1 BIAYA PRODUKSI ISLAMI : ALTERNATIF SOLUSI BAGI UKM MENGHADAPI ERA ACFTA Hikmah Endraswati STAIN Salatiga Abstract The membership of Indonesia in ACFTA made the businessman primarly in UKM felt to worry. Because China's product had flooded market in Indonesia with better quality and relative cheaper price. But actually, this trade agreement opened exports opportunity to China will be bigger. China with the 1,3 milliar population in those country was interested for cooperation in the international trading. Various efforts were done to increase product competitiveness of UKM in Indonesia. One of [the] alternative solution was islamic production cost application, where total cost did not increase because used of capital not be charged with the interest rate. Key words : ACFTA, free trade, islamic production cost I. PENDAHULUAN Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between The Association of Southeast Asian Nations and The People’s Republic of China (ACFTA) telah ditandatangani pada tanggal 4 November 2004 di Phnom Penh, Kamboja oleh para Kepala Negara ASEAN dan RRC. Keikutsertaan Indonesia dalam ACFTA membuat banyak pelaku usaha terutama UKM di Indonesia merasa khawatir. Karena produk China sudah membanjiri pasar di Indonesia dengan kualitas yang lebih baik dan harga yang relatif murah. Namun sebetulnya, perjanjian perdagangan ini membuka peluang ekspor ke China menjadi lebih besar lagi. Sebagai negara berpenduduk 1,3 miliar jiwa, menjalin kerja sama perdagangan dengan China menjadi menarik. Dalam setahun,
24
Embed
BIAYA PRODUKSI ISLAMI : ALTERNATIF SOLUSI BAGI UKM MENGHADAPI ERA ACFTA Hikmah Endraswati STAIN Salatiga …iainsalatiga.ac.id/web/wp-content/uploads/2012/09/ACFTA-DAN-BIAYA... ·
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BIAYA PRODUKSI ISLAMI :
ALTERNATIF SOLUSI BAGI UKM MENGHADAPI ERA ACFTA
Hikmah Endraswati
STAIN Salatiga
Abstract
The membership of Indonesia in ACFTA made the businessman primarly
in UKM felt to worry. Because China's product had flooded market in Indonesia
with better quality and relative cheaper price. But actually, this trade agreement
opened exports opportunity to China will be bigger. China with the 1,3 milliar
population in those country was interested for cooperation in the international
trading. Various efforts were done to increase product competitiveness of UKM in
Indonesia. One of [the] alternative solution was islamic production cost
application, where total cost did not increase because used of capital not be
charged with the interest rate.
Key words : ACFTA, free trade, islamic production cost
I. PENDAHULUAN
Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation
between The Association of Southeast Asian Nations and The People’s Republic
of China (ACFTA) telah ditandatangani pada tanggal 4 November 2004 di Phnom
Penh, Kamboja oleh para Kepala Negara ASEAN dan RRC. Keikutsertaan
Indonesia dalam ACFTA membuat banyak pelaku usaha terutama UKM di
Indonesia merasa khawatir. Karena produk China sudah membanjiri pasar di
Indonesia dengan kualitas yang lebih baik dan harga yang relatif murah.
Namun sebetulnya, perjanjian perdagangan ini membuka peluang ekspor
ke China menjadi lebih besar lagi. Sebagai negara berpenduduk 1,3 miliar jiwa,
menjalin kerja sama perdagangan dengan China menjadi menarik. Dalam setahun,
2
produksi domestik bruto (PDB) China bisa mencapai 6,9 triliun dollar AS. Selain
itu, produk Indonesia yang semula banyak diekspor ke Amerika dan Uni Eropa
setiap tahunnya semakin berkurang. Di sisi lain, tren ekspor produk ke China
semakin bertambah. Nilai ekspor Indonesia Maret 2010 mencapai US$12,63
miliar atau mengalami peningkatan sebesar 13,11 persen dibanding ekspor
Februari 2010. Sementara bila dibanding Maret 2009 mengalami peningkatan
sebesar 46,61 persen. Ekspor nonmigas ke Jepang Maret 2010 mencapai angka
terbesar yaitu US$1,35 miliar, disusul Cina US$1,09 miliar, dan Amerika Serikat
US$1,09 miliar, dengan kontribusi ketiganya mencapai 33,20 persen. Sementara
ekspor ke Uni Eropa (27 negara) sebesar US$1,41 miliar. Menurut sektor, ekspor
hasil industri periode Januari-Maret 2010 naik sebesar 37,54 persen dibanding
periode yang sama tahun 2009, demikian juga ekspor hasil pertanian naik 15,19
persen serta ekspor hasil tambang dan lainnya naik 96,09 persen.
