Top Banner
Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan p-ISSN 2548 – 298X Akreditasi No. 32a/E/KPT/2017 e-ISSN 2548 – 5024 DOI: 10.24034/j25485024.y2018.v2.i1.3417 1 STRES KERJA DAN COPING DALAM MEMEDIASI KONFLIK PERAN TERHADAP SUBJECTIVE WELL BEING Putu Yudari Pratiwi [email protected] Desak Ketut Sintaasih Putu Saroyeni Piatrini Program Magister Manajemen Program Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana ABSTRACT The development of female workers in Indonesia especially in Bali is increasing.Previous study found when women decide to work will threat their well being. On the other hand well being can increase when woman work in service industry such as a nurse. The purpose of this study is to describe the influence of role conflict, work stress, and coping on female nurse subjective well being and to know the role of work stress and coping on mediating effect role conflict to subjective well beingSample are 115 nurses in Puri Raharja hospital, using stratified random sampling method. Data analysis techniques using PLS (Partial Least Square).The results showed that 1) role conflict has a negative and significant effect on subjective well being. 2) Role conflict has no significant effect on job stress. 3) Role conflict has a negative and significant effect on problem focused coping. 4) Work stress has no significant effect on subjective well being. 5) Coping has a positive and significanteffect on subjective well being. 6) Coping can mediate the influence of role conflict on subjective well being. Key words: subjective well being, role conflict, work stress, coping, nurse ABSTRAK Perkembangan pekerja wanita di Indonesia khususnya di Bali kian meningkat. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa ada ancaman pada well being ketika wanita memutuskan untuk bekerja. Namun, well being dikatakan dapat meningkat pada pekerjaan tertentu khususnya pekerjaan dalam pelayanan seperti perawat. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh konflik peran, stres kerja, dan coping terhadap subjective well being perawat wanita. Penelitian ini juga menguji peran stres kerja dan coping dalam memediasi konflik peran terhadap subjective well being. Penelitian dilakukan di RSU Puri Raharja, dengan sampel para perawat wanita. Pemilihan sampel menggunakan metode stratified random sampling, dan responden penelitian sebanyak 115 orang. Teknik analisis data menggunakan PLS (Partial Least Square). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Konflik peran berpengaruh negatif dan signifikan terhadap subjective well being. 2) Konflik peran tidak berpengaruh signifikan terhadap stres kerja. 3) Konflik peran berpengaruh negatif signifikan terhadap problem coping. 4) Stres kerja tidak berpengaruh signifkan terhadap subjective well being. 5) Coping berpengaruh positif signifikan terhadap subjective well being. 6) Coping terbukti mampu memediasi pengaruh konflik peran terhadap subjective well being. Kata kunci : subjective well being, konflik peran, stres kerja, coping, perawat PENDAHULUAN Perkembangan pekerja wanita di Indo- nesia khususnya di Bali kian meningkat. Keberadaan kebijakan-kebijakan yang me- ngutamakan wanita, alasan-alasan individu- al, serta gelombang pekerja wanita dari kalangan muda yang mulai bekerja, memacu peningkatan jumlah partisipasi angkatan kerja wanita secara reguler. Ada beberapa alasan wanita bekerja, yaitu: untuk me- ningkatkan kualitas hidup, meningkatkan status sosial, mengurangi ketergantungan
21

STRES KERJA DAN COPING DALAM MEMEDIASI KONFLIK PERAN …

Oct 25, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: STRES KERJA DAN COPING DALAM MEMEDIASI KONFLIK PERAN …

Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan p-ISSN 2548 – 298XAkreditasi No. 32a/E/KPT/2017 e-ISSN 2548 – 5024DOI: 10.24034/j25485024.y2018.v2.i1.3417

1

STRES KERJA DAN COPING DALAM MEMEDIASI KONFLIK PERANTERHADAP SUBJECTIVE WELL BEING

Putu Yudari [email protected]

Desak Ketut SintaasihPutu Saroyeni Piatrini

Program Magister ManajemenProgram Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana

ABSTRACT

The development of female workers in Indonesia especially in Bali is increasing.Previous study found when womendecide to work will threat their well being. On the other hand well being can increase when woman work in serviceindustry such as a nurse. The purpose of this study is to describe the influence of role conflict, work stress, andcoping on female nurse subjective well being and to know the role of work stress and coping on mediating effectrole conflict to subjective well beingSample are 115 nurses in Puri Raharja hospital, using stratified randomsampling method. Data analysis techniques using PLS (Partial Least Square).The results showed that 1) roleconflict has a negative and significant effect on subjective well being. 2) Role conflict has no significant effect onjob stress. 3) Role conflict has a negative and significant effect on problem focused coping. 4) Work stress has nosignificant effect on subjective well being. 5) Coping has a positive and significanteffect on subjective well being.6) Coping can mediate the influence of role conflict on subjective well being.

Key words: subjective well being, role conflict, work stress, coping, nurse

ABSTRAK

Perkembangan pekerja wanita di Indonesia khususnya di Bali kian meningkat. Penelitian sebelumnyamenyebutkan bahwa ada ancaman pada well being ketika wanita memutuskan untuk bekerja. Namun,well being dikatakan dapat meningkat pada pekerjaan tertentu khususnya pekerjaan dalam pelayananseperti perawat. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh konflik peran, stres kerja,dan coping terhadap subjective well being perawat wanita. Penelitian ini juga menguji peran stres kerjadan coping dalam memediasi konflik peran terhadap subjective well being. Penelitian dilakukan di RSUPuri Raharja, dengan sampel para perawat wanita. Pemilihan sampel menggunakan metode stratifiedrandom sampling, dan responden penelitian sebanyak 115 orang. Teknik analisis data menggunakan PLS(Partial Least Square). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Konflik peran berpengaruh negatif dansignifikan terhadap subjective well being. 2) Konflik peran tidak berpengaruh signifikan terhadap streskerja. 3) Konflik peran berpengaruh negatif signifikan terhadap problem coping. 4) Stres kerja tidakberpengaruh signifkan terhadap subjective well being. 5) Coping berpengaruh positif signifikan terhadapsubjective well being. 6) Coping terbukti mampu memediasi pengaruh konflik peran terhadap subjectivewell being.

Kata kunci : subjective well being, konflik peran, stres kerja, coping, perawat

PENDAHULUANPerkembangan pekerja wanita di Indo-

nesia khususnya di Bali kian meningkat.Keberadaan kebijakan-kebijakan yang me-ngutamakan wanita, alasan-alasan individu-al, serta gelombang pekerja wanita dari

kalangan muda yang mulai bekerja, memacupeningkatan jumlah partisipasi angkatankerja wanita secara reguler. Ada beberapaalasan wanita bekerja, yaitu: untuk me-ningkatkan kualitas hidup, meningkatkanstatus sosial, mengurangi ketergantungan

Page 2: STRES KERJA DAN COPING DALAM MEMEDIASI KONFLIK PERAN …

2 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 2, Nomor 1, Maret 2018 : 1 – 21

pada suami, dan membayar hutang (Nila-kusumawati dan Susilawati, 2011). Di tengahpeningkatan jumlah pekerja wanita, Inter-national Labour Organization (2014) mencatatbahwa, di Indonesia masih terjadi perbedaanjumlah angkatan kerja laki-laki dan perem-puan, yakni, pekerja laki-laki 62,5% danpekerja perempuan 37,5% atau sekitar 5berbanding 3. Kondisi ini juga disebutkandalam Peraturan Menteri PemberdayaanPerempuan dan Perlindungan Anak atauPPPA (2015), bahwa lebih rendahnya persen-tase pekerja perempuan, karena masihadanya perlakuan kekerasan, perlakuandiskriminatif untuk mencapai posisi karirtertentu, jam kerja yang tidak menentu, danadanya pemotongan pajak lebih besar,karena perempuan selalu dianggap berstatuslajang.

Upaya untuk meningkatkan jumlahtenaga kerja wanita telah gencar dilakukan,namun masih banyak para wanita tidakmenggunakan kesempatan ini untuk ber-saing di dunia kerja (Peraturan MenteriPPPA, 2015). Masih banyaknya wanita me-milih untuk tidak bekerja, karena beberapafaktor yang mempengaruhi, salah satunyaadalah persepsi akan well being.

Wanita pekerja umumnya memiliki wellbeing yang lebih lebih rendah dibandingkanwanita sebagai ibu rumah tangga. Hal inidisebabkan oleh kondisi kerja yang tidakkondusif serta tuntutan tanggung jawabterhadap keluarga yang besar, sehinggamengurangi intensitas subjective well beingpekerja wanita (Lennon, 1994). Selain itu,wanita yang bekerja juga dianggap tidakmemiliki kontrol akan diri sendiri danlingkungan, serta rendahnya otonomi diri,sehingga menyebabkan rendahnya subjectivewell being. Subjective well being merupakankesejahteraan individu yang mengukur kedalam diri atau intrapersonalnya (Keyes,2005).

Penelitian lain menemukan hal yangsebaliknya, bahwa kecenderungan subjectivewell being dari pekerja wanita yang sudahmenikah dan memiliki anak, lebih rendahdibandingkan yang masih lajang, akibat

ketidakmampuan mereka mencapai kariryang lebih tinggi, karena harus menguruskeluarga (Erlandsson dan Eklund, 2006),namun, Elgar dan Chester (2007), me-nyebutkan hal yang berbeda, bahwa, wanitayang bekerja cenderung memiliki fungsipsikologis yang baik. Wanita yang bekerjapenuh waktu memiliki subjective well beingyang lebih baik, memiliki perasaan bahagiadan kondisi mental yang baik, dibandingandengan wanita yang hanya menjadi iburumah tangga. Hal ini dapat terjadi, karenapekerjaan yang dilakukan dan tanggungjawab pada pekerjaan berkorelasi positif dansignifikan dengan subjective well being wanitayang bekerja (Erlandsson dan Eklund, 2006;Srimathi dan Kumar, 2010). Hal yang senadajuga disebutkan Taylor et al. (2009:448),bahwa, karir yang berhubungan dengan sifatalaminya untuk merawat (nurture), sepertiguru atau perawat, ternyata memberikankesejahteraan psikologis pada wanita ter-sebut. Penelitian tersebut juga menemukanbahwa well being perawat cenderung tinggipada keseluruhan dimensi. Perawat di-pandang memiliki kemampuan menjalinhubungan positif dengan orang lain, se-hingga meningkatkan subjective well beingmereka. Penelitian lainnya juga menegaskanbahwa pekerjaan yang berhubungan denganpelayanan dan perawatan terhadap oranglain yang mendapatkan kesembuhan, mam-pu memberikan kepuasaan tersendiri bagidiri perawat dan mampu meningkatkankesejahteraan dirinya (Papalia et al., 2009).

