Page 1
H a l a m a n | 1
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
STUDI DESKRIPTIF EFEKTIVITAS PELATIHAN PENCEGAHAN STUNTING MELALUI MEDIA DARING PADA PENDAMPING PKH DI BBPPKS PADANG REGIONAL I SUMATERA
Sunarti1
1 Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial – Padang, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstract
The case of stunting in children under five is one of the social problems that require special attention, especially in prevention and treatment efforts. Stunting is a problem that has a negative impact on various aspects, both for individuals who experience it, for families, the environment, and the impact in terms of nation-building. As a form of high commitment in efforts to reduce stunting, the central government has initiated a multi-sectoral approach through the synchronization of national, local, and community programs at the central and regional levels. To support the government's priority program to reduce stunting rates in Indonesia, the Ministry of Social Affairs through the Agency for Education, Research and Social Counseling (Badiklitpensos) in collaboration with the Tanoto Foundation prepare human resources (HR) for social welfare providers to participate in the prevention and treatment of stunting by improving the capabilities of the family of hope program companions through stunting prevention training that is carried out nationally. BBPPKS Padang as the UPT for the education and training sector of the Indonesian Ministry of Social Affairs, trained as many as 2000 PKH assistants related to stunting prevention materials. At a further level, PKH facilitators are expected to be able to provide education to beneficiary groups (KPM) regarding stunting problems and preventive measures. This study aims to describe the effectiveness of stunting prevention training that has been carried out by BBPPKS Padang to several companions. This is done to ensure that stunting prevention training has made a positive contribution in supporting stunting prevention programs, especially in forming the capabilities of PKH assistants who are at the forefront in providing stunting prevention education to PKH KPMs who are vulnerable to stunting issues. The results showed that the stunting prevention training held by BBPPKS Padang was at a fairly effective level. The effectiveness of stunting prevention training is seen from the performance of PKH facilitators in implementing training materials, feedback from training participants (PKH facilitators) on the materials provided during the training session, and feedback from beneficiary groups (KPM) on teaching materials delivered by PKH facilitators. Keywords: Training Effectivity, Online Training Methods, Stunting, PKH facilitators.
1. PENDAHULUAN
Kasus stunting pada anak balita
merupakan salah satu problematika sosial
yang memerlukan perhatian khusus,
utamanya dalam upaya pencegahan dan
penanganan. Kasus stunting merefleksikan
kegagalan pertumbuhan dalam mencapai
potensi pertumbuhan linier, yang diakibatkan
oleh kesehatan tidak optimal dan/atau
malnutrisi kronis sejak dan bahkan sebelum
kelahiran (Pulungan, 2016; Prendergast &
Humphrey, 2014). Stunting merupakan
masalah gizi kronis yang disebabkan oleh
asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup
lama akibat pemberian makanan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan gizi.
World Health Organization (WHO)
mengartikan stunting adalah keadaan tubuh
yang sangat pendek hingga melampaui defisit
2 SD (standard deviation) di bawah median
panjang atau tinggi badan populasi yang
menjadi referensi internasional (Trihono,
dkk., 2015; Probosiwi, Huriyati, & Ismail,
2017). Dampak kondisi stunting meng-
Page 2
H a l a m a n | 2
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
akibatkan perkembangan mental yang
terlambat, berkurangnya kapasitas intelektual
dan kinerja belajar di sekolah yang buruk.
Anak yang mengalami stunting cenderung
mengalami gangguan pertumbuhan pada fisik
dan juga pertumbuhan otak. Stunting
berdampak pada tingkat kecerdasan,
kerentanan terhadap penyakit dan penurunan
produktifitas (Megawati & Wiramihardja,
2019).
Titaley, dkk (2019) menyatakan bahwa
kejadian stunting terutama disebabkan oleh
asupan zat gizi yang kurang. Selain itu, faktor
hormon pertumbuhan dan riwayat penyakit
infeksi juga sebagai faktor predisposisi
stunting. Hasil penelitian Budiastutik &
Rahfiludin (2019) menunjukkan bahwa faktor
keturunan memengaruhi kejadian stunting
sebesar 15%. Selain itu, paparan asap rokok
maupun polusi asap juga dapat memengaruhi
kejadian stunting (Liang et al., 2020; Nadhiroh,
Djokosujono, & Utari, 2020). Disamping itu,
Paramashanti, dkk (2017) menyatakan bahwa
kejadian stunting turut dipengaruhi oleh
riwayat bayi baru lahir dengan berat badan
lahir rendah (BBLR), tidak ASI eksklusif, serta
tidak tepatnya dalam memberikan makanan
pendamping ASI (MP-ASI) dengan kebutuhan
bayi. Risiko tinggi memiliki tubuh pendek saat
remaja dapat dialami oleh balita dengan
stunting. Kondisi stunting yang dialami
terutama pada usia 0-2 tahun dan berlanjut
pada usia 4-6 tahun akan memengaruhi
keadaan fisik menjadi tetap pendek dengan
risiko 27 kali sebelum usia pubertas. Masa
kritis pertumbuhan dan perkembangan
terhadap risiko stunting, di mulai pada 1000
HPK (Young et al., 2018).
Badan Pusat Statistik (2019) mencatat
prevalensi stunting nasional mencapai 27,67%
yang bersumber dari data Studi Status Gizi
Balita Indonesia (SSGBI) pada tahun 2019,
angka tersebut telah mengalami penurunan
dari 30,8% ditahun 2018. Meskipun
mengalami penurunan, pencegahan dan
penanganan stunting menjadi salah satu
prioritas pembangunan nasional, mengingat
prevalensi di Indonesia masih tergolong tinggi
berdasarkan standar WHO. Selaras dengan
hasil survey yang dilakukan oleh Badan Pusat
Statistik, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan
pada tahun 2018 menunjukkan 30,8% atau
sekitar 7 juta balita menderita stunting.
Masalah gizi lain terkait dengan stunting yang
masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
adalah anemia pada ibu hamil (48,9%), Berat
Bayi Lahir Rendah atau BBLR (6,2%), balita
kurus atau wasting (10,2%) dan anemia pada
balita.
Dampak stunting tidak hanya dirasakan
oleh setiap individu yang mengalaminya,
tetapi juga berdampak terhadap aspek
perekonomian dan pembangunan bangsa. Hal
ini dikarenakan sumber daya manusia yang
stunting memiliki kualitas yang lebih rendah
dibandingkan dengan sumber daya manusia
normal (Yuliani et al., 2018). Oleh karena itu,
upaya penurunan stunting memerlukan
intervensi yang terpadu. Sejalan dengan
inisiatif Percepatan Penurunan Stunting,
pemerintah meluncurkan Gerakan Nasional
Percepatan Perbaikan Gizi (Gernas PPG) yang
ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor
42 tahun 2013 tentang Gernas PPG dalam
kerangka 1.000 HPK (Hari Pertama
Kelahiran). Selain itu, indikator dan target
penurunan stunting telah dimasukkan sebagai
sasaran pembangunan nasional dan tertuang
dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan
Rencana Aksi Nasional Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (TPB) 2017-2019.
Sebagai bentuk komitmen tinggi dalam
upaya penurunan stunting, pemerintah pusat
menginisiasi pendekatan multi-sektor melalui
Page 3
H a l a m a n | 3
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
sinkronisasi program-program nasional, lokal,
dan masyarakat di tingkat pusat maupun
daerah. Penurunan stunting ditetapkan
sebagai program prioritas nasional yang harus
dimasukkan ke dalam Rencana Kerja
Pemerintah (RKP). Lebih lanjut, pemerintah
telah menetapkan stunting sebagai program
prioritas nasional untuk diturunkan hingga
mencapai angka 14% di tahun 2024. Upaya
tersebut tercantum dalam Rencana Program
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun
2020-2024.
Dalam rangka mendukung program
prioritas pemerintah untuk menurunkan
angka stunting di Indonesia, Kementerian
Sosial melalui Badan Pendidikan, Penelitian
dan Penyuluhan Sosial (Badiklitpensos)
bekerja sama dengan Tanoto Foundation
menyiapkan sumber daya manusia (SDM)
penyelenggara kesejahteraan sosial untuk
berperan serta dalam pencegahan dan
penanganan stunting. SDM kesos tersebut
akan diberikan pelatihan agar dapat
memperoleh serta meningkatkan penge-
tahuan, keterampilan dan sikap yang
profesional dalam meningkatkan penge-
tahuan dan kesadaran masyarakat tentang
pentingnya pencegahan dan penanganan
stunting.
Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan
Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Padang
Regional I Sumatera merupakan salah satu
Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang berada
dibawah naungan Badan Pendidikan,
Penelitian dan Penyuluhan Sosial, memiliki
peran yang cukup besar dalam pengembangan
SDM Kementerian Sosial. Lebih lanjut, dalam
melaksanakan tugasnya BBPPKS Padang,
mengemban 3 (tiga) fungsi utama antara lain
pengembangan kediklatan, penyelenggaraan
diklat, dan tugas dukungan manajemen
kediklatan. Terkait pencegahan dan
penanganan stunting, pendamping program
keluarga harapan (pendamping PKH) sebagai
mitra kerja pemerintah, merupakan
komponen kunci yang dapat mendukung
kesuksesan program pencegahan dan
penanganan stunting. Mengingat pentingnya
peran pendamping PKH sebagai fasilitator
untuk memfasilitasi kelompok penerima
manfaat program keluarga harapan (KPM
PKH) menuju kondisi sejahtera, hal ini juga
terkait dengan pemenuhan kesejahteraan ibu
hamil dan/atau menyusui serta anak balita,
dan meningkatkan akses serta kualitas
pelayanan gizi dan kesehatan.
Menanggapi hal tersebut BBPPKS Padang
melaksanakan Pelatihan Pencegahan dan
Penanganan Stunting untuk mempersiapkan
pendamping PKH sebagai tenaga fasilitator
yang memiliki kemampuan profesional dan
berkualitas, memiliki pengetahuan,
kemampuan, keterampilan dan komitmen
yang tinggi demi mensukseskan program
kerja sama antara Kementerian Sosial RI
dengan Tanoto Foundation dalam upaya
penurunan angka stunting di Indonesia.
Berdasarkan studi pendahuluan yang
dilakukan, diketahui bahwa sepanjang tahun
2021 jumlah pendamping PKH yang harus
mengikuti Pelatihan Pencegahan dan
Penanganan Stuntng terhitung sebanyak 2000
orang pendamping PKH. Mereka tersebar di
berbagai wilayah Indonesia dengan karak-
teristik wilayah sangat berbeda-beda, dengan
fasilitas dan aksesibilitas jaringan internet
yang berbeda-beda.
Sehubungan dengan kondisi penyebaran
Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), sesuai
dengan Surat Edaran Menteri Sosial RI No. 2
Tahun 2020, yang salah satu intruksinya yaitu
tidak diperbolehkan untuk melakukan
kegiatan yang mengumpulkan orang dalam
jumlah banyak, oleh sebabnya diperlukan
pendekatan yang lebih inovatif, adaptif, serta
aman guna mencegah penyebaran wabah
Page 4
H a l a m a n | 4
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
Covid-19. Oleh sebab itu, metode pelatihan
yang diterapkan yaitu pendekatan metode e-
learning.
E-Learning merupakan singkatan dari
Electronic Learning, merupakan salah satu
alternatif dalam proses belajar mengajar,
dimana pembelajaran dilakukan secara daring
dengan menggunakan media elektronik
khususnya internet sebagai sistem pendukung
terlaksananya program pembelajaran. Linde
(Simanihuruk, dkk., 2019) berpendapat
bahwa e-learning merupakan bentuk
pembelajaran formal dan informal yang
menggunakan media elektronik seperti
internet, intranet, CD-ROM, video tape, DVD,
TV, PDA dan sebagainya. E-learning dalam
konteks pelatihan, dipandang sebagai salah
satu solusi untuk mengatasi keterbatasan
dalam melaksanakan proses pembelajaran
secara tatap muka di masa pandemi Covid-19.
BBPPKS Padang sebagai unit pelaksana
teknis kediklatan Kementerian Sosial RI,
menyelenggaraan pelatihan pencegahan dan
penanganan stunting bagi pendamping PKH
yang berada dalam lingkup kerja regional I
Sumatera yang terdiri dari delapan wilayah
kerja, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu,
dan Sumatera Selatan, BBPPKS padang
menerapkan strategi pelatihan menggunakan
model pembelajaran secara daring atau
berbasis e-learning yang dibagi menjadi 2
tahapan yaitu, asinkronus (pembelajaran
peserta secara mandiri melalui learning
management system - LMS) dan sinkronus
(pembelajaran tatap muka dengan fasilitator
melalui aplikasi media pertemuan daring).
Program pelatihan pencegahan dan
penanganan stunting berbasis e-learning,
bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan,
kompetensi, dan kapabilitas pendamping PKH
dalam menjalankan peran pendampingan
kepada kelompok penerima manfaat yang
rentan terhadap permasalahan stunting.
Setelah memperoleh pelatihan, pendamping
PKH diharapkan dapat memahami,
menginternalisasi, dan mengimplementasikan
seluruh materi pelatihan kepada kelompok
penerima manfaat program keluarga harapan
mengingat bahwa peran pendamping PKH
sebagai sumber daya manusia kesejahteraan
sosial (SDM Kesos) yang berfungsi untuk
memberikan edukasi dan pendampingan
kepada KPM PKH di wilayah kerjanya masing-
masing terkait isu-isu kesejahteraan sosial
termasuk didalamnya mengenai isu stunting.
Sehingga pada gilirannya, secara bertahap
persoalan stunting dapat terurai dan
menurunkan angka stunting khususnya di
wilayah kerja Regional I Sumatera dan
Indonesia secara umum.
Berkenaan dengan visi tersebut, sehingga
perlu untuk memastikan bahwa pelatihan
pencegahan stunting telah terlaksana secara
efektif. Penelitian ini bertujuan untuk
memberikan eksplanasi terkait efektivitas
pelatihan pencegahan stunting yang dilakukan
oleh BBPPKS Padang terhadap pendamping
PKH dalam lingkup wilayah kerja Regional I
Sumatera.
1.1. Definisi Pelatihan
Pelatihan (training) merupakan proses
pendidikan yang dilakukan secara terencana
dan sistematis dalam waktu relatif singkat
yang bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang
diperlukan suatu organisasi dalam usaha
mencapai tujuan. Pelatihan dapat diartikan
sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan
untuk memberi, memperoleh, meningkatkan,
dan mengembangkan potensi, produktivitas,
disiplin, dan etos kerja pada tingkat
keterampilan dan keahlian tertentu dengan
jenjang kualifikasi atau pekerjaan (Nadeak,
2019).
Page 5
H a l a m a n | 5
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
Kaswan (2011) mengungkapkan bahwa
pelatihan merupakan proses meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan melalui
rangkaian yang meliputi pengubahan sikap
sehingga mereka dapat melakukan
pekerjaannya secara lebih efektif. Pelatihan
merupakan usaha untuk meningkatkan,
mendukung, dan memperbaiki kinerja
pegawai pada suatu pekerjaan tertentu yang
sedang menjadi tanggung jawab yang melekat
pada peran atau posisinya dalam organisasi
(Gomes, 2003). Senada dengan hal tersebut,
Sastradipoera (2006) menjelaskan mengenai
konsep pelatihan sebagai salah satu bentuk
proses pembelajaran yang berhubungan
dengan upaya pengubahan tingkah laku
sumber daya manusia untuk kebutuhan dan
tujuan tertentu dari suatu organisasi.
1.2. Pelatihan Daring dan Learning
Management System
Pelatihan daring dapat dipahami sebagai
salah satu metode pelatihan jarak jauh yang
dilaksanakan melalui media virtual dengan
bantuan akses internet (Rumengan, dkk.,
2019). Proses pelatihan secara daring, erat
kaitannya dengan learning management
system (LMS). Learning Management System
adalah perangkat lunak yang digunakan untuk
menyampaikan materi pembelajaran dan
resouces multimedia secara online berbasis
web, mengelola kegiatan pembelajaran serta
hasil-hasilnya, memfasilitasi interaksi,
komunikasi, kerjasama antar pengajar dan
peserta didik.
LMS mendukung berbagai aktivitas
antara lain: administrasi, penyampaian materi
pembelajaran, penilaian, pelacakan dan
monitoring, kolaborasi dan komunikasi/
interaksi. Tugas utama LMS adalah
mendistribusikan pembelajaran melalui
internet mengatur siapa-siapa saja yang
berhak mengikuti suatu pelatihan, mengakses
materi pembelajaran, mengikuti ujian online,
dan melihat hasil dari proses pembelajaran
yang sudah selesai ataupun sedang
berlangsung (Suartama, dkk., 2014;
Rumengan, dkk., 2019).
1.3. Efektivitas Pelatihan
Suatu pelatihan dapat dikatakan efektif
jika hasil dari pelatihan tersebut dapat
mencapai tujuan organisasi, meningkatkan
kemampuan sumber daya dan dapat
meningkatkan proses-proses internal (Detty,
2009). Program pelatihan terbukti efektif jika
pelatihan tersebut mampu meningkatkan
kinerja, memperbaiki semangat kerja, dan
mendongkrak potensi organisasi (Kaswan,
2011). Noe (2002) juga menambahkan bahwa
pada umumnya suatu program pelatihan
dikatakan efektif jika hasil dari pelatihan
dapat memberikan manfaat bagi organisasi
dan peserta pelatihan itu sendri.
Sesuai dengan makna efektivitas tersebut
di atas maka pelatihan yang efektif merupakan
pelatihan yang berorientasi proses, dimana
organisasi tersebut dapat melaksanakan
program-program yang sistematis untuk
mencapai tujuan dan hasil yang dicita-citakan.
Sehingga pelatihan efektif apabila pelatihan
tersebut dapat menghasilkan sumber daya
manusia yang meningkat kemampuannya,
keterampilan dan perubahan sikap yang lebih
mandiri.
Efektivitas pelatihan itu sendiri dapat
dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain
dipengaruhi oleh kualitas trainer dan
ketepatan metode pelatihan (Ooi, dkk., 2007;
Haslinda, dkk., 2009). Yang, et al., (2009) juga
menyatakan bahwa faktor kualitas isi
pelatihan, motivasi peserta, dan gaya
pembelajaran juga berkontribusi terhadap
tercapainya sebuah pelatihan yang efektif bagi
organisasi. Selain itu, Haslinda, dkk (2009)
menyatakan bahwa komitmen dan dukungan
Page 6
H a l a m a n | 6
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
manajemen, sikap peserta, dukungan rekan
kerja, kepemimpinan, analisis kebutuhan
pelatihan, dan transfer pelatihan juga
berpengaruh terhadap pencapaian efektivitas
program pelatihan.
2. METODE PENELITIAN
2.1. Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif dengan desain penelitian
deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan
penelitian yang dirancang untuk memperoleh
informasi tentang suatu variabel yang
berkenaan dengan masalah yang diteliti.
Riyanto & Hatmawan (2020) menjelaskan
bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian
yang diarahkan untuk memberikan eksplanasi
terhadap gejalagejala, fakta-fakta atau
kejadian-kejadian secara sistematis dan
akurat mengenai sifat-sifat tertentu yang
melekat pada suatu variabel tertentu.
2.2. Variabel Penelitian
Penelitian ini mengkaji variabel
efektivitas pelatihan melalui media daring.
Variabel efektivitas pelatihan melalui media
daring, ditelaah dengan menggunakan
instrumen evaluasi yang dirancang oleh tim
penyusun evaluasi program pencegahan dan
penanganan stunting yang diselenggarakan
oleh Kementerian Sosial RI bekerja sama
dengan Tanoto Foundation. Konsep
efektivitas pelatihan meliputi beberapa aspek
penilaian yaitu performa peserta pelatihan
dalam mengimple-mentasikan materi
pelatihan, umpan balik peserta pelatihan
(pendamping PKH) terhadap materi yang
diberikan selama sesi pelatihan berlangsung,
dan aspek terakhir adalah umpan balik
kelompok penerima manfaat (KPM) terhadap
materi pengajaran yang disampaikan oleh
pendamping PKH.
2.3. Partisipan Penelitian
Penelitian ini melibatkan sebanyak 134
partisipan yang terdiri dari pendamping PKH
dan kelompok penerima manfaat PKH (KPM
PKH) yang tersebar di wilayah regional I
Sumatera. Jumlah pendamping PKH yang
menjadi partisipan adalah sebanyak 42 orang
sedangkan KPM PKH yang berpartisipasi pada
penelitian ini adalah sebanyak 92 orang.
Partisipan penelitian dipilih dengan
menggunakan teknik purposive sampling.
Sugiyono (2016) mendefinisikan purpossive
sampling sebagai teknik penentuan sampel
dengan pertimbangan tertentu dan
menetapkan sejumlah kriteria dalam
pemilihannya.
2.4. Instrumen Pengumpul Data
Proses pengambilan data terhadap
partisipan dilakukan secara klasikal atau
secara berkelompok melalui instrumen
penilaian yang mengukur 3 aspek, yaitu:
1. Performa peserta pelatihan dalam
mengimplementasikan materi pelatihan;
2. Umpan balik peserta pelatihan
(pendamping PKH) terhadap materi yang
diberikan selama sesi pelatihan
berlangsung;
3. Umpan balik kelompok penerima manfaat
(KPM) terhadap materi pengajaran yang
disampaikan oleh pendamping PKH
Aspek performa peserta pelatihan terdiri
dari beberapa komponen yakni: (1)
Introduction mastery; (2) comprehensive
presentation; (3) structured and compatibility
presentation; (4) interactive; (5) capability;
(6) appreciating audience; (7) gathering and
concluding information; (8) building
engangement; (9) appropriate practice
instrument; (10) reviewing and evaluating.
Selanjutnya, aspek umpan balik peserta
pelatihan (pendamping PKH) terdiri dari
komponen-komponen berikut ini: (1) training
Page 7
H a l a m a n | 7
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
engagement readiness; (2) comprehension; (3)
implementation difficulties; (4) relevance of
training methods; (5) relevance of subject
training; (6) relevance of learning tools; (7)
duration. Terakhir, aspek umpan balik
kelompok penerima manfaat (KPM) terdiri
dari komponen (1) subject learning
comprehension; (2) ability to implementing;
(3) basic knowledge; (4) engagement
advantages; (5) challenges and difficulties to
engage.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel dibawah ini menampilkan
informasi terkait gambaran umum data
demografi responden:
Tabel 1. Data Demografi Partisipan (n=134)
Kategori Jumlah
Jenis Kelamin
Laki-laki 22 orang
Perempuan 112 orang
Usia (dalam tahun)
20-29 19 orang
30-39 61 orang
40-49 51 orang
> 50 3 orang
Tingkat Pendidikan Partisipan:
Pendamping PKH
Diploma 5 orang
Sarjana 32 orang
Magister 5 orang
Tingkat Pendidikan Partisipan:
KPM PKH
SD 20 orang
SMP 31 orang
SMA 37 orang
Tidak Tamat SD 4 orang
Asal Daerah (Lokasi Pengamatan)
Kab. Aceh Timur, Prov. Aceh 15 orang
Kota Medan, Prov. Sumut 11 orang
Kab. Langkat, Prov. Sumut 13 orang
Kab. Solok, Prov. Sumbar 14 orang
Kab. Kerinci, Prov. Jambi 15 orang
Kab. Kampar, Prov. Riau 13 orang
Kab. Karimun, Prov. Kepri 13 orang
Kab. Seluma, Prov. Bengkulu 15 orang
Kota Palembang, Prov. Sumsel 11 orang
Kab. Banyuasin, Prov. Sumsel 14 orang
Partisipan penelitian di dominasi oleh
jenis kelamin perempuan dengan presentase
84,7% (122 orang) sementara partisipan laki-
laki adalah sebanyak 15,3% (22 orang).
Umumnya penelitian ini di ikuti oleh
partisipan dengan kelompok rentang usia 30-
39 tahun (41%) dan 40-49 tahun (35%)
sisanya berada pada kelompok usia 20-29
tahun (13,2%) dan kelompok usia 50-59 tahun
(2,1%).
Jika ditinjau dari tingkat pendidikan,
terlihat bahwa partisipan penelitian yang
berasal dari pendamping PKH umumnya
memiliki tingkat pendidikan sarjana dengan
presentase sebesar 76,2% dari jumlah
keseluruhan pendamping PKH yaitu 42 orang,
sisanya memiliki tingkat pendidikan diploma
(11,9%) dan magister (11,9%). Demografi
partisipan berdasarkan daerah asal (lokasi
pengamatan) dapat dilihat secara lebih rinci
pada tabel 1 (data demografi partisipan).
Tabel 2 menampilkan matriks penilaian
performa pendamping PKH (peserta
pelatihan) dalam mengimplementasikan
materi pelatihan. Penilaian performa
pendamping meliputi komponen: (1)
introduction mastery; (2) comprehensive
presentation; (3) structured and compatibility
presentation; (4) interactive; (5) capability; (6)
appreciating audience; (7) gathering and
concluding information; (8) building
engangement; (9) appropriate practice
instrument; (10) reviewing and evaluating.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat
diketahui bahwa pendamping yang berasal
dari daerah Kab. Kampar, Prov. Riau memiliki
skor performa tertinggi yaitu sebesar 97,7
kemudian di ikuti dengan pendamping yang
berasal dari daerah Kab. Langkat, Prov.
Sumatera Utara dengan skor performa sebesar
96,3. Sedangkan pendamping yang berasal
dari daerah Kota Palembang, Prov. Sumatera
Selatan menempati urutan terbawah dengan
Page 8
H a l a m a n | 8
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
skor performa sebesar 36,7. Jika dilihat secara
keseluruhan berdasarkan wilayah regional I
Sumatera, penilaian aspek performa
pendamping PKH berada pada skor 76.31.
Hal ini menunjukkan bahwa secara
keseluruhan performa pendamping dalam
mengimplementasikan materi pelatihan
pencegahan stunting berada pada taraf
performa yang cenderung tinggi, yang berarti
bahwa secara umum pendamping PKH
mampu memahami dan mengaplikasikan
materi pelatihan pencegahan stunting kepada
KPM PKH yang menjadi dampingannya. Taraf
performa yang cenderung tinggi
mengindikasikan bahwa pendamping PKH
mampu memaparkan materi pencegahan
stunting secara komprehensif, terstruktur,
interaktif, serta memberi ajakan kepada KPM
PKH untuk terlibat dalam upaya pencegahan
stunting.
Tabel 2. Matriks Penilaian Performa Pendamping PKH dalam Mengimplementasikan Materi Pelatihan
Kab
. Ace
h T
imu
r
Ko
ta M
edan
Kab
. Lan
gkat
Kab
. So
lok
Kab
. Ker
inci
Kab
. Kam
par
Kab
. Kar
imu
n
Kab
. Sel
um
a
Ko
ta P
alem
ban
g
Kab
. Ban
yuas
in
(N=5) (N=5) (N=4) (N=4) (N=5) (N=3) (N=4) (N=5) (N=3) (N=4)
Introduction mastery 100.0 80.0 100.0 75.0 80.0 100.0 100.0 100.0 66.6 100.0
Comprehensive presentation 60.0 60.0 75.0 75.0 40.0 100.0 25.0 60.0 0.0 75.0
Structured & compatible presentation
70.0 40.0 87.5 75.0 20.0 83.3 12.5 50.0 33.3 62.5
Interactive 60.0 70.0 100.0 62.5 100.0 100.0 87.5 90.0 66.6 100.0
Capability 100.0 80.0 100.0 75.0 80.0 100.0 100.0 100.0 0.0 100.0
Appreciating audience 100.0 60.0 100.0 100.0 100.0 100.0 75.0 80.0 33.3 100.0
Gathering & concluding information
100.0 80.0 100.0 50.0 80.0 100.0 100.0 100.0 0.0 100.0
Building engangement 60.0 60.0 100.0 75.0 100.0 100.0 50.0 0.0 33.3 0.0
Appropriate practice instrument 100.0 60.0 100.0 75.0 100.0 100.0 50.0 100.0 66.6 25.0
Reviewing and evaluating 60.0 80.0 100.0 62.5 50.0 83.3 62.5 30.0 66.6 37.5
SKOR TOTAL 81.0 67.0 96.3 72.5 75.0 96.7 66.3 71.0 36.7 70.0
Tabel 3 menampilkan matriks umpan
balik pendamping PKH terhadap materi
pelatihan. Penilaian umpan balik pendamping
PKH terhadap materi pelatihan meliputi
komponen: (1) training engagement readiness;
(2) comprehension; (3) implementation
difficulties; (4) relevance of training methods;
(5) relevance of subject training; (6) relevance
of learning tools; (7) duration. Berdasarkan
hasil yang diperoleh, dapat diketahui bahwa
pendamping yang berasal dari daerah Kab.
Solok, Prov. Sumatera Barat memiliki skor
umpan balik tertinggi yaitu sebesar 81,2
sedangkan pendamping yang berasal dari
daerah Kab. Seluma, Prov. Bengkulu dan Kab.
Karimun, Prov. Kepulauan Riau memperoleh
skor umpan balik terendah diantara 10 daerah
pengamatan lainnya dengan skor masing-
masing sebesar 71,4. Jika dilihat secara
keseluruhan berdasarkan wilayah regional I
Sumatera, penilaian aspek umpan balik
pendamping PKH terhadap materi pelatihan
Page 9
H a l a m a n | 9
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
pencegahan stunting berada pada skor 74,0.
Hal ini menunjukkan bahwa secara umum
pelatihan pencegahan stunting cenderung
ditanggapi secara positif oleh sebagian besar
pendamping PKH.
Tanggapan positif tersebut berada pada
taraf cenderung tinggi, yang berarti bahwa
peserta menilai bahwa materi pelatihan
stunting secara umum telah tersampaikan
dengan cukup baik dan menambah wawasan
pengetahuan pen-damping khususnya terkait
langkah-langkah pencegahan stunting.
Disamping itu, peserta pelatihan yakni
pendamping PKH, juga menilai bahwa materi
telah disampaikan dengan metode dan
instrumen pengajaran yang cukup relevan,
meski dalam pengimplementasiannya peserta
menilai bahwa materi pencegahan stunting
yang dipelajarinya terasa sulit untuk
diterapkan dan terdapat berbagai hambatan
dalam mengajarkan materi tersebut kepada
KPM PKH.
Selanjutnya, pengukuran efektivitas
pelatihan berdasarkan aspek umpan balik
kelompok penerima manfaat (KPM) terhadap
materi pengajaran pencegahan stunting yang
disampaikan oleh pendamping PKH. Aspek ini
meliputi beberapa komponen yaitu: (1)
subject learning comprehension; (2) ability to
implementing; (3) basic knowledge; (4)
engagement advantages; (5) challenges and
difficulties to engage.
