Top Banner
STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA DI KAWASAN WISATA MANGROVE DESA PAYANGAN KECAMATAN AMBULU JEMBER JAWA TIMUR SKRIPSI Oleh : ARIF RAKHMAWAN NIM. 105080101111035 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN JURUSAN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017
66

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA DI KAWASAN ...repository.ub.ac.id/7941/1/Rakhmawan, Arif.pdfMoluska merupakan hewan lunak yang memiliki tingkat keragaman tertinggi. Phylum moluska banyak

Jan 26, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA DI KAWASAN WISATA MANGROVE DESA PAYANGAN KECAMATAN AMBULU JEMBER

    JAWA TIMUR

    SKRIPSI

    Oleh :

    ARIF RAKHMAWAN

    NIM. 105080101111035

    PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN

    JURUSAN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN

    FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

    UNIVERSITAS BRAWIJAYA

    MALANG

    2017

  • STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA DI KAWASAN WISATA

    MANGROVE DESA PAYANGAN KECAMATAN AMBULU JEMBER

    JAWA TIMUR

    SKRIPSI

    Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

    Universitas Brawijaya

    Oleh :

    ARIF RAKHMAWAN

    NIM. 105080101111035

    PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN

    JURUSAN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN

    FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

    UNIVERSITAS BRAWIJAYA

    MALANG

    DESEMBER, 2017

  • IDENTITAS TIM PENGUJI

    Judul : STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA DI KAWASAN

    WISATA MANGROVE DUSUN PAYANGAN

    KECAMATAN AMBULU JEMBER JAWA TIMUR

    Nama Mahasiswa : ARIF RAKHMAWAN

    NIM : 105080101111035

    Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

    PENGUJI PEMBIMBING:

    Pembimbing 1 : ANDI KURNIAWAN, S.Pi., M.Eng., D.Sc

    Pembimbing 2 : NANIK RETNO BUWONO, S.Pi., M.P

    PENGUJI BUKAN PEMBIMBING:

    Dosen Penguji 1 : Dr. Ir. UMI ZAKIYAH, M.Si

    Dosen Penguji 2 : Dr. Ir. MULYANTO, M.Si

    Tanggal Ujian : 21 Desember 2017

  • UCAPAN TERIMA KASIH

    Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah

    berperan serta dalam membantu kelancaran penelitian hingga penulisan laporan

    Skripsi ini dapat terselesaikan.

    Terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada :

    1. Kedua Orang Tua yang telah sabar dan terus berdoa agar saya dapat

    menyelesaikan studi.

    2. Bapak Andi Kurniawan, S.Pi., M.Eng., D.Sc dan Ibu Nanik Retno Buwono,

    S.Pi, M.P atas kesediaan waktunya untuk membimbing, mengarahkan dan

    memotivasi penulis hingga terselesaikannya laporan ini.

    3. Dr. Ir. Umi Zakiyah, M.Si dan Dr. Ir. Mulyanto, M.Si selaku dosen penguji atas

    kritik dan sarannya yang bermanfaat untuk kesempurnaan laporan ini.

    4. Saudara tercinta Adi Chandra Trisnawan, Dwi Wahyuni Rahmawati dan

    Lailatul Maulida yang selalu support moral, waktu dan materi agar lancar

    dalam proses penelitian berlangsung.

    5. Bapak Nelayan di Pantai Payangan yang membantu saya dalam proses

    pengambilan sampel.

    6. Teman – teman MSP 2010 Pay, Arini, Mujab, Roland, Hesti, Andik dan

    Pandu sebagai teman diskusi dan membantu saat seminar hasil dan ujian

    akhir skripsi.

    7. Penghuni Kontrakan dan Kos – kosan yang membantu waktu pengerjaan

    laporan skripsi hingga ujian skripsi.

    8. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung dan baik sengaja

    maupun tidak sengaja telah berperan dalam terselesaikannya laporan ini.

    Malang, 21 Desember 2017

    Penulis

  • RINGKASAN

    ARIF RAKHMAWAN. Skripsi tentang struktur komunitas mangrove di kawasan wisata mangrove Dusun Payangan, Kecamatan Ambulu, Jember, Jawa Timur (dibawah bimbingan ANDI KURNIAWAN, S.Pi., M.Eng., D.Sc., dan Nanik Retno Buwono, S.Pi., M.P).

    Keberadaan dan kelimpahan moluska sangat ditentukan oleh adanya vegetasi mangrove yang ada di daerah pesisir. Kelimpahan dan distribusi moluska dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: kompetisi, ketersediaan makanan, pemangsaan, kondisi lingkungan. Tekanan dan perubahan lingkungan dapat mempengaruhi jumlah jenis dan perbedaan struktur dari moluska. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli - September 2017. Tujuan Penelitian ini adalah untuk menganalisis struktur komunitas moluska yang hidup di Kawasan Wisata Mangrove Dusun Payangan, Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu dengan menampilkan data dalam bentuk tabel, gambar dan grafik sehingga menghasilkan informasi mengenai komunitas moluska di kawasan wisata Mangrove Payangan, Kecamatan Ambulu, Jember, Jawa Timur. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah moluska, substrat dasar perairan dan parameter kualitas air. Pengujian tekstur tanah dan pH tanah dilakukan di Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya dan pengujian bahan organik tanah di Laboratorium Nutrisi Universitas Muhammadiyah Malang.

    Hasil pengamatan secara keseluruhan menunjukkan bahwa spesies yang

    paling banyak ditemukan pada kawasan wisata Mangrove Dusun Payangan, Kecamatan Ambulu, Jember, Jawa Timur adalah Cerithidae cingulata. Hal ini dikarenakan habitat spesies tersebut yaitu kawasan yang tekstur tanahnya lempung liat berdebu yang ada di kawasan mangrove. Hasil analisis kelimpahan jenis moluska tertinggi oleh Cerithidae cingulate 138 ind/m2 dan terendah Cassidula aurisfelis 10 ind/m2. Indeks keanekaragaman moluska di stasiun 1 adalah 0,29, stasiun 2 adalah 0,36, dan stasiun 3 adalah 0,47. Indeks dominasi moluska tertinggi di semua stasiun yaitu Cerithidae cingulate 0,61562 pada stasiun 1. Keberadaan moluska pada setiap stasiun dapat mencerminkan bahwa lingkungan tersebut cocok sebagai habitatnya, sehingga dapat dijadikan indikator suatu perairan. Moluska yang ditemukan pada setiap stasiun pengamatan di kawasan wisata mangrove Payangan termasuk hewan yang menetap pada substrat.

    Berdasarkan hasil pengamatan diketahui moluska yang ditemukan terdiri dari 5 spesies gastropoda yaitu Telescopium telescopium, Cerithidae cingulate, Littoraria scabra, Cassidula aurisfelis, dan Chicoreus capucinus dan 1 spesies bivalvia yaitu Gafrarium pectinatum. Bahan organik dan tekstur sedimen sangat menentukan keberadaan dari gastropoda dan bivalvia. Tekstur sedimen merupakan tempat untuk menempel dan merayap atau berjalan, sedangkan bahan organik merupakan sumber makanan dan salah satu faktor yang mengontrol kelimpahan jenis organisme. Perlunya pengamatan lebih lanjut tentang struktur komunitas moluska dan parameter yang mempengaruhi keanekaragaman dan dominasi di kawasan wisata mangrove Payangan, serta pengamatan di waktu atau musim yang berbeda sebagai perbandingan agar didapatkan hasil yang lebih maksimal.

  • KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat serta karunia-Nya,

    sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Skripsi yang berjudul ”Struktur

    Komunitas Moluska di Kawasan Wisata Mangrove Dusun Payangan Kecamatan

    Ambulu Jember Jawa Timur”. Tujuan dibuatnya Laporan Skripsi ini adalah

    sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar sarjana perikanan di Fakultas

    Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya, Malang. Di bawah

    bimbingan:

    1. Andi Kurniawan, S.Pi., M.Eng., D.Sc

    2. Nanik Retno Buwono, S.Pi., M.P

    Dalam penelitian ini disajikan pokok-pokok bahasan yang meliputi struktur

    komunitas moluska, kelimpahan moluska, kelimpahan relatif moluska, indeks

    keanekaragaman moluska dan indeks dominasi moluska yang dihubungkan

    dengan tekstur tanah da bahan organik tanah yang bertujuan untuk mengetahui

    komunitas moluska di wilayah tersebut. Oleh karena itu penelitian ini penting

    dilakukan untuk menambah wacana baru dalam pengelolaan Kawasan Wisata

    Mangrove Payangan.

    Sangat disadari bahwa dengan keterbatasan yang dimiliki penulis, masih

    banyak kekurangan dalam penyusunan laporan ini, oleh sebab itu penulis

    mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar tulisan ini dapat

    bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

    Malang, 21 Desember 2017

    Penulis

  • DAFTAR ISI

    Halaman RINGKASAN ........................................................................................................ iv

    KATA PENGANTAR ............................................................................................. v

    DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi

    DAFTAR TABEL .................................................................................................. viii

    DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... ix

    DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ x

    1. PENDAHULUAN 1.1 .Latar Belakang ......................................................................................... 1 1.2 .Perumusan Masalah ................................................................................ 2 1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 2 1.4 Kegunaan Penelitian ................................................................................ 2 1.5 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................. 3

    2. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Ekosistem Mangrove................................................................................. 4 2.2 Filum Moluska ........................................................................................... 5 2.2.1 Gastropoda ...................................................................................... 6 2.2.2 Bivalvia ............................................................................................ 7 2.3 Fungsi dan Manfaat Moluska .................................................................... 8 2.4 Asosiasi Moluska Pada Ekosistem Mangrove ........................................... 9 2.5 Sedimen.................................................................................................... 10 2.5.1 Tekstur Tanah .................................................................................. 10 2.5.2 Bahan Organik Tanah ...................................................................... 12 2.5.3 pH Sedimen ..................................................................................... 13 2.6. Parameter Kualitas Air ............................................................................. 13 2.6.1 Suhu ................................................................................................ 13 2.6.2 Pasang Surut ................................................................................... 14 2.6.3 Derajat Keasaman (pH) ................................................................... 14 2.6.4 Salinitas ........................................................................................... 15 2.6.5 Oksigen Terlarut .............................................................................. 16

    3. MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1 Materi Penelitian ....................................................................................... 17 3.2 Alat dan Bahan ......................................................................................... 17 3.3 Metode Penelitian ..................................................................................... 17 3.4 Prosedur Penelitian .................................................................................. 18 3.4.1 Penentuan Stasiun Pengamatan ....................................................... 18 3.5 Pengambilan Sampel ............................................................................... 18

    3.5.1 Pengambilan Sampel Moluska .......................................................... 18 3.6 Analisis Sampel Tanah ............................................................................. 19

  • 3.6.1 pH Tanah........................................................................................... 19 3.6.2 Tekstur Tanah ................................................................................... 20 3.6.3 Bahan Organik Tanah........................................................................ 22 3.7 Analisis Kualitas Air .................................................................................. 22 3.7.1 Suhu .................................................................................................. 23 3.7.2 pH (Derajat Keasaman) ..................................................................... 23 3.7.3 Salinitas ............................................................................................. 23 3.7.4 Oksigen Terlarut ................................................................................ 24 3.8 Analisis Data ............................................................................................. 24 3.8.1 Kelimpahan Moluska ......................................................................... 24 3.8.2 Indeks Keanekaragaman Moluska ..................................................... 24 3.8.3 Indeks Dominasi Moluska .................................................................. 25