Adanya hasil yang berbeda tentangsubjective well being pekerja wanita sepertidiuraikan sebelumnya, menarik untuk dikajilebih lanjut bagaimana hal tersebut padapekerja wanita yang bekerja pada duniakesehatan, khususnya perawat. Penelitiandilakukan pada salah satu rumah sakit diDenpasar, yaitu Rumah Sakit Umum (RSU)Puri Raharja. Alasan memilih rumah sakit inidikarenakan, hasil wawancara awal denganbeberapa perawat menunjukkan adanyamasalah subjective well being, seperti yangdiungkap pada pemaparan sebelumnya.Selain itu RSU Puri Raharja memiliki kinerja

Page 3: STRES KERJA DAN COPING DALAM MEMEDIASI KONFLIK PERAN …

Stres Kerja Dan Coping ... – Pratiwi, Sintaasih, Piatrini 3

pelayanan dengan rata-rata baik di kelasnyayaitu kelas C. Pada tahun 2015 RSU PuriRaharja berada pada urutan ke tiga dengannilai kinerja rumah sakit terbaik di kelasnya.Kinerja pelayanan yang baik tentunya me-nuntut seluruh karyawan, termasuk perawatbekerja semaksimal mungkin untuk meng-hasilkan kinerja pelayanan yang baik,ramah, dan tulus dalam merawat pasien. Halini tentunya meningkatkan tuntutan, bebankerja dan stres kerja bagi perawat.

Riset pendahuluan yang dilakukandengan mewawancarai beberapa orang pe-rawat menunjukkan hanya 16,7 persenmempersepsikan mereka memiliki well beingyang baik karena difasilitasi oleh organisasi,seperti otonomi diri, pertumbuhan diri, danadanya kesempatan untuk berkembang.Sementara sisanya, 73,3 persen, merasa ada-nya hambatan dan tantangan dalam men-capai prestasi kerja. Alasan utama yangdikemukakan adalah kesulitan dalam mem-bagi waktu antara karir, pekerjaan, dan ke-giatan sosial. Para perawat memiliki persepsibahwa mereka mengalami kesulitan dalammembagi waktu, perhatian, dan fokus ketikadihadapkan pada peran-peran pekerjaan,keluarga, dan peran sosial. Hal ini cen-derung memicu konflik peran bagi diriperawat.

Adanya fenomena yang terjadi padapekerja wanita tentang subjective well beingdan hasil-hasil studi empiris yang beragam,mengindikasikan bahwa ada beberapa fak-tor yang dapat mempengaruhi subjective wellbeing seorang pekerja, khusunya pekerjawanita. Seperti Bourgault et al. (2015), me-nyebutkan bahwa perawat dianggap sebagaisalah satu kunci pelayanan bagi rumah sakit,sehingga perawat dituntut tanggung jawabtinggi, profesional dalam jam kerja dan highrisk, yang cenderung mempengaruhi subjec-tive well being. Hal ini cenderung me-nyumbang stres kerja juga tinggi bagi pe-rawat wanita. Tuntutan kerja dan waktukerja yang padatpun juga akan meningkat-kan intensitas konflik peran (Churiyah,2007), sehingga mempengaruhi kesejahtera-an psikologisnya.

Konflik peran menimbulkan hubunganyang tumpang tindih antara peran-perantersebut (Xu, 2009). Konflik peran menjadisalah satu sumber stres dari banyak pekerja(Powell dan Greenhaus, 2006). Peran yangdihadapi perawat bukan hanya tentangperan pekerjaan dan keluarga, namun jugaantara peran pekerjaan dan peran sosial. Halini bisa saja terjadi di wilayah yang memangmemiliki ikatan kuat terhadap sosialnyaseperti di Bali. Budaya kolektivisme yangkental memberikan tanggung jawab bagiindividu mengambil bagian dalam peransosial sebagai suatu keharusan. Tidak ter-kecuali wanita Bali yang secara peraturanadat harus mengambil bagian dalam masya-rakat (Sudantra, 2011).

Penelitian Vallone dan Donaldson(2001) juga menyebutkan konflik peranganda antara pekerjaan dan keluarga secarasignifikan dapat memprediksi subjective wellbeing. Konflik peran ini memberikan efekbaik dalam jangka pendek ataupun jangkapanjang pada subjective well being karyawansecara keseluruhan. Penelitian Panatik et al.(2011) juga menemukan bahwa konflik pe-ran pekerjaan dan keluarga ternyata mempe-ngaruhi pengalaman subjective well beingpekerja baik saat di rumah ataupun dalampekerjaan. Penelitian ini juga menemukanbahwa pemicu konflik peran yang terjadimeningkatkan intensitas stress yang akhir-nya mempengaruhi subjective well being darikaryawan. Intensitas distress yang tinggiakan cenderung menurunkan subjective wellbeing pekerja. Stres memicu munculnyaperilaku disfungsi sehingga menganggukesehatan secara fisik dan kesehatan mentaldalam bentuk rendahnya subjective well being(Malek et al., 2010; Yunuset al., 2011; Bell etal.,2012). Pekerja wanita yang memilikiketidakseimbangan peran dilaporkan akanlebih sering mengalami stres, sakit kepala,tekanan darah yang tinggi, dan penambahanberat badan (Ul-Ain et al., 2013; Delina danRaya,2013). Menurut Taylor et al. (2009:550),konflik peran dapat dikurangi atau diatasijika individu memiliki kemampuan adaptasimasalah atau coping yang baik sehingga

Page 4: STRES KERJA DAN COPING DALAM MEMEDIASI KONFLIK PERAN …

4 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 2, Nomor 1, Maret 2018 : 1 – 21

mampu meningkatkan kembali subjectivewell being. Coping didefinisikan sebagai ke-satuan kognitif, afektif, perilaku, dan prosespsikologis yang secara sadar ataupun tidaksadar digunakan untuk mengatasi masalahataupun stressor yang terjadi (Vashchenko etal., 2007). Coping terdiri dari dua dimensiyaitu Emotion focused merupakan coping yangberfokus pada keadaan emosi internal padaindividu.

Problem focused coping adalah bagaimanamenghadapi stressor yang ada dengan aksilangsung (Folkman, 1984). Wanita yangmampu mengontrol kehidupan merekamenggunakan bentuk-bentuk coping aktifjauh lebih memiliki subjective well being yangbaik daripada yang tidak (Varma danDhawan, 2006; Srimathi dan Kumar, 2010).Sebagaimana juga disebutkan bahwa copingberpengaruh langsung terhadap subjectivewell being (Fierro dan Jimenez, 2002; Elferinget al., 2005; Rodriguez et al., 2015; Picken,2012).

Berdasarkan fenomena yang diamatidan hasil-hasil studi empiris yang telahdiuraikan, penelitian ini fokus pada pekerjawanita di bidang kesehatan, yaitu perawatuntuk mengeksplorasi hubungan antarakonflik peran, subjective well being, coping,dan stres kerja. Dalam penelitian juga meng-kaji apakah stres kerja dan coping memediasihubungan antara konflik peran dan subjectivewell being, yang mana pada penelitian-penelitian sebelumnya belum terungkapsecara jelas.

Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1)menjelaskan pengaruh konflik peran ter-hadap subjective well being; 2) Mengujipengaruh stres kerja terhadap subjective wellbeing; 3) Menguji pengaruh coping terhadapsubjective well being; 4) Menganalisis pe-ngaruh konflik peran terhadap stres kerja; 5)Menjelaskan pengaruh konflik peran ter-hadap coping; 6) Menguji peran stres kerjadalam memediasi hubungan konflik perandengan subjective well being; dan 7) Mengujiperan coping dalam memediasi hubungankonflik peran dengan subjective well being.

TINJAUAN TEORETISPeran Wanita dalam Masyarakat

Gender adalah elemen dasar dari kon-sep diri (Taylor et al., 2009:425). Gendermemberikan pengaruh mengenai bagaimanaperanan laki-laki dan wanita dalam masya-rakat. Perkembangan gender memberikanperspektif secara biologis yang menyatakanbahwa feminimitas dan maskulinitas secarategas berbeda, bahwa perempuan haruslahfeminim dan laki-laki haruslah maskulin.Hal ini juga berhubungan dengan kekuasaanatau power yang dimiliki. Konsep genderyaitu feminim dan maskulin yang sederhanamemberikan label kepada laki-laki danwanita mengenai peran apa yang harusmereka lakukan dalam masyarakat. Konsepini memberikan anggapan bahwa wanitaharuslah berada di rumah untuk mengurusiseluruh urusan rumah tangga. Wanita hanyamenjalankan peran sebagai pengasuhkeluarga dengan bekerja sepanjang waktu didalam rumah dibandingkan dengan bekerjadi luar rumah (Taylor et al., 2009)

Hal ini sejalan dengan penelitian Mun-the (2003) yang melihat perkembanganperanan wanita sejak abad 11 sampai denganabad 20, dimana peranan wanita dibagidalam dua kategori yaitu passive women danactive woman. Passive women berlangsungsampai dengan akhir tahun 1830. Pada masaini peranan wanita hanya seputar mengurusrumah tangga. Wanita dididik untuk men-jadi ibu rumah tangga yang baik. Activewoman di mulai di tahun 1830 setelahbanyaknya perjuangan dari kelompok-kelompok pejuang peran wanita. Perkemba-ngan peran wanita pun mulai bergeser diakhir abad ke 20. Wanita sudah memasukidunia kerja. Wanita dewasa di Amerikamulai memasuki angkatan kerja dan bekerjasepanjang hayatnya. Namun peran wanitabekerja tidak serta merta dapat sejajardengan laki-laki karena wanita masih be-kerja dan terkonsentrasi pada bidang yangsesuai dengan anggapan gender feminitasmereka (Taylor et al., 2009).

Hal ini juga terjadi di Indonesia, yangmana pada awalnya, peranan wanita hanya

Page 5: STRES KERJA DAN COPING DALAM MEMEDIASI KONFLIK PERAN …

Stres Kerja Dan Coping ... – Pratiwi, Sintaasih, Piatrini 5

sebatas dalam rumah tangga dan mengurusanak. Pada awal abad 20 peranan wanitaakhirnya beralih untuk bekerja. Awalnya,anak perempuan hanya diberikan pen-didikan tentang rumah tangga, beralih di-berikan kesempatan untuk bersekolah danmemilih pekerjaan sesuai dengan keinginan.Dalam pekerjaan kini mereka tidak hanyabekerja dalam bidang pengasuhan, namunsudah bekerja untuk menduduki posisi yangdimonopoli laki-laki seperti angkatan ber-senjata, bisnis, pemimpin perusahaan atauorganisasi,dan masuk dalam anggota legis-latif (Munthe, 2003). Hal ini juga didukungkebijakan-kebijakan pemerintah yang men-dukung wanita untuk setara dengan laki-lakidi dunia kerja (Peraturan Menteri PPPAK,2015).

