STUDI ANALISIS HISAB AWAL BULAN KAMARIAH MENURUT KH. MUHAMMAD HASAN ASY’ARI DALAM KITAB MUNTAHA NATAIJ AL-AQWAL SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Ilmu Syari’ah Jurusan Ahwal al-Syakhsiyah Oleh: M A S R U R O H 082111082 KOSENTRASI ILMU FALAK FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2012
167
Embed
STUDI ANALISIS HISAB AWAL BULAN KAMARIAH …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/137/jtptiain--masruroh... · Muhaya, Aba Bakun dan Aba Mashuri) ... 2. M.Arifin S.Ag,M.Hum
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
STUDI ANALISIS HISAB AWAL BULAN KAMARIAH
MENURUT KH. MUHAMMAD HASAN ASY’ARI
DALAM KITAB MUNTAHA NATAIJ AL-AQWAL
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana dalam Ilmu Syari’ah
Jurusan Ahwal al-Syakhsiyah
Oleh:
M A S R U R O H
082111082
KOSENTRASI ILMU FALAK
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
ii
iii
iv
v
M O T T O
Dialah yang menjadikan Matahari bersinar, dan Bulan bercahaya, serta ditetapkan
manzilah-manzilah bagi perjalanannya, supaya kamu mengetahui bilangan tahun
dan perhitungan (hisab).
1
vi
PERSEMBAHAN
Dalam kehidupan yang penuh dengan rintangan, kuarungi samudra Illahi
yang tanpa batas dalam suka dan duka. Kudapatkan ilmu yang dititipkanNya
kepadaku, sehingga dengan ilmu yang kuperoleh aku berharap dapat merajut
benang kebahagiaan dunia dan akhirat, dan dalam perjalanan yang aku tempuh
selama ini, semua itu tidak akan pernah lepas dari orang-orang yang senantiasa
memberikan kasih sayangnya dan juga doanya.
Kupersembahkan karya ilmiah ini kepada orang-orang yang selalu hadir
dan mengharap keridhaan Illahi Rabbi, buat mereka yang menemaniku dalam
suka dan duka :
“Tidak ada mutiara yang indah selain pujian atas kehadirat Allah SWT yang
senantiasa memberikan rahmat, cinta dan hidayahNya, dan selalu memberikan
yang terbaik dalam setiap langkah hidupku”
o Ayah dan Bundaku tercinta (Umri dan Urifa) yang senantiasa
menjaga dengan penuh kasih sayang, menasehati dan mengingatkan
akan perjalananku untuk mencapai impian sejatiku, serta doa restu
yang tak pernah luput disenandungkan
o Saudara-saudaraku yang kusayangi (Kak Maskuri, kak Rozi dan kak
Zainul) serta seluruh keluargaku tercinta, yang meringankan
bebanku untuk mengejar impian, dan selalu berusaha untuk
membahagiakan dan memberi yang terbaik buat aku
o Guru-guruku (Bapak KH. Su’udil Azka, Aba Humed, Bapak
Muhaya, Aba Bakun dan Aba Mashuri) terimakasih atas petuahnya
dan bimbingan rohaninya
Semoga kalian semua selalu berada dalam rahmatNya, dalam
genggamanNya dan menjadikan hidupnya penuh dengan keberkahan.
Ami n ya Rabb….
vii
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung
jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi
ini tidak berisi materi yang telah pernah
ditulis oleh orang lain atau diterbitkan.
Demikian juga skripsi ini tidak berisi
satupun pemikiran-pemikiran orang lain,
kecuali informasi yang terdapat dalam
referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Deklarator
M A S R U R O H
NIM.082111082
viii
ABSTRAK
Di Indonesia banyak ulama falak yang mengabadikan karyanya dengan
dibukukanya berbagai sistem perhitungan untuk penentuan awal bulan kamariah,
waktu salat, arah kiblat dan juga gerhana. Salah satunya hisab awal bulan
kamariah dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal yang disusun oleh
KH.Muhammad Hasan Asy’ari. Kitab ini merupakan kitab pertama di Indonesia
yang menggunakan rumus segitiga bola dan logaritma yang disusun untuk
mengetahui posisi bulan (tidak hanya pada posisi hilal pada tanggal 29 atau awal
bulan), sehingga dalam kitab tersebut tidak ada perhitungan ijtimak, tidak terdapat
konversi Hijriah-Masehi, akan tetapi oleh Departemen Agama kitab ini termasuk
kategori kitab haqiqi bi al-tahqiqi. Ada beberapa data yang tidak terdapat dalam
kitab tahqiqi lainya seperti koreksi dhamimah, dan kitab ini juga pernah digeser
dengan kitab Sullam al-Nayiraiin dalam penggunaanya. Oleh karena itu penulis
tertarik untuk menkaji: 1) Bagaimana metode hisab awal bulan kamariah dalam
kitab Muntaha Nataij al-Aqwal ?; 2) Bagaimana verifikasi hasil metode hisab
awal bulan kamariah dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal ?; 3) Bagaimana
kelebihan dan kekurangan hisab awal bulan kamariah dalam kitab Muntaha Nataij
al-Aqwal kaitanya dengan perkembangan ilmu falak modern?.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif dengan
mengambil sumber data primer yaitu kitab Muntaha Nataij al-Aqwal, dan teknik
pengumpulan data terdiri atas dokumen dan wawancara. Untuk menganilisis data
penulis menggunakan metode analisis dengan pendekatan deskriptif analitis yaitu
untuk menggambarkan bagaimana pola perhitungan yang ada dalam kitab
Muntaha Nataij al-Aqwal, sehingga analisis data yang digunakan adalah Content
Analysis. Di sisi lain penulis juga menggunakan analisis verifikatif yaitu dengan
menguji beberapa metode hisab penentuan awal bulan kamariah dari kitab
Muntaha Nataij al-Aqwal dengan menkomparasikan kitab yang setara seperti
Khulashah al-Wafiyah, dan juga metode hisab kontemporer yaitu ephimeris guna
untuk mengetahui sejauh mana hasil penentuan awal bulan kamariah dalam kitab
Muntaha Nataij al-Aqwal.
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sistem hisab yang terdapat
dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal tidak terdapat perhitungan ijtimak karena
ada beberapa data Matahari yang tidak dicantumkan, tidak melalui proses taqribi,
tidak ada konversi, ada penambahan koreksi dhamimah dan juga disertai
perhitungan gurub. Hisab ini dinilai cukup akurat untuk dijadikan pedoman dalam
penentuan awal bulan kamariah. Hasil perhitungan kitab Muntaha Nataij al-
Aqwal mendekati dengan hasil perhitungan tahqiqi yang lain seperti yang ada
dalam kitab Khulashah al-Wafiyah, akan tetapi kitab ini masih dibawah ephimeris
atau hisab kontemporer. Secara tidak langsung, meskipun menggunakan data-data
abadi tetapi kitab ini masih relevan dan masih bisa dijadikan pertimbangan dalam
penentuan awal bulan kamariah dengan kekurangan dan kelebihan (keunikan
tersendiri) dari sistem kitab tersebut.
Key words : Hisab Awal Bulan Kamariah, KH.Muhammad Hasan Asy’ari,
Muntaha Nataij al-Aqwal.
ix
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang,
yang telah memberikan nikmat serta taufik dan hidayahNya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan dan penulis sanjungkan
kepada nabi akhir zaman nabi besar Muhammad SAW sang pemberi syafa’at
kelak di akherat nanti, beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang
menjaga, dan menyebarluaskan agama Islam hingga berkembang sampai saat ini.
Skripsi yang berjudul “Studi Analisis Hisab Awal Bulan Kamariah
Menurut KH. Muhammad Hasan Asy’ari dalam Kitab Muntaha Nataij al-
Aqwal”, disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar
Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo Semarang.
Dalam penulisan karya ilmiah ini tentunya penulis tidak berdiri dengan
sendirinya, dan tidak terlepas dengan campur tangan orang lain, dalam arti
penyusunan karya ilmiah ini tidak hanya sebatas jerih payah penulis secara lahir,
akan tetapi informasi, motivasi dan bimbingan dari pihak lain yang sangatlah
berarti bagi penulis. Oleh karena itu, penulis ucapkan terimakasih sebanyak-
banyaknya terutama kepada:
1. Kedua orang tua penulis serta segenap keluarga atas segala doa serta
curahan kasih sayang yang begitu besar, sehingga terlalu sempit jika hanya
dilukiskan dengan kata-kata
2. M.Arifin S.Ag,M.Hum sebagai pembimbing I, dan Ahmad Syifaul Anam
M.Si sekaligus pembimbing II. Terimakasih atas arahanya dan
masukkanya dalam penyelesaian skripsi ini
x
3. PD Pontren Kementrian Agama RI yang telah memberi bantuan, motivasi
dan kesempatan untuk menerima beasiswa guna untuk menimba ilmu yang
setinggi-tingginya
4. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang (Dr.H. Imam Yahya,
M.Ag) dan Pembantu-Pembantu Dekan yang telah memberikan izin
kepada penulis untuk menulis skripsi tersebut dan memberikan fasilitas
untuk belajar dari awal hingga akhir
5. Drs.H. Eman Sulaeman, MH., selaku Ketua Prodi Konsentrasi Ilmu Falak
terimakasih banyak atas bantuan do’anya, dan buat orang yang
memberikan aku semangat serta dorongan moril Mika Ustadzi, thank you
so much & you are the best my friends
Harapan dan do’a penulis semoga semua amal kebaikan dan jasa-jasa dari
semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya skripsi ini diterima
Allah SWT. serta mendapatkan balasan yang lebih baik dan berlipat ganda.
Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan
yang disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu penulis
mengharap saran dan kritik konstruktif dari pembaca demi sempurnanya skripsi
ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat
nyata bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya.
Semarang, 28 Februari 2012
M A S R U R O H
NIM. 082111082
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN MOTTO ................................................................................... ii
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. iii
DEKLARASI ................................................................................................. iv
ABSTRAK .. ................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................. viii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................... .. 1
B. Permasalahan…. ..................................................................... .. 11
C. Tujuan Penulisan .................................................................... .. 12
D. Manfaat Penelitian …………………………………………… 13
E. Telaah Pustaka ……………………………………………….. 13
F. Metode Penelitian ................................................................... .. 15
G. Sistematika Penulisan Skripsi ............................................... .. 20
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG HISAB
A. Pengertian dan Diskursus Hisab dalam Sumber Hukum Islam.. 22
B. Sejarah Perkembangan Ilmu Hisab……...……………………... 32
C. Pendapat Ulama Tentang Hisab …… .................................... … 40
D. Metode Penentuan Awal Bulan Kamariah……………………...46
xiii
BAB III : HISAB AWAL BULAN KAMARIAH DALAM KITAB
MUNTAHA NATAIJ AL-AQWAL
A. Sosio Biografi KH. Muhammad Hasan Asy’ari ………………. 62
B. Gambaran Umum Kitab Muntaha Nataij al-Aqwal
1. Metode Penentuan Awal Bulan Kamariah dalam Kitab
Muntaha Nataij al-Aqwal ………………………………. … 66
2. Corak dan Proses Perhitungan Awal Bulan Kamariah dalam
Kitab Muntaha Nataij al-Aqwal…………………………… 70
3. Batasan Hilal terlihat dan Mathla’………………………… 81
C. Akurasi Hasil Perhitungan Awal Bulan Kamariah dalam Kitab
Muntaha Nataij al-Aqwal ………………………………………….. 84
BAB IV : ANALISIS HISAB AWAL BULAN KAMARIAH MENURUT
KH. MUHAMMAD HASAN ASY’ARI DALAM KITAB
MUNTAHA NATAIJ AL-AQWAL
A. Analisis Metode Hisab Awal Bulan Kamariah dalam Kitab
Muntaha Nataij al-Aqwal …………………………………….. 87
B. Verifikasi Hasil Hisab Awal Bulan Kamariah dalam Kitab
Muntaha Nataij al-Aqwal…………………………………….. 112
C. Kelebihan dan Kekurangan Hisab Awal Bulan Kamariah dalam
Kitab Muntaha Nataij al-Aqwal ……………………………… 118
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................... …124
B. Saran-saran ............................................................................. …126
C. Penutup ................................................................................... …128
DAFATAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penentuan awal bulan, dalam dunia Islam kita mengenal tahun
Hijriah yaitu tahun yang ada setelah Nabi hijrah dari Makkah ke Madinah.
Tahun Hijriah terdiri atas 12 bulan, dan dari bulan-bulan itu ada tiga bulan
yang berkaitan dengan ibadah yakni Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah dan
secara keseluruhan dimanifestasikan dalam bentuk almanak atau penanggalan.
Kalender Indonesia terdiri atas tahun Masehi (Syamsiah)1 dengan
jumlah 365 hari untuk tahun basitah dan 366 untuk tahun kabisat2, sedangkan
tahun Hijriah (Kamariah)3 dengan jumlah 354 hari untuk tahun basitah dan
355 untuk tahun kabisat.4 Dengan demikian perhitungan tahun Hijriah akan
lebih cepat 10 sampai 11 hari dalam setiap tahun jika dibandingkan dengan
tahun Masehi.
Ada juga tahun Saka, tahun Saka ini awalnya berdasarkan solar
(pergerakan Matahari) yang diciptakan oleh Aji Saka,5 kemudian setelah Islam
datang terjadilah interelasi antara Islam dan kebudayaan Jawa dalam beberapa
1 Dinamakan tahun Syamsiah, karena perhitunganya didasarkan pada peredaran Matahari.
Lihat Slamet Hambali, Alamanak Sepanjang Masa, 2010, hlm.17, td. 2 Tahun Basitah disebut juga tahun pendek, dan tahun kabisat disebut juga tahun panjang.
Untuk mengetahui tahun kabisat dan basitah dalam tahun Masehi yaitu dengan cara tahun dibagi 4 secara umumnya dan hasilnya adalah 0 (dinamakan tahun kabisat adalah tahun yang habis jika dibagi 4), sehingga umur bulan Februari 29 hari.
3 Dinamakan tahun Kamariah, karena perhitunganya didasarkan pada peredaran bulan. Lihat Slamet Hambali, op.cit, hlm. 31.
4 Untuk mengetahui basitah dan kabisat dalam tahun Hijriah yaitu angka tahun di bagi 30 jika sisanya ada 2,5,7,10,13,15,18,21,24,26,29 maka dinamakan tahun Kabisat, umur Dzulhijjah 30 hari. Lihat Salam Nawawi, Ilmu falak; Cara Praktis Menghitung Waktu Salat, Arah Kiblat, dan
Awal Bulan, Sidoarjo: Aqoba, Cet.IV, Agustus 2009, hlm. 53. 5 M. Darori Amin (ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000,
Cet.I, hlm.10-11.
2
aspek salah satu diantaranya aspek penanggalan. Sehingga kalender Saka yang
awal perhitungan berdasarkan pergerakan Matahari menjadi kalender yang
dicangkok dari tahun Hijriah (lunar) dan perhitunganya adalah ‘urfi.6 Begitu
juga dengan tahun Jawa, tahun kabisatnya terdiri dari 355 hari dengan
menambahnya 1 hari pada bulan ke 12 (Besar) yang diadakan 3 kali dalam 8
tahun (Sewindu).7
Dalam satu tahun terdapat 12 bulan baik tahun Syamsiah, tahun
Kamariah maupun tahun Jawa sebagaimana Firman Allah SWT:
اتاومالس لقخ موي اب اللهتي كا فرهش رشا عاثن الله دنور عهة الشدإن ع
مرة حعبا أرهنم ضالأرو ∩∩∩∩⊂⊂⊂⊂∉∉∉∉∪∪∪∪
Artinya : "Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu menciptakan langit dan Bumi, diantaranya terdapat empat bulan haram …". ( al Taubah: 36).8
Pada tahun Syamsiah jumlah hari dalam satu bulan sifatnya konstan,
yaitu 30 atau 31 hari setiap bulanya kecuali untuk bulan Februari, pada tahun
basitah umur bulan terdiri atas 28 hari dan 29 hari untuk tahun kabisat.
Sedangkan untuk tahun Kamariah tidak tetap, jumlah hari dalam tiap bulannya
sama dengan satu sinodik,9 sehingga selama satu tahun jumlah hari dalam satu
bulan akan bergantian antara 29 atau 30 hari, sehingga penentuannya
memerlukan perhitungan yang jelas.
6 Slamet Hambali, op.cit, hlm. 51. 7 Sehingga satu bulan rata rata jumlah harinya adalah 29,53125. lihat dalam Marsito,
Kosmografi Ilmu Bintang Bintang, Jakarta: PT. Pembangunan, 1960, hlm. 75. 8 Departeman Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: PT
Karya Toha Putra, t.t, hlm. 153. 9 Sinodik atau dalam istilah falak Ijtimak adalah durasi yang dibutuhkan oleh bulan
berada dalam suatu fase bulan baru ke fase bulan baru berikutnya. Adapun waktu yang dibutuhkan adalah 29,530588 hari atau 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik. Lihat dalam Susiknan Azhari Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2005, hlm. 29.
3
Penentuan awal bulan kamariah yang terkait masalah ibadah sering
terjadi permasalahan karena adanya perbedaan interpretasi. Secara fikih
terdapat dua mazhab besar untuk penentuan awal bulan kamariah yaitu:
1. Mazhab Hisab
Mazhab ini menyatakan bahwa dalam penentuan awal bulan
kamariah dengan cara menghitung dengan tujuan untuk memperkirakan
kapan awal suatu bulan kamariah, terutama yang berkaitan dengan waktu
ibadah dan pola perhitunganya pun beragam.10 Mazhab hisab melandaskan
Artinya : ”Dialah yang menjadikan Matahari bersinar, Bulan bersinar dan ditetapkannya manzilah manzilah bagi perjalanan Bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan diperhitungkan, Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaranNya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S Yunus: 5).11
2. Mazhab Rukyat
Mazhab rukyat ini menyatakan pengamatan terhadap hilal
sebagaimana sunnah Nabi, rukyat dilakukan dengan mata telanjang.12
Mazhab ini berdasarkan hadis Nabi Muhammmad SAW yang berbunyi:
10 Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab dan Rukyah, Jakarta: Gema Insani Press, 1996,
hlm. 29. 11 Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit, hlm. 306. 12 Farid Ruskanda, op.cit, hlm. 41.
4
بن اعى هيرةر رضاهللا ى عنكذ الق هر رساهللا لو صاهللا لى لعيه ولسا مالهلل نياثلوا ثدعف مكيلع ىمغ ناوا فرطافف هومتياا رذاوا وومصف هومتيار اذا القف ١٣) رواه مسلم(
Artinya : “Dari Abu Hurairah r.a berkata, nabi menjelaskan tentang hilal,
kemudian ia bersabda: ”jika kalian melihatnya maka
berpuasalah dan jika kamu melihatnya (lagi) maka berbukalah.
Jika kalian di tutupi mendung maka hitunglah (bulan Sya’ban)
30 hari” (H.R Muslim).
Hisab artinya perhitungan tanggal-tanggal berdasarkan kaidah yang
telah ditetapkan ahli falak, sehingga bisa tersusun sebuah kelender dalam satu
tahun. Sedangkan rukyat artinya mata atau (menggunakan) teropong untuk
melihat bulan sabit, keduanya sama-sama digunakan dalam menentukan
jatuhnya tanggal. Misalnya, jika dengan menggunakan rukyat tanggal 1
Ramadhan belum bisa ditentukan, maka ada cara lain yaitu menggunakan
hisab.14
Permasalahan penetapan awal bulan kamariah memang menjadi
problem yang urgen bagi umat Islam khususnya di Indonesia, dan tidak bisa
dipungkiri bahwa hal ini tergantung dengan keyakinan dan bisa juga adanya
permainan politik masing-masing golongan, sehingga peranan pemerintah
dalam itsbat belum bisa dijadikan pegangan sepenuhnya untuk penyatuan
dalam penentuan awal bulan kamariah.
Penyebab perbedaan penentuan awal bulan kamariah yang terkait
dengan ibadah tidak hanya akibat perbedaan sistem yang digunakan diantara
13 Abu Husain Muslim bin al Hajjaj, Al-Jami’u al-Shahih, Jilid 3, Beirut: Darl al Fikr, t.t,
hlm.124 – 125. 14 Susiknan Azhari, Hisab dan Rukyat (Wacana untuk Membangun Kebersamaan di
menjadi pengaruh jika secara ephemeris posisi hilal berdekatan dengan
horizon (ufuk). Hal ini dikarenakan akan berpengaruh pada penentuan posisi
ketinggian hilal yang kemudian menghasilkan penetapan kapan jatuhnya awal
dan akhir bulan.
Diantara perbedaan di atas dapat dilihat dalam kitab Muntaha Nataij
al-Aqwal, kitab ini disusun oleh KH. Muhammad Hasan Asy’ari. Pada tahun
1324 H/1906 M Abu Bakar bin Hasan meminta kepada KH. Muhammad
Hasan Asy’ari untuk membuat metode praktis dalam penentuan awal bulan
kamariah. Berawal ketika KH. Muhammad Hasan Asy’ari belajar di Makkah
bersama KH. Yusuf Abdullah yang kemudian di Kairo untuk belajar falak di
sana, dan ketika kembali ke Indonesia ia membawa pulang zij (jadwal) al-
Mathla’ al-Sa’id.19 Sehingga dengan ia mengetahui kaidah-kaidah falak
dengan metode yang lebih mudah maka ditulislah sebuah karya dan dibukukan
dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal untuk membantu mencari penanggalan.
Pada tahun 1336 H/ 1915 M KH. Muhammad Hasan Asy’ari
menambahi beberapa istilah dan tabel untuk menambah lebih jelas amtsilah-
amtsilah dan supaya tidak menjadikan sebab perbedaan antara teori dan
praktek.
Kitab Muhtaha Nataij al-Aqwal terdiri atas muqaddimah, enam belas
pembahasan, dan penutup. Pada muqaddimah ada dua pembahasan pokok
yaitu tentang mukuts dan penentuan hari. Penentuan hari dalam kitab tersebut
ada keterangan yang jelas, yaitu hari bisa jadi tepat, bisa jatuh pada satu hari
19 Hasil wawancara dengan Aqil Fikri di Nganjuk (Dosen UIN Maliki Malang dan
Anggota LFNU Jawa Timur), pada 25 September 2011, pukul 09:30-11:00 WIB.
8
sebelumnya atau juga satu hari pada bulan sesudahnya. Hal ini disebabkan
karena wujud al-hilal terkadang mendahului hisab isthilahi, terkadang tepat,
dan terkadang lebih akhir. Sedangkan untuk rukyat al-hilal terkadang tepat
dan terkadang lebih akhir, dan dalam penutupan terdapat keterangan tentang
mathla’.20
Ada beberapa keterangan yang penting dalam kitab Muntaha Nataij
al-Aqwal terkait hisab awal bulan kamariah diantaranya: “bahwa
diperbolehkanya menggunakan hisab dengan syarat hisab hilali yakni
memperhitungkan keberadaan Bulan bukan dengan hisab isthilahi atau ‘urfi/
hurf seperti “aboge”. Keterangan selanjutnya terkait masalah mathla’, jika
perbedaan gurub 8° (32 menit) atau kurang dari 8° maka mathla’nya sama,
jika tidak sama maka tidak sama pula mathla’nya sebagaimana pendapat
Imam Abdullah bin Umar dan Ibnu Hajar.21
Beberapa hal yang menarik dari kitab Muntaha Nataij al-Aqwal yaitu
terdapat perbedaan dalam penentuan tahun kabisat dan tahun basitah yang
secara umum cukup menghitung tahun tam dibagi 30, kemudian hasilnya
disesuaikan dengan angka (2, 5 ,7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26, 29)22. Berbeda
dengan perhitungan yang terdapat dalam kitab tersebut, dalam kitab ini
dijelaskan bahwa cara untuk mengetahui tahun kabisat dan basitah yaitu tahun
20 Muhammad Hasan Asy’ari, Muntaha Nataij al-Aqwal, Pasuruan: LFNU, 2006, hlm. 2. 21 Ibid, lihat bagian penutup. 22
Angka ini didapatkan dari bahwa ijtimak atau bulan sinodis,: 29h 12j 44m 2d,8 , satuan masa Hijriah 30 tahun yang terdiri 11 tahun kabisat dan 19 tahun basitah, angka 11 ini didapatkan dari bilangan 44 menit 2,8 detik dikalikan 12, kemudian dikalikan 30 (untuk 30 tahun), terjumlah 264 jam 16 menit 48 detik. 264 jam = 11 hari. Untuk angka 2,5,7.. sebagaimana yang terdapat pada sebuah syair, atau jumlah bulan sinodis dibulatkan menjadi 29h 12j, untuk sisa perbulan 44m
2d,8, maka satu tahun: 8j 48m 2d,8, sehingga tahun kabisat 355, karena hasil pembulatan waktu yang melebihi 0.5 hari atau 12 jam, lihat Slamet Hambali, Almanak Sepanjang Masa, hlm. 39-40.
