Top Banner
http://dx.doi.org/10.21776/ub.sbn.2020.004.01.06 © 2020 Jurnal Studi Budaya Nusantara - SBN All rights reserved STRUKTUR KELAS DAN OTONOMI PEREMPUAN TENGGER DESA ARGOSARI KECAMATAN SENDURO KABUPATEN LUMAJANG Aliffiati a , I Ketut Kaler b Prodi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Denpasar Email: a [email protected] , b [email protected] Info Artikel Abstrak Sejarah Artikel: Diterima Juni 2020 Disetujui Juni 2020 Dipublikasikan Juni 2020 Perempuan dalam sebuah rumahtangga turut berperan dalam menjaga kestabilan dan kebertahanan ekonomi keluarga, demikian yang dialami oleh sebagian besar perempuan di pedesaan. Ketimpangan gender yang terjadi di masyarakat khususnya di pedesaan merupakan salah satu masalah yang menarik untuk dikaji dengan berbagai pendekatan, salah satunya ilmu antropologi. Kajian berikut menganalisa perempuan petani etnis Tengger di wilayah Desa Argosari Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang Jawa Timur. Tujuan penelitian untuk mengetahui dan mengidentifikasi tentang strafikasi sosial perempuan di masyarakat terkait dengan status dan peran perempuan di ranah domestik dan publik. Penelitian dilakukan mengggunakan metode pendekatan etnografi sebagai salah satu varian pendekatan kualitatif. Masyarakat Tengger merupakan sub etnis Jawa, yang masih teguh memegang tradisi khususnya mempertahankan sebagian budaya jaman Majapahit, terlebih masyarakat Tengger Argosari. Mereka meyakini keturunan Roro Anteng dan Joko Seger. Dibalik legenda Roro Anteng dan Joko Seger yang merupakan folklore tentang asal usul etnis Tengger, memiliki makna sebagai visi tentang kesetaraan gender. Tradisi Tengger menempatkan para perempuan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan ritual. Tradisi Tengger menganggap laki-laki dan perempuan mempunyai posisi yang sederajat, sama-sama berperan dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat. Kata Kunci: struktur kelas, otonomi perempuan, kekuasaan sosial Abstract Family and household studies are one of the initial anthropological studies related to studies beginning at the household is a study of women, specifically the role and status of women in the family / household as individuals, wives and mothers. Women in a household play a role in maintaining the stability and economic survival of the family, as experienced by most women in rural areas. Gender inequality that occurs in the community, especially in rural areas is one interesting problem to be studied with various approaches, one of which is the science of anthropology. The following study analyzes the Tengger ethnic women farmers in Argosari Village, Senduro District, Lumajang Regency, East Java. The research objective is to find out and identify about women's autonomy and women's social power in the family and community. Especially the social strafication of women in society is related to the status and role
15

STRUKTUR KELAS DAN OTONOMI PEREMPUAN TENGGER …

Nov 23, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: STRUKTUR KELAS DAN OTONOMI PEREMPUAN TENGGER …

http://dx.doi.org/10.21776/ub.sbn.2020.004.01.06

© 2020 Jurnal Studi Budaya Nusantara - SBN All rights reserved

STRUKTUR KELAS DAN OTONOMI PEREMPUAN TENGGER DESA ARGOSARI KECAMATAN SENDURO KABUPATEN LUMAJANG

Aliffiati a, I Ketut Kaler

b

Prodi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Denpasar

Email: a [email protected],

b [email protected]

Info Artikel Abstrak

Sejarah Artikel: Diterima Juni 2020 Disetujui Juni 2020 Dipublikasikan Juni 2020

Perempuan dalam sebuah rumahtangga turut berperan dalam menjaga kestabilan dan kebertahanan ekonomi keluarga, demikian yang dialami oleh sebagian besar perempuan di pedesaan. Ketimpangan gender yang terjadi di masyarakat khususnya di pedesaan merupakan salah satu masalah yang menarik untuk dikaji dengan berbagai pendekatan, salah satunya ilmu antropologi. Kajian berikut menganalisa perempuan petani etnis Tengger di wilayah Desa Argosari Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang Jawa Timur. Tujuan penelitian untuk mengetahui dan mengidentifikasi tentang strafikasi sosial perempuan di masyarakat terkait dengan status dan peran perempuan di ranah domestik dan publik. Penelitian dilakukan mengggunakan metode pendekatan etnografi sebagai salah satu varian pendekatan kualitatif. Masyarakat Tengger merupakan sub etnis Jawa, yang masih teguh memegang tradisi khususnya mempertahankan sebagian budaya jaman Majapahit, terlebih masyarakat Tengger Argosari. Mereka meyakini keturunan Roro Anteng dan Joko Seger. Dibalik legenda Roro Anteng dan Joko Seger yang merupakan folklore tentang asal usul etnis Tengger, memiliki makna sebagai visi tentang kesetaraan gender. Tradisi Tengger menempatkan para perempuan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan ritual. Tradisi Tengger menganggap laki-laki dan perempuan mempunyai posisi yang sederajat, sama-sama berperan dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat. Kata Kunci: struktur kelas, otonomi perempuan, kekuasaan sosial

Abstract

Family and household studies are one of the initial anthropological studies related to studies beginning at the household is a study of women, specifically the role and status of women in the family / household as individuals, wives and mothers. Women in a household play a role in maintaining the stability and economic survival of the family, as experienced by most women in rural areas. Gender inequality that occurs in the community, especially in rural areas is one interesting problem to be studied with various approaches, one of which is the science of anthropology. The following study analyzes the Tengger ethnic women farmers in Argosari Village, Senduro District, Lumajang Regency, East Java. The research objective is to find out and identify about women's autonomy and women's social power in the family and community. Especially the social strafication of women in society is related to the status and role