    4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ............................................................ 27 4.2 Moluska .................................................................................................... 29 4.2.1 Moluska yang ditemukan ................................................................... 29 a. Cerithidea cingulate ........................................................................... 29 b. Telescopium telescopium ................................................................... 30 c. Littorina scabra .................................................................................. 31 d. Chicoreus capucinus .......................................................................... 32 e. Cassidula aurisfelis ............................................................................ 23 f. Gafrarium pectinatum ......................................................................... 33

    4.2.2 Kepadatan Moluska (Gastropoda dan Bivalvia) ................................ 35 4.2.3 Kelimpahan Jenis Moluska (Gastropoda dan Bivalvia) ..................... 35 4.2.4 Indeks Keanekaragaman Moluska (Gastropoda dan Bivalvia) .......... 37 4.2.5 Indeks Dominasi Moluska (Gastropoda dan Bivalvia) ....................... 37 4.3 Parameter Fisika dan Kimia ...................................................................... 38 4.3.1 Parameter Fisika dan Kimia Tanah .................................................... 38 a. Tekstur Tanah .................................................................................... 38 b. Bahan Organik Tanah ........................................................................ 40 c. Derajat Keasaman (pH) Tanah........................................................... 42 4.3.2 Parameter Fisika dan Kimia Perairan ................................................ 43 a. Suhu .................................................................................................. 43 b. Salinitas ............................................................................................. 44 c. Oksigen Terlaru ................................................................................. 46 d. pH (Derajat Keasaman) ..................................................................... 47

    5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ............................................................................................... 48 5.2 Saran ........................................................................................................ 49

    DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 50

    LAMPIRAN ............................................................................................................ 55

  • DAFTAR TABEL

    Tabel Halaman

    1. Proporsi Fraksi Menurut Kelas Tekstur Tanah ................................................... 11

    2. Kriteria Penilaian Keanekaragaman ................................................................... 25

    3. Komposisi Spesies Gastropoda dan Bivalvia pada Lokasi Penelitian ................. 34

    4. Kepadatan Jenis Gastropoda dan Bivalvia pada Lokasi Penelitian .................... 35

    5. Kelimpahan Jenis Gastropoda dan Bivalvia pada Lokasi Penelitian ................... 36

    6. Tipe Tekstur Substrat pada Lokasi Penelitian .................................................... 39

  • DAFTAR GAMBAR

    Gambar Halaman

    1. Fauna Perairan di Ekosistem Mangrove ............................................................ 5

    2. Titik Pengambilan Sampel atau Lokasi Stasiun .................................................. 18

    3. Transek Kuadrat Pengambilan Sampel Moluska ................................................ 19

    4. Stasiun 1 ............................................................................................................ 28

    5. Stasiun 2 ............................................................................................................ 28

    6. Stasiun 3 ........................................................................................................... 29

    7. Cerithidea cingulate .......................................................................................... 30

    8. Telescopium telescopium ................................................................................. 31

    9. Littorina scabra .................................................................................................. 31

    10. Chicoreus capucinus ....................................................................................... 32

    11. Cassidula aurisfelis ......................................................................................... 33

    12. Gafrarium pectinatum ..................................................................................... 34

    13. Kelimpahan Relatif Gastropoda dan Bivalvia pada Lokasi Penelitian .............. 36

    14. Bahan Organik Tanah di Lokasi Pengambilan Sampel ................................... 41

    15. pH Tanah di Lokasi Pengambilan Sampel ...................................................... 42

    16. Suhu di Lokasi Pengambilan Sampel .............................................................. 44

    17. Salinitas di Lokasi Pengambilan Sampel ......................................................... 45

    18. Oksigen Terlarut di Lokasi Pengambilan Sampel ............................................ 46

    19. pH di Lokasi Pengambilan Sampel ................................................................. 47

  • DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran Halaman

    1. Alat dan Bahan.................................................................................................. 55

    2. Gambar dan Klasifikasi Moluska ....................................................................... 56

    3. Gambar dan Klasifikasi Mangrove ..................................................................... 58

    4. Rumus Perhitungan Kelimpahan Jenis, Kepadatan, Keanekaragaman dan Indeks Dominasi Moluska ................................................................................. 59

    5. Hasil Analisis Tekstur dan pH Tanah ................................................................. 61

    6. Hasil Analisis Bahan Organik Tanah ................................................................. 62

  • 1. PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Hutan mangrove adalah vegetasi hutan yang hanya dapat tumbuh dan

    berkembang baik di daerah tropis, seperti Indonesia. Hutan mangrove memiliki

    fungsi ekologis dan ekonomi yang sangat bermanfaat bagi makhluk hidup. Secara

    ekologis, hutan mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan (spawning ground)

    dan daerah perbesaran (nursery ground) berbagai jenis ikan, udang, kerang-

    kerangan dan spesies lainnya. Selain itu serasah mangrove yang jatuh di perairan

    menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan

    produktivitas perikanan peraiaran laut di depannya (Afriza, 2013).

    Moluska merupakan hewan lunak yang memiliki tingkat keragaman tertinggi.

    Phylum moluska banyak terdapat di air tawar dan air laut, serta banyak yang hidup

    di daerah ekosistem karang, mangrove dan padang lamun (Dahuri, 2003). Menurut

    Cappenberg (2006) Moluska memiliki kemampuan beradaptasi yang cukup tinggi

    pada berbagai habitat dan dapat mengakumulasi logam berat tanpa mengalami

    kematian dan berperan sebagai indikator lingkungan. Menurut Murray et al. (1999)

    dan Roy (2007) dalam Istiqlal et al. (2012), keberadaan manusia berpengaruh

    terhadap menurunnya kepadatan popolasi moluska disuatu perairan. Diantara

    sekian banyak fungsi tersebut, fungsi ekosistem pesisir yang terpenting adalah

    sebagai daerah asuhan, mencari makan dan daerah pemijahan bagi ikan, udang,

    kepiting, moluska serta vertebrata lainnya. Daerah ini terbentuk secara alamiah

    yang membuat suasana yang aman dan nyaman bagi hewan-hewan tersebut

    bertelur, mencari makan dan membesarkan anak sebelum kembali ke laut

    menjelang fase dewasa (MacKinnon, et al., 2000).

  • 2

    Keberadaan dan kelimpahan moluska sangat ditentukan oleh adanya

    vegetasi mangrove yang ada di daerah pesisir. Kelimpahan dan distribusi moluska

    dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: kompetisi, ketersediaan makanan,

    pemangsaan dan kondisi lingkungan. Tekanan dan perubahan lingkungan dapat

    mempengaruhi jumlah jenis dan perbedaan struktur dari moluska. Sehubungan

    dengan hal tersebut maka diperlukan penelitian tentang struktur komunitas

    moluska yang dapat ditemukan di Kawasan Wisata Mangrove Payangan,

    Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember.

    1.2 Perumusan Masalah

    Moluska dapat ditemukan di daratan hingga lautan dalam. Penelitian ini

    difokuskan untuk menganalisis moluska di zona intertidal. Dalam rantai makanan,

    moluska berperan sebagai pemecah seresah yang sangat penting untuk menjaga

    keseimbangan ekosistem mangrove. Apabila salah satu komponen mata rantai

    suatu rantai makanan mengalami perubahan, maka akan merubah keadaan mata

    rantai yang ada pada suatu ekosistem sehingga perlunya informasi moluska

    (gastropoda dan bivalvia) di Kawasan Wisata Mangrove Payangan.

    1.3 Tujuan Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menganalisis struktur

    komunitas moluska dan pengaruh substrat terhadap habitat moluska yang hidup

    di Kawasan Wisata Mangrove Payangan, Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember,

    Provinsi Jawa Timur.

    1.4 Kegunaan Penelitian

    Manfaat dari penelitian ini adalah mengetahui fungsi dari komunitas moluska

    sebagai detritus untuk menjaga keseimbangan ekologi di sekitar mangrove.

  • 3

    Moluska sendiri juga merupakan bioindikator pencemaran lingkungan karena

    dapat mengakumulasi logam berat sehingga keberadaan, kelimpahan dan

    kepadatan moluska di dalam ekosistem mangrove dapat digunakan sebagai acuan

    dalam penilaian kualitas ekologi di Kawasan Wisata Mangrove Payangan,

    Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur.

    1.5. Tempat dan Waktu Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Juli 2017 hingga bulan

    September 2017. Pengambilan sampel dilakukan di Kawasan Wisata Mangrove

    Payangan, Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur. Analisa

    tekstur tanah dan pH tanah dilakukan di Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian

    Universitas Brawijaya, sedangkan analisa bahan organik di Laboratorium Nutrisi

    Universitas Muhammadiyah Malang.

  • 2. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Ekosistem Mangrove

    Hutan Mangrove merupakan ekosistem khas daerah tropis yang hidupnya

    hanya berkembang baik pada temperatur dari 190C sampai 400C. dengan toleransi

    fluktuasi tidak lebih dari 100C. Hutan mangrove adalah habitat bagi banyak satwa,

    seperti mamalia, amphibi, reptil, aves, insekta dan berbagai biola laut. Hutan

    mangrove memberikan perlindungan kepada berbagai jenis organisme lain baik

    hewan darat maupun hewan air untuk bermukim dan berkembang biak (Irwanto,

    2006). Ekosistem mangrove merupakan tempat mencari makan (feeding ground),

    tempat mengasuh dan membesarkan (nursery ground), tempat bertelur dan

    memijah (spawning ground) juga sebagai tempat berlindung (sheltering ground)

    yang aman bagi berbagai jenis kepiting, ikan serta kerang. Beberapa jenis satwa

    yang hidup di dalam hutan mangrove, baik substrat yang keras maupun yang lunak

    (lumpur) antara lain adalah jenis-jenis kepiting mangrove, kerang dan golongan

    invertebrata lainnya (Hamidy, 2012).

    Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang

    digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang

    didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak

    yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan

    mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili dan

    terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga: Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora,

    Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis,

    Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2002).

    Fungsi hutan mangrove dapat digolongkan menjadi tiga macam yaitu fungsi

    fisik, fungsi ekologis dan fungsi ekonomis. Fungsi hutan mangrove secara fisik

  • 5

    yaitu untuk menjaga kestabilan garis pantai dan tebing sungai dari erosi. Secara

    ekonomis yaitu dapat dijadikan sebagai bahan bangunan dan kayu bakar dan lain-

    lainnya (Setiawan, 2013). Selain memiliki berbagai fungsi, mangrove juga

    membentuk susunan vegetasi dimulai dari arah laut hingga kearah daratan (zonasi

    mangrove). Setiap ekosistem mangrove memiliki zonasi yang berbeda-beda di tiap

    kawasan (Hafizh, 2013).

    Menurut Pramudji (2001), masing-masing jenis mangrove memiliki kisaran

    ekologi tersendiri, dan kondisi ini menyebabkan terbentuknya berbagai macam

    komunitas bahkan zonasi. Munculnya fenomena zonasi yang terjadi pada hutan

    mangrove berkaitan erat dengan beberapa faktor, antara lain adalah tipe tanah,

    keterbukaan areal mangrove dari hempasan ombak, salinitas dan pengaruh

    pasang surut.

