BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesadaran para cendikiawan muslim untuk kembali ke ajaran Qur’an dan hadits, memunculkan pemikiran untuk menggunakan sistem ekonomi yang berdasarkan pada syariah Islam atau disebut sebagai sistem ekonomi Islam. Kesadaran mereka muncul karena ternyata sistem ekonomi yang dijalankan selama ini tidak menyebabkan kondisi ekonomi global semakin membaik khususnya di negara- negara muslim. Kemiskinan justru paling banyak dialami oleh negara-negara muslim. Sistem ekonomi kapitalis membuat negara-negara muslim yang kebanyakan adalah negara sedang berkembang dieksploitasi oleh negara maju sehingga menyebaban ketergantungan yang semakin tinggi pada negara maju. Kesadaran inilah yang menyebabkan munculnya ekonomi syariah sebagai jawaban atas permasalahan yang dihadapi negara-negara muslim. Apalagi sistem ekonomi Islam jaman Nabi SAW dan para sahabatnya terbukti memunculkan kejayaan Islam. Hal ini lebih dikuatkan lagi dengan adanya hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sistem ekonomi kapitalis selama seratus tahun terakhir, setiap lima tahun sekali selalu terjadi krisis. Munculnya kesadaran untuk menjalankan syariah Islam dalam 1
43
Embed
SOLUSI AL-QURAN TERHADAP ETIKA BISNIS ENTREPRENEUR MUSLIM DALAM MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY TAHUN 2015
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesadaran para cendikiawan muslim untuk kembali ke
ajaran Qur’an dan hadits, memunculkan pemikiran untuk
menggunakan sistem ekonomi yang berdasarkan pada syariah
Islam atau disebut sebagai sistem ekonomi Islam.
Kesadaran mereka muncul karena ternyata sistem ekonomi
yang dijalankan selama ini tidak menyebabkan kondisi
ekonomi global semakin membaik khususnya di negara-
negara muslim. Kemiskinan justru paling banyak dialami
oleh negara-negara muslim. Sistem ekonomi kapitalis
membuat negara-negara muslim yang kebanyakan adalah
negara sedang berkembang dieksploitasi oleh negara maju
sehingga menyebaban ketergantungan yang semakin tinggi
pada negara maju.
Kesadaran inilah yang menyebabkan munculnya ekonomi
syariah sebagai jawaban atas permasalahan yang dihadapi
negara-negara muslim. Apalagi sistem ekonomi Islam jaman
Nabi SAW dan para sahabatnya terbukti memunculkan
kejayaan Islam. Hal ini lebih dikuatkan lagi dengan
adanya hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sistem
ekonomi kapitalis selama seratus tahun terakhir, setiap
lima tahun sekali selalu terjadi krisis. Munculnya
kesadaran untuk menjalankan syariah Islam dalam
1
kehidupan ekonomi muslim berarti harus mengubah pola
pikir dari sistem ekonomi kapitalis ke sistem ekonomi
syariah termasuk dalam dunia bisnis.
Dunia bisnis tidak bisa dilepaskan dari etika
bisnis. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan adanya
hubungan yang positif antara etika bisnis dan kesuksesan
suatu perusahaan. Kisah bangkrutnya Lehman Brothers
menggambarkan dampak dari suatu perusahaan yang tidak
menggunakan etika bisnis dalam setiap aktivitas
bisnisnya. Pada akhirnya praktek bisnis yang tidak
jujur, hanya memikirkan keuntungan maksimal dan
merugikan pihak lain akan membawa perusahaan, yang
tergolong raksasa sekalipun akan hancur juga.
Etika bisnis sebenarnya bukan fenomena dan kajian
yang baru. Sejak abad ke-18 hingga kini, hubungan etika
dan bisnis telah banyak diperdebatkan. Di AS, kasus
bisnis yang berhubungan dengan etika bahkan telah
terjadi sebelum kemerdekaan AS. Bermula pada tahun 1870,
John D. Rockfeller, pemilik Standard Oil Company Ohio,
melakukan kesepakatan rahasia potongan harga dengan
perusahaan kereta api yang akan mengangkut minyaknya.
Akibatnya pesaing kalah sehingga memutuskan untuk keluar
dari bisnis perminyakan.
Bisnis yang melibatkan praktek-praktek kecurangan,
penipuan dan lain-lain adalah alasan etika bisnis
mendapat perhatian yang intensif hingga menjadi kajian
2
tersendiri. Masalah etika bisnis muncul bila terjadi
suatu konflik tanggung jawab kepentingan atau dilema
memilih antara yang benar dan yang salah, yang salah
dengan yang lebih salah atau mempertimbangkan sesuatu
yang lebih kompleks yang diakibatkan oleh aktivitas
bisnis.
Perilaku bisnis yang tidak beretika terjadi pada
hampir semua negara, misalnya Mitsubishi Electric,
perusahaan Jepang yang terlambat menarik produk TV-nya
yang ternyata menyebabkan terlalu panas dan kebakaran.
Perusahaan Nike membayar upah pekerja yang rendah di
berbagai negara berkembang untuk membuat sepatu yang
berharga tinggi.
Di Indonesia, praktek bisnis yang tidak beretika
semakin terkuak setelah Orde Baru runtuh di awal 1998.
Banyak kasus dan skandal mewarnai praktek bisnis baik
itu KKN (korupsi,kolusi dan nepotisme), menyuap,
memalsukan, menipu, ataupun menyelewengkan milik
perusahaan atau negara. Dari kasus Edi Tanzil, BLBI
(Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), PT. Newmont,
Freeport dan kasus Gayus dengan skandal pajaknya. Di
Eropa, seperti perusahaan Enron, Merck, Xerox, Global
Crossing, Rite-Aid, Oracle, ParMor, AOL Time Warner,
Citigroup dan lain-lain.
Di samping itu, ada juga perusahaan yang
melaksanakan etika bisnis dalam praktek bisnisnya.
3
Misalnya, Nestle di India yang membantu para peternak
sapi sehingga produksi susu per peternak meningkat 50
kali lipat dan taraf hidup para peternak juga meningkat.
Selain itu, Arnotts, perusahaan biskuit Australia yang
berani menarik seluruh produknya sekalipun ada orang
yang mau memberitahu produk mana yang beracun asal
diberi sejumlah uang. Arnotts lebih suka menarik seluruh
produknya demi keselamatan konsumen dan dampaknya luar
biasa, enam bulan kemudian pendapatan perusahaan naik
tiga kali lipat.1
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah etika
bisnis yang Islami itu seperti apa? Seperti yang
diketahui jika tahun depan Indonesia akan memasuki Asean
Economic Community (Pasar Bebas Asean) 2015, lantas
bagaimana kesiapan enterpreneur muslim menghadapinya?
Dan bagaimana solusi dari Al-Qur’an akan menjawab semua
kekhawatiran ini?
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan etika bisnis dalam Islam?
2. Bagaimana etika entrepreneur muslim menghadapi Asean
Economic Community (AEC) 2015?
