Bidang : Ilmu Hukum LAPORAN PENELITIAN STATUS KEWARGANEGARAAN GANDA TIDAK TERBATAS BAGI ANAK DIASPORA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA PENELITI: Ketua: Made Nurmawati,SH.MH NIDN : 0031036208 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Bidang : Ilmu Hukum
LAPORAN PENELITIAN
STATUS KEWARGANEGARAAN GANDA TIDAK TERBATAS BAGI
ANAK DIASPORA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
PENELITI:
Ketua: Made Nurmawati,SH.MH
NIDN : 0031036208
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………………. ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………. iii
RINGKASAN……………………….. …………………………………….. iv
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………. 1
1.1.Latar Belakang Masalah............................................................................ 1
sudah tentu akan membawa dampak dalam kehidupan mereka baik secara ekonomi,social ,
budaya maupun hukum. Secara khusus dampak juga berkaitan dengan status
kewarganegaraan mereka dan anak-anak yang dilahirkan.
Berkaitan dengan status kewarganegaraan, sebagian besar dari mereka yang sudah
cukup lama tinggal di negeri asing akan mempunyai kesempatan untuk memiliki status
kewarganegaraan negara yang ditinggalinya. Berawal dari permanent residency atau hak
untuk menetap jangka panjang, yang kemudian bisa ditingkatkan menjadi hak untuk menjadi
warga negara. Tentu saja ini kemudian menjadi ‘godaan’ bagi mereka yang sudah lama
tinggal di luar negeri karena memiliki status warga negara negara maju akan membawa
banyak kemudahan bagi mereka. Dengan memiliki paspor salah satu negara Eropa misalnya,
seseorang bisa berpindah tempat tinggal dan berpindah kerja dalam wilayah Uni Eropa tanpa
perlu mendapat ijin kerja yang diperlukan oleh warga asing. Status kewarganegaraan juga
membuka akses pada welfare system (seperti housing benefit, unemployment benefit, dll.)
pada masing-masing negara. Singkatnya, ada berbagai faktor yang menjadi ‘penarik’ bagi
warga Indonesia yang tinggal di luar negeri untuk mendapatkan status kewarganegaraan
negara yang didiaminya.
Dari pengelompokkan diaspora Indonesia sebagaimana tersebut diatas, maka
kemungkinan diaspora Indonesia ada yang memiliki kewarganegaraan Indonesia (WNI),
memiliki kewarganegaraan asing (WNA) atau memiliki kewarganegaraan ganda (bipatride).
Demikian pula untuk anak-anak yag dilahirkan bisa merupakan WNI,WNA, bipatride atau
apatride , hal ini disebabkan karena perbedaan asas yag dipergunakan dalam menentukan
status kewarganegaraan. UU No.12 Tahun 2006 tidak mengenal kewargannegaraan ganda
bagi WNI yang tinggal di luar negeri, hal ini mendorong diaspora Indonesia melalui berbagai
6
seminar dan diskusi untuk menuntut diterapkannya kewarganegaraan ganda bagi mereka,
juga bagi anak-anak mereka tidak hanya kewarganegaraan ganda terbatas seperti sekarang
ini.
Terkait dengan kewarganegaraan ganda bagi anak UU No.12 Tahun 2006 memberi
kesempatan bagi anak untuk memiliki kewarganegaraan ganda. Hal ini dapat dilihat dari
rumusan Pasal 6 ayat (1) yang menyebutkan bahwa: Dalam hal status Kewarganegaraan
Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d,
huruf h, huruf I, dan Pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda (garis bawah dari
penulis), setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin (garis bawah dari penulis)
anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya. Sementara itu
Pasal 4 huruf c, d, h, I menentukan:
c. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara
Indonesia dan ibu warga negara asing;
d. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing
dan ibu Warga Negara Indonesia;
h. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing
yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan
pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun
atau belum kawin;
i. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak
jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;
Pasal 5 menentukan bahwa:
(1) anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu
dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin;
(2) anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;
Rumusan tersebut jelas memberikan kesempatan bagi seorang anak untk memiliki
kewarganegaraan ganda terbatas. Dalam Penjelasan Umum U No.12 Tahun 2006 disebutkann
bahwa: Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-
7
Undang ini. Dalam UU ini jelas menentukan bahwa kewarganegaraan ganda hanya boleh
dimiliki sampai anak berumur 18 tahun atau telah kawin.
Penerapan asas kewarganegaraan ganda terbatas berdasarkan UU No.12 Tahun 2006
adalah merupakan pengecualian, dimana pada prinsipnya UU No.12 Tahun 2006 tersebut
menerapkan asas kewarganegaraan tunggal, tidak mengenal kewargannegaraan ganda
maupun apatride (tanpa kewarganegaraan).
Meskipun UU No.12 Tahun 2006 telah berusaha meminimalisir kelemahan yang
terdapat dalam undag-undang sebelumnya yakni UU No.62 Tahun 1958 tentang
kewarganegaraan namun tutntutan dari diaspora Indonesia untuk memperjuangkan
kewarganegaraan ganda tidak terbatas bagi anak-anak mereka terus dilakukan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka perlu diteliti tentang Kewarganegaraan
Ganda Tidak Terbatas Bagi Anak Diaspora Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia.
1.2.Rumusan Masalah.
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah anak-anak dari diaspora Indonesia dapat memiliki status kewarganegaraan
gandatidak terbatas ?
2. Apakah konsekwensi kewarganegaraan ganda tidak terbatas bagi anak-anak diaspora
Indonesia ?.
3. Bagaimanakah status kewarganegaraaan ganda tidak terbatas bagi diaspora Indonesia
ditinjau dari perspektif Hak Asasi Manusia?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini pada dasarnya hendak menjelaskan status kewarganegaraan ganda tidak
terbatas bagi anak diaspora dikaitkan dengan hak asasi manusia.
8
Tujuan penelitian ini adalah:
1.Menjelaskan Status kewarganegaraan anak Diaspora, serta akibat hukum dari
kewarganegaraan ganda tidak terbatas.
2.Menemukan dan menjelaskan bagaimanakah status kewarganegaraan ganda tidak
terbatas bagi anak diaspora ditinjau dari perspektif Hak Asasi Manusia?
Secara teoritis Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam pengembangan keilmuan
khususnya terhadap kajian tentang status kewarganegaraan ganda tidak terbatas bagi anak
diaspora ,Sehingga hasil penelitian ini menambah wawasan dan kajian Hukum Tata Negara.
Secara praktis diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi berbagai pihak
yang berkepentingan dalam upaya pembangunan politik hukum yang berkaitan dengan
kewarganegaraan ganda.