9
tam dikalikan 10631, kemudian ditambah 15 dan dibagi 30. Jika hasilnya tidak
terdapat sisa (0-10) maka tahun tam adalah tahun kabisat, jika tahun tam
menunjukkan tahun basitah maka untuk mengetahui tahun yang berjalan sisa
sebelumnya ditambah 11, dan langkah berikutnya yaitu menambahkan angka
1 baik kabisat ataupun basitah. Kitab ini juga tidak menghitung konversi, dan
untuk perhitungan harinya menyatu dengan perhitungan tahun kabisat dan
basitah yang didapatkan dari hasil sisa akhir dibagi menjadi 7 dan berawal
pada hari Kamis.23
Kitab Muntaha Nataij al-Aqwal tidak memperhitungkan ijtimak,
akan tetapi ada dari murid KH. Muhammad Hasan Asy’ari yang
menambahkan perhitungan ijtimak dengan mengambil data dari kitab yang
setara yakni metode haqiqi bi al-tahqiq seperti Mathla’ al-Sa’id.
Disisi lain yang membedakan kitab Muntaha Nataij al-Aqwal dengan
kitab lainya adalah dalam pengerjaan kitab tersebut terdapat istilah dhamimah
untuk koreksi data Bulan, data Bulan dikoreksi setiap 100 tahun, dan koreksi
ini tidak ada di kitab-kitab hisab yang lain. Karena konsep dari kitab ini juga
tidak mencari data di akhir bulan saja, maka tentunya untuk mengetahui data
di akhir bulan harus diketahui terlebih dahulu umur bulan sebelumnya, namun
untuk mengetahuinya tidak harus melalui metode taqribi. Dengan demikian
dalam perhitungan praktisnya tidak diawali dengan perhitungan taqribi, yakni
langsung menggunakan hisab haqiqi bi al-tahqiq.24
23 Muhammad Hasan Asy’ari, loc.cit. 24 Hasil wawancara dengan Ahmad Tolhah Ma’ruf (Pengurus LFNU Pasuruan dan
Pengasuh Ponpes Sidogiri) pada 21 September 2011 melaului via Telephone.
10
Secara historis dapat diketahui bahwa kitab Muntaha Nataij al-
Aqwal merupakan kitab falak pertama di Indonesia dengan menggunakan
metode tersebut (yang sekarang dikenal dengan metode haqiqi bi al-tahqiq),25
hanya saja keberadaanya tidak lebih dikenal dan metode perhitungan dalam
kitab tersebut tidak dikembangkan.26 Hal ini disebabkan keadaan masyarakat
yang lemah akan pengetahuan ilmu falak, sehingga ulama Jawa Timur
menekankan untuk mempelajari kitab Sullam al-Nayyirain yang metodenya
lebih mudah. Di sisi lain pada masa itu belum ada penklasifikasian tingkat
akurasi metode hisab, sehingga ulama Jawa Timur menjadikan kitab Sullam
al-Nayyirain sebagai acuan perhitungan awal bulan kamariah di Indonesia
khususnya Jawa Timur.27
Di era modern, kitab Muntaha Nataij al-Aqwal tidak digunakan oleh
Departemen Agama Republik Indonesia sebagai pertimbangan awal bulan
kamariah, dan kitab ini hanya dijadikan pertimbangan oleh LFNU Jawa Timur
khususnya Pasuruan. Berbeda dengan kitab-kitab awal bulan yang disusun
oleh murid KH. Muhammad Hasan Asy’ari seperti kitab Fath Ra’uf al-
Mannan dan juga kitab Badi’ah al-Mitsal yang masih dijadikan pertimbangan
dalam penetapan awal bulan kamariah.28
25 Ibid, dan juga hasil wawancara dengan Aqil Fikri sebagaimana yang dipahami pada
kata pengantar dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal. 26 Hasil wawancara dengan Aqil Fikri Nganjuk (Dosen UIN Maliki Malang dan Anggota
LFNU Jawa Timur) di Nganjuk pada 25 September 2011, pukul 09:30-11:00 WIB. 27 Ibid. 28 Hasil wawancara dengan KH.Ade Rahman Syakur Pengasuh Pondok Sabilul Muttaqin
Pasuruan sekaligus Ketua Syuriah PCNU Pasuruan, di Ponpes Sabilul Muttaqin Karanganyar Pasuruan pada Jum’at 26 Desember 2012, pukul 09.00-10.30 WIB.
11
Tingkat keakurasian kitab Muntaha Nataij al-Aqwal lebih rendah
dibanding dengan hisab kontemporer karena metode haqiqi bi al-tahqiq masih
dibawah hisab kontemporer. Rumus dalam kitab tersebut juga lebih kompleks
(jlimet) dibanding dengan hisab kontemporer dan koreksi yang digunakan
sistem kontemporer lebih banyak dari koreksi yang terdapat dalam kitab
tersebut, menurut ahli falak bahwa hasil dari kitab tersebut sejajar dengan
kitab haqiqi bi al-tahqiq seperti kitab Khulashah al-Wafiyah, Badi’ah al-
Mitsal, Nur al-Anwar, dan lain sebagainya.
Berangkat dari latar belakang di atas, penulis merasa tertarik untuk
menkaji kitab tersebut dalam rangka untuk mengetahui pola perhitungan,
sejauh mana tingkat keakurasianya, kelebihan dan kekuranganya.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka
dapat dikemukakan pokok-pokok permasalahan yang hendak dibahas dalam
skripsi ini. Diantara rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana metode hisab penentuan awal bulan kamariah menurut KH.
Muhammad Hasan Asy’ari yang terdapat dalam kitab Muntaha Nataij al-
Aqwal ?
2. Bagaimana verifikasi hasil perhitungan berdasarkan metode hisab yang
tertera dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal sebagai penentuan awal
bulan kamariah ?
12
3. Bagaimana kelebihan dan kekurangan hisab awal bulan kamariah dalam
kitab Muntaha Nataij al-Aqwal kaitanya dengan perkembangan Ilmu
Falak di Era Modern ?
C. Tujuan Penulisan
Setiap penulisan tentunya mempunyai tujuan, terkait dengan
perumusan masalah sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya. Maka tujuan
dari penulisan ini antara lain:
1. Untuk mengetahui metode hisab penentuan awal bulan kamariah menurut
KH. Muhammad Hasan Asy’ari yang terdapat dalam kitab Muntaha
Nataiju al-Aqwal
2. Untuk membuktikan sejauh mana tingkat akurasi hasil metode hisab yang
ditawarkan dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal sebagai salah satu cara
penentuan awal bulan kamariah
3. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan perhitungan awal bulan
kamariah dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal kaitanya dengan
perkembangan Ilmu Falak di Era Modern.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat diantaranya:
1. Memperkaya dan menambah khasanah keilmuan yang ada di Indonesia
tentang metode hisab sebagai salah satu penentuan awal bulan kamariah
dengan sistem hisab haqiqi bi al-tahqiq
13
2. Memberikan kejelasan akan metode hisab penentuan awal bulan
kamariah berdasarkan tingkat akurasi
3. Menambah wawasan dan mengenalkan pola metode perhitungan dalam
kitab Muntaha Nataij al-Aqwal sebagai penentuan awal bulan kamariah.
E. Telaah Pustaka
Sejauh penelusuran yang dilakukan penulis, belum ditemukan secara
khusus dan mendetail yang membahas tentang hisab awal bulan kamariah
dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal, akan tetapi, terdapat banyak penkajian
masalah hisab rukyat di Indonesia mulai dari artikel, makalah, karya ilmiah
sarjana ataupun buku-buku yang dikodifikasi. Hal ini dikarenakan masalah
hisab rukyat khususnya terkait penentuan awal bulan kamariah menjadi
masalah yang sangat urgen.
Telaah pustaka yang penulis lakukan sebagai bentuk upaya
mendapatkan gambaran tentang hubungan pembahasan dengan penelitian
yang sudah pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya agar tidak terjadi
pengulangan yang tidak perlu, maka penulis mencantumkan beberapa tulisan
yang berhubungan dengan metode hisab penentuan awal bulan kamariah
dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal serta yang terkait dengan masalah hisab
rukyat.
Makalah hisab awal bulan hijriah metode “Muntaha Nataij al-
Aqwal” oleh: Ahmad Tholhah Ma’ruf disampaikan dalam “Pelatihan Hisab”
yang dilaksanakan di Ponpes Raudlotul Ulum Besuk Kejayang Pasuruan.
14
Makalah ini berisikan tentang gambaran umum istilah-istilah ilmu falak dan
juga proses perhitungan awal bulan kamariah yang terdapat dalam kitab
tersebut.
Adapun terkait dengan pola perhitungan yang sama tingkat
keakurasianya, maka dalam hal ini penulis mencantumkan beberapa karya
para sarjana diantaranya skripsi Ahmad Syifa’ul Anam Studi tentang Hisab
Awal Bulan Kamariah dalam Kitab Khulashah al-Wafiyah dengan Metode
Haqiqi Bi al-Tahqiq yang menguraikan bagaimana hisab awal bulan dengan
metode kitab Khulashah al-wafiyah, eksistensi dan akurasi perhitungan yang
terdapat dalam kitab tersebut.29
Studi Analisis Metode Hisab Awal Bulan Kamariah dalam Kitab Sair
al-Kamar karya ilmiah yang disusun Arrikah Imeldawati, yang isinya
menggambarkan tentang metode penentuan awal bulan kamariah dan
mengategorikan perhitungan tersebut berdasarkan tingkat akurasinya.30
Studi Analisis Pemikiran Hisab KH. Moh. Zubair Abdul Karim
dalam Kitab Ittifaq Dzat al-Bain, karya ilmiah ini ditulis oleh Syaiful Mujab
yang menerangkan metode dan sejarah pemikiran KH. Moh. Zubair Abdul
Karim dalam kitab Ittifaqi Dzat al-Bain. Sama halnya dengan kitab Khulashah
al-wafiyah yang juga dijadikan pertimbangan oleh Depag RI dalam penentuan
awal bulan kamariah.
29 A.Syifaul Anam, “Studi tentang Hisab Awal Bulan Kamariah dalam Kitab Khulashah
al-wafiyah dengan Metode Hakiki bi Tahqiq”, skripsi Sarjana fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 2001, td.
30 Arrikah Imeldawati, “Studi Analisis Metode Hisab Awal Bulan Kamariah dalam Kitab Sair Al-Kamar”, skripsi Sarjana Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 2010, td.
15
Adapun istilah-istilah falak penulis menulusuri dan mengambil dari
Kamus Ilmu Falak Kamus Ilmu Falak karya Muhyidin Khazin31, serta karya
Susiknan Azhari Ensiklopedi Hisab Rukyat.32
Dari kajian pustaka tersebut menurut hemat penulis belum terdapat
tulisan yang membahas secara eksplisit, spesifikasi akan pemikiran Ahmad
Hasan Asy’ari tentang hisab awal bulan kamariah dalam kitab Muntaha Nataij
al-Aqwal.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini mendeskripsikan metode dan diskursus hisab
penentuan awal bulan kamariah dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal. Hal ini
karena dalam penentuanya mempunyai perbedaan dengan hisab yang ada di
dalam kitab- kitab tahqiqi lain.
Adapun metode penulisan meliputi jenis penelitian, sumber data,
metode pengumpulan data, dan analisis data.
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, karena tidak
menggunakan eksperimen dan langsung ke sumber data.33 Penelitian ini
menggunakan pendekatan deskriptif alami yaitu mendeskripsikan secara
sistematis dengan menjelaskan biografi, metode, faktor-faktor dan karakter
kitab tersebut.
31 Muhyidin Khazin, Kamus Ilmu falak, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005. 32 Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. 33 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta,
Cet. X, 2010, hlm.13.
16
2. Sumber Data
Teknik penulisan menggunakan penelitian kepustakaan (Library
Research).34 Yakni penulis melakukan analisis terhadap teks-teks yang
berkaitan dengan permasalahan ini, oleh karena itu sumber data banyak
diambil dari buku-buku rujukan, dan penelitian yang terkait dengan itu.
Sumber data yang dimaksudkan meliputi:
(1) Sumber data primer, data primer ini merupakan data yang diperoleh
langsung dari sumber data yang dikumpulkan dan juga berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti.35 Dalam hal ini, data utama dalam penelitian
ini yaitu kitab Muntaha Nataij al-Aqwal. Data tersebut digunakan
sebagai sumber utama dalam penulisan skrispsi ini. Jadi objek penelitian
berupa teks lama yang sudah dibukukan yaitu kitab Muntaha Nataij al-
Aqwal berisikan pedoman hisab awal bulan kamariah
(2) Data Sekunder, sebagai pendukung36 dalam penulisan skripsi, data
tersebut diperoleh dari buku-buku yang terkait masalah hisab rukyat
tentunya, seperti buku-buku yang menjelaskan tentang awal bulan
kamariah, karya ilmiah para sarjana, hasil diskusi dan lain sebagainya.
Data-data yang ada dijadikan tolak ukur untuk memahami dan membantu
untuk menganalisis metode, kelebihan kekurangan dan verifikasi hasil
34 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PT
Rineka Cipta, ed.V I, hlm. 8. 35 Data primer yang dimaksud merupakan karya yang langsung dari tangan pertama yang
terkait dengan tema penelitian ini. Lihat Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, Cet.V, hlm. 36.
36 Data sekunder merupakan data-data yang berasal dari orang ke-2 atau bukan data utama. Saifuddin Azwar, Ibid.
17
perhitungan awal bulan kamariah yang terdapat dalam kitab Muntaha
Nataij al-Aqwal
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini berupa:
(1) Dokumentasi, yang digunakan untuk memperoleh gambaran dan
keterangan akan metode penentuan awal bulan kamariah. Dilakukan
dengan mengumpulkan beberapa data baik berupa dokumen, karya
ilmiah, buku-buku tentang hisab awal bulan kamariah
(2) Wawancara (interview) yaitu tanya jawab kepada ahli waris
pengarang (Nyi Muzayanah) atau yang ahli tentang kitab Muntaha
Nataij al-Aqwal (KH. Ade Rahman Syakur, Ahmad Tholha Ma’ruf,
Hasan Ghalib, Aqil Fikri), kemudian terkait Astronomi (Thomas
Djamaluddin). Hal ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang dan
biografi intelektual KH. Ahmad Hasan Asy’ari.
Teknik wawancara ini merupakan teknik pendukung yang diharapkan
dapat memberikan gambaran yang jelas dan pasti terkait dengan
biografi pengarang dan masalah hisab awal bulan kamariah yang
ditawarkan KH. Ahmad Hasan Asy’ari dalam kitab Muntaha Nataij al-
Aqwal. Juga untuk memberikan informasi tentang hal-hal yang terkait
dengan awal bulan kamariah guna bertujuan untuk membantu analisis
18
4. Teknik Analisis Data
Setelah data-data terkumpul, metode yang digunakan oleh penulis
untuk menganalisis data-data yang telah diperoleh tersebut adalah dengan
berdasar jenis penelitian Kualitatif.37
Penulis menggunakan sifat pendekatan deskriptif analitis yaitu untuk
menggambarkan bagaimana pola perhitungan yang ada dalam kitab
Muntaha Nataij al-Aqwal, sehingga analisis data yang digunakan adalah
Content Analysis atau dikenal dengan analisis isi buku atau analisis
dokumen yang diperlukan untuk menjelaskan kebenaran atau kesalahan dari
suatu fakta atau pemikiran yang akan membuat sesuatu kepercayaan itu
benar,38 juga untuk menjelaskan tentang gaya bahasa buku dan isi buku.39
Dalam hal ini yaitu bagaimana metode hisab awal bulan kamariah dalam
kitab Muntaha Nataij al-Aqwal yang digunakan KH. Muhammad Hasan
Asy’ari?, sehingga diharapkan bisa menjadi salah satu pedoman dalam
penentuan awal bulan kamariah dengan metode hisab.
Untuk memperhatikan sisi-sisi dimana suatu analisis dikembangkan
secara berimbang dengan melihat kelebihan dan kekurangan objek yang
diteliti. Dalam hal ini penulis mendeskripsikan tentang metode perhitungan
sehingga setelah mengetahui paparan metode perhitungan tersebut dapat
mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan antara perhitungan
37 Analisis Kualitatif pada dasarnya lebih menekankan pada proses dekuktif dan induktif
serta pada analisis terhadap dinamika antar fenomena yang diamati, dengan menggunakan logika ilmiah. Lihat dalam Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. V, 2004, hlm. 5.
awal bulan kamariah dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal dengan kitab-
kitab tahqiqi lainya.
Di sisi lain penulis juga menggunakan pendekatan verifikatif,40 yaitu
dengan mengecek sejauh mana tingkat hasil hisab awal bulan kamariah
dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal dengan menkomparasikan kitab yang
setara seperti Khulashah al-Wafiyah, dan juga metode hisab kontemporer
yaitu ephemeris. Sehingga hasil hisab ini diuji dengan cara
menkomparasikan hasil hisab yang setara dan yang lebih teliti tingkat
akurasinya dengan mengetahui faktor penyebab perbedaan hasil perhitungan
kitab tersebut.
Analisis yang digunakan penulis yaitu analisis komparasi, yaitu
membandingkan hasil metode hisab yang ada dalam kitab Muntaha Nataij
al-Aqwal dengan kitab Khulashah al-Wafiyah, dan ephemeris berdasarkan
alasan karena penulis mengetahui ketiga pola perhitunganya, serta
mengambil berdasarkan tingkat akurasi yang sama dan juga yang lebih
akurat. Dari metode analisis ini, merupakan bentuk upaya untuk
mendapatkan suatu kesimpulan dari apa yang sudah dirumuskan.
40 Suharsimi Arikunto, op.cit, hlm.7.
20
G. Sistematika Penulisan
Secara garis besar penulisan penelitian ini terdiri atas 5 bab, di mana
dalam setiap bab terdapat sub-sub bab pembahasan, yaitu:
Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, telaah pustaka, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua berisi tinjauan umum tentang hisab yang terdiri atas
pengertian dan diskursus hisab dalam sumber hukum Islam, sejarah
perkembangan hisab, pendapat ulama fikih tentang hisab awal bulan Kamariah
dan macam-macam metode dalam menentukan awal bulan kamariah.
Bab ketiga gambaran tentang hisab awal bulan Kamariah dalam kitab
Muntaha Nataij al-Aqwal dengan memaparkan isi kitab Muntaha Nataij al-
Aqwal yang meliputi; biografi intelektual KH. Muhammad Hasan Asy’ari,
metode penentuan serta corak dan proses perhitungan yang digunakan dalam
kitab tersebut, dan juga akurasi dari hasil perhitungan berdasarkan rumus yang
ada dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal.
Bab keempat berisi Analisis tentang hisab awal bulan Kamariah
dalam Kitab Muntaha Nataij al-Aqwal, bab ini merupakan inti pembahasan
yakni analisis tentang hisab awal bulan kamariah dalam kitab Muntaha Nataij
Al-Aqwal yang meliputi analisis terhadap metode hisab awal bulan kamariah
dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal, verifikasi hasil perhitungan, serta
kelebihan dan kekurangan hisab awal bulan kamariah kitab Muntaha Nataij
al-Aqwal dalam penenetuan awal bulan Kamariah
21
Bab kelima merupakan sub terakhir yang terdiri atas penutup,
kesimpulan dan saran-saran.
22
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HISAB
AWAL BULAN KAMARIAH
A. Pengertian dan Dasar Hukum Hisab
1. Pengertian Hisab
Menurut bahasa hisab berasal dari kata ����� yang mengikuti wazan
��� dengan sighot mashdar ghoiru mim1 yang berarti perhitungan dan
termasuk tashrif isthilahi tsulatsi mazid yaitu mengikuti wazan ( #$� -#$�%& - '($�%)
�و �� ), dalam kamus al-Munjid hisab secara bahasa yaitu2 ة/$ (hitungan).3
Dalam al-Qur’an kata hisab banyak dijelaskan untuk menjelaskan hari
perhitungan (yaum al-hisab). Kata hisab muncul 37 kali dalam al-Qur’an yang
semuanya mempunyai arti perhitungan dan tidak memiliki ambiguitas arti.4
Pengertian secara etimologi hisab secara umum dalam al-Qur’an
mempunyai beberapa arti, diantaranya :
a. Perhitungan
يحبت ميتيإذا حء ويلى كل شكان ع ا إن اللهوهدر ا أوهنم نسوا بأحيفح ة
∪∌∇∩حسيبا
1 Sighot Mashdar Ghoiru Mim, termasuk bentuk kata yang dalam ilmu shorof ada beberapa sighot. Pada bab Tsulatsi Mujarrad ada 11 sighot yaitu fi’il madhi, fi’il mudhori’,
masdhar mim dan masdhar ghoiru mim, isim fa’il, isim maf’ul, fi’il amr, fi’il nahi, isim zaman,
isim makan, dan isim alat dan fi’il tersebut jika wazan tsulatsi mujarrad maka mengikuti wazan bab IV (kasrotaani). Kata hisab mengikuti wazan fi’aalan yang berarti masdhar ghoiru mim
karena kalimat kerja yang dibendakan dan tidak terdapat mim. Lihat Muhammad Ma’shum bin Ali, Amtsilah al-Tasyrifiyyah, t.t, hlm. 8-9, td. 2 Louis Ma’luf, al-Munjid, Beirut: Dar al-Masyriq, 1986, hlm. 490. 3 Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 969. 4 Tono Saksono, Mengkompromikan Rukyat dan Hisab, Jakarta: Amythas PublicitaCenter For Islamic Studies, 2007, hlm. 120.
23
Artinya: “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan serupa). Sesungguhnya Allah selalu membuat perhitungan atas segala sesuatu”. (al-Nisa’: 87).5
b. Memeriksa
∪∇∩ فسوف يحاسب حسابا يسريا
Artinya: “Maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah”.
Artinya: “Dan tidak ada Pertanggungjawaban sedikitpun atas orang-orang yang bertakwa terhadap dosa mereka, akan tetapi kewajiban mereka ialah mengingatkan agar mereka bertakwa”. (al-An’am: 69).7
Artinya: “Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam, engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engaku member rizki siapa yang Engkau hendaki tanpa hisab (batas)”. (al-Baqarah: 27).8
Hisab atau ilmu hisab oleh para ulama dan ilmuwan memberikan
definisi yang berbeda-beda. Akan tetapi jika dilihat secara cermat masing-
masing definisi yang dipaparkan para ulama atau ilmuwan pada dasarnya
mengacu pada satu titik yang sama, hanya saja berbeda dalam pengolahan
5 Departemen Agama Republik Indonesia, Al- Qur’an dan Terjemahannya, Semarang:
PT. Karya Toha Putra, t.t, hlm. 73. 6 Ibid, hlm. 471. 7 Ibid, hlm.108. 8 Tono Saksono, lo.cit.
24
katanya. Sehingga seakan-akan terlihat berbeda antara satu dengan yang lain,
padahal untuk penentuan objeknya mereka sama.
Secara terminologi, hisab merupakan menghitung kalender bulan
dengan kaidah astronomi.9 Moedji Raharto mendefinisikan bahwa ilmu hisab
(hisab) dalam arti khusus adalah cara penentuan awal bulan Islam atau cara
memprediksi fenomena alam lainya seperti terjadinya gerhana (Matahari dan
Bulan) yang didasarkan pada perhitungan posisi, gerak Matahari dan Bulan.10
2. Diskursus Hisab dalam Sumber Hukum Islam
Munculnya mazhab hisab dalam penetapan awal bulan kamariah tidak
akan terlepas dari munculnya perbedaan interpretasi terhadap dua sumber
hukum agama Islam yaitu al-Qur’an dan hadis.
Sumber-sumber hukum Islam (al-Qur’an, hadis) pada dasarnya
mempunyai hubungan timbal balik, sebagai perbandingan kasar. Skema
Aristoteles menurut analogi ini, al-Qur’an dan hadis adalah prinsip-prinsip
materiil, qiyas merupakan hasil dari prinsip pertama, dan ijma’ adalah prinsip
formalnya.11
Diantara dalil-dalil yang menerangkan tentang hisab ialah:
A. Hisab Perspektif al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam penetapan hukum, secara
ekplisit tidak ada ayat yang menjelaskan secara gamblang tentang metode
9 Burhani, Hasbi Lawrens, Kamus Ilmiah Populer, Jombang: Lintas Media, t.t, hlm. 190. 10 Moedji Raharto, “Astronomi Islam dalam Perspektif Astronomi Modern” dalam Moedji
Raharto, (ed), Gerhana Kumpulan Tulisan Moedji Raharto, Lembang: Pendidikan dan Pelatihan Hisab Rukyat Negara-Negara MABIMS, 2000, hlm. 107.
Artinya:“Dialah yang menjadikan Matahari bersinar dan Bulan bercahaya dan ditetapkannya manzilan-manzilah bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan, Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan benar.Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaranNya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S Yunus: 5).12
Lafal qaddaruhu, mana,zila yakni tempat-tempat dalam
perjalananya mengitari Matahari, setiap malam ada tempatnya dari saat ke
saat sehingga terlihat di Bumi ia selalu berbeda sesuai dengan posisinya
dengan Matahari. Sehingga hal ini yang menjadikan bentuk Bulan berbeda-
beda dalam pandangan kita di Bumi. Dari sini pula dimungkinkan untuk
menentukan bulan kamariah13 dan ayat ini pula yang dijadikan rujukan oleh
mereka yang berpedoman dengan metode hisab (dijadikan munasabah)
dengan hadis Rasulullah.14
12 Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit, hlm. 306. 13 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol.VI, Jakarta: Lentera Hati, Cet.II, 2004, hlm.