    Gambar 1. Fauna Perairan di Ekosistem Mangrove (Surianta, 2010)

    2.2 Filum Moluska

    Moluska merupakan kelompok biota perairan laut Indonesia yang memiliki

    tingkat keragaman paling tinggi. Spesies moluska banyak ditemukan di daerah

  • 6

    ekosistem karang, mangrove dan padang lamun (Dahuri, 2003). Menurut Wijarni

    (1990) moluska merupakan Phylum invertebrata yang paling besar di samping

    arthropoda yang kaya akan spesies. Ciri – ciri dari moluska antara lain bentuk

    simetris bilateral dan berlendir, bagian kaki disesuaikan untuk berenang, jumlah

    ruas cangkang 1; 2; 8, pencernaan lengkap, bernafas dengan menggunakan paru

    – paru dan ada yang menggunakan insang (Dani, 2004).

    Salah satu kelas dari filum moluska yang banyak hidup di ekosistem

    mangrove adalah gastropoda. Gastropoda dibagi menjadi dalam tiga subklas

    yaitu, Pulmonta, Prosobranch dan Opisthobranchia. Gastropoda merupakan salah

    satu sumberdaya hayati non-ikan yang mempunyai keanekaragaman tinggi.

    Bivalvia atau Pelycypoda merupakan kelas kedua yang terbanyak setelah kelas

    gastropoda. Bivalvia merupakan moluska yang bercangkang setangkup dan pada

    umumnya simetri bilateral. Kaki berbentuk seperti kapak (pelecypoda), insang tipis

    dan berlapis-lapis terletak di antara mantel. Kedua cangkangnya dapat dibuka

    tutup dengan cara mengendurkan otot aduktor dan reduktornya. Pada bagian

    dorsal terdapat gigi engsel dan ligament (Akbar, 2013). Menurut Barnes (1987),

    menyatakan bahwa karakteristik umum kelas bivalvia adalah menggambarkan

    adaptasi dalam membenamkan diri dalam substrat halus walaupun banyak yang

    berkoloni sekunder dengan habitat epibentik lainnya. Bentuk utamanya adalah

    badan pipih lateral.

    2.2.1 Gastropoda

    Gastropoda banyak menempati daerah terumbu karang, sebagian

    membenamkan diri dalam sedimen, beberapa dapat dijumpai menempel pada

    tumbuhan laut seperti mangrove, lamun dan alga (Rizkya, et al, 2012).

    Gastropoda berasal dari bahasa yunani (Gaster = perut, podos = kaki), jadi

    gastropoda merupakan hewan yang berjalan menggunakan perutnya. Gastropoda

  • 7

    umumnya di masyarakat luas lebih dikenal dengan sebutan siput atau bekicot

    (Adun, 2011). Menurut Nontji (1987), Gastropoda lebih umum dikenal dengan

    keong, cangkangnya berbentuk tabung yang melingkar-lingkar seperti spiral,

    Gastropoda merupakan moluska yang paling kaya akan jenis, di Indonesia

    diperkirakan terdapat sekitar 1.500 jenis gastropoda. Dalam rantai makanan,

    gastropoda epifauna merupakan kompunen yang memanfaatkan biomassa epifit

    di daun lamun. Sedangkan gastropoda infauna menjadi komponen yang

    memanfaatkan serasah di permukaan sedimen (Kinch, 2003 dalam Hitalessy, et

    al, 2015). Gastropoda merupakan hewan dasar pemakan detritus dan serasah dari

    daun mangrove yang jatuh dan mensirkulasi zat-zat yang tersuspensi di dalam air

    guna mendapatkan makanan (Hitalessy, et al, 2015).

    Menurut Libert (2016), saat ini klasifikasi kelas Gastropoda (taksonomi)

    masih terus mengalami revisi karena taksonomi modern ingin lebih akurat dalam

    mengelompokkan organisme berdasarkan evolusinya (urutan DNA). Taksonomi

    Gastropoda saat ini sedang disusun ulang untuk menjadi kelompok-kelompok

    yang monofiletik. Namun demikian, masih menarik untuk membahas klasifikasi

    lama dari kelompok hewan ini. Klasifikasi lama membagi kelas ini menjadi empat

    subkelas, yaitu:

    1. Opisthobranchia : insang di sebelah kanan dan di belakang jantung.

    2. Gymnomorpha : tidak memiliki cangkang.

    3. Prosobranchia : insang di sebelah depan jantung.

    4. Pulmonata : memiliki paru-paru (tidak memiliki insang).

    2.2.2 Bivalvia

    Bivalvia disebut juga dengan Pelecypoda dan Lamellibrankhiata. Disebut

    bivalvia karena hewan ini mempunyai dua cangkang di kedua sisi hewan dengan

    engsel bagian dorsal. Fungsi dari cangkang tersebut adalah sebagai pelindung

  • 8

    tubuh dan bentuknya digunakan untuk idetifikasi. Bivalvia disebut juga Pelecypoda

    karena kakinya yang berbentuk kapak sedangkan disebut Lamellibrankhiata

    karena insangnya berbentuk lembaran-lembaran dan berukuran sangat besar dan

    juga dianggap memiliki fungsi tambahan yaitu pengumpul bahan makanan,

    disamping sebagai tempat pertukaran gas. Salah satu contoh hewan ini adalah

    kerang, tiram, remis, kijing dan sebangsanya (Romimohtarto dan Juwana, 2009).

    Menurut Libert (2016), klasifikasi kelas Bivalvia terus berubah dan belum

    ada konsensus antara para ahli. Saat ini World Register of Marine

    Species (WoRMS) mengakui adanya empat subkelas, yaitu:

    1. Heterodonta

    2. Palaeoheterodonta

    3. Protobranchia

    4. Pteriomorphia

    2.3 Fungsi dan Manfaat Moluska

    Moluska sangat mempunyai peran penting dalam suatu ekosistem yaitu

    sebagai rantai makanan dan juga sebagai indikator pencemaran. Jenis-jenis

    kerang merupakan bioindikator yang paling tepat untuk logam berat. Beberapa

    alasan yang mendukung kerang sebagai bioindikator tersebut adalah

    kemampuannya yang paling tinggi untuk mengakumulasi bahan-bahan tercemar

    tanpa mati terbunuh, terdapat dalam jumlah banyak, terikat pada suatu tempat

    yang keras dan hidup dalam jangka waktu yang lama (Hutagalung, 1991). Selain

    itu menurut Marwoto, (2001) dalam Istiqlal (2012), keberadaan, kelimpahan dan

    kepadatan moluska disetiap lokasi dapat digunakan untuk acuan dalam penilaian

    kualitas ekologi di daerah tersebut.

    Moluska pada umumnya memiliki banyak manfaat sehingga sangatlah

    tepat dijadikan obyek penelitian, antara lain sebagai sumber bahan makanan yang

  • 9

    bergizi tinggi, penghasil mutiara, bahan industrI ubin teraso dan lain-lain (Arifuddin,

    1998). Kekerangan (bivalvia) mempunyai nilai komersial yang cukup penting,

    karena daging dari kekerangan ini merupakan sumber protein dan cangkangnya

    mempunyai nilai estetika yang tinggi, misalnya kerang mutiara, lola, batu laga dan

    lain lain. Beberapa jenis gastropoda juga merupakan keong yang bernilai tinggi

    karena cangkangnya diambil sebagai bahan untuk perhiasan dan cinderamata

    seperti beberapa jenis keong dari suku Strombidae, Cypreaidae, Olividae,

    Conidae, Trochidae, dan Tonnidae (Mudjiono dan Sudjoko, 1994 dalam

    Saripatung, et al. 2013).

    2.4 Asosiasi Moluska Pada Ekosistem Mangrove

    Moluska adalah hewan yang bertubuh lunak dan mempunyai cangkang.

    Moluska hidup di air laut, air payau, air tawar dan banyak ditemukan di ekosistem

    mangrove, hidup di atas permukaan substrat atau juga menempel di batang pohon

    mangrove. Filum moluska terdiri dari atas delapan kelas yaitu Caudofoveata,

    Aplacophora, Monoplachophora, Polyplacophora, Cephalopoda, Scaphoda,

    Gastropoda dan Bivalvia (Bursca dan Brusca, 1990).

    Secara ekologi mangrove juga memiliki fungsi yakni sebagai daerah

    asuhan, mencari makan dan pemijahan bagi biota khususnya moluska, krustasea

    dan ikan yang berasosiasi dengan mangrove (Bengen, 2002). Kebanyakan

    moluska yang hidup di ekosistem mangrove adalah spesies gastropoda dan

    bivalvia (Hartoni dan Agussalim, 2013).

    Menurut Pramudji (2000), kecepatan dekomposisi serasah tergantung

    pada banyak oksigen yang tersedia (yang bertambah bila lumpur terbuka ke

    udara), macamnya lumpur dan peranan hewan serta jasad renik. Kelembaban

    tanah juga memerlukan laju dekomposisi Keong dan Avertebrata dasar hutan

    adalah pengurai serasah secara mekanis yang kemudian hasilnya diuraikan lebih

  • 10

    lanjut oleh jasad renik. Komposisi moluska pada ekosistem mangrove sangat

    dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi pada ekosistem tersebut, karena sifat

    moluska yang hidupnya cenderung menetap menyebabkan moluska menerima

    setiap perubahan lingkungan ataupun perubahan dari dalam hutan mangrove

    tersebut, misalnya perubahan fungsi hutan mangrove menjdi areal pemukiman

    ataupun hutan mangrove yang semakin meningkat ini tertutama pada sub sektor

    perikanan yang memanfaatkan hutan tersebut untuk kegiatan budidaya tambak,

    penambangan atau kegitan pembangunan lainnya yang kurang memperhitungkan

    akibat sampingannya.

    2.5 Sedimen

    2.5.1 Tekstur Tanah

    Tekstur tanah ialah perbandingan relatif (dalam persen) fraksi-fraksi pasir,

    debu dan liat. Tekstur tanah penting diketahui karena komposisi ketiga fraksi butir-

    butir tanah tersebut akan menentukan sifat-sifat fisika, fisika-kimia dan kimia tanah

    (Hakim, 1986).

    Tekstur tanah ialah perbandingan relatif (dalam persen) fraksi-fraksi pasir,

    debu dan liat. Tekstur tanah penting diketahui karena komposisi ketiga fraksi butir-

    butir tanah tersebut akan menentukan sifat-sifat fisika, fisika-kimia dan kimia tanah

    (Hakim, 1986). Menurut Hardjowigeno (1992), tekstur tanah menunjukkan kasar

    halusnya tanah. Tekstur tanah merupakan perbandingan antara butir-butir pasir,

    debu dan liat. Tekstur tanah dikelompokkan dalam 12 kelas tekstur. Kedua belas

    kelas tekstur dibedakan berdasarkan prosentase kandungan pasir, debu dan liat

    terdapat pada Tabel 1.

  • 11

    Tabel 1. Proporsi Fraksi Menurut Kelas Tekstur Tanah

    No Kelas Tekstur Tanah Proporsi (%) Fraksi Tanah

    Pasir Debu Liat

    1 Pasir (Sandy) > 85 < 15 < 10

    2 Pasir berlempung (Loam Sandy) 70-90 < 30 < 15

    3 Lempung berpasir (Sandy Loam) 40-87,5 < 50 < 20

    4 Lempung (Loam) 22,5-52,5 30-50 10-30

    5 Lempung liat berpasir (Sandy-clay loam) 45-80 < 30 20-37,5

    6 Lempung liat berdebu (Sandy-silt loam) < 20 40-70 27,5-40

    7 Lempung berliat (Clay loam) 20-45 15-52,5 27,5-40

    8 Lempung berdebu (Silty loam) < 47,5 50-87,5 < 27,5

    9 Debu (Silt) < 20 > 80 < 12,5

    10 Liat berpasir (Sandy-clay) 45-62,5 < 20 37,5-

    57,5

    11 Liat berdebu (Silty-clay) < 20 40-60 40-60

    12 Liat (Clay) < 45 < 40 > 40

    Apabila tekstur mencerminkan ukuran partikel dari fraksi-fraksi tanah, maka

    struktur merupakan kenampakan bentuk atau susunan partikel-partikel primer

    tanah (pasir, debu dan liat individual) hingga partikel-partikel sekunder (gabungan

    parikel-partikel primer yang disebut ped (gumpalan) yang membentuk agregat).