Tabel 3. Matriks Umpan Balik Pendamping PKH terhadap Materi Pelatihan
Kab
. Ace
h T
imu
r
Ko
ta M
edan
Kab
. Lan
gkat
Kab
. So
lok
Kab
. Ker
inci
Kab
. Ka
mp
ar
Kab
. Kar
imu
n
Kab
. Se
lum
a
Ko
ta P
ale
mb
an
g
Kab
. Ba
ny
ua
sin
(N=5) (N=5) (N=4) (N=4) (N=5) (N=3) (N=4) (N=5) (N=3) (N=4)
Training engagement readiness 85.0 80.0 81.2 93.7 80.0 75.0 68.7 85.0 83.3 75.0
Comprehension 80.0 80.0 81.2 81.2 75.0 75.0 75.0 85.0 91.6 75.0
Implementation difficulties 45.0 55.0 43.7 50.0 30.0 41.6 56.2 50.0 41.6 43.7
Relevance methods 80.0 75.0 75.0 81.2 75.0 75.0 68.7 70.0 83.3 75.0
Relevance of subject training 90.0 75.0 75.0 87.5 80.0 91.6 75.0 75.0 83.3 81.2
Relevance learning tools 80.0 70.0 75.0 87.5 80.0 75.0 75.0 75.0 75.0 81.2
Duration 70.0 70.0 75.0 87.5 85.0 83.3 81.2 60.0 83.3 75.0
SKOR TOTAL 75.7 72.1 72.3 81.2 72.1 73.8 71.4 71.4 77.3 72.3
Tabel 4 menampilkan matriks umpan
balik KPM PKH terhadap materi pencegahan
stunting yang disampaikan oleh pendamping
PKH. Berdasarkan hasil yang diperoleh, pada
komponen subject learning comprehension,
dapat diketahui bahwa sebagian besar KPM
PKH mengaggap topik edukasi pada Sesi 11
dengan judul materi yaitu “Mendukung
Praktik Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS)”
sebagai topik edukasi yang “paling mudah
dipahami” dengan jumlah tanggapan yaitu
sebanyak 51 orang (55%), kemudian di ikuti
oleh topik edukasi pada Sesi 1 yang berjudul
“Memahami Permasalahan Stunting” dengan
jumlah tanggapan yaitu sebanyak 49 atau
sebesar 53% dari total 92 orang KPM PKH.
Sementara itu, sebanyak 15 orang atau sekitar
16% KPM PKH mengaku “kurang memahami”
topik edukasi pada Sesi 14 yang berjudul
“Mendukung Keluarga Mengakses Rujukan
Page 10
H a l a m a n | 10
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
dan Penanganan Anak Stunting”. Lebih lanjut,
terdapat sebanyak 15 orang (16%) KPM PKH
menyatakan “tidak dapat memahami” materi
yang disampaikan oleh pendamping PKH
khususnya pada Sesi 15 yaitu “Komitmen
Rencana Tidak Lanjut”.
Tabel 4. Matriks Umpan Balik KPM PKH Terhadap Edukasi Stuting oleh Pendamping PKH
Topik Edukasi
Subject Learning Comprehension Ability to Implementing
Mudah dipahami
Kurang dipahami
Tidak dapat dipahami
Mudah diterapkan
Sulit diterapkan
Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Sesi 1: Memahami Permasalahan Stunting 49 53% 4 4% 3 3% 32 35% 3 3%
Sesi 2: Mendukung Ibu Hamil Mengakses Informasi dan Layanan yang Tepat
37 40% 2 2% 2 2% 25 27% 7 8%
Sesi 3: Mendukung Perawatan Sehari-hari Ibu Hamil 41 45% 1 1% 3 3% 30 33% 4 4%
Sesi 4: Mendukung Ibu dan Ayah untuk Memberikan Stimulasi pada Janin
39 42% 3 3% 3 3% 28 30% 8 9%
Sesi 5: Pencegahan dan Penanganan Stunting Melalui Pemenuhan Bayi Baru Lahir dan Ibu Menyusui
42 46% 6 7% 3 3% 34 37% 3 3%
Sesi 6: Mendukung Pemberian Stimulasi pada Bayi Baru Lahir sampai Usia 6 Bulan
37 40% 5 5% 3 3% 26 28% 5 5%
Sesi 7: Mendukung Pemberian Stimulasi pada Bayi Usia 6 - 12 Bulan
36 39% 1 1% 1 1% 27 29% 2 2%
Sesi 8: Mendukung Pemberian Stimulasi pada Anak Usia 1 - 2 Tahun
38 41% 8 9% 1 1% 30 33% 3 3%
Sesi 9: Mendukung Pemberian Stimulasi pada Anak Usia 2 - 6 Tahun
34 37% 2 2% 1 1% 23 25% 2 2%
Sesi 10: Pemanfaatan Bantuan Sosial dalam Pemenuhan Gizi Bagi Anak dan Ibu Hamil
36 39% 5 5% 2 2% 31 34% 2 2%
Sesi 11: Mendukung Praktik Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS)
51 55% 1 1% 2 2% 48 52% 1 1%
Sesi 12: Mendukung Pemanfaatan Jamban Sehat 38 41% 3 3% 2 2% 33 36% 3 3%
Sesi 13: Pemetaan Potensi Diri, Keluarga dan Lingkungan Sekitar
25 27% 7 8% 3 3% 17 18% 5 5%
Sesi 14: Mendukung Keluarga Mengakses Rujukan dan Penanganan Anak Stunting
24 26% 15 16% 9 10% 24 26% 7 8%
Sesi 15: Komitmen Rencana Tidak Lanjut 24 26% 7 8% 15 16% 15 16% 8 9%
Selanjutnya pada komponen ablity to
implementing, diketahui bahwa sebagian
besar KPM PKH mengaggap topik edukasi
pada Sesi 11 dengan judul materi yaitu
“Mendukung Praktik Cuci Tangan Pakai Sabun
(CTPS)” sebagai topik edukasi yang paling
relevan dan mudah untuk diterapkan, dengan
jumlah tanggapan yaitu sebanyak 48 orang
atau sekitar 52% KPM PKH yang bersedia
untuk mengimplementasikan materi tersebut
dalam kehidupan sehari-hari. Disisi lain,
terdapat sebanyak 8 orang atau sekitar 9%
KPM PKH menyatakan bahwa topik edukasi
pada Sesi 15 dengan judul “Komitmen
Rencana Tidak Lanjut” merupakan hal yang
sulit untuk diterapkan.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
sebagian besar KPM PKH merasa telah
memahami setiap materi pencegahan stunting
yang disampaikan oleh pendamping PKH dan
bersedia untuk menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari, meski demikian masih
terdapat sebagaian kecil KPM PKH yang
menyatakan belum berkomitmen untuk
menerapkan materi pencegahan stunting
dalam keseharian mereka sebagaimana yang
telah di edukasikan oleh pendamping PKH.
Lebih lanjut, pada komponen basic
knowledge, dapat diketahui bahwa sebagian
besar KPM PKH telah mendapatkan
pengetahuan dasar mengenai materi edukasi
yang terkait dengan persoalan stunting, hal ini
Page 11
H a l a m a n | 11
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
dinyatakan oleh sejumlah 70 orang KPM PKH
atau sekitar 76,09% dari total 92 orang KPM
PKH, sementara sisanya mengaku belum
pernah menerima materi edukasi terkait
dengan permasalahan stunting.
Gambar 1. Diagram basic knowledge KPM PKH tentang
materi permasalahan stunting
Pada komponen engagement advantages,
diketahui bahwa seluruh KPM PKH menilai
bahwa keterlibatan dalam menerapkan materi
edukasi pencegahan stunting pada kehidupan
sehari-hari dapat memberikan manfaat baik
bagi diri sendiri, keluarga, maupun bagi
lingkungan. KPM PKH yang menilai edukasi
pencegahan stunting sebagai hal yang
“bermanfaat” adalah sebanyak 50 orang
(54,3%), sementara 42 orang (45,7%) KPM
PKH lainnya, memberi penilaian “sangat
bermanfaat” bila turut terlibat dalam
menerapkan dan mendukung program
pencegahan stunting.
Terakhir, pada penilaian komponen
challenges and difficulties to engage, diketahui
bahwa seluruh KPM PKH menilai tantangan
dan hambatan dalam menerapkan materi
edukasi pencegahan stunting pada kehidupan
sehari-hari dapat berasal dari berbagai alasan.
Alasan yang paling banyak di ungkapkan
adalah terkait “ketidaktersediaan sarana dan
prasarana”, dengan jumlah respon sebanyak
35 orang (38,0%) kemudian di ikuti dengan
alasan yaitu “situasi dan lingkungan yang
tidak mendukung”, dengan jumlah respon
sebanyak 21 orang (22,8%).
Gambar 2. Diagram penilaian engagement advantages
KPM PKH dalam mengimplementasikan materi pencegahan stunting
Sementara sisanya mengungkapkan
alasan yaitu tidak adanya dukungan keluarga
(5,4%), pasangan (suami) tidak mendukung
(4,3%), lingkungan yang tidak mendukung
dalam menjaga kebersihan (2,2%), pasangan
(suami), keluarga, dan lingkunagn tidak
mendukung (1,1%), kesulitan dalam
pengalokasian waktu (1,1%), dan terakhir
adalah berkaitan dengan alasan yaitu
kebutuhan dasar yang belum tercukupi
(1,1%).
Gambar 3. Diagram challenges and difficulties to engage
KPM PKH terkait implementasi materi permasalahan stunting pada kehidupan sehari-hari.
Page 12
H a l a m a n | 12
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
Berkenaan dengan hasil tersebut, dapat
dipahami bahwa tantangan dan hambatan
yang dirasakan oleh KPM PKH untuk terlibat
dalam mengimplementasikan materi pen-
cegahan stunting pada kehidupan sehari-hari,
berasal dari berbagai aspek, baik internal
keluarga, seperti tidak adanya dukungan dari
keluarga inti, sulit dalam pengalokasian waktu
dan kebutuhan dasar keluarga belum
terpenuhi. Sementara hambatan yang berasal
dari aspek eksternal berasal dari lingkungan
yang tidak mendukung dalam menjaga
kebersihan serta sarana dan prasarana yang
dianggap tidak tersedia atau kurang memadai.
4. KESIMPULAN
Pelatihan pencegahan sunting yang
dilaksanakan oleh BBPPKS Padang melalui
media daring kepada pendamping PKH yang
berada dalam lingkup kerja wilayah regional I
Sumatera telah terselenggara secara efektif.
Hal ini dapat dilihat dari tingginya skor yang
diperoleh dari hasil pengukuran yang
dilakukan terhadap sejumlah sampel yang
terdiri dari unsur pendamping program
keluarga harapan (Pendamping PKH) sebagai
individu yang menerima pelatihan (peserta
pelatihan), dan kelompok penerima manfaat
program keluarga harapan (KPM PKH)
sebagai individu yang diberikan edukasi oleh
pendamping PKH terkait materi pelatihan
pencegahan stunting.
Pengukuran efektivitas pelatihan
pencegahan stunting didasarkan pada 3 aspek
yaitu: (1) performa peserta pelatihan dalam
mengimplementasikan materi pelatihan, (2)
umpan balik peserta pelatihan (pendamping
PKH) terhadap materi yang diberikan selama
sesi pelatihan berlangsung, dan (3) umpan
balik kelompok penerima manfaat (KPM)
terhadap materi pengajaran yang
disampaikan oleh pendamping PKH. Aspek
pertama yaitu performa peserta pelatihan
yang terdiri komponen (1) Introduction
mastery; (2) comprehensive presentation; (3)
structured and compatibility presentation; (4)
interactive; (5) capability; (6) appreciating
audience; (7) gathering and concluding
information; (8) building engangement; (9)
appropriate practice instrument; (10)
reviewing and evaluating. Hasil pengukuran
mengindikasikan bahwa secara umum
pendamping PKH memiliki performa yang
baik dalam mengimplementasikan materi
pelatihan, hal ini terlihat dari kemampuannya
memaparkan materi pencegahan stunting
secara komprehensif, terstruktur, interaktif,
serta memberi ajakan kepada KPM PKH untuk
terlibat dalam upaya pencegahan stunting
Selanjutnya, aspek umpan balik peserta
pelatihan (pendamping PKH) terdiri dari
komponen: (1) training engagement readiness;
(2) comprehension; (3) implementation
difficulties; (4) relevance of training methods;
(5) relevance of subject training; (6) relevance
of learning tools; (7) duration. Hasil
pengukuran mengindikasikan bahwa peserta
pelatihan (pendamping PKH), menilai bahwa
materi pelatihan stunting secara umum telah
tersampaikan dengan cukup baik dan
menambah wawasan pengetahuan pen-
damping khususnya terkait langkah-langkah
pencegahan stunting. Disamping itu, peserta
pelatihan yakni pendamping PKH, juga menilai
bahwa materi telah disampaikan dengan
metode dan instrumen pengajaran yang cukup
relevan, meski dalam pengimplementasiannya
peserta menilai bahwa materi pencegahan
stunting yang dipelajarinya terasa sulit untuk
diterapkan dan terdapat berbagai hambatan
dalam mengajarkan materi tersebut kepada
KPM PKH
Terakhir, aspek umpan balik kelompok
penerima manfaat (KPM) terdiri dari
komponen (1) subject learning comprehension;
(2) ability to implementing; (3) basic
Page 13
H a l a m a n | 13
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
knowledge; (4) engagement advantages; (5)
challenges and difficulties to engage. Hasil
pengukuran dan analisis mengindikasikan
bahwa, sebagian besar KPM PKH yang telah
diberikan edukasi pencegahan stunting oleh
pendamping PKH mampu memahami
beberapa topik yang tersajikan pada modul
edukasi yang terdiri dari 15 sesi. Disamping
itu, secara umum KPM PKH juga berkenan
untuk menerapkan materi yang dipelajarinya
dalam kehidupan sehari-hari karena
menganggap bahwa hal tersebut memberikan
manfaat baik bagi diri sendiri, keluarga,
maupun bagi lingkungan, meski dalam
penerapannya terdapat berbagai tantangan
dan kendala yang berasal baik dari internal
keluarganya sendiri, dari lingkungan, hingga
berasal dari aspek yang bersifat instrumental
seperti ketidaktersediaan sarana dan prasana
yang mendukung.
5. SARAN
Berkenaan dengan berbagai keterbatasan
dalam penelitian ini, sehingga peneliti
menyarankan agar penelitian selanjutnya
seyogianya dilanjutkan dengan mengukur
konsistensi implementasi pencegahan
stunting yang dilaksanakan oleh KPM PKH
dengan metode yang lebih komprehensif dan
dilaksanakan secara berkala, agar dapat
melihat unsur perubahan perilaku yang
bersifat menetap. Kepada BBPPKS Padang,
disarankan agar dapat melaksanakan metode
pengajaran yang lebih efektif dengan
memperhatikan beberapa isu yang bersifat
sensitif yang ditemukan dalam praktik edukasi
dilapangan oleh Pendamping PKH kepada
KPM PKH.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Jakarta Pusat.
(2019). Indeks Khusus Penanganan
Stunting 2018-2019. Jakarta Pusat: Badan
Pusat Statistik
Budiastutik, I., & Rahfiludin, M. Z. (2019). Risk
Factors of Child Stunting in Developing
Countries. J Amerta Nutr, 122-6.
Detty, R. (2009). Evaluasi Efektivitas Program
Pelatihan “Know Your Customer and
Money Laundering” di Bank XYZ
Bandung. Journal of Management and
Business Review, Volume VI, pg 20-34.
Gomes, F.C. (2003). Manajemen Sumber Daya
Manusia. Yogyakarta: Penerbit Andi
Haslinda, H., Toha, S., & Ambar, A. A. (2020).
EFEKTIVITAS PENYULUH PERTANIAN
DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN
PETANI JAGUNG HIBRIDA DI KOTA
PAREPARE. Jurnal Pendidikan Teknologi
Pertanian, 5, 145-149.
Kaswan. (2011). Pelatihan dan
Pengembangan. Bandung: Alfabeta
Liang, W., Wang, B., Shen, G., Cao, S., Mcswain,
B., Qin, N., ... & Duan, X. (2020).
Association of solid fuel use with risk of
stunting in children living in China.
Indoor air, 30(2), 264-274.
Megawati, G., & Wiramihardja, S. (2019).
Peningkatan Kapasitas Kader Posyandu
Dalam Mendeteksi Dan Mencegah
Stunting. Dharmakarya, 8(3), 154-159.
Nadeak, B. (2019). Buku Materi Pembelajaran
Manajemen Pelatihan dan
Pengembangan.
Nadhiroh, S. R., Djokosujono, K., & Utari, D. M.
(2020). Socioeconomic characteristics,
paternal smoking and secondhand
tobacco smoke exposure among infants in
Jakarta, Indonesia. Tobacco induced
diseases, 18.
Noe, R. A. (2002). Employee Training and
Development. New York: McGrawHill
Irwin.
Ooi, Y. E., Hau. S. L., Ching-Wing, B. L. (2007).
Page 14
H a l a m a n | 14
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
The determinants of training
effectiveness in Malaysian organizations.
Intl J Business Res 7 (4): 143-14.
Prendergast, A. J., & Humphrey, J. H. (2014).
The stunting syndrome in developing
countries. Paediatrics and international
child health, 34(4), 250-265.
Probosiwi, H., Huriyati, E., & Ismail, D. (2017).
Stunting dan perkembangan pada anak
usia 12-60 bulan di Kalasan. Berita
Kedokteran Masyarakat, 33(11), 559-564.
Pulungan, A. B. (2016). Exploring the big
picture of stunting: Indonesian
perspective. 15th Pediatric update
exploring the big picture of childhood
stunting: Indonesian perspective. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 3-7.
Riyanto, S., & Hatmawan, A. A. (2020). Metode
Riset Penelitian Kuantitatif Penelitian Di
Bidang Manajemen, Teknik, Pendidikan
Dan Eksperimen. Deepublish.
Rumengan, I. M., Lumenta, A. S. M., & Paturusi,
S. D. E. (2019). Pembelajaran Daring
Pendidikan dan Pelatihan Aparatur Sipil
Negara Badan Pengembangan Sumber
Daya Manusia Papua Barat. Jurnal Teknik
Informatika, 14(3), 303–312.
Sastradipoera, K., & Komaruddin, Y. T. S.
(2006). Pengembangan dan Pelatihan:
Suatu Pendekatan Menejemen Sumber
Daya Manusia. Kappa-Sigma.
Suartama, I., Setyosari, P., Sulthoni, S., & Ulfa, S.
(2020). Development of ubiquitous
learning environment based on moodle
learning management system.
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Titaley, C. R., Ariawan, I., Hapsari, D.,
Muasyaroh, A., & Dibley, M. J. (2019).
Determinants of the stunting of children
under two years old in Indonesia: a
multilevel analysis of the 2013 Indonesia
basic health survey. Nutrients, 11(5),
1106.
Trihono, T., Atmarita, A., Tjandrarini, D. H.,
Irawati, A., Nurlinawati, I., Utami, N. H., &
Tejayanti, T. (2015). Pendek (stunting) di
Indonesia, masalah dan solusinya. Lembaga Penerbit Badan Litbangkes.
Yang, B., Wang, Y., & Drewry, A. W. (2009).
Does it matter where to conduct training?
Accounting for cultural factors. Human
Resource Management Review, 19(4),
324-333.
Young, M. F., Nguyen, P. H., Gonzalez Casanova,
I., Addo, O. Y., Tran, L. M., Nguyen, S., &
Ramakrishnan, U. (2018). Role of
maternal preconception nutrition on
offspring growth and risk of stunting
across the first 1000 days in Vietnam: A
prospective cohort study. PLoS One,
13(8), e0203201.
Yuliani, E., Immawanti, I., Yunding, J., Irfan, I.,
Haerianti, M., & Nurpadila, N. (2018).
PELATIHAN KADER KESEHATAN
DETEKSI DINI STUNTING PADA BALITA
DI DESA BETTENG: Health Cadre
Training About Early Detection Of
Stunting Toddler In Betteng Village.
Jurnal Pengabdian Masyarakat
Kesehatan, 4(2), 41-46.
© 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license
(https://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0/).
Page 15
H a l a m a n | 15
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
INDIGENOUSITAS DALAM STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PRASEJAHTERA
Aji Samba Pranata Citra, M.Psi.1 1BBPKH Cinagara – Bogor, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstract
Everyone strives for prosperity, although not all can achieve it. A strategy should be needed in empowering underprivileged communities to be able to improve their quality and standard of living. The process and outcomes of empowerment will vary as there is no single standard that can fully capture meaning for all people in all contexts. But in essence the process of empowerment is said to be successful if it can help people develop their skills so that they can become problem solvers and independent decision makers. Empowerment has different processes and outcomes depending on the population. Empowerment strategies that are carried out must pay attention to their culture, view of the world and their life struggles. Assessing the program to be carried out makes it easier for facilitators to carry out empowerment programs. Supported by policies, program implementation, evaluation and continuous improvement from the government. The empowerment program carried out is expected to involve the local government or indigenous people who know very well the conditions of the community who are the participants of the empowerment. Keyword: Indigeneous, Empowerment strategies, prosperity program.
1. PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara berkembang di
Asia Tenggara dengan jumlah penduduk per
Juni 2021 sebanyak 272.229.372 jiwa, dimana
137.521.557 jiwa adalah laki-laki dan
134.707.815 jiwa adalah perempuan. Sebagai
negara nomor 4 dari segi kepadatan penduduk
dan nomor 14 sebagai negara terbesar di
dunia Indonesia memiliki sumber daya yang
sangat cukup untuk bisa menjadi negara yang
maju dengan berbagai tantangan yang di
hadapi.
Pemerataan pembangunan di Indonesia
masih sangat diupayakan oleh pemerintah
khususnya untuk daerah tertinggal. Menurut
(Perpres) Nomor 63 Tahun 2020 tentang
penetapan daerah tertinggal tahun 2020-2024.
Ada 62 daerah yang ditetapkan tertinggal
dengan sebaran berada di sejumlah Provinsi
seperti Sumatera Utara, Sulawesi Tengah,
Maluku, Papua dan Papua Barat. Hal tersebut
ditinjau dari tingkat perekonomian
masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan
prasarana, kemampuan keuangan daerah,
aksesibilitas dan karakteristik daerah.
Setiap orang di Indonesia pasti
menginginkan kondisi sejahtera untuk dirinya
dan keluarganya, tetapi tidak semua orang
dapat mewujudkannya. Hal yang
membedakannya dimungkinkan dikarena-kan
banyak faktor, terkait pendidikan,
kesempatan, akses informasi ataupun kembali
Page 16
H a l a m a n | 16
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
kepada kesemangatan dan kerja keras
seseorang dalam meraihnya. Mencapai
kondisi sejahtera hakikatnya memang
menjadi sebuah target dari setiap individu tapi
dalam hal ini pemerintah memiliki peran
untuk membantu masya-rakat yang memiliki
kesulitan dalam mencapai kondisi sejahtera.
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial
merupakan bagian integral dari pem-
bangunan nasional sebagai perwujudan dari
upaya mencapai tujuan bangsa yang
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
perwujudan nilai Pancasila.
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial
salah satunya ditujukan untuk mengatasi
berbagai masalah kesejahteraan sosial yang
dihadapi individu, keluarga, kelompok, dan
masyarakat agar mampu meningkatkan
kualitas dan standar kehidupannya secara adil
dan merata (Lembar Tambahan UUD no 14,
2019). Program kesejahteraan sosial akan
sangat efektif jika diikuti oleh proses
perencanaan yang tepat. Tidak hanya
merencanakan, merumuskan dan membawa
program yang disusun oleh pemerintah terkait
tanpa melihat kondisi sosial dan budaya di
lingkungan tertentu. Dikarenakan program
yang sama belum tentu akan berhasil jika
diterapkan didaerah yang berbeda. Karena
aspek sosial dan budaya memberikan
pengaruh besar terhadap pola pelaksanaan
dan tingkat keberhasilan dari sebuah program
kesejahteraan, menimbang bahwa Indonesia
merupakan negara kepulauan dengan etnis
dan budaya yang sangat beragam.
2. BUDAYA DAN KEPRIBADIAN
Kepribadian dibentuk oleh faktor genetik
dan lingkungan di antara yang paling penting
adalah pengaruh budaya (Kluckhohn &
Murray, 1948). Budaya terdiri dari sistem
makna bersama yang memberikan standar
untuk memahami, mempercayai, meng-
evaluasi, berkomunikasi, dan bertindak di
antara mereka yang berbagi bahasa, periode
sejarah, dan lokasi geografis (Triandis, 1996).
Chiu dan Hong (2007) mendefinisikan budaya
sebagai jaringan pengetahuan yang
prosedural (urutan yang dipelajari dari
tanggapan terhadap isyarat tertentu) dan
deklaratif (representasi seseorang, peristiwa,
dan norma) dan diproduksi, didistribusikan
dan direproduksi di antara kumpulan orang-
orang yang saling berhubungan.
Budaya berbeda dengan etnisitas dalam
pengertian etnisitas mengacu pada latar
belakang atau asal usul sosial yang sama,
tradisi bersama yang khas, dipertahankan
antar generasi, meng-hasilkan rasa identitas
dan keanggotaan kelompok, serta bahasa atau
tradisi keagamaan yang sama (Senior &
Bhopal, 1994). Budaya adalah konstruksi yang
lebih luas daripada etnis karena mencakup
proses tingkat makro dan berhubungan secara
khusus dengan nilai-nilai dan norma-norma
berlaku yang mengatur sekelompok orang.
Page 17
H a l a m a n | 17
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
Budaya dapat mendefinisikan karakteristik
dan perilaku yang dianggap sesuai atau tidak
pantas untuk suatu kelompok yang
terorganisir. Budaya juga menentukan
konteks dan lingkungan (yaitu, tempat, waktu,
dan rangsangan tertentu) di mana etnisitas
ada. Jelas, tidak semua individu yang berbagi
ruang budaya yang sama memiliki etnis yang
sama. Selain itu, budaya dan etnis berbeda dari
ras, di mana ras mengacu pada warisan
genetik bersama, yang diekspresikan oleh
karakteristik fisik eksternal yang sama seperti
bentuk wajah, warna kulit, dan tekstur rambut.
Budaya memberikan pengaruh terhadap
gaya berpikir setiap orang. Gaya berpikir yang
berbeda memiliki implikasi mendalam bagi
cara individu mengevaluasi pengalaman
emosional mereka dan diri mereka sendiri.
Budaya juga mempengaruhi bagaimana
individu berpikir tentang diri mereka sendiri
dan orang lain. Melalui budaya juga dapat
menunjukkan tingkat perilaku membantu
(empati) terhadap orang asing ataupun
bahkan dapat menunjukkan tingkat agresi
fisik sebagai reaksi terhadap penghinaan.
Gaya berpikir memainkan peran penting
dalam perbedaan kepribadian individu.
Dalam model skema kepribadian McCrae
dan Costa (1999), konsep diri adalah aspek
sadar dari kepribadian yang tidak hanya
mencerminkan temperamen tetapi juga pola
karakteristik adaptasi. Mengingat hal tersebut
dipengaruhi oleh budaya, cara individu
memandang diri mereka sendiri, setidaknya
sebagian, dikonstruksi oleh budaya.
Budaya membentuk nilai-nilai yang
dipegang erat oleh masyarakat. Dimana nilai-
nilai dan konstruksi motivasi memiliki peran
penting dalam memahami kepribadian
manusia. Vernon dan Allport (1931),
menyatakan bahwa nilai-nilai adalah inti dari
filosofi hidup seseorang dan memberikan
gambaran ke dalam kepribadian total.
Allport (1961) kemudian berpendapat
bahwa ciri-ciri kepribadian dapat ditafsirkan
sebagai versi yang sepenuhnya berkembang
dari kecenderungan alami biologis seseorang,
atau temperamen, sedangkan nilai-nilai
mencerminkan tidak hanya preferensi bawaan
individu tetapi juga gaya hidup ideal. Melalui
hal tersebut dapat membantu untuk
memahami bagaimana seorang individu
secara unik menyesuaikan diri dengan
lingkungannya (bagian penting dari definisi
kepribadian Allport).
Perspektif psikologis budaya
mengasumsikan bahwa kepribadian dan
budaya saling terbentuk. Ini menyiratkan
bahwa sifat orang tidak dapat dipahami tanpa
mempertimbangkan konteks budaya di mana
orang itu hidup. Penting untuk memahami
kondisi seseorang dalam hubungannya
dengan orang lain dan lingkungannya.
Individu adalah konstruksi sosial dan
kolektif yang terbentuk dalam proses
partisipasi masyarakat dalam pengaturan
Page 18
H a l a m a n | 18
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
budaya tertentu. Budaya diperlakukan sebagai
sumber untuk memahami kepribadian dan
perilaku.
3. PEMBERDAYAAN
Teori pemberdayaan menunjukkan
pemberdayaan di aspek tindakan, kegiatan,
atau struktur, dan bahwa hasil dari proses
tersebut menghasilkan tingkat yang
diberdayakan. Proses dan hasil dari
pemberdayaan akan bervariasi dalam bentuk
luarnya karena tidak ada standar tunggal yang
dapat sepenuhnya menangkap makna bagi
semua orang dalam semua konteks
(Rappaport, 1984; Zimmerman, 1995). Ini
menunjukkan bahwa setiap orang akan
memiliki standar dan kondisi yang berbeda
mengenai pemberdayaan yang dilakukan.
Perilaku yang diperlukan ibu berusia 16 tahun
untuk menjadi berdaya berbeda dengan
perilaku pria paruh baya yang baru saja
menduda. Arti diberdayakan untuk dua orang
tersebut tidak sama. Dengan demikian,
pemberdayaan selalu memiliki konteks yang
spesifik terhadap setiap populasi.
Pemberdayaan mengambil bentuk yang
berbeda untuk orang yang berbeda dalam
konteks yang berbeda.
Perbedaan antara proses pemberdayaan
dan hasilnya sangat penting untuk secara jelas
mendefinisikan teori pemberdayaan. Proses
pemberdayaan adalah proses di mana upaya
untuk mendapatkan kendali, memperoleh
sumber daya yang dibutuhkan, dan
memahami secara kritis lingkungan sosial
seseorang yang merupakan hal yang
mendasar. Dapat disebut sebagai proses
memberdayakan jika dapat membantu orang
mengembangkan keterampilan sehingga
mereka dapat menjadi pemecah masalah dan
pembuat keputusan yang mandiri.
