-
1
NAMA : ERWIN ROMMY IRAWAN
NPM : 1212011110
SOAL A
1. Sosiologi Hukum dan Perkembangannya. a. Gambarkan alur
pemikiran lahirnya kajian hukum sosiologis dan sosiologi hukum
sebagaimana perkembangan yang terjadi di Eropah-Kontinental dan
Amerika Anglosaxon. b. Berdasarkan paparan ter sebut berilah
pemaknaan dimanakah letak keilmuan sosiologi hukum itu. c.
Berdasarkan kajian pada a dan b di atas, bagaimana cara membedakan
telaah sosiologi hukum dan hukum sosiologis itu? 2. Bagaimana
sosiologi hukum memotret wajah hukum dalam analisis kajiannya? 3.
Jelaskan sekurang-kurangnya 3 aliran filsafat hukum yang akhirnya
mempengaruhi lahir dan berkembangnya kajian sosiologi hukum 4.
Jelaskan perkembangan kajian sosiologi hukum di Indonesia 5.
Jelaskan sekurang-kurangnya 3 faktor pendukung lahirnya
perkembangan sosilogi hukum di Indonesia 6. Jelaskan
sekurang-kurangnya 3 karakteristik studi hukum dalam kajian
sosiologi hukum 7. Kajian hukum secara normative dalam perspektif
sosiologi hukum akhirnya melahirkan sejumlah model/tipe studi
terhadap hukum. Sebutkan sekurang-kurangnya 3 tipe kajian tersebut.
8. Salah satu optimalisasi hasil kajian sosiologi hukum adalah
kemampuannya: Mendiskripsikan, Menjelaskan , Mengungkapkan ,
Memprediksikan konsep hukum. Jelaskan. 9. Sebutkan 5 masalah
eksistensi/keberadaan hukum dalam masyarakat yang menjadi lingkup
kajian sosiologi hukum 10. Bandingkan karakteristik kajian
sosiologi hukum konvensional dan sosiologi hukum kontemporer 11.
Dilihat dari objek kajiannya, sosiologi hukum dapat dikategorikan
atas sosiologi hukum yang berobjekkan hukum, Sosiologi hukum yang
berobjekkan para pelaku hukum, dan Sosiologi yang berobjekkan
pendapat orang mengenai hukum. Jelaskan 12. Jelaskan karakteristik
teori klasik, teori makro, dan teori empiris dalam kajian
sosiologi
hukum
-
2
Jawab:
1. Sosiologi hukum dan perkembangannya :
a. Alur pemikiran lahirnya kajian hukum sosiologi dan kajian
sosiologi
hukum sebagaimana perkembangan yang terjadi di Eropa
Kontinental
dan Amerika-Anglosaxo.Pemikiran hukum dan pendekatan sosiologi
ini,
banyak mendapatkan pengaruh dari aliran-aliran dari filsafat dan
teori
hukum. Tempat-tempat pertama patut diberikan kepada dua aliran
yang
sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran ini,
masing-
masing berasal dari Amerika Serikat dan Eropa. Di Eropa, Eugen
Ehrlich telah
menempatkan dirinya sebagai orang pertama yang menuliskan kitab
dengan
nama sosiologi hukum. Bersama dengan Kantorowicz, Ehrlich
merintis
perjuangan untuk merintis pendekatan sosiologi terhadap hukum di
Jerman.
Ehrlich berpendapat bahwa hukum itu merupakan variabel tak
mandiri.