1.4. Metode Penelitian
1. 4.1.Jenis Penelitian
Dalam penelitian hukum dikenal ada dua jenis penelitian yaitu:
a. metode penelitian hukum normative atau penelitian doctrinal, yang menggunakan
bahan hukum berupa; peraturan perundang-undangan,keputusan pengadilan dan
pendapat para sarjana hukum terkemuka. Analisis terhadap data secunder dilakukan
secara normative kualitatif yaitu yuridis kualitatif.
b. Metode Penelitian hukum emperis/sosiologis, mempergunakan semua metode dan
tekhnik yang lasim dipergunakan di dalam metode-metode penelitian ilmu-ilmu
sosial/emperis.
Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah merupakan penelitian hukum
normatif, dimana penelitian hukum normatif menurut Jhony Ibrahim adalah penelitian yang
9
mencoba untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya. Penelitian hukum normative mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek yaitu
aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi,
konsistensi, formalitas dan kekuatan mengikat suatu Undang-Undang dan bahasa hukum
yang digunakan dan tidak menkaji aspek terapan atau implementasinya. Penelitian selain
mengkaji peraturan perundang-undangan yang ada juga didukung dengan melakukan
wawancara keinstansi terkait seperti Departemen Hukum dan HAM Bali, imigrasi, dan
organisasi Perca Bali untuk melengkapi penelitian ini.
Ilmu hukum, sebagaimana dikemukakan J.Gijssels dan Marck van Hocke, terdiri dari
tiga lapisan, yakni filsafat hukum,teori hukum dan dogmatika hukum, yang pada akhirnya
diarahkan kepada praktik hukum,yang menyangkut dua aspek yakni pembentukan hukum dan
penerapan hukum. Dogmatika hukum membatasi diri pada pemaparan dan sistematisasi
hukum positif yang berlaku, sedangkan dalam teori hukum menjelaskan dan menjernihkan
atas pemaparan dan sistematisasi hukum positif tersebut.Sedangkan filsafat hukum dalam
hakekatnya diciri khaskan dengan karakter spekulatif dari pemikiran kefilsafatan tentang
hukum.
Bertitik tolak dari permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini dan lapisan-lapisan
ilmu hukum tersebut diatas, maka dalam penelitian tentang status kewarganegaraan ganda
tidak terbatas bagi anak diaspora , jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah penelitian yang berada dalam ranah dogmatika hukum, teori hukum dan filsafat
hukum. Ketiga unsur tersebut akan digunakan sebagai pendekatan di dalam membahas
persoalan yang ada.
Dogmatika hukum akan digunakan untuk memaparkan hukum positif yang berlaku
berkaitan dengan status kewarganegaraan ganda anak, sedangkan teori hukum akan
10
digunakan untuk menjelaskan pemaparan maupun sistemetisasi dan harmonisasi hukum
positip tentang kewarganegaraan ganda tidak terbatas dan HAM tersebut. Selanjutnya filsafat
hukum akan digunakan untuk menemukan dan menjelaskan nilai-nilai kefilsafatan tentang
hukum yang menjadi landasan status kewarganegaraan ganda tidak terbatas anak diaspora.
1.4.2.Metode Pendekatan
Ada beberapa metode pendekatan yang dikenal dalam penelitian hukum normative
yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep
(philosophical approach), dan pendekatan kasus (case approach). Dalam penelitian ini akan
digunakan beberapa cara pendekatan untuk manganalisa permasalahan, sebagaimana
dikemukakan oleh Cambell and Glasson bahwa; “there is no single technique that is
magically “right” for all problem”.
Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (the statute approach), yang dilakukan dengan menelaah peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah legislasi.Pendekatan sejarah
(historical approach), dilakukan dengan menelaah latar belakang dari pengaturan mengenai
masalah status kewarganegaraan ganda anak yang lahir dari pekawinan
campuran.Pendekatan analisis konsep hukum (legal analytical conceptual approach),
dilakukan dengan menelaah konsep-konsep yang berkaitan dengan masalah
kewarganegaraan. Pendekatan filsafat dilakukan dengan menelaah secara mendalam politik
hukum dari status kewarganegaraan ganda anak.
1.4.3.Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, secunder dan tertier.
Bahan hukum primer yang digunakan adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik
11
Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
manusia,Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, dan peraturan
pelaksana UU No.12 Tahun 2006 yang terkait dengan masalah kewarganegaraan ganda
seperti Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2012 Tentang Tata Cara Pendaftaran Anak Berkewarganegaraan Ganda Dan
Permohonan Fasilitas Keimigrasian, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun
2008 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil. Selain
itu juga akan digunakan Peraturan /instrument hukum internasional yang terkait dengan
penelitian.
Bahan hukum secunder diperoleh dari dokumen atau bahan hukum seperti hail
penelitian terdahulu, buku-buku/karya tulis para akhli hukum yang relevan dengan masalah
yang diteliti. Bahan hukum tertier, yaitu kamus bahasa dan kamus hukum untuk memperjelas
pengertian yang berkaitan dengan penelitian ini.
Bahan hukum juga diperoleh dengan jalan electronic research, yakni melalui
penelusuran di internet dengan jalan mengcopy (download) website tertentu. Keunggulan
dalam pemakaian internet antara lain: efesien, tanpa batas (without boundry), terbuka selama
24 jam, interaktif dan terjalin dalam sekejap (hyperlink). Moris L.Cohen dan Kent C Olson
menyatakan bahwa: “In recent years, of course more and more material has become
available electronically. The computer has not, however, replaced the book and the astute
reasercher knows how to take advanteges of both media. Electronic research has
significantly affected the process of legal research.
1.4.4.Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum diawali dengan kegiatan inventarisasi, dengan
pengkoleksian dan pengorganisasian bahan-bahan hukum kedalam suatu sistem informasi
12
sehingga memudahkan kembali penelusuran bahan-bahan hukum tersebut.Bahan hukum
dikumpulkan dengan studi dokumentasi, yakni dengan melakukan pencatatan terhadap
sumber bahan hukum primer dan secunder, dan kemudian dilakukan identifikasi terhadap
bahan hukum primer dan secunder. Selanjutnya dilakukaninventarisasi bahan-bahan hukum
yang relevan dengan cara pencatatan atau pengutipan dengan menggunakan sistem kartu.
Kartu-kartu diklasifikasikan atas kartu kutipan,ikhtisar, dan kartu ulasan. Masing-masing
kartu diberi identitas: sumber bahan hukum yang dikutip, topic yang dikutip, dan halaman
dari sumber kutipan.
Disamping itu kartu-kartu diklasifikasikan menurut sistematika rencana disertasi,
sehingga ada kartu untuk bahan pada Bab I,II dan seterusnya, kecuali untuk bagian penutup.
