasil Penelitian
Brown, B. B. (1990). Peer groups and peer cultures. In S. Feldman & G. R. Elliott
(Eds.), At the threshold: The developing adolescent (pp. 171-196). Cambridge,
MA: Harvard University Press.
Bucholtz, M. (1999). “Why be normal?”: Language and identity practices in a
community of nerd girls. Language in Society, 28, 203-223.
Page 29
29
Buhrmester, D. (1992). The developmental courses of sibling and peer relationships.
In F. Boer & J. Dunn (Eds.), Children’s sibling relationships: Developmental
and clinical issues (pp. 19-40). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum.
Drury, J., Catan, L., Dennison, C., & Brody, R. (1998). Exploring teenagers’ accounts
of bad communication: A new basis for intervention. Journal of Adolescence,
21, 177-196.
Eckert, P. (1980). Clothing and geography in a suburban high school. In Conrad
Kottak (Ed.), Researching American culture (pp. 139-145). Ann Arbor:
University of Michigan Press.
Eckert, P. (2000). Adolescent language. In E. Finegan & J. Rickford (Eds.), Language
in the USA. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Heaven, P.C.L. (1994). Family of origin, personality and self-reported delinquency.
Journal of Adolescence, 17, 445-459.
Mendoza-Denton, N. (1996). Muy macha: Gender and ideology in gang girls’
discourse about makeup. Ethnos, 6, 91-92.
Ochs, E. (1991). Indexing gender. In A. Duranti & C. Goodwin (Eds.), Rethinking
context (pp. 335-358). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Palmonari, A., Pombeni, M. L., & Kirchler, E. (1990). Adolescents and their peer
groups: A study on the significance of peers, social categorization processes
and coping with developmental tasks. Social Behavior, 5, 33-48.
Platt, J., & Weber, H. (1984). Speech convergence miscarried: An investigation into
inappropriate accommodation strategies. International Journal of the
Sociology of Language, 46, 131-146.