3
Tabel 1
Tabel 2
4
Tabel 3
Tabel 4
5
Dewasa ini, banyak negara di dunia sudah mengikatkan diri pada
perjanjian perdagangan seperti ini, karena jika tidak mengikuti pola perdagangan
ini, maka tidak akan menikmati bea masuk yang lebih murah ketika mengekspor
barang ke negara lain. Indonesia akan merugi jika secara sepihak memutuskan
mundur dari Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China. Apabila Indonesia
mundur dari kesepakatan itu, produk Indonesia akan semakin tidak kompetitif jika
dipasarkan di kawasan ASEAN dan China. Jika Indonesia menolak pelaksanaan
Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN- China (ACFTA), ekspor Indonesia akan
dikenai tarif standar oleh China yakni 10-20 persen. Pada saat negara-negara
ASEAN lainnya bisa memperoleh fasilitas bea masuk 0 persen, Indonesia dikenai
tarif standar. Karena itulah produk Indonesia akan semakin tidak kompetitif.
Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen
Perdagangan, Diah Maulida, nilai ekspor China ke ASEAN sepanjang sepuluh
bulan 2009 mencapai 102,67 miliar dollar AS. Barang-barang ekspor China
sebagian besar berupa komputer dan perkakasnya serta ponsel.
Sementara itu, produk impor China umumnya berupa hasil bumi dan komoditas.
Impor dari ASEAN ke China bernilai hingga 105,06 miliar dollar AS. Berarti,
China sebetulnya defisit 2,38 miliar dollar AS. Meskipun defisit, pengusaha
Indonesia tetap merasa terancam dengan banjirnya produk China di pasar
domestik. Karena nilai ekspor Indonesia ke China kecil sekali, hanya 13,55 miliar
dollar AS atau 1,35 persen dari total impor China.
Dari total nilai ekspor ini, ekspor produk pertanian mencapai 4,8 miliar dollar AS.
Produk pertambangan mencapai 1,8 miliar dollar AS, dan produk industri
6
mencapai 109,6 juta dollar AS. Karena itulah ACFTA menjadi peluang besar
untuk meningkatkan ekspor ke China.
ACFTA bisa membuka peluang pasar produk Indonesia ke China. Namun,
hal itu harus diiringi dengan penguatan daya saing usaha kecil dan menengah
(UKM) Indonesia, terutama untuk tekstil, alas kaki, dan mainan anak. Selain itu
pemerintah perlu memberikan kesiapan sarana infrastruktur yang memadai seperti
kecukupan kebutuhan listrik sehingga UKM menjadi kompetitif.
II. PEMBAHASAN
1. Definisi ACFTA
Definisi ACFTA menurut Departemen Keuangan RI adalah
kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan
perdagangan bebas dengan negara China.
2. Tujuan ACFTA
Tujuan Framework Agreement ACFTA adalah (a) memperkuat dan
meningkatkan kerjasama perdagangan kedua pihak; (b) meliberalisasikan
perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan
tariff; (c) mencari area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi yang
saling menguntungkan kedua pihak; (d) memfasilitasi integrasi ekonomi
yang lebih efektif dengan negara anggota baru ASEAN dan menjembatani
gap yang ada di kedua belah pihak. Untuk melaksanakan ACFTA, ada
beberapa barang yang masuk dalam EHP. Tujuan The Early Harvest
7
Programme (EHP) adalah mempercepat implementasi penurunan tariff
barang.