20. 14 Susiknan Azhari, Hisab dan Rukyat (Wacana untuk Membangun Kebersamaan di
Tengah Perbedaan), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.I, 2007, hlm. 72.
26
b. Firman Allah SWT dalam surat al-Rahman: 5, seperti berikut:
∩∈∪ انبسبح رالقمو سمالش
Artinya: “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungannya.” (Q.S al-Rahman :5)15
Kata ن�U�� berasal dari kata ب��� yakni perhitungan. Penambahan
huruf alif dan nun pada kata tersebut mengandung makna ketelitian dan
kesempurnaan, dan lafal al-Syams wa al-Qamar (Matahari dan Bulan
beredar).16
c. Firman Allah SWT dalam surat al-Isra’:12, seperti berikut:
Artinya: ”Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas.” (Q.S al-Isra’: 12)17
Wa li ta’lamu, ‘adada al-sini,na wa al-hisab, lafal tersebut
menjelaskan bahwa Allah menciptakan malam dan siang yang saling
beriringan supaya manusia mengetahui bilangan tahun, perhitungan bulan
dan hari.18
15 Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit, hlm. 885. 16 M.Quraish Shihab, op.cit, hlm. 96. 17 Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit, hlm. 85. 18 Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Maji,d al-Nu,r, Juz 15,
Semarang: Hayam Wuruk, Cet.II, 2000, hlm. 2308.
27
d. Firman Allah SWT dalam surat al-An’am: 96, seperti berikut:
Artinya: “Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui.”(Q.S al-An’am: 96)19
Dalam tafsir ibnu Kastir, firman Allah: “Serta menjadikan
Matahari dan Bulan dengan perhitungan”, ulama menyatakan bahwa
keduanya berjalan menurut perhitungan yang sempurna, terukur, tidak
berubah, dan tidak kacau. Masing-masing memiliki orbit yang dilaluinya
pada musim hujan dan musim panas yang berimplikasi terhadap pergantian
siang dan malam.
Kata husba,na terambil dari kata hisab, seperti ayat sebelumnya
(al-Rahman: 5) penambahan huruf alif dan nun memberi arti kesempurnaan
sehingga kata tersebut diartikan perhitungan yang sempurna dan teliti.20
Peredaran benda-benda langit yang sedemikian konsisten, teliti dan pasti
sehingga tidak terjadi tabrakan antar planet-planet. Sebagian ulama
memahami bahwa Allah menjadikan peredaran Matahari dan Bulan sebagai
alat untuk malakukan perhitungan waktu, tahun, bulan, hari, bahkan menit
dan detik,21 dan kedua pendapat tersebut sama-sama bisa diterima.
19 Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit, hlm. 140. 20 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. IV, Jakarta: Lentera Hati, cet.I, 2011, hlm.
204. 21 Ibid., hlm. 205.
28
Jadi, ayat-ayat di atas khususnya surat al-An’am ayat 96 secara
kontekstual menjelaskan antara pendapat ulama satu dan yang lain tidak
ada kerancuan, sebagaimana Bulan mengalami beberapa fase, pada paruh
pertama Bulan berada pada posisi di antara Matahari dan Bumi, sehingga
Bulan itu menyusut yang menandakan bahwa Bulan tersebut adalah Bulan
sabit.
Begitu pula apabila berada di arah berhadapan dengan Matahari,
dimana jika Bumi berada di tengah maka akan tampak Bulan purnama.
Kemudian purnama itu akan kembali mengecil sedikit demi sedikit sampai
pada paruh kedua. Dengan demikian, sempurnalah satu bulan kamariah
selama 29,5309 hari. Atas dasar itu manusia bisa menentukan penanggalan
hari, waktu dan tahun (bulan kamariah).22
e. Hisab Perspektif Hadis
Sunah atau hadis, dalam ‘ulum al-hadis kedua istilah tersebut
mempunyai perbedaan. Bahwa sunah itu segala ucapan dan perbuatan Nabi
sesudah kenabian, sedangkan hadis yaitu segala ucapan dan perbuatan Nabi
sebelum kenabian. Fazlur Rahman ulama pembaharu Islam, dia melakukan
reaktivitasi bahwasanya hadis merupakan pengucapan dari sunah. Karena
pada zaman Nabi itu hanya ada sunah.23
Pada dasarnya hadis yang terkait perintah puasa dan berbuka ketika
melihat hilal, banyak sekali periwayatan dengan berbagai redaksi. Namun
22 Ibid., hlm. 204. 23 Hasil Diskusi dan lihat Fazlur Rahman, Islam, Bandung: Pustaka, Cet.II, 1994, hlm.92.
29
terdapat beberapa dalil yang dijadikan mazhab hisab sebagai pegangan
diantaranya:
a. Hadis riwayat Bukhari
عن نعاف عن عباهللاد نب عمر رضاهللا ي عنهنا ام راهللا ولس صاهللا لىلعيه ولسكذ مر رال القف انمض تصوموا حىت ترلالوا اهل الو فتطوا رحىت تروف هغ نام لعكياقف مدوالر٢٤)رواه البخارى( ه
Artinya: “Dari Nafi’ dari Abd’illah bin Umar bahwasanya Rasulullah saw menjelaskan bulan Ramadhan kemudian beliau bersabda: janganlah kamu berpuasa ssampai kamu melihat hilal dan (kelak) janganlah kamu berbuka sebelum melihatnya lagi, jika tertutup awan maka perkirakanlah.” (HR Bukhari).
Artinya: “Dari Ibnu Umar ra. Berkata Rasulullah saw bersabda satu bulan hanya 29 hari, maka jangan kamu berpuasa sebelum melihat Bulan, dan jangan berbuka sebelum melihatnya dan jika tertutup awal maka perkirakanlah.” (HR. Muslim).
Dari hadis di atas, yang jadi permasalahanya yaitu pada lafal
XYرو/[� , ada yang menyatakan bahwa maksud dari lafal tersebut berarti
hisab atau menghitung, dan ada juga yang berpendapat menyempurnakan
24 Muhammad ibn Isma’il al Bukhari, Shahih Bukhari, Juz III, Beirut: Dar al Fikr, t.t,
hlm. 34. 25 Abu Husain Muslim bin al Hajjaj, Shahih Muslim, Jilid I, Beirut: Dar al Fikr, t.t, hlm.
481.
30
tiga puluh hari. Menurut hemat penulis, perbedaan penafsiran hadis di atas
disebabkan beberapa qarinah diantaranya:
a. Hadis sanad Ibnu Umar ada redaksi yang lafal tersebut ditakhsis
dengan lafal \]^ _^
b. Banyak redaksi hadis yang muqayyad yakni dengan
menyempurnakan 30 hari
c. Khitob hadis Nabi yang menunjukkan bahwa bangsa Arab
(Madinah) waktu itu masih ummy. Nabi mensifati ummy bukan
berarti mereka tidak bisa berhitung, tidak bisa menulis, atau
bahkan tidak tahu bilangan 30 atau 29 hari. Melainkan
ketidaktahuan mereka yaitu pada sistem (cara hisab), atau
menghitung berdasarkan peredaran benda-benda langit.26
d. Kemudian ‘‘illah dari dperintahkanya berpuasa dengan melihat
rukyat
Menurut Imam Maliki bahwa lafal XYرو/[� , qaul yang sahih
menyatakan bahwa maksud dari lafal tersebut yaitu menyempurnakan tiga
pulu hari, sedangkan qaul yang dha’if yaitu dengan menghitung (hisab)
peredaran/posisi benda-benda langit.27
Menurut hemat penulis, secara bahasa bahwa lafal XYرو/[� pada
hadis di atas masih membutuhkan penjelasan. Sehingga sangat wajar jika
ada yang beranggapan bahwa ada dua maksud dari lafal tersebut yaitu
dengan menggenapkan bulan menjadi tiga pulu hari dengan
26 Imam Abi Zakariyah Yahya bin Syirof al-Nawawi al-Dyimasyaqi, Raudlah al-
menkomparasikan hadis-hadis yang lain atau bisa dengan menggunakan
hisab berdasarkan peredaran benda-benda langit.
Khitab awal dari maksud hadis di atas ditujukan kepada orang
Arab khususnya masyarakat Madinah28, pada saat itu sedikit sekali
pengetahuan orang Arab tentang peredaran benda-benda langit. Oleh
karena itu Nabi memautkan hukum wajib puasa dengan rukyat untuk
menghindari kesulitan dalam menghadapi hisab berdasarkan perjalanan
benda langit (Matahari dan Bulan).29 Jadi secara tidak langsung bahwa
keterangan ini merupakan ‘illah diperintahkanya rukyat.
Akan tetapi menurut hemat penulis, hadis ini tetap berlaku pada
masa-masa berikutnya, meskipun dengan banyaknya para pakar hisab.
Karena pada zaman Rasulullah, juga ada beberapa sahabat yang pandai
perhitungan. Akan tetapi dengan Nabi memberlakukan rukyat maka tidak
memberatkan umatnya, dan rukyat pun juga bisa dilakukan oleh orang-
orang yang menguasai ilmu hisab atau orang-orang yang tidak mengetahui
hisab.
Penentuan awal bulan kamariah dengan metode hisab juga
dianalogikan dengan hisab waktu salat, dimana dalam hadis tertera bahwa
penentuan waktu salat berdasarkan gejala-gejala alam30 (tergelincir
Matahari untuk waktu salat Zuhur, bayangan sama panjangnya untuk waktu
28 Hadis ini munculnya karena adanya dua kelompok yang berselisih dalam penentuan
awal bulan, dan sebagai upaya Rasulullah untuk memahami masyarakat Madinah yang secara historis merupakan kota agraria dan subur berbeda dengan Makkah yang merpakan kota dagang dan pandai berhitung, lihat Susiknan Azhari, op.cit, hlm. 66-67.
29 M. Hasbi ash-Shiddieq, Mutiara Hadis 4 (Jenazah, Zakat, Puasa, ‘Itikaf dan Haji), Semarang: Rizki Putra, 2003, hlm. 203.
30 Farid Ruskanda, op.cit, hlm. 87.
32
Asar, terbenam Matahari untuk salat Magrib, hilangnya mega merah atau
cahaya merah untuk salat Isya’, dan terbitnya fajar untuk salat subuh).
Begitu juga dengan hisab, pada dasarnya data-data yang diperlukan
didasarkan dari rukyat atau pengamatan benda-benda langit.
Yang perlu dicermati kembali, bahwa hisab bukan termasuk
produk hukum seperti wajib, haram dan lain sebagainya. Akan tetapi hisab
hanya merupakan suatu objek (sarana seperti halnya rukyat) yang
membutuhkan sebuah interpretasi terhadap dasar-dasar hukum untuk
mengetahui bagaimana hukum penggunaannya; dan tujuan hakiki dari hadis
di atas yaitu kewajiban untuk berpuasa. Maka logikanya sama dengan
kesunahan bersiwak, bahwa tujuan siwak untuk membersihkan mulut
sehingga mendatangkan keridlaan Allah, sedangkan sarana bersiwak
dengan menggunakan siwak itu dianggap yang cocok dan mudah didapat di
Jazirah Arab, sehingga untuk bersiwak tidak diharuskan menggunakan
siwak tapi juga bisa menggunakan sarana yang lain.
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa penentuan awal bulan
kamariah dengan metode hisab juga mempunyai dalil-dalil yang cukup
kuat.
B. Sejarah Perkembangan Ilmu Hisab
1. Ilmu Hisab Pra Islam
Pada abad ke- 28 SM embrio ilmu falak mulai tampak yang
dicerminkan dalam penentuan waktu pada penyembahan berhala seperti di
33
Mesir yang dilakukan untuk menyembah dewa Orisis, Isis dan Amon, serta di
Babilonia dan Mesopotamia untuk menyembah dewa Astoroth dan Baal.31
Untuk pengetahuan tentang nama- nama hari dalam satu minggu baru
ada pada 5000 tahun sebelum kelahiran Nabi Isa As. Penamaan hari-hari
tersebut didasarkan pada nama- nama benda langit yaitu Matahari untuk hari
Ahad, Bulan untuk hari Senin, Mars untuk hari Selasa, Merkurius untuk hari
Rabu, Yupiter untuk hari Kamis, Venus untuk hari Jum’at dan Saturnus untuk
hari Sabtu.32
Satu tahun terdapat dua belas bulan, menurut perhitungan astronomi
Bumi mengelilingi Matahari dalam waktu 365,2422 hari, yang jumlah itu
diperkirakan 12 bulan. Tahun 45 SM, Julius Caesar menetapkan bahwa satu
tahun terdapat 365,25 hari dan 0.25 hari setiap empat tahun dibulatkan
menjadi tambahan satu hari pada bulan Februari.
Sebelum masehi, perkembangan ilmu hisab dipengaruhi oleh teori
geosentris33 Aristoteles. Kemudian teori tersebut dipertajam oleh Aristarchus
dari Samos (310-230 SM) dengan hasil pengukuran jarak antara Bumi dan
Matahari, dan Eratosthenes dari Mesir juga sudah dapat menghitung keliling
Bumi.34
Pada tahun 140 M ilmu hisab berkembang ditandai dengan temuan
Claudius ptolomeus berupa catatan tentang bintang–bintang yang diberi nama
31 Lihat Thantawy al jauhary, Tafsir al-Jawahir, Juz VI, Mesir: Mustafa al Babi al Halabi,
1346 H, hlm. 29. 32 Ibid, hlm. 18. 33 Teori geosentris adalah teori yang yang berasumsi bahwa bumi adalah sebagai pusat
Pada awal Islam, ilmu hisab memang belum berkembang sebagaimana sabda
Nabi Muhammad SAW:
حدثنا سعيد بن عمروانه سمع ابن عمر حدثنا آدم حدثنا شعبة حدثنا األسود بن قيس إنا امة امية ال نكتب وال : رضي اهللا عنهما عن النيب صلى اهللا عليه وسلم انه قال
Artinya: ”Bercerita kepadaku Adam, bercerita kepadaku Syu’bah, bercerita kepadaku Aswad bin Qais, bercerita kepadaku Said bin Amr, dan mendengar ibnu Amr (semoga Allah meridhai keduanya) dari Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummy (tidak membaca dan menulis), kami tidak menulis dan menghitung, bulan itu seperti ini dan ini, yakni terkadang 29 hari dan terkadang pula 30 hari.” (HR. Al-Bukhari).
Akan tetapi bukan berarti mereka tidak mengenal ataupun tidak berkarya,
karena pada waktu itu mereka memberikan nama tahun sesuai dengan
kejadian yang dianggap monumental seperti tahun Gajah ketika Nabi lahir
terjadi penyerangan oleh pasukan bergajah, tahun Ijin karena merupakan
tahun diijinkannya hijrah ke Madinah, tahun Amr dimana umat Islam
diperintahkan untuk menggunakan senjata. Selain itu juga ada tahun Jama’ah,
dan sebagainya.39
Wacana mengenai hisab baru muncul pada masa pemerintahan
Khalifah Umar Bin Khattab yaitu dengan menetapkan kalender Hijriah
sebagai dasar melaksanakan ibadah bagi umat Islam. Penetapan ini terjadi
38 Imam Abi Abd’illah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughiroh bin Bardazbah
al-Bukhari al-Ja’fi, Shahih Al-Bukhari, Juz 1, Libanon: Daar al-Kutub al-Ilmiah , 1992, hlm. 589. 39 Lihat Sriyatin Shadiq, “Perkembangan Hisab Rukyat dan Penetapan Awal Bulan
Kamariah,” dalam Muamal Hamidy, ed., op.cit, hlm. 58.
36
pada tahun 17 H, tepatnya pada tanggal 20 Jumadil Akhir 17 H40 dan
disepakati sejak Nabi hijrah dari Makkah ke Madinah.
Pengangkatan beberapa gubernur pada masa pemerintahan Umar,
diantaranya pengangkatan Abu Musa al Asy’ari sebagai gubernur Basrah
menjadi latar belakang perhitungan tahun Hijriah. Dimana surat
pengangkatannya berlaku mulai Sya’ban, tetapi tidak ada kejelasan tahun
yang mana. Karena hal inilah Umar merasa perlu menghitung dan
menetapkan tahun Islam. Kemudian Umar mengundang para sahabat untuk
bermusyawarah tantang masalah ini, dan kemudian disepakati kalender
Hijriah sebagai kalender Negara.
Umat Islam mempergunakan penanggalan kamariah nampaknya
didasarkan pada dua faktor pokok. Pertama, banyak negara Islam sewaktu
penanggalan ini dibuat, letaknya di daerah yang tidak mengalami musim.
Kedua, penanggalan ini diperlukan untuk memperhitungkan upacara-upacara
agama seperti saat puasa Ramadhan, saat musim haji dan juga saat masa haid
wanita.41
Untuk perkembangan hisab rukyat mencapai titik keemasan pada
masa pemerintahan dinasti Abbasyiah karena memang pada masa daulah ini
sangat memperhatikan kualitas agama bukan kuantitas sebagaimana yang
terjadi pada zaman Umayyah.
40 Slamet hambali, op.cit, hlm. 5. 41 S.Anwar Effendie, dkk, Alam Raya dan al-Qur’an, Jakarta: Pradnya Pramita, Cet.I,
1994, hlm. 114.
37
Masa keemasan itu ditandai dengan adanya penerjemahan kitab
Sindihind dari India pada masa pemerintahan Abu ja’far al Manshur,42 selain
itu pada masa al Makmun di Baghdad didirikan observatorium pertama yaitu
Syammasiyah 213 H/ 828 M yang di pimpin oleh dua ahli astronomi
termashur Fadhl ibn al Naubakht dan Muhammad ibn Musa al Khawarizmi43
yang kemudian diikuti dengan serangkaian observatorium yang dihubungkan
dengan nama ahli astronomi seperti observatorium al Battani di Raqqa dan
Abdurrahman al shufi di Syiraz.44
Abad 9 H/15 M merupakan puncak dari zaman keemasan Astronomi,
ketika Ulugh beik cucu Timur Lenk mendirikan observatoriummya di
Samarkand bersama dengan berdirinya observatorium Istambul dianggap
sebagai penghubung lembaga ini ke dunia barat.45
Tokoh- tokoh astronomi yang hidup pada masa itu diantaranya adalah
al Farghani, Maslamah ibn al Marjit di Andalusia yang telah mengubah tahun
masehi menjadi tahun hijriah, Mirza Ulugh bin Timur Lenk yang terkenal
dengan ephemerisnya, Ibn Yunus, Nasirudin, Ulugh Beik yang terkenal
dengan landasan ijtimak dalam penentuan awal bulan kamariah.46
Mesir: t.p, Cet.II, 1342 H, hlm. 483. 43 Ibid. Observatorium pada masa ini telah meninggalkan teori yunani kuno dan membuat
teori sendiri dalam menghitung kulminasi matahari dan menghasilkan data-data dari kitab Sindihind yang di sebut dengan table of Makmun dan oleh orang eropa di kenal dengan astronomos/ astronomy. Lihat dalam Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual
Barat:Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam,Terj. Joko S Kalhar, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, hlm. 230-233.
44Ibid, lihat Sayyed Hossein Nasr, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban,Terj J Muhyidin,
Bandung: Penerbit Pustaka, 1986, hlm. 62-63. 45
Ibid, hlm. 51. 46 Jamil ahmad, Seratus Muslim terkemuka,Terj. Tim penerjemah Pustaka al Firdaus, Cet
I, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987, hlm. 166-170.
38
Adanya ekspansi intelektualitas ke Eropa melalui Spanyol, muncullah
Nicolas Capernicus (1473-1543) yang membongkar teori Geosentris yang
dikembangkan oleh Ptolomeus dengan mengembangkan teori Heliosentris.47
3. Ilmu Hisab di Indonesia
Terkait sejarah pemikiran di Indonesia terdapat dua periode penting
yaitu: periode masuknya Islam di Indonesia (pra kolonial dan periode
kolonial) dan periode reformisme pada abad ke 20.48
Sebelum datangnya Islam ke Indonesia, yakni pada masa Hindu
Budha. Bangsa Indonesia telah mengenal sistem penanggalan Jawa atau yang
disebut Aji Saka.
Penanggalan Saka awalnya didasarkan pada solar calendar atau
peredaran matahari, yang dimulai pada hari Sabtu 14 Maret 78 M ketika Aji
Saka (Raja Prabu Syaliwahono) mendirikan kerajaan Hindia di Hindia.
Kemudian pada masa kerajaan Mataram berkuasa, Sri Sultan Mahmud yang
terkenal dengan Sultan Agung Anyokrukusuma merubah tahun saka itu
menjadi tahun kamariah. Bertepatan dengan 1555 tahun Saka, 1 Muharram
1043 H/ 8 Juli 1633 M.49
47 Teori Heliosentris adalah teori yang merupakan kebalikan dari teori geosentris. Teori
ini mengemukakan bahwa Matahari sebagai pusat peredaran benda- benda langit. Akan tetapi menurut lacakan sejaarah yang pertama kali melakukan kritikk terhadap teori geosentris adalah al Biruni yang berasumsi tidak mungkin langit yang begitu besar beserta bintang-bintangnya yang mengelilingi bumi. Lihat dalam Ahmad Baiquni, Al Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi,
Cet. IV, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996, hlm. 9. 48 Karel.A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta:
Bulan Bintang, Cet.I, 1984,hlm.3 49 H.G. Holander, Ilmu Falak, terjemahan: I Made Sugita, Beknopt Leerboekje der
Sebelum datangnya Belanda ke Indonesia kalender resmi yang
digunakan adalah kalender Hijriah, dan setelah mereka datang terjadilah
pergeseran penggunaan kalender Hijriah diganti dengan kalender Masehi.
Pada awal abad 17 sampai 19 , dan abad 20 perkembangan hisab
rukyat tidak bisa terlepas dari pemikiran serupa di negara Islam yang lain.
Sebagaimana yang tercermin dalam kitab Sullam al-Nayyirain50 yang hampir
mempunyai kesamaan dengan sistem Ulugh Beik.
Sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia bersifat dinamis,
pada abad 20 ilmu Falak pun mulai bersentuhan dengan kemoderenan; ilmu
pengetahuan yang berasal dari Barat. Teori-teori lama yang sudah out of date
mulai ditinggalkan digantikan dengan penemuan baru yang lebih sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu Falak sebagai
bagian sains yang berkembang di kalangan umat Islam mengalami hal sama.
Seiring berjalanya waktu, wacana hisab rukyat menjadi berkembang
pesat. Perhitungan yang digunakan berdasarkan data-data yang akurat dengan
didasarkan pada pengamatan seperti Ephemeris, Almanak Nautika yang
menyajikan data-data perjam. Begitu juga dengan banyakya khasanah (kitab-
kitab) di Indonesia dapat dikatakan relatif banyak, yang pada dasarnya kitab-
kitab tersebut menguraikan masalah yang terjadi pada saat itu.
50 Sullamun Nayyirain adalah kitab yang disusun untuk mengetahui ijtimak berdasarkan
metode Ulugh beik al Samarqandy yang di susun oleh KH. Muh Mansur bin KH Abdul Hamid bin Muh Damiry al Batawy. Di mana kitab tersebut berisi rissalah untuk ijtimak, gerhana bulan daan matahari. Lihat Ahmad Izzuddin ,” Analisis Kritis tentang Hisab Awal Bulan Qamariyah dalam kitab Sullamun Nayyirain”, Skripsi Sarjana, Seamarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 1997, hlm. 8, td.
40
Perkembangan ilmu Falak di Indonesia juga dicerminkan dengan
adanya lembaga Badan Hisab Rukyat (BHR) yang berada didalam naungan
Departemen Agama. Pada dasarnya dibentuknya BHR tidak lain adalah untuk
menjaga persatuan ukhuwah Islamiyah, akan tetapi secara realitis hal ini
belum terwujud terbukti dengan masih seringnya terjadi perbedaan penetapan
awal bulan Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah.
C. Pendapat Ulama tentang Hisab Awal Bulan Kamariah
Di Indonesia metode hisab dijadikan acuan dalam penentuan awal
bulan kamariah yang kemudian diaplikasikan dengan rukyat, namun ada satu
golongan yang berpegang teguh dengan metode hisab saja. Sehingga hal ini
juga menjadi salah satu faktor penyebab perbedaan awal bulan kamariah di
Indonesia.
Dalam kitab fikih klasik, banyak sekali yang menyatakan bahwa
penentuan awal bulan ditentukan dengan metode rukyat, jika hilal tidak dapat
dilihat maka disempurnakan menjadi 30 hari (pendapat yang dianut jumhur
ulama salaf 51
dan ulma khalaf 52
, Imam Maliki, Abu Hanifah, dan Imam
Syafi’i).53 Hadis-hadis terkait penentuan awal bulan kamariah juga
bermacam-macam, akan tetapi secara mayoritas menunjukkan dengan rukyat
dan istikmal.
51 Salaf: Orang yang memahami, mengagumi, memperjuangkan serta mengajarkan Islam
yang diambil langsung dari sahabat tabi’in dan tabi’it tabi’in, atau ulama yang ada pada abad 1-2 H, dan batas akhir tahun 330 H. Lihat as-Salaf al-Khalaf, gazafirdaus.blospot.com/2009/03/as-
salaf al-khalaf, diakses pada 15 April 2012 pukul 08:44. 52 Ulama yang lahir abad 3 H ( paska tabi’at tabi’in), Ibid. 53 Manshur Ali Nasif, al-Ta,j al-Ja,mi’ li al- Ushu,l, Beirut: Dar al-Fikr, Jilid.I,
hlm.54.