Page 2: STRUKTUR KELAS DAN OTONOMI PEREMPUAN TENGGER …

Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83

70

of women in the domestic and public spheres. The study was conducted using the ethnographic approach as a variant of the qualitative approach. Research activities include field assessments to understand the condition of the research location, followed by field data collection carried out using interviews, observation, literature, and document checks. Data collected from various sources are then processed, analyzed, then presented in the form of descriptive descriptions. Keywords: class structure, women’s autonomy, social power

Page 3: STRUKTUR KELAS DAN OTONOMI PEREMPUAN TENGGER …

Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83

71

PENDAHULUAN

Membahas tentang struktur kelas dan otonomi perempuan Tengger Argosari adalah

membahas tentang bagaimana posisi perempuan di ranah domestic dan public, juga

membahas tentang status dan peran perempuan. Membahas tentang status dan peran

perempuan adalah membahas tentang bagaimana pembagian kerja di dalam keluarga dan

masyarakat antara laki-laki dengan perempuan terkait dengan hak dan kewajiban masing-

masing Kajian mengenai keluarga dan/atau rumahtangga merupakan kajian ilmu Antropologi

yang tergolong klasik/awal namun tetap diperlukan dan sesuai seiring perkembangan jaman.

Hampir semua orang hidup dalam keluarga dan rumah tangga, keanggotaan yang biasanya

dilandasi oleh hubungan kekerabatan perkawinan dan keturunan, yang secara simultan

merupakan kombinasi satuan tempat tinggal, suatu satuan kerja ekonomi (sekurang-

kurangya distribusi dan konsumsi) dengan satuan yang di dalamnya terdapat (sebagian

besar) reproduksi dan standar analisis bagi tujuan ekonomi dan ekologi. Nutrisi diukur disini;

pembagian kerja berdasar usia, jenis kelamin, dan status dapat diamati secara langsung,

dan anggaran pun dapat dihitung (Saifuddin, 1999). Berawal dari kajian keluarga dan rumah

tangga dapat dilaksanakan inferensi dan abstraksi pada tingkat masyarakat yang lebih luas,

tradisi dalam Antropologi menjelaskan masalah-masalah sosial secara integral.

Terkait dengan kajian berawal dari rumahtangga adalah kajian tentang perempuan,

khususnya peran dan status perempuan di dalam keluarga/rumahtangga sebagai individu,

istri dan ibu. Menarik kajian perempuan yang berada di wilayah perdesaan atau perempuan

tani. Sekitar setengah dari kaum wanita di seluruh dunia hidup dan bertani di negara-negara

sedang berkembang dan menghasilkan 40 sampai 80 persen dari seluruh produksi

pertanian (Charlton, 1984:61 dalam Moore, 1998). Kaum wanita di seluruh dunia terlibat

dalam kerja produktif di dalam maupun di luar rumah. Ciri yang sesungguhnya dari kerja ini

berbeda-beda dari suatu budaya ke budaya lainnya, tetapi pada umumnya bisa digolongkan

ke dalam empat kelompok: kerja pertanian, perdagangan, kerja rumah tangga, dan kerja

upahan. Kerja bukan hanya sekedar persoalan apa yang dilakukan orang karena setiap

definisi juga harus mengikutsertakan kondisi-kondisi tempat kerja itu dilakukan, dan nilai

atau harga sosialnya dalam konteks budaya tertentu (Moore, 1998).

Keberadaan perempuan sebagai ibu rumahtangga sangat diperlukan untuk

menjaga kestabilan dan kebertahanan ekonomi keluarga, sehingga perempuan turut

bertanggungjawab terhadap ekonomi keluarga. Pembagian kerja antara laki-laki dan

perempuan dalam masyarakat pedesaan Jawa cukup jelas, tetapi hubungan antara laki-

laki dan perempuan dalam proses produksi tidak ditentukan oleh perbedaan jenis

kelamin saja, melainkan lebih penting oleh kesempatan memperoleh sumber-sumber

strategis yang melintasi perbedaan jenis kelamin. Perempuan memperoleh otonomi dan

Page 4: STRUKTUR KELAS DAN OTONOMI PEREMPUAN TENGGER …

Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83

72

kebebasan ekonomis, tidak berdasarkan dengan siapa mereka bekerja, melainkan

karena sifat dan keluwesan dari sumber-sumber penghasilan yang ada pada mereka.

Peran seorang ibu rumah tangga dapat dilihat dari curahan waktu yang diberikan

dalam kegiatan produktif atau kegiatan mencari nafkah serta kegiatan reproduktif atau

kegiatan rumah tangga. Perempuan dituntut untuk bisa menyelesaikan urusan domestik

dan publik sehingga curahan waktu kerja mereka lebih tinggi dari laki-laki, hal ini mereka

jalani bukan sebagai ketimpangan gender tetapi sebagai tanggung jawab mereka

sebagai ibu rumah tangga seperti yang dialami perempuan Tengger. Kerja partisipatif

perempuan di sektor publik adalah salah satu wujud dari karakteristik wong Tengger

yaitu kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam bekerja di tegal atau berladang.

Rogers (1978) mengemukakan bahwa kedudukan perempuan hanya bisa dipahami

dalam suatu konteks sosio-budaya dari suatu masyarakat dan lewat pola pembagian kuasa

berdasarkan jenis kelamin yakni pola penguasaan sumber daya seperti; ekonomi

pendidikan, pengalaman, ketrampilan, kepemilikan tanah dll., pola yang berlaku dalam

masyarakat dalam kategori perilaku dan segi ideologi, artinya kedudukan perempuan tidak

ditentukan hanya pada otonomi pribadi saja, melainkan juga oleh faktor-faktor yang ada di

luar dirinya atau budaya.