Dihubungkan dengan fungsi hukum sebagai sarana kontrol sosial,
hukum tidak
akan melaksanakan tugasnya apabila landasan tertib sosial yang
lebih luas
tidak mendukungnya. Di Amerika, sosiologi hukum lebih dirahkan
kepada
penyelidikan ilmu hukum serta hubungannya dengan cara-cara
menyesuaikan
hubungan terib tingkah laku dalam kehidupan kelompok. Dengan
kata lain, di
Eropa sosiologi hukum lebih diarhakan kepada ilmu tentang
kelompok,
sedangkan di Amerika lebih diarahkan kepada ilmu hukum. Roscoe
Pound
membentuk aliran hukum sosiologis dari Amerika Serikat, yang
disebut the
sociological jurisprudence.Suatu aliran pemikiran dalam
jurisprudence yang
berkembang di Amerika Serikat sejak tahun 1930-an. Aliran
disebut sebagai
sociological karena dikembangkan dari pemikiran dasar sesorang
hakim
bernama Oliver W Holmes, seseorang perintis pemikiran dalam
hukum, yang
mengatakan bahwa sekalipun hukum itu memang benar merupakan
suatu
yang dihasilkan lewat proses-proses yang dapat
dipertanggungjawabkan.
b. Letak pemaknaan hukum sosiologi berdasarkan jawaban soal a
:
-
3
ilmu hukum pada awal mulanya adalah bagian dari ajaran filsafat
moral,
yang pada dasrnya hendak mengkaji soal nilai kebaikan dan
keadilan tak
salah bila dikatakan bahwa ilmu hukum pada awalnya adalah
ilmu
tentang etika terapan.
c. Cara membedakan hukum dan hukum sosiologis
sosiologi hukum, yang terbilang sebagai salah satu cabang
khusus
sosiologi, sejak awal mula telah memfokuskan perhatiannya
secara
khusus kepada ikhwal ketertiban sosial, sedangkan hukum
ialah
seperangkat kaidah yg diciptakan oleh penguasa untuk
melakukan
sesuatu atau tdk melakukan sesuatu dan mengakibatkan
penderitaan
apabila melakukan sesuatu yg tdk dperintahkan.
2. Hukum dalam kontek sosial merupakan perwujudan sebagai fungsi
hukum
sebagai sarana pengendali kehidupan sosial dalam masyarakat.
Fungsi pengendali
tersebut pada dewasa ini tidak dapat lagi berdiri sendiri,
melainkan harus
melibatkan ilmu yang berbeda.
3. - Aliran hukum alam (Aristoteles, Aquinas, Grotius),Madzhab
formalisme (austin,
kelsen), Mazhab kebudayaan dan sejarah (Carl von savigny,
Maine), Aliran
sociological jurisprudence (Eurlich, Pound) dan legal realism
(holmes, llewellyn,
frank)
4. Kajian sosiologi hukum di Indonesia adalah suatu kajian yg
obyeknya fenomena hukum, kajian sosiologis masuk ke dalam kajian
empiris, dimana kajian ini memandang hukum sebagai kenyataan
sosial, kultur dll atau law in action yg mana dunianya adalah
sebenarnya yg terjadi dalam masyarakat atau kenyataan.
5. - kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan
dan usaha untuk menghidarkan diri dari hukuman yang mungkin
dikenakan apabila seseorang melanggar ketentuan hukum. - seseroang
mematuhi kaidah kaidah hukum dikarenakan secara intrinsic
kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isinya sesuai dengan nilai
nilainya dari pribadi yang bersangkutan.
- Kepentingan-kepentingan para warga yang terjamin oleh wadah
hukum yang ada
-
4
6. - Sosiologi bersifat empiris. Sosiologi didasarkan pada
pengamatan dan penalaran. Pengamatan berarti susunan yang
berhubungan dengan pancaindera manusia, yang dialaminya dalam
kehidupan social. Sedangkan penalaran berarti semua yang
berhubungan dengan akal budi manusia atau yang bersifat rasional.
Sifat empiris ini sering dihubungkan dengan sifat ilmu yang dapat
diuji dengan fakta. - Sosiologi bersifat teorits. Yaitu selalu
berusaha menyusun abstraksi dari hasil
observasi yang konkret di lapangan, dan abstraksi tersebut
merupakan kerangka dari unsur-unsur yang tersusun secara logis dan
bertujuan menjalankan hubungan sebab akibat sehingga menjadi
teori.
- Sosiologi bersifat komulatif. Yaitu disusun atas dasar
teori-teori yang sudah ada, kemudian diperbaiki, diperluas sehingga
memperkuat teori-teori yang lama.