41
Sedangkan ulama yang memperbolehkan hisab diantaranya adalah
Muthorif bin Abdullah (tokoh terkemuka tabi’in), Ibnu Suraij54, Ibnu
Qutaibah dan sebagian ulama modern (zaman sekarang) seperti Yusuf
Qardhawi, Rasyid Ridha (dengan alasan hisab sekarang tidak seperti yang ada
pada zaman Nabi, dan sekarang hisab menghasilkan kepastian yang qath’i).55
Perbedaan pendapat ini juga disebabkan cara pandang terhadap
kutipan hadis Ibnu Umar. Argumentasi fukaha yang tidak memperbolehkan
penetapan awal bulan kamariah yang terkait dengan waktu ibadah dengan
hisab karena menganggap bahwa hadis di atas (sub hisab perspektif hadis)
sifatnya masih global,56 dan ditakhsis dengan hadis yang diriwayatkan
Bukhari :
مسعت ابا هريرة رضي اهللا : حدثنا حممد بن زياد قال شعبة حدثنا آدم حدثنااهللا قال ابو القاسم صلى: قال او –اهللا عليه وسلم ىقال النيب صل: عنه يقول واعدة لاكمف مكليعغبي فإن , هتيوا لرؤطرفاصوموا لرؤيته و: ( عليه وسلم
عبالث انشث٥٧).ني
Artinya: ”Bercerita kepada kami Adam, bercerita kepada kami Muhammad bin Ziyad, ia berkata : aku mendengar Abu Hurairah RA berkata : bersabda Nabi SAW : “berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal,, dan apabila mendung maka sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” (HR.Bukhari)
54 Boleh menggunakan hisab dengan catatan “hisab tidak bertentangan dengan rukyat
misalnya terpaut dua atau satu hari”, Lihat Imam Abi Zakariyah Yahya bin Syirof al-Nawawi al-Dyimasyaqi, Raudlah al-Thalibi,n, Beiru Libanon: Darul Kutub al-Ilmiyyah, Jilid II, 676, hlm. 211.
55 Susiknan Azhari, op.cit, hlm. 179. 56 Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih Bukhari, Juz II, Dar al-
Akan tetapi dalam Sahih Muslim juga terdapat hadis Ibnu Umar
dengan redaksi yang berbeda dan menunjukkan bahwa lafal faqduru,lah
ditakhsis dengan lafal tsalatsi,na yang berarti menyempurnakan menjadi
tiga puluh hari, berikut bunyi hadisnya:
عن ابن ,عافعن ن اهللاديبحدثنا ع.ةامسنا أبو أثدح.ةيبي شبأ بن ركنا أبو بثحدعمكصلى اهللا عليه وسلم ذأن رسول ا هللا :رضي ا هللا عنهما رر ف. مضانرضرب . هيتؤرو ا لومصف) ةثا ليف الث ها مهب ا دقع مث(ذا كا وهذكه هرالش: فقا ل يه ديب
٥٨)رواه مسلم( نيثاله ثوالردفاقم كيلع يمغوأفطرو الرؤيته فإن أ
Sedangkan fukaha yang memperbolehkan penetapan awal bulan
Hijriah dengan hisab yaitu karena memang diperuntukkan bagi mereka yang
bisa dan mengetahui ilmu falak, adapun untuk hadis dengan lafal ة/�Yاl(mآ�
ditujukan untuk orang awam (bagi mereka yang tidak bisa ilmu hisab).59
Kasus perbedaan penetapan awal bulan kamariah sebenarnya
berdasarkan khitab pada waktu itu yaitu disesuaikan dengan perbedaan situasi
dan kondisi. Sehingga fatwa (hukum) akan berubah seiring perubahan zaman
dan keadaan, serta disesuaikan dengan ‘illah yakni jika kondisi waktu itu
(bangsa Arab masa ummy) dan letak secara geografis tepat untuk melakukan
pengamatan yang dijadikan sebab tidak dibarlakukanya hisab, maka jika
sebab itu berubah maka secara tidak langsung ketetapanya juga berubah
(boleh menggunakan hisab) sebagaimana kaidah fiqhiyyah :
58 Abu Husain Muslim bin al Hajjaj, loc.cit. 59 Shofiyullah, op.cit, hlm. 22.
43
60امدعا وودجو ةلالع عر مودي مكحال
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ahmad Junaidi, menurut penelitian
Syihabbudin al-Qalyubi61 hadis-hadis hisab rukyat tersebut mengandung
sepuluh interpretasi yang beragam di antaranya:
• Perintah berpuasa berlaku atas semua orang yang melihat hilal dan tidak
berlaku atas orang yang tidak melihatnya.
• Melihat di sini melalui mata. Karenanya, ia tidak berlaku atas orang buta
(matanya tidak berfungsi).
• Melihat (rukyat) secara keilmuan bernilai mutawatir dan merupakan berita
dari orang yang adil.
• Nash tersebut mengandung juga makna dzhan sehingga mencakup ramalan
dalam nujum (astronomi).
• Ada tuntutan puasa secara kontinu jika terhalang pandangan atas hilal
manakala sudah ada kepastian hilal sudah dapat dilihat.
• Ada kemungkinan hilal sudah wujud sehingga wajib puasa, walaupun
menurut ahli astronomi belum ada kemungkinan hilal dapat dilihat.
• Perintah hadis tersebut ditujukan kepada kaum Muslimin secara
menyeluruh. Namun pelaksanaan rukyat tidak diwajibkan kepada
seluruhnya bahkan mungkin hanya perseorangan.
• Hadis ini mengandung makna berbuka puasa.
60 Hukum itu berubah seiring dengan perbedaan ‘illah atau sebab yang menyertainya,
lihat Abdul Hamid, Mabadi’ Awwaliyyah, Jakarta: Maktabah Sa’adiyyah Putra, hlm. 46. 61 Ahmad Junaidi, Rukyat Global Perpsektif Fikih Astronomi, Ponorogo: STAIN Press,
183. 68 Visibilitas hilal merupakan istilah inggris yang berarti kemungkinan hilal terlihat,
selain memperhitungkan wujudnya hilal di atas ufuk, pelaku hisab juga memperhatikan faktor-faktor lain yang memungkinkan terlihatnya hilal. Lihat Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab
rukyat sebagaimana yang dilakukan Rasulullah, salah satu hadis yang
dijadikan pedoman diantaranya:
ناث: قاال , يكزامل ا قسحي إبا ا بنيركوابو ز,ظافاهللا احل دبو عاب أخبرناابو عبد اهللا محمد بن يث, عقوبنعفا جر بن محمد ,ثنا يا, يحنيلبا إمسا ع
قال رسول الله : عن عبد الله بن دينار أنه مسع ابن عمر قال , جعفر بنال تصوموا حىت تروه وال ةليرون لشو ع الشهر تسع:صلى الله عليه وسلم رواه مسلم ( فاقدروالهعليكم مكم فإن غيلع مغي نتفطروا حىت تروه إال ا
٦٩. )ىف الصحيح عن حيي بن حييArtinya: ”Mengabarkan kepada kami Abu Abd’illah al-Hafidz, dan Abu
Zakaria bin Abi Ishaq al-Muzakki, mereka berkata : bercerita kepada kami Abu Abd’illah Muhammad bin Ya’kub, bercerita kepada kami, Ja’far bin Muhammad, bercerita kepada kami Yahya, Ismail bin Ja’far memberitakan, dari Abdullah bin Dinar sesungguhnya Ibnu Umar berkata : bersabda Rasulullah SAW : bulan itu 29 malam, janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka hingga melihat hilal, kecuali jika awan menutupi (mendung), maka sempurnakanlah 30 hari.” (HR. Muslim, hadis Shahih dari Yahya bin Yahya).
Rukyat terdiri dari beberapa macam, diantaranya:
a. Rukyat bi al-qolbi
70
Yaitu rukyat yang hanya diperkirakan bahwa hilal sudah bisa
terlihat. Rukyat seperti ini tidak banyak diikuti, karena tidak ada bukti
yang nyata dan ditakutkan akan menyesatkan.
69 Muhammad Abdul Qadir ‘Athab, Sunan al-Kubra (Lil Imam Abi Bakar Ahmad bin al-
Husain bin Ali al-Baihaqi), Libanon : Daar al-Kutub al-Ilmiah, Juz 4, hlm. 345. 70Lihat Kriteria Hisab Rukyat oleh Mutiara Zuhud 31 Agustus 2011
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/08/31/kirteria-hisab-rukya/, diakses pada 4 Mei 2012 pukul 18:51.
48
b. Rukyat bi al-fi’li
Rukyat bi al-fi’li adalah usaha melihat hilal dengan mata telanjang
dan dilakukan secara langsung yang dilakukan setiap akhir bulan tanggal
29 bulan kamariah pada saat matahari tenggelam. Apabila hilal berhasil
dilihat, maka sejak malam itu sudah dihitung tanggal satu bulan baru.
Tetapi jika tidak berhasil dirukyat maka malam dan keesokan harinya
masih merupakan bulan yang sedang berjalan, sehingga umur bulan
tersebut digenapkan 30 hari (Istikmal).71
Rukyat bi al-fi’li menjadi sistem penentuan awal bulan kamarih
yang diterapkan pada zaman Nabi, para sahabat, tabi’in dan tabi’ al-
tabi’in. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa rukyat tersebut
masih digunakan dalam menentukan awal bulan Ramadhan, Syawal dan
Zulhijjah. Namun sistem ini tidak dapat dijadikan dalam pembuatan
kalender.
Sebelum berkembangnya ilmu Astronomi, rukyat yang
diinterpretasikan dari hadis Rasulullah yaitu rukyat yang dilakukan
secara visual. Padahal jika dilihat di era sekarang banyak sekali problem
yang menghambat pengamatan hilal secara visual, diantaranya: Pertama,
kondisi cuaca seperti mendung; kedua, ketinggian hilal dan Matahari;
ketiga, jarak antara Bulan dan Matahari (jika hilal terlalu dekat,
meskipun Matahari telah tenggelam, berkas sinarnya masih menyilaukan
sehingga hilal tidak akan tampak); keempat, kondisi atmosfir Bumi
71 Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit, hlm. 37.
49
seperti akibat polusi udara, kabut dan sebagainya); kelima, kualitas mata
pengamat.72
Perbedaan di kalangan ulama fikih terkait masalah pemberlakuan
rukyat apakah hanya untuk satu wilayah atau seluruh dunia. Dalam hal ini,
jumhur fukaha menyatakan bahwa rukyat di suatu Negara berlaku untuk di
negara-negara Islam lainya (bersifat global).
Menurut mazhab Syafi’i73 terdapat lima pendapat tentang jarak ke
garis batas mathla’ dari lokasi rukyat al-hilal, yaitu: Pertama, pemberlakuan
hasil rukyat hanya sejauh jarak dimana qoshar salat diijinkan sekitar 80 km;
kedua, pemberlakuan hasil rukyat sejauh 8° bujur; ketiga, wilayatul hukmi
sebagaimana yang berlaku di Indonesia jika di suatu wilayah rukyat berhasil,
maka berlaku di seluruh Indonesia; keempat, pemberlakuan hasil rukyat
suatu daerah dimana hilal masih memungkinkan untuk dirukyat.
Sedangkan menurut Imam al-Sarokhosi, hasil rukyat berlaku juga
bagi daerah yang jauh, jika daerah yang jauh tersebut memungkinkan untuk
rukyat dalam arti keadaan hilal di daerah yang jauh tidak berada di bawah
ufuk. Secara astronomi, pendapat tersebut dapat dibenarkan.
Mengenai kriteria visibilitas hilal masih terjadi perselisihan, yakni
belum ada kesepakatan secara global tentang kriteria yang harus digunakan
72 Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit, 2007, hlm. 87. 73 Shoifiyulloh, op.cit, hlm.18.
50
dalam mengontrol hasil rukyat.74 Karena kriteria visibilitas hilal cukup rumit
dan tidak ditemukanya zona yang pasti.
Indonesia sebagai anggota MABIMS, menggunakan kriteria imkan al-
rukyat “ bahwa tinggi hilal terendah adalah 2 derajat di atas ufuk mar’i”.
Menurut Purwanto kriteria ini berdasarkan penggabungan hasil pengamatan
(rukyat) dengan ukuran tinggi hilal minimum 2 derajat menurut hisab.
Ketetapan tersebut sangat sulit diterima para Astronom Internasional.
Kriteria yang disepakati MABIMS merupakan tinggi hilal minimum tiga
derajat dan umur bulan saat Matahari terbenam minimal delapan jam.75
2. Cara kedua, Istikmal
Cara ini dilakukan ketika rukyat tidak behasil untuk dilihat, tidak
pandang cuaca cerah maupun mendung. Istikmal dilakukan dengan
menyempurnakan jumlah hari Sya’ban atau Ramadhan menjadi 30 hari.
Seperti halnya rukyat, penentuan awal bulan dengan istikmal juga
mempunyai dasar. Salah satu hadis yang dijadikan pedoman yaitu:
مسعت ابا هريرة رضي اهللا : حدثنا حممد بن زياد قال شعبة حدثنا آدم حدثنا اهللا ىقال ابو القاسم صل: او قال –اهللا عليه وسلم ىقال النيب صل: عنه يقول
عدة يب عليكم فاكملوافإن غ, يتهؤطروا لرفيته واؤصوموا لر: ( -عليه وسلم ٧٦).شعبان ثالثني
Artinya: ”Bercerita kepada kami Adam, bercerita kepada kami Muhammad bin Ziyad, ia berkata : aku mendengar Abu Hurairah RA berkata : bersabda Nabi SAW : “berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal,, dan apabila mendung
74 Shofiyullah, op.cit, hlm.12. 75 Susiknan Azhari, Hisab dan Rukyat: Wacana untuk Membangun Kebersamaan di
Tengah Perbedaan), Yogyakarta:Pustaka Pelajar, Cet.I, Mei 2007, hlm.158. 76 Ibid.
51
maka sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” (HR. Al-Bukhari).
Cara ini hanya fokus pada tiga bulan yaitu bulan Ramadhan untuk
penentuan awal puasa, Syawal untuk menetapkan hari raya idul Fitri dan
Zulhijjah untuk menetapkan idul Adha. Tetapi juga tidak menutup
kemungkinan juga digunakan untuk bulan-bulan yang lain.
3. Cara ketiga, Hisab
Metode hisab merupakan penentuan awal bulan kamariah yang
didasarkan pada perhitungan peredaran Bulan mengelilingi Matahari.
Metode hisab tersebut dapat menentukan awal bulan jauh sebelumnya,
sebab tidak tergantung pada terlihatnya hilal pada saat Matahari terbenam
walaupun metode ini diperselisihkan kebolehan penggunaanya dalam
menentukan awal bulan yang ada kaitanya dengan pelaksanaan ibadah (awal
bulan Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah). Namun metode ini mutlak
diperlukan dalam menetapkan awal-awal bulan untuk kepentingan
penyusunan kalender.
Dalam penentuan awal bulan kamariah dengan metode hisab, secara
garis besarnya diklasifikasikan menjad dua macam77 yaitu:
a. Hisab ‘urfi (Hisab Isthilahi)
Kata ‘urfi diambil dari kata العرف yang berarti العادة المرعية
yaitu: konvensi atau kebiasaan yang dipelihara78, yakni hisab yang
melandasi perhitunganya dengan kaidah-kaidah sederhana.
77 Susiknan Azhari, Pembaharuan Pemikiran Hisab di Indonesia (Studi Atas Pemikiran
basitah. Maka tahunya dibagi 30, jika sisanya 2, 5, 7 dan
seterusnya maka masuk tahun kabisat.
Karena penetapanya secara konvesional,dengan mendeskripsikan
aturan 29 dan 30 serta aturan kabisat yang tidak menunjukkan posisi
Bulan yang sebenarnya dan hanya pendekatan, maka hisab ‘urfi ini
praktis untuk menyusun penanggalan Hijriah. Namun, metode tersebut
tidak bisa dijadikan acuan untuk penentuan awal bulan kamariah yang
berkaitan dengan ibadah yaitu Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah karena
ia tidak menggambarkan penampakan Bulan yang sebenarnya.
Perhitungan berdasarkan hisab ‘urfi ini biasanya dijadikan
sebagai ancar-ancar sebelum melakukan perhitungan penanggalan
ataupun perhitungan awal bulan berdasarkan hisab haqiqi.
Gambaran hisab ‘urfi di Indonesia sama dengan hisab Jawa Islam
dengan kriteria yang sama yaitu menetapkan satu daur (siklus) terdiri
dari delapan tahun yang disebut Windu. Setiap 1 windu ditetapkan ada
3 tahun.
b. Hisab Haqiqi
Hisab Haqiqi hisab yang didasarkan pada peredaran bulan yang
sebenarnya. Dengan hisab haqiqi, bulan baru dapat dipastikan jika pada
waktu magrib hilal berada di atas ufuk. Terdapat tiga pandangan
mengenai keberadaan hilal di atas ufuk yaitu80 hilal dianggap wujud
80 Ahmad Izzuddin, op.cit, hlm. 31-32.
54
ketika ijtimak terjadi sebelum Matahari terbenam, hilal dianggap sudah
lahir jika pada saat gurub (Matahari terbenam) hilal diperhitungkan
sudah berada di atas ufuk hakiki (true horizon).
Hisab ini dibagi menjadi tiga tingkatan sebagai berikut:
1. Hisab haqiqi bi al-taqrib, tingkat akurasi perhitungnya rendah
Hisab haqiqi bi al-taqrib, model perhitunganya cukup
melakukan penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian
data-data yang sudah ada tanpa menggunakan perhitungan segitiga
bola.
Kelompok ini menggunakan data Bulan dan Matahari
bedasarkan data dan tabel Ulugh Beik.81 Perhitungan metode taqribi
secara fisik menggunakan ilmu Astronomi yang masih menganut
teori Geosentris.82 Dalam penentuan ketinggian hilal, menurut sistem
hisab ini dihitung dari titik pusat Bumi bukan dari permukaan Bumi,
dan berpedoman pada gerak rata-rata Bulan yakni setiap harinya
bulan bergerak ke arah timur rata-rata 12 derajat, sehingga
operasionalnya adalah dengan memperhitungkan selisih waktu
ijtimak dengan waktu Matahari terbenam kemudian dibagi dua.83
Maka sebagai konsekuensinya adalah apabila ijtimak terjadi sebelum
Matahari terbenam, maka secara praktis posisi Bulan sudah berada di
81 Ahmad Izzuddin, op.cit, hlm. 7. 82 Lihat M.Solihat dan Subhan, Rukyat dan Teknologi, Jakarta: Gema Insani Press, 1994,
hlm.18 83 Lihat Saiful Mujab, op.cit, hlm. 6, td.
55
atas ufuk pada saat Matahari terbenam dan hisab tersebut belum
memperhitungakn nilai azimut Bulan dan Matahari.
Adapun kitab klasik di Indonesia yang termasuk kategori
hisab haqiqi bi al-taqrib antara lain: Sullam al-Nayyirain oleh
Muhammad Manshur al-Batawi, Tadzkirah al-Ikhwan oleh Abu
Hamdan, Fath al-Rauf al-Mannan oleh Abu Hamdan Abdul Jalil bin
Abdul Hamid al-Qudsy, al-Qawaid al-Falakiyyah oleh Abdul Fatah
al-Sayid Ashshuhy al-Falaky, Risalah al-Qamarain oleh Nawawi
Muhammad Yunus al-Kadiri, Syams al-Hilal oleh KH.Noor Ahmad,
Risalah Falakiyyah Ramli Hasan, Risalah Hisabiyyah oleh KH.
Hasan Basri.
2. Hisab haqiqi bi al-tahqiq, tingkat akurasi perhitunganya sedang
Metode perhitunganya berbeda dengan hisab haqiqi bi al-
taqrib, yakni perhitunganya sudah menggunakan ilmu ukur segitiga
bola (spherical trigonometri) dan juga menggunakan ilmu
Astronomi penganut teori Heliosentris. Sehingga perhitunganya bisa
menggunakan alat bantu hitung seperti kalkulator dan komputer atau
bahkan juga berdasarkan jadwal logaritma empat desimal, lima
desimal ataupun tujuh desimal seperti halnya kitab Muntaha Nataij
al-Awal atau juga bisa menggunakan alat hitung Rubu’ al-
Mujayyab.84
84
Rubu’ al-Mujayyab adalah sebuat alat hitung yang berbentuk seperempat lingkaran untuk hitungan goneometris. Lihat dalam Muhyidin Khazin, kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005, hlm.69.
56
Untuk menghitung ketinggian hilal, sistem ini
memperhitungkan beberapa koreksi dan juga memperhatikan posisi
observer (Lintang dan Bujur Tempat), deklinasi Bulan, sudut waktu
Bulan, dan menurut hemat penulis jika menilik sistem tersebut
secara umum berupa kitab-kitab dengan data-data yang dicangkok
dari kitab Mathla’ al-Sa’id.
Menurut sistem ini umur bulan tidaklah konstan dan juga
tidak beraturan melainkan bergantung posisi hilal setiap bulan.
Sehingga umur bulan bisa jadi berturut-turut 29 hari atau 30 hari
bahkan boleh jadi bergantian sebagaimana dalam hisab ‘urfi.85
Yang termasuk ke dalam kategori hisab tersebut yaitu al-
Khulashah al-Wafiyah karya KH. Zubair Umar Jailani, Ittifaq Dzatil
Ba’in karya KH. Muh. Zubair Abdul Karim, Muntaha Nataij al-
Aqwal oleh KH. Muhammad Hasan Asy’ari, Badi’ah al-Mitsal karya
Muhammad Ma’shum bin Ali, Nur al-Anwar oleh KH.Noor Ahmad
SS Jepara.86
3. Hisab kontemporer, tingkat akurasi perhitunganya tinggi
Metode ini hampir sama dengan metode Haqiqi bi al-Tahqiq,
hanya berbeda pada sistem koreksinya yang lebih teliti (lebih
kompleks dibanding hisab Haqiqi bi al-Tahqiq) dan rumus-
rumusnya lebih disederhanakan. Serta data-data yang digunakan
acuan selalui diperbarui setiap tahunya (tidak paten).
85 Abd Salam Nawawi, Algoritma Hisab Ephemeris, Semarang: Pendidikan dan Pelatihan Nasional Pelaksanaan Rukyat NU, 2006, hlm.1.
86 Ahmad Izzuddin, op.cit, hlm.29, baca Sriyatin Shadiq, op.cit, hlm.67.
57
Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya: New Comb
oleh Bidron Hadi, Alamanak Nautika oleh TNI AL Dinas Hidro
Oseanografi, Ephimeris Hisab dan Rukyat oleh BHR Depag RI,
Astronomical Tebles of Sun, Moon and Planets oleh Jeen Meeus
Belgia.87
Dari ketiga metode penentuan awal bulan kamariah di atas juga
masih terdapat perbedaan dalam memahami konsep permulaan hari dalam
bulan baru. Disinilah kemudian muncul berbagai aliran mengenai penentuan
awal bulan yang pada dasarnya berpangkal pada pedoman ijtimak, dan
posisi hilal di atas ufuk.88
Menurut ahli rukyat, dalam sistem penanggalan Hijriah (penentuan
awal bulan) adalah posisi hilal berada diatas ufuk pada saat Matahari
terbenam dan dapat dirukyat sedangkan menurut ahli hisab, awal bulan
cukup ditandai dengan keberadaan hilal diatas ufuk pada saat Matahari
terbenam. Adapun ahli Astronomi menyatakan awal bulan ditandai dengan
terjadinya konjungsi atau ijtimak al-hilal (Matahari dan Bulan berada pada
garis bujur yang sama).89
a) Konsep ijtimak
Golongan yang berpedoman pada ijtimak dapat dibedakan
menjadi beberapa golongan yaitu:
87 Ibid., hlm. 29. 88 Ijtimak adalah berkumpulnya matahari dan bulan dalam satu bujur astronomi yang sama.
Ijtimak di sebut juga dengan konjungsi ,pangkreman, iqtiraan. Sedangkan yang di maksud ufuk adalah lingkaran besar yang membagi bola langit menjadi dua bagian yang besarnya sama. Ufuk di sebut juga horizon, kaki langit, cakrawala, batas pandang.
89 Muhyiddin Khazin, op.cit, hlm. 32.
58
a. Ijtimak qobl al-ghurub yaitu apabila ijtimak terjadi sebelum
matahari terbenam maka pada malam harinya sudah di anggap
sebagai bulan baru.
b. Ijtimak qobl al-fajri yaitu apabila ijtimak terjadi sebelum terbit
fajar maka pada malam itu sudah di anggap sudah masuk awal
bulan baru.
c. Ijtimak qabl al-zawal yaitu apabila ijtimak terjadi sebelum zawal
maka hari itu sudah memasuki awal bulan baru.
Namun dari golongan-golongan tersebut yang masih di pegang
oleh ulama adalah ijtimak qobl al-ghurub dan ijtimak qobl al-fajri.
Sedangkan golongan yang lain tidak banyak di kenal secara luas oleh
masyarakat.90
b) Konsep posisi hilal
Adapun kriteria posisi hilal yang dijadikan sebagai penentu
masuknya awal bulan kamariah adalah apabila perhitungan hilal sudah
memenuhi kriteria sebagai penentu awal bulan (tidak
memperhitungkan apakah hilal dapat dilihat atau tidak).