    Tanah yang partikel-partikelnya belum bergabung, terutama yang bertekstur pasir,

    disebut tanpa struktur atau berstruktur lepas, sedangkan tanah bertekstur liat yang

    terlihat massif (padu tanpa ruang pori, yang lembek jika basah dan keras jika

    kering) atau apabila dilumat dengan air membentuk pasta disebut juga tanpa

    struktur (Hanafiah, 2010).

  • 12

    Menurut Universitas Terbuka (2007), menyatakan bahwa sebagai wilayah

    pengendapan, substrat di pesisir bisa sangat berbeda dan yang paling umum

    adalah hutan mangrove, dimana banyak tumbuhan mangrove yang tumbuh di atas

    lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik. Beberapa hutan mangrove

    juga memiliki proporsi bahan organik yang banyak, bahkan ada hutan mangrove

    yang tumbuh di atas tanah bergambut. Substrat lain di hutan mangrove adalah

    lumpur dengan kandungan pasir yang tinggi atau dominan pecahan karang, di

    pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu karang.

    2.5.2 Bahan Organik Tanah

    Bahan organik tanah adalah kumpulan beragam (continuum) senyawa-

    senyawa organik kompleks yang sedang atau telah mengalami proses

    dekomposisi, baik berupa humus hasil humifikasi maupun senyawa-senyawa

    anorganik hasil mineralisasi (disebut biontik), termasuk mikroba heterotrofik dan

    ototrofik yang terlibat (biotik) (Hanafiah, 2010). Semua bahan organik

    mengandung karbon (C) berkombinasi dengan satu atau lebih elemen lainnya.

    Menurut Sawyer dan McCarty, 1978 dalam Effendi (2003), bahan organik berasal

    dari tiga sumber utama sebagai berikut:

    1. Alam, misalnya fiber, minyak nabati dan hewani, lemak hewani, alkaloid,

    selulosa, kanji, gula dan sebagainya

    2. Sintesa yang meliputi semua bahan organik yang diproses oleh manusia

    3. Fermentasi, misalnya alkohol, aseton, gliserol, antibiotika dan asam; yang

    semuanya di peroleh melalui aktivitas melalui aktivitas mikroorganisme.

    Bahan organik merupakan sumber energi bagi makro dan mikro fauna tanah.

    Penambahan bahan organik dalam tanah akan menyebabkan aktivitas dan

    populasi mikrobiologi dalam tanah meningkat, terutama yang berkaitan dengan

    aktivitas dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Disamping mikroorganisme

  • 13

    tanah, fauna tanah juga berperan dalam dekomposisi bahan organik antara lain

    tergolong dalam protozoa, nematoda, Collembola dan cacing tanah. Fauna tanah

    ini berperan dalam proses humifikasi dan mineralisasi atau pelepasan hara,

    bahkan ikut bertanggung jawab terhadap pemeliharaan struktur tanah (Tian, G

    1997 dalam Atmojo, 2003).

    2.5.3 pH Sedimen

    Kisaran pH substrat yang relatif netral yaitu berkisar antara 6,0 – 6,5. pH

    yang asam akan berpengaruh sekali terhadap proses penghancuran bahan

    organik yang menjadikannya lambat (Hardjowigeno, 1987 dalam Kushartono,

    2009). Nilai pH yang agak masam biasanya dikarenakan adanya perombakan

    serasah vegetasi mangrove oleh mikroorganisme tanah yang menghasilkan asam-

    asam organik, sehingga dapat menurunkan pH tanah tersebut (Setiawan, 2013).

    2.6 Parameter Kualitas Air

    2.6.1 Suhu

    Suhu air merupakan salah satu faktor abiotik yang memegang peranan

    penting dalam pengaruh aktifitas hewan akuatik, karena dapat mempengaruhi

    kecepatan laju metaboilisme dan respirasi biota air serta proses metabolism

    ekosistem perairan (Raharjo, 2003). Suhu air juga berhubungan dengan

    konsentrasi oksigen terlarut dalam air dan laju konsumsi oksigen oleh hewan air.

    Biasanya suhu air berbanding terbalik dengan konsentrasi jenuh oksigen terlarut,

    namun berbanding lurus dengan laju konsumsi oksigen hewan air (Mas’ud, 2011).

    Hewan yang mempunyai kemampuan untuk mentoleransi peningkatan

    suhu (seperti ikan, gastropda, dan krustasea) akan dapat beradaptasi dengan

    perubahan tersebut. Beda halnya dengan moluska (gastropoda dan bivalvia),

    kemungkinan akan cukup menderita dengan fenomena kenaikan suhu tersebut

  • 14

    (Kusmana, 2009). Kisaran suhu yang ideal Menurut Sukarno (1981), bahwa suhu

    dapat membatasi sebaran hewan makrobenthos secara geografik dan suhu yang

    baik untuk pertumbuhan hewan makrobenthos berkisar antara 25 - 31 °C.

    2.6.2 Pasang Surut

    Pasang surut yaitu suatu pergerakan air laut secara naik turun mulai dari

    bagian permukaan hingga yang terdalam. Pergerakan ini disebabkan karena gaa

    gravitasi bumi dan benda langit lainnya seperti bulan dan matahari (Nybaken, 1988

    dalam Handayani, 2009). Tipe pasang surut dibagi menjadi tiga, yaitu tipe pasang

    surut harian (diurnal tide), pada keadaan ini, laut akan mengalami satu kali pasang

    dan satu kali surut dalam sehari, pasang surut harian ganda (semidiurnal tide),

    terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam seharinya dan pasang surut

    campuran (mixed tide), terjadi pasang surut yang cenderung pada tipe diurnal atau

    semidiurnal dalam satu hari nya dalam satu harinya (Nybakken, 1988 dalam

    Handayani, 2009).

    Tipe pasang surut di perairan dipengaruhi salah satunya oleh kedalaman

    perairan. Faktor yang mempengaruhi tipe pasang surut yaitu perbedaan nilai

    antara amplitude unsur-unsur pasang surut tunggal utama dengan unsur-unsur

    pasang surut ganda utama (Pariwono, 1989 dalam Rampengan, 2009). Faktor non

    astronomi yang mempengaruhi pasang surut terutama di perairan semi tertutup

    seperti teluk adalah bentuk garis pantai dan topografi dasar perairan (Musfirin,

    2011).

    2.6.3 pH (Derajat Keasaman)

    Organisme perairan mempunyai kemampuan berbeda dalam mentoleransi

    pH perairan. Menurut Pennak (1978) dalam Wijayanti (2007), bahwa pH yang

    mendukung kehidupan Mollusca berkisar antara 5,7 - 8,4.

  • 15

    Derajat keasaman air laut cenderung berada dalam keseimbangan karena

    ekosistem air laut mempunyai kapasitas penyangga yang mampu

    mempertahankan nilai pH. Menurut Odum (1971), air laut merupakan sistem

    penyangga yang sangat luas dengan pH relatif stabil sebesar 7,0 - 8,5.

    2.6.4 Salinitas

    Salinitas merupakan konsentrasi dari ion total yang ada di perairan

    (Effendi, 2003). Nilai salinitas suatu perairan dapat berubah-ubah sesuai dengan

    kondisi pasang surut, kondisi iklim dan struktur tanah. Berkurangnya salinitas

    perairan akan mengubah komposisi dan dinamika populasi organisme air. Selain

    itu, adanya pengaruh dari masukan air tawar juga akan mempengaruhi nilai

    salinitas perairan estuary (Nasjono, 2010).

    Salinitas perairan dapat mempengaruhi sebaran jenis mangrove. Beberapa

    jenis tumbuhan mangrove mampu bertahan hidup pada salinitas tinggi, seperti

    Avicennia yang merupakan jenis mangrove dengan kemampuan bertahan hidup

    pada kisaran salinitas yang sangat besar (Pramudji, 2001). Semisal jenis

    mangrove dengan akar lutut dan tunjang yang kecil mempunyai kemampuan dapat

    mentoleransi salinitas yang rendah (Bunt and Williams, 1981 dalam Hafizh, 2013).

    Salinitas perairan di antara zonasi mangrove yang satu dengan yang

    lainnya biasanya berbeda-beda, karenasemakin kearah daratan, salinitas perairan

    akan semakin rendah akibat adanya pencampuran dengan air tawar, begitu

    sebaliknya (Hafizh, 2013). Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria

    dengan salinitas 10 - 30 ppt. Salinitas yang sangat tinggi (hypersalinity) misalnya

    ketika salinitas air permukaan melebihisalinitas yang umum di laut (± 35 ppt) dapat

    berpengaruh buruk pada vegetasi mangrove, karena dampak dari tekanan osmotik

    yang negatif. Tajuk mangrove semakin jauh dari tepian perairan secara umum

    menjadi kerdil dan berkurang komposisi spesiesnya (Muhamad, et al, 2014).

  • 16

    2.6.5 Oksigen Terlarut atau Dissolved Oxygen (DO)

    Dissolved oxygen (DO) adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang

    berasal dari fotosintesis dan absorbsi atmosfer atau udara. Beberapa faktor yang

    dapat mengurangi kadar oksigen di perairan, diantaranya karena meningkatnya

    bahan-bahan oraganik yang masuk perairan, peningkatan suhu, salinitas, respirasi

    dan akibat tekanan atmosfir (Welch, 1980 dalam Edward dan Pulumahuny, 2003).

    Kadar oksigen terlarut di suatu perairan juga berfluktuasi secara harian.

    Faktor utama penyebab fluktuasi tersebut adalah aktifitas fotosintesis tumbuhan

    dan respirasi organisme heterotof. Kadar oksigen terlarut semakin menurun seiring

    dengan semakin meningkatnya limbah organik yang ada di perairan tersebut. Hal

    ini disebabkan karena semakin banyaknya kebutuhan oksigen yang akan

    digunakan oleh bakteri aerob untuk menguraikan zat organik menjadi zat

    anorganik (Simanjuntak, 2007).

  • 3. MATERI DAN METODE PENELITIAN

    3.1 Materi Penelitian

    Materi penelitian ini meliputi komunitas moluska, substrat dasar perairan

    dan kualitas air. Analisa kualitas sedimen meliputi tekstur tanah, pH tanah dan

    bahan organik, serta analisa kualitas perairan meliputi suhu, salinitas, oksigen

    terlarut atau dissolved oxygen (DO) dan pH air.

    3.2 Alat dan Bahan

    Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi

    peralatan dan bahan untuk pengukuran parameter fisika perairan (suhu),

    parameter kimia perairan (pH, salinitas, dan oksigen terlarut), parameter fisika-

    kimia sedimen (tekstur tanah, pH tanah dan bahan organik) dan parameter

    biologi (moluska) dapat dilihat pada Lampiran 1.