7. - Sosiologi hukum berguna untuk memberikan
kemampuan-kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum didalam konteks
sosial. - Penguasaan konsep-konsep sosiologi hukum dapat memberikan
kemampuan
kemampuan untuk mengadakan analisa terhadap efektivitas hukum
dalam masyarakat baik sebagai sarana untuk mengubah masyarakat atau
sarana untuk mengatur interaksi sosial agar mencapai
keadaan-keadaan sosial tertentu.
- Sosiologi hukum memberikan kemungkinan-kemungkinan serta
kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektifitas hukum
didalam masyarakat.
8. Karena dilihat dari kajian normative, yaitu dari
undang-undang dan buku dari pakar-pakar ilmu sosiologi, juga
dilihat dari kajian empiris yaitu meneliti langsung dari atau
Kenyataan masyarakat yg menjalankan sosialisasi, lalu kajian
deskriptif yaitu ilmun yang sudah didapat dari kajian normative dan
empiris diulas kembali dan disempurnakan kembali.
9. 5 masalah eksistensi/keberadaan hukum dalam masyarakat yang
menjadi lingkup kajian sosiologi hukum :
a. Hukum dan sistem sosial masyarakat
b. Persamaan dan perbedaan sistem hukum
c. Hukum dan kekuasaan
d. Hukum dan nilai nilai sosial budaya e. Kepastian hukum dan
kesebandingan
10. Sosiologi hukum konvensional : Lebih menitikberatkan pada
control sosial
yang dikaitkan dengan konsep sosialisasi, yang merupakan konsep
dan proses
untuk menjadikan para individu sebagai anggota masyarakat untuk
menjadi
sadar tentang eksistensi aturan hukum yang berlaku dalam tingkah
laku dan
pergaulan sosialnya
Sosiologi hukum kontemporer : pengkajian terhadap
masalah-masalah yuridis
empiris atas hukum yang hidup dalam masyarakat yang heterogen
dan
multikultur.
-
5
11. Objek yang diteliti : - sosiologi hukum yang berobjekan
hukum; sosiologi hukum yang mengamati
tentang hukum postif. (pembahasan mengenai nilai-nilai), legal
oriented
- sosiologi yang berobjekan para pelaku hukum; khusus mengamati
para pelaku hukum atau aparat penegak hukum cth : sikap prejudice
dari hakim pidana terhadap para tersangka berlainan ras.
- Sosiologi yang berobjekan pendapat orang mengenai hukum.
Objeknya bukan hukum, melainkan pendapat tentang hukum Vth:
bagaimana pengaruh dari perbedaan umur,pendidikan, golongan atau
status, dan kelas sosial dari masyarakat terhadap tingkat
pengetahuan hukum, pendapat hukum, dan kesadaran hukum dari
masyarakat tersebut. Bagaiman pendangan masyarakat terhadap para
penegak hukum, seperti hakim, jaksa dan advokat, dan lain-lain
12. teori klasik : Ehrlich mengatakan, bahwa pusat perkembangan
dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislatif,
keputusan-keputusan badan judikatif ataupun ilmu hukum, tetapi
terletak di dalam masyarakat itu sendiri. - Teori makro : Di dalam
teorinya tentang masyarakat, Durkheim menaruh
perhatian yang besar terhadap kaidah-kaidah hukum yang
dihubungkan dengan jenis-jenis solidaritas yang ada dan dijumpai di
masyarakat. Hukum dirumuskan olehnya sebagai suatu kaidah yang
bersanksi. Berat ringannya suatu sanksi didasarkan pada sifat
pelanggaran, anggapan-anggapan dan keyakinan dalam masyarakat
tentang baik dan buruknya suatu tindakan serta peranan sanksi
tersebut dalam masyarakat.
- Teori empiris : Sosiologi didasarkan pada pengamatan dan
penalaran. Pengamatan berarti susunan yang berhubungan dengan
pancaindera manusia, yang dialaminya dalam kehidupan social.
