This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Sejarah Artikel: Diterima Juni 2020 Disetujui Juni 2020 Dipublikasikan Juni 2020
Perempuan dalam sebuah rumahtangga turut berperan dalam menjaga kestabilan dan kebertahanan ekonomi keluarga, demikian yang dialami oleh sebagian besar perempuan di pedesaan. Ketimpangan gender yang terjadi di masyarakat khususnya di pedesaan merupakan salah satu masalah yang menarik untuk dikaji dengan berbagai pendekatan, salah satunya ilmu antropologi. Kajian berikut menganalisa perempuan petani etnis Tengger di wilayah Desa Argosari Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang Jawa Timur. Tujuan penelitian untuk mengetahui dan mengidentifikasi tentang strafikasi sosial perempuan di masyarakat terkait dengan status dan peran perempuan di ranah domestik dan publik. Penelitian dilakukan mengggunakan metode pendekatan etnografi sebagai salah satu varian pendekatan kualitatif. Masyarakat Tengger merupakan sub etnis Jawa, yang masih teguh memegang tradisi khususnya mempertahankan sebagian budaya jaman Majapahit, terlebih masyarakat Tengger Argosari. Mereka meyakini keturunan Roro Anteng dan Joko Seger. Dibalik legenda Roro Anteng dan Joko Seger yang merupakan folklore tentang asal usul etnis Tengger, memiliki makna sebagai visi tentang kesetaraan gender. Tradisi Tengger menempatkan para perempuan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan ritual. Tradisi Tengger menganggap laki-laki dan perempuan mempunyai posisi yang sederajat, sama-sama berperan dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat. Kata Kunci: struktur kelas, otonomi perempuan, kekuasaan sosial
Abstract
Family and household studies are one of the initial anthropological studies related to studies beginning at the household is a study of women, specifically the role and status of women in the family / household as individuals, wives and mothers. Women in a household play a role in maintaining the stability and economic survival of the family, as experienced by most women in rural areas. Gender inequality that occurs in the community, especially in rural areas is one interesting problem to be studied with various approaches, one of which is the science of anthropology. The following study analyzes the Tengger ethnic women farmers in Argosari Village, Senduro District, Lumajang Regency, East Java. The research objective is to find out and identify about women's autonomy and women's social power in the family and community. Especially the social strafication of women in society is related to the status and role
Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83
70
of women in the domestic and public spheres. The study was conducted using the ethnographic approach as a variant of the qualitative approach. Research activities include field assessments to understand the condition of the research location, followed by field data collection carried out using interviews, observation, literature, and document checks. Data collected from various sources are then processed, analyzed, then presented in the form of descriptive descriptions. Keywords: class structure, women’s autonomy, social power
Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83
71
PENDAHULUAN
Membahas tentang struktur kelas dan otonomi perempuan Tengger Argosari adalah
membahas tentang bagaimana posisi perempuan di ranah domestic dan public, juga
membahas tentang status dan peran perempuan. Membahas tentang status dan peran
perempuan adalah membahas tentang bagaimana pembagian kerja di dalam keluarga dan
masyarakat antara laki-laki dengan perempuan terkait dengan hak dan kewajiban masing-
masing Kajian mengenai keluarga dan/atau rumahtangga merupakan kajian ilmu Antropologi
yang tergolong klasik/awal namun tetap diperlukan dan sesuai seiring perkembangan jaman.
Hampir semua orang hidup dalam keluarga dan rumah tangga, keanggotaan yang biasanya
dilandasi oleh hubungan kekerabatan perkawinan dan keturunan, yang secara simultan
merupakan kombinasi satuan tempat tinggal, suatu satuan kerja ekonomi (sekurang-
kurangya distribusi dan konsumsi) dengan satuan yang di dalamnya terdapat (sebagian
besar) reproduksi dan standar analisis bagi tujuan ekonomi dan ekologi. Nutrisi diukur disini;
pembagian kerja berdasar usia, jenis kelamin, dan status dapat diamati secara langsung,
dan anggaran pun dapat dihitung (Saifuddin, 1999). Berawal dari kajian keluarga dan rumah
tangga dapat dilaksanakan inferensi dan abstraksi pada tingkat masyarakat yang lebih luas,
tradisi dalam Antropologi menjelaskan masalah-masalah sosial secara integral.