1 Sri Nawatmi, Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam, (Semarang: Universitas Stikubank),dalam Fokus Ekonomi (FE), April 2010, Hal 50 – 58 Vol. 9, No.1
4
3. Bagaimana solusi Al-Qur’an terhadap etika entrepreneur
muslim dalam menghadapi Asean Economic Community (AEC)
2015?
C. Tujuan Penulisan
Dari uraian dalam latar belakang di atas, maka
tulisan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada
para pengusaha muslim khususnya, dan masyarakat pada
umumnya, untuk menerapkan etika bisnis menurut hukum
Islam, yang merupakan bagian dari hukum Nasional yang
berlaku di Indonesia dalam menghadapi Asean Economic
Community (AEC) 2015.
D. Manfaat Penulisan
- Bagi Entrepreneur Muslim :
1. Sebagai rekomendasi bagi seluruh entrepreneur
muslim untuk ikut berpartisipasi mewujudkan
entrepreneur muslim yang beretika sesuai dengan Al-
Qur’an dan Sunnah dalam menghadapi Asean Economic
Community (AEC) 2015.
2. Sebagai bahan pertimbangan dalam melahirkan cara-
cara atau metode baru demi terwujudnya entrepreneur
muslim yang beretika sesuai dengan Al-Qur’an dan
Sunnah dalam menghadapi Asean Economic Community
(AEC) 2015.
5
- Bagi Pemerintah atau DSN MUI :
1. Sebagai rekomendasi untuk melindungi entrepreneur
muslim.
2. Sebagai filter masuknya etika dan budaya barat
dalam menghadapi Asean Economic Community (AEC)
2015.
E. Batasan Penulisan
Masalah yang diangkat dalam penulisan ini terlalu luas
jika diteliti secara menyeluruh. Maka dari itu agar
masalah tidak melebar kemana-mana penulis hanya
meneliti, yaitu: filosofis bisnis Islam, kesiapan
entrepreneur muslim menghadapi Asean Economic
Community (AEC) 2015 serta solusi dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah terhadap Enterpreneur Muslim dalam
Menghadapi Asean Economic Community (AEC) 2015.
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Kajian terhadap etika bisnis dalam agama sendiri sudah
banyak dilakukan oleh beberapa kalangan intelektual Barat.
Broel dan Chambel dalam bukunya Do Bussiness and Religion
MIX sebagaiman dikutip oleh Sofyan Syafri H telah membahas
agama dalam budaya Barat dan pengaruhnya dalam merumuskan
etika bisnis. Demikian juga Thomas Golembiewski dalam
bukunya Men Management and Morality Toward a New
Organizational Ethics yang merumuskan nilai-nilai dasar
bekerja menurut etika Yahudi dan Kristen.2
Dari kalangan Islam telah terbit pula buku Islamic
Principles of Business Organizational and Management yang
merupakan kumpulan makalah hasil seminar di Virginia
Amerika pada tahun 1988. Diantara isi buku ini membahas
etika bisnis dalam Islam dan pertanggung jawabannya dengan
mendasarkan pada beberapa ayat al-Qur’an yang menerangkan
tentang etika dalam mu’amalah.3
2 Sofyan Syafri Harahap, Akuntansi Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997),hal.230.3 FR. Faridl (ed.), Islamic Principles of Business Organizational andManagement, (New Delhi:Qazi Publeshers and Distributors, 1995), pp. 1-19.
7
Selain kumpulan makalah di atas, terdapat juga
beberapa buku tentang etika bisnis islami yang di tulis
orang-orang Indonesia, antara lain karya M. Quraish Shihab,
Muhammad, R. Lukman Fauroni, M. Suyanto, Faisal Badroen
(dkk) dan mungkin beberapa buku lain yang belum penulis
temukan. Muhammad Quraish Shihab dalam Jurnal Ulumul Qur’an
membahas etika bisnis islami dengan judul “Etika Bisnis
dalam Wawasan al-Qur’an”. Kajian ini lebih memfokuskan pada
tafsir ayat-ayat tentang bisnis, seperti larangan bisnis
yang mengarah pada riba, dan fungsi uang dalam Islam.
Pembahasan yang sama juga dimuat dalam Wawasan al-Qur’an
dengan sub bahasan “Ekonomi”.4 Kajian ini belum menyentuh
bagaimana praktek bisnis Muhammad SAW dan beberapa hadits
yang merupakan pesan Muhammad dalam bisnis. Tulisan Quraish
Shihab tersebut mengilhami Lukman Fauroni untuk meneliti
ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang etika bisnis.
Judul buku Etika Bisnis dalam al-Qur’an yang ditulisnya
secara detail menginventarisir dan mengupas ayat-ayat al-
Qur’an yang terkait dengan prinsip-prinsip praktek bisnis
islami.5 Karena fokusnya adalah al-Qur’an, maka Lukman
tidak menyinggung praktek bisnis Muhammad dan beberapa
haditsnya. Terkait dengan telaah pustaka ini, pokok bahasan
4 M. Quraish Shihab, “Etika Bisnis dalam Wawasan al-Qur’an,” dalam JurnalUlumul Qur’an, No. 3/VII/1997. Lihat juga M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’I atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996),hal.402- 415.
5 R. Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalam al-Qur’an, (Yogyakarta: PustakaPesantren-LKiS,2006), hal. 115-156.
8
buku tersebut membahas jenis-jenis bisnis dan etika bisnis
yang meliputi kesatuan, kesetimbangan, kehendak bebas,
pertanggung jawaban, dan kebajikan serta kejujuran, yang
didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an.
Muhammad (Dosen STIS Yogyakarta dan Pascasarjana di
beberapa tempat) pada bab pendahuluan bukunya menyinggung
bisnis Muhammad SAW setelah menikah dengan Khadijah. Kajian
empat setengah halaman ini hanya mendeskripsikan kunjungan
Muhammad ke beberapa negara dan bentuk transaksi dalam
Islam.6 Kajian ini belum sampai pada bagaimana etika bisnis
yang dilakukan Muhammad dalam menjalankan bisnisnya,
khususnya sebelum masa kewahyuan. Tercatat dalam sejarah,
ketika Muhammad dalam usia 12 tahun ia sudah diajak untuk
bisnis ke Syiria dan banyak pesan moral dalam menjalankan
bisnis yang dirangkum dalam hadits. Terkait dengan kajian
ini, M. Suyanto juga menulis buku dengan judul Muhammad
Business Strategy and Ethics. Dalam buku ini ia mengkaji
tentang etika bisnis Muhammad. Kajiannya terfokus pada
etika mencari harta dan membelanjakannya, strategi bisnis
dan tujuannya, serta perilaku bisnis yang dianjurkan dan
dilarang. Meskipun sub judul bab ini mencerminkan etika
bisnis Muhammad, namun kajiannya lebih menekankan pada
teks-teks al-Qur’an, seperti etika bisnis harus
berlandaskan iman kepada Allah dan rasul-Nya, strategi
bisnis harus sesuai dengan jalan Allah, dan tujuan bisnis6 Muhammad, Etika Bisnis Islami, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2004), hal. xv –xviii.