Golongan yang berpedoman pada posisi hilal di atas ufuk
dibedakan menjadi:
a. Golongan yang berpedoman pada posisi hilal di atas ufuk hakiki
yaitu ufuk yang berjarak 90 derajat dari titik zenit (lingkaran bola
langit yang bidangnya melalui titik pusat bumi dan tegak lurus pada
90 Nouruz Zaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997, hlm. 195.
59
garis vertikal peninjau.91 Menurut pendapat ini, bahwa apabila pada
saat Matahari terbenam (setelah terjadinya ijtimak), posisi hilal
sudah berada di atas ufuk hakiki92
b. Golongan yang berpedoman pada posisi hilal di atas ufuk mar’i
yaitu ufuk hakiki dengan koreksi seperti kerendahan ufuk, refraksi,
semi diameter, dan parallaks
c. Imkan al-Rukyat yaitu masuknya awal bulan ditentukan
berdasarkan pengamatan langsung terhadap hilal atau berdasarkan
penampakan hilal (menetukan posisi ketinggian hilal pada saat
terbenamnya Matahari, yang memungkinkan bisa dilihat)93
Di Indonesia terdapat beberapa golongan dalam menentukan awal
bulan kamariah dengan cara yang berbeda diantaranya: NU,
91 Marsito, op.cit, hlm. 13. Posisi hilal pada ufuk adalah posisi titik pusat bulan pada ufuk
haqiqi. Lihat Susiknan Azhari, Ilmu Falak Teori dan Praktek, Yogyakarta: Lazuardi, 2001, hlm. 32.
92 Penentuan awal bulan kamariah dilakukan dengan menentukan ketinggian (haqiqi) titik pusat bulan yang diukur dari ufuk haqiqi. Lihat Ichtijanto. Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981, hlm. 148.
93 Ichtijanto. op,cit, hlm. 149. 94 Pada mulanya konsep yang digunakan Muhammadiyah adalah hisab haqiqi dengan
kriteria imkan al-rukyat, kemudian hisab haqiqi dengan konsep ijtimak qabla al-ghurub.94
Akan tetapi pada tahun 1938 M/1357 H organisasi ini menggunakan konsep wujudul hiala sebagai jalan tenagah antara hisab murni (hisab ijtimak) dan rukyat murni, dan konsep ini masih dijadikan pegangan hingga sekarang. Lihat Susiknan Azhari, op.cit, hlm. 152-153.
95 Persis merupakan salah satu ormas yang menggunakan hisab dalam penentuan awal bulan kamariah (Ramdhan, Syawal, dan Zulhijjah). Pada awalnya mereka menggunakan konsep yang sama dengan Muhammadiyah yaituk wujudul hilal.Seiring dengan perubahan pemahaman, pada tahun 1422 H/1423 H Persis mulai mengadopsi teori imakan al-rukyat dalam menyusun kalender. Lihat Susiknan Azhari, op.cit, hlm.168-169.
60
Konsep Imkan al-Rukyat merupakan konsep yang ditawarkan
pemerintah untuk menjembatani antara mazhab hisab dan mazhab rukyat.
Ketetapan ini pada dasarnya titik temu yang paling baik meskipun kriteria
Indonesia lebih rendah dari kriteria Internasional (Astronomi), kriteria ini
juga dibuat dari perpaduan data rukyat dan data hisab.
Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Cecep Nurwenda,
bahwa peristiwa istbat, diantaranya berawal dari asumsi kepastian, sisi
keeroran terjadi pada setiap masing-masing hisab. Secara resmi penentuan
awal bulan kamariah khususnya yang terkait masalah ibadah diharuskan
menggunakan dua metode yaitu hisab dan rukyat karena pada dasarnya
keduanya merupakan metode yang saling mendukung atau melengkapi.
Kemudian kronologi simulasi hilal, di Indonesia menggunakan
kriteria ketinggian hilal minimal 2°, kriteria ini disepakati oleh anggota
MABIMS dan untuk di Indonesia kriteria tersebut bisa dikatakan kriteria
yang lebih mengarah bagaimana untuk mempersatukan penetapan awal
bulan kamariah yang ada di Indonesia meskipun sacara astronomi hilal
dapat dilihat dengan ketinggian 5°.
96 Jama’ah tarekat Naqsyabandiyah terdiri atas beberapa aliran yang berdasarkan syeikh
Musyid masing-masing, sebagaimana yang disampaikan pada seminar nasional bahwa hanya aliran Pasar Baru Padanglah yang berbeda dalam penetapan awal Ramadhan dan Syawal. Aliran ini lebih menitikberatkan hisab ‘urfi yang terdapat dalam almanak guru mereka yaitu Syeikh Abdul Munir. Lihat Ibnu Abbas, “Penentuan Awal Bulan Kamariah Menurut Tarekat Naqsyabandi”, Makalah disampaikan pada “Seminar Nasional Penentuan Awal Bulan Kamariah di Indonesia, Merujut Ukhwah di Tengah Perbedaan yang diselenggarakan oleh Maklis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Yogyakarta, 27-30 November 2008.
97 An-Nadzir merupakan kelompok muslim yang memegang tiga konsep dalam penentuan awal bulan kamariah yaitu konsep hisab dengan angka 54 sebagai pedoman perhitunganya, rukyat dengan mata hati, dan pengamatan fenomena alam seperti pasang surut air laut, angin, hujan dan kilat.Ibid.
61
Ormas-ormas yang menerima kriteria MABIMS yaitu NU, Persis,
dan lain sebagainya, sedangkan untuk Muhammadiyah mempunyai konsep
sendiri yaitu wujud al-hilal dengan berdasarkan bahwa hilal berada di atas
ufuk, dan tidak memandang berapa ketinggian hilalnya.
٦٢
BAB III
HISAB AWAL BULAN KAMARIAH
DALAM KITAB MUNTAHA NATAIJ AL-AQWAL
A. Sosio-Biografi KH. Muhammad Hasan Asy’ari al-Baweani al-Basuruani
Berbicara tentang sosio biografi KH. Muhammad Hasan Asy’ari, maka
tidak terlepas dengan asal muasal siapa sosok Muhammad Hasan Asy’ari.
Tidak banyak yang bisa diketahui tentang biografi serta perjalanan hidupnya,
karena ia bermukim di negara Timur Tengah dan juga tentunya karena tidak
ada yang meneliti tentang biografinya.
Akan tetapi menurut hasil wawancara dengan KH. Ade Rahman
Syakur pengasuh pondok pesantren Sabilul Muttaqien Pasuruan, sekaligus
ketua Syuriah PCNU Pasuruan yang juga sebagai sesepuh ahli falak di
Pasuruan. Ia menceritakan sepengetahuanya tentang KH. Muhammad Hasan
Asy’ari.1
KH. Muhammad Hasan Asy’ari merupakan seorang ulama yang lahir
di pulau kecil Bawean Gresik Jawa Timur sekitar tahun 1820-an, karena dia
seumuran dengan KH. Khalil Bangkalan. Pada masa hidupnya dihabiskan di
pesantren dan ia bermukim di Makkah. Ia menikah dengan Nyi Maryam yang
merupakan putri dari Syeikh Nawawi Banten, dan dikaruniai dua putra yaitu
KH. Ma’ruf (dua putri yaitu Nyi Fatimah, dan Nyi Ni’mah) dan KH. Ahmad
Noor (lima putra Nyi zuhroh, Siti Rabiatul Adawiyah, Aisyah, M. Ma’tuf, dan
1 Hasil Wawancara dengan KH.Ade Rahman Syakur pengasuh pondok pesantren Sabilul
Muttaqien Pasuruan, dan ketua Syuriah PCNU Pasuruan yang juga sebagai sesepuh di Pasuruan. Di Ponpes Sabilul Muttaqin pada Jum’at, 30 Desember 2011 pukul 08.00-09.30.
٦٣
M. Mahfudz), kedua putranya (KH. Ma’ruf dan KH. Ahmad Noor) lahir di
Makkah dan bermukim di sana.2
Menurut KH. Ade Rahman Syakur, sebelumnya di Makkah ia belajar
di negara Maghrobi3 yang sekarang dikenal sebutan Maroko, kemudian pindah
ke Makkah, dan ia penah belajar kepada Syeikh Nawawi Banten di Masjidil
Haram sekitar tahun 1800-1900-an4, yang kemudian oleh Syeikh Nawawi
Banten ia diangkat menjadi menantu dengan Nyi Maryam putri ke dua Syeikh
Nawawi Banten dengan istri yang pertama yaitu Nyi Nasimah dari Tanara.5
Di penghujung abad ke-18 di Semenanjung Jazirah Arab muncul
gerakan wahabi yang dipelopori Muhammad Ibn Abdul Wahab, gerakan ini
muncul bersama dengan kemunduran tiga kerajaan Islam diantaranya Usmani
di Turki, Shafawi di Persia, dan Mughal di India pada rentang tahun 1500-
1800.6
Ajaran wahabi merupakan ajaran yang lebih menekankan pada
pemurnian ajaran Islam dengan corak yang lebih keras, mereka menginginkan
Islam itu kembali pada al-Qur’an dan Sunah, mereka beranggapan bahwa
2 Hasil wawancara dengan ahli waris KH.Muhammad Hasan Asy’ari Nyi Muzayanah
pada Rabu 17 Februari 2012 di Ranggeh Pasuruan pukul 16.54-17.05 WIB. 3 Dinamakan Maghrobi, karena termasuk kawasan paling Barat. 4 Lihat Syeikh Nawawi al-Bantani diposkan oleh PP. Al-Itqon Patebon Kendal senin, 6
Februari 2012 pkl 9: 40, http://ppal-itqon.blogspot.com/2012/02/syekh-nawawi-al-bantani.html, diakses pada 27 Mei 2012 pukul 22:23.
pada 27 Mei 2012 pukul 22:35. 6 Lihat Aliran Wahabi, http://musliminzuhdi.blogspot.com/2011/06/sejarah-munculnya-
aliran-teologi-wahabi.html, diakses pada 8 Januari 2012 pukul 09.11 WIB.
٦٤
ajaran tauhid yang dibawah oleh Rasulullah adalah Islam khurafat dan
kesufian.7
KH. Muhammad Hasan Asya’ri dikenal sesosok pemberontak, pada
saat itu Makkah dan Madinah menjadi darah kekuasaan kaum Wahabi sehingga
dia menjadi pencarian para pengikut ajaran Wahabi yang kemudian dia diusir
dari singgahanya.8 Pada akhirnya dia berpindah ke Mesir, dan tidak lama
berada di sana ia diusir kembali. Karena munculnya gerakan wahabi di daerah
Najd juga memberikan dampak yang besar bagi masyarakat Jazirah Arab dan
Negara Timur Tengah seperti halnya Mesir. Dampak dari gerakan Wahabi di
Mesir ditampakkan dengan bersatunya rakyat Mesir akibat penjajahan Turki.
Sehingga dengan keadaan seperti itu, dia kembali ke Indonesia dan bermukim
di Ranggeh Pasuruan, akan tetapi tidak semua ahli warisnya ikut berpindah
salah satunya adalah keturunan dari Ahmad Noor.
Selama di Makkah KH. Muhammad Hasan Asy’ari dimungkinkan
banyak mengarang kitab-kitab karena dia dikenal sesosok yang berkarya, selain
kitab Muntaha Nataij al-Aqwal ada juga karya lain yaitu Jadwal al-Auqat,9
tetapi yang bisa diketahui hanya kitab Muntaha Nataij al-Aqwal karena
memang itu yang diajarkan di Pasuruan, khususnya untuk para santri pondok
Sidogiri dan pondok Besuk. Dia menjadi ulama besar yang disegani di daerah
Jawa Timur terlebih Pasuruan.
7 Lihat Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, Bandung: Pustaka-
Perpustakaan Salman ITB Bandung, 1983, hlm. 146. 8 Tidak banyak penjelasan yang bisa diketahui tentang KH.Muhammad Hasan Asy’ari
ketika dia melakukan pemberontakan, seperti apa cara dia melakukan pemberontakan dan dengan siapa saja yang ada bersamanya.
9 Muhyiddin Khazin, op.cit, hlm.104.
٦٥
Pada tahun ±1918-1921 M KH. Muhammad Hasan Asy’ari wafat dan
dimakamkan di daerah Sladi Kejayan Pasuruan, letak makamnya berada di
belakang pondok pesantren Besuk, disamping makam Wali Kemuning, dan
dari ahli warisnya atau tokoh ahli falak Pasuruan tidak ada yang mengetahui
kapan wafat atau pun tanggal kelahiranya.
Ada satu tempat peninggalan KH. Muhammad Hasan Asy’ari yang
merupakan waqaf yaitu berupa yayasan Ma’arif Asya’ri yang terletak di jl.KH.
Hasan Asy’ari no.30 Gondong Wetan, Ranggeh, Pasuruan.
Adapun murid-murid KH. Muhammad Hasan Asy’ari yang diketahui
diantaranya KH. Abdul Djalil Kudus pengarang kitab Fath Rauf al-Mannan,
KH. Ma’shum bin ali al-Maskumambangi pengarang kitab Badi’ah al-Mitsal,
dan KH. Abdul Karim.10
Dengan demikian, sejarah biografi tentang KH.Muhammad Hasan
Asy’ari pengarang kitab Muntaha Nataij al-Aqwal, dan konon kitab yang
setara dengan kitab Muntaha Nataij al-Aqwal waktu itu adalah kitab Bulugh
al-Watha1r (yang membahas tentang Gerhana) oleh Ahmad Dahlan al-Samiri
atau al-Tarmisi.11
10 Hasil wawancara dengan KH.Ade Rahman Syakur dan Ahmad Tholhah Ma’ruf melalui
via email pada Kamis, 21 September 2011 pukul 11:48 WIB, 11Tutur Aqil Fikri (Dosen Falak UIN Malang dan Anggota LFNU ), berdasarkan hasil
wawancara pada 26 September 2011 pukul 09.30-11.00 di Nganjuk.
٦٦
B. Gambaran Umum Tentang Kitab Muntaha Nataij al-Aqwal
1. Metode Hisab sebagai Penentuan Awal Bulan Kamariah dalam Kitab
Muntaha Nataij al-Aqwal
Dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal untuk perhitungan penentuan
awal bulan kamariah tidak diawali dengan perhitungan taqribi, sehingga
dalam perhitunganya langsung menggunakan hisab haqiqi bi al-tahqiq yang
dilengkapi dengan penta’dilan.
Pengambilan data-data kitab Muntaha Nataij al-Aqwal merupakan
pencangkokan dari kitab Mathla’ al-Sa’id dimana bagian akhirnya
dinyatakan bahwa perhitungan dengan logaritma itu tidak dapat diragukan
tingkat keakurasianya,12 begitu juga dengan kitab Muntaha Nataij al-Aqwal
yang disusun dengan menggunakan rumus segitiga bola dengan perhitungan
berdasarkan jadwal logaritma.
Sebelum ditebitkan ulang, oleh PCNU Pasuruan yaitu sebelum 2006.
Kitab asli Muntaha Nataij al-Aqwal dibawah oleh KH. Bir’ul Ulum yang
kemudian pindah ke tangan KH. Munir Tholah, dan setelah itu tidak lagi
diketahui keberadaanya. Akan tetapi sebelumnya kitab ini sudah dibukukan
ulang oleh KH. Ade Abdurrohman Syakur yaitu sebagai penasehat Lajnah
Fakakiyah NU Kabupaten Pasuruan periode 2001-2006.13
Pada tahun 2006 Ahmad Tholha Ma’ruf dengan Hasan Ghalib (wakil
ketua LFNU pasuruan sekaligus menantu dari pengasuh Ponpes Sidogiri dan
Besuk Kejayan), mereka membandingkan kitab Muntaha Nataij al-Aqwal
12 Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka,
Cet.I, 2004, hlm. 33.
٦٧
asli tulisan tangan sekitar lima buah dan ada satu yang menambahkan
catatan di halaman terakhir tentang perhitungan ijtimaknya. Dari 5 salinan
asli semuanya menggunakan jadwal huruf Arab dan yang dicetak PCNU
pasuruan merupakan kitab yang digitalkan sekaligus mengubah jadwal
menjadi angka.14 Yang menyebar merupakan kitab yang sudah dikemas oleh
PCNU Pasuruan, dan hanya merubah pada tulisan jadwal, hal ini dilakukan
tidak lain karena untuk mempermudah pencarian data tanpa perlu mengeja
huruf-huruf Arab.
Hisab haqiqi bi al-tahqiq merupakan teori yang berpangkal pada
teori Heliosentris yaitu Matahari menjadi pusat peredaran Bumi dan planet-
planet lainya. Hal ini berbeda dengan hisab haqiqi bi al-taqrib yang
berpangkal pada teori Geosentris yaitu Bumi sebagai pusat tata surya.
Gerak Matahari yang tampak di Bumi bukanlah gerak sebenarnya
atau yang disebut dengan gerak semu Matahari. Hal ini diakibatkan gerak
rotasi Bumi (perputaran Bumi pada porosnya), sehingga gerak-gerak benda
langit tampak berputar dari arah timur ke barat. Sedangkan akibat dari
revolusi Matahari atau annual yaitu adanya gerak semu Matahari di
zodiak.15
Pergerakan Matahari dan Bulan tidak selalu rata, hal ini diakibatkan
orbit Bumi, Bulan, dan benda-benda langit berbentuk ellips yang gaya
14 Hasil wawancara Ahmad Tholhah Ma’ruf Sidogiri melalui via email pada Ahad 25
September 2011 pukul 07:33 WIB. 15 Zodiak atau bujur adalah gugusan bintang-bintang yang sering disebut dengan rasi
bintang atau zodiak. Rasi bintang yang ada di sabuk zodiak yaitu Aries, Taurus, Gemini, Cancer, Leo, Libra Scorpio, Sagitarius, Capricorn, Aquarius. Lihat Susiknan Azhari, op.cit, hlm.47.
٦٨
tariknya tidak teratur. Sehingga perlu adanya koreksi (penta’dilan) terhadap
posisi Matahari dan Bulan.
Posisi Matahari dan Bulan dapat dibedakan menjadi posisinya
terhadap titik perigeenya16 atau yang disebut dengan khashah (geraknya
disebut dengan anomali), dan posisinya terhadap titik vernal equinox17 yang
disebut dengan wasath. Oleh karena orbit Bumi berbentuk ellips maka untuk
menemukan posisi hakiki Matahari di bola langit harus dikoreksi sebagai
akibat bentuk orbit yang ellips tersebut, dengan koreksi yang disebut koreksi
pusat.18
Sementara untuk menemukan posisi Bulan hakiki perlu penkoreksian
yang lebih kompleks terhadap posisi rata-rata Bulan. Karena Bulan sebagai
satelit Bumi yang bersama-sama dengan Bumi mengitari Matahari, maka
geraknya banyak mengalami gangguan dari berbagai gaya gravitasi benda
langit lainnya.
Koreksi-koreksi terhadap bulan secara global adalah sebagai berikut:
1. Koreksi perata tahunan, sebagai akibat gerak tahunan Bulan bersama-
sama dengan Bumi mengelilingi Matahari dalam orbit yang berbentuk
16 Yang dimaksud Perigee/Nuqthatu ar-Ra'si: Disebut juga Hadhidh, yaitu titik terdekat
pada peredaran (orbit) benda langit dari benda langit yang diedarinya. Dalam bahasa latin disebut Perihelion atau dalam bahasa inggris disebut Perigee. Muhyidin Khazin, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005, hlm. 163.
17 Vernal equinox kadang-kadang disebut titik pertama Aries, merupakan perpotongan antara ekliptika dengan equator. Dalam bahasa Arab disebut al-I'tidal ar Rabiiy atau Matali min
awwal al-Haml. Di vernal equinox matahari berpindah dari Selatan ke Utara ekuator (lawannya ialah Autumnal Equinox). Oleh karena adanya presesi, titik vernal equinox selalu bergeser ke Barat. Pada 300 tahun yang akan datang vernal equinox akan mencapai batas akuarius (sekarang masih di Pisces). Ibid. hlm.226.
18 Ahmad Syifa'ul Anam, ibid, hlm. 57, td.
٦٩
ellips. Koreksi (ta'dil) tersebut diambilkan dari angka yang diperoleh
khashah Matahari.
2. Variasi yang mengakibatkan Bulan baru atau Bulan purnama tiba
terlambat atau lebih cepat.
3. Koreksi variasi yang besarnya diambil dari hasil angka selisih thul19
matahari dengan wasath20 bulan yang telah terkoreksi.
4. Koreksi lain untuk mengoreksi wasath bulan antara lain koreksi yang
diambil dari hasil angka khashah bulan yang telah terkoreksi. Dengan
demikian wasath Bulan didapatkan dengan cara mengoreksi wasath
rata-rata dengan koreksi pertama, ke-dua, ke-tiga, dan koreksi ke-
empat.
5. Disamping itu, juga ada koreksi perata pusat sebagai bentuk ellips
orbit Bulan, yang besarnya diambil dari khashah Bulan yang telah
terkoreksi.
Setelah diperoleh data Matahari dan data Bulan pada waktu gurub,
maka proses selanjutnya adalah tahap menghitung ketinggian hilal hakiki
dan proses panjang yang harus dilalui sehingga menghasilkan data awal
bulan kamariah.
Kitab Muntaha Nataij al-Aqwal dalam perhitunganya terdapat
penkoreksian terhadap gerak wasath bulan dengan penambahan dhamimah
19 Dalam astronomi disebut Ecliptic Longitude yaitu busur sepanjang lingkaran akliptika
yang diukur dari titik Aries ke arah timur sampai bujur astronomi yang melewati benda langit yang bersangkutan. Muhyiddin Khazin, op.cit, hlm. 83.
20 Wasath adalah busur sepanjang ekliptika yang diukur dari bulan hingga ke titik Aries sesudah bergerak. Muhyiddin Khazin, op.cit, hlm. 91.
٧٠
adapun untuk awal tahun 1400 H dhamimah sebesar 0° 1’ 11.64”,21 dan
dalam kitab tersebut, koreksi (ta’dil) untuk Bulan dilakukan lima kali dan
untuk koreksi Matahari dilakukan dua kali yaitu ( ta’dil Matahari) dan
(ta’dil mutammim al-ra’s).
Koreksi-koreksi dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal yang terdapat
dalam jadwal, yaitu ta’dil awal li al-syams, ta’dil tsani li al-qamar, ta’dil
khashah, ta’dil tsalits li al-qamar, ta’dil ra1bi’ li al-qamar, ta’dil
mutammim al-ra’s, ta’dil khamis li al-qomar.
2. Corak dan Proses Perhitungan Awal Bulan Kamariah dalam Kitab
Muntaha Nataij al-Aqwal
Secara garis besar kitab Muntaha Nataij al-Aqwal digunakan
mengetahui awal bulan Hijriah, akan tetapi secara original kitab tersebut
digunakan penentuan posisi Bulan selain tanggal 29 atau awal bulan. Oleh
sebab itu, di dalam kitab tersebut tidak mencantumkan ijtimak,22 akan tetapi
pada perhitungan tersebut menawarkan konsep perhitungan yang berbeda.
Corak dan proses perhitungan awal bulan kamariah dalam kitab
Muntaha Nataij al-Aqwal memiliki perbedaan dengan kitab tahqiqi lainya.
Pada dasarnya kitab ini tidak memperhitungkan tahwil al-sannah dan juga
tidak memperhitungkan ijtimak sebagaimana kitab tahqiqi lainya seperti
Khulashah al-Wafiyah dan Nur al-Anwar yang diawali dengan perhitungan
taqribi, ada penentuan tahwil al-sannah dan juga ijtimak.
21 Ibid, hlm. 22. 22 Hasil wawancara bersama Ahmad Tholha Ma’ruf Guru Pondok Pesantren Sidogiri
melalui pesan singkat,
٧١
Akan tetapi oleh beberapa ulama falak, ada yang menambahkan
perhitungan ijtimak seperti Ahmad Tholhah Ma’ruf, Hasan Ghalib, dan
beberapa ulama Pasuruan lainya dengan menggunakan cara yang sederhana,
sebagaimana tutur Hasan Ghalib yaitu perhitungan ijtimak bisa diambil dari
kitab lain seperti Fath Ra’uf al-Mannan. Alasan mereka memperhitungkan
ijtimak, karena menurutnya untuk penentuan awal bulan kamariah selalu
diawali dengan ijtimak (konjungsi) seperti halnya gerhana yaitu bermula
dengan adanya istiqbal. Tidak berarti out put menentukan ketinggian hilal
tanpa memperhitungkan ijtimak dengan sistem yang ada dalam kitab
Muntaha Nataij al-Aqwal tidak serupa dengan perhitungan sistem tahqiqi
lainya.23
Di dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal ada 16 pokok pembahasan
dengan mengunakan kata mathlab.24 Adapun secara garis besarnya terdapat
beberapa langkah diantaranya sebagai berikut:
a. Menentukan tahun kabisat dan tahun basitah (Tarekh Isthilahi)
b. Menentukan posisi rata-rata Matahari dan Bulan, yakni untuk wasath
Matahari, Khashah Matahari, Wasath Bulan, Khashah Bulan, dan
Uqdah bulan pada waktu terbenam Matahari (Gurub menurut waktu
Istiwa') untuk suatu tempat menjelang awal bulan kamariah.
c. Menghitung Thul al-Syams dan Thul al-Qomar.
d. Menghitung Irtifa' (Ketinggian) hilal.