    3.3 Metode Penelitian

    Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu

    dengan menampilkan data dalam bentuk tabel, gambar dan grafik sehingga

    menghasilkan informasi mengenai komunitas moluska di Kawasan Taman

    Wisata Mangrove Payangan, Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember, Provinsi

    Jawa Timur. Menurut Suryabrata (1987), metode deskriptif yaitu metode yang

    mendiskripsikan atau menggambarkan tentang situasi atau kejadian-kejadian.

    Metode ini bertujuan untuk membuat penggambaran secara sistematis, nyata,

    dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu.

  • 18

    3.4 Prosedur Penelitian

    3.4.1 Penentuan Stasiun Pengamatan

    Penentuan titik stasiun menggunakan teknik purposive sampling yang

    berarti teknik pengambilan sampel secara sengaja dengan pertimbangan

    tertentu. Setiap subjek yang diambil dari populasi dipilih secara sengaja

    berdasarkan tujuan dan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2010). Mangrove

    merupakan habitat biota, maka penentuan stasiun berdasarkan letak geografis

    dan daerah pasang surut air laut. Sehingga didapatkan 3 stasiun pengamatan

    dengan jumlah titik pengamatan sebanyak 3 titik pada setiap stasiun dimana

    stasiun 1 merupakan daerah ekosistem mangrove yang dekat dengan

    pemukiman masyarakat. Stasiun 2 merupakan daerah mangrove yang baru

    ditanam sedangkan stasiun 3 merupakan daerah mangrove dekat dengan laut

    lepas. Denah stasiun pengamatan dapat dilihat pada Gambar 2.

    Gambar 2. Titik pengambilan sampel atau lokasi stasiun

    3.5 Pengambilan sampel

    3.5.1 Pengambilan sampel moluska

    Pengambilan sampel biota di lakukan pada transek pengamatan vegetasi

    mangrove yang berukuran 10x10 m yang di dalam plotnya dibuat lima buah sub

    plot yaitu kanan atas, kiri atas, kanan bawah, kiri bawah dan tengah dimana

  • 19

    masing-masing sub plot tersebut berukuran 1x1 m (Pringle, 1984). Model transek

    kuadrat untuk mengambil sampel moluska dapat dilihat pada Gambar 3.

    Gambar 3. Transek kuadrat pengambilan sampel moluska

    Pengambilan sampel biota dilakukan dengan cara mengambil langsung

    dan penggalian menggunakan cetok sedalam 30 cm. Kedalaman pengambilan

    sampel tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa sebagian besar bivalvia

    mempunyai kemampuan untuk membenamkan diri ke dalam substrat dasar

    sampai beberapa cm yaitu kedalaman 5 – 25 cm. Semua sampel moluska yang

    sudah diambil kemudian dipindahkan kedalam botol yang telah berisi alkohol

    70% dan diidentifikasi dengan menggunakan pustaka dari avertebrata air dan

    Shells of the world (Sowerby, 1996) setelah diidentifikasi sampel moluska

    dikelompokkan berdasarkan jenis yang ada pada setiap transek.

    3.6 Analisis Sampel Tanah

    3.6.1 pH Tanah

    Mengukur derajat keasaman tanah oleh laboran di Laboratorium Tanah

    Universitas Brawijaya dengan acuan berdasarkan Maspary (2011):

    a. Mengambil sampel tanah dan aquadest dengan perbandingan 1:1

    10 x 10 m

    1x1

    m

    1x1

    m

    1x1

    m

    1x1

    m

    1x1 m

  • 20

    b. Memasukkan sampel tanah dan aquadest ke dalam gelas air mineral

    c. Mengaduk sampel tanah dengan sendok teh hingga homogen

    d. Membiarkan campuran air dan tanah beberapa menit hingga terpisah

    (tanahnya mengendap)

    e. Memasukkan ujung kertas lakmus ke dalam campuran tadi setelah air

    terlihat agak jernih, jangan sampai mengenai tanah dan menunggu sekitar 1

    menit

    f. Setelah warnanya stabil, mencocokkan warna yang diperoleh oleh kertas

    lakmus dengan pH indikator dan mencatat hasilnya

    3.6.2 Tekstur tanah

    Mengukur tekstur tanah oleh laboran di Laboratorium Tanah Universitas

    Brawijaya dengan acuan berdasarkan Agustina, et al (2012):

    a. Menimbang contoh tanah kering udara 20 g, kemudian memasukkan tanah

    kering ke dalam labu erlenmeyer 500 ml dan tambahkan 50 ml air suling

    atau aquadest

    b. Menambahkan 10 ml hidrogen peroksida ke dalam campuran tanah kering

    udara dengan aquadest, tunggu agar bereaksi. Menambahkan sekali lagi 10

    ml bila reaksi sudah berkurang. Jika sudah tidak terjadi reaksi yang kuat lagi,

    meletakkan labu diatas pemanas hot plate dan naikkan suhunya perlahan-

    lahan sambil menambahkan hidrogen peroksida setiap 10 menit. Teruskan

    sampai mendidih dan tidak ada reaksi yang kuat lagi (peroksida aktif

    dibawah suhu 1000C)

    c. Menambahkan 50 ml HCl 2 M dan air ke dalam hasil campuran sampel

    tanah dengan hidrogen peroksida sehingga volumenya 250 ml dan cuci

    dengan air suling (untuk tanah kalkareous 4-5 kali)

    d. Sesudah bersih, menambahkan 20 ml kalgon 5 % dan dibiarkan semalam

  • 21

    e. Menuangkan seluruh campuran sampel tanah di atas ke dalam tabung

    dispersi dan menambahkan air suling sampai volume tertentu dan kocok

    dengan pengocok listrik selama 5 menit

    f. Meletakkan ayakan 0,005 mm dan corong di atas labu ukur 1000 ml lalu

    memindahkan semua tanah diatas ayakan dan mencuci dengan cara

    menyemprot dengan air suling sampai bersih

    g. Memindahkan pasir bersih yang tidak lolos ayakan ke dalam kaleng timbang

    dengan air dan keringkan di atas hot plate

    h. Menambahkan aquadest ke dalam larutan tanah yang di tampung dalam

    gelas ukur 1000 ml sampai tanda batas 1000 ml. Letakkan gelas ukur ini di

    bawah alat pemipet

    i. Membuat larutan blanko dengan melakukan prosedur 1 sampai 8 tetapi

    tanpa contoh tanah

    j. Mengaduk larutan dengan pengaduk kayu (arah keatas dan kebawah) dan

    segera mengambil sampel larutan dengan pipet sebanyak 20 ml pada

    kedalaman 10 cm dari permukaan air dan memasukkannya ke dalam kaleng

    timbang

    k. Mengeringkan sampel larutan tanah dengan meletakkan kaleng di atas hot

    plate atau di bawah oven dan meniimbangnya.

    l. Melakukan pengambilan contoh yang kedua setelah jangka waktu tertentu,

    pada kedalaman tertentu yang tergantung dari ukuran (diameter) partikel

    yang akan di ambil serta suhu dari larutan.

    m. Untuk menentukan sebaran ukuran pasir, mengayak pasir hasil saringan

    yang sudah mengering di atas satu set ayakan yang terdiri dari beberapa

    ukuran lubang dengan bantuan mesin pengocok ayakan. Kemudian

    menimbang masing-masing kelas ukuran partikel

  • 22

    Perhitungan:

    Partikel liat

    Massa Liat = 50 x (massa pipet ke 2 – massa blanko ke 2)

    Partikel debu

    Massa debu = 50 x (Massa pipet ke 1 – massa pipet ke 2)

    Partikel pasir

    Langsung mengetahui bobot masing-masing dari hasil ayakan. Menghitung

    persentase masing-masing bagian berdasarkan massa tanah (massa liat +

    massa debu + massa pasir).

    3.6.3 Bahan Organik Tanah

    Mengukur bahan organik tanah oleh laboran di Laboratorium Nutrisi

    Universitas Muhammadiyah Malang dengan metode Welkey Black menurut

    Ariani (2011):

    a. Memasukkan 0,5 gr contoh tanah kering ke dalam erlenmeyer 500 ml

    b. Menambahkan 10 ml larutan K2Cr2O7 1 N dengan menggunakan pipet

    c. Menambahkan 20 ml H2SO4 pekat kedalam campuran sampel tanah dengan

    larutan K2Cr2O7, kemudian menggoyang labu erlenmeyer perlahan sampai

    tanah bereaksi sepenuhnya

    d. Membiarkan Campuran tersebut selama 20 – 30 menit

    e. Setelah itu menambahkan 200 ml aquadest dan 10 ml H3PO4 85% dan 30

    tetes Diphenilamine, larutan berwarna hijau gelap

    f. Mengisi larutan sampel dengan F2SO4 dan terjadi perubahan warna dari

    hijau gelap menjadi hijau terang.

  • 23

    3.7 Analisis Kualitas Air

    Melakukan prosedur analisis kualitas air pada setiap stasiun pengamatan

    setiap waktu pengamatan. Mengukur parameter kualitas air meliputi parameter

    fisika dan parameter kimia. Parameter fisika yang diukur antara lain suhu

    sedangkan untuk parameter kimia, diantaranya pH (derajat keasaman), salinitas,

    dan oksigen terlarut. Prosedur pengukuran parameter fisika - kimia sebagai

    berikut:

    3.7.1 Suhu

    Menurut Arbi (2011), melakukan pengukuran suhu dengan mengunakan

    thermometer Hg. Tahapan kerjanya adalah sebagai berikut:

    Memasukkan thermometer Hg kedalam perairan dan menunggu

    sekitar 2 menit sampai air raksa dalam skala thermometer menunjuk

    atau berhenti di skala tertentu.

    Membaca skala pada thermometer pada saat masih dalam air dan

    jangan sampai tangan menyentuh thermometer.

    Mencatat dalam skala 0C.

    3.7.2 pH (Derajat Keasaman)

    Menurut Maspary (2011), prosedur pengukuran pH dengan pH meter

    sebagai berikut:

    Melakukan kalibrasi pH meter dengan menggunakan larutan buffer

    atau aquades

    Memasukkan pH meter ke dalam air sampel selama 2 menit

    Menekan tombol “HOLD” pada pH meter untuk menghentikan angka

    yang muncul pada pH meter

  • 24

    3.7.3 Salinitas

    Menurut Susanto (2000), langkah-langkah pengukuran salinitas dengan

    menggunakan salinometer adalah sebagai berikut:

    Mengambil gelas ukur yang panjang, kemudian isi air laut.

    Memasukkan salinometer ke dalam gelas ukur yang terisi air laut.

    Kadar garam air akan terbaca pada skala yang tertera pada

    salinometer.