Proses pemberdayaan akan bervariasi di
seluruh tingkat analisis. Misalnya, proses
pemberdayaan untuk individu mungkin
termasuk keterlibatan organisasi atau
komunitas; proses pemberdayaan di tingkat
organisasi dapat mencakup kepemimpinan
bersama dan pengambilan keputusan; dan
proses pemberdayaan di tingkat masyarakat
dapat mencakup pemerintah, media, dan
sumber daya masyarakat lainnya yang dapat
diakses.
Hasil dari pemberdayaan mengacu pada
operasionalisasi, sehingga kita dapat
mempelajari konsekuensi dari upaya anggota
komunitas untuk mendapatkan kontrol yang
lebih besar di komunitas mereka dan juga
dapat mempelajari efek dari intervensi yang
dirancang. Hasil dari pemberdayaan juga
berbeda di seluruh tingkat analisis. Dalam
tingkat individu, hasil pemberdayaan akan
berkaitan dengan situasi, kontrol,
keterampilan, dan perilaku proaktif. Dalam
tingkat organisasi, hasil berkaitan dengan
jaringan organisasi, perolehan sumber daya
yang efektif, dan pengaruh kebijakan. Dalam
tingkat masyarakat, hasil berkaitan dengan
Page 19
H a l a m a n | 19
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
pluralisme, adanya koalisi organisasi, dan
sumber daya masyarakat yang dapat diakses.
Setiap tingkat analisis, meskipun
dijelaskan secara terpisah, secara inheren
terhubung antara satu sama lain.
Pemberdayaan individu, organisasi, dan
masyarakat saling bergantung dan merupakan
sebab dan akibat satu sama lain. Sejauh mana
elemen-elemen pada satu tingkat analisis
secara langsung berkaitan dengan potensi
pemberdayaan dari tingkat analisis lainnya.
Demikian pula, proses pemberdayaan pada
satu tingkat analisis berkontribusi terhadap
hasil pada tingkat analisis lainnya. Orang-
orang yang diberdayakan adalah dasar untuk
mengembangkan organisasi dan komunitas
yang bertanggung jawab dan partisipatif; sulit
membayangkan komunitas atau organisasi
yang memberdayakan tanpa individu yang
diberdayakan. Upaya untuk memahami proses
dan hasil pemberdayaan tidak lengkap kecuali
beberapa tingkat analisis dipelajari dan
diintegrasikan.
Komunitas yang berdaya adalah
komunitas yang memprakarsai upaya untuk
meningkatkan nilai komunitas tersebut,
merespons ancaman terhadap kualitas hidup,
dan memberikan kesempatan bagi partisipasi
setiap anggotanya. Iscoe (1974) menyatakan
bahwa komunitas yang kompeten adalah
komunitas di mana anggotanya memiliki
keterampilan, keinginan, dan sumber daya
untuk terlibat dalam kegiatan untuk
meningkatkan taraf hidup komunitas.
Komunitas yang kompeten adalah komunitas
dimana setiap komponen di dalam komunitas
saling bergantung dan bekerja sama untuk
secara efektif mengidentifikasi kebutuhan
komunitas, mengembangkan strategi untuk
memenuhi kebutuhan, dan melakukan
tindakan untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Minkler (1990) menyatakan bahwa
kepemimpinan bersama dan
pengembangannya sangat penting untuk
mengembangkan komunitas yang kompeten.
3.1. Strategi Pemberdayaan Indigenous
Melalui pemberdayaan akan
meningkatkan kemungkinan bagi seseorang
untuk mendapatkan kendali atas kehidupan
mereka sendiri. Pemberdayaan memberikan
pendekatan yang berbeda untuk
mengembangkan intervensi dan menciptakan
perubahan sosial. Pemberdayaan
mengarahkan perhatian terhadap kesehatan,
adaptasi, kompetensi, dan sistem bantuan.
Dalam proses pemberdayaan pendekatan
dalam pemberdayaan dalam hal desain
intervensi, implementasi, dan evaluasi
menggambarkan hubungan peran tenaga
profesional dengan populasi sasaran. Tenaga
professional yang dimaksud adalah tenaga
bantuan sosial yang akan terlibat dalam suatu
program pemberdayaan. Tenaga profesional
memiliki peran sebagai kolaborator dan
fasilitator. Sebagai kolaborator, para tenaga
profesional belajar tentang peserta melalui
Page 20
H a l a m a n | 20
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
budaya mereka, pandangan dunia mereka, dan
perjuangan hidup mereka. Dalam hal ini peran
penting seorang tenaga profesional adalah
untuk mengadvokasi mereka.
Tenaga profesional menjadi sumber daya
bagi sebuah komunitas. Hubungan peran ini
menunjukkan bahwa apa yang dilakukan para
tenaga profesional akan tergantung pada
tempat tertentu dan dengan siapa mereka
bekerja, bukan pada teknologi yang telah
ditentukan untuk diterapkan dalam semua
situasi. Penilaian interpersonal dan
keterampilan evaluasi akan diperlukan
dikarenakan perlu menyesuaikan dengan
bagaimana, di mana, dan dengan siapa mereka
berproses dalam program pemberdayaan
yang dilakukan.
Orientasi dari pemberdayaan menun-
jukkan bahwa peserta dalam hal ini
masyarakat yang diberdayakan harus
memiliki peran aktif dalam proses perubahan,
tidak hanya sebagai objek untuk
melaksanakan sebuah proyek pember-dayaan,
tetapi juga harus terlibat dalam menetapkan
perencanaan. Tenaga profesional sebagai
fasilitator bekerja keras dalam memfasilitasi
peserta untuk menekankan perannya dalam
sebuah pengaturan tertentu, lingkungan, atau
organisasi sehingga mereka memiliki peran
sentral dalam prosesnya. Peserta dapat
membantu dalam mengidentifikasi masalah
dan membantu mengumpulkan data penilaian
dan evaluasi.
Proses evaluasi tidak hanya melibatkan
peserta dalam perencanaan dan
pelaksanaannya, tetapi hasil dari evaluasi
yang dilakukan juga diberikan kepada peserta.
Umpan balik informasi yang didapatkan dapat
membantu untuk pengambilan keputusan
dalam tindakan yang akan diambil. Fetterman
(1996) juga menggambarkan evaluasi
pemberdayaan sebagai proses yang tidak
hanya melibatkan peserta, tetapi juga
membantu mereka mengembangkan
keterampilan untuk evaluasi diri.
Fawcett dkk mengemukakan ada empat
strategi dan 18 taktik untuk meningkatkan
status pemberdayaan individu dan kelompok
berdasarkan model yang dibuatnya. Taktik
tersebut diatur dalam empat strategi
pemberdayaan yang ditujukan untuk individu
atau kelompok dan juga lingkungannya: (1)
meningkatkan pengalaman dan kompetensi,
(2) melindungi dan mempertahankan
kapasitas fisik dan biologis, (3)
menghilangkan stresor dan hambatan, dan (4)
meningkatkan dukungan dan sumber daya.
Strategi dan taktik yang disusun oleh Fawcett
pada awalnya ditujukan untuk penyandang
disabilitas tetapi untuk strategi poin 2 penulis
sesuaikan dengan tuntutan budaya yang mana
strategi ini memiliki fleksibilitas berkaitan
dengan individu, kelompok dan
lingkungannya.
Variasi di seluruh rentang kehidupan
memberikan gambaran kepada tenaga sosial
Page 21
H a l a m a n | 21
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
dalam memberikan intervensi pemberdayaan.
Kita dapat mengetahui tentang tingkat kontrol
atas peristiwa, hasil, dan kemantapan sumber
daya pada masa remaja dan dewasa, yang
mungkin menurun dengan gangguan dan
berkurangnya dukungan yang terkadang
menyertai penyakit, cedera atau usia yang
lebih tua.
Sejarah unik interaksi antara orang dan
lingkungan yang dapat menghasilkan status
pemberdayaan yang sangat berbeda dari
waktu ke waktu. Interaksi dinamis antara
orang atau kelompok dan faktor lingkungan
menggambarkan faktor lingkungan yang
memberikan pengaruh terhadap individu.
Asumsinya ketika proses pemberdayaan
berlangsung, individu memiliki kapasitas yang
lebih besar untuk mempengaruhi perubahan
dalam fitur lingkungan, lebih jauh
menghilangkan hambatan dan menciptakan
dukungan untuk upaya pemberdayaan. Hal ini
sangat erat kaitannya juga dengan budaya
tempat individu tersebut. Model ini
mendalilkan interaksi antara orang atau
kelompok dan lingkungan juga budaya dalam
mempengaruhi hasil pemberdayaan pada saat
tertentu.
Pada strategi yang pertama
meningkatkan pengalaman dan kompetensi
dengan taktik sebagai berikut:
• Meningkatkan pengetahuan tentang
masalah, penyebab masalah, dan
kemungkinan perubahan
• Memfasilitasi pengembangan keterampilan
(misalnya, penetapan tujuan, pemecahan
masalah, komunikasi)
• Berkontribusi pada masa lalu positif dari
yang bisa memberikan kontrol kepada
lingkungannya
• Nilai dan keyakinan yang konsisten dengan
pemberdayaan
Strategi yang kedua berkaitan dengan
budaya yang berlaku di lingkungan
masyarakat yang akan diberdayakan. Taktik
yang diterapkan adalah
• Melakukan asesmen terhadap calon
peserta terkait dengan nilai-nilai yang
dianut oleh masyarakat tersebut
berdasarkan budayanya.
• Tetapkan program yang sesuai dengan
hasil asesmen awal.
Pada strategi ke tiga berkaitan dengan
stresor dan hambatan meliputi kurangnya
kesempatan, diskriminasi, hukuman dan
persyaratan perilaku yang berlebihan,
hambatan dan bahaya lingkungan, kemiskinan
dan kekurangan. Hambatan tersebut harus
dikurangi bahkan di hilangkan dengan
menerapkan taktik sebagai berikut:
• Mengembangkan dan meningkatkan
peluang untuk keterlibatan dan pencapaian
tujuan
• Mengurangi diskriminasi dan hambatan
lain terhadap kesempatan yang sama.
• Hapus hukuman dan kurangi persyaratan
perilaku.
Page 22
H a l a m a n | 22
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
• Menghilangkan atau meminimalkan
hambatan dan bahaya lingkungan.
• Memberikan dukungan ekonomi untuk
mengurangi deprivasi yang terkait dengan
kemiskinan
Strategi ke empat berkaitan dengan
dukungan dan sumber daya, informasi dan
petunjuk, dukungan keluarga dan teman
sebaya, model dan mentor, penguatan positif.
Target yang harus dicapai berkaitan dengan
sumber daya yang tersedia dan dapat diakses,
kebijakan dan hukum yang mendukung, serta
penyesuaian dengan budaya. Hal tersebut bisa
dicapai dengan menerapkan taktik
• Memberikan informasi tentang isu dan
alternatif dan petunjuk untuk mengambil
tindakan.
• Perkuat dukungan keluarga dan teman
sebaya.
• Tingkatkan akses ke model dan mentor
yang positif.
• Tingkatkan penguatan positif untuk
tindakan konstruktif.
• Meningkatkan ketersediaan dan
aksesibilitas sumber daya dan peluang.
• Advokasi untuk perubahan kebijakan dan
hukum.
• Memperkuat atau meningkatkan aspek
positif dari budaya
4. PENUTUP
Penggunaan strategi pemberdayaan yang
disesuaikan dengan karakter individu,
kelompok dan budaya menyediakan pekerja
sosial dengan alat profesional yang digunakan
untuk mempromosikan keberhasilan program
pemberdayaan. Strategi yang sesuai juga
dapat menekankan pada kesesuaian program
dan penjangkauan masyarakat yang
diberdayakan, penyediaan aktivitas
pendukung yang terstruktur, dan keterkaitan
dengan sumber daya dan hak yang
memungkinkan masyarakat untuk
menciptakan komunitas di lingkungan yang
saling menguatkan. Diharapkan dengan
efektifnya program yang diberlakukan akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat
yang dilibatkan dalam program
pemberdayaan khususnya atau umumnya
untuk kemajuan Negara Indonesia agar dapat
mengurangi kemiskinan dan meningkatkan
kesejahteraan.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, R. (2013). Intervensi Komunitas Dan
Pengembangan Masyarakat Sebagai
Upaya Pemberdayaan Masyarakat,
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, Cet.
Ke-2
Allport, G. W. (1961). Pattern And Growth In
Personality.
Costa, P. T., & McCRAE, R. R. (1999). A five-
factor theory of personality. The Five-
Factor Model of Personality: Theoretical
Perspectives, 2, 51-87.
Fawcett, S. B., White, G. W., Balcazar, F. E.,
Suarez-Balcazar, Y., Mathews, R. M.,
Page 23
H a l a m a n | 23
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
Paine-Andrews, A., & Smith, J. F. (1994).
A contextual‐behavioral model of
empowerment: Case studies involving
people with physical
disabilities. American Journal of
Community Psychology, 22(4), 471-496.
Fetterman, D. M., Kaftarian, S., & Wandersman,
A. (1996). Empowerment
Evaluation. Thousand Oaks.
Hong, Y. Y., Wan, C., No, S., & Chiu, C. Y. (2007).
Multicultural identities.
Iscoe, I. (1974). Community psychology and
the competent community. American
Psychologist, 29(8), 607.
Minkler, M. (1990). Improving health through
community organization.
Murray, H. A., & Kluckhohn, C. (1948). Outline
of a conception of personality.
Niode, S. A. (2007). Perubahan Nilai-Nilai
Budaya dan Pranata Sosial, Jakarta:
Pustaka Indonesia Press.
Rappaport, J., & Seidman, E. (Eds.).
(2000). Handbook of community
psychology. Springer Science & Business
Media.
Senior, P. A., & Bhopal, R. (1994). Ethnicity as
a variable in epidemiological
research. Bmj, 309(6950), 327-330.
Triandis, H. C. (1996). The psychological
measurement of cultural
syndromes. American
psychologist, 51(4), 407.
Vernon, P. E., & Allport, G. W. (1931). A test for
personal values. The Journal of
Abnormal and Social Psychology, 26(3),
231.
Zimmerman, M. A. (1995). Psychological
empowerment: Issues and
illustrations. American journal of
community psychology, 23(5), 581-599.
© 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and
conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license
(https://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0/).
Page 24
H a l a m a n | 24
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
BUDAYA ORGANISASI UMKM KEDAI KOPI LOKAL NON-WARALABA SEBAGAI WUJUD KEWIRAUSAHAAN SOSIAL KAUM MILENIAL
Chindy Yoanita Subandrio1
1Sinergi Analyst (Independent Researcher) – Jakarta, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstract
The increasing number of non-franchise local coffee shops is a good sign for the social entrepreneurship sector. Their endeavor in opening jobs opportunity and improving social welfare are highly respected. During the Covid-19 pandemic, various non-franchise local coffee shops tried to maintain their business sustainability. Knowing the organizational culture could be one of them. In this study, the Organizational culture of non-franchise local coffee shops has measured by the Organization Culture Inventory (OCI) instrument, which involved 43 millennial employees and three owners of seven MSMEs of local non-franchise coffee shops in Bandung, West Java. The results indicate that generally, non-franchise local coffee shops in Bandung has dominated by the Constructive dimension which consists of the following aspects: Humanistic/Encouraging = 82.3%; Affiliative = 83.5%; Achievement = 79.9% and Self-Actualizing = 75.1%. The statement indicates that the various non-franchise coffee shops support each employee to interact with each other, both among employees and the customers as well. In completing their tasks, they prioritize a mutual assistance approach that somehow could support employees' enthusiasm and self-actualization at work.
Keywords: Organizational Culture, MSME, Social Enterpreneurship
1. PENDAHULUAN
Setiap organisasi, baik itu perusahaan,
instansi atau bahkan komunitas selalu
memiliki kekhasan atau ciri yang
didelegasikan sejak awal organisasi tersebut
berdiri. Pada perjalanannya, berbagai nilai
(values) yang dijadikan pegangan (belief)
tersebut menjadi pedoman bagi
keberlangsungan operasionalisasi suatu
organisasi. Budaya organisasi dapat ditelaah
lewat logo, slogan/jargon dan kisah
(narratives story) mengenai sejarah dibalik
berdirinya organisasi atau perusahaan.
Sejarah yang telah ditorehkan oleh para
pendiri, akan dimanifestasikan sebagai akar
atau budaya yang akan dimunculkan melalui
perilaku para anggota atau pegawainya.
Melalui pengukuran nilai-nilai dalam budaya
organisasi, peneliti dapat melihat bagaimana
nilai-nilai suatu organisasi dapat diinter-
nalisasi oleh para anggota atau pegawainya.
Permasalahan mendasar dalam
mengukur atau mengidentifikasi nilai-nilai
budaya organisasi adalah sifatnya yang tidak
terlihat. Roger Harrison merupakan salah satu
tokoh pertama yang mengembangkan suatu
metode untuk mengidentifikasi budaya
organisasi. Pada tahun 1972, Harrison
mengembangkan instrumen yang dikenal
sebagai Harrison’s Organizational Ideologi
Questionnarie dimana instrumen ini
mengukur ideologi dari suatu organisasi
dalam hal orientasi terhadap powers, roles,
tasks, dan individuals. Kelebihan dari metode
ini adalah tingkat validitas yang baik dan
dapat menunjukan budaya organisasi yang
ada pada saat ini dan budaya organisasi yang
diinginkan. Sedangkan, kelemahannya adalah
masih terbatasnya jumlah tipe budaya yang
dapat teridentifikasi.
Selanjutnya, Kilmann & Saxton (1983)
mengembangkan metode pengukuran budaya
Page 25
H a l a m a n | 25
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
organisasi berdasarkan dua orientasi kultural
yang umumnya berlaku dalam organisasi
(Kilmann Saxton Culture Gap Survey – KSCGS),
yaitu: (1) Orientasi Teknis dan Orientasi
Manusia, serta (2) Orientasi Jangka Pendek
dan Orientasi Jangka Panjang. Sehingga, dalam
alat ukur tersebut terdapat empat konfigurasi
kultural, yaitu: (a) Orientasi Teknis Jangka
Pendek – Task Support, (b) Orientasi Teknis
Jangka Panjang – Task Innovation, (c) Orientasi
Manusia Jangka Pendek – Social Relationships
dan (d) Orientasi Manusia Jangka Panjang –
Personal Freedom. Kelebihan dari instrumen
KSCGS adalah mampu memprediksi
kesenjangan budaya di dalam suatu
organisasi. Sedangkan kelemahan alat ukur
KSCGS adalah kurangnya domain kultural atau
aspek yang diukur sehingga terdapat
beberapa budaya organisasi yang seharusnya
dapat diukur secara independen justru
terukur secara terintegrasi.
Pada tahun 1987 Glazser, Zamanou, &
Hacker mengembangkan Organizational
Culture Survey yang mengukur 6 faktor
empiris yaitu teamworks and conflict, climate
and morale, information flow, involvement,
supervisions, dan meetings. Kelebihan dari
metode ini adalah mudah digunakan serta
memiliki proses pengembangan yang
komprehensif. Sedangkan kekurangan dari
metode ini adalah hanya membahas hal yang
terlihat dipermukaan saja.
Perekembangan selanjutnya ada tahun
1989, Cooke & Lafferty juga mengembangkan
metode untuk mengidentifikasi budaya
organisasi yang dikenal dengan
Organizational Culture Inventory (OCI). Alat
ukur ini dikembangkan sebagai tanggapan
terhadap permintaan akan metode
pengukuran budaya organisasi yang andal dan
valid, serta dapat membedakan organisasi
yang efektif dengan yang kurang efektif.
Dampak budaya dan kesenjangan antara profil
budaya saat ini dan yang ideal dapat
memberikan referensi untuk memperkuat
efektivitas dalam mengembangkan rencana-
rencana jangka panjang suatu organisasi. OCI
dapat digunakan untuk menilai baik budaya
operasi organisasi yang sudah terjadi (yaitu,
norma perilaku) dan budaya ideal dalam yang
diharapkan (yaitu, nilai-nilai yang dianut).
Hasil pengukuran budaya organisasi melalui
OCI ditampilkan pada suatu diagram lingkaran
yang dikenal sebagau circumplex, yang
digunakan untuk menggambarkan budaya
operasi ideal dan yang telah terjadi pada saat
ini.
Gambar 1. Diagram Circumplex OCI
OCI mendefinisikan budaya organisasi
sebagai sejumlah konsep moral yang
mencerminkan ekspektasi perilaku baik
secara langsung maupun tidak dengan
berbasis keilmuan (ilmiah). Pertanyaan utama
dari OCI adalah: "Bagaimana seorang pegawai
atau anggota organisasi harus berperilaku
memenuhi harapan dan mencocokan diri
dengan organisasi tempat mereka bernaung?"
Inti dari pendekatan ini adalah circumplex
yang menunjukkan ekspektasi perilaku dalam
dua belas kategori dengan cara yang mudah
dimengerti dan praktis (lihat gambar 1.
Diagram Circumplex OCI).
Circumplex menggambarkan ekspektasi
perilaku mana yang relatif tipikal bagi suatu
Page 26
H a l a m a n | 26
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
perusahaan, dibandingkan dengan organisasi
lain. Melalui penggambaran tersebut, OCI
dapat digunakan sebagai alat evaluasi pola
pikir dan gaya manajemen serta budaya tim
dan perilaku layanan kepada pelanggan
(Cooke & Lafferty, 1989). Beberapa
kelebihannya adalah tingkat validitas yang
baik, digunakan oleh banyak ahli diseluruh
dunia hingga saat ini dan hasilnya ditampilkan
dalam ilustrasi grafis.
Budaya organisasi akan sangat
bergantung pada jenis industri. Sebagai
negara dengan jumlah penduduk terbanyak
keempat di dunia, industri makanan dan
minuman di Indonesia memegang salah satu
peranan penting dalam pertumbuhan
perekonomian. Industri makanan dan
minuman yang sedang banyak di minati
khususnya di Kota Bandung adalah kedai kopi
(coffee shop).
Banyaknya kedai kopi (coffee shop) yang
sedang berkembang di kota Bandung ada
dikarenakan perubahan pola hidup dari
masyarakat itu sendiri. Kedai kopi (coffee
shop) bukan lagi hanya berperan sebagai
tempat untuk memenuhi kebutuhan pangan
saja, akan tetapi juga berperan sebagai tempat
untuk memenuhi kebutuhan bersosialisasi
bahkan untuk bekerja. Pada masa pelonggaran
level PPKM, kedai kopi menjadi pilihan para
karyawan maupun mahasiswa untuk
menyelesaikan tugas secara daring.
Di kota Bandung sendiri sudah terdapat
banyak sekali kedai kopi yang berdiri dengan
kekhasan masing-masing. Ada dua jenis kedai
kopi yang marak di Bandung. Jenis pertama
adalah kedai kopi waralaba/kemitraan (chain
coffee shop/franchise) dan kedai kopi yang
dikelola secara mandiri atau non-waralaba
oleh wirausahawan lokal. Perbedaan secara
kasat mata yang dapat terlihat diantara kedua
jenis industri kopi tersebut adalah pada kedai
kopi kemitraan, ada ciri khusus yang membuat
atmosfer antara satu kedai dengan kedai lain
dalam satu kemitraan tampak serupa.
Sedangkan pada kedai kopi lokal, atmosfernya
sangat khas, menyesuaikan budaya masing-
masing kedai kopi.
Semangat dalam mendirikan usaha kedai
kopi lokal non-waralaba dengan mem-
berdayakan tenaga muda sebagai karyawan
merupakan perwujudan kewirausahaan sosial
atau yang lebih dikenal sebagai Socio-
preneurship. Berdasarkan nilai-nilai kearifan
lokal yang ada pada kedai kopi non-waralaba,
peneliti merasa tertarik untuk mengukur nilai
ideal dan aktual budaya organisasi pada kedai
kopi lokal non-waralaba di kota Bandung.
1.1. Budaya Organisasi dalam Perspektif
Organizational Culture Inventory
Budaya Organisasi merupakan suatu
topik penelitian yang menarik dikaji karena
nilai-nilai yang ada dalam budaya suatu
organisasi akan mempengaruhi dinamika
suatu organisasi. Dalam prakteknya,
internalisasi budaya organisasi pada anggota
organisasi atau pegawai akan terbagi menjadi
keadaan aktual (sebenarnya) dan keadaan
ideal (yang diharapkan). Untuk mengukur ada
atau tidaknya kesenjangan keadaan aktual
dengan ideal dan sejauh mana kesen-
jangannya, maka diperlukan adanya
penyusunan alat ukur Organizational-Culture
Inventory (OCI) yang sesuai dengan subyek
penelitian ini. Inti dari pendekatan ini adalah
diagram lingkaran yang menunjukkan
ekspektasi perilaku dalam dua belas kategori
dengan cara yang mudah dimengerti dan
dapat dipraktekkan (Cooke&Lafferty, 1983).
Respons individu terhadap pengukuran
Organizational-Culture Inventory (OCI)
dikumpulkan ke tingkat organisasi yang
kemudian diplot pada sirkumpleks (lihat
gambar 1. Diagram Circumplex OCI). Gaya
budaya yang terletak bersebelahan pada
sirkumplex (mis. Achievement dan Self-
Page 27
H a l a m a n | 27
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
actualization) memiliki keterkaitan yang lebih
erat daripada tipikal budaya yang terletak
terpisah (mis. Achievement dan Conventional).
Berikut deskripsi dari komponen pembentuk
circumplex Organizational-Culture Inventory
(Cooke&Lafferty, 1983):
• Constructive Style
Pada dimensi ini, setiap anggota
didukung untuk berinteraksi dengan orang
lain dan melakukan pendekatan
penyelesaian tugas yang akan membantu
mereka memenuhi kebutuhan kepuasan
individu Dimensi ini mengukur aspek
Pencapaian (Achievement), Aktualisasi diri
(Self-Actualization), Kontribusi aktif
(Humanistic-encouraging), serta Hubungan
Interpersonal (Affiliative).
• Passive/Defensive Style
Anggota percaya mereka harus
berinteraksi dengan orang-orang dengan
cara-cara defensif sehingga tidak akan
mengancam keberadaan mereka sendiri.
Gaya budaya ini meliputi, budaya approval
yang identik dengan persetujuan atau
menghindari konflik, budaya konvensional
(conventional), budaya hirarkis/non-
partisipatif (dependant), dan budaya sanksi
ketat (avoidance).
• Aggressive/Defensive Style
Pada kompenen ini, anggota
diharapkan untuk melakukan tugas-tugas
dengan komitmen yang kuat (termasuk
didalamnya budaya berlakunya
Konfrontasi & Negativisme (oppositional),
orientasi pada kekuasaan (power), budaya
saling mengalahkan (competitive), dan
perfeksionisme (perfeksionisme).
1.2. Kedai Kopi Lokal Non-Waralaba Sebagi
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UMKM)
Kriteria UMKM menurut UU Nomor 20
Tahun 2008, yaitu:
• Usaha Mikro: Suatu usaha dapat dikatakan
sebagai usaha mikro jika usaha tersebut
memiliki kekayaan bersih (aset) paling
tinggi 50 juta dan omset paling banyak 300
juta. Aset yang diperhitungkan tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha.
• Usaha kecil: Merupakan kelompok usaha
dengan kekayaan bersih setidaknya 50 juta
hingga 500 juta serta memiliki nilai
penjualan setidaknya 300 juta rupiah
hingga 2.5 miliar. Sama halnya dengan
usaha mikro, aset yang diperhitungkan
tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha.
• Usaha menengah: Merupakan kelompok
usaha dengan aset mulai 500 juta sampai
10 miliar, serta penjualan 2.5 miliar sampai
dengan 50 miliar. Sama dengan kelompok
usaha lainnya, aset yang diperhitungkan
tidak termasuk tanah dan bangunan.
Kedai kopi lokal non-waralaba dikelola
secara mandiri oleh perseorangan atau
kelompok yang memiliki ketertarikan pada
kopi lokal Indonesia bukan berasal dari
corporate perusahaan besar.
1.3. Kewirausahaan Sosial (Sociopreneur).
Pengertian sederhana dari social
entrepreneur adalah seseorang yang mengerti
permasalahan sosial dan menggunakan
kemampuan wirausaha untuk melakukan
perubahan melakukan perubahan sosial
(social change), terutama meliputi bidang
kesejahteraan (welfare), pendidikan dan
kesehatan (healthcare) (Cukier, 2011).
Definisi lebih lanjut disampaikan oleh
Palesangi (2013) bahwa social
enterpreneurship terdiri dari empat elemen
utama, yaitu social value, civil society,
innovation, and economic activity
• Social Value. Ini merupakan elemen paling
khas dari social entrepreneurship yakni
Page 28
H a l a m a n | 28
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
menciptakan manfaat sosial yang nyata
bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.
• Civil Society. Social entrepreneurship pada
umumnya berasal dari inisiatif dan
partisipasi masyarakat sipil dengan
mengoptimalkan modal sosial yang ada di
masyarakat.
• Innovation. Social entrepreneurship
memecahkan masalah sosial dengan cara-
cara inovatif antara lain dengan
memadukan kearifan lokal dan inovasi
sosial.
• Economic Activity. Social entrepreneurship
yang berhasil pada umumnya mampu
menyeimbangkan antara aktivitas sosial
dan aktivitas bisnis. Aktivitas
bisnis/ekonomi dikembangkan untuk
menjamin kemandirian dan keberlanjutan
misi organisasi.
2. METODE PENELITIAN
2.1. Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif dengan desain penelitian
deskriptif.
2.2. Variabel Penelitian
Penelitian ini mengkaji variabel norma
ideal dan aktual pada pegawai kedai kopi
lokal non-waralaba di kota Bandung
berdasarkan alat ukur Organizational Culture
Inventory (OCI) yang dipaparkan secara
deskriptif berdasarkan 3 dimensi dan 12 sub-
dimensi yang terdapat didalamnya yaitu
Constructive Cultures Style sebagai dimensi
pertama yang terdiri 4 sub-dimensi yakni
Achievement, Self-actualization, Human
Encouraging dan Affiliative; dimensi kedua
adalah Passive/Deffensive Style yang terdiri
dari 4 sub-dimensi antara lain, Approval,
Conventional, Dependent dan Avoidance; dan
dimensi ketiga adalah Aggressive/Defensive
Style yang terdiri dari 4 sub-dimensi yaitu,
Oppositional, Power, Competitive dan
Perfectionistic.