Kemudian dilakukan kualifikasi fakta dan hukum, yang dilakukan melalui penelusuran
kepustakaan berkaitan dengan masalah status kewarganegaraan ganda anak dalam
perkawinan campuran.
Analisis terhadap bahan hukum yang telah dikumpulkan akan dianalisis secara
deskriptif - evaluative, artinya memaparkan, menafsirkan, menjelaskan, menilai dan
menganalisa asas, norma atau kaidah-kaidah yang berkaitan dengan kewarganegaraan ,
untuk menemukan konsep-konsep hukum yang dapat dipergunakan dalam mengkaji status
kewarganegaraan ganda anak dalam perkawinan campuran.
1.4.5.Metode Analisa Bahan Hukum
Analisa bahan hukum dilakukan dengan hermeneuka hukum, yang artinya adalah
metode interprestasi atas teks-teks hukum atau metode memahami terhadap suatu naskah
normative. Senada dengan hal itu L.B.Curson mengartikan interpretasi sebagai pemberian
makna pada kata-kata dalam peraturan perundang-undangan (interpretation refers generally
13
to the assigning of meaning to words in statute).
Interprasi diperlukan untuk memberikan kejelasan dan menemukan makna dari aturan
hukum berkaitan dengan masalah kewarganegaraan, karena seringkali aturan hukum itu
merupakan rumusan yang terbuka dan kabur. Interpretasi yang digunakan adalah interpretasi
gramatika dengan cara menemukan pengertian-pengertian, konsep yang terdapat dalam
kamus. Selain itu dipergunakan pula interpretasi sistematis, sejarah, teleologis dan kontruksi
hukum tentang status kewarganegaraan ganda tidak terbatas bagi anak diaspora ,Sehingga
hasil penelitian ini menambah wawasan dan kajian Hukum Tata Negara.
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Teori Tujuan Hukum.
Ada berbagai teori tentang apa yang menjadi tujuan dari hukum. Menurut Satjipto
Rahardjo hukum diciptakan bukan semata-mata untuk mengatur tetapi juga mencapai
keadilan, kebahagiaan dan kesejahtraan masyarakat.7Sementara itu menurut Gustav
Rudbrucht8 tujuan dari hukum adalah untuk kepastian hukum, selain kemanfaatan dan
keadilan. Untuk mencapai tujuan hukum itu maka pembentukan hukum di Indonesia adalah
mengacu pada pembentukan hukum yang responsive.9 Tipelogi hukum yang responsive
(responsive law) menurut Nonet dan Zelnick (1978) sebagai hukum Negara yang mampu
merespons dan mengakomodasi nilai, prinsip, tradisi dan kepentingan masyarakat, sehingga
mencerminkan system pemerintahan yang demokratis yang dianut oleh pemerintah yang
berkuasa, khususnya dalam implementasi kebijakan pembangunan hukumnya.Demikian pula
halnya dengan pembentukan hukum khususnya peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang kewarganegaraan, harus mampu menjamin kepastian, kemanfaatan dan
keadilan.
2.2. Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia
Pemikiran tentang negara hukum ini sudah ada sejak jaman Yunani dari pemikiran
Plato, yang mengatakan bahwa dalam negara ideal (politeia) penyelenggaraan negara yang
baik tidak cukup dilakukan oleh para filosuf, melainkan juga harus berdasarkan pada hukum
yang baik yang disebut dengan nomoi.10 Ide negara hukum kemudian muncul kembali dengan
15
7Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum Indonesia; Jakrta,Kompas,2003 8Ahmad Ali, Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk
Interpretasi Undang-Undang (Legalprudence), Vol.1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,hlm.181 9I Nyoman Nurjaya, Reorientasi Paradigma Pembangunan Hukum Negara Dalam Masyarakat
Multikultural: Perspektif Antropologi Hukum, Pidato pengukuhan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum Pada
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, tanggal 10 September 2007, hlm.26. 10 JH.Rapar, Filsafat Politik Plato, (Jakarta: Rajawali Press,1998), hlm.90.
berkembangnya aliran liberal dengan cara pandang yang indifidualistik, yang melahirkan
negara hukum liberal, atau lebih dikenal dengan nama Negara Jaga Malam
(nachtwakerstaat). Salah satu cirri yang penting dari negara hukum ini adalah sifat
pemerintahan yang pasif, artinya pemerintahan hanya sebagai penjaga keamanan dan
ketertiban, tidak turut dalam urusan kesejahtraan warganya. Pelopor negara hukum liberal
adalah Imanuel Kant yang melahirkan konsep Rechtstaats, dan kemudian dikembangkan
lebih lanjut oleh F.J.Stahl,11 yang mengemukakan bahwa unsure-unsur negara hukum adalah;
pengakuan dan perlindungan terhadap HAM, pemisahan atau pembagian kekuasaan,
pemerintahan diselenggarakan berdasarkan peraturan, dan adanya peradilan administrasi.
Negara hukum menurut konsep rechtstaats dianut oleh negara-negara di Eropa Kontinental,
Perancis, Jerman dan Belanda.12
Konsep negara hukum juga identik dengan konsep Rule of Law yang berkembang di
Negara Anglo Saxon. Menurut AV.Dicey13 cirri-ciri Rule of Law adalah: supremacy of law,
dalam arti hukum mempunyai kedudukan yang tertinggi; equality before the law; artinya
kedudukan warga negara dan juga pemerintah adalah sama dimuka hukum; dan human
rights, yakni terjaminnya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.
Konsep negara hukum bagi Negara RI adalah negara hukum Pancasila. Negara
hukum Pancasila menurut Padmo Wahyono adalah; suatu kehidupan berkelompok bangsa
Indonesia, atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan luhur
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas dalam arti merdeka,berdaulat,bersatu, adil dan
16
11 Muhamad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat Dari Segi
Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Medinah dan Masa Kini, Edisi kedua, (Jakarta: Prenada
Media), hlm.89. 12 Marjanne Termorshuizen-Artz, “The Concept Rule of Law”, dalam JENTERA- Jurnal Hukum: Rule
of Law, Edisi 3- Tahun II, Nopember 2004, hlm.98-101. 13 Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busro, Asas-asas Hukum Tatat Negara, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1983), hlm.113-115.