9
untuk memperoleh keuntungan besar. Demikian juga etika
bahasan tentang etika bisnis terfokus pada kompilasi ayat-
ayat al-Qur’an dan hadits. Dari paparan singkat ini tampak
bahwa kajiannya menekankan pada pesan-pesan (nabi) Muhammad
setelah menjadi Nabi (ba’d al bi’tsah).7
Buku lain yang membahas etika bisnis islami adalah
kumpulan tulisan yang disarikan oleh Faisal Badroen
(editor) dengan judul Etika Bisnis dalam Islam. Buku ini
menfokuskan pada kajian komparatif antara etika bisnis yang
dikembangkan di Barat dan Islam.8 Secara konseptual Barat,
prinsip-prinsip etika dalam bisnis mengacu—paling tidak
pada empat hal, pertama, mengandung unsur utilitas
(manfaat); kedua, terdapat unsur hak dan kewajiban; ketiga,
mengandung keadilan dan kejujuran; dan keempat mengandung
rasa melindungi. Keempat hal tersebut menjadi guidance bagi
Barat dalam menentukan standarisasi etika dalam berbisnis,
khususnya yang berkenaan dengan pengambilan keputusan
(ethical dilemmas).9
Dari beberapa tulisan yang telah disebutkan tampak
tampak penggalian etika bisnis lebih banyak berasal dari
al-Qur’an dan al-Hadits. Tentang sumber al-Qur’annya telah
banyak dikaji oleh banyak penulis. Sedangkan pada aspek al-
7 M. Suyanto, Muhammad Business Strategy and Ethics, (Yogyakarta: Andi Offset,2008). Penjelasan lebih lengkap lihat buku ini hal. 169-218.8 Drs. Faisal Badroen (ed.), Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: Prenada MediaGroup, 2006), bab II dan bab IV.9 Lihat juga Amirullah dan Imam Harjanto, Pengantar Bisnis, (Yogyakarta: GrahaIlmu, 2005), hal. 41-43.
10
Hadits belum diungkap, khususnya yang terkait dengan etika
bisnis yang dilakukan Muhammad SAW sebelum masa kenabian.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Untuk melakukan kajian ini memang tidak mudah meskipun
bersifat library research sehingga harus ditemukan catatan
11
sejarah perihal bisnis Nabi baik dari sumber primer maupun
sekunder.10 Sedangkan teknik pengumpulan dilakukan dengan:
(1) klasifikasi sumber yang berhubungan dengan sejarah;
(2) pencarian dimana tempat terdapatnya sejarah;
(3) menyusun data secara sistematis, dan
(4) mengritik sumber bahan yang ada.11
Karena itulah pendekatan yang akan digunakan adalah
pendekatan sejarah dengan merekonstruksi masa lalu secara
sistematis dan objektif dengan mengumpulkan, mengevaluasi,
menguji dan mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan
fakta dan memperoleh kesimpulan secara tepat.12
Untuk merekonstruksi sejarah ini, setidaknya ada empat
langkah yang akan ditempuh, yakni heuristik, kritik,
interpretasi dan historiografi.13 Adapun analisisnya
menggunakan analisis kualitatif dengan cara kritik
eksternal dan kritik internal. L.R. Gay sebagaimana dikutip
oleh Consuelo, kritik eksternal ini dilakukan terhadap
sumber asli yang memiliki integritas tekstual. Setelah
mengetahui dengan pasti keaslian bahan-bahan kemudian
dilakukan kritik internal, yaitu kritik terhadap teks itu
sendiri.14
10 Marzuki, Drs., Metodologi Riset, (Yogyakarta: BPFE-UII, 2000), hal. 56-57.11 Consuello G. Sevilla, dkk., Pengantar Metode Penelitian, (Yogyakarta: UIIPress, 1993), hal. 49-54.12 Lihat Stephen Isaac dan William B. Michael, Handbook in Research andEvaluation, California: EdTs Publisher, 1981, page. 44; Moh. Nazir, Ph.D.,Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hal. 4813 Lihat Hariyono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif; (Jakarta: Pustaka Jaya,1995), hal. 109.14 Consuello G. Sevilla, dkk., Pengantar Metode Penelitian, hal. 59
12
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Etika Bisnis dalam Islam
Selama ini banyak orang memahami bisnis adalah
bisnis, yang tujuan utamanya memperoleh keuntungan
sebanyak-banyaknya. Hukum ekonomi klasik yang
mengendalikan modal sekecil mungkin dan mengeruk
keuntungan sebesar mungkin telah menjadikan para pelaku
bisnis menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan,
mulai dari cara memperoleh bahan baku, bahan yang
digunakan, tempat produksi, tenaga kerja,
pengelolaannya, dan pemasarannya dilakukan seefektif dan
seefesien mungkin. Hal ini tidak mengherankan jika para
pelaku bisnis jarang memperhatikan tanggungjawab sosial
dan mengabaikan etika bisnis.
Etika bisnis dalam studi Islam selama ini kajiannya
lebih didasarkan pada al-Quran. Padahal Rasulullah dalam
tinjauan sejarah dikenal sebagai pelaku bisnis yang
13
sukses, sehingga kajian tentang etika bisnis perlu
melihat perilaku bisnis Muhammad semasa hidupnya. Mental
pekerja keras Rasulullah dibentuk sejak masa kecil
sewaktu diasuh Halimah Assa’diyah hingga dewasa. Bersama
anak-anak Halimah, Rasulullah yang saat itu berusia 4
tahun menggembala kambing. Pengalaman ini yang kemudian
dijadikan sebagai pekerjaan penggembala kambing-kambing
milik penduduk Makkah.
Pengalaman Rasulullah merupakan hasil tempaan
pergulatannya dengan kehidupan masyarakat Jahiliyyah.
Sejak usia 12 tahun Rasulullah memiliki kecenderungan
berbisnis. Ia pernah melakukan perjalanan ke Syam
bersama pamannya, Abu Thalib. Ia juga mengunjungi pasar-
pasar dan festival perdagangan, seperti di pasar Ukaz,
Majinna, Dzul Majaz dan tempat lainnya. Gelar al-Amīn
bagi dirinya yang waktu itu ia masih muda semakin
menambah para pebisnis lain untuk membangun jaringan
bersamanya, baik ketika ia menjadi karyawan Khadijah
maupun menjadi suaminya. Kesibukan sehari-harinya
mengantarkan Rasulullah menjadi pelaku bisnis yang
profesional dengan mempertimbangkan etika bisnis yang
diyakininya.
Profesi ini ditekuni Rasulullah hingga ia berusia
40 tahun, sejak ia resmi menjadi rasul. Hal ini juga
mencerminkan bahwa segala perilaku dan perbuatannya yang
dilakukan sebelumnya adalah bukan atas bimbingan wahyu,
14
namun atas dasar pengalaman sosialnya dengan
pertimbangan akal pikirannya. Jika memerhatikan sejarah
keberhasilan Rasulullah dalam mengelola bisnis maka
kuncinya adalah akhlak mulia (seperti tutur kata yang
baik dan jujur).