2.3. Subjek Penelitian
2.3.1. Populasi
Menurut Riadi, (2016:33) populasi adalah
sebuah wilayah atau tempat objek atau subjek
yang diteliti, seperti orang, benda, kejadian,
nilai maupun hal-hal lain yang memiliki
kuantitas dan karakteristik tertentu untuk
mendapatkan sebuah informasi. Populasi
dalam penelitian ini adalah pegawai dan
pemilik kedai kopi lokal di kota Bandung.
2.3.2. Sampel
Menurut Sugiyono (2016) sampel adalah
bagian dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh populasi. Metode sampling dalam
penelitian ini adalah teknik sampling yang
digunakan yaitu non-probability sampling
dengan teknik accidental/incidental sampling.
Sugiyono (2016) mendefinisikan
accidental/incidental sampling sebagai teknik
penentuan sampel berdasarkan kebetulan
yaitu siapa saja yang secara kebetulan
bertemu dengan peneliti dan dapat digunakan
sebagai sampel bila dipandang orang yang
kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber
data.
Pengambilan data dilakukan peneliti pada
43 pegawai dan 3 pemilik dari tujuh kedai kopi
lokal di kota Bandung yang menjadi tempat
pengamatan peneliti selama 1 minggu, yaitu:
Kedai Kopi X1, Kedai Kopi X2, Kedai Kopi X3,
Kedai Kopi X4, Kedai Kopi X4 dan Kedai Kopi
X5. Peneliti menentukan pegawai yang dapat
mengisi form kuesioner adalah yang berposisi
sebagai Barista, Pramusaji (Waitress), Juru
Masak (Chef), Kasir serta Manajer atau
Supervisor kedai.
Page 29
H a l a m a n | 29
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
2.4. Metode dan Instrumen Pengumpul
Data
Norma Ideal dan Aktual pada Budaya
Organisasi Kedai Kopi di kota Bandung ini,
diukur melalui instrumen Organizational
Culture Inventory (OCI) oleh (Cooke & Lafferty,
1989). Instrumen ini disajikan kepada
responden secara berpasangan (Ideal dan
Aktual) yang terdiri 96 item pada 3 dimensi
yaitu: (1) Constructive Cultures (terdiri dari 32
item yang terbagi dalam 4 sub-dimensi
Achievement, Self-actualization, Human
Encouraging dan Affiliative); (2)
Passive/Deffensive (terdiri dari 32 item yang
terbagi dalam 4 sub-dimensi Approval,
Conventional, Dependent dan Avoidance); (3)
Aggressive/Defensive (terdiri dari 32 item
yang terbagi dalam 4 sub-dimensi
Oppositional, Power, Competitive dan
Perfectionistic.
Skala pengukuran butir pernyataan yang
digunakan dalam instrumen ini, baik untuk
mengukur Current culture maupun Ideal
culture adalah five-points likert scale. Skala
bagi pengukuran Current culture, dimulai dari
1 yang merujuk pada “sama sekali tidak
diterapkan” hingga 5 yang merujuk pada
“sangat diterapkan”. Demikian pula bagi skala
pengukuran ideal culture dimulai dari 1 yang
merujuk pada “sama sekali tidak berharap
untuk diterapkan” hingga 5 yang merujuk
pada “sangat berharap untuk diterapkan”.
2.5. Mengomparasikan Nilai Current
Culture dan Ideal Culture
Kesenjangan antara skor pengukuran
current culture dan ideal culture dapat
mengikuti pedoman berikut (Cooke & Lafferty,
1989):
1. Nilai percentil current culture yang
diperoleh, kemudian dikurangi dengan
nilai ideal culture.
2. Semakin besar jarak atau nilai yang
dihasilkan dari pengurangan nilai current
culture dengan nilai ideal culture (dapat
bersifat – atau +), mengidikasikan adanya
kesenjangan kultur. Antara kultur yang
senyatanya dan kultur yang diharapkan.
3. Nilai negatif (-) mengindikasikan bahwa
rata-rata orang yang mengisi survey
mengharapkan adanya upaya untuk
peningkatan current culture sehingga
dapat mencapai ideal cuture. Sebaliknya,
Nilai positif (+) mengindikasikan bahwa
rata-rata orang yang mengisi survey
mengharapkan adanya upaya untuk
menurunkan current culture sehingga
dapat mencapai ideal cuture
4. Penting untuk diingat bahwa ideal culture
merupakan tolok ukur yang dijadikan
acuan apakah kultur saat ini perlu
ditingkatkan atau diturunkan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel dibawah ini menunjukkan
gambaran umum mengenai data demografi
responden: Tabel.1 Data Demografi Partisipan (n=46)
Kategori Jumlah
Jenis Kelamin
Laki-laki 39 orang
Perempuan 7 orang
Usia (dalam tahun)
21-25 30 orang
26-30 13 orang
31-35 2 orang
36-40 1 orang
Tingkat Pendidikan
SMA/SMK 30 orang
Diploma 2 orang
S1 11 orang
S2 1 orang
Lain-lain 2 orang
Posisi/Jabatan
Pemilik
Barista
3 orang
26 orang
Page 30
H a l a m a n | 30
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
Kategori Jumlah
Waitress 4 orang
Chef 2 orang
Kasir 4 orang
Manager/Supervisor 7 orang
Masa Kerja (dalam tahun)
<1 16 orang
1 – 3 19 orang
4 – 6 11 orang
Berdasarkan data demografi sampel
penelitian, seluruh pegawai dan pemilik kedai
kopi lokal non-waralaba yang menjadi subjek
penelitian ini merupakan generasi milenial.
Penggolongan generasi Y atau Millennial
Generation terbentuk bagi mereka yang lahir
pada 1980 - 1990, atau pada awal 2000.
Hasil analisis kondisi aktual (current
culture) yang dirasakan oleh pegawai kedai
kopi lokal di kota Bandung (lihat Grafik 1.
Circumplex Curent Culture) menunjukkan
analisis current culture yaitu kondisi yang
senyatanya tengah dirasakan oleh para
pegawai dalam bentuk circumplex.
Hasil pada circumplex berupa persentase
ditampilkan pada tabel 2 yang menunjukkan
bahwa secara umum, dimensi Constructive
menempati posisi puncak dengan Affiliative
(77.6%) sebagai sub-dimensi yang tertinggi
dan sub-dimensi Self-actualizing (71.8%) yang
terendah. Hal ini mengindikasikan bahwa
sekitar 35 pegawai kedai kopi lokal sepakat
bahwa mereka senang bekerja sama, bersikap
bijaksana, memikirkan kepuasan kelompok,
memotivasi rekan kerja, serta bersikap
terbuka dan hangat (sub-dimensi Affiliative).
Sedangkan posisi terendah ada pada
dimensi Aggresive Style, dimana persentase
yang nilainya paling kecil ada pada dimensi
Power (37.5%). Hal ini menunjukkan bahwa
hanya sekitar 16 pegawai yang menganggap
bahwa mereka suka memaksa, menyerang,
memanfaatkan kekuasaan, tidak suka
dipertanyakan, bersikap keras, lebih memilih
melakukan segala hal sendiri dan memainkan
politik di tempat kerja agar memiliki
kekuasaan.
Grafik 1. Circumplex Current Culture
Tabel.2 Hasil Analisis Current Culture dalam Persentase
Style Persentase
Humanistic / Encouraging 75,4%
Affiliative 77,6%
Achievement 73,6%
Self-Actualizing 71,8%
Approval 68,5%
Conventional 64,6%
Dependent 63,4%
Avoidance 46,6%
Oppositional 49,8%
Power 37,5%
Competitive 49,8%
Perfectionistic 61,6%
Hasil analisis kondisi ideal (ideal culture)
sebagaimana yang ditampilkan pada Grafik. 2
dan Tabel 3, menunjukkan bahwa secara
umum, dimensi Constructive mendominasi
harapan para pegawai, dimana primary ideal
culture ada pada sub-dimensi Affiliative
Page 31
H a l a m a n | 31
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
(83.5%) dan secondary Ideal culture ada pada
sub-dimensi Humanistic Encouraging (82.3%).
Hal ini mengindikasikan bahwa selain
mengharapkan adanya peningkatan pada sub-
dimensi Affiliative, para pekerja di kedai kopi
juga memiliki harapan untuk dapat lebih
menunjukkan kepedulian terhadap kebutuhan
rekan kerja, melibatkan rekan kerja dalam
pengambilan keputusan, mendorong dan
menyemangati rekan kerja, memberikan
apresiasi positif dan belajar menyelesaikan
konflik dengan cara yang konstruktif.
Gambar 2. Circumplex Ideal Culture
Tabel.2 Hasil Analisis Ideal Culture dalam Persentase
Style Persentase
Humanistic / Encouraging 82,3%
Affiliative 83,5%
Achievement 79,9%
Self-Actualizing 75,1%
Approval 70,8%
Conventional 66,3%
Dependent 63,7%
Avoidance 44,4%
Oppositional 49,3%
Power 35,7%
Style Persentase
Competitive 51,1%
Perfectionistic 65,1%
Lebih lanjut, kesenjangan antara kondisi
aktual (current culture) dan kondisi ideal
(ideal culture) yang diekspektasikan dapat
dilihat pada diagram berikut:
Grafik 3. Circumplex of Current and Ideal Culture Gap
Tabel 4. Analisis Kesenjangan Actual dan Ideal Culture.
Style Current Ideal Gap
Humanistic / Encouraging
75,4% 82,3% -6.9 %
Affiliative 77,6% 83,5% -5.9 %
Achievement 73,6% 79,9% -6.3 %
Self-Actualizing 71,8% 75,1% -3.3 %
Approval 68,5% 70,8% -2.3 %
Conventional 64,6% 66,3% -1.7 %
Dependent 63,4% 63,7% -0.3 %
Avoidance 46,6% 44,4% 2.2 %
Oppositional 49,8% 49,3% 0.5 %
Power 37,5% 35,7% 1.8 %
Competitive 49,8% 51,1% -1.3 %
Perfectionistic 61,6% 65,1% -3.5 %
Page 32
H a l a m a n | 32
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
Pada Grafik 3 terlihat kesenjangan (gap)
antara Ideal dan Current culture. Tabel 4
menampilkan informasi mengenai
kesenjangan antara primary dan secondary
gap dalam bentuk persentase. Kesenjangan
paling besar (primary gap) dalam penelitian
ini ada pada dimensi Constructive, sub-
dimensi Humanistic-encouraging (-6.93%)
yang artinya dengan tanda (-) sub-dimensi ini
diharapkan dapat ditingkatkan atau dinaikkan
intensitasnya. Kemudian, kesenjangan kedua
(secondary gap) ada pada sub-dimensi
Achievement (-6.31%) yang memiliki arti
bahwa para pegawai kedai kopi lokal di kota
Bandung berekspektasi mereka dapat berpikir
lebih maju dan terencana, tertantang untuk
membuat target yang lebih sulit, mengejar
standar yang luar biasa (excellence), lebih
berani mengambil resiko, mengeksplorasi,
dan bekerja untuk mencapai keberhasilan.
Sedangkan kesenjangan yang sangat kecil
besarannya ada pada sub-dimensi Dependant
(-) (0.24%) dan Oppositional (0.51%). Hal ini
dapat dimaknai bahwa secara umum, dengan
kesenjangan nilai aspek Dependent yang
sangat kecil, para pegawai kopi lokal non-
waralaba tidak memiliki kecenderungan
untuk tidak berinisiatif, justru sebaliknya
mereka adaptif, spontan, serta fleksibel dalam
pengambilan keputusan.
Sedangkan kesenjangan nilai aspek
Oppositional yang terendah kedua setelah
aspek Dependant menunjukkan bahwa para
subjek penelitian sangat meminimalisir
konflik dalam bekerja, saling mendukung ide-
ide membangun dari rekan kerja, serta
berinteraksi secara positif.
4. KESIMPULAN
Organizational-Culture Inventory (Cooke &
Lafferty, 1983) adalah instrumen yang
dirancang untuk mengukur keyakinan
normatif dan harapan (ekspektasi) perilaku
berkenaan dengan budaya yang ada di dalam
suatu organisasi. Keyakinan normatif adalah
kognisi yang dimiliki oleh seorang individu
mengenai harapan orang lain atas perilakunya
sebagai anggota kelompok atau organisasi
tertentu (Fishbein & Ajzen, 1975). Sedangkan
perilaku yang diharapkan (diekspektasikan)
merupakan sekumpulan keyakinan normatif
yang ada pada anggota dan sedang
berlangsung di dalam suatu organisasi
(Homans, 1950; Mills, 1967). Sama halnya
dengan perilaku yang diharapkan
(diekspektasikan), standard atau norma yang
berlaku akan menjadi petunjuk spesifik bagi
para anggota dalam bekerja dan beinteraksi
antar satu sama lain.
Berbagai rekomendasi dan aturan
terhadap perilaku tersebut, pada umumnya
dipandang sebagai komponan-komponen
penting berupa budaya (culture) yang telah
terbentuk dan direfleksikan oleh para anggota
organisasi (Homans, 1950; Siehl & Martin,
1984; Schein, 1985; O’ReiIy, 1989).
Kontribusi pertama yang dipresentasikan
dalam penelitian ini adalah untuk
menunjukkan kesenjangan norma Aktual
(current culture) dan Ideal (Ideal culture) pada
pegawai kedai kopi lokal di Bandung. Hasil
penelitian ini mengindikasikan bahwa
menurut analisis budaya organisasi pada
kedai kopi lokal Bandung berdasarkan
instrumen Organizational Culture Inventory
(OCI), secara umum didominasi oleh dimensi
Constructive. Organisasi dengan kekuatan
pada dimensi ini mendukung setiap anggota
untuk berinteraksi dengan sesama rekan kerja
dan orang lain dalam rangka menyelesaikan
pekerjaan dengan cara saling membantu demi
memenuhi tujuan dan kepuasan bersama.
Pada instrumen ini, dapat dipetakan
kesenjangan terbesar (primary gap) dan
kesenjangan kedua tertinggi (secondary gap).
Dari hasil analisis statistik deskriptif
Page 33
H a l a m a n | 33
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
didapatkan bahwa primary gap ada pada sub-
dimensi Humanistic-encouraging yang
mengindikasikan bahwa para pegawai
diharapkan dapat tetap mempertahankan
bahkan lebih menunjukkan kepedulian
terhadap kebutuhan rekan kerja, membantu
rekan kerja untuk bertumbuh dan
berkembang, menyelesaikan konflik dengan
cara yang konstruktif dan meberikan apresiasi
positif kepada rekan kerja.
Tingginya persentasi pada sub-dimensi
Humanistic-encouraging (Aktual: 75.4%,
Ideal: 82.3%) menunjukkan bahwa kedai kopi
lokal di Bandung merupakan tipe organisasi
yang dikelola secara partisipatif dan berpusat
pada kemanusiaan. Anggota diharapkan saling
mendukung, konstruktif, dan terbuka serta
saling mempengaruhi dalam menjalin
hubungan satu sama lain. Budaya Humanistik
mengarah pada kinerja organisasi yang efektif
dengan memfasilitasi perkembangan individu
dan keterlibatan aktif anggota yang pada
gilirannya dapat menghasilkan kepuasan dan
komitmen yang tinggi terhadap organisasi.
Kesenjangan kedua (secondary gap) ada
pada sub-dimensi Achievement (-6.31%) yang
memiliki arti para pegawai kedai kopi lokal di
kota Bandung berekspektasi mereka dapat
berpikir lebih maju dan terencana, tertantang
untuk membuat target yang lebih sulit,
mengejar standar yang luar biasa, lebih berani
mengambil resiko, mengeksplorasi, dan
bekerja untuk mencapai keberhasilan.
Tingginya persentasi pada sub-dimensi
Achievement (Aktual: 73.6%, Ideal: 79.9%)
mengindikasikan bahwa kedai kopi lokal di
Bandung juga memiliki ciri organisasi yang
dapat melaksanakan hal-hal dengan baik dan
menghargai para pegawai, sehingga mampu
menetapkan dan mencapai tujuan mereka
sendiri.
Anggota organisasi (dalam hal ini para
pegawai kedai kopi) menetapkan tujuan yang
menantang namun tetap realistis, mereka
mengembangkan rencana untuk mencapai
tujuan, dan mengejar tujuan tersebut dengan
antusias. Pencapaian tujuan organisasi diraih
dengan efektif; masalah-masalah diselesaikan
dengan tepat, klien dan pelanggan dilayani
dengan baik, serta orientasi anggota dan
organisasi itu sendiri tergolong dalam kondisi
yang sehat.
Dengan demikian, budaya organisasi pada
kedai kopi lokal non-waralaba didominasi
aspek Constructive Style, yaitu setiap anggota
didukung untuk berinteraksi dengan orang
lain dan melakukan pendekatan penyelesaian
tugas yang akan membantu mereka dalam
memenuhi kepuasan kerja.
Mereka berani menentukan target yang
terukur, menciptakan ruang komunikasi yang
terbuka, dapat melayani pelanggan dengan
baik serta mendapatkan kesenangan dari
pekerjaan, yang menuntun mereka kepada
loyalitas dan komitmen kerja. Tentunya hal ini
sejalan dengan semangat Sociopreneur dan
menjadi salah satu faktor pendukung yang
membuat mereka mampu bertahan melewati
masa-masa pandemi dimana banyak UMKM
yang terpuruk.
Ksenjangan terkecil pada aspek
Aggresive/Defensive menunjukkan bahwa
budaya organisasi kedai kopi lokal non-
waralaba sangat jauh dari budaya Oposisi,
Kekuasaan, Kompetitif, dan Perfeksionistik.
Artinya, baik pemilik maupun pegawai sangat
menjaga konfrontasi, tidak ingin saling
mengendalikan/menguasai, serta tidak
mendukung budaya kompetisi antar sesama
dan memberikan ruang bagi para pekerja
untuk saling belajar dan mentolerir kesalahan.
Berbagai kesenjangan nilai (gap) yang telah
dipaparkan melalui data-data penelitian dapat
membantu para pelaku usaha kedai kopi lokal
non-waralaba untuk kembali mengevaluasi
kegiatan operasional mereka. Menilik kembali
Page 34
H a l a m a n | 34
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
bahwa UMKM kedai kopi lokal non-waralaba
lebih banyak menyerap tenaga kerja dari
berbagai lulusan SMK/SMA maka perlu
diperhatikan keberlangsungan bisnisnya. Hal-
hal yang perlu ditingkatkan antara lain
mendorong para karyawan untuk leih
berkontribusi terhadap pengembangan
layanan, mendukung karyawan untuk lebih
berani meraih target-target yang belum
tercapai, lebih berani mengambil kesempatan
dan lebih berinisiatif dalam mengambil
tindakan, bersikap lebih keras dan tangguh
serta mendukung budaya kerja yang lebih
independen.
Setiap instansi, lembaga, perusahaan atau
unit usaha akan memiliki budaya organisasi
tersendiri. Inti dari pengukuran ini adalah
meminimalisir kesenjangan khususnya pda
aspek Constructive Style, Passive/Devensife
Style serta Aggressive/Defensive Style agar
setiap organisasi dapat memiliki budaya yang
ideal serta lebih berimbang.
5. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, saran
yang dapat peneliti sampaikan kepada kedai
kopi lokal Bandung adalah agar
mempertahankan serta meningkatkan
budaya organisasi Humanistic-encouraging
dan Achievement agar dapat menciptakan
lingkungan kerja yang semakin kondusif bagi
para pegawai. Akan lebih baik jika setiap kedai
kopi dapat membuat program-program yang
dapat menstimuli kreatifitas dan dapat
menciptakan suasana kerja yang membuat
pegawai merasa tertantang untuk lebih berani
mengeksplorasi kemampuannya sehingga
mereka dapat meraih standar yang luar biasa.
Sedangkan saran bagi penelitian lanjutan
serupa peneliti menyarankan agar dapat
melakukan studi komparasi Budaya
Organisasi antara pegawai kedai UMKM kopi
lokal non-waralaba (non-franchise) dengan
kedai kopi kemitraan (franchise). Selain itu,
dapat dipertimbangkan juga penelitian pada
industri yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Cooke, R. A., Lafferty, J. C. (2007).
Organizational Culture Inventory®
Detailed Explanation for Fikri, A. Human
Synergistics/Center for Applied Research,
Inc.
Chatman, J. A., Jehn, K. A. (1994). Assessing
The Relationship Between Industry
Characteristics And Organizational
Culture: How Different Can You Be?
Academy of Management Journal, Vol, 37,
No, 3, 522-553.
Genetzky-Haugen, M. S. (2010). Determining
the Relationship and Influence
Organizational Culture has on
Organizational Trust. Lincoln: University
of Nebraska; Theses, Dissertations, &
Student Scholarship: Agricultural
Leadership, Education & Communication
Department.
Natalia (2017). Perbandingan Coffeeshop
Noah Barn dan SF Roastery Berdasarkan
Store Atmosphere, Service Quality, Coffee
Quality dan Niat Beli Ulang. Bandung:
Universitas Parahyangan.
Palesangi, M. (2012), Pemuda Indonesia dan
Kewirausahaan Sosial, Prosiding Seminar
Nasional Competitive Advantage,
Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum.
Riadi, Edi (2016). Statistik Penelitian (Analisis
Manual dan IBM SPSS). Yogyakarta: Andi.
Schein, Edgar H (2004). Organizational Culture
and Leadership. San Fransisco: Jossey-
Bass a Woley Imprint.
Page 35
H a l a m a n | 35
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
Schein, Edgar H (2009). The Corporate Culture
Survival Guide. San Fransisco: Jossey-Bass
a Woley Imprint.
Schneider, Benjamin., Barbera, K.M (2014) The
Oxford Handbook of Organizational
Climate And Culture. Oxford Library of
Psychology. New York: Oxford University
Press.
Sugiyono (2016). Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
© 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license
(https://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0/).
Page 36
H a l a m a n | 36
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
PERILAKU KEKERASAN DALAM BERPACARAN PADA MAHASISWA DI UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
Rizky Aulia Khair1*, Agus Suriadi 1
1 Prodi Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara,
Medan, Indonesia
E-mail: [email protected] ; [email protected]
Abstract
Conceptually, violence that occurs in the whole world with a various form is an indication of power-abuse, gender inequality and domination. Dating-Violence is an act of violence that against a partner, whether physical, sexual or psychological, that are committed before marriage. Nowadays, it is a problem that is quite prominent in the world community.The objectives of this research to obtain a more specific pictures of a dating-violence behaviour.The method of this research used a descriptive-method using a qualitative approach. Descriptive research was conducted with the objectives of picturing or describing the object or phenomenon to be studied. The technique of this research was conducted using snowball sampling techniques.The samples in this research were Sekretaris Jenderal Pemerintahan Mahasiswa (PEMA). The student who experienced dating-violence at the Faculty of Social and Political Sciences, University of South Sumatera was the main sample of this research and another student, was her close-friend and families of students experiencing dating-violence. The data collection techniques using literature study, observation, and interviews. The data obtained and analysed by the researchers in order to found any new facts with a qualitative approach. The results of this research indicated that dating was no longer a matter of love and affection but rather someone tends to think that dating as a form of ownership not an exploratory process to get to know each other before stepping into a more serious step, namely marriage. Because of the opinion, it made a person committed violence to defend what was his/her own. The dating-violence were caused by several things, for examples: jealousy, infidelity, not obeying their couples’ orders. The were two kinds of violence experienced in dating: verbal violence which is a psychological violence and non-verbal violence which is physical violence. Keywords: Dating-Violence, College Students, Women.
1. PENDAHULUAN
Pada masa saat mulai menjadi dewasa
terutama di kalangan mahasiswa, baik
perempuan dan laki-laki pasti sangat
mengenal apa itu berpacaran atau menjalin
hubungan. Pacaran merupakan suatu
hubungan yang terjalin antara seorang laki-
laki dan perempuan akibat adanya
ketertarikan baik secara fisik maupun nonfisik
yang dibangun diatas komitmen di antara
keduanya (Safitri, 2013). Berpacaran selalu
dihadapkan pada situasi yang menuntut harus
mampu menyesuaikan diri bukan hanya
terhadap dirinya sendiri tetapi juga
pasangannya.
Pacaran memiliki dua dampak yaitu
dampak positif dan negatif. Dampak positif
dari pacaran adalah sebagai proses belajar
untuk menjalin kebersamaan dan menjadi
salah satu sarana dalam menyeleksi dan
menemukan pasangan hidup (Santrock,
2003). Sementara, untuk dampak negatif yang
terjadi seperti pemerkosaan, kehamilan diluar
pernikahan dan kekerasan dalam pacaran.
Untuk kekerasan sendiri, tidak jarang
hubungan berpacaran diwarnai dengan kasus
kekerasan terutama dilakukan oleh laki-laki.
Tetapi, masih banyak masyarakat yang tidak
tahu adanya kekerasan dalam berpacaran,
karena kurangnya informasi dan data dari
Page 37
H a l a m a n | 37
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
laporan korban mengenai kekerasan dalam
pacaran tersebut. Selain dampak fisik, pacaran
bisa mengakibatkan perasaan trauma dalam
menjalin hubungan.
Kekerasan dalam pacaran (KDP)
merupakan tindak kekerasan yang dilakukan
dalam hubungan pacaran yang dampaknya
dapat menimbulkan luka fisik maupun
psikologis atau bisa disebut kekerasan verbal
dan nonverbal. Kekerasan verbal adalah
kekerasan yang dilakukan secara lisan atau
melalui kata-kata kasar yang bisa
menyakitkan hati. Sedangkan nonverbal
adalah tidak dengan kata-kata tetapi fisik,
ekspresi wajah, intonasi suara, dan kecepatan
berbicara.
Kekerasan dalam pacaran banyak terjadi
pada perempuan ini sering diakibatkan
adanya ketimpangan antara laki-laki dan
perempuan yang dianut oleh masyarakat luas
pada umumnya. Perempuan menurut
pendapat laki-laki biasanya dianggap sebagai
makhluk yang lemah, penurut, pasif, sehingga
menjadi alasan utama terjadinya perlakuan
yang semena-mena. Kekerasan dalam pacaran
semakin kerap terjadi belakangan ini. Peranan
lingkungan social seperti keluarga dan teman
memainkan peranan penting dalam mencegah
tindak kekerasan dalam berpacaran.
Penelitian Wall (2009) (dalam Mardiah,
dkk 2017:30) menjelaskan bahwa kedekatan
orangtua memiliki pengaruh yang sangat
penting. Pemantauan orangtua muncul
sebagai faktor pelindung untuk mengurangi
korban dan agresi relasional kekerasan dalam
pacaran. Namun dalam penelitian Richards,
Branch, dan Ray (2014) (dalam Mardiah, dkk
2017:30), telah dibuktikan bahwa dukungan
teman sebaya berhubungan erat dan
berpengaruh lebih besar untuk menurunkan
tingkat kekerasan dalam pacaran
dibandingkan dengan dukungan dari
orangtua. Kekerasan dalam pacaran dapat
disebabkan karena minimnya pengetahuan
tentang pacaran sehingga banyak dari mereka
mempunyai pemahaman yang salah. Remaja
seringkali menganggap pacaran itu sebagai
konsep saling memiliki antara satu sama lain
dalam berbagai aspek kehidupan (Hadi, 2002).
Terjadinya kekerasan dalam pacaran
disebabkan oleh beberapa hal, seperti budaya
partiarkhi atau menempatkan laki-laki pada
posisi yang lebih unggul dari perempuan. Hasil
penelitian lain menyebutkan bahwa
penggunaan alkohol juga bisa menyebabkan
terjadinya kekerasan dalam pacaran (Wilson,
2014). Faktor lain yang mempengaruhi
Kekerasan dalam pacaran (KDP) adalah faktor
kepribadian, interpersonal, serta kebiasaan
dari keluarganya.
Kekerasan fisik dalam pacaran
merupakan salah satu bentuk pelanggaran
terhadap hak asasi manusia. Dalam Undang
Undang Dasar Tahun 1945 pasal 28 ayat (1)
dan ayat (2). Kekerasan dalam pacaran
memberikan dampak kepada perempuan
terutama secara psikologis biasanya korban
merasa sangat marah, jengkel, merasa
bersalah, malu dan terhina. Dampak jangka
Panjang berupa sikap atau persepsi yang
negatif terhadap diri sendiri maupun terhadap
laki-laki.
Berdasarkan hal-hal diatas peneliti
tertarik untuk mengangkat penelitian ini
adanya kekerasan dalam berpacaran ini
terjadi pada orang-orang terdekat di
lingkungan kampusnya. Dan melihat dari data
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (KPPPA) yang
bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik
(BPS) di media online bahwa semakin
meningkatnya kekerasan di Indonesia.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
menggambarkan terjadinya perilaku
kekerasan dalam berpacaran di kalangan
Page 38
H a l a m a n | 38
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
mahasiswa Universitas Sumatera Utara
terutama perempuan.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini tergolong penelitian
deskriptif dengan menggunakan pendekatan
kualitatif. Lokasi penelitian ini dilakukan di
Universitas Sumatera Utara Kecamatan Medan
Baru Kota Medan. Informan utama dalam
penelitian ini adalah para korban kekerasan
dalam berpacaran. Informan tambahan dalam
penelitian ini adalah teman dan keluarga.
Metode pengumpulan data yang digunakan
melalui wawancara, observasi, dokumentasi,
dan studi kepustakaan. Analisis data
penelitian ini menggunakan metode kualitatif.
3. HASIL
Melalui hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh peneliti dilapangan yaitu
dengan melakukan Teknik wawancara
mendalam, observasi, catatan lapangan, dan
dokumentasi keadaan informan. Peneliti
berhasil mengumpulkan data dan informasi
mengenai “Perilaku kekerasan dalam
berpacaran pada mahasiswa di Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera
Utara”. Pengumpulan data dilakukan melalui
beberapa tahapan yaitu:
a. Melakukan pengamatan pada mahasiswa
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara.
b. Melakukan wawancara mendalam
dengan informan dalam proses
penelitian. Informan yang digunakan
dalam penelitian ini terdiri dari:
• Informan utama, yaitu: mahahasiswa
korban perilaku kekerasan dalam
berpacaran di Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera
Utara.
• Informan kunci, yaitu: Sekertaris
Badan Pengurus Harian Pemerintahan
Mahasiswa.
• Informan Tambahan, yaitu: teman
dekat dan keluarga dari mahasiswa
korban perilaku kekerasan dalam
berpacaran.
c. Mengumpulkan dokumentasi berupa
gambar mahasiswa pada saat wawancara.
3.1. Informan 1
Informan 1 merupakan mahasiswi
berinisial EA berusia 21 tahun merupakan
Korban perilaku kekerasan dalam berpacaran
pada mahasiswa di Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. EA
pernah mempunyai pacar bernama MK,
hubungan yang awalnya berjalan dengan baik
ini tidak pernah EA bayangkan akan terjadi
tindak perilaku kekerasan didalamnya yang
bermula dari Kekerasan Psikologis yang
termasuk dalam Kekerasan Verbal hingga
sampai Kekerasan Fisik yang termasuk dalam
Kekerasan Non-verbal.