makmur, yang didasarkan hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis sebagai wahana
untuk ketertiban dan kesejahtraan dengan fungsi pengayoman dalam arti menegakkan
demokrasi,perikemanusiaan, dan keadilan sosial.14
Untuk mewujudkan negara hukum tersebut maka ada empat elemen yang perlu
diperhatikan yakni: elemen instrument hukum; elemen institusi hukum yang perlu ditata
kembali tugas, fungsi dan mekanisme kerjanya; elemen sistem kepemimpinan, aparat atau
pejabat hukum serta profesi hukum yang menjadi pangkal tolak pembangunan sistem hukum
yang efektif; dan elemen tradisi hukum dan budaya hukum masyarakat.15
Prinsip negara hukum menurut Bagir Manan adalah bahwa hukum merupakan
sumber tertinggi dalam mengatur dan menentukan mekanisme hubungan antara negara dan
masyarakat atau antara masyarakat yang satu dengan lainnya. Selanjutnya dikemukakan ;
“……..penyelenggaraan negara berdasarkan atas hukum menghendaki tindakan pemerintah
selalu sesuai aturan-aturan hukum yang berlaku (rechtmatigheid) “.16
Dengan demikian salah satu unsur dari Negara hukum adalah adanya pengakuan terhadap
HAM. Di Indonesia Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia memuat
pengakuan yang luas terhadap hak asasi manusia. Hak-hak yang dijamin didalamnya
mencakup mulai dari pengakuan terhdap hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, hak-hak
sosial dan hak budaya,yang bersifat indifudual hingga hak-hak kolektif.
Sementara Hak untuk menjadi seorang warga negara adalah salah satu hak yang harus
ada pada seorang manusia didalam ranah hukum publik sebagai konsekuensi adanya konsep
negara. Ini juga merupakan implimentasi dari hak-hak sosial dan politik.
Indonesia sendiri yang mengakui diri sebagai negara hukum sebagai mana dicantumkan pada
undang-undang dasar 1945 pada pasal 1 ayat (3), konsep negara hukum harus kongroen
17
14 Padmo Wahyono, Pembangunan Hukum di Indonesing bera, (Jakarta: Ind-Hill, 1989), hlm.153-155. 15 Jimly Assidiqiqie, Loc Cit 16 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Jogyakarta: FH UII Press, 2003), hlm.245-247.
dengan hak asasi manusia. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut
dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu Negara Hukum yang
demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-
kewajiban yang bersifat bebas dan asasi.
Terbentuknya Negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu Negara
tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu.
Karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu
merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap Negara yang disebut sebagai negara
hukum. Jika dalam suatu negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja
dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka negara yang
bersangkutan tidak dapat disebut sebagai negara hukum dalam arti yang sesungguhnya.
Dalam kaitan dengan status kewarganegaraan, menurut Moh.Kusnardi-Bintan Saragih
menyebutkan bahwa ikatan seseorang yang menjadi warga negara itu menimbulkan suatu
hak dan kewajiban baginya. Karena hak dan kewajiban itu, maka kedudukan seseorang warga
negara dapat disimpulkan dalam beberapa hal yaitu :17
1. Status Positif.
Status positif seorang warga negara adalah memberi hak kepadanya untuk menuntut
tindakan positif daripada negara mengenai perlindungan atas jiwa, raga, milik,
kemerdekaan dan sebagainya. Untuk itu maka negara membentuk badan-badan
pengadilan, kepolisian, kejaksaan dan sebagainya, yang akan melaksanakan kepentingan
warga negaranya dalam pelanggaran-pelanggaran yang berhubungan dengan hal-hal
tersebut diatas.
18
17Moh.Kusnardi dan Bintan R.Saragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1994, hal. 109-
112.
2. Status Negatif.
Status negatif seorang warga negara akan memberi jaminan kepadanya bahwa negara
tidak boleh campur tangan terhadap hak asasi warga negaranya. Campur tangan negara
terhadap hak-hak asasi warganya terbatas, untuk mencegah tindakan sewenang-wenang
dari negara.Meskipun demikian dalam hal-hal tertentu negara dapat melanggar hak
tersebut jika ditujukan untuk kepentingan umum.
3. Status Aktif, yakni suatu status yang memberi hak kepada setiap warga negaranya untuk
ikut serta di dalam pemerintahan.
4. Status Pasif, suatu status yang menunjukkan kewajiban bagi setiap warga negaranya
untuk mentaati dan tunduk kepada segala pemerintah negaranya.
Dengan demikian maka jelas bahwa dengan melekatnya status kewarganegaraan
maka akan melekat pula hak dan kewajiban baik pada orang tersebut maupun pada
Negara.Hak dan kewajiban warganegara di Indonesia telah dijamin dalam UUD Tahun 1945
maupun peraturan perundang-undangan lainnya.
2.3. Istilah dan Pengertian Diaspora
Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta kemudahan akses yang dapat
diperoleh telah mendorong orang-orang untuk melakukan perpindahan dari satu Negara ke
Negara lainnya dengan berbagai macam tujuan, seperti harapan untuk memperoleh
kehidupan yang lebih baik, melanjutkan study, tugas, kerja, mengembangkan karier serta
berbagai alasan lainnya. Perpindahan dari suatu Negara kenegara lainnya inilah yang dikenal
dengan istilah “diaspora”.
Dalam kamus Wikipedia disebutkan bahwa Mulanya, istilah Diaspora (dengan huruf
besar) digunakan oleh orang-orang Yunani untuk merujuk kepada warga suatu kota kerajaan
yang bermigrasi ke wilayah jajahan dengan maksud kolonisasi untuk mengasimilasikan
19
wilayah itu ke dalam kerajaan. Selanjutnya disebutkan bahwa istilah diaspora berasal dari
bahasa Yunani kuno diaspeiro, yang berarti “penyebaran atau penaburan benih” digunakan
(tanpa huruf besar) untuk merujuk kepada bangsa atau penduduk etnis manapun yang
terpaksa atau terdorong untuk meninggalkan tanah air etnis tradisional mereka; penyebaran
mereka di berbagai bagian lain dunia, dan perkembangan yang dihasilkan karena penyebaran
dan budaya mereka .18
Sedangkan menurut Kamus Bahasa Indonesia diaspora berasal dari: di.as.po.ra
[n Pol] masa tercerai-berainya suatu bangsa yg tersebar di berbagai penjuru dunia dan bangsa
tersebut tidak memiliki negara, misal bangsa Yahudi sebelum negara Israel berdiri pada tahun
1948.19 Dengan demikian dalam arti sempit “Diaspora” adalah perantau yaitu orang yang
meninggalkan tanah kelahirannya untuk pergi ke daerah atau ke negara lain untuk mencari
kehidupan yang lebih baik, ketimbang di daerah atau negaranya sendiri.Sementara itu
menurut Cambridge Dictionary online menyebutkan bahwa arti diaspora adalah “ the
spreading of people from one original country to other countries”20
Menurut Robert Cohen diaspora dapat dikelompokkan ke dalam 5 kategori , dengan
menggunakan analogi tukang taman: 21
a.weeding (menyiangi), merujuk pada fenomena penyebaran penduduk karena menjadi
korban atau pengungsi karena konflik sosial maupun politik. Misalnya diaspora orang
Yahudi,Afrika,Armenia, palestina dan Irlandia.