Sedangkan penalaran berarti semua yang berhubungan dengan akal budi
manusia atau yang bersifat rasional. Sifat empiris ini sering
dihubungkan dengan sifat ilmu yang dapat diuji dengan fakta.
-
6
NAMA : ERWIN ROMMY IRAWAN
NPM : 1212011110
SOAL B
TEMA : PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA
UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI
SEBAGAI KEJAHATAN TRANSNASIONAL
I. LATAR BELAKANG
Perkembangan globalisasi di dunia dewasa ini, selain
meberikan
manfaat kehidupan bagi umat manusia di dunia, dalam arti
semakin
meningkatnya tingkat kesejahteraan umat manusia, akan tetapi
juga
-
7
memberikan dampak negatif terhadap tingkat kejahatan hukum.
Baik
dalam tingkat kehidupan antar wilayah dalam suatu negara,
juga
berpengaruh terhadap isntabilitas keamanan wilayah regional
dan
internasional1
Pernyataan yang selalu diungkapkan oleh orang Indonesia yang
kemudian menggema ke seluruh dunia bahwa Indonesia merupakan
negara
terkorup nomor satu di seluruh Asia dan nomor tiga di dunia
masih perlu
diteliti kebenarannya. Rupanya milenium ketiga ini memang
ditandai
dengan maraknya korupsi di seluruh dunia. Buktinya pada abad ke
20
muncul bermacam macam konvensi bilateral dan multilateral
dunia
menyangkut pemberantasan korupsi. Ada konvensi pemberantasan
korupsi
antar negara-negara Amerika (Inter-American Convention
Against
Corruption)
Perkembangan tindak pidana korupsi baik dilihat dari sisi
kuantitas
maupun sisi kualitas dewasa ini dapat dikatakan bahwa korupsi
di
Indonesia tidak lagi merupakan kejahatan biasa (ordinary
crimes), akan
tetapi sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra
ordinary
crimes).2
Secara Internasional, korupsi diakui sebagai masalah yang
sangat
kompleks, bersifat sistemik, dan meluas. Centre for Crime
Prevention
(CICP) sebagai salah satu organ PBB secara luas mendefinisikan
korupsi
sebagai missus of (public) power for private gain. Menurut
CICP
korupsi mempunyai dimensi perbuatan yang luas meliputi tindak
pidana
suap (bribery), penggelapan (emblezzlement), penipuan (fraud),
pemerasan
yang berkaitan dengan jabatan (exortion), penyalahgunaan
kekuasaan
1 Siswanto Sunarso, Instrumen Penegakan Hukum Pidana
internasional, (Jakarta: Rineka Cipta,
2009)
2 Jur. Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana
Nasional dan Internasional-
Edisi Revisi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012)
-
8
(abuse of power), pemanfaatan kedudukan seseorang dalam
aktivitas
bisnis untuk kepentingan perorangan yang bersifat illegal
(exploiting a
conflict interest, insider trading), nepotisme, komisi illegal
yang diterima
oleh pejabat publik (illegal commission) dan kontribusi uang
secara illegal
untuk partai politik. Sebagai masalah dunia, korupsi sudah
bersifat
kejahatan lintas negara (trans national border crime), dan
mengingat
kompleksitas serta efek negatifnya, maka korupsi yang
dikategorikan
sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime)
memerlukan
upaya pemberantasan dengan cara-cara yang luar biasa (extra
ordinary
measure).
Bagi Indonesia, korupsi adalah penyakit kronis hampir tanpa
obat,
menyelusup di segala segi kehidupan dan tampak sebagai
pencitraan
budaya buruk bangsa Indonesia. Secara sinis orang bisa menyebut
jati diri
Indonesia adalah perilaku korupsi3. Pencitraan tersebut tidak
sepenuhnya
salah, sebab dalam realitanya kompleksitas korupsi dirasakan
bukan
masalah hukum semata, akan tetapi sesungguhnya merupakan
pelanggaraan atas hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat. Korupsi
telah
menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang besar.
