Top Banner
Halaman | 1 Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021 STUDI DESKRIPTIF EFEKTIVITAS PELATIHAN PENCEGAHAN STUNTING MELALUI MEDIA DARING PADA PENDAMPING PKH DI BBPPKS PADANG REGIONAL I SUMATERA Sunarti 1 1 Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial – Padang, Indonesia E-mail: [email protected] Abstract The case of stunting in children under five is one of the social problems that require special attention, especially in prevention and treatment efforts. Stunting is a problem that has a negative impact on various aspects, both for individuals who experience it, for families, the environment, and the impact in terms of nation-building. As a form of high commitment in efforts to reduce stunting, the central government has initiated a multi-sectoral approach through the synchronization of national, local, and community programs at the central and regional levels. To support the government's priority program to reduce stunting rates in Indonesia, the Ministry of Social Affairs through the Agency for Education, Research and Social Counseling (Badiklitpensos) in collaboration with the Tanoto Foundation prepare human resources (HR) for social welfare providers to participate in the prevention and treatment of stunting by improving the capabilities of the family of hope program companions through stunting prevention training that is carried out nationally. BBPPKS Padang as the UPT for the education and training sector of the Indonesian Ministry of Social Affairs, trained as many as 2000 PKH assistants related to stunting prevention materials. At a further level, PKH facilitators are expected to be able to provide education to beneficiary groups (KPM) regarding stunting problems and preventive measures. This study aims to describe the effectiveness of stunting prevention training that has been carried out by BBPPKS Padang to several companions. This is done to ensure that stunting prevention training has made a positive contribution in supporting stunting prevention programs, especially in forming the capabilities of PKH assistants who are at the forefront in providing stunting prevention education to PKH KPMs who are vulnerable to stunting issues. The results showed that the stunting prevention training held by BBPPKS Padang was at a fairly effective level. The effectiveness of stunting prevention training is seen from the performance of PKH facilitators in implementing training materials, feedback from training participants (PKH facilitators) on the materials provided during the training session, and feedback from beneficiary groups (KPM) on teaching materials delivered by PKH facilitators. Keywords: Training Effectivity, Online Training Methods, Stunting, PKH facilitators. 1. PENDAHULUAN Kasus stunting pada anak balita merupakan salah satu problematika sosial yang memerlukan perhatian khusus, utamanya dalam upaya pencegahan dan penanganan. Kasus stunting merefleksikan kegagalan pertumbuhan dalam mencapai potensi pertumbuhan linier, yang diakibatkan oleh kesehatan tidak optimal dan/atau malnutrisi kronis sejak dan bahkan sebelum kelahiran (Pulungan, 2016; Prendergast & Humphrey, 2014). Stunting merupakan masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. World Health Organization (WHO) mengartikan stunting adalah keadaan tubuh yang sangat pendek hingga melampaui defisit 2 SD (standard deviation) di bawah median panjang atau tinggi badan populasi yang menjadi referensi internasional (Trihono, dkk., 2015; Probosiwi, Huriyati, & Ismail, 2017). Dampak kondisi stunting meng-
75

studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

Mar 15, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 1

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

STUDI DESKRIPTIF EFEKTIVITAS PELATIHAN PENCEGAHAN STUNTING MELALUI MEDIA DARING PADA PENDAMPING PKH DI BBPPKS PADANG REGIONAL I SUMATERA

Sunarti1

1 Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial – Padang, Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstract

The case of stunting in children under five is one of the social problems that require special attention, especially in prevention and treatment efforts. Stunting is a problem that has a negative impact on various aspects, both for individuals who experience it, for families, the environment, and the impact in terms of nation-building. As a form of high commitment in efforts to reduce stunting, the central government has initiated a multi-sectoral approach through the synchronization of national, local, and community programs at the central and regional levels. To support the government's priority program to reduce stunting rates in Indonesia, the Ministry of Social Affairs through the Agency for Education, Research and Social Counseling (Badiklitpensos) in collaboration with the Tanoto Foundation prepare human resources (HR) for social welfare providers to participate in the prevention and treatment of stunting by improving the capabilities of the family of hope program companions through stunting prevention training that is carried out nationally. BBPPKS Padang as the UPT for the education and training sector of the Indonesian Ministry of Social Affairs, trained as many as 2000 PKH assistants related to stunting prevention materials. At a further level, PKH facilitators are expected to be able to provide education to beneficiary groups (KPM) regarding stunting problems and preventive measures. This study aims to describe the effectiveness of stunting prevention training that has been carried out by BBPPKS Padang to several companions. This is done to ensure that stunting prevention training has made a positive contribution in supporting stunting prevention programs, especially in forming the capabilities of PKH assistants who are at the forefront in providing stunting prevention education to PKH KPMs who are vulnerable to stunting issues. The results showed that the stunting prevention training held by BBPPKS Padang was at a fairly effective level. The effectiveness of stunting prevention training is seen from the performance of PKH facilitators in implementing training materials, feedback from training participants (PKH facilitators) on the materials provided during the training session, and feedback from beneficiary groups (KPM) on teaching materials delivered by PKH facilitators. Keywords: Training Effectivity, Online Training Methods, Stunting, PKH facilitators.

1. PENDAHULUAN

Kasus stunting pada anak balita

merupakan salah satu problematika sosial

yang memerlukan perhatian khusus,

utamanya dalam upaya pencegahan dan

penanganan. Kasus stunting merefleksikan

kegagalan pertumbuhan dalam mencapai

potensi pertumbuhan linier, yang diakibatkan

oleh kesehatan tidak optimal dan/atau

malnutrisi kronis sejak dan bahkan sebelum

kelahiran (Pulungan, 2016; Prendergast &

Humphrey, 2014). Stunting merupakan

masalah gizi kronis yang disebabkan oleh

asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup

lama akibat pemberian makanan yang tidak

sesuai dengan kebutuhan gizi.

World Health Organization (WHO)

mengartikan stunting adalah keadaan tubuh

yang sangat pendek hingga melampaui defisit

2 SD (standard deviation) di bawah median

panjang atau tinggi badan populasi yang

menjadi referensi internasional (Trihono,

dkk., 2015; Probosiwi, Huriyati, & Ismail,

2017). Dampak kondisi stunting meng-

Page 2: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 2

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

akibatkan perkembangan mental yang

terlambat, berkurangnya kapasitas intelektual

dan kinerja belajar di sekolah yang buruk.

Anak yang mengalami stunting cenderung

mengalami gangguan pertumbuhan pada fisik

dan juga pertumbuhan otak. Stunting

berdampak pada tingkat kecerdasan,

kerentanan terhadap penyakit dan penurunan

produktifitas (Megawati & Wiramihardja,

2019).

Titaley, dkk (2019) menyatakan bahwa

kejadian stunting terutama disebabkan oleh

asupan zat gizi yang kurang. Selain itu, faktor

hormon pertumbuhan dan riwayat penyakit

infeksi juga sebagai faktor predisposisi

stunting. Hasil penelitian Budiastutik &

Rahfiludin (2019) menunjukkan bahwa faktor

keturunan memengaruhi kejadian stunting

sebesar 15%. Selain itu, paparan asap rokok

maupun polusi asap juga dapat memengaruhi

kejadian stunting (Liang et al., 2020; Nadhiroh,

Djokosujono, & Utari, 2020). Disamping itu,

Paramashanti, dkk (2017) menyatakan bahwa

kejadian stunting turut dipengaruhi oleh

riwayat bayi baru lahir dengan berat badan

lahir rendah (BBLR), tidak ASI eksklusif, serta

tidak tepatnya dalam memberikan makanan

pendamping ASI (MP-ASI) dengan kebutuhan

bayi. Risiko tinggi memiliki tubuh pendek saat

remaja dapat dialami oleh balita dengan

stunting. Kondisi stunting yang dialami

terutama pada usia 0-2 tahun dan berlanjut

pada usia 4-6 tahun akan memengaruhi

keadaan fisik menjadi tetap pendek dengan

risiko 27 kali sebelum usia pubertas. Masa

kritis pertumbuhan dan perkembangan

terhadap risiko stunting, di mulai pada 1000

HPK (Young et al., 2018).

Badan Pusat Statistik (2019) mencatat

prevalensi stunting nasional mencapai 27,67%

yang bersumber dari data Studi Status Gizi

Balita Indonesia (SSGBI) pada tahun 2019,

angka tersebut telah mengalami penurunan

dari 30,8% ditahun 2018. Meskipun

mengalami penurunan, pencegahan dan

penanganan stunting menjadi salah satu

prioritas pembangunan nasional, mengingat

prevalensi di Indonesia masih tergolong tinggi

berdasarkan standar WHO. Selaras dengan

hasil survey yang dilakukan oleh Badan Pusat

Statistik, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan

pada tahun 2018 menunjukkan 30,8% atau

sekitar 7 juta balita menderita stunting.

Masalah gizi lain terkait dengan stunting yang

masih menjadi masalah kesehatan masyarakat

adalah anemia pada ibu hamil (48,9%), Berat

Bayi Lahir Rendah atau BBLR (6,2%), balita

kurus atau wasting (10,2%) dan anemia pada

balita.

Dampak stunting tidak hanya dirasakan

oleh setiap individu yang mengalaminya,

tetapi juga berdampak terhadap aspek

perekonomian dan pembangunan bangsa. Hal

ini dikarenakan sumber daya manusia yang

stunting memiliki kualitas yang lebih rendah

dibandingkan dengan sumber daya manusia

normal (Yuliani et al., 2018). Oleh karena itu,

upaya penurunan stunting memerlukan

intervensi yang terpadu. Sejalan dengan

inisiatif Percepatan Penurunan Stunting,

pemerintah meluncurkan Gerakan Nasional

Percepatan Perbaikan Gizi (Gernas PPG) yang

ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor

42 tahun 2013 tentang Gernas PPG dalam

kerangka 1.000 HPK (Hari Pertama

Kelahiran). Selain itu, indikator dan target

penurunan stunting telah dimasukkan sebagai

sasaran pembangunan nasional dan tertuang

dalam Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan

Rencana Aksi Nasional Tujuan Pembangunan

Berkelanjutan (TPB) 2017-2019.

Sebagai bentuk komitmen tinggi dalam

upaya penurunan stunting, pemerintah pusat

menginisiasi pendekatan multi-sektor melalui

Page 3: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 3

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

sinkronisasi program-program nasional, lokal,

dan masyarakat di tingkat pusat maupun

daerah. Penurunan stunting ditetapkan

sebagai program prioritas nasional yang harus

dimasukkan ke dalam Rencana Kerja

Pemerintah (RKP). Lebih lanjut, pemerintah

telah menetapkan stunting sebagai program

prioritas nasional untuk diturunkan hingga

mencapai angka 14% di tahun 2024. Upaya

tersebut tercantum dalam Rencana Program

Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun

2020-2024.

Dalam rangka mendukung program

prioritas pemerintah untuk menurunkan

angka stunting di Indonesia, Kementerian

Sosial melalui Badan Pendidikan, Penelitian

dan Penyuluhan Sosial (Badiklitpensos)

bekerja sama dengan Tanoto Foundation

menyiapkan sumber daya manusia (SDM)

penyelenggara kesejahteraan sosial untuk

berperan serta dalam pencegahan dan

penanganan stunting. SDM kesos tersebut

akan diberikan pelatihan agar dapat

memperoleh serta meningkatkan penge-

tahuan, keterampilan dan sikap yang

profesional dalam meningkatkan penge-

tahuan dan kesadaran masyarakat tentang

pentingnya pencegahan dan penanganan

stunting.

Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan

Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Padang

Regional I Sumatera merupakan salah satu

Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang berada

dibawah naungan Badan Pendidikan,

Penelitian dan Penyuluhan Sosial, memiliki

peran yang cukup besar dalam pengembangan

SDM Kementerian Sosial. Lebih lanjut, dalam

melaksanakan tugasnya BBPPKS Padang,

mengemban 3 (tiga) fungsi utama antara lain

pengembangan kediklatan, penyelenggaraan

diklat, dan tugas dukungan manajemen

kediklatan. Terkait pencegahan dan

penanganan stunting, pendamping program

keluarga harapan (pendamping PKH) sebagai

mitra kerja pemerintah, merupakan

komponen kunci yang dapat mendukung

kesuksesan program pencegahan dan

penanganan stunting. Mengingat pentingnya

peran pendamping PKH sebagai fasilitator

untuk memfasilitasi kelompok penerima

manfaat program keluarga harapan (KPM

PKH) menuju kondisi sejahtera, hal ini juga

terkait dengan pemenuhan kesejahteraan ibu

hamil dan/atau menyusui serta anak balita,

dan meningkatkan akses serta kualitas

pelayanan gizi dan kesehatan.

Menanggapi hal tersebut BBPPKS Padang

melaksanakan Pelatihan Pencegahan dan

Penanganan Stunting untuk mempersiapkan

pendamping PKH sebagai tenaga fasilitator

yang memiliki kemampuan profesional dan

berkualitas, memiliki pengetahuan,

kemampuan, keterampilan dan komitmen

yang tinggi demi mensukseskan program

kerja sama antara Kementerian Sosial RI

dengan Tanoto Foundation dalam upaya

penurunan angka stunting di Indonesia.

Berdasarkan studi pendahuluan yang

dilakukan, diketahui bahwa sepanjang tahun

2021 jumlah pendamping PKH yang harus

mengikuti Pelatihan Pencegahan dan

Penanganan Stuntng terhitung sebanyak 2000

orang pendamping PKH. Mereka tersebar di

berbagai wilayah Indonesia dengan karak-

teristik wilayah sangat berbeda-beda, dengan

fasilitas dan aksesibilitas jaringan internet

yang berbeda-beda.

Sehubungan dengan kondisi penyebaran

Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), sesuai

dengan Surat Edaran Menteri Sosial RI No. 2

Tahun 2020, yang salah satu intruksinya yaitu

tidak diperbolehkan untuk melakukan

kegiatan yang mengumpulkan orang dalam

jumlah banyak, oleh sebabnya diperlukan

pendekatan yang lebih inovatif, adaptif, serta

aman guna mencegah penyebaran wabah

Page 4: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 4

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

Covid-19. Oleh sebab itu, metode pelatihan

yang diterapkan yaitu pendekatan metode e-

learning.

E-Learning merupakan singkatan dari

Electronic Learning, merupakan salah satu

alternatif dalam proses belajar mengajar,

dimana pembelajaran dilakukan secara daring

dengan menggunakan media elektronik

khususnya internet sebagai sistem pendukung

terlaksananya program pembelajaran. Linde

(Simanihuruk, dkk., 2019) berpendapat

bahwa e-learning merupakan bentuk

pembelajaran formal dan informal yang

menggunakan media elektronik seperti

internet, intranet, CD-ROM, video tape, DVD,

TV, PDA dan sebagainya. E-learning dalam

konteks pelatihan, dipandang sebagai salah

satu solusi untuk mengatasi keterbatasan

dalam melaksanakan proses pembelajaran

secara tatap muka di masa pandemi Covid-19.

BBPPKS Padang sebagai unit pelaksana

teknis kediklatan Kementerian Sosial RI,

menyelenggaraan pelatihan pencegahan dan

penanganan stunting bagi pendamping PKH

yang berada dalam lingkup kerja regional I

Sumatera yang terdiri dari delapan wilayah

kerja, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera

Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu,

dan Sumatera Selatan, BBPPKS padang

menerapkan strategi pelatihan menggunakan

model pembelajaran secara daring atau

berbasis e-learning yang dibagi menjadi 2

tahapan yaitu, asinkronus (pembelajaran

peserta secara mandiri melalui learning

management system - LMS) dan sinkronus

(pembelajaran tatap muka dengan fasilitator

melalui aplikasi media pertemuan daring).

Program pelatihan pencegahan dan

penanganan stunting berbasis e-learning,

bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan,

kompetensi, dan kapabilitas pendamping PKH

dalam menjalankan peran pendampingan

kepada kelompok penerima manfaat yang

rentan terhadap permasalahan stunting.

Setelah memperoleh pelatihan, pendamping

PKH diharapkan dapat memahami,

menginternalisasi, dan mengimplementasikan

seluruh materi pelatihan kepada kelompok

penerima manfaat program keluarga harapan

mengingat bahwa peran pendamping PKH

sebagai sumber daya manusia kesejahteraan

sosial (SDM Kesos) yang berfungsi untuk

memberikan edukasi dan pendampingan

kepada KPM PKH di wilayah kerjanya masing-

masing terkait isu-isu kesejahteraan sosial

termasuk didalamnya mengenai isu stunting.

Sehingga pada gilirannya, secara bertahap

persoalan stunting dapat terurai dan

menurunkan angka stunting khususnya di

wilayah kerja Regional I Sumatera dan

Indonesia secara umum.

Berkenaan dengan visi tersebut, sehingga

perlu untuk memastikan bahwa pelatihan

pencegahan stunting telah terlaksana secara

efektif. Penelitian ini bertujuan untuk

memberikan eksplanasi terkait efektivitas

pelatihan pencegahan stunting yang dilakukan

oleh BBPPKS Padang terhadap pendamping

PKH dalam lingkup wilayah kerja Regional I

Sumatera.

1.1. Definisi Pelatihan

Pelatihan (training) merupakan proses

pendidikan yang dilakukan secara terencana

dan sistematis dalam waktu relatif singkat

yang bertujuan untuk meningkatkan

pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang

diperlukan suatu organisasi dalam usaha

mencapai tujuan. Pelatihan dapat diartikan

sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan

untuk memberi, memperoleh, meningkatkan,

dan mengembangkan potensi, produktivitas,

disiplin, dan etos kerja pada tingkat

keterampilan dan keahlian tertentu dengan

jenjang kualifikasi atau pekerjaan (Nadeak,

2019).

Page 5: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 5

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

Kaswan (2011) mengungkapkan bahwa

pelatihan merupakan proses meningkatkan

pengetahuan dan keterampilan melalui

rangkaian yang meliputi pengubahan sikap

sehingga mereka dapat melakukan

pekerjaannya secara lebih efektif. Pelatihan

merupakan usaha untuk meningkatkan,

mendukung, dan memperbaiki kinerja

pegawai pada suatu pekerjaan tertentu yang

sedang menjadi tanggung jawab yang melekat

pada peran atau posisinya dalam organisasi

(Gomes, 2003). Senada dengan hal tersebut,

Sastradipoera (2006) menjelaskan mengenai

konsep pelatihan sebagai salah satu bentuk

proses pembelajaran yang berhubungan

dengan upaya pengubahan tingkah laku

sumber daya manusia untuk kebutuhan dan

tujuan tertentu dari suatu organisasi.

1.2. Pelatihan Daring dan Learning

Management System

Pelatihan daring dapat dipahami sebagai

salah satu metode pelatihan jarak jauh yang

dilaksanakan melalui media virtual dengan

bantuan akses internet (Rumengan, dkk.,

2019). Proses pelatihan secara daring, erat

kaitannya dengan learning management

system (LMS). Learning Management System

adalah perangkat lunak yang digunakan untuk

menyampaikan materi pembelajaran dan

resouces multimedia secara online berbasis

web, mengelola kegiatan pembelajaran serta

hasil-hasilnya, memfasilitasi interaksi,

komunikasi, kerjasama antar pengajar dan

peserta didik.

LMS mendukung berbagai aktivitas

antara lain: administrasi, penyampaian materi

pembelajaran, penilaian, pelacakan dan

monitoring, kolaborasi dan komunikasi/

interaksi. Tugas utama LMS adalah

mendistribusikan pembelajaran melalui

internet mengatur siapa-siapa saja yang

berhak mengikuti suatu pelatihan, mengakses

materi pembelajaran, mengikuti ujian online,

dan melihat hasil dari proses pembelajaran

yang sudah selesai ataupun sedang

berlangsung (Suartama, dkk., 2014;

Rumengan, dkk., 2019).

1.3. Efektivitas Pelatihan

Suatu pelatihan dapat dikatakan efektif

jika hasil dari pelatihan tersebut dapat

mencapai tujuan organisasi, meningkatkan

kemampuan sumber daya dan dapat

meningkatkan proses-proses internal (Detty,

2009). Program pelatihan terbukti efektif jika

pelatihan tersebut mampu meningkatkan

kinerja, memperbaiki semangat kerja, dan

mendongkrak potensi organisasi (Kaswan,

2011). Noe (2002) juga menambahkan bahwa

pada umumnya suatu program pelatihan

dikatakan efektif jika hasil dari pelatihan

dapat memberikan manfaat bagi organisasi

dan peserta pelatihan itu sendri.

Sesuai dengan makna efektivitas tersebut

di atas maka pelatihan yang efektif merupakan

pelatihan yang berorientasi proses, dimana

organisasi tersebut dapat melaksanakan

program-program yang sistematis untuk

mencapai tujuan dan hasil yang dicita-citakan.

Sehingga pelatihan efektif apabila pelatihan

tersebut dapat menghasilkan sumber daya

manusia yang meningkat kemampuannya,

keterampilan dan perubahan sikap yang lebih

mandiri.

Efektivitas pelatihan itu sendiri dapat

dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain

dipengaruhi oleh kualitas trainer dan

ketepatan metode pelatihan (Ooi, dkk., 2007;

Haslinda, dkk., 2009). Yang, et al., (2009) juga

menyatakan bahwa faktor kualitas isi

pelatihan, motivasi peserta, dan gaya

pembelajaran juga berkontribusi terhadap

tercapainya sebuah pelatihan yang efektif bagi

organisasi. Selain itu, Haslinda, dkk (2009)

menyatakan bahwa komitmen dan dukungan

Page 6: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 6

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

manajemen, sikap peserta, dukungan rekan

kerja, kepemimpinan, analisis kebutuhan

pelatihan, dan transfer pelatihan juga

berpengaruh terhadap pencapaian efektivitas

program pelatihan.

2. METODE PENELITIAN

2.1. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan

kuantitatif dengan desain penelitian

deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan

penelitian yang dirancang untuk memperoleh

informasi tentang suatu variabel yang

berkenaan dengan masalah yang diteliti.

Riyanto & Hatmawan (2020) menjelaskan

bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian

yang diarahkan untuk memberikan eksplanasi

terhadap gejalagejala, fakta-fakta atau

kejadian-kejadian secara sistematis dan

akurat mengenai sifat-sifat tertentu yang

melekat pada suatu variabel tertentu.

2.2. Variabel Penelitian

Penelitian ini mengkaji variabel

efektivitas pelatihan melalui media daring.

Variabel efektivitas pelatihan melalui media

daring, ditelaah dengan menggunakan

instrumen evaluasi yang dirancang oleh tim

penyusun evaluasi program pencegahan dan

penanganan stunting yang diselenggarakan

oleh Kementerian Sosial RI bekerja sama

dengan Tanoto Foundation. Konsep

efektivitas pelatihan meliputi beberapa aspek

penilaian yaitu performa peserta pelatihan

dalam mengimple-mentasikan materi

pelatihan, umpan balik peserta pelatihan

(pendamping PKH) terhadap materi yang

diberikan selama sesi pelatihan berlangsung,

dan aspek terakhir adalah umpan balik

kelompok penerima manfaat (KPM) terhadap

materi pengajaran yang disampaikan oleh

pendamping PKH.

2.3. Partisipan Penelitian

Penelitian ini melibatkan sebanyak 134

partisipan yang terdiri dari pendamping PKH

dan kelompok penerima manfaat PKH (KPM

PKH) yang tersebar di wilayah regional I

Sumatera. Jumlah pendamping PKH yang

menjadi partisipan adalah sebanyak 42 orang

sedangkan KPM PKH yang berpartisipasi pada

penelitian ini adalah sebanyak 92 orang.

Partisipan penelitian dipilih dengan

menggunakan teknik purposive sampling.

Sugiyono (2016) mendefinisikan purpossive

sampling sebagai teknik penentuan sampel

dengan pertimbangan tertentu dan

menetapkan sejumlah kriteria dalam

pemilihannya.

2.4. Instrumen Pengumpul Data

Proses pengambilan data terhadap

partisipan dilakukan secara klasikal atau

secara berkelompok melalui instrumen

penilaian yang mengukur 3 aspek, yaitu:

1. Performa peserta pelatihan dalam

mengimplementasikan materi pelatihan;

2. Umpan balik peserta pelatihan

(pendamping PKH) terhadap materi yang

diberikan selama sesi pelatihan

berlangsung;

3. Umpan balik kelompok penerima manfaat

(KPM) terhadap materi pengajaran yang

disampaikan oleh pendamping PKH

Aspek performa peserta pelatihan terdiri

dari beberapa komponen yakni: (1)

Introduction mastery; (2) comprehensive

presentation; (3) structured and compatibility

presentation; (4) interactive; (5) capability;

(6) appreciating audience; (7) gathering and

concluding information; (8) building

engangement; (9) appropriate practice

instrument; (10) reviewing and evaluating.

Selanjutnya, aspek umpan balik peserta

pelatihan (pendamping PKH) terdiri dari

komponen-komponen berikut ini: (1) training

Page 7: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 7

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

engagement readiness; (2) comprehension; (3)

implementation difficulties; (4) relevance of

training methods; (5) relevance of subject

training; (6) relevance of learning tools; (7)

duration. Terakhir, aspek umpan balik

kelompok penerima manfaat (KPM) terdiri

dari komponen (1) subject learning

comprehension; (2) ability to implementing;

(3) basic knowledge; (4) engagement

advantages; (5) challenges and difficulties to

engage.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel dibawah ini menampilkan

informasi terkait gambaran umum data

demografi responden:

Tabel 1. Data Demografi Partisipan (n=134)

Kategori Jumlah

Jenis Kelamin

Laki-laki 22 orang

Perempuan 112 orang

Usia (dalam tahun)

20-29 19 orang

30-39 61 orang

40-49 51 orang

> 50 3 orang

Tingkat Pendidikan Partisipan:

Pendamping PKH

Diploma 5 orang

Sarjana 32 orang

Magister 5 orang

Tingkat Pendidikan Partisipan:

KPM PKH

SD 20 orang

SMP 31 orang

SMA 37 orang

Tidak Tamat SD 4 orang

Asal Daerah (Lokasi Pengamatan)

Kab. Aceh Timur, Prov. Aceh 15 orang

Kota Medan, Prov. Sumut 11 orang

Kab. Langkat, Prov. Sumut 13 orang

Kab. Solok, Prov. Sumbar 14 orang

Kab. Kerinci, Prov. Jambi 15 orang

Kab. Kampar, Prov. Riau 13 orang

Kab. Karimun, Prov. Kepri 13 orang

Kab. Seluma, Prov. Bengkulu 15 orang

Kota Palembang, Prov. Sumsel 11 orang

Kab. Banyuasin, Prov. Sumsel 14 orang

Partisipan penelitian di dominasi oleh

jenis kelamin perempuan dengan presentase

84,7% (122 orang) sementara partisipan laki-

laki adalah sebanyak 15,3% (22 orang).

Umumnya penelitian ini di ikuti oleh

partisipan dengan kelompok rentang usia 30-

39 tahun (41%) dan 40-49 tahun (35%)

sisanya berada pada kelompok usia 20-29

tahun (13,2%) dan kelompok usia 50-59 tahun

(2,1%).

Jika ditinjau dari tingkat pendidikan,

terlihat bahwa partisipan penelitian yang

berasal dari pendamping PKH umumnya

memiliki tingkat pendidikan sarjana dengan

presentase sebesar 76,2% dari jumlah

keseluruhan pendamping PKH yaitu 42 orang,

sisanya memiliki tingkat pendidikan diploma

(11,9%) dan magister (11,9%). Demografi

partisipan berdasarkan daerah asal (lokasi

pengamatan) dapat dilihat secara lebih rinci

pada tabel 1 (data demografi partisipan).

Tabel 2 menampilkan matriks penilaian

performa pendamping PKH (peserta

pelatihan) dalam mengimplementasikan

materi pelatihan. Penilaian performa

pendamping meliputi komponen: (1)

introduction mastery; (2) comprehensive

presentation; (3) structured and compatibility

presentation; (4) interactive; (5) capability; (6)

appreciating audience; (7) gathering and

concluding information; (8) building

engangement; (9) appropriate practice

instrument; (10) reviewing and evaluating.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat

diketahui bahwa pendamping yang berasal

dari daerah Kab. Kampar, Prov. Riau memiliki

skor performa tertinggi yaitu sebesar 97,7

kemudian di ikuti dengan pendamping yang

berasal dari daerah Kab. Langkat, Prov.

Sumatera Utara dengan skor performa sebesar

96,3. Sedangkan pendamping yang berasal

dari daerah Kota Palembang, Prov. Sumatera

Selatan menempati urutan terbawah dengan

Page 8: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 8

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

skor performa sebesar 36,7. Jika dilihat secara

keseluruhan berdasarkan wilayah regional I

Sumatera, penilaian aspek performa

pendamping PKH berada pada skor 76.31.

Hal ini menunjukkan bahwa secara

keseluruhan performa pendamping dalam

mengimplementasikan materi pelatihan

pencegahan stunting berada pada taraf

performa yang cenderung tinggi, yang berarti

bahwa secara umum pendamping PKH

mampu memahami dan mengaplikasikan

materi pelatihan pencegahan stunting kepada

KPM PKH yang menjadi dampingannya. Taraf

performa yang cenderung tinggi

mengindikasikan bahwa pendamping PKH

mampu memaparkan materi pencegahan

stunting secara komprehensif, terstruktur,

interaktif, serta memberi ajakan kepada KPM

PKH untuk terlibat dalam upaya pencegahan

stunting.

Tabel 2. Matriks Penilaian Performa Pendamping PKH dalam Mengimplementasikan Materi Pelatihan

Kab

. Ace

h T

imu

r

Ko

ta M

edan

Kab

. Lan

gkat

Kab

. So

lok

Kab

. Ker

inci

Kab

. Kam

par

Kab

. Kar

imu

n

Kab

. Sel

um

a

Ko

ta P

alem

ban

g

Kab

. Ban

yuas

in

(N=5) (N=5) (N=4) (N=4) (N=5) (N=3) (N=4) (N=5) (N=3) (N=4)

Introduction mastery 100.0 80.0 100.0 75.0 80.0 100.0 100.0 100.0 66.6 100.0

Comprehensive presentation 60.0 60.0 75.0 75.0 40.0 100.0 25.0 60.0 0.0 75.0

Structured & compatible presentation

70.0 40.0 87.5 75.0 20.0 83.3 12.5 50.0 33.3 62.5

Interactive 60.0 70.0 100.0 62.5 100.0 100.0 87.5 90.0 66.6 100.0

Capability 100.0 80.0 100.0 75.0 80.0 100.0 100.0 100.0 0.0 100.0

Appreciating audience 100.0 60.0 100.0 100.0 100.0 100.0 75.0 80.0 33.3 100.0

Gathering & concluding information

100.0 80.0 100.0 50.0 80.0 100.0 100.0 100.0 0.0 100.0

Building engangement 60.0 60.0 100.0 75.0 100.0 100.0 50.0 0.0 33.3 0.0

Appropriate practice instrument 100.0 60.0 100.0 75.0 100.0 100.0 50.0 100.0 66.6 25.0

Reviewing and evaluating 60.0 80.0 100.0 62.5 50.0 83.3 62.5 30.0 66.6 37.5

SKOR TOTAL 81.0 67.0 96.3 72.5 75.0 96.7 66.3 71.0 36.7 70.0

Tabel 3 menampilkan matriks umpan

balik pendamping PKH terhadap materi

pelatihan. Penilaian umpan balik pendamping

PKH terhadap materi pelatihan meliputi

komponen: (1) training engagement readiness;

(2) comprehension; (3) implementation

difficulties; (4) relevance of training methods;

(5) relevance of subject training; (6) relevance

of learning tools; (7) duration. Berdasarkan

hasil yang diperoleh, dapat diketahui bahwa

pendamping yang berasal dari daerah Kab.