b.Sowing (menabur benih), merujuk pada diaspora yang terjadi karena kolonialisme
seperti yang terjadi pada orang-orang Yunani Kuno, Inggris, Rusia, Spanyol, Portugis
dan Belanda.
c.Transplanting (menyetek), merupakan diaspora yang berkaitan dengan tenaga kerja
20
18http://id.wikipedia.org/wiki/Diaspora 19http://kamusbahasaindonesia.org/diasporaKamusBahasaIndonesia.org 20 http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/diaspora#translations 21.Imam Santoso, Makalah Diaspora, Migrasi Internasional dan Kewarganegaraan Ganda, makalah
disampaikan pada Seminar Nasional Diaspora dan Dinamika Konsep Kewarganegaraan di Indonesia yang
diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Udayana bekerjasama dengan Indonesian Diaspora Network,
Nasionalis!. Maksudnya, walaupun paspornya bukan lagi Indonesia, tapi rasa kebangsaan
Indonesia tetap melekat sepanjang hayat mereka, sehingga rasa cinta Indonesia tak akan
pernah hilang bagi Diaspora Indonesia walaupun lebih dari separuh hidup mereka tinggal
atau menjadi warga negara setempat.
Semakin banyaknya diaspora Indonesia di berbagai belahan dunia, tentu akan
berpengaruh terhadap salah satu aspek yang penting dalam kehidupan mereka yakni
menyangkut masalah kewarganegaraan. Karena status kewarganegaraan yang jelas akan
memberikan jaminan bagi mereka untuk mendapatkan hak-hak mereka maupun untuk
mendapatkan perlindungan hukum.
3.2.Kewarganegaraan Ganda Tidak Terbatas Bagi Anak-anak Diaspora Indonesia
Untuk menentukan status anak dan hubungan hukum antara anak dan orangtuanya,
maka menurut Hukum Perdata Internasional adalah dengan melihat status perkawinan dari
orang tuanya apakah perkawinan orang tuanya merupakan perkawinan yang sah atau tidak.
Sah tidaknya perkawinan di Indonesia telah diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Perkawinan dapat terjadi antara mereka yang memiliki kewarganegaraan sama
atau antara mereka yang berbeda kewarganegaraan. Inilah yang disebut dengan Perkawinan
campuran.
Dalam Pasal 57 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ditentukan bahwa:
”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan
antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.” Konsekwensi
hukum bagi yang melakukan perkawinan campuran sebagaimana diuraikan diatas, tidak
hanya bagi para pihak yang melakukan perkawinan tetapi juga bagi anak–anak yang lahir
dalam perkawinan.
Mengenai status anak dalam perkawinan campuran dapat kita lihat ketentuan dalam
Pasal 62 UU No.1 tahun 1974 yang menentukan ; “Dalam perkawinan campuran kedudukan
anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) undang-undang ini”. Sedangkan Pasal 59 ayat (1)
24
menentukan: “kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya
perkawinan menentukan hukum yang berlaku baik mengenai hukum publik maupun hukum
perdata”.
Dari ketentuan pasal tersebut, maka jelas bahwa status kewarganegaraan seorang
anak ditentukan berdasarkan pada status kewarganegaraan dari orang tuanya, yang diperoleh
sebagai akibat perkawinan campuran. Status kewarganegaraan anak secara lebih jelas diatur
dalam UU Tentang Kewarganegaraan, dan yang disebut dengan anak dalam pasal 1 angka 1
UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah :“ seseorang yang belum berusia
18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”Sedangkan Dalam
UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
Status kewarganegaraan anak dalam UU No.12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan ditentukan dalam Pasal 4 , yang menentukan:
Warga Negara Indonesia adalah:
a. setiap orang yang berdasarkan peraturan perundangundangandan/atau berdasarkan
perjanjian PemerintahRepublik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini
berlaku sudah menjadi Warga NegaraIndonesia;
b. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorangayah dan ibu Warga Negara
Indonesia;
c. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorangayah Warga Negara Indonesia dan
ibu warga negara asing;
d. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorangayah warga negara asing dan ibu
Warga Negara Indonesia;
e. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi
ayahnya tidak mempunyaikewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya
tidakmemberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut;
f. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) harisetelah ayahnya meninggal
dunia dari perkawinan yangsah dan ayahnya Warga Negara Indonesia;
g. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorangibu Warga Negara Indonesia;
h. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorangibu warga negara asing yang
diakui oleh seorang ayahWarga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuanitu
dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapanbelas) tahun atau belum kawin;
i. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yangpada waktu lahir tidak jelas
status kewarganegaraan ayahdan ibunya;
j.anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah Negara Republik Indonesia selama ayah
dan ibunya tidakdiketahui;
25
k. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesiaapabila ayah dan ibunya tidak
mempunyaikewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya;
l. anak yang dilahirkan di luar wilayah negara RepublikIndonesia dari seorang ayah dan ibu
Warga NegaraIndonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anaktersebut dilahirkan
memberikan kewarganegaraan kepadaanak yang bersangkutan;
m. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkanpermohonan kewarganegaraannya,
kemudian ayah atauibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpahatau
menyatakan janji setia.
Selanjutnya dalamPasal 5 ditentukan bahwa:
(1) Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luarperkawinan yang sah, belum berusia 18
(delapan belas)tahun dan belum kawin diakui secara sah oleh ayahnyayang
berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagaiWarga Negara Indonesia.
(2) Anak Warga Negara Indonesia yang belum berusia 5(lima) tahun diangkat secara sah
sebagai anak oleh warganegara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetapdiakui
sebagai Warga Negara Indonesia.
Dari rumusan Pasal tersebut maka jelas bahwa status kewarganegaraan anak
ditentukan oleh status kewarganegaraan dari ayah atau ibunya, artinya jika salah satu adalah
WNI maka anak tersebut adalah WNI (Pasal 4 huruf b-g dan m), demikian juga bahwa anak
adalah WNI jika diakui oleh orangtuanya (salah satu) yang WNI (Pasal 4 huruf h dan Pasal 5
ayat (1), dan juga karena pengangkatan (Pasal 5 ayat 2). Ketentuan pasal-pasal tersebut
menunjukkan penerapan asas Ius Sanguinis (Law of The Blood) dalam UU No.12 Tahun
2006. Namun demikian untuk mencegah terjadinya bipatride bagi anak-anak, UU ini juga
menerapkan Asas Ius Soli (Law of The Soil), hal ini Nampak dari rumusan Pasal 4 huruf i-l.