Menarik untuk dikaji adalah struktur kelas dan otonomi perempuan Tengger Argosari

di masyarakat, khususnya tentang bagaimana status dan peran serta kekuasaan sosial

perempuan Tengger Argosari. Partisipasi perempuan Tengger Argosari di ladang tidak

hanya disebabkan oleh faktor ekonomi namun ada hal yang sangat mendasar terkait

dengan apa, mengapa dan bagaimana peran aktif perempuan dalam kehidupan di

keluarga dan di masyarakat. Masyarakat Tengger yang masih teguh memegang dan

menjalankan tradisi berkaitan erat dengan kesejajaran posisi dan peran antara laki-laki

dengan perempuan. Perempuan dan laki-laki mempunyai hak dan kewajiban yang dapat

dikatakan sama. Perempuan bahkan menempati beberapa tingkatan sosio-ekonomi dan

budaya di masyarakat lebih tinggi dari laki-laki.

Kajian etnogafis dengan menekankan pada aspek pemahaman dengan metode penelitian

kualitatif dan didukung pula dengan data kuantitatif. Lokasi penelitian di dusun Krajan desa

Argosari kecamatan Senduro kabupaten Lumajang. Lokasi dipilih karena wilayah ini

merupakan daerah etnis Tengger Lumajang yang jumlah mereka yang relatif banyak dan

masih bertahan dengan tradisi Tengger, serta secara umum jarang dikenal.

Penentuan informan dengan satuan keluarga/rumahtangga untuk menggali data secara

menyeluruh (kualitatif) dengan mengkaji dari berbagai sudut pandang (perspektif) laki-laki

(suami/kepala keluarga) dan perempuan (istri/ibu) serta anggota keluarga. Secara khusus,

satuan keluarga sebagai informan berjumlah 10 KK ditentukan dengan purposive dengan

Page 5: STRUKTUR KELAS DAN OTONOMI PEREMPUAN TENGGER …

Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83

73

menekankan pada usia perkawinan, peran aktif perempuan di keluarga dan masyarakat

atau dalam ranah domestik dan publik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kesetaraan Gender dalam Tradisi Tengger Argosari

Masyarakat Tengger secara administratif berada di empat wilayah kabupaten yaitu

Probolinggo, Pasuruan, Malang dan Lumajang. Mereka memiliki sebutan khusus

berdasarkan wilayah sebagai bentuk pengidentifikasian diri sebagai orang Tengger, yaitu

Brang Lor (utara) untuk masyarakat yang tinggal di Probolinggo, Brang Kulon (barat) untuk

wilayah Pasuruan, Brang Wetan (timur) untuk wilayah Lumajang, dan Brang Kidul (selatan)

untuk wilayah Malang.

Tengger Brang Wetan atau Tengger Lumajang sebagian besar bermukim di desa

atau dusun yang secara administratif berada di wilayah kecamatan Senduro. Keberadaan

Tengger Brang Wetan yang relatif masih bertahan dengan tradisi ke-Tengger-an serta

dengan jumlah penduduk yang relatif banyak berada di desa Argosari. Desa Argosari secara

administrasi terbagi menjadi 4 dusun, yaitu dusun Krajan Argosari, dusun Bakalan, dusun

Gedok dan dusun Pusung Duwur. Luas desa Argosari 274.456 Ha dengan ketinggian dari

permukaan laut 2200 m dengan jumlah penduduk secara keseluruhan 3.425 jiwa.. Topografi

desa Argosari merupakan dataran tinggi dengan suhu rata-rata 10 derajat celcius dan jenis

tanah Andosol. Orbitasi jarak ke ibu kota kecamatan kurang lebih 20 km, jarak ke ibu kota

kabupaten kurang lebih 37 km, jarak ke ibu kota propinsi kurang lebih 167 km dan jarak ke

ibu kota negara kurang lebih 1100 km.

Masyarakat Tengger merupakan sub etnis Jawa, yang masih mempertahankan

sebagian budaya jaman Majapahit. Mereka tergolong sebagai masyarakat yang masih

memegang teguh tradisi, terlebih masyarakat Tengger Argosari. Masyarakat Tengger

Argosari selain teguh dalam memegang tradisi, mereka juga masih mencirikan masyarakat

petani berorientasi subsisten yang egaliter. Setiap warga masyarakat berhak atas nafkah

hidup dari sumber-sumber kekayaan yang berada di dalam desa dengan melepaskan status

dan otonomi. Struktur kelas di masyarakat yang dibentuk oleh status sosial, yang terjadi di

masyarakat Tengger Argosari terdiri dari tokoh masyarakat dan warga masyarakat, bidang

ekonomi tidak begitu berpengaruh dalam pembentukan kelas di masyarakat.

Tradisi Tengger menempatkan posisi laki-laki dengan perempuan sejajar, karena sejatinya

laki-laki dan perempuan adalah manusia atau wong yang sederajat sama-sama berperan

baik dalam kehidupan keluarga ataupun di masyarakat. Hal ini tercermin dalam filosofi atau

pandangan hidup orang Tengger yang mengatur hubungan mereka khususnya hubungan

(interaksi) antar manusia.

Page 6: STRUKTUR KELAS DAN OTONOMI PEREMPUAN TENGGER …

Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83

74

Laki-laki dan perempuan harus menjalani setya laksana, yaitu mereka diharuskan untuk

bertanggungjawab dalam melaksanakan kewajiban yang telah dibebankan oleh adat

(Sutarto, 2003a:40). Ajaran setya laksana merupakan ajaran tentang sikap hidup dengan

sesanti panca setia yaitu: a. setya budaya artinya: taat, tekun, mandiri; b. setya wacana

artinya: setia pada ucapan; c. setya semaya artinya: setia pada janji; d. setya laksana

artinya: patuh, taat; e. setya mitra artinya: setia kawan (Widyaprakosa, 1994:71).