Masyarakat
tidak dapat menikmati pemerataan hasil pembangunan dan tidak
menikmati hak yang seharusnya diperoleh. Dan secara
keseluruhan,
korupsi telah memperlemah ketahanan sosial dan ekonomi
masyarakat
Indonesia.
Korupsi di Indonesia yang sudah diyakini meluas dan mendalam
(widespread and deep-rooted) akhirnya akan menggerogoti habis
dan
menghancurkan masyarakatnya sendiri (self destruction). Korupsi
sebagai
parasit yang mengisap pohon akan menyebabkan pohon itu mati dan
di
3 Pujiyono, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar
Maju, 2007), halaman 124.
-
9
saat pohon itu mati maka para koruptor pun akan ikut mati karena
tidak
ada lagi yang bisa di hisap.4
Pemberantasan korupsi bukanlah sekedar aspirasi masyarakat
luas
melainkan merupakan kebutuhan mendesak (urgent needs) bangsa
Indonesia untuk mencegah dan menghilangkan sedapatnya dari
bumi
pertiwi ini karena dengan demikian penegakan hukum
pemberantasan
korupsi diharapkan dapat mengurangi dan seluas-luasnya
menghapuskan
kemiskinan. Pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut tidak
lain
adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dari masyarakat Indonesia
yang
sudah sangat menderita karena korupsi yang semakin
merajarela.
Dalam rangka pembangunan hukum pidana pemberantasan tindak
pidana korupsi tersebut sangat berkaitan erat dengan politik di
Indonesia.
Dan oleh sebab itu, mengenai hubungan antara upaya
pemberantasan
tindak pidana korupsi dengan politik di Indonesia akan diuraikan
pada
bagian selanjutnya, yaitu pada pembahasan di bawah ini.
II. PEMBAHASAN
Sebelum menguraikan mengenai hubungan antara upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi dengan politik di Indonesia,
alangkah
baiknya apabila diketahui terlebih dahulu mengenai politik
apakah yang
dianut bangsa Indonesia dalam upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi.
Di dalam Pasal 1 diktum (6) Undang-undang Republik Indonesia
Nomor
28 Tahun 1999, Asas Umum Pemerintahan Negara yang baik adalah
asas yang
4 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas,
2006), halaman 136.
-
10
menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum,
untuk
mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas korupsi,
kolusi,
nepotisme. Pembentukan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
merupakan
langkah yang cukup strategis yang diambil oleh pemerintah, untuk
dapat
menciptakan suatu peemerintahan yang baik dan bersih (good and
clean
governance).
Langkah-langkah strategis antara lain:
1. Sasaran UU No.28 Tahun 1999 adalah para penyelenggara negara
yang
meliputi; Pejabat Lembaga Tinggi Negara, Lembaga Tinggi
Negara,
Gubernur, Bupati/Walikota, Hakim, Polisi, Jaksa, Pejabat
BUMN/BUMD, dan Pimpro/Bendaharawan Proyek.
2. UU No.28 Tahun 1999 merupakan rambu-rambu moral dan
merupakan
kebijakan hukum yang bersifat preventif dengan mengedepankan
regulasi yang bersifat administratif.5
Politik hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan
mengenai
tujuan dan cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan
hukum dalam
masyarakat. Berbicara mengenai tujuan yang hendak dipilih, L. J.
Van Apeldorn
mengartikan politik hukum sebagai politik perundang-undangan,
yang maksudnya
adalah bahwa Politik Hukum berarti menetapkan tujuan dan isi
peraturan
perundang-undangan. Pengertian politik hukum seperti ini lebih
terbatas hanya
pada hukum tertulis saja.
Korupsi dimulai dengan semakin mendesaknya usaha-usaha
pembangunan yang diinginkan, sedangkan proses birokrasi relaif
lambat,
sehingga setiap orang atau badan menginginkan jalan pintas yang
cepat
dengan memberikan imbalan-imbalan dengan cara memberikan uang
pelicin
5 Ermansjah Djaja, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Implikasi Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 012-016-019/PPU-IV/2006/Ermansjah Djaja.