Konsekwensi dari penerapan asas-asas tersebut, dan adanya penerapan asas yang
berbeda antara Negara-negara didunia, maka memungkinkan anak-anak tersebut memiliki
kewarganegaraan ganda (bipatride). UU No,12 Tahun 2006 pada prinsipnya hanya mengenal
status kewarganegaraan tunggal, namun demikian memberi peluang juga secara terbatas
untuk memiliki status kewarganegaraan ganda bagi anak-anak tersebut. Hal ini diatur dalam
Pasal 6 ayat (1) UU No.12 Tahun 2006 yang menentukan:“Dalam hal status
Kewarganegaraan Republik Indonesiaterhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26
4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l, dan Pasal 5 berakibatanak berkewarganegaraan ganda,
setelah berusia 18(delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebutharus menyatakan
memilih salah satus kewarganegaraannya” . Hal tersebut berarti bahwa anak diperkenankan
memiliki status “kewarganegaraan ganda terbatas”.Yang dimaksud denganAsas
kewarganegaraan ganda terbatas menurut Penjelasan Umum UU No.12 Tahun 2006 adalah
asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang ini”.
Ketentuan yang tertuang didalam pasal-pasal tersebut hanya memberikan
pengakuan terhadap kelompok diaspora yang boleh memiliki kewarganegaraan ganda adalah:
1.Anak-anak yang lahir dari orang tua WNI ditempat (negara) yang memberikan
kewarganegaraan kepada anak tersebut;
2. Anak yang lahir dari perkawinan campuran (WNI dan WNA) dan negara salah
satu orang tuanya memberikan kewarganegaraan kepadanya.
3.Anak WNI yang diakui ataupun diangkat oleh WNA, dan anak mendapatkan
kewarganegaraan dari orang tua yang WNA.
Dari empat (4) kelompok diaspora sebagaimana pembagian dari Dino Patidjalal,
maka yang diakui/diaturdalam UU No.12 Tahun 2006 adalah kelompok 1 dan 3 yaitu: orang
yang memiliki paspor Indonesia artinya mereka memang orang (WNI), dan mereka yang
merupakan keturunan dari WNI. Sedangkan kelompok 2 dan 4 yakni mereka yang berpindah
kewarganegaraan dan para pecinta Indonesia tidak diatur dalam UU N0.12 Tahun 2006.
Orang yang berpindah kewarganegaraan Indonesia menjadi WN lain maka justru akan
kehilangankewarganegaraan RI-nya sebagaimana diatur didalam Pasal 23 yang menyebutkan
bahwa : Warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan :
(1) memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri;
27
(2) tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang
(3) bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu;
Sedangkan bagi para pecinta Indonesia secara yuridis formal mereka adalah orang
asing. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7 UU No.12 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa :”
Setiap orang yang bukan Warga Negara Indonesia diperlakukan sebagai orang asing”.
Pemberian kewarganegaraan ganda adalah merupakan hal yang baru dalam politik
hukum kewarganegaraan Indonesia, dimana seseorang akan memiliki 2 status
kewarganegaraan. Kondisi dengan status kewarganegaraan ganda, disatu sisi hal ini
merupakan suatu hal yang positif, namun disisi lain juga dapat menimbulkan suatu masalah
baru dimana seseorang akan tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda.
Kelompok diaspora yang diakui dalam UU No.12 Tahun 2006 inilah yang memiliki
hak untuk memperoleh kewarganegaraan ganda terbatas bagi anak-anak mereka. Artinya
mereka mendapatkan kewarganegaraan ganda tidak terbatas setelah memenuhi ketentuan
yang diatur di dalamPasal 6 dan Pasal 41 UU No.12 Tahun 2006 serta Peraturan Menteri
Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2012 Tentang Tata
Cara Pendaftaran Anak Berkewarganegaraan Ganda Dan Permohonan Fasilitas Keimigrasian.
Salah satu tuntutan kelompok-kelompok diaspora yang ada diberbagai belahan
dunia adalah diakuinya status kewarganegaraan ganda bagi mereka yang melakukan
perkawinan campuran dan juga bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan campuran maupun
yang lahir karena berlakunya suatu peraturan di negara dimana si-anak lahir, Pengakuan akan
kewarganegaraan ganda saat ini (dalam UU No.12 Tahun 2006) hanya diberikan bagi anak-
anak, sementara itu untuk orang tua tidak mengenal/mengakui adanya kewarganegaraan
ganda.Hal ini ditegaskan pula dalam penjelasan umu UU No.12 Tahun 2006 bahwa salah satu
asas yang dianut adalah “Asas kewarganegaraan tunggal” adalah asas yang menentukan satu
28
kewarganegaraan bagi setiap orang.
Pengakuan yang diinginkan oleh kelompok diaspora tidak hanya sekedar
kewarganegaraan ganda terbatas melainkan “kewarganegaraan ganda tidak terbatas”, artinya
kewarganegaraan ganda itu dimiliki selamanya, sampai mereka tidak menghendakinya.
Namun sebagaimana dikemukakan diatas bahwa kewarganegaraan ganda yang diakui
terhadap kelompok diaspora 1 dan 3 adalah kewarganegaraan ganda yang terbatas bagi anak-
anak diaspora. Batasnya adalah sampai mereka berumur 18 tahun atau telah kawin, setelah itu
mereka harus memilih salah satu kewarganegaraan yang mereka inginkan. Upaya yang harus
dilakukan untuk memperoleh/diakui kewarganegaraan gandanya adalah berdasarkan Pasal 6
dan Pasal 41 UU No.12 Tahun 2006 yang menyebutkan:
Pasal 6 :
(2) Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat
secara tertulis dan disampaikan kepada Pejabat dengan melampirkan dokumen
sebagaimana ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.
(3) Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 (delapan
belas) tahun atau sudah kawin.
Pasal 41 :
“Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf I dan
anak yang diakui atau diangkat secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum
Undang-Undang ini diundangkan dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum
kawin memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang ini
dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik
29
Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan”.
Selain berdasarkan ketentuan tersebut diatas, juga berdasarkan pada Peraturan Menteri
Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2012 Tentang Tata
Cara Pendaftaran Anak Kerkewarganegaraan Ganda Dan Permohonan Fasilitas
Keimigrasian, dimana dalam Pasal 2 Permen tersebut ditentukan bahwa pendaftaran
kewarganegaraan anak dilakukan oleh orang tua/wali dari anak tersebut. Pendaftaran
dilakukan oleh orang tua/wali anak tidak terlepas dari kedudukan manusia sebagai subyek
hukum. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban serta memiliki hak
untuk melakukan suatu perbuatan hukum.Sebagai subjek hukum berarti manusia dianggap
cakap untuk bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki
kewenangan atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum akan diwakili oleh orang
lain.