Namun apakah modal tersebut cukup dalam membekali
seseorang dalam mengelola bisnis jika ia tidak memiliki
latar belakang kuat dalam dunia bisnis. Faktor-faktor
apa yang mendorong Rasulullah menjadi pebisnis dan
sukses dalam menggelutinya. Siapakah yang membimbingnya,
sementara ia belum menjadi Nabi yang selalu menerima
wahyu dan membimbingnya. Sementara Al-Qur’an sebagai
wahyu yang selalu membimbing Rasulullah baru turun
ketika ia berusia 40 tahun. Artinya selama 39 tahun,
Rasulullah belajar dari keluarga dan lingkungannya.
Kata etika berasal dari kata ethos dalam bahasa
Yunani yang berarti kebiasaan (custom). Dalam kamus
Webster etika adalah the distinguishing character,
sentiment, moral nature, or guiding beliefs of a person,
group, or institution (karakter istimewa, sentimen,
tabiat moral, atau keyakinan yang membimbing seseorang,
kelompok atau institusi).15 Pengertian yang lebih tegas
makna etika adalah the systematic study of the nature of
value concepts, good, bad, ought, right, wrong, etc. And
of the general principles which justify us in applying15 Webster’s New CollegiatemDictionary, (USA: G. dan C.Merriam Company), page.393.
15
them to anything; also called moral philosophy (etika
merupakan studi sistematis tentang tabiat konsep nilai,
baik, buruk, harus, benar, salah, dan lain sebagainya
dan prinsip-prinsip umum yang membenarkan kita untuk
mengaplikasikannya atas apa saja).16
Pengertian di atas semakna dengan kata moral. Kata
ini berasal dari bahasa Latin mos, (jamaknya: mores)
yang artinya adat istiadat atau kebiasaan. Yang dimaksud
adat istiadat ini adalah kebiasaan yang dilakukan oleh
individu maupun masyarakat. Dengan demikian maka secara
terminology istilah antara etika dan moralitas memiliki
pengertian yang sama. Dalam studi Islam istilah di atas
senada dengan al-khuluq. Dalam al-Qur’an kata ini hanya
ditemukan dalam bentuk tunggal (al-khuluq) dalam surat
al-Qalam ayat 4 sebagai nilai konsiderans atas
pengangkatan Muhammad sebagai Rasul. (Sesungguhnya
engkau Muhammad berada di atas budi pekerti yang agung).
Al-khuluq artinya innate peculiarity, natural
disposition, character, temper, nature.17
Dengan demikian maka akhlak adalah perilaku
seseorang yang berkaitan dengan baik dan buruk, dan
setiap manusia memiliki dua potensi di atas. Hanya saja
dalam Islam potensi baik lebih dulu menghiasi diri
16 Drs. Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Rajawali Press, 1995),hal. 13.17 Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, (London: McDonald & EvansLtd, 1980), page. 258.
16
manusia daripada potensi untuk berbuat kejahatan.18
Dengan demikian maka etika bisnis yang dimaksud dalam
tulisan ini adalah seperangkat prinsip-prinsip etika
yang membedakan yang baik dan yang buruk, harus, benar,
salah, dan lain sebagainya dan prinsip-prinsip umum yang
membenarkan seseorang untuk mengaplikasikannya dalam
dunia bisnis.
B. Etika Entrepreneur Muslim Menghadapi Asean Economic
Community (AEC) 2015
Islam memandang bahwa berusaha atau bekerja
merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Terdapat
sejumlah ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi yang menjelaskan
pentingnya aktivitas usaha, diantaranya; “Apabila telah
ditunaikan shalat, maka bertebaranlah di muka bumi. Dan carilah karunia
Allah”.19 “Sungguh seandainya salah seorang diantara kalian
mengambil beberapa utas tali, kemudian pergi ke gunung kemudian
kembali memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, kemudian dengan
hasil itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupmu, itu lebih baik daripada
meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memberi maupun
tidak”.20 Pernah Rasulullah ditanya oleh sahabat, “Pekerjaan
apa yang paling baik wahai Rasulullah?, Rasulullah menjawab, seorang
bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang bersih”.21
18 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 254.19 QS. Al-Jumuah (62): 10.20 Imam Bukhari, Shahih Bukhari Jilid II, trj. H. Zainuddin Hamidy, dkk, Cet. 13.(Jakarta : Widjaya, 1992), h. 129.21 HR. Al-Bazzar dan Ahmad
17
Hadis yang lain, “Pedagang yang jujur lagi terpercaya adalah
bersama-sama Nabi, orang-orang jujur, dan para syuhada”.22 Ayat dan
hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa bekerja mencari
rizki adalah aktivitas yang inheren dalam ajaran Islam.
Tentu mencari rizki dalam konteks ajaran Islam
bukan untuk semata-mata memperkaya diri sendiri. Karena
Islam mengajarkan bahwa kekayaan itu mempunyai fungsi
sosial. Secara tegas Al-Qur’an melarang penumpukan harta
dalam arti penimbunan (hoarding),23 melarang mencari
kekayaan dengan jalan tidak benar,24 dan memerintahkan
membelanjakan secara baik.25 Islam memandang bahwa yang
terpenting bukanlah pemilikan benda, tetapi kerja itu
sendiri. Doktrin al-Qur’an yang membentuk motivasi yang
tinggi dalam bekerja umat Islam antara lain tercermin
dalam Q.S. Al-Mulk : 15, yang memberi kesimpulan,
pertama, bahwa bumi ini semua milik Allah, tetapi
dianugerahkan kepada manusia. Kalimat “milik Allah”
sebenarnya dapat dipahami bahwa bumi, air dan kekayaan
yang terkandung di dalamnya bukan milik perseorangan
karena kekuasaannya, melainkan untuk semua orang. Dalam
konteks masyarakat feodal, Islam bermaksud menghilangkan
“sistem upeti” di mana tanah dianggap milik raja, tiran
atau penguasa feodal. Sebagai alternatif al-Qur’an
22 Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Dar Ihya al-Turas al-Arabi, tt), h. 165.23 QS. Al-Humazah (104): 224 QS. Al-Baqarah (2): 18825 QS. Al Baqarah (2): 261
18
mengajarkan doktrin kemakmuran bersama.26 Kedua, ayat itu
menimbulkan etos yang mendorong umat Islam untuk
“mengembara ke seluruh bumi” mencari rizki Allah. Ini
mendorong untuk dilakukannya perdagangan dalam sekala
luas seperti perdagangan antar daerah bahkan negara.