Solok, Prov. Sumatera Barat memiliki skor

umpan balik tertinggi yaitu sebesar 81,2

sedangkan pendamping yang berasal dari

daerah Kab. Seluma, Prov. Bengkulu dan Kab.

Karimun, Prov. Kepulauan Riau memperoleh

skor umpan balik terendah diantara 10 daerah

pengamatan lainnya dengan skor masing-

masing sebesar 71,4. Jika dilihat secara

keseluruhan berdasarkan wilayah regional I

Sumatera, penilaian aspek umpan balik

pendamping PKH terhadap materi pelatihan

Page 9: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 9

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

pencegahan stunting berada pada skor 74,0.

Hal ini menunjukkan bahwa secara umum

pelatihan pencegahan stunting cenderung

ditanggapi secara positif oleh sebagian besar

pendamping PKH.

Tanggapan positif tersebut berada pada

taraf cenderung tinggi, yang berarti bahwa

peserta menilai bahwa materi pelatihan

stunting secara umum telah tersampaikan

dengan cukup baik dan menambah wawasan

pengetahuan pen-damping khususnya terkait

langkah-langkah pencegahan stunting.

Disamping itu, peserta pelatihan yakni

pendamping PKH, juga menilai bahwa materi

telah disampaikan dengan metode dan

instrumen pengajaran yang cukup relevan,

meski dalam pengimplementasiannya peserta

menilai bahwa materi pencegahan stunting

yang dipelajarinya terasa sulit untuk

diterapkan dan terdapat berbagai hambatan

dalam mengajarkan materi tersebut kepada

KPM PKH.

Selanjutnya, pengukuran efektivitas

pelatihan berdasarkan aspek umpan balik

kelompok penerima manfaat (KPM) terhadap

materi pengajaran pencegahan stunting yang

disampaikan oleh pendamping PKH. Aspek ini

meliputi beberapa komponen yaitu: (1)

subject learning comprehension; (2) ability to

implementing; (3) basic knowledge; (4)

engagement advantages; (5) challenges and

difficulties to engage.

Tabel 3. Matriks Umpan Balik Pendamping PKH terhadap Materi Pelatihan

Kab

. Ace

h T

imu

r

Ko

ta M

edan

Kab

. Lan

gkat

Kab

. So

lok

Kab

. Ker

inci

Kab

. Ka

mp

ar

Kab

. Kar

imu

n

Kab

. Se

lum

a

Ko

ta P

ale

mb

an

g

Kab

. Ba

ny

ua

sin

(N=5) (N=5) (N=4) (N=4) (N=5) (N=3) (N=4) (N=5) (N=3) (N=4)

Training engagement readiness 85.0 80.0 81.2 93.7 80.0 75.0 68.7 85.0 83.3 75.0

Comprehension 80.0 80.0 81.2 81.2 75.0 75.0 75.0 85.0 91.6 75.0

Implementation difficulties 45.0 55.0 43.7 50.0 30.0 41.6 56.2 50.0 41.6 43.7

Relevance methods 80.0 75.0 75.0 81.2 75.0 75.0 68.7 70.0 83.3 75.0

Relevance of subject training 90.0 75.0 75.0 87.5 80.0 91.6 75.0 75.0 83.3 81.2

Relevance learning tools 80.0 70.0 75.0 87.5 80.0 75.0 75.0 75.0 75.0 81.2

Duration 70.0 70.0 75.0 87.5 85.0 83.3 81.2 60.0 83.3 75.0

SKOR TOTAL 75.7 72.1 72.3 81.2 72.1 73.8 71.4 71.4 77.3 72.3

Tabel 4 menampilkan matriks umpan

balik KPM PKH terhadap materi pencegahan

stunting yang disampaikan oleh pendamping

PKH. Berdasarkan hasil yang diperoleh, pada

komponen subject learning comprehension,

dapat diketahui bahwa sebagian besar KPM

PKH mengaggap topik edukasi pada Sesi 11

dengan judul materi yaitu “Mendukung

Praktik Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS)”

sebagai topik edukasi yang “paling mudah

dipahami” dengan jumlah tanggapan yaitu

sebanyak 51 orang (55%), kemudian di ikuti

oleh topik edukasi pada Sesi 1 yang berjudul

“Memahami Permasalahan Stunting” dengan

jumlah tanggapan yaitu sebanyak 49 atau

sebesar 53% dari total 92 orang KPM PKH.

Sementara itu, sebanyak 15 orang atau sekitar

16% KPM PKH mengaku “kurang memahami”

topik edukasi pada Sesi 14 yang berjudul

“Mendukung Keluarga Mengakses Rujukan

Page 10: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 10

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

dan Penanganan Anak Stunting”. Lebih lanjut,

terdapat sebanyak 15 orang (16%) KPM PKH

menyatakan “tidak dapat memahami” materi

yang disampaikan oleh pendamping PKH

khususnya pada Sesi 15 yaitu “Komitmen

Rencana Tidak Lanjut”.

Tabel 4. Matriks Umpan Balik KPM PKH Terhadap Edukasi Stuting oleh Pendamping PKH

Topik Edukasi

Subject Learning Comprehension Ability to Implementing

Mudah dipahami

Kurang dipahami

Tidak dapat dipahami

Mudah diterapkan

Sulit diterapkan

Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Sesi 1: Memahami Permasalahan Stunting 49 53% 4 4% 3 3% 32 35% 3 3%

Sesi 2: Mendukung Ibu Hamil Mengakses Informasi dan Layanan yang Tepat

37 40% 2 2% 2 2% 25 27% 7 8%

Sesi 3: Mendukung Perawatan Sehari-hari Ibu Hamil 41 45% 1 1% 3 3% 30 33% 4 4%

Sesi 4: Mendukung Ibu dan Ayah untuk Memberikan Stimulasi pada Janin

39 42% 3 3% 3 3% 28 30% 8 9%

Sesi 5: Pencegahan dan Penanganan Stunting Melalui Pemenuhan Bayi Baru Lahir dan Ibu Menyusui

42 46% 6 7% 3 3% 34 37% 3 3%

Sesi 6: Mendukung Pemberian Stimulasi pada Bayi Baru Lahir sampai Usia 6 Bulan

37 40% 5 5% 3 3% 26 28% 5 5%

Sesi 7: Mendukung Pemberian Stimulasi pada Bayi Usia 6 - 12 Bulan

36 39% 1 1% 1 1% 27 29% 2 2%

Sesi 8: Mendukung Pemberian Stimulasi pada Anak Usia 1 - 2 Tahun

38 41% 8 9% 1 1% 30 33% 3 3%

Sesi 9: Mendukung Pemberian Stimulasi pada Anak Usia 2 - 6 Tahun

34 37% 2 2% 1 1% 23 25% 2 2%

Sesi 10: Pemanfaatan Bantuan Sosial dalam Pemenuhan Gizi Bagi Anak dan Ibu Hamil

36 39% 5 5% 2 2% 31 34% 2 2%

Sesi 11: Mendukung Praktik Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS)

51 55% 1 1% 2 2% 48 52% 1 1%

Sesi 12: Mendukung Pemanfaatan Jamban Sehat 38 41% 3 3% 2 2% 33 36% 3 3%

Sesi 13: Pemetaan Potensi Diri, Keluarga dan Lingkungan Sekitar

25 27% 7 8% 3 3% 17 18% 5 5%

Sesi 14: Mendukung Keluarga Mengakses Rujukan dan Penanganan Anak Stunting

24 26% 15 16% 9 10% 24 26% 7 8%

Sesi 15: Komitmen Rencana Tidak Lanjut 24 26% 7 8% 15 16% 15 16% 8 9%

Selanjutnya pada komponen ablity to

implementing, diketahui bahwa sebagian

besar KPM PKH mengaggap topik edukasi

pada Sesi 11 dengan judul materi yaitu

“Mendukung Praktik Cuci Tangan Pakai Sabun

(CTPS)” sebagai topik edukasi yang paling

relevan dan mudah untuk diterapkan, dengan

jumlah tanggapan yaitu sebanyak 48 orang

atau sekitar 52% KPM PKH yang bersedia

untuk mengimplementasikan materi tersebut

dalam kehidupan sehari-hari. Disisi lain,

terdapat sebanyak 8 orang atau sekitar 9%

KPM PKH menyatakan bahwa topik edukasi

pada Sesi 15 dengan judul “Komitmen

Rencana Tidak Lanjut” merupakan hal yang

sulit untuk diterapkan.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa

sebagian besar KPM PKH merasa telah

memahami setiap materi pencegahan stunting

yang disampaikan oleh pendamping PKH dan

bersedia untuk menerapkannya dalam

kehidupan sehari-hari, meski demikian masih

terdapat sebagaian kecil KPM PKH yang

menyatakan belum berkomitmen untuk

menerapkan materi pencegahan stunting

dalam keseharian mereka sebagaimana yang

telah di edukasikan oleh pendamping PKH.

Lebih lanjut, pada komponen basic

knowledge, dapat diketahui bahwa sebagian

besar KPM PKH telah mendapatkan

pengetahuan dasar mengenai materi edukasi

yang terkait dengan persoalan stunting, hal ini

Page 11: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 11

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

dinyatakan oleh sejumlah 70 orang KPM PKH

atau sekitar 76,09% dari total 92 orang KPM

PKH, sementara sisanya mengaku belum

pernah menerima materi edukasi terkait

dengan permasalahan stunting.

Gambar 1. Diagram basic knowledge KPM PKH tentang

materi permasalahan stunting

Pada komponen engagement advantages,

diketahui bahwa seluruh KPM PKH menilai

bahwa keterlibatan dalam menerapkan materi

edukasi pencegahan stunting pada kehidupan

sehari-hari dapat memberikan manfaat baik

bagi diri sendiri, keluarga, maupun bagi

lingkungan. KPM PKH yang menilai edukasi

pencegahan stunting sebagai hal yang

“bermanfaat” adalah sebanyak 50 orang

(54,3%), sementara 42 orang (45,7%) KPM

PKH lainnya, memberi penilaian “sangat

bermanfaat” bila turut terlibat dalam

menerapkan dan mendukung program

pencegahan stunting.

Terakhir, pada penilaian komponen

challenges and difficulties to engage, diketahui

bahwa seluruh KPM PKH menilai tantangan

dan hambatan dalam menerapkan materi

edukasi pencegahan stunting pada kehidupan

sehari-hari dapat berasal dari berbagai alasan.

Alasan yang paling banyak di ungkapkan

adalah terkait “ketidaktersediaan sarana dan

prasarana”, dengan jumlah respon sebanyak

35 orang (38,0%) kemudian di ikuti dengan

alasan yaitu “situasi dan lingkungan yang

tidak mendukung”, dengan jumlah respon

sebanyak 21 orang (22,8%).

Gambar 2. Diagram penilaian engagement advantages

KPM PKH dalam mengimplementasikan materi pencegahan stunting

Sementara sisanya mengungkapkan

alasan yaitu tidak adanya dukungan keluarga

(5,4%), pasangan (suami) tidak mendukung

(4,3%), lingkungan yang tidak mendukung

dalam menjaga kebersihan (2,2%), pasangan

(suami), keluarga, dan lingkunagn tidak

mendukung (1,1%), kesulitan dalam

pengalokasian waktu (1,1%), dan terakhir

adalah berkaitan dengan alasan yaitu

kebutuhan dasar yang belum tercukupi

(1,1%).

Gambar 3. Diagram challenges and difficulties to engage

KPM PKH terkait implementasi materi permasalahan stunting pada kehidupan sehari-hari.

Page 12: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 12

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

Berkenaan dengan hasil tersebut, dapat

dipahami bahwa tantangan dan hambatan

yang dirasakan oleh KPM PKH untuk terlibat

dalam mengimplementasikan materi pen-

cegahan stunting pada kehidupan sehari-hari,

berasal dari berbagai aspek, baik internal

keluarga, seperti tidak adanya dukungan dari

keluarga inti, sulit dalam pengalokasian waktu

dan kebutuhan dasar keluarga belum

terpenuhi. Sementara hambatan yang berasal

dari aspek eksternal berasal dari lingkungan

yang tidak mendukung dalam menjaga

kebersihan serta sarana dan prasarana yang

dianggap tidak tersedia atau kurang memadai.

4. KESIMPULAN

Pelatihan pencegahan sunting yang

dilaksanakan oleh BBPPKS Padang melalui

media daring kepada pendamping PKH yang

berada dalam lingkup kerja wilayah regional I

Sumatera telah terselenggara secara efektif.

Hal ini dapat dilihat dari tingginya skor yang

diperoleh dari hasil pengukuran yang

dilakukan terhadap sejumlah sampel yang

terdiri dari unsur pendamping program

keluarga harapan (Pendamping PKH) sebagai

individu yang menerima pelatihan (peserta

pelatihan), dan kelompok penerima manfaat

program keluarga harapan (KPM PKH)

sebagai individu yang diberikan edukasi oleh

pendamping PKH terkait materi pelatihan

pencegahan stunting.

Pengukuran efektivitas pelatihan

pencegahan stunting didasarkan pada 3 aspek

yaitu: (1) performa peserta pelatihan dalam

mengimplementasikan materi pelatihan, (2)

umpan balik peserta pelatihan (pendamping

PKH) terhadap materi yang diberikan selama

sesi pelatihan berlangsung, dan (3) umpan

balik kelompok penerima manfaat (KPM)

terhadap materi pengajaran yang

disampaikan oleh pendamping PKH. Aspek

pertama yaitu performa peserta pelatihan

yang terdiri komponen (1) Introduction

mastery; (2) comprehensive presentation; (3)

structured and compatibility presentation; (4)

interactive; (5) capability; (6) appreciating

audience; (7) gathering and concluding

information; (8) building engangement; (9)

appropriate practice instrument; (10)

reviewing and evaluating. Hasil pengukuran

mengindikasikan bahwa secara umum

pendamping PKH memiliki performa yang

baik dalam mengimplementasikan materi

pelatihan, hal ini terlihat dari kemampuannya

memaparkan materi pencegahan stunting

secara komprehensif, terstruktur, interaktif,

serta memberi ajakan kepada KPM PKH untuk

terlibat dalam upaya pencegahan stunting

Selanjutnya, aspek umpan balik peserta

pelatihan (pendamping PKH) terdiri dari

komponen: (1) training engagement readiness;

(2) comprehension; (3) implementation

difficulties; (4) relevance of training methods;

(5) relevance of subject training; (6) relevance

of learning tools; (7) duration. Hasil

pengukuran mengindikasikan bahwa peserta

pelatihan (pendamping PKH), menilai bahwa

materi pelatihan stunting secara umum telah

tersampaikan dengan cukup baik dan

menambah wawasan pengetahuan pen-

damping khususnya terkait langkah-langkah

pencegahan stunting. Disamping itu, peserta

pelatihan yakni pendamping PKH, juga menilai

bahwa materi telah disampaikan dengan

metode dan instrumen pengajaran yang cukup

relevan, meski dalam pengimplementasiannya

peserta menilai bahwa materi pencegahan

stunting yang dipelajarinya terasa sulit untuk

diterapkan dan terdapat berbagai hambatan

dalam mengajarkan materi tersebut kepada

KPM PKH

Terakhir, aspek umpan balik kelompok

penerima manfaat (KPM) terdiri dari

komponen (1) subject learning comprehension;

(2) ability to implementing; (3) basic

Page 13: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 13

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

knowledge; (4) engagement advantages; (5)

challenges and difficulties to engage. Hasil

pengukuran dan analisis mengindikasikan

bahwa, sebagian besar KPM PKH yang telah

diberikan edukasi pencegahan stunting oleh

pendamping PKH mampu memahami

beberapa topik yang tersajikan pada modul

edukasi yang terdiri dari 15 sesi. Disamping

itu, secara umum KPM PKH juga berkenan

untuk menerapkan materi yang dipelajarinya

dalam kehidupan sehari-hari karena

menganggap bahwa hal tersebut memberikan

manfaat baik bagi diri sendiri, keluarga,

maupun bagi lingkungan, meski dalam

penerapannya terdapat berbagai tantangan

dan kendala yang berasal baik dari internal

keluarganya sendiri, dari lingkungan, hingga

berasal dari aspek yang bersifat instrumental

seperti ketidaktersediaan sarana dan prasana

yang mendukung.

5. SARAN

Berkenaan dengan berbagai keterbatasan

dalam penelitian ini, sehingga peneliti

menyarankan agar penelitian selanjutnya

seyogianya dilanjutkan dengan mengukur

konsistensi implementasi pencegahan

stunting yang dilaksanakan oleh KPM PKH

dengan metode yang lebih komprehensif dan

dilaksanakan secara berkala, agar dapat

melihat unsur perubahan perilaku yang

bersifat menetap. Kepada BBPPKS Padang,

disarankan agar dapat melaksanakan metode

pengajaran yang lebih efektif dengan

memperhatikan beberapa isu yang bersifat

sensitif yang ditemukan dalam praktik edukasi

dilapangan oleh Pendamping PKH kepada

KPM PKH.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Jakarta Pusat.

(2019). Indeks Khusus Penanganan

Stunting 2018-2019. Jakarta Pusat: Badan

Pusat Statistik

Budiastutik, I., & Rahfiludin, M. Z. (2019). Risk

Factors of Child Stunting in Developing

Countries. J Amerta Nutr, 122-6.

Detty, R. (2009). Evaluasi Efektivitas Program

Pelatihan “Know Your Customer and

Money Laundering” di Bank XYZ

Bandung. Journal of Management and

Business Review, Volume VI, pg 20-34.

Gomes, F.C. (2003). Manajemen Sumber Daya

Manusia. Yogyakarta: Penerbit Andi

Haslinda, H., Toha, S., & Ambar, A. A. (2020).

EFEKTIVITAS PENYULUH PERTANIAN

DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN

PETANI JAGUNG HIBRIDA DI KOTA

PAREPARE. Jurnal Pendidikan Teknologi

Pertanian, 5, 145-149.

Kaswan. (2011). Pelatihan dan

Pengembangan. Bandung: Alfabeta

Liang, W., Wang, B., Shen, G., Cao, S., Mcswain,

B., Qin, N., ... & Duan, X. (2020).

Association of solid fuel use with risk of

stunting in children living in China.

Indoor air, 30(2), 264-274.

Megawati, G., & Wiramihardja, S. (2019).

Peningkatan Kapasitas Kader Posyandu

Dalam Mendeteksi Dan Mencegah

Stunting. Dharmakarya, 8(3), 154-159.

Nadeak, B. (2019). Buku Materi Pembelajaran

Manajemen Pelatihan dan

Pengembangan.

Nadhiroh, S. R., Djokosujono, K., & Utari, D. M.

(2020). Socioeconomic characteristics,

paternal smoking and secondhand

tobacco smoke exposure among infants in

Jakarta, Indonesia. Tobacco induced

diseases, 18.

Noe, R. A. (2002). Employee Training and

Development. New York: McGrawHill

Irwin.

Ooi, Y. E., Hau. S. L., Ching-Wing, B. L. (2007).

Page 14: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 14

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

The determinants of training

effectiveness in Malaysian organizations.

Intl J Business Res 7 (4): 143-14.

Prendergast, A. J., & Humphrey, J. H. (2014).

The stunting syndrome in developing

countries. Paediatrics and international

child health, 34(4), 250-265.

Probosiwi, H., Huriyati, E., & Ismail, D. (2017).

Stunting dan perkembangan pada anak

usia 12-60 bulan di Kalasan. Berita

Kedokteran Masyarakat, 33(11), 559-564.

Pulungan, A. B. (2016). Exploring the big

picture of stunting: Indonesian

perspective. 15th Pediatric update

exploring the big picture of childhood

stunting: Indonesian perspective. Jakarta:

Ikatan Dokter Anak Indonesia, 3-7.

Riyanto, S., & Hatmawan, A. A. (2020). Metode

Riset Penelitian Kuantitatif Penelitian Di

Bidang Manajemen, Teknik, Pendidikan

Dan Eksperimen. Deepublish.

Rumengan, I. M., Lumenta, A. S. M., & Paturusi,

S. D. E. (2019). Pembelajaran Daring

Pendidikan dan Pelatihan Aparatur Sipil

Negara Badan Pengembangan Sumber

Daya Manusia Papua Barat. Jurnal Teknik

Informatika, 14(3), 303–312.

Sastradipoera, K., & Komaruddin, Y. T. S.

(2006). Pengembangan dan Pelatihan:

Suatu Pendekatan Menejemen Sumber

Daya Manusia. Kappa-Sigma.

Suartama, I., Setyosari, P., Sulthoni, S., & Ulfa, S.

(2020). Development of ubiquitous

learning environment based on moodle

learning management system.

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian

Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D.

Bandung: Alfabeta.

Titaley, C. R., Ariawan, I., Hapsari, D.,

Muasyaroh, A., & Dibley, M. J. (2019).

Determinants of the stunting of children

under two years old in Indonesia: a

multilevel analysis of the 2013 Indonesia

basic health survey. Nutrients, 11(5),

1106.

Trihono, T., Atmarita, A., Tjandrarini, D. H.,

Irawati, A., Nurlinawati, I., Utami, N. H., &

Tejayanti, T. (2015). Pendek (stunting) di

Indonesia, masalah dan solusinya. Lembaga Penerbit Badan Litbangkes.

Yang, B., Wang, Y., & Drewry, A. W. (2009).

Does it matter where to conduct training?

Accounting for cultural factors. Human

Resource Management Review, 19(4),

324-333.

Young, M. F., Nguyen, P. H., Gonzalez Casanova,

I., Addo, O. Y., Tran, L. M., Nguyen, S., &

Ramakrishnan, U. (2018). Role of

maternal preconception nutrition on

offspring growth and risk of stunting

across the first 1000 days in Vietnam: A

prospective cohort study. PLoS One,

13(8), e0203201.

Yuliani, E., Immawanti, I., Yunding, J., Irfan, I.,

Haerianti, M., & Nurpadila, N. (2018).

PELATIHAN KADER KESEHATAN

DETEKSI DINI STUNTING PADA BALITA

DI DESA BETTENG: Health Cadre

Training About Early Detection Of

Stunting Toddler In Betteng Village.

Jurnal Pengabdian Masyarakat

Kesehatan, 4(2), 41-46.

© 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license

(https://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0/).

Page 15: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 15

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

INDIGENOUSITAS DALAM STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PRASEJAHTERA

Aji Samba Pranata Citra, M.Psi.1 1BBPKH Cinagara – Bogor, Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstract

Everyone strives for prosperity, although not all can achieve it. A strategy should be needed in empowering underprivileged communities to be able to improve their quality and standard of living. The process and outcomes of empowerment will vary as there is no single standard that can fully capture meaning for all people in all contexts. But in essence the process of empowerment is said to be successful if it can help people develop their skills so that they can become problem solvers and independent decision makers. Empowerment has different processes and outcomes depending on the population. Empowerment strategies that are carried out must pay attention to their culture, view of the world and their life struggles. Assessing the program to be carried out makes it easier for facilitators to carry out empowerment programs. Supported by policies, program implementation, evaluation and continuous improvement from the government. The empowerment program carried out is expected to involve the local government or indigenous people who know very well the conditions of the community who are the participants of the empowerment. Keyword: Indigeneous, Empowerment strategies, prosperity program.

1. PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara berkembang di

Asia Tenggara dengan jumlah penduduk per

Juni 2021 sebanyak 272.229.372 jiwa, dimana

137.521.557 jiwa adalah laki-laki dan

134.707.815 jiwa adalah perempuan. Sebagai

negara nomor 4 dari segi kepadatan penduduk

dan nomor 14 sebagai negara terbesar di

dunia Indonesia memiliki sumber daya yang

sangat cukup untuk bisa menjadi negara yang

maju dengan berbagai tantangan yang di

hadapi.

Pemerataan pembangunan di Indonesia

masih sangat diupayakan oleh pemerintah

khususnya untuk daerah tertinggal. Menurut

(Perpres) Nomor 63 Tahun 2020 tentang

penetapan daerah tertinggal tahun 2020-2024.

Ada 62 daerah yang ditetapkan tertinggal

dengan sebaran berada di sejumlah Provinsi

seperti Sumatera Utara, Sulawesi Tengah,

Maluku, Papua dan Papua Barat. Hal tersebut

ditinjau dari tingkat perekonomian

masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan

prasarana, kemampuan keuangan daerah,

aksesibilitas dan karakteristik daerah.

Setiap orang di Indonesia pasti

menginginkan kondisi sejahtera untuk dirinya

dan keluarganya, tetapi tidak semua orang

dapat mewujudkannya. Hal yang

membedakannya dimungkinkan dikarena-kan

banyak faktor, terkait pendidikan,

kesempatan, akses informasi ataupun kembali

Page 16: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 16

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

kepada kesemangatan dan kerja keras

seseorang dalam meraihnya. Mencapai

kondisi sejahtera hakikatnya memang

menjadi sebuah target dari setiap individu tapi

dalam hal ini pemerintah memiliki peran

untuk membantu masya-rakat yang memiliki

kesulitan dalam mencapai kondisi sejahtera.

Penyelenggaraan kesejahteraan sosial

merupakan bagian integral dari pem-

bangunan nasional sebagai perwujudan dari

upaya mencapai tujuan bangsa yang

diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

perwujudan nilai Pancasila.

Penyelenggaraan kesejahteraan sosial

salah satunya ditujukan untuk mengatasi

berbagai masalah kesejahteraan sosial yang

dihadapi individu, keluarga, kelompok, dan

masyarakat agar mampu meningkatkan

kualitas dan standar kehidupannya secara adil

dan merata (Lembar Tambahan UUD no 14,

2019). Program kesejahteraan sosial akan

sangat efektif jika diikuti oleh proses

perencanaan yang tepat. Tidak hanya

merencanakan, merumuskan dan membawa

program yang disusun oleh pemerintah terkait

tanpa melihat kondisi sosial dan budaya di

lingkungan tertentu. Dikarenakan program

yang sama belum tentu akan berhasil jika

diterapkan didaerah yang berbeda. Karena

aspek sosial dan budaya memberikan

pengaruh besar terhadap pola pelaksanaan

dan tingkat keberhasilan dari sebuah program

kesejahteraan, menimbang bahwa Indonesia

merupakan negara kepulauan dengan etnis

dan budaya yang sangat beragam.

2. BUDAYA DAN KEPRIBADIAN

Kepribadian dibentuk oleh faktor genetik

dan lingkungan di antara yang paling penting

adalah pengaruh budaya (Kluckhohn &

Murray, 1948). Budaya terdiri dari sistem

makna bersama yang memberikan standar

untuk memahami, mempercayai, meng-

evaluasi, berkomunikasi, dan bertindak di

antara mereka yang berbagi bahasa, periode

sejarah, dan lokasi geografis (Triandis, 1996).

Chiu dan Hong (2007) mendefinisikan budaya

sebagai jaringan pengetahuan yang

prosedural (urutan yang dipelajari dari

tanggapan terhadap isyarat tertentu) dan

deklaratif (representasi seseorang, peristiwa,

dan norma) dan diproduksi, didistribusikan

dan direproduksi di antara kumpulan orang-

orang yang saling berhubungan.

Budaya berbeda dengan etnisitas dalam

pengertian etnisitas mengacu pada latar

belakang atau asal usul sosial yang sama,

tradisi bersama yang khas, dipertahankan

antar generasi, meng-hasilkan rasa identitas

dan keanggotaan kelompok, serta bahasa atau

tradisi keagamaan yang sama (Senior &

Bhopal, 1994). Budaya adalah konstruksi yang

lebih luas daripada etnis karena mencakup

proses tingkat makro dan berhubungan secara

khusus dengan nilai-nilai dan norma-norma

berlaku yang mengatur sekelompok orang.

Page 17: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 17

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

Budaya dapat mendefinisikan karakteristik

dan perilaku yang dianggap sesuai atau tidak

pantas untuk suatu kelompok yang

terorganisir. Budaya juga menentukan

konteks dan lingkungan (yaitu, tempat, waktu,

dan rangsangan tertentu) di mana etnisitas

ada. Jelas, tidak semua individu yang berbagi

ruang budaya yang sama memiliki etnis yang

sama. Selain itu, budaya dan etnis berbeda dari

ras, di mana ras mengacu pada warisan

genetik bersama, yang diekspresikan oleh

karakteristik fisik eksternal yang sama seperti

bentuk wajah, warna kulit, dan tekstur rambut.

Budaya memberikan pengaruh terhadap

gaya berpikir setiap orang. Gaya berpikir yang

berbeda memiliki implikasi mendalam bagi

cara individu mengevaluasi pengalaman

emosional mereka dan diri mereka sendiri.

Budaya juga mempengaruhi bagaimana

individu berpikir tentang diri mereka sendiri

dan orang lain. Melalui budaya juga dapat

menunjukkan tingkat perilaku membantu

(empati) terhadap orang asing ataupun

bahkan dapat menunjukkan tingkat agresi

fisik sebagai reaksi terhadap penghinaan.

Gaya berpikir memainkan peran penting

dalam perbedaan kepribadian individu.

Dalam model skema kepribadian McCrae

dan Costa (1999), konsep diri adalah aspek

sadar dari kepribadian yang tidak hanya

mencerminkan temperamen tetapi juga pola

karakteristik adaptasi. Mengingat hal tersebut

dipengaruhi oleh budaya, cara individu

memandang diri mereka sendiri, setidaknya

sebagian, dikonstruksi oleh budaya.

Budaya membentuk nilai-nilai yang

dipegang erat oleh masyarakat. Dimana nilai-

nilai dan konstruksi motivasi memiliki peran

penting dalam memahami kepribadian

manusia. Vernon dan Allport (1931),

menyatakan bahwa nilai-nilai adalah inti dari

filosofi hidup seseorang dan memberikan

gambaran ke dalam kepribadian total.

Allport (1961) kemudian berpendapat

bahwa ciri-ciri kepribadian dapat ditafsirkan

sebagai versi yang sepenuhnya berkembang

dari kecenderungan alami biologis seseorang,

atau temperamen, sedangkan nilai-nilai

mencerminkan tidak hanya preferensi bawaan

individu tetapi juga gaya hidup ideal. Melalui

hal tersebut dapat membantu untuk

memahami bagaimana seorang individu

secara unik menyesuaikan diri dengan

lingkungannya (bagian penting dari definisi

kepribadian Allport).