Ajaran setya laksana menjadi acuan mereka dalam menyikapi hidup serta untuk

mencapai harapan hidup yaitu waras atau sehat, wareg atau kenyang, wastra atau tercukupi

masalah sandang, wisma atau memiliki rumah atau tempat tinggal, widya atau memiliki ilmu

pengetahuan dan ketrampilan. Selain ajaran setya laksana, mereka mengembangkan

pandangan hidup yang disebut kawruh buda atau pengetahuan tentang watak, yaitu: a.

prasaja berarti jujur, apa adanya; b. prayoga artinya senantiasa bersikap bijaksana; c.

pranata artinya senantiasa patuh kepada pimpinan; d. prasetya berarti setia; e. prayitna

berarti waspada.

Ketika seorang laki-laki telah menjadi suami dan seorang perempuan telah menjadi

istri, mereka dituntut secara total untuk mengabdi kepada kepentingan keluarga agar

tercapai ketentraman dan kesejahteraan hidup. Hubungan antara laki-laki dan perempuan

tercermin pada sikap bahwa laki-laki adalah ngayomi, ngayani, dan ngayemi artinya

memberikan perlindungan, memberi nafkah serta menciptakan suasana tentram dan damai.

Perempuan Tengger adalah perempuan yang setia, taat dan rajin serta membantu suami di

ladang.

Kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan menurut pandangan masyarakat

Tengger dilandasi oleh filosofi yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Tengger hingga

saat ini. Suami istri dituntut untuk dapat mewujudkan harapan hidup atau walima yaitu

waras, wareg, wastra, wisma dan widya. Apabila salah satu dari mereka tidak konsisten atau

melanggar komitmen maka akan terkena walat yakni hukuman dari Hong Pikulun (Yang

Maha Kuasa). Misalnya diantara suami istri ada yang selingkuh maka akan mendapat walat

yang disebut dengan persikan. Persikan tidak hanya dialami oleh yang bersangkutan yang

melakukan kesalahan tapi juga seluruh warga kampung (dianggap kotor) sehingga harus

dibersihakan dengan ritual pengusir bala sebagai sarana penetralisir dampak negatif agar

warga selamat. Hal ini menunjukkan adanya control sosial serta kesetaraan di masyarakat

Tengger.

Konsep kesetaraan juga berlaku dalam pembagian warisan. Pembagian warisan

secara adat/tradisi Jawa dengan prinsip sepikul segendhongan yaitu bagian laki-laki sepikul

sedang bagian perempuan segendhongan artinya laki-laki mendapat bagian dua kali dari

bagian perempuan. Tradisi Tengger dalam pembagian warisan dilandasi oleh prinsip

“podho-podho anake”, artinya baik laki-laki ataupun perempuan mendapat bagian yang

Page 7: STRUKTUR KELAS DAN OTONOMI PEREMPUAN TENGGER …

Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83

75

sama. Misalnya, orang tua memiliki lahan 1 hektar dan memiliki anak 3 orang yang terdiri

seorang perempuan dan 2 orang laki-laki, maka lahan yang ada di bagi rata untuk 3 orang

anaknya dengan luas yang sama, sedangkan rumah akan diberikan kepada anak yang

merawat orang tua. Bagi orang Tengger anak adalah anugrah Tuhan yang harus disayang

tanpa dibeda-bedakan haknya antara anak perempuan dengan laki-laki karena mereka

adalah “podho-podho anake”. Kesempatan untuk dapat mengenyam pendidikan formal

untuk anak laki-laki dan perempuan sama. Mereka diberi kesempatan yang sama untuk

mengejar cita-cita (sekolah), bahkan ada kecenderungan pendidikan formal anak

perempuan lebih tinggi dibanding anak laki-laki. Perempuan lebih tekun sedang anak laki-

laki lebih berorientasi untuk segera mencari uang.

Kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam tradisi Tengger mewarnai bagaimana

mereka bersikap dan bertindak dalam rangka mewujudkan peran dan statusnya di keluarga

dan masyarakat. Kesederajatan itulah yang kemudian melahirkan peran strategis

perempuan Tengger dalam pandangan tradisi masyarakat. Sebuah pandangan yang

selangkah lebih maju dalam pemikiran tradisi-lokal ketika para pemikir di kota masih

memperbincangkan dan memperdebatkan tentang cara-cara bagaimana memberdayakan

perempuan.

Laki-laki dan perempuan harus menjalani setya laksana, yaitu mereka diharuskan

untuk bertanggungjawab dalam melaksanakan kewajiban yang telah dibebankan oleh adat

(Sutarto, 2003a:40). Ajaran setya laksana merupakan ajaran tentang sikap hidup dengan

sesanti panca setia yaitu: a. setya budaya artinya: taat, tekun, mandiri; b. setya wacana

artinya: setia pada ucapan; c. setya semaya artinya: setia pada janji; d. setya laksana

artinya: patuh, taat; e. setya mitra artinya: setia kawan (Widyaprakosa, 1994:71). Ketika

seorang laki-laki telah menjadi suami dan seorang perempuan telah menjadi istri, mereka

dituntut secara total untuk mengabdi kepada kepentingan keluarga agar tercapai

ketentraman dan kesejahteraan hidup. Hubungan antara laki-laki dan perempuan tercermin

pada sikap bahwa laki-laki adalah ngayomi, ngayani, dan ngayemi artinya memberikan

perlindungan, memberi nafkah serta menciptakan suasana tentram dan damai. Perempuan

Tengger adalah perempuan yang setia, taat dan rajin serta membantu suami di ladang.

Status dan Peran Perempuan Tengger dalam Keluarga, Masyarakat dan Adat

Kehidupan keluarga Tengger menggambarkan kehidupan keluarga yang harmonis,

ikatan keluarga di antara mereka sangat erat. Pembagian kerja antara suami dengan istri

pada masyarakat Tengger secara umum sama dengan keluarga petani pada umumnya,

meski dalam pelaksanaannya atau dalam kenyataan kehidupan sehari-hari memperlihatkan

kerjasama antara suami istri . Pembagian kerja adalah “yang bertanggung jawab” dalam

menyelesaikan sebuah urusan urusan keluarga.