Dalam Era Globalisasi dewasa ini, perkembangan
perekonomian dunia begitu pesat, seiring dengan
berkembang dan meningkatnya kebutuhan manusia akan
sandang, pangan, dan teknologi.27 Kebutuhan tersebut
meningkat sebagai akibat jumlah penduduk yang setiap
tahun terus bertambah, sehingga menimbulkan persaingan
bisnis makin tinggi. Hal ini terlihat dari upaya-upaya
yang dilakukan masyarakat dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidup. Akibat lebih lanjut dari perkembangan
tersebut meningkatkan hubungan antara masyarakat, tidak
saja antara penduduk dalam satu negara, akan tetapi
antara warga negara di dunia. Wujud dari hubungan
tersebut terbentuknya organisasi-organisasi bisnis,
seperti AFTA, NAFTA, APEC, dan lembaga perdangan dunia
World Trade Organization (WTO)28 dan sebentar lagi akan
memasuki pasar bebas ASEAN atau Asean Economic Community
(AEC) 2015. Pembentukan organisasi tersebut, pada
prinsipnya bertujuan agar jalinan kerjasama di bidang
bisnis antar negara adanya kesamaan visi dan misi. Namun26 QS. Hud (11): 6127 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni, 1986, hal. 6.28 Sukarmi, Bahan Kuliah “Hukum Ekonomi”, Program Doktoral Fakultas HukumUniversitas Brawijaya-Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, 2007-2008
19
demikian, dalam praktek tidak demikian, karena peluang
untuk terjadi penyimpangan yang mengakibatkan kerugian
sesama manusia dan masyarakat dunia masih terjadi.29
Dalam jurnal ekonomi, Ichsan Zulkarnain mengatakan
bahwa perekonomian dunia dewasa ini masih dibayangi oleh
ketidakpastian terhadap kesinambungan perekonomian
Amerika Serikat untuk terus menerus sebagai penggerak
ekonomi dunia.30 Di Indonesia, sejak timbulnya krisis
ekonomi yang dipicu oleh krisis moneter pada pertengahan
tahun 1997, pertumbuhan ekonomi terhenti dan laju
inflasi meningkat pesat yang berakibat taraf hidup
rakyat Indonesia merosot tajam.31 Di mana-mana banyak
terjadi pemutusan hubungan kerja, pengangguran bertambah
dan daya beli masyarakatnyapun menjadi berkurang.
Perekonomian nasional tahun 2002 diperkirakan membaik,
meskipun masih terdapat berbagai ketidak pastian yang
dapat mengganggu proses pemulihan ekonomi.32
Lebih jauh, prioritas pembangunan nasional bidang
ekonomi sesuai dengan UU No. 25 tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) tahun 2000-2004
adalah mempercepat pemulihan dan memperkuat landasan
29 Ibid.30 Ichsan Zulkarnain, “Perkembangan Ekonomi Mikro Hingga Triwulan III Tahun 2002 dan ProspekEkonomi Indonesia Tahun 2002 dan 2004”, Jurnal Ekonomi, 2003, hal. 16. 31 Republik Indonesia, UU No. 25 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS),Jakarta, Setneg, 2000, hal. 61.32 Ichsan Zulkarnain, Loc. Cit
20
pembangunan ekonomi berkelanjutan dan berkeadilan
berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan.33
Sistem ekonomi Islam yang dijiwai ajaran-ajaran
agama Islam memang dapat diamati berjalan dalam
masyarakat-masyarakat kecil di negara-negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam.34 Namun dalam
perekonomian yang sudah mengglobal dengan persaingan
terbuka, bisnis Islam sering terpaksa menerapkan
praktek-praktek bisnis non Islam. Misalnya, perusahaan
yang berbentuk Perseroan Terbatas yang memisahkan
kepemilikan dan pengelolaan, dalam proses meningkatkan
pasar modal (bursa efek), sering terpaksa menerima asas-
asas sistem kapitalisme yang tidak Islam.
Sistem ekonomi Islam berbeda dari kapitalisme,
sosialisme, maupun Negara Kesejahteraan (Welfare State).35
Berbeda dari kapitalisme karena Islam menentang
eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang
miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. “Kecelakaanlah
bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta-harta dan
menghitung-hitung, dia mengira bahwa hartanya itu dapat
mengekalkannya, sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan
dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah apa Huthamah itu ? (yaitu)
api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (naik) sampai ke hati.33 Iwan Kurniawan, Chanif, Achmad Zairi, Prosedur Pemilihan Kepala Daerah danPengangkatan/Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil serta Program Pembangunan Tahun 2000-2004,Lembaga Pengembangan Informasi Indonesia (LEPIN), Jakarta, hal. 451.34 Mubyarto, Etika, Agama, dan Sistem Ekonomi,http://www.ekonomirakyat.org/edisi-2/artikel-7.htm, hal.4.35 Ibid, hal. 5.
21
Sesungguhnya api itu ditutup rapat di atas mereka, (sedang mereka itu)
diikatkan pada tiang-tiang yang panjang.” (Q.s. Al-Humazah , ayat
1-9).
Orang miskin dalam Islam tidak dihujat sebagai
kelompok yang malas dan tidak suka menabung dan
berinvestasi. Disejajarkan dengan sosialisme, Islam
berbeda dalam hal kekuasaan negara, yang dalam
sosialisme sangat kuat dan menentukan. Kebebasan
perorangan yang dinilai tinggi dalam Islam jelas
bertentangan dengan ajaran sosialisme. Akhirnya ajaran
ekonomi kesejahteraan (Welfare State), yang berada di
tengah-tengah antara kapitalisme dan sosialisme, memang
lebih dekat ke ajaran Islam. Bedanya hanyalah bahwa
dalam Islam etika benar-benar dijadikan pedoman perilaku
bisnis sedangkan dalam welfare state tidak demikian, karena
etika welfare state adalah sekuler yang tidak mengarahkan
pada “integrasi vertical” antara aspirasi materi dan spiritual.
Demikian dapat disimpulkan bahwa dalam Islam
pemenuhan kebutuhan materiil dan spiritual benar-benar
dijaga keseimbangannya, dan pengaturan oleh negara,
meskipun ada, tidak akan bersifat otoriter. Di
Indonesia, meskipun Islam merupakan agama mayoritas,
sistem ekonomi Islam secara penuh sulit diterapkan,
tetapi sistem ekonomi Pancasila yang dapat mencakup
warga non Islam dapat dikembangkan. Merujuk sila pertama
Ketuhanan Yang Maha Esa, sistem ekonomi Pancasila
22
menekankan pada moral Pancasila yang menjunjung tinggi
asas keadilan ekonomi dan asas keadilan sosial seperti
halnya sistem ekonomi Islam. Tujuan sistem ekonomi
Pancasila maupun sistem ekonomi Islam adalah keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang diwujudkan
melalui dasar-dasar kemanusiaan dengan cara-cara yang
nasionalistik dan demokratis. Sistem ekonomi Indonesia
adalah aturan main yang mengatur seluruh warga bangsa
untuk tunduk pada pembatasan-pembatasan perilaku sosial-
ekonomi setiap orang demi tercapainya tujuan masyarakat
Indonesia yang adil dan makmur.36 Aturan main
perekonomian Indonesia berasas kekeluargaan dan
berdasarkan demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan
oleh semua untuk semua di bawah pimpinan dan pemilikan
anggota-anggota masyarakat. Dalam sistem ekonomi
Indonesia yang demokratis kemakmuran masyarakat lebih
diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang.37 Setiap
warga negara berhak memperoleh pekerjaan dan penghidupan
yang layak sesuai harkat dan martabat kemanusiaan38,
sehingga dapat dihindari kondisi kefakiran dan
kemiskinan.