Perspektif psikologis budaya

mengasumsikan bahwa kepribadian dan

budaya saling terbentuk. Ini menyiratkan

bahwa sifat orang tidak dapat dipahami tanpa

mempertimbangkan konteks budaya di mana

orang itu hidup. Penting untuk memahami

kondisi seseorang dalam hubungannya

dengan orang lain dan lingkungannya.

Individu adalah konstruksi sosial dan

kolektif yang terbentuk dalam proses

partisipasi masyarakat dalam pengaturan

Page 18: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 18

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

budaya tertentu. Budaya diperlakukan sebagai

sumber untuk memahami kepribadian dan

perilaku.

3. PEMBERDAYAAN

Teori pemberdayaan menunjukkan

pemberdayaan di aspek tindakan, kegiatan,

atau struktur, dan bahwa hasil dari proses

tersebut menghasilkan tingkat yang

diberdayakan. Proses dan hasil dari

pemberdayaan akan bervariasi dalam bentuk

luarnya karena tidak ada standar tunggal yang

dapat sepenuhnya menangkap makna bagi

semua orang dalam semua konteks

(Rappaport, 1984; Zimmerman, 1995). Ini

menunjukkan bahwa setiap orang akan

memiliki standar dan kondisi yang berbeda

mengenai pemberdayaan yang dilakukan.

Perilaku yang diperlukan ibu berusia 16 tahun

untuk menjadi berdaya berbeda dengan

perilaku pria paruh baya yang baru saja

menduda. Arti diberdayakan untuk dua orang

tersebut tidak sama. Dengan demikian,

pemberdayaan selalu memiliki konteks yang

spesifik terhadap setiap populasi.

Pemberdayaan mengambil bentuk yang

berbeda untuk orang yang berbeda dalam

konteks yang berbeda.

Perbedaan antara proses pemberdayaan

dan hasilnya sangat penting untuk secara jelas

mendefinisikan teori pemberdayaan. Proses

pemberdayaan adalah proses di mana upaya

untuk mendapatkan kendali, memperoleh

sumber daya yang dibutuhkan, dan

memahami secara kritis lingkungan sosial

seseorang yang merupakan hal yang

mendasar. Dapat disebut sebagai proses

memberdayakan jika dapat membantu orang

mengembangkan keterampilan sehingga

mereka dapat menjadi pemecah masalah dan

pembuat keputusan yang mandiri.

Proses pemberdayaan akan bervariasi di

seluruh tingkat analisis. Misalnya, proses

pemberdayaan untuk individu mungkin

termasuk keterlibatan organisasi atau

komunitas; proses pemberdayaan di tingkat

organisasi dapat mencakup kepemimpinan

bersama dan pengambilan keputusan; dan

proses pemberdayaan di tingkat masyarakat

dapat mencakup pemerintah, media, dan

sumber daya masyarakat lainnya yang dapat

diakses.

Hasil dari pemberdayaan mengacu pada

operasionalisasi, sehingga kita dapat

mempelajari konsekuensi dari upaya anggota

komunitas untuk mendapatkan kontrol yang

lebih besar di komunitas mereka dan juga

dapat mempelajari efek dari intervensi yang

dirancang. Hasil dari pemberdayaan juga

berbeda di seluruh tingkat analisis. Dalam

tingkat individu, hasil pemberdayaan akan

berkaitan dengan situasi, kontrol,

keterampilan, dan perilaku proaktif. Dalam

tingkat organisasi, hasil berkaitan dengan

jaringan organisasi, perolehan sumber daya

yang efektif, dan pengaruh kebijakan. Dalam

tingkat masyarakat, hasil berkaitan dengan

Page 19: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 19

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

pluralisme, adanya koalisi organisasi, dan

sumber daya masyarakat yang dapat diakses.

Setiap tingkat analisis, meskipun

dijelaskan secara terpisah, secara inheren

terhubung antara satu sama lain.

Pemberdayaan individu, organisasi, dan

masyarakat saling bergantung dan merupakan

sebab dan akibat satu sama lain. Sejauh mana

elemen-elemen pada satu tingkat analisis

secara langsung berkaitan dengan potensi

pemberdayaan dari tingkat analisis lainnya.

Demikian pula, proses pemberdayaan pada

satu tingkat analisis berkontribusi terhadap

hasil pada tingkat analisis lainnya. Orang-

orang yang diberdayakan adalah dasar untuk

mengembangkan organisasi dan komunitas

yang bertanggung jawab dan partisipatif; sulit

membayangkan komunitas atau organisasi

yang memberdayakan tanpa individu yang

diberdayakan. Upaya untuk memahami proses

dan hasil pemberdayaan tidak lengkap kecuali

beberapa tingkat analisis dipelajari dan

diintegrasikan.

Komunitas yang berdaya adalah

komunitas yang memprakarsai upaya untuk

meningkatkan nilai komunitas tersebut,

merespons ancaman terhadap kualitas hidup,

dan memberikan kesempatan bagi partisipasi

setiap anggotanya. Iscoe (1974) menyatakan

bahwa komunitas yang kompeten adalah

komunitas di mana anggotanya memiliki

keterampilan, keinginan, dan sumber daya

untuk terlibat dalam kegiatan untuk

meningkatkan taraf hidup komunitas.

Komunitas yang kompeten adalah komunitas

dimana setiap komponen di dalam komunitas

saling bergantung dan bekerja sama untuk

secara efektif mengidentifikasi kebutuhan

komunitas, mengembangkan strategi untuk

memenuhi kebutuhan, dan melakukan

tindakan untuk memenuhi kebutuhan

tersebut. Minkler (1990) menyatakan bahwa

kepemimpinan bersama dan

pengembangannya sangat penting untuk

mengembangkan komunitas yang kompeten.

3.1. Strategi Pemberdayaan Indigenous

Melalui pemberdayaan akan

meningkatkan kemungkinan bagi seseorang

untuk mendapatkan kendali atas kehidupan

mereka sendiri. Pemberdayaan memberikan

pendekatan yang berbeda untuk

mengembangkan intervensi dan menciptakan

perubahan sosial. Pemberdayaan

mengarahkan perhatian terhadap kesehatan,

adaptasi, kompetensi, dan sistem bantuan.

Dalam proses pemberdayaan pendekatan

dalam pemberdayaan dalam hal desain

intervensi, implementasi, dan evaluasi

menggambarkan hubungan peran tenaga

profesional dengan populasi sasaran. Tenaga

professional yang dimaksud adalah tenaga

bantuan sosial yang akan terlibat dalam suatu

program pemberdayaan. Tenaga profesional

memiliki peran sebagai kolaborator dan

fasilitator. Sebagai kolaborator, para tenaga

profesional belajar tentang peserta melalui

Page 20: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 20

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

budaya mereka, pandangan dunia mereka, dan

perjuangan hidup mereka. Dalam hal ini peran

penting seorang tenaga profesional adalah

untuk mengadvokasi mereka.

Tenaga profesional menjadi sumber daya

bagi sebuah komunitas. Hubungan peran ini

menunjukkan bahwa apa yang dilakukan para

tenaga profesional akan tergantung pada

tempat tertentu dan dengan siapa mereka

bekerja, bukan pada teknologi yang telah

ditentukan untuk diterapkan dalam semua

situasi. Penilaian interpersonal dan

keterampilan evaluasi akan diperlukan

dikarenakan perlu menyesuaikan dengan

bagaimana, di mana, dan dengan siapa mereka

berproses dalam program pemberdayaan

yang dilakukan.

Orientasi dari pemberdayaan menun-

jukkan bahwa peserta dalam hal ini

masyarakat yang diberdayakan harus

memiliki peran aktif dalam proses perubahan,

tidak hanya sebagai objek untuk

melaksanakan sebuah proyek pember-dayaan,

tetapi juga harus terlibat dalam menetapkan

perencanaan. Tenaga profesional sebagai

fasilitator bekerja keras dalam memfasilitasi

peserta untuk menekankan perannya dalam

sebuah pengaturan tertentu, lingkungan, atau

organisasi sehingga mereka memiliki peran

sentral dalam prosesnya. Peserta dapat

membantu dalam mengidentifikasi masalah

dan membantu mengumpulkan data penilaian

dan evaluasi.

Proses evaluasi tidak hanya melibatkan

peserta dalam perencanaan dan

pelaksanaannya, tetapi hasil dari evaluasi

yang dilakukan juga diberikan kepada peserta.

Umpan balik informasi yang didapatkan dapat

membantu untuk pengambilan keputusan

dalam tindakan yang akan diambil. Fetterman

(1996) juga menggambarkan evaluasi

pemberdayaan sebagai proses yang tidak

hanya melibatkan peserta, tetapi juga

membantu mereka mengembangkan

keterampilan untuk evaluasi diri.

Fawcett dkk mengemukakan ada empat

strategi dan 18 taktik untuk meningkatkan

status pemberdayaan individu dan kelompok

berdasarkan model yang dibuatnya. Taktik

tersebut diatur dalam empat strategi

pemberdayaan yang ditujukan untuk individu

atau kelompok dan juga lingkungannya: (1)

meningkatkan pengalaman dan kompetensi,

(2) melindungi dan mempertahankan

kapasitas fisik dan biologis, (3)

menghilangkan stresor dan hambatan, dan (4)

meningkatkan dukungan dan sumber daya.

Strategi dan taktik yang disusun oleh Fawcett

pada awalnya ditujukan untuk penyandang

disabilitas tetapi untuk strategi poin 2 penulis

sesuaikan dengan tuntutan budaya yang mana

strategi ini memiliki fleksibilitas berkaitan

dengan individu, kelompok dan

lingkungannya.

Variasi di seluruh rentang kehidupan

memberikan gambaran kepada tenaga sosial

Page 21: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 21

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

dalam memberikan intervensi pemberdayaan.

Kita dapat mengetahui tentang tingkat kontrol

atas peristiwa, hasil, dan kemantapan sumber

daya pada masa remaja dan dewasa, yang

mungkin menurun dengan gangguan dan

berkurangnya dukungan yang terkadang

menyertai penyakit, cedera atau usia yang

lebih tua.

Sejarah unik interaksi antara orang dan

lingkungan yang dapat menghasilkan status

pemberdayaan yang sangat berbeda dari

waktu ke waktu. Interaksi dinamis antara

orang atau kelompok dan faktor lingkungan

menggambarkan faktor lingkungan yang

memberikan pengaruh terhadap individu.

Asumsinya ketika proses pemberdayaan

berlangsung, individu memiliki kapasitas yang

lebih besar untuk mempengaruhi perubahan

dalam fitur lingkungan, lebih jauh

menghilangkan hambatan dan menciptakan

dukungan untuk upaya pemberdayaan. Hal ini

sangat erat kaitannya juga dengan budaya

tempat individu tersebut. Model ini

mendalilkan interaksi antara orang atau

kelompok dan lingkungan juga budaya dalam

mempengaruhi hasil pemberdayaan pada saat

tertentu.

Pada strategi yang pertama

meningkatkan pengalaman dan kompetensi

dengan taktik sebagai berikut:

• Meningkatkan pengetahuan tentang

masalah, penyebab masalah, dan

kemungkinan perubahan

• Memfasilitasi pengembangan keterampilan

(misalnya, penetapan tujuan, pemecahan

masalah, komunikasi)

• Berkontribusi pada masa lalu positif dari

yang bisa memberikan kontrol kepada

lingkungannya

• Nilai dan keyakinan yang konsisten dengan

pemberdayaan

Strategi yang kedua berkaitan dengan

budaya yang berlaku di lingkungan

masyarakat yang akan diberdayakan. Taktik

yang diterapkan adalah

• Melakukan asesmen terhadap calon

peserta terkait dengan nilai-nilai yang

dianut oleh masyarakat tersebut

berdasarkan budayanya.

• Tetapkan program yang sesuai dengan

hasil asesmen awal.

Pada strategi ke tiga berkaitan dengan

stresor dan hambatan meliputi kurangnya

kesempatan, diskriminasi, hukuman dan

persyaratan perilaku yang berlebihan,

hambatan dan bahaya lingkungan, kemiskinan

dan kekurangan. Hambatan tersebut harus

dikurangi bahkan di hilangkan dengan

menerapkan taktik sebagai berikut:

• Mengembangkan dan meningkatkan

peluang untuk keterlibatan dan pencapaian

tujuan

• Mengurangi diskriminasi dan hambatan

lain terhadap kesempatan yang sama.

• Hapus hukuman dan kurangi persyaratan

perilaku.

Page 22: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 22

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

• Menghilangkan atau meminimalkan

hambatan dan bahaya lingkungan.

• Memberikan dukungan ekonomi untuk

mengurangi deprivasi yang terkait dengan

kemiskinan

Strategi ke empat berkaitan dengan

dukungan dan sumber daya, informasi dan

petunjuk, dukungan keluarga dan teman

sebaya, model dan mentor, penguatan positif.

Target yang harus dicapai berkaitan dengan

sumber daya yang tersedia dan dapat diakses,

kebijakan dan hukum yang mendukung, serta

penyesuaian dengan budaya. Hal tersebut bisa

dicapai dengan menerapkan taktik

• Memberikan informasi tentang isu dan

alternatif dan petunjuk untuk mengambil

tindakan.

• Perkuat dukungan keluarga dan teman

sebaya.

• Tingkatkan akses ke model dan mentor

yang positif.

• Tingkatkan penguatan positif untuk

tindakan konstruktif.

• Meningkatkan ketersediaan dan

aksesibilitas sumber daya dan peluang.

• Advokasi untuk perubahan kebijakan dan

hukum.

• Memperkuat atau meningkatkan aspek

positif dari budaya

4. PENUTUP

Penggunaan strategi pemberdayaan yang

disesuaikan dengan karakter individu,

kelompok dan budaya menyediakan pekerja

sosial dengan alat profesional yang digunakan

untuk mempromosikan keberhasilan program

pemberdayaan. Strategi yang sesuai juga

dapat menekankan pada kesesuaian program

dan penjangkauan masyarakat yang

diberdayakan, penyediaan aktivitas

pendukung yang terstruktur, dan keterkaitan

dengan sumber daya dan hak yang

memungkinkan masyarakat untuk

menciptakan komunitas di lingkungan yang

saling menguatkan. Diharapkan dengan

efektifnya program yang diberlakukan akan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat

yang dilibatkan dalam program

pemberdayaan khususnya atau umumnya

untuk kemajuan Negara Indonesia agar dapat

mengurangi kemiskinan dan meningkatkan

kesejahteraan.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, R. (2013). Intervensi Komunitas Dan

Pengembangan Masyarakat Sebagai

Upaya Pemberdayaan Masyarakat,

Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, Cet.

Ke-2

Allport, G. W. (1961). Pattern And Growth In

Personality.

Costa, P. T., & McCRAE, R. R. (1999). A five-

factor theory of personality. The Five-

Factor Model of Personality: Theoretical

Perspectives, 2, 51-87.

Fawcett, S. B., White, G. W., Balcazar, F. E.,

Suarez-Balcazar, Y., Mathews, R. M.,

Page 23: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 23

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

Paine-Andrews, A., & Smith, J. F. (1994).

A contextual‐behavioral model of

empowerment: Case studies involving

people with physical

disabilities. American Journal of

Community Psychology, 22(4), 471-496.

Fetterman, D. M., Kaftarian, S., & Wandersman,

A. (1996). Empowerment

Evaluation. Thousand Oaks.

Hong, Y. Y., Wan, C., No, S., & Chiu, C. Y. (2007).

Multicultural identities.

Iscoe, I. (1974). Community psychology and

the competent community. American

Psychologist, 29(8), 607.

Minkler, M. (1990). Improving health through

community organization.

Murray, H. A., & Kluckhohn, C. (1948). Outline

of a conception of personality.

Niode, S. A. (2007). Perubahan Nilai-Nilai

Budaya dan Pranata Sosial, Jakarta:

Pustaka Indonesia Press.

Rappaport, J., & Seidman, E. (Eds.).

(2000). Handbook of community

psychology. Springer Science & Business

Media.

Senior, P. A., & Bhopal, R. (1994). Ethnicity as

a variable in epidemiological

research. Bmj, 309(6950), 327-330.

Triandis, H. C. (1996). The psychological

measurement of cultural

syndromes. American

psychologist, 51(4), 407.

Vernon, P. E., & Allport, G. W. (1931). A test for

personal values. The Journal of

Abnormal and Social Psychology, 26(3),

231.

Zimmerman, M. A. (1995). Psychological

empowerment: Issues and

illustrations. American journal of

community psychology, 23(5), 581-599.

© 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and

conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license

(https://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0/).

Page 24: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 24

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

BUDAYA ORGANISASI UMKM KEDAI KOPI LOKAL NON-WARALABA SEBAGAI WUJUD KEWIRAUSAHAAN SOSIAL KAUM MILENIAL

Chindy Yoanita Subandrio1

1Sinergi Analyst (Independent Researcher) – Jakarta, Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstract

The increasing number of non-franchise local coffee shops is a good sign for the social entrepreneurship sector. Their endeavor in opening jobs opportunity and improving social welfare are highly respected. During the Covid-19 pandemic, various non-franchise local coffee shops tried to maintain their business sustainability. Knowing the organizational culture could be one of them. In this study, the Organizational culture of non-franchise local coffee shops has measured by the Organization Culture Inventory (OCI) instrument, which involved 43 millennial employees and three owners of seven MSMEs of local non-franchise coffee shops in Bandung, West Java. The results indicate that generally, non-franchise local coffee shops in Bandung has dominated by the Constructive dimension which consists of the following aspects: Humanistic/Encouraging = 82.3%; Affiliative = 83.5%; Achievement = 79.9% and Self-Actualizing = 75.1%. The statement indicates that the various non-franchise coffee shops support each employee to interact with each other, both among employees and the customers as well. In completing their tasks, they prioritize a mutual assistance approach that somehow could support employees' enthusiasm and self-actualization at work.

Keywords: Organizational Culture, MSME, Social Enterpreneurship

1. PENDAHULUAN

Setiap organisasi, baik itu perusahaan,

instansi atau bahkan komunitas selalu

memiliki kekhasan atau ciri yang

didelegasikan sejak awal organisasi tersebut

berdiri. Pada perjalanannya, berbagai nilai

(values) yang dijadikan pegangan (belief)

tersebut menjadi pedoman bagi

keberlangsungan operasionalisasi suatu

organisasi. Budaya organisasi dapat ditelaah

lewat logo, slogan/jargon dan kisah

(narratives story) mengenai sejarah dibalik

berdirinya organisasi atau perusahaan.

Sejarah yang telah ditorehkan oleh para

pendiri, akan dimanifestasikan sebagai akar

atau budaya yang akan dimunculkan melalui

perilaku para anggota atau pegawainya.

Melalui pengukuran nilai-nilai dalam budaya

organisasi, peneliti dapat melihat bagaimana

nilai-nilai suatu organisasi dapat diinter-

nalisasi oleh para anggota atau pegawainya.

Permasalahan mendasar dalam

mengukur atau mengidentifikasi nilai-nilai

budaya organisasi adalah sifatnya yang tidak

terlihat. Roger Harrison merupakan salah satu

tokoh pertama yang mengembangkan suatu

metode untuk mengidentifikasi budaya

organisasi. Pada tahun 1972, Harrison

mengembangkan instrumen yang dikenal

sebagai Harrison’s Organizational Ideologi

Questionnarie dimana instrumen ini

mengukur ideologi dari suatu organisasi

dalam hal orientasi terhadap powers, roles,

tasks, dan individuals. Kelebihan dari metode

ini adalah tingkat validitas yang baik dan

dapat menunjukan budaya organisasi yang

ada pada saat ini dan budaya organisasi yang

diinginkan. Sedangkan, kelemahannya adalah

masih terbatasnya jumlah tipe budaya yang

dapat teridentifikasi.

Selanjutnya, Kilmann & Saxton (1983)

mengembangkan metode pengukuran budaya

Page 25: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 25

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

organisasi berdasarkan dua orientasi kultural

yang umumnya berlaku dalam organisasi

(Kilmann Saxton Culture Gap Survey – KSCGS),

yaitu: (1) Orientasi Teknis dan Orientasi

Manusia, serta (2) Orientasi Jangka Pendek

dan Orientasi Jangka Panjang. Sehingga, dalam

alat ukur tersebut terdapat empat konfigurasi

kultural, yaitu: (a) Orientasi Teknis Jangka

Pendek – Task Support, (b) Orientasi Teknis

Jangka Panjang – Task Innovation, (c) Orientasi

Manusia Jangka Pendek – Social Relationships

dan (d) Orientasi Manusia Jangka Panjang –

Personal Freedom. Kelebihan dari instrumen

KSCGS adalah mampu memprediksi

kesenjangan budaya di dalam suatu

organisasi. Sedangkan kelemahan alat ukur

KSCGS adalah kurangnya domain kultural atau

aspek yang diukur sehingga terdapat

beberapa budaya organisasi yang seharusnya

dapat diukur secara independen justru

terukur secara terintegrasi.

Pada tahun 1987 Glazser, Zamanou, &

Hacker mengembangkan Organizational

Culture Survey yang mengukur 6 faktor

empiris yaitu teamworks and conflict, climate

and morale, information flow, involvement,

supervisions, dan meetings. Kelebihan dari

metode ini adalah mudah digunakan serta

memiliki proses pengembangan yang

komprehensif. Sedangkan kekurangan dari

metode ini adalah hanya membahas hal yang

terlihat dipermukaan saja.

Perekembangan selanjutnya ada tahun

1989, Cooke & Lafferty juga mengembangkan

metode untuk mengidentifikasi budaya

organisasi yang dikenal dengan

Organizational Culture Inventory (OCI). Alat

ukur ini dikembangkan sebagai tanggapan

terhadap permintaan akan metode

pengukuran budaya organisasi yang andal dan

valid, serta dapat membedakan organisasi

yang efektif dengan yang kurang efektif.

Dampak budaya dan kesenjangan antara profil

budaya saat ini dan yang ideal dapat

memberikan referensi untuk memperkuat

efektivitas dalam mengembangkan rencana-

rencana jangka panjang suatu organisasi. OCI

dapat digunakan untuk menilai baik budaya

operasi organisasi yang sudah terjadi (yaitu,

norma perilaku) dan budaya ideal dalam yang

diharapkan (yaitu, nilai-nilai yang dianut).

Hasil pengukuran budaya organisasi melalui

OCI ditampilkan pada suatu diagram lingkaran

yang dikenal sebagau circumplex, yang

digunakan untuk menggambarkan budaya

operasi ideal dan yang telah terjadi pada saat

ini.

Gambar 1. Diagram Circumplex OCI

OCI mendefinisikan budaya organisasi

sebagai sejumlah konsep moral yang

mencerminkan ekspektasi perilaku baik

secara langsung maupun tidak dengan

berbasis keilmuan (ilmiah). Pertanyaan utama

dari OCI adalah: "Bagaimana seorang pegawai

atau anggota organisasi harus berperilaku

memenuhi harapan dan mencocokan diri

dengan organisasi tempat mereka bernaung?"

Inti dari pendekatan ini adalah circumplex

yang menunjukkan ekspektasi perilaku dalam

dua belas kategori dengan cara yang mudah

dimengerti dan praktis (lihat gambar 1.

Diagram Circumplex OCI).

Circumplex menggambarkan ekspektasi

perilaku mana yang relatif tipikal bagi suatu

Page 26: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 26

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

perusahaan, dibandingkan dengan organisasi

lain. Melalui penggambaran tersebut, OCI

dapat digunakan sebagai alat evaluasi pola

pikir dan gaya manajemen serta budaya tim

dan perilaku layanan kepada pelanggan

(Cooke & Lafferty, 1989). Beberapa

kelebihannya adalah tingkat validitas yang

baik, digunakan oleh banyak ahli diseluruh

dunia hingga saat ini dan hasilnya ditampilkan

dalam ilustrasi grafis.

Budaya organisasi akan sangat

bergantung pada jenis industri. Sebagai

negara dengan jumlah penduduk terbanyak

keempat di dunia, industri makanan dan

minuman di Indonesia memegang salah satu

peranan penting dalam pertumbuhan

perekonomian. Industri makanan dan

minuman yang sedang banyak di minati

khususnya di Kota Bandung adalah kedai kopi

(coffee shop).

Banyaknya kedai kopi (coffee shop) yang

sedang berkembang di kota Bandung ada

dikarenakan perubahan pola hidup dari

masyarakat itu sendiri. Kedai kopi (coffee

shop) bukan lagi hanya berperan sebagai

tempat untuk memenuhi kebutuhan pangan

saja, akan tetapi juga berperan sebagai tempat

untuk memenuhi kebutuhan bersosialisasi

bahkan untuk bekerja. Pada masa pelonggaran

level PPKM, kedai kopi menjadi pilihan para

karyawan maupun mahasiswa untuk

menyelesaikan tugas secara daring.

Di kota Bandung sendiri sudah terdapat

banyak sekali kedai kopi yang berdiri dengan

kekhasan masing-masing. Ada dua jenis kedai

kopi yang marak di Bandung. Jenis pertama

adalah kedai kopi waralaba/kemitraan (chain

coffee shop/franchise) dan kedai kopi yang

dikelola secara mandiri atau non-waralaba

oleh wirausahawan lokal. Perbedaan secara

kasat mata yang dapat terlihat diantara kedua

jenis industri kopi tersebut adalah pada kedai

kopi kemitraan, ada ciri khusus yang membuat

atmosfer antara satu kedai dengan kedai lain

dalam satu kemitraan tampak serupa.

Sedangkan pada kedai kopi lokal, atmosfernya

sangat khas, menyesuaikan budaya masing-

masing kedai kopi.

Semangat dalam mendirikan usaha kedai

kopi lokal non-waralaba dengan mem-

berdayakan tenaga muda sebagai karyawan

merupakan perwujudan kewirausahaan sosial

atau yang lebih dikenal sebagai Socio-

preneurship. Berdasarkan nilai-nilai kearifan

lokal yang ada pada kedai kopi non-waralaba,

peneliti merasa tertarik untuk mengukur nilai

ideal dan aktual budaya organisasi pada kedai

kopi lokal non-waralaba di kota Bandung.

1.1. Budaya Organisasi dalam Perspektif

Organizational Culture Inventory

Budaya Organisasi merupakan suatu

topik penelitian yang menarik dikaji karena

nilai-nilai yang ada dalam budaya suatu

organisasi akan mempengaruhi dinamika

suatu organisasi. Dalam prakteknya,

internalisasi budaya organisasi pada anggota

organisasi atau pegawai akan terbagi menjadi

keadaan aktual (sebenarnya) dan keadaan

ideal (yang diharapkan). Untuk mengukur ada

atau tidaknya kesenjangan keadaan aktual

dengan ideal dan sejauh mana kesen-

jangannya, maka diperlukan adanya

penyusunan alat ukur Organizational-Culture

Inventory (OCI) yang sesuai dengan subyek

penelitian ini. Inti dari pendekatan ini adalah

diagram lingkaran yang menunjukkan

ekspektasi perilaku dalam dua belas kategori

dengan cara yang mudah dimengerti dan

dapat dipraktekkan (Cooke&Lafferty, 1983).

Respons individu terhadap pengukuran

Organizational-Culture Inventory (OCI)

dikumpulkan ke tingkat organisasi yang

kemudian diplot pada sirkumpleks (lihat

gambar 1. Diagram Circumplex OCI). Gaya

budaya yang terletak bersebelahan pada

sirkumplex (mis. Achievement dan Self-

Page 27: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 27

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

actualization) memiliki keterkaitan yang lebih

erat daripada tipikal budaya yang terletak

terpisah (mis. Achievement dan Conventional).

Berikut deskripsi dari komponen pembentuk

circumplex Organizational-Culture Inventory

(Cooke&Lafferty, 1983):

• Constructive Style

Pada dimensi ini, setiap anggota

didukung untuk berinteraksi dengan orang

lain dan melakukan pendekatan

penyelesaian tugas yang akan membantu

mereka memenuhi kebutuhan kepuasan

individu Dimensi ini mengukur aspek

Pencapaian (Achievement), Aktualisasi diri

(Self-Actualization), Kontribusi aktif

(Humanistic-encouraging), serta Hubungan

Interpersonal (Affiliative).

• Passive/Defensive Style

Anggota percaya mereka harus

berinteraksi dengan orang-orang dengan

cara-cara defensif sehingga tidak akan

mengancam keberadaan mereka sendiri.

Gaya budaya ini meliputi, budaya approval

yang identik dengan persetujuan atau

menghindari konflik, budaya konvensional

(conventional), budaya hirarkis/non-

partisipatif (dependant), dan budaya sanksi

ketat (avoidance).

• Aggressive/Defensive Style

Pada kompenen ini, anggota

diharapkan untuk melakukan tugas-tugas

dengan komitmen yang kuat (termasuk

didalamnya budaya berlakunya

Konfrontasi & Negativisme (oppositional),

orientasi pada kekuasaan (power), budaya

saling mengalahkan (competitive), dan

perfeksionisme (perfeksionisme).

1.2. Kedai Kopi Lokal Non-Waralaba Sebagi

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

(UMKM)

Kriteria UMKM menurut UU Nomor 20

Tahun 2008, yaitu:

• Usaha Mikro: Suatu usaha dapat dikatakan

sebagai usaha mikro jika usaha tersebut

memiliki kekayaan bersih (aset) paling

tinggi 50 juta dan omset paling banyak 300

juta. Aset yang diperhitungkan tidak

termasuk tanah dan bangunan tempat

usaha.

• Usaha kecil: Merupakan kelompok usaha

dengan kekayaan bersih setidaknya 50 juta

hingga 500 juta serta memiliki nilai

penjualan setidaknya 300 juta rupiah

hingga 2.5 miliar. Sama halnya dengan

usaha mikro, aset yang diperhitungkan

tidak termasuk tanah dan bangunan

tempat usaha.

• Usaha menengah: Merupakan kelompok

usaha dengan aset mulai 500 juta sampai

10 miliar, serta penjualan 2.5 miliar sampai

dengan 50 miliar. Sama dengan kelompok

usaha lainnya, aset yang diperhitungkan

tidak termasuk tanah dan bangunan.

Kedai kopi lokal non-waralaba dikelola

secara mandiri oleh perseorangan atau

kelompok yang memiliki ketertarikan pada

kopi lokal Indonesia bukan berasal dari

corporate perusahaan besar.

1.3. Kewirausahaan Sosial (Sociopreneur).

Pengertian sederhana dari social

entrepreneur adalah seseorang yang mengerti

permasalahan sosial dan menggunakan

kemampuan wirausaha untuk melakukan

perubahan melakukan perubahan sosial

(social change), terutama meliputi bidang

kesejahteraan (welfare), pendidikan dan

kesehatan (healthcare) (Cukier, 2011).

Definisi lebih lanjut disampaikan oleh

Palesangi (2013) bahwa social

enterpreneurship terdiri dari empat elemen

utama, yaitu social value, civil society,

innovation, and economic activity

• Social Value. Ini merupakan elemen paling

khas dari social entrepreneurship yakni

Page 28: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 28

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

menciptakan manfaat sosial yang nyata

bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.