    3.7.4 Oksigen Terlarut

    Tahapan untuk mengukur kadar oksigen dalam perairan dengan

    menggunakan alat DO meter yaitu sebagai berikut (Syamsurisal, 2011):

    Mengkalibrasi DO meter dengan menggunakan aquadest

    Mencelupkan DO meter ke dalam perairan

    Menunggu beberapa saat hingga skala yang tertera di layar DO

    meter stabil

    Mencatat Hasil yang tertera

    3.8 Analisa Data

    3.8.1 Kelimpahan Moluska

    Menghitung kelimpahan organisme moluska dengan menggunakan

    rumus Shanon-Wiener (Saptarini et al, 2010)

    𝒀 = 𝒂/𝒃

    Dimana :

    Y = kelimpahan Individu (ind/m2)

    a = jumlah moluska yang ditemukan (plot)

    b = jumlah area sampling (m2)

  • 25

    3.8.2 Indeks Keanekaragaman Moluska

    Keanekaragaman spesies dapat dikatakan sebagai banyaknya spesies

    yang berbeda dan merupakan ciri khas dari struktur komunitas. Menggunakan

    rumus untuk menghitung keanekaragaman spesies moluska adalah rumus dari

    indeks diversitas Shannon- Wiener (Magurran, 1988), yaitu:

    𝑯′ = −∑[(𝒏𝒊

    𝑵)𝒙 𝐥𝐧(

    𝒏𝒊

    𝑵)]

    Dimana:

    H’: indeks Diversitas Shannon-Wiener

    ni : jumlah individu spesies ke-i

    N : jumlah total individu semua spesies

    Tabel 2. Kriteria penilaian keanekaragaman

    Indeks Keanekaragaman ( H’ ) Struktur Komunitas

    > 2,41

    1,81 – 2,4

    1,21 – 1,8

    0,61 – 1,2

    < 0,6

    Sangat Stabil

    Lebih Stabil

    Stabil

    Cukup Stabil

    Tidak Stabil

    (Wibisono, 2005 dalam Aunurohim, 2008)

    3.8.3 Indeks Dominasi Moluska

    Dapat mengetahui dominasi spesies tertentu dengan menggunakan

    indeks dominasi Simpson (Maguran, 1988).

    𝐷 =∑(𝑛𝑖/𝑁)²

  • 26

    Dimana :

    D = Indeks Dominasi.

    Pi = ni / N.

    ni = Jumlah individu spesies ke 1.

    N = jumlah total individu.

    Nilai dominasi berkisar antara 0 -1. Jika nilai indeks dominasi mendekati

    nilai 0 dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada individu yang mendominasi dan

    biasanya di ikuti dengan indeks keseragaman yang tinggi. Sementara jika indeks

    dominasi mendekati nilai 1, berarti ada salah satu spesies yang mendekati dan

    nilai indeks keseragaman semakin kecil (Saptarini, et al., 2010).

  • 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian

    Pantai Payangan merupakan salah satu pantai di Jember. Pantai

    Payangan merupakan pantai berteluk yang sempit dengan litologi pasir halus

    hingga kasar berwarna abu-abu kehitaman yang mengandung besi, felspar, serta

    sebagian mengandung sedikit cangkang kerang. Pantai Payangan mempunyai

    morfologi landai hingga menengah dengan kemiringan bibir pantai 6°-22°. Lebar

    pantai Payangan berkisar antara 50 m dan 100 m. Pantai Payangan terletak

    pada koordinat geografis 113.5812760” - 113.589794” Bujur Timur dan

    8.436006” - 8.444138” Lintang Selatan (Maemunah, et al., 2011). Pantai

    Payangan terletak di Dusun Payangan, Desa Sumberejo, Kecamatan Ambulu,

    Kabupaten Jember, Jawa Timur. Pantai Payangan mempunyai empat pantai, tiga

    bukit, dan satu pulau (Pemerintah Kabupaten Jember, 2017).

    Stasiun 1 merupakan habitat moluska yang berlokasi dekat dengan

    pemukiman warga dan berada pada daerah pasang surut air laut. Didapatkan

    ekosistem mangrove jenis Rhizopora mucronata dan Rhizopora apiculata bisa

    dilihat pada Gambar 4. Air surut menyebabkan tidak dapat dilakukan pengujian

    DO pada stasiun 1.

    Stasiun 2 merupakan habitat moluska di lokasi mangrove yang baru saja

    ditanam oleh pemerintah dan jenisnya tidak terlalu banyak yaitu: Rhizopra

    apiculata dan Rhizopora mucronata. Nilai suhu pada stasiun 2 lebih tinggi

    dibandingkan dengan stasiun 1 menunjukkan adanya perbedaan masuknya

    cahaya matahari yang sangat mempengaruhi suhu di setiap stasiun.

  • 28

    Gambar 4. Stasiun 1

    Gambar 5. Stasiun 2

    Sedangkan pada stasiun 3 hutan mangrove berfungsi untuk melindungi

    pantai dari abrasi air laut. Akar-akar pohon bakau yang mencuat di atas tanah

    dapat menahan hantaman ombak sehingga terhindar dari bahaya abrasi pantai.

  • 29

    Gambar 6. Stasiun 3

    4.2 Moluska (Gastropoda dan Bivalvia)

    4.2.1 Moluska yang ditemukan

    a. Cerithidea Cingulate

    Hewan ini merupakan anggota dari kelas Gastropoda karena memilik

    cangkang tunggal yang terpilin membentuk spiral. Otot pada bagian ventral tubuh

    berperan sebagai kaki atau alat gerak. Berlokomosi dengan cara merayap

    menggunakan kaki. Tektur cangkangnya kasar. Ukurannya sekitar ± 2 cm.

    Warna cangkangnya bervariasi, ada yang berwarna hitam atau coklat.

    Mempunyai putaran dextral. Mulut cangkang berbentuk contong dan bagian

    puncak lancip. Habitatnya di perairan laut, biasanya menempel pada permukaan

    atau batu karang.

    Kingdom : Animalia

    Phyllum : Mollusca

  • 30

    Class : Gastropoda

    Subclass : Caenogastropoda

    Family : Potamididae

    Genus : Cerithidea

    Species : Cerithidea cingulate.

    Gambar 7. Cerithidea cingulate

    b. Telescopium telescopium

    Telescopium telescopium merupakan salah satu jenis Gastropoda yang

    banyak hidup di air payau atau hutan mangrove yang di dominasi oleh pohon

    bakau (Rhizopora sp) sehingga orang menyebutnya sebagai keong bakau.

    Menurut (Linnaeus, 1758), klasifikasi Telescopium telescopium adalah sebagai

    berikut :

    Kindom : Animalia

    Phylum : Molusca

    Class : Gastropoda

    Subclass : Probobranchia

    Ordo : Mesogastropoda

    Family : Potamididae

    Genus : Telescopium

    Species : Telescopium telescopium

    http://en.wikipedia.org/wiki/Telescopium_%28gastropod%29http://en.wikipedia.org/wiki/Telescopium_%28gastropod%29http://en.wikipedia.org/wiki/Carl_Linnaeushttp://en.wikipedia.org/wiki/Telescopium_%28gastropod%29http://en.wikipedia.org/wiki/Telescopium_%28gastropod%29http://id.wikipedia.org/wiki/Animalhttp://en.wikipedia.org/wiki/Potamididaehttp://en.wikipedia.org/wiki/Telescopium_%28gastropod%29http://en.wikipedia.org/wiki/Telescopium_%28gastropod%29http://en.wikipedia.org/wiki/Telescopium_%28gastropod%29

  • 31

    Gambar 8. Telescopium telescopium

    c. Littorina scabra

    Bentuk cangkang asimetrik dan menyerupai spiral atau kelihatan seperti

    kerucut. Perputaran cangkangnya searah jarum jam, ujung tubuh bagian aatas

    agak meruncing dengan lingkaran cangkang tinggi dan lebar, panjang cangkang

    dapat mencapai 43 mm tetapi secara umum pada kisaran 15 – 34 mm. struktur

    cangkang organisme littorina scabra relatif tipis, tidak berlubang, kolumela datar

    dan berwarna putih, operculum tertutup rapat oleh cangkang sehingga membuat

    ini mampu bertahan terhadap kekeringan.

    Kingdom : Animalia

    Phyllum : Mollusca

    Class : Gastropoda

    Ordo : Mesogastropoda

    Family : Littorinidae

    Genus : Littorina

    Species : Littorina scabra

    Gambar 9. Littorina scabra

    http://en.wikipedia.org/wiki/Telescopium_%28gastropod%29http://en.wikipedia.org/wiki/Telescopium_%28gastropod%29

  • 32

    d. Chicoreus capucinus

    Chicoreus capucinus termasuk hewan moluska yang tergolong ke dalam

    famili muricidae. Kebanyakan anggota dari muricidae adaah predator dan dapat

    mengebor cangkang. Chicoreus capucinus merupakan moluska bentik yang

    bersifat predator, hidup di habitat berlumpur, lumpur berpasir dan paling banyak

    ditemukan di dasaran hutan mangrove seperti pada akar Rhizopora (Tan dan Oh,

    2002).

    Kingdom : Animalia

    Phyllum : Mollusca

    Class : Gastropoda

    Family : Muricidae

    Genus : Chicoreus

    Species : Chicoreus capucinus

    Gambar 10. Chicoreus capucinus

    e. Cassidula aurisfelis

    Jenis ini jarang ditemukan berada diatas lumpur atau pasir, biasanya

    menempel pada batang dan akar mangrove. Relatif mudah ditemukan terutama

    pada area mangrove bersubstrat lumpur-pasir.

    Kingdom : Animalia

    Phyllum : Mollusca

    Class : Gastropoda

  • 33

    Ordo : Pulmonata

    Family : Ellobiidae

    Genus : Cassidula

    Species : Cassidula aurisfelis

    Gambar 11. Cassidula aurisfelis

    f. Gafrarium pectinatum

    Menurut Ardovini dan Cossignani (2004), Tubuh spesimen ini bulat oval

    dengan cangkang tebal. Permukaan luar dihiasi garis rusuk pada bagian

    posteriornya. Memiliki tekstur yang sangat kasar. Hidup di bawah pasir pada

    pesisir pantai zona intertidal sampai kedalaman 20 meter. Genus ini termasuk

    famili Veneridae yang memiliki 400 spesies yang masih hidup. Genus ini adalah

    salah satu genus yang paling berwarna-warni dari beberapa kelompok kerang.

    Memiliki bentuk bervariasi, ada yang berbentuk bulat telur dan ada juga yang

    berbentuk seperti hati. Pada cangkang terdapat engsel dan gigi sebagai

    penopang cangkang.

    Kingdom : Animalia

    Phyllum : Mollusca

    Class : Bivalvia

    Family : Veneridae

    Genus : Gafrarium

    Species : Gafrarium pectinatum

  • 34

    Gambar 12. Gafrarium pectinatum

    Mangrove berperan sebagai habitat bagi organisme yang terdapat di

    dalamnya, salah satunya ialah Moluska. Kelimpahan dan keragaman Moluska,

    sangat bergantung pada daya toleransinya terhadap perubahan lingkungan.

    Kebanyakan moluska yang hidup di ekosistem mangrove adalah spesies

    gastropoda dan bivalvia (Hartoni dan Andi Agussalim, 2013). Pada lokasi

    penelitian ditemukan 5 spesies gastropoda dan 1 spesies bivalvia yang

    ditemukan pada 3 stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 3. Gambar dan

    klasifikasi moluska yang ditemukan dapat dilihat pada Lampiran 2.