Peran Wanita Bali dalam MasyarakatPerkembangan peran wanita dalam

masyarakat juga terjadi di Bali. Dalamlingkungan masyarakat Bali, wanita tidakhanya bertanggung jawab pada keluargasebagai ibu rumah tangga, namun jugabertanggung jawab terhadap peran sosial,khususnya terkait dengan kegiatan adat. Halini terjadi, salah satunya dikarenakanmasyarakat Bali menganut sistem patrilineal,sehingga wanita dianggap memiliki derajatyang lebih rendah dibandingkan laki-laki(Yufiza, 2010). Selain itu, adanya prinsipsistem kekeluargaan purusa, dimana keluar-ga laki-laki memiliki hak penuh pada anakdan memiliki hubungan hukum kekeluarga-an pada anak tersebut, sedangkan tidak padakeluarga wanita (Sudantra, 2011) .

Bagi masyarakat Bali, khususnya Hin-du, ada tradisi dan adat istiadat yang harusdiikuti termasuk di dalamnya bertanggungjawab untuk wajib ikut serta pada seluruhkegiatan sosial dan adat yang ada dilingkungannya. Sejak remaja, para wanitaBali sudah dibiasakan bagaimana merekaseharusnya berada dalam lingkungan sosial,sehingga mereka tidak hanya belajar secaraformal di sekolah, namun juga belajar secarainformal untuk memenuhi tanggung jawabsecara sosial (Sudantra, 2011).

Setelah menikah dan berkeluarga, ke-wajiban wanita Bali bertambah. Merekaharus mulai mengurus keluarga, suami danmengambil peran sebagai anggota sosialmasyarakat adat. Setiap desa adat di Balimengharuskan wanita yang sudah menikahuntuk mengambil peran adat. Peran adatyang dimaksud mulai dari kegiatan-kegiatanseperti upacara kelahiran bayi, pernikahan,kematian, dan kegiatan-kegiatan keagamaanlain yang dilakukan di rumah tetanggaataupun di pura di lingkungan wilayah tem-pat tinggalnya (Paramartha, 2015).

Di sisi lain, pada saat ini wanita Bali jugamengikuti perkembangan wanita secaraglobal, dengan mengambil peran sebagaiwanita pekerja. Nilakusumawati dan Susila-wati (2011) menyebutkan Wanita Bali ba-nyak yang bekerja untuk meningkatkankualitas hidup, meningkatkan status sosial,mengurangi ketergantungan pada suamidan membantu ekonomi keluarga.

Subjective Well BeingWell being diidentifikasikan sebagai

fungsi psikologi positif untuk menyatakanindividu memiliki kesehatan mental yangbaik (Ryff dan Keyes, 1995). Keyes (2005)juga menyatakan Subjective well being me-rupakan kesejahteraan individu yang meng-ukur ke dalam diri atau intrapersonalnya.Subjective well being adalah kebahagiaan yangdideskripsikan sebagai fase positif daripemikiran yang memberikan dampaknyakepada pengalaman kehidupan secara me-nyeluruh. Well being merupakan turunandari pemenuhan pribadi, bentuk ekspresi,aktualisasi diri, dan determinasi diri (Pagedan Brodrick, 2009). Diener (2009:12) men-definisikan subjective well being adalah ke-inginan yang berkualitas sebagai bentukpenilaian positif seseorang terhadap ke-hidupannya secara menyeluruh. DimensiSubjective well being terdiri dari 6 dimensiantara lain: Self acceptance (penerimaan diri),Positive relations with other (hubungan yangbaik dengan orang lain), Autonomy (oto-nomi), Environmental mastery (penguasaanterhadap lingkungan), Purpose in life (tujuan

Page 6: STRES KERJA DAN COPING DALAM MEMEDIASI KONFLIK PERAN …

6 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 2, Nomor 1, Maret 2018 : 1 – 21

hidup), dan Personal growth (pertumbuhandiri) (Ryff dan Keyes,1995).

Beberapa penelitian menjelaskan hubu-ngan antara wanita menikah yang bekerjadengan kesejahteraan fungsi-fungsi psiko-logis. Lennon (1994), menyebutkan wanitamenikah yang memilih bekerja, dianggapmendapatkan penghargaan dari pekerjaanyang dilakukan setiap hari, sehingga mampumeningkatkan control personal dan me-ningkatkan subjective well being. Disisi lain,penelitian tentang wanita menikah yangbekerja, akan merasa memiliki role identityyang kuat yang berpengaruh pada panda-ngan terhadap diri mereka sehingga me-ningkatkan subjective well being (Elgar danChester, 2007). Pekerjaan yang dilakukandan tanggung jawab pada pekerjaan di-anggap berkorelasi positif dan signifikanterhadap subjective well being wanita yangbekerja (Sahu dan Rath, 2003; Erlandssondan Eklund, 2006; Srimathi dan Kumar,2010).

Hubungan Konflik Peran, Stres kerja, danCoping dengan Subjective Well Being

Konflik peran terjadi ketika individuberada pada dua atau lebih peran yangmengharuskannya menjalankan peran ter-sebut secara bersamaan. Konflik peran di-sebut pula sebagai interrole conflict yaitukonflik peran yang terjadi ketika individudihadapkan pada dua atau lebih posisi atauperan yang harapan atas peran–peran ter-sebut bertentangan (Luthans, 2006). Powelldan Greenhaus (2006) menyebutkan, bahwakonflik peran terdiri atas tiga dimensi, yaitutime based conflict, strain based conflict, danbehavior based conflict. Peran yang dihadapiwanita bukan hanya tentang peran pekerjaandan keluarga, namun juga antara peranpekerjaan dan peran sosial di masyarakat.Hal ini bisa saja terjadi di wilayah yangmemang memiliki ikatan kuat terhadaplingkungan sosialnya, seperti yang terjadi didaerah Bali. Budaya kolektivisme yangkental memberikan tanggung jawab bagiindividu mengambil bagian dalam peransosial sebagai suatu keharusan. Tidak ter-

kecuali wanita Bali yang menurut peraturanadat harus mengambil bagian dalam masya-rakat (Sudantra, 2011). Adanya konflik peranini ternyata mempengaruhi bagaimanasubjective well being wanita. Beberapa pe-nelitian menyebutkan bahwa konflik perandapat memicu rendahnya well being yangdimiliki individu (Panatik et al.,2011;Koyuncu et al.,2012; Sianturi dan Zulkarnain,2013). Berdasarkan hasil studi empiristersebut, hipotesis penelitian ini adalah:H1 : konflik peran berpengaruh negatif dan

signifikan terhadap subjective well being

Stres kerja adalah respon dari fisik mau-pun emosional individu yang muncul ketikaindividu tidak mampu mengatasi tuntutandan kebutuhan dari pekerjaan yang dilaku-kan (Alves, 2005). Luthans (2006) menjelas-kan, stres kerja sebagai suatu interaksiindividu dengan lingkungan kerja yang di-hubungkan dengan respon-respon adaptifterhadap tuntutan fisik maupun psikologispada individu secara berlebihan. MenurutLeung et al. (2007), ada 6 dimensi dari streskerja, yaitu perilaku individu, dukungansosial, konflik peran, lingkungan kerja, be-ban kerja, dan situasi rumah dan pekerjaan.Beberapa penelitian menunjukkan bahwastres kerja yang dialami individu memicumunculnya perilaku disfungsional, sehinggamenganggu kesehatan secara fisik danmental dalam bentuk rendahnya subjectivewell being. Malek et al. (2010) menunjukkanadanya hubungan negatif dan signifikanantara stres dan well being pada para pe-madam kebakaran baik di Malaysia ataupunAmerika. Yunus et al. (2011) juga menemu-kan bahwa stres kerja yang dialami di tempatkerja dan perilaku-perilaku disfungsi me-nyebabkan kesehatan fisik yang buruk sam-pai dengan well being yang rendah. Bell et al.(2012) dalam penelitiannya menyatakan bah-wa stres kerja, kesehatan individu dan ke-seimbangan dari kehidupan kerja dan pri-badi saling berhubungan untuk mencipta-kan dan meningkatkan kesejahteraan hidupatau well being. Sementara Kurnia (2015),menyebutkan para pekerja di Jakarta yang

Page 7: STRES KERJA DAN COPING DALAM MEMEDIASI KONFLIK PERAN …

Stres Kerja Dan Coping ... – Pratiwi, Sintaasih, Piatrini 7

mengalami stres karena faktor peran, oto-nomi, dan dukungan sejawat berpengaruhnegatif dan siginifikan terhadap well beingmereka.

Berdasarkan hasil-hasil studi empiristersebut, maka dapat dirumuskan hipotesissebagai berikut:H2 : Stres kerja berpengaruh negatif dan

signifikan terhadap subjective well being

Coping merupakan proses untuk menatatuntutan yang dianggap membebani ataumelebihi kemampuan sumber daya (Tayloret al., 2009:550). Vashchenko et al. (2007)mendefinisikan coping sebagai kesatuan kog-nitif, afektif, perilaku dan proses psikologisyang secara sadar ataupun tidak sadardigunakan untuk mengatasi stres yang ter-jadi. Dimensi coping terdiri atas emotionfocused coping (EFC) dan problem focusedcoping (PFC) (Folkman, 1984). Bagaimanacoping dilakukan individu, ternyata ber-dampak terhadap subjective well being. Be-berapa penelitian menunjukkan bahwa stra-tegi coping berdampak pada peningatanintensitas well being.