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010)
-
11
(uang sogok). Praktek ini akan berlangsung terus menerus
sepanjang tidak
adanya kontrol dari pemerintah dan masyarakat, sehingga timbul
golongan
pegawai yang termasuk OKB-OKB (orang kaya baru) yang
memperkaya
diri sendiri (ambisi material). Agar tercapai tujuan pembangunan
nasional,
maka mau tidak mau korupsi harus diberantas. Ada beberapa
cara
penanggulangan korupsi, dimulai yang sifatnya preventif maupun
yang
represif. Upaya penanggulangan korupsi adalah sebagai berikut
:
a. Preventif.
1. Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik
di
instansi pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas
dan
tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik
negara.
2. Mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan
pegawai
negeri
sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar
pejabat
dan pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya
dan
tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh
wewenangnya.
3. Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan
diri
setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai
bukanlah
bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat
karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
4. Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif
dalam
memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.
5. menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka
untuk kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan
kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.
6. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana
menumbuhkan
sense of belongingness dikalangan pejabat dan pegawai,
sehingga
mereka merasa peruasahaan tersebut adalah milik sendiri dan
tidak
perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.
-
12
b. Represif.
1. Perlu penayangan wajah koruptor di televisi.
2. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan
pejabat.
Arah politik hukum yang dicanangkan oleh Pemerintah
Indonesia
terfokus pada upaya pemberantasan korupsi dan percepatan
pelaksanaan
reformasi birokrasi. Mengingat praktik korupsi sangat merugikan
sendi-
sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, upaya
pemberantasan
korupsi harus dilakukan secara sistematis sehingga tidak
memberikan
peluang sekecil apa pun bagi pelaku korupsi untuk mencuri hak
rakyat.
Melalui Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, upaya-upaya perbaikan sistem hukum
harus
merupakan perwujudan percepatan dari pemberantasan korupsi itu
sendiri.
Dalam rangka percepatan pemberantasan korupsi perlu
dilakukan
upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan sehingga
pembagian
tugas dan kewenangan dari aparat penegak hukum dapat dilakukan
secara
terkoordinasi dengan baik. Dengan demikian, upaya-upaya yang
dilakukan
oleh aparat penegak hukum diharapkan tidak akan terbentur pada
perangkat
peraturan teknis yang tumpang tindih dan menghambat proses
penegakan
hukum. Perangkat peraturan perundangan yang sistematisasi dengan
baik
akan mendukung kerja sama untuk mencapai hasil yang maksimal.
Adanya
ratifikasi Konvensi PBB Anti-Korupsi Tahun 2003 (United
Nation
Convention Against Corruption) yang mengatur hal-hal baru dalam
rangka
pencegahan dan pemberantasan korupsi membawa konsekuensi
berupa
upaya harmonisasi dan revisi peraturan perundang-undangan
Indonesia
sesuai dengan isi Konvensi PBB Anti-Korupsi tersebut.
Penyempurnaan dan
pembaharuan peraturan perundang-undangan yang progresif
diharapkan
dapat membantu percepatan pemberantasan korupsi yang sudah
merupakan
extraordinary crime, sehingga diperlukan kajian hukum, sosial,
politik dan
budaya tersendiri untuk menjawab tantangan upaya pemberantasan
korupsi
secara global dan nasional. Penanganan dan penyelesaian kasus
korupsi
-
13
yang membutuhkan penanganan secara cepat dan tepat perlu
ditunjang
dengan sistem hukum acara yang mengakomodasi kepentingan
proses
tersebut, karena sistem hukum acara yang berlaku (KUHAP)
belum
memungkinkan dalam pelaksanaannya. Kejahatan transnasional
terorganisir
(transnational organized crime) yang jumlahnya semakin meningkat
pada
era globalisasi ini juga perlu mendapatkan perhatian karena juga
terkait
dengan upaya-upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.6,
Asas asas berlakunya hukum pidana adalah: asas-asas
berlakunya
hukum pidana menurut tempat dan pengertian hukum pidana
menurut
tempat dan pengertian hukum pidana yang tertulis (Pasal 1 ayat 1
KUHP)
maupun hukum yang tidak tertulis atau hukum pidana adat.