    Tabel 3. Komposisi spesies Gastropoda dan Bivalvia pada lokasi penelitian

    Famili

    Moluska

    Stasiun

    1 2 3

    1 2 3 1 2 3 1 2 3

    Potamididae Cerithidea cingulata + + + + + + + + +

    Potamididae Telescopium telescopium + + + + + + + + +

    Littorinidae Littorina scabra + _ _ + _ + + + _

    Muricidae Chicoreus capucinus _ _ _ _ _ _ _ + +

    Ellobiidae Cassidula aurisfelis _ _ + _ _ _ _ _ +

    Veneridae Gafrarium pectinatum _ _ + _ + _ _ _ +

    Jumlah spesies per plot 3 2 4 3 3 3 3 4 5

    Jumlah Spesies per stasiun 4 3 5

  • 35

    Sumber : Hasil Penelitian

    Keterangan : (+) = Ditemukan Moluska

    (-) = Tidak ditemukan Moluska

    4.2.2 Kepadatan Moluska (Gastropoda dan Bivalvia)

    Rata-rata kepadatan jenis gastropoda dan bivalvia pada stasiun 1

    sebesar 152 ind/m2 , pada stasiun 2 sebesar 228 ind/m2 , dan pada stasiun 3

    sebesar 216 ind/m2. Jenis gastropoda yang paling melimpah dan mendominasi

    adalah Cerithidea cingulata. Menurut Silaen, et al. (2013), Cerithidea cingulata

    lebih mendominasi pada daerah mangrove terbuka. Distribusi gastropoda pada

    umumnya mengelompok. Keberadaan gastropoda pada hutan mangrove

    dipengaruhi oleh vegetasi hutan mangrove. Banyaknya Cerithidae cingulata di

    setiap stasiun merupakan salah satu bukti bahwa vegetasi mangrove

    mempengaruhi jumlah kelimpahan dan dominasi dari spesies tersebut.

    Jumlah kepadatan jenis gastropoda dan bivalvia yang didapat dari hasil

    penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.

    Tabel 4. Kepadatan jenis Gastropoda dan Bivalvia pada lokasi penelitian

    Moluska

    kelimpahan jenis rata-rata (ind/m²)

    stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3

    1 2 3 1 2 3 1 2 3

    Cerithidea cingulata 120 111 126 160 176 148 140 132 136

    Telescopium telescopium 27 26 23 56 45 43 61 46 41

    Littoria scabra 12 23 20 21 16

    Chicoreus capucinus

    9 12

    Cassidula aurisfelis 8 12

    Gafrarium pectinatum

    10

    14

    14

    Jumlah 159 137 159 239 235 211 222 211 215

    Rata-rata 152 228 216

    4.2.3 Kelimpahan Jenis Moluska (Gastropoda dan Bivalvia)

    Menurut Michael (1995), untuk mengetahui kelimpahan jenis, maka dapat

    digunakan rumus sebagai berikut :

  • 36

    Kriteria tingkat kelimpahan:

    0 = tidak ada

    1 – 10 = kurang

    11- 20 = cukup

    >20 = sangat banyak

    Tabel 5. Kelimpahan jenis Gastropoda dan Bivalvia pada lokasi penelitian

    Moluska Plot Jumlah individu

    Kelimpahan individu/m2 Kategori

    Cerithidae cingulate 9 1249 138.7777778 sangat banyak

    Telescopium telescopium 9 368 40.88888889 sangat banyak

    Littoria scraba 5 92 18.4 cukup

    Chicoreus capucinus 2 21 10.5 cukup

    Cassidula aurisfelis 2 20 10 kurang

    Gafrarium pectinatum 3 38 12.66666667 cukup

    Kelimpahan adalah jumlah individu yang menempati wilayah tertentu atau

    jumlah individu suatu spesies per kuadrat atau persatuan volume (Michael,

    1995). Selain itu, kelimpahan relatif adalah proporsi yang direpresentasikan oleh

    masing-masing spesies dari seluruh individu dalam suatu komunitas.

    Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kelimpahan adalah

    jumlah atau banyaknya individu pada suatu area tertentu dalam suatu komunitas.

    Gambar 13. Kelimpahan relatif Gastropoda dan Bivalvia pada lokasi

    penelitian

    4.6259259261.362962963

    0.613333333

    0.35

    0.333333333 0.422222222

    Cerithidae cingulate Telescopium telescopium

    Littoria scraba Chicoreus capucinus

    Cassidula aurisfelis Gafrarium pectinatum

  • 37

    4.2.4 Indeks Keanekaragaman Moluska (Gastropoda dan Bivalvia)

    Indeks keanekaragaman (H’) pada semua stasiun termasuk dalam

    kategori rendah yaitu didapatkan pada stasiun 1 nilai keanekaragaman 0.29,

    pada stasiun 2 didapatkan 0.36 dan pada stasiun 3 didapatkan 0.47.

    Keanekaragaman jenis moluska dari ketiga stasiun relatif rendah, karena

    menurut Magurran (1988), jika nilai H’ < 1,5 maka keanekaragaman jenis rendah;

    nilai 1,5 < H’ < 3,5 maka keanekaragaman jenis sedang; serta nilai H’ > 3,5 maka

    keanekaragaman jenis tinggi. Nilai indeks keanekaragaman dapat dilihat pada

    Lampiran 3.

    Indeks keanekaragaman moluska rendah di semua stasiun, hal ini

    dikarenakan banyaknya aktifitas di sekitar stasiun tersebut. Hal ini sesuai dengan

    pendapat Heedy dan Kurniati (1996) dalam Lihawa et al., (2013) bahwa

    keanekaragaman rendah menandakan ekosistem mengalami tekanan atau

    kondisi menurun.

    Menurut Arbi (2011), tinggi rendahnya nilai indeks keanekaragaman jenis

    dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor tersebut antara lain jumlah jenis

    atau individu yang didapat, adanya beberapa jenis yang ditemukan dalam jumlah

    yang lebih melimpah daripada jenis lainnya, kondisi homogenitas substrat.

    4.2.5 Indeks Dominasi Moluska (Gastropoda dan Bivalvia)

    Indeks dominasi pada setiap stasiun didapatkan hasil ada dominasi yaitu

    pada stasiun 1 didapatkan hasil 0.6447 pada stasiun 2 didapatkan hasil 0.5477

    dan pada stasiun 3 didapatkan hasil 0.4543. nilai indeks dominasi tertinggi ada

    pada stasiun 1 yaitu 0.6447 karena nilai keanekaragaman pada stasiun 1 adalah

    nilai keanekaragaman paling rendah yaitu 0.29. Ketika nilai keanekaragaman

    organisme rendah maka nilai dominasi akan tinggi. Hal ini sesuai dengan

  • 38

    pernyataan Odum (1993) dalam Nugroho et al.,(2012), bahwa indeks dominasi

    berkisar 0 < C < 0,5 menandakan tidak ada jenis yang mendominasi sedangkan

    indeks dominasi berkisar 0,5 < C < 1 menandakan terdapat jenis yang

    mendominasi. Menurut Nontji (2005), spesies yang mampu beradaptasi akan

    mendominasi habitat tersebut. Nilai indeks dominasi dapat dilihat pada Lampiran

    3.

    Pada nilai indeks dominasi yang didapatkan pada ketiga stasiun

    menunjukkan bahwa pada stasiun 1 terdapat jenis yang mendominasi namun

    pada stasiun 2 dan 3 tidak terdapat jenis yang mendominasi di substrat tersebut.

    Kriteria dominan menurut (Magurran, 1987), yaitu :

    0

  • 39

    laut terbuka dan substrat berpasir sedangkan Telescopium telescopium lebih

    menyukai substrat berlumpur (Kartawinata et. al., 1979).

    Menurut Suin (2002), faktor fisika dan kimia tanah yang hampir merata

    pada suatu habitat serta tersedianya makanan bagi organisme yang hidup di

    dalamnya sangat menentukan organisme tersebut hidup berkelompok, acak atau

    maupun normal. Keberadaan moluska pada setiap stasiun dapat mencerminkan

    bahwa lingkungan tersebut cocok sebagai habitatnya, sehingga dapat dijadikan

    indikator suatu perairan. Moluska yang ditemukan pada setiap stasiun

    pengamatan di kawasan wisata mangrove Payangan termasuk hewan yang

    menetap pada substrat.

    Menurut Kushartono (2009), tekstur sedimen atau substrat dasar

    merupakan tempat untuk menempel dan merayap atau berjalan, sedangkan

    bahan organik menjadi makanannya. Hasil tekstur tanah yang didapat dari

    penilitian ini adalah liat berdebu dan lempung liat berdebu. Hasil tekstur tanah

    dapat dilihat pada Tabel 6.

    Tabel 6. Tipe tekstur substrat pada lokasi penelitian

    Stasiun

    Hasil Pengukuran %

    Tekstur Pasir Debu Liat

    1 10 45 45 liat berdebu

    2 16 49 35 lempung liat berdebu

    3 16 49 35 Lempung liat berdebu

    Hasil Analisa tanah di Laboratorium Kimia Tanah Fakultas Pertanian

    Universitas Brawijaya Malang, hasil tekstur tanah yang ada di kawasan wisata

    mangrove Payangan terdapat pada Lampiran 1. Menurut Pratami (2005)

    menyatakan bahwa perbedaan porositas substrat dari fraksi pasir akan

    mempengaruhi kandungan oksigen dan nutrien pada lingkungan perairan.

    Porositas atau fraksi substrat yang padat atau halus seperti liat akan

  • 40

    mengakibatkan oksigen sulit tembus karena tidak terdapat pori udara sebagai

    tempat pertukaran gas, namun jumlah nutrien (bahan organik) yang tersedia

    lebih banyak. Sedangkan pada fraksi substrat yang lebih kasar seperti pasir

    memiliki pori udara yang lebih besar sehingga kandungan oksigen relatif lebih

    besar.

    Pada tabel 5 didapatkan hasil pada stasiun 1 didapatkan hasil tekstur

    tanah yaitu liat berdebu pada stasiun 2 didapatkan tekstur tanah lempung liat

    berdebu, dan pada stasiun 3 didapatkan tekstur lempung liat berdebu.

    Perbedaan jenis tekstur tanah di setiap titik pengambilan sampel karena kondisi

    lokasi yang berbeda. Tekstur tanah liat berdebu didapat pada stasiun 1

    merupakan daerah dekat dengan pemukiman warga. Tekstur lempung liat

    berdebu yang didapat di stasiun 2 dan stasiun 3 yang dimana di stasiun 2 berada

    pada daerah mangrove dalam kategori sedang dan dekat dengan garis pantai

    dan di stasiun 3 berada pada daerah mangrove kategori sedang dan dekat

    dengan garis pantai dan laut lepas.

    Pada stasiun 2 dan 3 didapatkan tekstur tanah lempung liat berdebu,

    Menurut Asyikin et al. (2013), tanah berpasir terdiri atas partikel besar yang

    kurang dapat menahan air. Air dalam tanah akan berinfiltrasi, bergerak ke bawah

    melalui rongga tanah. Namun, karena tanah ini juga memiliki karakteristik

    lempung maka tanah agak melekat, agak lembab dan tidak terlalu padat. Untuk

    jenis tanah liat berdebu memiliki sifat lebih licin karena adanya partikel-partikel

    debu. Tanah yang mengandung fraksi debu dapat memegang air, sehingga

    tanah pada stasiun ini cenderung basah.

    b. Bahan organik tanah

    Menurut Sutanto (2005), Bahan organik tanah merupakan hasil

    dekomposisi atau pelapukan bahan-bahan mineral yang terkandung di dalam

  • 41

    tanah. Bahan organik tanah juga dapat berasal dari timbunan mikroorganisme,

    atau sisa-sisa tanaman dan hewan yang telah mati dan terlapuk selama jangka

    waktu tertentu. Bahan organik dapat digunakan untuk menentukan sumber hara

    bagi tanaman, selain itu dapat digunakan untuk menentukan klasifikasi tanah.

    Dari analisia tanah di Laboratorium Nutrisi Universitas Muhammadiyah Malang,

    hasil bahan organik tanah yang ada di kawasan wisata mangrove Payangan

    dapat dilihat pada Gambar 14.