Carver et al. (1989) menemukan bahwacoping aktif (problem coping) yaitu coping yanglangsung mengatasi permasalahan, lebihberhasil dalam memberikan dampak positifdanlebih adaptif, baik untuk kesehatanmental maupun well being, sedangkan copingpasif seperti menjauhi konfrontrasi, meng-hindari perilaku yang biasanya atau me-nolak adanya masalah, lebih rendah ke-berhasilannya. Hal ini juga ditemukan olehFierro dan Jimenez (2002), yang melihatadanya hubungan antara coping dengan wellbeing pada mahasiswa baru. Secara lebihdetail Williams dan McGillicuddy-De Lisi(2000) menyebutkan bahwa problem focusedcoping lebih tinggi hubungannya dengan wellbeing dibandingkan dengan emotion focusedcoping, dan berpengaruh lebih rendah ter-hadap well being, baik pada wanita maupunlaki-laki. Hal ini juga ditegaskan oleh Picken(2012), bahwa strategi coping dapat ber-dampak pada penyesuaian diri serta wellbeing pada tahanan laki-laki di penjara,

dimana emotion focused atau passive lebihrendah hubungannya dengan well being.Barron et al. (2002) juga menemukan hal yangsejalan, bahwa problem focused coping ber-korelasi positif dan signifikan terhadap wellbeing. Begitu juga dengan Semmer, 2003(dalam Elfering et al., 2005) menemukanbahwa well being memiliki hubungan positifdengan problem focused coping. Atas dasartemuan studi-studi tersebut, maka dirumus-kan hipotesis 3 sebagai berikut:H3 : Coping berpengaruh positif dan signi-

fikan terhadap subjective well being

Konflik peran yang dirasakan juga cen-derung menyumbang stres kerja. Alves(2005) menyebutkan bahwa stres kerja ada-lah respon dari fisik maupun emosionalindividu yang muncul ketika individu tidakmampu mengatasi tuntutan dan kebutuhandari pekerjaan yang dilakukan. Stres kerjajuga sebagai suatu interaksi individu denganlingkungan kerja yang dihubungkan denganrespon-respon adaptif terhadap tuntutanfisik maupun psikologis pada individu se-cara berlebihan (Luthans, 2006). Beberapapenelitian menunjukkan bahwa konflikperan memicu tingginya intensitas stresyang dirasakan individu yang bekerja(Jamadin et al., 2005; Delina dan Raya, 2013;Ul-Ain et al., 2013). Semakin tinggi konflikperan yang dialami seseorang, maka se-makin tinggi pula tingkat stresnya. Atasdasar bukti empiris tersebut maka dapatdirumuskan hipotesis penelitian ini sebagaiberikut:H4 : Konflik peran berpengaruh positif dan

signifikan terhadap stres kerja

Konflik peran sebenarnya dapat di-redam dengan memiliki adaptasi pada masa-lah atau coping yang baik dari individu. Halini ditunjukkan oleh Taylor et al. (2009: 550),bahwa proses terjadinya coping dipicu de-ngan adanya konflik yang dialami individutermasuk dalam hal ini adalah konflik peran,sehingga dapat dikatakan memicu copingtersebut muncul. Selain itu konflik peranjuga mempengaruhi gaya coping yang di-

Page 8: STRES KERJA DAN COPING DALAM MEMEDIASI KONFLIK PERAN …

8 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 2, Nomor 1, Maret 2018 : 1 – 21

gunakan sehingga konflik peran memilikikorelasi yang signifikan terhadap coping(Vashchenko et al. 2007; Aazami et al., 2015).Berdasarkan penelitian terdahulu, makahipotesis penelitian ini menjadi:H5 : Konflik peran berpengaruh negatif dan

signifikan terhadap coping

Peran stres kerja dalam memediasi hubu-ngan konflik peran dengan subjective wellbeing

Beberapa penelitian terdahulu menemu-kan ada hubungan antara konflik peran dansubjective well being (Panatik et al., 2011;Koyuncu et al., 2012; Sianturi dan Zulkar-nain, 2013). Penelitian lainnya menunjukkanadanya pengaruh konflik peran terhadapstres (Delina dan Raya, 2013; Ul-Ain et al.,2013). Sementara adanya hubungan antarastres kerja dengan subjective well beingditunjukkan dalam penelitian Malek et al.(2010), Yunus et al. (2011), Bell et al. (2012),dan Kurnia (2015). Hasil studi empiristerdahulu juga menyebutkan bahwa konflikperan pekerjaan dan keluarga ternyata mem-pengaruhi pengalaman well being karyawan,baik saat di rumah maupun di tempat kerja.Penelitian ini juga menemukan bahwa pe-micu konflik peran yang terjadi meningkat-kan intensitas distres yang akhirnya mem-pengaruhi well being dari karyawan (Kinnu-nen dan Mauno, 1998).

Adanya hubungan-hubungan antarkonflik peran dan stres kerja (Delina danRaya, 2013; Ul-Ain et al., 2013), serta konflikperan dan subjective well being (Panatik et al.,2011; Koyuncu et al., 2012; Sianturi danZulkarnain, 2013), serta stres kerja dansubjective well being (Malek et al., 2010; Yunuset al., 2011; Bell et al., 2012; Kurnia, 2015),maka diajukan hipotesis penelitian ini se-bagai berikut:H6 : Stres memediasi hubungan konflik

peran dengan subjective well being

Peran coping dalam memediasi hubungankonflik peran dengan subjectivewell being

Sesuai dengan konsep coping, Taylor etal. (2009: 550) menemukan bahwa proses

terjadinya coping berada di antara konfik dankualitas hidup atau well being. Hal ini men-dasari keinginan untuk melihat bagaimanacoping mampu meningkatkan well beingdengan menurunkan pengaruh konflikperan pada well being. Selain konsep coping diatas adanya hubungan antara konflik perandan subjective well being (Panatik et al., 2011;Koyuncu et al., 2012; Sianturi dan Zulkar-nain, 2013) dan pengaruh konflik peranterhadap coping (Vashchenko et al., 2007;Taylor et al., 2009; Aazami et al., 2015), sertacoping berpengaruh terhadap subjective wellbeing (Van Harreveld et al., 2007; Picken,2012; Rodriguez et al., 2015), memperkuatkonsep coping yang ada. Lo et al. (2003)menyebutkan bahwa tingginya role conflictyang dialami wanita yang sudah menikah diHongkong, lebih memerlukan strategi copingyang tepat, sehingga sapat meningkatkantujuan hidup ataupun harapan-harapanyang dimiliki, walaupun ketika sudah me-nikah dan memiliki anak. Penelitian Aazamiet al. (2015) juga menemukan coping menjadimediasi antara work family conflict untukmengurangi tekanan psikologis dan me-ningkatkan kebahagiaan secara psikologis.Atas dasar hasil-hasil studi empiris tersebutmaka diajukan hipotesis penelitian sebagaiberikut:H7 : Coping memediasi hubungan konflik

peran dengan subjective well being

Rerangka KonseptualBerdasarkan riset awal yang ada di-

temukan beberapa faktor yang mempe-ngaruhi subjective well being wanita yangbekerja. Yang pertama adalah konflik peransecara signifikan dapat memprediksi subjec-tive well being. Konflik peran ini memberikanefek baik dalam jangka pendek ataupunjangka panjang pada subjective well beingkaryawan secara keseluruhan (Kinnunendan Mauno, 1998; Vallone dan Donaldson,2001). Kedua adalah stres kerja. Intensitasdistress yang tinggi akan cenderung me-nurunkan subjective well being pekerja. Stresmemicu munculnya perilaku disfungsi se-hingga menganggu kesehatan secar fisik dan

Page 9: STRES KERJA DAN COPING DALAM MEMEDIASI KONFLIK PERAN …

Stres Kerja Dan Coping ... – Pratiwi, Sintaasih, Piatrini 9

kesehatan mental dalam bentuk rendahnyasubjective well being (Kinnunen dan Mauno,1998; Malek et al., 2010; Yunus et al., 2011).Yang ketiga adalah coping. Wanita yangmampu mengontrol kehidupan merekamenggunakan bentuk-bentuk coping aktif

jauh lebih memiliki subjective well being yangbaik daripada yang tidak. (Varma danDhawan, 2006; Srimathi dan Kumar, 2010).Sehingga berdasarkan pemaparan sebelum-nya maka kerangka konseptual dapat di-gambarkan sebagai berikut:

Gambar 1Rerangka Konseptual Penelitian

METODE PENELITIANRancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekataneksplanatory research dengan penelitian ber-sifat kausalitas, yang bertujuan untuk meng-analisis pengaruh konflik peran terhadapsubjective well being pada perawat RSU PuriRaharja. Penelitian ini juga menganalisisperan stres kerja dan coping dalam me-mediasi pengaruh konflik peran terhadapsubjective well being.

Populasi dan SampelPopulasi penelitian adalah seluruh

perawat wanita yang bekerja di RSU PuriRaharja, berjumlah 161 orang. Teknik peng-ambilan sampel menggunakan teknik pro-portional random sampling. Jumlah sampelditentukan dengan menggunakan rumusSlovin, yaitu: n = N/(N(d2) + 1). Berdasarkanrumus tersebut, n = 161/(161(0,052) + 1) =114, 795 = 115 orang (pembulatan). Dalampengumpulan data digunakan instrumenpenelitian dalam bentuk kuesioner, yangtelah diuji validitas dan reliabilitasnya.

Variabel PenelitianBerdasarkan rumusan masalah dan

kerangka konseptual, variabel penelitiandiindentifikasi sebagai variabel eksogen danendogen. Variabel eksogen yaitu konflikperan (KP), dan variabel endogen meliputi:stres kerja (SK), coping (CO), dan subjectivewell being (SWB).

Definisi Operasional VariabelKonflik Peran (KP) yaitu konflik yang

terjadi pada individu yang bekerja dalam halini adalah perawat, ketika dihadapkan padadua atau lebih peran dan tanggung jawabsekaligus yaitu tanggung jawab pekerjaan,tanggung jawab keluarga, dan tanggungjawab sosial. Peran dan tanggung jawabtersebut harus dijalankan secara bersamaanwalaupun peran tersebut bisa saja ber-tentangan satu sama lain (Yang et al., 2000).Konflik peran diukur dalam dua dimensiyaitu: 1) konflik antara pekerjaan dengankeluarga, yaitu bagaimana tanggung jawabakan pekerjaan dan tanggung jawab pada

Page 10: STRES KERJA DAN COPING DALAM MEMEDIASI KONFLIK PERAN …

10 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 2, Nomor 1, Maret 2018 : 1 – 21

keluarga, diukur dengan time based conflict,strain based conflict, dan behavior based conflict;2) konflik antara pekerjaan dan sosial yaitutanggung jawab terhadap pekerjaan dankegiatan sosial dalam masyarakat yangdapat menimbulkan konflik peran, dilihatdari time based conflict, strain based conflict, danbehavior based conflict.

Stres Kerja (SK) adalah kondisi individudalam hal ini perawat ketika dituntut ataudibebankan tanggung jawab yang melebihikapasitasnya, baik dari diri individu atau-pun dari organisasi, sehingga menyebabkanindividu mengalami perubahan secarapsikologis. Stres kerja diukur dalam 5dimensi (Leung et al., 2007) yaitu: 1) Perilakuindividu, 2) dukungan sosial, 3) situasirumah, sosial, dan pekerjaan 4) beban kerja,dan 5) Lingkungan kerja.