Etika sebagai ajaran baik-buruk, benar-salah, atau
ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan
tindakan-tindakan ekonomi, bersumber terutama dari
36 Mubyarto, Loc.Cit.37 Ibid.38 Lihat Pasal 27 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
23
ajaran agama.39 Itulah sebabnya banyak ajaran dan paham
dalam ekonomi Barat menunjuk pada kitab Injil (Bible),
dan etika ekonomi Yahudi menunjuk pada Taurat. Demikian
pula etika ekonomi Islam termuat dalam lebih dari
seperlima ayat-ayat yang dimuat dalam Al-Qur’an. Namun,
jika etika agama Kristen-Protestan telah melahirkan
semangat (spirit) kapitalisme, maka etika agama Islam tidak
mengarah pada kapitalisme maupun sosialisme pada kolektivisme,
maka Islam menekankan empat sifat sekaligus, yaitu : (1)
Kesatuan (unity), (2) Keseimbangan (equilibrium), (3)
Kebebasan (free will), dan (4) Tanggungjawab (responsibility).
Manusia sebagai khalifah didunia tidak mungkin bersifat
individualistis, karena semua (kekayaan) yang ada di
bumi adalah milik Allah semata, dan manusia adalah
kepercayaannya di bumi. Karena etika dijadikan pedoman
dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, maka etika bisnis
merupakan ajaran Islam juga dapat digali langsung dari
Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Misalnya karena adanya
larangan riba, maka pemilik modal selalu terlibat
langsung dan bertanggung jawab terhadap jalannya
perusahaan miliknya, bahkan terhadap buruh yang tidak
diperkerjakannya. Perusahaan dalam sistem ekonomi Islam
adalah perusahaan keluarga bukan Perseroan Terbatas yang
pemegang sahamnnya dapat menyerahkan pengelolaan
39 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam diIndonesia, 2002, hal. 108.
24
perusahaan begitu saja kepada direktur atau manager yang
digaji.
Memang dalam sistem yang demikian tidak ada
perusahaan yang menjadi sangat besar, seperti di dunia
kapitalis Barat, tetapi juga tidak ada perusahaan yang
tiba-tiba bangkrut atau dibangkrutkan. Etika bisnis
Islam menjunjung tinggi semangat saling percaya,
kejujuran, dan keadilan, sedangkan antara pemilik
perusahaan dan karyawan berkembang semangat kekeluargaan
(brotherhood). Misalnya dalam perusahaan yang Islam gaji
karyawannya dapat diturunkan jika perusahaan benar-benar
merugi dan karyawan juga mendapat bonus jika keuntungan
perusahaan meningkat. Buruh muda yang tinggal dengan
orang tuanya dapat dibayar lebih rendah, sedangkan yang
sudah berkeluarga dan mempunyai anak, dapat dibayar
lebih tinggi dibanding rekan-rekannya yang muda. Ajaran
agama Islam dalam perilaku ekonomi manusia dan bisnis
Indonesia makin mendesak penerapannya bukan saja karena
mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam, tetapi karena
makin jelas ajaran moral ini sangat sering tidak
dipatuhi. Dengan perkataan lain penyimpangan demi
penyimpangan dalam Islam jelas merupakan sumber berbagai
permasalahan ekonomi nasional. Manusia dalam hubungannya
dengan bisnis dalam rangka menjalankan suatu usaha
adalah satu hal yang sangat penting ialah etika. Di mana
25
etika ini memegang peranan yang sangat penting dalam
mencapai tujuan usaha yang lebih besar.
Kurangnya pemahaman dari warga masyarakat terhadap
etika bisnis menurut kaidah dan tata cara Islam baik itu
dalam tatanan skala usaha besar, skala menengah maupun
dalam skala usaha kecil adalah suatu hal yang tidak
dapat ditutupi. Hal ini jelas terlihat dari sedikitnya
bahkan tidak terlihatnya penerapan etika Islam dalam
menjalankan usahanya. Bentuk konkritnya dapat dilihat
dari ulah pengusaha itu sendiri dalam kesehariannya
dalam berusaha untuk mendapatkan maksud dan tujuannya
menggunakan cara-cara yang tidak dibenarkan dalam aturan
Islam mengenai kaidah berusaha yang menghalalkan semua
cara, padahal dalam ajaran Islam ada iman dan moral yang
harus dipedomani.
C. Solusi Al-Qur’an terhadap Etika Entrepreneur Muslim
dalam Menghadapi Asean Economic Community (AEC) 2015
Rasululah Saw, sangat banyak memberikan petunjuk
mengenai etika bisnis, di antaranya ialah: Pertama, bahwa
prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran. Dalam
doktrin Islam, kejujuran merupakan syarat fundamental
dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat intens
menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam
tataran ini, beliau bersabda: “Tidak dibenarkan seorang muslim
menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya”
26
(H.R. Al-Quzwani). “Siapa yang menipu kami, maka dia bukan
kelompok kami” (H.R. Muslim). Rasulullah sendiri selalu
bersikap jujur dalam berbisnis. Beliau melarang para
pedagang meletakkan barang busuk di sebelah bawah dan
barang baru di bagian atas. Kedua, kesadaran tentang
signifikansi sosial kegiatan bisnis. Pelaku bisnis
menurut Islam, tidak hanya sekedar mengejar keuntungan
sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan Bapak
ekonomi kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi
kepada sikap ta’awun (menolong orang lain) sebagai
implikasi sosial kegiatan bisnis. Tegasnya, berbisnis,
bukan mencari untung material semata, tetapi didasari
kesadaran memberi kemudahan bagi orang lain dengan
menjual barang. Ketiga, tidak melakukan sumpah palsu.
Nabi Muhammad saw sangat intens melarang para pelaku
bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi
bisnis. Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari, Nabi
bersabda, “Dengan melakukan sumpah palsu, barang-barang memang
terjual, tetapi hasilnya tidak berkah”. Dalam hadis riwayat Abu Zar,
Rasulullah saw mengancam dengan azab yang pedih bagi
orang yang bersumpah palsu dalam bisnis, “dan Allah tidak
akan memperdulikannya nanti di hari kiamat” (H.R. Muslim).
Praktek sumpah palsu dalam kegiatan bisnis saat ini
sering dilakukan, karena dapat meyakinkan pembeli, dan
pada gilirannya meningkatkan daya beli atau pemasaran.
Namun, harus disadari, bahwa meskipun keuntungan yang
27
diperoleh berlimpah, tetapi hasilnya tidak berkah.
Keempat, ramah-tamah . Seorang palaku bisnis, harus
bersikap ramah dalam melakukan bisnis. Nabi Muhammad Saw
mengatakan, “Allah merahmati seseorang yang ramah dan toleran
dalam berbisnis” (H.R. Bukhari dan Tarmizi). Kelima, tidak
boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi, agar
orang lain tertarik membeli dengan harga tersebut. Sabda
Nabi Muhammad, “Janganlah kalian melakukan bisnis najsya (seorang
pembeli tertentu, berkolusi dengan penjual untuk menaikkan harga, bukan
dengan niat untuk membeli, tetapi agar menarik orang lain untuk
membeli)”. Keenam, tidak boleh menjelekkan bisnis orang
lain, agar orang membeli kepadanya. Nabi Muhammad Saw
bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian menjual dengan
maksud untuk menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain” (H.R.