23 Hasil wawancara dengan Hasan Ghalib, pengasuh Pondok Besuk pada Kamis 16
Februari 2012 pukul 10.00-13.00 WIB di kediaman Pengasuh Ponpes Besuk Putri, Kejayan, Pasuruan.
24 Kata Mathlab ini menunjukkan seghot balagho dalam artian, ketika mempelajari kitab Muntaha Nataij al-Aqwal perlun penkajian atau mempelajari secara mendalam .
٧٢
e. Menghitung Muktsu al-Hilal (Lama hilal diatas ufuk)
f. Menghitung arah terbenamnya Matahari dan Bulan
g. Menghitung Nur al-Hilal (Lebar Cahaya Hilal)
1. Penentuan tahun kabisat dan tahun basitha
Penentuan tahun kabisat dan basitha dalam kitab Muntaha
Nataij al-Aqwal memang berbeda dengan metode penentuan pada
umumnya, adapun langkahnya sebagai berikut:
Tahun tam dikalikan 10631, kemudian hasilnya ditambah
15 dan dibagi 30. Jika hasilnya tidak terdapat sisa atau terdapat
sisa 0-10 maka tahun tersebut adalah tahun kabisat. Apabila dari
tahun tam itu kabisat maka untuk tahun berikutnya adalah tahun
basitha karena memang tidak mungkin terjadi dua tahun kabisat
secara beriringan.
Apabila bukan tahun kabisat, maka hasil sisa tadi
ditambahkan dengan angka 11, apabila dari penjumlahan ini
menghasilkan angka ≥ 30. Maka tahun berikutnya (yakni setelah
tahun tam adalah tahun basitha), jika < 30 maka setelah tahun tam
adalah tahun basitha. Kemudian baik itu tahun kabisat ataupun
tahun basitha (yang sudah dijumlahkan 30) ditambah 1, dan
hasilnya dibagi menjadi 7. Ini untuk menentukkan hari, dan untuk
harinya dimulai kamis tidak ada pasaranya.
٧٣
2. Menentukkan posisi rata-rata Matahari dan Bulan25
Langkah-langkah untuk menentukan posisi rata-rata Matahari
dan Bulan:
a. Menentukan tahun, bulan dan lokasi yang akan di cari
b. Mengambil data Wasath Matahari, Khashah Matahari, Wasath
Bulan, Khasah Bulan, dan Uqdah Bulan dari :
• Jadwal J1 untuk tahun Majmu’ah menggunakan markas
Makkah, dan tahunnya dengan kelipatan 30 dari tahun yang
sudah sempurna jumlah bulannya, patokanya tahun tam
• Jadwal J3 untuk tahun Mabsuthah dengan sisa tahun (ini
hanya dibutuhkan jika terdapat sisa), yaitu diambil dari
selisih antara tahun tam dengan tahun majmu’ah.
• Jadwal J2 untuk bulan, dua bulan sebelumnya yang akan
dicari
• Jadwal J4 untuk hari ke 29 (kadang 28 atau 30) yang
merupakan umur Bulan yang dicari (untuk menentukan 29
atau yang lain, cari selisih bujur Bulan dan Matahari yang
terkecil), kemudian data tersebut dijumlahkan atau juga bisa
langsung menggunakan bulan sebelumnya
c. Mengambil Daqa'iq Tafawut (DT = perata waktu ) dari jadwal J8
dengan hasil penjumlahan Wasath Matahari. Perhatikan tanda positif
25 Ahmad Tholhah Ma’ruf, Muntaha Nataij al-Aqwal oleh KH. Muhammad Hasan
Asya’ri, Makalah disampaikan pada “Pelatihan Hisab” yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Roudlotul Ulum Besuk Kejayan Pasuruan, 11 Agustus 2010.
٧٤
(+) dan negatifnya (-), kemudian hasilnya digunakan mengambil data
menit pada jadwal J7.
d. Hasil penjumlahan atau pengurangan adalah posisi rata-rata Matahari
dan Bulan pada waktu zawal haqiqi matahari untuk Makkah (BT
=39° 57'), adapun jika menghitung selain Makkah maka Sa’ah Fadl
al-Thulain (SBM) yakni (BM-BT) / 1, untuk lokasi barat Makkah
ditambahkan, sedangkan untuk lokasi di timurnya dikurangkan.
e. Untuk menghitung Thul al-Syams untuk mengetahui hilal, maka
menghitung Matahari terbenam (Gurub) menurut waktu istiwa'
dengan data Wasath Matahari (WM). Untuk mengetahui gurub bisa
menggunakan rumus waktu salat, dan nantinya masuk pada data nisf
qaus nahar al-mar’i. Mengambil data jam dan menit waktu gurub
dari jadwal J5 untuk jam dan J7 untuk menit, kemudian ditambahkan
atau juga bisa menggunakan rumus waktu shalat.
f. Hasil dari penjumlahan ini merupakan posisi rata-rata Matahari dan
bulan, yakni Wasath Matahari (WS), Khashah Matahari (KM),
Wasath Bulan (WB), Khasah Bulan (KB), dan Uqdah Bulan (UB)
pada waktu gurub Matahari untuk lokasi yang telah ditentukan tadi
dan Khasah Bulan disebut Dalil Awal (DA).
g. Mengambil data Dhamimah untuk WB pada jadwal J6 dengan
tahun tam, cari yang lebih mendekati dibawahnya kemudian
dijumlahkan.
٧٥
3. Menghitung Thul matahari (TM) dan Thul Bulan (TB)26
Langkah-langkahnya sebagai berikut:
1. Mengambil beberapa koreksi atau Ta'dil dengan rumus : A- (A-
B)×C/ I atau A+C× (B−A)
Keterangan:
A adalah data jadwal awal (shatar awal)
B adalah data selanjutnya (sathar tsani)
C adalah menit dan detik data yang tidak digunakan
untuk mencari A dan B (disebut juga dengan kasr al-
mahfudh)
I adalah interval, jika ini diperlukan.
Catata: Perhatikan tanda positif (+) dan negatifnya (-),
Koreksi atau ta'dil yang dilakukan tahap pertama adalah ta'dil
Matahari (Td.M) dari jadwal J9 dengan melihat hasil DA (dalil
awal).
2. Menghitung Thul Matahari (TM) dengan rumus :
TM = WM ± Td.Mt
3. Mengambil Dalil Tsani (DT) yang diperoleh dari Rumus :
DT: 2 (WB – WM) – KB
Jika hasilnya negatif maka tambahkan 360
4. Menghitung Dalil Tsalits (DT2) yang diperoleh dari rumus :
26 Gambaran rumus di atas merupakan hasil kolaborasi dengan konsep yang ditawarkan
Ahmad Tholhah Ma’ruf yang pada dasarnya menggunakan perhitungan manual yang kemudian di sederhanakan dengan menggunakan alat hitung, sehingga tidak perlu untuk melihat jadwal logaritma.
٧٦
DT2: KB+ T1+ T2+Tk3
• Ta'dil pertama (T1) bulan dari jadwal J10 dengan C diambil
dari DA
• Ta'dil kedua (T2) Bulan dari jadwal J11 dengan DT
• Ta'dil ketiga (Tk3) Khasah Bulan dari jadwal J12 dengan
DA
• BT2: KB+T1+T2 +Tk3
5. Menghitung Dalil Rabi' (DR) yang diperoleh dari rumus:
WB' = WB + T1 + T2 + T3
DR = WB’– TM Jika hasil DR negatif, maka tambahkan 360
dan ta'dil tiga (T3) Wasath Bulan dari jadwal J13 dengan DT2
6. Mengambil Dalil Khamis (DK) yang diperoleh dari rumus:
WB” = WB' + T4
DK = UB ± Td. Mr + WB”
• Ta'dil kedua Bulan (T4) dari jadwal J14 dengan DR
• Ta'dil Mutammim al-Ro'si (Td. Mr) dari jadwal J15
dengan DA
7. Menghitung Thul Bulan Haqiqi (TBk) yang diperoleh dari rumus:
TBk: WB" ± T5
• Ta'dil kedua Bulan (T5) dari jadwal J15 dengan DK
4. Menghitung Irtifa' al- Hilal
Maksudnya Iritfa’ al-Hilal pada saat Maghrib paska Ijtimak,
adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
٧٧
• Ardhu al-Qamar (A)
Rumus: sin-1 (sin HA sin 5° 2')
HA: hisah al-ardl (diambil dari dalil khomis), jika buruj HA
kurang dari 6, maka lintang Bulan Syimali dan jika lebih dari 6
maka lintang Bulan Janubi.
• Mail al-Tsani al-Qamar (B)
Rumus: tan-1 (sin BQ tan 23.45)
BQ: Bu’du Darajah al-Qamar (diambil dari 360−Thul al-Qamar
al-Haqiqi)
• Hishah al-Bu'di (C)
Rumus: A ± B
• Bu'du al -Qamar (D)
Rumus: sin-1 (sin C cos 23.45 / cos B)
• Mail al- Syams/ Deklinasi Matahari (E)
Rumus: sin-1 (sin BS sin 23.45)
BS: Bu’du Darajah al-Syams (diambil dari 360−Thul al-Syams al-
Haqiqi )
• Mail Darojah al-Mamar al-Qomar (F)
Rumus : sin-1 (sin BQ sin 23.45)
• Bu'du al-Quthr al-Syams (G)
Rumus: sin-1 (sin E sin LM)
LM: Lintang Makkah
• Ashl al- Mutlak al-Qamar (H)
٧٨
Rumus: sin-1 (cos E cos LM)
• Bu'du al-Quthr al-Qamar (I)
Rumus: sin-1 (sin D sin LM)
• Ashl al -Muthlak al-Qamar (J)
Rumus: sin-1 (cos D cos LM)
• Nisfu al-Fudlah al-Syams (K)
Rumus: sin-¹(sin G / sin H)
• Nisfu Qausin Nahar Syams (L)
Rumus: 90 ± K, jika deklinasi berlawanan dengan lintang bulan (-)
• Nisfu al- Fudlah al-Qamar (M)
Rumus: sin-¹(sin I / sin J)
• Nisfu Qausin Nahar Qamar (N)
Rumus: 90 ± M
• Qousul Baqi Syams (O)
Rumus: sin-¹( cos BS / cos E) → nilai absolute
• Mathali' Falakiyah Syams (P)
Jika TM (Thul Syams) pada buruj 9, 10, atau 11 (270 s/d 360)
Maka MFM = 00 + O
Jika TM pada buruj 0, 1 atau 2 (00 s/d 90) Maka MFM = 180 – O
Jika TM pada buruj 3, 4 atau 5 (90 s/d 180) Maka MFM =180 + O
Jika TM pada buruj 6, 7 atau 8 (180 s/d 270) Maka MFM=360 - O
• Qausul Baqi Qamar (Q)
Rumus : sin-¹(cos BQ / cos F) → nilai absolut
٧٩
• Mathali' Falakiyah Qamar (R)
Jika TB (Thul al-Qamar) pada buruj 9, 10, atau 11 (270 s/d 360)
Maka MFB = 00 + Q
Jika TB pada buruj 0, 1 atau 2 (00 s/d 90) Maka MFB = 180 – Q
Jika TB pada buruj 3, 4 atau 5 (90 s/d 180) Maka MFB = 180 + Q
Jika TB pada buruj 6, 7 atau 8 (180 s/d 270) Maka MFB =360 – Q
Ephemeris) yang digunakan di Pasuruan. Berikut data-data perhitungan yang
dijadikan penulis perbandingan untuk menguji hasil perhitungan berdasarkan
markas Masjid Agung Jawa Tengah Semarang:
Bulan Sistem Ijtimak Tinggi Hilal
Awal Bulan
Ramadhan 1423
Khulashah al-
Wafiyah
5/11/2002, 07° 52’
Selasa Kliwn, 3:15 6/11/2002
Muntaha Nataij al-
Aqwal
5/11/2002, 07° 49’
Selasa Kliwn, 1:29 6/11/2002
Ephemeris 5/11/2002, 07° 23’
Selasa Kliwn 03:37 6/11/2002
Syawal 1426
Khulashah al-
Wafiyah
2/11/2005, 04° 47’
Kamis Wage,
8:04 3/11/2005 Muntaha Nataij al-
Aqwal
2/11/2005, 04° 48’
Kamis Wage, 8:22 3/11/2005
Ephemeris 2/11/2005, 03° 39’
Kamis Wage, 8:28 3/11/2005
Dzulhijjah 1429
Khulashah al-
Wafiyah
28/11/2008, 08° 24’
Sabtu Legi,
0:12 29/11/2008 Muntaha Nataij al-
Aqwal
28/11/2008, 08° 27’
Sabtu Legi, 1:35 29/11/2008
Ephemeris 28/11/2008, 08° 24’
Sabtu Legi,
0:12 29/11/2008
Sya’ban 1431
Khulashah al-
Wafiyah
12/08/2011, 08° 58’
Selasa Pahg,
14:03 13 /08/2011 Muntaha Nataij al-
Aqwal
12/08/2011, 08° 52’
Selasa Pahg, 15:31 13/08/ 2011
Ephemeris 12/08/2011, 07° 01’
Selasa Pahg, 14:42 13/08/2011
Syawal 1434
Khulashah al-
Wafiyah
11/05/2013. 03° 26’
Sabtu Kliwn, 7:35 11/5/2013
Muntaha Nataij al-
Aqwal
11/05/2013. 04° 41’
Sabtu Kliwn,
8:17 11/5/2013
Ephemeris 11/05/2013.
03° 36’ Sabtu Kliwn,
7:31 11/5/2013
*Data-data tersebut dihitung berdasarkan program “Hisab Multimarkaz” Ahmad
Tholha Ma’ruf.
٨٦
Dari data tersebut dapat diketahui tingkat akurasi perhitungan awal
bulan kamariah dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal, yaitu keakurasian dari
hasil perhitungan berdasarkan sistem kitab tersebut setara dengan metode
hisab haqiqi bi al-tahqiq lainya yaitu kitab Khulashah al-Wafiyah.
Akan tetapi hasil perhitungan dari kitab Muntaha Nataij al-Aqwal
masih dibawah perhitungan kontemporer seperti ephemeris, dan tidak
menutup kemungkinan menghasilkan selisisih yang kecil antara hasil
perhitungan dengan sistem yang terdapat dalam kitab Muntaha Nataij al-
Aqwal dengan metode ephemeris. Jika dilihat dari data-data hasil perhitungan
data di atas selisih anatara metode haqiqi bi al-tahqiq dan kontemporer
berkisar ± 0-2 derajat, atau bahkan hanya pada menit.
Jika dibandingkan dengan hasil perhitungan kitab haqiqi bi al-tahqiq,
maka selisih yang didapatkan antara perhitungan dalam kitab Khulashah al-
Wafiyah dengan kitab Muntaha Nataij al-Aqwal adalah rata-rata selisih pada
menit, atau sampai derajat.
Sedangkan jika sistem perhitungan posisi bulan dihitung secara
manual maka akan terjadi perbedaan yang tidak signifikan yaitu berkisar
antara millisecond atau di bawah detik, daaksimal 60 detik.31
31 Menurut Ahmad Tholha Ma’ruf, jadwal logaritma tidak digunakan karena untuk
mengambil langkah yang praktis maka digunakanya alat hitung seperti kalkulator dan jadwal ini juga sudah tidak diketahui keberadaanya.
87
BAB IV
ANALISIS HISAB AWAL BULAN KAMARIAH
MENURUT KH. MUHAMMAD HASAN ASY’ARI DALAM KITAB
MUNTAHA NATAIJ AL-AQWAL
A. Analisis Metode Hisab Awal Bulan Kamariah Dalam Kitab Muntaha
Nataij al-Aqwal
Relasi hisab dengan alam semesta, sebagaimana yang terdapat dalam
al-Qur’an bahwa banyak sekali ayat-ayat kauniyyah (tentang alam semesta).
Hisab tidak terlepas dengan alam jagat raya ini, perjalanan Matahari, Bumi
dan Bulan menjadi pedoman perhitungan yakni hisab yang digunakan dalam
metode penentuan awal bulan kamariah didasarkan pada peredaran benda-
benda langit.
Ayat-ayat al-Quran menjadi salah satu pedoman para ilmuwan
muslim, dan tidak bisa dipungkiri bahwa al-Qur’an merupakan kitab yang
dilihat secara isi sangat berkualitas tinggi dan hal ini diakui oleh umat manusia
di dunia baik muslim ataupun non muslim.
Dalam penentuan awal bulan kamariah, syara’ telah memberikan
petunjuk-petunjuk yang dapat dijadikan pedoman. Hal yang dimaksud adalah
dalil-dalil naqli yaitu al-Qur’an dan Hadis, keduanya saling melengkapi. Hadis
sebagai penafsir al-Qur’an, penjelas al-Qur’an, juga banyak ayat al-Qur’an
yang sifatnya global (‘amm) kemudian ditakhsis dengan hadis, dan terkadang
hadis juga berfungsi menjelaskan sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur’an.
88
Penafsiran para ulama tentang dalil-dalil cara penentuan awal bulan
kamariah yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis menimbulkan perbedaan.
Sebagaimana yang pernah dipaparkan pada bab II bahwa pada zaman
Rasulullah sendiri yang namanya hisab belumlah berkembang, sehingga dalam
penentuan awal bulan kamariah yang dilakukan Rasulullah yaitu dengan
melakukan pengamatan dengan mata atau yang dikenal dengan rukyat bi al-
fi’li dengan ketentuan umur bulan 29 hari jika berhasil dirukyat dan 30 hari
jika tidak bisa dilihat.1 Oleh karena itu, pada awalnya dalam penentuan awal
bulan kamariah metode yang digunakan hanyalah metode rukyat bi al-fi’li
(pendapat yang diikuti beberapa ulama diantaranya Ibnu Hajar, Ibnu Rusyd,
Imam Nawawi, dan lain-lain).2
Secara mutlak pemahaman akan hisab menurut para ulama adalah
metode yang digunakan penentuan awal bulan kamariah dengan cara
menghitung, akan tetapi ada pemahaman bahwa hisab merupakan rukyat yakni
yang dikenal dengan istilah rukyat bi al-‘ilmi,3 sehingga hal ini pula yang
menjadi salah satu sebab perbedaan penentuan awal bulan kamariah (term
tentang rukyat).
Masing-masing golongan yakni mazhab hisab dan rukyat mempunyai
dalil dan pegangan sendiri, bagi mereka yang menggunakan rukyat karena
1 Lihat Sriyatin Shadiq, “Akar Perbedaan Hari Raya Indonesia” dalam Moedji Raharto,
(ed), Gerhana Kumpulan Tulisan Moedji Raharto, Lembang: Pendidikan dan Pelatihan Hisab Rukyat Negara-Negara MABIMS, 2000, hlm. 2.
2 Lihat dalam kitab I’anatu al-Thalibinn, juz II, Jakarta: Dar Ihya al-Kitab al-‘Arabiyah, t.t, hlm. 216. Lihat juga Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Beirut: Dar al-Fikr, hlm. 207.
3 Rukyat bi ‘Ilmi yaitu rukyat yang tidak dilakukan dengan melihat lansung objeknya melainka secara faktual, selama bulan diketahui sudah berada di atas ufuk. Lihat Problematika Hisab dan Rukyat dalam penentuan Awal Ramadhan dan Solusinya 19 Januari 2011 http://muhammadiyahku.blogspot.com/2011/01/problematika-hisab-dan-rukyah-dalam.html
diakses pada 4 Mei 2012 pukul 18:58.
89
mengikuti sunah qauliyyah dan sunah fi’liyyah Nabi Muhammad SAW.
Berbeda dengan mazhab hisab mereka beralasan bahwa banyaknya ayat-ayat
al-Qur’an yang secara harfi dan kontekstual menjelaskan perjalanan Matahari,
Bulan dan fenomena alam lainya yang kemudian dipahami bahwa al-Qur’an
memuat tentang metode hisab juga terkait masalah kausal. Hisab tidak hanya
dijadikan sebagai metode dalam penentuan awal bulan kamariah, melainkan
juga untuk mengetahui waktu (waktu salat misalnya), arah kiblat, dan
terjadinya gerhana.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, menuntut seseorang
untuk mulai berpikir logis dan menyesuaikan dengan pola perkembangan
zaman. Sehingga mendorong para ilmuan untuk melahirkan metode-metode
hisab yang praktis dan tingkat keakurasian yang tinggi.
Dengan demikian diharapkan metode hisab menjadi pertimbangan
para ulama dalam penentuan awal bulan kamariah. Bahkan seperti yang terjadi
di Belanda, sebagai Negara dengan Islam minoritas, mereka lebih condong
untuk menggunakan hisab dalam penetapan awal bulan kamariah guna untuk
mendapatkan ketetapan yang seragam dalam melaksanakan ibadah Ramadhan,
Syawal, dan Zulhijjah.4 Dalam arti jika di Belanda dalam menetapkan awal
bulan kamariah dengan rukyat maka yang terjadi adalah perselisihan sehingga
bagi mereka hisab menjadi salah satu solusinya.
Perkembangan ilmu falak di Indonesia diwujudkan dengan banyaknya
kitab-kitab falak yang dijadikan acuan dalam penetapan awal bulan kamariah
4 Hal ini dituturkan dalam berita TVone 30 Agustus 2011 pukul 16.30.
90
yang sampai sekarang masih tetap dijadikan pertimbangan dalam penetapan
awal bulan kamariah seperti Tadzkirah al-Ikhwan, Sullam al-Nayyirain, dan
Muntaha Nataij al-Aqwal.
Dari banyaknya kitab-kitab falak di Indonesia, yang kemudian
dikemas oleh kementrian Departemen Agama menjadi dua kategori yaitu
hisab ‘urfi, hisab haqiqi (al-taqrib, al-tahqiq) dan hisab kontemporer.
Hisab ‘urfi atau Isthilahi tidak bisa dijadikan acuan penentuan awal
bulan kamariah yang terkait ibadah, karena hasil kedua hisab tersebut masih
merupakan perkiraan yang menetapkan jumlah hari untuk bulan-bulan ganjil
umurnya 30 hari. Sedangkan bulan-bulan genap berumur 29 hari, kecuali
untuk bulan ke-12 (Zulhijjah) pada tahun kabisat umurnya 30 hari. Hal ini
tentunya bertentangan dengan ilmu Astronomi modern, dan juga tidak sesuai
dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
الله يضر رمن عاب نع عافن نع وبأي نيل ععما إسثندب حرح نب ريهثني زدحص ول اللهسا قال قال رمهنون فلا عرشعو عست رها الشمإن لمسو هليع لى الله
وا لهرفاقد كمليع فإن غم هورى تتوا حرفطلا تو هورى تتوا حومصت. )Aروا
EFGHI٥)ا Artinya: “Zuhair bin Harb menceritakan kepada saya, Ismail telah
bercerita dari Ayub dari Nafi’ dari Abdillah bin Umar
bahwasanya Rasulullah SAW. Sesungguhnya (bilangan) Bulan
itu duapuluh sembilan hari, maka janganlah kalian berpuasa
sampai kalian melihatnya (hilal) dan (kelak) janganlah kalian
berbuka sebelum melihatnya lagi. Apabila tertutup awan maka
perkirakanlah” (HR Muslim).
5 Muslim bin Hajjaj Abu Hasan al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, Jilid I,Beirut:
Dar al Fikr, tt. Hadits No. 1797.
91
Kitab Muntaha Nataij al-Aqwal merupakan kitab pertama di
Indonesia yang menggunakan jadwal logaritma dengan tujuh desimal dan
rumus segitiga bola, akan tetapi kitab tersebut tidak lebih populer dari kitab
Sullam al-Nayyirain yang ditetapkan sebagai kitab falak pertama di Indonesia.
Kitab Muntaha Nataij al-Aqwal memiliki keunikan yang memang
notaben umur dari kitab tersebut juga lebih tua daripada kitab-kitab tahqiqi
lainya, hal-hal yang terkait dengan analisis metode hisab awal bulan kamariah
dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal diantaranya:
1. Metode yang Digunakan
Kitab Muntaha Nataij al-Aqwal merupakan kitab pertama di
Indonesia yang menggunakan dasar teori Heliosentris. Yaitu suatu
pandangan yang dicetuskan pertama kali Aristarchus dan disempurnakan
oleh Nicholas Copernicus (1473-1543 M) yang berpandangan bahwa
Matahari adalah pusat tata surya yang dikelilingi planet-planet lainya.
Adapun metode yang berdasarkan teori Geosentris, Bumi sebagai
pusat yang dimaksud disini yaitu dikelilingi oleh Bulan, dan umumnya jika
hisab berdasarkan Geosentris, maka perhitungan hanya sampai pada ijtimak
dan untuk menentukan tinggi hilal hanya cukup dengan membagi dua selisih
antara waktu terbenam Matahari dengan waktu ijtimak, dengan kriteria jika
ijtimak terjadi sebelum Matahari terbenam, maka nilai tinggi hilal akan
selalu positif atau berada di atas ufuk.