Tabel 3. Cakupan Produk yang Masuk EHP ACFTA
Chapter Deskripsi
01 Hewan hidup
02 Daging dan produk daging dikonsumsi
03 Ikan
04 Produk susu
05 Produk hewan lainnya
06 Pohon hidup
07 Sayuran dikonsumsi
08 Buah-buahan dikonsumsi dan nuts
3. Teori Perdagangan Internasional
Menurut David Ricardo dalam Samuelson (2000), suatu negara
masih memungkinkan untuk meraih keuntungan dari perdagangan
internasional meskipun secara absolut produknya tidak unggul. Sebab
keuntungan dari perdagangan internasional bisa diciptakan dengan
memproduksi dan mengekspor barang yang memiliki produktivitas tinggi
atau keunggulan komparatif. Sebaliknya, negara yang bersangkutan lebih
baik mengimpor produk yang tidak memiliki keunggulan komparatif.
Pendapat ini dipertegas oleh pemikiran Hecksher Ohlin, yaitu suatu
negara hendaknya berspesialisasi pada produk yang dibuat dengan
kelimpahan sumber daya. Jadi, negara yang dilimpahi sumber daya alam
hendaknya mengekspor produk yang diproduksi dengan sumber daya alam
berlimpah. Sebaliknya, negara itu sebaiknya mengimpor produk yang
dihasilkan dengan sumber daya alam yang langka.
8
Meskipun kenyataannya kedua teori ini mengandung kelemahan,
seperti bersifat statis dan mengabaikan aspek mobilitas sumber daya, kita
bisa mengambil sedikit kelebihan dari teori ini. Teori ini kemudian
dipadukan dengan teori perdagangan lain yang lebih komprehensif, seperti
keunggulan kompetitif dan daya saing ekspor.
Bagaimana jika terjadi liberalisasi yang memungkinkan sumber
daya bergerak dengan mudah lintas negara? Mungkinkah suatu negara
masih bisa menciptakan keuntungan dari perdagangan internasionalnya?
Liberalisasi perdagangan dapat menciptakan dua efek, yaitu trade creation
dan trade divertion. Tulisan ini hanya fokus pada trade creation. Trade
creation terjadi jika ada pengalihan perdagangan dari negara anggota yang
biayanya mahal ke negara anggota yang biayanya murah. Artinya,
kegiatan impor akan beralih ke negara-negara yang struktur biayanya
murah.
Bagaimana caranya memiliki struktur biaya murah? Jika kita
merunut lagi teori di atas, solusinya adalah berspesialisasi pada produk
yang bisa dihasilkan dengan kelimpahan sumber daya alam dan sumber
daya manusia yang produktif. Struktur biaya rendah sebenarnya dapat
diciptakan dengan melakukan spesialisasi pada produk unggul tersebut.
Dengan spesialisasi, seluruh sumber daya akan dikerahkan untuk
menciptakan produk tersebut. Hasilnya, akan tercipta skala ekonomi.
Dengan skala ekonomi, struktur biaya akan menurun seiring peningkatan
hasil yang lebih besar.
9
4. Biaya Produksi Islami
Abdurrahman Ibnu Khaldun atau Abu Zayd menyatakan bahwa
kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara
tersebut. Kekayaan suatu negara ditentukan oleh tingkat produksi
domestik dan neraca pembayaran yang positif dari negara tersebut.
a. Tingkat Produksi Domestik
Sektor produksi menjadi motor pembangunan yang menyerap
tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan
permintaan atas faktor produksi lainnya. Menurut Lipsey (2000) dalam
teori ekonomi kemampuan untuk memproduksi sesuatu digambarkan oleh
grafik Production Possibility Frontier (PPF). Misalnya orang memiliki
pilihan untuk memproduksi dua jenis barang yaitu beras dan jagung
dengan sumber daya yang dimilikinya. Sumbu X menggambarkan
kemampuan memproduksi beras, sedang sumbu Y untuk jagung. Kurva
PPF menggambarkan tingkat produksi maksimal yang mungkin dicapai
dengan sumber daya yang dimiliki. Semakin besar PPF berarti semakin
tinggi tingkat produksinya, semakin tinggi tingkat kekayaan negara
tersebut.