Page 8: STRUKTUR KELAS DAN OTONOMI PEREMPUAN TENGGER …

Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83

76

Tabel : Pembagian Tanggung jawab antara Suami Istri

No Jenis Pekerjaan Yang bertanggungjawab

1

2

3

4

Memasak

Mengasuh/mengurus anak

Membersihkan rumah

Mengolah lahan

Istri

Suami dan Istri

Istri

Suami dan istri

Sumber : Hasil Penelitian Lapangan, 2019

Tabel memperlihatkan bahwa tanggungjawab istri dan suami seimbang, berdua

menyelesaikan pekerjaan rumah (domestic work) atau bertanggung jawab ke dalam

(domestic) dan juga bertanggung jawab keluar (public). Tiga jenis pekerjaan yang

tercantum di tabel dilakukan di dalam rumah (domestic) yaitu memasak, mengasuh/merawat

anak, membersihkan rumah. Jenis pekerjaan dalam tabel adalah secara garis besar atau

yang umum, dari jenis pekerjaan tersebut dapat dirinci lagi ke berbagai jenis pekerjaan

lainnya. Misalnya di dalam jenis pekerjaan memasak terdapat jenis pekerjaan lainnya yang

terkait langsung dengan kelangsungan jenis pekerjaan ini seperti menyiapkan bahan

pangan yang akan diolah, membersihkan peralatan dapur. Meski menjadi tanggung jawab

istri namun tidak jarang suami ikut membantu khususnya dalam penyediaan bahan pangan

seperti sayuran atau bahan lainnya yang mereka peroleh dari mencari di hutan, ladang atau

membeli di ibukota kecamatan (Senduro). Selain bahan pangan misalnya kayu bakar, meski

sekarang mereka lebih banyak menggunakan bahan bakar gas (elpiji) namun kayu bakar

masih tetap mereka perlukan. Kayu bakar mereka perlukan sebagai penghangat ruang dan

untuk menghangatkan badan atau biasa mereka sebut dengan istilah gegeni. Kondisi ini

sangat beralasan seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa suhu udara di

hampir seluruh wilayah Tengger pada siang hari sejuk dan malam hari dingin.

Mengasuh dan merawat anak merupakan tanggungjawab bersama antara suami

istri. Kehidupan keluarga Tengger menggambarkan kehidupan keluarga yang harmonis,

ikatan keluarga di antara mereka sangat erat. Pengasuhan anak menjadi tanggungjawab

bersama, namun demikian peran ibu sangat penting dalam pembentukan kepribadian anak,

khususnya anak perempuan. Anak-anak sejak dini diajarkan untuk mandiri,

bertanggungjawab serta mengerti akan kondisi orang tua sehingga mereka tulus ikhlas

membantu tugas atau pekerjaan orang tua, baik pekerjaan di ranah domestik maupun publik

seperti memasak, membersihkan rumah dan pengolah ladang. Sejak dini anak perempuan

didik untuk mengerti, paham dan berperan aktif dalam membantu orang tua baik pekerjaan

di rumah seperti memasak dan membersihkan rumah maupun di ladang, sedang anak laki-

laki bertugas mencari air, rumput, kayu bakar dan membantu di ladang. Tugas mengasuh

adik atau momong merupakan tugas bersama sang kakak baik laki-laki maupun perempuan.

Page 9: STRUKTUR KELAS DAN OTONOMI PEREMPUAN TENGGER …

Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83

77

Nasehat dan pendidikan budi pekerti lebih banyak diajarkan oleh ibu di sela-sela kegiatan

mereka di dapur khususnya ketika memasak khususnya kepada anak perempuan agar

menjadi “perempuan yang ideal” paham dan mampu menyelesaikan urusan rumah tangga.

Proses pengasuhan anak merupakan tanggung jawab bersama antara suami istri.

Anak bagi keluarga Tengger merupakan harta yang tidak ternilai harganya yang harus

mereka jaga sebaik-baiknya, terlebih jika mereka masih kecil. Peran ayah ibu sangat

penting dalam mengasuh anak. Keterlibatan suami dalam mengasuh anak dibuktikan

dengan partisipasi laki-laki dalam proses pengasuhan anak. Suami ikut terlibat dalam

“momong” atau mengasuh anak, laki-laki Tengger tidak segan untuk menggendong anak-

anak mereka yang masih balita. Bahkan kecintaan dan kasih sayang mereka kepada anak-

anak mereka tunjukkan dengan membawa anak-anak mereka yang masih balita ketika

bekerja di ladang. Secara tidak langsung anak diajarkan tentang kemandirian, kerja keras

dan yang terpenting adalah proses internalisasi terkait pentingnya mata pencaharian hidup

sebagai petani dalam kehidupan mereka. Anak-anak Tengger Argosari jika ditanya tentang

cita-cita mereka maka sebagian besar dari mereka bercita-cita sebagai petani seperti yang

dilakukan oleh orang tua mereka.

Seorang ibu di dalam keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan

sehari-hari, mulai dari memasak, membersihkan rumah, mengurus anak dan suami, serta

berkebun. Hari – hari mereka diawali dengan bangun di pagi hari pada pukul 04.00 atau

05.00 WIB. Para ibu rumah tangga memulai aktivitasnya dengan memasak makanan untuk

sarapan anggota keluarga sebelum berangkat ke kebun, sekaligus bekal makan siang

nantinya di kebun. Pada umumnya mereka berangkat ke kebun pada pukul 07.00 WIB dan

kembali ke rumah pada pukul 2 siang atau pukul 3 sore hari. Meski dalam beraktivitas

mereka tidak terikat oleh waktu atau jam tertentu namun secara garis besar gambaran

rutinitas mereka pada umumnya pada table di bawah ini.