Berbeda dengan konsep Heliosentris yang menggunakan rumus-
rumus hukum Keppler, dan hisab haqiqi bi al-tahqiqi merupakan metode
92
yang didasarkan bahwa Matahari sebagai pusat peredaran Bumi, Bulan dan
benda-benda langit lainya. Dalam hukum Keppler dinyatakan bahwa bentuk
lintasan dari orbit planet-planet yang mengelilingi Matahari tersebut
berbentuk ellips. Untuk mengetahui nilai posisi hilal atau ketinggian hilal,
dengan memperhatikan koordinat lintang, deklinasi, sudut waktu Bulan atau
dilanjutkan dengan menghitung koreksi refraksi, parallaks, Dip, dan semi
diameter Bulan. Jadi, ketika Matahari terbenam setelah ijtimak, tinggi hilal
tidak selalu di atas ufuk, sewaktu-waktu di bawah ufuk.
Dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal juga terdapat beberapa
koreksi sebagimana akibat adanya gerak rata-rata Bulan dan Bumi yang
tidak merata. Perhitungan yang ada dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal
secara Astronomi modern telah menggunakan rumus segitiga bola dan juga
disediakan hasil perhitungan yang dikerjakan dengan alat bantu jadwal
logaritma, dan dalam perhitungan ketinggian hilal tidak berpatokan pada
ijtimak sebelum terbenam Matahari.
Sehingga berangkat dari hal ini, penulis sepakat bahwa metode
penentuan awal bulan kamariah dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal
berlandaskan pada teori Heliosentris dan termasuk dalam ketegori hisab
dengan menggunakan metode haqiqi bi al-tahqiq yaitu sistem hisab awal
bulan kamariah dengan cara menghitung posisi Bulan dan Matahari dalam
sistem koordinat horison pada kondisi cuaca tertentu.
93
2. Analisis Data
Data-data yang diperlukan untuk penentuan awal bulan kamariah,
sebagaimana berdasarkan atas sistem yang terdapat dalam kitab Muntaha
Nataij al-Aqwal. Karena termasuk ketegori hisab haqiqi bi al-tahqiq, maka
pada dasarnya data-data tahqiqi itu sama karena pencangkokan dari satu
kitab induk (Mathla’ al-Sa’id), data asronomi yang digunakan dalam sistem
ini yaitu data astronomi hasil observasi awal abad ke-XX6 dan
penyelesainya menggunakan logaritma.
Untuk data-data yang ada dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal
ketika dibandingkan ternyata sama dengan kitab Mathla’ al-Sa’id dan
tahqiqi lainya seperti kitab Khulashah al-Wafiyah. Karena sama-sama
menggunakan markas Makkah, maka data yang digunakan juga tidak akan
berbeda sebagaimana contoh jadwal berikut:
Contoh tahun Majmu’ah pada Gerak Matahari ()*+,و/. ا):
6 Lihat Taufiq, “Menghitung Awal Bulan Kamariah Menurut Sistem Khulashah al-
Wafiyah” dalam Moedji Raharto, (ed), Gerhana Kumpulan Tulisan Moedji Raharto, Lembang: Pendidikan dan Pelatihan Hisab Rukyat Negara-Negara MABIMS, 2000, hlm. 1.
Data yang diperlukan untuk penentuan awal bulan kamariah
tentunya terdapat dua data penting yaitu data Matahari dan data Bulan
sesuai dengan dasar atau patokan peredaran Matahari dan Bulan. Secara
garis besar data utama yang digunakan yaitu: Wasth (al-Syams dan al-
Qamar), Khashah (al-Syams dan al-Qamar), ‘Uqdah, dan yang terpenting
ada data Thul (Bujur Astronomi). Berikut data-data yang diperlukan untuk
penentuan awal bulan kamariah khususnya yang terdapat dalam kitab
Muntaha Nataij al-Aqwal:
• Data tahun Majmu’ah (pertiga puluh tahuan), yakni 1290 H-
1560 H.
• Data tahun Mabsuthah atau pertahun (1 s/d 30 tahun)
• Data Astronomis setiap Jam (1 s/d 24 jam)
• Data Astronomis setiap Menit (1 s/d 60 menit)
• Data koreksi-koreksi (penta’dilan) seputar Matahari dan Bulan
(Lintang Astronomis, Bujur Astonomi, Deklinasi, Asenciorekta,
Equation of time)
• Data bujur dan lintang tempat, data ini diambil dari kitab
Irsyaduh al-Murid KH. Ahmad Ghazali, Bulan-Samapang-
Madura sebagaimana yang dikemas oleh PCNU Pasuruan
Data-data yang diperlukan untuk hisab awal bulan kamariah dalam
kitab Muntaha Nataij al-Aqwal sebagai (input) yang nantinya akan diproses
dalam perhitungan diantaranya:
95
a. Tabel Astronomi
Kitab Muntaha Nataij al-Aqwal merupakan salah satu model
kitab klasik, sehingga kitab ini disusun dengan menggunakan bahasa
arab dan data pada tabel-tabel Astronomi menggunakan angka huruf
Arab (Angka Jumali)7, yang kemudian tahun 2006 dikemas kembali oleh
anggota PCNU Pasuruan dengan menggunakan angka Hindi8
(١,٢,٣,٤,٥,…. dst), dan kitab yang penulis teliti yaitu kitab yang sudah
dikemas oleh PCNU Pasuruan yang sudah menggunakan angka Hindi.
Hal ini dilakukan untuk mempermudah membaca data yang disajikan.
Ada juga penambahan tabel data Astronomi yaitu pada tahun
majmu’ah, tabel tersebut yang awalnya hanya berdasarkan markas
Makkah kemudian ditambah markas Pasuruan. Logikanya data tabel
tersebut pada dasarnya sama (menghitung peredaran benda yang sama).
Akan tetapi untuk menghitung dari tempat berbeda, sehingga data yang
dirubah hanya tahun majmu’ah yaitu data yang berhubungan dengan
lokasi, dan jika menggunakan markas Makkah, maka perlu menghitung
selisih bujur atau jarak suatu tempat.
Data tahun mabsutha itu untuk mempermudah perhitungan,
yang dari data majmu’ah ditambah kelipatan 30 (siklus tahun Hijriah)
dan yang kurang dari kelipatan 30 tahun dipecah menjadi tahun
mabsutha.
7 Yang dimaksud dengan angka Jumali adalah notasi angka yang disimbolkan dengan
huruf-huruf Arab, yaitiu sbb: /MN OPQش EFG HIJK ¤ اABC ه?ز =>;: ,*9 Dengan urutan angka sesuai huruf : 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90, 100, 200, 400, 500, 600, 700, 800, 900, 1000. Lihat: Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Teori dan Praktek, op.cit, hlm. 6.
8 Ibid, hlm. 6.
96
Data yang berbeda juga terdapat pada data-data ta’dil Matahari
dan Bulan, dan data yang sama seperti mabsutha atau jadwal Bulan
Hijriah dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal tidak dilengkapi dengan
‘alamah al-ayyam (petunjuk hari).9
b. Ardh al-Qamar al-Kully (Perbedaan Lintang Bulan Maksimal)
Ardh al-Qamar al-Kully (RST,ا M*U,ض اMW) atau Ardh al-Qamar
(M*U,ض اMW). Secara etimologi adalah lintang astronomi bulan terjauh.
Sedangkan secara terminologi yaitu busur sepanjang lingkaran kutub
ekliptika dihitung dari titik pusat Bulan hingga lingkaran ekliptika. Jika
Bulan berada di utara ekliptika, maka lintang Bulan beharga positif (+),
dan jika Bulan berada di selatan ekliptika, maka lintang Bulan berharga
negatif (-).10 Ardh al-Qomar merupakan nilai yang sangat penting dalam
perhitungan hisab haqiqi bi al-tahqiq. Nilai ini digunakan untuk
menentukan besaran nilai deklinasi Bulan pada saat itu, yang nantinya
digunakan untuk mengetahui ketinggian Bulan.
Nilai besar Ardh al-Qomar al-Kully terdapat beberapa
perbedaan. KH.Muhammad Hasan Asy’ari menggunakan nilai 5° 2‘,11
kemudian muridnya KH.Moh.Ma’shum bin Ali dalam kitabnya Badi‘ah
al-Mitsal fi Hisab al-Sinin wa al-Hilal berpendapat bahwa nilai Ardh al-
Qomar al-Kully adalah 5° 16'.12
9 Lihat jadwal Kitab Muntaha Nataij al-Aqwal, Pasuruan: LFNU, 2006, hlm. 25, dan lihat
Khulasha al-Wafiyah, hlm. 214-215. 10 Muhyidin Khazin, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta : Buana Pustaka, 2005. hlm. 5. 11 Muhammad Hasan Asy’ari, op.cit, hlm. 9. 12 Muhammad Ma’ksum bin Ali, op. cit, hlm. 21
97
Sedangkan KH.Noor Ahmad SS berpendapat bahwa Ardh al-
Qamar al-Kully bernilai 5°.13 Menurut KH.Zuber Umar al-Jailaniy
dalam kitabnya Khulashah al-Wafiyah nilainya adalah 5° 16'.14
KH.Moch.Zubair Abdul Karim dalam kitabnya Ittifaq dzat al-Bain
menggunakan nilai 5° 8',15 pendapat dengan besaran ini juga diutarakan
oleh Muhyidin Khazin dalam Kamus Ilmu Falak-nya16. Ada juga yang
menggunakan nilai 5° 8', jika dibedakan dengan nilai lintang Bulan
terjauh yang dipakai oleh BHR Kementrian Agama RI, maka yang
sesuai dengan Astronomi modern saat ini besarannya mencapai 5° 8'
52“.17
Perbedaan angka-angka di atas disebabkan Orbit Bulan selalu
mengalami perubahan secara gradual karena gangguan dari gravitasi
Matahari. Akibatnya titik simpangnya bergeser ke barat sepanjang
ekliptika dan menempuh satu putaran penuh di bola langit dalam waktu
sekitar 18,6 tahun. Hal ini menyebabkan kemiringan orbit Bulan
terhadap ekliptika bervariasi dari 4°57’ sampai 5°20’ atau rata-rata 5°9’.
Pergeseran titik simpul ini dinamakan regresi simpul Bulan.18
13 Noor Ahmad SS, Risalah Falakiyah Nurul Anwar, Kudus: TBS, t.t, hlm. 11. 14 Zubair Umar al-Jailani, Khulasha al-Wafiyah, TP.dan t.t, hlm. 84. 15 Moch. Zubair Abdul Karim, Ittifaq dzat al-Bain, Gresik : Lajnah Falakiyah NU Jatim,
t.t, hlm. 15. 16 Muhyidin Khazin, loc. cit. 17 Badan Hisab Rukyah Departemen Agama RI, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981, hlm. 101. 18 Nyoman Suwitro, Astronomi Dasar, Singaraja: tt,td, hlm. 67.
98
c. Markas
Kitab-kitab falak yang ada di Indonesia untuk pengambilan data
Matahari dan Bulan sebagai markasnya sangat bervariasi. Secara umum
markas yang digunakan berdasarkan tempat dimana penulis mengarang.
Kitab Muntaha Nataij al-Aqwal disusun salah satu ulama
Indonesia Muhammad Hasan Asy’ari dari Bawean yang pernah singgah
di Pasuruan, akan tetapi markas yang digunakan adalah Makkah al-
Mukarramah, di sisi lain karena ia pernah singgah dan belajar ilmu falak
di Makkah.
Adapun markas yang digunakan tokoh falak lainya dalam
penyusunan kitab-kitab falak yang berkembang di Indonesia adalah:
a. Markas Jawa Tengah
1. Tadzkirah al-Ikhwan oleh KH. Dahlan al-Semarangi
2. Fathu al-Rauf al-Mannan oleh Abu Hamdan Abdul
Jalil bin Abdul Hamid al-Kudusi
3. Risalah al-Qamaraini oleh KH. Noor Ahmad bin
Shadiq bin al-Saryani al-Jepara
b. Markas Jawa Timur
1. Al-Syamsu Wa al-Qamar oleh Ustadz Anwar Katsir al-
Malangi
2. Ittifaqi Dzati al-Bain olah KH. Zubair Abdul Karim al-
Gresiki
99
3. al-Irsya<duh al-Muri<d oleh KH. Ahmad Ghozali
Muhammad Fathullah
c. Markas Jawa Barat
1. Sullam al-Nayyirain oleh Muhammad Mansyur bin
Abdul Hamid bin Muhammad damiri al-Betawi
dan masih banyak sekali kitab-kitab falak yang berkembang di
Indonesia dengan menggunakan markas Pasuruan, Kediri, Magelang,
Yogyakarta dan lain sebagainya.
Pada dasarnya perbedaan markas tidak akan menyebabkan hasil
perhitungan jika dikerjakan dengan menggunakan sistem dan metode
yang sama dengan markas asli yang digunakan. Bila terjadi perbedaan,
maka perbedaan itu tidak begitu signifikan karena nilainya tidak terlalu
besar. Akan tetapi bukan berarti data lintang dan bujur tidak bisa
dikatakan tidak penting, karena bisa jadi terjadi perbedaan hasil
perhitungan ketika ketidaktepatan pengambilan data lintang suatu
markas.
Data lintang-bujur Makkah ada beberapa versi yaitu 21˚ 25'
14.7" LU dan Makkah 39˚ 49' 40" BT.19 Sedangkan kitab Muntaha
Nataij al-Aqwal, karena memang kitab tersebut disusun pada abad 20-
an, maka tentunya data lintang bujur Makkah tidak menggunakan dua
digit pertama dari belakang yaitu pada detik dan tidak seakurat
19 Berdasarkan hasil penelitian Nabhan Saputra pada tahun 1994 dengan menggunakan
Global Positioning System (GPS). Sedangkan hasil penelitian Sa'adoddin Djambek adalah 21˚ 25' LU 39˚ 50' BT. Lihat Susiknan Azhari, op.cit, hlm.49, dan Ahmad Izzuddin, Hisab Praktis Arah
Kiblat”, op.cit, hlm.1.
100
sebagaimana penentuan pada saat ini yang menggunakan GPS ataupun
Google Earth, dan data lintang Makkah yaitu ф 21˚ 30' LU dan λ 39˚
57' BT. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan, tetapi tidak menjadi
kesalahan atau perbedaan yang signifikan.
Adapun untuk penentuan lintang dan bujur sebelum banyaknya
alat atau program sebagaimana era ini, maka dapat dilakukan dengan
patokan bintang untuk penentuan lintang, dan Matahari untuk penentuan
bujur.
d. Daqo’iq al-Tamkiniyah
Beberapa kitab yang termasuk metode tahqiqi, sangat
dibutuhkan sekali koreksi daqo’iq al-tamkiniyah hal ini digunakan
sebagai koreksi atas sudut waktu Matahari ()*+S, ئM*,ر اZ[\,س ا?N ^_` )
dan sudut waktu Bulan (M*US, ئM*,ر اZ[\,س ا?N ^_`).20
Dalam kitab Badi’ah al-Mitsal sendiri hanya menjelaskan
bahwa setelah menghitung رZ[\,س ا?N ^_` bisa menggunakan Daqoiq al-
Tamkiniyah untuk mendapatkan nilai ئM*,ر اZ[\,س ا?N ^_` dengan melihat
jadwal21 yang diambil dari al-Mail (deklinasi) dan Ardh al-Balad
(lintang tempat),22 berbeda dengan kitab tahqiqi lainya seperti
N?س ا,\]Zر 20 Adalah busur siang, yaitu busur sepanjang lintasan suatu benda langit diukur
dari titik terbit melalui titik kulminasi atas sampai titik terbenam.( Badan Hisab Rukyah Departemen Agama, op.cit., hlm. 248)
21 Jadwal adalah istilah penyebutan taabel astronomi yang biasa digunakan oleh para ahli falak, jadwal ini hampir semuanya terletak pada lampiran sebuah kitab.
22 Lihat Rifa’Djamalludin, “Pemikiran Hisab KH. Ma’shum bin Ali Al-Maskumambangi (Analisis Terhadap Kitab Badi’ah al-Mitsal Fi Hisab al-Sinin Wa al-Hilal tentang Hisab al-Hilal,” Skripsi Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang 2010, hlm. 96, td.
101
Khulashah al-Wafiyah yang dicantumkan tabel data daqo’iq al-
tamkiniyah.23
Sedangkan dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal sama halnya
dengan keterangan yang terdapat dalam kitab Badi’ah al-Mitsal, tidak
ada data (jadwal) daqo’iq al-tamkiniyah dan diterangkan bahwa nilai
daqo’iq al-tamkiniyah merupakan hasil dari penjumlahan refraksi yang
diambil dari jadwal dengan melihat data deklinasi Bulan dan lintang
tempat.
Untuk mendapatkan nilai ئM*,ر اZ[\,س ا?N ^_` diambil dari hasil
perhitungan gurub kemudian dikonversi menjadi data jam, menit.
Sehingga menurut hemat penulis, dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal
tidak dijelaskan proses perhitungan gurub, tetapi hanya mencantumkan
data-data yang perlu diperrhitungkan, sehingga untuk menentukan ^_`
-N secara substansi memasukkan data daqa’iq al?س ا,\]Zر ا,*Mئ
tamkiniyah.24
e. ‘Ala<mah, dan sabaq
‘Ala<mah yaitu penunjuk waktu (hari, jam dan menit)
terjadinya ijtimak antara Matahari dan Bulan berdasarkan waktu rata-
rata25, data ini dijadikan acuan untuk mempermudah mengetahui waktu
ijtimak dan data ini digunakan dalam perhitungan taqribi.
23 Zubair Umar al-Jailani, op.cit, hlm. 222. 24 Muhammad Hasan Asy’ari, op.cit, hlm. 4. 25 Muhyiddin Khazin, op.cit, hlm.1.
102
Sabaq (kecepatan)26 digunakan untuk menentukkan ijtimak,
karena ijtimak haqiqi bi al-tahqiq diperoleh dari hasil pengurangan
antara saat Matahari terbenam dengan umur bulan, dan umur bulan
didapatkan dari hasil pembagian al-fadhl baina huma dengan sabaq al-
mu’addal dari nilai ini akan menghasilkan nilai sa’ah bu’du al-ijtima’.
Atau dalam kitab Khulashah al-Wafiyah, untuk menghitung
waktu ijtimak haqiqi bi al-tahqiq yaitu dengan membagi selisih antara
thul al-qamar (bujur Bulan) dengan thul al-syams dengan selisih antara
sabaq al-syams dan sabaq al-qamar.27
Dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal tidak terdapat ‘alamah
al-ayyam (waktu hari), dan juga tidak terdapat jadwal sabaq. Sehingga
dalam kitab ini tidak dicantumkan pehitungan ijtimak.
Akan tetapi oleh beberapa murid KH.Muhammad Hasan Asy’ari
ada juga yang mencantumkan data ‘alamah al-ayyam dan sabaq yang
pengambilan didapatkan dari kitab induk yaitu Mathla‘ al-Sa’id atau
dengan kitab tahqiqi lainya.28
f. Koreksi (Ta’dil)
Karena kitab Muntaha Nataij al-Aqwal merupakan kitab yang
digunakan untuk memperhitungkan posisi hilal. Maka tentunya,
perhitungan tersebut tidak akan terlepas dengan yang namanya
26 Sabaq yaitu gerak bulan atau matahari pada lintasanya selama satu jam. Lihat
Muahyiddin Khazin, ibid, hlm. 70. 27 Lihat Taufiq, “Menghitung Awal Bulan Kamariah Menurut Sistem Khulashah al-
Wafiyah” dalam Moedji Raharto, (ed), Gerhana Kumpulan Tulisan Moedji Raharto, Lembang: Pendidikan dan Pelatihan Hisab Rukyat Negara-Negara MABIMS, 2000, hlm. 4.
28 Kitab yang disusun oleh Syeikh Husen Zaid al-Misra pada Sya’ban tahun 1304 H/ 1887 M, lihat Mathla’ al-Sa’id, pada bagian ikhtitam.
103
pergerakan Matahari, Bumi dan Bulan. Matahari sebagai tata surya
mempunyai cahaya yang besar, Bumi sebagai salah satu planet yang
mengelilingi Matahari dan ia juga mempunyai satelit yaitu Bulan,
ketiganya saling berinteraksi Bulan memancarkan sinar ke Bumi karena
mendapta bantuan cahaya Matahari.
Pada dasarnya ta’dil itu merupakan nilai yang digunakan untuk
menetapkan hasil perhitungan rata-rata. Dengan demikian, untuk
mengetahui posisi hilal (tinggi hilal, dan cahaya hilal) diperlukan
beberapa penta’dilan yang secara garis besar terdapat lima koreksi
diantaranya:
1. Koreksi perata tahunan, sebagai akibat gerak tahunan Bulan
bersama-sama dengan Bumi mengelilingi Matahari dalam orbit
yang berbentuk ellips. Koreksi (ta'dil) tersebut diambilkan dari
angka yang diperoleh khashah Matahari.
2. Variasi yang mengakibatkan Bulan baru atau Bulan purnama tiba
terlambat atau lebih cepat.
3. Koreksi variasi yang besarnya diambil dari hasil angka selisih
thul29 matahari dengan wasath
30 bulan yang telah terkoreksi.
4. Koreksi lain untuk mengoreksi wasath bulan antara lain koreksi
yang diambil dari hasil angka khashah bulan yang telah
29 Dalam astronomi disebut Ecliptic Longitude yaitu busur sepanjang lingkaran akliptika
yang diukur dari titik Aries ke arah timur sampai bujur astronomi yang melewati benda langit yang bersangkutan. Lihat Muhyiddin Khazin, op.cit, hlm. 83.
30 Wasath adalah busur sepanjang ekliptika yang diukur dari bulan hingga ke titik Aries
Hasil 13º 23’, didapat dari rumus segitiga bola yaitu Deklinasi bulan: Sin-
(Sin BQ X Sin MK) atau juga bisa dihitung dengan cara: log (sin BQ x sin
MK) +10, kemudian untuk logaritma dalam kitab ini ada tiga macam log
yaitu al-Nisbah al-Jaibiyyah (log sin), al-Nisbah al-Zhiliyyah (log tan) dan
al-Nisbah al-‘Asyari (sin). Jika diaplikasikan dengan kalkulator maka
caranya sebagai berikut:
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi oleh beberapa
ahli falak Pasuruan dihitung menggunakan alat hitung seperti kalkulator, dan
juga komputer. Dengan demikian, cara yang digunakan sekarang lebih
praktis, dan tidak merubah rumus asli turunan dari kitab tersebut, yang
31 Fairuz Sabik, op. cit, hal. 185-187. 32 Jadwal logaritma yang ada dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal menggunakan tujuh
decimal, dan tidak diketahui keberadaanya setelah kitab asli yang sebelumnya pernah dibawah KH.Bir’ul Ulum tidak didapatkan kembali (KH. Ade Rahman Syakur dan Hasan Ghalib).
Log sin: (log sin N) / 10+ 1 Log tan: (log tan N - 1)
N:nilai yang dicari
106
membedakan hanya pada kesederhanaan perhitungan yang sekarang cukup
menggunakan kalkulator dan tidak dilakukan secara manual.
Adapun dari data-data di atas, konsep perhitungan yang terdapat
dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal mempunyai perbedaan dengan konsep
perhitungan kitab tahqiqi lainya seperti Khulashah al-Wafiyah, dan Nur al-
Anwar diantaranya:
1) Tidak diawali perhitungan taqribi
Kitab Muntaha Nataij al-Aqwal langsung pada perhitungann
tahqiqi, sehingga tidak ada konversi atau tahwil al-sannah dan juga
tidak terdapat pasaran. Akan tetapi terdapat penentuan kalender Hijriah
isthilahi yaitu dengan menentukan tahun kabisat dan tahun basitah
sebagaimana yang dipaparkan pada bab III, secara praktisnya penulis
contohkan sebagai berikut:
� Awal Muharram 1425 H
Caranya: 1424 x 10631 = 15.138.554
15.138.554 + 15 = 15.138.559
15.138.559: 30 = 504.618,6333 sisa 19
NB: Jika sisa 0-10 maka tahun kabisat, jadi untuk tahun
tam (1424) adalah tahun basitha, maka untuk mengetahui
tahun berikutnya kabisat atau basitha maka di jumlahkan
11, jika hasilnya ≥ maka tahun naqis adalah tahun kabisat.
19 + 11 = 30, maka tahun 1425 adalah tahunn kabisat,
kemudian + 1 dan dibagi 7 (satu minggu terdapat tujuh
107
hari), dan hasilnya adalah 3 (sabtu) diawali hari Kamis,
sehingga Awal Muharram bertepatan pada hari Ahad
(diambil setelahnya, lihat kitab Muntaha Nataij al-Aqwal
halaman 3).
Dengan demikian untuk menentukan hari di awal bulan,
maka dapat dilakukan dengan serangkaian perhitungan tahun basitah
dan kabisat. Kemudian dalam kitab Khulashah al-Wafiyyah, Nur al-
Anwar dan kitab tahqiqi lainya, untuk pola perhitunganya terlebih
dahulu mengetahui taqribi yaitu (tahwil al-sannah), yang kemudian
akan bisa lebih mudah mendapatkan nilai ijtimak.
Adapun untuk hari, kitab Muntaha Nataij al-Aqwal hari
dimulai Kamis. Menurut hemat penulis, karena kitab ini memaparkan
metode penentuan awal bulan kamariah. Maka Kamis ini didapatkan
dari 1 Hijriah yaitu dalam penentuan 1 Hijriah, jika menggunakan
rukyat maka 1 Hijriah tepat pada malam Jum’at (16 Juli 622 M).