b. Neraca Pembayaran Positif
Ibnu Khaldun menegaskan bahwa neraca pembayaran yang positif
akan meningkatkan kekayaan negara tersebut. Neraca pembayaran yang
positif menggambarkan dua hal yaitu (1) tingkat produksi negara tersebut
10
untuk suatu jenis komoditi lebih tinggi daripada tingkat permintaan
domestik negara tersebut atau supply lebih besar dibanding demand,
sehingga memungkinkan negara tersebut melakukan ekspor, (2) tingkat
efisiensi negara tersebut lebih tinggi dibandingkan negara lain. Dengan
efisiensi yang lebih tinggi maka komoditi suatu negara mampu masuk ke
negara lain dengan harga yang lebih kompetitif. Dalam level makro
bahasan kita adalah kemampuan suatu produksi suatu negara, sedangkan
dalam level mikro bahasan kita adalah kemampuan produksi suatu
produsen. Secara grafis, pendapat Ibnu Khaldun dapat digambarkan
dengan tingkat utilitas yang berada di luar PPF. Hal ini berarti negara yang
melakukan perdagangan internasional akan menikmati tingkat
kesejahteraan yang lebih baik dibandingkan dengan tidak melakukan
perdagangan internasional.
Dalam ilmu ekonomi konsep ini dikenal dengan gain from trade.
Tanpa adanya perdagangan, maka tingkat kesejahteraan tertinggi dicapai
ketika kurva utilitas bersinggungan dengan PPF yaitu pada titik autarky
(titik memenuhi kebutuhan sendiri). Sedangkan adanya perdagangan akan
mendorong kurva utilitas ke tingkat yang lebih tinggi yang tidak mungkin
dicapai oleh PPF.
Pada titik autarky, relative price antara beras dan jagung
digambarkan oleh garis harga (price line-Pau). Sekarang seandainya
produsen ini mempunyai tingkat efisiensi yang relatif lebih tinggi dalam
memproduksi beras dari produsen lain, maka ia akan mengalokasikan
11
lebih banyak sumber daya untuk memproduksi beras. Sehingga jumlah
beras yang diproduksinya menjadi Qb2, dan jumlah jagung yang
diproduksinya menjadi turun menjadi Qj2. Kelebihan produksi beras ini
diperdagangkan dengan harga yang berlaku Pp. Dengan price line yang
baru ini, produsen dapat menaikkan utilitasnya.
Gambar 1 Kurva Teori Produksi Ibn Khaldun (Sumber : Adiwarman,
2001)
c. Faktor Produksi
Menurut pandangan Baqir Sadr (1979) ilmu ekonomi dapat dibagi
menjadi dua bagian yaitu Philosophy of Economics dan Science of
Economics. Perbedaan ekonomi islam dengan ekonomi konvensional
terletak pada philosophy of economics, bukan pada science of economics.
Philosophy of Economics memberikan ruh pemikiran dengan nilai-nilai
Beras
Pau
Beras
Jagung
Qb1 Qb2 pp
Jagung
Qj1
Qj2
12
Islam dan batasan-batasan syariah. Sedangkan science of economics berisi
alat-alat analisa ekonomi yang dapat digunakan. Dengan kerangka
pemikiran ini, maka faktor produksi dalam ekonomi islam tidak berbeda
dengan faktor produksi dalam ekonomi konvensional yaitu tenaga kerja,
bahan baku dan bahan penolong dan modal. Diantara ketiga faktor
produksi ini, faktor modal menjadi berbeda karena ekonomi konvensional
menetapkan bunga sedangkan ekonomi islam tidak. Pengenaan bunga
pada faktor produksi memberikan dampak yang luas bagi tingkat efisiensi
produksi. Kurva berikut ini sumbu X mencerminkan kuantitas dan sumbu
Y mencerminkan penerimaan (Rp)
Gambar 2 Kurva Total Cost (Sumber : Lipsey, 2000)
d. Kurva Biaya
Biaya yang dikeluarkan oleh produsen terdiri dari biaya variabel
dan biaya tetap. Sehingga TC = FC + VC. Fixed cost (FC) besarnya tidak
dipengaruhi oleh berapa banyak output atau produk yang dihasilkan.