• Civil Society. Social entrepreneurship pada

umumnya berasal dari inisiatif dan

partisipasi masyarakat sipil dengan

mengoptimalkan modal sosial yang ada di

masyarakat.

• Innovation. Social entrepreneurship

memecahkan masalah sosial dengan cara-

cara inovatif antara lain dengan

memadukan kearifan lokal dan inovasi

sosial.

• Economic Activity. Social entrepreneurship

yang berhasil pada umumnya mampu

menyeimbangkan antara aktivitas sosial

dan aktivitas bisnis. Aktivitas

bisnis/ekonomi dikembangkan untuk

menjamin kemandirian dan keberlanjutan

misi organisasi.

2. METODE PENELITIAN

2.1. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan

kuantitatif dengan desain penelitian

deskriptif.

2.2. Variabel Penelitian

Penelitian ini mengkaji variabel norma

ideal dan aktual pada pegawai kedai kopi

lokal non-waralaba di kota Bandung

berdasarkan alat ukur Organizational Culture

Inventory (OCI) yang dipaparkan secara

deskriptif berdasarkan 3 dimensi dan 12 sub-

dimensi yang terdapat didalamnya yaitu

Constructive Cultures Style sebagai dimensi

pertama yang terdiri 4 sub-dimensi yakni

Achievement, Self-actualization, Human

Encouraging dan Affiliative; dimensi kedua

adalah Passive/Deffensive Style yang terdiri

dari 4 sub-dimensi antara lain, Approval,

Conventional, Dependent dan Avoidance; dan

dimensi ketiga adalah Aggressive/Defensive

Style yang terdiri dari 4 sub-dimensi yaitu,

Oppositional, Power, Competitive dan

Perfectionistic.

2.3. Subjek Penelitian

2.3.1. Populasi

Menurut Riadi, (2016:33) populasi adalah

sebuah wilayah atau tempat objek atau subjek

yang diteliti, seperti orang, benda, kejadian,

nilai maupun hal-hal lain yang memiliki

kuantitas dan karakteristik tertentu untuk

mendapatkan sebuah informasi. Populasi

dalam penelitian ini adalah pegawai dan

pemilik kedai kopi lokal di kota Bandung.

2.3.2. Sampel

Menurut Sugiyono (2016) sampel adalah

bagian dari jumlah dan karakteristik yang

dimiliki oleh populasi. Metode sampling dalam

penelitian ini adalah teknik sampling yang

digunakan yaitu non-probability sampling

dengan teknik accidental/incidental sampling.

Sugiyono (2016) mendefinisikan

accidental/incidental sampling sebagai teknik

penentuan sampel berdasarkan kebetulan

yaitu siapa saja yang secara kebetulan

bertemu dengan peneliti dan dapat digunakan

sebagai sampel bila dipandang orang yang

kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber

data.

Pengambilan data dilakukan peneliti pada

43 pegawai dan 3 pemilik dari tujuh kedai kopi

lokal di kota Bandung yang menjadi tempat

pengamatan peneliti selama 1 minggu, yaitu:

Kedai Kopi X1, Kedai Kopi X2, Kedai Kopi X3,

Kedai Kopi X4, Kedai Kopi X4 dan Kedai Kopi

X5. Peneliti menentukan pegawai yang dapat

mengisi form kuesioner adalah yang berposisi

sebagai Barista, Pramusaji (Waitress), Juru

Masak (Chef), Kasir serta Manajer atau

Supervisor kedai.

Page 29: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 29

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

2.4. Metode dan Instrumen Pengumpul

Data

Norma Ideal dan Aktual pada Budaya

Organisasi Kedai Kopi di kota Bandung ini,

diukur melalui instrumen Organizational

Culture Inventory (OCI) oleh (Cooke & Lafferty,

1989). Instrumen ini disajikan kepada

responden secara berpasangan (Ideal dan

Aktual) yang terdiri 96 item pada 3 dimensi

yaitu: (1) Constructive Cultures (terdiri dari 32

item yang terbagi dalam 4 sub-dimensi

Achievement, Self-actualization, Human

Encouraging dan Affiliative); (2)

Passive/Deffensive (terdiri dari 32 item yang

terbagi dalam 4 sub-dimensi Approval,

Conventional, Dependent dan Avoidance); (3)

Aggressive/Defensive (terdiri dari 32 item

yang terbagi dalam 4 sub-dimensi

Oppositional, Power, Competitive dan

Perfectionistic.

Skala pengukuran butir pernyataan yang

digunakan dalam instrumen ini, baik untuk

mengukur Current culture maupun Ideal

culture adalah five-points likert scale. Skala

bagi pengukuran Current culture, dimulai dari

1 yang merujuk pada “sama sekali tidak

diterapkan” hingga 5 yang merujuk pada

“sangat diterapkan”. Demikian pula bagi skala

pengukuran ideal culture dimulai dari 1 yang

merujuk pada “sama sekali tidak berharap

untuk diterapkan” hingga 5 yang merujuk

pada “sangat berharap untuk diterapkan”.

2.5. Mengomparasikan Nilai Current

Culture dan Ideal Culture

Kesenjangan antara skor pengukuran

current culture dan ideal culture dapat

mengikuti pedoman berikut (Cooke & Lafferty,

1989):

1. Nilai percentil current culture yang

diperoleh, kemudian dikurangi dengan

nilai ideal culture.

2. Semakin besar jarak atau nilai yang

dihasilkan dari pengurangan nilai current

culture dengan nilai ideal culture (dapat

bersifat – atau +), mengidikasikan adanya

kesenjangan kultur. Antara kultur yang

senyatanya dan kultur yang diharapkan.

3. Nilai negatif (-) mengindikasikan bahwa

rata-rata orang yang mengisi survey

mengharapkan adanya upaya untuk

peningkatan current culture sehingga

dapat mencapai ideal cuture. Sebaliknya,

Nilai positif (+) mengindikasikan bahwa

rata-rata orang yang mengisi survey

mengharapkan adanya upaya untuk

menurunkan current culture sehingga

dapat mencapai ideal cuture

4. Penting untuk diingat bahwa ideal culture

merupakan tolok ukur yang dijadikan

acuan apakah kultur saat ini perlu

ditingkatkan atau diturunkan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel dibawah ini menunjukkan

gambaran umum mengenai data demografi

responden: Tabel.1 Data Demografi Partisipan (n=46)

Kategori Jumlah

Jenis Kelamin

Laki-laki 39 orang

Perempuan 7 orang

Usia (dalam tahun)

21-25 30 orang

26-30 13 orang

31-35 2 orang

36-40 1 orang

Tingkat Pendidikan

SMA/SMK 30 orang

Diploma 2 orang

S1 11 orang

S2 1 orang

Lain-lain 2 orang

Posisi/Jabatan

Pemilik

Barista

3 orang

26 orang

Page 30: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 30

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

Kategori Jumlah

Waitress 4 orang

Chef 2 orang

Kasir 4 orang

Manager/Supervisor 7 orang

Masa Kerja (dalam tahun)

<1 16 orang

1 – 3 19 orang

4 – 6 11 orang

Berdasarkan data demografi sampel

penelitian, seluruh pegawai dan pemilik kedai

kopi lokal non-waralaba yang menjadi subjek

penelitian ini merupakan generasi milenial.

Penggolongan generasi Y atau Millennial

Generation terbentuk bagi mereka yang lahir

pada 1980 - 1990, atau pada awal 2000.

Hasil analisis kondisi aktual (current

culture) yang dirasakan oleh pegawai kedai

kopi lokal di kota Bandung (lihat Grafik 1.

Circumplex Curent Culture) menunjukkan

analisis current culture yaitu kondisi yang

senyatanya tengah dirasakan oleh para

pegawai dalam bentuk circumplex.

Hasil pada circumplex berupa persentase

ditampilkan pada tabel 2 yang menunjukkan

bahwa secara umum, dimensi Constructive

menempati posisi puncak dengan Affiliative

(77.6%) sebagai sub-dimensi yang tertinggi

dan sub-dimensi Self-actualizing (71.8%) yang

terendah. Hal ini mengindikasikan bahwa

sekitar 35 pegawai kedai kopi lokal sepakat

bahwa mereka senang bekerja sama, bersikap

bijaksana, memikirkan kepuasan kelompok,

memotivasi rekan kerja, serta bersikap

terbuka dan hangat (sub-dimensi Affiliative).

Sedangkan posisi terendah ada pada

dimensi Aggresive Style, dimana persentase

yang nilainya paling kecil ada pada dimensi

Power (37.5%). Hal ini menunjukkan bahwa

hanya sekitar 16 pegawai yang menganggap

bahwa mereka suka memaksa, menyerang,

memanfaatkan kekuasaan, tidak suka

dipertanyakan, bersikap keras, lebih memilih

melakukan segala hal sendiri dan memainkan

politik di tempat kerja agar memiliki

kekuasaan.

Grafik 1. Circumplex Current Culture

Tabel.2 Hasil Analisis Current Culture dalam Persentase

Style Persentase

Humanistic / Encouraging 75,4%

Affiliative 77,6%

Achievement 73,6%

Self-Actualizing 71,8%

Approval 68,5%

Conventional 64,6%

Dependent 63,4%

Avoidance 46,6%

Oppositional 49,8%

Power 37,5%

Competitive 49,8%

Perfectionistic 61,6%

Hasil analisis kondisi ideal (ideal culture)

sebagaimana yang ditampilkan pada Grafik. 2

dan Tabel 3, menunjukkan bahwa secara

umum, dimensi Constructive mendominasi

harapan para pegawai, dimana primary ideal

culture ada pada sub-dimensi Affiliative

Page 31: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 31

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

(83.5%) dan secondary Ideal culture ada pada

sub-dimensi Humanistic Encouraging (82.3%).

Hal ini mengindikasikan bahwa selain

mengharapkan adanya peningkatan pada sub-

dimensi Affiliative, para pekerja di kedai kopi

juga memiliki harapan untuk dapat lebih

menunjukkan kepedulian terhadap kebutuhan

rekan kerja, melibatkan rekan kerja dalam

pengambilan keputusan, mendorong dan

menyemangati rekan kerja, memberikan

apresiasi positif dan belajar menyelesaikan

konflik dengan cara yang konstruktif.

Gambar 2. Circumplex Ideal Culture

Tabel.2 Hasil Analisis Ideal Culture dalam Persentase

Style Persentase

Humanistic / Encouraging 82,3%

Affiliative 83,5%

Achievement 79,9%

Self-Actualizing 75,1%

Approval 70,8%

Conventional 66,3%

Dependent 63,7%

Avoidance 44,4%

Oppositional 49,3%

Power 35,7%

Style Persentase

Competitive 51,1%

Perfectionistic 65,1%

Lebih lanjut, kesenjangan antara kondisi

aktual (current culture) dan kondisi ideal

(ideal culture) yang diekspektasikan dapat

dilihat pada diagram berikut:

Grafik 3. Circumplex of Current and Ideal Culture Gap

Tabel 4. Analisis Kesenjangan Actual dan Ideal Culture.

Style Current Ideal Gap

Humanistic / Encouraging

75,4% 82,3% -6.9 %

Affiliative 77,6% 83,5% -5.9 %

Achievement 73,6% 79,9% -6.3 %

Self-Actualizing 71,8% 75,1% -3.3 %

Approval 68,5% 70,8% -2.3 %

Conventional 64,6% 66,3% -1.7 %

Dependent 63,4% 63,7% -0.3 %

Avoidance 46,6% 44,4% 2.2 %

Oppositional 49,8% 49,3% 0.5 %

Power 37,5% 35,7% 1.8 %

Competitive 49,8% 51,1% -1.3 %

Perfectionistic 61,6% 65,1% -3.5 %

Page 32: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 32

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

Pada Grafik 3 terlihat kesenjangan (gap)

antara Ideal dan Current culture. Tabel 4

menampilkan informasi mengenai

kesenjangan antara primary dan secondary

gap dalam bentuk persentase. Kesenjangan

paling besar (primary gap) dalam penelitian

ini ada pada dimensi Constructive, sub-

dimensi Humanistic-encouraging (-6.93%)

yang artinya dengan tanda (-) sub-dimensi ini

diharapkan dapat ditingkatkan atau dinaikkan

intensitasnya. Kemudian, kesenjangan kedua

(secondary gap) ada pada sub-dimensi

Achievement (-6.31%) yang memiliki arti

bahwa para pegawai kedai kopi lokal di kota

Bandung berekspektasi mereka dapat berpikir

lebih maju dan terencana, tertantang untuk

membuat target yang lebih sulit, mengejar

standar yang luar biasa (excellence), lebih

berani mengambil resiko, mengeksplorasi,

dan bekerja untuk mencapai keberhasilan.

Sedangkan kesenjangan yang sangat kecil

besarannya ada pada sub-dimensi Dependant

(-) (0.24%) dan Oppositional (0.51%). Hal ini

dapat dimaknai bahwa secara umum, dengan

kesenjangan nilai aspek Dependent yang

sangat kecil, para pegawai kopi lokal non-

waralaba tidak memiliki kecenderungan

untuk tidak berinisiatif, justru sebaliknya

mereka adaptif, spontan, serta fleksibel dalam

pengambilan keputusan.

Sedangkan kesenjangan nilai aspek

Oppositional yang terendah kedua setelah

aspek Dependant menunjukkan bahwa para

subjek penelitian sangat meminimalisir

konflik dalam bekerja, saling mendukung ide-

ide membangun dari rekan kerja, serta

berinteraksi secara positif.

4. KESIMPULAN

Organizational-Culture Inventory (Cooke &

Lafferty, 1983) adalah instrumen yang

dirancang untuk mengukur keyakinan

normatif dan harapan (ekspektasi) perilaku

berkenaan dengan budaya yang ada di dalam

suatu organisasi. Keyakinan normatif adalah

kognisi yang dimiliki oleh seorang individu

mengenai harapan orang lain atas perilakunya

sebagai anggota kelompok atau organisasi

tertentu (Fishbein & Ajzen, 1975). Sedangkan

perilaku yang diharapkan (diekspektasikan)

merupakan sekumpulan keyakinan normatif

yang ada pada anggota dan sedang

berlangsung di dalam suatu organisasi

(Homans, 1950; Mills, 1967). Sama halnya

dengan perilaku yang diharapkan

(diekspektasikan), standard atau norma yang

berlaku akan menjadi petunjuk spesifik bagi

para anggota dalam bekerja dan beinteraksi

antar satu sama lain.

Berbagai rekomendasi dan aturan

terhadap perilaku tersebut, pada umumnya

dipandang sebagai komponan-komponen

penting berupa budaya (culture) yang telah

terbentuk dan direfleksikan oleh para anggota

organisasi (Homans, 1950; Siehl & Martin,

1984; Schein, 1985; O’ReiIy, 1989).

Kontribusi pertama yang dipresentasikan

dalam penelitian ini adalah untuk

menunjukkan kesenjangan norma Aktual

(current culture) dan Ideal (Ideal culture) pada

pegawai kedai kopi lokal di Bandung. Hasil

penelitian ini mengindikasikan bahwa

menurut analisis budaya organisasi pada

kedai kopi lokal Bandung berdasarkan

instrumen Organizational Culture Inventory

(OCI), secara umum didominasi oleh dimensi

Constructive. Organisasi dengan kekuatan

pada dimensi ini mendukung setiap anggota

untuk berinteraksi dengan sesama rekan kerja

dan orang lain dalam rangka menyelesaikan

pekerjaan dengan cara saling membantu demi

memenuhi tujuan dan kepuasan bersama.

Pada instrumen ini, dapat dipetakan

kesenjangan terbesar (primary gap) dan

kesenjangan kedua tertinggi (secondary gap).

Dari hasil analisis statistik deskriptif

Page 33: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 33

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

didapatkan bahwa primary gap ada pada sub-

dimensi Humanistic-encouraging yang

mengindikasikan bahwa para pegawai

diharapkan dapat tetap mempertahankan

bahkan lebih menunjukkan kepedulian

terhadap kebutuhan rekan kerja, membantu

rekan kerja untuk bertumbuh dan

berkembang, menyelesaikan konflik dengan

cara yang konstruktif dan meberikan apresiasi

positif kepada rekan kerja.

Tingginya persentasi pada sub-dimensi

Humanistic-encouraging (Aktual: 75.4%,

Ideal: 82.3%) menunjukkan bahwa kedai kopi

lokal di Bandung merupakan tipe organisasi

yang dikelola secara partisipatif dan berpusat

pada kemanusiaan. Anggota diharapkan saling

mendukung, konstruktif, dan terbuka serta

saling mempengaruhi dalam menjalin

hubungan satu sama lain. Budaya Humanistik

mengarah pada kinerja organisasi yang efektif

dengan memfasilitasi perkembangan individu

dan keterlibatan aktif anggota yang pada

gilirannya dapat menghasilkan kepuasan dan

komitmen yang tinggi terhadap organisasi.

Kesenjangan kedua (secondary gap) ada

pada sub-dimensi Achievement (-6.31%) yang

memiliki arti para pegawai kedai kopi lokal di

kota Bandung berekspektasi mereka dapat

berpikir lebih maju dan terencana, tertantang

untuk membuat target yang lebih sulit,

mengejar standar yang luar biasa, lebih berani

mengambil resiko, mengeksplorasi, dan

bekerja untuk mencapai keberhasilan.

Tingginya persentasi pada sub-dimensi

Achievement (Aktual: 73.6%, Ideal: 79.9%)

mengindikasikan bahwa kedai kopi lokal di

Bandung juga memiliki ciri organisasi yang

dapat melaksanakan hal-hal dengan baik dan

menghargai para pegawai, sehingga mampu

menetapkan dan mencapai tujuan mereka

sendiri.

Anggota organisasi (dalam hal ini para

pegawai kedai kopi) menetapkan tujuan yang

menantang namun tetap realistis, mereka

mengembangkan rencana untuk mencapai

tujuan, dan mengejar tujuan tersebut dengan

antusias. Pencapaian tujuan organisasi diraih

dengan efektif; masalah-masalah diselesaikan

dengan tepat, klien dan pelanggan dilayani

dengan baik, serta orientasi anggota dan

organisasi itu sendiri tergolong dalam kondisi

yang sehat.

Dengan demikian, budaya organisasi pada

kedai kopi lokal non-waralaba didominasi

aspek Constructive Style, yaitu setiap anggota

didukung untuk berinteraksi dengan orang

lain dan melakukan pendekatan penyelesaian

tugas yang akan membantu mereka dalam

memenuhi kepuasan kerja.

Mereka berani menentukan target yang

terukur, menciptakan ruang komunikasi yang

terbuka, dapat melayani pelanggan dengan

baik serta mendapatkan kesenangan dari

pekerjaan, yang menuntun mereka kepada

loyalitas dan komitmen kerja. Tentunya hal ini

sejalan dengan semangat Sociopreneur dan

menjadi salah satu faktor pendukung yang

membuat mereka mampu bertahan melewati

masa-masa pandemi dimana banyak UMKM

yang terpuruk.

Ksenjangan terkecil pada aspek

Aggresive/Defensive menunjukkan bahwa

budaya organisasi kedai kopi lokal non-

waralaba sangat jauh dari budaya Oposisi,

Kekuasaan, Kompetitif, dan Perfeksionistik.

Artinya, baik pemilik maupun pegawai sangat

menjaga konfrontasi, tidak ingin saling

mengendalikan/menguasai, serta tidak

mendukung budaya kompetisi antar sesama

dan memberikan ruang bagi para pekerja

untuk saling belajar dan mentolerir kesalahan.

Berbagai kesenjangan nilai (gap) yang telah

dipaparkan melalui data-data penelitian dapat

membantu para pelaku usaha kedai kopi lokal

non-waralaba untuk kembali mengevaluasi

kegiatan operasional mereka. Menilik kembali

Page 34: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 34

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

bahwa UMKM kedai kopi lokal non-waralaba

lebih banyak menyerap tenaga kerja dari

berbagai lulusan SMK/SMA maka perlu

diperhatikan keberlangsungan bisnisnya. Hal-

hal yang perlu ditingkatkan antara lain

mendorong para karyawan untuk leih

berkontribusi terhadap pengembangan

layanan, mendukung karyawan untuk lebih

berani meraih target-target yang belum

tercapai, lebih berani mengambil kesempatan

dan lebih berinisiatif dalam mengambil

tindakan, bersikap lebih keras dan tangguh

serta mendukung budaya kerja yang lebih

independen.

Setiap instansi, lembaga, perusahaan atau

unit usaha akan memiliki budaya organisasi

tersendiri. Inti dari pengukuran ini adalah

meminimalisir kesenjangan khususnya pda

aspek Constructive Style, Passive/Devensife

Style serta Aggressive/Defensive Style agar

setiap organisasi dapat memiliki budaya yang

ideal serta lebih berimbang.

5. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, saran

yang dapat peneliti sampaikan kepada kedai

kopi lokal Bandung adalah agar

mempertahankan serta meningkatkan

budaya organisasi Humanistic-encouraging

dan Achievement agar dapat menciptakan

lingkungan kerja yang semakin kondusif bagi

para pegawai. Akan lebih baik jika setiap kedai

kopi dapat membuat program-program yang

dapat menstimuli kreatifitas dan dapat

menciptakan suasana kerja yang membuat

pegawai merasa tertantang untuk lebih berani

mengeksplorasi kemampuannya sehingga

mereka dapat meraih standar yang luar biasa.

Sedangkan saran bagi penelitian lanjutan

serupa peneliti menyarankan agar dapat

melakukan studi komparasi Budaya

Organisasi antara pegawai kedai UMKM kopi

lokal non-waralaba (non-franchise) dengan

kedai kopi kemitraan (franchise). Selain itu,

dapat dipertimbangkan juga penelitian pada

industri yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Cooke, R. A., Lafferty, J. C. (2007).

Organizational Culture Inventory®

Detailed Explanation for Fikri, A. Human

Synergistics/Center for Applied Research,

Inc.

Chatman, J. A., Jehn, K. A. (1994). Assessing

The Relationship Between Industry

Characteristics And Organizational

Culture: How Different Can You Be?

Academy of Management Journal, Vol, 37,

No, 3, 522-553.

Genetzky-Haugen, M. S. (2010). Determining

the Relationship and Influence

Organizational Culture has on

Organizational Trust. Lincoln: University

of Nebraska; Theses, Dissertations, &

Student Scholarship: Agricultural

Leadership, Education & Communication

Department.

Natalia (2017). Perbandingan Coffeeshop

Noah Barn dan SF Roastery Berdasarkan

Store Atmosphere, Service Quality, Coffee

Quality dan Niat Beli Ulang. Bandung:

Universitas Parahyangan.

Palesangi, M. (2012), Pemuda Indonesia dan

Kewirausahaan Sosial, Prosiding Seminar

Nasional Competitive Advantage,

Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum.

Riadi, Edi (2016). Statistik Penelitian (Analisis

Manual dan IBM SPSS). Yogyakarta: Andi.

Schein, Edgar H (2004). Organizational Culture

and Leadership. San Fransisco: Jossey-

Bass a Woley Imprint.

Page 35: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 35

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

Schein, Edgar H (2009). The Corporate Culture

Survival Guide. San Fransisco: Jossey-Bass

a Woley Imprint.

Schneider, Benjamin., Barbera, K.M (2014) The

Oxford Handbook of Organizational

Climate And Culture. Oxford Library of

Psychology. New York: Oxford University

Press.

Sugiyono (2016). Metode Penelitian

Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

© 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license

(https://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0/).

Page 36: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 36

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

PERILAKU KEKERASAN DALAM BERPACARAN PADA MAHASISWA DI UNIVERSITAS

SUMATERA UTARA

Rizky Aulia Khair1*, Agus Suriadi 1

1 Prodi Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara,

Medan, Indonesia

E-mail: [email protected]; [email protected]

Abstract

Conceptually, violence that occurs in the whole world with a various form is an indication of power-abuse, gender inequality and domination. Dating-Violence is an act of violence that against a partner, whether physical, sexual or psychological, that are committed before marriage. Nowadays, it is a problem that is quite prominent in the world community.The objectives of this research to obtain a more specific pictures of a dating-violence behaviour.The method of this research used a descriptive-method using a qualitative approach. Descriptive research was conducted with the objectives of picturing or describing the object or phenomenon to be studied. The technique of this research was conducted using snowball sampling techniques.The samples in this research were Sekretaris Jenderal Pemerintahan Mahasiswa (PEMA). The student who experienced dating-violence at the Faculty of Social and Political Sciences, University of South Sumatera was the main sample of this research and another student, was her close-friend and families of students experiencing dating-violence. The data collection techniques using literature study, observation, and interviews. The data obtained and analysed by the researchers in order to found any new facts with a qualitative approach. The results of this research indicated that dating was no longer a matter of love and affection but rather someone tends to think that dating as a form of ownership not an exploratory process to get to know each other before stepping into a more serious step, namely marriage. Because of the opinion, it made a person committed violence to defend what was his/her own. The dating-violence were caused by several things, for examples: jealousy, infidelity, not obeying their couples’ orders. The were two kinds of violence experienced in dating: verbal violence which is a psychological violence and non-verbal violence which is physical violence. Keywords: Dating-Violence, College Students, Women.

1. PENDAHULUAN

Pada masa saat mulai menjadi dewasa

terutama di kalangan mahasiswa, baik

perempuan dan laki-laki pasti sangat

mengenal apa itu berpacaran atau menjalin

hubungan. Pacaran merupakan suatu

hubungan yang terjalin antara seorang laki-

laki dan perempuan akibat adanya

ketertarikan baik secara fisik maupun nonfisik

yang dibangun diatas komitmen di antara

keduanya (Safitri, 2013). Berpacaran selalu

dihadapkan pada situasi yang menuntut harus

mampu menyesuaikan diri bukan hanya

terhadap dirinya sendiri tetapi juga

pasangannya.

Pacaran memiliki dua dampak yaitu

dampak positif dan negatif. Dampak positif

dari pacaran adalah sebagai proses belajar

untuk menjalin kebersamaan dan menjadi

salah satu sarana dalam menyeleksi dan

menemukan pasangan hidup (Santrock,

2003). Sementara, untuk dampak negatif yang

terjadi seperti pemerkosaan, kehamilan diluar

pernikahan dan kekerasan dalam pacaran.

Untuk kekerasan sendiri, tidak jarang

hubungan berpacaran diwarnai dengan kasus

kekerasan terutama dilakukan oleh laki-laki.

Tetapi, masih banyak masyarakat yang tidak

tahu adanya kekerasan dalam berpacaran,

karena kurangnya informasi dan data dari

Page 37: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 37

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

laporan korban mengenai kekerasan dalam

pacaran tersebut. Selain dampak fisik, pacaran

bisa mengakibatkan perasaan trauma dalam

menjalin hubungan.

Kekerasan dalam pacaran (KDP)

merupakan tindak kekerasan yang dilakukan

dalam hubungan pacaran yang dampaknya

dapat menimbulkan luka fisik maupun

psikologis atau bisa disebut kekerasan verbal

dan nonverbal. Kekerasan verbal adalah

kekerasan yang dilakukan secara lisan atau

melalui kata-kata kasar yang bisa

menyakitkan hati. Sedangkan nonverbal

adalah tidak dengan kata-kata tetapi fisik,

ekspresi wajah, intonasi suara, dan kecepatan

berbicara.

Kekerasan dalam pacaran banyak terjadi

pada perempuan ini sering diakibatkan

adanya ketimpangan antara laki-laki dan

perempuan yang dianut oleh masyarakat luas

pada umumnya. Perempuan menurut

pendapat laki-laki biasanya dianggap sebagai

makhluk yang lemah, penurut, pasif, sehingga

menjadi alasan utama terjadinya perlakuan

yang semena-mena. Kekerasan dalam pacaran

semakin kerap terjadi belakangan ini. Peranan

lingkungan social seperti keluarga dan teman

memainkan peranan penting dalam mencegah

tindak kekerasan dalam berpacaran.

Penelitian Wall (2009) (dalam Mardiah,

dkk 2017:30) menjelaskan bahwa kedekatan

orangtua memiliki pengaruh yang sangat

penting. Pemantauan orangtua muncul

sebagai faktor pelindung untuk mengurangi

korban dan agresi relasional kekerasan dalam

pacaran. Namun dalam penelitian Richards,

Branch, dan Ray (2014) (dalam Mardiah, dkk

2017:30), telah dibuktikan bahwa dukungan

teman sebaya berhubungan erat dan

berpengaruh lebih besar untuk menurunkan

tingkat kekerasan dalam pacaran

dibandingkan dengan dukungan dari

orangtua. Kekerasan dalam pacaran dapat

disebabkan karena minimnya pengetahuan

tentang pacaran sehingga banyak dari mereka

mempunyai pemahaman yang salah. Remaja

seringkali menganggap pacaran itu sebagai

konsep saling memiliki antara satu sama lain

dalam berbagai aspek kehidupan (Hadi, 2002).

Terjadinya kekerasan dalam pacaran

disebabkan oleh beberapa hal, seperti budaya

partiarkhi atau menempatkan laki-laki pada

posisi yang lebih unggul dari perempuan. Hasil

penelitian lain menyebutkan bahwa

penggunaan alkohol juga bisa menyebabkan

terjadinya kekerasan dalam pacaran (Wilson,

2014). Faktor lain yang mempengaruhi

Kekerasan dalam pacaran (KDP) adalah faktor

kepribadian, interpersonal, serta kebiasaan

dari keluarganya.

Kekerasan fisik dalam pacaran

merupakan salah satu bentuk pelanggaran

terhadap hak asasi manusia. Dalam Undang

Undang Dasar Tahun 1945 pasal 28 ayat (1)

dan ayat (2). Kekerasan dalam pacaran

memberikan dampak kepada perempuan

terutama secara psikologis biasanya korban

merasa sangat marah, jengkel, merasa

bersalah, malu dan terhina. Dampak jangka

Panjang berupa sikap atau persepsi yang

negatif terhadap diri sendiri maupun terhadap

laki-laki.

Berdasarkan hal-hal diatas peneliti

tertarik untuk mengangkat penelitian ini

adanya kekerasan dalam berpacaran ini

terjadi pada orang-orang terdekat di

lingkungan kampusnya. Dan melihat dari data

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak (KPPPA) yang

bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik

(BPS) di media online bahwa semakin

meningkatnya kekerasan di Indonesia.

Tujuan penelitian ini adalah untuk

menggambarkan terjadinya perilaku

kekerasan dalam berpacaran di kalangan

Page 38: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 38

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

mahasiswa Universitas Sumatera Utara

terutama perempuan.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini tergolong penelitian

deskriptif dengan menggunakan pendekatan

kualitatif. Lokasi penelitian ini dilakukan di

Universitas Sumatera Utara Kecamatan Medan

Baru Kota Medan. Informan utama dalam

penelitian ini adalah para korban kekerasan

dalam berpacaran. Informan tambahan dalam

penelitian ini adalah teman dan keluarga.