Sedangkan jika berdasarkan hisab, maka 1 Hijriah itu bertepatan hari
Kamis (15 Juli 622 M).33 Oleh karena itu jika hasil menunjukkan hari
Kamis, maka 1 Muharram jatuh pada hari Jum’at, dan hasil hari yang
diperhitungkan ini sifatnya masih pendekatan karena hasil hisab
isthilahi.
33 Farid Ruskanda, op.cit, hlm.
108
2) Gurub
Pada konvesional kitab-kitab falak, perhitungam gurub tidak
dihitung dalam artian secara langsung mengambil rata-rata jam
terbenamnya Matahari. Secara umum kitab tahqiqi waktu gurub
menggunakan waktu istiwa‘ yang kemudian dikonversi ke waktu yang
diinginkan (WIB,WIT, WITA).34
Dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal untuk menentukan
gurub tidak dijelaskan prosesnya, akan tetapi ada keterangan data-data
yang harus dimasukan, maka perhitungan gurub dapat dilakukan
dengan cara berdasarkan rumus waktu salat, dan ini dimasukkan
langsung sebelum penta’dilan (dapat dilihat di lampiran hisab Muntaha
Nataij al-Aqwal) atau bisa juga dengan cara sebagai berikut:
• Menentukkan Mail al-Awal (MA) : sin-1 (sin WM × sin 23.45)
WM: wasath al-syams/ wasath matahari
• Bu’du al-Quthr (BQ) : sin-1 (sin MA × sin m )
• Ashl al-Muthlaq (AM) : sin-1 (cos MA × cos m )
• Waktu Gurub : cos-1 (sin 0.808 + sin BQ + sin MA)/ 1535
Atau
• Menentukkan Mail al-Awal (MA) : sin-1 (sin WM × sin 23.45)
WM: wasath al-syams/ wasath matahari
• Bu’du al-Quthr (BQ) : sin-1 (sin MA × sin m )
34 Waktu yang dihitung berdasarkan peredaran semu matahari sebenarnya,dan matahari berkulminasi selalu jam 12.00 dan tidak setiap hari terdiri dari 24 jam, yakni bias lebih dan bias kurang. Lihat Muhyidin Khazin, op.cit, hlm. 90.
35 Cara atau rumus yang diturunkan oleh Ahmad Tholah Ma’ruf dengan pengambilan data sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal.
109
• Ashl al-Muthlaq (AM) : sin-1 (cos MA × cos m )
• Nisf al- Fudhlah (NF) : sin-1 (sin BQ / sin AM)
• Waktu Magrib = 6 [+|-] NF + DaqaiqTamkiniyah (3.3")36
Perhitungan ini dijadikan untuk menentukan thul al-wasth ketika
terbenam Matahari sebelum ke thul al-haqiqi, dari hasil perhitungan
gurub kemudian dimasukkan ke nisf qous al-nahar al-mar’i dengan
pengambilan data jam, dan menit sebagaimana yang sudah
dijadwalkan.
3) Tidak menghitung ijtimak
Kemudian dalam kitab Muntaha Nataij al--Aqwal tidak
melakukan perhitungan ijtimak, hal ini dikarenakan konsep awal yang
ditawarkan kitab ini tidak hanya untuk menghitung akhir bulan atau
tanggal baru melainkan juga untuk menghitung posisi Bulan pada
tanggal-tanggal lainya.
Akan tetapi oleh ahli falak Pasuruan atau bahkan dari murid
KH. Muhammad Hasan Asy‘ari menambahkan perhitungan ijtimak
yang khusus untuk memperhitungkan awal bulan kamariah dengan
cara dari sistem hisab kitab lainya seperti Fath Ra’uf al-Mannan atau
kitab yang sama-sama tahqiqinya, dan juga ada yang disertai
penambahan jadwal sabaq dan ‘alamah al-ayyam.37
36 Keterangan dari kitab tersebut, bahwa daqaiq al-tamkiniyah= daqaiq ikhtilaf
37 Ditambahkan oleh Abdul Mu’thi Bangil Pasuruan, tt.
110
Pada umumnya dalam penentuan awal bulan kamariah
ijtimak diperhitungkan, karena hal ini menjadi tolak ukur utama untuk
penentuan awal bulan kamariah, akan tetapi berbeda dengan kitab
Muntaha Nataij al-Aqwal. Logikanya kitab Muntaha Nataij al-Aqwal
digunakan untuk menetukan posisi Bulan pada hari-hari yang lain
yaitu tanggal 1,2,3,4,..., akan tetapi hasil ketinggian hilal yang dihitung
berdasarkan sistem kitab tersebut, maka untuk menentukan ijtimak
bisa dilakukan dengan cara berikut:
Mencari ijtimak awal Ramadhan 1431 H dengan ketinggian
04° 52’ maka:
Ijtimak: Gurub – (2 x tinggi hilal), jika dari
ijtimak menentukan tinggi hilal maka didapatkan
rumus (Gurub - ijtimak) / 2.38 Diketahui hc (tinggi
hilal): -2º 20’ 58.92”, dan gurub: 5j 57’ WIS, maka
jika menggunakan cara taqribi didapatkan 5j 57’ –
(2x -2º 20’ 58.92” ) = 10j 38’ 57.84” WIS atau
22j 38’ 57.84” WIB
Perhitungan ini hanya taksiran kasar atau taqribi, jika menggunakan
perhitungan secara astronomi untuk mengetahui ijtimak dari nilai
ketinggian hilal itu sulit, hal ini karena dipengaruhi lintang tempat.39
Ada cara lain seperti menggunakan metode hisab yang setara
dari kitab tahqiqi lainya, seperti dengan langkah sebagai berikut:40
38 Asumsi taqribi, dari kaidah bahwa bulan menjauhi matahari 360 derajat / 30 hari, 12
derajat/hari =0.5 derajat per jam. 39 Hasil wawancara dengan Thomas Djamaluddin Facebook, Ahad 18 Maret 2012. 40 Rumus yang digunakan Ahmad Tholhah Ma’ruf.
ketinggian posisi benda, makin jauh kedudukan sebuah benda langit
dari Bumi, maka semakin kecil parallaksnya dan makin dekat
kedudukan benda langit maka makin besar pula parallaksnya.
Harga parallaks Matahari rata-rata 8”, sehingga bisa
diabaikan atau tidak harus diperhitungkan, berbeda dengan harga
parallaks Bulan yang mencapai 54” sampai 61”. Adapun untuk
mencari tinggi hilal mar’i, maka nilai ini dikurangkan. Sehingga tinggi
hilal tidak lagi dihitung dari permukaan bumi, melainkan dari
permukaan bumi tempat si pengamat.
b. Semi Diameter
Secara astronomis, saat Matahari terbenam terjadi pada saat
titik pusat piringan Matahari mempunyai jarak zenith 900 50’. Di
dalam daftar ephemeris angka itu dijadikan dasar untuk menyatakan
saat Matahari terbenam atau terbit pada tempat pengamatan setinggi
permukaan laut. Titik puncak lengkungan atas Matahari saat itu tepat
berada di garis horizon. Harga 50’ didapatkan dari perjumlahan
diameter sudut Matahari ( =16’ ) dan sudut pembiasan cahaya dalam
atmosfer Bumi bagi benda langit yang berada di sepanjang horizon
( =34’ ).
Koreksi ini dimaksudkan agar hasil yang dihitung bukan
titik pusat Bulan akan tetapi piringan dari Bulan, sebab pada dasarnya
semua data Bulan diambil dari titik pusat bulan. Perlu diperhatikan
bahwa dalam penggunaan koreksi semidiameter Bulan ini, maka yang
115
dimaksudkan jika koreksi ini ditambahkan maka yang diukur adalah
piringan atas Bulan, namun apabila yang dikehendaki adalah piringan
bawah Bulan maka koreksinya adalah dikurangkan semidiameter.43
Oleh karenanya ada yang berpendapat ditambahkan dan ada yang
dikurangkan.
c. Refraksi (pembiasan sinar)
Pembiasan cahaya benda langit terjadi dalam atmosfir Bumi,
yang menyebabkan posisi benda langit yang tampak di permukaan
Bumi berbeda dengan yang sebenarnya, dan harga refraksi berubah
menutut ketinggian benda langit.
Semakin tinggi kedudukan benda langit, semakin rendah
refraksinya, begitu sebaliknya semakin rendah kedudukan benda
langit maka semakin tinggi refraksinya. Jika benda langit berada di
titik zenith, maka tinggi 90° dan refraksi 0. Pada saat terbenam atau
terbit dengan tinggi 0°, dan besar refraksinya kira-kira 34’ atau
34,5’.44
Harga refraksi ini bisa didapatkan dari daftar refraksi atau
juga lampiran Almanak Nautica, atau didapat dengan rumus sebagai
berikut:45
43 Lihat Rifa’ Djamaludin, op.cit, hlm.103. 44 M.Yusuf Harun, Pengantar Ilmu Falak, Banda Aceh: Yayasan PeNA, Cet.I, 2008,
hlm.24-25. 45 Munyiddin Khazin, op.cit, hlm. 143.
Refraksi: 0.0617: tan(h + 7.31: (h+ 4.4))
116
Dalam perhitunganya, koreksi refraksi ditambahkan dengan tinggi
hilal hakiki.
d. Dip
Dip atau kerendahan ufuk, ketinggian tempat itu dapar
mempengaruhi arah pandang ke ufuk (horizon). Semakin tinggi
tempat pengamatan dari permukaan air laut, maka semakin besar
kerendahan ufuknya. Ufuk yang terlihat ketinggian mata sejajar
dengan tinggi permukaan laut disebut ufuk hissi, dan ufuk hakiki
disebut juga dengan ufuk yang sebenarnya.
Perbedaan jarak zenith antara ufuk hakiki dan ufuk mar’i
disebut dengan kerendahan ufuk, arah pandang manusia terhadap
benda-benda langit tidak dibatasi oleh ufuk hakiki malainkan ufuk
mar’i.
Dalam penentuan awal bulan kamariah hasil ketinggian hilal
merupakan hal yang sangat urgen, ketinggian hilal atau Irtifa’ al-Hilal ( عZPKار
.bisa dikatakan merupakan hasil akhir dari proses perhhitungan hisab (ا,]�ل
Dengan demikian ع ا,]�لZPKار selalu menjadi acuan dalam penetapan awal
bulan. Hal ini bisa dilihat dengan adanya ketetapan Imkan al- Rukyat dengan
ketinggian hilal 2° (dua derajat) yang dipegang oleh pemerintah Indonesia
sekaligus sebagai anggota MABIMS, kemudian konsep Wujud al-Hilal
(ketinggian hilal (positif) di atas ufuk atau di atas 0°) oleh ormas
Muhammadiyah.
117
Dari beberapa sistem perhitungan, ada yang konsep
memperhitungkan sampai tinggi hilal hakiki dan juga ada yang tinggi hilal
mar’i. Tinggi hilal hakiki didasarkan pada posisi ketinggian hilal yang
dihitung dari ufuk hakiki46, sedangkan tinggi hilal mar’i merupakan
ketinggian hilal yang dihitung dari ufuk mar’i47. Pada dasarnya ufuk dibagi
menjadi tiga, selain ufuk hakiki dan mar’i masih ada ufuk hissi (horison
semu). Bidang ufuk hissi ini sejajar dengan bidang ufuk hakiki, perbedaannya
terletak pada parallaks.48
Dengan demikian, untuk menghitung ketinggian Bulan pada saat
Matahari terbenam menjelang awal bulan kamariah yaitu bisa dilakukan
dengan sampai pada hilal hakiki dan hasil ini bersifat pendekatan, karena
selisih waktu itu bukan tinggi saat Matahari terbenam. Ketinggian dihitung
pada lingkaran vertikal atau tegak, sedangkan pergerakan Matahari dan Bulan
sejajar dengan equator.
Maka untuk menghitung ketinggian Bulan pada saat Matahari
terbenam harus dihitung dari posisi pada saat permukaan atas Matahari tepat
di horizon (ufuk), sehingga secara tidak langsung perlunya koreksi-koreksi
sebagaimana yang disebutkan di atas.
46 Ufuk hakiki atau ufuk yang dalam astronomi disebut True Horizon, adalah bidang datar
yang ditarik dari titik pusat bumi tegak lurus dengan garis vertical sehingga ia membelah bumi dan bola langit menjadi dua bagian sama besar, bagian atas dan bagian bawah, dalam praktek perhitungan tinggi suatu benda langit mula-mula dihitung dari ufuk hakiki ini. Lihat: Muhyidin Khazin, op. cit, hal. 86.
47 Ufuk mar’i atau ufuk kodrat adalah ufuk yang terlihat oleh mata, yaitu ketika seseorang berada di tepi pantai atau berada di dataran yang sangat luas, maka akan tampak ada semacam garis pertemuan antara langit dan bumi. Garis pertemuan inilah yang dimaksud dengan ufuk mar’i, yang dalam astronomi dikenal dengan nama Visible Horizon. Lihat Muhyiddin Khazin, loc.cit.
48 Muhyiddin Khazin, loc.cit.
118
Dengan demikian dapat disimpulkan pula bahwa perhitungan
ketinggian hanya sampai pada ketinggian hakiki (tinggi bulan), karena untuk
mencapai pada perhitungan hilal mar’i (tinggi hilal) maka koreksi-koreksi
yang disebutkan di atas perlu diperhitungkan dan hasil perhitungan ini dinilai
cukup akurat jika dibanding dengan perhitungan taqribi serta mempunyai
kesetaraan dengan kitab tahqiqi lainya yang lebih baru dibanding dengan
kitab Muntaha Nataij al-Aqwal dan hasilnya mendekati pada tingkat akurasi
hisab kontemporer, sehingga perhitungan kitab Muntaha Nataij al-Aqwal bisa
dinilai cukup relevan.
C. Kelebihan dan Kekurangan Hisab Awal Bulan Kamariah Dalam Kitab
Muntaha Nataij al-Aqwal
Perbedaan penetapan awal bulan kamariah di Indonesia dikarenakan
tidak adanya kesepakatan kriteria dalam pengaplikasian sistem hisab, pada
dasarnya sistem hisab dan sistem rukyat sama-sama pentingnya untuk
penetapan awal bulan khususnya bulan-bulan yang menjadi acuan umat Islam
untuk melaksanakan ibadah, karena sistem hisab pada dasarnya masih pada
batas kebenaran hipotesis, yang masih membutuhkan verifikasi melalui
observasi secara emphiris49 yaitu rukyat.
Hisab tidak seharusnya dijadikan penetapan awal bulan melainkan
sebagai pijakan atau ancer-ancer (informasi) yang masih membutuhkan
49 Ahmad Izzuddin, Makalah Hisab Rukyat antara Kebenaran Hipotesis dan Verifikasi
disampaikan dalam Stadium General yang diselenggarakan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semaang pada Rabu, 29 Februari 2009 pukul 09.30.
119
observasi (rukyat) sebagai bukti hasil dari perhitungan tersebut.50 Jika dari
kedua metode tersebut tidak mencapai, maka dapat dilakukan dengan
istikmal. Sehingga dari berbagai redaksi hadis tentang cara penentuan awal
bulan kamariah bisa diterapkan secara keseluruhan.
Masalah hisab, penklasifikasian metode hisab awal bulan kamariah
disesuaikan dengan pola perhitunganya, dan seiring perkembangan zaman
perhitungan awal bulan kamariah mulai banyak menggunakan rumus segitiga
bola dengan rumus matematika yang lebih disederhanakan, koreksinya lebih
teliti dan juga menggunakan data-data baru yang didasarkan atas pengamatan.
Adanya metode hisab ‘urfi, haqiqi al-taqrib, haqiqi al-tahqiq, dan
juga kontemporer tidak menjadi alasan untuk tidak mempelajari ataupun
menggunakan metode klasik lebih spesifiknya termasuk kategori hisab ‘urfi
atau pun tahqiqi bi al-taqrib dan tahqiqi bi al-tahqiq (lebih identik kodifikasi
dalam bentuk kitab).
Semua sistem perhitungan mempunyai tingkat akurasi yang berbeda,
bahkan bisa jadi kitab yang disusun atau dibuat pada zamanya relevan dengan
keadaan Bulan dan Matahari yang sebenarnya. Karena pada dasarnya para ahli
falak dahulu juga membuat berdasarkan pedoman tentang hisab yang tertuang
dalam al-Qur’an, hadis, ilmu pengetahuan lain (pengamatan) dan mereka juga
belajar tentang perhitungan dengan para ilmuwan.
Oleh karena itu, semua konsep perhitungan yang ditawarkan para ahli
falak pada mulanya bisa dijadikan pertimbangan dalam penentuan awal bulan
50 Lihat Ahmad Izzuddin, loc.cit.
120
kamariah sehingga dari pertimbangan tersebut akan dihasilkan suatu ijtihad.
Maka dari itu, eksisitensi yang dimiliki oleh satu sistem tidak menghilangkan
eksistensi sistem yang lain. Sebagaimana kaidah fiqhiyyah yang berbunyi:
51اnopaw د nopaq nr stuv wد
Artinya: Ijtihad yang satu tidak bisa dirusak ijtihad yang yang lain.
Pada tahun 1930-1950-an hisab haqiqi bi al-tahqiq tidak banyak
dipelajari, karena sudah banyaknya yang menggunakan kitab Sulllam al-
Nayyiraiin. Akan tetapi bukan berarti pula kitab Muntaha Nataij al-Aqwal
dikesampingkan.52 Hal ini terbukti kitab tersebut masih digunakan
pertimbangan dalam penentuan awal bulan kamariah di lembaga daerah
Pasuruan salah satunya LFNU53 dan juga dijadikan pedoman pembelajaran
ilmu Falak di Pondok Sidogiri dan Pondok Besuk.
Dengan demikian, eksistensi hisab kitab Muntaha Nataij al-Aqwal
bisa dikatakan masih terlalu sempit dengan melihat luasnya wilayah Indonesia
yang terbagi beberapa propinsi.
Faktor penyebab tidak banyak pengguna kitab Muntaha Nataij al-
Aqwal diantaranya: Kurangnya publikasi, yakni kitab ini tidak banyak dicetak
dan diedarkan, khususnya di daerah Pasuruan yang merupakan tempat singga
KH. Muhammad Hasan Asy’ari masih banyak yang menggunakan metode
taqribi karena dianggap lebih mudah dipahami; tidak banyak murid dari KH.
51 Abdullah bin Sa’id Muhammad, ‘Idhoh al-Qaqa’id al-Fiqhiyyah, Surabaya: Maktabah
al-Hidayah,cet.III, 1410, hlm.51. 52 Dalam hal ini yaitu kitab Sullam al-Nayyirain, disampaikan Aqil Fikri pada wawancara
tanggal 26 September 2011, di Nganjuk. 53 Hasil Wawancara dengan Aqil Fikri tanggal 26 September 2011 di Nganjuk.
121
Muhammad Hasan Asy’ari yang memahami tentang ilmu falak (dalam hal ini
kitab Muntaha Nataij al-Aqwal). Sehingga harus mempelajari dengan
sendirinya, sedangkan ilmu falak kurang banyak diminati oleh masyarakat
karena dianggap sulit.
Dari eksistensi metode hisab Muntaha Nataij al-Aqwal yang masih
digunakan pertimbangan dalam penetapan awal bulan kamariah pada wilayah
tertentu. Maka tentunya kitab ini juga mempunyai kelebihan dan kekurangan,
diantara kelebihanya adalah:
1. Rumus yang digunakan dalam perhitungan kitab tersebut telah
menggunakan rumus segitiga bola (trigonometri), meskipun pada
dasarnya dalam kitab tersebut untuk mencari posisi Matahari dan
Bulan rumus-rumus dipaparkan dengan bahasa Arab yang sederhana.
Akan tetapi jika disederhanakan dan menggunakan rumus
Matematika modern, maka hasilnya sama dengan rumus-rumus yang
digunakan Astronomi modern
2. Pada dasarnya kitab Muntaha Nataij al-Aqwal tidak hanya
digunakan untuk penentuan awal bulan kamariah saja, akan tetapi
konsep perhitunganya bisa digunakan untuk menentukan posisi
Bulan selain pada tanggal 29 sehingga tidak ada perhitungan
ijtimaknya, dan hal ini yang membedakan dengan kitab tahqiqi yang
lainya. Meskipun tanpa memperhitungkan ijtimak, tapi kisaran
hasilnya pun tidak terpaut jauh dengan metode haqiqi bi al-tahqiq
yang lainya
122
3. Data-data yang dipakai lebih teliti dari data taqribi, dan dalam
perhitunganya terdapat penambahan koreksi yaitu koreksi
dhamimah, data Bulan per 103 tahun. Meskipun demikian, tetapi
pada dasarnya data-data tahqiqi itu hampir sama, meskipun pada
proses perhitunganya berbeda, tetapi out put yang dihasilkan juga
tidak akan berbeda jauh
Perhitungan dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal juga terdapat
kekuranganya, diantaranya:
1. Dalam kitab tersebut masih menggunakan jadwal abadi sebagai
pijakan dan masih ada beberapa yang belum dikoreksi layaknya
hisab kontemporer untuk menentukan irtifa’ al-hilal
2. Kurangnya beberapa informasi, seperti untuk perhitungan gurub,
kitab ini tidak memberikan keterangan cara memperolehnya hanya
ada penjelasan data-data yang dimasukkan dalam perhitungan gurub,
kemudian koreksi dhamimah per/103 tahun hanya sampai tahun
1524 H, dan tidak ada keterangan rumusnya serta masih ada
beberapa data yang tidak dimuat dalam kitab tersebut seperti
‘alamah al-ayam, sabaq, dan daqa’iq al-tamkiniyyah
3. Tidak terdapat konversi Hijriah ke Masehi, tidak ada pasaran dan
juga tidak ada perhitungan ijtimak, sehingga masih ada beberapa
unsur yang kurang untuk membantu dalam pelaksanaan rukyat
4. Data-data yang ditampilkan dari kitab ini pada mulanya masih
menggunakan angka jumali yang kemudian dikemas ulang oleh
123
PCNU Pasuruan dengan menggunakan angka hindi guna untuk
mempermudah dalam membaca data yang telah disediakan
Dengan demikian pada dasarnya metode-metode yang ditawarkan
para ahli falak Indonesia masih banyak digunakan meskipun sifatnya taqribi,
dan masing-masing perhitunghan itu juga mempunyai titik kelebihan dan
kekuarangan. Sehingga eksistensi dari masing-masing metode yang ada sejak
awal adanya ilmu falak di Indonesia hingga perkembanganya tetap masih
dijadikan pertimbangan dan perbandingan sebagai acuan penentuan awal
bulan kamariah.
124
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan dan analisis di atas (masalah-masalah yang
penulis rumuskan), yaitu terkait dengan judul Analisis Hisab Awal Bulan
Kamariah dalam Kitab Muntaha Nataij al-Aqwal yang disusun oleh KH.
Muhammad Hasan Asy’ari. Maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
1. Metode hisab yang terdapat dalam kitab Muntaha Nataij al-Aqwal
merupakan metode tahqiqi bi al-tahqiq (menggunakann rumus segitiga
bola), kitab ini mempunyai perbedaan dan persamaan dengan kitab tahqiqi
lainya meskipun kitab ini kitab pertama di Indonesia yang menggunakan
metode tersebut setelah adanya kitab Mathla’ al-Sa’id, perbedaanya yaitu:
Pertama, tidak terdapat konversi Hijriah-Masehi, sehingga untuk
perhitunganya langsung pada hari yang dicari. Juga tidak diawali dengan
perhitungan taqribi. Kedua, tidak terdapat pasaran, nama hari diawali pada
Kamis dan konsep perhitungan menentukan hari di awal bulan menyatu
dengan sistem penentuan tahun kabisat dan basitha. Ketiga,
memperhitungkan gurub. Keempat, tidak terdapat perhitungan ijtimaknya.
Jadi hanya sebatas menentukan posisi bulan. Kelima, koreksi-koreksi yang
dilakukan hanya 6 kali, yaitu dengan menambahkan koreksi dhamimah di
awal perhitungan tahqiqi sebelum dilakukanya penta’dilan yang kompleks.
2. Dari hasil verifikasi perhitungan dengan sistem yang terdapat dalam kitab
Muntaha Nataij al-Aqwal, bahwa kitab tersebut mempunyai standar yang
125
sama dengan kitab tahqiqi lainya seperti Badi’ah al-Mitsal, Khulashah al-
Wafiyah, Nur al-Anwar. Yaitu menghasilkan angka atau nilai ketinggian
yang tidak terpaut jauh dan hanya berkisar antara 0-60 menit.
perbedaan hasil perhitungan kitab tersebut jika menghitung secara manual
(jadwal logaritma) dan dengan menggunakan alat hitung, maka perbedaan
yang dicapai yaitu di millisecond atau di bawah detik, dan maksimal
mencapai 60 detik. Sedangkan jika dibandingkan dengan hisab
kontemporer, maka selisih berkisar antara menit (60 menit) dan derajat (0-2
derajat).
Jadi bisa disimpulkan bahwa hasil perhitungan awal bulan kamariah dalam
kitab Muntaha Nataij al-Aqwal masih berada di bawah perhitungan
kontemporer, karena ada beberapa faktor diantaranya kitab ini masih
menggunakan jadwal abadi, dan ada beberapa hal yang belum