Coping (CO) didefinisikan sebagai pro-ses individu baik kognitif, perilaku, danpsikologis dalam menanggapi stresor atau-pun masalah yang menganggu diri dengancara berfokus pada masalah atau stresoryang dihadapi. Coping diharapkan mem-bantu individu untuk kembali pada kondisiawal dan perbaikan kualitas hidup. Copingdalam penelitian ini terdiri dari dua dimensi(Folkman, 1984) yaitu emotion focused copingdan problem focused coping. Subjective WellBeing (SWB) yaitu penilaian positif individu,dalam hal ini perawat, terhadap kehidupan-nya yang dinilai berdasarkan respon kognitifdan respon emosional, sehingga mem-berikan kesejahteraan dan kebahagiaanpsikologis pada kehidupannya. Subjectivewell being diukur dari enam dimensi (Ryffdan Keyes, 1995), yaitu: 1) penerimaan diri,2) hubungan positif dengan orang lain, 3)autonomi, 4) penguasaan lingkungan, 5)tujuan hidup, 6) pertumbuhan diri.

Teknik Analisis DataTeknik analisis data yang digunakan

dalam penelitian ini meliputi statistikdeskriptif dan statistik inferensial. Analisisstatistik deskriptif digunakan untuk men-deskripsikan karaktersistik responden danvariabel penelitian. Statistik deskriptif yang

digunakan adalah distibusi frekuensi untukmendeskripsikan variabel berdasarkan jawa-ban responden atas tiap item pertanyaandalam kuesioner, dilihat dari nilai rata-rataskor. Statistik inferensial yang digunakanadalah analisis SEM (Structural EquationModelling) berbasis component atau varianceyaitu PLS (Partial Least Square).

ANALISIS DAN PEMBAHASANKarakteristik Responden

Dengan memperhatikan karakteristikresponden berdasarkan usia, ternyata se-bagian besar responden 63 persen berusiaantara 31-40 tahun. Sisanya, 29 persenmemiliki usia antara 20-30 tahun, dan hanya8 persen berusia 40 tahun ke atas. Hal inimenunjukkan bahwa para perawat rumahsakit ini sebagian besar berada pada tahapusia dewasa tengah. Dilihat dari pendidikanmereka, sebagian besar adalah lulusandiploma 86 persen dan sisanya, 14 persenberpendidikan sarjana. Data tersebut mem-beri gambaran, bahwa para perawat inimemiliki pendidikan yang cukup tinggiuntuk mengemban tugas dan tanggungjawab pada RSU Puri Raharja.

Berdasarkan masa kerja, sebagian besarresponden ternyata memiliki masa kerja diatas 10 tahun sebanyak 63 persen, respondendengan masa kerja 0-5 tahun sebanyak 30persen, dan terakhir responden dengan masakerja 6-10 tahun sebanyak 7 persen. Hal inimenunjukkan bahwa sebagian besar dariresponden sudah bekerja lama di instansiRSU Puri Raharja. Berdasarkan persepsiresponden akan keaktifan mereka dalammengikuti kegiatan sosial ditemukan bahwasebagian besar dari responden yaitu sebesar72,2 persen aktif melakukan kegiatan sosialbaik itu kegiatan gotong royong, PKK, banjardan kegiatan sosial lainnya, sedangkansisanya sebesar 27,8 persen, mengaku tidakaktif melakukan kegiatan sosial. Hal inidapat dikatakan bahwa sebagian besarresponden aktif mengambil peran dantanggung jawab dalam lingkungan sosial-nya.

Page 11: STRES KERJA DAN COPING DALAM MEMEDIASI KONFLIK PERAN …

Stres Kerja Dan Coping ... – Pratiwi, Sintaasih, Piatrini 11

Analisis InferensialTeknik analisis data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah PLS. Dari hasilpengolahan data diperoleh model empirikpenelitian seperti tersaji pada Gambar 2berikut ini. Berdasarkan hasil tersebut,selajutnya dievaluasi model pengukuran(outer model), untuk mengetahui validitasdan reliabilitas indikator-indikator yangmengukur variabel laten dan evaluasi modelstruktural (inner model) untuk mengetahuiketepatan model dan pengujian hipotesispenelitian.

Evaluasi Model Pengukuran (Outer Model)Pengujian outer model dilihat dari tiga

kriteria yaitu discriminant validity, convergentvalidity, dan composite reliability. Berikut padaTabel 1 disajikan hasil pengujian ketigakriteria tersebut. Dari informasi yang tersaji

pada Tabel 1, dapat dijelaskan bahwa di-mensi dari masing-masing variabel memilikinilai loading factor di atas 0,60, sehingga dapatdinyatakan bahwa seluruh dimensi validdalam merefleksikan atau mengukur varia-bel latennya, sehingga dapat diartikan bawaseluruh variabel memiliki convergent validityyang baik. Dilihat dari nilai AVE juganampak nilai AVE seluruh variabel latenatau konstruk di atas 0,50 sehingga dapatdikatakan keseluruhan variabel laten me-miliki dicriminant validity yang baik.

Pengujian reabilitas konstruk dilihatdari dua kriteria yaitu nilai composite reabilitydan cronbach alpha. Informasi pada Tabel 1menunjukkan nilai composite reability dancronbach alpha di atas 0,70, sehingga dapatdikatakan bahwa seluruh variabel adalahreliabel (Ghozali dan Latan, 2015).

Gambar 2Model Empirik Penelitian

Tabel 1Uji Validitas dan Reliabilitas

Page 12: STRES KERJA DAN COPING DALAM MEMEDIASI KONFLIK PERAN …

12 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 2, Nomor 1, Maret 2018 : 1 – 21

Variabel dan Indikator OuterLoadings*)

AVE**) CompositeReliability**)

CronbachAlpha**)

Konflik Peran (X1)Work-Family conflict (X1) 0,973 0,633 0,945 0,927Work- Social Conflict (X2) 0,939Stres Kerja (Y1)Perilaku individu (Y1.1) 0,943 0,739 0,973 0,970Dukungan sosial (Y1.2) 0,801Situasi rumah, sosial, dan pekerjaan (Y1.3) 0,899Beban Kerja (Y1.4) 0,933Lingkungan kerja (Y1.5) 0,936Coping (Y2)Emotion focus coping(Y2.1) 0,953 0,667 0,969 0,966Problem focused coping(Y2.2) 0,943Subjective Well Being (Y3)Penerimaan Diri (Self Acceptance) (Y3.1) 0,948 0,685 0,978 0,976hubungan baik dengan orang lain (positiverelations with other) (Y3.2)

0,934

Autonom(Y3.3) 0,937(penguasaan lingkungan (environmentalmastery) (Y4)

0,925

tujuan hidup (purpose in life)(Y5) 0,882pertumbuhan diri (personal growth) (Y6) 0,882

Sumber: Data primer, diolah, 2017

Catatan: *) indikator valid, apabila outer loadings ≥ 0,60**) discriminant validity baik, apabila AVE > 0,5**) indikator reliabel, apabila composite reliability dan cronbach alpha ≥ 0,70

Evaluasi Model Struktural (Inner Model)Model struktural dievaluasi dengan

melihat Q2 predictive relevance model yangmengukur seberapa baik nilai observasidihasilkan oleh model. Q2 didasarkan padakoefisien determinasi (R2) seluruh variabelendogen, dalam model ini ada 3 variabel

endogen, yaitu stres kerja, coping, subjectivewell being. Besaran Q2 memiliki nilai denganrentang 0 < Q2 < 1, semakin mendekati nilai1 berarti model semakin baik.

Koefisien determinasi (R2) masing-masing variabel endogen ditampilkan padaTabel 2 sebagai berikut.

Tabel 2Nilai R-squareVariabel Endogen

Konstruk R-square

Stres Kerja (Y1) 0,010192

Coping (Y2) 0,439157Subjective Well Being (Y3) 0,719710

Sumber: data primer diolah, 2017Berdasarkan nilai R-square dapat dihitung Q-square sebagai berikut:Q2 = 1-(1-(R1)2) (1-(R2)2) (1-(R3)2)

Page 13: STRES KERJA DAN COPING DALAM MEMEDIASI KONFLIK PERAN …

Stres Kerja Dan Coping ... – Pratiwi, Sintaasih, Piatrini 13

= 1-(1-0,10192)(1-0,439157)(1-0,719710)= 1 – 0,1555965155= 0,844403484

Dari hasil perhitungan tersebut didapatnilai Q2 sebesar 0,8444 sehingga dapatdisimpulkan bahwa goodness of fit modelstruktural sangat baik. Hal ini juga dapatdiartikan bahwa informasi yang terkandungdalam data, 84,44% dapat dijelaskan olehmodel, sementara sisanya 14,46% dijelaskanoleh error dan variabel lain yang tidakdimasukkan dalam model.

Hasil Pengujian HipotesisPengujian hipotesis dilakukan dengan t-

test pada masing-masing jalur pengaruhvariabel secara parsial. Hasil uji koefisienpath pada setiap jalur disajikan pada Tabel 3berikut. Berdasarkan hasil yang disajikanpada Tabel 3, maka dapat dijelaskan sebagaiberikut.

Pertama, Pengaruh konflik peran ter-hadap subjective well being. Berdasarkan datayang ada didapat nilai koefisien jalur

pengaruh konflik peran terhadap subjectivewell being sebesar -0,658, dengan nilai tstatistik sebesar 8,070 > 1,96. Maka dapatdikatakan konflik peran berpengaruh negatifdan signifikan terhadap subjective well being.Hasil ini menunjukkan hipotesis pertama(H1) bahwa konflik peran berpengaruhnegatif dan signifikan terhadap subjectivewell being, terdukung.

Kedua, Pengaruh konflik peran ter-hadap stres kerja. Dari data pada Tabel 3diketahui nilai koefisien jalur sebesar 0,101dengan t statistik sebesar 1,136 < 1,96. Makadapat dikatakan pengaruh konflik peran ter-hadap stres kerja tidak signifikan. Hal inimenunjukkan bahwa hipotesis kedua (H2)yang menyatakan pengaruh konflik peranpositif signifikan terhadap stres kerja tidakterdukung, sehingga semakin tinggi ataurendah konflik peran maka tidak mem-pengaruhi tinggi rendahnya stres kerja.

Tabel 3Path Coefficients

Korelasi antar variabel Koefisienjalur

t-statistik Keterangan

Konflik peranSubjective well being -0,658 8,070 SignifikanKonflik peran Stres Kerja 0,101 1,136 Non signifikanStres Kerja subjective well being -0,052 1,447 Non signifikanKonflik peran Coping -0,663 12,286 SignifikanCoping subjective well being 0,246 3,074 SignifikanKonflik peran Subjective well being(tanpa melibat variable mediasi-streskerja)

- 0,827 20,61 Signifikan

Konflik peran Subjective well being(tanpa melibat variable mediasi-Coping)

-0,826 20,73 Signifikan

Sumber : Data primer diolah, 2017

Ketiga, Pengaruh konflik peran ter-hadap coping, diperoleh nilai koefisien jalursebesar -0,663 dengan t statistik 12.286 > 1,96sehingga dapat diartikan konflik peran

berpengaruh negatif dan signifikan ter-hadap coping. Hasil ini menunjukkan bahwahipotesis ketiga (H3) yang berbunyi konflikperan berpengaruh negatif dan signifikan

Page 14: STRES KERJA DAN COPING DALAM MEMEDIASI KONFLIK PERAN …

14 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 2, Nomor 1, Maret 2018 : 1 – 21

terhadap coping terdukung. Hasil ini jugadapat berarti semakin tinggi konflik peranmaka coping juga semakin buruk.