Berdasarkan ketentuan dalam KUHP Pasal 1330 yang berlaku di Indonesia, mereka
yang digolongkan tidak cakap adalah mereka yang belum dewasa, wanita bersuami, dan
mereka yang dibawah pengampuan.Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai
subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.Seseorang yang tidak cakap
karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan
hukum.
3.3.Konsekwensi Kewarganegaraan Ganda Tidak Terbatas Bagi Anak-anak Diaspora
Indonesia.
Memiliki status kewarganegaraan ganda (dual nationality) baik yang terbatas
maupun tidak terbatas bagai pedang bermata dua, dimana disatu sisi dapat membawa
dampak positif bagi mereka, namun disisi laindapat pula membawa dampak negatif.Sisi
positif dari kewarganegaraan ganda, adalah bahwa anak tersebut mendapatkan hak-hak
30
hukum dari kedua Negara tersebut dan menutup kemungkinan terjadinya stateless (tanpa
kewarganegaraan) bagi anak tersebut. Keuntungan lainnya yang dimiliki oleh mereka yang
memiliki kewarganegaraan ganda adalah mereka dapat bergerak secara bebas di kedua negara
dimana ia menjadi warganegara tanpa disulitkan dengan urusan keimigrasian yang ketat
sebagaimana diperuntukkan bagi orang asing. Mereka juga dapat memilih paspor yang
dikehendakinya.Sedangkan sisi negatif dari kewarganegaraan ganda antara lain mereka akan
tunduk pada hukum yang berbeda.
Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional yang merupakan peninggalan
Hindia Belanda. Dalam hal status personal24 seseorang, indonesia menganut asas konkordasi,
yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 AlgemeneBapalingen van wetgeving (AB) .
Berdasarkan pasal tersebut maka dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Sehingga
disini berarti seorang WNI yang berada diluar negeri sepanjang mengenai hal-hal yang
terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan (tunduk) pada
kekuasaan hukum nasional indonesia. Demikian juga untuk WNA yang berada di Indonesia,
tunduk dengan hukum Negara mereka masing-masing sepanjang terkait dengan status
personal mereka. Dalam jurisprudensi Indonesia yang termasuk status personal antara lain
perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan
kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah
umur.
Isi dan jangkauan status personil ada 3 yaitu 25:
1. Konsepsi luas mengartikan status personil meliputi berbagai hak, permulaaan/lahir
31
24Status personil adalah kondisi atau keadaan suatu pribadi dalam hukum yang diberikan/diakui oleh
negara untuk mengamankan dan melindungi masyarakat dan lembaga-lembaganya. Status personil ini meliputi
hak dan kewajiban, kemampuan dan ketidakmampuan besikap tindak di bidang hukum, yang unsur-unsurnya
tidak dapat diubah atas kemauan pemiliknya (indahpangestu.wordpress.com/2012/10/10/hukum-perdata-
internasional/)
25 Ibid
dan terhentinya/mati, kepribadian, kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum,
perlindungan hukum, perlindungan kepentingan pribadi, soal-soal yang berhubungan
dengan hukum keluarga dan perkawinan.
2. Konsepsi yang agak sempit, seperti yang dianut di Peancis, tidak menganggap sebagai
status personnel : hukum harta benda perkawinan, pewarisan dan ketidakmampuan
bertindak di bidang hukum dalam hal khusus, misalnya dokter yang tidak akan
diperkenankan memperoleh sesuatu hak yang timbul dari testamen pasiennya.
3. Konsepsi yang lebih sempit, sama sekali tidak memasukkan hukum keluarga dan
pewarisan dalam jangkauan status personel.
Cara menentukan status personil yaitu ada 2 asas :
1. Asas Personalitas/Kewarganegaraan (Lex patriae),Untuk personel suatu pribadi berlaku
hukum nasionalnya.Biasanya dianut oleh negara-negara Eropa kontinental (Civil Law)
misalnya Indonesia mengedepankan segi personalitas.Ada 2 asas dalam menentukan
kewarganegaraan seseorang adalah :
a. Asas tempat kelahiran (ius soli) yaitu kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh
tempat kelahirannya.
b. Asas Keturunan (ius sanguinis) yaitu kewarganegaraan seseorang berdasarkan
keturunannya.
Alasan yang mendukung asas kewarganegaraan, yaitu : Cocok untuk perasaan hukum
seseorang, Sifatnya lebih permanen, dan Lebih membawa kepastian hukum.
2.Asas Territorialitas/Domisili (Lex Domicili), Status personil suatu pribadi tunduk pada
hukum di negara mana ia berdomisili. Domisili adalah negara/tempat menetapnya yang
menurut hukum dianggap sebagai pusat daripada kehidupan seseorang (center of his life).
Asas ini banyak dianut oleh negara Anglo Saxon. Alasan yang mendukung asa domisili,
32
yaitu : Hukum dimana yang bersangkutan hidup,Prinsip kewarganegaraan
memerlukanbantuan prinsip domisili (dalam hal terdapat perbedaan kewarganegaraan),
Seringkali hukum domisili sama dengan hukum hakim, Cocok dalam negara pluralisme
hukum,Menolong dimana prinsip kewarganegaraan tidak dapat dilaksanakan, Demi
kepentingan adaptasi dari negara imigran
Perbedaan system hukum, khususnya menyangkut kewarganegaraan inilah
memungkinkan terjadinya status kewarganegaraan ganda. Dengan status kewarganegaraan
ganda, dan berdasarkan prinsip personalitas, maka tidak menutup kemungkinan timbulnya
masalah hukum bagi mereka yang berkewarganegaraan ganda tersebut, karena mereka akan
tunduk pada dua yurisdiksi hukum, Jika hukum antara Negara yang satu dengan yang lainnya
tidak berbeda maka hal ini mungkin tidak menimbulkan maslah, tetapi jika berbeda maka ini
dapat menimbulkan masalah bagi anak tersebut, Hukum Negara mana yang akan diterapkan
pada anak tersebut?. Demikian pula terkait hak untuk mendapatkan perlindungan bagi
warganegara dimanapun dia berada. Maka jika anak memiliki dua kewarganegaraan
(Misalnya A dan B) kemudian mendapat masalah di Negara C, maka Negara mana yang akan
memberikan perlindungan bagi anak tersebut apakah A ataukah B?.