Metode pengumpulan data yang digunakan

melalui wawancara, observasi, dokumentasi,

dan studi kepustakaan. Analisis data

penelitian ini menggunakan metode kualitatif.

3. HASIL

Melalui hasil penelitian yang telah

dilakukan oleh peneliti dilapangan yaitu

dengan melakukan Teknik wawancara

mendalam, observasi, catatan lapangan, dan

dokumentasi keadaan informan. Peneliti

berhasil mengumpulkan data dan informasi

mengenai “Perilaku kekerasan dalam

berpacaran pada mahasiswa di Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera

Utara”. Pengumpulan data dilakukan melalui

beberapa tahapan yaitu:

a. Melakukan pengamatan pada mahasiswa

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara.

b. Melakukan wawancara mendalam

dengan informan dalam proses

penelitian. Informan yang digunakan

dalam penelitian ini terdiri dari:

• Informan utama, yaitu: mahahasiswa

korban perilaku kekerasan dalam

berpacaran di Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera

Utara.

• Informan kunci, yaitu: Sekertaris

Badan Pengurus Harian Pemerintahan

Mahasiswa.

• Informan Tambahan, yaitu: teman

dekat dan keluarga dari mahasiswa

korban perilaku kekerasan dalam

berpacaran.

c. Mengumpulkan dokumentasi berupa

gambar mahasiswa pada saat wawancara.

3.1. Informan 1

Informan 1 merupakan mahasiswi

berinisial EA berusia 21 tahun merupakan

Korban perilaku kekerasan dalam berpacaran

pada mahasiswa di Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. EA

pernah mempunyai pacar bernama MK,

hubungan yang awalnya berjalan dengan baik

ini tidak pernah EA bayangkan akan terjadi

tindak perilaku kekerasan didalamnya yang

bermula dari Kekerasan Psikologis yang

termasuk dalam Kekerasan Verbal hingga

sampai Kekerasan Fisik yang termasuk dalam

Kekerasan Non-verbal.

EA mengaku mengenal pacarnya pada

tahun 2016 melalui perantara sepupunya di

sosial media. Bahkan, sepupu EA awalnya

tidak menolak untuk memperkenalkan EA

pada lelaki tersebut. Setelah beberapa kali

melakukan pertemuan, akhirnya EA dan laki-

laki ini memutuskan untuk berpacaran.

Hubungan EA dan pacarnya terjalin

selama 4 tahun, yaitu tahun 2016 sampai

2020, selama proses pacaran sudah sering

terjadi putus-nyambung. EA menjabarkan

bahwa pada 6 bulan pertama berpacaran,

sikap pacarnya baik sekali dan membuat EA

merasa sangat nyaman. Selanjutnya setelah

melewati 6 bulan tersebut, EA merasa

hubungannya mulai toxic, dimana pacarnya

mulai mengekang, melarang, dan mengatur

wakti EA. Hal ini dibuktikan dengan hasil

wawancara dengan EA seperti berikut:

“Setelah melewati awal mula dia bersikap

menghakimi aku, mengatur hidupku,

ngebentak aku dan memaki aku, aku pikir

Page 39: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 39

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

setelah aku berusaha minta maaf dan bersikap

baik sama dia, dia bakal berubah. Ternyata dia

ngelakuin hal yang lebih parah dari itu. Sampe

sangking banyaknya hal yang selalu

dipermasalahin aku lupa masalahnya apa,

Cuma setauku itu masalah sepele. Tapi karna

hal itu dia berani main tangan sama aku kaya

mencekik aku, ngedorong badanku gitu karna

dia geram liat aku, nampar aku, sampe dia

berani ngeludahin aku itu karna cemburu.

Disitu aku selalu minta putus, gak ada juga

orang yang tahan digituin.”

Walaupun mendapatkan perilaku

kekerasan verbal dan nonverbal, namun EA

tetap merasa perlu memertahankan

hubungannya, EA berpikir jika mengakhiri

hubungannya akan membuat EA malas untuk

membuka lembaran baru dan memulai

semuanya dari awal lagi. Selain itu, kedua

orang tua antara EA dan pacarnya sudah saling

kenal dan peduli dengan hubungan mereka.

Kekerasan yang dialami EA tidak

disampaikan pada orangtua dan hanya

diceritakan pada sepupunya saja yang awal

memperkenalkan EA dengan pacarnya.

Akhirnya, EA merasa harus mengakhiri

hubungan yang tidak sehat tersebut meskipun

sang pacar tidak mau, sebab EA merasa

apabila dipertahankan, kesalahan-kesalahan

dan perlakuan pacarnya akan terus dilakukan.

EA merasa bersyukur telah lepas dari

hubungan yang tidak sehat tersebut. Mantan

pacar EA tetap berusaha mendekati, namun

selalu ditolak. EA hingga saat ini masih

mencoba memulai hubungan baru namun

belum bisa.

3.2. Informan 2

Informan kedua merupakan mahasiswi

berinisal NF yang berumur 20 tahun dan

merupakan korban perilaku kekerasan dalam

berpacaran pada mahasiswa di Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera

Utara. NF mempunyai hubungan dengan

pacarnya bernisial FA. Perilaku kekerasan

yang dilakukan terhadap NF termasuk

kedalam perilaku Kekerasan Psikologis dan

Kekerasan Ekonomi dimana kekerasan ini

termasuk pada Kekerasan Verbal.

Awal mula perkenalan NF dengan

pacarnya pada saat berkumpul bersama

teman-teman yang lain dan NF dikenalkan

pada lelaki ini. Ternyata lelaki ini berusia

dibawah NF dan selalu mendekati NF melalui

chat-chat di media sosial. Lelaki ini mengajak

NF pacaran hingga 3 kali namun ditolak dan

diterima oleh NF pada saat ajakan yang

keempat.

Meskipun hubungan NF dan pacarnya ini

sudah selesai, namun NF mengaku bahwa

mantan pacarnya terus menghubungi melalui

media sosial dengan mengganggu bahkan

mengancam NF agar tidak dekat dengan

siapapun. NF sendiri menyampaikan bahwa

hubungannya berakhir setelah dilalui selama

3 tahun 6 bulan.

NF menjabarkan bahwa hubungannya

baru selesai sekitar sepekan yang lalu dari

pengambilan data ini. NF merasa

hubungannya mulai toxic setelah satu tahun

berjalan. Pacar NF mulai mengatur kehidupan

NF, menuntut waktu NF, memaki pada hal

kecil, dan mengekang NF agar tidak pergi

kemanapun. Bahkan pacar NF juga

mempermasalahkan durasi sholat NF yang

dianggap terlalu lama. Hal tersebut sesuai

dengan hasil wawancara dengan NF seperti

berikut:

“terlalu banyak dia melakukan ancaman, dan

itu dia lakukan ketika menurut dia aku gak

menuruti apa maunya dia pasti dia bakal

ancam aku. Seperti diam bakal buat malu aku

didepan kawanku, dia bakal datang ke orang

tuaku buat bilang aku gak baik tingkahnya

padahal itu sama sekali gak ada, dia bakal buat

aku gak pernah tenang dengan hidup aku, dia

Page 40: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 40

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

bilang bakal terror aku dan manta uterus apa

yang aku lakukan, bahkan ancaman yang

paling fatal dia bakal bunuh aku.”

Tindak kekerasan yang dilakukan oleh

pacar NF tersebut membuat NF merasa

memiliki beban berat hingga berpikir bahwa

yang NF lakukan tidak ada yang berguna.

Awalnya NF berusaha memendam

permasalahan tersebut sendirian, namun

seiring berjalan waktu hingga dua tahun

akhirnya NF memberanikan diri untuk

menanyakan pada teman NF pendapat

mengenai hubungan yang sudah terjalin

tersebut. Teman-teman NF tidak terima

dengan hal tersebut dan membujuk NF untuk

mengakhiri hubungan, tetapi NF merasa

bahwa pacarnya pasti dapat berubah. Hal ini

membuat teman-teman NF menjadi marah

dan tidak mau lagi memberikan masukan pada

hubungan NF. NF kemudian mendapatkan

dukungan lagi dari teman-teman magang

kuliah.

Hubungan tidak sehat yang dialami oleh

NF ini tidak diketahui oleh keluarganya. NF

menjabarkan hal tersebut karena NF merasa

belum pantas untuk menyampaikan bahwa NF

memiliki kekasih namun hubungannya tidak

baik dan awalnya memang NF tidak diberi ijin

orang tua untuk berpacaran.

NF menyampaikan bahwa alasan NF

bertahan dengan pacarnya karena pacar NF

selalu mengancam NF apabila meminta

hubungan yang dijalani untuk berakhir. NF

merasa hubungannya sangat buruk dan

seperti sebuah aib yang akan dipendam

karena membuat NF malu hingga setiap

malam NF menangis karena bingung

bagaimana mengakhiri hubungan yang

didalamnya ada kekerasan.

3.3. Informan 3

Informan ketiga merupakan mahasiswi

berumur 22 tahun berinisial SMN, dimana

saudari SMN juga korban perilaku kekerasan

dalam berpacaran di Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Mantan pacarnya berinisial pernah melakukan

kekerasan terhadapnya yaitu kekerasan fisik

yang termasuk dalam kekerasan Non-Verbal

dan kekerasan psikologis yang termasuk

kedalam kekerasan Verbal.

Informan ketiga mengatakan awal mula

perkenalan dengan pacarnya karena

pertemanan sejak SMP. Hubungan SMN

dengan pacarnya ini berlangsung empat tahun

menuju lima tahun. SMN merasa perlakuan

yang tidak baik diterima ketika menginjak

tahun kedua. Kekerasan yang dirasakan SMN

berawal dari kekerasan verbal yang diterima

seperti memaki, berkata kasar.

Selanjutnya, pacar SMN mulai berani

menggenggam tangan SMN sekuat mungkin

hingga pergelangan tangan SMN menjadi

merah, melarang SMN melakukan hal-hal yang

tidak disukai pacarnya, mengancam SMN, dan

yang paling parah adalah mencekik SMN

hingga sesak nafas dan menodong SMN

dengan pisau. Hal tersebut sesuai dengan hasil

wawancara dengan informan ketiga seperti di

bawah ini:

“Munculnya perilaku kasar dari yang kecil itu

awal mulanya step nya gini, dia berkata kasar

dulu kaya bentak aku terus maki-maki aku,

habis itu naik tingkatan tuh mulai berani dia

genggam tangan aku sekuat mungkin sampe

pergelangan tangan aku merah, naik tingkatan

terus mengancam, melarang itu udah biasa

selalu dia lakuin dan terus makin parah lagi

sampai hal yang paling fatal dia mencekik aku

sampai aku sesak gak bisa nafas dan dia juga

pernah pegang pisau kaya nodongin pisau di

muka aku ngancam bakal bunuh aku itu karna

dia cemburu buta dan kondisinya itu lagi

dirumah dia dan kami dirumah cuma sama

adeknya gak ada orang sama sekali.”

Page 41: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 41

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

Perilaku kekerasan tersebut biasa

diterima oleh SMN ketika kekasihnya merasa

cemburu dan takut kehilangan SMN. Perilaku

yang diberikan kekasih SMN ini membuat SMN

menjadi takut dan akhirnya hanya menuruti

keinginan kekasihnya. SMN mengaku bahwa

untuk kekerasan fisik sudah menjadi hal biasa

ketika terjadi perselisihan diantara keduanya,

SMN pernah ditampar, dipukul, bahkan

diancam dibunuh dengan pisau hingga

membuat SMN stress dan mengganggu

mentalnya.

Hubungan yang tidak sehat ini terus

dipertahankan SMN karena merasa sayang

dan cinta pada pasangan. SMN juga mengaku

jika alasan lain yaitu takut dengan ancaman

yang diberikan oleh kekasihnya. Perasaan

takut tersebut menyebabkan SMN selalu

menuruti kekasihnya dan sudah pasrah

dengan hidupnya apabila harus berakhir di

tangan kekasihnya tersebut.

Berakhirnya hubungan SMN dan

pasangannya sangat membuat lega dan juga

seperti jawaban atas doa-doa yang selama ini

SMN panjatkan. SMN mengatakan bahwa

setelah berpisah, tidak ada lagi komunikasi

antara keduanya. Mantan kekasih SMN tetap

menguhubungi dan selalu meminta maaf,

namun SMN belum bisa memaafkan dan takut

jika kembali akan terjadi hal yang sama. Orang

tua SMN sama sekali tidak tahu tentang

kekerasan yang dialami oleh SMN.

Berdasarkan uraian di atas dapat

disimpulkan bahwa bentuk-bentuk kekerasan

adalah kekerasan verbal yang terdiri dari

kekerasan psikologis dan kekerasan ekonomi.

Sedangkan kekerasan nonverbal terdiri dari

kekerasan fisik dan kekerasan seksual.

4. PEMBAHASAN

Pandangan yang lebih luas diungkapkan

Poerwandari dalam Achi Sudiarti (2000:11)

(dalam Dian Ungki Yunita Dewi, 2008:31),

bentuk kekerasan dalam berpacaran meliputi:

1. Kekerasan fisik, yaitu memukul,

menampar, mencekik, menendang,

melempar barang ke tubuh korban,

menginjak, melukai dengan tangan

kosong dan sampai pada pembunuhan.

2. Kekerasan psikologis, yaitu berteriak-

teriak, mengancam, menyumpah,

mengatur, menguntit, memata-matai,

dan tindakan lainnya yang

menyebabkan rasa takut.

3. Kekerasan seksual, mencakup

mengarah ke ajakan atau desakan

seksual seperti menyentuh, meraba,

mencium, atau melakukan tindakan-

tindakan yang tidak dikehendaki

korban.

4. Kekerasan ekonomi, yaitu mengambil

uang korban, mengatur pengeluaran

dari hal sekecil-kecilnya dengan maksud

mengendalikan tindakan korban,

memaksa korban untuk membiayai

kebutuhan hidupnya.

Dari pembahasan diatas bahwa Informan

Utama I bertahan dalam hubungan yang

mendapatkan perilaku kekerasan karena

masih sayang, merasa belum di titik capek

yang sampai benar-benar ingin selesai tanpa

harus kembali lagi, merasa capek dan tidak

mudah untuk dekat dan memulai hubungan

dengan orang yang baru, kedekatan keluarga

saudari EA dengan keluarga MK pacarnya

sudah sangat begitu dekat menjadi alasan

untuk saudari EA mau kembali karna masih

adanya hubungan baik diantara dua keluarga

tersebut. sehingga informan tersebut

bertahan dalam hubunganwalaupun

mendapatkan perilaku kekerasan verbal

seperti kekerasan psikologis dan kekerasan

Nonverbal seperti kekerasan fisik.

Informan II juga mengalami kekerasan

yaitu kekerasan psikologis yang termasuk

dalam kekerasan verbal. Yang membuat dia

bertahan dengan hubungan yang seperti itu

Page 42: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 42

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

karna ancaman yang pacarnya lakukan

terhadapnya sehingga membuat dia takut dan

trauma sampai di titik merasa tidak berguna.

Untuk Informan utama III bertahan pada

hubungan yang seperti itu karena rasa

sayangnya terhadap pacarnya, ancaman dia

yang selalu ingin membunuh atau pacarnya

akan bunuh diri jika hubungannya selesai, dan

juga bukan hanya dari ancaman tapi menyakiti

fisik informan tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan, jika dibandingkan dengan

penelitian yang relevan permasalahan yang di

alami di Surabaya, Indonesia secara

keseluruhan merupakan permasalahan yang

juga dialami mahasiswa di Fakultas Ilmu

Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara,

yaitu adanya kesamaan kasus yang terjadi dan

kurangnya keterbukaan dari korban

kekerasan dalam keluar dari permasalahan

yang ia hadapi.

Berdasarkan hasil observasi yang terlihat

pada Informan utama I terlihat bahwa

keadaan fisik dan psikis Informan sangat kuat

dalam menerima berbagai pertanyaan dan

terlihat konsentrasi dalam mendengarkan

pertanyaan dari peneliti.

Informan menceritakan cara teman-

temannya menyikapi masalah yang dia hadapi.

Peneliti melihat Informan juga mendapatkan

lingkungan pertemanan yang baik di

kampusnya karena mereka sangat membantu

Informan dalam memberikan solusi untuk

bangkit agar dia secepatnya keluar dari

hubungan yang tidak seharusnya di

pertahankan dan memberikan dukungan yang

positif ketika dia sudah bisa mengakhiri

hubungannya. Keadaan ekonomi yang terlihat

berkecukupan dan mempunyai keluarga yang

sangat peduli ketika melihat Informan yang

masih diantar dan dijeput oleh orang tuanya.

Pada Informan Utama II terlihat bahwa

keaadan fisik dan psikis sangat lemah.

Sebelum masuk ke wawancara Informan

terlihat sangat tidak sabar untuk

menceritakan apa yang dia alami. Tapi ketika

wawancara Informan menjawab seperti tidak

konsentrasi dan mengutarakan kata-kata

tetapi dalam keadaan melamun seperti pikiran

kosong.

Keadaan ekonomi terlihat Informan

sangat berkecukupan dilihat dari ia

mempunyai mobil dan menggunakan berbagai

barang yang terlihat mahal. Pilihan informan

untuk tidak di kost-kostan karna ia tidak ingin

dilarang padahal dengan dia mengendarai

mobil atau kendaraan lain tempat tinggalnya

masih bisa dijangkau tetapi dia lebih memilih

ngekost dengan alasan kepada orang tuanya

bahwa dia takut terlambat.

Interaksi sosial yang dilakukan Informan

terhadap orang lain sangatlah baik dan

bertutur kata sopan. Pada saat Informan

diberikan pertanyaan, ada satu atau dua

pertanyaan yang membuat dia menangis tapi

tetap terlihat kuat dan tegar. Dalam keadaan

masih diterror oleh pasangannya setelah baru

putus, Informan tetap mencoba untuk ringan

senyum dan memperlihatkan bahwa masalah

ini akan selesai seiring berjalannya waktu.

Sedangkan pada Informan utama III

sangat jelas bahwa dia lebih pendiam dan

menahan diri untuk tidak menceritakan apa

yang dia rasakan ke orang-orang sekitarnya

dan dia lebih memilih untuk memendam

walaupun pada akhirnya teman-temannya tau

tentang apa yang dia alami karna melihat

sendiri. keadaan ekonomi Informan ini juga

sangat berkecukupan dan mempunyai

keluarga yang amat sangat peduli terlihat dari

orangtuanya menelpon dan menanyakan dia

dimana, dengan siapa, dan mau di jeput jam

berapa seperti itu. Sifat pendiam nya dan

memilih teman membuat dia beruntung

Page 43: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 43

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

mendapatkan teman dekat yang peduli akan

masalah yang dia alami.

Keterbatasan yang dialami peneliti

selama melakukan penelitian ini yaitu sebagai

berikut:

a. Hasil wawancara dari informan utama,

informan kunci, dan tambahan hanya

dapat diceritakan, tanpa peneliti melihat

secara langsung perlakuan kasar yang

diterima oleh mahasiswa-mahasiwa

tersebut.

b. Peneliti harus ber empati, agar ikut

merasakan apa yang dirasakan oleh

Informan supaya mendapatkan

keterbukaan dari kekerasan yang

dialami.

c. Peneliti mempunyai waktu yang singkat

dalam melihat kehidupan informan

secara langsung karna terhambat

pandemi COVID-19 dan tidak adanya

kegiatan perkuliahan di kampus.

5. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan diatas dapat diketahui bahwa, 1)

proses terjadinya kekerasan dalam

berpacaran disebabkan oleh beberapa hal

yaitu rasa cemburu, rasa ingin memiliki yang

berlebihan hingga menuntut harus selalu

bersama dia, selingkuh, tidak patuh dan

menuruti apa yang selalu diinginkan oleh

pacarnya, 2) bentuk-bentuk kekerasan yang

dialami dalam berpacaran adalah kekerasan

psikologis yang termasuk dalam kekerasan

verbal dan kekerasan fisik yang termasuk

dalam kekerasan Nonverbal, dan 3) alasan

mahasiswa untuk bertahan dalam hubungan

yang mengalami kekerasan dalam berpacaran

karena adanya rasa takut, sangat cinta, merasa

terlanjur nyaman bahkan terbiasa, perasaan

takut gagal lagi dalam hubungan yang baru,

malu, dan hubungan yang sudah terjalin lama.

6. SARAN

Oleh sebab itu, rekomendasi yang

diberikan peneliti berupa, 1) dalam menjalani

suatu hubungan berpacaran perlu ditanamkan

rasa saling menghargai, menghormati,

keterbukaan antara sesama, pengertian, dan

lebih banyak berkomunikasi dalam

memutuskan sesuatu bagi keutuhan dan

kelangsungan dari suatu hubungan, 2)

diperlukan keterbukaan dari pihak korban

yang mengalami kekerasan dalam berpacaran,

hal ini bertujuan agar korban yang mengalami

kekerasan tersebut bisa diberikan solusi dan

bantuan untuk keluar dari masalahnya, dan 3)

bagi korban kekerasan, apabila dalam

hubungan sudah mendapatkan kekerasan dari

pasangan sebaiknya hubungannya dihentikan

dan memilih untuk mengakhiri hubungan

tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Aptia, Elfa. (2017). Pengalaman pada Remaja

Perempuan yang Mengalami Kekerasan

dalam Pacaran (Dating Violence).

Skripsi. Universitas Andalas. Padang.

Dewi Yunita, U, D. (2008). Atas Nama Cinta

Studi Kasus tentang Mahasiswa Korban

Kekerasan dalam Pacaran. Skripsi.

Universitas Negeri Yogyakarta.

Yogyakarta.

Erna Mesra, dkk. (2014). Kekerasan dalam

Pacaran pada Remaja Putri Di

Tangerang. Jurnal Politeknik Kesehatan

Kementerian Jakarta III. Vol.2, No.1, 11

Desember 2020.

Mardiah, A., Satriana, D.P., & Syahriati, E.

(2017). Peranan Dukungan Sosial dalam

Mencegah Kekerasan dalam Pacaran.

Jurnal Psikologi Ulayat. Vol. 4, No.1, 11

December 2020.

Page 44: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 44

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

Noer, Arienita. (2015). Survei Perilaku

Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja

di Pekanbaru. Skripsi. Fakultas Psikologi.

UIN Sultan Syarif Kasim. Riau.

Noviolieta, Christianti. (2013). Kekerasan

dalam Pacaran. Skripsi. Fakultas Ilmu

Pendidikan. Universitas Negeri

Yogyakarta. Yogyakarta.

Rohmah, Silfiatur. (2014). Motif Kekerasan

dalam Relasi Pacaran Di Kalangan

Remaja Muslim. Jurnal Fakultas Ilmu

Sosial. Vol. 2, No.1, 23 Desember 2020.

Shoufia, Aina. (2008). Kekerasan dalam Film

Bergenre Horor. Skripsi. Fakultas Ilmu

Sosial dan Politik. Universitas

Muhammadiyah Malang. Malang.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

Tahun 1945 Pasal 28 Tentang Hak Asasi

Manusia.

© 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and

conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0/).

Page 45: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 45

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

PENGUATAN ASPEK MODAL PSIKOLOGIS PADA SISWA SMK X DALAM MENGHADAPI

DUNIA KERJA SEBAGAI UPAYA MEREDUKSI TINGKAT KEMISKINAN

Nurul Rachmadani1

1lmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Sulawesi Selatan, Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstract

As a developing country, poverty cannot yet be avoided in Indonesia. The level of poverty in this country can be reduced in various ways, one of which is by raising the standard of living of the people. Through a curriculum that has been designed in line with industry needs, Vocational High Schools (SMK) are expected to produce graduates who can meet the needs of various entry-level workers in the company so that they can raise the standard of living of their respective families. Apart from mastering academic subject matter at school, vocational students need to be equipped with Psychological Capital aspects so they can compete and live their lives in positive ways. This research was conducted on 47 private vocational high school students in the rural area of Gowa Residence, South Sulawesi. The measurement was carried out twice, namely Pre-test and Post-test. In the period between the Pre-test and Post-test, the researchers conducted various pieces of training, i.e.: HERO (Hope, Self-Efficacy, Resilience, and Optimism); Life Skills: Learning, Working and Serving; and Entrepreneurship. The Psychological Capital of the students was measured using the Psychological Capital Questionnaire 24 (PCQ-24) instrument. The results of this study indicate that there is a significant increase in Psychological Capital in these students p = 0.016 (p<0.05), with Optimism as the aspect with the highest mean difference = 0.12 (Pre x̄ = 3.46; Post x̄ = 3.58 ).

Keywords: Modal Psikologis, Kemiskinan, Pendidikan, SMK

1. PENDAHULUAN

Isu kemiskinan masih menjadi salah satu

permasalahan utama bagi negara-negara

berkembang termasuk Indonesia. Sejak tahun

1970an, pemerintah telah berupaya

menanggulangi keemiskinan. Namun,

persoalan tersebut belum mampu tertuntaskan.

Badan Pusat Statistik merilis angka persentase

tingkat kemiskinan nasional pada bulan

November 2021 yaitu sebesar 10,14%. Dari

data nasional tersebut, tercatat sebanyak 267

Kabupaten/kota (51,94%) memiliki persentase

penduduk miskin diatas angka nasional. Salah

satu Kabupaten di Indonesia yang tercatat

memiliki penduduk dengan angka kemiskinan

yang cukup besar adalah Kabupaten Gowa,

Sulawesi Selatan. Penduduk miskin di

Kabupaten Gowa tercatat sekitar 58.660 jiwa

atau 7,54% dari total penduduk miskin provinsi

Sulawesi Selatan (BPS, 2021). Data demografi

penduduk miskin yang tamat pendidikan SMA

di Kabupaten Gowa adalah sebesar 12,14% dari

total penduduk Provinsi Sulawesi Selatan.

Penduduk miskin Kabupaten Gowa didominsi

oleh tamatan SMP yaitu sebanyak 53,45% dan

jumlah penduduk miskin yang tidak bekerja

adalah sebesar 30,80% (BPS, 2021).

Persoalan kemiskinan saat ini sudah

bersifat multi dimensi, sehingga angka

kemiskinan hanya dapat diturunkan secara

optimal melalui sinergitas berbagai pihak. Salah

satu strategi pemerintah saat ini dalam

mengentaskan kemiskinan dengan

meningkatkan akses serta kualitas pelayanan

dasar bagi masyarakat miskin dan rentan

sebagaimana diamanatkan melalui UU No. 23

Page 46: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 46

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Di

dalam UU tersebut secara jelas diatur perihal

kewajiban pemerinta daerah terkait pelayanan

dasar yang mencakup enam aspek utama, yaitu:

(1) pendidikan; (2) kesehatan; (3) pekerjaan

umum dan penataan ruang; (4) perumahan

rakyat dan kawasan pemukiman; (5)

ketentraman, ketertiban umum dan

perlindungan masyarakat; (6) sosial.

Selaras dengan UU No. 23 tahun 2014,

aspek pendidikan diatur melalui UU No 20

tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional dimana seluruh komponen bangsa

wajib mencerdaskan kehidupan bangsa serta

mampu menjamin pemerataan kesempatan

pendidikan, peningkatan mutu, serta relevansi

dan efisiensi manajemen pendidikan untuk

menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan

perubahan kehidupan lokal, nasional, dan

global. Sehingga perlu dilakukan pembaharuan

pendidikan secara terencana, terarah, dan

dilakukan secara berkesinambungan

(berkelanjutan).

Asas keberlanjutan mengandung makna

peningkatan kemampuan penyelenggaraan

pendidikan, pelatihan, dan keterampilan

sebagai wujud adanya kesempatan yang dapat

mengakomodir kepentingan individu,

masyarakat, serta kepentingan bangsa dan

negara. Dengan kata lain, penyelenggaraan

menjadi tanggung jawab pemerintah dengan

mengikut sertakan masyarakat sebagai bentuk

sistem kooperatif dan kolaboratif yang

dilakukan secara demokratis dan tidak

diskriminatif dengan tetap menjunjung tinggi

hak asasi manusia.

Berdasarkan acuan strategi nasional

penanggaulangan kemiskinan (SNPK) tahun

2005 menjelaskan bahwa kemiskinan

umumnya dihadapkan dengan masalah

terbatasnya kesempatan kerja dan peluang

pengembangan usaha. Salah satu aspek yang

menjadi sumber kemiskinan adalah rendahnya

pendidikan yang ditempuh. Menurut Bappenas

(2005), tanpa adanya bekal pendidikan yang

memadai masyarakat akan sulit untuk keluar

dari jebakan kemiskinan dan menghindarkan

diri dari lingkaran kemiskinan.

Ustama (2009) mengemukakan bahwa,

melalui pendidikan yang baik, setiap orang akan

memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan

sehingga mempunyai pilihan untuk

mendapatkan pekerjaan yang lebih produktif

dan meningkatkan pendapatan. Sehingga,

pendidikan dapat memutus mata rantai

kemiskinan dan menghilangkan ekslusi sosial

dengan harapan kedua hal tersebut dapat

meningkatkan kualitas hidup dan mewujudkan

kesejahteraan masyarakat .

Melalui layanan pendidikan, pemerintah

mengembangkan pendidikan berbasis kejuruan

(vokasi) di Indonesia pada Rencana Strategi

Departemen Pendidikan Nasional (Renstra

Depdiknas) tahun 2005-2009, mulanya Sekolah

Menengah Kejuruan (SMK) memiliki proporsi

30:70 dengan Sekolah Menengah Atas (SMA)

kemudian disebutkan proporsi SMK/SMA

sebesar 50:50. Kondisi tersebut menunjukkan

bahwa pemerintah saat ini telah memandang

bahwa pendidikan kejuruan merupakan

pendidikan menengah yang dapat

mempersiapkan peserta didik yang memiliki

kualifikasi dan siap bekerja pada bidang

tertentu sebagaimana yang tertuang pada UU

Sistem Pendidikan Nasional pasal 15 Depdiknas

tahun 2006.

Namun, dalam uraian evaluasi yang

terdapat pada Rencana Strategi Departemen

Pendidikan Nasional (Renstra Depdiknas)

tahun 2015-2019 disebutkan bahwa masih

terdapat berbagai permasalah dan tantangan

terkait sistem pendidikan SMK, khususnya

menyangkut hasil layanan pendidikan SMK. Hal

ini dapat terlihat dari adanya ketidakselarasan

antara kebutuhan industri (dunia kerja) dengan

kualitas lulusan SMK sehingga hal mendorong

Page 47: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 47

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

rendahnya tingat serapan lulusan SMK pada

dunia kerja.

Kurikulum sekolah kejuruan (vokasi) telah

dirancang sedemikian rupa agar dapat

menghasilkan lulusan siswa siap kerja

(Subandrio, 2021). Namun penyebab tingginya

angka pengangguran bukan hanya karena

aspek keahlian atau skill semata, faktor lain

adalah kurangnya daya saing angkatan kerja

yang salah satunya dipengaruhi oleh rendahnya

kapasitas dan kapabilitas individu.