Karena itu, FC digambarkan sebagai garis horizontal dimana berapapun
output yang dihasilkan, biayanya tetap. Salah satunya adalah biaya bunga.
Q
Rp
FC
TC TR
13
Besarya bunga tergantung pada berapa banyak kredit yang diterima
produsen dan bukan pada berapa banyak ouput yang dihasilkan.
Variable cost (VC) ditentukan oleh berapa banyak output yang
dihasilkan. Misalnya untuk setiap 1 kg beras yang dihasilkan
membutuhkan biaya Rp. 1000,- berarti untuk menghasilkan 2 kg beras
dibutuhkan biaya Rp. 2000,-. Dengan adanya beban bunga, maka FC akan
naik dan demikian pula dengan TC. Hal ini tidak terjadi pada sistem bagi
hasil. Naiknya TC akan mendorong BEP dari titik Q menjadi Q1.
Gambar 3 Kurva Biaya Produksi dengan Suku Bunga (Sumber :
Adiwarman, 2001)
e. Kurva Penerimaan
Jika harga beras 1 kg adalah Rp. 5500,- maka penerimaan untuk 2
kg beras adalah Rp. 11.000,-. Dengan adanya beban bunga yang harus
dibayar tidak akan mempengaruhi penerimaan. Oleh karena itu kurva
penerimaan dalam sistem bunga Tri = TR. Sementara dalam sistem bagi
hasil yang terpengaruh adalah penerimaannya. Misalnya, telah terjadi
Q
Rp
FC
FCi
TC
TCi TR
Q Qi
14
kesepakatan bagi hasilnya adalah 70 : 30 dari penerimaan (70% untuk
produsen dan 30% untuk pemodal). Bila terjual satu kg maka bagi hasil
yang diterima produsen adalah Rp 3850,- dan bila dua kg maka menjadi
Rp. 7700,-
Jadi dalam sistem bunga yang berubah adalah TC dimana kurva
TC akan bergeser pararel ke kiri atas, sedangkan dalam sistem bagi hasil
yang berubah adalah kurva TR. Kurva TR akan berputar ke arah jarum
jam dengan titik 0 sebagai sumbu putarannya. Semakin besar nisbah bagi
hasil yang diberikan kepada pemodal (ekstrimnya limit dari nisbah 0:100)
semakin kurva TR mendekati sumbu horizontal sumbu X.
Titik BEP adalah titik impas yaitu ketika kurva TR berpotongan
dengan kurva TC, atau secara matematis titik BEP terjadi ketika TR = TC.
Dengan berputarnya kurva total penerimaan dari TR menjadi TRrs, titik
BEP yang tadinya ada pada jumlah output Q sekarang menjadi pada
jumlah output Qrs.
Dari sisi BEP, kita tidak dapat mengatakan bahwa sistem bunga
akan berproduksi pada tingkat output yang lebih kecil, lebih besar atau
sama dengan tingkat output sistem bagi hasil. Di kedua sistem ini kita
mendapatkan bahwa Qi > Q dan Qrs > Q. Apakah Qi > Qrs atau Qi < Qrs
atau Qi = Qrs ditentukan dari berapa besar bunga dibandingkan dengan
berapa besar nisbah bagi hasil. Perbedaannya adalah pada penyebabnya,
bila Qi disebabkan naiknya TC, maka Qrs disebabkan berputarnya TR.