Terkait dengan kajian berawal dari rumahtangga adalah kajian tentang perempuan,
khususnya peran dan status perempuan di dalam keluarga/rumahtangga sebagai individu,
istri dan ibu. Menarik kajian perempuan yang berada di wilayah perdesaan atau perempuan
tani. Sekitar setengah dari kaum wanita di seluruh dunia hidup dan bertani di negara-negara
sedang berkembang dan menghasilkan 40 sampai 80 persen dari seluruh produksi
pertanian (Charlton, 1984:61 dalam Moore, 1998). Kaum wanita di seluruh dunia terlibat
dalam kerja produktif di dalam maupun di luar rumah. Ciri yang sesungguhnya dari kerja ini
berbeda-beda dari suatu budaya ke budaya lainnya, tetapi pada umumnya bisa digolongkan
ke dalam empat kelompok: kerja pertanian, perdagangan, kerja rumah tangga, dan kerja
upahan. Kerja bukan hanya sekedar persoalan apa yang dilakukan orang karena setiap
definisi juga harus mengikutsertakan kondisi-kondisi tempat kerja itu dilakukan, dan nilai
atau harga sosialnya dalam konteks budaya tertentu (Moore, 1998).
Keberadaan perempuan sebagai ibu rumahtangga sangat diperlukan untuk
menjaga kestabilan dan kebertahanan ekonomi keluarga, sehingga perempuan turut
bertanggungjawab terhadap ekonomi keluarga. Pembagian kerja antara laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat pedesaan Jawa cukup jelas, tetapi hubungan antara laki-
laki dan perempuan dalam proses produksi tidak ditentukan oleh perbedaan jenis
kelamin saja, melainkan lebih penting oleh kesempatan memperoleh sumber-sumber
strategis yang melintasi perbedaan jenis kelamin. Perempuan memperoleh otonomi dan
Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83
72
kebebasan ekonomis, tidak berdasarkan dengan siapa mereka bekerja, melainkan
karena sifat dan keluwesan dari sumber-sumber penghasilan yang ada pada mereka.
Peran seorang ibu rumah tangga dapat dilihat dari curahan waktu yang diberikan
dalam kegiatan produktif atau kegiatan mencari nafkah serta kegiatan reproduktif atau
kegiatan rumah tangga. Perempuan dituntut untuk bisa menyelesaikan urusan domestik
dan publik sehingga curahan waktu kerja mereka lebih tinggi dari laki-laki, hal ini mereka
jalani bukan sebagai ketimpangan gender tetapi sebagai tanggung jawab mereka
sebagai ibu rumah tangga seperti yang dialami perempuan Tengger. Kerja partisipatif
perempuan di sektor publik adalah salah satu wujud dari karakteristik wong Tengger
yaitu kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam bekerja di tegal atau berladang.
Rogers (1978) mengemukakan bahwa kedudukan perempuan hanya bisa dipahami
dalam suatu konteks sosio-budaya dari suatu masyarakat dan lewat pola pembagian kuasa
berdasarkan jenis kelamin yakni pola penguasaan sumber daya seperti; ekonomi
pendidikan, pengalaman, ketrampilan, kepemilikan tanah dll., pola yang berlaku dalam
masyarakat dalam kategori perilaku dan segi ideologi, artinya kedudukan perempuan tidak
ditentukan hanya pada otonomi pribadi saja, melainkan juga oleh faktor-faktor yang ada di
luar dirinya atau budaya.
Menarik untuk dikaji adalah struktur kelas dan otonomi perempuan Tengger Argosari
di masyarakat, khususnya tentang bagaimana status dan peran serta kekuasaan sosial
perempuan Tengger Argosari. Partisipasi perempuan Tengger Argosari di ladang tidak
hanya disebabkan oleh faktor ekonomi namun ada hal yang sangat mendasar terkait
dengan apa, mengapa dan bagaimana peran aktif perempuan dalam kehidupan di
keluarga dan di masyarakat. Masyarakat Tengger yang masih teguh memegang dan
menjalankan tradisi berkaitan erat dengan kesejajaran posisi dan peran antara laki-laki
dengan perempuan. Perempuan dan laki-laki mempunyai hak dan kewajiban yang dapat
dikatakan sama. Perempuan bahkan menempati beberapa tingkatan sosio-ekonomi dan
budaya di masyarakat lebih tinggi dari laki-laki.