Keempat, Pengaruh stres kerja terhadapsubjective well being, nampak nilai koefisienjalur sebesar -0,052 dengan t statistik 1,447 <1,96. Maka dapat dikatakan stres kerjaberpengaruh negatif, terhadap subjective wellbeing, tetapi tidak signifikan. Hal ini me-nunjukkan bahwa hipotesis keempat (H4)yaitu, stres kerja berpengaruh negatif dansignifikan terhadap subjective well being tidakterdukung. Peningkatan stres kerja tidakberpengaruh pada baik atau buruknyasubjective well being.

Kelima, Uji pengaruh coping terhadapsubjective well being, didapat nilai koefisienkorelasi sebesar 0,246 dengan t statistik 3,074> 1,96, maka dapat dikatakan ada pengaruhcoping terhadap subjective well being. Hal inimenunjukkan bahwa hipotesis kelima (H5)yang menyatakan pengaruh coping positifsignifikan terhadap subjective well beingterdukung, sehingga semakin baik copingmaka semakin baik subjective well being yangdimiliki.

Hasil Pengujian MediasiDengan memperhatikan hasil koefisien

jalur seperti tersaji pada tabel 3, maka dapatdijelaskan efek mediasi sebagai berikut.a. Efek mediasi stres kerja pada pengaruh

konflik peran terhadap subjective wellbeing. Berdasarkan data pada tabel 3, di-ketahui pengaruh konflik peran terhadapvariabel subjective well being pada modeldengan melibatkan variabel stres kerjaadalah signifikan; efek konflik peranterhadap subjective well being tanpa me-libatkan stres kerja, tidak signifikan;variabel konflik peran terhadap streskerja, tidak signifikan; dan efek stres kerjaterhadap subjective well being, tidak signi-fikan, maka dapat disimpulkan bahwastres kerja tidak memediasi pengaruhkonflik peran terhadap subjective wellbeing. Dengan demikian, maka hipotesis 6bahwa stres kerja memediasi pengaruh

konflik peran terhadap subjective wellbeing, tidak terdukung.

b. Efek mediasi coping, pada pengaruhkonflik peran terhadap subjective wellbeing. Dengan memperhatikan hasil padaTabel 3, ternyata efek konflik peran te-rhadap subjective well being pada modeldengan melibatkan variabel coping adalahsignifikan; efek konflik peran terhadapsubjective well being tanpa melibatkancoping, signifikan; efek konflik peran ter-hadap coping, signifikan; dan efek copingterhadap subjective well being signifikan,maka hal ini membuktikan bahwa copingsebagai partial mediation pada pengaruhkonflik peran terhadap subjective wellbeing. Temuan ini menunjukkan hipotesis7 bahwa coping memediasi pengaruhkonflik peran terhadap subjective wellbeing terdukung.

PembahasanPengaruh Konflik Peran terhadap Subjec-tive Well Being

Hasil analisis menunjukkan bahwakonflik peran berpengaruh negatif signifikanterhadap subjective well being. Hasil ini dapatdiartikan bahwa semakin tinggi konflikperan yang dialami perawat RSU PuriRaharja maka semakin buruk subjective wellbeing mereka, begitu juga sebaliknya, jikasemakin rendah konflik peran yang terjadipada diri perawat maka subjective well beingakan semakin baik. Hal ini didukung denganhasil deskripsi variabel, di mana konflikperan yang dirasakan perawat RSU PuriRaharja ternyata dalam kategori sedang,sementara subjective well being perawatadalah dalam katagori baik.

Hal ini dapat terjadi karena konflikperan dari dimensi work family conflictdengan beberapa indikator, tergolongrendah. Dari ketersediaan waktu, merekamasih memiliki waktu akhir pekan bersamakeluarga. Hal ini juga karena dukungankeluarga, di mana anggota keluarga tidakmengeluh dengan terbatasnya waktu ber-sama keluarga karena pekerjaan mereka.Selain dukungan keluarga, lingkungan sosial

Page 15: STRES KERJA DAN COPING DALAM MEMEDIASI KONFLIK PERAN …

Stres Kerja Dan Coping ... – Pratiwi, Sintaasih, Piatrini 15

pun ternyata secara tidak langsung men-dukung, dimana pengenaan sanksi tidakterlalu memberatkan serta kegiatan-kegiatansosial yang dilakukan sebenarnya tidakterlalu menghambat pekerjaan di kantor.

Temuan ini berdampak pada tingginyadimensi “hubungan baik dengan orang lain”pada subjective well being yang menyumbangtingginya nilai subjective well being, namun disisi lain, tingginya konflik antara pekerjaandan kegiatan sosial menjadi penyebab utamaterjadinya konflik peran perawat RSU PuriRaharja dengan jarang mengambil cutidisebabkan sulitnya mengambil cuti danjarangnya perawat RSU Puri Raharja untukmenolak atau enggan dalam melaksanakanperintah kelihan banjar dalam melaksanakantanggung jawab tentu menambah beban dantanggung jawab mereka diluar tanggungjawab dalam pekerjaan. Hal ini mempe-ngaruhi rendahnya dimensi penguasaanlingkungan pada subjective well being pe-rawat. Mereka beranggapan mereka seringmerasa kelelahan ketika harus menguruspekerjaan, merasa kelelahan menguruskeluarga, dan kelelahan mengurus kegiatansosial.

Hasil tersebut sesuai dengan penelitianterdahulu yaitu Kinnunen dan Mauno(1998); Vallone dan Donaldson (2001);Koyuncu et al. (2012) yang menyimpulkanbahwa adanya pengaruh negatif dan sigini-fikan konflik peran terhadap subjective wellbeing. Hasil yang sejalan juga ditunjukkandari penelitian lainnya yang menyebutkankonflik peran dapat memicu rendahnya wellbeing yang dimiliki individu (Panatik et al.,2011; Koyuncu et al., 2012; Sianturi danZulkarnain, 2013).

Pengaruh Konflik Peran terhadap StresKerja

Hasil pengujian hipotesis menunjukkanbahwa konflik peran tidak signifikan ber-pengaruh terhadap stres kerja. Hasil inididukung dengan data empirik, di manahasil penelitian menunjukkan konflik peranyang dirasakan perawat tergolong sedang,demikian pula halnya dengan stres kerja

yang sedang pula. Hasil ini menunjukkanbahwa tinggi rendahnya konflik peran yangdirasakan perawat RSU Puri Raharja tidakberpengaruh nyata terhadap tinggi rendah-nya stres kerja mereka.

Konflik peran yang dirasakan perawatyang tergolong sedang terutama nampakdari dimensi konflik antara pekerjaan dankeluarga, yang dalam hal ini dukungankeluarga yang besar, terbukti dari anggotakeluarga yang tidak banyak mengeluh,karena para perawat ini berupaya mengaturwaktu untuk bisa bersama keluarga. Dalamhubungannya dengan stres kerja perawat,ternyata stres kerja yang dirasakan masihtergolong sedang, terutama dilihat daridimensi situasi rumah, sosial, dan pekerjaan.Dalam kaitan ini perawat merasa bahwabeban kerja tidak menghalangi waktu untukkeluarga, serta adanya penghargaan ataupengertian dari keluarga atas pekerjaan yangdilakukan, sehingga kondisi ini dapat me-redam stres kerja.

Faktor usia perawat juga dapat men-jelaskan hasil ini. Mengingat bahwa perawatRSU Puri Raharja rata-rata berusia sekitar 30-40 tahun sehingga mereka berada pada masausia dewasa tengah atau middle adulthood.Pada usia ini individu akan cenderung dapatmengatasi sumber stres dengan lebih baikdibandingkan rentang usia lainnya. Merekadianggap memiliki kemampuan yang lebihbaik mengubah lingkungan stressor danberusaha untuk menerima keadaan yangtidak dapat diubah (Lachman, 2004 dalamPapalia et al., 2009). Hal ini dapat menunjuk-kan bahwa perawat RSU Puri Raharja telahmampu mengatasi sumber stres yaitukonflik dan mampu mengubah sumbermasalah sehingga dapat menerima stressordengan lebih baik.

Selanjutnya pada usia middle adulthoodpula mereka cenderung ingin lebih produktifdalam berkontribusi pada pekerjaan danmasyarakat memiliki keinginan untuk cen-derung terlibat dalam segala hal yang me-nyangkut anak dan keluarga mereka(Papalia et al., 2009). Temuan ini menjelaskanbahwa walaupun para perawat RSU Puri

Page 16: STRES KERJA DAN COPING DALAM MEMEDIASI KONFLIK PERAN …

16 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 2, Nomor 1, Maret 2018 : 1 – 21

Raharja mengalami konflik antara pekerjaandan keluarga dan konflik antara pekerjaandan sosial namun mereka menikmati konfliktersebut karena adanya keinginan untukterlibat secara aktif dan produktif pada tigatanggungjawab tersebut. Hasil penelitian inisejalan dengan penelitian terdahulu yangmenyebutkan bahwa konflik peran dapatmemicu tingginya intensitas stres yangdirasakan individu yang bekerja (Jamadin etal., 2005; Delina dan Raya, 2013; Ul-Ain etal.,2013).

Pengaruh Konflik Peran terhadap CopingHasil analisis menunjukkan bahwa

konflik peran berpengaruh negatif dan signi-fikan terhadap coping. Hasil ini didukungdengan data empirik, di mana konflik peranyang dirasakan perawat dalam intensitassedang, diikuti dengan tingginya copingperawat RSU Puri Raharja. Hal ini dapatdiartikan bahwa ketika perawat ini meng-alami konflik peran yang rendah makacoping mereka semakin baik.

Hal ini dikarenakan rendahnya workfamily conflict, dalam hal mana para perawatRSU Puri Raharja merasakan adanya duku-ngan keluarga atas pekerjaan yang dilaku-kan. Selain itu waktu akhir pekan tetapmereka dapatkan untuk berkumpul bersamakeluarga. Rendahnya dimensi work familyconflict ini diikuti dengan tingginya dimensidan indikator pada coping. Adanya duku-ngan dari keluarga ketika menghadapikonflik memberikan nilai yang tinggi ter-hadap kesempatan perawat untuk berbicaratentang yang dirasakan pada orang lainwalaupun bukan untuk mencari solusi.Selain itu pemecahan masalah yang samabaik di kantor dengan di keluarga atau dikantor dengan kegiatan sosial, dapat me-ningkatkan kemampuan perawat untukmembuat rencana matang dalam menyele-saikan masalah serta dapat memahamimasalah dari berbagai sudut padang,sehingga meningkatkan coping yang di-miliki. Hasil penelitian ini sejalan denganpenelitian Vashchenko et al. (2007) yangmenyebutkan ada korelasi yang signifikan

antara role conflict dengan coping. Selain ituhasil ini juga sejalan dengan penelitianAazami et al.(2015), yang menyebutkanbahwa konflik peran yang rendah mampumemunculkan problem focused coping. Hasilpenelitian ini didukung penelitian terdahuludimana konflik peran memiliki korelasi yangsignifikan terhadap coping (Vashchenko et al.,2007; Aazami et al., 2015).