Sedangkan
pengertian peluasan asas-asas berlakunya hukum pidana
adalah:
suatu konsep penerapan yurisdiksi kriminal terhadap tindak
pidana
transnasional yang dilakukan di luar batas teritorial dan diakui
baik oleh
hukum yang tertulis maupun oleh hukum yang tidak tertulis, serta
perluasan
dimaksud tidak bertentangan dengan ius cogens.7
Di Indonesia, masalah penanggulangan korupsi sudah lama
diupayakan. Pada tahun 1957 dibuat Peraturan Penguasa
Militer-Angkatan
Darat dan Laut RI- Nomor: PRT/PM/06/1957 tentang
Pemberantasan
Korupsi yang mencantumkan istilah korupsi secara yuridis. Dan
untuk
melengkapi peraturan tersebut, maka dikeluarkan peraturan
No.
PRT/PM/08/1957 tentang Penilikan Harta Benda. Peraturan ini
memberi
wewenang kepada Penguasa Militer untuk mengadakan penilikan
terhadap
harta benda seseorang atau suatu badan yang kekayaannya
diperoleh secara
mendadak dan mencurigakan. Selanjutnya dikeluarkan Peraturan
Penguasa
6. Jur. Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana
Nasional dan Internasional-
Edisi Revisi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012)
7 Siswanto Sunarso, Instrumen Penegakan Hukum Pidana
internasional, (Jakarta: Rineka Cipta,
2009)
-
14
Militer Nomor PRT/PM/011/1957, yang memberi dasar hukum
kepada
Penguasa Militer untuk mensita dan merampas barang-barang
dari
seseorang yang diperoleh secara mendadak dan mencurigakan. Pada
masa
itu, korupsi dianggap sebagai penyakit masyarakat yang
menggerogoti
kesejahteraan dan menghambat pelaksanaan pembangunan,
merugikan
perekonomian, dan mengabaikan moral. Peraturan dibuat karena
Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) saat itu tidak mampu
menanggulangi meluasnya korupsi.
Peraturan tersebut dapat dikatakan sebagai upaya awal
pemerintah
dalam menanggulangi korupsi sebelum Undang-undang Nomor 3
tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikeluarkan.
Namun,
dalam perjalanannya, korupsi semakin bertambah parah dan
berkembang
luas. Pelopor Orde Baru yang semula berteriak paling lantang
untuk
memberantas korupsi pada akhirnya justru menjadi sumber
tumbuh
suburnya korupsi dengan berbagai kebijakan penyelenggaraan
pemerintahan
yang penuh dengan unsur korupsi, kolusi dan nepotisme. Dan hal
ini
menunjukkan bahwa keberadaan UU No. 3 Tahun 1971 tersebut
belum
dapat memuaskan banyak pihak sehingga perlu diganti dengan
undang-
undang baru.
Undang-undang baru yang dimaksud yaitu Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam
perjalanannya pun ternyata undang-undang ini menimbulkan
permasalahan
karena tidak ada pasal yang mengatur tentang peraturan
peralihan, sehingga
menimbulkan pro dan kontra mengenai keberadaan undang-undang
tersebut.
Akibat dari tidak adanya pasal tentang peraturan peralihan, maka
pelaku
korupsi pada Orde Baru, sebelum Undang-Undang ini berlaku tidak
bisa
dijerat dengan pasal korupsi karena undang-undang sebelumnya
yaitu UU
No. 3 Tahun 1971 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal
ini
menimbulkan sangkaan bahwa UU No. 31 Tahun 1999 merupakan
konspirasi dari penguasa untuk melindungi pelaku korupsi di masa
lalu.
-
15
Karena kelemahan itu, maka UU No. 31 tahun 1999 perlu untuk
diubah
hingga pada akhirnya keluar Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang
Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak
Pidana Korupsi.