Jenis kegiatan pada tabel hanya sebagian dari kegiatan mereka yang merupakan

kegiatan pokok dalam satu hari dengan dasar pertimbangan kegiatan tersebut penting,

setiap hari dilakukan atau merupakan rutinitas sehingga mudah untuk menentukan

waktunya. Sedangkan kegiatan yang lain seperti mandi, makan dan lain-lain umumnya

dilakukan di sela-sela kegiatan pokok ini sehingga sulit untuk menentukan waktunya secara

tepat. Makan biasanya mereka lakukan secara bersama-sama, khususnya makan malam

dilakukan di rumah. Makan pagi atau sarapan dan makan siang lebih sering mereka lakukan

di ladang.

Page 10: STRUKTUR KELAS DAN OTONOMI PEREMPUAN TENGGER …

Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83

78

Tabel Waktu yang digunakan oleh Ibu Rumah Tangga dalam beraktivitas

No Jenis Kegiatan Waktu (dalam WIB)

1 Bangun tidur 04.00-04.30

2 Memasak 05.00-06.00

3 Berangkat ke lading 07.00

4 Istirahat 11.30-12.30

5 Pulang 14.00-15.00

6 Membersihkan rumah 15.00-16.00

7 Mencuci baju 16.00-17.00

8 Memasak 17.00-18.00

9 Makan malam 18.30

10 Istirahat 19.00-20.30

11 Tidur 21.00

Sumber : Hasil Penelitian Lapangan, 2019

Tugas mengolah lahan adalah tanggung jawab bersama antara suami istri, sehingga

meski tergolong sebagai pekerjaan publik namun istri ikut terlibat langsung. Tugas seorang

istri adalah mendampingi suami adalah sebuah kesadaran dan keyakinan yang tertanam

dalam diri setiap perempuan Tengger. Mendampingi suami tidak sekedar menemani, tetapi

juga dimaknai mengurus diri, mengatur keperluan dan meringankan pekerjaan suami.

Rutinitas keseharian perempuan merupakan bagian dari kebiasaan yang telah dilakukan

secara turun temurun bahkan telah menjadi bagian dari tradisi Tengger dan takdir yang

harus dijalani. Masyarakat Tengger merupakan petani sayur mayur dengan jenis tanaman

utama kentang dan bawang prei serta tanaman selingan kubis dan kembang kol seperti

sudah dijelaskan pada bab sebelumnya.

Teknik bertani yang diterapkan oleh masyarakat Tengger Argosari tergolong

sederhana dan padat karya yaitu banyak menggunakan tenaga manusia. Teknik bertani

mereka dapatkan secara turun temurun namun tetap mengikuti perkembangan jaman

khususnya mengenai bibit tanaman yang mereka tanam. Kondisi geografis lahan yang

berada di atas bukit dengan kemiringan tanah 60-80 derajat, perlu keterampilan khusus dan

kerja keras khususnya curahan tenaga dan waktu. Namun kondisi ini bukan hambatan bagi

masyarakat khususnya para perempuan, mereka bekerja di ladang dengan penuh semangat

dan keikhlasan. Bekerja bersama suami di ladang merupakan bagian dari aktivitas rutin para

ibu rumah tangga dan keberadaan mereka ini sangat penting dalam menunjang

keberhasilan suami. Seperti penuturan dari Bu Suliono sebagai berikut;

Page 11: STRUKTUR KELAS DAN OTONOMI PEREMPUAN TENGGER …

Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83

79

“wong wedhok ndek kene biasa kerjo ndek tegal ngrewangi bojone. Kene

yo melok macul, tandur, ngerit, ngubat utowo nyemprot, panen yo melok

ngewangi, cek gelis mari. Pokoke sak ono e penggawean ndek tegal

dilakoni bareng-bareng ben kasil lek wis kasil gawe keperluan wong sak

omah” (Perempuan di sini biasa kerja di ladang membantu suami. Kami

ikut membantu mencangkul, menanam, mencabuti rumput, menyemprot

tanaman dengan pestisida, panen juga, agar pekerjaan cepat selesai.

Semua pekerjaan yang ada di ladang dikerjakan bersama-sama agar

berhasil dengan baik hasilnya juga untuk keperluan seluruh keluarga).

Dari pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa mereka bekerja selayaknya laki-laki

tidak ada pembagian kerja secara khusus, mereka bekerja produktif selayaknya laki-laki.

Tujuan utama mereka bekerja di ladang selain membantu suami juga untuk menambah

pendapatan keluarga sehingga kebutuhan keluarga dapat terpenuhi. Mereka melakukan

semua pekerjaan yang memang sedang diperlukan di ladang dari mulai mempersiapkan

lahan untuk ditanami bibit, menanam, merawat hingga panen. Pekerjaan mencangkul

(macul), menanam (tandur), mencabut rumput/tanaman pengganggu (ngerit), menyemprot

tanaman dengan pestisida (ngubat) merupakan pekerjaan rutin dilakukan oleh perempuan di

ladang bersama dengan laki-laki.

Peran perempuan tidak hanya di ranah keluarga atau ranah domestik, mereka juga

aktif di ranah sosial bahkan memegang peran penting di ranah ritual di sela-sela

kesibukannya menyelesaikan tugas di keluarga. Aktivitas mereka di dua ranah ini sangat

menunjang eksistensi mereka. Peran perempuan pada ranah sosial (social domain) adalah

keterlibatan perempuan pada berbagai jenis kegiatan yang bernuansa kemasyarakatan.

Keterlibatan mereka sebagai anggota masyarakat Kegiatan kemasyarakatan awalnya

memang berasal dari program pemerintah seperti PKK, Penyuluhan Kesehatan (Posyandu),

Kelompok Tani. Organisasi PKK dan Kelompok Tani kurang begitu berkembang, pertemuan

rutin berjalan tetapi hanya sebatas melaksanakan program-program dari kecamatan.

Aktivitas perempuan di ranah sosial dan ritual sangat menunjang eksistensi mereka.