Pengaruh Stres Kerja terhadap SubjectiveWell Being

Dari hasil pengujian hipotesis terbuktibahwa stres kerja tidak berpengaruh signi-fikan terhadap subjective well being. Hal inididukung dengan data empirik di manatingkat stres kerja yang dialami para perawatini tergolong sedang, namun subjective wellbeing mereka ternyata baik. Hasil ini meng-indikasikan walaupun ada kondisi yangmemicu terjadinya stres namun tidak ber-dampak nyata dengan tingat kesejahteraandirinya, dalam hal ini subjective well beingmereka tetap tinggi.

Dimensi dukungan sosial salah satudimensi stres kerja memang tergolong tinggi,yang memiliki arti bahwa stres kerja perawatRSU Puri Raharja dipicu oleh dukungansosial yang rendah. Terkadang mereka tidakmendapat penghargaan atas kinerja yangbaik dan ada kesulitan mengemukakanmasalah menjadi alasannya. Dimensi lainyaitu lingkungan kerja yang kurang men-dukung, di mana para perawat ini merasabahwa karir yang sulit berkembang danterbatasnya kesempatan untuk mengem-bangkan kemampuan juga menjadi pemicustres kerja, namun, hal tersebut tidak ber-dampak nyata pada subjective well being,dengan melihat dimensi penerimaan diriyang memiliki nilai rata-rata tinggi. Walau-pun keadaan-keadaan pemicu stres kerjayang telah dipaparkan sebelumnya tinggi,namun perawat tetap bangga dengan apayang telah dicapai. Mereka juga dapatmenerima semua kekurangan yang adadalam hidupnya dan tidak menyesali ke-putusan-keputusan yang telah diambil.

Page 17: STRES KERJA DAN COPING DALAM MEMEDIASI KONFLIK PERAN …

Stres Kerja Dan Coping ... – Pratiwi, Sintaasih, Piatrini 17

Selain itu, bila dihubungkan dengankarakteristik individu yaitu usia perawatRSU Puri Raharja yang berada dalam ren-tang midlle adulthood, cenderung mampumenangani stres yang dialami. Pada rentangusia ini pula, individu dianggap telahmemiliki well being yang stabil dan memilikimental yang sehat, sehingga subjective wellbeing mereka tetap tinggi. Selain rentangusia, dalam hal ini ada indikasi prediktorlain yang mempengaruhi well being yaitulocus of control. Menurut Griffin (2014), adaperbedaan pengaruh antara locus internaldan locus eksternal terhadap intensitas wellbeing individu, sehingga dapat diartikanlocus internal memengaruhi secara positifsubjective well being.

Pengaruh Coping terhadap Subjective WellBeing

Hasil analisis menunjukkan bahwacoping berpengaruh positif signifikan ter-hadap subjective well being. Hasil ini memberiarti, dengan semakin baik coping perawatmaka subjective well being mereka jugasemakin baik. Hal ini dapat dilihat darikondisi coping mereka dalam kategori baikdan subjective well being juga tergolong dalambaik.

Coping yang baik terutama dipicudengan tingginya nilai dimensi problemfocused coping, yang dalam hal ini paraperawat mencoba memahami masalah darisudut pandang berbeda, mengingatkan diriuntuk menjadi orang yang lebih baik,sehingga mendorong pertumbuhan diri,dengan memandang bahwa hidup adalahproses belajar, sehingga kemampuan pe-rawat Puri Raharja untuk memotivasi dirimenjadi lebih baik berdampak pada ting-ginya subjective well being. Selain itu paraperawat juga merasa lebih baik denganmenghabiskan waktu sendiri, masalah me-rupakan tanggung jawab pribadi yang harusdiselesaikan sendiri secara langsung me-ningkatkan pula autonomi mereka sehinggasubjective well being perawat menjadi baik.Mereka dapat melaksanakan segala tindakanatas kemampuan dan kemauan sendiri.

Hasil penelitian ini didukung penelitiansebelumnya bahwa strategi coping ber-dampak pada intensitas well being (VanHarreveld et al., 2007; Picken, 2012; Rodri-guez et al.,2015).

Peran Stres Kerja dalam MemediasiHubungan Konflik Peran dengan Subjec-tive Well Being

Hasil analisis data memberi petunjukbahwa pengaruh konflik peran terhadapstres kerja dan pengaruh stres kerja terhadapsubjective well being sama-sama menghasil-kan hubungan yang tidak signifikan, se-hingga dapat dikatakan stres kerja bukanpemediasi pengaruh konflik peran terhadapsubjective well being. Temuan ini menunjuk-kan bahwa tinggi rendahnya tingkat streskerja tidak berdampak pada hubungankonflik peran dengan subjective well being.Hal ini dikarenakan konflik peran yangdirasakan perawat RSU Puri Raharja tidakbegitu membuat mereka stres dalam pe-kerjaaan. Stres kerja yang dirasakan ter-utama karena faltor perilaku individu dalammenghadapi pasien, bukan karena konflikperan. Selanjutnya intensitas stres kerja yangdirasakan perawat tidak begitu tinggi, se-hingga subjective well being mereka tetap baik.Alasan lainnya, juga karena usia perawatRSU Puri Raharja dalam rentang midlleadulthood yang cenderung mampu me-nangani stres yang dialami, sehingga tidakbegitu memengaruhi subjective well beingmereka.

Dalam kaitan ini, para perawat RSU PuriRaharja rata-rata berusia sekitar 30-40 tahun,yang mana pada usia ini individu akancenderung dapat mengatasi sumber stresdengan lebih baik dibandingkan rentangusia lainnya dan dianggap telah memilikiwell being yang stabil dan memiliki mentalyang sehat.

Peran Coping Memediasi HubunganKonflik Peran dengan Subjective WellBeing

Hasil analisis menemukan bahwa kon-flik peran berpengaruh signifikan terhadap

Page 18: STRES KERJA DAN COPING DALAM MEMEDIASI KONFLIK PERAN …

18 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 2, Nomor 1, Maret 2018 : 1 – 21

subjective well being, konflik peran berpe-ngaruh signifkan terhadap coping, dan copingberpengaruh signifikan terhadap subjectivewell being. Maka dapat dikatakan bahwacoping sebagai partial mediation pengaruhkonflik peran terhadap subjective well being.Hal ini mengindikasikan bahwa baik copingdan konflik peran menjadi faktor pentingmenentukan subjective well being pada pe-rawat RSU Puri Raharja, sehingga strategicoping yang tepat akan membantu merekauntuk mengurangi dampak konflik peranyang dialami sehingga dapat tetap me-ningkatkan subjective well being mereka.

SIMPULAN DAN SARANSimpulan

Berdasarkan pembahasan hasil peneliti-an ini maka dapat disimpulkan sebagai be-rikut: 1) Konflik peran berpengaruh negatifdan signifikan terhadap subjective well being.Hal ini menunjukkan bahwa jika konflikperan yang dialami seseorang meningkat,maka subjective well being mereka akanmenurun. 2) Konflik peran tidak berpe-ngaruh signifikan terhadap stres kerja. Halini dikarenakan adanya faktor-faktor lainseperti rentang usia, keadaan lingkungankerja, sehingga konflik peran yang terjaditidak berdampak nyata atau signifkanpengaruh terhadap stres kerja. 3) Konflikperan berpengaruh negatif dan signifikanterhadap problem coping. Hal ini memilikimakna bahwa adanya peningkatan konflikperan yang dialami dapat menurunkankemampuan problem coping yang dimilikiindividu. 4) Stres kerja tidak berpengaruhsignifkan terhadap subjective well being. Halini dikarenakan adanya faktor rentang usiamiddle adulthood yang memengaruhi subjec-tive well being lebih stabil di usia middleadulthood. 5) Coping berpengaruh positifsignifikan terhadap subjective well being. Halini dapat dimaknai adanya peningkatan ke-mampuan problem coping dapat meningkat-kan subjective well being pada individu. 7)Coping terbukti mampu memediasi pe-ngaruh konflik peran terhadap subjective wellbeing. Hal ini dimaknai bahwa tanpa adanya

coping, konflik peran dapat memengaruhisubjective well being, namun kehadiran copingsebagai mediator dapat menurunkan pe-ngaruh konflik peran terhadap subjective wellbeing sehingga subjective well being dapatditingkatkan.

Keterbatasan dan SaranBerdasarkan penelitian yang dilakukan

didapat beberapa keterbatasan pada pe-nelitian ini antara lain: 1) Penelitian ini hanyadilakukan pada satu institusi yaitu rumahsakit umum Puri Raharja, sehingga pentingpada penelitian di masa datang memperkayaresponden dari rumah sakit lain denganakreditasi yang berbeda atau menggunakanindustri lain yang berhubungan denganpelayanan seperti pariwisata, dan perban-kan; 2) Penelitian ini hanya mengambilresponden wanita, sehingga untuk peneliti-an selanjutnya dapat mengembangkanresponden laki-laki dan wanita sehinggamemperkaya temuan dari penelitian. Pe-nelitian selanjutnya juga bisa mengembang-kan penelitian dengan membedakan usia,mengingat adanya perbedaan perkemba-ngan pada setiap tahapan usia; 3) Penelitianini tidak dapat membuktikan peran streskerja dalam memediasi pengaruh konflikperan terhadap subjective well being, sehinggapada penelitian selanjutnya hal ini dapatditeliti kembali atau mengubah model daripenelitian.

DAFTAR PUSTAKAAazami, S., K. Shamsuddin, dan S. Akmal.

2015. Examining Behavioural CopingStrategies as Mediators between Work-Family Conflict and PsychologicalDistress. The Scientific World Journal2015: 1-7.

Alves, S. L. 2005. A Study of OccupationalStress, Scope of Practice, and Colla-boration in Nurse Anesthestists Practi-cing in Anesthesia Care Team Setting.AANA Journal 73(6): 443-452.