EA mengaku mengenal pacarnya pada
tahun 2016 melalui perantara sepupunya di
sosial media. Bahkan, sepupu EA awalnya
tidak menolak untuk memperkenalkan EA
pada lelaki tersebut. Setelah beberapa kali
melakukan pertemuan, akhirnya EA dan laki-
laki ini memutuskan untuk berpacaran.
Hubungan EA dan pacarnya terjalin
selama 4 tahun, yaitu tahun 2016 sampai
2020, selama proses pacaran sudah sering
terjadi putus-nyambung. EA menjabarkan
bahwa pada 6 bulan pertama berpacaran,
sikap pacarnya baik sekali dan membuat EA
merasa sangat nyaman. Selanjutnya setelah
melewati 6 bulan tersebut, EA merasa
hubungannya mulai toxic, dimana pacarnya
mulai mengekang, melarang, dan mengatur
wakti EA. Hal ini dibuktikan dengan hasil
wawancara dengan EA seperti berikut:
“Setelah melewati awal mula dia bersikap
menghakimi aku, mengatur hidupku,
ngebentak aku dan memaki aku, aku pikir
Page 39
H a l a m a n | 39
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
setelah aku berusaha minta maaf dan bersikap
baik sama dia, dia bakal berubah. Ternyata dia
ngelakuin hal yang lebih parah dari itu. Sampe
sangking banyaknya hal yang selalu
dipermasalahin aku lupa masalahnya apa,
Cuma setauku itu masalah sepele. Tapi karna
hal itu dia berani main tangan sama aku kaya
mencekik aku, ngedorong badanku gitu karna
dia geram liat aku, nampar aku, sampe dia
berani ngeludahin aku itu karna cemburu.
Disitu aku selalu minta putus, gak ada juga
orang yang tahan digituin.”
Walaupun mendapatkan perilaku
kekerasan verbal dan nonverbal, namun EA
tetap merasa perlu memertahankan
hubungannya, EA berpikir jika mengakhiri
hubungannya akan membuat EA malas untuk
membuka lembaran baru dan memulai
semuanya dari awal lagi. Selain itu, kedua
orang tua antara EA dan pacarnya sudah saling
kenal dan peduli dengan hubungan mereka.
Kekerasan yang dialami EA tidak
disampaikan pada orangtua dan hanya
diceritakan pada sepupunya saja yang awal
memperkenalkan EA dengan pacarnya.
Akhirnya, EA merasa harus mengakhiri
hubungan yang tidak sehat tersebut meskipun
sang pacar tidak mau, sebab EA merasa
apabila dipertahankan, kesalahan-kesalahan
dan perlakuan pacarnya akan terus dilakukan.
EA merasa bersyukur telah lepas dari
hubungan yang tidak sehat tersebut. Mantan
pacar EA tetap berusaha mendekati, namun
selalu ditolak. EA hingga saat ini masih
mencoba memulai hubungan baru namun
belum bisa.
3.2. Informan 2
Informan kedua merupakan mahasiswi
berinisal NF yang berumur 20 tahun dan
merupakan korban perilaku kekerasan dalam
berpacaran pada mahasiswa di Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera
Utara. NF mempunyai hubungan dengan
pacarnya bernisial FA. Perilaku kekerasan
yang dilakukan terhadap NF termasuk
kedalam perilaku Kekerasan Psikologis dan
Kekerasan Ekonomi dimana kekerasan ini
termasuk pada Kekerasan Verbal.
Awal mula perkenalan NF dengan
pacarnya pada saat berkumpul bersama
teman-teman yang lain dan NF dikenalkan
pada lelaki ini. Ternyata lelaki ini berusia
dibawah NF dan selalu mendekati NF melalui
chat-chat di media sosial. Lelaki ini mengajak
NF pacaran hingga 3 kali namun ditolak dan
diterima oleh NF pada saat ajakan yang
keempat.
Meskipun hubungan NF dan pacarnya ini
sudah selesai, namun NF mengaku bahwa
mantan pacarnya terus menghubungi melalui
media sosial dengan mengganggu bahkan
mengancam NF agar tidak dekat dengan
siapapun. NF sendiri menyampaikan bahwa
hubungannya berakhir setelah dilalui selama
3 tahun 6 bulan.
NF menjabarkan bahwa hubungannya
baru selesai sekitar sepekan yang lalu dari
pengambilan data ini. NF merasa
hubungannya mulai toxic setelah satu tahun
berjalan. Pacar NF mulai mengatur kehidupan
NF, menuntut waktu NF, memaki pada hal
kecil, dan mengekang NF agar tidak pergi
kemanapun. Bahkan pacar NF juga
mempermasalahkan durasi sholat NF yang
dianggap terlalu lama. Hal tersebut sesuai
dengan hasil wawancara dengan NF seperti
berikut:
“terlalu banyak dia melakukan ancaman, dan
itu dia lakukan ketika menurut dia aku gak
menuruti apa maunya dia pasti dia bakal
ancam aku. Seperti diam bakal buat malu aku
didepan kawanku, dia bakal datang ke orang
tuaku buat bilang aku gak baik tingkahnya
padahal itu sama sekali gak ada, dia bakal buat
aku gak pernah tenang dengan hidup aku, dia
Page 40
H a l a m a n | 40
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
bilang bakal terror aku dan manta uterus apa
yang aku lakukan, bahkan ancaman yang
paling fatal dia bakal bunuh aku.”
Tindak kekerasan yang dilakukan oleh
pacar NF tersebut membuat NF merasa
memiliki beban berat hingga berpikir bahwa
yang NF lakukan tidak ada yang berguna.
Awalnya NF berusaha memendam
permasalahan tersebut sendirian, namun
seiring berjalan waktu hingga dua tahun
akhirnya NF memberanikan diri untuk
menanyakan pada teman NF pendapat
mengenai hubungan yang sudah terjalin
tersebut. Teman-teman NF tidak terima
dengan hal tersebut dan membujuk NF untuk
mengakhiri hubungan, tetapi NF merasa
bahwa pacarnya pasti dapat berubah. Hal ini
membuat teman-teman NF menjadi marah
dan tidak mau lagi memberikan masukan pada
hubungan NF. NF kemudian mendapatkan
dukungan lagi dari teman-teman magang
kuliah.
Hubungan tidak sehat yang dialami oleh
NF ini tidak diketahui oleh keluarganya. NF
menjabarkan hal tersebut karena NF merasa
belum pantas untuk menyampaikan bahwa NF
memiliki kekasih namun hubungannya tidak
baik dan awalnya memang NF tidak diberi ijin
orang tua untuk berpacaran.
NF menyampaikan bahwa alasan NF
bertahan dengan pacarnya karena pacar NF
selalu mengancam NF apabila meminta
hubungan yang dijalani untuk berakhir. NF
merasa hubungannya sangat buruk dan
seperti sebuah aib yang akan dipendam
karena membuat NF malu hingga setiap
malam NF menangis karena bingung
bagaimana mengakhiri hubungan yang
didalamnya ada kekerasan.
3.3. Informan 3
Informan ketiga merupakan mahasiswi
berumur 22 tahun berinisial SMN, dimana
saudari SMN juga korban perilaku kekerasan
dalam berpacaran di Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Mantan pacarnya berinisial pernah melakukan
kekerasan terhadapnya yaitu kekerasan fisik
yang termasuk dalam kekerasan Non-Verbal
dan kekerasan psikologis yang termasuk
kedalam kekerasan Verbal.
Informan ketiga mengatakan awal mula
perkenalan dengan pacarnya karena
pertemanan sejak SMP. Hubungan SMN
dengan pacarnya ini berlangsung empat tahun
menuju lima tahun. SMN merasa perlakuan
yang tidak baik diterima ketika menginjak
tahun kedua. Kekerasan yang dirasakan SMN
berawal dari kekerasan verbal yang diterima
seperti memaki, berkata kasar.
Selanjutnya, pacar SMN mulai berani
menggenggam tangan SMN sekuat mungkin
hingga pergelangan tangan SMN menjadi
merah, melarang SMN melakukan hal-hal yang
tidak disukai pacarnya, mengancam SMN, dan
yang paling parah adalah mencekik SMN
hingga sesak nafas dan menodong SMN
dengan pisau. Hal tersebut sesuai dengan hasil
wawancara dengan informan ketiga seperti di
bawah ini:
“Munculnya perilaku kasar dari yang kecil itu
awal mulanya step nya gini, dia berkata kasar
dulu kaya bentak aku terus maki-maki aku,
habis itu naik tingkatan tuh mulai berani dia
genggam tangan aku sekuat mungkin sampe
pergelangan tangan aku merah, naik tingkatan
terus mengancam, melarang itu udah biasa
selalu dia lakuin dan terus makin parah lagi
sampai hal yang paling fatal dia mencekik aku
sampai aku sesak gak bisa nafas dan dia juga
pernah pegang pisau kaya nodongin pisau di
muka aku ngancam bakal bunuh aku itu karna
dia cemburu buta dan kondisinya itu lagi
dirumah dia dan kami dirumah cuma sama
adeknya gak ada orang sama sekali.”
Page 41
H a l a m a n | 41
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
Perilaku kekerasan tersebut biasa
diterima oleh SMN ketika kekasihnya merasa
cemburu dan takut kehilangan SMN. Perilaku
yang diberikan kekasih SMN ini membuat SMN
menjadi takut dan akhirnya hanya menuruti
keinginan kekasihnya. SMN mengaku bahwa
untuk kekerasan fisik sudah menjadi hal biasa
ketika terjadi perselisihan diantara keduanya,
SMN pernah ditampar, dipukul, bahkan
diancam dibunuh dengan pisau hingga
membuat SMN stress dan mengganggu
mentalnya.
Hubungan yang tidak sehat ini terus
dipertahankan SMN karena merasa sayang
dan cinta pada pasangan. SMN juga mengaku
jika alasan lain yaitu takut dengan ancaman
yang diberikan oleh kekasihnya. Perasaan
takut tersebut menyebabkan SMN selalu
menuruti kekasihnya dan sudah pasrah
dengan hidupnya apabila harus berakhir di
tangan kekasihnya tersebut.
Berakhirnya hubungan SMN dan
pasangannya sangat membuat lega dan juga
seperti jawaban atas doa-doa yang selama ini
SMN panjatkan. SMN mengatakan bahwa
setelah berpisah, tidak ada lagi komunikasi
antara keduanya. Mantan kekasih SMN tetap
menguhubungi dan selalu meminta maaf,
namun SMN belum bisa memaafkan dan takut
jika kembali akan terjadi hal yang sama. Orang
tua SMN sama sekali tidak tahu tentang
kekerasan yang dialami oleh SMN.
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa bentuk-bentuk kekerasan
adalah kekerasan verbal yang terdiri dari
kekerasan psikologis dan kekerasan ekonomi.
Sedangkan kekerasan nonverbal terdiri dari
kekerasan fisik dan kekerasan seksual.
4. PEMBAHASAN
Pandangan yang lebih luas diungkapkan
Poerwandari dalam Achi Sudiarti (2000:11)
(dalam Dian Ungki Yunita Dewi, 2008:31),
bentuk kekerasan dalam berpacaran meliputi:
1. Kekerasan fisik, yaitu memukul,
menampar, mencekik, menendang,
melempar barang ke tubuh korban,
menginjak, melukai dengan tangan
kosong dan sampai pada pembunuhan.
2. Kekerasan psikologis, yaitu berteriak-
teriak, mengancam, menyumpah,
mengatur, menguntit, memata-matai,
dan tindakan lainnya yang
menyebabkan rasa takut.
3. Kekerasan seksual, mencakup
mengarah ke ajakan atau desakan
seksual seperti menyentuh, meraba,
mencium, atau melakukan tindakan-
tindakan yang tidak dikehendaki
korban.
4. Kekerasan ekonomi, yaitu mengambil
uang korban, mengatur pengeluaran
dari hal sekecil-kecilnya dengan maksud
mengendalikan tindakan korban,
memaksa korban untuk membiayai
kebutuhan hidupnya.
Dari pembahasan diatas bahwa Informan
Utama I bertahan dalam hubungan yang
mendapatkan perilaku kekerasan karena
masih sayang, merasa belum di titik capek
yang sampai benar-benar ingin selesai tanpa
harus kembali lagi, merasa capek dan tidak
mudah untuk dekat dan memulai hubungan
dengan orang yang baru, kedekatan keluarga
saudari EA dengan keluarga MK pacarnya
sudah sangat begitu dekat menjadi alasan
untuk saudari EA mau kembali karna masih
adanya hubungan baik diantara dua keluarga
tersebut. sehingga informan tersebut
bertahan dalam hubunganwalaupun
mendapatkan perilaku kekerasan verbal
seperti kekerasan psikologis dan kekerasan
Nonverbal seperti kekerasan fisik.
Informan II juga mengalami kekerasan
yaitu kekerasan psikologis yang termasuk
dalam kekerasan verbal. Yang membuat dia
bertahan dengan hubungan yang seperti itu
Page 42
H a l a m a n | 42
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
karna ancaman yang pacarnya lakukan
terhadapnya sehingga membuat dia takut dan
trauma sampai di titik merasa tidak berguna.
Untuk Informan utama III bertahan pada
hubungan yang seperti itu karena rasa
sayangnya terhadap pacarnya, ancaman dia
yang selalu ingin membunuh atau pacarnya
akan bunuh diri jika hubungannya selesai, dan
juga bukan hanya dari ancaman tapi menyakiti
fisik informan tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan, jika dibandingkan dengan
penelitian yang relevan permasalahan yang di
alami di Surabaya, Indonesia secara
keseluruhan merupakan permasalahan yang
juga dialami mahasiswa di Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara,
yaitu adanya kesamaan kasus yang terjadi dan
kurangnya keterbukaan dari korban
kekerasan dalam keluar dari permasalahan
yang ia hadapi.
Berdasarkan hasil observasi yang terlihat
pada Informan utama I terlihat bahwa
keadaan fisik dan psikis Informan sangat kuat
dalam menerima berbagai pertanyaan dan
terlihat konsentrasi dalam mendengarkan
pertanyaan dari peneliti.
Informan menceritakan cara teman-
temannya menyikapi masalah yang dia hadapi.
Peneliti melihat Informan juga mendapatkan
lingkungan pertemanan yang baik di
kampusnya karena mereka sangat membantu
Informan dalam memberikan solusi untuk
bangkit agar dia secepatnya keluar dari
hubungan yang tidak seharusnya di
pertahankan dan memberikan dukungan yang
positif ketika dia sudah bisa mengakhiri
hubungannya. Keadaan ekonomi yang terlihat
berkecukupan dan mempunyai keluarga yang
sangat peduli ketika melihat Informan yang
masih diantar dan dijeput oleh orang tuanya.
Pada Informan Utama II terlihat bahwa
keaadan fisik dan psikis sangat lemah.
Sebelum masuk ke wawancara Informan
terlihat sangat tidak sabar untuk
menceritakan apa yang dia alami. Tapi ketika
wawancara Informan menjawab seperti tidak
konsentrasi dan mengutarakan kata-kata
tetapi dalam keadaan melamun seperti pikiran
kosong.
Keadaan ekonomi terlihat Informan
sangat berkecukupan dilihat dari ia
mempunyai mobil dan menggunakan berbagai
barang yang terlihat mahal. Pilihan informan
untuk tidak di kost-kostan karna ia tidak ingin
dilarang padahal dengan dia mengendarai
mobil atau kendaraan lain tempat tinggalnya
masih bisa dijangkau tetapi dia lebih memilih
ngekost dengan alasan kepada orang tuanya
bahwa dia takut terlambat.
Interaksi sosial yang dilakukan Informan
terhadap orang lain sangatlah baik dan
bertutur kata sopan. Pada saat Informan
diberikan pertanyaan, ada satu atau dua
pertanyaan yang membuat dia menangis tapi
tetap terlihat kuat dan tegar. Dalam keadaan
masih diterror oleh pasangannya setelah baru
putus, Informan tetap mencoba untuk ringan
senyum dan memperlihatkan bahwa masalah
ini akan selesai seiring berjalannya waktu.
Sedangkan pada Informan utama III
sangat jelas bahwa dia lebih pendiam dan
menahan diri untuk tidak menceritakan apa
yang dia rasakan ke orang-orang sekitarnya
dan dia lebih memilih untuk memendam
walaupun pada akhirnya teman-temannya tau
tentang apa yang dia alami karna melihat
sendiri. keadaan ekonomi Informan ini juga
sangat berkecukupan dan mempunyai
keluarga yang amat sangat peduli terlihat dari
orangtuanya menelpon dan menanyakan dia
dimana, dengan siapa, dan mau di jeput jam
berapa seperti itu. Sifat pendiam nya dan
memilih teman membuat dia beruntung
Page 43
H a l a m a n | 43
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
mendapatkan teman dekat yang peduli akan
masalah yang dia alami.
Keterbatasan yang dialami peneliti
selama melakukan penelitian ini yaitu sebagai
berikut:
a. Hasil wawancara dari informan utama,
informan kunci, dan tambahan hanya
dapat diceritakan, tanpa peneliti melihat
secara langsung perlakuan kasar yang
diterima oleh mahasiswa-mahasiwa
tersebut.
b. Peneliti harus ber empati, agar ikut
merasakan apa yang dirasakan oleh
Informan supaya mendapatkan
keterbukaan dari kekerasan yang
dialami.
c. Peneliti mempunyai waktu yang singkat
dalam melihat kehidupan informan
secara langsung karna terhambat
pandemi COVID-19 dan tidak adanya
kegiatan perkuliahan di kampus.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan diatas dapat diketahui bahwa, 1)
proses terjadinya kekerasan dalam
berpacaran disebabkan oleh beberapa hal
yaitu rasa cemburu, rasa ingin memiliki yang
berlebihan hingga menuntut harus selalu
bersama dia, selingkuh, tidak patuh dan
menuruti apa yang selalu diinginkan oleh
pacarnya, 2) bentuk-bentuk kekerasan yang
dialami dalam berpacaran adalah kekerasan
psikologis yang termasuk dalam kekerasan
verbal dan kekerasan fisik yang termasuk
dalam kekerasan Nonverbal, dan 3) alasan
mahasiswa untuk bertahan dalam hubungan
yang mengalami kekerasan dalam berpacaran
karena adanya rasa takut, sangat cinta, merasa
terlanjur nyaman bahkan terbiasa, perasaan
takut gagal lagi dalam hubungan yang baru,
malu, dan hubungan yang sudah terjalin lama.
6. SARAN
Oleh sebab itu, rekomendasi yang
diberikan peneliti berupa, 1) dalam menjalani
suatu hubungan berpacaran perlu ditanamkan
rasa saling menghargai, menghormati,
keterbukaan antara sesama, pengertian, dan
lebih banyak berkomunikasi dalam
memutuskan sesuatu bagi keutuhan dan
kelangsungan dari suatu hubungan, 2)
diperlukan keterbukaan dari pihak korban
yang mengalami kekerasan dalam berpacaran,
hal ini bertujuan agar korban yang mengalami
kekerasan tersebut bisa diberikan solusi dan
bantuan untuk keluar dari masalahnya, dan 3)
bagi korban kekerasan, apabila dalam
hubungan sudah mendapatkan kekerasan dari
pasangan sebaiknya hubungannya dihentikan
dan memilih untuk mengakhiri hubungan
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Aptia, Elfa. (2017). Pengalaman pada Remaja
Perempuan yang Mengalami Kekerasan
dalam Pacaran (Dating Violence).
Skripsi. Universitas Andalas. Padang.
Dewi Yunita, U, D. (2008). Atas Nama Cinta
Studi Kasus tentang Mahasiswa Korban
Kekerasan dalam Pacaran. Skripsi.
Universitas Negeri Yogyakarta.
Yogyakarta.
Erna Mesra, dkk. (2014). Kekerasan dalam
Pacaran pada Remaja Putri Di
Tangerang. Jurnal Politeknik Kesehatan
Kementerian Jakarta III. Vol.2, No.1, 11
Desember 2020.
Mardiah, A., Satriana, D.P., & Syahriati, E.
(2017). Peranan Dukungan Sosial dalam
Mencegah Kekerasan dalam Pacaran.
Jurnal Psikologi Ulayat. Vol. 4, No.1, 11
December 2020.
Page 44
H a l a m a n | 44
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
Noer, Arienita. (2015). Survei Perilaku
Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja
di Pekanbaru. Skripsi. Fakultas Psikologi.
UIN Sultan Syarif Kasim. Riau.
Noviolieta, Christianti. (2013). Kekerasan
dalam Pacaran. Skripsi. Fakultas Ilmu
Pendidikan. Universitas Negeri
Yogyakarta. Yogyakarta.
Rohmah, Silfiatur. (2014). Motif Kekerasan
dalam Relasi Pacaran Di Kalangan
Remaja Muslim. Jurnal Fakultas Ilmu
Sosial. Vol. 2, No.1, 23 Desember 2020.
Shoufia, Aina. (2008). Kekerasan dalam Film
Bergenre Horor. Skripsi. Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik. Universitas
Muhammadiyah Malang. Malang.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 Pasal 28 Tentang Hak Asasi
Manusia.
© 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and
conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0/).
Page 45
H a l a m a n | 45
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
PENGUATAN ASPEK MODAL PSIKOLOGIS PADA SISWA SMK X DALAM MENGHADAPI
DUNIA KERJA SEBAGAI UPAYA MEREDUKSI TINGKAT KEMISKINAN
Nurul Rachmadani1
1lmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Sulawesi Selatan, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstract
As a developing country, poverty cannot yet be avoided in Indonesia. The level of poverty in this country can be reduced in various ways, one of which is by raising the standard of living of the people. Through a curriculum that has been designed in line with industry needs, Vocational High Schools (SMK) are expected to produce graduates who can meet the needs of various entry-level workers in the company so that they can raise the standard of living of their respective families. Apart from mastering academic subject matter at school, vocational students need to be equipped with Psychological Capital aspects so they can compete and live their lives in positive ways. This research was conducted on 47 private vocational high school students in the rural area of Gowa Residence, South Sulawesi. The measurement was carried out twice, namely Pre-test and Post-test. In the period between the Pre-test and Post-test, the researchers conducted various pieces of training, i.e.: HERO (Hope, Self-Efficacy, Resilience, and Optimism); Life Skills: Learning, Working and Serving; and Entrepreneurship. The Psychological Capital of the students was measured using the Psychological Capital Questionnaire 24 (PCQ-24) instrument. The results of this study indicate that there is a significant increase in Psychological Capital in these students p = 0.016 (p<0.05), with Optimism as the aspect with the highest mean difference = 0.12 (Pre x̄ = 3.46; Post x̄ = 3.58 ).
Keywords: Modal Psikologis, Kemiskinan, Pendidikan, SMK
1. PENDAHULUAN
Isu kemiskinan masih menjadi salah satu
permasalahan utama bagi negara-negara
berkembang termasuk Indonesia. Sejak tahun
1970an, pemerintah telah berupaya
menanggulangi keemiskinan. Namun,
persoalan tersebut belum mampu tertuntaskan.
Badan Pusat Statistik merilis angka persentase
tingkat kemiskinan nasional pada bulan
November 2021 yaitu sebesar 10,14%. Dari
data nasional tersebut, tercatat sebanyak 267
Kabupaten/kota (51,94%) memiliki persentase
penduduk miskin diatas angka nasional. Salah
satu Kabupaten di Indonesia yang tercatat
memiliki penduduk dengan angka kemiskinan
yang cukup besar adalah Kabupaten Gowa,
Sulawesi Selatan. Penduduk miskin di
Kabupaten Gowa tercatat sekitar 58.660 jiwa
atau 7,54% dari total penduduk miskin provinsi
Sulawesi Selatan (BPS, 2021). Data demografi
penduduk miskin yang tamat pendidikan SMA
di Kabupaten Gowa adalah sebesar 12,14% dari
total penduduk Provinsi Sulawesi Selatan.
Penduduk miskin Kabupaten Gowa didominsi
oleh tamatan SMP yaitu sebanyak 53,45% dan
jumlah penduduk miskin yang tidak bekerja
adalah sebesar 30,80% (BPS, 2021).
Persoalan kemiskinan saat ini sudah
bersifat multi dimensi, sehingga angka
kemiskinan hanya dapat diturunkan secara
optimal melalui sinergitas berbagai pihak. Salah
satu strategi pemerintah saat ini dalam
mengentaskan kemiskinan dengan
meningkatkan akses serta kualitas pelayanan
dasar bagi masyarakat miskin dan rentan
sebagaimana diamanatkan melalui UU No. 23
Page 46
H a l a m a n | 46
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Di
dalam UU tersebut secara jelas diatur perihal
kewajiban pemerinta daerah terkait pelayanan
dasar yang mencakup enam aspek utama, yaitu:
(1) pendidikan; (2) kesehatan; (3) pekerjaan
umum dan penataan ruang; (4) perumahan
rakyat dan kawasan pemukiman; (5)
ketentraman, ketertiban umum dan
perlindungan masyarakat; (6) sosial.
Selaras dengan UU No. 23 tahun 2014,
aspek pendidikan diatur melalui UU No 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dimana seluruh komponen bangsa
wajib mencerdaskan kehidupan bangsa serta
mampu menjamin pemerataan kesempatan
pendidikan, peningkatan mutu, serta relevansi
dan efisiensi manajemen pendidikan untuk
menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan
perubahan kehidupan lokal, nasional, dan
global. Sehingga perlu dilakukan pembaharuan
pendidikan secara terencana, terarah, dan
dilakukan secara berkesinambungan
(berkelanjutan).
Asas keberlanjutan mengandung makna
peningkatan kemampuan penyelenggaraan
pendidikan, pelatihan, dan keterampilan
sebagai wujud adanya kesempatan yang dapat
mengakomodir kepentingan individu,
masyarakat, serta kepentingan bangsa dan
negara. Dengan kata lain, penyelenggaraan
menjadi tanggung jawab pemerintah dengan
mengikut sertakan masyarakat sebagai bentuk
sistem kooperatif dan kolaboratif yang
dilakukan secara demokratis dan tidak
diskriminatif dengan tetap menjunjung tinggi
hak asasi manusia.
Berdasarkan acuan strategi nasional
penanggaulangan kemiskinan (SNPK) tahun
2005 menjelaskan bahwa kemiskinan
umumnya dihadapkan dengan masalah
terbatasnya kesempatan kerja dan peluang
pengembangan usaha. Salah satu aspek yang
menjadi sumber kemiskinan adalah rendahnya
pendidikan yang ditempuh. Menurut Bappenas
(2005), tanpa adanya bekal pendidikan yang
memadai masyarakat akan sulit untuk keluar
dari jebakan kemiskinan dan menghindarkan
diri dari lingkaran kemiskinan.
Ustama (2009) mengemukakan bahwa,
melalui pendidikan yang baik, setiap orang akan
memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan
sehingga mempunyai pilihan untuk
mendapatkan pekerjaan yang lebih produktif
dan meningkatkan pendapatan. Sehingga,
pendidikan dapat memutus mata rantai
kemiskinan dan menghilangkan ekslusi sosial
dengan harapan kedua hal tersebut dapat
meningkatkan kualitas hidup dan mewujudkan
kesejahteraan masyarakat .
Melalui layanan pendidikan, pemerintah
mengembangkan pendidikan berbasis kejuruan
(vokasi) di Indonesia pada Rencana Strategi
Departemen Pendidikan Nasional (Renstra
Depdiknas) tahun 2005-2009, mulanya Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) memiliki proporsi
30:70 dengan Sekolah Menengah Atas (SMA)
kemudian disebutkan proporsi SMK/SMA
sebesar 50:50. Kondisi tersebut menunjukkan
bahwa pemerintah saat ini telah memandang
bahwa pendidikan kejuruan merupakan
pendidikan menengah yang dapat
mempersiapkan peserta didik yang memiliki
kualifikasi dan siap bekerja pada bidang
tertentu sebagaimana yang tertuang pada UU
Sistem Pendidikan Nasional pasal 15 Depdiknas
tahun 2006.
Namun, dalam uraian evaluasi yang
terdapat pada Rencana Strategi Departemen
Pendidikan Nasional (Renstra Depdiknas)
tahun 2015-2019 disebutkan bahwa masih
terdapat berbagai permasalah dan tantangan
terkait sistem pendidikan SMK, khususnya
menyangkut hasil layanan pendidikan SMK. Hal
ini dapat terlihat dari adanya ketidakselarasan
antara kebutuhan industri (dunia kerja) dengan
kualitas lulusan SMK sehingga hal mendorong
Page 47
H a l a m a n | 47
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
rendahnya tingat serapan lulusan SMK pada
dunia kerja.
Kurikulum sekolah kejuruan (vokasi) telah
dirancang sedemikian rupa agar dapat
menghasilkan lulusan siswa siap kerja
(Subandrio, 2021). Namun penyebab tingginya
angka pengangguran bukan hanya karena
aspek keahlian atau skill semata, faktor lain
adalah kurangnya daya saing angkatan kerja
yang salah satunya dipengaruhi oleh rendahnya
kapasitas dan kapabilitas individu.
Agar lulusan SMK dapat memiliki daya
saing, aspek lain yang dapat dikembangkan
selain skill (keahlian) adalah penguatan
kapasitas internal, khususnya terkait modal
psikologis. Modal psikologis merupakan
kapasitas dalam diri yang dapat membantu
seseorang dalam mengeksplorasi diri mereka,
membantu pengenalan potensi diri, serta
mendorong untuk mengembangkan potensi
diri sampai pada tahap yang maksimal (Luthans
& Youssef, 2004).
Memandang fenomena tersebut, peneliti
tertarik untuk mengukur aspek modal
psikologis siswa-siswi SMK. Kemudian
melakukan serangkaian pelatihan untuk
menguatkan modal psikologis para siswa-siswi.
1.1. Modal Psikologis (Psychological
Capital)
Psychological Capital adalah kondisi
perkembangan psikologis positif dalam diri
individu yang dikarakteristikkan oleh: (1)
gigih dalam mencapai tujuan, bila perlu,
mengarahkan kembali jalan untuk mencapai
tujuan (hope) dalam rangka mencapai
kesuksesan; (2) memiliki rasa percaya diri
(self-efficacy) dalam menghadapi tantangan
dan mengeluarkan usaha yang cukup untuk
dapat sukses menjawab tantangan tersebut;
(3) saat menghadapi masalah dan kesulitan,
tetap bertahan dan bangkit kembali
(resilience) untuk mencapai kesuksesan; dan
(4) membuat atribusi positif (optimism) dalam
meraih kesuksesan saat ini dan di masa yang
akan datang (Luthans et al., 2011).