Muttafaq ‘alaih). Ketujuh, tidak melakukan ihtikar.
Ihtikar ialah (menumpuk dan menyimpan barang dalam masa
tertentu, dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi
naik dan keuntungan besar pun diperoleh). Rasulullah
melarang keras perilaku bisnis semacam itu. Kedelapan,
takaran, ukuran dan timbangan yang benar. Dalam
perdagangan, timbangan yang benar dan tepat harus benar-
benar diutamakan. Firman Allah: “Celakalah bagi orang yang
curang, yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang lain,
mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang
untuk orang lain, mereka mengurangi” (QS. 83: 112). Kesembilan,
Bisnis tidak boleh menggangu kegiatan ibadah kepada
28
Allah. Firman Allah, “Orang yang tidak dilalaikan oleh bisnis
lantaran mengingat Allah, dan dari mendirikan shalat dan membayar
zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang hari itu, hati dan penglihatan
menjadi goncang”. Kesepuluh, membayar upah sebelum kering
keringat karyawan. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Berikanlah
upah kepada karyawan, sebelum kering keringatnya”. Hadist ini
mengindikasikan bahwa pembayaran upah tidak boleh
ditunda-tunda. Pembayaran upah harus sesuai dengan kerja
yang dilakuan. Kesebelas, tidak monopoli. Salah satu
keburukan sistem ekonomi kapitalis ialah melegitimasi
monopoli dan oligopoli. Contoh yang sederhana adalah
eksploitasi (penguasaan) individu tertentu atas hak
milik sosial, seperti air, udara dan tanah dan kandungan
isinya seperti barang tambang dan mineral. Individu
tersebut mengeruk keuntungan secara pribadi, tanpa
memberi kesempatan kepada orang lain. Ini dilarang dalam
Islam. Keduabelas, tidak boleh melakukan bisnis dalam
kondisi eksisnya bahaya (mudharat) yang dapat merugikan
dan merusak kehidupan individu dan sosial. Misalnya,
larangan melakukan bisnis senjata di saat terjadi chaos
(kekacauan) politik. Tidak boleh menjual barang halal,
seperti anggur kepada produsen minuman keras, karena ia
diduga keras, mengolahnya menjadi miras. Semua bentuk
bisnis tersebut dilarang Islam karena dapat merusak
esensi hubungan sosial yang justru harus dijaga dan
diperhatikan secara cermat. Ketigabelas, komoditi bisnis
29
yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bukan
barang yang haram, seperti babi, anjing, minuman keras,
ekstasi, dsb. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Sesungguhnya
Allah mengharamkan bisnis miras, bangkai, babi dan “patung-patung”
(H.R. Jabir). Keempatbelas, bisnis dilakukan dengan suka
rela, tanpa paksaan. Firman Allah, “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara
yang batil, kecuali dengan jalan bisnis yang berlaku dengan suka-sama
suka di antara kamu” (QS. 4: 29). Kelimabelas, Segera melunasi
kredit yang menjadi kewajibannya. Rasulullah memuji
seorang muslim yang memiliki perhatian serius dalam
pelunasan hutangnya. Sabda Nabi Saw, “Sebaik-baik kamu,
adalah orang yang paling segera membayar hutangnya” (H.R. Hakim).
Keenambelas, Memberi tenggang waktu apabila pengutang
(kreditor) belum mampu membayar. Sabda Nabi Saw, “Barang
siapa yang menangguhkan orang yang kesulitan membayar hutang atau
membebaskannya, Allah akan memberinya naungan di bawah naunganNya
pada hari yang tak ada naungan kecuali naungan-Nya” (H.R. Muslim).
Ketujuhbelas, bahwa bisnis yang dilaksanakan bersih dari
unsur riba. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman,
tinggalkanlah sisa-sisa riba jika kamu beriman (QS. al-Baqarah::
278). “Pelaku dan pemakan riba dinilai Allah sebagai orang yang
kesetanan” (QS.2: 275). Oleh karena itu Allah dan Rasulnya
mengumumkan perang terhadap riba.
Solusi adalah kemampuan atau daya untuk melihat
pada inti persoalan dengan pandangan yang luas. Solusi
30
etika dan bisnis Al-Qur’an dengan demikian merupakan
kemampuan, kekuatan dan cara pandang yang dimiliki oleh
Al-Qur’an dalam memandang persoalan etika dan bisnis.
Al-Qur’an dalam mengajak manusia untuk mempercayai dan
mengamalkan tuntutan-tuntutannya dalam segala aspek
kehidupan seringkali menggunakan istilah-istilah yang
dikenal dalam dunia bisnis, seperti jual beli, sewa
menyewa, untung rugi, dan sebagainya.
Dalam konteks ini, Allah Swt. dalam firman-Nya, Al-
Qur’an surat At- Taubah ayat (111) yang artinya (kurang
lebih) : “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin harta
dan jiwa mereka dan sebagai imbalannya mereka memperoleh syurga.
Siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) Allah, maka gembiralah
dengan jual beli yang kamu lakukan itu. Itulah kemenangan yang besar’’.
Ayat tersebut di atas, memberikan penjelasan bahwa
mereka yang tidak ingin melakukan aktivitas kehidupannya
kecuali bila memperoleh keuntungan semata, dilayani
(ditantang) oleh Al-Qur’an dengan menawarkan satu bursa
yang tidak mengenal kerugian dan penipuan. Dengan
demikinan, prinsip dasar yang ditekankan Al-Qur’an
adalah kerja dan kerja keras. Pandangan Islam mengenai
solusi tentang etika bisnis harus berlandaskan pada tiga
tema kunci utama yang juga merupakan pedoman bagi semua
kegiatan umat Islam. Ketiga tema kunci utama itu adalah
Iman, Islam, dan Taqwa.
31
Dalam Al-Qur’an terdapat terma-terma atau istilah-
istilah yang dapat mewakili apa yang dimaksud dengan
etika maupun bisnis. Di antara tema-tema bisnis dalam
Al-Qur’an terdapat tema al-tijarah, al-bai’u, tadayantum dan isytara.
Masing-masingnya dapat dijelaskan sebagai berikut. Tema
tijarah, berawal dari kata t-j-r, tajara, tajran wa tijaratan, yang
bermakna berdagang, berniaga. Menurut ar-Raqib al-
Asfahani dalam al-Mufradat fi qharib al-Qur’an, at-tijarah,
bermakna pengelolaan harta benda untuk mencari
keuntungan. Dengan demikian, dari penjelasan tersebut
dapat dipahami bahwa beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
berjihad dengan harta dan jiwa adalah termasuk bisnis,
yakni bisnis sesungguhnya yang pasti mendapat keuntungan
hakiki.