Barron, R. G., I. M. Castilla, M. Casullo, danJ. B. Verdu. 2002. Relacion Entre Estilos

Page 19: STRES KERJA DAN COPING DALAM MEMEDIASI KONFLIK PERAN …

Stres Kerja Dan Coping ... – Pratiwi, Sintaasih, Piatrini 19

y Estrategias de Afrontamiento yBienestar Pscologico en Adolescentes.Psicothema 14(2): 363-368.

Bell, A. S., D. Rajendran, dan S. Theiler. 2012.Job Stress, Wellbeing, Work-Life Balanceand Work-Life Conflict among Australi-an Academics. Electronic Journal ofApplied Psychology 8(1): 25-37.

Carver, C. S., M. F. Scheier, dan J. K.Weintraub. 1989. Assesing Coping Stra-tegies: a Theoretically Based Approach.Journal of Personality and Social Psychology56(2): 267-283.

Churiyah, M. 2007. Pengaruh Konflik Peran(Role Conflict) terhadap KepuasaanKerja Perawat serta Komitmen padaOrganisasi. Modernisasi 3(1): 43-53.

Delina, G. dan R. P. Raya. 2013. A Study onWork-Life Balance in Working Women.International Journal of Commerce, Busi-ness and Management 2(5): 274-282.

Diener, Ed. 2009. The Science of Well-being: theCollected Works of Ed Diener. SpringerScience & Business Media. USA.

Elfering, A., S. Grebner, N. K. Semmer, D. K.Freiburghaus, S. L. D. Ponte, dan I.Witschi. 2005. Chronic Job Stressors andJob Control: Effects on Event RelatedCoping Success and Well-Being. Journalof Occupational and OrganizationalPsychology 78(2): 237-252.

Elgar, K. dan A. Chester. 2007. The MentalHealth Implication of Maternal Employ-ment: Working versus at Home Mother-ing Identities. Australian e-Journal for theAdvancement of Mental Health 6(1): 47-55.

Erlandsson, L. K. dan M. Eklund. 2006.Levels of Complexity in Patterns ofDaily Occupations: Relationship toWomen’s Well-Being. Journal of Occu-pational Science 13(1): 27-36.

Fierro, C. dan J. A. Jimenez. 2002. Well Being,Personality Dimensions and Coping inYoung People. Escritos de Psicologia 6: 85-91.

Folkman, S. 1984. Personal Control andStress and Coping Processes: A Theore-tical Analysis. Journal of Personality andSocial Psychology 46(4): 839-852.

Ghozali, I. dan H. Latan. 2015. Partial LeastSquares Konsep, Teknik, dan Aplikasi Me-nggunakan Smartpls 3.0 untuk PenelitianEmpiris. UNDIP. Semarang.

Griffin, D. P. 2014. Locus of Control andPsychological Well Being: Separatingthe Measurement of Internal andExternal Construct. Eastern KentuckyUniversity Libraries Research Award forUndergraduates 3: 1-13.

International Labour Organization. 2014.Tren Sosial dan Ketenagakerjaan. Indo-nesia.

Jamadin, N., S. Mohamad, Z. Syarkawi, danF. Noordin. 2015. Work Family Conflictand Stress: Evidence from Malaysia.Journal of Economic, Business and Mana-gement 3(2): 309-312.

Keyes, C. L. M. 2005. Mental Ilness and/orMental Health? Investigating Axioms ofthe Complete State Model of Health.Journal of Consulting and Clinical Psycho-logy 73(3): 539-548.

Kinnunen, U. dan S. Mauno. 1998. Ante-cedents and Outcomes of Work FamilyConflict among Employed Women andMen in Finland. Human Relations 51(2):157-177.

Koyuncu, M., R. J. Burke, L. Fiksenbaum.2009. Work-Family Conflict amongTurkish Managers: Potential Ante-cedents and Consequences. The Journal ofIndustrial Relations and Human Resources11(1): 1-16.

Kurnia, N. P. 2015. The Impactof StressatWorkon Employee’s PsychologicalWell-being in Jakarta. iBuss Management3(2): 68-76.

Lennon, M. C. 1994. Women, Work, andWell-Being: The Importance of WorkConditions. Journal of Health and SocialBehavior 35(3): 235-247.

Leung, M. Y., J. Sham, dan Y. S. Chan. 2007.Adjusting Stressors-job Demand Stressin Preventing Rustout/Burnout inEstimators. Surveying and Built Environ-ment 18(1): 17-26.

Lo, S., R. Stone, dan C. W. Ng. 2003. WorkFamily Conflict and Coping Strategies

Page 20: STRES KERJA DAN COPING DALAM MEMEDIASI KONFLIK PERAN …

20 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 2, Nomor 1, Maret 2018 : 1 – 21

Adopted by Female Married Professi-onals in Hongkong. Women in Mana-gement Review 18(4): 182-190.

Luthans, F. 2006. Organizational Behavior.Ninth Edition. McGraw Hill. New York.

Malek, M. D. A., K. Mearns, dan R. Flin. 2010.Stress and Psychological Well Being inUK and Malaysian Fire Fighters. CrossCulturalManagement: an InternationalJournal 17(1): 50-61.

Munthe, H. M. 2003. Perkembangan Status danPeranan Wanita Indonesia. USU DigitalLibrary 1-8.

Nilakusumawati, D. P. E. dan M. Susilawati.2011. Studi Faktor-Faktor yang Mem-pengaruhi Wanita Bekerja di KotaDenpasar. Piramida VIII(1): 26-31.

Page, K. M. dan D. A. V. Brodrick. 2009. The‘What’, ‘Why’, and ‘How’ of EmployeeWell Being: a New Model. Social Indi-cators Research 90(3): 441-458.

Panatik, S. A., S. K. Z. Badri, A. Rajab, H. A.Rahman, dan I. M. Shah. 2011. TheImpact of Work Family Conflict onPsychological Well Being among SchoolTeachers in Malaysia. Procedia-Social andBehavioral Sciences 29: 1500-1507.

Paramartha, I. G. N. B. 2015. LandasanYuridis dan Makna Pengukuhan Awig-Awig Desa Pakraman oleh Bupati/Walikota.Tesis. Program PascasarjanaUniversitas Udayana. Denpasar.

Bourgault, P., S. Lavoie, E. P. Savoie, M.Gregoire, C.Michaud, E. Gosselin, danC. C. Johnston. 2015. Relationship bet-ween Empathy and Well Being amongEmergency Nurses. Journal of EmergencyNursing 41(4): 323-328.

Papalia, D. E., S. W. Olds, dan R. D. Feldman.2009. Human Development. Eleven Edi-tion. Mcgraw-Hill International Edition.USA.

Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempu-an dan Perlindungan Anak RepublikIndonesia. 2015. Menteri PemberdayaanPerempuan dan Perlindungan AnakRepublik Indonesia. Jakarta.

Picken, J. 2012. The Coping Strategies, Adjus-ment and Well Being of Male Inmates in

the Prison Environment. Internet Journalof Criminology(2012): 1-29.

Powell, G. N. dan J. H. Greenhaus. 2006. IsThe Opposite of Positive Negative?:Untangling the Complex Relationshipbetween Work-Family Enrichment andConflict. Career Development International11(7): 650-659.

Rodriguez, T. M., J. C. Melendez-Moral, P. V.Segui, dan A. S. Galan. 2015. CopingStrategies as Predictors of Well Being inYouth Adult. Social Indicators Research122(2): 479-489.

Ryff, C. D. dan C. L. M. Keyes. 1995. TheStructure of Psychological Well BeingRevisited. Journal of Personality and SocialPsychology 69(4): 719-727.

Sahu, F. M. dan S. Rath. 2003. Self Efficacyand Wellbeing in Working and Non-working Women: The Moderating Roleof Involvement. Psychology and Deve-loping Societies 15(2): 187-198.

Sianturi, M. M. dan Zulkarnain. AnalisisWork Family Conflict terhadap Ke-sejahteraan Psikologis Pekerja. JurnalSains dan Praktik Psikologi 1(3): 207-215.

Sudantra, I. K. 2011. Tri Semaya HukumAdat Bali: Potret Perkembangan HakPerempuan Bali dalam Hukum Keluar-ga. http://sudantra.blogspot.co.id/2011/12/gender-dalam-hukum-adat-bali.html.Diakses tanggal 15 Desember 2016.

Srimathi, N. L. Dan S. K. K. Kumar. 2010.Psychological Well Being of EmployedWomen Across Different Organisations.Journal of the Indian Academy of AppliedPsychology 36(1): 89-95.

Taylor, S. E., L. A. Peplau, dan D. O. Sears.2009. Psikologi Sosial. Edisi Keduabelas.Kencana Prenada Media Group. Jakarta.

Ul-Ain, Q., M. A. Khattak, dan N. Iqbal. 2013.Impact of Role Conflict on Job Satis-faction, Mediating Role of Job Stress inPrivate Banking Sector. InterdisciplinaryJournal of Contemporary Research inBusiness 4(12): 711-722.

Vallone, E. J. G. dan S. I. Donaldson. 2001.Consequences of Work Family Conflict

Page 21: STRES KERJA DAN COPING DALAM MEMEDIASI KONFLIK PERAN …

Stres Kerja Dan Coping ... – Pratiwi, Sintaasih, Piatrini 21

on Employee Well-Being over Time.Work & Stress 15(3): 214-226.

Van Harreveld, F., J. Van Der Pligt, L.Claassen, dan W. W. Van Dijk. 2007.Intimate Emotion Coping and Psycho-logical and Physical Well Being. CriminalJustice and Behavior 34(5): 607-708.

Varma, R. dan N. Dhawan. 2006. PsychoSocial Factors and Mental Health ofContemporary Indian Women. Psycho-logical Studies 51(2/3): 171-177.

Vashchenko, M., E. Lambidoni, dan L. R.Brody. 2007. Late Adolescents’CopingStyles in Interpersonal and Intra-personal Conflicts using the NarrativeDisclosure.Clinical Social Work Journal35(4): 245-255.

Williams, K. dan A. McGillicuddy-De Lisi.2000. Coping Strategies in Adolescents.Journal of Applied Developmental Psycho-logy 20(4): 537-549.

Xu, L. 2009. View on Work-family Linkageand Work-family Conflict Model. Inter-

national Journal of Business and Mana-gement 4(12): 229-233.

Yang, N., C. C. Chen, J. Choi, dan Y. Zou.2000. Source of Work-family Conflict: ASino–U.S. Comparison of the Effects ofWork and Family Demands. Academy ofManagement Journal 43(1): 113-123.

Yufiza. 2010. Peran Perempuan Bali. https://gunungrata.wordpress.com/2010/05/10/peran-perempuan-bali/. Diakses tanggal 15Desember 2016.

Yunus, J. M., B. Mahajar, dan A. Jumaat.2011. Stress and Psychological Well-being of Government Officers inMalaysia. The Journal of Human Resourceand Adult Learning 7(2): 40-50.