Jika seseorang memiliki kewarganegaraan ganda maka jika terjadi masalah dengan
kewarganegaraannya, untuk menentukan status personalnya maka dapat dipakai
kewarganegaraan yang nyata dan efektif (real and effective nationality).26Tentang
kewarganegaraan yang nyata dan efektif Sudargo Gautama menyatakan: “ Untuk dapat
menentukan apa yang merupakan “real and effective nationality” , kita harus memperhatikan
seluruh kehidupan sehari-hari dari yang bersangkutan dalam kenyataan sosial seperti
kediaman yang bersangkutan, pusat kepentingannya, hubungan-hubungan kekeluargaannya,
33
26Zulfa Djoko Basuki, Akibat Hukum Dari Dianutnya Asas Kewarganegaraan Ganda (terbatas) Dalam
Perkawinan Campuran yang Sah, dalam Bunga Rampai Kewarganegaraan Dalam Persoalaan Perkawinan
Campuran, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2007,hlm.19-20
turut sertanya dalam kehidupan sosial dan kenegaraan, perasaan terikat pada suatu negara
tertentu, cara mengatur pendidikan anaknya,dsb”.27 Pendapat lain untuk menentukan
kewarganegaraan yang efektif ditentukan oleh :the nationality of the country with which the
person in question is most effectively and really linked.28 Atau the nationality with which ,in
view of all circumstances the person concerned is most closely connected.29
Selain hal tersebut hukum yang dapat dipakai untuk mereka yang memiliki
kewarganegaraan ganda pada umumnya adalah:Hukum sang hakim ( lex fori), artinya
apabila kewarganegaraan yangbersangkutan salah satunya adalah merupakan hukum sang
hakim dimana perkara tersebut diajukan, maka yang dipakai adalah hukum sang hakim.
Pendirian seperti ini adalah sesuai kesepakatan antara berbagai negara dalam perjanjian Den
Haag tentang Kewarganegaraan pada Tahun 1930 didalam Pasal 3 yang menyebutkan: “
dengan pengecualian-pengecualian yang diadakan dalam konvensi ini, seseorang yang
mempunyai dua kewarganegaraan atau lebih dapat dianggap oleh tiap negara dari siapa ia
mempunyai kewarganegaraan sebagai warganegaranya”.30
4.Kewarganegaraan Ganda Tidak Terbatas Anak-Anak Diaspora Dalam Perspektif
Hak Asasi Manusia
Kewarganegaraan yang melekat pada seseorang adalah merupakan bagian dari Hak
Asasi Manusia (HAM). Hal tersebut sudah diakui dan ditegaskan didalam dalam hukum
nasional maupun internasional.
Pengaturan Dalam Hukum Nasional.
a. Undang-Undang Dasar Tahun 1945, hal ini dapat ditemukan dalam Pasal 26 ayat (1),
27 ayat (1), 28 D ayat (4), dan 28E ayat (1).
34
27Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid II,Alumni, Bandung,1989,hlm.274. 28Zulfa Djoko Basuki, Op Cit, hlm.20 29Ibid 30Sudargo Gautama, Op Cit,hlm239-240.
Pasal 26 ayat (1):
“Yang menjadi Warga Negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-
orang bangsa lain yang disyahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara.
Pasal 27 ayat (1)”;
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 28D ayat (4) :
“Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan”
Pasal 28E ayat (1) :
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”.
b. Undang-Undang Nomor39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 26
(1) Setiap orang berhak memiliki, memperoleh, mengganti, atau mempertahankan
statuskewarganegaraannya.
(2) Setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya dan tanpa diskriminasi berhak
menikmati hak-hak yang bersumber dan melekat pada kewarganegaraannya serta
wajib melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara sesuai dengan
ketentuan peraturanperundang-undangan.
c. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan.
Terkait status kewarganegaraan bagi mereka yang melakukan perkawinan campuran
ditentukan dalam Pasal 19 dan Pasal 26 UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
Kedua pasal ini pada dasarnya menerapakan asas kesatuan hukum dan asas mengikuti dalam
menentukan status kewarganegaraan bagi mereka yang melakukan perkawinan campuran.
Pasal 19 menentukan:
(1) Warga negara asing yang kawin secara sah dengan Warga Negara Indonesia dapat
memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan
menjadi warga negara di hadapan Pejabat.
(2) Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila yang bersangkutan
sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima)
tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut, kecuali
dengan perolehan kewarganegaraan tersebut mengakibatkan berkewarganegaraan ganda.
35
(3) Dalam hal yang bersangkutan tidak memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia
yang diakibatkan oleh kewarganegaraan ganda sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
yang bersangkutan dapat diberi izin tinggal tetap sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara menyampaikan pernyataan untuk menjadi
Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 26:
(2) Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing
kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal
suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat
perkawinan tersebut.
(3) Laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga negara asing
kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal
istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat
perkawinan tersebut.
(4) Perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) jika ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat
pernyataan mengenai keinginannya kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia
yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali
pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
(5) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan oleh perempuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
setelah 3 (tiga) tahun sejak tanggal perkawinannya berlangsung.
Pengaturan dalam Hukum Internasional.
Selain dalam peraturan perundang-undangan tersebut dalam Hukum Internasional
masalah kewarganegaraan juga diatur dalam berbagai konvensi antara lain:
a. Dalam Universal Declaration of Human Rights Tahun 1948
Dalam Universal Declaration of Human Rights Tahun 1948 (UDHR), atau Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) maka hak seseorang akan status kewarganegaraan
dan perkawinan diatur dalam:
Pasal 15
(1) Setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan.
(2) Tidak seorang pun dengan semena-mena dapat dicabut kewarganegaraannya atau ditolak hanya
untuk mengganti kewarganegaraannya.
36
Pasal 16
(1) Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan,
kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka
mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat
perceraian.
(2) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh
kedua mempelai.
b.International Covenant Civil and Political Rights 1966
The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) adalah
merupakan perjanjian multilateral yang disahkan oleh United Nations General Assembly
tanggal 16 December 1966, dan berlaku mulai tanggal 23 Maret 1976.31. Pasal 24 Section 3
menyebutkan: Every child has the right to acquire a nationality. Konvensi ini telah
diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No.12 Tahun 2005.
C.Convention on the Nationality of Married Women Tahun 1957
Dalam pasal-pasal konvensi ini menentukan bahwa:
Pasal 1 : Setiap Negara pihak menyetujui bahwa baik penyelenggaraan ataupun pembubaran
suatu perkawinan antara salah satu warga negaranya dan orang asing, ataupun
perubahan kewarganegaraan oleh suami selama perkawinan, tidak secara otomatis
mempengaruhi kewarganegaraan istri.
Pasal 2 :Setiap Negara pihak bersepakat bahwa baik perolehan kewarganegaraan Negara
lainnya secara sukarela ataupun pelepasan kewarganegarannya oleh salah satu
warga negaranya tidak mencegah tetap dimilikinya kewarganegaraannya oleh istri
dari warga Negara tersebut.
Pasal 3 (1):Setiap Negara bersepakat bahwa istri orang asing dari salah satu warga negaranya