Singkatnya, PsyCap adalah konstruk
positif yang terdiri dari empat dimensi, yaitu
self-efficacy/confidence, optimism, hope dan
resilience (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007).
PsyCap berfokus pada kapasitas internal yang
bersifat positif yang terdapat didalam diri diri
individu dan mendorong serta
memampukannya untuk bergrak maju secara
konstruktif (Luthans et al., 2006).
1.2. Teori Kemiskinan Holtman (1978) mengemukakan bahwa
kemiskinan diakibatkan oleh masalah yang
berkenaan dengan individu, kultur, lembaga-
lembaga sosial dan masyarakat. Lebih lanjut,
McCleland (1987) menunjukkan mental
(motivasi) sebagai faktor penentu suatu
masyarakat menjadi masyarakat miskin dan
terbelakang atau menjadi masyarakat yang
maju. Ia mengemukakan bahwa kemiskinan
dan keterbelakangan dapat diatasi manakala
dalam suatu masyarakat terdapat banyak
warga yang bermental wiraswasta dengan
motivasi yang tinggi untuk mencapai
kemajuan. Dengan demikian, hal yang
ditekankan oleh Mc Cleland sebagai faktor
yang dapat menjadi predisposisi dari
kemiskinan adalah aspek mental psikis
individual.
Disisi lain, beberapa penggagas teori
kemiskinan mengemukakan bahwa
kemiskinan tidak hanya terkait dengan faktor
internal–individual tetapi juga faktor
eksternal yakni kegagalan lembaga-lembaga
sosial dan struktur masyarakat. Holtman
mencatat bahwa tak kunjung teratasinya
kemiskinan justru karena kurang
berfungsinya lembaga-lembaga sosial.
Lembaga-lembaga sosial tersebut diharapkan
berperan untuk menyediakan fasilitas-
fasilitas seperti sumber keuangan,
perumahan, rekreasi, perawatan kesehatan,
Page 48
H a l a m a n | 48
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
transportasi dan sebagainya. Namun yang
terjadi adalah defisiensi oleh karena 3 hal,
yaitu masalah teknis, kurangnya koordinasi
dan tidak berfungsinya lembaga pelayanan
kunci seperti pendidikan. Halsey (Ubur, 2011)
menyatakan bahwa pendidikan merupakan
instrumen utama untuk melawan deprivasi
sosial, sebab pendidikan merupakan agen
sosialisasi utama pembentukan kehidupan
manusia. Pendidikan dapat menjadi bagian
dari pondasi ekonomi masyarakat dimana
pendidikan menjadi alat mobilitas sosial
vertikal naik dan menjadi salah satu agen
utama distribusi sosial.
2. METODE PENELITIAN
2.1. Jenis dan Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif dengan desain penelitian
deskriptif.
2.2. Variabel Penelitian Penelitian ini mengkaji variabel modal
psikologis (psychological capital) yang terdiri
dari empat dimensi utama yaitu: (1) hope, (2)
self-efficacy; (3) resilience; dan (4) optimism
(Luthans, Youssef, & Avolio, 2007). Aspek
modal psikologis di ukur menggunakan
instrumen PCQ-24 (psychological capital
questionnaire) yang terdiri dari 24
item/pernyataan. Skala yang digunakan
adalah 5 point likert scale.
2.3. Subjek Penelitian
2.3.1. Populasi
Populasi penelitian merupakan
keseluruhan (universum) jumlah dari objek
penelitian yang dapat berupa manusia, hewan,
dll (Siregar, 2013). Objek inilah yang menjadi
sumber data penelitian. Populasi penelitian ini
adalah seluruh siswa-siswi SMK X di Kab.
Gowa, Sulawesi Selatan.
2.4. Sampel Sampel adalah suatu prosedur
pengambilan data dimana hanya sebagian
populasi saja yang diambil dan digunakan
untuk menentukan sifat serta ciri yang
dikehendaki dari suatu populasi. Terdapat
beberapa teknik pengambilan sampel.
Penelitian ini akan menggunakan teknik
penarikan sampel dengan cara purposive
sampling. Purposive sampling adalah teknik
pengambilan sampel dengan menentukan
kriteria-kriteria tertentu (Sugiyono, 2008).
Sampel penelitian ini sejumlah 42 orang
siswa-siswi SMK X di Kabupaten Gowa,
Sulawesi Selatan, yang terdiri dari 22
perempuan dan 20 laki-laki. Jumlah sampel
ditetapkan berdasarkan rumus pengambilan
sample yaitu:
X= Z(c/100)2r(100-r)
n= 𝑵𝒙
((𝑵−𝟏)𝑬𝟐+𝒙
Dengan margin error sebesar 5% atau α=0.05
Tabel.1 Data Demografi Partisipan (n=42)
Kategori Jumlah
Jenis Kelamin
Laki-laki 20 orang
Perempuan 22 orang
Jurusan
Keperawatan 6 orang
Multimedia 29 orang
Administrasi Perkantoran 7 orang
Usia
16 Tahun 1 orang
17 Tahun 31 orang
18 Tahun 9 orang
19 Tahun 1 orang
Page 49
H a l a m a n | 49
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
3. HASIL
Penguatan aspek modal psikologis pada
siswa siswi SMK X dilakukan dengan
memberikan pelatihan H.E.R.O untuk
meningkatkan kapasitas internal yang
meliputi dimensi hope, self-efficacy, resilience,
dan optimism. Pelatihan dilakukan selama
durasi 6 minggu dengan diawali pengukuran
awal (pre-test) untuk melihat baseline skor
modal psikologis yang terdapat dalam diri
sampel penelitian, kemudian di akhiri dengan
pengukuran skor akhir untuk melihat
perubahan skor modal psikologis setelah
pelatihan diberikan.
Tabel.2 Paired Sample T-Test pengukuran aspek Modal Psikologis.
Pre-Test Post-Test Sample Statistic df p
Hope (H) Hope (H) Student's t 1.572 35.0 p < 0.05
Self-Efficacy (E) Self-Efficacy (E) Student's t 0.150 35.0 p < 0.05
Resilience (R) Resilience (R) Student's t 0.125 35.0 p < 0.05
Optimism (O) Optimism (O) Student's t 1.918 35.0 p < 0.05
Modal Psikologis (PsyCap) Modal Psikologis (PsyCap) Student's t 1.464 35.0 p < 0.05
Gambar 1. Diagram box-plot: pre-test dan post-test aspek modal psikologis
Page 50
H a l a m a n | 50
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
Gambar 2. Perbandingan nilai post-test dan pre-test aspek modal psikologis
Hasil pengukuran pre-test dan post-test
sebagaimana yang tampak pada tabel 2,
gambar 1, dan gambar 2 menunjukkan adanya
peningkatan nilai yang signifikan pada setiap
dimensi pembentuk modal psikologis
(psychological capital) ketika pengukuran
akhir (post-test) dilakukan. Baseline skor
modal psikologis bergerak selaras secara
positif dan mengalami peningkatan yang
signifikan selama proses pelatihan dilakukan.
Dimensi yang memiliki peningkatan nilai
terbesar yaitu dimensi hope (X̄=3.64, p<0.05)
dan optimism (X̄=3.58, p<0.05).
Hasil analisis statistik menunjukkan
bahwa pelatihan H.E.R.O secara signifikan
mampu menguatkan aspek modal psikologis
yang terdiri dari dimensi hope, self-efficacy,
resilience, dan optimism pada siswa siswi SMK
X di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Penguatan aspek modal psikologis selanjutnya
berimplikasi pada kematangan internal dan
membantu kesiapan siswa siswi dalam
menghadapi dunia kerja.
4. PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kadar aspek modal psikologis yang terdapat dalam diri siswa siswi SMK X setelah diberikan pelatihan yang bertujuan untuk menguatkan dan meningkatkan modal psikologis mereka dalam kaitannya untuk membangun kematangan internal dan daya saing dalam menghadapi dunia kerja sehingga pada taraf yang lebih lanjut, penguatan pada aspek modal psikologis dapat menjadi salah satu bentuk upaya yang bersifat indirect dalam mereduksi tingkat kemiskinan.
Berkenaan dengan hasil analisis, baseline score modal psikologis yang dimiliki oleh siswa siswi SMK X berada pada angka 3.38 dan mengalami peningkatan secara signifikan setelah siswa siswi tersebut mengikuti serangkaian pelatihan penguatan aspek modal psikologis selama 6 minggu dengan nilai akhir yang tercatat yaitu 3.44. Meskipun dilakukan dalam durasi yang singkat dan disertai berbagai keterbatasan dalam pelaksaan pelatihan, namun secara empiris pelatihan yang dilakukan dapat meningkatkan aspek modal psikologis siswa siswi SMK X.
Secara lebih spesifik, dimensi modal psikologis yang mengalami peningkatan nilai
Page 51
H a l a m a n | 51
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
tertinggi adalah dimensi hope dan optimism. Hal ini menandakan bahwa pelatihan yang dilakukan berperan besar dalam meningkatkan kadar hope dan optimism pada diri siswa siswi SMK X. Dimensi hope dan optimism merefleksikan kualitas personal yang positif, ditandai dengan adanya sikap keterbukaan terhadap pengalaman dan pengembangan diri positif, mampu memandang permasalahan secara lebih positif dan menganggap hal negatif bukanlah hambatan bagi dirinya sehingga individu tersebut merasa mampu untuk menghadapi masa depan dengan berbekal keterampilan dan kapabilitasnya.
Perasaan positif yang dimiliki oleh individu, mendorong keinginannya untuk belajar dalam hal mendisiplinkan diri, menetapkan tujuan atau target personal, menganalisa kesalahan masa lalu, kemudian merencanakan strategi atau alternatif tindakan untuk mencapai tujuannya dan mencegah terjadinya hal yang buruk.
Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa individu yang memiliki kadar modal psikologis (psychological capital) yang tinggi cenderung merasa yakin akan kemampuannya (self-efficacy), merasa optimis (optimism), penuh harapan (hope), dan memiliki ketangguhan untuk bangkit kembali setelah mengalami suatu peristiwa yang menyulitkan (resilience) (Jex & Britt, 2014; Gupta et al., 2017).
Harapan (hope) adalah motivasi positif yang didasarkan pada suatu perasaan keberhasilan dari: (1) agency , dan (2) pathways. Di dalamnya melibatkan waypower dan willpower (Snyder et al., 2002). Harapan dalam hal ini dimaksudkan sebagai suatu daya yang mendorong siswa siswi untuk teguh dalam proses pencapaian tujuannya dengan senantiasa mengeksplorasi diri dan upaya-upaya adaptis serta inovatif untuk mencapai tujuannya. Sedangkan kadar optimisme yang tinggi, menandakan bahwa individu cenderung mampu menginterpretasikan berbagai kegagalan dan hambatannya secara lebih positif melalui cara dan memiliki keyakinan bahwa masa depan yang cerah
merupakan sesuatu yang dapat dicapai manakala seseorang memiliki keyakinan kuat untuk meraihnya dan tentunya disertai dengan serangkaian upaya yang bersifat konstruktif atau membangun (Buchanan & Seligman, 1995; Peterson, 2000; Larson & Luthans, 2006).
Kadar modal psikologis (psychological capital) yang tinggi memiliki sejumlah implikasi positif bagi diri individu, utamanya dalam mendorong pertumbuhan diri secara optimal dan meningkatkan daya juang dalam menghadapi berbagai tantangan dalam lingkup kehidupannya (Luthans & Avolio, 2003; Luthans et al., 2006).
Selaras dengan pendapat McCleland (1987) yang menyatakan bahwa aspek mental (dalam hal ini termasuk didalamnya aspek modal psikologis) menjadi salah satu faktor penentu suatu masyarakat menjadi masyarakat miskin dan terbelakang atau menjadi masyarakat yang maju. Dalam kaitannya dengan hasil penelitian ini, dapat dipahami bahwa terminologi mental yang didalamnya termasuk modal psikologis merupakan suatu determinan pada level personal/individual yang dapat mendorong seseorang untuk senantiasa melakukan berbagai upaya yang bersifat konstruktif bagi kehidupannya, sehingga hal ini dapat dimaknai sebagai internal drive yang memampukan seseorang untuk mengerahkan kapasitas dirinya secara optimal dalam menghadapi sejumlah tantangan menuju suatu keadaan well-being atau sejahtera.
Keterbelakangan atau kemiskinan dalam suatu masyarakat dapat diatasi manakala dalam suatu masyarakat terdapat banyak warga (indivdu) yang bermental tangguh dengan motivasi yang tinggi dan berdaya saing tinggi untuk mencapai kemajuan. Dengan demikian, hasil penelitian ini mendukung gagasan yang diungkapkan oleh Mc Cleland bahwa faktor yang dapat menjadi predisposisi dari kemiskinan atau kemajuan suatu masyarakat adalah aspek mental psikis individual yang mana salah satunya adalah aspek modal psikologis.
Meskipun modal psikologis merupakan komponen internal yang bersifat indiviual,
Page 52
H a l a m a n | 52
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
namun dalam kondisi tertentu dan secara kumulatif bila aspek tersebut dimiliki oleh sejumlah besar individu dalam elemen masyarakat, hal ini dapat menjadi faktor yang mampu mempromosikan keadaan sejahtera baik pada tatanan individu, keluarga, maupun lingkup sosial yang lebih luas.
5. KESIMPULAN
Penguatan aspek modal psikologis
melalui pelatihan H.E.R.O secara signifikan
mampu meningkatkan kadar modal psikologis
siswa siswi SMK X. Penguatan tersebut
merupakan bekal bagi siswa siswi dalam
menghadapi dunia kerja dan sekaligus sebagai
upaya membentuk generasi tangguh berdaya
saing tinggi, sehingga pada gilirannya dapat
meningkatkan kesejahteraan personal dan
secara kumulatif berimplikasi terhadap
dimensi kesejahteraan yang lebih luas yakni
kesejahteraan masyarakat serta mereduksi
tingkat kemiskinan.
Peningkatan kadar modal psikologis
(psychological capital) yang dicapai melalui
pelatihan H.E.R.O merupakan suatu bentuk
penguatan internal yang terbukti empiris
dapat meningkatkan 4 dimensi kualitas
personal dalam diri siswa siswi, antara lain:
(1) hope, yaitu sikap teguh dan tekun dalam
mencapai tujuan serta senantiasa menyusun
serangkaian alternatif untuk mencapai tujuan
dalam rangka meraih keberhasilan, (2) self-
efficacy, yaitu kepercayaan diri untuk memilih
dan mengerahkan upaya yang diperlukan agar
berhasil pada tugas-tugas yang menantang,
(3) resilience, yaitu sikap tangguh ketika
dilanda masalah ataupun kesulitan, sehingga
siswa siswi dapat bertahan dan bangkit
kembali bahkan melampaui keadaan semula
untuk mencapai keberhasilan setelah
mengalami suatu peristiwa yang sulit, dan (4)
optimism, yaitu kualitas personal yang
memampukan siswa siswi membuat atribusi
positif tentang keberhasilan di masa kini dan
mendatang.
6. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, peniliti
menyarankan ekplorasi yang lebih
komprhensif terhadap berbagai anteseden
yang berkontribusi secara positif dalam
mempromosikan penguatan aspek modal
psikologis untuk selanjutnya dapat di
konstruksikan penyusunan modul pelatihan
penguatan aspek modal psikologis yang lebih
andal dan efektif.
Pelatihan ini memiliki keterbatasan
dalam pelaksanaan yakni kurangnya durasi
pelatihan, dan peserta pelatihan hanya berasal
dari karakteristik populasi yang homogen.
Oleh sebabnya, penelti menganjurkan kepada
peneliti selanjutnya untuk merancang durasi
pelatihan yang lebih intens, dan menghimpun
peserta pelatihan dari berbagai kelompok
yang heterogen dengan kuantitas partisipan
yang lebih banyak.
Dari segi hipotetik, peneliti menyarankan
agar selanjutnya variabel modal psikologis
dapat di eksplorasi secara lebih komprhensif
kekuatannya dalam memprediksi serta
mengestimasi keterikatannya dengan variabel
lain yang relevan dengan bidang kajian ilmu
sosial, utamanya pada tema-tema yang
berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan
sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik dan World Bank
Institute. (2002). Dasar-Dasar Analisis
Kemiskinan. BPS: Jakarta.
Badan Pusat Statistik. (2019). Data dan
Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota
2019. BPS: Jakarta.
Page 53
H a l a m a n | 53
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
Badan Pusat Statistik. (2020). Data dan
Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota
2020. BPS: Jakarta.
Buchanan, G. M., & Seligman, M. (1995).
Explanatory style. Hillsdale, NJ: Lawrence
Erlbaum Associates
Foster, James E., Geer, J., & Thorbecke, E.
(1984). A Class of Decomposable Poverty
Measures. Econometrika 52:761-766.
Gupta, M., Shaheen, M., & Reddy, P. K. (2017).
Impact of psychological capital on
organizational citizenship behavior:
Mediation by work engagement. Journal
of Management Development.
Holman, R. (1978). Poverty, Explantions of
Social Deprivation. London: Martin
Robertson & Company.
Jex, S. M., & Britt, T. W. (2014). Organizational
psychology: A scientist-practitioner
approach. John Wiley & Sons.
Larson, M., & Luthans, F. (2006). Potential
Added Value of Psychological Capital in
Predicting Work Attitudes. Journal of
Leadership & Organizational Studies,
13(1), 45–62.
Luthans, F., & Avolio, B. J. (2003). Authentic
leadership development. Positive
organizational scholarship, 241, 258.
Luthans, F., & Youssef, C. M. (2004). Human,
social, and now positive psychological
capital management: Investing in people
for competitive advantage.
Organizational Dynamics, 33(2), pp. 143–
160.
Luthans, F., Avey, J. B., Avolio, B. J., Norman, S.
M., & Combs, G. M. (2006). Psychological
capital development: toward a micro‐
intervention. Journal of Organizational
Behavior: The International Journal of
Industrial, Occupational and
Organizational Psychology and
Behavior, 27(3), 387-393.
Luthans, F., Youssef, C. M., & Avolio, B. J.
(2007). Psychological capital: Investing
and developing positive organizational
behavior. Positive organizational
behavior, 1(2), 9-24.
Luthans, F., Youssef, C. M., & Avolio, B. J.
(2015). Psychological capital and beyond.
Oxford University Press, USA.
McClelland, D. C. (1987). Human motivation.
CUP Archive.
Peterson, C. (2000). The future of optimism.
American Psychologist, 55, 44-55
Siregar, S. (2013). Metode Penelitian
Kuantitatif: Dilengkapi Dengan
Perhitungan Manual & SPSS.
Snyder, C. R., Rand, K. L., & Sigmon, D. R.
(2002). Hope theory. Handbook of
positive psychology, 257-276.
Subandrio, C. Y (2021). Optimalisasi
Psychological Capital Siswa-Siswi SMK
Sebagai Aspek Penunjang Karir dan
Kewirausahaan. Laporan tugas Akhir
Mata Kuliah Olah Kreativitas dan
Kewirausahaan (OKK) - RK 073.
Universitas Padjadjaran.
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Ubur, H. (2011). Upaya Penanggulangan
Kemiskinan Melalui Pendekatan Proses
Page 54
H a l a m a n | 54
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
(Studi Kasus Masyarakat Wudi Nusa
Tenggara Timur). Aspirasi: Jurnal
Masalah-masalah Sosial, 2(2), 209-224.
Ustama, D. J. (2009). Peranan Pendidikan
Dalam Pengentasan Kemiskinan. Dialogie:
Jurnal Ilmu Administrasi Dan Kebijakan
Publik 6 (1), 1 -12
© 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license
(https://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0/).
Page 55
H a l a m a n | 55
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
STUDI DESKRIPTIF UNTUK MELIHAT PROFIL INTERAKSI INTERPERSONAL RELAWAN SOSIAL DITINJAU MELALUI KONSEP FIRO-B
Feby Satya Wirawati1 1Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran, Jawa Barat, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstract
The interpersonal interaction profile between social volunteers was directly related to team effectiveness and indirectly to result in higher productivity. The purpose of this study was to identify the profile of interpersonal interactions of social volunteers in Bandung using the concept of Fundamental Interpersonal Relations Orientation-Behavior (FIRO-B). The number of participants in this study were 34 people using a total sampling technique. Research has shown that the selection of individuals in important teams is based on their interpersonal needs which can thus improve their interpersonal and communication skills. Keyword: interpersonal interaction profile, social volunteers, FIRO-B
1. PENDAHULUAN
Manusia merupakan mahluk social yang
saling beinteraksi dan membantu dengan
sesamanya untuk saling bertukar pikiran guna
mememnuhi kebutuhannya. Interaksi
manusia ini daapat dilihat secara langsung
dalam tatanan masyarakat ketika
memberikan pelayanan ataupun memberikan
dukungan baik berupa barang maupun jasa
kepada sesama manusia yang benar-benar
membutuhkan. Perilaku memberi manfaat
dan membantu kepada orang lain tanpa
amengharapkan imbalan ini adalah perilaku
yang dikenal dengan istilah altruism.
Menurut Baston altruisme adalah respons
yang memangkitkan emosi positif seperti
empati. Seorang altruist memiliki motif
altruistik dan keinginan untuk selalu
memantu orang lain yang menciptakan dalam
dirinya perasaan positif yang erasal dari motif
altruistik sehingga dapat mengarah pada
tindakan menolong orang lain.
Relawan sosal merupakan salah satu
contoh individu yang identik dengan perilaku
menolong dengan cara memberikan bantuan
pada orang lain yang bersifat tidak
mementingkan diri sendiri. Relawan adalah
seseorang atau sekelompok orang yang secara
ikhlas karena panggilan nuraninya
memberikan apa yang dimilikinya baik berupa
pikiran, tenaga, waktu maupun harta kepada
masyarakat sebagai perwujudan tanggung
jawab sosialnya tanpa mengharapkan pamrih
baik berupa imbalan dan upah, kedudukan,
kekuasaan, kepentingan maupun karier
Menurut Schoender (Bonar &
Fransisca 2012) relawan memiliki tanggung
jawab untuk melayani orang lain membawa
banyak keuntungan dan manfaat bagi banyak
pihak termasuk kesehatan masyarakat
hubungan sosial yang lebih dekat
menumbuhkan kepercayaan dan norma
timbal balik Berdasarkan uraian di atas dapat
dipahami bahwa relawan adalah individu yang
bersedia menyumbangkan tenaga atau
jasanya kemampuan dan waktunya tanpa
mengharapkan imbalan finansial atau tidak
mengharapkan keuntungan dari organisasi
jasa yang secara resmi menyelenggarakan
kegiatan tertentu.
Page 56
H a l a m a n | 56
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
Selain itu peran relawan sosial menurut
puspensos.kemsos.go.id adalah untuk dapat
memerikan layanan konseling dan imingan
kelompok kepada individu kelompok dan
masyarakat kepada mereka yang
membutuhkan konseling konseling dan
pemecahan masalah yang mereka hadapi
(misalnya tertimpa bencana sosial). Dengan
rincian kegiatan (1) Melakukan penilaian
terhadap status masyarakat yang terkena
encana (2) Memerikan motivasi (spiritual)
memperkuat moral (3) Melakukan kegiatan
pemulihan masyarakat rentan (4)
Melaksanakan kegiatan peningkatan
kesadaran pencegahan pengurangan risiko
dampak terhadap masyarakat dan (5) Bekerja
sama dengan pemangku kepentingan lainnya
dalam memerikan pelayanan kepada
masyarakat.
Menurut Nesit (2018) keikutsertaan
relawan ditentukan oleh pertimbangan
organisasi dan pertimbangan relawan itu
sendiri. Ada empat aspek yang dipandang
dalam organisasi yaitu keputusan
mempekerjakan relawan jumlah relawan
kontriusi relawan terhadap organisasi dan
status relawan dalam organisasi. Untuk
pertimangan relawan khususnya pergantian
relawan dalam organisasi karakteristik dan
keragaman relawan intensitas dan durasi
relawan dan kualitas kerja relawan.
Delapan aspek yang disebutkan diatas
sangat mempengaruhi tingkat partisipasi
relawan dalam suatu organisasi. Cakupan
keikutsertaan relawan dalam organisasi tidak
tetap tetapi dapat berubah dari waktu ke
waktu karena keputusan organisasi dan
relawan.
Relawan dapat dimotivasi oleh pengaruh
internal dan eksternal. Misalnya, Clary dan
Snyder (1991) mengusulkan pendekatan
fungsional untuk motivasi sukarelawan,
menunjukkan bahwa menjadi sukarelawan
memberikan kesempatan untuk memuaskan
kebutuhan dan dorongan pribadi. Para
peneliti juga berfokus pada bagaimana faktor
sosial seperti harapan orang lain dapat
mendorong dan mempertahankan
kesukarelaan (Grube dan Piliavin 2000).
Menurut self-determination theory, motivasi
diri difasilitasi oleh kondisi yang memenuhi
kebutuhan psikologis bawaan individu untuk
otonomi pribadi dan hubungan interpersonal.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa,
relawan sosial dalam menjalankan fungsinya
diharapkan dapat menjalin relasi
interpersonal dengan berbagai pemangku
kepentingan khususnya yang berada di daerah
Bandung. Oleh karenanya relawan selayaknya
memiliki keterampilan dalam menjalin
hubungan interpersonal, namun disisi lain
mereka juga dituntut agar dapat menjalankan
fungsinya secara independen tidak
terpengaruh oleh intervensi berbagai pihak
dalam cakupan relasinya, dan mereka dituntut
agar dapat tetap menjaga integritasnya.
Berdasarkan pemaparan sebelumnya,
sehingga peneliti menjadi tertarik untuk
melihat preferensi interaksi interprosal
relawan sosial yang berlokasi di Kota
Bandung. Dalam melihat preferensi interaksi
interpersonal tersebut, peneliti menggunakan
model konseptual FIRO-B yang didalamnya
mencakup domain Expresseded dan wanted
interaction, sehingga kemudian dapat
tergambar profil interaksi interpersonal antar
relawan, baik secara individual maupun
secara kolektif.
1.1. Interaksi Interpersonal ditinjau dari
Konsep FIRO-B
Konsep FIRO-B dan instrumen
penelitiannya dikembangkan oleh Schutz
(1958), namun telah mengalami perubahan
dan perluasan yang signifikan (Schutz, 1992,
1994, Thompson & Schutz, 2000). Konsep
Page 57
H a l a m a n | 57
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
FIRO-B menunjukkan bahwa untuk
menjelaskan perilaku interpersonal
dibutuhkan tiga kebutuhan dasar
interpersonal yaitu inclusion, control, dan
affection. Ada dua aspek dari tiga kebutuhan
interpersonal tersebut yaitu expresseded dan
wanted. Individu berkeinginan untuk
mengungkapkan atau mengekspresikan
kebutuhan interpersonalnya terhadap orang
lain, serta yang mereka inginkan dari orang
lain. Premis dasar dari konsep FIRO-B adalah
bahwa semua individu berusaha untuk
membangun hubungan yang harmonis
dengan orang lain dalam interaksi sosial
mereka. Individu berusaha untuk
membangun hubungan yang harmonis dalam
aspek inclusion, control, dan affection untuk
menghindari stres dan frustrasi dalam
rangka memenuhi kebutuhan mereka
(Thompson & Schutz, 2000).
Tujuan dari FIRO-B adalah untuk manrik
gambaran umum mnegenai perilaku individu
dalam kaitannya dengan interaksi mereka
dengan orang lain yang barada pada suatu
setting sosial, misalnya tempat kerja atau
kelompok kerja. Kemampuan FIRO-B untuk
mengestimasi kebutuhan interpersonal dan
respon emosional membuatnya sangat
bermanfaat untuk menganalisis preferensi
interaksi interpersonal seseorang, termasuk
para profesional dibidang akuntansi (Taggar
& Parkinson, 2007). FIRO-B cukup berguna
dalam menunjukkan potensi keharmonisan
maupun ketidakharmonisan dalam
hubungan kerja dan bagaimana perilaku
suatu individu dirasakan oleh orang lain.
Oleh karena itu FIRO-B cukup membantu
dalam mengidentifikasi dan menseleksi
seseorang baik pada posisi manajerial atau
posisi lainnya.
Aspek FIRO-B inclusion memper-
timbangkan orientasi sosial seseorang secara
umum dan kebutuhan interaksi dan
keterlibatan. Dalam menjaga hubungan
dengan orang lain, ada kebutuhan untuk
dilibatkan dalam kegiatan orang lain atau
melibatkan orang lain dalam suatu kegiatan
seseorang.
Pada suatu tingkat tertentu, individu
berusaha untuk terlibat dalam suatu
kelompok, tetapi ada juga yang harus
dibiarkan sendiri. Setiap individu berbeda
dalam tingkat kebutuhan dan tingkat
kenyamanan mereka untuk dilibatkan dalam
suatu kelompok. Kebutuhan untuk terlibat
atau menunjukkan ketertarikan untuk
terlibat kepada orang lain disebut
Expresseded inclusion.
Semenara wanted inclusion didefinisikan
sebagai kebutuhan untuk dilibatkan oleh
orang lain untuk mendapatkan pengakuan.
Pada kondisi ekstrem, orang "under social"
umumnya introvert dan menarik diri, dan
orang "over social" biasanya ekstrovert,
narsis dan datar. Macrosson (2000)
menyatakan bahwa inclusion mengacu pada
perasaan individu tentang diri sendiri, yaitu,
kebutuhan untuk merasa dihargai dan
dihormati. Individu "under social" biasanya
mereka merasa ditinggalkan, tidak
dilibatkan, dan tidak terikat secara sosial.
Sedangkan individu "over social" bertujuan
untuk memusatkan perhatian pada diri
mereka sendiri, untuk menjadi terkenal,
untuk didengarkan dan untuk diperhatikan
sebagai cara meningkatkan pengakuan
terhadap mereka.
Aspek perilaku kedua adalah control,
yang didefinisikan sebagai kebutuhan untuk
menguasai dan mempengaruhi. Kebutuhan
ini termasuk menjaga keseimbangan yang
memuaskan untuk menguasai dan
mempengaruhi dalam menjalin suatu
hubungan. Individu seringkali perlu
menunjukkan kemampuan untuk memimpin
atau mengendalikan orang lain. FIRO-B
Page 58
H a l a m a n | 58
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
mendefinisikan kebutuhan ini sebagai
"Expresseded control." Setiap individu juga
memiliki suatu kebutuhan “wanted control.”