Dari undang-undang yang baru tersebut, pemerintah diberikan
amanat untuk membentuk Komisi Pemberantasan tindak Pidana
Korupsi
yang independent dengan tugas dan wewenang melakukan
pemberantasan
tindak pidana korupsi. Dasar hukum pembentukan lembaga
independent itu
adalah UU No. 30 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam perjalanannya,
dikeluarkan
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 2005 tentang
Tim
Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disingkat
TIMTASTIPIKOR untuk mendukung pelaksanaan pemberantasan
tindak
pidana korupsi yang memang sudah semakin parah.
Dan untuk mewujudkan tujuan nasional yang telah tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV yang meliputi melindungi
segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian
abadi dan keadilan sosial, maka strategi yang digunakan untuk
memberantas
tindak pidana korupsi haruslah tepat. Adapun strategi yang
dimaksud adalah
dilakukan dengan 3 (tiga) macam, yaitu:8
1. Strategi persuasive, yaitu upaya menghilangkan penyebab
korupsi dan peluang korupsi;
2. Strategi detektif, yaitu menampilkan dan mengidentifikasi
tindak pidana korupsi dalam waktu sesingkat mungkin;
3. Strategi represif, yaitu upaya memproses tindak pidana
korupsi
8 Jur. Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana
Nasional dan Internasional-
Edisi Revisi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012)
-
16
yang telah diidentifikasi sebelumnya dengan cara melalui
proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan putusan
pengadilan.
III. PENUTUP
Tindak Pidana korupsi dewasa ini tidak hanya dilakukan oleh
pejabat atau
warga negara dari suatu negara, tetapi juga dilakukan oleh warga
negara
asing yang hadir di suatu negara untuk menjalankan kegiatan
usahanya yang
dapat merugikan negara setempat, maka sudah saatnya Indoensia
mulai
mengantisipasi terjadinya tindak pidana yang bersifat lintas
negara dengan
terlibat dalam perjanjian bilateral baik itu perjanjian
ekstradisi ataupun
perjanjian Mutual legal assistence in criminal matter dengan
negara-negara
lain. Selain itu dalam tingkat Internasional yang lebih luas
Indonesia sudah
seharusnya untuk segera meratifikasi perjanjian internasional
yang dapat
menguntngkan indonesia dalam memberantas kejahatan korupsi.
Kerja sama internasional berupa perjanjian ekstradisi ataupun
mutual legal
assistance (MLA) dengan negara lain belum banyak bisa diharapkan
mampu untuk
menyelesaiakan berbagai kasus tindak pidana korupsi
transnasional. Secara teori,
9seharusnya kita optimis bahwa kedua bentuk kerjasama tersebut
adalah langkah
terbaik untuk mencegah bahkan memberantas timbulnya tindak
pidana korupsi
transnasional, setidak-tidaknya telah cukup untuk memberikan
jalan keluar dan
alternatif walaupun disana sini terdapat kendala dan hambatan
karena adanya
sistem hukum yang berbeda disetiap negara. Seharusnya setiap
negara di dunia
mempunyai itikad baik untuk membuat MLA dan ekstradisi global
sehingga pelaku
9
https://syarifblackdolphin.wordpress.com/2010/10/27/pemberantasan-tindak-pidana-korupsi-
transnasional/
-
17
kejahatan tidak memiliki ruang lagi untuk melarikan diri agar
terciptanya dunia
yang damai.
DAFTAR PUSTAKA
Siswanto Sunarso, Instrumen Penegakan Hukum Pidana
internasional,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2009)
Jur. Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana
Nasional dan
Internasional-Edisi Revisi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012)
Pujiyono, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju,
2007)
-
18
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas,
2006)
Ermansjah Djaja, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Implikasi Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PPU-IV/2006/Ermansjah
Djaja. (Jakarta:
Sinar Grafika, 2010)
https://syarifblackdolphin.wordpress.com/2010/10/27/pemberantasan-tindak-
pidana-korupsi-transnasional/