Agar lulusan SMK dapat memiliki daya

saing, aspek lain yang dapat dikembangkan

selain skill (keahlian) adalah penguatan

kapasitas internal, khususnya terkait modal

psikologis. Modal psikologis merupakan

kapasitas dalam diri yang dapat membantu

seseorang dalam mengeksplorasi diri mereka,

membantu pengenalan potensi diri, serta

mendorong untuk mengembangkan potensi

diri sampai pada tahap yang maksimal (Luthans

& Youssef, 2004).

Memandang fenomena tersebut, peneliti

tertarik untuk mengukur aspek modal

psikologis siswa-siswi SMK. Kemudian

melakukan serangkaian pelatihan untuk

menguatkan modal psikologis para siswa-siswi.

1.1. Modal Psikologis (Psychological

Capital)

Psychological Capital adalah kondisi

perkembangan psikologis positif dalam diri

individu yang dikarakteristikkan oleh: (1)

gigih dalam mencapai tujuan, bila perlu,

mengarahkan kembali jalan untuk mencapai

tujuan (hope) dalam rangka mencapai

kesuksesan; (2) memiliki rasa percaya diri

(self-efficacy) dalam menghadapi tantangan

dan mengeluarkan usaha yang cukup untuk

dapat sukses menjawab tantangan tersebut;

(3) saat menghadapi masalah dan kesulitan,

tetap bertahan dan bangkit kembali

(resilience) untuk mencapai kesuksesan; dan

(4) membuat atribusi positif (optimism) dalam

meraih kesuksesan saat ini dan di masa yang

akan datang (Luthans et al., 2011).

Singkatnya, PsyCap adalah konstruk

positif yang terdiri dari empat dimensi, yaitu

self-efficacy/confidence, optimism, hope dan

resilience (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007).

PsyCap berfokus pada kapasitas internal yang

bersifat positif yang terdapat didalam diri diri

individu dan mendorong serta

memampukannya untuk bergrak maju secara

konstruktif (Luthans et al., 2006).

1.2. Teori Kemiskinan Holtman (1978) mengemukakan bahwa

kemiskinan diakibatkan oleh masalah yang

berkenaan dengan individu, kultur, lembaga-

lembaga sosial dan masyarakat. Lebih lanjut,

McCleland (1987) menunjukkan mental

(motivasi) sebagai faktor penentu suatu

masyarakat menjadi masyarakat miskin dan

terbelakang atau menjadi masyarakat yang

maju. Ia mengemukakan bahwa kemiskinan

dan keterbelakangan dapat diatasi manakala

dalam suatu masyarakat terdapat banyak

warga yang bermental wiraswasta dengan

motivasi yang tinggi untuk mencapai

kemajuan. Dengan demikian, hal yang

ditekankan oleh Mc Cleland sebagai faktor

yang dapat menjadi predisposisi dari

kemiskinan adalah aspek mental psikis

individual.

Disisi lain, beberapa penggagas teori

kemiskinan mengemukakan bahwa

kemiskinan tidak hanya terkait dengan faktor

internal–individual tetapi juga faktor

eksternal yakni kegagalan lembaga-lembaga

sosial dan struktur masyarakat. Holtman

mencatat bahwa tak kunjung teratasinya

kemiskinan justru karena kurang

berfungsinya lembaga-lembaga sosial.

Lembaga-lembaga sosial tersebut diharapkan

berperan untuk menyediakan fasilitas-

fasilitas seperti sumber keuangan,

perumahan, rekreasi, perawatan kesehatan,

Page 48: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 48

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

transportasi dan sebagainya. Namun yang

terjadi adalah defisiensi oleh karena 3 hal,

yaitu masalah teknis, kurangnya koordinasi

dan tidak berfungsinya lembaga pelayanan

kunci seperti pendidikan. Halsey (Ubur, 2011)

menyatakan bahwa pendidikan merupakan

instrumen utama untuk melawan deprivasi

sosial, sebab pendidikan merupakan agen

sosialisasi utama pembentukan kehidupan

manusia. Pendidikan dapat menjadi bagian

dari pondasi ekonomi masyarakat dimana

pendidikan menjadi alat mobilitas sosial

vertikal naik dan menjadi salah satu agen

utama distribusi sosial.

2. METODE PENELITIAN

2.1. Jenis dan Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan

kuantitatif dengan desain penelitian

deskriptif.

2.2. Variabel Penelitian Penelitian ini mengkaji variabel modal

psikologis (psychological capital) yang terdiri

dari empat dimensi utama yaitu: (1) hope, (2)

self-efficacy; (3) resilience; dan (4) optimism

(Luthans, Youssef, & Avolio, 2007). Aspek

modal psikologis di ukur menggunakan

instrumen PCQ-24 (psychological capital

questionnaire) yang terdiri dari 24

item/pernyataan. Skala yang digunakan

adalah 5 point likert scale.

2.3. Subjek Penelitian

2.3.1. Populasi

Populasi penelitian merupakan

keseluruhan (universum) jumlah dari objek

penelitian yang dapat berupa manusia, hewan,

dll (Siregar, 2013). Objek inilah yang menjadi

sumber data penelitian. Populasi penelitian ini

adalah seluruh siswa-siswi SMK X di Kab.

Gowa, Sulawesi Selatan.

2.4. Sampel Sampel adalah suatu prosedur

pengambilan data dimana hanya sebagian

populasi saja yang diambil dan digunakan

untuk menentukan sifat serta ciri yang

dikehendaki dari suatu populasi. Terdapat

beberapa teknik pengambilan sampel.

Penelitian ini akan menggunakan teknik

penarikan sampel dengan cara purposive

sampling. Purposive sampling adalah teknik

pengambilan sampel dengan menentukan

kriteria-kriteria tertentu (Sugiyono, 2008).

Sampel penelitian ini sejumlah 42 orang

siswa-siswi SMK X di Kabupaten Gowa,

Sulawesi Selatan, yang terdiri dari 22

perempuan dan 20 laki-laki. Jumlah sampel

ditetapkan berdasarkan rumus pengambilan

sample yaitu:

X= Z(c/100)2r(100-r)

n= 𝑵𝒙

((𝑵−𝟏)𝑬𝟐+𝒙

Dengan margin error sebesar 5% atau α=0.05

Tabel.1 Data Demografi Partisipan (n=42)

Kategori Jumlah

Jenis Kelamin

Laki-laki 20 orang

Perempuan 22 orang

Jurusan

Keperawatan 6 orang

Multimedia 29 orang

Administrasi Perkantoran 7 orang

Usia

16 Tahun 1 orang

17 Tahun 31 orang

18 Tahun 9 orang

19 Tahun 1 orang

Page 49: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 49

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

3. HASIL

Penguatan aspek modal psikologis pada

siswa siswi SMK X dilakukan dengan

memberikan pelatihan H.E.R.O untuk

meningkatkan kapasitas internal yang

meliputi dimensi hope, self-efficacy, resilience,

dan optimism. Pelatihan dilakukan selama

durasi 6 minggu dengan diawali pengukuran

awal (pre-test) untuk melihat baseline skor

modal psikologis yang terdapat dalam diri

sampel penelitian, kemudian di akhiri dengan

pengukuran skor akhir untuk melihat

perubahan skor modal psikologis setelah

pelatihan diberikan.

Tabel.2 Paired Sample T-Test pengukuran aspek Modal Psikologis.

Pre-Test Post-Test Sample Statistic df p

Hope (H) Hope (H) Student's t 1.572 35.0 p < 0.05

Self-Efficacy (E) Self-Efficacy (E) Student's t 0.150 35.0 p < 0.05

Resilience (R) Resilience (R) Student's t 0.125 35.0 p < 0.05

Optimism (O) Optimism (O) Student's t 1.918 35.0 p < 0.05

Modal Psikologis (PsyCap) Modal Psikologis (PsyCap) Student's t 1.464 35.0 p < 0.05

Gambar 1. Diagram box-plot: pre-test dan post-test aspek modal psikologis

Page 50: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 50

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

Gambar 2. Perbandingan nilai post-test dan pre-test aspek modal psikologis

Hasil pengukuran pre-test dan post-test

sebagaimana yang tampak pada tabel 2,

gambar 1, dan gambar 2 menunjukkan adanya

peningkatan nilai yang signifikan pada setiap

dimensi pembentuk modal psikologis

(psychological capital) ketika pengukuran

akhir (post-test) dilakukan. Baseline skor

modal psikologis bergerak selaras secara

positif dan mengalami peningkatan yang

signifikan selama proses pelatihan dilakukan.

Dimensi yang memiliki peningkatan nilai

terbesar yaitu dimensi hope (X̄=3.64, p<0.05)

dan optimism (X̄=3.58, p<0.05).

Hasil analisis statistik menunjukkan

bahwa pelatihan H.E.R.O secara signifikan

mampu menguatkan aspek modal psikologis

yang terdiri dari dimensi hope, self-efficacy,

resilience, dan optimism pada siswa siswi SMK

X di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Penguatan aspek modal psikologis selanjutnya

berimplikasi pada kematangan internal dan

membantu kesiapan siswa siswi dalam

menghadapi dunia kerja.

4. PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui kadar aspek modal psikologis yang terdapat dalam diri siswa siswi SMK X setelah diberikan pelatihan yang bertujuan untuk menguatkan dan meningkatkan modal psikologis mereka dalam kaitannya untuk membangun kematangan internal dan daya saing dalam menghadapi dunia kerja sehingga pada taraf yang lebih lanjut, penguatan pada aspek modal psikologis dapat menjadi salah satu bentuk upaya yang bersifat indirect dalam mereduksi tingkat kemiskinan.

Berkenaan dengan hasil analisis, baseline score modal psikologis yang dimiliki oleh siswa siswi SMK X berada pada angka 3.38 dan mengalami peningkatan secara signifikan setelah siswa siswi tersebut mengikuti serangkaian pelatihan penguatan aspek modal psikologis selama 6 minggu dengan nilai akhir yang tercatat yaitu 3.44. Meskipun dilakukan dalam durasi yang singkat dan disertai berbagai keterbatasan dalam pelaksaan pelatihan, namun secara empiris pelatihan yang dilakukan dapat meningkatkan aspek modal psikologis siswa siswi SMK X.

Secara lebih spesifik, dimensi modal psikologis yang mengalami peningkatan nilai

Page 51: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 51

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

tertinggi adalah dimensi hope dan optimism. Hal ini menandakan bahwa pelatihan yang dilakukan berperan besar dalam meningkatkan kadar hope dan optimism pada diri siswa siswi SMK X. Dimensi hope dan optimism merefleksikan kualitas personal yang positif, ditandai dengan adanya sikap keterbukaan terhadap pengalaman dan pengembangan diri positif, mampu memandang permasalahan secara lebih positif dan menganggap hal negatif bukanlah hambatan bagi dirinya sehingga individu tersebut merasa mampu untuk menghadapi masa depan dengan berbekal keterampilan dan kapabilitasnya.

Perasaan positif yang dimiliki oleh individu, mendorong keinginannya untuk belajar dalam hal mendisiplinkan diri, menetapkan tujuan atau target personal, menganalisa kesalahan masa lalu, kemudian merencanakan strategi atau alternatif tindakan untuk mencapai tujuannya dan mencegah terjadinya hal yang buruk.

Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa individu yang memiliki kadar modal psikologis (psychological capital) yang tinggi cenderung merasa yakin akan kemampuannya (self-efficacy), merasa optimis (optimism), penuh harapan (hope), dan memiliki ketangguhan untuk bangkit kembali setelah mengalami suatu peristiwa yang menyulitkan (resilience) (Jex & Britt, 2014; Gupta et al., 2017).

Harapan (hope) adalah motivasi positif yang didasarkan pada suatu perasaan keberhasilan dari: (1) agency , dan (2) pathways. Di dalamnya melibatkan waypower dan willpower (Snyder et al., 2002). Harapan dalam hal ini dimaksudkan sebagai suatu daya yang mendorong siswa siswi untuk teguh dalam proses pencapaian tujuannya dengan senantiasa mengeksplorasi diri dan upaya-upaya adaptis serta inovatif untuk mencapai tujuannya. Sedangkan kadar optimisme yang tinggi, menandakan bahwa individu cenderung mampu menginterpretasikan berbagai kegagalan dan hambatannya secara lebih positif melalui cara dan memiliki keyakinan bahwa masa depan yang cerah

merupakan sesuatu yang dapat dicapai manakala seseorang memiliki keyakinan kuat untuk meraihnya dan tentunya disertai dengan serangkaian upaya yang bersifat konstruktif atau membangun (Buchanan & Seligman, 1995; Peterson, 2000; Larson & Luthans, 2006).

Kadar modal psikologis (psychological capital) yang tinggi memiliki sejumlah implikasi positif bagi diri individu, utamanya dalam mendorong pertumbuhan diri secara optimal dan meningkatkan daya juang dalam menghadapi berbagai tantangan dalam lingkup kehidupannya (Luthans & Avolio, 2003; Luthans et al., 2006).

Selaras dengan pendapat McCleland (1987) yang menyatakan bahwa aspek mental (dalam hal ini termasuk didalamnya aspek modal psikologis) menjadi salah satu faktor penentu suatu masyarakat menjadi masyarakat miskin dan terbelakang atau menjadi masyarakat yang maju. Dalam kaitannya dengan hasil penelitian ini, dapat dipahami bahwa terminologi mental yang didalamnya termasuk modal psikologis merupakan suatu determinan pada level personal/individual yang dapat mendorong seseorang untuk senantiasa melakukan berbagai upaya yang bersifat konstruktif bagi kehidupannya, sehingga hal ini dapat dimaknai sebagai internal drive yang memampukan seseorang untuk mengerahkan kapasitas dirinya secara optimal dalam menghadapi sejumlah tantangan menuju suatu keadaan well-being atau sejahtera.

Keterbelakangan atau kemiskinan dalam suatu masyarakat dapat diatasi manakala dalam suatu masyarakat terdapat banyak warga (indivdu) yang bermental tangguh dengan motivasi yang tinggi dan berdaya saing tinggi untuk mencapai kemajuan. Dengan demikian, hasil penelitian ini mendukung gagasan yang diungkapkan oleh Mc Cleland bahwa faktor yang dapat menjadi predisposisi dari kemiskinan atau kemajuan suatu masyarakat adalah aspek mental psikis individual yang mana salah satunya adalah aspek modal psikologis.

Meskipun modal psikologis merupakan komponen internal yang bersifat indiviual,

Page 52: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 52

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

namun dalam kondisi tertentu dan secara kumulatif bila aspek tersebut dimiliki oleh sejumlah besar individu dalam elemen masyarakat, hal ini dapat menjadi faktor yang mampu mempromosikan keadaan sejahtera baik pada tatanan individu, keluarga, maupun lingkup sosial yang lebih luas.

5. KESIMPULAN

Penguatan aspek modal psikologis

melalui pelatihan H.E.R.O secara signifikan

mampu meningkatkan kadar modal psikologis

siswa siswi SMK X. Penguatan tersebut

merupakan bekal bagi siswa siswi dalam

menghadapi dunia kerja dan sekaligus sebagai

upaya membentuk generasi tangguh berdaya

saing tinggi, sehingga pada gilirannya dapat

meningkatkan kesejahteraan personal dan

secara kumulatif berimplikasi terhadap

dimensi kesejahteraan yang lebih luas yakni

kesejahteraan masyarakat serta mereduksi

tingkat kemiskinan.

Peningkatan kadar modal psikologis

(psychological capital) yang dicapai melalui

pelatihan H.E.R.O merupakan suatu bentuk

penguatan internal yang terbukti empiris

dapat meningkatkan 4 dimensi kualitas

personal dalam diri siswa siswi, antara lain:

(1) hope, yaitu sikap teguh dan tekun dalam

mencapai tujuan serta senantiasa menyusun

serangkaian alternatif untuk mencapai tujuan

dalam rangka meraih keberhasilan, (2) self-

efficacy, yaitu kepercayaan diri untuk memilih

dan mengerahkan upaya yang diperlukan agar

berhasil pada tugas-tugas yang menantang,

(3) resilience, yaitu sikap tangguh ketika

dilanda masalah ataupun kesulitan, sehingga

siswa siswi dapat bertahan dan bangkit

kembali bahkan melampaui keadaan semula

untuk mencapai keberhasilan setelah

mengalami suatu peristiwa yang sulit, dan (4)

optimism, yaitu kualitas personal yang

memampukan siswa siswi membuat atribusi

positif tentang keberhasilan di masa kini dan

mendatang.

6. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, peniliti

menyarankan ekplorasi yang lebih

komprhensif terhadap berbagai anteseden

yang berkontribusi secara positif dalam

mempromosikan penguatan aspek modal

psikologis untuk selanjutnya dapat di

konstruksikan penyusunan modul pelatihan

penguatan aspek modal psikologis yang lebih

andal dan efektif.

Pelatihan ini memiliki keterbatasan

dalam pelaksanaan yakni kurangnya durasi

pelatihan, dan peserta pelatihan hanya berasal

dari karakteristik populasi yang homogen.

Oleh sebabnya, penelti menganjurkan kepada

peneliti selanjutnya untuk merancang durasi

pelatihan yang lebih intens, dan menghimpun

peserta pelatihan dari berbagai kelompok

yang heterogen dengan kuantitas partisipan

yang lebih banyak.

Dari segi hipotetik, peneliti menyarankan

agar selanjutnya variabel modal psikologis

dapat di eksplorasi secara lebih komprhensif

kekuatannya dalam memprediksi serta

mengestimasi keterikatannya dengan variabel

lain yang relevan dengan bidang kajian ilmu

sosial, utamanya pada tema-tema yang

berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan

sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik dan World Bank

Institute. (2002). Dasar-Dasar Analisis

Kemiskinan. BPS: Jakarta.

Badan Pusat Statistik. (2019). Data dan

Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota

2019. BPS: Jakarta.

Page 53: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 53

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

Badan Pusat Statistik. (2020). Data dan

Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota

2020. BPS: Jakarta.

Buchanan, G. M., & Seligman, M. (1995).

Explanatory style. Hillsdale, NJ: Lawrence

Erlbaum Associates

Foster, James E., Geer, J., & Thorbecke, E.

(1984). A Class of Decomposable Poverty

Measures. Econometrika 52:761-766.

Gupta, M., Shaheen, M., & Reddy, P. K. (2017).

Impact of psychological capital on

organizational citizenship behavior:

Mediation by work engagement. Journal

of Management Development.

Holman, R. (1978). Poverty, Explantions of

Social Deprivation. London: Martin

Robertson & Company.

Jex, S. M., & Britt, T. W. (2014). Organizational

psychology: A scientist-practitioner

approach. John Wiley & Sons.

Larson, M., & Luthans, F. (2006). Potential

Added Value of Psychological Capital in

Predicting Work Attitudes. Journal of

Leadership & Organizational Studies,

13(1), 45–62.

Luthans, F., & Avolio, B. J. (2003). Authentic

leadership development. Positive

organizational scholarship, 241, 258.

Luthans, F., & Youssef, C. M. (2004). Human,

social, and now positive psychological

capital management: Investing in people

for competitive advantage.

Organizational Dynamics, 33(2), pp. 143–

160.

Luthans, F., Avey, J. B., Avolio, B. J., Norman, S.

M., & Combs, G. M. (2006). Psychological

capital development: toward a micro‐

intervention. Journal of Organizational

Behavior: The International Journal of

Industrial, Occupational and

Organizational Psychology and

Behavior, 27(3), 387-393.

Luthans, F., Youssef, C. M., & Avolio, B. J.

(2007). Psychological capital: Investing

and developing positive organizational

behavior. Positive organizational

behavior, 1(2), 9-24.

Luthans, F., Youssef, C. M., & Avolio, B. J.

(2015). Psychological capital and beyond.

Oxford University Press, USA.

McClelland, D. C. (1987). Human motivation.

CUP Archive.

Peterson, C. (2000). The future of optimism.

American Psychologist, 55, 44-55

Siregar, S. (2013). Metode Penelitian

Kuantitatif: Dilengkapi Dengan

Perhitungan Manual & SPSS.

Snyder, C. R., Rand, K. L., & Sigmon, D. R.

(2002). Hope theory. Handbook of

positive psychology, 257-276.

Subandrio, C. Y (2021). Optimalisasi

Psychological Capital Siswa-Siswi SMK

Sebagai Aspek Penunjang Karir dan

Kewirausahaan. Laporan tugas Akhir

Mata Kuliah Olah Kreativitas dan

Kewirausahaan (OKK) - RK 073.

Universitas Padjadjaran.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian

Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Ubur, H. (2011). Upaya Penanggulangan

Kemiskinan Melalui Pendekatan Proses

Page 54: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 54

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

(Studi Kasus Masyarakat Wudi Nusa

Tenggara Timur). Aspirasi: Jurnal

Masalah-masalah Sosial, 2(2), 209-224.

Ustama, D. J. (2009). Peranan Pendidikan

Dalam Pengentasan Kemiskinan. Dialogie:

Jurnal Ilmu Administrasi Dan Kebijakan

Publik 6 (1), 1 -12

© 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license

(https://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0/).

Page 55: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 55

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

STUDI DESKRIPTIF UNTUK MELIHAT PROFIL INTERAKSI INTERPERSONAL RELAWAN SOSIAL DITINJAU MELALUI KONSEP FIRO-B

Feby Satya Wirawati1 1Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran, Jawa Barat, Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstract

The interpersonal interaction profile between social volunteers was directly related to team effectiveness and indirectly to result in higher productivity. The purpose of this study was to identify the profile of interpersonal interactions of social volunteers in Bandung using the concept of Fundamental Interpersonal Relations Orientation-Behavior (FIRO-B). The number of participants in this study were 34 people using a total sampling technique. Research has shown that the selection of individuals in important teams is based on their interpersonal needs which can thus improve their interpersonal and communication skills. Keyword: interpersonal interaction profile, social volunteers, FIRO-B

1. PENDAHULUAN

Manusia merupakan mahluk social yang

saling beinteraksi dan membantu dengan

sesamanya untuk saling bertukar pikiran guna

mememnuhi kebutuhannya. Interaksi

manusia ini daapat dilihat secara langsung

dalam tatanan masyarakat ketika

memberikan pelayanan ataupun memberikan

dukungan baik berupa barang maupun jasa

kepada sesama manusia yang benar-benar

membutuhkan. Perilaku memberi manfaat

dan membantu kepada orang lain tanpa

amengharapkan imbalan ini adalah perilaku

yang dikenal dengan istilah altruism.

Menurut Baston altruisme adalah respons

yang memangkitkan emosi positif seperti

empati. Seorang altruist memiliki motif

altruistik dan keinginan untuk selalu

memantu orang lain yang menciptakan dalam

dirinya perasaan positif yang erasal dari motif

altruistik sehingga dapat mengarah pada

tindakan menolong orang lain.

Relawan sosal merupakan salah satu

contoh individu yang identik dengan perilaku

menolong dengan cara memberikan bantuan

pada orang lain yang bersifat tidak

mementingkan diri sendiri. Relawan adalah

seseorang atau sekelompok orang yang secara

ikhlas karena panggilan nuraninya

memberikan apa yang dimilikinya baik berupa

pikiran, tenaga, waktu maupun harta kepada

masyarakat sebagai perwujudan tanggung

jawab sosialnya tanpa mengharapkan pamrih

baik berupa imbalan dan upah, kedudukan,

kekuasaan, kepentingan maupun karier

Menurut Schoender (Bonar &amp;

Fransisca 2012) relawan memiliki tanggung

jawab untuk melayani orang lain membawa

banyak keuntungan dan manfaat bagi banyak

pihak termasuk kesehatan masyarakat

hubungan sosial yang lebih dekat

menumbuhkan kepercayaan dan norma

timbal balik Berdasarkan uraian di atas dapat

dipahami bahwa relawan adalah individu yang

bersedia menyumbangkan tenaga atau

jasanya kemampuan dan waktunya tanpa

mengharapkan imbalan finansial atau tidak

mengharapkan keuntungan dari organisasi

jasa yang secara resmi menyelenggarakan

kegiatan tertentu.

Page 56: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 56

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

Selain itu peran relawan sosial menurut

puspensos.kemsos.go.id adalah untuk dapat

memerikan layanan konseling dan imingan

kelompok kepada individu kelompok dan

masyarakat kepada mereka yang

membutuhkan konseling konseling dan

pemecahan masalah yang mereka hadapi

(misalnya tertimpa bencana sosial). Dengan

rincian kegiatan (1) Melakukan penilaian

terhadap status masyarakat yang terkena

encana (2) Memerikan motivasi (spiritual)

memperkuat moral (3) Melakukan kegiatan

pemulihan masyarakat rentan (4)

Melaksanakan kegiatan peningkatan

kesadaran pencegahan pengurangan risiko

dampak terhadap masyarakat dan (5) Bekerja

sama dengan pemangku kepentingan lainnya

dalam memerikan pelayanan kepada

masyarakat.

Menurut Nesit (2018) keikutsertaan

relawan ditentukan oleh pertimbangan

organisasi dan pertimbangan relawan itu

sendiri. Ada empat aspek yang dipandang

dalam organisasi yaitu keputusan

mempekerjakan relawan jumlah relawan

kontriusi relawan terhadap organisasi dan

status relawan dalam organisasi. Untuk

pertimangan relawan khususnya pergantian

relawan dalam organisasi karakteristik dan

keragaman relawan intensitas dan durasi

relawan dan kualitas kerja relawan.

Delapan aspek yang disebutkan diatas

sangat mempengaruhi tingkat partisipasi

relawan dalam suatu organisasi. Cakupan

keikutsertaan relawan dalam organisasi tidak

tetap tetapi dapat berubah dari waktu ke

waktu karena keputusan organisasi dan

relawan.

Relawan dapat dimotivasi oleh pengaruh

internal dan eksternal. Misalnya, Clary dan

Snyder (1991) mengusulkan pendekatan

fungsional untuk motivasi sukarelawan,

menunjukkan bahwa menjadi sukarelawan

memberikan kesempatan untuk memuaskan

kebutuhan dan dorongan pribadi. Para

peneliti juga berfokus pada bagaimana faktor

sosial seperti harapan orang lain dapat

mendorong dan mempertahankan

kesukarelaan (Grube dan Piliavin 2000).

Menurut self-determination theory, motivasi

diri difasilitasi oleh kondisi yang memenuhi

kebutuhan psikologis bawaan individu untuk

otonomi pribadi dan hubungan interpersonal.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa,

relawan sosial dalam menjalankan fungsinya

diharapkan dapat menjalin relasi

interpersonal dengan berbagai pemangku

kepentingan khususnya yang berada di daerah

Bandung. Oleh karenanya relawan selayaknya

memiliki keterampilan dalam menjalin

hubungan interpersonal, namun disisi lain

mereka juga dituntut agar dapat menjalankan

fungsinya secara independen tidak

terpengaruh oleh intervensi berbagai pihak

dalam cakupan relasinya, dan mereka dituntut

agar dapat tetap menjaga integritasnya.

Berdasarkan pemaparan sebelumnya,

sehingga peneliti menjadi tertarik untuk

melihat preferensi interaksi interprosal

relawan sosial yang berlokasi di Kota

Bandung. Dalam melihat preferensi interaksi

interpersonal tersebut, peneliti menggunakan

model konseptual FIRO-B yang didalamnya

mencakup domain Expresseded dan wanted

interaction, sehingga kemudian dapat

tergambar profil interaksi interpersonal antar

relawan, baik secara individual maupun

secara kolektif.

1.1. Interaksi Interpersonal ditinjau dari

Konsep FIRO-B

Konsep FIRO-B dan instrumen

penelitiannya dikembangkan oleh Schutz

(1958), namun telah mengalami perubahan

dan perluasan yang signifikan (Schutz, 1992,

1994, Thompson & Schutz, 2000). Konsep

Page 57: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 57

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

FIRO-B menunjukkan bahwa untuk

menjelaskan perilaku interpersonal

dibutuhkan tiga kebutuhan dasar

interpersonal yaitu inclusion, control, dan

affection. Ada dua aspek dari tiga kebutuhan

interpersonal tersebut yaitu expresseded dan

wanted. Individu berkeinginan untuk

mengungkapkan atau mengekspresikan

kebutuhan interpersonalnya terhadap orang

lain, serta yang mereka inginkan dari orang

lain. Premis dasar dari konsep FIRO-B adalah

bahwa semua individu berusaha untuk

membangun hubungan yang harmonis

dengan orang lain dalam interaksi sosial

mereka. Individu berusaha untuk

membangun hubungan yang harmonis dalam

aspek inclusion, control, dan affection untuk

menghindari stres dan frustrasi dalam

rangka memenuhi kebutuhan mereka

(Thompson & Schutz, 2000).

Tujuan dari FIRO-B adalah untuk manrik

gambaran umum mnegenai perilaku individu

dalam kaitannya dengan interaksi mereka

dengan orang lain yang barada pada suatu

setting sosial, misalnya tempat kerja atau

kelompok kerja. Kemampuan FIRO-B untuk

mengestimasi kebutuhan interpersonal dan

respon emosional membuatnya sangat

bermanfaat untuk menganalisis preferensi

interaksi interpersonal seseorang, termasuk

para profesional dibidang akuntansi (Taggar

& Parkinson, 2007). FIRO-B cukup berguna

dalam menunjukkan potensi keharmonisan

maupun ketidakharmonisan dalam

hubungan kerja dan bagaimana perilaku

suatu individu dirasakan oleh orang lain.

Oleh karena itu FIRO-B cukup membantu

dalam mengidentifikasi dan menseleksi

seseorang baik pada posisi manajerial atau

posisi lainnya.

Aspek FIRO-B inclusion memper-

timbangkan orientasi sosial seseorang secara

umum dan kebutuhan interaksi dan

keterlibatan. Dalam menjaga hubungan

dengan orang lain, ada kebutuhan untuk

dilibatkan dalam kegiatan orang lain atau

melibatkan orang lain dalam suatu kegiatan

seseorang.

Pada suatu tingkat tertentu, individu

berusaha untuk terlibat dalam suatu

kelompok, tetapi ada juga yang harus

dibiarkan sendiri. Setiap individu berbeda

dalam tingkat kebutuhan dan tingkat

kenyamanan mereka untuk dilibatkan dalam

suatu kelompok. Kebutuhan untuk terlibat

atau menunjukkan ketertarikan untuk

terlibat kepada orang lain disebut

Expresseded inclusion.

Semenara wanted inclusion didefinisikan

sebagai kebutuhan untuk dilibatkan oleh

orang lain untuk mendapatkan pengakuan.

Pada kondisi ekstrem, orang "under social"

umumnya introvert dan menarik diri, dan

orang "over social" biasanya ekstrovert,

narsis dan datar. Macrosson (2000)

menyatakan bahwa inclusion mengacu pada

perasaan individu tentang diri sendiri, yaitu,

kebutuhan untuk merasa dihargai dan

dihormati. Individu "under social" biasanya

mereka merasa ditinggalkan, tidak

dilibatkan, dan tidak terikat secara sosial.

Sedangkan individu "over social" bertujuan

untuk memusatkan perhatian pada diri

mereka sendiri, untuk menjadi terkenal,

untuk didengarkan dan untuk diperhatikan

sebagai cara meningkatkan pengakuan

terhadap mereka.