15
Dalam akad muamalat Islam, dikenal akad mudharabah yaitu akad
antara si pemodal dengan si pelaksana. Antara si pemodal dan si pelaksana
harus disepakati nisbah bagi hasil yang akan menjadi pedoman pembagian
apabila usaha tersebut menghasilkan keuntungan. Namun apabila usaha
tersebut menimbulkan kerugian, maka pemodal akan menanggung sesuai
penyertaan modalnya. Jika pelaksana menanggung rugi, maka disebabkan
karena ia lalai atau melanggar syarat yang telah disepakati bersama.
Selain menyepakati nisbah bagi hasil, mereka juga harus sepakat
siapa yang menanggung biaya. Apabila biaya ditanggung oleh pelaksana,
maka yang dilakukan adalah revenue sharing. Dan sebaliknya jika
disepakati yang menanggung biaya adalah pemodal, maka yang dilakukan
adalah profit sharing. Berputarnya TR ke arah jarum jam dengan titik 0
sebagai sumbu putarannya, adalah keadaan yang menggambarkan akad
revenue sharing.
Gambar 4 Kurva Produksi Dengan Revenue Sharing (Sumber :
Adiwarman, 2001)
Rp
Q
FC
TC
TR TRrs
Q Qrs
16
Apabila yang disepakati adalah mudarabah yang biaya-biayanya
ditanggung oleh si pemodal, atau dengan kata lain, dengan system profit
sharing, maka kurva total penerimaan berputar ke arah jarum jam dengan
titik BEP sebagai sumbu putarannya. Tingkat produksi sebelum titik BEP
tercapai (Q < Qps) adalah keadaan dimana total biaya lebih besar daripada
total penerimaan (TC > TR). Dalam keadaan ini belum ada keuntungan
yang dapat dibagihasilkan. Sesuai kesepakatan bahwa biaya ditanggung
pemodal, maka kerugian menjadi tanggung jawab pemodal. Karena itu,
kurva TR berputar ke arah jarum jam dengan titik BEP sebagai sumbu
putarannya.
Perbedaan kedua antara system revenue sharing dengan system
profit sharing dalam akad mudarabah adalah pada seberapa jauh kurva TR
berputar. Pada system revenue sharing, kurva TR akan berputar sampai
mendekati garis horizontal sumbu X. Sedangkan dalam system profit
sharing, kurva TR hanya akan berputar di dalam TR dan TC, yaitu area
yang menggambarkan besarnya keuntungan. Dalam system profit sharing,
TR tidak dapat berputar melewati TC, karena pada area itu sudah tidak ada
lagi keuntungan yang akan dibagihasilkan.
Apabila di dalam akad mudarabah ditentukan bahwa penyertaan si
pelaksana harus nihil, maka penyertaan pemodal harus 100%, maka dalam
akad musyarakah penyertaan modal berasal dari dua orang. Keduanya
harus menyepakati nisbah bagi hasil yang akan menjadi pedoman
pembagian apabila usaha tersebut menghasilkan keuntungan. Namun,
17
apabila usaha tersebut menghasilkan kerugian, maka kerugian ditanggung
sesuai dengan penyertaan modalnya. Jika A memberikan modal 100 juta
dan B memberikan modal 200 juta, maka dengan nisbah 50:50, jika
keuntungan yang diperoleh adalah 10 juta, maka masing-masing akan
memperoleh 5 juta, sedangkan jika menderita kerugian, misalnya Rp. 9
juta, maka masing-masing A akan memikul kerugian Rp. 3 juta dan B
memikul kerugian Rp. 6 juta.
Secara grafis, keadaaan merugi digambarkan oleh area sebelum
tercapainya BEP dimana Q < Qps, sedangkan keadaan keuntungan
digambarkan oleh area setelah tercapainya BEP. Pembagian keuntungan
tidak perlu simetris seperti pada pembagian kerugian karena pembagian
keuntungan berdasarkan nisbah sementara pembagian kerugian
berdasarkan penyertaan modal.
Gambar 5 Kurva Produksi dengan Profit Sharing (Sumber : Adiwarman,
2001)
Q
Rp
TR
TC
TRps
Qps
18
5. Keterkaitan ACFTA dengan Biaya Produksi Islami
ACFTA seakan membuka tabir keterlenaan diri kita akan konsep