Perempuan memegang peran penting di setiap acara hajatan demikian juga dalam

pelaksanaan ritual. Para perempuan akan berkumpul dan saling bekerja sama untuk

menyelesaikan pekerjaan. Perkumpulan perempuan tersebut adalah biodo atau bethek,

sedang untuk laki-laki disebut buwuh dan untuk pemuda disebut sinoman. Biodo atau

bethek dilakukan secara gotong royong serta berlandaskan prinsip bergantian (principle of

reciprocity). Kegiatan biodo biasa dilakukan berhari-hari, di sela-sela aktivitas perempuan

menyelesaikan tugas di rumah dan di ladang. Biodo dilakukan sejak persiapan hingga

acara hajatan selesai. Kegiatan biodo atau bethek ini meski terbentuk secara spontan tetapi

Page 12: STRUKTUR KELAS DAN OTONOMI PEREMPUAN TENGGER …

Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83

80

merupakan tradisi di masyarakat yang telah memiliki struktur dan mekanisme kerja sebagai

berikut;

- Wong munjung atau lurahe bethek adalah ketua atau pimpinan dari biodo atau

koordinator sie konsumsi, yang dipilih untuk menduduki jabatan ini adalah

perempuan yang sudah berumur (tua) karena tugasnya adalah menentukan

seberapa banyak persediakan makanan yang diperlukan agar mencukupi (tidak lebih

dan tidak kurang). Wong munjung ini tugasnya noto sego. Selain dari segi usia juga

dari pengalaman karena tidak mudah dalam menentukan ketersediaan konsumsi

selama proses hajatan dari awal hingga akhir. Posisi sebagai wong munjung adalah

posisi yang membanggakan atau prestise.

- Wong batur terdiri dari laki-laki dan perempuan. Tugas laki-laki adalah memotong

hewan yang akan digunakan sebagai lauk pauk. Sedangkan tugas perempuan

mengolahnya hingga siap dihidangkan.

- Sinoman adalah para remaja atau mereka yang tergolong usia muda, bertugas

mengantar makanan sebagai hantaran ke rumah warga dan menerima tamu.

Posisi sebagai wong munjung adalah posisi yang membanggakan bagi perempuan,

ketika ditunjuk sebagai wong munjung oleh warga atau si pemilik acara hajatan maka

sebuah pengakuan atas eksistensi diri dari yang bersangkutan, terlebih jika acara dapat

berjalan dengan lancar khususnya ketika acara tidak sampai kekurangan konsumsi. Status

sosial wong munjung dalam kegiatan biodo atau bethek menempati strata tertinggi sehingga

dalam kegiatan ini perempuan dibagi dalam bidang-bidang tertentu berdasarkan usia,

pengalaman dan keahlian sehingga secara tidak langsung tanpa mereka sadari terbentuk

struktur kelas diantara perempuan.

Perilaku ekonomis masyarakat Tengger Argosari secara umum masih bercorak

sebagai keluarga petani yang berorientasi subsistensi. Keluarga petani merupakan satu unit

konsumsi dan juga unit produksi. Kondisi ini terwujud dalam mekanisme mereka dalam

mengolah lahan yang mereka miliki. Mekanisme mengolah lahan pertanian yang dilakukan

oleh warga pada umumnya selain dilakukan sendiri-sendiri juga bersama-sama dengan

warga lainnya. Ketika bersama-sama maka sistem yang berkembang di masyarakat selain

sistem gotong royong secara bergantian atau sayan juga dengan sistem upah. Proses

pengolahan lahan yang dilakukan secara bersama-sama atau memerlukan tenaga kerja

yang banyak adalah ketika menanam atau tandur dan panen. Ngerit dan ngobat tergolong

perawatan tanaman pada umumnya dapat mereka lakukan sendiri (suami istri). Ketika

mereka membutuhkan tambahan tenaga kerja maka mereka mencari bantuan tenaga kerja

dari warga masyarakat lainnya baik secara sayan ataupun secara upahan atau buruh dan

warga lainnya akan siap membantu, sehingga perputaran tenaga kerja hanya terjadi

Page 13: STRUKTUR KELAS DAN OTONOMI PEREMPUAN TENGGER …

Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83

81

diantara warga setempat. Suatu saat mereka menjadi majikan suata saat menjadi buruh,

tidak ada batas kelas sosial di antara mereka karena status sosial diantara mereka relatif

sederajat atau sama. Sistem upah didasarkan pada sistem harian, upah yang diberikan

kepada para pekerja tersebut tentu saja berbeda antara laki – laki dan perempuan.

Kaum perempuan biasanya diberi upah Rp 50.000,- atau Rp 40.000,- per harinya.

Sedangkan, untuk kaum laki – laki biasanya diberi upah lebih dari kaum perempuan, dengan

capaian upah hingga Rp 200.000,- per harinya. Upah yang diberikan berdasarkan beratnya

pekerjaan yang dikerjakan. Karena pekerjaan kaum laki – laki yang mengangkut hasil panen

dan juga pupuk lebih berat, maka upahnya juga lebih besar. Penentuan upah yang akan

diberikan kepada para pekerja berdasarkan kesepakatan antara suami isteri. Para pekerja

menerima upahnya setelah bekerja selama seminggu, atau, jika mereka sangat

membutuhkan uang dari upah tersebut maka mereka bisa menerimanya lebih awal.

Sumber ekonomi keluarga yang utama dari hasil mengolah lahan pertanian yang

mereka miliki. Sumber ekonomi keluarga lainnya merupakan hasil dari kerja sampingan atau

sambilan seperti buruh tani. Selain sebagai buruh tani seiring perkembangan jaman dan

berkembangnya desa mereka sebagai salah satu desa tujuan wisata alam maka tumbuh

pekerjaan di luar sektor pertanian yaitu sebagai ojek yaitu mengantar pengunjung ke tempat

wisata B29. Tarif sebagai ojek motor Rp. 75.000 untuk pulang pergi dari batas desa ke B29

sekitar 5 km dengan kondisi jalan berkelok-kelok karena menyusuri perbukitan. Hasil

pertanian diperoleh dari hasil panen dalam satu tahun rata-rata mereka panen 4 kali, sekali

panen hasil yang mereka peroleh rata-rata berkisar 25 juta hingga 30 juta untuk tanaman

utama kentang dengan lahan minimal 1 hektar. Hasil tersebut merupakan hasil kotor, jika

dihitung secara rinci maka penghasilan mereka sebagai petani kentang sangat minim.