Aspek perilaku kedua adalah control,

yang didefinisikan sebagai kebutuhan untuk

menguasai dan mempengaruhi. Kebutuhan

ini termasuk menjaga keseimbangan yang

memuaskan untuk menguasai dan

mempengaruhi dalam menjalin suatu

hubungan. Individu seringkali perlu

menunjukkan kemampuan untuk memimpin

atau mengendalikan orang lain. FIRO-B

Page 58: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 58

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

mendefinisikan kebutuhan ini sebagai

"Expresseded control." Setiap individu juga

memiliki suatu kebutuhan “wanted control.”

Untuk tingkat tertentu, mereka ingin

dikendalikan atau dibimbing oleh orang lain.

Meskipun individu menginginkan kebebasan

dan individualitas, ada kebutuhan dalam

berbagai tingkat Expresseded dan wanted

control.

Area perilaku ketiga adalah affection,

yang mengacu pada kebutuhan untuk

kerukunan dan keakraban. Affection

termasuk kebutuhan akan persahabatan dan

keakraban, yaitu, kebutuhan untuk merasa

dekat dengan orang lain. Setiap individu

merasa perlu untuk mengungkapkan kasih

sayang (Expressed affection) terhadap orang

lain tetapi mereka juga harus menjaga jarak.

Mereka menginginkan kasih sayang (wanted

affection) atau menyukai ungkapan kasih

sayang yang tertuju kepada mereka, namun

kebutuhan ini sering bervariasi dalam

tingkatan kekuatannya. Membutuhkan kasih

sayang tidak selalu merupakan hubungan

yang romantis.

Macrosson (2000) mengembangkan

instrumen FIRO-B untuk mengukur orientasi

intrapersonal. Instrumen menggunakan nilai

berkisar antara 0 sampai 9 untuk kebutuhan

Expresseded dan wanted untuk masing-

masing tiga aspek perilaku - inclusion, control

dan affection. Total skor, disebut sebagai

Social Interaction Index (SII) yang nilainya

dapat berkisar dari 0 sampai 54. SII

mengukur preferensi interaksi interpersonal

yang ditinjau berdasarkan kebutuhan

interpersonal secara keseluruhan. Semakin

tinggi skor yang diperoleh pada salah satu

domain, semakin menggambarkan tingginya

kebutuhan kebutuhan interpersonal pada

domain tersebut. Thompson & Schutz (2000)

menunjukkan bahwa penggunaan FIRO-B

oleh praktisi telah meningkat. FIRO-B dapat

memberikan pengetahuan yang mendalam

yang berkaitan dengan interaksi antar

individu, dinamika tim, kompatibilitas

anggota tim, pengembangan tim, efektifitas

tim, dan kepuasan anggota tim. Metode ini

telah direvisi dan diperbaiki secara

mendalam, sehingga instrumen FIRO-B jauh

lebih raliabel dan valid (Thompson & Schutz,

2000).

1.2 Relawan Sosial

Relawan adalah individu yang ikhlas

membantu individu lain tanpa ada upah atau

gaji. Tujuan dari kerelawanan sosial adalah

untuk membantu masyarakat meningkatkan

sumber daya sosial, memenuhi kebutuhan

sosial dan meningkatkan kesejahteraan

relawan (Zanbar, 2019).

Hal ini sangat identik dengan definisi

relawan informal yang berkembang sebelum

munculnya relawan formal yang berada di

organisasi tertentu. Relawan informal adalah

seseorang yang bekerja untuk membantu

orang lain yang tidak dilakukan oleh

kelompok atau lembaga yang terorganisir.

Kegiatan sukarelawan informal meliputi

merawat anak-anak atau orang tua, memasak

makanan, melakukan pekerjaan rumah

tangga, memberi arahan, mendengarkan

masalah teman, dan memberi nasihat. Banyak

kegiatan sukarela informal bersifat timbal

balik, dengan individu saling membantu

secara bergantian atau dengan orang-orang

dalam kelompok informal membantu anggota

kelompok lainnya (Bennett & Einolf, 2017).

Bila dilakukan secara timbal balik dan di

Indonesia dikenal dengan gotong royong

(Habibullah, 2014).

Berdasarkan undang-undang no. 11

Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial,

yang dimaksud dengan Relawan Sosial adalah

seseorang dan/atau sekelompok orang yang

berlatar belakang pekerjaan sosial atau non

sosial, tetapi mempunyai kegiatan organisasi

Page 59: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 59

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

dalam pekerjaan sosial. sektor kesejahteraan

tidak berada dalam badan sosial negara atas

kemauannya sendiri, dengan atau tanpa

kompensasi. Berdasarkan pengertian tersebut

maka relawan sosial menyatakan bahwa

relawan sosial bekerja di bidang

penyelenggaraan bantuan sosial, tetapi tidak

pada badan sosial negara atas kehendaknya

sendiri dengan atau tanpa imbalan. Dalam

praktiknya, banyak dari para relawan sosial

ini yang bekerja atau berdomisili di instansi

sosial pemerintah baik pusat maupun daerah

menerima imbalan berupa upah dari

Kementerian Sosial Republik Indonesia. Tidak

bisa dipungkiri relawan bisa bekerja di

instansi pemerintah, Amerika Serikat juga

mengalaminya, sebanyak 36 persen relawan

bekerja di instansi pemerintah (Brudney &

Kellough, 2000).

Menurut Nesbit (2018) keterlibatan

relawan dalam organisasi ditentukan oleh

pertimbangan organisasi dan pertimbangan

relawan itu sendiri. Dalam

mempertimbangkan organisasi, ada empat

dimensi, yaitu keputusan menggunakan

relawan, jumlah relawan, kontribusi relawan

terhadap organisasi dan status relawan dalam

organisasi. Mengenai pertimbangan relawan,

yaitu pergantian relawan organisasi,

karakteristik dan keragaman relawan,

intensitas dan durasi pengabdian relawan dan

kualitas kerja relawan.

Secara umum kedelapan dimensi

tersebut sangat mempengaruhi keterlibatan

relawan dalam suatu organisasi. Keterlibatan

dapat dibatasi pada keterlibatan sukarelawan

yang tidak terbatas dalam organisasi. Tingkat

keterlibatan sukarelawan dalam suatu

organisasi tidak statis, tetapi dapat berubah

seiring waktu karena keputusan organisasi

dan sukarelawan. Perubahan ini bisa

disengaja dan direncanakan atau tidak

disengaja dan tidak direncanakan.

Dimensi Keterlibatan Relawan Pada

Organisasi

I. Pertimbangan Organisasi

a. Keputusan untuk menggunakan

relawan

• Apakah akan menggunakan

relawan atau tidak

• Jenis relawan yang

dicari/diizinkan (batasan usia,

latar belakang, pendidikan, atau

keterampilan yang diperlukan)

b. Besaran penggunaan relawan

• Jumlah relawan

• Jumlah relawan relative

terhadap jumlah staf

• Jumlah jam relawan

• Jumlah jam relawan relatif

terhadap jam staf

• Jumlah jenis relawan tertentu

c. Kontribusi relawan untuk organisasi

• Tugas relawan

• Peran relawan

• Peran relawan relatif terhadap

peran staf, tumpang tindih dalam

peran

• Perubahan staf dan relawan

• Sifat tugas dan peran relawan

relatif terhadap misi dan hasil

organisasi

d. Status sukarelawan dalam organisasi

• Tingkat integrasi

• Tingkat marjinalisasi

• Status sukarelawan relatif

terhadap status staf

II. Pertimbangan Relawan

a. Relawan masuk dan keluar dari

organisasi

• Keputusan untuk menjadi

relawan untuk sebuah organisasi

• Keputusan untuk berhenti

menjadi relawan untuk sebuah

organisasi

Page 60: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 60

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

• Jumlah relawan yang memasuki

organisasi relatif terhadap

mereka yang keluar (turnover)

• Jumlah relawan baru yang relatif

terhadap jumlah ideal organisasi

relawan baru

b. Karakteristik dan keragaman relawan

• Demografi relawan

• Pengetahuan, keterampilan, dan

kemampuan relawan

• Motivasi relawan

• Jumlah atau persentase relawan

yang mewakili kelompok

minoritas atau kurang terwakili

• Keragaman relawan relatif

terhadap klien atau klien

organisasi komunitas yang lebih

besar, keterwakilan

• Apakah relawan adalah

karyawan, klien, pelindung,

donor, atau anggota organisasi

c. Intensitas dan durasi komitmen

relawan

• Jumlah jam berdonasi

• Durasi pencarian peluang relawan

(episodik, jangka pendek versus

jangka panjang)

• Durasi keseluruhan layanan

(misalnya, jumlah acara, hari,

minggu, bulan, atau tahun

dilayani)

• Kualitas kerja sukarelawan

• Akurasi pekerjaan yang

diselesaikan

• Kecepatan dan ketepatan waktu

pekerjaan yang dilakukan

• Hadiri pertemuan pelatihan

• Reliabilitas

• Absenteeism dan jumlah shift

kerja yang terlewat

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan

metodologi kuantitatif dengan metode

analisis deskriptif untuk melihat profil

interaksi interpersonal Relawan Sosial di Kota

Bandung, yang ditinjau berdasarkan model

konseptual FIRO-B. Secara teknis, aspek

pengukuran yang termasuk dalam profil

tersebut adalah Expresseded inclusion, wanted

inclusion, Expresseded control, wanted contro,

Expresseded affection, wanted affection. Aspek

pengukuran tersebut akan di analisis secara

deskriptif untuk menarik gambaran umum

mengenai profilnya. Analisis dilakukan

dengan menggunakan prosedur statistic

analysis descriptive dengan IBM SPSS Ver. 20.

2.1. Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian adalah

Relawan Sosial yang berjumlah 34 orang.

Dengan jumlah tersebut, sehingga tidak

memungkinkan untuk dilakukan teknik

pengambilan sampel secara probabilistik.

Sehingga, peneliti memilih untuk melakukan

metode pengambilan sambel secara non-

probabilistik dengan menggunakan teknik

total sampling, dimana seluruh populasi yang

menjadi unit analisis dijadikan sebagai

sampel penelitian.

2.2. Instrumen Pengukuran FIRO-B

Instrumen pengukuran dalam penelitian

ini menggunakan FIRO-B Inventory oleh

Thompson & Schutz (2000). Instrumen ini

terdiri dari 6 aspek penilaian yaitu

Expresseded inclusion (α=0.78), wanted

inclusion (α=0.76), Expresseded control (α=

0.82), wanted control (α=0.79), Expresseded

affection (α=0.80), wanted affection (α= 0.79).

Page 61: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 61

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

3. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL

3.1. Hasil

Tabel dibawah ini menunjukkan hasil

analisis statistik deskriptif yang digunakan

untuk memberikan gambaran umum

mengenai data demografi responden. Jumlah

partisipan laki-laki sebanyak 15 orang dengan

presentase 44%. Sedangkan jumlah partisipan

perempuan sebanyak 19 orang dengan

presentase sebesar 56%.

Tabel.1 Data Demografi Partisipan

Jenis Kelamin Jumlah Persentase

Laki-laki 15 (44%)

Perempuan 19 (56%)

Penelitian ini di uji dengan menggunakan

metode pengujian analisis deskriptif dan uji

komparasi independen sampel t-test, untuk

melihat profil interaksi interpersonal relawan

sosial.

Tabel 2. Hasil Uji Analisis Deskriptif

Mean Std. Deviation Skewness Kurtosis

Expressed Inclusion 4.15 0.12 0.15 -1.57

Wanted Inclusion 18.59 4.09 0.54 -0.78

Expressed Control 3.38 0.07 -0.21 -0.21

Wanted Control 12.62 2.99 0.63 -0.04

Expressed Affection 3.70 0.14 -1.12 0.06

Wanted Affection 12.82 2.13 0.59 -0.56

Skewness dan kurtosis merupakan

ukuran untuk melihat apakah data

berdistribusi secara normal atau tidak.

skewness mengukur kemencengan dari data

profil interaksi interpersonal, sedangkan

kurtosis mengukur puncak dari distribusi

data. data dikatakan berdistribusi normal jika

mempunyai nilai yang mendekati nol. Pada

dimensi Expresseded inclusion nilai skewness

dan kurtosis masing-masing adalah 0.15 dan -

0.57, pada dimensi wanted inclusion nilai

skewness dan kurtosis nya adalah 0.54 dan -

0.78, pada dimensi Expresseded control nilai

skewness dan kurtosisnya adlaah masing-

masing sebesar - 0.21, kemudian pada dimensi

wanted control nilai skewness dan

kurtosisnya masing- masing adalah 0.63 dan -

0.04, selanjutnya pada dimensi Expresseded

affection nilai skewness dan kurtosisnya

adalah -1.12 dan 0.06 dan yang terakhir pada

dimensi wanted affection nilai skewness dan

kutorsisnya masing-masing adalah 0.59 dan -

0.56 sehingga dapat disimpulkan bahwa data

berdistribusi secara normal.

Tabel 3. Hasil Uji Independent Sample T-Test

Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Expressed Inclusion Laki- laki 4.04 0.69 0.15

Perempuan 4.30 0.71 0.18

Wanted Inclusion Laki-laki 17.3 3.84 0.88

Perempuan 20.1 3.98 1.02

Expressed Control Laki-laki 3.47 0.45 0.10

Perempuan 3.27 0.40 0.10

Wanted Control Laki-laki 12.6 2.94 0.67

Page 62: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 62

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Perempuan 12.5 3.15 0.81

Expressed Affection Laki-laki 3.72 0.83 0.19

Perempuan 3.67 0.84 0.21

Wanted Affection Laki-laki 12.3 1.77 0.40

Perempuan 13.40 2.47 0.63

Pada tabel diatas dapat dilihat hasil uji

analisis sample t-test dimana pada dimensi

Expresseded inclusion, wanted inclusion dan

wanted affection perempuan lebih besar

nilainya dibandingkan dengan karyawan

berjenis kelamin lak-laki. Sedangkan pada

dimensi Expresseded control, wanted control

dan Expresseded affection nilainya karyawan

yang berjenis kelamin laki-laki lebih besar

dibandingkan dengan karyawan berjenis

kelamin perempuan.

3.2. Pembahasan

Penelitian ini menunjukan bahwa

terdapat perbedaan yang tidak terlalu

signifikan secara statitik dalam pola interaksi

interpersonal pada relawan. Para relawan

tidak hanya menunjukan kebutuhan yang

moderat untuk setiap dimensi yang ada pada

alat ukur ini. Ini dibuktikan oleh nilai yang

diperoleh dimana setiap kebutuhan dari

mulai kebutuhan Inclusion, Control dan

Affeection menunjukan pada posisi middle.

Skor moderat ini tidak hanya ditunjukan

untuk dimensi Inclusion, Control dan juga

Affection tetapi juga pada dimensi expressed

dan juga wanted. Perbedaan antara laki-laki

dan perempuan dapat diidentifikasi pada

dimensi expressed control dan wanted

affection. Relawan Laki-laki menginginkan

lebih banyak kontrol sementara relawan

perempuan menunjukkan kebutuhan

affection yang lebih tinggi. Selain itu, relawan

laki-laki juga menyatakan wanted control

yang lebih tinggi daripada perempuan.

Para relawan selayaknya memiliki

keterampilan dalam menjalin hubungan

interpersonal, namun disisi lain mereka juga

dituntut agar dapat menjalankan fungsinya

secara independen tidak terpengaruh oleh

intervensi berbagai pihak dalam cakupan

relasinya, dan mereka dituntut agar dapat

tetap menjaga integritasnya.

Hasil penelitian menunjukan bahwa

relawan yang bekerja di Bandung dapat

memposisikan diri secara fleksibel dengan

anggota tim, mengetahui kapan waktu yang

tepat untuk mendekat dan memberikan

batasan untuk anggota tim serta bersama-

sama melibatkan seluruh anggota tim yang

kemudian berpengaruh kepada terjalinnya

hubungan yang harmonis antar rekan tim

sehingga relawan mempunyai pola interaksi

yang profesional yang mengarah pada

kesuksesan kerja tim.

Dalam hal wanted control terjadi

tuntutan bagi relawan khususnya ketua tim

untuk mensupervisi anggota tim sebelum

penugasan dimulai dan berhubungan

langsung sehingga mempengaruhi tingkat

ketrampilan sosial secara keseluruhan.

4. KESIMPULAN

Relawan diminta untuk mengembangkan

keterampilan interpersonal mereka. Kepala

dari tim relawan menunjukkan bahwa

keterampilan komunikasi dan kemampuan

untuk berinteraksi baik secara kelompok yang

beragam maupun secara individu adalah

persyaratan yang penting bagi relawan sosial.

Persyaratan ini mempunyai arti bahwa

Page 63: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 63

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

relawan harus memiliki atau

mengembangkan keterampilan interpersonal.

Sangat penting untuk mengetahui bahwa

kebutuhan interpersonal inclusion, control,

affection dari seorang individu cocok dengan

lingkungan kerja, jika tidak kita akan memiliki

karyawan yang tidak bahagia dan yang akan

menghambat tugas mereka. Oleh karena itu,

penting untuk mengidentifikasi kebutuhan

interpersonal khususnya bagi seorang

relawan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa

relawan yang bekerja di Bandung memiliki

keterampilan interpersonal yang baik, baik itu

relawan laki- laki maupun relawan

perempuan. Para relawan ini dapat

memposisikan diri secara fleksibel dalam tim

sehingga terjalin hubungan yang harmonis

antar rekan tim.

5. SARAN

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat

sebagai bahan pertimbangan bagi organisasi

dalam merekrut serta mengembangkan

kebijakan yang berkaitan dengan pekerja tim.

Para peneliti selanjutnya dapat

mempertimbangkan untuk menambah

sampel penelitian. Hal ini perlu dilakukan

untuk melengkapi data yang dirasa kurang

jika hanya menggunakan satu metode

penelitian saja.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmetoglu, G., Chamorro‐Premuzic, T., &

Furnham, A. (2010). Interpersonal

Relationship Orientations, Leadership,

and Managerial Level: Assessing the

practical usefulness of the FIRO‐B in

organizations. International journal of

selection and assessment, 18(2), 220-

225.

Braddock, C. L. (2006). Penny wise, pound

foolish: why investors would be foolish to

pay a penny or a pound for the

protections provided by Sarbanes- Oxley.

BYU L. Rev., 175.

Gaur, D. (2019). Self-Leadership and

interpersonal competences of future

aspiring professionals in the Arab Middle

East: Reference to FIRO-

B. Management Science Letters, 9(12), 2021-

2028.

Brudney, J. L., & Kellough, J. E. (2000).

Volunteers in state government:

Involvement, management, and benefits.

Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly,

29(1),111–130.

Habibullah. (2017). Pemanfataan Potensi dan

Sumber Kesejahteraan Sosial. Sosio

Konsepsia, 6(02), 88–97.

Harrington, B., & James, J. B. (2006). The

standards of excellence in work-life

integration: From changing policies to

changing organizations. M. Pitt-

Catsouphes/EE Kossek/SA Sweet (Hg.):

The work and family handbook. Multi-

disciplinary perspectives, methods, and

approaches. Mahwah, NJ, 665-683.

Kementerian Sosial RI. (2017). Peraturan

Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor

16 Tahun 2017 Tentang Standar Nasional

Sumber Daya Manusia Penyelenggara

KesejahteraanSosial.

Kwon, I. W. G., & Banks, D. W. (2004). Factors

related to the organizational and

professional commitment of internal

relawans. Managerial Auditing Journal.

Page 64: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 64

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

Macrosson, W. D. K. (2000). FIRO–B: Factors

and Facets. Psychological reports, 86(1),

311-320.

Nesbit, R., Christensen, R. K., & Brudney, J. L.

(2018). The Limits and Possibilities of

Volunteering: A Framework for

Explaining the Scope of Volunteer

Involvement in Public and Nonprofit

Organizations. Public Administration

Review, 78(4), 502–513.

Siegel, P. H., & Miller, J. R. (2009). An

international comparison of social

interaction attributes of internal

relawans: an analysis using the Firo- B.

Available at SSRN 1616327.

Siegel, P. H., & Schultz, T. (2011). Social Skills

Preferences Among Internal Relawans

An Explanatory Study Using The FIRO-B.

Journal of Applied Business Research

(JABR), 27(3), 43-54.

Siegel, P. H., & Smith, J. W. (2003). CPA firm

personnel preferences for social

interaction: An examination using the

FIRO-B. Journal of Business and

Entrepreneurship, 15(2), 77.

Thompson, H., & Schutz, W. (2000). FIRO

element B organizational interpretive

report. Watkinsville, GA: High

Performing Systems.

Zanbar, L. (2019). The Effect of Volunteering

for Community Activity on the Social

Resources of Low-SES Residents:

Differences Between Volunteer

Community Activists and Other

Residents. Voluntas, 30(1), 164–174.

© 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and

conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0/).

Page 65: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 65

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

PEMBERDAYAAN ANGGOTA KOPERASI SEBAGAI ORGANISASI SOSIAL MELALUI

PENDEKATAN TEAM EMPOWERMENT PADA MASA COVID-19

Revina Hardiyanti1

1Magister Psikologi SDM, Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran, Jawa Barat, Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstract

Savings and loan cooperatives are one of the economic empowerment organizations to improve welfare,

in the environment around the cooperative and the large community to provide a stimulus for the

formation of new businesses that benefit the economy. In addition to financial institutions affected by

COVID-19, the International Labor Organization estimates that COVID-19 will have an impact on

increasing the number of unemployed, indicating that maintaining business operations will be very

difficult. One of the keys to maintaining business operations is to stimulate employees to be involved in

various organizational work implementations. The active involvement of employees in carrying out a

series of essential tasks within the organization has a significant contribution to improving

organizational performance, and performance effectiveness both at the group level and at the individual

level. Through team empowerment programs, organizations can stimulate the involvement of their

employees. Empowerment is a way to create a conducive working atmosphere as well as a process to

build high dedication and commitment so that the organization can be very effective in achieving its

goals. The subjects in this study were 32 participants who worked in teams at Cooperative X in Cirebon

City, West Java. The results show that the team has felt empowered with an average score above 70

which means the organization has provided freedom, care, effectiveness, autonomy, and the team feels

that its presence has an impact on the organization, other teams, and customers.

Keywords: Team Empowerment, Pandemic Covid-19, Saving and Loan Cooperative, Social Welfare

1. PENDAHULUAN

Dunia saat ini digemparkan dengan

merebaknya virus jenis baru yaitu coronavirus

jenis baru (SARS-CoV-2) dan penyakitnya

disebut Coronavirus Disease (COVID-19).

Diketahui asal mula virus ini berasal dari

Wuhan, Tiongkok. Ditemukan pada akhir

Desember tahun 2019. Sampai saat ini sudah

dipastikan terdapat lebih dari 65 negara yang

telah terjangkit virus satu ini. (Data WHO,

Maret 2020). Kejadian infeksi berat dengan

penyebab yang belum diketahui, yang berawal

dari laporan dari Cina kepada World Health

Organization (WHO) terdapatnya 44 pasien

pneumonia yang berat di suatu wilayah yaitu

Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, tepatnya

di hari terakhir tahun 2019. Dugaan awal hal

ini terkait dengan pasar basah yang menjual

ikan, hewan laut dan berbagai hewan lain.

Pada 10 Januari 2020 penyebabnya mulai

teridentifikasi dan didapatkan kode

genetiknya yaitu virus corona baru. Penelitian

selanjutnya menunjukkan hubungan yang

dekat dengan virus corona penyebab Severe

Acute Respitatory Syndrome (SARS) yang

mewabah di Hongkong pada tahun 2003,

hingga WHO menetapkan sebagai novel

corona virus (nCoV-19). Tidak lama kemudian

mulai muncul laporan dari provinsi lain di

Cina bahkan di luar Cina, pada orang-orang

dengan riwayat perjalanan dari Kota Wuhan

dan Cina yaitu Korea Selatan, Jepang, Thailand,

Amerika Serikat, Makau, Hongkong,

Singapura, Malaysia hingga total 25 negara

Page 66: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 66

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

termasuk Prancis, Jerman, Uni Emirat Arab,

Vietnam dan Kamboja. Ancaman pandemik

semakin besar ketika berbagai kasus

menunjukkan penularan antar manusia

(human to human transmission) pada dokter

dan petugas medis yang merawat pasien tanpa

ada riwayat berpergian ke pasar yang sudah

tutup. Laporan lain menunjukkan penularan

pada pendamping wisatawan Cina yang

berkunjung ke Jepang disertai bukti lain

terdapat penularan pada kontak serumah

pasien di luar Cina dari pasien terkonfirmasi

dan pergi ke Kota Wuhan kepada pasangannya

di Amerika Serikat. Penularan langsung antar

manusia (human to human transmission) ini

menimbulkan peningkatan jumlah kasus yang

luar biasa hingga pada akhir Januari 2020

didapatkan peningkatan 2000 kasus

terkonfirmasi dalam 24 jam. Pada akhir

Januari 2020 WHO menetapkan status Global

Emergency pada kasus virus Corona ini dan

pada 11 Februari 2020 WHO menamakannya

sebagai COVID-19.

Hingga 17 September 2021, jumlah kasus

infeksi COVID-19 terkonfirmasi mencapai 219

juta kasus diseluruh dunia. Awalnya kasus

terbanyak terdapat di Cina, namun saat ini

kasus terbanyak terdapat di Amerika Serikat

dengan 41,8 juta kasus, diikut oleh India

dengan 33,4 juta kasus dan Brazil sebanyak

21,1 juta kasus. Virus ini telah menyebar

hingga lebih dari 199 negara. Kematian akibat

virus ini telah mencapai 4,55 juta kasus.

Tingkat kematian akibat virus ini mencapai 4-

5% dengan kematian terbanyak terjadi pada

kelompok usia di atas 65 tahun. Indonesia

melaporkan kasus pertama pada 2 Maret

2020, yang diduga tertular dari orang asing

yang berkunjung ke Indonesia. Kasus di

Indonesia pun terus bertambah, hingga

tanggal 17 September 2021 telah terdapat

4,178,164 kasus dengan kematian mencapai

139,682 jiwa. Tingkat kematian Indonesia 9%,

termasuk angka kematian tertinggi.

Saat ini lembaga keuangan yang paling

terdampak COVID-19 adalah Koperasi.

Koperasi sendiri merupakan sebuah lembaga

organisasi ekonomi yang dikelola bersama

untuk kepentingan tertentu. Menurut Menteri

Koperasi dan Usaha Kecil Menengah dalam

pertanyaannya di Pikiran Rakyat menyatakan

bahwa sebanyak 1.785 koperasi di seluruh

Indonesia terdampak pandemi COVID-19, dan

para pengelola koperasi merasakan sejumlah

penurunan penjualan dan pendapatan

dibandingkan dengan tahun-tahun

sebelumnya hal ini dikarenakan

keterlambatan distribusi dan kekurangan

modal. Jika disimpulkan lembaga koperasi

sedang cemas akan keberlangsungan usaha,

turunnya jumlah penjualan dapat diartikan

penurunan jumlah pendapatan sehingga

koperasi harus lebih berhati-hati dalam

melakukan proses peminjaman kepada

nasabah dan anggotanya.

Salah satu Koperasi yang terkena dampak

adalah Koperasi X yang berada di Kota Cirebon

Jawa Barat. Koperasi X merupakan salah salah

satu organisasi pemberdayaan ekonomi dalam

upaya meningkatkan kesejahteraan melalui

jasa simpan pinjam, baik di lingkungan sekitar

Koperasi maupun masyarakat luas sehingga

memberikan stimulus untuk terbentuknya

usaha-usaha baru yang menguntungkan

perekonomian daerah setempat. Melalui

koperasi, aktifitas perekonomian masyarakat

bisa terwadahi dengan baik. Dengan adanya

wadah ini diharapkan bisa menjadi tempat

untuk mengembangkan diri, kerjasama, dan

menambah keterampilan.

Selain lembaga keuangan yang

terdampak oleh COVID-19, International

Labor Organization memperkirakan COVID-19

memberikan dampak pada kenaikan jumlah

pengangguran yang menandakan

Page 67: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 67

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

mempertahankan operasi bisnis akan sangat

sulit. Sumber daya manusia merupakan aset

yang paling penting dalam suatu organiasasi

atau perusahaan karena manusia merupakan

sumber daya yang dinamis dan selalu

dibutuhkan dalam tiap proses produksi

barang maupun jasa. Robbin dan Judge (2008)

menegaskan bahwa sumber daya manusia

adalah sumber daya yang sangat penting

dalam organisasi, oleh karena itu pengelolaan

penyediaan tenaga kerja yang bermutu,

mempertahankan kualitas dan pengendalian

biaya kerja sangat penting diperhatikan oleh

perusahaan maupun pelaku usaha manapun.

SDA di perusahaan perlu dikelula secara

profesional agar terwujud keseimbangan

antara kebutuhan karyawan dengan tuntutan

dan kemampuan perusahaan (Iresa, 2015).

Dalam rangka pencapaian tujuan secara efektif

dan efisien, organisasi membutuhkan sumber

daya manusia atau karyawan dengan tingkat

loyalitas dan partisipasi yang tinggi, dan

tingkat loyalitas dan partisipasi yang tinggi

tersebut yang dinamakan komitmen (Mulyati,

2013). Perusahaan membutuhkan komitmen

karyawan terhadap organisasi karena hal

tersebut penting dalam menjaga stabilitas

kondisi dan situasi sebuah perusahaan.

Putranta dalam (Tarigan, 2017) mengatakan

dari sejumlah studi yang telah dilakukan

untuk menemukan faktor-faktor yang

mempengaruhi komitmen antara lain (1)

ketersediaan pelatihan, (2) kepuasan kerja,

(3) pemberdayaan, (4) etika kerja, (5) jarak

kekuasaan, (6) penghindaran ketidakpastian.

Dari beberapa faktor diatas dapat kita

ketahui bahwa salah satu faktor yang

mempengaruhi komitmen organisasi adalah

pemberdayaan. Melakukan pemberdayaan

terhadap karyawan artinya perusahaan

memberikan kesempatan kepada karyawan

agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung

jawabnya dengan mengerahkan segala

kemampuan dan keterampilan karyawan.

Penelitian dari Mahiri (2017) menyatakan

bahwa semakin karyawan diberdayakan

sebaik mungkin maka akan meningkatkan

komitmen organisasional dalam diri

karyawan itu sendiri. Sehingga semakin

perusahaan memberdayakan seluruh

pegawainya maka akan semakin mudah

tujuan perusahaan tercapai. Dan tujuan

pemberdayaan tersebut akan lebih mudah jika

pemberdayaan dilakukan dalam tim.

Pemberdayaan tim dalam perusahaan

merupakan salah satu proses untuk

mendukung terlaksananya strategi

perusahaan. Tim adalah sebuah unit yang

terdiri dari dua orang atau lebih yang saling

berinteraksi dan berkoordinasi untuk

menyelesaikan sebuah tugas (Daft, 2003:171).