Untuk tingkat tertentu, mereka ingin
dikendalikan atau dibimbing oleh orang lain.
Meskipun individu menginginkan kebebasan
dan individualitas, ada kebutuhan dalam
berbagai tingkat Expresseded dan wanted
control.
Area perilaku ketiga adalah affection,
yang mengacu pada kebutuhan untuk
kerukunan dan keakraban. Affection
termasuk kebutuhan akan persahabatan dan
keakraban, yaitu, kebutuhan untuk merasa
dekat dengan orang lain. Setiap individu
merasa perlu untuk mengungkapkan kasih
sayang (Expressed affection) terhadap orang
lain tetapi mereka juga harus menjaga jarak.
Mereka menginginkan kasih sayang (wanted
affection) atau menyukai ungkapan kasih
sayang yang tertuju kepada mereka, namun
kebutuhan ini sering bervariasi dalam
tingkatan kekuatannya. Membutuhkan kasih
sayang tidak selalu merupakan hubungan
yang romantis.
Macrosson (2000) mengembangkan
instrumen FIRO-B untuk mengukur orientasi
intrapersonal. Instrumen menggunakan nilai
berkisar antara 0 sampai 9 untuk kebutuhan
Expresseded dan wanted untuk masing-
masing tiga aspek perilaku - inclusion, control
dan affection. Total skor, disebut sebagai
Social Interaction Index (SII) yang nilainya
dapat berkisar dari 0 sampai 54. SII
mengukur preferensi interaksi interpersonal
yang ditinjau berdasarkan kebutuhan
interpersonal secara keseluruhan. Semakin
tinggi skor yang diperoleh pada salah satu
domain, semakin menggambarkan tingginya
kebutuhan kebutuhan interpersonal pada
domain tersebut. Thompson & Schutz (2000)
menunjukkan bahwa penggunaan FIRO-B
oleh praktisi telah meningkat. FIRO-B dapat
memberikan pengetahuan yang mendalam
yang berkaitan dengan interaksi antar
individu, dinamika tim, kompatibilitas
anggota tim, pengembangan tim, efektifitas
tim, dan kepuasan anggota tim. Metode ini
telah direvisi dan diperbaiki secara
mendalam, sehingga instrumen FIRO-B jauh
lebih raliabel dan valid (Thompson & Schutz,
2000).
1.2 Relawan Sosial
Relawan adalah individu yang ikhlas
membantu individu lain tanpa ada upah atau
gaji. Tujuan dari kerelawanan sosial adalah
untuk membantu masyarakat meningkatkan
sumber daya sosial, memenuhi kebutuhan
sosial dan meningkatkan kesejahteraan
relawan (Zanbar, 2019).
Hal ini sangat identik dengan definisi
relawan informal yang berkembang sebelum
munculnya relawan formal yang berada di
organisasi tertentu. Relawan informal adalah
seseorang yang bekerja untuk membantu
orang lain yang tidak dilakukan oleh
kelompok atau lembaga yang terorganisir.
Kegiatan sukarelawan informal meliputi
merawat anak-anak atau orang tua, memasak
makanan, melakukan pekerjaan rumah
tangga, memberi arahan, mendengarkan
masalah teman, dan memberi nasihat. Banyak
kegiatan sukarela informal bersifat timbal
balik, dengan individu saling membantu
secara bergantian atau dengan orang-orang
dalam kelompok informal membantu anggota
kelompok lainnya (Bennett & Einolf, 2017).
Bila dilakukan secara timbal balik dan di
Indonesia dikenal dengan gotong royong
(Habibullah, 2014).
Berdasarkan undang-undang no. 11
Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial,
yang dimaksud dengan Relawan Sosial adalah
seseorang dan/atau sekelompok orang yang
berlatar belakang pekerjaan sosial atau non
sosial, tetapi mempunyai kegiatan organisasi
Page 59
H a l a m a n | 59
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
dalam pekerjaan sosial. sektor kesejahteraan
tidak berada dalam badan sosial negara atas
kemauannya sendiri, dengan atau tanpa
kompensasi. Berdasarkan pengertian tersebut
maka relawan sosial menyatakan bahwa
relawan sosial bekerja di bidang
penyelenggaraan bantuan sosial, tetapi tidak
pada badan sosial negara atas kehendaknya
sendiri dengan atau tanpa imbalan. Dalam
praktiknya, banyak dari para relawan sosial
ini yang bekerja atau berdomisili di instansi
sosial pemerintah baik pusat maupun daerah
menerima imbalan berupa upah dari
Kementerian Sosial Republik Indonesia. Tidak
bisa dipungkiri relawan bisa bekerja di
instansi pemerintah, Amerika Serikat juga
mengalaminya, sebanyak 36 persen relawan
bekerja di instansi pemerintah (Brudney &
Kellough, 2000).
Menurut Nesbit (2018) keterlibatan
relawan dalam organisasi ditentukan oleh
pertimbangan organisasi dan pertimbangan
relawan itu sendiri. Dalam
mempertimbangkan organisasi, ada empat
dimensi, yaitu keputusan menggunakan
relawan, jumlah relawan, kontribusi relawan
terhadap organisasi dan status relawan dalam
organisasi. Mengenai pertimbangan relawan,
yaitu pergantian relawan organisasi,
karakteristik dan keragaman relawan,
intensitas dan durasi pengabdian relawan dan
kualitas kerja relawan.
Secara umum kedelapan dimensi
tersebut sangat mempengaruhi keterlibatan
relawan dalam suatu organisasi. Keterlibatan
dapat dibatasi pada keterlibatan sukarelawan
yang tidak terbatas dalam organisasi. Tingkat
keterlibatan sukarelawan dalam suatu
organisasi tidak statis, tetapi dapat berubah
seiring waktu karena keputusan organisasi
dan sukarelawan. Perubahan ini bisa
disengaja dan direncanakan atau tidak
disengaja dan tidak direncanakan.
Dimensi Keterlibatan Relawan Pada
Organisasi
I. Pertimbangan Organisasi
a. Keputusan untuk menggunakan
relawan
• Apakah akan menggunakan
relawan atau tidak
• Jenis relawan yang
dicari/diizinkan (batasan usia,
latar belakang, pendidikan, atau
keterampilan yang diperlukan)
b. Besaran penggunaan relawan
• Jumlah relawan
• Jumlah relawan relative
terhadap jumlah staf
• Jumlah jam relawan
• Jumlah jam relawan relatif
terhadap jam staf
• Jumlah jenis relawan tertentu
c. Kontribusi relawan untuk organisasi
• Tugas relawan
• Peran relawan
• Peran relawan relatif terhadap
peran staf, tumpang tindih dalam
peran
• Perubahan staf dan relawan
• Sifat tugas dan peran relawan
relatif terhadap misi dan hasil
organisasi
d. Status sukarelawan dalam organisasi
• Tingkat integrasi
• Tingkat marjinalisasi
• Status sukarelawan relatif
terhadap status staf
II. Pertimbangan Relawan
a. Relawan masuk dan keluar dari
organisasi
• Keputusan untuk menjadi
relawan untuk sebuah organisasi
• Keputusan untuk berhenti
menjadi relawan untuk sebuah
organisasi
Page 60
H a l a m a n | 60
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
• Jumlah relawan yang memasuki
organisasi relatif terhadap
mereka yang keluar (turnover)
• Jumlah relawan baru yang relatif
terhadap jumlah ideal organisasi
relawan baru
b. Karakteristik dan keragaman relawan
• Demografi relawan
• Pengetahuan, keterampilan, dan
kemampuan relawan
• Motivasi relawan
• Jumlah atau persentase relawan
yang mewakili kelompok
minoritas atau kurang terwakili
• Keragaman relawan relatif
terhadap klien atau klien
organisasi komunitas yang lebih
besar, keterwakilan
• Apakah relawan adalah
karyawan, klien, pelindung,
donor, atau anggota organisasi
c. Intensitas dan durasi komitmen
relawan
• Jumlah jam berdonasi
• Durasi pencarian peluang relawan
(episodik, jangka pendek versus
jangka panjang)
• Durasi keseluruhan layanan
(misalnya, jumlah acara, hari,
minggu, bulan, atau tahun
dilayani)
• Kualitas kerja sukarelawan
• Akurasi pekerjaan yang
diselesaikan
• Kecepatan dan ketepatan waktu
pekerjaan yang dilakukan
• Hadiri pertemuan pelatihan
• Reliabilitas
• Absenteeism dan jumlah shift
kerja yang terlewat
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan
metodologi kuantitatif dengan metode
analisis deskriptif untuk melihat profil
interaksi interpersonal Relawan Sosial di Kota
Bandung, yang ditinjau berdasarkan model
konseptual FIRO-B. Secara teknis, aspek
pengukuran yang termasuk dalam profil
tersebut adalah Expresseded inclusion, wanted
inclusion, Expresseded control, wanted contro,
Expresseded affection, wanted affection. Aspek
pengukuran tersebut akan di analisis secara
deskriptif untuk menarik gambaran umum
mengenai profilnya. Analisis dilakukan
dengan menggunakan prosedur statistic
analysis descriptive dengan IBM SPSS Ver. 20.
2.1. Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian adalah
Relawan Sosial yang berjumlah 34 orang.
Dengan jumlah tersebut, sehingga tidak
memungkinkan untuk dilakukan teknik
pengambilan sampel secara probabilistik.
Sehingga, peneliti memilih untuk melakukan
metode pengambilan sambel secara non-
probabilistik dengan menggunakan teknik
total sampling, dimana seluruh populasi yang
menjadi unit analisis dijadikan sebagai
sampel penelitian.
2.2. Instrumen Pengukuran FIRO-B
Instrumen pengukuran dalam penelitian
ini menggunakan FIRO-B Inventory oleh
Thompson & Schutz (2000). Instrumen ini
terdiri dari 6 aspek penilaian yaitu
Expresseded inclusion (α=0.78), wanted
inclusion (α=0.76), Expresseded control (α=
0.82), wanted control (α=0.79), Expresseded
affection (α=0.80), wanted affection (α= 0.79).
Page 61
H a l a m a n | 61
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
3. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL
3.1. Hasil
Tabel dibawah ini menunjukkan hasil
analisis statistik deskriptif yang digunakan
untuk memberikan gambaran umum
mengenai data demografi responden. Jumlah
partisipan laki-laki sebanyak 15 orang dengan
presentase 44%. Sedangkan jumlah partisipan
perempuan sebanyak 19 orang dengan
presentase sebesar 56%.
Tabel.1 Data Demografi Partisipan
Jenis Kelamin Jumlah Persentase
Laki-laki 15 (44%)
Perempuan 19 (56%)
Penelitian ini di uji dengan menggunakan
metode pengujian analisis deskriptif dan uji
komparasi independen sampel t-test, untuk
melihat profil interaksi interpersonal relawan
sosial.
Tabel 2. Hasil Uji Analisis Deskriptif
Mean Std. Deviation Skewness Kurtosis
Expressed Inclusion 4.15 0.12 0.15 -1.57
Wanted Inclusion 18.59 4.09 0.54 -0.78
Expressed Control 3.38 0.07 -0.21 -0.21
Wanted Control 12.62 2.99 0.63 -0.04
Expressed Affection 3.70 0.14 -1.12 0.06
Wanted Affection 12.82 2.13 0.59 -0.56
Skewness dan kurtosis merupakan
ukuran untuk melihat apakah data
berdistribusi secara normal atau tidak.
skewness mengukur kemencengan dari data
profil interaksi interpersonal, sedangkan
kurtosis mengukur puncak dari distribusi
data. data dikatakan berdistribusi normal jika
mempunyai nilai yang mendekati nol. Pada
dimensi Expresseded inclusion nilai skewness
dan kurtosis masing-masing adalah 0.15 dan -
0.57, pada dimensi wanted inclusion nilai
skewness dan kurtosis nya adalah 0.54 dan -
0.78, pada dimensi Expresseded control nilai
skewness dan kurtosisnya adlaah masing-
masing sebesar - 0.21, kemudian pada dimensi
wanted control nilai skewness dan
kurtosisnya masing- masing adalah 0.63 dan -
0.04, selanjutnya pada dimensi Expresseded
affection nilai skewness dan kurtosisnya
adalah -1.12 dan 0.06 dan yang terakhir pada
dimensi wanted affection nilai skewness dan
kutorsisnya masing-masing adalah 0.59 dan -
0.56 sehingga dapat disimpulkan bahwa data
berdistribusi secara normal.
Tabel 3. Hasil Uji Independent Sample T-Test
Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Expressed Inclusion Laki- laki 4.04 0.69 0.15
Perempuan 4.30 0.71 0.18
Wanted Inclusion Laki-laki 17.3 3.84 0.88
Perempuan 20.1 3.98 1.02
Expressed Control Laki-laki 3.47 0.45 0.10
Perempuan 3.27 0.40 0.10
Wanted Control Laki-laki 12.6 2.94 0.67
Page 62
H a l a m a n | 62
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Perempuan 12.5 3.15 0.81
Expressed Affection Laki-laki 3.72 0.83 0.19
Perempuan 3.67 0.84 0.21
Wanted Affection Laki-laki 12.3 1.77 0.40
Perempuan 13.40 2.47 0.63
Pada tabel diatas dapat dilihat hasil uji
analisis sample t-test dimana pada dimensi
Expresseded inclusion, wanted inclusion dan
wanted affection perempuan lebih besar
nilainya dibandingkan dengan karyawan
berjenis kelamin lak-laki. Sedangkan pada
dimensi Expresseded control, wanted control
dan Expresseded affection nilainya karyawan
yang berjenis kelamin laki-laki lebih besar
dibandingkan dengan karyawan berjenis
kelamin perempuan.
3.2. Pembahasan
Penelitian ini menunjukan bahwa
terdapat perbedaan yang tidak terlalu
signifikan secara statitik dalam pola interaksi
interpersonal pada relawan. Para relawan
tidak hanya menunjukan kebutuhan yang
moderat untuk setiap dimensi yang ada pada
alat ukur ini. Ini dibuktikan oleh nilai yang
diperoleh dimana setiap kebutuhan dari
mulai kebutuhan Inclusion, Control dan
Affeection menunjukan pada posisi middle.
Skor moderat ini tidak hanya ditunjukan
untuk dimensi Inclusion, Control dan juga
Affection tetapi juga pada dimensi expressed
dan juga wanted. Perbedaan antara laki-laki
dan perempuan dapat diidentifikasi pada
dimensi expressed control dan wanted
affection. Relawan Laki-laki menginginkan
lebih banyak kontrol sementara relawan
perempuan menunjukkan kebutuhan
affection yang lebih tinggi. Selain itu, relawan
laki-laki juga menyatakan wanted control
yang lebih tinggi daripada perempuan.
Para relawan selayaknya memiliki
keterampilan dalam menjalin hubungan
interpersonal, namun disisi lain mereka juga
dituntut agar dapat menjalankan fungsinya
secara independen tidak terpengaruh oleh
intervensi berbagai pihak dalam cakupan
relasinya, dan mereka dituntut agar dapat
tetap menjaga integritasnya.
Hasil penelitian menunjukan bahwa
relawan yang bekerja di Bandung dapat
memposisikan diri secara fleksibel dengan
anggota tim, mengetahui kapan waktu yang
tepat untuk mendekat dan memberikan
batasan untuk anggota tim serta bersama-
sama melibatkan seluruh anggota tim yang
kemudian berpengaruh kepada terjalinnya
hubungan yang harmonis antar rekan tim
sehingga relawan mempunyai pola interaksi
yang profesional yang mengarah pada
kesuksesan kerja tim.
Dalam hal wanted control terjadi
tuntutan bagi relawan khususnya ketua tim
untuk mensupervisi anggota tim sebelum
penugasan dimulai dan berhubungan
langsung sehingga mempengaruhi tingkat
ketrampilan sosial secara keseluruhan.
4. KESIMPULAN
Relawan diminta untuk mengembangkan
keterampilan interpersonal mereka. Kepala
dari tim relawan menunjukkan bahwa
keterampilan komunikasi dan kemampuan
untuk berinteraksi baik secara kelompok yang
beragam maupun secara individu adalah
persyaratan yang penting bagi relawan sosial.
Persyaratan ini mempunyai arti bahwa
Page 63
H a l a m a n | 63
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
relawan harus memiliki atau
mengembangkan keterampilan interpersonal.
Sangat penting untuk mengetahui bahwa
kebutuhan interpersonal inclusion, control,
affection dari seorang individu cocok dengan
lingkungan kerja, jika tidak kita akan memiliki
karyawan yang tidak bahagia dan yang akan
menghambat tugas mereka. Oleh karena itu,
penting untuk mengidentifikasi kebutuhan
interpersonal khususnya bagi seorang
relawan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa
relawan yang bekerja di Bandung memiliki
keterampilan interpersonal yang baik, baik itu
relawan laki- laki maupun relawan
perempuan. Para relawan ini dapat
memposisikan diri secara fleksibel dalam tim
sehingga terjalin hubungan yang harmonis
antar rekan tim.
5. SARAN
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
sebagai bahan pertimbangan bagi organisasi
dalam merekrut serta mengembangkan
kebijakan yang berkaitan dengan pekerja tim.
Para peneliti selanjutnya dapat
mempertimbangkan untuk menambah
sampel penelitian. Hal ini perlu dilakukan
untuk melengkapi data yang dirasa kurang
jika hanya menggunakan satu metode
penelitian saja.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmetoglu, G., Chamorro‐Premuzic, T., &
Furnham, A. (2010). Interpersonal
Relationship Orientations, Leadership,
and Managerial Level: Assessing the
practical usefulness of the FIRO‐B in
organizations. International journal of
selection and assessment, 18(2), 220-
225.
Braddock, C. L. (2006). Penny wise, pound
foolish: why investors would be foolish to
pay a penny or a pound for the
protections provided by Sarbanes- Oxley.
BYU L. Rev., 175.
Gaur, D. (2019). Self-Leadership and
interpersonal competences of future
aspiring professionals in the Arab Middle
East: Reference to FIRO-
B. Management Science Letters, 9(12), 2021-
2028.
Brudney, J. L., & Kellough, J. E. (2000).
Volunteers in state government:
Involvement, management, and benefits.
Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly,
29(1),111–130.
Habibullah. (2017). Pemanfataan Potensi dan
Sumber Kesejahteraan Sosial. Sosio
Konsepsia, 6(02), 88–97.
Harrington, B., & James, J. B. (2006). The
standards of excellence in work-life
integration: From changing policies to
changing organizations. M. Pitt-
Catsouphes/EE Kossek/SA Sweet (Hg.):
The work and family handbook. Multi-
disciplinary perspectives, methods, and
approaches. Mahwah, NJ, 665-683.
Kementerian Sosial RI. (2017). Peraturan
Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor
16 Tahun 2017 Tentang Standar Nasional
Sumber Daya Manusia Penyelenggara
KesejahteraanSosial.
Kwon, I. W. G., & Banks, D. W. (2004). Factors
related to the organizational and
professional commitment of internal
relawans. Managerial Auditing Journal.
Page 64
H a l a m a n | 64
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
Macrosson, W. D. K. (2000). FIRO–B: Factors
and Facets. Psychological reports, 86(1),
311-320.
Nesbit, R., Christensen, R. K., & Brudney, J. L.
(2018). The Limits and Possibilities of
Volunteering: A Framework for
Explaining the Scope of Volunteer
Involvement in Public and Nonprofit
Organizations. Public Administration
Review, 78(4), 502–513.
Siegel, P. H., & Miller, J. R. (2009). An
international comparison of social
interaction attributes of internal
relawans: an analysis using the Firo- B.
Available at SSRN 1616327.
Siegel, P. H., & Schultz, T. (2011). Social Skills
Preferences Among Internal Relawans
An Explanatory Study Using The FIRO-B.
Journal of Applied Business Research
(JABR), 27(3), 43-54.
Siegel, P. H., & Smith, J. W. (2003). CPA firm
personnel preferences for social
interaction: An examination using the
FIRO-B. Journal of Business and
Entrepreneurship, 15(2), 77.
Thompson, H., & Schutz, W. (2000). FIRO
element B organizational interpretive
report. Watkinsville, GA: High
Performing Systems.
Zanbar, L. (2019). The Effect of Volunteering
for Community Activity on the Social
Resources of Low-SES Residents:
Differences Between Volunteer
Community Activists and Other
Residents. Voluntas, 30(1), 164–174.
© 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and
conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0/).
Page 65
H a l a m a n | 65
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
PEMBERDAYAAN ANGGOTA KOPERASI SEBAGAI ORGANISASI SOSIAL MELALUI
PENDEKATAN TEAM EMPOWERMENT PADA MASA COVID-19
Revina Hardiyanti1
1Magister Psikologi SDM, Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran, Jawa Barat, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstract
Savings and loan cooperatives are one of the economic empowerment organizations to improve welfare,
in the environment around the cooperative and the large community to provide a stimulus for the
formation of new businesses that benefit the economy. In addition to financial institutions affected by
COVID-19, the International Labor Organization estimates that COVID-19 will have an impact on
increasing the number of unemployed, indicating that maintaining business operations will be very
difficult. One of the keys to maintaining business operations is to stimulate employees to be involved in
various organizational work implementations. The active involvement of employees in carrying out a
series of essential tasks within the organization has a significant contribution to improving
organizational performance, and performance effectiveness both at the group level and at the individual
level. Through team empowerment programs, organizations can stimulate the involvement of their
employees. Empowerment is a way to create a conducive working atmosphere as well as a process to
build high dedication and commitment so that the organization can be very effective in achieving its
goals. The subjects in this study were 32 participants who worked in teams at Cooperative X in Cirebon
City, West Java. The results show that the team has felt empowered with an average score above 70
which means the organization has provided freedom, care, effectiveness, autonomy, and the team feels
that its presence has an impact on the organization, other teams, and customers.
Keywords: Team Empowerment, Pandemic Covid-19, Saving and Loan Cooperative, Social Welfare
1. PENDAHULUAN
Dunia saat ini digemparkan dengan
merebaknya virus jenis baru yaitu coronavirus
jenis baru (SARS-CoV-2) dan penyakitnya
disebut Coronavirus Disease (COVID-19).
Diketahui asal mula virus ini berasal dari
Wuhan, Tiongkok. Ditemukan pada akhir
Desember tahun 2019. Sampai saat ini sudah
dipastikan terdapat lebih dari 65 negara yang
telah terjangkit virus satu ini. (Data WHO,
Maret 2020). Kejadian infeksi berat dengan
penyebab yang belum diketahui, yang berawal
dari laporan dari Cina kepada World Health
Organization (WHO) terdapatnya 44 pasien
pneumonia yang berat di suatu wilayah yaitu
Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, tepatnya
di hari terakhir tahun 2019. Dugaan awal hal
ini terkait dengan pasar basah yang menjual
ikan, hewan laut dan berbagai hewan lain.
Pada 10 Januari 2020 penyebabnya mulai
teridentifikasi dan didapatkan kode
genetiknya yaitu virus corona baru. Penelitian
selanjutnya menunjukkan hubungan yang
dekat dengan virus corona penyebab Severe
Acute Respitatory Syndrome (SARS) yang
mewabah di Hongkong pada tahun 2003,
hingga WHO menetapkan sebagai novel
corona virus (nCoV-19). Tidak lama kemudian
mulai muncul laporan dari provinsi lain di
Cina bahkan di luar Cina, pada orang-orang
dengan riwayat perjalanan dari Kota Wuhan
dan Cina yaitu Korea Selatan, Jepang, Thailand,
Amerika Serikat, Makau, Hongkong,
Singapura, Malaysia hingga total 25 negara
Page 66
H a l a m a n | 66
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
termasuk Prancis, Jerman, Uni Emirat Arab,
Vietnam dan Kamboja. Ancaman pandemik
semakin besar ketika berbagai kasus
menunjukkan penularan antar manusia
(human to human transmission) pada dokter
dan petugas medis yang merawat pasien tanpa
ada riwayat berpergian ke pasar yang sudah
tutup. Laporan lain menunjukkan penularan
pada pendamping wisatawan Cina yang
berkunjung ke Jepang disertai bukti lain
terdapat penularan pada kontak serumah
pasien di luar Cina dari pasien terkonfirmasi
dan pergi ke Kota Wuhan kepada pasangannya
di Amerika Serikat. Penularan langsung antar
manusia (human to human transmission) ini
menimbulkan peningkatan jumlah kasus yang
luar biasa hingga pada akhir Januari 2020
didapatkan peningkatan 2000 kasus
terkonfirmasi dalam 24 jam. Pada akhir
Januari 2020 WHO menetapkan status Global
Emergency pada kasus virus Corona ini dan
pada 11 Februari 2020 WHO menamakannya
sebagai COVID-19.
Hingga 17 September 2021, jumlah kasus
infeksi COVID-19 terkonfirmasi mencapai 219
juta kasus diseluruh dunia. Awalnya kasus
terbanyak terdapat di Cina, namun saat ini
kasus terbanyak terdapat di Amerika Serikat
dengan 41,8 juta kasus, diikut oleh India
dengan 33,4 juta kasus dan Brazil sebanyak
21,1 juta kasus. Virus ini telah menyebar
hingga lebih dari 199 negara. Kematian akibat
virus ini telah mencapai 4,55 juta kasus.
Tingkat kematian akibat virus ini mencapai 4-
5% dengan kematian terbanyak terjadi pada
kelompok usia di atas 65 tahun. Indonesia
melaporkan kasus pertama pada 2 Maret
2020, yang diduga tertular dari orang asing
yang berkunjung ke Indonesia. Kasus di
Indonesia pun terus bertambah, hingga
tanggal 17 September 2021 telah terdapat
4,178,164 kasus dengan kematian mencapai
139,682 jiwa. Tingkat kematian Indonesia 9%,
termasuk angka kematian tertinggi.
Saat ini lembaga keuangan yang paling
terdampak COVID-19 adalah Koperasi.
Koperasi sendiri merupakan sebuah lembaga
organisasi ekonomi yang dikelola bersama
untuk kepentingan tertentu. Menurut Menteri
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah dalam
pertanyaannya di Pikiran Rakyat menyatakan
bahwa sebanyak 1.785 koperasi di seluruh
Indonesia terdampak pandemi COVID-19, dan
para pengelola koperasi merasakan sejumlah
penurunan penjualan dan pendapatan
dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya hal ini dikarenakan
keterlambatan distribusi dan kekurangan
modal. Jika disimpulkan lembaga koperasi
sedang cemas akan keberlangsungan usaha,
turunnya jumlah penjualan dapat diartikan
penurunan jumlah pendapatan sehingga
koperasi harus lebih berhati-hati dalam
melakukan proses peminjaman kepada
nasabah dan anggotanya.
Salah satu Koperasi yang terkena dampak
adalah Koperasi X yang berada di Kota Cirebon
Jawa Barat. Koperasi X merupakan salah salah
satu organisasi pemberdayaan ekonomi dalam
upaya meningkatkan kesejahteraan melalui
jasa simpan pinjam, baik di lingkungan sekitar
Koperasi maupun masyarakat luas sehingga
memberikan stimulus untuk terbentuknya
usaha-usaha baru yang menguntungkan
perekonomian daerah setempat. Melalui
koperasi, aktifitas perekonomian masyarakat
bisa terwadahi dengan baik. Dengan adanya
wadah ini diharapkan bisa menjadi tempat
untuk mengembangkan diri, kerjasama, dan
menambah keterampilan.
Selain lembaga keuangan yang
terdampak oleh COVID-19, International
Labor Organization memperkirakan COVID-19
memberikan dampak pada kenaikan jumlah
pengangguran yang menandakan
Page 67
H a l a m a n | 67
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
mempertahankan operasi bisnis akan sangat
sulit. Sumber daya manusia merupakan aset
yang paling penting dalam suatu organiasasi
atau perusahaan karena manusia merupakan
sumber daya yang dinamis dan selalu
dibutuhkan dalam tiap proses produksi
barang maupun jasa. Robbin dan Judge (2008)
menegaskan bahwa sumber daya manusia
adalah sumber daya yang sangat penting
dalam organisasi, oleh karena itu pengelolaan
penyediaan tenaga kerja yang bermutu,
mempertahankan kualitas dan pengendalian
biaya kerja sangat penting diperhatikan oleh
perusahaan maupun pelaku usaha manapun.
SDA di perusahaan perlu dikelula secara
profesional agar terwujud keseimbangan
antara kebutuhan karyawan dengan tuntutan
dan kemampuan perusahaan (Iresa, 2015).
Dalam rangka pencapaian tujuan secara efektif
dan efisien, organisasi membutuhkan sumber
daya manusia atau karyawan dengan tingkat
loyalitas dan partisipasi yang tinggi, dan
tingkat loyalitas dan partisipasi yang tinggi
tersebut yang dinamakan komitmen (Mulyati,
2013). Perusahaan membutuhkan komitmen
karyawan terhadap organisasi karena hal
tersebut penting dalam menjaga stabilitas
kondisi dan situasi sebuah perusahaan.
Putranta dalam (Tarigan, 2017) mengatakan
dari sejumlah studi yang telah dilakukan
untuk menemukan faktor-faktor yang
mempengaruhi komitmen antara lain (1)
ketersediaan pelatihan, (2) kepuasan kerja,
(3) pemberdayaan, (4) etika kerja, (5) jarak
kekuasaan, (6) penghindaran ketidakpastian.
Dari beberapa faktor diatas dapat kita
ketahui bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi komitmen organisasi adalah
pemberdayaan. Melakukan pemberdayaan
terhadap karyawan artinya perusahaan
memberikan kesempatan kepada karyawan
agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya dengan mengerahkan segala
kemampuan dan keterampilan karyawan.
Penelitian dari Mahiri (2017) menyatakan
bahwa semakin karyawan diberdayakan
sebaik mungkin maka akan meningkatkan
komitmen organisasional dalam diri
karyawan itu sendiri. Sehingga semakin
perusahaan memberdayakan seluruh
pegawainya maka akan semakin mudah
tujuan perusahaan tercapai. Dan tujuan
pemberdayaan tersebut akan lebih mudah jika
pemberdayaan dilakukan dalam tim.
Pemberdayaan tim dalam perusahaan
merupakan salah satu proses untuk
mendukung terlaksananya strategi
perusahaan. Tim adalah sebuah unit yang
terdiri dari dua orang atau lebih yang saling
berinteraksi dan berkoordinasi untuk
menyelesaikan sebuah tugas (Daft, 2003:171).
Hackman dan Wageman (2005) menyarankan
bahwa efektivitas tim terdiri dari tiga dimensi:
kinerja/hasil tugas tim, proses-proses sosial
yang memaksimalkan efektivitas kelompok,
dan keberlanjutan pengalaman kelompok
yang berkontribusi positif terhadap
pembelajaran dan kebahagiaan individual
anggota tim.