Mereka tidak menghitung biaya produksi misalnya dana yang mereka keluarkan untuk

membeli bibit, obat-obatan, pupuk, curahan waktu kerja mereka serta upah buruh. Namun

demikian hasil yang mereka dapat bagi mereka suatu berkah dan harus disyukuri berapa

pun jumlahnya.

Hasil pendapatan keluarga berupa uang, umumnya disimpan oleh kaum ibu atas

sepengetahuan bersama. Jika salah satu hendak memerlukan uang simpanan tersebut,

maka harus dibicarakan terlebih dahulu agar diketahui bersama. Penghasilan dari panen

sepenuhnya diberikan kepada istri, meski dalam proses panen hingga menjual hasil

sepenuhnya dilakukan oleh suami. Istri yang akan mengatur atau mengelola uang hasil

panen untuk memenuhi kebutuhan keluarga serta untuk proses tanam berikutnya.

Sedangkan upah suami dari pekerjaan sambilan baik sebagai buruh tani atau pun sebagai

ojek, sepenuhnya dikelola oleh suami untuk kebutuhan mereka secara pribadi seperti beli

rokok atau belanja di warung, beli bensin. Selain untuk kebutuhan pribadi uang kerja

Page 14: STRUKTUR KELAS DAN OTONOMI PEREMPUAN TENGGER …

Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83

82

sambilan suami juga untuk keperluan pemenuhan kebutuhan keluarga misalnya keperluan

pendidikan anak, atau bahkan jika istri minta tambahan uang belanja.

Biasanya keputusan yang ada di dalam sebuah rumah tangga di dalam kehidupan

masyarakat Argosari dilakukan dengan kesepakatan bersama antara suami istri serta anak.

Mereka tidak menyerahkan suatu keputusan hanya kepada seorang saja, namun disepakati

secara bersama-sama. Misalnya dalam pengambilan keputusan dalam hal menyekolahkan

seorang anak, jika seorang anak dari suatu keluarga hendak melanjutkan pendidikan maka

ini juga tergantung dari keluarga apakah dia mampu menyekolahkan anaknya atau tidak.

SIMPULAN

Kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam tradisi Tengger mewarnai bagaimana

mereka bersikap dan bertindak dalam rangka mewujudkan peran dan statusnya di keluarga

dan masyarakat. Ajaran setya laksana merupakan ajaran tentang sikap hidup dengan

sesanti panca setia, menjadi pedoman hidup Wong Tengger.

Tanggung jawab istri dan suami seimbang, berdua menyelesaikan pekerjaan rumah

(domestic work) atau bertanggung jawab ke dalam (domestic) dan juga bertanggung jawab

keluar (public). Perempuan memegang peran penting di setiap acara hajatan demikian juga

dalam pelaksanaan ritual. Melalui kegiatan biodo atau bethek serta kegiatan ritual di

masyarakat, selain untuk menunjukkan eksistensi mereka juga secara tidak langsung

perempuan bersosialisasi serta terbentuk struktur kelas diantara perempuan.

Perilaku ekonomis masyarakat Tengger Argosari secara umum masih bercorak

sebagai keluarga petani yang berorientasi subsistensi. Keluarga petani merupakan satu unit

konsumsi dan juga unit produksi. Manajemen ekonomi keluarga dan pengambilan

keputusan di dalam dalam urusan rumah tangga maupun urusan sosial selalu dilakukan

dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat di antara suami istri. Hasil pendapatan

keluarga berupa uang, umumnya disimpan oleh kaum ibu atas sepengetahuan bersama.

Belajar dari falsafah hidup Wong Tengger khususnya tentang kesetaraan dan

kesederajatan antara laki-laki dengan perempuan, maka sudah selayaknya maka dalam

mengkaji masalah-masalah gender di masyarakat atau etnis selayaknya menggunakan

pendekatan secara emik. Curahan tenaga dan waktu perempuan Tengger mereka pahami

sebagai bentuk pengabdian mereka terhadap keluarga serta bukti dari perwujudan

implementasi dari falsafah hidup yang mereka yakini. Selayaknyanya peran lembaga adat di

masyarakat lebih dimaksimalkan perannya sehingga kearifan lokal di masyarakat tetap

terjaga lestari hingga dapat menjawab tantangan jaman.

Page 15: STRUKTUR KELAS DAN OTONOMI PEREMPUAN TENGGER …

Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83

83

DAFTAR PUSTAKA

Moore, Henrietta L. 1988. Feminisme & Antropologi. Jakarta: Penerbit Obor.

Roger, Susan Carol. 1978. Womans Place: A Critical Review of Antrophological Theory,

Camparative Studies In Society in History Vol. 20 No. 1 Cambrige, University Press.

Saifuddin, Achmad Fedyani. 1999. “Keluarga dan Rumah Tangga: Satuan Penelitian dalam

Perubahan Masyarakat.” Dalam Jurnal Antropologi Indonesia Vol. 60 1999.

Sutarto, Ayu. 2001. Di Balik Mitos Gunung Bromo. Surabaya: Dinas Pariwisata Jawa Timur

________ 2003a. “Perempuan Tengger: Sosok yang Setia kepada Tradisi”’ dalam

Majalah Bende, Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, 1, 2003.

Widyaprakoso, Simanhadi. 1994. Masyarakat Tengger. Yogyakarta: Kanisius.