    Gambar 14. Bahan Organik Tanah di lokasi pengambilan sampel

    Pengukuran bahan organik tertinggi terletak pada stasiun 1 yang

    merupakan habitat moluska yang berlokasi dekat dengan pemukiman warga dan

    berada pada daerah pasang surut air laut. Menurut Nybakken (1982) dalam

    Riniatsih dan Kushartono (2009), umumnya gastropoda dan bivalvia hidup di

    substrat untuk menentukan pola hidup. Bahan organik dan tekstur sedimen

    sangat menentukan keberadaan dari gastropoda dan bivalvia. Hasil bahan

    organik tanah dari masing-masing stasiun adalah stasiun pertama didapat

    48,33%, stasiun kedua didapat 47,37% dan stasiun 3 didapatkan 37,33%.

    Tekstur sedimen merupakan tempat untuk menempel dan merayap atau

    berjalan, sedangkan bahan organik merupakan sumber makanannya. Menurut

    Gunkel (1976) dalam Riniatsih dan Kushartono (2009), yang menyatakan bahwa

    48.33 47.37

    37.33

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

    Bah

    an O

    rgan

    ik (

    %)

  • 42

    bahan organik merupakan salah satu dari beberapa faktor yang mengontrol

    kelimpahan dan distribusi mikroorganisme di laut maupun di perairan pantai.

    c. Derajat keasaman (pH) tanah

    Reaksi tanah menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang

    dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion

    hidrogen (H+) di dalam tanah dan ditemukan pula ion OH- yang jumlahnya

    berbanding terbalik dengan ion H+. Pada tanah yang masam ion H+ lebih tinggi

    dibanding OH-, sedang pada tanah alkalin kandungan OH- lebih banyak dari

    pada H+. Nilai pH berkisar antara 0 sampai 14, dengan pH 7 disebut netral,

    kurang dari 7 disebut masam dan pH lebih dari 7 disebut alkalis (Mustafa dkk,

    2012). Hasil analisis pH tanah di kawasan wisata mangrove Payangan dapat

    dilihat pada Gambar 15.

    Gambar 15. pH tanah di lokasi pengambilan sampel

    Nilai pH tanah di kawasan wisata mangrove Payangan tergolong dalam

    pH yang netral. Pada pengambilan sampel pertama di stasiun 1 didapatkan hasil

    pH tanah 7 karena limbah MCK yang mengakibatkan naiknya nilai pH dalam

    suatu perairan, sedangkan nilai pH di stasiun 2 dan 3 didapatkan nilai yang sama

    yaitu 6,7 karena lokasinya cukup dekat. Nilai pH tanah yang ada di kawasan

    wisata mangrove Payangan menunjukan kondisi tanah yang cukup baik untuk

    7

    6.7 6.7

    pH

    Tan

    ah

    Axis Title

  • 43

    tersedianya bahan makanan bagi moluska. Perubahan pH sedikit saja akan

    mengakibatkan nilai alami system buffer terganggu, yang selanjutnya akan

    mempengaruhi kesembangan faktor kimia perairan (Odum, 1971). Derajat

    keasaman atau pH yang optimum bagi moluska berkisar 6,5-7,5 (Russel-Hunter,

    1968).

    4.3.2 Parameter fisika dan kimia perairan

    a. Suhu

    Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan fungsi

    biologis hewan air yang hidup di daerah mangrove karena untuk proses aktivasi

    metabolisme organisme tersebut. Menurut Effendi (2003), suhu juga

    berpengaruh dalam efisiensi metabolism organisme dalam suatu ekosistem

    perairan. Nilai Suhu yang didapatkan pada stasiun 1, 2 dan 3 yaitu pada stasiun

    1 kondisi mangrove yang rapat menyebabkan intensitas cahaya matahari yang

    diterima oleh perairan sangat sedikit sehingga nilai rata-rata suhu yang didapat

    pada stasiun tersebut relative rendah dibandingkan 2 stasiun lainnya selain itu

    perbedaan suhu juga disebabkan oleh naungan mangrove yang sangat lebat

    yaitu didapatkan suhu 28 oC, 28 oC, dan 28,2 oC. Pada stasiun 2 sendiri hasil

    pengukuran suhu tidak berbeda jauh dengan stasiun 3 dikarenakan cahaya

    matahari yang masuk ke dalam perairan tidak tertutup oleh mangrove yang ada

    pada stasiun 2 dan 3, suhu perairan didapatkan berturut-turut 28,9 oC, 29,1 oC,

    29,2 oC dan pada stasiun 3 didapatkan nilai suhu sebesar 29,6 oC, 30 oC, dan

    30,2 oC meski dilakukan pengamatan di waktu yang sama tapi pada stasiun 3

    pengambilan sampel dilakukan paling akhir sehingga suhu air lebih tinggi

    dibandingkan 2 stasiun sebelumnya. Pengamatan pertama dilakukan pada pukul

    08.00 sedangkan pengamatan selanjutnya pada pukul 11.00 dan 13.00 yang

    hasilnya dapat dilihat pada Gambar 16.

  • 44

    Gambar 16. Suhu di lokasi pengambilan sampel

    Suhu perairan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi distribusi

    suatu organisme. Suhu sangat mempengaruhi variasi jenis dan keadaan seluruh

    kehidupan komunitas pantai dan muara sungai (Rangan, 1996). Demikian juga

    dengan pendapat Hutabarat dan Evans (1985) kisaran suhu optimal bagi

    kehidupan organisme adalah 25-32oC yang menyatakan bahwa suhu perairan

    merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di

    dalamnya, karena suhu mempengaruhi aktifitas metabolisme dan

    perkembangbiakan. Secara ekologis perubahan suhu mempengaruhi perbedaan

    komposisi dan kepadatan gastropoda dan bivalvia.

    b. Salinitas

    Salinitas dan suhu merupakan dua komponen yang berperan penting

    dalam garam – garam mineral yang menyusun densitas air laut pada suatu

    perairan. Hasil salinitas yang didapatkan dari penelitian pada stasiun 1 yaitu

    didapatkan 6 0/00, pada stasiun 2 didapatkan hasil 5,6 0/00, dan pada stasiun 3

    28

    28.9

    29.6

    28

    29.1

    30

    28.2

    29.2

    30.2

    26.5

    27

    27.5

    28

    28.5

    29

    29.5

    30

    30.5

    stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3

    Suh

    u (

    oC

    )

    Pengamatan 1 Pengamatan 2 Pengamatan 3

  • 45

    didapatkan nilai salinitas sebesar 6 0/00. Grafik nilai salinitas dapat dilihat pada

    Gambar 17.

    Gambar 17. Salinitas di lokasi pengambilan sampel

    Tinggi rendahnya salinitas menentukan jenis moluska yang dapat tumbuh

    dengan kadar salinitas tertentu. Menurut Hutabarat & Evans (1985) salinitas

    merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan gastropoda

    karena organisme laut hanya dapat mentoleransi terhadap perubahan salinitas

    yang rendah.

    Perubahan salinitas dapat mempengaruhi organisme zona intertidal

    melalui dua cara. Pertama, karena intertidal terbuka pada saat air surut,

    kemudian digenangi air tawar atau aliran air hujan, akibatnya salinitas menjadi

    turun. Pada keadaan tertentu penurunan salinitas akan melewati batas toleransi

    sehingga organisme dapat mati. Kedua, genangan pasang surut, yaitu daerah

    yang menampung air laut ketika surut. Daerah ini dapat digenangi air tawar yang

    mengalir masuk ketika hujan deras sehingga menurunkan salinitas atau dapat

    menunjukkan kenaikan salinitas jika terjadi penguapan sangat tinggi pada siang

    hari (Nybakken, 1992).

    4

    5

    6

    stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3

    Salin

    itas

    (0 /

    00)

    Pengamatan 1 Pengamatan 2 Pengamatan 3

  • 46

    c. Oksigen Terlarut

    Oksigen terlarut (DO) sangat penting untuk keberadaan moluska di hutan

    mangrove, khususnya dalam proses respirasi. DO juga merupakan salah satu

    faktor pengatur komposisi spesies, penyebaran dan pertumbuhan moluska.

    Oksigen terlarut pada stasiun 1 tidak bisa diukur dikarenakan kondisi perairan

    yang surut sehingga tidak memungkinkan untuk pengambilan sampel oksigen

    terlarut dalam perairan sehingga tidak didapatkan nilai DO pada stasiun 1, pada

    stasiun 2 didapat nilai 5 mg/l dan pada stasiun 3 didapat nilai 4 mg/l nilai yang

    tidak jauh berbeda dikarenakan vegetasi mangrove yang tidak dapat

    menghalangi cahaya matahari masuk ke dalam perairan menyebabkan nilai DO

    pada stasiun 2 dan 3 terhitung sedikit. Terjadi penurunan oksigen terlarut

    dipengaruhi oleh adanya kenaikan suhu. Grafik nilai oksigen terlarut dapat dilihat

    pada Gambar 18.

    Gambar 18. Oksigen Terlarut di lokasi pengambilan sampel

    Oksigen terlarut yang tidak didapatkan pada stasiun 1 dikarenakan

    kondisi perairan surut dan lokasi tidak terdapat genangan air sehingga tidak

    didapatkan DO di lokasi tersebut, pada stasiun 2 masuk dalam kategori baik yaitu

    dengan nilai 5 mg/l, dan stasiun 3 hasil oksigen terlarut yang didapat kurang baik

    dengan nilai 4,5mg/l, sebab menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup

    0

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3Oks

    ige

    n T

    erl

    aru

    t (m

    g/L)

    Pengamatan 1 Pengamatan 2 Pengamatan 3

    Tidak bisa diukur

  • 47

    Nomor 51 Tahun 2004 tentang biota laut yaitu molusca, DO yang baik yaitu >5

    mg/L.

    Kenaikan suhu perairan juga menurunkan kelarutan oksigen dalam air,

    memberikan pengaruh langsung terhadap aktivitas ikan disamping akan

    menaikkan daya racun suatu polutan terhadap organisme perairan (Brown and

    Gratzek, 1980).

    d. pH

    Derajat keasaman merupakan faktor ekologis yang penting untuk

    mengontrol aktivitas dan distribusi tumbuhan dan hewan yang hidup dalam suatu

    perairan. Derajat keasaman juga dapat mempengaruhi respirasi, sistem enzim,

    kandungan nutrisi dan produktivitas Kisaran pH air laut antara 7-9 sangat

    menguntungkan hewan-hewan yang hidup di dalamnya (Rimmin, 2003).

    Nilai pH yang didapat pada lokasi penelitian yaitu pada stasiun 1 didapat

    nilai pH sebesar 8, pada stasiun 2 didapatkan nilai pH sebesar 7,9 - 8 dan pada

    stasiun 3 didapatkan pH sebesar 7,8 hingga 8. Kisaran pH seperti ini sangat

    mendukung pertumbuhan biota laut seperti bivalvia. Hal ini sesuai dengan

    pendapat (Effendi, 2003), bahwa pH yang ideal bagi kehidupan organisme

    akuatik pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. Grafik nilai pH dapat dilihat

    pada Gambar 19.

    Gambar 19. pH di lokasi pengambilan sampel

    8

    7.9

    7.8

    8 8

    7.8

    8 8

    stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3

    pH

    Pengamatan 1 Pengamatan 2 Pengamatan 3

  • BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

    5.1 Kesimpulan

    Kesimpulan dari hasil penelitian tentang Struktur Komunitas Moluska di

    Kawasan Wisata Mangrove Payangan Kecamatan Ambulu Kabupate