Hackman dan Wageman (2005) menyarankan

bahwa efektivitas tim terdiri dari tiga dimensi:

kinerja/hasil tugas tim, proses-proses sosial

yang memaksimalkan efektivitas kelompok,

dan keberlanjutan pengalaman kelompok

yang berkontribusi positif terhadap

pembelajaran dan kebahagiaan individual

anggota tim.

Pada semua bidang usaha manapun pasti

memiliki tim yang bertugas didalamnya, tidak

terkecuali unit Koperasi yang ada di Indonesia

khusus nya di Kota Cirebon Jawa Barat.

Kinerja koperasi yang baik yaitu sistem

pengelolaan pengawasan, pengurus, anggota,

dan lembaga bekerja sama dengan baik serta

saling mengembangkan satu sama lain, dan hal

tersebut bergantung pada partisipasi dan

pemberdayaan anggota/karyawan sudah

optimal. Koperasi saat ini mengalami

tantangan yang cukup signifikan akibat

COVID-19, selain mereka harus

mempertahankan kegiatan usaha mereka juga

harus mempertahankan partisipasi dan

meningkatkan pemberdayaan anggota.

Page 68: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 68

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

Kota Cirebon sendiri memiliki jumlah

koperasi aktif sebanyak 266 unit, koperasi

pasif sebanyak 137 unit. Jumlah anggota

keseluruhan sebanyak 28.790 orang. Jumlah

karyawan mencapai 211 orang. Dengan

jumlah aset sebesar Rp. 744 Miliar (Data

Cirebon Kota, 2021). Jumlah ini cukup banyak

dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya,

dan di setiap unit kerja koperasi tersebut

masih menghadapi hambatan dan masalah

internal yang berkaitan dengan sumber daya

manusia. Dalam menghadapi masalah

tersebut membuat koperasi menyadari

pentingnya memiliki kondisi koperasi yang

adaptif, sehingga dapat memberikan dorongan

pada Sumber Daya Manusia (SDM) yang

bekerja untuk mencapai misi dan tujuan

perusahaan.

Salah satu kunci untuk meningkatkan

kinerja perusahaan adalah dengan

menstimulasi para karyawan untuk dapat

terlibat pada berbagai implementasi kerja

perusahaan. Keterlibatan aktif para karyawan

dalam menjalankan serangkaian tugas

esensial di dalam perusahaan memiliki

kontribusi yang signifikan terhadap

peningkatan kinerja perusahaan, dan

efektivitas kinerja baik pada level kelompok

maupun pada level individual. Melalui

program pemberdayaan kelompok kerja,

perusahaan dapat menstimulasi keterlibatan

para pegawainya. Pemberdayaan adalah cara

untuk menciptakan suasana kerja yang

kondusif serta suatu proses untuk

membangun dedikasi dan komitmen yang

tinggi sehingga organisasi tersebut bisa

menjadi sangat efektif dalam mencapai tujuan-

tujuannya. Beberapa penelitian sebelumnya

mengungkapkan bahwa pemberdayaan

kelompok kerja dalam suatu organisasi

memiliki kontribusi yang signifikan terhadap

team productivity (Hyatt & Rudy, 1997),

individual proactivity (Bateman & Crant,

1993), quality customer service (Lawler., dkk,

1995), team job satisfaction (Thomas &

Tymon, 1994), organizational commitment

(Steers, 1977) dan team commitment

(Hackman 1987).

1.1 Pemberdayaan (Empowerment)

Pemberdayaan merupakan proses

peningkatan otonomi dan keleluasan kepada

pekerja untuk mengerjakan tugasnya hingga

tahapan pekerja tersebut diperbolehkan

membuat keputusan sendiri terhadap

pekerjaannya (Greenberg dan Baron, 2003).

Robbins (2003) memberikan pengertian

bahwa pemberdayaan adalah menempatkan

pekerja untuk bertanggung jawab terhadap

pekerjaannya masing-masing atau apa yang

dikerjakan. Wibowo (2007) mendefinisikan

pemberdayaan sebagai suatu proses

menjadikan orang lebih berdaya atau lebih

berkemampuan untuk menyelesaikan

masalahnya sendiri dengan cara memberikan

kepercayaan dan kewenangan sehingga

menumbuhkan rasa tanggung jawabnya.

Dalam pemberdayaan terdapat

pendelegasian wewenang yang diberikan

kepada karyawan tertentu dalam

pengambilan keputusan sejauh tidak

menyimpang dari kebijakan perusahaan.

Pemberdayaan karyawan berimplikasi pada

kebebasan dan kemampuan karyawan

tertentu untuk membuat keputusan dan

komitmen, bukan hanya berbagi informasi dan

saran-saran. Pemberdayaan menyangkut

tentang kewenangan dan penguatan otoritas

dari karyawan tertentu. Seibert et al. (2004),

membedakan pemberdayaan menjadi dua

perspektif yaitu makro dan mikro. Perspektif

makro berhubungan dengan struktur

organisasi dan kebijakan organisasi,

sedangkan perspektif mikro berhubungan

dengan reaksi psikologis yang dimiliki

karyawan terhadap struktur organisasi dan

kebijakan organisasi.

Page 69: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 69

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

1.2 Pemberdayaan Tim (Team

Empowerment)

Kerja tim merupakan strategi kunci dalam

memberdayakan individu (orang) dan

memperbaiki kinerja organisasional. Anggota

tim akan merasa memiliki kepuasan

sewajarnya, apabila bekerja sama dengan

orang lain dalam sebuah tim. Hal ini

dikarenakan lebih produktif dan lebih efisien

daripada individu bekerja sendiri. Hasil kerja

tim akan lebih besar daripada penjumlahan

hasil kerja individu-individu (Wibowo, 2007).

1.3 Pengertian Tim (tean) dan Grup

(Group)

Kelompok (group) didefinisikan sebagai

kumpulan dua atau lebih individu yang saling

berinteraksi dan saling membutuhkan satu

sama lain untuk mencapai tujuan bersama

(Shih, 2006). Cohen dan Bailey (1997)

mendefiniskan kelompok sebagai kumpulan

orang yang memiliki kesamaan sasaran atau

tujuan. Pada beberapa literatur menyatakan

bahwa penggunaan kata kelompok dan tim

dapat saling menggantikan (Shih, 2006).

Cohen dan Bailey (1997) menyatakan

pendapat yang sama mengenai penggunaan

kata kelompok dan tim, namun Cohen dan

Bailey (1997) menambahkan bahwa

penggunaan kata kelompok cenderung

digunakan untuk penulisan pada bidang

akademik, seperti dinamika kelompok (group

dynamics) dan efektivitas kelompok (group

effectiveness). Sedangkan untuk literatur atau

tulisan dalam bidang manajemen populer,

penggunaan kata “tim” lebih sering digunakan

untuk menggantikan kata “kelompok”, seperti

pemberdayaan tim (team empowerment) dan

kualitas peningkatan tim (quality

improvement teams).

Menurut Katzenbach dan Smith (2005),

tim dan kelompok jika dibandingkan akan

terlihat bahwa tim memiliki derajat komitmen

dan hubungan antar anggotanya lebih tinggi

dibandingkan kelompok. Hal utama yang

membedakan antara tim dengan bentuk kerja

kelompok lainnya adalah kinerja atau

prestasinya. Kelompok adalah tempat para

anggotanya secara individu berkontribusi

untuk prestasi bersama, sedangkan tim adalah

tempat para individu berusaha keras untuk

mencapai sesuatu yang lebih tinggi

dibandingkan kemampuan individu yang

dimiliki dalam mencapai prestasi. Cohen dan

Bailey (1997) mendefinisikan tim sebagai

kumpulan para individu yang saling

membutuhkan dalam mengerjakan tugasnya

serta berbagi tanggung jawab untuk mencapai

hasil yang terbaik dengan saling

memperhatikan satu sama lain sebagai satu

kesatuan sosial yang utuh. Sebuah kelompok

akan berubah menjadi sebuah tim apabila

orang-orang yang berada di kelompok

tersebut berkomitmen satu sama lain dan

mengubah tujuan individu masing-masing

menjadi tujuan kelompok. Keefektivitas

sebuah tim dapat terlihat dari tiga hal yaitu

kualitas produk, perilaku anggota tim seperti

kepuasan kerja, komitmen dan kepercayaan

dan tindakan yang dikeluarkan seperti tingkat

kehadiran, keamanan dan tingkat keluar-

masuk anggota pada tim.

Pada penelitian ini, pengertian tim dan

kelompok tidak berbeda dan saling

menggantikan, namun penggunaannya akan

lebih banyak kata tim dibandingkan

kelompok. Jenis tim dapat dikelompokan

menjadi dua kelompok utama yaitu tim

permanen dan tim sementara. Cohen dan

Bailey (1997) membagi tim menjadi tim kerja,

tim paralel, tim proyek, dan tim manajemen.

Tim kerja adalah tim yang bekerja secara

berkala untuk memproduksi sebuah produk

atau jasa, tipe anggotanya adalah tetap dan

biasanya bekerja dalam waktu penuh. Tim

paralel adalah sekumpulan orang yang

berkerjasama dan berasal dari berbagai unit

Page 70: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 70

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

kerja yang berbeda untuk memperbaiki

prestasi sebuah organisasi, biasanya tim

paralel digunakan untuk menyelesaikan suatu

masalah atau kegiatan berorientasi

pengembangan. Tim proyek adalah tim yang

memiliki jangka waktu tertentu, tim ini

menghasilkan satu hasil (output) seperti

produk baru atau pembuatan sistem informasi

baru. Tim manajemen adalah tim yang

bertanggung jawab atas semua prestasi dari

suatu bisnis, dan memiliki kemampuan untuk

memberikan arahan ke semua tim yang

berada di bawahnya. Jenis tim yang dijadikan

penelitian didefinisikan sebagai jenis tim

permanen yang memiliki unit kerja yang sama

pada Koperasi X.

1.4 Pengertian Pemberdayaan Tim

didefinisikan sebagai jenis tim permanen

yang memiliki unit kerja yang sama pada

Koperasi X didefinisikan sebagai jenis tim

permanen yang memiliki unit kerja yang sama

pada divisi Koperasi X Pemberdayaan tim

(team empowerment) dapat diartikan sebagai

peningkatan motivasi kerja atau tugas yang

disebabkan kerjasama anggota tim dan

penilaian positif mengenai tugas-tugas tim

dalam sebuah organisasi, sehingga terjadi

pergesaran kekuasaan kepada tim pekerja

yang diperbolehkan untuk membuat

keputusan sendiri. Pemberdayaan memiliki

peranan sangat besar untuk memotivasi

pekerja dalam mengerjakan sesuatu dengan

benar (Kirkman dan Rosen, 1999). Swenson

(1997) menyatakan bahwa pemberdayaan tim

adalah suatu fungsi yang memiliki kekuasaan,

sumber daya, informasi dan perhitungan

dalam suatu pekerjaan atau dengan kata lain

merupakan kemampuan tim untuk

mengontrol dan memodifikasi proses dan

prosedur tim tersebut. Individu yang tidak

diberdayakan sebelum pelaksanaan

pemberdayaan tim akan mudah beradaptasi

ketika pemberdayaan tim diaplikasikan,

dikarenakan individu tersebut diajak untuk

belajar menyalurkan idenya dalam

pemgambilan keputusan tim. Berbeda dengan

individu yang telah diberdayakan dan

berpengaruh besar atas keputusan kerja pada

tim, pengaplikasian pemberdayaan tim akan

mengancam perasaan dari individu tersebut

dikarenakan individu tersebut merasa

kehilangan beberapa pengaruh yang dimiliki

kepada timnya (Barnes, 2006). Sifat alami dari

sebuah tim adalah dinamis atau berubah

berdasarkan fungsi tim, input, proses dan

output. Pemberdayaan tim merupakan konsep

motivasional yang dinamis, sehingga motivasi

seorang anggota tim diberdayakan atau tidak

tergantung terhadap penilaian anggota tim

atas pekerjaan dan karakteristik organisasi.

Salah satu karakteristik pemberdayaan tim

adalah kemampuan ketua tim untuk mengajak

anggotanya dalam pengambilan suatu

keputusan tim, walaupun tim tersebut tidak

memiliki akses atau sumber penting yang

berperan dalam pengambilan keputusan

(Kirkman dan Rosen, 1999).

Pemberdayaan dalam level tim berbeda

dengan pemberdayaan pada level individu,

perbedaan tersebut adalah pada level individu

merupakan paket dari ide individu, sedangkan

pada level tim merupakan ide kolektif dari

masing-masing anggota tim dan menjadi

konsep sosial untuk merepresentasikan

penilaian tim terhadap pekerjaannya serta

kondisi sekitar tim mereka. Selain itu, setiap

tim memiliki perbedaan masing-masing, tidak

ada satu metode yang dapat dimplimentasikan

secara pasti dan sejalan yang menghasilkan

sesuatu yang sama persis antara tim satu

dengan tim lainnya. Tim-tim tersebut harus

mencari cara sendiri untuk mencapai

kesuksesan. Dalam pengukuran

pemberdayaan tim atau menilai suatu tim

diberdayakan atau tidak, terdapat beberapa

metode pengukuran. Salah satunya adalah

Page 71: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 71

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

dengan menggunakan pendekatan psikologis

yang dikembangkan oleh Kirkman dan Rosen

(1999) yang diadaptasi dari pengukuran

pemberdayaan psikologis pada level individu

oleh Spreitzer (1995). Dimensi pemberdayaan

tim melalui pendekatan psikologis terbagi

menjadi empat dimensi yaitu meaningfullness

(kebermaknaan), potency (potensi),

autonomy (otonomi) dan

consequences/impact (konsekuensi).

Kebermaknaan merupakan perasaan

intrinsik anggota tim terhadap arti penting

atas tugas dan pekerjaan tim. Potensi

merupakan keyakinan bersama dari anggota

tim bahwa tim akan menjadi lebih efektif

karena memiliki kemampuan. Otonomi adalah

derajat kepercayaan dari setiap anggota tim

untuk membuat keputusan secara bebas.

Konsekuensi merupakan kesadaran anggota

tim bahwa pekerjaannya memberikan

kontribusi yang signifikan untuk organisasi

(Kirkman dan Rosen, 1999). Dimensi

pendekatan psikologi untuk mengukur

pemberdayaan baik pada level individu atau

tim merupakan hal baru, namun dimensi-

dimensi tersebut memiliki akar sejarah dari

model-model teori sebelumnya. Sebagai

contoh, konsep pemberdayaan tim secara

psikologi yaitu kebermaknaan, otonomi, dan

konsekuensi dibangun dari tiga “keadaan

kritis secara psikologis” dalam model

pekerjaan. Potensi dan otonomi adalah

anologi dari kompetensi dan self

determination (hak menentukan nasib

sendiri) dalam teori evaluasi kognitif (Shih,

2006).

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode

analisis kualitatif-deskriptif. Penelitian

kualitatif merupakan pengumpulan data pada

suatu latar belakang dengan maksud

menafsirkan fenomena yang terjadi. Metode

deskriptif juga digunakan untuk

menggambarkan keadaan atau kondisi objek

penelitian pada saat penelitian dilakukan

berdasarkan data-data atau fakta-fakta yang

senyatanya terjadi dilapangan. Populasi pada

penelitian ini adalah karyawan koperasi X di

Kota Cirebon yaitu berjumlah 52 orang.

Pengambilan sampel digunakan dengan

metode simple random sampling. Metode

sampling ini adalah salah satu jenis metode

pengambilan data yang dipilih secara acak,

dimana setiap element atau anggota populasi

memiliki kesempatan yang sama untuk

terpilih dan atau terpilih menjadi sampel.

Sehingga didapatkan 32 orang yang menjadi

sampling pada penelitian ini. Teknik

pengumpulan data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah dengan menggunakan

kuesioner yang disebarkan online melalui

google form yang diberikan kepada masing-

masing tim yang berada pada bagian

administrasi di Koperasi X di Kota CIrebon.

Tim tersebut terdiri dari:

• Tim 1: berjumlah 7 orang dengan tugas

pokok mengatur surat menyurat yang

ada di Koperasi

• Tim 2: berjumlah 5 orang dengan tugas

pokok mengarsipkan dokumen-

dokumen penting koperasi

• Tim 3: berjumlah 7 orang dengan tugas

pokok memonitor kebutuhan rumah

tangga dan ATK Koperasi

• Tim 4: berjumlah 7 orang dengan tugas

pokok mempersiapkan segala

kebutuhan rapat-rapat internal maupun

ekternal

• Tim 5: berjumlah 6 orang dengan tugas

pokok menjadwalkan kegiatan-kegiatan

yang akan dilakukan oleh anggota

Koperasi.

Instrumen penelitian menggunakan alat

ukur team empowerment yang dikembangkan

oleh Kirkmann & Rosen (1997) bertujuan

untuk mengukur sejauh mana individu menilai

Page 72: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 72

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

bahwa dirinya merasa diberdayakan oleh

perusahaan. Untuk mengestimasi konstruk

tersebut Kirkman & Rosen (1997)

mengonseptuaslisasikannya kedalam 4

dimensi.

3. HASIL

Sampel penelitian adalah karyawan

koperasi di Kota Cirebon yang berjumlah 32

orang, penentuan jumlah sampel telah

dipaparkan pada metode penelitian.

Tabel 1. Data Demografi Partisipan

Kategori Jumlah Persentase

Jenis Kelamin

Laki-Laki 20 63%

Perempuan 12 38%

Usia

20 – 25 tahun 2 6%

26 – 30 tahun 7 22%

31 – 35 tahun 8 25%

36 – 40 tahun 9 28%

< 40 tahun 6 19%

Pendidikan Terakhir

SMA 0 0%

D3 16 50%

S1 10 31%

S2 6 19%

Etnis

Sunda 17 53%

Jawa 10 31%

Lainnya 5 16%

Grafik diatas menunjukan sebaran data

responden, menurut data demografi kategori

Jenis Kelamin terdapat 20 orang laki-laki

(63%) dan 12 orang perempuan (38%). Untuk

kategori usia, terdapat 6% (2 orang) karyawan

yang berusia 20 – 25 tahun, 22% (7 orang)

karyawan yang berusia 26 – 30 tahun, 25% (8

orang) karyawan yang berusia 30 – 35 tahun,

28% (9 orang) karyawan yang berusia 36 – 40

tahun, dan 19% (6 orang) karyawan yang

berusia diatas 40 tahun. Selanjutnya sebaran

menurut katogori pendidikan terakhir,

terdapat 16 orang yang berasal dari D3 atau

setara dengan 50%, 10 orang yang berasal dari

S1 atau setara dengan 31%, dan 6 orang yang

berasal dari D3 atau setara dengan 19%. Dan

yanh terakhir sebaran etnis terbesar ditempai

oleh etnis Sunda yaitu 53% setara dengan 17

orang, di posisi kedua dengan etnis Jawa

sebesar 31% setara dengan 10 orang dan etnis

lainnya sebesar 16% atau setara dengan 5

orang.

3.1 Uji Normalitas

Sebelum data diuji statistik deskriptif,

terlebih dahulu dilakukan uji normalitas. Uji

normalitas adalah uji yang dilakukan untuk

mengetahui distribusi data bersifat normal

atau tidak (Santoso, 2010). Uji normalitas

penelitian ini menggunakan One Sample

Komolgorov-Smirnov test. Distribusi data

dikatakan normal apabila p>0,05 (Santoso,

2010).

Tabel 2. Uji Normalitas

MF PO AU IM

N 32 32 32 32

Mean 19.00 18.96 19.37 19.28

Kolmogorov-Smirnov Z

0.17 0.13 0.16 0.16

Asymp. Sig. (2-tailed)

0.025 0.152 0.053 0.092

Berdasarkan tabel output SPSS 23 tersebut

diketahui bahwa nilai Asymp. Sig. (2-tailed)

untuk dimensi Meaningfulness (MF) sebesar

0,052 (p>0,05), untuk dimensi Potency (PO)

sebesar 0,152 (p>0,05), untuk dimensi

Autonomy (AU) sebesar 0,053 (p>0,05), untuk

dimensi Impact (IM) sebesar 0,092 (p>0,05).

Maka sesuai dengan dasar pengambilan

keputusan dalam uji normalitas kolmogorov-

smirnov diatas, dapat disimpulkan bahwa data

berdistribusi secara normal. Penelitian ini

merupakan penelitian deskriptif berdasarkan

perhitungan menggunakan SPSS 23. Berikut

Page 73: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 73

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

hasil analisis deskriptif untuk team

empowerment pada Koperasi X.

Tabel 3. Desriptive Test Team Empowerment MF PO AU IM

N 32 32 32 32

Mean 19.00 18.96 19.37 19.28

Minimum 15.00 14.00 13.00 13.00

Maksimum 22.00 22.00 23.00 22.00

1.84 2.41 2.35 2.00

Output tabel diatas menunjukan nilai N

atau jumlah data yang akan diteliti berjumlah

32 sampel. Pada dimensi meaningfulness

memiliki mean atau rata-rata sebesar 19,00

yang artinya rata-rata kontribusi dimensi

meningfulness terhadap pemberdayaan tim

sebesar 19% dengan nilai maximum 22%.

Dengan standar deviasi 1,84 yang berarti

bahwa besar peningkatan maksimum rata-

rata dimensi meaningfulness pada

pemberdayaan tim di divisi Koperasi X adalah

+ 1,84, sedangkan penurunan maksimum dari

rata-rata dimensi meaningfulness pada

pemberdayaan tim adalah sebesar – 1,84 atau

dapat dikatakan penyimpangan dimensi

meaningfulness adalah 1,84%.

Pada dimensi potency memiliki mean atau

rata-rata sebesar 18,96 yang artinya rata-rata

kontribusi dimensi potency terhadap

pemberdayaan tim sebesar 18,96% dengan

nilai maximum 22%. Dengan standar deviasi

2,41 yang berarti bahwa besar peningkatan

maksimum rata-rata dimensi potency pada

pemberdayaan tim di divisi Koperasi X adalah

+ 2,41, sedangkan penurunan maksimum dari

rata-rata dimensi potency pada pemberdayaan

tim adalah sebesar – 2,41 atau dapat dikatakan

penyimpangan dimensi potency adalah 2,41%.

Sedangkan pada dimensi autonomy

memiliki mean atau rata-rata sebesar 19,37

yang artinya rata-rata kontribusi dimensi

autonomy terhadap pemberdayaan tim

sebesar 19,37% dengan nilai maximum 23%.

Dengan standar deviasi 2,34 yang berarti

bahwa besar peningkatan maksimum rata-

rata dimensi autonomy pada pemberdayaan

tim di divisi Koperasi X adalah + 2,34,

sedangkan penurunan maksimum dari rata-

rata dimensi meaningfulness pada

pemberdayaan tim adalah sebesar – 2,34 atau

dapat dikatakan penyimpangan dimensi

autonomy adalah 2,34%.

Sementara itu pada dimensi impact

memiliki mean atau rata-rata sebesar 19,28

yang artinya rata-rata kontribusi dimensi

impact terhadap pemberdayaan tim sebesar

19,28% dengan nilai maximum 22%. Dengan

standar deviasi 2,00 yang berarti bahwa besar

peningkatan maksimum rata-rata dimensi

impact pada pemberdayaan tim di divisi

Koperasi X adalah + 2,00, sedangkan

penurunan maksimum dari rata-rata dimensi

impact pada pemberdayaan tim adalah

sebesar – 2,00 atau dapat dikatakan

penyimpangan dimensi impact adalah 2,00%.

Tabel 4. Independent Sample T-Test

N Mean

Tim 1 7 76.42 2.69

Tim 2 5 74.80 5.89

Tim 3 7 78.85 3.80

Tim 4 7 75.28 3.94

Tim 5 6 75.83 5.56

Dari tabel 4 diatas dapat diketahui bahwa

jumlah data untuk Tim 1 sejumlah 7 orang

dengan nilai rata-rata untuk pemberdayaan

tim sebesar 76,42, Tim 2 berjumlah 5 orang

dengan nilai rata-rata untuk pemberdayaan

tim sebesar 74,80, Tim 3 berjumlah 7 orang

dengan nilai rata-rata untuk pemberdayaan

tim sebesar 78,85, Tim 4 berjumlah 7 orang

dengan nilai rata-rata untuk pemberdayaan

tim sebesar 75,28, dan Tim 5 berjumlah 6

orang dengan nilai rata-rata untuk

Page 74: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 74

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

pemberdayaan tim sebesar 75,83. Dengan

demikian secara deskriptif statistik dapat

disimpulkan terdapat perbedaan nilai rata-

rata dari masing-masing tim untuk

pemberdayaan

4. PEMBAHASAN

Tujuan awal penelitian ini adalah untuk

mengkaji secara deskriptif implementasi

program pemberdayaan pegawai Koperasi X

pada bagian administrasi. Dimensi yang

berpengaruh besar adalah autonomy yang

artinya sejauh mana anggota tim merasa

bahwa kelompoknya memiliki sifat otonom

dalam memenuhi target-target kelompoknya.

Hal ini juga merujuk pada konteks keputusan

bersama yang disepakati secara kolektif.

Dengan demikian, tingkat otonomi tim

yang tinggi sebenarnya dapat menurunkan

otonomi individu, karena pengambilan

keputusan yang penting merupakan hasil dari

kesepakatan kelompok bukan perseorangan

Berdasarkan hasil yang telah dipaparkan

diatas dimensi Impact memiliki pengaruh

kedua terbesar terhadap pemberdayaan yang

dirasakan oleh pegawai di Koperasi X

khususnya pada bagian administrasi ini yang

artinya bahwa pegawai merasa komponen tim

menilai bahwa tim atau kelompoknya dapat

memberikan kontribusi yang signifikan baik

kepada sesama anggota kelompok,

perusahaan, hingga kepada customer. Hal ini

sejalan dengan misi perusahaan yaitu

menyediakan beragam solusi keuangan sesuai

dengan kebutuhan setiap pelanggan melalui

sinergi dengan ekosistem. Bila kembali pada

tujuan awal pemberdayaan tim dirasa sudah

berjalan pada bagian ini terdapat perbedaan

yang tidak terlalu signifikan antara masing-

masing tim.

Melihat dari hasil uji yang dilakukan di

SPSS 23 tim yang merasa paling diberdayakan

adalah tim 3 dengan rata-rata nilai paling

tinggi diantara yang lain. Sedangkan untuk

peringkat kedua dari tim yang merasa

diberdayakan adalah tim 1.

5. KESIMPULAN

Melihat dari hasil dan pembahasan yang

sudah penulis bahas sebelumnya maka

penulis mengambil kesimpulan bahwa tim

sudah merasa diberdayakan dengan nilai rata-

rata diatas 70 yang artinya pihak perusahaan

sudah memberikan kebebasan, kepedulian,

keefektifan, sifat otonon dan tim merasa

bahwa kehadirannya memberikan pengaruh

terhadap perusahaan, tim lain dan juga

pelanggan. Namun dari pembahasan diatas

dimensi yang paling memberikan kontribusi

besar adalah dimensi Otonom yang artinya

perusahaan memberikan kebebasan kepada

anggota tim untuk memenuhi target

kelompoknya hal ini merujuk pada keputusan

bersama yang disepakati secara kolektif

bagaimana kelompok/tim tersebut akan

mengambil keputusan dalam memenuhi

target yang diberikan oleh pihak organisasi.

Melihat dari pembahasan diatas pula hal

tersebut dirasakan paling berpengaruh

terhadap Tim 3 yang merasa dirinya sudah

diberdayakan dengan baik oleh perusahaan

dibandingkan dengan tim-tim yang lain.

6. SARAN

Untuk penelitian selanjutnya alangkah

baiknya bila tim yang diteliti beragam dan

dalam skala yang lebih banyak, juga dapat

digabungkan dengan beberapa variabel

lainnya sehingga dapat memudahkan dalam

menganalisis data. Sedangkan untuk

perusahaan diharapkan penelitian ini dapat

menjadi acuan dalam menilai apakah

seseorang yang berada dalam tim sudah

merasa diberdayakan atau belum, karena

seperti yang sudah dibahas pada literatur

review bahwa pemberdayaan karyawan

khususnya karyawan yang berada dalam tim

akan sangat bermanfaat bagi loyalitas

Page 75: studi deskriptif efektivitas pelatihan pencegahan ...

H a l a m a n | 75

Vol XVII Nomor 2 Juli-Desember Tahun 2021

karyawan dan karyawan akan merasa

berharga dan dipedulikan untuk itu perlu

adanya program pemberdayaan yang

dilakukan rutin oleh perusahaan untuk

mengecek apakah tim/individu pada

organisasi itu sudah diberdayakan dengan

baik atau malah sebaliknya. Dengan adanya

pemberdayaan tim yang baik pastinya akan

memberikan dampak yang luas bagi

masyarakat setempat, dan peranan Koperasi

sebagai salah satu organisasi sosial akan lebih

optimal sehingga diharapkan dapat

meningkatkan kesejahteraan sosial melalui

program-program yang ditawarkan oleh

organisasi Koperasi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Conger, J. A., & Kanungo, R. N. (1988). The

Empowerment Process : Integrating

Theory and Practice. Academy of

Management Review, 13, 471-482.

Conger, J. A., & Kanungo, R. N. (1988). The

Empowerment Process : Integrating

Theory and Practice. Academy of

Management Review, 13, 471-482.

Hackman, R. J. (1990). Work teams in

organizations: An orienting framework. In

R. J. Hackman (Ed.), Groups that work: And

those that don’t (pp. 1-35). San Francisco:

Jossey-Bass. Dalam Roosmalen &

Therese, M. (2012). Questionnaire on

Teamwork and Team Effectiveness. Thesis.

The Norwegian University of Science and

Technology : Department of Psychology

Kirkman, B. L., & Rosen, B. (2000). Powering

up teams. Organizational Dynamics, 28,

48-66.

Kirkman, B. L., Tesluk, Paul. E., & Rosen,

Benson. (2004) The Impact of

Demographic Heterogeneity and Team

Leader-Team Member Demographic Fit

on Team Empowerment and

Effectiveness. Group & Organization

Management, Vol. 29. No. 3 Hal. 334-368.

Mathieu, J., Maynard, M. T., dkk., (2008). Team Effectiveness 1997-2007: A Review of

Recent Advancements and a Glimpse Into

the Future. Journal of Management. Vol

34.Hal 410.

Matthews, Russell. A., Diaz, Wendy. M., & Cole,

Steven. G. (2002) The Organizational

Empowerment Scale. Texas: Texas

Christian University. Journal. Vol. 32. No. 3.

Hal. 297-318

Randolph, W. (1995). A Navigating the Journey

to Empowerment. Organizational

Dynamics. Vol. 23. No. 4. Hal. 19-32. Dalam

Matthews, Russell. A., Diaz, Wendy. M., &

Cole, Steven. G. (2002) The

Organizational Empowerment Scale.

Texas : Texas Christian University. Journal.

Vol. 32. No. 3. Hal. 297-318

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian

Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif dan R&D. Bandung : ALFABETA

© 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license

(https://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0/).