Kajian etnogafis dengan menekankan pada aspek pemahaman dengan metode penelitian
kualitatif dan didukung pula dengan data kuantitatif. Lokasi penelitian di dusun Krajan desa
Argosari kecamatan Senduro kabupaten Lumajang. Lokasi dipilih karena wilayah ini
merupakan daerah etnis Tengger Lumajang yang jumlah mereka yang relatif banyak dan
masih bertahan dengan tradisi Tengger, serta secara umum jarang dikenal.
Penentuan informan dengan satuan keluarga/rumahtangga untuk menggali data secara
menyeluruh (kualitatif) dengan mengkaji dari berbagai sudut pandang (perspektif) laki-laki
(suami/kepala keluarga) dan perempuan (istri/ibu) serta anggota keluarga. Secara khusus,
satuan keluarga sebagai informan berjumlah 10 KK ditentukan dengan purposive dengan
Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83
73
menekankan pada usia perkawinan, peran aktif perempuan di keluarga dan masyarakat
atau dalam ranah domestik dan publik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kesetaraan Gender dalam Tradisi Tengger Argosari
Masyarakat Tengger secara administratif berada di empat wilayah kabupaten yaitu
Probolinggo, Pasuruan, Malang dan Lumajang. Mereka memiliki sebutan khusus
berdasarkan wilayah sebagai bentuk pengidentifikasian diri sebagai orang Tengger, yaitu
Brang Lor (utara) untuk masyarakat yang tinggal di Probolinggo, Brang Kulon (barat) untuk
wilayah Pasuruan, Brang Wetan (timur) untuk wilayah Lumajang, dan Brang Kidul (selatan)
untuk wilayah Malang.
Tengger Brang Wetan atau Tengger Lumajang sebagian besar bermukim di desa
atau dusun yang secara administratif berada di wilayah kecamatan Senduro. Keberadaan
Tengger Brang Wetan yang relatif masih bertahan dengan tradisi ke-Tengger-an serta
dengan jumlah penduduk yang relatif banyak berada di desa Argosari. Desa Argosari secara
administrasi terbagi menjadi 4 dusun, yaitu dusun Krajan Argosari, dusun Bakalan, dusun
Gedok dan dusun Pusung Duwur. Luas desa Argosari 274.456 Ha dengan ketinggian dari
permukaan laut 2200 m dengan jumlah penduduk secara keseluruhan 3.425 jiwa.. Topografi
desa Argosari merupakan dataran tinggi dengan suhu rata-rata 10 derajat celcius dan jenis
tanah Andosol. Orbitasi jarak ke ibu kota kecamatan kurang lebih 20 km, jarak ke ibu kota
kabupaten kurang lebih 37 km, jarak ke ibu kota propinsi kurang lebih 167 km dan jarak ke
ibu kota negara kurang lebih 1100 km.
Masyarakat Tengger merupakan sub etnis Jawa, yang masih mempertahankan
sebagian budaya jaman Majapahit. Mereka tergolong sebagai masyarakat yang masih
memegang teguh tradisi, terlebih masyarakat Tengger Argosari. Masyarakat Tengger
Argosari selain teguh dalam memegang tradisi, mereka juga masih mencirikan masyarakat
petani berorientasi subsisten yang egaliter. Setiap warga masyarakat berhak atas nafkah
hidup dari sumber-sumber kekayaan yang berada di dalam desa dengan melepaskan status
dan otonomi. Struktur kelas di masyarakat yang dibentuk oleh status sosial, yang terjadi di
masyarakat Tengger Argosari terdiri dari tokoh masyarakat dan warga masyarakat, bidang
ekonomi tidak begitu berpengaruh dalam pembentukan kelas di masyarakat.
Tradisi Tengger menempatkan posisi laki-laki dengan perempuan sejajar, karena sejatinya
laki-laki dan perempuan adalah manusia atau wong yang sederajat sama-sama berperan
baik dalam kehidupan keluarga ataupun di masyarakat. Hal ini tercermin dalam filosofi atau
pandangan hidup orang Tengger yang mengatur hubungan mereka khususnya hubungan
(interaksi) antar manusia.
Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83
74
Laki-laki dan perempuan harus menjalani setya laksana, yaitu mereka diharuskan untuk
bertanggungjawab dalam melaksanakan kewajiban yang telah dibebankan oleh adat
(Sutarto, 2003a:40). Ajaran setya laksana merupakan ajaran tentang sikap hidup dengan
sesanti panca setia yaitu: a. setya budaya artinya: taat, tekun, mandiri; b. setya wacana
artinya: setia pada ucapan; c. setya semaya artinya: setia pada janji; d. setya laksana