Pada semua bidang usaha manapun pasti
memiliki tim yang bertugas didalamnya, tidak
terkecuali unit Koperasi yang ada di Indonesia
khusus nya di Kota Cirebon Jawa Barat.
Kinerja koperasi yang baik yaitu sistem
pengelolaan pengawasan, pengurus, anggota,
dan lembaga bekerja sama dengan baik serta
saling mengembangkan satu sama lain, dan hal
tersebut bergantung pada partisipasi dan
pemberdayaan anggota/karyawan sudah
optimal. Koperasi saat ini mengalami
tantangan yang cukup signifikan akibat
COVID-19, selain mereka harus
mempertahankan kegiatan usaha mereka juga
harus mempertahankan partisipasi dan
meningkatkan pemberdayaan anggota.
Page 68
H a l a m a n | 68
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
Kota Cirebon sendiri memiliki jumlah
koperasi aktif sebanyak 266 unit, koperasi
pasif sebanyak 137 unit. Jumlah anggota
keseluruhan sebanyak 28.790 orang. Jumlah
karyawan mencapai 211 orang. Dengan
jumlah aset sebesar Rp. 744 Miliar (Data
Cirebon Kota, 2021). Jumlah ini cukup banyak
dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya,
dan di setiap unit kerja koperasi tersebut
masih menghadapi hambatan dan masalah
internal yang berkaitan dengan sumber daya
manusia. Dalam menghadapi masalah
tersebut membuat koperasi menyadari
pentingnya memiliki kondisi koperasi yang
adaptif, sehingga dapat memberikan dorongan
pada Sumber Daya Manusia (SDM) yang
bekerja untuk mencapai misi dan tujuan
perusahaan.
Salah satu kunci untuk meningkatkan
kinerja perusahaan adalah dengan
menstimulasi para karyawan untuk dapat
terlibat pada berbagai implementasi kerja
perusahaan. Keterlibatan aktif para karyawan
dalam menjalankan serangkaian tugas
esensial di dalam perusahaan memiliki
kontribusi yang signifikan terhadap
peningkatan kinerja perusahaan, dan
efektivitas kinerja baik pada level kelompok
maupun pada level individual. Melalui
program pemberdayaan kelompok kerja,
perusahaan dapat menstimulasi keterlibatan
para pegawainya. Pemberdayaan adalah cara
untuk menciptakan suasana kerja yang
kondusif serta suatu proses untuk
membangun dedikasi dan komitmen yang
tinggi sehingga organisasi tersebut bisa
menjadi sangat efektif dalam mencapai tujuan-
tujuannya. Beberapa penelitian sebelumnya
mengungkapkan bahwa pemberdayaan
kelompok kerja dalam suatu organisasi
memiliki kontribusi yang signifikan terhadap
team productivity (Hyatt & Rudy, 1997),
individual proactivity (Bateman & Crant,
1993), quality customer service (Lawler., dkk,
1995), team job satisfaction (Thomas &
Tymon, 1994), organizational commitment
(Steers, 1977) dan team commitment
(Hackman 1987).
1.1 Pemberdayaan (Empowerment)
Pemberdayaan merupakan proses
peningkatan otonomi dan keleluasan kepada
pekerja untuk mengerjakan tugasnya hingga
tahapan pekerja tersebut diperbolehkan
membuat keputusan sendiri terhadap
pekerjaannya (Greenberg dan Baron, 2003).
Robbins (2003) memberikan pengertian
bahwa pemberdayaan adalah menempatkan
pekerja untuk bertanggung jawab terhadap
pekerjaannya masing-masing atau apa yang
dikerjakan. Wibowo (2007) mendefinisikan
pemberdayaan sebagai suatu proses
menjadikan orang lebih berdaya atau lebih
berkemampuan untuk menyelesaikan
masalahnya sendiri dengan cara memberikan
kepercayaan dan kewenangan sehingga
menumbuhkan rasa tanggung jawabnya.
Dalam pemberdayaan terdapat
pendelegasian wewenang yang diberikan
kepada karyawan tertentu dalam
pengambilan keputusan sejauh tidak
menyimpang dari kebijakan perusahaan.
Pemberdayaan karyawan berimplikasi pada
kebebasan dan kemampuan karyawan
tertentu untuk membuat keputusan dan
komitmen, bukan hanya berbagi informasi dan
saran-saran. Pemberdayaan menyangkut
tentang kewenangan dan penguatan otoritas
dari karyawan tertentu. Seibert et al. (2004),
membedakan pemberdayaan menjadi dua
perspektif yaitu makro dan mikro. Perspektif
makro berhubungan dengan struktur
organisasi dan kebijakan organisasi,
sedangkan perspektif mikro berhubungan
dengan reaksi psikologis yang dimiliki
karyawan terhadap struktur organisasi dan
kebijakan organisasi.
Page 69
H a l a m a n | 69
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
1.2 Pemberdayaan Tim (Team
Empowerment)
Kerja tim merupakan strategi kunci dalam
memberdayakan individu (orang) dan
memperbaiki kinerja organisasional. Anggota
tim akan merasa memiliki kepuasan
sewajarnya, apabila bekerja sama dengan
orang lain dalam sebuah tim. Hal ini
dikarenakan lebih produktif dan lebih efisien
daripada individu bekerja sendiri. Hasil kerja
tim akan lebih besar daripada penjumlahan
hasil kerja individu-individu (Wibowo, 2007).
1.3 Pengertian Tim (tean) dan Grup
(Group)
Kelompok (group) didefinisikan sebagai
kumpulan dua atau lebih individu yang saling
berinteraksi dan saling membutuhkan satu
sama lain untuk mencapai tujuan bersama
(Shih, 2006). Cohen dan Bailey (1997)
mendefiniskan kelompok sebagai kumpulan
orang yang memiliki kesamaan sasaran atau
tujuan. Pada beberapa literatur menyatakan
bahwa penggunaan kata kelompok dan tim
dapat saling menggantikan (Shih, 2006).
Cohen dan Bailey (1997) menyatakan
pendapat yang sama mengenai penggunaan
kata kelompok dan tim, namun Cohen dan
Bailey (1997) menambahkan bahwa
penggunaan kata kelompok cenderung
digunakan untuk penulisan pada bidang
akademik, seperti dinamika kelompok (group
dynamics) dan efektivitas kelompok (group
effectiveness). Sedangkan untuk literatur atau
tulisan dalam bidang manajemen populer,
penggunaan kata “tim” lebih sering digunakan
untuk menggantikan kata “kelompok”, seperti
pemberdayaan tim (team empowerment) dan
kualitas peningkatan tim (quality
improvement teams).
Menurut Katzenbach dan Smith (2005),
tim dan kelompok jika dibandingkan akan
terlihat bahwa tim memiliki derajat komitmen
dan hubungan antar anggotanya lebih tinggi
dibandingkan kelompok. Hal utama yang
membedakan antara tim dengan bentuk kerja
kelompok lainnya adalah kinerja atau
prestasinya. Kelompok adalah tempat para
anggotanya secara individu berkontribusi
untuk prestasi bersama, sedangkan tim adalah
tempat para individu berusaha keras untuk
mencapai sesuatu yang lebih tinggi
dibandingkan kemampuan individu yang
dimiliki dalam mencapai prestasi. Cohen dan
Bailey (1997) mendefinisikan tim sebagai
kumpulan para individu yang saling
membutuhkan dalam mengerjakan tugasnya
serta berbagi tanggung jawab untuk mencapai
hasil yang terbaik dengan saling
memperhatikan satu sama lain sebagai satu
kesatuan sosial yang utuh. Sebuah kelompok
akan berubah menjadi sebuah tim apabila
orang-orang yang berada di kelompok
tersebut berkomitmen satu sama lain dan
mengubah tujuan individu masing-masing
menjadi tujuan kelompok. Keefektivitas
sebuah tim dapat terlihat dari tiga hal yaitu
kualitas produk, perilaku anggota tim seperti
kepuasan kerja, komitmen dan kepercayaan
dan tindakan yang dikeluarkan seperti tingkat
kehadiran, keamanan dan tingkat keluar-
masuk anggota pada tim.
Pada penelitian ini, pengertian tim dan
kelompok tidak berbeda dan saling
menggantikan, namun penggunaannya akan
lebih banyak kata tim dibandingkan
kelompok. Jenis tim dapat dikelompokan
menjadi dua kelompok utama yaitu tim
permanen dan tim sementara. Cohen dan
Bailey (1997) membagi tim menjadi tim kerja,
tim paralel, tim proyek, dan tim manajemen.
Tim kerja adalah tim yang bekerja secara
berkala untuk memproduksi sebuah produk
atau jasa, tipe anggotanya adalah tetap dan
biasanya bekerja dalam waktu penuh. Tim
paralel adalah sekumpulan orang yang
berkerjasama dan berasal dari berbagai unit
Page 70
H a l a m a n | 70
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
kerja yang berbeda untuk memperbaiki
prestasi sebuah organisasi, biasanya tim
paralel digunakan untuk menyelesaikan suatu
masalah atau kegiatan berorientasi
pengembangan. Tim proyek adalah tim yang
memiliki jangka waktu tertentu, tim ini
menghasilkan satu hasil (output) seperti
produk baru atau pembuatan sistem informasi
baru. Tim manajemen adalah tim yang
bertanggung jawab atas semua prestasi dari
suatu bisnis, dan memiliki kemampuan untuk
memberikan arahan ke semua tim yang
berada di bawahnya. Jenis tim yang dijadikan
penelitian didefinisikan sebagai jenis tim
permanen yang memiliki unit kerja yang sama
pada Koperasi X.
1.4 Pengertian Pemberdayaan Tim
didefinisikan sebagai jenis tim permanen
yang memiliki unit kerja yang sama pada
Koperasi X didefinisikan sebagai jenis tim
permanen yang memiliki unit kerja yang sama
pada divisi Koperasi X Pemberdayaan tim
(team empowerment) dapat diartikan sebagai
peningkatan motivasi kerja atau tugas yang
disebabkan kerjasama anggota tim dan
penilaian positif mengenai tugas-tugas tim
dalam sebuah organisasi, sehingga terjadi
pergesaran kekuasaan kepada tim pekerja
yang diperbolehkan untuk membuat
keputusan sendiri. Pemberdayaan memiliki
peranan sangat besar untuk memotivasi
pekerja dalam mengerjakan sesuatu dengan
benar (Kirkman dan Rosen, 1999). Swenson
(1997) menyatakan bahwa pemberdayaan tim
adalah suatu fungsi yang memiliki kekuasaan,
sumber daya, informasi dan perhitungan
dalam suatu pekerjaan atau dengan kata lain
merupakan kemampuan tim untuk
mengontrol dan memodifikasi proses dan
prosedur tim tersebut. Individu yang tidak
diberdayakan sebelum pelaksanaan
pemberdayaan tim akan mudah beradaptasi
ketika pemberdayaan tim diaplikasikan,
dikarenakan individu tersebut diajak untuk
belajar menyalurkan idenya dalam
pemgambilan keputusan tim. Berbeda dengan
individu yang telah diberdayakan dan
berpengaruh besar atas keputusan kerja pada
tim, pengaplikasian pemberdayaan tim akan
mengancam perasaan dari individu tersebut
dikarenakan individu tersebut merasa
kehilangan beberapa pengaruh yang dimiliki
kepada timnya (Barnes, 2006). Sifat alami dari
sebuah tim adalah dinamis atau berubah
berdasarkan fungsi tim, input, proses dan
output. Pemberdayaan tim merupakan konsep
motivasional yang dinamis, sehingga motivasi
seorang anggota tim diberdayakan atau tidak
tergantung terhadap penilaian anggota tim
atas pekerjaan dan karakteristik organisasi.
Salah satu karakteristik pemberdayaan tim
adalah kemampuan ketua tim untuk mengajak
anggotanya dalam pengambilan suatu
keputusan tim, walaupun tim tersebut tidak
memiliki akses atau sumber penting yang
berperan dalam pengambilan keputusan
(Kirkman dan Rosen, 1999).
Pemberdayaan dalam level tim berbeda
dengan pemberdayaan pada level individu,
perbedaan tersebut adalah pada level individu
merupakan paket dari ide individu, sedangkan
pada level tim merupakan ide kolektif dari
masing-masing anggota tim dan menjadi
konsep sosial untuk merepresentasikan
penilaian tim terhadap pekerjaannya serta
kondisi sekitar tim mereka. Selain itu, setiap
tim memiliki perbedaan masing-masing, tidak
ada satu metode yang dapat dimplimentasikan
secara pasti dan sejalan yang menghasilkan
sesuatu yang sama persis antara tim satu
dengan tim lainnya. Tim-tim tersebut harus
mencari cara sendiri untuk mencapai
kesuksesan. Dalam pengukuran
pemberdayaan tim atau menilai suatu tim
diberdayakan atau tidak, terdapat beberapa
metode pengukuran. Salah satunya adalah
Page 71
H a l a m a n | 71
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
dengan menggunakan pendekatan psikologis
yang dikembangkan oleh Kirkman dan Rosen
(1999) yang diadaptasi dari pengukuran
pemberdayaan psikologis pada level individu
oleh Spreitzer (1995). Dimensi pemberdayaan
tim melalui pendekatan psikologis terbagi
menjadi empat dimensi yaitu meaningfullness
(kebermaknaan), potency (potensi),
autonomy (otonomi) dan
consequences/impact (konsekuensi).
Kebermaknaan merupakan perasaan
intrinsik anggota tim terhadap arti penting
atas tugas dan pekerjaan tim. Potensi
merupakan keyakinan bersama dari anggota
tim bahwa tim akan menjadi lebih efektif
karena memiliki kemampuan. Otonomi adalah
derajat kepercayaan dari setiap anggota tim
untuk membuat keputusan secara bebas.
Konsekuensi merupakan kesadaran anggota
tim bahwa pekerjaannya memberikan
kontribusi yang signifikan untuk organisasi
(Kirkman dan Rosen, 1999). Dimensi
pendekatan psikologi untuk mengukur
pemberdayaan baik pada level individu atau
tim merupakan hal baru, namun dimensi-
dimensi tersebut memiliki akar sejarah dari
model-model teori sebelumnya. Sebagai
contoh, konsep pemberdayaan tim secara
psikologi yaitu kebermaknaan, otonomi, dan
konsekuensi dibangun dari tiga “keadaan
kritis secara psikologis” dalam model
pekerjaan. Potensi dan otonomi adalah
anologi dari kompetensi dan self
determination (hak menentukan nasib
sendiri) dalam teori evaluasi kognitif (Shih,
2006).
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode
analisis kualitatif-deskriptif. Penelitian
kualitatif merupakan pengumpulan data pada
suatu latar belakang dengan maksud
menafsirkan fenomena yang terjadi. Metode
deskriptif juga digunakan untuk
menggambarkan keadaan atau kondisi objek
penelitian pada saat penelitian dilakukan
berdasarkan data-data atau fakta-fakta yang
senyatanya terjadi dilapangan. Populasi pada
penelitian ini adalah karyawan koperasi X di
Kota Cirebon yaitu berjumlah 52 orang.
Pengambilan sampel digunakan dengan
metode simple random sampling. Metode
sampling ini adalah salah satu jenis metode
pengambilan data yang dipilih secara acak,
dimana setiap element atau anggota populasi
memiliki kesempatan yang sama untuk
terpilih dan atau terpilih menjadi sampel.
Sehingga didapatkan 32 orang yang menjadi
sampling pada penelitian ini. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dengan menggunakan
kuesioner yang disebarkan online melalui
google form yang diberikan kepada masing-
masing tim yang berada pada bagian
administrasi di Koperasi X di Kota CIrebon.
Tim tersebut terdiri dari:
• Tim 1: berjumlah 7 orang dengan tugas
pokok mengatur surat menyurat yang
ada di Koperasi
• Tim 2: berjumlah 5 orang dengan tugas
pokok mengarsipkan dokumen-
dokumen penting koperasi
• Tim 3: berjumlah 7 orang dengan tugas
pokok memonitor kebutuhan rumah
tangga dan ATK Koperasi
• Tim 4: berjumlah 7 orang dengan tugas
pokok mempersiapkan segala
kebutuhan rapat-rapat internal maupun
ekternal
• Tim 5: berjumlah 6 orang dengan tugas
pokok menjadwalkan kegiatan-kegiatan
yang akan dilakukan oleh anggota
Koperasi.
Instrumen penelitian menggunakan alat
ukur team empowerment yang dikembangkan
oleh Kirkmann & Rosen (1997) bertujuan
untuk mengukur sejauh mana individu menilai
Page 72
H a l a m a n | 72
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
bahwa dirinya merasa diberdayakan oleh
perusahaan. Untuk mengestimasi konstruk
tersebut Kirkman & Rosen (1997)
mengonseptuaslisasikannya kedalam 4
dimensi.
3. HASIL
Sampel penelitian adalah karyawan
koperasi di Kota Cirebon yang berjumlah 32
orang, penentuan jumlah sampel telah
dipaparkan pada metode penelitian.
Tabel 1. Data Demografi Partisipan
Kategori Jumlah Persentase
Jenis Kelamin
Laki-Laki 20 63%
Perempuan 12 38%
Usia
20 – 25 tahun 2 6%
26 – 30 tahun 7 22%
31 – 35 tahun 8 25%
36 – 40 tahun 9 28%
< 40 tahun 6 19%
Pendidikan Terakhir
SMA 0 0%
D3 16 50%
S1 10 31%
S2 6 19%
Etnis
Sunda 17 53%
Jawa 10 31%
Lainnya 5 16%
Grafik diatas menunjukan sebaran data
responden, menurut data demografi kategori
Jenis Kelamin terdapat 20 orang laki-laki
(63%) dan 12 orang perempuan (38%). Untuk
kategori usia, terdapat 6% (2 orang) karyawan
yang berusia 20 – 25 tahun, 22% (7 orang)
karyawan yang berusia 26 – 30 tahun, 25% (8
orang) karyawan yang berusia 30 – 35 tahun,
28% (9 orang) karyawan yang berusia 36 – 40
tahun, dan 19% (6 orang) karyawan yang
berusia diatas 40 tahun. Selanjutnya sebaran
menurut katogori pendidikan terakhir,
terdapat 16 orang yang berasal dari D3 atau
setara dengan 50%, 10 orang yang berasal dari
S1 atau setara dengan 31%, dan 6 orang yang
berasal dari D3 atau setara dengan 19%. Dan
yanh terakhir sebaran etnis terbesar ditempai
oleh etnis Sunda yaitu 53% setara dengan 17
orang, di posisi kedua dengan etnis Jawa
sebesar 31% setara dengan 10 orang dan etnis
lainnya sebesar 16% atau setara dengan 5
orang.
3.1 Uji Normalitas
Sebelum data diuji statistik deskriptif,
terlebih dahulu dilakukan uji normalitas. Uji
normalitas adalah uji yang dilakukan untuk
mengetahui distribusi data bersifat normal
atau tidak (Santoso, 2010). Uji normalitas
penelitian ini menggunakan One Sample
Komolgorov-Smirnov test. Distribusi data
dikatakan normal apabila p>0,05 (Santoso,
2010).
Tabel 2. Uji Normalitas
MF PO AU IM
N 32 32 32 32
Mean 19.00 18.96 19.37 19.28
Kolmogorov-Smirnov Z
0.17 0.13 0.16 0.16
Asymp. Sig. (2-tailed)
0.025 0.152 0.053 0.092
Berdasarkan tabel output SPSS 23 tersebut
diketahui bahwa nilai Asymp. Sig. (2-tailed)
untuk dimensi Meaningfulness (MF) sebesar
0,052 (p>0,05), untuk dimensi Potency (PO)
sebesar 0,152 (p>0,05), untuk dimensi
Autonomy (AU) sebesar 0,053 (p>0,05), untuk
dimensi Impact (IM) sebesar 0,092 (p>0,05).
Maka sesuai dengan dasar pengambilan
keputusan dalam uji normalitas kolmogorov-
smirnov diatas, dapat disimpulkan bahwa data
berdistribusi secara normal. Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif berdasarkan
perhitungan menggunakan SPSS 23. Berikut
Page 73
H a l a m a n | 73
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
hasil analisis deskriptif untuk team
empowerment pada Koperasi X.
Tabel 3. Desriptive Test Team Empowerment MF PO AU IM
N 32 32 32 32
Mean 19.00 18.96 19.37 19.28
Minimum 15.00 14.00 13.00 13.00
Maksimum 22.00 22.00 23.00 22.00
1.84 2.41 2.35 2.00
Output tabel diatas menunjukan nilai N
atau jumlah data yang akan diteliti berjumlah
32 sampel. Pada dimensi meaningfulness
memiliki mean atau rata-rata sebesar 19,00
yang artinya rata-rata kontribusi dimensi
meningfulness terhadap pemberdayaan tim
sebesar 19% dengan nilai maximum 22%.
Dengan standar deviasi 1,84 yang berarti
bahwa besar peningkatan maksimum rata-
rata dimensi meaningfulness pada
pemberdayaan tim di divisi Koperasi X adalah
+ 1,84, sedangkan penurunan maksimum dari
rata-rata dimensi meaningfulness pada
pemberdayaan tim adalah sebesar – 1,84 atau
dapat dikatakan penyimpangan dimensi
meaningfulness adalah 1,84%.
Pada dimensi potency memiliki mean atau
rata-rata sebesar 18,96 yang artinya rata-rata
kontribusi dimensi potency terhadap
pemberdayaan tim sebesar 18,96% dengan
nilai maximum 22%. Dengan standar deviasi
2,41 yang berarti bahwa besar peningkatan
maksimum rata-rata dimensi potency pada
pemberdayaan tim di divisi Koperasi X adalah
+ 2,41, sedangkan penurunan maksimum dari
rata-rata dimensi potency pada pemberdayaan
tim adalah sebesar – 2,41 atau dapat dikatakan
penyimpangan dimensi potency adalah 2,41%.
Sedangkan pada dimensi autonomy
memiliki mean atau rata-rata sebesar 19,37
yang artinya rata-rata kontribusi dimensi
autonomy terhadap pemberdayaan tim
sebesar 19,37% dengan nilai maximum 23%.
Dengan standar deviasi 2,34 yang berarti
bahwa besar peningkatan maksimum rata-
rata dimensi autonomy pada pemberdayaan
tim di divisi Koperasi X adalah + 2,34,
sedangkan penurunan maksimum dari rata-
rata dimensi meaningfulness pada
pemberdayaan tim adalah sebesar – 2,34 atau
dapat dikatakan penyimpangan dimensi
autonomy adalah 2,34%.
Sementara itu pada dimensi impact
memiliki mean atau rata-rata sebesar 19,28
yang artinya rata-rata kontribusi dimensi
impact terhadap pemberdayaan tim sebesar
19,28% dengan nilai maximum 22%. Dengan
standar deviasi 2,00 yang berarti bahwa besar
peningkatan maksimum rata-rata dimensi
impact pada pemberdayaan tim di divisi
Koperasi X adalah + 2,00, sedangkan
penurunan maksimum dari rata-rata dimensi
impact pada pemberdayaan tim adalah
sebesar – 2,00 atau dapat dikatakan
penyimpangan dimensi impact adalah 2,00%.
Tabel 4. Independent Sample T-Test
N Mean
Tim 1 7 76.42 2.69
Tim 2 5 74.80 5.89
Tim 3 7 78.85 3.80
Tim 4 7 75.28 3.94
Tim 5 6 75.83 5.56
Dari tabel 4 diatas dapat diketahui bahwa
jumlah data untuk Tim 1 sejumlah 7 orang
dengan nilai rata-rata untuk pemberdayaan
tim sebesar 76,42, Tim 2 berjumlah 5 orang
dengan nilai rata-rata untuk pemberdayaan
tim sebesar 74,80, Tim 3 berjumlah 7 orang
dengan nilai rata-rata untuk pemberdayaan
tim sebesar 78,85, Tim 4 berjumlah 7 orang
dengan nilai rata-rata untuk pemberdayaan
tim sebesar 75,28, dan Tim 5 berjumlah 6
orang dengan nilai rata-rata untuk
Page 74
H a l a m a n | 74
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
pemberdayaan tim sebesar 75,83. Dengan
demikian secara deskriptif statistik dapat
disimpulkan terdapat perbedaan nilai rata-
rata dari masing-masing tim untuk
pemberdayaan
4. PEMBAHASAN
Tujuan awal penelitian ini adalah untuk
mengkaji secara deskriptif implementasi
program pemberdayaan pegawai Koperasi X
pada bagian administrasi. Dimensi yang
berpengaruh besar adalah autonomy yang
artinya sejauh mana anggota tim merasa
bahwa kelompoknya memiliki sifat otonom
dalam memenuhi target-target kelompoknya.
Hal ini juga merujuk pada konteks keputusan
bersama yang disepakati secara kolektif.
Dengan demikian, tingkat otonomi tim
yang tinggi sebenarnya dapat menurunkan
otonomi individu, karena pengambilan
keputusan yang penting merupakan hasil dari
kesepakatan kelompok bukan perseorangan
Berdasarkan hasil yang telah dipaparkan
diatas dimensi Impact memiliki pengaruh
kedua terbesar terhadap pemberdayaan yang
dirasakan oleh pegawai di Koperasi X
khususnya pada bagian administrasi ini yang
artinya bahwa pegawai merasa komponen tim
menilai bahwa tim atau kelompoknya dapat
memberikan kontribusi yang signifikan baik
kepada sesama anggota kelompok,
perusahaan, hingga kepada customer. Hal ini
sejalan dengan misi perusahaan yaitu
menyediakan beragam solusi keuangan sesuai
dengan kebutuhan setiap pelanggan melalui
sinergi dengan ekosistem. Bila kembali pada
tujuan awal pemberdayaan tim dirasa sudah
berjalan pada bagian ini terdapat perbedaan
yang tidak terlalu signifikan antara masing-
masing tim.
Melihat dari hasil uji yang dilakukan di
SPSS 23 tim yang merasa paling diberdayakan
adalah tim 3 dengan rata-rata nilai paling
tinggi diantara yang lain. Sedangkan untuk
peringkat kedua dari tim yang merasa
diberdayakan adalah tim 1.
5. KESIMPULAN
Melihat dari hasil dan pembahasan yang
sudah penulis bahas sebelumnya maka
penulis mengambil kesimpulan bahwa tim
sudah merasa diberdayakan dengan nilai rata-
rata diatas 70 yang artinya pihak perusahaan
sudah memberikan kebebasan, kepedulian,
keefektifan, sifat otonon dan tim merasa
bahwa kehadirannya memberikan pengaruh
terhadap perusahaan, tim lain dan juga
pelanggan. Namun dari pembahasan diatas
dimensi yang paling memberikan kontribusi
besar adalah dimensi Otonom yang artinya
perusahaan memberikan kebebasan kepada
anggota tim untuk memenuhi target
kelompoknya hal ini merujuk pada keputusan
bersama yang disepakati secara kolektif
bagaimana kelompok/tim tersebut akan
mengambil keputusan dalam memenuhi
target yang diberikan oleh pihak organisasi.
Melihat dari pembahasan diatas pula hal
tersebut dirasakan paling berpengaruh
terhadap Tim 3 yang merasa dirinya sudah
diberdayakan dengan baik oleh perusahaan
dibandingkan dengan tim-tim yang lain.
6. SARAN
Untuk penelitian selanjutnya alangkah
baiknya bila tim yang diteliti beragam dan
dalam skala yang lebih banyak, juga dapat
digabungkan dengan beberapa variabel
lainnya sehingga dapat memudahkan dalam
menganalisis data. Sedangkan untuk
perusahaan diharapkan penelitian ini dapat
menjadi acuan dalam menilai apakah
seseorang yang berada dalam tim sudah
merasa diberdayakan atau belum, karena
seperti yang sudah dibahas pada literatur
review bahwa pemberdayaan karyawan
khususnya karyawan yang berada dalam tim
akan sangat bermanfaat bagi loyalitas
Page 75
H a l a m a n | 75
Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021
karyawan dan karyawan akan merasa
berharga dan dipedulikan untuk itu perlu
adanya program pemberdayaan yang
dilakukan rutin oleh perusahaan untuk
mengecek apakah tim/individu pada
organisasi itu sudah diberdayakan dengan
baik atau malah sebaliknya. Dengan adanya
pemberdayaan tim yang baik pastinya akan
memberikan dampak yang luas bagi
masyarakat setempat, dan peranan Koperasi
sebagai salah satu organisasi sosial akan lebih
optimal sehingga diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan sosial melalui
program-program yang ditawarkan oleh
organisasi Koperasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Conger, J. A., & Kanungo, R. N. (1988). The
Empowerment Process : Integrating
Theory and Practice. Academy of
Management Review, 13, 471-482.
Conger, J. A., & Kanungo, R. N. (1988). The
Empowerment Process : Integrating
Theory and Practice. Academy of
Management Review, 13, 471-482.
Hackman, R. J. (1990). Work teams in
organizations: An orienting framework. In
R. J. Hackman (Ed.), Groups that work: And
those that don’t (pp. 1-35). San Francisco:
Jossey-Bass. Dalam Roosmalen &
Therese, M. (2012). Questionnaire on
Teamwork and Team Effectiveness. Thesis.
The Norwegian University of Science and
Technology : Department of Psychology
Kirkman, B. L., & Rosen, B. (2000). Powering
up teams. Organizational Dynamics, 28,
48-66.
Kirkman, B. L., Tesluk, Paul. E., & Rosen,
Benson. (2004) The Impact of
Demographic Heterogeneity and Team
Leader-Team Member Demographic Fit
on Team Empowerment and
Effectiveness. Group & Organization
Management, Vol. 29. No. 3 Hal. 334-368.
Mathieu, J., Maynard, M. T., dkk., (2008). Team Effectiveness 1997-2007: A Review of
Recent Advancements and a Glimpse Into
the Future. Journal of Management. Vol
34.Hal 410.
Matthews, Russell. A., Diaz, Wendy. M., & Cole,
Steven. G. (2002) The Organizational
Empowerment Scale. Texas: Texas
Christian University. Journal. Vol. 32. No. 3.
Hal. 297-318
Randolph, W. (1995). A Navigating the Journey
to Empowerment. Organizational
Dynamics. Vol. 23. No. 4. Hal. 19-32. Dalam
Matthews, Russell. A., Diaz, Wendy. M., &
Cole, Steven. G. (2002) The
Organizational Empowerment Scale.
Texas : Texas Christian University. Journal.
Vol. 32. No. 3. Hal. 297-318
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian
Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif dan R&D. Bandung : ALFABETA
© 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license
(https://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0/).