Sedangkan al-bai’ berasal dari kata bai’a, yang terdapat
dalam Al-Qur’an dalam berbagai variasinya. Al-bai’u,
berarti menjual, lawan kata dari isytara atau memberikan
sesuatu yang berharga dan mengambil (menetapkan) dari
padanya suatu harga dan keuntungannya.
Tema bai’un dalam Al-Qur’an digunakan dalam dua
pengertian, (1) jual beli dalam konteks tidak ada jual
beli pada hari qiamat, karena itu, Al-Qur’an menyeru
agar membelanjakan, mendayagunakan dan mengembangkan
harta benda berada dalam proses dan tujuan yang tidak
bertentangan dengan keimanan, (2) al-bai’ dalam pengertian
32
jual beli yang halal, dan larangan untuk memperoleh atau
mengembangkan harta benda dengan jalan riba.
Demikian pula mengenai kata baya’tum, bibai’ikum dan
tabaya’tum, digunakan dalam pengertian jual beli yang
dilakuan oleh kedua belah pihak harus dilakuan dengan
ketelitian dan dipersaksikan (dengan cara terbuka dan
dengan tulisan). Kemudian Al-Qur’an menggunakan terma
isytara sebagaimana terdapat dalam surat At-Taubah (9) ayat
(111), digunakan dalam pengertian membeli yaitu dalam
konteks Allah membeli diri dan harta orang-orang mukmin.
Dengan demikian, istilah isytara dan derivasinya lebih
banyak mengandung makna transaksi antara manusia dengan
Allah atau transaksi sesama manusia yang dilakukan
karena dan untuk Allah, juga transaksi dengan tujuan
keuntungan manusia walaupun dengan menjual ayat-ayat
Allah. Transaksi Allah dengan manusia terjadi bila
manusia berani mengorbankan jiwa dan hartanya untuk
mencari keridhoan Allah dan Allah menjanjikan
balasannya, membeli dari orang-orang mukmin tersebut
dengan kenikmatan dan keuntungan yang tiada terhitung
yaitu syurga. Selain itu, Al-Qur’an menggunakan juga
istilah tadayantum yang disebutkan satu kali, yaitu pada
Al-Qur’an surat Al-Baqarah (2) ayat (282), digunakan
dalam pengertian mua’malah yakni jual beli, utang
piutang, sewa menyewa dan lain sebagainya. Ayat Al-Quran
surat Al-Baqarah (2) ayat (282) tersebut berbunyi, yang
33
artinya (lebih kurang) : “Wahai orang-orang yang beriman,
apabila kamu melakukan mua’malah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan hendaklah kamu menulisnya. Dan hendaklahmseorang penulis
di antara kamu menuliskannya dengan benar....” (Q.s. (2): 282).
Selain istilah-istilah di atas, dalam Al-Qur’an
terdapat pula istilah yang berdekatan dengan kandungan
bisnis. Di antaranya adalah, anfaqa dan la ta’kulu amwalakum.
Sedangkan yang berhubungan dengan etika secara langsung
adalah al-khuluq, yang berasal dari kata dasar khaluqa-
khuluqan, yang berarti tabi’at, budi pekerti, kebiasaan,
kesatriaan, keprawiraan. Etika Al-Qur’an mempunyai sifat
humanistik dan rasionalistik. Sifat humanistik dalam
pengertian mengarahkan manusia pada pencapaian hakikat
kemanusiaan yang tertinggi dan tidak bertentangan dengan
fitrah manusia itu sendiri. Sifat rasionalistik, bahwa
semua pesan-pesan yang diajarkan oleh Al-Qur’an terhadap
manusia sejalan dengan prestasi rasionalitas manusia
yang tertuang dalam karya-karya para filosof. Pesan-
pesan Al-Qur’an seperti ajakan kepada kebenaran,
keadilan, kejujuran, kebersihan, menghormati orang tua,
bekerja keras, cinta ilmu, semuanya tidak ada yang
berlawanan dengan kedua sifat di atas. Oleh karena itu,
harus menjadi pedoman atau perhatian oleh para pengusaha
muslim dalam kegiatan bisnisnya.
34
Solusi yang dapat diambil dari al-Qur’an terkait
dengan masalah etika bisnis antara lain adalah sebagai
berikut:
Dari sudut pandang Pemerintah:
1. Memberikan kekuatan hukum pada Badan Arbitrase
sebagaimana badan penegak hukum lainnya di Indonesia.
2. Mengeluarkan kebijakan yang dapat mempermudah
entrepreuneur muslim dalam melahirkan atau
mengembangkan usahanya. Misalnya berkaitan dengan
permodalan atau proteksi terhadap produk/jasa syariah.
3. Membentuk dualisme sistem keuangan di Indonesia,
sehingga dana dari perbankan syariah tidak bercampur
dengan dana dari perbankan konvensional. Dari sini,
maka keragu-raguan mengenai kehalalan dana dari
perbankan syariah dapat dihilangkan.
Dari sudut pandang akademisi
1. Memberikan mata pelajaran terkait etika bisnis
syari’ah sejak dini.
2. Selalu melakukan pengamatan dan riset terkait masalah-
masalah etika bisnis syariah yang sedang buming dan
menarik pelajaran darinya serta memberikan ilmu
tersebut kepada peserta didik bisnis syariah.
Dari sudut praktisi
1. Selalu mencatat setiap akad yang dilakukannya, bisa
lewat surat kontrak atau sejenisnya.
35
2. Selalu memberikan timbangan atau takaran yang adil dan
jujur.
3. Selalu memecahkan masalah yang timbul dengan
bermusyawarah antar pihak-pihak yang bersangkutan.
4. Senantiasa menunaikan zakat pada periodenya.
5. Melaksanakan CSR-nya. Misalkan lewat shodaqah, infaq
dan wakaf.
6. Ikut serta dalam gerakan perbaikan dan pelestarian
lingkungan.
7. Ikut serta dalam usaha mensejahterakan masyarakat,
misalnya untuk ruang lingkup intern dengan memberikan
upah yang adil dan tepat pada pegawai.
8. Selalu berkata dengan baik dan sopan kepada orang
lain, misalnya kepada pegawai atau mitra kerja.
9. Tidak mengumbar janji palsu yang tidak bisa ditepati
(selalu menepati janji yang telah disepakati).
36
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa secara
normatif, etika bisnis dalam Al-Qur’an memperlihatkan
adanya suatu struktur yang berdiri sendiri dan terpisah
dari struktur lainnya. Hal itu disebabkan bahwa dalam
ilmu akhlak (moral), struktur etika dalam Al-Qur’an
lebih banyak menjelaskan nilai-nilai kebaikan dan
kebenaran baik pada tataran niat atau ide hingga
perilaku dan perangai. Dengan demikian, etika bisnis
dalam Al-Qur’an tidak hanya dipandang dari aspek etika
secara parsial, tetapi juga secara keseluruhan yang
memuat kaidah-kaidah yang berlaku umum dalam agama
Islam. Artinya, bahwa etika bisnis menurut hukum Islam
harus dibangun dan dilandasi oleh prinsip-prinsip
kesatuan (unity), keseimbangan/keadilan (equilibrium),